1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama Islam adalah agama samawi yang terakhir diturunkan kepada Nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad SAW. Ia melengkapi dan menyempurnakan agama-agama samawi yang diturunkan sebelumnya yang bertujuan untuk menjadi pedoman hidup umat manusia di dunia dan akhirat dalam mencapai tujuan kebahagiaan yang hakiki lahir dan batin. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut “keluarga”. Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridha dari Tuhan Yang Maha Esa.1 Perkawinan merupakan suatu cara yang ditetapkan Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak demi kelestarian hidupnya. Melaksanakan perkawinan yang sah baik menurut hukum agama dan hukum positif, maka keturunannya akan mengenal orang tua dan nenek moyangnya, kehidupannya adalam bermasyarakat pun akan tenang dan damai, sebab keturunannya jelas dan tidak ada anggota masyarakat yang mencurigakan nasab keturunannya. Dalam kamus umum
1
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cetakan I, (Jakarta : Kencana, 2006), hal. 1.
1
Universitas Sumatera Utara
2
bahasa Indonesia kata kawin diartikan dengan perjodohan laki-laki dengan perempuan yang menjadi suami isteri atau berarti nikah diartikan dengan perkawinan.2 Sehubungan dengan pengertian ini, M.Yahya Harahap memberi Perincian Perkawinan dari Undang-undang No.1 Tahun 1974 Sebagai berikut : 1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri; 2. Ikatan lahir batin ditujukan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera; 3. Dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia serta kekal itu harus berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.3 Sedangkan menurut A.Ridwan Halim, Perkawinan pada dasarnya adalah : a. Hubungan atau ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita ; b. Pada waktu yang sama sebagai suami isteri (asas monogami) ; c. Bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang sejahtera, d. Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.4 Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ada beberapa pengertian perkawinan menurut para ahli, yaitu antara lain : a. Menurut Sulaiman Rasyid bahwa perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.5 b. Menurut Sajuti Thalib bahwa perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci, kuat, dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santunmenyantun, kasih-mengasihi, tentram, dan bahagia;6 2
Wjs Peorwardamita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 2006), hal 95 M.Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003). hal. 11. 4 Abdul Ridwan Halim, Hukum Perdata dalam Tanya jawab, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hal . 35 5 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005), hal. 36. 6 Rothenberg and Mohd.Idris.Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Undangundang Nomor 1Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1999), hal. 49. 3
Universitas Sumatera Utara
3
c. Menurut Rawahul Abu Daud bahwa nikah itu artinya hubungan seksual (setubuh) yang mendasarkan pada Hadist Rasul yang berbunyi : “Dikutuki Allah yang menikah (setubuh) dengan tangannya (onani)”.7 d. Menurut Ibrahim Hosen, nikah menurut asli dapat juga berarti aqad, dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti lain ialah bersetubuh (Syafi’i).8 Menurut Hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. “Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan materil”. 9 Perkawinan secara Islam dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum Islam yaitu melaksanakan ikatan persetujuan (akad) antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama. Perkawinan itu bagi yang bersangkutan yaitu suami istri, bagi masyarakat pada umumnya merupakan suatu hal yang penting, karena menentukan mulai saat kapan terjadinya suatu perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum yang mengandung segala akibat hukumnya.
7 Yunus Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Cetakan ke 6 (Jakarta : Al Hidayah, 2000), hal. 1. 8 Ali Hosien Hakeem, Membela Perempuan, (Jakarta : Al-Huda, 2005), hal. 255 9 Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, (Medan: Universitas Al-Azhar, 2010), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
4
Sebuah perkawinan, menurut kedua tata aturan di atas, akan dianggap sah manakala dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pemerintah yang membidangi perkawinan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa: “Tiaptiap perkawinan dicatata menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku”, sementara dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalam Pasal 5 : 1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. 2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang No. 32 Tahun 1954. Pencatatan perkawinan dalam pasal-pasal tersebut di atas bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi untuk melindungi kaum wanita dalam kehidupan rumah tangga.10 Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah,
10
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 107.
Universitas Sumatera Utara
5
yang masing-masing suami-isteri mendapat salinannya, sehingga apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka sebagai akibat dari ketidak konsistenan salah satu pihak untuk mewujudkan tujuan perkawinan membentuk keluarga sakinah, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing, karena dengan akta tersebut suami-isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Di antara sekian masalah yang menyangkut hubungan antar manusia atau dalam perspektif Agama Islam dikenal dengan istilah muamalat duniawiyat, masalah perkawinan (munakahat) dengan segala persoalan yang berada di sekitarnya mendapatkan perhatiannya yang istimewa.11 Persoalan Perkawinan dengan perempuan (wanita) yang di ceraikan diluar Pengadilan, Undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974, memberikan pengertian dari talak ialah putusnya perkawinan atas kehendak suami karena alasan tertentu dan kehendaknya itu dinyatakan dengan ucapan tertentu. Tidak dapat dikatakan dengan lisan dan juga dengan tulisan, sebab kekuatan penyampaian baik melalui ucapan maupun tulisan adalah sama.12 Perbedaannya adalah jika talak disampaikan dengan ucapan, maka talak itu diketahui setelah ucapan talak disampaikan suami. Penyampaian talak dengan lisan diketahui setelah tulisan tersebut terbaca, pendapat ini disepekati oleh mayoritas ulama. 11
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2004), hal. 206. 12 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam. (Penerbit Jakarta : Attahiriyah, 1996), hal. 197.
