BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Qur`an merupakan kitab suci yang diturunkan Allah SWT sebagai petunjuk hidup bagi manusia, seperti halnya undang-undang negara yang menjadi petunjuk pelaksanaan bernegara, al-Qur`an menjadi undang-undang hidup seluruh manusia. Akan tetapi undang-undang buatan manusia dan al-Qur`an yang berasal dari Allah SWT, tidak dapat disamakan sepenuhnya, karena selain isi, juga memiliki tujuan yang berbeda. Isi kitab buatan manusia merupakan hasil penalarannya dan tujuannya untuk menjelaskan suatu masalah kepada manusia pada suatu tempat disuatu masa, sedangkan al-Qur`an berasal dari Allah SWT yang berisi petunjukNya untuk pedoman hidup dan kehidupan manusia dimana saja sepanjang masa. (Muhammad Daud Ali, 2000:96) Petunjuk al-Qur`an tersebut meliputi setiap aspek kehidupan manusia, yang secara global dapat dikelompokan ke dalam tiga hal yaitu : (1) Pegangan hidup atau akidah (2) Jalan hidup atau syariah dan (3) Sikap yang mengarahkan perbuatan atau akhlak.(M. Daud Ali, 2000:179). Dengan rinci, Jajang Muzaki (2004:21) mengungkapkan bahwa : “Al-Qur`an adalah kitab petunjuk, bukan kitab sains, apalagi kitab khurofat, yang mengimani dan mengamalkan pasti selamat di dunia dan akhirat, yang tidak mengimani pasti sengsara. (QS, Fushilat :40-41). Al-Qur`an adalah al-furqan, yang membedakan hak dengan batil, (QS, alFurqon :1). Al-Qur`an adalah kitabullah yang mampu menunjukan manusia kejalan keselamatan dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, (QS, al-Maidah:15-16, Ibrahim :1-2, al-Hadid:9). AlQur`an mampu menyelamatkan manusia dari keterbelakangan dan kegelapan, karena Allah yang memiliki al-Qur`an, sedangkan diantara
2
sifat Allah adalah Maha Penolong, salah satu pertolonganNya adalah mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, dari kesesatan kepada petunjuk, dari kecelakaan kepada keselamatan. (QS al-Baqarah: 257). Al-Qur`an adalah sumber syariat atau hukum yang harus ditaati dan diamalkan oleh setiap Muslim, didalamnya terdapat halal dan haram serta amar makruf nahi munkar. Al-Qur`an juga sumber inspirasi sastra dan akhlaq, disitu setiap muslim diperintahkan untuk berpegang teguh pada prinsip-prinsip al-Qur`an, sehingga mendapatkan petunjuk dan kebahagiaan di dunia dan akhirat” Ali al-Shābūnī ketika menafsirkan ayat kedua dari surat al-Baqarah menyatakan bahwa hidayah atau petunjuk sebagai fungsi al-Qur`an itu hanya dapat dijalankan oleh orang-orang bertakwa, karena hanya merekalah yang dapat mengambil manfaat darinya. (Ali al-Shābūnī, 1996:28). Penjelasan tentang krakteristik orang bertakwa disajikan oleh Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 1-5 sebagai berikut : ا ذ اب ر ه ى ن% "ة وﻡ رز&ه#ا ﻡن ون ا ة ه &ن-.ْوا ﻡن اْﻥ*ل ا وﻡاْﻥ*ل ﻡ &( و ن3 % ه ا2ْ وا/ ه ى ﻡ ر0 1 2اْو Artinya: 1. Alif laam miim 2. Kitab (al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa. 3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
3
4. Dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. 5. Mereka itulah orang berada di atas petunjuk Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang berbahagia. Pada ayat pertama Allah SWT memulai firmanNya dengan rangkaian huruf yang tidak dipahami maknanya (alif, lam, mim). Ini merupakan rahasia Allah SWT dalam al-Qur`an dan kita cukup mengambil makna dzahirnya. Ketika berusaha memahaminya kita serahkan kepada Allah. Walaupun demikian kita dapat mengambil hikmah dibalik rangkaian huruf-huruf seperti itu, yakni untuk menarik perhatian mukhatab dan menghindarkannya dari kelalaian (al-Shabuni, 1996:26) Pada ayat kedua, Allah SWT memberi khabar tentang kedudukan alQur`an dan fungsinya yang hanya dapat dijalankan oleh mereka yang bertakwa sebagaimana pendapat Ali al-Shabunni di atas. Sedangkan pada ayat ketiga dan keempat Allah SWT merinci karakteristik orang bertakwa tersebut. Qatadah, seperti dikutip Imam Ibn al-Katsir (juz I, 19997:52), mengatakan bahwa orangorang bertakwa adalah mereka yang beriman kepada perkara ghaib, mendirikan shalat, berinfaq, dan mengimani al-Qur`an dan kitab-kitab sebelumnya. Pada ayat kelima Allah SWT memberitahukan bahwa orang bertakwa dengan beragam karekteristik seperi di atas, adalah mereka–karena amal dan keimanan mereka terhadap Allah, kitabNya, dan RosulNya—yang mendapatkan
4
