BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, melalui malaikat Jibril untuk disampaikan kepada umatnya dan mendapatkan pahala bagi yang membacanya.1 Al-Qur’an adalah mu’jizat yang pertama bagi Rasulullah SAW, dia adalah mu’jizat abadi, walaupun zaman silih berganti namun al-Qur’an tetap menjadi saksi kebenaran dan kemurnian kerasulan Muhammad SAW.2 Al Qur’an adalah merupakan intisari dan sumber pokok dari ajaran Islam yang disampaikan oleh Muhammad SAW kepada umatnya. Tugas Muhammad SAW mengajarkan al-Qur’an kepada umatnya, agar kelak dijadikan pegangan dan pedoman hidup sepanjang zaman serta dijadikan kebiasaan oleh umat muslimin untuk membacanya dan merupakan bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.3 Dalam membaca al-Qur’an dianjurkan oleh nabi Muhammad SAW dengan bacaan tartil. Sesuai firman Allah SWT dalam al Qur’an:
< ً :ْ /ِ ْ7/َ ن َ ْءَا76ُ 3ْ ا1 ِ /. َو َر Artinya: “Dan bacalah Al Qur’an itu dengan tartil.” (Q.S alMuzaammil: 4)4
1
Choiruddin Abd.Qodir, Al-Qur’an dan Visi Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadh (Surabaya: JQH, 2006), 2. 2 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: al Husna Zikra, 1997), 314. 3 Zuhairini et, al. Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta: Departemen Agama, 1986), 28. 4 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1979.
1
Yang dimaksud membaca al-Qur’an secara tartil adalah bacaan yang sempurna tajwidnya, serta memikirkan makna yang terkandung di dalam ayatayat yang sedang dibacanya itu.5 Dalam al-Qur’an disebutkan:
Nِ Mِ 1 َU َ Tْ Sَ 3ِ R َ Pَ QO َ 3ِ Nِ Mِ ْك7. K َ /ُ J َ Artinya: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya.” (Q.S al-Qiyaamah: 16) Untuk dapat membaca al-Qur’an dengan tartil diperlukan pengetahuan tentang huruf-huruf al-Qur’an. Disamping itu, membaca al-Qur’an sebaiknya juga mengetahui pengetahuan tentang kaidah-kaidah membaca yang baik, yang biasa disebut dengan tajwid. Upaya penberantasan buta huruf al-Qur’an telah berjalan dan semakin optimal di seluruh pelosok nusantara.6 Hal ini berdasarkan pada keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 128 tahun 1982 tentang: “Usaha peningkatan kemampuan baca tulis al-Qur’an bagi umat Islam dalam rangka peningkatan penghayatan dan pengamalan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.”7 Dan berdasarkan sambutan rois syuriah PWNU Jawa Timur serta hasil keputusan musyawarah wilayah VI Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz tanggal 26 sampai 27 April 1998 tentang perlunya Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz wilayah Jawa Timur mengadakan wadah pembinaan dan pengembangan pendidikan al Qur’an pada anak usia dini yang berupa taman pendidikan al Qur’an beserta tingkatannya dengan tidak melupakan dasar-dasar prinsip ahli sunnah wal
5
Abdul Mukti, Manhalul ‘Irfan (Bandung: Sinar Baru, 1987), 154. Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz, Panduan Pelaksanaan Pembinaan dan Pengembangan alQu’an. (Surabaya: JQH, 1999), 1. 7 Ibid., 5. 6
2
jama’ah.8 Serta diikuti munculnya berbagai metodologi pengajaran baca tulis al-Qur’an yang mudah dan sederhana. Berpijak keputusan menteri dan sambutan rois syuriah PWNU Jawa Timur serta hasil keputusan musyawarah wilayah VI Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz Jawa Timur tersebut maka, tim Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadh Jawa Timur merealiasikan dengan menerbitkan metode baru cara cepat membaca al-Qur’an ( Metode Tartiila). Dalam pedoman pembinaan Taman Pengajian al Qur’an disebutkan bahwa harus diupayakan bagaimana murid-murid dapat mengenal aksara al Qur’an serta menjadikan kebiasaan dan kegemaran membaca al Qur’an secara fasih dan menurut kaidah-kaidah ilmu tajwid. 9 Kemampuan membaca al Qur’an dengan benar adalah target pokok yang harus dicapai oleh setiap santri. Oleh karena itu pada saat munaqosyah (ujian), kemampuan membaca al Qur’an dijadikan materi pokok.
10
Hal ini sesuai dengan keadaan pondok
pesantren Roudhotul Hasan Polorejo yang menjadikan target utama pendidikan al Qur’an. Imam al Jazari mengatakan bahwa membaca al Qur’an dengan tajwid adalah wajib bagi setiap muslim untuk menjaga keaslian al Qur’an.11 Untuk itu, pemberantasan buta huruf al Qur’an harus dilakukan sedini mungkin, sehingga ketika menginjak dewasa anak sudah dapat membaca al Qur’an dengan baik dan benar.12
8
Ibid., 6. Departemen Agama, Pedoman Pembinaan Taman Pengajian al Qur’an (Surabaya: Departemen Agama, 2002), 2. 10 As’ad Humam, Pedoman Pengelolaan, Pembinaan dan Pengembangan Membaca, Menulis dan Memahami al Qur’an (Yogyakarta: Team Tadarus AMM, 2001), 10. 11 Abdul Aziz Abdul Ra’uf, Pedoman Dauroh al Qur’an (Jakarta: Dzilal Press, 1996), 3. 12 LP Ma’arif NU, Pedoman Pengelolaan Taman Pendidikan al Qur’an (Tulungagung: LP Ma’arif NU, 1993), 4. 9
3
Pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Ponorogo adalah lembaga pendidikan yang di dalamnya diajarkan cara membaca al-Qur’an. Tetapi kenyataannya masih banyak santri yang tidak mengetahui nama-nama huruf al-Qur’an ketika awal pendidikan, bahkan para santri tidak dapat membaca dengan kaidah-kaidah ilmu tajwid. Untuk mengajarkan al-Qur’an kepada santri diperlukan metode yang tepat sehingga kemampuan membacanya akan lebih baik. Fenomena di atas adalah masalah dan sangat penting untuk diteliti.13 Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang ustadz pondok pesantren Roudhotul Hasan, lembaga pendidikan al Qur’an tersebut tidak menginginkan santrinya tidak mengetahui nama-nama huruf al Qur’an dan yang paling penting pengetahuan tajwidnya. Lembaga berusaha memadukan antara adanya perubahan dalam pembelajaran al-Qur’an, sehingga santri dalam belajar al-Qur’an akan lebih cepat tanggap dan akan cepat menguasai materi dengan metode yang baru, diantaranya ceramah, drill, tanya jawab, demonstrasi dan simulasi. Yang semuanya ini terangkum dalam sebuah metode baru yaitu metode tartila. Hal ini juga dipertegas oleh pernyataan salah seorang ustadz di pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Ponorogo yang mengatakan bahwa mulai Desember 2007 pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Ponorogo melakukan perubahan metode pembelajaran
13
Lihat Transkip Observasi Nomor 01/ O/ F-I/ 17-VI/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
4
al-Qur’an. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan dari metodemetode yang sudah ada.14 Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian di pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Ponorogo dengan judul “IMPLEMENTASI METODE TARTILA DALAM PENGENALAN MEMBACA AL QUR’AN TPQ PONDOK PESANTREN ROUDLOTUL HASAN DESA POLOREJO KECAMATAN BABADAN PONOROGO.” B. Fokus Penelitian Sesuai dengan judul penelitian di atas maka peneliti memfokuskan penelitiannya pada implementasi metode tartila dalam pengenalan membaca al-Qur’an TPQ pondok pesantren Roudlotul Hasan desa Polorejo kecamatan Babadan Ponorogo. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apa latar belakang diterapkannya metode tartila di TPQ pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Ponorogo? 2. Bagaimana langkah-langkah dan hasil penerapan metode tartila di TPQ pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Ponorogo? 3. Apa faktor pendukung dan penghambat penerapan metode Tartila di TPQ pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Ponorogo? 14
Lihat Transkip Wawancara Nomor 01/ W/ F-1/ 17-VI/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
5
D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah: 1. Untuk menjelaskan latar belakang diterapkannya metode Tartila di TPQ pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Ponorogo. 2. Untuk menjelaskan langkah-langkah dan hasil penerapan metode Tartila di TPQ pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Ponorogo. 3. Untuk menjelaskan faktor pendukung dan penghambat penerapan metode Tartila di TPQ pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Ponorogo. E. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Dari penelitian ini diharapkan dapat ditemukan pola implementasi metode tartila dalam pengenalan membaca al Qur’an TPQ pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Ponorogo. 2. Praktis a. Bagi guru, akan dapat membantu mengatasi permasalahan pengajaran yang mereka hadapi, memperoleh metode pembelajaran yang bervariasi dan memperoleh wawasan serta keterampilan pembelajaran yang dapat digunakan untuk peningkatan pembelajaran. b. Bagi pondok, akan meningkatkan kualitas pembelajaran al Qur’an serta memberikan sumbangan dengan peningkatan mutu pendidikan. c. Pengembangan penelitian lebih lanjut, yakni dapat dijadikan sebagai acuan pertimbangan dalam menambah cakrawala berpikir.
6
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini digunakan metodologi dengan pendekatan kualitatif, yang memiliki karakteristik alami (natural setting) sebagai sumber data langsung, deskriptif, proses lebih dipentingkan daripada hasil, analisis dalam penelitian kualitatif cenderung dilakukan secara analisa induktif dan makna merupakan hal yang esensial.15 Ada 6 (enam) macam metodologi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif yaitu: etnografi, studi kasus, teori grounded, penelitian interaktif, penelitian ekologikal, dan penelitian masa depan.16 Dalam hal ini jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu suatu deskripsi intensif dan analisis fenomena tertentu atau satuan sosial seperti individu, kelompok, institusi, atau masyarakat. Dalam studi kasus, peneliti mencoba untuk mencermati individu atau sebuah unit secara mendalam. Peneliti mencoba menemukan semua variabel penting yang melatar belakangi timbulnya variabel tersebut. Studi kasus dapat digunakan secara rinci satu setting, satu subyek tunggal, satu kumpulan dokumen atau satu kejadian tertentu.17
15
Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat dialami. Lihat dalam Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000), 3. 16 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), 314. 17 Ibid.
