BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam adalah ajaran terakhir yang diriwayatkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak ada sesudah rasul itu yang diutus dan tidak terdapat lagi wahyu yang diturunkan untuk mengatur kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Hal ini mengisyaratkan bahwa agama Islam yang dinyatakan sempurna di akhir hayat Rasulullah itu,1 benar-benar membawa ajaran yang memiliki dinamika sangat tinggi, mampu menampung segala persoalan baru yang ditimbulkan oleh perkembangan sosial. Sehubungan dengan itu, terdapat ungkapan yang kerap kali muncul di kalangan pakar hukum Islam yaitu “al sharî’ah al-Islamiyah salihatun li kulli zaman wa makân” (shari’at Islam untuk dipedomani dalam segala waktu dan tempat). Ungkapan itu menjadi sebuah prinsip yang menjadi keyakinan umat Islam sepanjang masa.2 Persoalan yang muncul ialah bahwa pada kenyataannya ayat-ayat alQur’an yang berbicara tentang masalah hukum sangat terbatas jumlahnya (+ 275–
1
Q.S. Al-Maidah (5): 3.
123م د678 ا:;< =>? ورBCDEF :;>GH =DDI وا:;23 د:;< =GDم اآK><ا 2
Nasrun Rusli, Konsep Ijtohad Al-Syaukani: Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 1999), IX.
1
2
500 ayat).3 Sementara itu, juga terdapat kenyataan lain yang tidak dapat dibantah yaitu berkembangnya persoalan sosial yang selalu mendesak dan menimbulkan berbagai corak baru dalam kehidupan masyarakat. Dan kenyataan itulah yang menyebabkan umat Islam selalu dihadapkan kepada suatu tantangan, apakah relevansi hukum Islam itu dapat dibuktikan ke dalam realita kehidupan yang selalu berkembang di abad penuh tantangan ini?4 Maka di sinilah kehadiran ijtihad sebagai salah satu metode pengambilan hukum (istimbat hukum) syar’i dan sekaligus sebagai sarana pembaharuan hukum Islam terasa sangat signifikan.5 Secara historis, pada dasarnya ijtihad telah tampak pada masa-masa awal Islam, yaitu pada zaman Rasulullah SAW kemudian berkembang pada masa sahabat, tabi’in serta masa-masa generasi berikutnya.6 Ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid sepeninggal Rasulullah SAW adalah merupakan interpretasi terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah sesuai dengan struktur dan konteks perkembangan masyarakat waktu itu dan juga sebagai refleksi logis dari situasi dan kondisi masyarakat di mana ia tumbuh dan
3
Atho’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilmu Press, 1998). 98. Menurut Abd. Al-Wahab Khalaf al-Qur’an terdiri atas 30 (tiga puluh) Juz, 114 (seratus empat belas) surat dan sekitar 6.000 (enam ribu) ayat. Ayat hukum hanya berjumlah 368 ayat. Lihat: Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), 35. 4 Nasrun Rusli, Konsep Ijtohad Al-Syaukani: Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, X. 5 Muhammad Yusuf Al-Qardawi, Membumikan Syari’at Islam (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), 159. 6 Amir Mu’alim dan Yusdani, Ijtihad: Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi (Yogyakarta: Titian Ilmu Illahi Press, 1997), 25.
3
berkembang.7 Kondisi yang demikian ini ditandai dengan munculnya madhab yang mempunyai corak sendiri-sendiri.8 Pemilahan perkembangan ijtihad dan fiqh Islam dari waktu ke waktu di atas terdiri dari beberapa fase. Pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat (dari awal-awal Islam sampai akhir-akhir abad pertama Hijriyah) biasa disebut “fase permulaan dan persiapan fiqh Islam”, sedang masa tabi’in dan dua tiga kurun generasi berikutnya dinamai dengan “fase pembinaan dan pembukaan fiqh Islam” yang berlangsung sekitar 250 tahun, yaitu sejak masa-masa abad pertama hijriyah sampai pertengahan abad ke empat hijiriyah. Pada fase ini fiqh Islam mencapai puncak kejayaan bersama dengan kemajuan dunia Islam hampir semua bidang atau lebih tepatnya periode ini disebut “periode ijtihad dan keemasan fiqh Islam”, pada periode inilah lahir para mujtahid-mujtahid terkenal termasuk empat serangkai imam madhhab.9 Setelah periode ini, dunia ijtihad mengalami kemunduran dan akhirnya fiqh Islam pun menjadi lamban, kalau kurang tepat disebut beku, masa-masa seperti ini disebut “fase kemunduran ijtihad dan kebekuan atau kejumudan fiqh Islam”.10
7
Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, Terj. Husein Muhammad, Cet. 2 (Jakarta: P3M, 1986), 6. 8 Madhhab Hanafi bercorak rasional, Maliki Cenderung Tradisional, al-Shâfi’î yang moderat serta Hambali yang fundamental bukanlah pembawaan kepribadian masing-masing tetapi merupakan refleksi logis dari studi dan kondisi masyarakat di mana fiqh itu tumbuh. Lihat: Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam: Sebuah Pengantar, Cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 63. 9 Empat serangkai imam madhhab tersebut adalah: 1. Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H), 2. Al-Imam MAlik Ibn Anas (93-179 H), 3. Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris Ibn ‘Abbas Ibn Uthmân al-Shâfi’î (150-204 H), 4. Al-Imam Ahmad Ibn Hanbal (164-241 H). Lihat: TM. Hasbi AshShiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 99-106. 10 Mua’lim, Ijtihad, 32-35.
4
Pada masa tabi’in dan dua tiga generasi berikutnya, tepatnya pada keemasan fiqh, sejarah telah mencatat bahwa pada masa ini fiqh tidak sekedar berputar-putar pada masalah-masalah pengambilan hukum atau fatwa fuqaha sahabat, tetapi juga merambah ke dalam persoalan metodologis dan kemungkinan pencarian “rumusan alternatif" bagi pengembangan kajian fiqh. Para Imam madhhab: Imam Abû Hanîfah, Mâlik, al-Shâfi’î dan Ahmad bin Hambal. Masing-masing menawarkan metodologi tersendiri dan kaidahkaidah ujtihad yang menjadi pijakan dan landasan dalam pengembalian hukum.11 Dari perbedaan kaidah-kaidah yang dirumuskan, fatwa-fatwa yang lahir sebagai hasil ijtihad pun banyak berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. Lebih dari itu tidak jarang terjadi seorang ulama yang telah berfatwa tentang suatu kasus kembali mengeluarkan fatwa yang lain terutama ketika berada di daerah yang lain.12 Konsep yang mereka tawarkan bukanlah suatu hal yang final, tetapi dalam batas-batas tertentu, lahirnya madhhab ternyata sangat dipengaruhi faktor-faktor sosial budaya, politik dan kecenderungan para imam yang membentuk karakteristik, teori dan formulasi yang berbeda, meskipun sama-sama berpegang pada al-Qur’an.
11
Mun’im, Sejarah Fiqh, 62. Harun, Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 197. Pernyataan tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ibn Qayyim, bahwa perubahan fatwa adalah karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan kebiasaan. Lihat: FAtchurrahman, Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 164. 12
5
Setelah melewati dari berbagai fase muncullah beberapa aliran, diantaranya adalah aliran neomodernisme Islam yang dipelopori oleh Fazlur Rahman, yaitu seorang cendekiawan muslim yang diusir dari negara asalnya Pakistan dan tinggal di Amerika.13 Kemunculan neomodernisme Islam ini dilatar belakangi oleh sejarah perkembangan Islam itu sendiri. Di satu pihak, modernisme Islam yang lahir di awal abad 20 gagal mempertahankan “kesegaran” pembaharuannya, ketika gerakan ini berkembang menjadi besar. Sikap mereka yang
secara
tegas
menentang
pemikiran
tradisionalis,
telah
semakin
memperkering inspirasi imtelektual. Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya sebagai gerakan pemikiran yang tegas bahkan kaku.14 Sementara di pihak lainnya, tradisionalisme Islam cukup kaya dengan berbagai pemikiran klasik Islam. Akan tetapi justru dengan kekayaan itu, para pendukung pola pemikiran ini menjadi sangat berorientasi pada masa lampau dan sangat
selektif
menerima
gagasan-gagasan
modernisasi.
Akibatnya,
perkembangan dan dinamika pemikiran di kalangan pendukung tradisionalisme bergerak secara lamban. Dengan latar belakang semacam inilah pola pemikiran neomodernisme muncul untuk menjembatani atau bahkan mengatasi dua pola
13
Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Post Modern: Biografi Intelektual 17 Tokoh (Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 2003), 146. 14 Syarif Hidayatullah, Intelekrialisme Dalam Perspektif Neo-Modernisme (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2000), 65.
6
pemikiran konvensional tersebut. Pola pemikiran neomodernisme ini berusaha menggabungkan dua faktor penting, yaitu tradisionalisme dan neomodernisme.15 Kehadiran Fazlur Rahman dalam pola pembaharuan hukum Islam merupakan hembusan angin segar yang mampu membawa perubahan dan harapan. Ia mampu merumuskan suatu metodologi yang sistematis dan komprehensif. Di mana Islam merupakan fokus utamanya, di samping aspekaspek lainnya. Oleh sebab itu dalam mengkaji hukum Islam, Fazlur Rahman selalu membuka pintu lebar-lebar praktek ijtihad. Fazlur Rahman mendefinisikan ijtihad sebagai berikut: “Ijtihad adalah upaya memahami makna suatu teks atau preseden di masa lampau yang mengandung suatu aturan dan mengubah aturan tersebut dengan cara memperluas atau membatasi ataupun memodifikasinya dengan cara-cara yang lain sedemikian rupa sehingga suatu situasi baru dapat dicakup ke dalamnya dengan suatu solusi baru”.16 Implikasi metodologis yang terdapat dalam definisi di atas adalah bahwa teks al-Qur’an dan sunnah dapat dipahami untuk digeneralisasikan sebagai prinsip-prinsip dan prinsip-prinsip tersebut dapat dirumuskan menjadi aturan yang baru. Implikasi metodis yang terkandung di dalamnya adalah bahwa kerja ijtihad meliputi: pemahaman teks dan preseden (sunnah) dalam keutuhan konteksnya di masa lampau. Pemahaman situasi baru yang sedang terjadi sekarang dan pengubahan aturan-aturan hukum yang terkandung di dalam teks atau preseden. Adapun implikasi fungsional dalam definisi tersebut adalah bahwa konsep 15
Ibid., 67. Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intelectual, Terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 2000), 9. 16
7
metodologis dan perumusan metodis tersebut difungsikan untuk upaya pembaharuan hukum Islam sebagai upaya menjawab tantangan situasi baru. Inti metode ijtihad Fazlur Rahman adalah suatu gerakan ganda (the double movement theory), yaitu kembali ke latar belakang sejarah dan sosial dari pernyataan-pernyataan al-Qur’an dan menetapkan makna-makna itu dalam memahami al-Qur’an untuk konteks masa kini.17 Inti gagasan ini adalah pentingnya akar kesejahteraan dan latar belakang sosiologis dari ayat-ayat alQur’an. Berangkat dari latar belakang di atas, terlihat bahwa studi tentang pemikiran hukum neomodernisme Islam Fazlur Rahman merupakan bidang amat menarik dan cukup beralasan. Tertarik dengan kenyataan ini, penulis mencoba mengkaji dan memahami bagaimana sesungguhnya konsep ijtihad menurut Fazlur Rahman serta posisi pemikirannya dan akan penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “ANALISIS IJTIHAD FAZLUR RAHMAN”.
B. Penegasan Istilah Sebelum jauh menguraikan hal-hal yang terkait dengan penelitian ini dan supaya tidak terjadi penafsiran lain dari pembaca mengenai masalah yang ada, maka kami menegaskan istilah sebagai berikut:
17
Ibid., 6.
8
1. Ijtihad, yaitu: pengerahan suatu kemampuan yang ada pada seseorang ahli hukum Islam di dalam menetapkan hukum yang amaliah dari dalil-dalil yang tertafsîlî.18 2. Fazlur Rahman adalah seorang aktifis sekaligus cendekiawan Muslim, lahir di Pakistan berasal dari kalangan keluarga menganut madhhab Hanafi dan telah banyak menyumbangkan pemikiran-pemikirannya tentang pembaharuan hukum Islam.
C. Rumusan Masalah Agar lebih terarah dari segi operasionalnya maupun sistematika penulisan skripsi ini, maka pokok permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep dan metodologi ijtihad Fazlur Rahman ? 2. Bagaimana posisi pemikiran ijtihad Fazlur Rahman terhadap pemikiran dan metodologi ijtihad yang sudah berkembang sebelumnya ? 3. Bagaimana relevansi pemikiran Fazlur Rahman terhadap pengembangan dan pembaharuan hukum Islam kontemporer ?
D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui konsep dan metodologi Islam Fazlur Rahman.
18
Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 95.
9
2. Untuk mengetahui posisi pemikiran ijtihad Fazlur Rahman terhadap pemikiran dan metodologi ijtihad yang sudah berkembang sebelumnya. 3. Untuk
mengetahui
relevansi
pemikiran
Fazlur
Rahman
terhadap
pengembangan dan pembaharuan hukum Islam kontemporer.
E. Kegunaan Penelitian Dalam setiap penelitian diharapkan dapat memberi manfaat. Adapun studi ini diharapkan bermanfaat atau berguna untuk: 1. Kegunaan Keilmuan Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang ushul fiqh. 2. Kegunaan Terapan Sebagai baham kajian untuk dikembangkan lebih lanjut dalam penelitian berikutnya. 3. Kegunaan Akademik Penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana dalam bidang hukum Islam. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Studi ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber utama. Penelitian ini juga termasuk figur historis faktual karena yang diteliti adalah pemikiran seseorang.
10
2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, penulis dalam hal ini berusaha untuk mendeskripsikan tentang konsep dan metodologi ijtihad Fazlur Rahman, posisi pemikiran ijtihad Fazlur Rahman terhadap pemikiran dan metodologi ijtihad yang sudah berkembang sebelumnya dan relevansi pemikiran Fazlur Rahman
terhadap
pengembangan
dan
pembaharuan
hukum
Islam
kontemporer. Dengan proses analis sebagai berikut: memaparkan data-data, menganalisa secara tuntas dan mengambil kesimpulan dari data-data dan analisa yang telah dipaparkan. 3. Sumber Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua sumber data, yaitu: sumber data primer dan sumber data sekunder: a. Sumber data primer adalah buku-buku yang dijadikan rujukan utama penelitian, yaitu buku-buku yang ditulis oleh Fazlur Rahman yang sudah diterjemahkan, yaitu: Islam And Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, Terj. Ahsin Muhammad, Islam, Terj. Ahsin Muhammad. b. Data sekunder adalah buku-buku yang penulis rujuk untuk melengkapi data-data yang tersedia dalam sumber data serta rujukan lain yang relevan dengan pembahasan dalam skripsi ini.
11
4. Teknik Pengolahan Data Untuk pembahasan permasalahan skripsi ini, penulis menggunakan teknik pengolahan data sebagai berikut: a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua data yang terkumpul, terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna, keselarasan satu dengan yang lainnya dan beragam masing-masing dalam kelompok data. b. Organizing, yaitu menyusun data dan sekaligus mensistematis data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah ada dan direncanakan sebelumnya sesuai dengan permasalahannya. c. Penemuan hasil data, yaitu melakukan analisa lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data dengan kaidah dan dalil-dalil, sehingga diperoleh kesimpulan sebagai pemecahan dari rumusan yang ada. 5. Analisa Data Untuk menganalisa data yang telah terkumpul dalam rangka mempermudah pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode: a. Deskriptif, yaitu dengan memaparkan sedetail mungkin konsep dan metodologi ijtihad Fazlur Rahman dan posisi pemikiran ijtihad Fazlur Rahman terhadap pemikiran dan metodologi ijtihad yang sudah berkembang sebelumnya, serta relevansi pemikiran Fazlur Rahman terhadap pengembangan dan pembaharuan hukum Islam kontemporer.
12
b. Induktif, yaitu yaitu menggunakan data yang diperoleh dari data yang bersifat khusus kemudian diakhiri dengan kesimpulan yang bersifat umum. c. Deduktif, yaitu menggunakan data yang bersifat umum atas dalil-dalil dan pendapat-pendapat yang bersifat umum untuk kemudian diambil kesimpulan yang bersifat khusus.19
G. Sistematika Pembahasan Dalam pembahasan skripsi ini disusun dalam bab dan sub bab yang saling berkaitan, sehingga dapat membentuk suatu pembahasan. Adapun sistematika pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab pertama Pendahuluan, yang berfungsi sebagai pola dasar berfikir dalan menyelesaikan skripsi yang berisikan Latar Belakang Masalah, Penegasan Istilah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan. Bab kedua berjudul Tinjauan Umum Tentang Ijtihad. Pada bab ini akan mengetengahkan pokok-pokok pembahasan yang meliputi: Pengertian Ijtihad, Dasar Hukum Ijtihad, Lapangan Ijtihad (Majal Al-Ijtihad), Syarat dan Tingkatan Mujtahid, Macam-Macam Ijtihad dan Metode-Metode Ijtihad.
19
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Yayasan Peneribitan Fakultas Psikologi UGM, 1987), 42-46.
13
Bab ketiga berjudul Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Ijtihad. Pada bab ini akan mengetengahkan pembahasan seputar Biografi Fazlur Rahman dan Pemikiran Ijtihad Fazlur Rahman. Bab keempat berjudul Analisa Tentang Ijtihad Fazlur Rahman yang meliputi: Analisa Tentang Konsep Dan Metodologi Ijtihad Fazlur Rahman, Analisa Tentang Posisi Pemikiran Ijtihad Fazlur Rahman Terhadap Pemikiran Dan Metodologi Ijtihad Yang Sudah Berkembang Sebelumnya, dan Analisa Tentang Relevansi Pemikiran Fazlur Rahman Terhadap Pengembangan Dan Pembaharuan Hukum Islam Kontemporer. Bab kelima Penutup, merupakan akhir dari pembahasan skripsi yang meliputi Kesimpulan dan Saran.
14
RANCANGAN DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN NOTA PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN MOTTO HALAMAN PERSEMBAHAN TRANSLITERASI KATA PENGANTAR ABSTRAKSI DAFTAR ISI BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Penegasan Istilah C. Rumusan Masalah D. Tujuan Penelitian E. Kegunaan Penelitian F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian 2. Sifat Penelitian 3. Sumber Data
15
4. Teknik Pengumpulan Data 5. Analisa Data G. Sistematika Pembahasan BAB II
: TINJAUAN UMUM TENTANG IJTIHAD A. Pengertian Ijtihad B. Dasar dan Hukum Ijtihad C. Lapangan Ijtihad (Majal Al-Ijtihad) D. Syarat dan Tingkatan Mujtahid E. Macam-Macam Ijtihad F. Metode-Metode Ijtihad
BAB III
: PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN TENTANG IJTIHAD A. Biografi Fazlur Rahman B. Pemikiran Ijtihad Fazlur Rahman 1. Konsep Dan Metodologi Ijtihad Fazlur Rahman 2. Posisi Pemikiran Ijtihad Fazlur Rahman Terhadap Metodologi Ijtihad Yang Sudah Berkembang Sebelumnya
BAB IV
: ANALISA TENTANG IJTIHAD NEOMODERNISME ISLAM FAZLUR RAHMAN A. Analisa Tentang Konsep Dan Metodologi Ijtihad Neomodernisme Islam Fazlur Rahman
16
B. Analisa Tentang Posisi Pemikiran Ijtihad Neomodernisme Islam Fazlur Rahman Terhadap Pemikiran Dan Metodologi Ijtihad Yang Sudah Berkembang Sebelumnya C. Analisa Tentang Relevansi Pemikiran Neomodernisme Islam Fazlur Rahman Terhadap Pengembangan Dan Pembaharuan Hukum Islam Kontemporer BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran-Saran
DAFTAR PUSTAKA BIOGRAFI PENULIS LAMPIRAN-LAMPIRAN
17
DAFTAR PUSTAKA
Aen, Djazuli, Nurol. Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Al-Qardawi, Muhammad Yusuf. Membumikan Syari’at Islam. Surabaya: Dunia Ilmu, 1997. A. Sirry, Mun’im. Sejarah Fiqh Islam: Sebuah Pengantar, Cet. I. Surabaya: Risalah Gusti, 1995. Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Djamil, Fatchurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Hidayatullah, Syarif. Intelekrialisme Dalam Perspektif Neo-Modernisme. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2000. Mubarok, Atang Abdul Hakim dan Jaih. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002. Mudzhar, Atho’. Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilmu Press, 1998. Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1995. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity, Transformation of an Intelectual. Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 2000. , Revival And Reform In Islam. Terj. Aam Famiya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Rusli, Nasrun. Konsep Ijtohad Al-Syaukani: Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 1999. Saefuddin, Didin. Pemikiran Modern dan Post Modern: Biografi Intelektual 17 Tokoh. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 2003. Yusdani, Amir Mu’alim. Ijtihad: Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi. Yogyakarta: Titian Ilmu Illahi Press, 1997. Zaid, Farouq Abu. Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis. Terj. Husein Muhammad, Cet. 2. Jakarta: P3M, 1986.