kebahagiaan berupa pahala, kekekalan dalam surga dan selamat dari azab yang telah disiapkan Allah SWT bagi para musuhnya. (Ibn al-Katsir, Juz I:1997:57) Dari uraian singkat tentang tafsir surat al-Baqaroa ayat 1-5 di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu digaris bawahi ketika dikaitkan dengan Pendidikan Islam. Pertama, orang bertakwa, dengan berbagai karakteristiknya, adalah orang yang mampu menjalankan al-Qur`an. Kedua, orang bertakwa jugalah yang akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sebagaimana diketahui, dalam Pendidikan Islam, tujuan dirumuskan dengan berfokus pada kualifikasi manusia sebagai out-put proses pendidikannya. Muhaimin dkk (2004 :48), mengutip beberapa rumusan tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam sebagai berikut : 1. Muhammad Munir Mursyi; Pendidikan itu diarahkan pada manusia yang menyembah kepada Allah dan takut kepadaNya. 2. Ali Asyraf; Tujuan akhir pendidikan Islam terletak pada perwujudan penyerahan diri atau ketundukan yang muthlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya. 3. Abdul Fattah Jalal; Tujuan umum pendidikan Islam adalah memepersiapkan manusia yang beribadah atau Abid yaitu manusia yang memiliki sifat-sifat yang diberikan Allah SWT kepada Ibadurrahman atau hamba Allah yang mendapat kemuliaan. Menurut Muhammad Qutb, seperti ditulis Saifullah (2005:96), tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang bertakwa dan beribadah kepada Allah SWT. Menurut Imam al-Ghazali, seperti ditulis Fathiyah Hasan
5
Sulaiman (1986:ix), tujuan pendidikan adalah mewujudkan manusia yang mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT
dan meraih kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Tujuan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pendidikan Islam. Tujuan dalam sistem pendidikan Islam merupakan komponen yang utama dan pertama dibicarakan diantara komponen-komponen lainnya. Dengan adanya tujuan yang jelas, seorang pendidik dapat memiliki orientasi dalam mendidik. Selain itu dengan adanya rumusan tujuan yang jelas pula, ia dapat memilih metode yang tepat, menentukan evaluasi, alat dan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam proses pendidikan. (Nurwadjah Ahmad, 2007:164) Dengan kedudukannya yang sangat penting dalam proses pendidikan, maka tujuan tidak boleh dirumuskan secara sembarangan, melainkan harus mengacu pada fithrah manusia, karena pendidikan adalah usaha memanusiakan manusia, yaitu manusia yang hidup selaras dengan fithrah kemanusiaannya. Jika pendidikan tidak selaras dengan fithrah manusia, apalagi jika bertentanagan, maka hal itu merupakan dosa besar, karena akan mematikan potensi-potensi anak didik, bahkan akan membuat anak didik kehilangan martabat kemanusiaannya yang sangat mulia. Agar rumusan tujuan pendidikan selaras dengan fithrah manusia, maka perumus pendidikan harus mengetahui secara sempurna fithrah manusia itu, akan tetapi tentu tidak akan ada yang mengetahuinya selain Allah SWT Pencipta manusia. Dengan sifat Rahman dan RahiemNya, Allah SWT menurunkan wahyu dalam bentuk al-Qur`an dan al-Sunnah kepada Muhammad SAW. Dalam al-
6
Qur`an dan al-Sunnah itulah terdapat segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk menjalankan kehidupannya di bumi ini. Diantaranya adalah yang menyangkut masalah-masalah kependidikan, seperti perumusan tujuannya, sebagai upaya memelihara dan mengembangkan fithrah atau potensi-potensi yang telah diciptakan Allah SWT. Oleh sebab itulah, merupakan suatu keharusan bagi siapapun yang mengelola pendidikan untuk merumuskan tujuan pendidikan tersebut dengan berpedoman kepada al-Qur`an. Dalam
surat
al-Baqarah,
surat
kedua
dalam
urutan
al-Qur`an,
dikemukakan tiga karakteristik manusia ketika dihadapkan pada serangkaian aturan-aturan Allah SWT. Ketiga manusia itu ialah: 1) al-Muttaqin (manusia yang taat), 2) al-Kafirun (manusia yang ingkar) dan 3) al-Munafiqun (manusia yang munafik). Dari ketiga tipe manusia itu, tentu saja al-Muttaqin atau manusia yang bertakwa/taat yang menjadi manusia ideal, yang harus menjadi tujuan proses pendidikan. Karakteristik al-Muttaqin tersebut diuraikan oleh Allah SWT pada ayat 1-5. Menurut Quraisy Syihab (2007:616), dengan mengutip al-Biqa`i, kelima ayat itu merupakan pembukaan surat al-Baqarah tentang ketakwaan, yang perinciannya ada dalam ayat-ayat berikutnya, kecuali dua ayat terakhir yang merupakan kesimpulan dari surat tersebut. Dalam tujuan pendidikan Islam, manusia yang hendak diwujudkan ialah manusia yang cerdas baik sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial. Dalam ayat-ayat diatas kecerdasan itu terangkum pada kalimat “orang-orang yang suka berinfaq”. Infaq mengharuskan adanya kecerdasan dalam berhitung dan mengharuskan manusia untuk bersimpati terhadap orang lain. Tujuan pendidikan