7
2. Kehadiran Peneliti Pada penelitian kualitatif, kehadiran peneliti sangat dipentingkan dan bertindak sebagai instrumen kunci pengumpulan data. Sedangkan instrumen lainnya sebagai penunjang. Ciri khas penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan berperan serta, sebab peranan penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya.18 Penelitian ini berlangsung sekitar bulan Mei sampai Agustus. Dengan kehadiran di lapangan, pertama menemui pengasuh pondok pesantren, kemudian dipertemukan dengan guru-guru al Qur’an. Maka dari situlah kemudian dilanjutkan untuk melakukan observasi dan wawancara. Kehadiran peneliti di lapangan setiap minggunya tiga kali, yaitu hari Rabu, Kamis, dan Sabtu mulai jam 16.00 – 17.25 WIB 3. Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini peneliti memilih lokasi penelitian di pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Babadan Ponorogo, yang merupakan salah satu lembaga pendidikan al Qur’an yang berlokasi di jalan Flamboyan Desa Polorejo kecamatan Babadan kabupaten Ponorogo. 4. Sumber Data Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan, seperti dokumen dan lainnya. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah: 18
Pengamatan berperan serta adalah sebagai penelitian yang bercirikan interaksi-sosial yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subyek dalam lingkungan subyek. Dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan catatan tersebut berlaku tanpa gangguan. Lihat Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 117.
8
a. Manusia, yaitu guru-guru Al Qur’an pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Babadan Ponorogo. b. Non manusia, yang meliputi dokumen dan buku-buku yang relevan dengan penelitian ini. 5. Tehnik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan beberapa metode yang dianggap relevan dengan penelitian ini, yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Sebab bagi peneliti kualitatif fenomena dapat dimengerti maknanya secara baik, apabila dilakukan interaksi dengan subyek melalui wawancara mendalam dan diobservasi pada latar, dimana fenomena tersebut berlangsung dan di samping itu untuk melengkapi data diperlukan dokumentasi (tentang bahan-bahan yang ditulis oleh atau tentang subyek). a. Wawancara Wawancara atau interview merupakan metode pengumpulan data yang menghendaki komunikasi langsung diantara penyelidik dengan subyek atau informan.19 Maksud digunakannya wawancara antara lain adalah (a) mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan organisasi, perasaan,
motivasi,
tuntutan,
kepedulian
dan
lain-lain.
(b)
merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu. (c) memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang telah diharapkan
19
untuk
dialami
pada
masa
yang
akan
Yatim Rianto, Metodologi Penelitian Pendidikan (Surabaya: PT. SIC, 1996), 67.
9
datang
(d) memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota. Dalam hal ini wawancara yang digunakan adalah wawancara tak terstruktur.20 Wawancara semacam ini digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal, waktu bertanya dan cara memberikan respons jauh lebih bebas iramanya. Informannya adalah yang terpilih saja karena sifatnya yang khas, mereka adalah yang memiliki pengetahuan dan mendalami situasi serta lebih mengetahui informasi yang diperlukan. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan kepada guru-guru al Qur’an; yaitu untuk memperoleh informasi mengenai latar belakang, langkah-langkah dan hasil penerapan metode tartila, serta faktor pendukung dan penghambat implementasi metode tartila di TPQ pondok pesantren Roudlotul Hasan. b. Observasi Observasi
merupakan
metode
pengumpulan
data
yang
menggunakan pengamatan terhadap obyek penelitian.21 Dalam penelitian ini, observasi dilakukan dalam proses pembelajaran di pondok pesantren. c. Dokumentasi Dokumentasi merupakan cara pengumpulan data dengan mencatat data-data atau dokumen-dokumen yang ada, yang berkaitan
20 21
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 138-139. Yatim Rianto, Metodologi Penelitian Pendidikan, 77.
10
dengan masalah yang diteliti.22 Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non insani, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman. “rekaman” sebagai setiap tulisan atau pernyataan yang dipersiapkan oleh atau untuk individual atau organisasi dengan tujuan membuktikan adanya suatu peristiwa atau memenuhi accounting. Sedangkan “dokumen” digunakan untuk mengacu atau bukan selain rekaman, yaitu tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti surat-surat, buku harian, catatan khusus, foto-foto dan sebagainya. Dalam penelitian ini, metode dokumentasi digunakan untuk menggali data mengenai sejarah berdirinya pondok pesantren Roudlotul Hasan, letak geografis, keadaan guru dan santri, sarana prasarana. 6. Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam kasus ini menggunakan analisis data kualitatif mengikuti konsep yang diberikan Miles dan Haberman. Miles dan Haberman, mengemukakan aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan-tahapan penelitian sampai tuntas, dan datanya sampai jenuh.23 Aktifitas dalam analisis data meliputi data reduction, data display, dan conclusion. Langkah-langkah analisis ditunjukkan pada gambar berikut: 22 23
Ibid., 83. Miles, a.Huberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta: UI Press, 1992), 20.
11
Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data
Kesimpulankesimpulan penarikan/verifikasi
a. Reduksi data adalah merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting. Membuat kategori, dengan demikian data yang telah direduksikan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. b. Penyajian data (data display) proses penyusunan informasi yang komplek ke dalam suatu bentuk yang sistematis, agar lebih sederhana dan dapat dipahami maknanya. Setelah data direduksi, kemudian disajikan sesuai dengan pola dalam bentuk uraian naratif. c. Conclusion adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. 7. Pengecekan Keabsahan Temuan Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (reliabilitas). Derajat kepercayaan keabsahan data (kredebilitas data) dapat diadakan pengecekan dengan teknik pengamatan yang tekun, dan triangulasi.
12
Ketekunan pengamatan yang dimaksud adalah menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isi yang sedang dicari. Teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai perbandingan terhadap data itu. 8. Tahapan-tahapan Penelitian Tahap-tahap penelitian dalam penelitian ini ada tiga tahapan dan ditambah dengan tahap terakhir dari penelitian yaitu tahap penulisan laporan hasil penelitian. Tahap-tahap penelitian tersebut adalah (1) tahap pra lapangan, yang meliputi menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajagi dan menilai keadaan lapangan,
memilih
dan
memanfaatkan
informan,
menyiapkan
perlengkapan penelitian dan yang menyangkut persoalan etika penelitian; (2) tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi memahami latar penelitian dan persiapan diri, memasuki lapangan dan berperan serta sambil mengumpulkan data; (3) tahap analisis data, yang meliputi analisis selama dan setelah pengumpulan data; (4) tahap penulisan hasil laporan penelitian. G. Sistematika Pembahasan Pembahasan pada penelitian ini terdiri dari 5 bab dan masing-masing bab saling berkaitan erat yang merupakan kesatuan yang utuh, yaitu: Bab I
Pendahuluan, bab ini berfungsi untuk memaparkan pola dasar dari keseluruhan sisi skripsi yang terdiri dari latar belakang masalah,
13
fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori dan atau telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab II
Landasan teori, bab ini berfungsi untuk mengetengahkan kerangka acuan teori yang digunakan sebagai landasan melakukan penelitian yang terdiri dari pengertian metode pembelajaran, macam-macam metode pembelajaran, pengertian metode tartila, ciri-ciri metode tartila, langkah-langkah metode Tartila.
Bab III Berisi tentang penyajian data yang meliputi paparan data umum yang ada kaitannya dengan lokasi penelitian yang terdiri dari sejarah singkat berdirinya pondok pesantren Roudlotul Hasan polorejo, letak geografis, keadaan guru dan santri, sarana dan prasarana dan paparan data khusus yang terdiri dari data tentang implementasi metode Tartila dalam pengenalan membaca al Qur’an TPQ pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Ponorogo yang meliputi latar belakang diterapkannya metode tartila, langkah-langkah dan hasil penerapan metode tartila, faktor pendukung dan penghambat penerapan metode tartila. Bab IV Berisi tentang analisis data tentang latar belakang diterapkannya metode tartila, langkah-langkah dan hasil penerapan metode tartila, faktor pendukung dan penghambat penerapan metode tartila.
14
Bab V
Penutup, bab ini dimaksudkan untuk memudahkan bagi pembaca yang mengambil intisari dari skripsi, yang berisi dari kesimpulan dan saran.
15
BAB II METODE PEMBELAJARAN MEMBACA AL QUR’AN MELALUI METODE TARTILA
A. Metode Pembelajaran 1. Pengertian Metode Pembelajaran a. Secara Etimologi Metode berasal dari bahasa Yunani ”Metodos”. Kata ini terdiri dari dua suku kata, yaitu ”metho” yang berarti melalui atau melewati dan ”hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.24 Sedangkan dalam bahasa arab metode dikenal dengan istilah ”Thariqah” yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Bila dihubungkan dengan pendidikan, maka metode itu harus diwujudkan dalam proses pendidikan dalam rangka mengembangkan sikap mental dan kepribadian agar peserta didik menerima pelajaran dengan mudah, efektif, dan dapat dicerna dengan baik.25 b. Secara Terminologi Para ahli mendefinisikan metode pembelajaran sebagai berikut:
24
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodolagi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 40. 25 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), 184.
16
1) Syaiful Bahri Djamarah, mendefinisikan bahwa metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.26 2) Ahmad Tafsir mendefinisikan bahwa metode adalah cara yang paling tepat dan cepat dalam mengajarkan mata pelajaran.27 3) Hasan Langgulung mendefinisikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan. 4) Abd. al-Rahman Ghunaimah mendefinisikan bahwa metode adalah cara-cara yang praktis dalam mencapai tujuan pengajaran.28 5) Mahfudh Shalahuddin mendefinisikan metode adalah cara tertentu yang paling tepat digunakan untuk menyampaikan suatu bahan pelajaran sehingga tujuan dapat tercapai.29 Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah seperangkat cara, jalan dan teknik yang digunakan oleh pendidik dalam proses pembelajaran agar peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran atau menguasai kompetensi tertentu yang dirumuskan dalam silabi mata pelajaran. Dalam
proses
pendidikan
Islam,
metode
pembelajaran
mempunyai kedudukan yang sangat signifikan untuk mencapai tujuan, bahkan metode sebagai seni dalam mentranfer ilmu pengetahuan atau
26
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar-Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 53. Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1996), 9. 28 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 184. 29 Mahfud Shalahuddin et. al, Metodologi Pendidikan Agama (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 29. 27
17
materi pelajaran kepada peserta didik dianggap lebih signifikan dibandingkan dengan materi sendiri. Sebuah adegum mengatakan bahwa ”al-Thariqat Ahamm min al Maddah” (metode jauh lebih penting dibanding materi). Adalah sebuah realita bahwa cara penyampaian yang komunikatif lebih disenangi oleh peserta didik walaupun sebenarnya materi yang sesungguhnya tidak terlalu menarik. Sebaliknya, materi yang cukup baik, karena disampaikan dengan cara yang kurang baik atau menarik maka materi itu sendiri kurang dapat dicerna oleh peserta didik. Oleh karena itu penerapan metode yang tepat sangat mempengaruhi pencapaian keberhasilan dalam proses belajar-mengajar, metode yang tidak tepat akan berakibat pada pemakaian waktu yang tidak efisien. Penggunaan metode dalam satu pelajaran bisa lebih dari satu macam (bervariasi). Metode yang variatif dapat membangkitkan motivasi belajar peserta didik. Dalam pemilihan dan penggunaan sebuah metode harus mempertimbangkan aspek efektivitas dan relevansinya dengan materi yang disampaikan.30 2. Macam-macam Metode Pembelajaran a. Metode Ceramah Metode ceramah adalah cara penyampaian sebuah materi pelajaran dengan cara penuturan lisan kepada siswa/ halayak ramai.31 Zuhairini dan kawan-kawan mendefinisikan bahwa metode ceramah 30 31
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodolagi Pendidikan Islam, 39. Ibid., 135-136.