18
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG IJTIHAD
A. Latar Belakang Masalah 1. Ijtihad Menurut Etimologi
َ 1mَ Cِ k ْ )ِاmerupakan masdar dari fi'il madhi ijtahada (oَ pَmCَ k ْ )إ Kata ijtihad (د bentuk sulasi mazid dari wazan ifta'ala
(r َ p Eَ Cَ sْ )إ
sedangkan bentuk sulasi
َ pَmk َ ) yang masdarnya al-jahdu (oُ pْmt َ <ْ )َاyang berarti mujarrodnya adalah jahada (o "yH 1xC7 8 واyw1x<( "اkemampuan dan daya), secara bahasa ijtihad (د1pmCk)ا berarti
}pp7 Kp<{ل اpp|
(mencurahkan segala kemampuan).20 Sementara itu Al-
Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) merumuskan pengertian ijtihad dari segi bahasa adalah pencurahan segala daya upaya dan kekuatan untuk meraih sesuatu yang berat dan sulit.21 Oleh karena itu menurut Al-Gozali, tidak disebut berjihad jika mengangkat hal-hal yang ringan, seperti mengangkat sebiji sawi.22 Dari pengertian etimologi di atas tergambar, bahwa aktivitas ijtihad itu merupakan usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal, dengan mencurahkan kemampuan yang dimiliki, serta menggunakan kekuatan dan potensi yang ada dalam upaya yang optimal untuk meraih sesuatu yang optimal pula. 2. Ijtihad Menurut Terminologi
20
Abd. Salam Arief, Hukum Islam Antara Fakta dan Realita (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 16. Ibid., 16. 22 H. Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 245. 21
19
Pengertian ijtihad menurut istilah (terminologi) banyak sekali yang dirumuskan oleh para ulama. Di antaranya adalah seperti pendapat Al-Amidi (5516314 H / 156-1233 M) yang memberikan definisi ijtihad sebagai berikut:
p3 pk وBpGH y>Hp<;ام ا8 اp|
G Bs }7K<اع اC7ا .>s o3D< اH tE< ا2< ا Artinya: "Mengerahkan segala kemampuan dalam mencari hukum syara' yang bersifat zanni, sehingga seseorang merasa tidak sanggup lagi mengupayakannya lebih dari itu".23 Sementara itu 'Abd al-Wahhab Khalafah mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
p BG>I r>< دBH< ا:;<ل إ اKKG< omt< |{ل اKد ه1mCkا .y>H< اy<اد Artinya: “Ijtihad adalah mencurahkan segala kesungguhan untuk mencapai hukum syara' dari dalil-dalil syar'i yang terperinci”.24 Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, walaupun penggunaan redaksi yang agak berbeda tetapi mempunyai substansi yang senada, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa aktifitas ijtihad adalah: pertama, adanya unsur mengerahkan daya upaya dan kemampuan secara maksimal seorang mujtahid. Kedua, adanya tujuan untuk mencapai hukum shara'. Ketiga, rumusan hukum mengupayakan bersifat zanni dan amali. Keempat, mendapatkan rumusan hukum syara' itu menggunakan metoda.
23 24
Abd. Salam, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam, 17. Ibid., 18.
20
B. Dasar Hukum Ijtihad Dasar hukum ijtihad banyak ditemukan pada ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist Nabi SAW. 1. Al-Qur’an
نpps :;2pp pp اBpp<ل وأوKpp7<ا اKppE>ااا واKppE>ا اKpp2 أ3{pp<ا1m3أ1pp3 مKpp>< وا1pp| نKpp2I :Cpp2ل إن آKpp7< ا واBpp<دو إpps p Bp s :CHز1pp2I (¡٩ :ء12<)ا.63ٔو1I اذ < > وأ Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan orang-orang yang memegang kekuasaan (Ulil Amri) di antara kamu. Kemudian apabila kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".25 Perintah mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada Al-Qur'an dan al-Sunnah. Menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadith yang barang kali tidak mudah dijangkau begitu saja atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah, seperti menyamakan sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam Al-Qur'an karena persamaan 'Illat nya seperti dalam
25
69.
Departemen Agama, Al-Qur'an Al-Karim dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra, 1996),
21
praktek Qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan syari'at.26 2. Hadist Dasar hukum ijtihad dalam hadith antaralain:
pDH p| رث1p< اpH ,ْنKpَH Bp| اpH ,y¦Ep pH ,pDH | ¥12¤o 1pE ب1p اp ¥pD rp اهp س1pF أH y¦E | ¨>ةD< اBوا| أ Bp<ذا إ1E E¦3 اراد أن1D< :G7> وGH اBG ل اK7ن ر ¬ وأr¦k |ذ .ب ا1pC;| B®pw أ:ل1pw ء؟1®pw p< ضpH إذاB®p¯I °p¦¦ آ:ل1pw D><ا y27 Bs otI :< نs :ل1w .ل اK7 رy2¦s :ل1w ب ا؟1C آBs otI :< نs لKp7®ب رps .Kp< أ8 وBp3 |أopmCk أ:ل1pw ب ا؟1C آBs 8ل ا وK7ر 1pD< ل اKp7 ر³ps{ى وp< اopD<ا:ل1p¯s رop :Gp7> وGH اBG ا 27
.ل اK7 رB?3
Artinya: Dari Mu'az bin Jabal berkata bahwa Rasullah SAW. Bersabda: “Bagaimana upaya kamu dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?” Mu'adh menjawab, “Akan aku putuskan berdasarkan kitabullah (Al-Qur'an)”. Kemudian Nabi bertanya lagi, “Bagaimana bila kamu tidak menjumpai dalil-dalilnya dalam AlQur'an?” Mu'adh menjawab, “Aku akan selesaikan berdasarkan dalildalil yang ada dalam sunnah Rasulullah”. Kemudian Rasulullah bertanya lagi, “Bagaimana seandainya tidak kamu dapati dari Al-Qur'an dan Al- Sunnah untuk menyelesaikannya?” Mu'adh menjawab, “Aku akan beijtihad dengan menggunakan rasioku dan tidak mengabaikannya”. Kemudian Rasulullah menepuk dada Mu'adh, sambil bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta Rasull-Nya terhadap apa yang direstui oleh Rasulullah".
26 27
295.
Effendi, Ushul Fiqih, 247-248 Abi Dawud Salam Ibn al-Ash 'ath Assajstani, Sunan Abi Dawud, Vol, III (Bairut: Dar-atfiki,tt.),
22
Hadith tersebut berkenaan dengan riwayat Mu'adh bin Jabal ketika akan diutus ke Yaman.
p| op33 pH opD p| p3 E< اo¦H 1F¦ ا.µD>DC< اµ3 | µ3 12¤o pH ,o>Ep7 | | H ,:> | ا|اهoD H د1m< | اy17 ا | أo¦H p2H اBp?ص ر1pE< اp| وpDH pH,ص1E<و | اDH B
w µ|ا :p¤ opmCk1s :آ1p< ا:p; إ ذا:ل1pw :G7> وGH اBG ل اK7} رD7 Fأ 28
."k أGsٔ1x ا:¤ omCk 1s :; وإذا,انk أGs ب1ا
Artinya: "Dari Amir bin 'Ash ra. Yang mendengar Rasulullah bersabda, "Apabila seorang hukum memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya keliru menurut pandangan Allah, maka ia mendapat satu pahala". Dari dua hadith di atas tampak jelas, bahwa ijtihad diakui oleh Rasulullah SAW. Untuk dijadikan sebagai salah satu sumber hukum, bila tidak ditemukan di dalam Al-Qur'an dan al-Sunnah dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk menetapkan hukum masalah yang actual, walaupun kemungkinan ijtihad yang dilakukan itu keliru menurut pandangan Allah. 3. Dalil Aqli (Rasio) Sebagaimana diikuti, bahwa agama yang dibawa nabi Muhammad adalah agama yang terakhir, yang akan berlaku untuk sepanjang masa, sedangkan kejadian-kejadian yang dihadapi oleh manusia cukup banyak dan akan terus bermunculan dan semua peristiwa itu memerlukan ketentuan hukum. Andai kata
28
Abi Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qusairi al-Naisaburi, Sohih Muslim, Vol,II (Barat: Dar alfikr,tt.), 123.
23
ijtihad tidak dibenarkan dalam menetapkan suatu hukum, sedangkan nash-nash yang ada terbatas jumlahnya, karena wahyu Allah tidak akan turun lagi dan sabda Nabi pun tidak akan ada tambahannya, maka manusia ini akan mengalami kesulitan dalam menetapkan hukum mengenai suatu peristiwa. Untuk mengatasi hal yang semacam itu harus ada jalan keluarnya, yaitu dengan cara ijtihad sebagaimana yang telah di contohkan oleh Mu'adh bin Jabal tersebut di atas.29 C. Lapangan Ijtihad Ijtihad merupakan faktor penting bagi pembinaan perkembangan hukum Islam. Ijtihad dilakukan untuk menjawab permasalahan yang timbul dimasyarakat yang belum diketahui status hukumnya. Sedemikian pentingnya peranan ijtihad dalam konstelasi hukum Islam, sehingga ada ulama yang menegaskan, bahwa tidak boleh suatu masa itu vakum dari mujtahid.30 Berkaitan dengan lapangan ijtihad, tidak semua lapangan hukum Islam dapat masuk ijtihad, tetapi terbatas pada lapangan tertentu. Lapangan yang tidak boleh dimasuki ijtihad ialah: 1. Hukum yang ditetapkan oleh nash Qath'i baik kedudukannya maupun pengertiannya, atau oleh Hadith Mutawatir. 2. Hukum yang tidak ditetapkan oleh nash dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama, tetapi tidak disepakati (ijma') oleh para mujtahidin dari suatu masa. Adapun lapangan yang dapat dimasuki oleh ijtihad ialah:
29 30
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1998), 40-41. Abd. Salam Arief, Pemahaman Pemikiran Hukum Islam, 40.
24
1. Nash yang dzanni, baik dari segi kedudukannya maupun dari pengertiannya, yaitu yang terdapat dalam hadith. Ijtihad dalam hal ini ditujukan pada segi sanad dan pensahihannya, juga dari pertalian pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari. 2. Nash yang qath'i kedudukannya, tetapi zhanni pengertiannya, yang terdapat dalam Al-Qur'an dan al-Hadith. Objek ijtihad disini ialah segi pengertiannya saja. 3. Nash yang zanni kedudukannya, tetapi Qath'i pengetiannya, dan hal ini terdapat dala hadith saja. Objek ijtihad dalam hal ini ialah segi sanad dan dari segi shahih hadits dan pertaliannya dengan Rasul. 4. Lapangan yang tidak ada nashnya atau tidak diijma'kan; dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama. Disini seseorang yang akan berijtihad memakai Qiyas, istihsan, masalah mursalah, ‘Urf dan jalan-jalan lainnya. Dengan demikian dapat dipahami secara sederhana, bahwa lapangan ijtihad ini ada dua, yaitu hal-hal yang tidak ada nashnya (ketentuannya) sama sekali, dan hal-hal yang ada nashnya tetapi tidak qath'i wurud dan dalalahnya.31
D. Syarat dan Tingkatan Mujtahid 1. Syarat-Syarat Mujtahid Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum Islam tidak berarti bahwa setiap orang bisa melakukan ijtihad, melainkan orang-orang yang memiliki syarat-syarat tertentu, baik yang berhubungan denga kelengkapan diri orang berijtihad maupun
31
Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 50-51.
25
yang berhubungan dengan sikap ketika menghadapi nas-nas yang berlawanan. Menurut Syaikh Abu Zahrah syarat-syarat ijtihad yaitu:32 a. Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab karena Al-Qur'an dan Al-Sunnah berbahasa Arab. b. Mengetahui Al-Qur'an termasuk tafsir, asbabul nuzul al-ayat meskipun menurut sebagaian ulama tidak harus hafal Al-Qur'an tetapi cukup mengetahui yang bersangkutan dengan permasalahan yang akan dipecahkan. c. Mengetahui al-sunnah termasuk wurud al-hadith dan ilmu rijal al-hadith. d. Mengetahui masalah-masalah yang terdapat ijma' dan ikhtilaf. e. Mengetahui Qiyas terutama cara-cara mencari illat. f. Mengetahui maksud-masud Hukum atau tujuan-tujuan Hukum Semacam rahmatal lil alamin. Diantaranya yaitu: 1) Memelihara kemaslahatan daruriyah (pasti) Nâjiyyat (kebutuhan), dan Tahsînat (pelengkap) 2) Tidak menimbulkan kesempitan 3) Memilih yang mudah bukan yang sukar kalaupun ada yang sukar dan memberatkan, bisa dilaksanakan manusia atau kesukaran (masyaqqah) ini untuk menolak kemadharatan yang lebih besar. g. Pemahaman dan penalaran yang benar, yaitu memilih alasan-alasan yang lebih kuat dari pada yang kurang kuat, pola berfikir yang lebih dan istimewa. h. Mempunyai aqidah dan niat yang ikhlas. Niat yang ikhlas (tulus) akan membuat hati memperoleh cahaya dari Allah, sehingga mampu mencari dan
32
Muhammad Abûzahrah, Usul fiqh (Bairut: Dâr al-Fikr al-'Aroby, tt.), 380-388
26
akan tertuju kepada hakekat keagamaan semata. Allah akan memberi hikmah kedalam hati yang ikhlas, dan akan memberinya petunjuk dan bimbingan. 2. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid Dilihat dari luas dan sempitny a bidang ilmu yang diijtihadkan, maka mujtahid pada umumnya dibagi menjadi empat tingkatan:33 a. Mujtahid fi al-shar', yaitu orang yang mampu berijtihad terhadap seluruh masalah shari'ah, dan hasilnya diikuti dan dipedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Dialah yang membangun madhab tertentu, dan dia disebut sebagai mujtahid mutlaq. b. Mujtahid fi al-madhab, ialah mujtahid yang hasil ijtihadnya tidak sampai membentuk madhab sendiri, tapi dia cukup mengikuti salah satu dari imam madhab dengan beberapa perbedaan baik dalam masalah utama ataupun cabang. c. Mujtahid fi-masâil, ialah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu madhab bukan dasar-dasar pokok yang bersifat umum. d. Mujtahid Muqayyad yaitu mujtahid yang mengikatkan diri dan mengatut pada pendapat-pendapat ulama salaf dengan mengetahui sumber hukum dan dalalahnya. Dia mampu menetapkan yang lebih utama dari pendapat-pendapat dalam suatu madhab, mana yang kuat dan mana yang lemah.
E. Macam-Macam Ijtihad
33
Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiah Islam (Bandung: al-Ma'aruf, 1986), 383.
27
Dilihat dari segi teknik ijtihad dapat dibagi menjadi tiga seperti pendapat Muhammad Ma'ruf al-Dawilibi, yaitu:34 1. Ijtihad bayani (al-ijtihad al-bayani), yaitu ijtihad yang berhubungan dengan kebahasaan yang terdapat di Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan dan ijtihad ini cenderung dipandang sama dengan tafsir, yang mencakup cakupan makna lafat, penggunaan lafat terhadap makna (dilalah). 2. Ijtihad Qiyas (al-ijtihad al-Qiyas), yaitu ijtihad untuk menyelesaikan suatu sengketa atau persoalan yang di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak terdapat ketentuan hukumnya, dan para ulama menyelesaikannya dengan cara Qiyas atau Istihsan. Ijtihad Qiyasi disebut pula dengan istilah al-ijtihad bial-ra'y. 3. Ijtihad Istislahi (al-ijtihad al-istislahi), yaitu ijtihad dengan menggunakan ra'y yang tidak menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an atau hadith tertentu secara khusus, tetapi ijitihad itu berpegang kepada "ruh al-syariat" yang ditetapkan semua ayat Al-Qur'an dan hadith seca umum. 4. Tetapi secara umum dari ketiga pembagian di atas secara umum dibagi menjadi dua yaitu ijtihad bayani dan ijtihad Qiyasi atau bi-al ra'y.
F. Metode-Metode Ijtihad Ada beberapa macam metode ijtihad yang merupakan hasil rumusan mujtahid, diantara metode tersebut adalah qiyas, istihsan, al-maslahah mursalah, istishab, ‘Urf. 1. Qiyas (س
5678)ا
a. Pengertian Qiyas 34
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta: UII Pres, 2002), 9.
28
Menurut bahasa Qiyas berarti ukuran, yakni mengetahui ukuran sesuatu menisabatkan pada sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah Ahli usûl Qiyas adalah:
صKp2 pp>¹ ppٔ ا:pp; ن1p>| ppFٔ1| س1pp>¯<ل اKppء ا1ppDGH فpE3 ب1ppC;< اBp s pp>GH ¥2<1pp| p D; مKppGE ٔ1pp| yppw1<ء1| p D; BppGH ppD; BppGH صKpp2>¹ق أ1pp< اppF»| 1®pp3 أppFKsE3 و,y2pp<وا 35
.:;< اyGH Bs 1m2>| اكC6< D; BGH صK2 ٔٔ ا1|
“Menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nas nya dalam Al-Qur'an dan al-hadith dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nas. Mereka jugas memberi definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan sesuatu yang ada nas hukumnya karena ada persamaan Illat hukum”. b. Rukun Qiyas Dari definisi Qiyas kita mengetahui rukun-rukun qiyas yang harus terdapat pada qiyas, rukun tersebut ada empat macam, yaitu:36 1) Asal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nas. Asal disebut juga maqîs 'alailah (yang menjadikan ukuran) atau mushabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmûl 'alaih (tempat membandingkan). 2) Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya karena tidak ada nas yang dijadikan sebagai dasarnya. Fara' disebut juga maqîs (yang diukur) atau mushabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan). 35 36
Abû Zahrah, Usul Fiqh, 218. Muh. Umar, dkk, Usul Fiqh Vol. I (Jakarta: Ddepartemen Agama, 1986), 118.
29
3) Hukum asal, yaitu hukum dari asal yang telah ditetapkan berdasarkan nas dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan illatnya. 4) Illat, yaitu suatu sifat yang ada pada asal dan dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat-sifat itu ada pula pada fara', maka persamaan itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum asal. Sebagai contoh ialah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nas yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara'. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peistiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nas yang illatnya sama dengan peristiwa yang pertama. Peristiwa ini memakan harta anak yatim yang disebut asal, peristiwa yang kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nas yaitu haram (hukum asal) berdasarkan firman Allah SWT:
را1F :mFKx| Bs نKGءآ131DF إ1DG
B1C><ال اKن اKGٔآ13 3{<إن ا (١٠. ء12<) .>اE7 نKG>7و "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim yaitu secara dhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (neraka)." Persamaan Illat antara kedua peristiwa ini ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena ditetapkanlah menjual harta anak yatim sama dengan menjual anak yatim yaitu sama-sama haram.37
37
Ibid., 119.
30
Dari keterangan di atas dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1) Asal ialah memakan harta anak yatim 2) Fara' ialah menjual harta anak yatim 3) Hukum asal ialah haram 4) Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim c. Syarat-Syarat Qiyas Yang dimaksud dengan syarat-syarat disini adalah persyaratan yang mengikat dalam melakukan Qiyas. Jika tidak memperhatikan syarat-syarat ini, maka hasil Qiyas dipandang tidak sah. Syarat-syarat ini berkenaan dengan keberadaan dari setiap rukun Qiyas. Syarat-syaratnya yaitu sebagai berikut:38 1) Syarat-Syarat Bagi Pokok (r)ا Adapun yang menjadi persyaratan pokok menurut Al-Ghazali (W. 505 H / 1111 M) adalah: a) Asal hendaklah merupakan ketentuan yang tidak boleh berubah. Maksudnya, pokok yang dijadikan sebagai tempat melakukan qiyas sudah jelas dan pasti dari nas dan tidak termasuk kepada kemungkinan dimasukkan. b) Ketentuan hukum asal merupakan ketetapan shari'at, karena apa yang ditetapkan dengan jelas rasio atau berdasarkan istilah kebahasaan tidak digolongkan kepada hukum shara'. Maksudnya, bukan ketentuan hukum yang dihasilkan melalui ijtihad.
38
Romli, Muqâranah Madhâhib fil usûl (Jakarta: Gaya Media Utama, 1999), 105-106.
31
c) Asal hendaklah mempunyai 'Illat yang menjelaskan hukum shara'. Artinya, 'Illat hukum pada pokok dapat dipahami dengan jelas bahwa ketentuan hukum pada pokok memang didasarkan pada 'Illat dimaksud. d) Asal tidak atau bukan menjadi cabang dari pokok yang lain. Maksudnya, tidak boleh terjadi bahwa pokok juga menjadi cabang bagi pokok lainnya. e) Hendaklah ada dalil yang memastikan 'Illat pada pokok tidak mencakup 'Illat pada cabang secara langsung. Maksudnya, 'Illat pada pokok dapat dibuktikan secara jelas. f) Hukum asal tidak boleh berubah dengan penentuan 'Illat. Maksudnya, Asal setelah dilakuka qiyas tidak berubah. g) Asal tidak boleh keluar dari ketentuan qiyas. Maksudnya, pokok bukanlah dalil yang berlaku khusus tidak boleh dijadikan pokok sebagai tempat qiyas, sebab membatalkan kekhususannya, seperti contohcontoh nas-nas yang berkaitan denga kekuasaan Nabi, mempunyai istri sembilan orang, menikahi wanita dengan hibah (tanpa mahar). 2) Syarat-syarat Bagi Cabang ( )ا<ع39 a) Cabang hendaklah mempunyai 'Illat yang sama dengan pokok. Jika cabang tidak mempunyai 'Illat yang sama dengan pokok, maka qiyas tidak dapat dilakukan. Karena prinsip dasarnya, qiyas adalah
39
Ibid.
32
memberlakukan hukum pada pokok (asal) kepada cabang dan ini bisa terjadi bila adanya kesamaan 'Illat antara keduanya. b) Tidak ada nas yang menyebutkan hukum tentang cabang. Dengan kata lain, cabang adalah persoalan baru yang akan dicari ketentuan hukumnya melalui qiyas. c) Cabang tidak boleh berlawanan dengan nas atau ijma'. Cabang adalah sesuatu yang akan dicari dengan ijma'. Maka tidak sah. d) Tidak terdapat sesuatu yang mungkin bisa menghalangi untuk mengamalkan cabang dengan pokok. e) Cabang tidak boleh mendahului dalam penetapannya.
3) Syarat-syarat Bagi Hukum Pokok (Asal)40 a) Hukum asal hendaklah ketentuan hukum yang telah nas al-kitab dan assunnah. Dengan kata lain, ketentuan hukum pokok merupakan ketentuan hukum yang ditetapkan langsung oleh shar'y pada pokok, bukan hasil ijtihad. Sebelum itu, ketentuan hukum pokok dapat pula berasal dari ijma'. b) Hukum asal hendaklah berdasarkan 'illat yang bisa diketahui oleh akal. Sebagai contoh, yang berkaitan dengan pengharaman "khamar". Tentang pengharaman khamar ini, akal mampu mengetahui 'illatnya, yaitu iskar (memabukkan). Dan karena 'illatnya dapat diketahui maka 40
Ibid, 108-109.