7
Islam juga menghendaki terwujudnya manusia yang cerdas secara emosionalspiritual. Ayat-ayat diatas mengungkapkannya sebagai ”orang-orang yang beiman”. Dan dalam tujuan pendidikan Islam disebutkan bahwa manusia yang baik adalah manusia yang memiliki kecakapan fisik (psikomotor), dalam ayat-ayat diatas diungkapkan sebagai “orang-orang yang mendirikan shalat”. Mendirikan shalat memerlukan kecakapan secara fisik dalam melakukan berbagai gerakannya sesuai dengan sunnah Nabi SAW. Sebagaimana terlihat, semua kualifikasi ideal tentang manusia yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan Islam tersebut sudah terangkum dalam suatu istilah yaitu "al-muttaqin" (orang bertakwa). Latar belakang masalah diatas mendorong penulis untuk mengkaji masalah ini dengan Ilmu Pendidikan sebagai alat analisisnya, dan menuangkannya dalam skripsi dengan judul : “KARAKTERISTIK AL-MUTTAQIN DALAM AL-QUR`AN SURAT ALBAQARH AYAT 1-5”: Implikasinya Terhadap Tujuan Pendidikan Islam (Analisis Ilmu Pendidikan Islam).
B. Rumusan Masalah Dari uraian tentang latar belakang masalah di atas penulis merumuskannya melalui pertanyan-pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep tujuan pendidikan Islam dalam Ilmu Pendidikan Islam? 2. Bagaimana pendapat para Mufassir tentang karakteristik al Muttaqin pada surat al-Baqarah ayat 1-5 ? 3. Bagaimana implikasi karakteristik al-Muttaqin dalam surat al-Baqarah ayat 15 terhadap tujuan pendidikan Islam?
8
C. Tujuan Penelitian. Penelitian yang dilakukan penulis ini, memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui konsep tujuan pendidikan Islam dalam Ilmu Pendidikan Islam? 2. Untuk mengetahui pendapat para Mufasir tentang Karakteristik al-Muttaqin pada surat al-Baqarah ayat 1-5 3. Untuk mengetahui implikasi karakteristik al-Muttaqin dalam surat al-Baqarah ayat 1-5 terhadap tujuan pendidikan Islam D. Kerangka Pemikiran. Ilmu Pendidikan Islam adalah suatu uraian ilmiah tentang bimbingan pendidikan kepada anak didik dalam perkembangannya agar tumbuh secara wajar sesuai dengan ajaran Islam dalam rangka membentuk manusia sempurna (Insan Kamil). (Mahmud dan Tedi Priatna 2005:41). Hery Noer Aly (1999:27) mengemukakan bahwa Ilmu Pendidikan Islam adalah “ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Ruang lingkupnya ialah situasi berlangsungya pendidikan Islam dan metodenya ialah metode ilmiah. Setiap teori dalam Ilmu Pendidikan Islam harus mempunyai landasan pertanggung jawaban moral Islam. Oleh sebab itu wajar dalam buku-buku Ilmu Pendidikan Islam terdapat ayat atau hadist yang meyertai teori”. Sedangkan Nur Uhbiyyati (1999:13-14) mengemukakan bahwa Ilmu Pendidikan Islam adalah studi tentang sistem dan proses pendidikan yang berdasarkan Islam untuk mencapai produk atau tujuannya baik studi secara teoritis maupun secara praktis.
9
Dengan pengertian Ilmu Pendidikan Islam yang dikemukakan Nur Uhbiyyati di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam itu merupakan suatu sistem. Dengan paradigma seperti ini pula, Muhaimin (2004:46) mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah suatu kesatuan atau sebagai sistem (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha
mengembangkan
pandangan/semangat hidup Islam, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilam yang Islami. Lebih lanjut Mahmud dan Tedi Priatna (2005 : 90-91) menjelaskan bahwa, dalam kaitannya dengan pendidikan Islam diketahui bahwa pendidikan berlangsung melalui proses operasional dalam mencapai tujuannya dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai sepiritualitas Islam. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan berdasarkan orientasi kebutuhan anak didik yang dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Manajemen kelembagaan semacan itu merupakan sistem pendidikan Islam. Dari segi ini pendidikan Islam dipandang sebagai proses yang terdiri dari dari sub-sub sistem atau komponen-komponen yang saling berkaitan dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen pendidikan Islam secara tekhnis, adalah tujuan, materi, manusia yang dididik, manusia yamg mendidik, alat pendidikan, lingkungan pendidikan, dan evaluasi pendidikan. Tujuan adalah perkara pertama yang dibicarakan karena ia menentukan arah dan sikap dalam pendidikan. Tujuan sendiri berarti batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat perhatian untuk dicapai melalui usaha pendidikan. Dalam tujuan terkandung kehendak dan kesengajaan serta berkonsekuensi penyusunan dayadaya untuk mencapainya. ( Hery Noer Aly, 1999:51).