18
adalah suatu metode di dalam pendidikan dimana cara penyampaian pengertian-pengertian materi kepada anak didik dengan jalan penerangan dan penuturan secara lisan.32 Dalam bahasa inggris metode ceramah disebut dengan istilah ”lecturing method”/ ”telling method”. Metode ini adalah metode yang sering digunakan, karena metode ini sangat mudah untuk dilakukan. Metode ceramah, oleh sebagian para ahli, metode ini disebut ”One Man Show Method” adalah suatu cara penyampaian bahan pelajaran secara lisan oleh guru didepan kelas atau kelompok. Maka, peranan guru dan murid berbeda secara jelas, yakni bahwa guru, terutama dalam penuturan dan penerangannya secara aktif, sedangkan murid mendengarkan dan mengikuti secara cermat serta membuat catatan tentang pokok masalah yang diterangkan oleh guru. Dalam bentuk yang lebih maju, untuk penjelasan uraian guru dapat menggunakan metode ini dengan memakai alat-alat pembantu seperti: gambar-gambar, peta, film, slide, dan sebagainya. Namun dengan demikian, yang utama tetap penerangan secara lisan.33 Metode ceramah adalah metode yang boleh dikatakan metode tradisional, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar mengajar. Meski metode ini lebih banyak menuntut keaktifan guru daripada anak didik, tetapa metode ini tetap tidak bisa 32 33
Zuhairini et. al, Metodik Khusus Pendidikan Agama, 83 Mahfudh Salahuddin et. al, Metodologi Pendidikan Agama , 43.
19
ditinggalkan begitu saja dalam kegiatan pengajaran. Apalagi dalam pendidikan dan pengajaran tradisional.34 Metode ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangannya sebagai berikut: 1) Kelebihan metode ceramah a) Guru mudah menguasai kelas. b) Mudah mengorganisasikan tempat duduk atau kelas. c) Dapat diikuti oleh jumlah siswa yang besar. d) Mudah mempersiapkan dan melaksanakannya. e) Guru mudah menerangkan pelajaran dengan baik. 2) Kekurangan metode ceramah 1. Mudah menjadi verbalisme (pengertian kata-kata). 2. Yang visual menjadi rugi, yang auditif (mendengar) lebih besar menerimanya. 3. Bila selalu digunakan dan terlalu lama, membosankan. 4. Guru menyimpulkan bahwa siswa mengerti dan tertarik pada ceramah, ini sukar sekali. 5. Menyebabkan siswa menjadi pasif.35 b. Metode Drill atau Latihan Metode drill atau latihan yang disebut juga metode training, merupakan suatu cara mengajar yang baik untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu, juga sebagai saran untuk memelihara 34 35
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, 109. Ibid., 110.
20
kebiasaan-kebiasaan yang baik, selain itu, metode ini dapat juga digunakan
untuk
memeperoleh
kesempatan
dan
ketrampilan.36
suatu
ketangkasan,
Zuhairini
dan
ketepatan,
kawan-kawan
mendefinisikan bahwa metode drill adalah suatu metode dalam pendidikan dan pengajaran dengan jalan melatih anak-anak terhadap bahan pelajaran yang sudah diberikan.37 Metode drill atau sering pula disebut dengan metode latihan siap atau metode pembiasaan adalah suatu kegiatan dalam melakukan hal yang sama, secara berulang-ulang dan sungguh-sungguh dengan tujuan untuk memperkuat suatu asosiasi atau menyempurnakan suatu ketrampilan supaya menjadi permanen.38 Metode drill atau latihan siap ini biasanya digunakan untuk pelajaran-pelajaran yang bersifat motoris. Seperti pelajaran menulis, membaca, bahasa, ketrampilan dan pelajaran lainnya yang bersifat kecakapan mental dalam arti untuk melatih anak-anak berpikir cepat. Dengan metode ini materi pendidikan agama diberikan dengan jalan melatih dan membiasakan anak didik dalam mengerjakan amaliahamaliah agama. Dengan demikian hendaknya telah dilakukan semenjak anak-anak masih kecil. Dalam sejarah al-Qur’an telah disebutkan bahwa pengajaran alQur’an dimasa nabi masih hidup, juga dilakukan dengan metode drill ini. Para sahabat dalam waktu-waktu tertentu dilatih membaca dan 36
Ibid., 108. Zuhairini et. al, Metodik Khusus Pendidikan Agama, 106. 38 Mahfudh Shalahuddin et. al, Metodologi Pendidikan Agama , 100. 37
21
menghafal al-Qur’an, sedangkan nabi mendengarkan dan mengoreksi, jika terdapat kesalahan-kesalahan, bahkan nabi Muhammad sendiri dalam menerima pengajaran al-Qur’an dari Jibril juga dengan metode drill ini, malaikat Jibril selalu melatihnya setiap setahun sekali sampai beliau wafat.39 Adapun kelebihan dan kekurangan dari metode drill ini adalah sebagai berikut: 1) Kelebihan metode drill atau latihan 1. Dalam waktu yang relatif singkat, cepat dapat diperoleh penguasaan dan ketrampilan yang diharapkan. 2. Para murid akan memiliki pengetahuan siap. 3. Akan menanamkan pada anak-anak kebiasaan belajar secara rutin dan disiplin. 2) Kekurangan metode drill atau latihan a) Menghambat perkembangan dan daya inisiatif murid. b) Kurang memperhatikan penyesuaiannya dengan lingkungan. c) Membentuk kebiasaan-kebiasaan yang kaku dan otomatis. d) Membentuk pengetahuan verbalis dan mekanis.40
39 40
Ibid., 101-102. Zuhairini et. al, Metodik Khusus Pendidikan Agama, 107.
22
c. Metode Tanya Jawab Metode tanya jawab adalah cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab terutama dari guru kepada siswa, tetapi dapat pula dari siswa kepada guru.41 Metode tanya jawab baik sekali diterapkan dalam pendidikan agama, apabila untuk tujuan seperti: 1) Terhadap pertanyaan yang menuntut jawaban reproduksi 1) Untuk mengetahui apakah pengetahuan yang harus dimiliki siswa sudah benar-benar tertanam dalam daya ingatannya. 2) Untuk mengetahui apakah pelajaran yang telah diberikan kepada siswa sudah tersimpan dengan setia (tidak mengalami perubahan), tahan lama (dapat diingat untuk waktu yang lama), luas (dapat mengingat banyak masalah sekaligus) dan mengabdi (mudah untuk mereproduksi lagi). 2) Terhadap pertanyaan yang menuntut pemikiran atau logika 1) Untuk mengetahui apakah jalan berpikir siswa sudah sistematis dan logis. 2) Untuk mengetahui apakah jalan berpikir siswa sudah menuju problema yang harus dipecahkan atau dirumuskan. 3) Menekankan bagian-bagian penting kepada murid 4) Agar siswa tidak merasa asing dengan jenis pertanyaan yang mungkin dijumpai dalam kelanjutan belajarnya. Jadi anak
41
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, 107.
23
dibiasakan dengan berbagai bentuk pertanyaan serta jawabanjawabannya.42 Metode
tanya
jawab
memiliki
beberapa
kelebihan
dan
kekurangan. Antara lain: 1) Kelebihan metode tanya jawab 1) Pertanyaan dapat menarik dan memusatkan perhatian siswa. Sekalipun ketika itu siswa sedang ribut, yang mengantuk kembali segar dan hilang kantuknya. 2) Merangsang siswa untuk melatih dan mengembangkan daya pikir, termasuk daya ingat. 3) Mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapat. 2) Kekurangan metode tanya jawab 1) Siswa merasa takut, apalagi bila guru kurang dapat mendorong siswa untuk berani, dengan menciptakan suasana yang tidak tegang, melainkan akrab. 2) Tidak mudah membuat pertanyaan sesuai dengan tingkat berpikir dan mudah dipahami siswa. 3) Waktu sering banyak terbuang, terutama apabila siswa tidak dapat menjawab pertanyaan sampai dua atau tiga orang.
42
Mahfudh Shalahuddin et. al, Metodologi Pendidikan Agama, 49.
24
4) Dalam jumlah siswa yang banyak, tidak mungkin cukup waktu untuk memberikan pertanyaan kepada setiap siswa.43 d. Metode Simulasi Simulasi berasal dari kata ”simulate” yang memiliki arti pura-pura atau berbuat seolah-olah. Dan juga ”simulation” yang berarti tiruan atau perbuatan yang hanya berpura-pura saja.44 Permainan simulasi pada dasarnya adalah pengembangan dari paduan metode bermain peranan dan metode diskusi dengan peningkatan permainan menjadi permainan yang fungsional. Dengan demikian dapat diberikan batasan bahwa permainan simulation merupakan bentuk mainan yang diatur sedemikian rupa sehingga terjadi proses belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa.45 Sebagai metode pengajaran permainan simulasi mempunyai kelebihan dan kekurangan, antara lain:46 1) Kelebihan metode simulasi 1. Memungkinkan anak didik mengembangkan daya pikirnya. 2. Memungkinkan anak didik mendapat tambahan pengetahuan yang mantab dan berkesan. 3. Dapat menumbuhkan gairah dan aktivitas belajar anak didik.