33
qiyas dapat dilakukan atasnya. Akan tetapi jika 'illat hukum itu tidak ada jalan untuk mengetahuinya maka ia digolongkan pada urusan ta'abudi tidak bisa dijadikan sebagai sandaran qiyas seperti jumlah rakaat shalat, mencium wajar aswad dan lain-lainnya sejenis itu. c) Hukum asal hendaklah hukum yang mempunyai 'illat yang dapat diberlakukan dalam menjangkau ke cabang. d) Hukum asal bukan ketentuan hukum yang berlaku khusus. Karena ketentuan-ketentuan yang berlaku secara khusus tidak dapat diterapkan atau diperlakukan ke cabang. 4) Syarat-syarat Bagi 'Illat Hukum (:;<ا
yGH) 41
a) 'Illat hukum, hendaklah merupakan suatu sifat yang jelas. Maksudnya 'illat itu dapat dipahami, dan ditangkap dengan indra kita, baik pada asal maupun pada cabang. Misalnya "mabuk" yang dapat diketahui pada khamar. b) 'Illat hukum hendaklah merupakan sifat yang akurat dan pasti. c) 'Illat hukum itu hendaklah merupakan sifat yang tidak hanya terdapat pada pokok, tetapi ia juga terdapat pada cabang. d) 'Illat hukum itu hendaklah merupakan sifat yang pantas, sesuai dan cocok bagi penetapan hukum shara'. d. Pembagian Illat
41
Ibid, 110-111.
34
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (shari') tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama usul membagi kepada empat bagian yaitu:42 1) Munasib Muathir (¤
712) yaitu suatu sifat yang sesuai dengan man
shari' telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu. Berdasarkan nas atau ijma', sifat itu telah ditetapkan sebagai 'illat hukum yang disusun berdasarkan kesesuaian dengannya. Misalnya firman Allah SWT.
Bpppps ء1pppp2<ااK<CH1s اذىKppppp هrpppppw ¿>pppppD< اpppppH
FK<ٔ1ppppp3و
(٢٢٢:¯¦<>¿…)اD<ا "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah "haidh itu adalah suatu kotoran," oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh………" Hukum yang pasti berdasarkan nas ialah kewajiban menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh dan nas telah menyebutkan sebabnya yaitu bahwa haidh adalah kotoran. Siqhat nas telah jelas bahwa 'illat hukum ini adalah kotoran tersebut oleh karena itu, maka kotoran tersebut yang mewajibkan menjauhkan diri dari wanita pada waktu haidhnya merupakan sifat yang munasib muathir. 2) Sifat Munâsib Mulâim (:pÂ
6 712), suatu sifat yang shar'i yang telah
menyusun hukum yang sesuai denga sifat itu, namun tidak ada nas maupun ijma' yang menetapkannya sebagai 'Illat hukum menurut pandangan syar'y itu sendiri, yangdisusun sesuai dengan sifat itu. Hanya saja berdasarkan nas
42
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), 71-75.
35
atau ijma' diperoleh ketetapan bahwa sifat itu dianggap sebagai 'Illat hukum dari hukum sejenis yang oleh shari'tolah disusun hukumnya sesuai dengan sifst itu, ataupun sifat yang sejenis dianggap sebagai 'Illat hukum dari hukum yang sejenis dengan hukum ini selagi sifat yang sesuai itu dinilai dari salah satu dari tiga bentuk anggapan tersebut, maka memberikan 'Illat dengan sifat itu cocok dengan tindakan shari' dalam membentuk hukum dan memberikan 'Illatnya. Contohnya, 'alah kekuasaan wali untuk mengawinkan anak kecil yang berada di bawah perwaliannya tidak ada nas yang menerangkan 'Illatnya. 3) Munâsib Mursal (rp7
p712), yaitu sifat yang shari' tidak menyusun
hukum sesuai dengan sifat itu, dan tidak ada dalil shar'y yang menunjukkan akan anggapan-Nya dengan salah satu bentuk anggapan maupun menyianyiakan anggapan-Nya. Misalnya membukukan Al-Qur'an dalam satu mushaf, tidak ada dalil yang membolehkan atau melarangnya. Tetapi khalifah uthman melihat kemaslahatannya bagi seluruh kaum muslimin, yaitu Al-Qur'an tidak lagi bersorakan serta dapat mnghindarkan kemungkinan terjadinya perselisihan tentang dialog Al-Qur'an. 4) Munâsib Mulgha (Bp¨G
p712), yaitu suatu yang ternyata mendasarkan
hukum atas sifat itu terdapat kemaslahatan, namun shari' tidak menyusun hukum sesuai dengannya, dan shari' tidak menunjukkan berbagai dalil yang menunjukkna pembatalan anggapannya, misalnya menerapkan hukum khusus bagi orang yang berbuka puasa dengan sengaja pada bulan
36
Ramadhan, untuk maksud menjarakannya. Ini tidak sah menjadikannya sebagai dasar pembentukan hukum atasnya. e. Pembagian Qiyas Qiyas dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu:43 1) Qiyas 'Illat, adalah Qiyas yang mempersamakan asal dengan fara' karena keduanya mempunyai persamaan 'Illat. Qiyas 'Illat terbagi: a) Qiyas jali, ialah qiyas yang 'Illatnya berdasarkan dalil yang pasti tidak ada kemungkinan lain selain dari 'Illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi kepada: (1) Qiyas
yang
'Illatnya
ditunjuk
dengan
kata-kata,
seperti
memabukkan adalah 'Illat larangan minum khamar, yang disebut dengan jelas dalam nas. (2) Qiyas mulawi, ialah qiyas yang hukum pada fara' sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada asal. (3) Qiyas musawi, ialah qiyas yang hukum yang ditetapkan pada fara' sebanding dengan hukum yang ditetapkan 'Illat. (4) Qiyas Khafi ialah qiyas yang 'Illatnya mungkin dijadikan 'Illat dan mungkin pula tidak dijadikan 'Illat. b) Qiyas dalalah, adalah qiyas 'Illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya 'Illat untuk menetapkan suatu hukum dari suatu peristiwa.
43
Muin Umar, Usûl, 139-142.
37
c) Qiyas shibih, adalah qiyas yang fara' dapat diqiyaskan kepada dua asal atau lebih. Tetapi diambil asal yang lebih banyak persamaannya dengan fara'. 2. Istihsân a. Pengertian Istihsân Secara bahasa istihsân adalah:
12 ءµ<اoH "Menganggap baik (memandang baik) sesuatu" Dapat juga dinamakan istihsân adalah
ع1¦I 6< اG "Mencari yang lebih baik untuk diikuti" 44 Sedangkan menurut ulama usûl Fiqh istihsân adalah:
ىKw اkK< s6 B< إ1ه1¦ اBs | :;<1 rÄ H yGÃD< اBs ولoE<ا "Berpaling pada suatu masalah pada suatu hukum yang sama menuju hukum yang lain karena ada alasan yang lebih kuat."45 Jadi dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa istihsân adalah berpaling dari qiyas khafi atau dari hukum kalli menuju yang diwakilkan karena ada dalil yang lebih kuat. Seperti membunuh orang Islam yang ditawan itu telah dibunuh, sebab menjaga kebaikan tentara Islam dan mayoritas umat.
44
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 2001), 285-286. 45 Syafi'I Karim, Fiqh Usûl Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 79-80.
38
b. Macam-macam istihsân Istihsân dalam fiqh Hanafi dibagi menjadi empat macam, yaitu: 1) Istihsân dengan Nas Istihsân dengan nas seperti berpalingnya mujtahid dan hukum yang dikehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh nas. Memang ada masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang termasuk atau tecakup dalam salah satu kaidad-kaidad dari kaidah umum. Namun terhadap atau masalah atau peristiwa itu ditemui dalil khusus yang menghendaki pengecualian terhadap masalah tersbut dan menetapkan hukum yang lain dari pada hukum yang dapat ditarik dari kaidah umum. Contohnya ialah makan siang dibulan Ramadhan menurut qiyas dalam arti umum - atau membatalkan puasa karena telah cacat rukunnya yaitu rukun menahan diri (al-imsak). Sebab menahan diri dari hal-hal yang membtalkan puasa termasuk rukun puasa.46 2) Istihsân dengan Ijma' berarti meninggalkan qiyas, baik qiyas asal (qiyas usuli) maupun kaidah umum yang diistibatkan, apabila ijma' menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas ini. Contohnya adalah perjanjian untuk membuatkan barang (istishna', bukan bai' salm). Perjanjian semacam itu tidak diperbolehkan menurut Qiyas, demikian juga menurut kaidah asal atau umum, karena merupakan jual beli tanpa barang (bai' al-ma'dûm). Akan tetapi ijma' umat dan ‘Urf kaum
46
1994), 49.
Iskandar usman, Istihsan Dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
39
muslimin pada setiap masa dan tempat membolehkan, ijma' dan ‘Urf itu diutamakan dari pada kehendak-kehendak kaidah umum. 47
3) Istihsân dengan Qiyas Khafi Istihsân dengan qiyas khafi dilakukan karena adanya pertentangan antara dua Qiyas. Bila terjadi pertentangan itu maka yang diutamakan dari keduanya adalah Qiyas yang mempunyai pengaruh yang lebih kuat dan lebih sesuai dengan jenis 'Illat yang ditetapkan shara' yang merupakan dasar Qiyas. Contohnya adalah dengan tidak najisnya sisa minuman burung buas, seperti burung elang. Qiyas menetapkan najis terhadap sisa minuman burung buas itu. Hukum itu ditetapkan dengan mengqiyaskanny kepada binatang buas, dengan 'Illat bahwa dagingnya najis tidak boleh dimakan.48 Akan tetapi bila direnungkan betul-betul akan didapati bahwa bukan keadaan daging itu najis, tidak boleh dimakan, yang membuat najisnya sisa minuman, melainkan karena masuknya sesuatu yang lain kedalam sisa air minum tersebut. Najisnya sisa minuman itu karena masuknya air liur yang berhubungan dengan daging yang najis kedalam air. Inilah yang mempengaruhi najisnya sisa air minum, bukan sematamata karena najisnya daging binatang buas. Selama najisnya daging tidak
47 48
Ibid., 51. Ibid., 55-56.
40
berhubungan dengan air melalui air liur, maka sisa minuman itu tetap tidak najis.
4) Istihsân dengan Darurat Bila Qiyas menghendaki suatu hukum terhadap suatu peristiwa, akan tetapi disana fuqaha menemukan darurat yang menghendaki ditetapkannya hukum lain yang berbeda dengan hukum qiyas, maka penetapan hukum seperti itu dinamakan Istihsân dengan darurat. Contohnya adalah apabila suatu najis jatuh ke dalam sumur, itu tidak mungkin dibersihkan, karena setiap air yang dituangkan kedalam sumur untuk menyucinya akan menjadi najis dengan najis yang ada dalam sumur.49 Pendapat yang mengatakan sumur tidak mungkin dibersihkan dari najis menjerumuskan manusia dalam kesukaran dan menghalanginya dari kebutuhan yang sangat pokok (hajat darûriyyat), yaitu kebutuhan untuk menggunakan air dalam kehidupan dan dalam ibadahnya. Karena itu para fuqaha menetapkan bahwa sumur dapat dibersihkan dari najis dengan menuangkan beberapa timba air kedalamnya. Para fuqaha mengatakan sesungguhnya fatwa terhadap masalah ini. Sandaran atau dasarnya adalah Istihsân bukan qiyas. c. Kehujjahan istihsân 49
Ibid., 57.
41
Menurut golongan Hanafiah, istihsân itu bisa menjadi dalil syara'. Istihsân dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh qiyas atau umum nas. Tegasnya menurut mereka, istihsân dapat dijadikan dalil (hujjat).50 Untuk
mendukung
kehujjatan
istihsân,
golongan
Hanafiah
mengemukakan alasan atau dalil dari Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma'.51 1) Dalil Al-Qur'an a) Surat Al-Zumar (39): 18 yang berbunyi:
2ن أKE¦C>s لK¯<ن اKEDC3 3{<ا "Mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling diantaranya." b) Surat Al-Zumar (24):55 yang berbunyi:
:;| ر:;><ل إFأ1 ا أKE¦Iوا "Dan ikutilah apa yang paling baik yang telah diturunkan kepadamu oleh tuhanmu." Ayat pertama, menurut mereka, memuji orang-orang yang mengikuti pendapat yang paling baik. Sedangkan ayat kedua memerintahkan untuk mengikuti pendapat yang paling baik. 2) Sunnah
اo2H Kms 12 نKDGD<را ا1 50 51
Ibid, 62. Ibid, 63.
42
"Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka hal itu juga baik disisi Allah." 3) Ijma' Ijma' ulama terhadap masalah pemakaian kamar mandi umum tanpa disebutkan lamanya masa pemakaian dan banyaknya air yang digunakan. 3. Maslahah Mursalah (>?@AB8ا
>C?DB8)ا
a. Pengertian Maslahah Mursalah Secara bahasa yaitu sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan kadangkadang disebut al-istislah (mencari yang baik).52 Sedangkan secara istilah Maslahah Mursalah adalah:
³GÆ< اH o71D<} اso| رع1<د اK¯ BGH yÅs1D<ا "Memelihara maksud shara' dengan jalan menolak segala yang merusakkan makhluk."53 b. Macam-macam Maslahah Mursalah Ditinjau dari tujuan shara' ada 3, yaitu al-darûriyah, al-Hâjiyah, alTahsîniyah:54 1) Al-Darûriyah adalah sesuatu yang mesti ada dalam menegakkan kemaslahatan agama d an dunia, karena apabila ia tidak ada maka kemaslahatan dunia tidak akan jalan juga tidak dapat ditegakkan dan hal itu dapat dipastikan akan menuju kerusakan, kekacauan dan kesempitan hidup 52
Romli, Muqaranah Madhâhib fil Usûl, 157. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,1997), 219. 54 Abû ishâq, Al-Shâtibî Muwâfaqât, Vol. 11 (Beirut: Dâr- al-Fikr, tt), 3. 53
43
disisi lain ketiadaannya juga mengakibatkan ketidak beruntungan dan kenikmatan, sehingga kembali menjadi orang-orang merugi. Maslahah darûriyah ini mencakup pemeliharaan lima bidang yang dikenal dengan maqâsid al-shari'ah, yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. 2) Al-Hâjiyah, adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk keleluasaan hidup meniadakan kesempatan pada umumnya; apabila ia tidak terpelihara maka orang mukalaf secara umum akan mendapatkan kesukaran dan kesulitan. Akan tetapi kesulitan tersebit tidak akan sampai merusak kepentingan umum. Maslahah ini berada dibidang ibadah, adat, muamalah dan jinayat. 3) Al-Tahsîyah, adalah mengambil sesuatu yang dapat memperindah kebiasaan dan menjauhi keadaan yang tercemar yang dimulai berdasarkan pemikiran yang kuat. Maslahah ini pada dasarnya termasuk bab akhlaq mulia seperti menghilangkan najis dari pakaian dan tempat shalat (ibadah) menutup aurat dengan pakian, cara makan, minum dan ibadah sunnah seperti sadaqah dan infaq. Tujuan utama Allah menetapkan hukum adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup manusia, baik di dunia dan di akherat, karena itu taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada merealisasikan terwujudnya hukum tersebut dengan memperhatikan maslahah di atas.
44
Selanjutnya, bila ditinjau dari segi dibenarkan atau ditolak oleh shara' maslahah dibagi menjadi 3 macam:55 1) Maslahah yang diterima oleh shara'. Ulama sepakat membenarkan maslahah semacam ini sebab kalau tidak berarti menentang shara'. Contohnya hukum qisâs yang bertujuan untuk menjaga keselamatan jiwa dan raga manusia. 2) Maslahah yang ditolak oleh shara'. Maslahah semacam ini harus ditolak secara mutlak karena keberadaannya bertentangan dengan shra'. Contohnya fatwa seorang ulama' kepada raja yang melakukan hubungan dengan istrinya pada siang hari bulan Ramadhan, kemudian ulama' tersebut menetapkan sanksi yang sesuai dengan raja tersebut adalah berpuasa berturut-turut. Karena sanksi ini dianggap dapat membuat jera raja tersebut. Sanksi itu sebenarnya baik namun tidak demikian aturan dalam shara'. Shara' telah membuat aturan yang berbeda yakni memerdekakan budak. 3) Maslahah yang tidak ada dalil khusus yang membenarkan atau membatalkan atau menolaknya. Untuk maslahah ini dibagi lagi menjadi dua: a) Ada nas yang sejalan dengan maslahah tersebut. Dalam hal ini alshâtibî memberikan contoh dengan pengandaian, seperti maslahah yang dijadikan alasan terhalangnya orang yang membunuh keluarganya untuk mendapatkan warisan. Dengan pengandaian tidak ada Hadîth
55
Abû ishâq Al-Shâtibî, al-I'tasâm, Vol, 11 (Riyad: Maktabah Riyaiyad al- Hadîth, tt),113-115.
45
yang menyatakan seperti itu, maka maslahah semacam itu tidak dapat diterima. b) Maslahah itu sejalan dengan tindakan shara', artinya terdapat maslahah yang sejenis dengan ini dibenarkan oleh shara' dalam suatu kasus yang tidak ada dalil tertentu yang menunjukkannya. Inilah yang kemudian dibuat istidlâl mursalda maslahah mursal. Dari uraian-uraian di atas dapat penulis tarik kesimpulan bahwa diantara syarat-syarat maslahah muslahah adalah: 1) Harus benar-benar menumbuhkan maslahah tidak didasarkan mengada-ada. 2) Maslahah tersebut sifatnya umum, bukan bersifat perorangan. 3) Tidak berlawanan dengan tata hukum atau dasar ketetapan nass dan shara'.
4. Istishâb a. Pengertian Istishâb Istishâb menurut bahasa berarti "mencari suatu yang ada hubungnnya". Sedangkan secara terminology ulama usul fiah, adalah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkata lain, menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.
46
Sedangkan al-Istishâb secara istilah dijelaskan ulama dengan redaksi yang berbeda-beda. Paling tidak, perbedaan redaksi tersebut dapat dilihat dalam definisi yang dikemukakan oleh Qayyim al-jauziah, al-Qurafi, alshaukani, dan Ali Hasab Allah.56 Ibn Qayyim al-jauziah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan alIstishâb adalah
.1>2 ن1آ1 BF أو1C|1¤ ن1آ1 ت1¦7 إyاoC7ا "Melanjutkan ketepan suatu yang sebelumnya sudah tetap, atau (melanjutkan) pencegahan sesuatu yang sebelumnya dengan sudah tercegah." Terhadap definisi tersebut, Abu Bakar Ismail Muhammad iqa mengomentarinya sebagai berikut.57
1pDÂ1w 1pI1¦¤ وا1p>F Bp?1D< اBps 1pm< =p¦¤ {يp< اy<»D< ا:; BGH ء1¯|ا .>¨3 r>< دokK| BC ل1< اBs >GH K ه1 BGH "Melanggengkan hukum suatu masalah yang sudah tetap dari zaman lampau, baik ia dicegah maupun diperintahkan; ketentuan itu tetap berlaku hingga sekarang sehingga terdapat dalil yang mengubahnya." Imam Shihab al-Din Abu al-'Abbas al-Qurafi, dalam karyanya, shaih Tanqih al-fushûl fi ikhtisâr al-Mahssul fi at al-ushûl, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Istishâb adalah:58
ل أو1ppp< اBpps ppIK¦¤ pp
ppkK3 ppp?1< أواBpp?1D< اBpps >pp<ن اKدآ1pp¯CHإ .ل1¦¯C78ا 56
Jaih, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, 133. Ibid. 58 Ibid, 134. 57
47
"Keyakinan (mujtahid) tentang sesuatu pada masa lalu atau sekarang ini, ia mewajibkan untuk menetapkan (hukumnya) berdasarkan dengan sekarang dan pada masa mendatang." Imam al-shaukani, pengarang kitab Isyad al-Fukhul, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-istishâb adalah:59
.>¨31 okK3 :<1 ٔ8ء ا1¯| "Tetapnya sesuatu selama tidak ada sesuatu yang lain yang mengubahnya." Definisi yang dikemukakan oleh al-shaukani dikomentari oleh Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa sebagai berikut:
ن1pp< اBp s p >GH ن1ppآ1 BppGH ؤ1pp¯| rpp1pps Bpp?1D< اBp s =pp¦¤ 1ppDFإ .>¨3 r¦¦< دBIٔ13 BC r¦¯CD<? وا1<ا "Sesungguhnya sesuatu yang telah tetap pada zaman lampau, tetap sebagaimana adanya sekarang ini dan mendatang sebelum ada dalil yang mengubahnya." Ali Hasab Allah dalam kitab usūl aL al-Tashri', al-islami, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Istishâb adalah:60
.s6 BGH r>w مoE< 2H 1>2 < أو1C|1¤ ن1آ1D| > BGH :;<ا "Kebenaran ketetapan (hukum) sesuatu, baik ia dibolehkan mapun di cegah, karena tidak ada dalil yang mengubahnya." Semua definisi yang telah dikemukakan oleh ulama di atas menuju pada kesamaan arti yang di dasari oleh tiga segi; pertama segi waktu' kedua, segi ketetapan, dan ketiga segi dalil. Dari segi waktu al-Istishâb dihubungkan 59 60
Ibid. Ibid.