Universitas Sumatera Utara
6
Berdasarkan nash-nash, baik al-Qur'an maupun as-Sunnah, Islam sangat menganjurkan perkawinan kaum Muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnah, haram, makruh, ataupun mubah. 1. Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan perkawinan, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan itu pun wajib. 2. Melakukan perkawinan yang hukumnya sunnah Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kain tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah. 3. Melakukan perkawinan yang hukumnya haram Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarkan dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram. Sesuai dengan firman Allah yang dikutip dalam surat al-Baqarah ayat 195 melarang orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan. Yang artinya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (QS. al-Baqarah (2):195) 4. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak
Universitas Sumatera Utara
7
memungkinkan dirinya terjerumus dalam perbuatan zina sekiranya tidak kawin. Dan orang tersebut tidak mempnyai kerajinan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik. 5. Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. 13 Pada prinsipnya, kehidupan rumah tangga harus didasari oleh mawaddah, rahmah dan cinta kasih, yaitu bahwa suami istri harus memerankan peran masingmasing, yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Di samping itu harus juga diwujudkan keseragaman, keeratan, kelembutan dan saling pengertian satu dengan yang lain sehingga rumah tangga menjadi hal yang sangat menyenangkan, penuh kebahagiaan, kenikmatan dan melahirkan generasi yang baik yang merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang tua mereka. Karena itu “ikatan antara suami istri” adalah ikatan paling suci dan paling kokoh. Dan tidak ada sesuatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu, lain dari pada Allah sendiri, yang menamakan ikatan perjanjian antara suami istri dengan “mitsaqan-ghalizhan” (Perjanjian yang kokoh). Talak Menurut aturan Islam, diibaratkan seperti pembedahan yang menyakitkan, manusia yang sehat akalnya harus menahan sakit akibat lukanya, dia
13
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka Setia), hal.31-36, 2011
Universitas Sumatera Utara
8
bahkan sanggup diamputasi untuk menyelamatkan bagian tubuh lainnya sehingga tidak terkena luka atau infeksi yang lebih parah. Jika perselisihan antara suami dan istri tidak juga reda dan rujuk (berdamai kembali) tidak dapat ditempuh, maka talak adalah jalan “yang menyakitkan” yang harus dijalani. Jadi talak adalah hak prerogatif suami yang bisa dijatuhkan kapanpun dan dimanapun bahkan tanpa alasan sekalipun. Oleh karena itu apabila suami belum menjatuhkan talak di luar Pengadilan Agama, maka talak yang dijatuhkan di depan Hakim Agama itu dihitung talak yang pertama dan sejak itu pula dihitung 'iddahnya. Jika suami telah menjatuhkan talak di luar Pengadilan Agama, maka talak yang dijatuhkan di depan Hakim Agama itu merupakan talak yang kedua dan seterusnya jika masih dalam waktu 'iddah raj'iyyah.14 Talak secara bahasa (etimologi) dalam istilah hukum Islam disebut dengan “At-Talak” yang bermakna meninggalkan atau memisahkan,15 ada juga yang memberikan makna lepas dari ikatannya,16 secara umum talak diartikan sebagai perceraian dalam Hukum Islam antara suami dan istri atas kehendak suami.17 Talak/perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut “talak” atau “furqah” adapun arti dari pada talak ialah membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan furqah artinya bercerai. kedua kata itu dipakai oleh para ahli fiqih sebagai satu istilah yang berarti bercerai antara suami isteri. Maka talak dapat berarti : 14
Ibid, hal. 128 Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta Multi Karya Grafika, 2003), hal. 1237. 16 Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, (SurabayaPustaka Progesif, 1997), hal 861 17 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Cet ke 3( Jakarta : Ihtiar Baru Van Hoeve,, 2001). hal. 1776 15
Universitas Sumatera Utara
9
a. Menghilangkan ikatan perkawinan atau rnengurangi keterikatannya dengan menggunakan ucapan tertentu. b. Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri. c. Melepaskan ikatan perkawinan dengan ucapan talak atau yang sepadan dengan itu. Menurut Syekh Muhamad bin Qosim Al Ghozy dalam sebuah kitabnya yang berjudul Fathul Qorieb memberikan pengertian talak sebagai nama bagi suatu pelepasan tali pernikahan,18 pendapat ini hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Syekh Zainudin ibnu Syekh Abdul Aziz dalam kitabnya Fathul Mu’in, dalam kitab tersebut talak diartikan sebagai cara melepaskan ikatan akad nikah dengan lafadz tertentu.19 Imam Madzhab, Imam Syafi’I berpendapat bahwa talak ialah melepaskan akad nikah dengan lafadz talak atau yang semakna dengan itu, sedangkan Hanafi dan Hambali memberikan pengertian talak sebagai suatu pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau untuk masa yang akan datang dengan lafal khusus, pendapat lain yang memberikan pengertian talak secara lebih umum dikemukakan oleh Imam Maliki yang mengartikan talak sebagai suatu sifat hukum khusus yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.20 Kata talak berasal dari bahasa Arab artinya menurut bahasa melepaskan ikatan. Adapun talak menurut istilah syariat 18 Syekh Muhamad bin Qosim Al Ghozy, Fathul Qorieb, Jilid 2, (Jakarta : Alih Bahasa Ahmad Sunarto, Al Hidayah, 1992), hal 63. 19 Syekh Zainudin ibnu Syekh Abdul Aziz, Fathul Mu’in, (Surabaya : Alih Bahasa, Ali As’ad, Al Hidayah, 2000), hal. 135. 20 Ibid, hal. 135.