10
Tujuan pendidikan merupakan hal sentral dalam pendidikan. Hal ini disebabkan fungsi-fungsi yang dipikulnya. Yaitu, Pertama, tujuan pendidikan mengarahkan perbuatan mendidik. Tanpa tujuan yang jelas, proses pendidikan akan berjalan tidak efektif dan tidak efisien. Bahkan tidak menentu dan salah dalam menggunakan metode-metodenya, sehingga tidak mencapai manfaat. Kedua, tujuan pendidikan mengakhiri perbuatan pendidikan. Apabila tujuannya telah tercapai maka berakhirlah kegiatan tersebut.
Ketiga, tujuan pendidikan
disatu sisi membatasi lingkup suatu usaha pendidikan, tetapi disisi lain mempengaruhi dinamikanya. Hal ini disebabkan usaha pendidikan merupakan proses yang didalamnya usaha pokok dan usaha parsial saling berkaitan. Keempat, tujuan memberikan semangat dan dorongan untuk melaksanakan pendidikan. (Hery Noer Aly, 1999:53-54). Dengan kedudukannya yang sangat urgen dalam kegiatan pendidikan seperti itu maka suatu tujuan tidak boleh
dirumuskan secara sembarangan,
melainkan dengan penuh kehati-hatian serta membutuhkan analisis yang tajam terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Dan tentu saja tidak ada yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi manusia kecuali Allah SWT. Oleh karenanya perumusan tujuan pendidikan islam itu harus berdasarkan al-Qur`an dan sunnah Nabi SAW. Al-Qur`an secara harfiyah, menurut Quraisy Syihab seperti dikutip Abuy Shadikin dan Badruzaman (2004:59) adalah bacaan yang sempurna. Pemilihan nama “bacaan” itu sangatlah tepat karena semenjak manusia mengenal tulis-baca
11
belum ada yang menandingi alQur`an, selain itu al-Qur`an merupakan bacaan yang paling banyak dibaca manusia sampai ratusan juta manusia. Selanjutnya beliau mengemukakan tentang tujuan al-Qur`an yaitu, pertama, untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari bentuk syirik serta memantapkan keyakinan yang sempurna bagi Tuhan Seru sekalian alam. Kedua, untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketiga, untuk menciptakan kesatuan dan persatuan, bukan saja persatuan antar suku dan bangsa tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan dunia dan akhirat, serta kesatuan ilmu, iman dan rasio. Keempat, untuk mengajak manusia bekerjasama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kelima, untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual. Keenam, untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang. Ketujuh, untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi. (Abuy shodikin dan Badruzaman, (2004:61-62) Dari dari uraian tentang fungsi al-Qur`an di atas yang menjadi dasar perumusan tujuan pendidikan Islam, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan Islam itu diarahkan pada pembentukan manusia. Dalam hal ini al-Ghazali dengan tegas menyatakan dua tujuan yaitu kesempurnaan
manusia yang bertujuan
mendekatkan diri kepada Allah SWT dan Kesempurnaan manusia yang bertujuan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Menurut Sama`un Bakry (2005:36), tujuan akhir pendidikan Islam adalah terwujdnya keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Seorang muslim yang mati dengan membawa keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT akan mendapatkan kebahagian di dunia dan akhirat. Oleh karena itu tujuan akhir pendidikan Islam adalah untuk membentuk
12
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT sejak masih hidup sampai meninggal dunia. Mewujudkan manusia yang bertakwa (al-Muttaqin) dan merumuskannya menjadi tujuan akhir pendidikan Islam, tidak dapat dilakukan kecuali setelah memahami karakteristik orang bertakwa tersebut. Allah SWT merinci karakteristik orang-orang bertakwa ini dalam dalam surat al-Baqarah ayat 1-5 sebagai berikut : ا ذ اب ر ه ى ن% "ة وﻡ رز&ه#ا ﻡن ون ا ة ه &ن-.ْوا ﻡن اْﻥ*ل ا وﻡاْﻥ*ل ﻡ &( و ن3 % ه ا2ْ وا/ ه ى ﻡ ر0 1 2اْو Artinya: 1. Alif laam miim 2. Kitab (al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. 3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. 4. Dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. 5. mereka itulah orang berada di atas petunjuk Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang berbahagia.