43
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar-Mengajar, 107-108. Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodolagi Pendidikan Islam, 182. 45 Zuhairini et. al, Metodik Khusus Pendidikan Agama, 115-116. 46 Ibid, 117. 44
25
2) Kekurangan metode simulasi a) Terbatas pada beberapa jenis materi tertentu dalam arti tidak semua materi pendidikan agama dapat disampaikan dengan metode ini. b) Kurang efektif untuk pengajaran dalam kelas. c) Adanya kemungkinan sebagian anak didik tidak berperan serta aktif dalam permainan simulation
ini sehingga justru
menghambat jalannya pengajaran. e. Metode Demonstrasi Metode
demonstrasi
adalah
metode
mengajar
dengan
menggunakan peragaan untuk memperjelas suatu pengertian untuk memperlihatkan bagaimana berjalannya suatu proses pembentukan tertentu kepada siswa.47 Dengan metode demonstrasi, proses penerimaan siswa terhadap pelajaran akan lebih berkesan secara mendalam, sehingga membentuk pengertian yang baik dan sempurna. Siswa juga dapat mengamati dan memperhatikan apa yang diperlihatkan selama pelajaran berlangsung. Metode demonstrasi baik digunakan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang hal-hal yang berhubungan dengan proses mengatur sesuatu, proses membuat sesuatu, proses bekerjanya sesuatu, proses mengerjakan atau menggunakannya, komponen-komponen
47
Armai Arif, Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, 190.
26
yang membentuk sesuatu, membandingkan suatu cara dengan cara yang lain dan untuk mengetahui atau melihat kebenaran sesuatu.48 Adapun kelebihan dan kekurangan metode ini adalah sebagai berikut: 1) Kelebihan metode demonstrasi 1. Membuat pengajaran menjadi lebih jelas dan lebih konkret sehingga menghindari verbalisme (pemahaman secara kata-kata atau kalimat). 2. Siswa lebih mudah memahami apa yang dipelajari. 3. Proses pengajaran lebih menarik. 4. Siswa dirangsang untuk aktif mengamati, menyesuaikan antara teori dan kenyataan dan mencoba melakukan sendiri. 2) Kekurangan metode demonstrasi a) Memerlukan ketrampilan guru secara khusus, karena tanpa ditunjang dengan hal itu pelaksanaan demonstrasi tidak akan efektif. b) Fasilitas seperti peralatan, tempat dan biaya yang memadai tidak selalu tersedia dengan baik. c) Memerlukan kesiapan dan perencanaan yang matang di samping memerlukan waktu yang cukup panjang yang mungkin terpaksa mengambil waktu atau jam pelajaran lain.
48
Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, 102-103.
27
B. Metode Tartila 1. Pengertian Metode Tartila Metode tartila adalah sebuah cara mengajar al-Qur’an yang mengupayakan
santri
secepatnya
memiliki
ketrampilan
membaca
al-Qur’an secara fashih, selain mengenal nama huruf hijaiyyah, maka pada dasarnya, metode ini lebih mendahulukan dan mengutamakan pendekatan shauty dibanding pendekatan abjady. Dan berdasarkan aspek psikologis santri dalam pembelajaran membaca kata, kalimat sampai ayat, maka metode ini lebih mengutamakan metode tarkiby dari pada metode tahlity.49 Dalam pembelajaran metode tartila ini terdapat 2 pendekatan, yaitu: a. Pendekatan nama huruf (al-thariqah al-abjadiyah atau the alphabetic method), yaitu pembelajaran menyebutkan huruf. b. Pendekatan
fungsi
huruf
atau
pendekatan
bunyi
(al-thariqat
al-shautiyyah atau the phonetic method), yaitu pembelajaran membaca huruf arab langsung bersyakal. Selain itu, dalam pembelajaran membaca satuan kata, kalimat maupun ayat, selain dua pendekatan di atas, terdapat dua metode, yaitu: a. Metode penyusunan (al-thariqah at-tarkibiyah atau the structural method), yaitu dimulai dari pembelajaran membaca huruf menuju kata, kalimat sampai pemebelajaran ayat. b. Metode uraian (al-thariqah at-tahlitiyah)
49
Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadh, Jilid 1 Tartila (Surabaya: JQH, 1998), 1.
28
Program awal sebagai dasar pembekalan santri untuk mengenal dan memahami serta mempraktekkan membaca al-Qur’an dipandu dengan buku paket cara cepat membaca al-Qur’an ”tartila” sebanyak enam jilid yang dapat ditempuh kurang lebih 6 bulan.50 Dilanjutkan program membaca al-Qur’an untuk mengantarkan santri mampu membaca al-Qur’an sampai khatam 30 juz. 2. Ciri-ciri Metode Tartila a. Materi pendidikan dibedakan menjadi dua macam.51 Yaitu: 1) Materi Pokok Dalam pendidikan al-Qur’an sebagai materi pokok adalah belajar
membaca
al-Qur’an
dengan
mempergunakan
buku
metodologi tartila dan al-Qur’an 30 juz serta ditambah dengan sejumlah materi hafalan. 2) Materi Penunjang Yaitu materi tambahan sebagai pelengkap materi pokok, yang harus dikuasai oleh setiap santri. b. Materi Pelajaran disusun secara berjenjang yaitu: a. Materi Tartila yang disajikan dalam 6 jilid, yang penjabarannya sebagai berikut: 1) Dalam jilid 1 (satu), materi pembelajaran yaitu: a) Menyebutkan nama masing-masing huruf hijaiyah
50 LP. Ma’arif NU, Pedoman Pengelolaan Taman Pendidikan al-Qur’an (Tulungagung: LP. Ma’arif NU), 1993. 51 Jam’iyyatul Qurro’ Wal huffadh, Panduan Pelaksanaan Pembinaan Dan Pengembangan Pendidikan Al Qur’an (Surabaya: JQH, 1999), 9.
29
b) Membaca seluruh huruf hijaiyah yang bersyakal fathah c) Pengenalan makhorijul huruf dan sifatul huruf d) Pengenalan angka arab dengan simulasi halaman 2) Dalam jilid 2 (dua), materi pembelajaran yaitu: a) Membaca seluruh huruf hijaiyah yang bersyakal kasroh dan dlummah b) Pengulangan menyebutkan nama masing-masing huruf hijaiyah c) Lanjutan pengenalan angka arab dengan simulasi halaman 3) Dalam jilid 3 (tiga), materi pembelajaran yaitu: a) Pengenalan bunyi syakal tanwin beserta pengembangannya b) Pengenalan bacaan huruf berangkai atau bersambung c) Pengenalan hukum bacaan mad Thobi’i, mad Shilah Qosiroh d) Pengenalan bunyi bacaan macam-macam bentuk ta’ Marbutoh e) Pengenalan bunyi bacaan huruf sukun pada tiap-tiap huruf 4) Dalam jilid 4 (empat), materi pembelajaran yaitu: a) Pengenalan bunyi huruf bertasydid b) Pengenalan hamzah washol c) Pengenalan bacaan Ghunnah, Idhar Halqi, Idhar Syafawi, Idhar Qomary dan Igham Syamsy
30
5) Dalam jilid 5 (lima), materi pembelajaran yaitu: a) Pengenalan bacaan Ikhfa’, Iqlab, Idgham ma’al Ghunnah, Ikhfa’ Syafawi b) Pengenalan bacaan Idgham Bighunnah, Lam Jalaalah, Idgham Bila Ghunah, al Liin. 6) Dalam jilid 6 (enam), materi pembelajaran yaitu: a) Pengenalan bunyi bacaan Qolqolah, Mad ’Aridh Lissukun, mad ’Iwadh, mad Wajib Muttashil, mad Jaiz Munfasil b) Pengenalan bacaan Ro’, mad Lazim Kilmi Mutsaqqol, mad Lazim kilmi Mukhoffaf, mad Lazim Harfi. b. Materi lanjutan tartila yang disajikan dalam contoh-contoh waqf wal ibtida’ juz 1-5. Setelah khatam jilid 1 sampai 6 maka santri dihantarkan untuk
melanjutkan
belajar
membaca
al
Qur’an,
dengan
menggunakan contoh-contoh waqf wal ibtida’ juz 1 sampai 5. Setelah terbiasa dengan buku waqf wal ibtida’ maka dapat melanjutkan ke juz berikutnya. Dari segi cara membaca al Qur’an ini, tartila mengikuti para ulama qiraat yang sepakat untuk membagi ke dalam empat macam cara membaca, yaitu52: a. At Tartil Yaitu bacaan lambat, dengan menggunakan kaidahkaidah ilmu tajwid dan mentadabburkan. Bacaan ini adalah
52
Abdul Mukti, Manhalul ‘Irfan (Bandung: Sinar Baru, 1987), 154.
31
yang paling bagus karena dengan bacaan al Qur’an diturunkan. Allah SWT berfirman:
< ً :ْ /ِ ْ7/َ jُ Qَkْl/َّو َر Artinya : Dan kami bacakan al Qur’an itu dengan tartil” (Q.S al Furqon: 32) Bacaan tartil ini adalah bacaan yang sempurna tajwidnya, serta memikirkan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang dibacanya itu. Dan memang itulah yang dianjurkan oleh nabi Muhammad SAW. Sebab pembacaan yang tartil ini lebih banyak memberi bekas dan mempengaruhi jiwa, serta lebih mendatangkan ketenangan batin dan rasa hormat kepada al Qur’an. b. At Tahqiq Yaitu bacaan yang lebih lambat daripada tartil, yang lazim digunakan untuk mengajarkan al Qur’an dengan sempurna. Tingkat bacaan ini lebih diutamakan bagi para guru pengajar al Qur’an di dalam mendidik murid-muridnya agar mereka dapat mengikuti bacaan gurunya dengan baik dan benar. c. Al Hadr, yaitu bacaan yang dilakukan dengan cepat tetapi tetap mempraktekkan tajwidnya. Dalam hal ini kita wajib menjaga dan memelihara benar-benar hukum-hukum ilmu tajwid seperti idharnya, idghamnya, madnya dan sebagainya, dengan tidak mengurangi sedikitpun hak masing-masing.