48
dengan waktu, yaitu masa lampau (madly), sekarang (hadir), dan mendatang (mustaqbal,istiqbab). Dalam al-Istishâb kecenderungan mempersamakan tiga waktu tersebut.
b. Landasan Istishâb Menurut
jumhur
ulama'
tentang
al-Istishâb
pada
prinsipnya
menggunakan akal sedangkan yang lain seperti halnya Ibn Hazm dalam mengaku al-Istishâb berdasarka shara' kalau kita amati al-Istishâb itu ada tiga macam: 1) Istishâb akal juga disebu
y>Gp ٔ8 اyp ا<¦اyaitu suatu keyakinan umum
dalam rangka mendalami agama sehingga ulama membedakan ajaran agama menjadi dua, ibadah dan mu'amalah. Dalam bidang ibadah ulama menentukan kaidah usûl yang mengatakan bahwa;
.:3C<دة ا1¦E< اBs rا " Hukum pokok dalam beribadah adalah haram" Atas dasar kaidah tersebut, ibadah tidak dapat ditambah dan dikurangi tanpa ada petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Hingga sekarang para ulama tidak mewajibkan shalat yang keenam dalam sehari semalam dan mereka tidak pula mewajibkan puasa dibulan sha'ban, pendek kata prinsip dalam ibadah (mahdah) adalah al-ta'abud atau ta'abudi (hukum
49
ta'aquli). Ia dapat dilaksanakan terdapat petunjuk dari Al-Qur'an dan AsSunnah, ia tidak dapat diciptakan.61 Sedangkan dalam bidang muamalah, ulama menyusun kaidah yang menyatakan bahwa;
ypp 1pp| Ëp<ء ا1>pp اBps rpp" اhukum
pokok
sesuatu adalah kebolehan." Dalam rangka memperkuat prinsip tersebut, ulama merujuk kepada Al-Qur'an yang berbunyi:62
٢٩ :(٢) p¯¦< )اyp38ا.... 1E>Dk ارضBs 1 :;< ³G ا<{يKه ( "Dia-Lah Allah swt yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu." Atas dasar kaidah yang didasari oleh ayat tersebut diatas, ulama tidak berpendapat bahwa hukum makanan dan minuman yang ada di dunia ini selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, ibadah (boleh). Begitu pula dengan tanggung jawab, selama tidak ada dalil yang memberikan beban kepada manusia tentang pertanggung jawaban apa-apa. 2) Istishâb shara' adalah suatu perbuatan yang tegak karena perintah Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada dalil yang mengubah perintah tersebut. Diantara contohnya adalah wudlu dan jumlah rakaat Shalat. Seseorang wudlu dan melaksanakn sholat adalah perintah Allah dan Rasul-Nya. Orang tidak perlu membatalkan wudlu selama tidak ada tanda-tanda yang menyakinkan
61 62
Ibid, 136. Ibid, 137.
50
yang membatalkan wudlunya yang dihubungkan dengan keyakinan. Kaidah fiqh yang dibangun
oleh ulama yang berhubungan dengan hal di atas
adalah:63
.<1| ـال38 >¯><ا "Sesuatu yang menyakinkan tidak hilang karena keraguan."
.s6 =¦Ä3 BّC ن1آ1 BGH ن1آ1 ء1¯| rا "Hukum pokok (sesuatu) adalah sebagaimana adanya tidak terdapat ketentuan yang mengubahnya" 3) Istishâb waktu, sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa yang dimaksud dengan Istishâb waktu adalah menentukan sesuatu untuk menentukan kepentingan saat ini berdasarkan sesuatu yang lain yang sepadanya. Contohnya adalah menentukan hidup matinya seseorang yang hilang. Seseorang yang hilang tidak diketahui secara pasti apakah dia masih hidup atau sudah meninggal, apabila masih hidup, berarti harta yang ditinggalkan masih miliknya dan istri yang ditinggalkan masih istrinya selama tidak mengajukan cerai ke pengadilan dengan alasan tidak diberi nafkah.64. 5. ‘Urf a. Pengertian ‘Urf ‘Urf (فpE< )اdan 'Adat (دة1pE< )اadalah dua kata yang dibicarakan dalam literatur usûl fiqh, keduanya sama berasal
sering dari bahasa
arab, namun kata 'adat sudah diserap kedalam bahasa Indonesia yang baku.
63 64
Ibid. Ibid., 138-139
51
Kata ‘Urf berasal dari kata 'arafa – ya'rifu-urfan yang dapat diartikan dengan
(1sH – فE3 – فH)
ypp>H pD<دة ا1ppE<ا
(convensi, kebiasaan yang
dipelihara),65 para ulama ahli usûl sering mengartikan ma'rûf (وفppppED<)ا,
sesuatu
yang
sudah
dikenal".
dengan "alal-Zamakhshari
sebagaimana dikutip oleh Kamâl al-dîn Imâm menyatakan bahwa ‘Urf adalah perbuatan yang telah diketahui serta baik.66 Sedangkan pengertian ‘Urf menurut terminology usûl fiqh dapat kita lihat dari pendapat yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, yaitu:
دة1pE< اBDp3 و,كI اوrEs ل اوKw >GH روا17س و12< اsر1EI1 67
"Sesuatu yang saling diketahui oleh manusia dan berlaku/dilestarikan keberadaannya di antara mereka baik berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan sesuatu, ‘Urf juga dinamakan dengan 'adat." b. Macam-macam ‘Urf Memperhatikan
eksistesi
‘Urf
sebagai
dalil
hukum
dalam
pembagiannya dapat dibedakan menjadi tiga macam, dilihat dari segi materi, dilihat dari segi ruang lingkup penggunaannya dan dari segi penilaiannya. 1) ‘Urf dilihat dari segi materinya. Dari segi materinya ‘Urf dapat dibedakan menjadi dua macam: a) ‘Urf qawlî (B
65
فH)
Lihat Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir (Surabaya: Pustaka Prgresif, 1997), 920. Kamal al-Dîn Imâm, Usûl al-Ffiqh al-islâmiy (tp. tt. ), 183. 67 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usûl Fiqh, 89. 66
52
Yang dimaksud dengan ‘Urf jenis ini adalah kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan tertentu dengan mengabaikan penggunaannya berdasarkan bahasa (y¨<).68 Kata waludun
(op< )وsecara etimilogi bahasa mempunyai arti
anak baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Penggunaan ini dapat kita pahami pada ayat 69
(y3 )ا... ِ >ْ >َ Äَ Fْ ُ ْ اÎ ِّ َ r ُ Äْ ِ ِ ¬{ َآGِ< ْ: ِد ُآ8 َ ْْ َأوµsِ ُ ا:ُ ;ُ >ْ ِ ْK3ُ Kata aûlad (op< )أوyang merupaka bentuk jamak lafadz op< و
pada ayat tersebut berlaku untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari (‘Urf orang Arab), kata
opp<و
digunakan hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan, sehingga dalam memahami kata
opp< وterkadang
menggunakan ‘Urf
qawli yang berlaku dikalangan orang arab tersebut. Misalnya dalam memahami kata o< وdalam ayat dibawah ini
ٌopَ< ُ َوpَ< َ >ْ pَ< َ pَG ُؤٌ َهpْن ا ِ إyِ pَ<6 َ ;َ <ْ اµpِs ْ:;ُ >ْ pِCْ 3ُ ُ اr ِ wُ َ Fَ ْKCُ ْ Cَ ْ 3َ 1pppَm<َ ْp pُ;3َ ْ:p pَ< ْ إن1pppَm¤ُ ِ 3َ Kَ p pُك َوه َ َ Iَ 1pppَ ° ُ ْ p pِF 1pppَmGَsَ ٌ=p pْ ُ ُأp pَ<َو 70
(y3)ا...ٌo<ََو
Melalui pendekatan ‘Urf qawlî, kata Kalâlah,71 (ypp<6;<)ا dalam pemahaman ayat tersebut di atas dapat diartikan sebagai warisan 68
Kamal al-Dîn, Usûl, 184 Q.S. al-Nisa' (4): 11 70 Q.S. al-Nisâ' (4): 176 69
53
bagi orang-orang yang tidak meninggalkan anak laki-aki, dalam hal ini, anak laki-laki dapat dapat menghijab saudara-saudaranya sedangkan anak perempuan tidak bisa. b) ‘Urf Fi'lî (BGEs
فH)
‘Urf jenis ini dapat kita artikan:
:m<اK وأ:mI61E ط1DF وأ:m1E ><17 أBs س12<د ا1CE31 72
y>Æ<ا
"Sesuatu yang telah dibiasakan oleh manusia dalam tatanan kehidupan, aturan pergaulan dan tingkah laku manusia dalam masyarakat." Dari pengertian di atas dapat kita ambil sebuah kesimpulan, dalam kehidupan masyarakat tidak jarang terjadi sebuah peristiwa yang kemudian karena kecocokan dan lain hal, kemudian dilakukan secara terus menerus dan dipelihara pelaksanaannya tanpa adanya aturan tertulis yang mengikatnya. Dalam akad perkawinan seorang mempelai laki-laki harus menyerahkan mahar kepada mempelai perempuan sesuai dengan jumlah yang telah disepakati sebelumnya sebagai timbal rasa cintanya. Dalam Islam penyerahan mahar bisa seketika dalam pernikahan tersebut dan boleh juga ditangguhkan dalam waktu lain, tetapi apabila 71
Kalalah adalah seseorang yang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, tidak pula meninggalkan ayah, dengan kata lain keturunan oarang yang mati itu telah punah, tidak ada lagi generasi yang akan melanjutkan nasabnya sehingga kematiannya merupakan akhir dari riwayat, nasab, atau keturunannya. Abdul Aziz Dahlan et. Al. Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 869-871. 72 Kamal al-Dîn, Usûl, 184
54
dalam suatu masyarakat kebiasaan penyerahan mahar itu berada ketika akad perkawinan, maka secara tidak langsung seorang laki-laki akan menikahi seorang perempuan di daerah tersebut harus menyerahkan mahar pada waktu akad nikah berlangsung. Hal ini berdasarkan ‘Urf fi'lî yang berlaku di masyarakat tersebut. Jual beli barang yang (Murah, dan kurang begitu brnilai), transaksi akad yang terjadi antara pembeli dan penjual cukup menunjukkan serta serah terima barang dan uang tanpa adanya ucapan transaksi apapun. 2) ‘Urf dilihat dari segi ruang lingkup penggunaannya. ‘Urf jenis ini juga terbagi menjadi macam; a) ‘Urf 'âm (م1E<ا
فE<)ا
‘Urf seperti ini dapat diartikan:
BppGH ت1ppw اوppp =ppw وBppps انoppG¦< اBppps س1pp2< اppsر1EI1Kوه 73
:m<1DH وأ:mI1Ãs و:ره1DHف أ6Cإ
"Suatu kebiasaan yang telah dikenal oleh manusia dari waktu kewaktu tanpa memandang umur, gologan dan pekerjaan mereka." Dengan demikian ‘Urf 'âm itu berlaku selama-lamanya sehingga ada yang merubah kebiasaan tersebut. ‘Urf jenis ini tidak mempunyai batasan waktu, berlaku kepada seluruh orang dipenjuru dunia tanpa memandang umur, golongan dan suku bangsa bahkan profesi orang yang mengerjakan.
73
Ibid, 185.
55
Dalam aplikasinya dapat kita cermati dalam kehidupan seharihari, seseorang akan menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa dia menyetujui sesuatu hal dan sebaliknya dia akan menggelengkan kepala bila menyatakan menolak atau tidak setuju. Aturan jenis ini tidak pernah tertulis dalam dan juga di Negara manapun, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan sendiri bagi semua orang maka dengan sendirinya akan dilakukan. Jika seandainya ada orang nyang berbuat sebaliknya, dia akan dianggap aneh karena telah menyalahi ‘Urf yang telah berlaku.
b) ‘Urf khas / khusus (ص1Æ<ا
فE<)ا
Pengertiannya adalah: 74
س12< اy2>E yÂ1 او:>Gwة او إoG| r أهsر1EC31
"Suatu 'adat kebiasaan yang dilakukan sekelompo Negara, satu masa atau golongan tertentu dari manusia." Kata al-Dabbah
(yp|o< )اsecara umum mempunyai arti hewan,
binatang ternak. Namun kata
yp|o<ا
oleh masyarakat Irak digunakan
untuk hewan khusus yaitu, Kuda, bukan lainnya, contoh lain adalah penarikan garis keturunan dalam suatu masyarakat. Di minangkabau garis keturunan itu disandarkan pada ibu / orang perempuan (matrilineal), sebaliknya dalam masyarakat Batak penarikan garis
74
Wahbah al-Zuhaily, Usûl Fiqh al-Islamî (Damasqy: Dar al-Fikr, 1986), 830.
56
keturunan itu didasarkan pada poko bapak / orang laki-laki (patrilineal). 3) ‘Urf dilihat dari segi penilaian baik dan buruk a) ‘Urf sahîh
(Ñ> فH)
Yang dimaksud ‘Urf jenis ini adalah suatu 'adat kebiasaan yang berlaku dalam satu masyarakat dengan tidak bertentangan dengan dalil shar'i, tidak menghalalkan perkara haram dan sebaliknya. Hal ini sebagaimana pendapat yang dikemukakan Abdul Wahab Khallaf dalam kitabnya.75
rx¦38 و1 r38و1>H 6>< د°<1Æ38س و12< اsر1EI1 1¦kوا "Sesuatu yang telah saling diketahui manusia, tidak bertentangan dengan dalil shara', tidak menghalalkan perkara haram, serta tidak juga membatalkan perkara wajib." ‘Urf jenis ini tidak memandang apakah termasuk ‘Urf yang berlaku umum (‘Urf 'âm) atau bahkan untuk satu daerah saja (‘Urf khas), yang berupa ucapan (‘Urf qawlî) ataupun perbuatan (‘Urf fi'lî). Penekanan ‘Urf jenis ini adalah pada hal-hal yang menyalahi ketentuan-ketentuan shara' atau tidak, terlebih lagi tidak bertentangan dengan sopan santun, dan budaya yang luhur yang telah ada. b) ‘Urf fâsid (o71s
75
Khallaf, Ilmu, Usûl, 89.
فH)
57
Abdul Wahab Khallâf memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan ‘Urf fâsid adalah: atau juga sebaliknya.
مp pD< اr3او1>Hppp 6>ppp< د°<1pppÆ3 ppp2;<س و1ppp2< اpppsر1EI1 76
kK< اrx¦3او
"Sesuatau 'adat kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat, tetapi dalam pelaksanaannya menyalahi atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalil shara', menghalalkan perkara haram atau membatalkan perkara wajib" Misalnya, dalam suatu masyarakat, ketika terjadi pesta kelahiran anak/perkawinan anak, pihak tuan rumah menghadirkan minuman-minuman keras. Membuat kalangan perjudian. Para
ulama
sepakat
untuk
tidak
melestarikan
bahkan
meniadakan ‘Urf jenis ini dengan tidak menganggapnya sebagai sumber hukum Islam, termasuk juga tidak menjadikannya sebagai dalil dalam istinbât al-hukum al-shar'î. c. Kehujjahan ‘Urf Para ulama memakai ‘Urf dalam menetapkan kehujjahan (otoritas) ‘Urf sebagai salah satu dalil shar'i adalah dengan menggunakan dasar-dasar yang berada dalam al-qur'an, as-sunnah dan ijma'. 1) Al-Qur'an Para ulama dalam rangka menguatkan ‘Urf sebagai salah satu dalil shar'i sebagai hijjah, mereka berpedoman pada firnan Allah:
76
Ibid.
58
77
َ >ْ Gِ ِه1َt<ْ ا ِH َ ْ ِضH ْ ف وَأ ِ ْEُ <ْ 1ِ| ُْ ْ َوأKَ ْ Eَ <ْ ِ{ ا ُ
Artinya: "Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh". Kata “فpE< “اpada ayat di atas mengandung arti “وفpED< “اyang dapat diartikan sesuatu yang telah diketahui. Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk berpagang pada prinsip-prinsip yang umum dalam menentukan segala hal yang berkaitan tentang moral dan hukum.78 Dari ayat kita memahami tentang kebolehan tentang berpegang teguh dengan ‘Urf selama tidak ada dalil shar'i yang menerangkannya. AlQarâfî menyatakan bahwa segala sesuatu yang telah dipersaksikan oleh 'adat/’Urf maka bisa didasari dengan zahîr nash ayat ini. Dalam menanggapi ayat di atas yang digunakan sebagai dalil kehujjahan ‘Urf Wahbah al-Zuhaylî menyatakan bahwa ‘Urf apabila menggunakan ayat tersebut menjadi lemah, sebab kata “ فppE< “ اyang mempunyai arti “وفppED< “اhanya berdasarkan ma'na bahasa / lahiriyah bukan juga dipakai untuk menguatkan ma'na istilahi. 2) Sunah Rasulullah
77
Q.S. al-A'raf (7): 199 Dalam al-qur'an kata “ وفpED< ا/ فpE< “ اdpergunakan dalam hubungan hukum-hukum yang penting, seperti dalam hukum pemerintahan, hukum perkawinan. Dalam pengertian kemasyarakatan kata “وفpED< ا/ وفpE< “ اdiprgunakan dalam arti 'Adat kebiasaan dan mu'amalah yang terjadi dalam suatu masyarakat, karena itu ia berbeda-beda pengajawantahannya sesuai dengan perbedaab bangsa, negara dan waktu. Lihat al-Qur'an dan Tafsirnya, vol III (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1991), 685. 78
59
Hadîth yang digunakan para ulama untuk menguatkan kehujjahab ‘Urf adalah hadîth atsar yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW.79
اo2H Kms 12 نKDGD<رأ ا1 Artinya: "Sesuatu yang dianggap baik oleh orang-orang islam maka hal itu baik menurut Allah" Mayoritas ulama mengatakan itu adalah Hadîth, tetapi itu hanyalah ucapan 'Abd Allâh ibn Mas'ûd yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam musnadnya. Walaupun ada yang mengatakan itu adalah Maqâlah. Kehujjahan hadîth jika disandarkan kepada hadîth tersebut akan menjadi lemah karena hadîth di atas lebih tepatnya mengacu pada kehujjahan Ijmâ' jika kecuali tempat sandaran ijmâ' itu berupa ‘Urf, maka dalâlah hadîth itu hanya terbatas pada salah satu bentuk ‘Urf dari sekian banyak macam-macam ‘Urf. Selain hadîth itu ada juga hadîth yang dijadikan pedoman sebagai penguat otoritas ‘Urf sebagi dalil shar'i, yaitu hadîth Rosulullah sebagai jawaban Hindun isteri Abû Sfyân yang telah mengadukan kepada beliau atas kebakhilan suaminya dalam hal nafkah.
ن1>pp7 1pp|ل ا إن أKpp7ر13 :=pp<1w ,yp ¦CH =pp2| opp2 أن هyppÂ1ppH ppH pp2 {تpp أ1pp 8ى إopp< ووB2>;31pp Bpp2>xE3 >pp< و,Ò>pp rppkر
79
1995), 67.
Jalâl al-Dîn Muhammad al-Suyûthî, Al-ashbâh Wal al-Nazâir fi al-Furu', (Beirut, Dar al-Fikr,
60
كoppp< ووppp>;3 1ppp {ىppp" .ل ا ص مKppp7ل ر1ppp¯s ,:pppGE38 Kpppوه 80
"وفED<1|
Artinya: Dari 'Aisyah: “Sesungguhnya hidun, putrid uthbah pernah berkata "waha Rosulullah, sesungguhnya Abû Sfyân adalah lakilaki yang kikir, dia tidak memberikan sesuatu yang mencukupi kebutuhannku dan anakku, kecuali kalau aku mengambil miliknya tanpa sepengetahuannya" beliau berkata: "Ambillah sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anakmu dengan cara yang baik" Dalam keputusannya Rasulullah saw. Menjadikan ‘Urf sebagai batasan dalam hal kewajiban nafkah yang tidak ada ketentuanketentuannya dalam nas. 3) Ijmâ Setelah wafatnya Rasulullah saw. Para sahabat besar (senior) memikul beban tanggung jawab yang besar dan sukar. Hal ini terjadi karena kekuasaan Islam mulai meluas dan membentang keluar Jazirah Arab, meliputi Mesir, Syam (Syiria), Persia dan Irak. Kaum muslimin mendapatkan dirinya dihadapan pada kejadian dan peristiwa yang belum pernah dialami dalam sepanjang hidupnya. Untuk mengatasi hal tersebut para sahabat dikirim ke seluruh daerah kekuasaan Islam yang tentunya mempunyai 'adat kebiasaan tersendiri. Sehingga dalam membuat fatwa dan keputusan tehadap suatu masalah
para sahabat
akan berbeda dengan sahabat yang lain
menyesuaikan dengan daerah yang ditempatinya. Tetapi fatwa dan
80
1995), 308
Abû Abd. Allâh Muhammad bin Ismâil al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Vol. III (Beirut: al-fikr,
61
keputusan yang diberikan tidak bisa lepas dari dua sumber hukum yang telah ditinggalkan oleh Rasul sebelum wafat (al-Qur'an dan Sunnah).
62
BAB III PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN TENTANG IJTIHAD
A. Biografi Fazlur Rahman Fazlur Rahman lahir di Hazara,81 Pakistan, pada 21 September 1919, dan wafat di Chicago, Illinois, pada 26 Juli 1988. Dia berasal dari keluarga yang alim atau tergolong taat beragama, dengan menganut madhab Hanafi. Seperti pengakuannya sendiri, keluarganya mempraktikkan Ibadah sehari-hari secara teratur. Pada usia 10 tahun menghafal Al-Qur'an. Ayahnya, Mawlana Syhab ad-Din, adalah seorang alumnus Dâr al-'ulum, sekolah menengah terkemuka di Deoband, India. Di sekolah ini, Syihâb ad-Dîn belejar dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Mawlânâ Mahmûd Hasan (W.1920), yang lebih popular dengan Shekh al-Hind, dan seorang faqih ternama, Mawlânâ Rashîd Ahmad Gangohi (W. 1905). Meskipun Rahman tidak belejar di Dâr al-'ulûm, ia menguasai kurikulum Darse-Nizami yang ditawarkan lembaga tersebut dalam kajian privat dengan Ayahnya. Ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami Islam tradisional, dengan perhatian khusus pada Fiqih, teologi dealektis atau Ilmu kalam, Hadith, tafsir, logika (matiq), dan filsafat.82 Setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar tersebut pada tahun 1933, ia melanjutkan ke Punjab University di Lahore dimana tahun 1940 ia lulus dengan penghargaan untuk
81
Hazara adalah anak benua Hindia yang sekarang terletak di sebelah barat laut Pakistan. Lihat: Sutrisna, Fazlur Rahman: Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 ), 60. 82 Sibawahi, Eskatologi Al-Gazâlî Dun fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi KlasikKontemporer (Yogyakarta: Islamika, 2004), 49.