13
Menurut Imam Ibn al-Katsir (Juz I, 1997:51 ) yang dimaksud dengan kitab pada ayat ini adalah al-Qur`an. Adapun pendapat yang menyatkan bahwa kitab pada ayat ini adalah Taurat dan Injil, merupakan pendapat yang tidak memiliki argumentasi yang kuat dan penuh dengan keragu-raguan. Selanjutnya beliau menjelaskan “inilah al-Kitab yaitu al-Qur`an yang tidak ada keraguan bahwa ia diturunkan dari Allah”. Kemudian beliau juga mengutip pendapat ahli tafsir yang lain yang mengatakan bahwa tafsiran seperti inilah yang baik. Dan artinya dapat pula larangan agar jangan ragu-ragu terhadap al-qur`an. Beberapa sahabat Nabi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hudan” adalah “cahaya bagi orang yang bertakwa”. Al-Sya`labi mengatakan “petunjuk yang dapat menyelamatkan dari kesesatan” dan Said Ibn Jubair mengatakan “penjelasan bagi orang yang bertakwa”. Ibn al-Katsir, yang mengutip pendapat tersebut, menyatakan “semuanya benar”. Selanjutnya beliau menjelaskan, dengan mengutip pendapat ahli tafsir yang lain, bahwa al-muttaqin adalah orang yang beriman, ini pendapat dari kalangan sahabat Nabi. Ibn al-Abbas mengatakan yaitu orang yang takut akan adzab Allah SWT karena meninggalkan hidayah yang telah mereka ketahui, seraya mengharapkan rahmatNya karena membenarkan ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW. Dengan jalur sanad yang lain Ibn al-Abbas mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang beriman yang takut berbuat syirik kepada Allah, seraya menjalankan ketaatan kepada-Nya. Hasan al-Bisri mengatakan yaitu mereka yang menjauhi perkara yang diharamkan Allah kepada mereka sambil menunaikan apa yang diperintahkanNya. Al-Kalbi mengatakan yaitu orang yang menjauhi dosa-dosa besar. Dan, terakhir, Qatadah mengatakan bahwa yang
14
dimaksud dengan orang-orang takwa adalah mereka yang disifati oleh Allah melalui ayat-ayat setelahnya (ayat 3-5 ). (Ibn al-Katsir, juz I:1997:52) Pada ayat ketiga dan keempat—dengan merujuk tafsir Ibn al-Katsir (juz I, 1997:52-55 )—terdapat karakteristik orang yang bertawa, antara lain : 1. Memiliki
keimanan
terhadap
perkara-perkara
ghaib.
Abu
al-Aliyah
menyatakan bahwa “mereka (orang bertakwa) memiliki keimanan terhadap Allah, MalaikatNya, Kitab-kitabNya, para utusanNya, hari akhir, surga dan nerakaNya, pertemuan denganNya, mereka beriman kepada kehidupan setelah kematian, dan meyakini akan adanya hari kebangkitan. Ini semua adalah perkara ghaib. 2. Mendirikan shalat, mereka menunaikan shalat dengan benar, rukun dan syaratnya ditunaikan dengan sempurna, waktunya terjaga dengan baik. 3. Mengeluarkan infaq. Qotadah menyatakan, “berinfaqlah kalian berupa harta yang telah diberikan Allah kepada kalian “. Dan pada ayat kelima Allah SWT memberitahukan bahwa orang bertakwa adalah manusia yang mencapai kebahagiaan, berupa pahala dan surga yang disiapkan untuk mereka. Dan mereka akan selamat dari siksa yang disiapkan bagi musuh-musuhnya. Demikian karakteristik orang bertakwa yang apabila dicermati, manusia seperti ini merupakan manusia ideal, manusia yang seharusnya terwujud dari sebuah proses pendidikan Islam. Dan Manusia dengan karakteristik Qur`ani seperti ini pula yang menjadi dasar perumusan tujuan pendidikan Islam. Atas dasar pemikiran di atas, maka penulis melakukan penelitian tentang karakteristik al-Muttaqin menurut al-Qur`an, surat al-Baqaroa ayat 1-5. Dan ruang
15
lingkup kajian yang digunakan adalah kajian Ilmu Pendidikan Islam. Secara skematis, kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: KARAKTERISTIK AL-MUTTAQIN DALAM AL-QUR`AN SURAT AL-BAQARAH AYAT 1-5: Implikasinya Terhadap Tujuan Pendidikan Islam (Analisis Ilmu Pendidikan Islam)
Surat al-Baqarah ayat 1-5 tentang karakteristik al-Muttaqin
Analisis Ilmu Pendidikan Islam
Pendapat mufassirin terhadap Surat al-Baqarah ayat 1-5 tentang karakteristik al-muttaqin
Implikasi Terhadap Tujuan Pendidikan Islam
16