32
d. At Tadwir, yaitu bacaan yang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, pertengahan antara al Hadr dan at Tartil.53 Maka,
dalam
belajar
membaca
al
Qur’an,
santri
dapat
menggunakan salah satu dari keempat tingkatan tersebut, sesuai tingkat kecerdasan masing-masing. 3. Langkah-langkah Metode Tartila A. Dalam buku jilid pertama langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:54 1) Guru menciptakan suasana penuh perhatian dari santri 2) Guru menyebutkan nama huruf diteruskan dengan mencontohkan bacaan huruf yang bersyakal sebagaimana rumusan tiap baris pada setiap lembar halaman dengan langsung ditirukan santri dan diteruskan dengan drill (pengulangan berkali-kali). Demontrasi pengucapan oleh guru betul-betul harus benar. Setelah drill shautiy secara benar satu halaman usai. 3) Guru mengenalkan nama abjad dan syakal yang tertulis di bagian bawah, sekaligus melatih mengidentifikasi abjad atau syakal tersebut meskipun abjad atau syakal itu sudah dikenal sebelumnya. 4) Guru mengenalkan nama angka arab yang tertera pada bagian bawah, juga sekaligus melatih mengidentifikasi angka tersebut dan angka-angka sebelumnya yang sudah dikenal santri. B. Dalam buku jilid kedua langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 53 54
Abdul Aziz Abdul Ra’uf, Pedoman Dauroh al Qur’an (Jakarta: Dzilal Press, 1996), 9. Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadh, Jilid 1 Tartila (Surabaya: JQH, 1998), 1.
33
1) Guru menciptakan suasana penuh perhatian dari santri 2) Guru langsung mencontohkan bunyi bacaan huruf bersyakal sebagaimana rumusan pada setiap halaman dengan ditirukan santri dan diteruskan dengan drill (pegulangan berkali-kali) hingga terbiasa. 3) Guru mengenalkan nama syakal yang tertulis di bagian bawah, sehingga melatih mengidentifikasi syakal tersebut maupun abjad dan syakal yang sudah dikenal sebelumnya setelah itu. 4) Guru mengenalkan nama angka arab yang tertera pada bagian bawah, juga sekaligus melatih mengidentifikasi angka tersebut dan angka-angka sebelumnya yang sudah dikenal santri.55 C. Dalam buku jilid ketiga langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:56 1) Guru menciptakan suasana penuh perhatian dari santri 2) Guru langsung mencontohkan bunyi bacaan huruf bersyakal fathah tanwin, kasroh tanwin, dlommah tanwin dan pengembangannya dengan ditirukan santri dan diteruskan dengan drill (pengulangan berkali-kali). 3) Guru langsung mengenalkan nama hukum bacaan mad Thobi’i, mad Shilah Qosiroh, dengan mencontohkan bunyi. 4) Guru langsung mengenalkan bunyi bacaan Ta’ marbutho dan huruf-huruf sukun dengan mencontohkan bacaannya dan ditirukan santri dengan drill. 55 56
Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadh, Jilid 2 Tartila (Surabaya: JQH, 1998), 1. Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadh, Jilid 3 Tartila (Surabaya: JQH, 1998), 1.
34
D. Dalam buku jilid keempat langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:57 1) Guru menciptakan suasana penuh perhatian dari santri 2) Guru langsung mencontohkan bunyi huruf bertasydid, bunyi bacaan hamzah Washol, bacaan Ghunnah, Idhar Qomary dan Idgham Syamsy dengan ditirukan santri dan diterukan drill berikut pengembangannya. E. Dalam buku jilid kelima langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:58 1) Guru menciptakan suasana penuh perhatian dari santri 2) Guru langsung mencontohkan bunyi bacaan Ikhfa’, Iqlab, Idgham maal Ghunnah, Ikhfa’ Syafawi, Idgham Bighunnah, Lam Jalaah, Idgham Bila Ghunah,dan al Liin dengan benar dan ditirukan santri serta diteruskan dengan drill berikut pengembangannya. F. Dalam buku jilid keenam langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:59 1) Guru menciptakan suasana penuh perhatian dari santri 2) Guru langsung mencontohkan bunyi bacaan Qolqolah, Mad ’Aridh Lissukun, mad ’Iwadh, mad Wajib Muttashil, mad Jaiz Munfasil, bacaan Ro’, mad Lazim Kilmi Mutsaqqol, mad Lazim kilmi Mukhoffaf, mad Lazim Harfi dengan benar dan ditirukan santri serta diteruskan dengan drill (pengulangan berkali-kali) berikut pengembangannya. 57
Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadh, Jilid 4 Tartila (Surabaya: JQH, 1998), 1. Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadh, Jilid 5 Tartila (Surabaya: JQH, 1998), 1. 59 Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadh, Jilid 6 Tartila (Surabaya: JQH, 1998), 1. 58
35
BAB III METODE PEMBELAJARAN TARTILA DI TPQ PONDOK PESANTREN ROUDLOTUL HASAN POLOREJO BABADAN PONOROGO
A. Paparan Data Umum 1. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo60 Pada waktu itu di lingkungan Pule Polorejo proses pembelajaran al Qur’an belum terorganisir dengan baik. Hal ini ditandai dengan berpindah-pindahnya tempat pembelajaran. Semula dari rumah penduduk yang satu ke rumah penduduk yang lain. Hal ini terjadi pada tahun 1996 yang pada saat itu bertempat di rumah bapak Toimin dan pengajarnya adalah bapak Hariadi. Selanjutnya pembelajaran al Qur’an sempat berpindah ke mushola lingkungan Pule Polorejo pada tahun 1998 sekitar bulan Februari. Pada saat itu pengajar digantikan oleh bapak Dimyathi. Setelah pembelajaran al Qur’an di asuh oleh bapak Dimyathi maka pada awal tahun 1999 didirikan Pondok pesantren Roudlotul Hasan dengan alamat jalan Flamboyan Desa Polorejo Kecamatan Babadan kabupaten Ponorogo. Pondok ini berdiri di atas tanah Ibu Istirokhah yang akhirnya tanah tersebut diwakafkan untuk pengembangan pondok. Dinamakan pondok pesantren Roudlotul Hasan karena sebelumnya pembelajaran al Qur’an masih terjadi di rumah-rumah penduduk. Akhirnya bapak Dimyathi mengadakan musyawarah dengan masyarakat dan pemilik 60
Lihat Transkip Dokumentasi Nomor 01/ D/ F-1/ 23-VII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
36
tanah untuk mendirikan pondok agar pembelajaran al Qur’an dapat terkumpul dan tertata menjadi sebuah taman pendidikan al Qur’an, yang akhirnya dinamai Pondok pesantren Roudlotul Hasan. Semenjak berdirinya, maka pondok menjadi pusat pembelajaran ilmu-ilmu agama khususnya al Qur’an di lingkungan Pule Polorejo. Tenaga pengajar di pondok pesantren ini pada awalnya hanya bapak Dimyathi sendiri, hal ini disebabkan belum terencana dan tertatanya kegiatan pendidikan yang ada. Selanjutnya pada tahun berikutnya, tenaga pengajar bertambah menjadi 3 orang. Karena pelajaran pun berkembang. Yaitu selain al Qur’an diajarkan juga kitab-kitab kuning. Selanjutnya pada tahun 2002 santri semakin bertambah. Maka, pengasuh memutuskan untuk menambah jam pelajaran yaitu sore hari. Selain penambahan jam juga pemilahan ketegori untuk belajar mengaji. Sore hari dikhususkan bagi santri yang baru mempelajari al Qur’an (pemula), sedangkan pada malam hari dikhususkan bagi santri yang telah punya modal dasar membaca al Qur’an. Maka, karena bertambahnya jam pembelajaran akhirnya tenaga pengajar juga bertambah. Yang semula hanya 3 orang menjadi 8 orang. Mulai berdiri sampai sekarang pondok pesantren Roudlotul Hasan masih di asuh dan di pimpin oleh Bapak Dimyathi.
37
2. Letak Geografis Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo61 Pondok pesantren Roudlotul Hasan Pule Polorejo adalah salah satu lembaga pendidikan al Qur’an di Ponorogo. Yang tepatnya berlokasi di jalan Flamboyan Desa Polorejo Kecamatan Babadan kabupaten Ponorogo Propinsi Jawa Timur. 3. Keadaan Guru dan Santri Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo a) Keadaan Guru Jumlah guru di Pondok pesantren Roudlotul Hasan Pule Polorejo sebanyak 8 orang. Yang terdiri dari guru al Qur’an 6 orang, guru kitab kuning 2 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran.62 b) Keadaan Santri Jumlah santri di Pondok pesantren Roudlotul Hasan Pule Polorejo secara keseluruhan berjumlah 65. Yang terdiri dari 25 santri mukim, 40 santri non mukim. Untuk lebih jelasnya lihat dalam lampiran.63 4. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana Pondok pesantren Roudlotul Hasan Pule Polorejo fasilsitas yang ada antara lain: ruang pembelajaran, aula, kamar tidur, ruang lurah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam lampiran.64
61
Lihat Transkip Dokumentasi Nomor 02/ D/ F-1/ 23-VII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 62 Lihat Transkip Dokumentasi Nomor 03/ D/ F-1/ 23-VII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 63 Lihat Transkip Dokumentasi Nomor 04/ D/ F-1/ 23-VII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 64 Lihat Transkip Dokumentasi Nomor 05/ D/ F-1/ 23-VII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
38
Perencanaan inventaris Pondok pesantren Roudlotul Hasan Pule Polorejo dilakukan baru pada tahun-tahun terakhir. Hal ini karena belum adanya kecukupan dana untuk pengadaan sarana prasarana. Pengaturan dan pemeliharaan sarana di Pondok pesantren Roudlotul Hasan Pule Polorejo terorganisir dan dikelola oleh pengasuh pondok. B. Paparan Data Khusus 1. Data tentang Latar Belakang Diterapkannya Metode Tartila dalam Pengenalan Membaca al Qur’an TPQ Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Pondok
Pesantren
Roudlotul
Hasan
Polorejo
dalam
perkembangannya selalu senantiasa berusaha meningkatkan kualitas anak didiknya dengan berbagai cara, baik melalui kegiatan pendidikan ataupun pembelajaran. Sedangkan untuk pembelajaran merupakan tugas guru untuk bisa menentukan suatu metode atau cara agar siswa yang di didiknya dapat mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Serta memiliki berbagai keterampilan dan kemampuan menguasai materi al Qur’an. Untuk mengetahui latar belakang diterapkannya metode tartila dalam pengenalan membaca al Qur’an santri di Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo peneliti melakukan wawancara kepada guru dan observasi terhadap pelaksanaan metode tartila pada saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Dari hasil wawancara penulis dengan bapak Moh. Mahfud sebagai salah satu pengajar di Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo dapat
39
penulis jelaskan tentang metode tartila yang diterapkan pada sistem pendidikan. ”Metode tartila adalah suatu cara atau jalan untuk mengajar santri agar secepatnya lancar dalam membaca al Qur’an secara fasih, selain
itu