Universitas Sumatera Utara
10
Islam ialah melepaskan atau membatalkan ikatan pernikahan dengan lafadz tertentu yang mengandung arti menceraikan.21 Dasar hukum talak adalah Putusnya perkawinan yang diatur dalam; 1. Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2. Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 199 KUH Perdata. 3. Pasal 113 sampai dengan Pasal 128 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pengaturan tentang hal ini juga ditemui dalam Al Qur'an maupun dalam Hadist. Dasar hukum perceraian/talak dalam Al Qur'an ayat 232 Surah Al Baqarah disebutkan pula mengenai perceraian, yang artinya:“Dan apabila kamu mentalak istri-istri mu lalu mereka sampai kepada waktu yang mereka tunggu, maka janganlah kamu (hai para wali) menghambat mereka dari menikahi kembali bekas-bekas suami mereka (yang telah menceraikannya) apabila mereka telah ridlomeridloi di antara mereka secara ma’ruf”. Asbabul nuzul ayat ini adalah mengenai kejadian yang dialami oleh sahabat Nabi yang bernama Ma’qil. Pada suatu ketika saudara perempuan Ma’qil bercerai dari suaminya, setelah habis masa iddahnya mereka ingin rujuk kembali, Ma’qil melarang saudara perempuannya tersebut, maka turunlah ayat tersebut.22 Alasan-alasan terjadinya talak disebut Dalam Pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 dan Pasal 110 komplikasi hukum Islam disebutkan tentang alasan-alasan yang
21 22
Op Cit, hal. 197. WJS. Poerwodarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Loct. Cit , hal. 465
Universitas Sumatera Utara
11
diajukan oleh suami atau istri untuk menjatuhkan talak atau gugatan perceraian ke pengadilan. Alasan-alasan itu adalah sebagai berikut : 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. 6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 7. Suami melanggar Ta’lik Talak. 8. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga Meskipun Islam mensyari’atkan perceraian tetapi bukan berarti Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Perceraian tidak boleh dilakukan setiap saat yang dikehendaki meskipun diperbolehkan, tetapi Agama Islam tetap memandang bahwa adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas Hukum Islam. Dalam hal thalak itu dibedakan atas dua klasifikasi, yaitu ada perceraian yang hanya dapat dilakukan melalui keputusan Hakim dan perceraian yang dapat dilakukan tanpa melalui keputusan Hakim (perceraian dibawah tangan). Namun UU No. 1 Tahun 1974 KHI tidak membenarkan adanya perceraian dibawah tangan (luar pengadilan). sedangkan fasakh juga dibedakan atas dua klasifikasi, yaitu fasakh yang
Universitas Sumatera Utara
12
hanya dapat keputusan hakim (perceraian di bawah tangan), walaupun UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI tidak membenarkannya.23 Fasakh ialah membatalkan atau pembubaran akad nikah disebabkan oleh kecacatan yang berlaku pada waktu akad atau kecacatan yang mendatang selepas berlakunya akad nikah yang menghalang kekalnya perkahwinan, fasakh tidak boleh dirujuk semula. Jika ingin bersatu semula hendaklah dengan akad yang baru.24 talak adalah salah satu perbuatan hukum berupa pemutusan hubungan perkawinan dari pihak suami terhadap pihak istri.25 Hal ini dapat kita lihat dalam Hadist Nabi yaitu “Perbuatan halal tetapi yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah perceraian.” Pelaksanaan perceraian itu harus berdasarkan pada suatu alasan yang kuat; karena ini merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh suami istri; Suatu perkawinan dapat putus dikarenakan beberapa sebab berikut : a. Kematian salah satu pihak b. Perceraian baik atas tuntutan suami maupun istri c. Karena putusan pengadilan. Walapun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan, bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan. Namun oleh karena ketentuan ini lebih banyak
23
Ibid, hal. 141. Nazaruddin, Peranan Janda dalam Pandangan Masyarakat dan Kosekuensinya terhadap Nafkah Anak, Jurnal Ilmiah Hukum Perkawinan, (Lhokseumawe, Unimal, 2012), hal. 10 25 Ibid, hal. 76. 24
Universitas Sumatera Utara
13
mendatangkan kebaikan maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan ini.26 Dengan demikian perceraian yang sah menurut Hukum Perkawinan adalah perceraian yang dilakukan di Mahkamah Syar’iyah. Lembaga tahkim ini bertugas menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara orang Islam. Perkawinan dengan Perempuan yang diceraikan diluar Pengadilan hal ini sangat merugikan pihak perempuan, karena perceraian dengan mantan suaminya tersebut tidak dapat memberikan kepastian hukum terdapat perempuan itu sendiri dan anak-anaknya. Hak-hak perempuan dan anak yang ditinggalkan pun tidak terjamin secara hukum. dan bagi laki-laki yang menikahi perempuan yang diceraikan diluar Pengadilan. Oleh karena itu, perlu adanya campur tangan pemerintah yang sepenuhnya diserahkan kepada pangadilan guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Putusnya perkawinan karena perceraian, diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Jika suatu rumah tangga mengalami perceraian pasti akan menimbulkan akibat yang merugikan semua pihak tanpa terkecuali, terlebih lagi jika di dalam rumah tangga tersebut telah mendapatkan keturunan anak-anak yang masih kecil, sehingga karenanya tidak jarang terjadi anak yang tidak berdosa ikut menjadi korban, kehidupan dan pendidikan mereka menjadi terlantar.