E. Langkah-langkah Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan langkah atau prosedur penelitian sebagai berikut : 1. Penentuan metode penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode content anlisys (analisis isi). Ricard Budd seperti dikutip Amirul Hadi dan Haryono (1998 :175) mengemukakan bahwa metode content anlisys pada dasarnya merupakan suatu teknik sistematis untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan atau suatu alat untuk mengobservasi dan menganalisis perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang dipilih. Namun demikian, walaupun digunakan dalam wilayah kajian komunikasi, dapat pula digunakan dalam penelitian yang bersifat normatif, seperti teks kitab suci al-Qura`n dan pemikiran para ulama dalam berbagi kitab fiqh, dengan menggunakan berbagai kaidah yang telah dikenal. (Cik Hasan Bisri, 2003: 60). 2. Penentuan Jenis Data. Sesuai dengan perumusan masalahnya, maka jenis data yang dipilih dalam penelitian ini adalah jenis data yang bersifat kualitatif yaitu data yang tidak bebentuk bilangan, data yang berbentuk suatu penjelasan yang menggambarkan suatu keadaan, prosedur, dan peristiwa tertentu. (Yaya suryana dan Tedi Priatna, 2007:162). Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian yang diajukan terhadap masalah yang dirumuskan dan pada tujuan penelitian yang telah ditetapkan. (Cik Hasan Bisri, 2003:63). Dalam penelitian ini data kualitatif berupa teks kitab suci al-Qur`an, penafsiran para
17
ulama tentang surat al-Baqarah ayat 1-5 yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir mereka, serta pemikiran para ahli pendidikan Islam. 3. Penentuan Sumber Data. Sumber data yang dikaji oleh penulis dalam penelitian ini adalah sumber data tertulis, baik yang primer maupun yang sekunder. Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Dalam penelitian ini, data primer berupa al-Qur`an. Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang berasal dari sumber kedua, yaitu pendapat para mufassir yang ada dalam kitab-kitab tafsir yang mereka susun, diantaranya adalah Tafsīr "al-Qur`ān al-Adzīm" karya Imām Ibn al-Katsīr, tafsīr "Asās al-Tafsīr" karya Saīd Hawwā, Tafsīr "al-Qur`ān alHakīm (al-Manār)" karya Rāsyid Ridlā', Tafsīr "al-Mishbāh" karya Qurais Syihab dan kitab-kitab lainnya. Selain itu pendapat para pakar pendidikan yang terkodifikasikan dalam buku-buku Ilmu Pendidikan, khususnya pakar pendidikan Islam serta dari sumber-sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini. 5. Tekhnik Pengumpulan Data Penentuan tekhnik pengumpulan data ditentukan oleh jenis dan sumber data yang diperlukan. Pada umumnya pengumpulan data meliputi studi kepustakaan, dokumentasi, interview (wawancara), kuisioner (daftar pertanyaan) dan
observasi
(pengamatan).
Akan
tetapi
penggunaan
semua
metode
pengumpulan data merupakan pekerjaan yang kurang efisien bahkan mungkin sebagian diantaranya tidak cocok digunakan. (Cik Hasan Bisri, 2003:65-66). Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis tidak mempergunakan semua tekhnik tersebut, melainkan mempergunakan tekhnik pengumpulan data berupa studi
18
kepustakaan. Cik Hasan Bisri (2003:66) mengatakan "dalam penelitian normatif yang bersumber pada bahan bacaan dilakukan dengan cara penelaahan naskah terutama studi kepustakaan". 6. Menganalisis Data. Menganalisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, katagori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data. Pada dasarnya menganalisis data bermaksud mengorganisasikan dan mengolah data dengan tujuan menemukan tema dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori subtantif. (Lexy Moleong 1996:103). Sedangkan proses analisisnya sendiri dimulai dari data primer dan sekunder yang selanjutmya diambil langkah-langkah sebagai berikut : a. Unitasi Data. Data-data yang ada dikelompokan dan disusun dalam satuan-satuan sesuai dengan kerangka pemikiran. Dalam penelitian normatif yang bersumber pada bahan bacaan, metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelaahan naskah terutama studi kepustakaan. (Cik Hasan Bisri, 2003:66). Dalam penulisan ini, data yang penulis kumpulkan berupa al-Qur`an dan terjemahnya, penafsiran para ulama tentang surat al-Baqarah ayat 1-5 yang terdapat dalam kitab-kitab yang mereka susun dan teori-teori pendidikan yang terdapat dalam buku-buku Ilmu Pendidikan Islam.