63
bahasa Arabnya. Dan disana juga, dua tahun berikutnya (1942), ia mendapatkan gelar MA-nya dalam bidang yang sama. Pada tahun 1946 ia pergi ke Oxfard dengan mempersiapkan desertasi tentang psikologi Ibn Sina dibawah pengawasan profesir Simon Van Den Bergh. Disertasi itu merupakan terjemahan, kritikan dan komentar pada bagian dari kitab An-najt milik filosof Muslim kenamaan akad ke-7. setelah di Oxford, ia mengajar Bahasa Persi dan filsafat Islam di Durham University dari tahun 1950-1958. ia meninggalkan Inggris untuk menjadi Associate professor pada kajian Islam di Istitute of Islamic Sudies MC. Gill Univerdity Kanada di Montreal.83 Ketika di Kanada, ia menjalin persahabatan dengan Wilfred Cantwell Smith, seorang orientates kenamaan, yang saat itu menjabat sebagai direktur Institute of Islamic Studies.84 Diawal tahun 60-an, Rahman kembali ke Pakistan dan menjabat selama beberapa waktu sebagai salah seorang staf senior pada institute of Islamic Research. Di negaranya ia aktif melontarkan gagasan pemikirannya. Tulisan-tulisannya pada waktu itu dengan jelas mengidentifikasi dirinya sebagai modernis, namun diapun sangat kritis terhadap pemikiran keagamaan para modernis pendahulunya, apalagi terhadap kalangan tradisional dan fundamentalis.85 Kritik terhadap Rahman semakin pedas katika ia mengemukakan pandangan tentang definisi "Islam" bagi Pakistan, terutama terhadap pandangan kaum tradisionalis dan fundamentalis. Pandangan-pandangan tentang Al-Qur'an, Sunnah, 83
Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam, Terj. A. Am Fahmia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000),2. 84 Didin Saifudin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual 17 Tokoh (Jakarta:PT. Grafindo, 2003)147. 85 Ibid.
64
hadith, dan hukum-hukum tentang berbagai masalah,86 menimbulkan kotriversi yang semakin berkepanjangan dan berskala nasional. Puncak kontoversinya adalah firman Tuhan, dan dalam arti yang biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad.87 Pandangan membuat kokoh selama satu tahun dimedia masa Pakistan. Kalangan ulama menuduhnya sebagai orang yang telah mengungkari Al-Qur'an. Protes masa ditumpahkannya di jalan-jalan sempat terjadi mogok masal secara besarbesaran. Sadar dirinya tanpa dukungan, akhiranya ia melepaskan seluruh jabatannya di Pakistan dan kemudian hijrah ke Chicago, Amerika Seikat. Sejak tahun 1970, menjabat sebagai guru besar kajian Islam di University of Chicago.88 Hijrah Rahman ke barat merasa dirinya telah memperoleh kebebasan intelektual, dan dari sanalah ia menyusun pemikiran-pemikiran tentang pembaharuan dalam Islam. Disamping itu ia ditampung di Universitas California, Los Angeles, pada 1968. pada 1969, ia diangkat menjadi profesor dalam bidang pemikiran Islam di Universitas Chicago. Universitas ini merupakan tempat terakhirnya bekerja, hingga ia wafat. Selama menjadi di Universitas Chicago, dengan posisi sebagai muslim modernis, Rahman telah banyak memberikan banyak kontribusi pada ilmuwan Muslim generasinya untuk memberi kepercayaan diri, baik melalui publikasi, konsultasi, dakwah, dan pengkaderan Ilmuwan muda yang datang dari berbagai negara untuk belajar dibawah asuhannya, selama mengajar di Universitas Chicago. Rahman juga 86
Diantara masalah hukum-hukum dan keagamaan penting yang melibatkan Fazlur Rahman meliputi: status bunga bank, zakat (pajak keagamaan yang wajib di bayar), penyembelihan binatang dengan menggunakan mesin (mekanis), hukum keluarga dan keluarga berencana, otoritas hadith dan sunnah Nabi dan hakekat Wahyu. Lihat: Revival and Refrom in Islam: Astudy of Islamic Fundamentalisme, Terj. Munir (Bandung: Pustaka, 2001),3. 87 Fazlur Rahman, Islam, terjemahan Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 1997),33. 88 Didin, Pemikiran Modern dan Postmodern, 148.
65
sering diminta oleh berbagai pusat studi terkemuka di Barat untuk memberi kuliah atau berpartisipasi dalam seminar-seminar Internasional yang berkaitan dengan keislaman. Pusat studi Yahudi Universitas Connecticut di Storis, misalnya pernah memintanya pada musim semi 1981 untuk memberi kuliah tentang sikap Islam terhadap agama Yahudi. Penting pula diketahaui bahwa Rahman adalah seorang muslim pertama yang pernah diangkat menjadi staf pada Divinity School Universutas Chicago. Rahman juga merupaka Muslim pertama yang dianugrahi medali Giorgia levi della Vida yang sangat prestisius untuk studi peradaban Islam dari Gustave E.Von Grunnebaum center for Near Eastern Studies UCLA (Universitas of Calivornia Los Angeles).89 Tidak kurang dari 18 tahun lamanya, Rahman menetap di Chicago, dan mengkomunikasikan ide-idenya, sampai akhirnya Tuhan memanggilnya pada 26 Juli 1988. kepergian sarjana pemikir Neo-Modernis ini merupakan sebuah kehilangan bagi dunia intelektual Islam kontemporer. Rahman meninggalkan karya-karyanya dalam bentuk buku utuh, atikel-artikel dalam jurnal Ilmiah dan buku suntingan. Buku-buku utuh yang sempat ditulisnya adalah:90 1. Avi Cenna's Psychologi (1952) 2. Prophecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy (1958) 3. Islamic Metodologi and History (1965) 4. Islam (1966) 5. The Philosophy of Mulla Sdra (1975), 89 90
Sibawahi, Eskatologi Al-Gazali dan Fazlur Rahman, 53-54. Ibid.
66
6. Major themes of the Qur'an (1980) 7. Islam and Modernity: Transformation and Intelectual Tradition (1982) 8. Health and Madicine in Islamic Tradition: Change and Identity(1987) 9. Revival and Reform in Islam (2000). Sedangkan dalam bentuk artikel ilmiah, tersebar dibanyak jurnal baik jurnal local (pakistan) dan international, serta yang dimuat dalam buku-buku bermutu dan terkenal. Jurnal-jurnal yang memuat tulisannya antaralain:91 1. Islamic Studies 2. The Muslim World 3. Studia Islamica Sementara buku-buku suntingan terkenal yang mempublikasikan karyakaryanya antara lain: 1. Theologi and Low in Islam yang diedit oleh G.F Von Grunebaum 2. The Encyclopedia of Religion yang diedit oleh Mircea Eliade 3. Approaches to Islam in Religius Studies yang diedit oleh Richard C. Martin. 4. Islam: Post Influence and Present Challenge yang diedit oleh Alford T. Welch dan P. Chachia. Di Indonesia terdapat tiga murid Fazlur Rahman, yaitu Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan M. Syafi'i Ma'arif.92 Mereka adalah generasi pertama cendekiawan muslim dari Universitas Chicago. Hingga kini merekalah yang dianggap mewakili angkatan pertama itu, karena belum muncul generasi keduanya. 91
Ibid. Nurcholis Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 18. 92
67
Fazlur Rahman, seperti yang diungkapkan Nurcholis Madjid, Fazlur Rahman adalah sseorang yang berpenampilan sederhana dan gaya hidup yang lugu dan sepi ing pamrih seperti layaknya seorang yang amat paham cita-cita dan ajaran Islam, bukan saja sebagai manusia yang amat menarik, tetapi juga seorang guru yang banyak membangkitkan Ilham. Nurcholis juga mengungkapkan bahwa Fazlur Rahman mampu dengan cermat membaca teks-teks klasik perbendaharaan keilmuan Islam disegala bidang, betapapun kunonya bahasa Arab yang digunakan, biarpun hanya dalam bentuk manuskrip yang belum menggunakan cara penulisan standar.93 Keagresifan dan keuletan Fazlur Rahman dalam kerja Ilmiahnya jelas tergambar dari keadaan
perpustakaanya di basement (Lantai dasar bawah tanah)
rumahnya. Disitulah beliau banyak menghabiskan waktunya. Anggota keluarganya mengatakan bahwa beliau jarang sekali menaiki lantai atas rumahna, kecuali untuk beberapa keperluan. Beliau sendiri sambil bercanda menggambarkan dirinya seperti seekor ikan yang naik ke atas hanya mendapatkan udara. Tugasnya hanyalah membaca, berpikir, mengajar, dan menulis.94 B. Pemikiran Ijtihad Fazlur Rahman 1. Konsep dan Metodologi Ijtihad Bila orang mengikuti jalan pemikiran Fazlur Rahman dalam seluruh karyanya, orang akan tahu bahwa ia sangat berkepentingan untuk membangunkan kembali kesadaran umat Islam akan tanggung jawab sejarahnya dengan fondasi
93
Syarif Hidayatullah, Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000), 24-25. 94 Didin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, 149.
68
moral yang kokoh. Fondasi ini hanyalah mungkin diciptakan bila Al-Qur'an sebagai sumber ajaran moral yang sempurna dipahami secara utuh dan padu. Pemahaman yang benar dan utuh ini harus dikerjakan melalui suatu metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara agama dan secara ilmu, menurut Fazlur Rahman, tanpa suatu meodologi yang akurat dan benar, pemahaman terhadap kandungan Al-Qur'an boleh jadi menyesatkan, apalagi bila ia didekati secara parsial dan terpisah-pisah.95 Fazlur Rahman merumuskan metodenya secara bertahap. Rumusan awalnya terdiri dari tiga langkah. Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Qur’an. Dalam hal ini al-Qur’an harus dipelajari dalam tatanan kronologisnya atau tartib nuzuli. Kedua, membedakan ketetapan-ketetapan legal al-Qur’an dari sasaran-sasaran atau tujuan al-Qur’an dengan ketetapan atau ketentuan legal tersebut. Ketiga, memahami dan menetapkan sasaran atau tujuantujuan al-Qur’an dengan tetap memperhatikan latar belakang sosiologis pewahyuan al-Qur’an.96 Rumusan awal di atas terutama dimaksudkan sebagai prosedur untuk menafsirkan ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an. Rumusan selanjutnya yang ditawarkan oleh Rahman yaitu dalam bentuk dua gerakan. Gerakan pertama adalah dari yang khusus kepada yang umum sedangkan gerakan kedua dari yang umum kepada yang khusus. Gerakan pertama tidak lain prosedur tiga langkah dalam rumusan awal yang disebutkan terdahulu. Sedangkan gerakan yang kedua
95 96
Ibid., 151. Syarif, Intelektualisme Dalam Perspektif Neomodernisme Islam, 82.
69
merupakan penerapan prinsip-prinsip yang diperoleh dari gerakan pertama ke dalam realitas kehidupan masyarakat muslim dewasa ini. Gerakan kedua merupakan komponen konteks kekinian yang belum terdapat dalam rumusan awal. Dua gerakan ini kemudian muncul kembali dan dirinci sehingga mencapai bentuk akhirnya dalam bagian karyanya yaitu Islam and modernity: Transformation of an intellectual Tradition.97 Metodologi penafsiran yang diusulkan Fazlur Rahman dalam karyanya tersebut terdiri dari suatu gerakan ganda (double movement) yaitu suatu gerakan dari situasi sekarang kemasa Al-Qur'an diturunkan, kemudian gerakan kembali kemasa sekarang.98 Metode pertama dari dua gerakan yang disebutkan di atas terdiri dari dua langkah. Pertama, seseorang harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan AlQur'an tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar makkah dengan tidak mengesampingkan peperangan Persia Byzantium akan harus dilakukan. Jadi, langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna Al-Qur'an sebagai suatu
97
Ibid., 17. Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Trasformation of an Intelektual, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 2000),6. 98
70
keseluruhan disamping dalam batas-batas ajaran-ajaran khusus yang menerapkan respon terhadap situasi-situasi khusus.99 Selanjutnya untuk langkah yang kedua adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban yang yang spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalan sinaran latar belakang sosio historis dan rasionalis legis yang sering dinyatakan. Rahman menambahkan, langkah yang pertama – memahami makna dari ayat spesifik – itu sendiri mengimplikasikan langkah yang kedua dan membawa kepadanya. Selama proses ini, perhatian harus diberikan kepada arah ajaran Al-Qur'an sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. Al-Qur'an sebagai suatu keseluruhan memang menamakan suatu sikap yang pasti terhadap hidup dan memiliki suatu pandangan dunia yang kongkrit, ia juga mendakwakan bahwa ajarannya "tidak mengandung kontradiksi dalam" tetapi koheren secara keseluruhan.100 Jika gerakan yang pertama terjadi dari hal-hal yang spesifik. Dalam AlQur'an ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan-tujuan jangka panjangnya, maka gerakan yang kedua harus dilakukan dari pandangan umum ini pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus 99
Ibid, 7. Ibid.
100
71
ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio historis yang konkrit dimasa sekarang. Ini sekali lagi memerlukan kajian yang amat cermat atas situasi sekarang dan analisis sebagai unsur-unsur komponennya sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh yang diperlukan, dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur'an secara baru pula. Sejauh lingkup kita mampu mencapai momen dari gerakan ganda ini dengan berhasil, perintah-perintah Al-Qur'an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Sementara tugas yang pertama adalah kerja para ahli sejarah, dalam pelaksanaan tuas yang kedua, instrumentalitas dan para saintis sosial jelas mutlak diperlukan, tetapi" orientasi efektif dan" rekayasa ethis" yang sebenarnya adalah kerja dari pada ethisis.101 Selanjutnya Fazlur Rahman mengingatkan momen yang kedua juga akan berfungsi pengkoreksi hasil-hasil dari momen yang pertama, yaitu hasil-hasil dari pemahaman dan penafsiran. Karena apabila hasil-hasil pemahaman gagal dalam aplikasi sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan dalam menilai situasi sekarang dengan tepat atau kegagalan dalam memahami Al-Qur'an, karena tidaklah mungkin bahwa suatu yang dulu bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasi dalam tatanan spesifik dimasa lampau tidak bisa direalisasi dalam konteks sekarang; dengan mempertimbangkan perbedaan hal-hal spesifik dalam situasi sekarang, dimana ungkapan: mempertimbangkan perbedaan dalam hal-hal spesifik dalam situasi sekarang" meliputi baik pengubahan aturan-aturan dari masa lampau sesuai dengan situasi yang telah berubah dimasa sekarang (asalkan 101
Ibid, 8.
72
pengubahan itu tidak melanggar prinsip-prinsip dan nilai-nilai umum yang berasal dari masa lampau) dan pengubahan situasi sekarang, dimana perlu, hingga situasi dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai umum tersebut. Kedua tugas ini mengimplementasikan
jihad
intelektual:
tugas
yang
kedua
juga
mengimplementasikan jihad atau usaha moral disamping intelektual".102 Jihad atau usaha intelektual, termasuk unsur-unsur intelektual dari kedua moment yang lampau dan sekarang secara teknis disebut ijtihad, yang berarti:103 "upaya untu memahami makna dari suatu teks atau preseden dimasa lampau yang mempunyai suatu aturan, dan mengubah aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi ataupun memodifikasinya dengan cara sedemikian rupa hingga suatu situasi baru dapat dicakup didalamnya dengan suatu solusi yang baru." Definisi di atas mengimplementasikan bahwa suatu teks atau preseden bisa digeneralisasikan sebagai suatu prinsip dan kemudian prinsip tersebut lalu bisa dirumuskan sebagai suatu aturan baru. Ini berimplikasi bahwa makna suatu teks atau preseden dari masa lampau, situasi sekarang dan kondisi yang mengitarinya dapat diketahui secara cukup objektif dan bahwa tradisi tersebut dapat dengan cukup obyektif dibawa kedalam penilaian dalam makna (normatif) dari masa lampau dalam dampak mana tradisi tersebut muncul. Dari sini sendirinya dapat dikatakan bahwa tradisi dapat dipelajari dengan obyektivitas historis yang
102 103
Ibid, 8-9. Ibid.
73
memadai dan dipisahkan tidak saja dari masa kini, tetapi juga dari faktor-faktor normatif yang diduga telah melahirkannya.104 Fazlur Rahman menambahkan bahwa untuk memahami Al-Qur'an secara tepat tidak hanya dibutuhkan pengetahuan bahasa Arab saja, akan tetapi juga dibutuhkan tentang idiom-idiom bahasa arab, ilmu perkamusan, dan kesusastraan Arab dengan suburnya. Setelah memahami Al-Qur'an secara tepat, Fazlur Rahman mengatakan selanjutnya, mengetahui latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur'an yang disebut asbab al-nuzul alat yang perlu untuk menerapkan makan tyang tepat dari firman Tuhan. Kemudian, tradisi histiris yang berisi laporan-laporan tentang bagaimana orang-orang dilingkungan Nabi memahami perintah-perintah AlQur'an, juga dianggap sangat penting. Setelah persyaratan-persyaratan ini dipenuhi barulah penggunaan nalar manusi diberi tempat.105 2. Posisi Pemikiran Ijtihad Fazlur Rahman Terhadap Metodologi Ijtihad yang Sudah Berkembang Sebelumnya Kebanyakan orang memasukkan Fazlur Rahman sebagai salah seorang intelektual Islam yang terkenal pada akhir abad ke duapuluh. Ia akan dikenang karena pemikirannya yang tajam, ingatannya yang sangat banyak dan kemampuannya yang unit dalam mensintesiskan masalah-masalah yang kompleks ke dalam suatu narasi yang runtut.106
104
Ibid. Rahman, Islam, 48. 106 Rahman, Revival and Reforn in Islamic, 3. 105
74
Fazlur Rahman amat kritis terhadap pemikiran Islam yang tidak berakar dalam sejarah dan tidak relevan bagi perkembangan masyarakat. Sikap ini mungkin juga disebabkan oleh minat dan kecenderungan inmtelektualnya sendiri, ia memandang bahwa suatu bentuk pengembangan pemikiran Islam yang tidak berakar dalam kejayaan pemikiran Islam klasik atau luput dari kemampuan menelusuri benang kesinambungannya dengan masa lalu adalah tidak otentik.107 Pegembangan pemikiran Islam yag tidak kontinuitasnya dengan masa lalu Islam akan kehilangan otentisitasnya yang akibatnya akan tidak mampu mengembangkan dinamika internalnya serta tidak sanggup bertahan karena kukarangan segi kemantapan. Pemikiran yang goyah seperti itu akan mudah kehilangan energi, dan dengan begitu juga berarti terancam untuk lekas padam. Di samping itu, mengabaikan sejarah masa lalu tidak saja mengisyaratkan pengingkaran akan eksistensi sejarah itu sendiri, tetapi juga bisa mengakibatkan diajukannya pertanyaan serius tentang eksistensi diri sendiri dan sistem keyakinan sendiri dalam kerangka sejarah masa kini. Maka dalam hal ini Fazlur Rahman adalah orang yang sangat teguh memegang prinsip "memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik".108 Fazlur Rahman membagi dialektika pembaruan di dunia Islam ke dalam empat
gerakan,
yakini
revivalisme
pramodernis,
modernisme
neorevivalisme atau revivalisme pasca modern dan neomodernisme.109
107
Didin, Pemikiran Modern dan Postmodern, 149. Ibid. 109 Sumanto al-Qurthuby, Era Baru Fiqih Indonesia (Yogyakarta: Cermin, 1999), 91. 108
klasik,
75
Gerakan revivalisme pramodernis, dapat dikatakan juga sebagai "Tajdid" merupakan sebuah proses pembaharuan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam untuk menghidupkan kembali semua struktur sosial, moral dan agama kepada dasar aslinya, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Umat Islam, sebagaimana umat lainnya, telah mengalami sebuah siklus kemajuan dan kemunduran yang diikuti oleh
upaya
menhhidupkan
kembali
pembentukan
kerangka
moral-
kemasyarakatan.110 Secara umum, pada abad pertengahan tampak benar-benar sebagai sebuah peiode kemandegan intelektual yang melanda sebuah seluruh kehidupan dunia Islam.111 Fenomena tersebut terjadi tepatnya setelah terbentuknya mazhab hukum klasik dalam Islam,. Terbentuknya empat mazhab hukum klasik tersebut mendorong mandegnya upaya penelitian dan perubahan yang biasa dilakukan oleh para ulama. Tingkat kemunduran tersebut tepatnya dimulai dari abad ke XI Masehi.setelah abad XI Masehi, sistem pendidikan Islam juga mengalami kemerosotan kualitas. Kemudian selama abad XIV M gerakan ini berusaha melawan kejumudan dalam pemahaman agama dan kemerosotan moral yang melanda seluruh masyarakat muslim. Gerakan kebangkitan Islam pada periode ini memiliki karakter sebagai berikut: (1). Memusatkan perhatian yang mendalam terhadap permasalahan sosial dan kemerosotan masyarakat muslim; (2). Memurnikan kembali ajaran Islam dan meninggalkan sikap berkhayal yang ditanamkan oleh para sufi; (3). Berusaha
110
Yang termasuk para tokoh Revivalisme pra modernis antara lain: al-Ghozali (1058-1111 M), Ibn Taimiyah (1263-1328 M), Ahmad Sirhandi (1564-1642 M), dan shah Waliyu’ah Dihlawi (1702-1762 M). 111 Rahman, Islam and Modernity, hlm 45.
76
melakukan “ijtihad” dengan memikirkan dan mengiterpretasikan kembali maksud syara’ dengan membuang jauh-jauh anggapan tentang tertutupnya pintu ijtihad. Dalam hal ini selaras apa yang telah dilakukan oleh Ibnu Taymîyah. Ia melakukan ijtihad dengan menginterpretasikan maksud syara’ dalam menetapkan hukum Islam berpegang kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Pemikirannya sangat literatur, menurutnya untuk memperoleh kesimpulan yang akurat, harus dilakukan penelitian yang empirik. Empirik itu bukan hanya apa yang dilakukan dan yang ditulis oleh orang. Catatan al-Qur’an dan al-Sunnah harus ditempatkan sebagai empirik. Para ulama pada umumnya berfikir secara deduktif dalam mengkaji agama. Artinya dalil-dalil dari ayat al-Qur’an dan al-Sunnah ditempatkan sebagai teori, kemudian dinalar sebagai deduktif, ditafsirkan dan dita’wil sesuai dengan alam pikiran masing-masing ulama. Semakin luas pemikiran ulama uraian deduktifnya semakin menarik. Menurut Ibn Taymîyah, itu bukan cara yang tepat. Mestinya, nash itu ditempatkan sebagai data, disuruh sebagaimana adanya, tanpa dipengaruhi oleh prokonsepsi pemerhatiannya. Teori ini diajukannya karena ia melihat, para pemikir muslim, terlebih di bidang teologi dan filsafat dengan metode berfikir deduktif, mereka memahami nash wahyu dengan membawa bingkai pemikir tertentu. Akibatnya nash wahyu dicocokkan dengan bingkai tersebut.112 Ia menambahkan,
112
1997), 138.