26
Abdul Aziz Dahlan, Op.Cit. hal. 177
Universitas Sumatera Utara
14
Khusus di Kota Banda Aceh, yang terdiri dari 9 Kecamatan dan 91 Gampong (Desa), untuk melihat ada atau tidaknya perceraian yang dilakukan di luar pengadilan, dalam hal ini ditemukan informasi langsung dari Masyarakat, pada Kecamatan Ulee Kareng ada sebagian masyarakat yang masih melaksanakan perceraian tidak sesuai aturan hukum, yaitu melaksanakan proses perceraian di luar sidang pengadilan, menjadi pertanyaan, berapa persentase perceraian di luar pengadilan yang di laksanakan di kecamatan Ulee Kareng, dan faktor penyebab terjadinya perceraian di luar pengadilan serta bagaimana pandangan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam jika terjadi perceraian di luar pengadilan, untuk menjawab hal ini dalam penulisan tesis kedepan penulis akan, menggunakan metode penelitian deskriptif analitis, yang ditempuh dengan cara penelitian lapangan dengan proses wawancara, angket serta penelitian kepustakaan. Menurut
tokoh
masyarakat
dalam
Kecamatan
Ulee
Kareng
yang
melaksanakan perceraian tidak di depan pengadilan, hampir mencapai 25 persen dari total pelaksanaan perceraian. Hal ini terjadi karena masih rendahnya pendidikan masyarakat, kurangnya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum, juga karena masyarakat masih awam terhadap proses perceraian di pengadilan, yang menurut mereka sangat berbelit-belit dan menghabiskan waktu yang sangat lama serta dana yang dikeluarkan sangat banyak.27
27
Hasil wawancara dengan Muhammad, Tokoh Agama Masyarakat Bidang Hukum Perkawinan, Dalam Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, tanggal 13 Mei 2013
Universitas Sumatera Utara
15
Persoalan yang muncul adalah bahwa masih banyak terjadi kasus-kasus perceraian di luar pengadilan, perceraian hanya cukup dilakukan melalui seorang aparat Desa yang bisa mengurus Perceraian warganya atau melalui tokoh dan pemuka agama setempat. Muhammad memberikan sebuah gambaran contoh perceraian di luar pengadilan yang terjadi dalam masyarakat kecamatan Ulee Kareng, Pasangan yang bercerai Iskandar Zulkarnain (nama samaran), umur 36 tahun, Jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, agama Islam, Perkerjaan Tukang, tempat tinggal Desa Ilie Ulee Kareng, menceraikan istrinya Nurma (nama Samaran), umur 30 tahun, Jenis kelamin perempuan, kebangsaan Indonesia, agama Islam, Pekerjaan Ibu Rumah Tangga. Di kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh mayoritas masyarakat beragama Islam, memiliki sifat dan semangat kekeluargaan yang cukup tinggi sehingga jika sengketa dalam rumah tangga selalu diselesaikan secara kekeluargaan.28 Perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Ulee Kareng Banda Aceh tidak dilakukan di depan sidang pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Muhammad salah satu tokoh agama sekaligus merangkap sebagai penghulu di kecamatan Ulee Kareng bahwa perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Ulee Kareng hanya dilakukan dirumah dengan cara seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya “aku pulang engkau kepada orang tuamu atau aku ceraikan engkau sekarang dan pada saat itu jatuhlah talak atau cerai”. Perceraian di kecamatan Ulee Kareng hanya dilakukan oleh tokoh masyarakat terutama tokoh adat
28
Hasil wawancara dengan Muhammad, Tokoh Agama Masyarakat Bidang Hukum Perkawinan, Dalam Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, tanggal 13 Mei 2013.