juga
dikenalkan
nama-nama
huruf
hijaiyah,
dalam
pembelajarannya ada penggunaan alat peraga, mengulang-ulang bacaan dan demontrasi”.65 Diantara latar belakang diterapkannya metode tartila di Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo ini karena tartila menggunakan 2 pendekatan sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Samsul Huda sebagai berikut: Dalam Tartila digunakan 2 pendekatan dalam mengajar, yaitu pendekatan al Thariqah al Abjadiyyah yaitu suatu pendekatan dalam pembelajaran menyebutkan huruf dan pendekatan al Thariqah al Shaautiyyah yaitu pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran membaca huruf arab langsung bersyakal. Jadi, dengan metode tartila santri lebih cepat dan mudah menerima pelajaran serta dengan metode tartila ini pembelajaran lebih maksimal dan kompetensi yang ada dapat tercapai. Mulai saat itulah awal pemakaian metode tartila dalam pengenalan membaca al Qur’an.66 Sedangkan alasan atau tujuan digunakannya metode tartila ini adalah sebagaimana penjelasan bapak Samsul Huda sebagai berikut: Alasan saya menggunakan metode tartila ini karena dengan tartila pembelajaran lebih kondusif, seperti diawali salam yang baik, penggunaan metode ceramah, drill, demontrasi, serta ada simulasi sebagai rangkaian pembelajaran. Sehingga santri tidak gampang jenuh dalam mengikuti proses belajar mengajar. Dan juga penggunaan lagu, maka pembelajaran menjadi lebih menarik.67 65
Lihat Transkip Wawancara Nomor 02/ W/ F-1/ 30-VII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 66 Lihat Transkip Wawancara Nomor 04/ W/ F-1/ 30-VII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 67 Lihat Transkip Wawancara Nomor 04/ W/ F-1/ 30-VII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
40
Adapun penggunaan metode tartila ini tidak lepas dari adanya faktorfaktor sebagai berikut: a. Materi bahan ajar yang disajikan. Misalnya membaca huruf hijaiyah, bagaimana jika santri akan segera dapat mengingatnya. Hal tersebut dapat dipecahkan melalui metode drill (mengulang-ulang bacaan). Dan juga penjelasan tentang nama huruf-huruf hijaiyah, maka santri akan lebih mudah memahami bacaan. b. Kondisi siswa. Dalam pembelajaran, santri harus dikondisikan untuk konsentrasi dan tetap semangat, dengan berbagai cara misalnya penggunaan berbagai alat peraga sebagai simulasi. Juga diselingi dengan demonstrasi. c. Alokasi waktu yang tersedia, dimana untuk pelajaran al Qur’an ini dalam satu kali pertemuan itu 2 X 30 menit. Padahal banyaknya santri dan pasti ada santri yang harus mengulang-ulang bacaan. Jadi guru harus pandai-pandai memilih metode yang tepat.68 2. Data tentang Langkah-langkah dan Hasil Penerapan Metode Tartila dalam Pengenalan Membaca al Qur’an TPQ Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Untuk mengetahui langkah-langkah penerapan metode tartila di Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo dalam pembelajaran al Qur’an, peneliti melakukan wawancara dan observasi secara langsung
68
Lihat Transkip Wawancara Nomor 03/ W/ F-1/ 30-VII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
41
kepada guru dan observasi terhadap pelaksanaan metode tartila pada saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung, sebagaimana data berikut: Dalam pembelajaran, cara atau langkah-langkah yang saya gunakan yaitu: mengucapkan salam, menciptakan suasana penuh perhatian dari santri, selanjutnya saya beri penjelasan tentang materi pada saat itu (dengan ceramah), setelah itu saya mencontohkan bacaan langsung ditirukan santri (secara drill). Sekali-sekali saya pakai alat peraga atau simulasi.69 Selanjutnya materi dilanjutkan ke berikutnya dengan cara guru menyebutkan nama huruf diteruskan dengan mencontohkan bacaan huruf yang bersyakal dengan langsung ditirukan santri dan diteruskan dengan drill (pengulangan berkali-kali). Kemudian guru mengenalkan nama abjad dan
syakal
yang
tertulis
di
bagian
bawah,
sekaligus
melatih
mengidentifikasi abjad atau syakal tersebut meskipun abjad atau syakal itu sudah dikenal sebelumnya. Pada baris terakhir guru mengenalkan nama angka arab yang tertera pada bagian bawah, juga sekaligus melatih mengidentifikasi angka tersebut dan angka-angka sebelumnya yang sudah dikenal santri. Namun, dalam setiap langkah-langkah dalam jilid 1 tersebut sering didahului dengan ceramah. Sebagaimana penjelasan bapak Widodo sebagai berikut: Ya, setiap menjalankan langkah dalam pembelajaran tartila sering memakai dengan ceramah. Hal ini dilakukan untuk memberikan penjelasan yang lengkap kepada santri.70
69 Lihat Transkip Wawancara Nomor 05/ W/ F-2/ 2-VIII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 70 Lihat Transkip Wawancara Nomor 05/ W/ F-2/ 2-VIII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
42
Selanjutnya dalam pembelajaran jilid kedua langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: Guru masuk ruangan, mengucapkan salam, menanyakan materi sebelumnya untuk menciptakan perhatian (konsentrasi). Selanjutnya materi dilanjutkan ke berikutnya dengan cara guru mengenalkan nama syakal yang tertulis di bagian bawah, sehingga melatih mengidentifikasi syakal tersebut maupun abjad dan syakal yang sudah dikenal sebelumnya (demontrasi). Kemudian guru mengenalkan nama angka arab yang tertera pada bagian bawah, juga sekaligus melatih mengidentifikasi angka tersebut dan angkaangka sebelumnya yang sudah dikenal santri.71 Pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung guru juga menjelaskan pelajaran dengan metode ceramah dan juga simulasi. Setelah itu diberikan contoh cara membacanya, kemudian santri disuruh menirukan beberapa kali, kemudian santri disuruh membaca bersamasama sampai berkali-kali. Diharapkan dari membaca dengan diulang-ulang santri dapat segera menghafali setiap pelajaran yang disampaikan.72 Pada pembelajaran buku jilid ketiga langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: Guru masuk ruangan, mengucapkan salam, kemudian guru langsung mencontohkan bunyi bacaan huruf bersyakal fathah tanwin, kasroh tanwin, dlommah tanwin dan pengembangannya dengan ditirukan santri dan diteruskan dengan drill (pengulangan berkali-kali). Selanjutnya guru langsung mengenalkan nama hukum bacaan mad Thobi’i, mad Shilah Qosiroh, dengan menjelaskan dahulu, kemudian baru mencontohkan bunyi. Selanjutnya guru langsung mengenalkan bunyi bacaan Ta’ marbutho dan huruf-huruf sukun dengan mencontohkan bacaannya dan ditirukan santri dengan drill.73 71
Lihat Transkip Wawancara Nomor 05/ W/F-2/ 2-VIII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 72 Lihat Transkip Observasi Nomor 02/ O/ F-1/ 6-VIII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 73 Lihat Transkip Wawancara Nomor 05/ W/F-2/ 2-VIII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
43
Dalam jilid keempat ini, guru hanya sedikit memberi penjelasan. Karena intinya santri langsung dicontohkan cara membacanya.74 Dalam pembelajaran buku jilid keempat langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: Guru masuk ruangan, mengucapkan salam, kemudian guru langsung mencontohkan bunyi huruf bertasydid, bunyi bacaan hamzah Washol, bacaan Ghunnah, Idhar Qomary dan Idgham Syamsy dengan ditirukan santri dan diterukan drill berikut pengembangannya.75 Dalam pembelajaran buku jilid kelima langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: Guru masuk ruangan, mengucapkan salam, Guru langsung mencontohkan bunyi bacaan Ikhfa’, Iqlab, Idgham maal Ghunnah, Ikhfa’ Syafawi, Idgham Bighunnah, Lam Jalaah, Idgham Bila Ghunah,dan al Liin dengan benar dan ditirukan santri serta diteruskan dengan drill berikut pengembangannya.76 Selanjutnya dalam pembelajaran buku jilid keenam langkahlangkahnya adalah sebagai berikut:77 Guru masuk ruangan, mengucapkan salam, kemudian guru langsung mencontohkan bunyi bacaan Qolqolah, Mad ’Aridh Lissukun, mad ’Iwadh, mad Wajib Muttashil, mad Jaiz Munfasil, bacaan Ro’, mad Lazim Kilmi Mutsaqqol, mad Lazim Kilmi Mukhoffaf, mad Lazim Harfi dengan benar dan ditirukan santri serta diteruskan dengan drill (pengulangan berkali-kali) berikut pengembangannya. Sedangkan hari berikutnya dari hasil observasi yang peneliti lakukan pada saat terjadi kegiatan belajar-mengajar, juga diperoleh data sebagai berikut: 74
Lihat Transkip Observasi Nomor 03/ O/ F-I/ 9-VIII/ 2008 dalam lampiran laporan penelitian ini. 75 Lihat Transkip Wawancara Nomor 05/ W/ F-2/ 2-VIII/ 2008 dalam lampiran laporan penelitian ini. 76 Lihat Transkip Wawancara Nomor 05/ W/ F-2/ 2-VIII/ 2008 dalam lampiran laporan penelitian ini. 77 Lihat Transkip Wawancara Nomor 05/ W/ F-2/ 2-VIII/ 2008 dalam lampiran laporan penelitian ini.
44
hasil hasil hasil hasil
Santri yang masih belajar membaca jilid 1 dari awal pembelajaran dibimbing dan dicontohkan oleh guru terlebih dahulu. Setelah beberapa kali di ulang ulang, santri disuruh membaca satu-satu. Kegiatan ini berhasil dengan baik, karena dengan pemakaian drill(mengulang-ulang bacaan) membuat santri terbiasa. Setelah itu santri langsung ditanya nama-nama huruf pada setiap akhir halaman, mereka langsung menjawab dengan lancar. Kegiatan ini juga berlangsung pada santri yang belajar pada jilid 2, mereka ketika ditanya nama-nama huruf pada beberapa halaman paling bawah, juga dapat menyebutkan dengan lancar. Dari 12 santri yang kami observasi dalam pembelajaran ada 2 orang yang masih kelihatan sulit mengikuti kegiatan belajar-mengajar.78 Dari hasil observasi peneliti, santri yang belajar pada jilid 1 dan 2 dapat dikatakan berhasil dengan baik dan lancar. Sedangkan santri yang belajar pada jilid 3 sampai 6, mereka langsung praktek sendiri-sendiri setelah membaca bersama-sama. Dari 15 santri yang peneliti perhatikan ada 3 orang santri yang mengulang-ulang dari masing-masing halaman yang mereka pelajari, ada juga yang membaca secara terpotong-potong. Ketika ada santri yang masih harus mengulang seperti ini maka ada jam khusus untuk menangani mereka, yaitu bisa sebelum pembelajaran dan waktu istirahat.79 Dari hasil observasi yang peneliti lakukan pada santri yang belajar pada jilid 3 sampai 6 dapat dikatakan berhasil dengan baik dan lancar. Sehingga
materi
dapat
dilanjutkan
kepada
halaman
berikutnya.