Muh. Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, Cet. 2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
77
barang siapa berbicara tentang makna al-Qur’an dengan akalnya, jikalau itu benar, ia tetap berbuat kesalahan.113 Gerakan modernisme klasik muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad 20, dengan mengambil alih dasar pembaruan revivalisme modernis dan berada di bawah pengaruh ide-ide Barat.114 Gerakan ini mengembangkan isi ijtihad, seperti hubungan antara akal dan wahyu, pembaruan sosial, khususnya dalam bidang pendidikan dan status wanita, pembaharuan politik dan bentukbentuk pemerintahan yang representatif serta konstitusional. Kesemuanya terjadi karena kontak dengan pemikiran dan masyarakat Barat. Menurut Rahman, usaha modernisme klasik dalam mengaitkan pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui Al-Qur'an dan Sunnah Nabi merupakan prestasi yang besar. Sunnah Nabi disini diartikan sebagai sunnah historis, yaitu biografi Nabi, bukan sunnah teknis yang terdapat dalam hadis-hadis yang nonhistoris. Modernisme klasik bersikap skeptis terhadap hadis-hadis, tetapi sayang tidak ditopang oleh krtitisme ilmiah. Dalam gerakan ini sebagaimana yang dilakukan Muhammad Abduh, dalam menafsirkan al-Qur’an ia berpegang pada semangat rasionalitas. Rasionalitas tafisrnya dalam bidang akidah syarat dengan pemikiran atau wawasan kefilsafatan dan penakwilan yang dinamis, objektif, ilmiah dan proporsional. Penafsiran ayatayat al-Qur’an dengan ta’wil menggambarkan adanya keterbukaan dari mufassir yang bersangkutan dan tafsir yang dihasilkannya bersifat rasional, karena pada 113
Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks Yang Bisu (Yogyakarta: TERAS,
2004), 87.
114
Diantara tokoh aliran modernisme klasik adalah Sayyid Ahmad Khan (1232-1316) di India, Jamaludin Al-Afgani (1255-1315 H) di Mesir dan salah seorang muridnya Muhammad Abdul (1265-1323 H). lihat: Fazlur Rahman, Islam, 316-320.
78
lazimnya proses ta’wil tidak mengambil arti harfiah dari ayat, tetapi makna metaforisnya. Segi rasionalitas penakwilan terletak pada tiadanya keterikatan akal pada makna-makna hakiki dari ayat, tetapi bebas memilih makna metaforis yang sesuai dengan jiwa ajaran al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.115 Rasionalitasnya dalam bidang ibadat ternyata sarat dengan uraian-uraian tentang hikmah dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam syari’at ibadat. Ayat-ayat yang berkenaan dengan ibadat sedapat mungkin ditafsirkan Muhammad Abduh dengan menonjolkan segi hikmah dan pesan moralnya. Secara umum ibadat dalam Islam adalah wahana latihan untuk membersihkan roh, mendidik hati nurani dan demi memperbaiki moral manusia. Gerakan Neorevivalis, gerakan ini tumbuh tepatnya mulai penuh pertama abad 20 M yang merupakan kelanjutan dari gerakan Modernisme klasik yang muncul pada abad 19 dan permulaan abad 20 M. Munculnya gerakan Neorevivalis sebagai reaksi terhadap gelombang sekulerisasi yang melanda dunia Islam.116 Gerakan ini memfokuskan perhatiannya untuk menghadapi berbagai permasalahan penting yang sedang menggerogoti kehidupan umat Islam, khususnya mengenai sikap perlawanannya terhadap "westernisasi" yang sedang melanda komunitas muslim. Mereka membentengi diri dengan menempatkan Islam sebagai way of life dan menolak upaya menginterprestasikan kembali al115
Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Post Modern Islam, 34-35. Sekularisasi yang dilakukan oleh elit pendidikan Barat, menekankan paham liberalisasi, kebebasan bertindak dan menonjolkan kepentingan individu, ilmu pengetahuan modern dan teknologi pada level yang sama. Unsure-unsur yang berkembang di tengah-tengah aliran sekule telah mengaburkan semua kebaikan, dimana Barat memasukkannya dalam ide dua politik, organisasi ekonomi, system pendidikan dan teknologinya yang telah mempengaruhi Islam dalam bentuk ritual dan aturan-aturan tinglkah laku tiap orang. Lihat: Lihat Abdullah Saeed, Islamic Banking and interest Astudy of The prohibition of Riba and its Contemporery Interprestation, terjemahan. M. Uful Mubin (Yogyakarta: Pustaka Pelayar, 2004), 12. 116
79
Qur'an atau Sunnah. Gerakan neo-revivalis berkembang di Mesir dan sebagian di India, yaitu: Ikhwanul Muslim (The Muslim Brother hood) didirikan oleh seorang aktivis dan pembaharu kebangsaan Mesir Hasan at Banna (W-1949) dan Jam'iyat al-Islam (Islamic Party) didirikan oleh sajarna Pakistan Abu A'la Al- Mawdudi (W. 1979). Gerakan Neo-Revivalis juga sebuah gerakan yang angin mengangkat revolusi ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat pada saat ini, serta berusaha menunjukkan kekuatan Islam dimata dunia Barat. Gerakan ini memandang kebudayaan Barat dengan tanggapan yang negatif dn menunduknya sebagai sebab kemerosotan (decadence) moral, gaya hidup materealistis, serta sumber munculnya paham Atheis-komunis. Gerakan neo-revivalis menentang kebudayaan barat yang sebenarnya sudah diambang keruntuhan. Gerakan neo-revivalis juga berpandangan bahwa fungsi ijtihad hanya dilasanakan terhadap permasalahan yang secara eksplisit tidak disebutkan dalam Al-Qur'an maupun sunnah. Menurut pandangan aliran ini, bahwa tidak ad aturan dalam al-Qur'an dan Sunnah yang perlu ditafsirkan dan di modifikasi kembali. Umat Islam harus menerimanya sebagai aturan yang permanen serta menerapkannya dalam realitas kehidupan dengan tanpa melakukan perubahan yang disebabkan oleh perbedaan waktu, tempat, keadaan, maupun strata sosial dalam pengembangan ekonomi.117 Selanjutnya adalah gerakan Neomodernisme. Gerakan ini dipelopori oleh Fazlur Rahman. Rahman menganggap bahwa kelemahan paling fundamental dari aliran-aliran pra-neomodernisme adalah tidak adanya metodologi yang sistematis 117
Ibid, 12-14.
80
dan komperhensif, dalam memahami al-Qur'an dan as-sunnah. Oleh karena itulah menghadirkan neomodernisme islamnya sebagai solusi alternatif bagi upaya-upaya pengembangan
dan
pembaharuan
hukum
Islam
kontemporer.
Gerakan
neomodernisme di sini berusaha menggabungkan dua faktor penting yaitu tradisionalisme dan modernisme. Fazlur Rahman dalam hal ini adalah merupakan seorang pembaharu yang paling bertanggung jawab pada abad ke 20, yang berpengaruh besar di Pakistan, Malaysia, Indonesia dan Negara-negara lain (di dunia Islam), serta di Chicago Amerika (di dunia Barat) memiliki berbagai pemikiran yang terkait dengan persoalan tersebut. Ia berhasil bersikap kritis baik terhadap warisan Islam sendiri maupun terhadap tradisi Barat.118 Ia berhasil mengembangkan suatu metode yang dapat memberi alternatif solusi atas problem-problem umat Islam kontemporer. Semula ia mengembangkan metode kritik sejarah, kemudian dikembangkan menjadi metode penafsiran sistematis dan akhirnya disempurnakan menjadi metode gerakan ganda (a double movement), yaitu kembali kelatar belakang sejarah dan social dari masa diturunkan Al-Qur'an untuk menemukan "makna hakiki" dari pernyataan-pernyataan al-Qur'an dan menerapkan makan-makna itu dalam memhami al-Qur'an untuk konteks masa kini. Inti gagasan ini adalah pentingnya "akar kesejarahan dan latar belakang sosiologis" dari ayat-ayat alQur'an. Gerakan pertama di atas dimulai dengan menafsirkan ayat-ayat yang spesifik dalam al-Qur’an untuk mencari prinsip-prinsip umum, nilai dan tujuannya, 118
Sutrisno, Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan System Pendidikan, 1.
81
sedangkan gerakan yang kedua, merealisasikan prinsip umum tersebut ke dalam pandangan spesifik sekarang. Lebih lanjut Fazlur Rahman menawarkan dua metode berfikir, yang pertama metode berfikir dari yang khusus kepada yang umum (induktif) dan kedua, metode berfikir dari yang umum kepada yang khusus (deduktif). Kemudian untuk mengoperasikan metode ini, Fazlur Rahman menetapkan tiga tahapan, yaitu: Pertama, merumuskan word-vew (pandangan dunia) al-Qur’an. Kedua, mensistematisasikan etika al-Qur’an dan ketiga menubuhkan etika alQur’an pada konteks masa kini.119 Dalam hal ini, bisa dilijat dari pemikirannya tentang masalah bunga bank dalam kaitannya dengan larangan riba. Pada awalnya al-Qur’an menyatakan bahwa riba itu tambahan (QS. 30: 39). Kemudian al-Qur’an menerangkan tentang praktek riba di kalangan Yahudi. Orang Yahudi diazab karena mereka terus mempraktekkan riba sebagai jenis perbuatan makan harta orang lain dengan cara batil (QS. 4: 61). Selanjutnya, al-Qur’an melarang orang beriman memakan riba dengan berlipat ganda (QS. 3: 130). Akhirnya, al-Qur’an secara tegas melarang riba (QS. 2: 275, 276, 278-280). Dalam kaitannya dengan bunga bank, Fazlur Rahman menyimpulkan bahwa sistem ekonomi bisa saja disusun berdasarkan bank yang bebas bunga. Akan tetapi keadaan saat itu, tidak memungkinkan bagi konstruksi idealis tersebut. Selama Islam belum direkontruksi berdasarkan pola Islam, maka akan merupakan langkah bunuh diri bagi kesejahteraan ekonomi
119
Ibid., 136.
82
masyarakat dan sistem financial negara, serta bertentangan dengan spirit dan tujuan al-Qur’an dan sunnah jika bunga bank dihapus. 3. Metode Pembaharuan Hukum Islam Kontemporer Dalam rangka pembaharuan hukum Islam yang sedang berlangsung sekarang ini dan agar umat Islam tidak terjebak dalam pendapat yang sempit, maka ijtihad terhadap masalah-masalah baru dengan metode yang tepat mutlak diperlukan. Hal ini penting dilakukan karena tidak semua masalah baru yang timbul dalam kehidupan ini sudah disediakan pemecahannya dalam al-Qur’an dan al-hadits serta ijmak para ulama. Saat ini, ijtihad dalam rangka pembaharuan hukum Islam bukan saja menjadi kebutuhan, tetapi sudah menjadi sunnatullah yang tidak bisa ditinggalkan dalam menghadapi arus globalisasi. Dengan dilaksanakannya ijtihad dalam menyelesaikan segala masalah hukum yang timbul, diharapkan hukum Islam tetap eksis dan dapat mengikuti perkembangan zaman serta tetap diperlukan oleh umat Islam dalam mengatur kehidupannya. Sehubungan dengan hal di atas, untuk melakukan pembaharuan hukum Islam harus ditempuh melalui beberapa metode. Dalam hal ini Ibrahim Husen seorang ahli hukum Islam menawarkan langkah-langkah sebagai berikut: a. Pemahaman Baru Terhadap Kitabullah Hal ini dilakukan dengan diskontruksi dengan jalan mengartikan alQur’an dalam konteks dan jiwanya. Pemahaman melalui konteks berarti mengetahui asbab am-nuzul. Sedangkan pemahaman melalui jiwanya berarti memperhatikan makna dan substansi ayat tersebut.
83
b. Pemahaman Baru Terhadap Sunnah Dilakukan dengan cara mengklasifikasikan sunnah, mana yang dilakukan Rasulullah dalam rangka Tasyri’ Al-Ahkam (penetapan hukum) dan mana pula yang dilakukannya selaku manusia biasa sebagai sifat basyariyah (kemanusiaan). Sunnah baru dapat dijadikan pegangan wajib apabila dilakukanb dalam rangka Tasyri’ Al-Ahkam. Sedangkan yang dilakukannya sebagai manusia biasa tidak wajib diikuti, seperti kesukaan Rasulullah SAW kepada makanan yang manis, pakaian yang berwarna hijau dan sebagainya. Di samping itu sebagaimana al-Qur’an, sunnah juga harus dipahami dari segi jiwa dan semangat atau substansi yang terkandung di dalamnya. c. Pendekatan Ta’aqquli (Rasional) Ulama’ terdahulu memahami rukun Islam dilakukan dengan Taabbudi yaitu menerima apa adanya tanpa komentar, sehingga kwalitas illat hukum dan tinjauan filosofisnya banyak tidak terungkap. Oleh karena itu, pendekatan ta’aqquli harus ditekankan dalam rangka pembaharuan hukum Islam (ta’abadi dan ta’aqquli). Dengan pendekatan ini illat hukum hikmahat-tashih dapat dicerna umat Islam terutama dalam masalah kemasyarakatan. d. Penekanan Zawajir (zawajir dan jawabir) dalam pidana. Dalam masalah hukum pidana ada unsur zawajir dan jawabir. Jawabir berarti dengan hukum itu dosa atau kesalahan pelaku pidana akan diampuni oleh Allah. Dengan memperhatikan jawabir ini hukum pidana harus dilakukan sesuai dengan nash, seperti pencuri yang dihukum dengan potong tangan,
84
pezina muhsan yang dirajam, dan pezina ghoiru muhson didera. Sedangkan zawajir adalah hukum yang bertujuan untuk membuat jera pelaku pidana sehingga tidak mengulanginya lagi. Dalam pembaharuan hukum Islam mengenai pidana, yang harus ditekankan adalah zawajir. Dengan demikian hukum pidana tidak terikat pada apa yang tertera dalam nash. e. Masalah Ijmak Pemahaman yang terlalu luas atas ijmak dan keterikatan kepada ijmak harus dirubah dengan menerima ijmak sarih, yang terjadi di kalangan sahabat (ijmak sahabat) saja, sebagaimana yang dikemukakan oleh Asy-Syafi’i. Kemungkinan terjadinya ijmak sahabat sangat sulit, sedangkan ijmak skuti (ijmak diam) masih diperselisihkan. Di samping itu, ijmak yang dipedomi haruslah mempunyai sandaran qat’i yang pada hakikatnya kekuatan hukumnya bukan kepada ijmak itu sendiri, tetapi pada dalil yang menjadi sandarannya. Sedangkan ijmak yang mempunyai sandaran dalil zanni sangat sulit terjadi. f. Masalik al-‘Illat (cara penetapan ‘illat) Kaidah-kaidah yang dirumuskan untuk mendeteksi illat hukum yang biasanya dibicarakan dalam kaitan dengan kias. Dalam kaidah pokok dikatakan bahwa “hukum beredar sesuai dengan illatnya”. Ini ditempuh dengan merumuskan kaidah dan mencari serta menguji alat yang benar-benar baru. g. Masalih Mursalah Dimana ada kemaslahatan di sana ada hukum Allah SWT adalah ungkapan populer di kalangan ulama. Dalam hal ini masalih mursalah
85
dijadikan dalil hukum dan berdasarkan ini dapat ditetapkan hukum bagi banyak masalah baru yang tidak disinggung oleh al-Qur’an dan sunnah. h. Sadd az-Zari’ah Sadd az-Zari’ah berarti sarana yang membawa ke hal yang haram. Pada dasarnya sarana itu hukumnya mubah, akan tetapi karena dapat membawa kepada yang maksiat atau haram, maka sarana itu diharamkan. Dalam rangka pembaharuan hukum Islam sarana ini digalakkan. i. Irtijab akhlaf ad-Dararain Dalam pembaharuan hukum Islam kaidah ini sangat tepat dan efektif untuk pemecahan masalah baru. Umpamanya perang di bulan Muharram hukumnya haram, tetapi karena pihak musuh menyerang, maka boleh dibalas dengan
berdasarkan
kaidah
tersebut,
karena
serangan
musuh
dapat
mengganggu eksistensi agama Islam. j. Keputusan Walliyy al-Amr Atau disebut juga ulil amri yaitu semua pemerintah atau penguasa, mulai dari tingkat yang rendah sampai yang paling tinggi. Segala Peraturan Undang-Undangan wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan agama. Hukum yang tidak dilarang dan tidak diperintahkan hukumnya mubah. Contohnya, pemerintah atas dasar masalih mursalah menetapkan bahwa penjualan hasil pertanian harus melalui koperasi dengan tujuan agar petani terhindar dari tipu muslihat lintah darat. k. Memfiqhkan Hukum Qat’i
86
Kebenaran qat’i bersifat absolut. Sedangkan kebenaran fiqh relatif. Menurut para fuqaha, tidak ada ijtihad terhadap nas qat’i (nas yang tidak dapat diganggu gugat). Tetapi kalau demikian halnya, maka hukum Islam menjadi kaku. Sedangkan kita berpegang pada moto: al-Islam salih li kulli zaman wa makan dan tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-amkinah wa al-zaman. Untuk menghadapi masalah ini qat’i diklasifikasikan menjadi: Qat’i fi jami’ al-ahwal dan Qat’i fi ba’d al-ahwal. Pada Qat’i fi jami’ al-ahwal tidak berlaku ijtihad, sedangkan pada Qat’i fi ba’d al-ahwal ijtihad dapat diberlakukan. Tidak semua hukum qat’i dari segi penerapannya (tatbiq) berlaku pada semua zaman.120
120
http://one.indoskripsi.com/content/apa-definisi-dari-pembaharuan-hukum-Islam-itu-sendiri.
87
BAB IV ANALISA TENTANG IJTIHAD FAZLUR RAHMAN
A. Analisa Tentang Konsep dan Metodologi Ijtihad Fazlur Rahman Sebelum penulis menjelaskan konsep dan metodologi ijtihad Fazlur Rahman, penulis akan menerangkan terlebih dahulu tentang aliran neomodernisme Islam. Aliran ini muncul dipelopori oleh Fazlur Rahman yaitu seorang intelektual Islam yang paling bertanggung jawab pada abad kedua puluhan yang berpengaruh besar di Pakistan, Malaysia, dan Negara lain (di Dunia Islam) serta di Chicago (di dunia Barat). Rahman menganggap
bahwa
kelemahan
yang
paling
fundamental
dari
aliran
pra-
neomodernisme adalah tidak adanya metodologi yang sistematis dan komperhensif di dalam memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah, oleh karena itu ia menghadirkan neomodernis Islamnya. Selanjutnya Rahman membangun konsep ijtihad yang khas dan selanjutnya ia merumuskan metodiknya yang khas pula. Menurut Rahman ijtihad merupakan suatu usaha yang keseluruhan unsur-unsurnya mengandung muatan jihad (perjuangan) intelektual. Mengandung implikasi metodologis, metodis dan fungsional. Menurut Rahman, ijtihad adalah upaya memahami makna suatu teks atau preseden di masa lampau yang mengandung suatu aturan, dan mengubah aturan tersebut dengan cara memperluas atau membatasi ataupun memodifikasinya dengan cara-cara yang lain sedemikian rupa sehingga situasi baru dapat dicakup ke dalamnya dengan dengan suatu solusi baru. Implikasi metodologis yang terdapat dalam definisi di atas adalah
88
bahwa teks Al-Qur'an dan preseden (sunnah) dapat dipahami untuk digeneralisasikan sebagai prinsip-prinsip, dan prinsip-prinsip tersebut lalu dapat dirumuskan menjadi aturan yang baru. Implikasi metodis yang terkandung didalamnya adalah bahwa kerja ijtihad meliputi: pemahaman teks dan presedan dalam keutuhan konteksnya dimasa lampau, pemahaman situasi baru yang sedang terjadi sejkarang dan pengubahan aturan-aturan hukum yang terkandung di dalam teks atau preseden adapun implikasi fungsional dalam definisi tersebut difungsikan untuk upaya pembaharuan hukum Islam sebagai upaya menjawab tantangan situasi baru. Selanjutnya ide-ide motodologis Rahman yang mendahului perumusan metodologinya, diantaranya dinyatakan sebagai berikut suatu penafsiran al-Qur'an yang sistematis dan berani harus dilakukan. Bahaya besar dalam upaya seperti ini, tentu saja adalah timbulnya proyeksi ide-ide subyektif kedalam al-Qur'an dan menjadikannya sebagai obyek perlakuan arbitrer, namun bahaya ini sebagian besar dapat diminimalkan, maka suatu metologi yang seksama untuk memahami dan menafsirkan al-Qur'an harus digunakan. Tampaklah bahwa sejak awal Rahman telah menyaddari kemungkinan bahaya subyektivitas penafsir. Untuk menghindarkan atau setidaknya untuk menimbulkan bahaya subyektivitas tersebut. Rahman mengajukan sebuah metodologi tafsir yang terdiri dari tiga pendekatan: pertama pendekatan historis untuk menemukan makna teks, kedua pendekatan kontentual untuk menemukan sasaran dan tujuan yang terkandung dalam ungkapan legal spesifik dan ketiga adalah pendekatan latar belakang sosiologis untuk menguatkan hasil temuan pendekatan kontentual atau untuk
89
menemukan sasaran dan tujuan yang tidak dapat diungkapkan oleh pendekatan kontektual. Kemudian ujung dari ide-ide dan konsep metodologinya ia rumuskan dalam dua gerakan metodis yang masing-masing terdiri dari serangkaian kerja intelektual yang secara teknis dinamakan ijtihad atau "jihad intelektual". Gerakan pertama dari dua gerakan teoritis, yang terdiri dari dua langkah, pada dasarnya merupakan penjabaran dari tiga pendekatan pemahaman dan penafsiran al-Qur'an, yaitu pendekatan historis, kontentual dan sosiologis. Rumusan gerakan pertama ini diungkapkan Rahman sebagai berikut:121 Langkah pertama, orang harus memahami arti atau makna suatu pernyataan (ayat) dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan al-Qur'an tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam situasi situasi spesifiknya, suatu kajian suatu makro dalam batasan-batasan masyarakat,
agama,
adapt-istiadat,
lembaga,
bahkan
keseluruhan
kehidupan
masyarakat di Arabia pada saat Islam dating dan khususnya Makkah dan Sekitarnya, harus dilakukan terlebih dahulu. Langkah kedua, adalah menggeneralisasikan respon-respon spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan moral sosial umum, yang dapat "disaring" dari ungkapan ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan dalam sinaran rationes legis ('illat hukum) yang sering dinyatakan. Benarlah bahwa langkah pertama yakni memahami dari suatu pernyataan 121
Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of Intellectual Tradition, Terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 2000), 7.