Universitas Sumatera Utara
16
dan tokoh agama saja sekaligus mereka menfasilitasi akan terjadinya perceraian. Dalam hal perceraian ini tokoh masyarakat memandang sah perceraian tersebut walau tidak dilakukan di depan pengadilan.29 Realita membuktikan bahwa pengakuan keabsahan perceraian (talak) di luar pengadilan justru menyuburkan perceraian secara sepihak oleh suami. Isteri yang berada dalam posisi yang lemah tidak mempunyai daya tawar yang sebanding Dalam hal ini, tampak kembali ke pemahaman fikih klasik, bahwa suami mempunyai hak mutlak untuk menjatuhkan talak kapan pun dan di mana pun, bahkan tanpa seorang saksi pun. Hal itu berbeda dengan Hukum Islam (peraturan perundangan) di Indonesia, bahwa cerai talak yang asalnya dalam fikih klasik sifat perkaranya mirip volunter ditingkatkan menjadi gugat contentiosa dengan ketentuan: suami sebagai pemohon yang berkedudukan sebagai "penggugat" dan isteri sebagai termohon yang berposisi sebagai "tergugat" dan proses pemeriksaannya berdasar atas asas audi et alteram partem. Dengan model dan sistem pembaharuan Hukum Islam di Indonesia seperti ini, maka kepentingan kedua belah pihak, terutama isteri dan anak, bisa lebih terlindungi. Sehingga, perceraian di luar pengadilan apalagi lewat SMS diharapkan tidak terjadi lagi karena umat sudah tercerahkan. Sebagai bahan masukan awal telah dilakukan wawancara Via Telepon dengan Hanifah, Panitera, Mahkmah Syar’iyah Kota Banda Aceh, Menurut Panitera Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh, akibat yang
29
Hasil wawancara dengan Muhammad, Tokoh Agama Masyarakat Bidang Hukum Perkawinan, Dalam Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, tanggal 13 Mei 2013.
Universitas Sumatera Utara
17
ditimbulkan disebabkan perceraian diluar pengadilan yaitu tidak adanya legalitas hukum terhadap perceraian yang dilaksanakan, istri tidak bisa mendapatkan dan menuntuk haknya pasca terjadinya perceraian dan anak-anak yang menjadi korban perceraian menjadi terlantar.30 Dengan demikian diharapkan kepada masyarakat untuk sadar dan taat hukum dengan melaksanakan perceraiannya di depan sidang pengadilan. Kepada aparatur gampong dan tokoh masyarakat untuk selalu mengawasi masyarakatnya dalam melaksanakan proses perceraian, dan kepada Mahkamah Syar’iyah untuk mengadakan penyuluhan hukum tentang proses perceraian di pengadilan agar tidak ada lagi masyarakat yang melaksanakan proses perceraian di luar pengadilan. Oleh karena itu kalau ada orang yang membolehkan perceraian di luar Pengadilan itu hanya pendapat orang yang picik, orang yang hanya menuruti keinginan hawa nafsunya saja, dalam fikirannya hanya terlintas bagaimana cara mendapatkan perempuan-perempuan cantik dan lebih muda, diceraikan bila sudah bosan diganti dengan yang baru begitu seterusnya, Perceraian seperti inilah yang akan membawa kemadharatan bagi perempuan ataupun anak-anak, serta tidak dikehendaki oleh syari‟ah. hukum itu membawa kepada kemaslahatan, maka aturan /hukum itu harus dijadikan sebagai pegangan, dengan kriteria; 1. Tidak bertentangan dengan maqashid al-syari‟ah yang dharuriyyah, hajiyyat dan tahsiniyat, 2. Rasional, dalam arti bisa diterima oleh orang cerdikiawan-cendikiawan (ahl al-dzikr), 30
Hanifah, Panitera, Mahkmah Syar;iyah Kota Banda Aceh, Wawancara Via Telepon, tanggal 13 Mei 2013
Universitas Sumatera Utara
18
3. Menghilangkan raf‟ al haraj“.31 Alasan mengkaji permasalahan ini adalah untuk menunjukkan besarnya pengaruh hukum figh tradisional di Aceh, sehingga banyak timbul tidak adanya kesatuan masyarakat muslim untuk tunduk dan patuh pada Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, hal inilah yang mendorong untuk dilakukan penelitian terkait dengan adanya perempuan yang diceraikan diluar pengadilan oleh laki-laki. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang merupakan permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah : 1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian di luar Pengadilan ? 2. Bagaimana keabsahan perkawinan selanjutnya yang dilakukan perempuan yang diceraikan suaminya di luar pengadilan dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif ? 3. Bagaimana akibat hukum perceraian yang dilakukan diluar pengadilan menurut ketentuan hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
31
Asy-Syathibi. Al-Muwafaqat fi Ushulisy Syari‟ah. (Al-Maktabah al-Tijariyah Mesir, 2007)
hal. 172.
Universitas Sumatera Utara
19
1. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian di luar Pengadilan. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis keabsahan perkawinan selanjutnya yang dilakukan perempuan yang diceraikan suaminya di luar pengadilan dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum perceraian yang dilakukan diluar pengadilan menurut ketentuan hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia. D. Manfaat Penelitian 1.
Secara Teoritis. yaitu Sebagai bahan untuk menambah khasanah keilmuan bagi para akademisi dan dunia pendidikan pada umumya, khususnya di bidang Hukum Perkawinan mengenai Perkawinan dengan Perempuan yang diceraikan diluar Pengadilan.
2.
Secara Praktis. Menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum yang berkembang di masyarakat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi Masyarakat.
E. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran kepustakaan, khususnya di perpustakaan Fakultas Hukum dan pada Program Pascasarjana Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara penelitian tentang “PERKAWINAN DENGAN PEREMPUAN YANG DICERAIKAN DILUAR PENGADILAN (Studi di Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh)” tidak ditemukan judul penelitian yang sama, namun ada sebuah judul yang
Universitas Sumatera Utara
20
mirip, tetapi tidak sama Permasalahannya, adalah penelitian yang dilakukan oleh Muslim Mohd judul Tesis Perceraian di Bawah Tangan di Tinjau dari Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (Studi di kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau Program Pascasarjana USU Medan tahun 2000) dengan rumusan masalah: a. Apa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian dibawah tangan di Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar Riau. b. Apakah perceraian dibawah tangan dapat dilakukan oleh suami dan isteri dengan menggunakan bentuk-bentuk perceraian yang ditetapkan dalam hukum Islam. c. Bagaimanakah kedudukan perceraian dibawah tangan ditinjau dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian penelitian ini dapat disebut asli dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional dan objektif serta terbuka. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Teori adalah merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangkan
melalui proses penelitian yang dimaksud untuk memberikan gambaran dan menjelaskan suatu masalah.32 Menurut Neuman “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai
32
Ibid, hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
21
ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.” 33 Dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengertian teori adalah: 1. Pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. 2. Penyelidikan eksperiment yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi dan argumentasi.34 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman dan petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati
35
. Sedangkan kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, mengenai suatu permasalahan yang menjadi dasar perbandingan atau pegangan teoritis.36 Teori dipergunakan untuk menjelaskan secara teoritis antara variable yang sudah diputuskan untuk ditelitit khususnya hubungan antara variable bebas (independent) dan variable tak bebas (dependent). Telaah teoritis dan temuan penelitian yang relevan berfungsi menjelaskan permasalahan dan menegakkan prediksi dan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian.37 Dalam Penelitian ini mengunakan teori keadilan yang dipergunakan sebagai pisau analisis (grand
33
W.L Neuman, Social Research Methods, (Allyn dan Bacon, London, 2004), cet 6, hal. 20 Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai Pustaka, 2002) hal. 1177 34
35
Lexy Moleog, Metodologi Penelitian Kuantitatif (Bandung; Remaa Rosdakarya, 2002) hal. 35
36
M. Soly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung; Mander Man, 1994) hal. 80 Agusri Pasaribu, Metodolodi Nomotetik dan Idiografi serta Triangalasi (Medan: Perpustakaan USU, 1998) hal. 7 37
Universitas Sumatera Utara
22
theory) penelitian ini juga akan didukung dengan teori maslahat mursalah serta teori positif dan teori kepastian hukum. Teori-teori ini mempunyai nilai sangat penting dalam memecahkan masalah dan mempunyai keterkaitan satu sama lainnya. Teori Keadilan diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. Yang kemudian oleh John Rawls yang hidup pada awal abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial,38 Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah: 1. Jaminan stabilitas hidup manusia, dan; 2. Keseimbangan kehidupan pribadi dan kehidupan bersama. Carl Joachim Friedrich mengatakan, Teori Keadilan dalam Pandanganpandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.39
38
John Rawls, Modern Jurisprudensi, ( Kuala Lumpur: Internasional Law Book Review, 1994) hal, 278 39 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004), hal 239.
Universitas Sumatera Utara
23
Dalam hal ini penulis mencoba membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Sesungguhnya, konsep bimbingan natural atau universal membuktikan tanggung jawab manusia dalam mengembangkan pengertian tajam persepsi moral dan spiritual serta motivasi, yang akan membawa kepada penegakan keadilan di muka bumi. bahwa Al-Quran menganggap manusia seluruhnya sebagai satu bangsa berhubung dengan bimbingan unuversal sebelum bimbingan khusus melalui para Nabi diturunkan: Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Al-Baqarah: 213). Para sarjana seringkali menyamakan keadilan Ilahiah dengan keadilan natural, tetapi, tidak seperti pakar-pakar hukum natural yang memperhatikan hubungan keadilan dengan masyarakat, faqih-faqih memusatkan usaha mereka pada konsep keadilan dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan dan menghubungkannya dengan nasib manusia. Alim-alim tersebut berpendapat bahwa keadilan Ilahiah merupakan
Universitas Sumatera Utara
24
tujuan akhir dari wahyu islam, yang diungkapkan dalam bentuk awalnya dalam hukum-hukum islam yang suci (syari`ah). 40 Teori keadilan dalam Islam pertama kali didiskusikan sebagai persoalan teologi tentang keadilan ilahiyah yang melahirkan dua mazhab yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah. Mu`tazilah menyatakan bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Baik dan buruk merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar. 41 Disamping teori keadilan diatas, juga digunakan Teori Maslahat Mursalah yaitu: maslahat yang secara ekplisit tidak ada satu dalil pun baik yang mengakuinya ataupun yang menolaknya, Teori Maslahat Mursalah ini sejalan dengan syara yang dapat di jadikan pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dibutuhkan manusia serta terhindar dari kemudratan. Maslahat Mursalah yang dimaksud dalam teori ini adalah maslahat dhawriyah yaitu maslahat yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama/keyakinan, maupun dunia. Jika ia luput dari kehidupan manusia maka rusaklah tatanan kehidupan manusia itu sendiri. Yang termasuk dalam kategori maslahat dharuwiyah adalah terjamin dan terpelihara; agama, akal, keturunan, harta dan jiwa.42 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa :
40
Ibid, hal, 34 Ibid, hal, 41 42 Muhammad Abu Zahra, ibn Taymiyah, Hayatutu wa Asrintiv Wa Ara, Uhu Wafiquhu, (Mesir Al-Fiqh Al –Islam, … ), hal. 495 41
Universitas Sumatera Utara
25
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak Pengadilan memberi keputusannya. 2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, dan bila ternyata dalam kenyataannya bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul kewajiban tersebut. 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Digunakan pula teori positif dalam penulisan ini juga, yaitu sebagaimana yang dipelopori oleh Jhon Austin. Hukum itu sebagai a command of the law giver (perintah dari pembentuk hidup terhadap atau penguasa) yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu system yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilailan baik buruk.43 yang dinamakannya sebagai hukum mengandung di dalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan. Sedangkan Teori Kepastian Hukum di Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum sedang mengalami masa transisi, yaitu sedang terjadi perubahan nilai-nilai dalan masyarakat dari nilai-nilai yang bersifat tradisional ke nilai-nilai yang modern.44 Namun, masih terjadi persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai baru yang akan menggantikannya. Sudah barang tentu dalam proses perubahan ini akan banyak dihadapi hambatan-hambatan yang kadang43
Lili Rasyidi dan Ina Thania Rasyidi, Pengantar Filsafat Hukum (Bandung; Mander Majak, 2002), hal. 55 44 Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjid, Dasar-Dasar Filsafat Hukum dan Teori Hukum, Citra Aditya, hal 80 -81 dalam Tentang bagaimanakah hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat indonesia, Soejarno Soekanto menjelaskannya pada pengantar Sosiologi Hukum, Op. Cit, hal. 20
Universitas Sumatera Utara
26
kadang akan menimbulkan keresahan-keresahan maupun kegoncangan di dalam masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja misalnya, mengemukakan beberapa hambatan utama seperti jika yang akan diubah itu identik dengan kepribadian nasional, sikap golongan intelektual dan pimpinan masyarakat yang tidak mempraktekkan nilai-nilai yang dianjurkan di samping sifat heterogenitas bangsa Indonesia, yang baik tingkat kemajuannya, agama serta bahasanya berbeda satu dengan yang lainnya.45 Menurut Roscoe Pound salah seorang pendukung Socialogical Jurisprudence mengatakan, hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering), tidak hanya sekedar melestarikan status quo.46 Kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim untuk kasus serupa yang telah diputus.47 Kepastian hukum adalah merupakan perlindungan
45
Kuntjaraningrat, Pergeseran Nilai-nilai Budaya dalam Masa Transisi termuat dalam Simposium Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi, (Badan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, 2009), hal 25 46 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2004), hal. 197 47 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 158.
Universitas Sumatera Utara
27
yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.48 Menurut Scheltema, adanya unsur-unsur dalam kepastian hukum, meliputi: 1. 2. 3. 4.
Asas legalitas; Adanya undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, sehingga warga dapat mengetahui apa yang diharapkan; Undang-undang tidak boleh berlaku surut; Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain.49
2.
Konsepsi Konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Bagian landasan konsepsi ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hak-hak yang khusus disebut dengan definisi operasional.50 Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah: a. Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. 51
48
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999),
hal. 145. 49 Ida Bagus Putu Kumara Adi Adnyana, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, (Malang: Disertasi Program Dokor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitar Brawijaya, 2010), hal. 95. 50 Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1998), hal 31 51 Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdor, Loc. Cit, hal. 1237.
Universitas Sumatera Utara
28
b. Perceraian dalam istilah hukum Islam disebut dengan “At-Talak” yang secara bahasa (etimologi) bermakna meninggalkan atau memisahkan,52 ada juga yang memberikan makna lepas dari ikatannya, secara umum talak diartikan sebagai perceraian dalam Hukum Islam antara suami dan istri atas kehendak suami.Perceraian bisa juga diartikan sebagai suatu cara yang sah untuk mengakhiri suatu perkawinan.53 c. Perceraian diluar pengadilan ialah melepaskan ikatan perkawinan dibawah tangan tanpa/bukan di depan pengadilan yang hanya disaksikan oleh dua orang saksi dan tidak memiliki akibat hukum menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia.54 d. Kompilasi
Hukum
Islam
adalah
hukum
nasional
Pengadilan
Agama/Mahkamah syariah yang terkodifikasi dan unifikasi yang pertama saat ini dan diperlukan untuk landasan rujukan setiap keputusan pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.55 e. Janda adalah seorang perempuan yang telah diceraikan/bercerai atau meninggal suaminya dan belum melangsungkan pernikahan kembali dengan laki-laki lain. 56 f. Fasakh ialah membatalkan atau pembubaran akad nikah disebabkan oleh kecacatan yang berlaku pada waktu akad atau kecacatan yang mendatang selepas berlakunya akad nikah yang menghalang kekalnya perkahwinan, 52
Ahmad Warson Munawir, Loc. Cit, hal. 861 Abdul Aziz Dahlan, Op.Cit., hal. 177 54 Lihat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia 55 Muhammad Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam (Medan, M.Kn USU,2006), hal.11 56 Nazaruddin, Loc Cit, hal. 10
53
Universitas Sumatera Utara
29