Penggunaan metode drill yang paling sering dipakai menjadikan santri segera mengenali dan mengingat bacaan dalam buku tartila. Dari beberapa penjelasan di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa hasil dari diterapkannya metode Tartila ini dalam pengenalan membaca al Qur’an santri Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo dapat
78 Lihat Transkip Observasi Nomor 04/ O/ F-I/ 13-VIII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 79 Lihat Transkip Observasi Nomor 05/ O/ F-I/ 16-VIII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
45
dikatakan berhasil maksimal. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan santri dalam mengikuti materi yang disampaikan guru dapat dipahami dengan baik dan lancar. 3. Faktor
Pendukung
dan
Penghambat
Metode
Tartila
dalam
Pengenalan Membaca al Qur’an TPQ Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Dalam implementasinya metode tartila yang digunakan di pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo ini diharapkan mampu mewujudkan target pencapaian kompetensi yang ditentukan. Namun hal tersebut tidak terlepas dari faktor pendukung dan penghambat. Mengenai faktor-faktor yang mendukung penerapan metode tartila dalam pengenalan kemampuan membaca dan kelancaran santri membaca al Qur’an ada beberapa faktor. Hal ini diperoleh berdasarkan wawancara dengan beberapa guru, antara lain: a. Guru yang profesional dan berpengalaman. Hal ini terbukti para guru yang ahli dibidangnya serta didukung pula dengan seringnya mengikuti pelatihan-pelatihan metode tartila, sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Maftuh Fuadi sebagai berikut: ”Guru yang menguasai kelas dan berpengalaman sangat membantu proses pembelajaran, untuk mendukung hal tersebut pada tanggal 3 Juni para guru mengikuti diklat tentang metode tartila yang diadakan oleh Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadh kabupaten Ponorogo.”80
80
Lihat Transkip Wawancara Nomor 06/ W/ F-3/ 6-VIII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
46
b. Lingkungan kelas yang kondusif, hal ini sangat mendukung proses belajar-mengajar, sebagaimana penuturan bapak Maftuh Fuadi sebagai berikut: ”Keadaan kelas yang telah dibagi-bagi sesuai dengan tingkatan kemampuan membaca masing-masing serta keadaan yang tenang dapat membawa lancarnya proses belajar-mengajar sehingga berjalan lancar.”81 c. Orang
tua
yang
kooperatif
terhadap
program-program
yang
diselenggarakan oleh pihak pondok. Sebagaimana hasil wawancara dengan bapak Maftuh Fuadi berikut: ”Kerjasama dengan orang tua santri sangat mendukung dan membantu proses belajar-mengajar, bahwa setiap sore orang tua menyuruh anaknya agar mengikuti pembelajaran al Qur’an di Pondok. Sehingga anak akan terkondisi dan dengan sendirinya lebih gampang untuk memahami materi.”82 Selain faktor pendukung di atas, dalam implementasinya metode tartila juga terdapat faktor penghambat. Ada beberapa faktor yang penulis temukan dari hasil wawancara dengan beberapa guru di Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo sebagaimana berikut:83 a. Alokasi waktu yang terbatas dalam proses pembelajaran. Hal ini jelas menjadi kendala tersendiri dimana pada tataran ideal bagaimana mengharapkan pencapaian yang maksimal pada setiap ranah. Karena pembelajaran metode tartila ini berkesinambungan
81
Lihat Transkip Wawancara Nomor 06/ W/ F-3/ 6-VII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 82 Lihat Transkip Wawancara Nomor 06/ W/ F-3/ 6-VII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 83 Lihat Transkip Wawancara Nomor 06/ W/ F-3/ 6-VII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
47
namun prakteknya di lapangan selalu berbenturan dengan adanya keterbatasan waktu pembelajaran. b. Perbedaan karakter santri. Perbedaan individu setiap santri harus diperhatikan oleh guru. Karena setiap
santri
mempunyai
potensi
yang
harus
di
asuh
dan
dikembangkan. Guru sebagai mitranya harus mampu membantunya, banyaknya santri menjadi kendala guru untuk mengenali karakter santri, sekaligus memberikan pelayanan yang berbeda pada setiap santri, perbedaan individu pada aspek kecerdasan juga bisa menjadi penghambat dalam implementasi metode tartila.
48
BAB IV ANALISIS DATA IMPLEMENTASI METODE TARTILA DALAM PENGENALAN MEMBACA AL QUR’AN TPQ PONDOK PESANTREN ROUDLOTUL HASAN POLOREJO KECAMATAN BABADAN PONOROGO
1. Analisis Data tentang Latar Belakang Diterapkannya Metode Tartila dalam Pengenalan Membaca al Qur’an TPQ Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Al Qur’an adalah sebuah kitab suci yang harus dibaca, bahkan dianjurkan untuk dijadikan bacaan harian. Membacanya dinilai oleh Allah SWT sebagai ibadah. Pahala yang dberikan Allah bukan dihitung perkata atau per ayat, namun, perhuruf. Al Qur’an sebagai landasan hidup manusia mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab lain. Bagi umat Islam sangat diwajibkan untuk dapat membaca al Qur’an dengan baik dan benar, tentunya yakni dengan menggunakan ilmu tajwid. Dalam al Qur’an Allah SWT berfirman:
< ً :ْ /ِ ْ7/َ ن َ ْءَا76ُ 3ْ ا1 ِ /. َو َر Artinya: “Dan bacalah Al Qur’an itu dengan tartil.” (Q.S alMuzaammil: 4)84
84
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1979.
49
Tartil diatas dimaksudkan bacaan yang sempurna tajwidnya. Yaitu mengeluarkan setiap huruf dari tempat keluarnya dengan memberikan haknya dan mustahiknya.85 Untuk itu dalam kenyataannya banyak institusi yang berusaha untuk menyelenggarakan pendidikan al Qur’an sebaik mungkin guna mencerdaskan manusia mulai usia dini, dan juga apabila membacanya maka akan mendapat pahala. salah satunya lembaga yang dimaksud adalah Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo. Metode yang digunakan di dalam sistem pembelajaran al Qur’an di Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo adalah metode tartila. Yang mana dalam penggunaan metode ini diharapkan dapat meningkatkan kecakapan pengenalan membaca al Qur’an santri secepat mungkin. Dijelaskan bahwa dalam proses pendidikan Islam, baik pendidikan al Qur’an ataupun ilmu yang lain, metode mempunyai kedudukan yang sangat signifikan untuk mencapai tujuan. Bahkan metode sebagai seni dalam mentranfer ilmu pengetahuan atau materi pelajaran kepada peserta didik dianggap lebih signifikan dibanding dengan materi sendiri, adalah sebuah realita bahwa cara penyampaian yang komunikatif lebih disenangi oleh peserta didik walaupun sebenarnya inti yang disampaikan sesungguhnya tidak terlalu menarik. Sebaliknya, materi yang cukup baik, karena disampaikan dengan cara yang kurang menarik, maka materi itu sendiri kurang dapat dicerna oleh peserta didik. Oleh karena itu penerapan metode yang tepat sangat
85
Abdul Aziz Abdul Ra’uf, Pedoman Dauroh al Qur’an (Jakarta: Dzilal Press, 1996), 5.
50
mempengaruhi pencapaian keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Metode yang tidak tepat akan berakibat terhadap pemakaian waktu yang tidak efisien. Bahkan dapat menyebabkan gagalnya proses belajar-mengajar. Dalam penerapan metode tartila di pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo penyampaian materi menggunakan lebih dari 1 metode yaitu kombinasi antara metode ceramah, drill, demontrasi, tanya jawab, dan simulasi. Sehingga santri dapat dengan mudah menerima materi yang disampaikan guru.86 Hal ini sesuai dengan teori yang ada dalam bab II bahwa penggunaan metode dalam satu mata pelajaran bisa lebih dari satu macam (bervariasi), metode variatif dapat membangkitkan motivasi belajar anak didik.
Dalam
pemilihan
dan
penggunaan
sebuah
metode
harus
mempertimbangkan aspek efektifitas dan relevansinya dengan materi yang disampaikan. Karena itulah, di dalam tartila tidak hanya memakai 1 metode dalam menyampaikan materi, tetapi ada beberapa metode antara lain, ceramah, drill, demontrasi, tanya jawab, dan simulasi. Sehingga santri yang mengikuti pembelajaran diharapkan dapat dengan mudah menerima materi yang disampaikan. Dalam pembelajaran metode tartila di pondok pesantren Roudlotul Hasan ini juga menggunakan 2 pendekatan, yaitu pendekatan al Thariqah al Abjadiyyah dan al Thariqah al Shaautiyyah. Jadi, dengan menggunakan pendekatan ini santri lebih cepat dan mudah menerima pelajaran.87
86 Lihat Transkip Wawancara Nomor 04/ W/ F-1/ 30-VII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 87 Lihat Transkip Wawancara Nomor 04/ W/ F-1/ 30-VII/ 2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
51
Karena dalam teori metode tartila ini terdapat 2 pendekatan yaitu al Thariqah al Abjadiyyah yaitu suatu pendekatan dalam pembelajaran menyebutkan huruf dan pendekatan al Thariqah al Shaautiyyah yaitu pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran membaca huruf arab langsung bersyakal.88 Dari penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa penerapan metode tartila di pondok pesantren Roudlotul Hasan ini sudah sesuai dengan teori yang ada, sehingga pembelajaran berhasil lebih maksimal serta kompetensi yang ada dapat dicapai yaitu santri mampu mengenal dan menyebutkan huruf hijaiyah serta mampu membaca al Qur’an dengan baik dan benar. Mulai saat itulah metode tartila ini dipakai pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo. 2. Analisis Data tentang Langkah-langkah dan Hasil Penerapan Metode Tartila dalam Pengenalan Membaca al Qur’an TPQ Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa metode adalah seperangkat cara, jalan dan teknik yang digunakan oleh pendidik dalam proses pembelajaran agar peseta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran atau menguasai kompetensi tertentu yang dirumuskan dalam silabi mata pelajaran. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan dengan bapak Samsul Huda, bahwa faktor penguasaan atau kemampuan guru akan sangat mempengaruhi penerapan sebuah metode untuk mencapai tujuan dengan
88
Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadh, Jilid 1 Tartila (Surabaya: JQH, 1998), 1.