90
spesifik- sudah memperlihatkan kearah langkah ke dua dan membawa kepadanya. Selama proses ini, perhatian harus ditujukan kepada ajaran al-Qur'an sebagai suatu keseluruhan, sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan, dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. AlQur'an sendiri mendakwahkan secara pasti bahwa "ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam", melainkan koheren secara keseluruhan. Ide pokok yang terkandung dalam gerakan pertama, sebagaimana hal di atas, adalah penerapan metode brpikir induktif: "berpikir dari ayat-ayat spesifik menuju kepada prinsip", atau dengan kata lain adalah "berpikir dari aturan-aturan legal spesifik menuju kepada moral sosial yang bersifat umum yang terkandung didalamnya. Terdapat tiga perangkat untuk dapat menyimpulkan prinsip moral-sosial. Pertama adalah perangkat 'llat hukum (ratio logis) yang dinyatakan dalam al-Qur'an secara eksplisit; kedua adalah 'illat hukum yang dimyatakan secara
implisit yang dapat
diketahui dengan cara menggeneralisasikan beberapa ungkapan spesifik yang terkait; ketiga adalah perangkat sosio-historis yang bisa berfungsi untuk menguatkan 'illat hukum implisit untuk menetapkan arah maksud-tujuannya, juga dapat berfungsi untuk membantu mengungkapkan 'illat hukum beserta tujuannya yang sama sekali tidak dinyatakan. Mengenai cara atau metode untuk menentukan ‘illat, mayoritas ushul fiqh telah membahasnya secara mendetail. Cara atau metode tersebut dikenal dengan masalik al‘illat yaitu sebagai metode penetapan ‘illat pada suatu hukum. Metode-metode tersebut adalah al-nash, al-ima’ al-ijma’, al-sibr wa al-taqsim, tahrij al-manath, tanqih al-
91
manath dan tahqiq al-manath. Ringkasan dari metode-metode tersebut adalah sebagai berikut: Al-Nash adalah metode menunjukkan ‘illat secara eksplisit oleh al-Qur’an dan al-Hadits. ‘Illat semacam ini dinamakan ‘illat al-manshubat. Al-Ima’ (indikasi), suatu cara menetapkan ‘illat berdasarkan indikasi melalui seperangkat cara tertentu. Alijma’, cara menetapkan ‘illat berdasarkan kesepakatan ulama’ atas ‘illat tersebut. AlSibr wal-taqsim (pengujian dan pengkajian adalah cara menetapkan ‘illat dengan menghimpun semua sifat yang ada pada ashal (hukum) yang diperkirakan sebagai ‘illat lalu mengadakan pengujian atasnya untuk menetapkan ‘illat yang lebih pantas. Tahrij al-Manath adalah penelitian dan pengkajian ‘illat yang nash dan atau ijma’ menunjukkan hukum tanpa disertai dengan menunjukkan ‘illatnya. Tahqiq al-manath adalah pengkajian dan penelitian untuk menetapkan sifat-sifat yang ditunjukkan oleh nash secara tidak tegas sebagai i’llat hukum dengan cara mengabaikan sifat-sifat yang tidak cocok. Sedang tahqiq al-manath adalah penelitian untuk mengetahui dan memastikan adanya ‘illat pada furu’ (kasus) yang diqiyaskan, baik ‘illat tersebut bersifat mansubat maupun mustambatat.122 Dari seluruh metode penetapan ‘illat yang disebut di atas pada garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua. Pertama adalah metode penetapan ‘illat yang terkandung dalam sebuah hukum. Metode ini bisa berupa dua cara: dengan cara sam’iyyat (pemberitaan nash) dalam hal ‘illat dinyatakan secara eksplisit dan dengan cara nazhar dan ijtihad dalam hal ‘illat tidak dinyatakan secara eksplisit (illat almustambathat). Kedua adalah metode penerapa ‘illat pada suatu fenomena (al122
92.
Lihat: H.M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 84-
92
waqi’at). Satu-satunya bentuk metode yang terakhir ini adalah tahqiq al-manath. Gerakan pertama rumusan metode Rahman sebagaimana telah disampaikan di muka mengandung implikasi metode-metode penetapan ‘illat ini. Mengenai ‘illat eksplisit maka tidak ada permasalahan di dalamnya, sedang mengenai ‘illat implisit Rahman menyebutkan metode “generalisasi” yang secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan metode nazhar ijtihad. Bedanya, Rahman mengajukan alternatif pendekatan sosio historis untuk membantu dan sekaligus menguatkan penemuan ‘illat implisit. Selanjutnya adalah gerakan kedua, gerakan ini merupakan upaya perumusan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan-tujuan al-Qur'an yang btelah disitematis sasikan melalui gerakan yang pertama, terhadap situasi dan atau kasus aktual sekarang ini. Rumusan gerakan kedua ini dinyatakan Rahman sebagai berikut: Gerakan kedua harus dilakukan dari pandangan umum (yakni, yang telah disestematiskan melalui gerakan pertama) menjadi pandangan-pandangan spesifik (the specific view) yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang ini. Artinya, ajaranajaran yang bersifat umum tersebut dirumuskan (embodied) dalam konteks sosiohistoris yang kongkret sekarang ini. Sekali lagi kerja ini memerlukan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponennya, sehingga kita dapat menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh yang diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa menerapkan nilai-nilai Al-Qur,an secara baru pula.123 Dari hal di atas dapat dipahami bahwa dalam gerakan kedua tersebut terdapat dua kerja yang saling berkaitan: pertama adalah kerja merumuskan prinsip umum al123
Rahman, Islam and Modernity, 8.
93
Qur'an menjadi rumusan-rumusan spesifik, maksudnya yang berkaitan dengan tematema khusus, misalnya prinsi ekonomi Qur'ani; prinsip polotik Qur'ani; prinsip hakhak azasi Qur'ani; prinsip demokrasi Qur'ani dan lain-lain, dimana rumusan prinsip spesifik tersebut harus mempertimbangkan konteks sosio-historis yang kongkret dan bukanlah rumusan spekulatif yang mengawang-awang. Kerja pertama ini tidak mungkin terlaksana kecuali disertai dengan kerja kedua yakni, pemahaman secara akurat terhadap kehidupan aktual yang sedang berkembang dalam dalam berbagai aspeknya: ekonomi, politik, kebudayaan dan lain-lain. Kenyataannya kehidupan aktual suatu masyarakat atau bangsa memiliki corak-corak tertentu yang bersifat situasional dan kodisional, selain itu ia sarat akan perbahan-perubahan. Maka tanpa pencermatan situasi kondisi aktual, akan cenderung kepada upaya pemaksaan prinsip-prinsip qur'an, sedang yang diinginkan Rahman bukanlah upaya seperti itu melainkan upaya "perumusan" prinsip umum al-Qur'an dalam konteks sosio-historis aktual. Bahkan suatu prinsip tidak dapat diterapkan sebelum ia dirumuskan kembali. Penilaian situasi dan kondisi aktual dilakukan dengan sudut pandang prinsip umum Qur'ani tersebut, sehingga proses penilaian tersebut sekaligusmengandung fungsi "mengontrol" kecendeungan yang menyimpang dari prinsp-prinsip umum Qur'ani, tidak mengembangkannya secara liberal tetapi ia dimungkinkan berkembang secara progresif dengan kendali prinsip-prinsip Qur'ani tersebut. Dua gerakan metodis Rahman tersebut sudah barang pasti menghasilkan keputusan-keputusan hukum yang baru jika disbanding dengan ketetapan fiqh yang telah lebih dahulu dirumuskan oleh fuqaha', atau bahkan akan menghasilkan keputusan
94
hukum yang menyimpang, sedikit atau banyak, dari aturan-aturan yang terkandung secara tekstual dalam ayat-ayat hukum. Kemungkinan tersebut sangat besar adanya hukum yang menyimpang dari prinsip umum al-Qur'an. Rahman sendiri secara jelas mendefinisikan ijtihad sebagai "kerja untuk memperbaharui-atau jika menggunakan bahas yang tegas adalah "mengubah aturan-aturan yang terkandung di dalam teks alQur'an atau preseden agar keduanya mampu mencakupi situasi dan kondisi baru dengan memberikan sebuah solusi (aturan hukum) yang baru pula." Fazlur Rahman juga mengemukakan bahwa gerakan metodis yang dibagi dalam dua gerakan itu disebutnya dengan ijtihad intelektual yang di dalamnya tidak hanya bekerja seperangkat kaidah kebahasaan, tetapi juga melibatkan kegiatan sainssains kesejahteraan untuk mengungkap tata kehidupan masyarakat Arab pra-Islam dan masyarakat muslim masa Nabi Muhammad sebagai latar belakang sosiologi al-Qur’an dalam segala aspek kehidupan aktual terutama dalam bidang ekonomi politik, agama dan pranata sosial lainnya. Di samping itu juga diperlukan sains-sains sosial modern untuk mengungkapkan situasi dan kondisi kehidupan aktual sekarang ini dalam segala aspeknya. Berdasarkan pertimbangan inilah Fazlur Rahman menolak ijtihad sebagai hak previlise eksklusif kalangan ulama saja, tetapi hendaknya seorang mujtahid itu harus orang yang lengkap ilmu pengetahuannya, terutama orang yang memahami fiksafat sebagai sarana berfikir, kritis, dan memahami sains-sains sosial modern.124
124
218-219.
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
95
B. Analisa Tentang Posisi Pemikiran Ijtihad Fazlur Rahman Terhadap Pemikiran Dan Metodologi Ijtihad Yang Sudah Berkembang Sebelumnya Untuk mengetahui pemikiran ijtihad Fazlur Rahman terhadap pemikiran dan metodologi ijtihad yang sudah berkembang sebelumnya, perlu penulis kemukakan mengenai dialektika perkembangan pembaharuan yang muncul dalam dunia Islam menurut Fazlur Rahman. Rahman membagi gerakan pembaharuan kedalam empat gerakan. Gerakan pertama adalah revivalisme promodernis yang lahir pada abad ke 18 dan 19 di Arabia India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara orisinil dari dunia Islam, bukan merupakan reaksi terhadap barat gerakan ini secara sederhana mempunyai ciriciri umum yaitu; (a) keprehatinan yang mendalam terhadap degenerasi sosial moral umat Islam, (b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan memberantas takhayul-yakhayul dan dengan membuka dan melaksanakan ijtihad (c) imbauan untuk membuang sikap fatulisme dan (d) imbauan untuk pembaharuan ini lewat ijtihad jika diperlukan. Dalam gerakan revivalisme pramodernis ini pemahaman terhadap al-Qur’an secara tekstual, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taymiyah, ia menafsirkan al-Qur’an hanya melihat makna dhohir saja, sementara sisi makna bathin dia ingkari. Dalam hal ini bisa kita lihat ketika ia menafsirkan surat Adz-Dzariyat ayat 47: “Wa as-samaa banainaaha biadin”, yang artinya adalah “Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan kami benar-benar berkuasa”. Sementara ulama jumhur dari ahlu sunnah mentakwilkan tafsir ayat ini menjadi “Banainaaha biquwwatin” yakni, “Kami bangun dengan kekuatan”. Sementara Biaidin ditafsirkan oleh ulama Ahlu Sunnah
96
dengan kinayah atas kekuatan dan kekuasaan-Nya. Jadi bisa dikatakan juga bahwa Ibnu Taymiyah meyakini bahwa semua ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’an adalah muhkamat dan tidak ada ayat dari ayat-ayat yang mutasyabihat.125 Menurut Fazlur Rahman, dasar pembaharuan revivalisme pramodernis ini kemudian dikembangkan oleh gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada abad ke 19 dan awal abad 20 di bawah pengaruh ide-ide barat. Perkembangannya terletak pada usaha gerakan ini untuk memperluas isi ijtihad dan juga agenda gerakan seperti isu tentang hubungan akal dan wahyu pembaharuan sosial terutama pada bidang pendidikan dan status wanita. Pembaharuan politik untuk membentuk pemerintahan yang presentant dan kostitusional. Jasa modernisme klasik ini adalah usahanya untuk menciptakan hubungan barat dengan tradisi Islam dalam kaca mata Al-Qur'an dan As-Sunnah hanya saja, penafsiran mereka terhadap Al-Qur'an dan AsSunnah tidak ditopang dengan metode yang memadai. Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari barat dan membungkusnya dengan bahasa Al-Qur'an. Akibatnya gerakan sama sekali tidak bisa lepas dari kesan barat sentries, atau bahkan dari tuduhan sebagai gerakan antek-antek barat yang ingin merusak Islam. Hal tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh Muhammad Abduh, ia menilai kitab-kitab tafsir pada masa-masa sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda dan pada akhirnya malah menjauh dari tujuan diturunkannya al-Qur’an. Sebagian kitab-kitab tafsir itu sedemikian kering dan kaku karena penafsirannya hanya mengarahkan perhatiannya kepada pengertian kata125
170-171
Dewam Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002),
97
kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i'rob dan penjelasan lain mengenai segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, kitab-kitan tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam bidang bahasa bukan kitab tafsir yang sesungguhnya. Menurut Muhammad Abduh bahwa antara wahyu dan akal tidak mungkin bertentangan dan karenanya beliau menggunakan akal secara luas untuk memahami, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang menyangkut akidah maupun syari’ah. Lebih jauh, Muhammad Abduh juga melemahkan sejumlah hadith-hadith yang oleh ulama-ulama hadith sebagai hadith shohih seperti hasil riwayat Bukhari, Muslim dan sebagainya. Ia juga mengatakan bahwa kaum muslimin dewasa ini tidak memiliki imam kecuali al-Qur’an. Dari sini bisa dipahami mengapa Muhammad Abduh tidak menghiraukan segi-segi ma’tsur (riwayat), tidak pula memperhatikan pentakhrijan serta sejarah yang menyangkut ayatayat alQur’an. Karena tidak heran bila banyak hadith-hadith yang dianggap shahih sejumlah ulama malah ditolak dan diabaikan olehnya karena dianggap tidak sesuai dengan pemikiran logis atau tidak sejalan dengan redaksi ayat-ayat al-Qur’an. Reaksi terhadap modernisme klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni neorevivalis atau revivalisme pasca modernis yang memandang bahwa Islam itu mencukupi segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kelompok. Pandangan ini mirip dengan basis pemikiran modernisme klasik, namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan denga Barat, gerkan ini cenderung menutup diri , apologetis dan tidak otentik. Menurut aliran ini juga, bahwa tidak ada aturan dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang perlu ditafsirkan dan dimodefikasi kembali.
98
Disela-sela pengaruh neorevivalisme inilah gerakan modernisme Islam muncul, dan Fazlur Rahman mengaku dirinya sebagai juru bicara gerakan ini. Fachry Ali mendiskripsikan bahwa neomodernisme Islam adalah pola pemikiran yang menggabungkan dua faktor penting, yakni modernisme dan tradisionalisme. Modernisme, menurut pola ini, bukanlah sesuatu yang harus ditolak, melainkan dengan modernisme bukan pula berarti alam pemikiran tradisionalisme harus dikesampingkan. Dalam beberapa hal, bahkan kedua alam pemikiran ini bisa berjalan seiring. Bagi Fazlur Rahman, ada dua kelemahan mendasar modernisme klasik yang menyebabkan timbulnya reaksi neorevivalisme. Pertama, karena sifatnya yang kontroversialis-apologetis terhadap barat, gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam. Akibatnya, penafsiran mereka terhadap al-Qur'an lebih bersifat ad hoc dan parsial. Kedua, isu-isu yang mereka angkat berasal dari dan dalam dunia Barat sehingga ada kesan mereka terbaratkan atau agen westernisasi. Menurut Fazlur Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis tidak terhadap barat maupun terhadap khasanah klasik Warisan Islam. Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang paling mendasar dari aliran neomodernisme adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan logis untuk mempelajari Al-Qur'an guna mendapatkan petunjuk. Menurut Fazlur Rahman, upaya untuk membangun pandangan dunia al-Qur'an belum pernah dicanangkan dalam sejarah ulama, dan tiadanya wawasan yang padu tentangnya telah menyebabkan mala petaka yang hebat terhadap gagasan-gagasan rasional. Filosofis.
99
Sekalipun banyak mufasir klasik dan abad pertengahan telah memberikan rujukan saling ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, hal ini tidak menghasilkan suatu pandangan dunia yang kohesif dan bermakna bagi kehidupan secara keseluruhan.126 Dengan metodologi Fazlur Rahman yaitu a double movement (suatu gerakan ganda, gerakan dari situasi sekarang kemasa al-Qur'an diturunkan, kemudian gerakan kembali kemasa sekarang). Fazlur Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang ditawarkannya dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang liar dan sewenangwenang sebagaimana yang terjadi sebelumnya. Pemikiran Fazlur Rahman bersifat kontekstual. Ia memberikan beberapa persyaratan metodologis dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an, yaitu: dalam menemukan makna teks al-Qur’an harus digunakan pendekatan historis yang menempatkan al-Qur’an dalam tatanan kronologis sejarah, harus dibedakan antara ketetapan-ketetapan legal al-Qur’an dan sasaran serta tujuan-tujuan dari ayat yang diturunkan, harus dipertimbangkan faktor-faktor yang menjadi latar belakang sosiologis sehingga dapat dihindarkan penafsiran-penafsiran yang subyektif. Dua gerakan metodologi Fazlur Rahman yang sudah dijelaskan di atas mengandung implikasi metode-metode penetapan illat. Mengenai illat eksplisit maka tidak ada permasalahan sedangkan mengenai illat implisit Fazlur Rahman menyebutkan
metode
nazar-ijtihâd.
Bedanya Rahman
mengajukan
alternatif
pendekatan sosio-historis untuk membantu dan sekaligus menguatkan penemuan illat implisit, sementara mayoritas literatur usul fiqh mengenai hal ini hanya menyediakan 126
Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 136.
100
pendekatan kebahasaan saja. Sekalipun demikian istilah “nazar” yang disampaikan alAmidi mengandung implikasi yang lebih luas dari sekedar seperangkat pendekatan kebahasaan untuk menemukan illat implisit, karena analisis kebahasaan saja tidak akan mengkaji dan menguji sifat-sifat yang diduga untuk dititipkan sebagai illat yang dipilih. Pengertian “nazar” sendiri mengandung aspek pengkajian dan pengujian praktek hukum yang sudah pasti. Upaya ini memerlukan keterlibatan kajian sosiohistoris yang mengitarinya. Sementara dengan tahqîq al-Manath, al-Amidi sudah melangkah pada pengkajian illat dalam peristiwa-peristiwa aktual, yang oleh Fazlur Rahman dirumuskan dalam gerakan metodiknya yang kedua.127 Jadi, rumusan metodik Fazlur Rahman bukanlah hal yang semata-mata baru, melainkan ia dapat ditemukan hampir secara merata dalam pemikiran usul fiqh, khususnya dalam pemikiran al-Amidi. Dari sini rumusan gerakan metodik Fazlur Rahman tampak dengan jelas. Hanya saja Fazlur Rahman tidak berhenti hanya pada metode penemuan illat, melainkan ia mengembangkan metode illat sebagai upaya menetapkan “prinsip-prinsip umum” yang terkandung di dalam hukum dan untuk menetapkan “tujuan moral sosial” yang terkandung di dalam legislasi al-Qur’an. Dua istilah dalam tanda kutip yang khas dalam pemikiran Fazlur Rahman ini masingmasing dikenal dalam literatur usûl fiqh denga istilah “Maqâsid al-sharî’at” dan “Maqâsid al-tashrî’.”128
127
Ghufron Ajib Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Perasada, 1998), 156-157. 128 Dalam sejarah usûl fiqh, konsep Maqâsid al-sharî’at dan Maqâsid al-tashrî’ dikembangkan pertama kali secara memadai oleh al-Shatibî. Beliau mengembangkan konsep ini dalam satu jilid karyanya. Lihat: Abû Ishâq al-Shatîbî, Al-Muwâfaqât fî usûl li ahkam, Vol. 11 (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 2-291.
101
Pada dasarnya metoda Fazlur Rahman merupakan campur tangan antara dua cara pandang, yaitu pengetahuan klasik dan kontemporer. Untuk menganalisis sebuah teks atau preseden masa lalu, tentu membutuhkan pengetahuan klasik untuk menemukan pemahaman yang memuaskan. Dalam hal ini teori-teori seperti asbab annuzul, asbab al-wurud sangat diperlukan. Sedangkan dalam implementasinya, tentu saja memerlukan perangkat-perangkat ilmu kontemporer, misalnya sosiologi, antropologi, dan lain-lain sehingga nantinya orientasi efektif ijtihad akan sepenuhnya berhasil. Jadi dalam hal ini dapat penulis katakan bahwa Fazlur Rahman adalah seorang intelektual Islam yang mampu mengembangkan metodologi ijtihad yang sudah ada sebelumnya. Sehingga dengan metode yang ditawarkan dapat digunakan dalam memahami al-Qur'an dan as-Sunnah dengan baik dan benar. Dan nantinya dengan perkembangan persoalan sosial yang selalu mendesak dan menimbulkan berbagai corak baru dalam kehidupan umat Islam dapat teratasi atau terjawab.