fasakh tidak boleh dirujuk semula. Jika ingin bersatu semula hendaklah dengan akad yang baru.57 g. Talak adalah salah satu perbuatan hukum berupa pemutusan hubungan perkawinan dari pihak suami terhadap pihak istri. G. Metode Penelitian. Dalam penelitian ini metode merupakan unsur paling utama dan didasarkan pada fakta dan pemikiran yang logis sehingga apa yang diuraikan merupakan suatu kebenaran. Metodologi penelitian adalah ilmu tentang metode-metode yang akan digunakan dalam melakukan suatu penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan, menelaah dan menjelaskan mengenai memberi penilaian terhadap perilaku sebagian masyarakat yang melakukan perkawinan dengan perempuan yang bercerai diluar pengadilan. Penulisan tesis akan mempunyai nilai ilmiah jika berpatokan pada syarat-syarat metode ilmiah, karena penelitian merupakan alat atau sarana utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut maka sangat perlu diadakan analisis dan konstruksi terhadap data-data yang telah dikumpulkan dan diolah. Penelitian ini nanti merupakan suatu proses yang dilakukan secara terencana dan sistematis yang diharapkan berguna untuk memperoleh pemecahan permasalahan yang ada. Adapun data tersebut diperoleh dengan melakukan pendekatan sebagai berikut : 57
Ibid, hal. 12
Universitas Sumatera Utara
30
1. Pendekatan Masalah Penelitian. Sifat Penelitian. Untuk mengumpulkan data dalam Penulisan ini dilakukan dengan penelitian bersifat deskriptif, yaitu memberi penilaian terhadap perilaku sebagian masyarakat yang melakukan perkawinan dengan perempuan yang bercerai diluar pengadilan dan tata cara perkawinan selannjutnya. Dan juga diterapkan adalah Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, yaitu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan meneliti data primer yang ada di lapangan. Aspek yuridis dapat dilakukan dengan meneliti peraturanperaturan hukum yang terkait, Jadi pendekatan yuridis empiris merupakan suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum tentang perkawinan dengan perempuan yang bercerai diluar pengadilan, yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup di tengah-tengah masyarakat langsung. 2. Lokasi Penelitian. Khusus di Kota Banda Aceh, yang terdiri dari 9 Kecamatan dan 91 Gampong (Desa), Lokasi penelitian dipilih di Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh, dengan alasan didaerah ini terdapat hampir setiap tahunnya terjadi perceraian yang dilakukan diluar pengadilan. Kecamatan Ulee Kareng terdiri dari 9 Gampong, dan setiap gampong dipilih 25 orang sebagai sampel penelitian ini. Dari sampel tersebut nantinya akan diketahui berapa jumlah orang yang melakukan perceraian, baik perceraian di pengadilan maupun perceraian diluar pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
31
3. Teknik Pengumpulan Data. Dilakukan dengan pengumpulan bahan-bahan hukum tersebut adalah menginventarisasi bahan-bahan hukum yang berhubungan mengenai perkawinan dengan perempuan yang bercerai diluar pengadilan. Adapun bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari : a. Bahan hukum primer. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoriatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer mempunyai kekuatan yang mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, berupa peraturan perundangundangan dan Peraturan lainnya. b. Bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, makalah, dan media cetak atau elektronik. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah yang merupakan publikasi tentang hukum yang bukan dokumen resmi, seperti hasil seminar atau pertemuan ilmiah yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan hukum tersier. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan untuk melengkapi data dalam penelitian ini, yaitu seperti kamus
Universitas Sumatera Utara
32
umum, kamus hukum, majalah-majalah, dan internet.58 serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang berkaitan guna melengkapi data. 4. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, Deskritif analisis dalam arti bahwa penulisan ini mempunyai tujuan untuk menggambarkan, menelaah dan menjelaskan mengenai perkawinan dengan perempuan yang bercerai diluar pengadilan. Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.59. pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) yaitu melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian serta ditunjang conceptual approach dan comperatif approach untuk kemudian secara integral distrukturisasi melalui pendekatan system untuk pembahasannya. 5. Alat Pengumpulan Data. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 2 (dua) cara, yaitu: (1) studi pustaka, dan (2) wawancara. Studi pustaka digunakan dalam
rangka
pengumpulan
data
skunder.
Pengumpulan
data
dengan
menggunakan studi pustaka ini ditempuh dengan cara mengumpulkan, membaca,
58
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Penerbit Jakarta : Bayumedia, 2005), hal. 340. 59 Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normative, (Penerbit Surabaya: Bayumedia, 2006), hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
33
menelaah, mengkaji, serta mengkritisi ketentuan peraturan perundang-undangan terkait. Sedangkan dalam melakukan penelitian lapangan, alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan menggunakan pedoman wawancara yang memuat data daftar pertanyaan yang akan diajukan secara lisan dan tulisan kepada responden dan narasumber. 6. Analisis Data. Analisis data yaitu merupakan suatu proses atau langkah-langkah dalam pengorganisasian dan mengurutkan bahan hukum yang dikumpulkan pada suatu pola kategori dan satuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan diatas. Jadi, bahan hukum yang diperoleh dari kepustakaan, bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder seperti buku-buku teks, literatur, karya tulis ilmiah dan bahan hukum tersier seperti kamus, tulisan, dan lainlain diuraikan dan dihubungkan begitu rupa sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna membahas dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Universitas Sumatera Utara