52
didukung pengalaman dan kepribadian yang baik yang dimiliki guru maka semua akan berjalan dengan baik sesuai dengan keinginan. Karena dalam hal aplikasi metode metode faktor kemampuan guru dan penguasaan metode itu sangat menentukan berhasil tidaknya pendidikan dan pengajaran agama dan bukan semata-mata terletak pada corak metode beserta alat-alat yang ada, bahkan sikap dan kepribadian guru agama itu sendiri bisa dijadikan metode yang efektif.89 Maka dari itu sebuah metode tidak akan berjalan dengan baik atau tidak akan berhasil sebuah pembelajaran jika tidak didukung dengan kemampuan guru dalam memakai sebuah metode dalam pembelajaran. Dalam penerapan metode tartila, perlu memperhatikan langkah-langkah berikut: Metode tartila adalah sebuah cara mengajar al Qur’an yang mengupayakan santri secepatnya memiliki ketrampilan membaca al Qur’an secara fashih, selain mengenal nama huruf hijaiyyah, maka pada dasarnya, metode ini lebih mendahulukan dan mengutamakan pendekatan shauty dibanding pendekatan abjady, dan berdasarkan aspek psikologis santri dalam pembelajaran membaca kata, kalimat sampai ayat, maka metode ini lebih mengutamakan metode tarkiby dari pada metode tahlity.90 Sesuai dengan pernyataan dari bapak Samsul Huda, bahwa segera mungkin santri dituntun untuk dapat membaca, tetapi juga tidak meninggalkan pengetahuan hurufhuruf sebagai dasar pembentukan kalimat.91 Dari observasi yang peneliti lakukan dapat diketahui langkahlangkahnya sebagai berikut: Guru masuk ruangan, mengucapkan salam, guru 89
Mahfudh Shalahuddin et. al, Metodologi Pendidikan Agama, 16. Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadh, Jilid 1 Tartila, 1. 91 Lihat Transkip Wawancara Nomor 03/ W/ F-1/ 30-VII/ 2008. 90
53
memimpin berdo’a, setelah itu baru pelajran dimulai. Sebelum memasuki pelajaran baru guru mengulang sedikit pelajaran sebelumnya dengan
cara
bertanya.kemudian
guru
guru
melanjutkan
ke
pelajaran
berikutnya,
menyebutkan nama huruf, kemudian santri mengikuti. Selanjutnya diteruskan dengan mencontohkan bacaan huruf bersyakal dan langsung ditirukan santri secara drill. Kemudian dilanjutkan dengan mengenalkan nama abjad dan syakal yang tertulis di bagian bawah sekaligus melatih santri mengidentifikasi abjad dan syakal. Hal ini dilakukan juga pada santri yang mempelajari jilid 2 sampai 6. Hal ini sesuai dengan teori yang ada dalam bab II, bahwa langkahlangkah yang dilakukan sudah sesuai dengan petunjuk yang ada dalam buku jilid. Dari langkah-langkah di atas dapat diketahui hasil dari penerapan metode tartila di pondok pesantren Roudlotul Hasan dapat dikatakan maksimal dengan metode yang sering digunakan dalam pembelajarannya adalah metode drill dan demontrasi, dengan metode ini menjadikan santri segera mengenali dan mengingat bacaan dalam buku tartila. 3. Analisis Data tentang Faktor Pendukung dan Penghambat Metode Tartila dalam Pengenalan Membaca al Qur’an TPQ Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo Dalam implementasinya metode tartila ini tentunya tidak terlepas dari faktor pendukung dan penghambat. Adapun faktor yang mendukung penerapannya dalam meningkatkan kelancaran membaca al Qur’an santri adalah sebagai berikut:
54
Faktor guru, karena setiap guru mempunyai kepribadian yang berbedabeda. Hal ini menyebabkan santri pun punya penilaian yang berbeda-beda pula terhadap guru satu dengan guru yang lainnya. Guru yang profesional dan berpengalaman serta bertitel sarjana pendidikan dan keguruan berbeda dengan guru yang tidak belajar ilmu keguruan. Guru yang belajar ilmu keguruan lah yang lebih banyak menguasai metode-metode mengajar karena memang dicetak sebagai tenaga ahli di bidang pendidikan. Memiliki pengalaman mengajar yang memadai juga menjadi faktor terpenting, bagi yang berpengalaman mungkin akan terasa mudah, namun bagi yang belum pengalaman akan merasa sulit. Untuk hal tersebut para guru pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo sering mengikuti pelatihan-pelatihan metode tartila. Lingkungan kelas yang kondusif juga menjadi faktor pendukung bagi kelancaran dalam menyampaikan metode tartila. Dalam kegiatan belajar mengajar tujuan pembelajaran akan mudah dipahami apabila didukung kondisi kelas yang tenang. Orang tua yang kooperatif pun juga sangat mendukung implementasi metode tartila ini. Karena tidak hanya pondok saja yang bertanggung jawab dalam pembelajaran kepada santri, tetapi campur tangan orang tua juga sangat mendukung kelancaran pembelajaran. Sedangkan faktor penghambat penerapan metode tartila adalah sebagaimana berikut: Yang pertama, alokasi waktu yang terbatas dalam proses pembelajaran, dalam hal ini jelas menjadi kendala tersendiri dimana kompetensi yang
55
maksimal namun dalam prakteknya selalu berbenturan dengan adanya keterbatasan waktu pembelajaran. Faktor yang kedua adalah anak didik. Perbedaan karakter santri. Perbedaan individu setiap santri harus diperhatikan oleh guru. Karena setiap santri mempunyai potensi yang harus di asuh dan dikembangkan. Guru sebagai mitranya harus mampu membantunya. Selanjutnya, minimnya guru yang setiap hari hanya 3 orang guru yang mengajar. Maka, banyaknya santri menjadi kendala guru untuk mengenali karakter santri, sekaligus memberikan pelayanan yang berbeda pada setiap santri, perbedaan individu pada aspek kecerdasan juga bisa menjadi penghambat dalam implementasi metode tartila, setiap santri pasti berbedabeda dalam cepat atau lambatnya menerima materi. Dari beberapa keterangan di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwasannya perbedaan individu santri pada aspek intelektual ini, bisa menjadi penghambat dalam penerapan metode tartila.
56
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Latar belakang diterapkannya metode tartila di TPQ Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo karena: a. Di dalam metode tartila dikenalkan nama-nama huruf al Qur’an, sehingga santri cepat mengenal bacaan al Qur’an. b. Dalam pembelajaran, tartila memakai metode ceramah, drill, demontrasi, tanya jawab, simulasi. Sehingga santri akan lebih tertarik untuk belajar. c. Metode tartila merupakan gabungan dari beberapa metode yang ada, sehingga isi bacaan yang ada dalam metode tartila juga berfariasi. 2. Langkah-langkah dalam menerapkan metode tartila di pondok pesantren Roudlotul Hasan Polorejo yaitu: guru masuk ruangan, mengucapkan salam, menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan materi untuk menciptakan perhatian (konsentrasi), guru menjelaskan materi (dengan ceramah), selanjutnya guru mencontohkan cara membacanya dan diikuti oleh santri (dengan drill), kemudian pada akhir pembelajaran guru memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan materi (dengan tanya jawab). Metode pembelajaran yang sering dipakai adalah metode drill dan demontrasi, dengan hasil yang maksimal dalam pelaksanaannya santri dapat mengenal huruf dan bacaan al Qur’an dengan cepat dan benar sesuai kaidah-kaidah ilmu tajwid.
57
3. Penerapan metode tartila Pondok Pesantren Roudlotul Hasan Polorejo dipengaruhi oleh faktor pendukung dan faktor penghambat, yang termasuk faktor pendukung tersebut antara lain: Guru; yaitu kemampuan guru dalam menguasai metode dengan baik, pengalaman mengajar, telah mengikuti pelatihan-pelatihan metode tartila; kelas yang kondusif, sangat tenang, serta semangat dari guru dan siswapun ikut mendukung keberhasilan metode ini. Dan faktor penghambatnya antara lain: alokasi waktu serta perbedaan karakteristik siswa dan perbedaan pada aspek intelektual atau kemampuan berpikir siswa yang berbeda. B. Saran a) Saran bagi guru 1) Untuk menggunakan metode yang bervariasi dalam pembelajaran. 2) Sering memberikan bimbingan dan motivasi kepada siswa. b) Saran bagi santri a. Agar rajin mempelajari dan mengulangi pelajaran. b. Jangan malu bertanya kepada siapa saja yang dianggap bisa membantu kesulitan yang dihadapi.
58
DAFTAR RUJUKAN
Mukti, Abdul. Manhalul ‘Irfan. Bandung: Sinar Baru, 1987. Agama, Departemen. Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1979. Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodolagi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998. A. Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: al Husna Zikra, 1997. Agama, Departemen. Pedoman Pembinaan Taman Pengajian al Qur’an. Surabaya: Departemen Agama, 2002. Djamarah, Syaiful Bahri. Strategi Belajar-Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta, 1996. Humam, As’ad. Pedoman Pengelolaan, Pembinaan dan Pengembangan membaca, menulis dan memahami al Qur’an. Yogyakarta: Team Tadarus AMM, 2001. Huffadh, Jam’iyyatul Qurro’ wal. Jilid 1 Tartila. Surabaya: JQH, 1998. ---------. Jilid 2 Tartila. Surabaya: JQH, 1998. ---------. Jilid 3 Tartila. Surabaya: JQH, 1998. ---------. Jilid 4 Tartila. Surabaya: JQH, 1998. ---------. Jilid 5 Tartila. Surabaya: JQH, 1998. ---------. Jilid 6 Tartila. Surabaya: JQH, 1998. ---------. Panduan Pelaksanaan Pembinaan dan Pengembangan al-Qur’an. Surabaya: JQH, 1999. Huberman, Miles, a. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press, 1992. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000.
59
NU, LP Ma’arif. Pedoman Pengelolaan Taman pendidikan al Qur’an. Tulungagung: LP Ma’arif NU, 1993. Qodir, Choiruddin Abdul. Al-Qur’an dan Visi Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadh. Surabaya: JQH, 2006. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006. Ra’uf, Abdul Aziz Abdul. Pedoman Dauroh al Qur’an. Jakarta: Dzilal Press, 1996. Rianto, Yatim. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: PT. SIC, 1996. Shalahuddin, Mahfud. et. al. Metodologi Pendidikan Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987. Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1996. Tarbiyah, Jurusan. Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2007. Zuhairini et, al. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Departemen Agama, 1986.
60