C. Analisa Tentang Relevansi Pemikiran Fazlur Rahman Terhadap Pengembangan dan Pembaharuan Hukum Islam Kontemporer Relevansi di sini dimaksudkan untuk mencari sangkut paut dan berguna langsung serta kaitannya pembaharuan pemikiran Neomodernisme Islam Fazlur Rahman dengan kemajuan zaman saat ini. Sebagaimana diketahui bahwa produkproduk fiqih yang terekam dalam literatur-literatur yang ada sekarang, pada umumnya merupakan hasil ijtihad ulama terdahulu. Yaitu hasil ijtihad para ulama pada masa
102
produktivitas pemikiran hukum Islam dengan tokoh-tokoh utama imam-imam madhab. Periode keemasan hukum Islam sebagaimana diketahui berlangsung sejak awal abad kedua hijriyahsampai pertengahan abad keempat hijriyah. Sedangkan setelah itu hukum Islam mengalami periode taklid. Meskipun diakui bahwa disana-sini masih ditemukan adanya pemikiran hukum Islam, namun demikian, hal itu tidak terlepas dari kerangka pemikiran tokoh-tokoh madhab. Pada kenyataannya di kalangan umat Islam pada umumnya dalam menetapkan suatu hukum tidak dapat lepas atau terikat dengan fiqih madhab empat itu. Produk-produk pemikiran hukum Islam yang dihasilkan melalui ijtihad, sesungguhnya terikat oleh waktu dan kondisi ketika ijtihad itu dilakukan.129 Timbulnya penemuan baru akibat dari kenmajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berakibat pula menggeser cara pandang dan membentuk pola alur berpikir yang membawa konsekwensi dan membentuk norma dalam kehidupan masyarakat. Maka tidak semestinya kemajuan IPTEK dan peradaban manusia itu dihadapkan secara konfrontatif dengan nas, tapi harus dicari pemecahnya secara ijtihad. Sementara itu
nas
telah
berakhir
dan
persoalan-persoalan
baru
senantiasa
muncul
berkesinambungan, maka untuk memecahkannya diperlikan ijtihad. Ijtihad itu disesuaikan pula dengan maslahah yang timbul. Kehadiran Rahman dalam peta pembaharuan hukum Islam merupakan hembusan angin segar yang membawa perubahan atau harapan. Dalam mengkaji 129
Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat imam Ibn Qayyum al-jawziyah (ahli usul Fiqh Hambali) mengatakan bahwa: "suatu fafwa bisa berubah karena perubahan Zaman, tempat, lingkungan, niat dan adat kebiasaan manusia". Lihat: Ibn Qayyun al-Jawziyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Vol. III (Barat: Dar alFikr, 1997), 14.
103
hukum Islam ia membuka lembar-lembar praktek ijtihad. Ia merumuskan suatu metodologi yang sistematis dan komperhensif yaitu suatu gerakan ganda (a double movement) yaitu kembali ke latar belakang sejarah dan sosial dari masa diturunkan alQur’an untuk menemukan “makna hakiki” dari pernyataan-pernyataan al-Qur’an dan menerapkan makna-makna itu dalam memahami al-Qur’an untuk konteks masa kini. Dari metode Rahman tadi bisa dipahami bahwa Rahman dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an melalui pendekatan-pendekatan baik geografis, sosiologis maupun antropologis, sehingga hukum Islam tetap sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini sesuai dengan salah satu misi agama Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin. Agama Islam diharapkan bisa memecahkan permasalahan-permasalahan baru dengan menunjuk dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Metodologi pemikiran-pemikiran Fazlur Rahman di atas tadi identik dengan pemikiran Ibrahim Husein seorang ahli hukum Islam bahwa untuk melakukan pembaharuan hukum Islam harus dilakukan pemahaman baru terhadap kitabullah. Hal ini bisa dilakukan dengan jalan mengartikan al-Qur’an dalam konteks dan jiwanya. Pemahaman melalui konteks berarti mengetahui asbab an-nuzul. Sedangkan pemahaman melalui jiwanya berarti memperhatikan makna atau substansi ayat tersebut. Dengan melihat pemikiran-pemikiran Rahman di atas tersedia lapangan yang luas untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam sesuai dengan perkembangan peradaban manusia untuk mewujudkan kemaslahatan mereka. Dalam perspektif tersebut
bisa
dikatakan
bahwa
pemikiran
Rahman
pengembangan dan pembaharuan hukum Islam kontemporer.
sangat
relevan
dalam
104
Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa pemikirannya dalam bidang hukum Islam. Dalam hal ini akan penulis ambil diantara pemikirannya yaitu dalam masalah hukum potong tangan, masalah poligami, kesaksian wanita dan keluarga berencana. Dalam masalah hukum potong tangan, sebenarnya pendapat Rahman sejalan dengan pemikiran Ibrahim Husein (seorang ahli hukum Islam), Ibrahim menekankan adanya zawajir yaitu hukum yang bertujuan untuk membuat jera pelaku pidana sehingga si pelaku pidana tidak mengulanginya lagi. Dalam pembaharuan hukum Islam mengenai pidana, yang harus ditekankan adalah zawajir dengan demikian hukum pidana tidak terikat pada apa yang tertera dalam nash. Kemudian pemikirannya tentang poligami, menurut Rahman pelegalan poligami pada zaman Nabi dikarenakan asbabun Nuzul dari surat an-Nisa' ayat 3 adalah pada saat terjadinya perang uhud. Sehingga 70 dari 700 umat Islam laki-laki gugur sebagai syuhada' sehingga mengakibatkan banyaknya janda-janda dari para perjuangan agama Allah tersebut.130 Disamping itu ayat 3 dari surat al-Nisa' tidak bisa terlepas dari ayat sebelumnya yaitu ayat-ayat dari surat yang sama. Karena ayat tersebut erat kaitannya den tidak bisa dilepaskan begitu saja. Pemikiran Rahman tersebut sejalan dengan beberapa ulama kontemporer, seperti syekh muhammad Abduh dan Syekh Rasyid Ridho yang keduanya ulama terkemuka al-Azar Mesir lebih memilih memperketat tentang kebolehan poligami. Muhammad Abduh mengatakan bahwa poligami haram hukumnya bagi seorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil. Lebih jauh Abduh mengatakan 130
Khoirudin Nasution, Fazlur Rahman tentang Wanita (Yogyakarta: Tazzafa dengan Academia, 2000), 167. Lihat juga, Abdul al-Rahim Umran, Famili Planing In The Legacy of Islam, Terj. Muhammad Hasyim (Jakarta: Lentera, 1997), 21.
105
poligami juga merupakan penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kedoliman.131 Mengenai masalah keadilan dalam ayat 3 dari surat al-Nisa' menurut Fazlur Rahman ditujukan kepada anak yatim yang dibawah perwalian serta janda untuk melindunginya bukan kepada perempuan lain.132 Rahman tidak sependapat bahwa frase berlaku adil dalam ayat 3 surat al-Nisa' hanya terbatas pada perlakuan lahirnya, jika frase tersebut hanya pada perlakuan lahiriah saja niscaya tidak mungkin ada penegasan dan peringatan ayat 128 surat al-Nisa' yaitu "kamu sekali-kali tidak akan mampu berbuat adil kepada istri-istrimu walaupun sesungguhnya kamu sangat menghendaki untuk berbuat demikian (jadi jika engkau tidak mampu berbuat adil dengan sepenuhnya) maka setidak-tidaknya janganlah kamu cenderung sepenuhnya kepada salah satunya sehuingga yang lain terkatung-katung." Frase tersebut hanya tepat jika ditafsrkan dalam aspek psikis cinta kasih. Konteks lain diturunkan ayat 3 Surat al-Nisa' yaitu ketika perang uhud dari laki-laki yang ikut dalam peperangan 70 dan 700 laki-laki meninggal dunia, sehingga banyak sekali janda-janda dan anak-nak yatim yang hidup dalam kemiskinan dan kekurangan baik dari segi sosial, ekonomi sehingga praktik poligami tersebut boleh dilaksanakan dalam kondisi yang darurat, untuk menyelamatkan anak yatim dan janda
131
Rashid Rida, Tafsir Al-Manar, Juz. IV (Bairut: Dar-alfikr, tt.), 348. Lihat juga, Ignaz Goldziher, Madhhahib al-Tafsir al-Islam, Terj. M. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta: Elsaq Press, 2003), 442-444. 132 Lihat: Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur'an, Terj. Anas Muhyidin (Bandung: pustaka, 1995), 68-69.
106
dari syuhada' yang telah meninggal dunia, agar mereka tidak terjerumus dalam jurang kemiskinan dan kekufuran.133 Kebolehan melakukan poligami sebenarnya yang diungkapkan Fazlur Rahman terkait dengan suatu tuntutan berlaku adil terhadap istri yang berasal dari anak-anak yatim dan janda sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi orang yang ingin melakukan poligami. Dengan demikian 'illat hukum larangan berpoligami menurut Fazlur Rahman adalah menghindarkan kecurangan. Jadi hukum larangan berpoligami menurutnya sebagai azimah sedang kebolehan poligami bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk berlaku adil ialah merupakan suatu nikhsoh ketika dalam kondisi darurat. Selain itu menurut Fazlur Rahman syarat adil bagi kebolehan berpoligami merupakan suami syarat hukum atau dengan kata lain bahwa ketika adanya kesanggupan untuk berlaku adil terhadap para istri, maka terdapatlah hukum tentang kebolehan berpoligami. Namun ketika tidak ada kesanggupan untuk melakukan adil terhadap istri maka tidak ada kebolehan untuk melakukan poligami. Pemikiran Fazlur Rahman tersebut juga identik dengan pemikiran Ibrahim Husen dalam pembaharuan hukum Islam yaitu melakukan reinterpretasi dan reformulasi. Dalil fiqh yang tidak aktual dikaji ulang, terutama yang menyangkut hubungan dalil dengan rumusan hukum. Dalil yang pernah diinterpretasikan oleh mujtahid dahulu dan terpretasikan sesuai dengan jiwa hukum dan tuntutan masyarakat pada saat itu. Formulasi baru berdasarkan interpretasi baru itu ada yang dituangkan dalam undang-undang dan ada pula yang terbentuk fatwa. Hal ini dapat dilihat dalam 133
Abdul Hasan Al-Ghaff, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, Terj. Bahrudin Fanani (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), 180.
107
fiqh munakahat bahwa poligami yang dulunya mudah dan tidak bertanggung jawab, mulai dibatasi dan dipersulit, bahkan dilakukan di pengadilan. Kemudian dalam pemikirannya juga dalam masalah kesaksian wanita, Rahman menolak pemahaman ulama' tradisional bahwa nilai kesaksian adalah separo harga kesaksian laki-laki sebagai hukum yang bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat ayat yang mengatur masalah ini (2:282) adalah berkenaan dengan masalah transaksi hutang piutang. Scara jelas ayat tersebut menyebutkan 'illat hukumnya . alasan mengapa diperlukan dua orang saksi perempuan sebagai pengganti laki-laki adalah karena kaum perempuan lebih pelupa dari pada laki-laki, karena pada masa itu mereka tidak terbiasa dengan urusan utang piutang. Ketika terjadi perubahan sosial yang memungkinkan perempuan terjun dalam transaksi-transaksi kalangan, yang sama sekali tidak salahnya menurut ajaran Islam bahkan hal ini menunjukkan kemajuan suatu masyarakat, maka nilai kesaksian perempuan dapat dipandang sama kuatnya dengan kesaksian laki-laki.134 Bagaimanakah seseorang menyimpulkan bahwa kesaksian wanita dalam seluruh situasi dan purpasi selalu lebih rendah dibanding kesaksian laki-laki, sedang situasi sosial sungguh telah berubah sekarang ini dimana para wanitanya tidak dapat hanya memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki tetapi mereka juga telah menerjuni berbagai lapangan bisnis dan transaksi. Kemudian pemikiran Rahman pula, yang relevan dengan pembaharuan hukum Islam kontemporer yaitu dalam masalah keluarga berencana. Dalam hal ini Rahman merintis pendapat Muhammad Syaltout dalam kitab al-Fatawan yang membolehkan 134
Lihat: Rahman, Tema Pokok Al-Qur'an, 71.
108
keluarga berencana.135 Menurut prespektif pemikiranan Syaltout, keluarga berencana dalam keadaan darurat atau dalam kasus tertentu yang sifatnya individual, seperti dikhawatirkannya kesehatan ibu dan anak atau faktor-faktor lain seperti kekhawatiran terlantarnya masadepan mereka, boleh diberlakukan program keluarga beencana secara temporer atau dalam kasus tertentu bahkan secara permanen demi maslahah. Berpijak dari pemikiran itu, syitut menolak diberlakukannya program Keluarga Berencana secara mutlak dan menyeluruh. Oleh karena itu secara tepat lebih memilih menggunakan terminologi penjaringan kelahiran atau pengaturan keturunan
(r ِ ْ p2¬ <ا keturunan
:ُ >ْ pِÅ2ْ Iَ )
dari pada menggunakan istilah pembatasan anak atau pembatasan
(r ِ ْ p¬2< اoُ pْ3oِ ْ Iَ ).136 Dalam al-qur'an dan Hadith, yang merupakan
acuan
pokok hukum Islam, tidak terdapat nash yang sharih (clear statement) yang memerintahkan atau melarang diberlakukan Keluarga Berencna secara eksplisit, untuk itulah perlunya perlunya dilakukan ijtihad. Memang terhadap masalah-masalah baru yang belum dikemukakan dalam nas al-qur'an dan al-sunnah adalah adalah merupakan lapangan ijtihad, hal itu juga membuktikan bahwa hukum Islam itu selalu berkembang dinamis, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan budaya Manusia. Dengan demikian dari pemikiran-pemikiran Rahman yang penulis sampaikan dapat penulis pahami bahwa, pemikiran Rahman terhadap pengembangan dan pembaharuan hukum Islam kontemporer sangat relevan, hal tersebut terbukti dengan
135 136
Ghufron, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, 183. Lihat: Mahmûd Shaltût, Al-Fatawa (Beirut: Dar Al-Qalam, tt), 296-297.
109
pemahamannya terhadap al-qur'an secara kontekstual dengan mengambil nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya yang pada aplikasinya disesuaikan dengan latar belakang sosiologinya. Sehingga dapat mencakup permasalahn atau kondisi sosial masa kini dan masa yang akan datang.
110
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari penjelasan yang telah diuraikan pada bagian yang lalu, dapat disimpulkan bahwa: 1. Formulasi ijtihad Fazlur Rahman merupakan sebuah konsep yang sekaligus mengandung
implikasi
metodologis,
metodis
dan
fungsional.
Implikasi
metodelogisnya adalah bahwa teks al-Qur'an dan preseden dapat dipahami untuk digeneralisasikan sebagai prinsip-prinsip dan prinsip-prinsip tersebut lalu dirumuskan menjadi aturan yang baru. Implikasi metodis yang terkandung di dalamnya adalah bahwa kerja ijtihad meliputi: pemahaman teks dan preseden dalam keutuhan konteksnya dimasa lampau, pemahaman situasi baru yang sedang terjadi sekarang dan pengubahan aturan-aturan hukum yang terkandung dalam teks atau preseden. Adapun implikasi fungsionalnya adalah bahwa ijtihad tersebut difungsikan untuk upaya pembaharuan hukum Islam dalam rangka menjawab tantangan dan berbagai problematika kontemporer. Sedangkan inti metodologi ijtihad Fazlur Rahman adalah suatu gerakan ganda (The double movement theory). Gerakan pertama dimulai dengan menafsirkan ayat-ayat yang spesifik dalam alqur'an untuk mencari prinsip umum, nilai dan tujuannya. Gerakan kedua merealisasikan prinsip umum tersebut ke dalam pandangan spesifik sekarang. 2. Pada dasarnya posisi pemikiran Fazlur Rahman adalah berusaha mengembangkan konsep-konsep ulama klasik, khususnya konsep al-Amidi dan al-shatibî tentang
111
’illat hukum dan maqâsîd al-tashrî’ dalam satu kesatuan dan totalitasnya, menjadi prinsip-prinsip umum. Dalam hal ini Fazlur Rahman tidak hanya berhenti pada illat hukum tetapi mengembangkan sebagai sarana menetapkan prinsip umum alQur’an melalui beberapa pendekatan diantaraya yaitu pendekatan sosio-historis. 3. Pemikiran Fazlur Rahman bersifat kontekstual. Dalam pemikirannya ditujukan pada Qur'an oriented dengan mengambil nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al-Qur'an tersebut. Pemikirannya pada aplikasinya disesuaikan dengan latar belakang sosiologis lingkungannya. Ijtihad disini bukan merupakan sebuah proses yang harus baku dan statis, ia merupakan seluruh proses yang harus berjalan secara terus menerus mengikuti gerak maju perjalanan sejarah. Dengan demikian pemikiran ijtihad Fazlur Rahman ini berorientasi pada masa kini dan masa depan, sehingga Islam yang diyakini senantiasa relevan dalam setiap masa dan tempat bukan hanya sebagai selogan kosong semata. B. Saran-Saran Kalau kita cermati pemikiran hukum Islam dewasa ini masih cenderung taken forgranted terhadap warisan klasik tidak melalui response yang kritis dan dinamis. Oleh karenanya, perlu kiranya dewasa ini dilakukan pembenahan dan transformasi cara pandang ummat terhadap elemen Islam: 1. Mengembangkan makna ijtihad dari yang sekedar konseptualisasi, menuju ke tahap realisasi.
112
2. Kritisme terhadap sejarah islam, hal ini diperlukan agar sejarah dapat ditarik jiwa dan nilai moralitasnya sehingga mempunyai signifikasi dan relevasi terhadap situasi kontemporer. 3. Hendaknya
produk
pemikiran
hukum
islam
yang
ada
saat
ini
tidak
disakralisasikan, namun hendaknya senantiasa di kaji dan dievaluasi secara terus menerus, sehingga relevan terus menerus seiring berkenmbangnya kehidupan dan problem sosial.
113
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim, Atang Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002. Abdul Hasan Al-Ghaafr, Abdur Rasul. Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern. Terj. Baharuddin Fanani. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995. Abi Husain Muslim Ibn Al-Hajja Al-Qusairi Al-Naisaburi. Sohih Muslim. Vol. 2, Beirut: Dar Al-Fikr, tt. Abu Zaid, Farouq. Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis. Terjemahan, Husan Muhammad, Cet. 2. Jakarta: P3M, 1986. Al-Jauziyah, Ibn Al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in. Vol. III. Beirut: Dar al-Fikr, 1997. Al-Qurtuby, Sumanto. Era Baru Fiqh Indonesia. Yogyakarta: Cermin, 1999. Al-Shatibî, Abû Ishâq. Al-Muwafaqat. Vol. 11. Beirut: Dar al-Fikr, tt. , Al-I’tisâm. Vol. 11. Riyad: Maktabah Riyaiyad al-Hadîth. Tt. Al-Suyuthi, Jalaludin Muhammad. Al-Ashabah Wa al-Nazair Fi Al-Furu’. Beirut: Dar alFikr, 1995. Al-Zuhaily, Wahbah. Usûl Fiqh Al-Islamy. Damasqi: Dar al-Fikr, 1986. Arief. Abd. Salam. Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita. Yogyakarta: Lesfi, 2003. A. Sirry Mun’in. Sejarah Fiqh Islam: Sebuah Pengantar, cet. 1. 1995. Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1980. , Falsafah Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001. , Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997. Dahlan, Abdul Aziz (et.al). Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
114
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. Depag RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Vol. III. Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakap, 1991. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: CV. Toha Putra, 1996. Djamil, Fatchurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Effendi, H. Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005. Goldziher, Ignaz. Madhahib al-Tafsir al-Islami. Terj. M. ‘Alaika Salamullah, dkk. Yogyakarta: Elsaq Press, 2003. Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1987. Hasan, M. Ali. Perbandingan Madhhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Hidayatullah, Syarif. Intelektualisme dalam Perspektif Neomodernisme. Yogyakarta: PT. Tiara Wicana, 2000. http://one.indoskripsi.com/content/apa-definisi-dari-pembaharuan-hukum-Islam-itusendiri. Imam, Kamal Al-Din. Wal Fiah Al-Islamy. Tp: tt. Karim, Syafi’i. Fiqh Usûl Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 1997. Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Usul Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978. Ma’adi, Ghufron A. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998. Madjid, Nurcholis. Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Manna, Abdul. Reformasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Mu’allim, Amir dan Yusdani. Ijtihad: Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi. Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1997.
115
Mubarok, Jaih. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 2002. Mudzhar, Atho’. Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1998. Muhammad, Abu Abd. Allah Bin Ismail Al-Bukhari. Sahih Al-Bukhari. Vol. III, Beirut: Dar Al-Fikr, 1995. Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1995. Nasution, Khoirudin. Fazlur Rahman tentang Wanita. Yogyakarta: Tazzafa dengan Academia, 2000. Nurul Aen, Djazali. Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity, Transformation of an Intelectual. Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 2000. . Islam. Terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1997. , Revival And Reform In Islam. Terj. Aam Famiya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. . Tema Pokok Al-Qur’an. Terj. Anas Muhyidin, Bandung: Pustaka, 1996. Rido, Rashîd. Tafsir Al-Manar. Juz IV. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Romli. Muqaranah Madhahib fil Usul. Jakarta: Gaya Media Utama, 1999. Rusli, Nasrun. Konsep Ijthad Al-Syaukani: Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 1999. Sace, Abdullah. Islamic Banking And Interest A Study Of The Prohibition Of Riba And Its Contempory Interprestation. Vol. II, Beirut: Dar Al-Fikr, Terj. M. Ufuqul Mubin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Saefuddin, Didin. Pemikiran Modern dan Post Modern: Biografi Intelektual 17 Tokoh. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 2003. Shaltut, Mahmud. Al-Fatawa. Kairo: Dar al-Syuruq, 1991.
116
Sibawahi. Eskatologi Al-Ghazali Dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer. Yogyakarta: Islamika, 2004. Sulaiman, Abi Dawud. Ibn Al-Ash’ath Assajtani. SUnan Abi Dawud. Vol. 3. Dar Al-Fikr, tt. Sutrisno. Fazlur Rahman: Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Umar, Hasbi. Nalar Fiqh Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007. Umar Mu’in, dkk. Usul Fiqh. Vol. I. Jakarta: Departemen Agama, 1980. Yusuf, Muhammad. Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks yang Bisu. Yogyakarta: Teras, 2004. Zuhri, Muhammad. Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah. Cet. 2, Jakarta: Grafindo Persada, 1997.