19
b. Katagorisasi Data Data-data
yang
sudah
disusun
dalam
satuan-satuan
kemudian
dikatagorisasikan dengan rumusan-rumusan masalah atau tujuan penelitian. Pengertian katagori itu sendiri adalah suatu tumpukan dari seperangkat tumpukan yang disusun atas dasar fikiran, intuisi, pendapat atau keriteria tertentu. (Lexy Moleong, 1996 : 193). Dalam penulisan ini, data yang dikumpulkan berupa teks kitab suci al-Qur`an dan terjemah surat al-Baqarah ayat 1-5 sebagi data primer, dan penafsiran para ulama tentang surat al-Baqarah ayat 1-5 serta teori-teori pendidikan Islam sebagai data skunder. c. Penafsiran Data. Penafsiran data adalah memberikan arti yang signifikan terhadap analisis penjelasan, uraian dan mencari hubungan diantara dimensi-dimensi uraian. (Lexy Moleong, 1996 : 103-197). Dalam penulisan ini, data yang dikumpulkan ditafsirkan melalui tiga tahap. Pertama, pengklasifikasian data, yaitu penafsiran para ulama tentang surat al-Baqarah ayat 1-5 dan deskripsi teoritis tujuan pendidikan Islam yang terdapat dalam disiplin Ilmu Pendidikan Islam. Kedua, menganalisis hasil penafsiran para ulama tafsir dengan menggunakan Ilmu Pendidikan Islam. Ketiga, pengerucutan hasil analisis terhadap implikasi surat alBaqarah ayat 1-5 terhadap tujuan pendidikan Islam. 7. Membuat kesimpulan. Kesimpulan dalam penelitian merupakan hasil dari suatu proses tertentu, yaitu “menarik”, dalam arti memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat lain. (Suharsimi Arikunto, 2007:311). Dalam mengambil kesimpulan, yang terpenting
20
adalah kesimpulan tersebut harus berdasarkan data yang terkumpul dan tidak keluar dari batasan data. Setelah melakukan analisis terhadap data berupa penafsiran para ulama tentang karakteristik al-muttaqin dalam al-Qur`an surat alBaqarah ayat 1-5, penulis membuat suatu kesimpulan bahwa ayat-ayat tersebut memiliki implikasi terhadap tujuan pendidikan Islam.
21
BAB II DESKRIPSI TEORITIS TENTANG TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM DALAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM A. Deskripsi Ilmu Pendidikan Islam. 1.Pengertian Ilmu Pendidikan Islam. Pengertian Ilmu Pendidikan Islam dapat dipahami dengan menguraikan tiga kata yang menyusunnya. Pengertian "Ilmu", "Pendidikan" dan "Islam". (A. Tafsir, 2005:23). Pertama, ilmu. Ilmu adalah kata dasar (masdar dalam bahasa Arab) yang berarti pengetahuan (secara umum). Dalam bahasa Indonesia kata "ilmu" digunakan untuk menunjukan pengetahuan yang ilmiah (science). (Ahmad tafsir, 2006:3). Kata “ilmu” yang terdapat dalam "Ilmu Pendidikan Islam" memiliki pengertian ilmu yang bersifat ilmiah, yaitu sejenis pengetahuan manusia yang proses memperolehnya dengan jalan riset terhadap objek-objek yang empiris. (Mahmud dan Tedi priatna, 2005:41). Ilmu adalah pengetahuan yang sistematis, rasional, empiris, umum dan kumulatif. Ruang lingkupnya adalah dunia empiris, yaitu segala macam yang dapat dijangkau oleh pengalaman manusia dengan menggunakan panca indra dan akalnya. Penyusunan ilmu ini menggunakan metode ilmiah yaitu perpaduan antara metode induktif dan deduktif. Kebenaran teori ilmu bersifat umum, artinya harus dapat dibuktikan dan diakui oleh ilmuan lain. Teori itu mengisi khazanah ilmu, yang bersama dengan teori lain secara kumulatif menyusun suatu ilmu dalam sistematika tertentu dan memberi penjelasan secara lengkap tentang masalah-masalah ilmiah. (Hery Noer Aly, 1999:18-19). Sebenarnya istilah "Ilmu Pendidikan" itu salah. Seharusnya
22
“Ilmu Mendidik”, jika tetap ingin memakai kata “pendidikan” maka harus ditambah kata “tentang”, sehingga istilahnya menjadi “ilmu tentang pendidikan”. Namun kesalahan itu sudah tidak dipermasalahkan lagi atau sudah tidak dianggap salah, karena semua orang sudah menyebutnya demikian. (DEPDIKBUD, 1987:1). Kedua, Pendidikan. W.j.s. Poerwadarminta, seperti dikutip Mahmud dan Tedi (2005:13), mengatakan bahwa : “mendidik dari segi bahasa berasal dari kata dasar didik, dan diberi awalan men, menjadi mendidik, yaitu kata kerja yang artinya “melihat” dan “memberi latihan” (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda berarti proses perubahan tigkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”. Pendidikan diberikan melalui bimbingan, pengajaran dan latihan. Ketiga kegiatan ini merupakan bentuk utama dari proses pendidikan. Bimbingan adalah upaya atau tindakan pendidikan yang lebih terfokus pada upaya pengembangan ranah afektif, seperti pengembangan nilai, sikap, minat, motivasi emosi, apresiasi dan lain-lain. Pengajaran lebih menitik beratkan pada ranah kognitif. Sedangkan pelatihan lebih menitik beratkan ranah psikomotor. Ketiganya bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan, oleh karena itu tumpang tindih bisa saja terjadi. Dalam bimbingan ada unsur pengajaran dan latihan. Dalam pengajaran ada unsur bimbingan dan latihan. Demikian juga dengan latihan didalamnya ada unsur pengajaran dan bimbingan. (Nana Syaodih S, 20003 :8-9) Ketiga, Islam. Al-Nabhani, seperti dikutip Tim HTI (2002:20), menyatakan bahwa, Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada
23
Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan pencipta, diri dan sesamanya, bahkan tidak hanya kepada Nabi Muhammad SAW, agama Islam adalah agama yang dahulu diturunkan kepada Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. ( Ummu Yasmin, 2004 : 96). Sebagaimana istilah “pemikiran pendidikan Islam”, kata “Islam” yang diletakan setelah "Ilmu Pendidikan" berfungsi memberikan predikat dan juga merupakan substansi serta subjek penting yang komplek. ( Mahmud dan Tedi, 2005:11). Kata “Islam” dalam “Pendidikan Islam” menunjukan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan berwarna Islam. Pendidikan yang islami yaitu pendidikan yang berdasarkan Islam. A. Tafsir (2005:24) mengatakan : “Islam berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia; ajaran itu dirumuskan dan bersumber dari al-Qur`an, hadis dan akal. Jika demikian, maka ilmu pendidikan adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan al-Qur`an, hadis dan akal. Penggunaan dasar ini haruslah berurutan; al-Qur`an lebih dahulu; bila tidak ada atau tidak jelas dalam al-Qur`an maka dicari dalam hadis; bila tidak jelas atau tidak ada dalam hadis, barulah digunakan akal (pemikiran), tetapi temuan akal itu tidak boleh berlawanan dengan jiwa al-Qur`an dan atau hadis, oleh karena itu teori-teori dalam Ilmu Pendidikan Islam harus dilengkapi dengan ayat-ayat al-Qur`an dan atau hadis dan atau argumen akal yang menjamin teori tersebut. Jadi pembuatan dan penulisan teori dalam Ilmu Pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan pembuatan dan penulisan teori dalam fikih”. (2005:12) Dari uraian diatas dapat difahami pegertian Ilmu Pendidikan Islam, yaitu sebagai ilmu pengetahuan tentang usaha bimbingan, pengajaran dan latihan yang berdasarkan agama Islam. Untuk lebih jelasnya, penulis kemukakan beberapa pengertian dari para ahli sebagai berikut : a. A. Tafsir (2005 : 12) ; Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam.
24
b. Saepullah ( 1999 :110) ; Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang membahas masalah-masalah pendidikan yang berdasarkan Islam (al-Qur`an, hadis, dan pemikiran ). c. Nur Uhbiyyati (1999:14) ; Ilmu Pendidikan Islam adalah studi tentang system dan proses pendidikan yang berdasarkan Islam untuk mencapai produk tujuannya baik studi secara teoritis maupun secara praktis. d. Mahmud dan Tedi Priatna ( 2005 : 41) ; Ilmu Pendidikan Islam adalah suatu uraian ilmiah tentang bimbingan pendidikan kepada anak didik agar tumbuh secara wajar sesuai dengan ajaran Islam dalam rangka membentuk manusia sempurna (Insan Kamil ) Selain dari pengertian dan penjelasannya diatas, Ilmu Pendidikan Islam juga dapat dipahami dari pengklasifikasian pada sifat, corak dan bentuknya, sebagai berikut : Pertama, Ilmu Pendidikan Islam yang becorak normatif-perenialis, yaitu Ilmu Pendidikan Islam yang memfokuskan kajiannya pada penggalian ajaran alQur`an dan al-Hadist
yang berkaitan dengan Ilmu Pendidikan Islam, yang
diyakini sebagai ajaran yang benar, harus diamalkan dan dinilai lebih unggul dibandingkan dengan konsep yang bersumber dari agama lainnya. Ajaran-ajaran tersebut telah terseleksi dalam sejarah yang sangat panjang sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad S.A.W. Dengan sifatnya yang demikian, ajaran ini harus diabadikan sepanjang sejarah. Kedua, Ilmu Pendidikan Islam yang bercorak filosofis, yaitu Ilmu Pendidikan Islam yang memfokuskan kajiannya pada pemikiran filsafat Islam yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Dengan sifatnya
25
yang mendalam, radikal, universal dan sistematis, Filsafat Pendidikan Islam berupaya menjelaskan konsep-konsep yang mendasar yang ada hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu visi, misi, tujuan, kurikulum, bahan pelajaran, guru, murid, hubungan guru murid, proses belajar mengajar, manajemen dan aspek-aspek lainnya dikaji secara mendalam untuk ditemukan inti gagasan yang terdapat didalamnya. Dengan demikian, Ilmu Pendidikan ini berguna untuk membangun berbagai konsep yang terdapat dalam pendidikan Islam tersebut. Ketiga, Ilmu Pendidikan Islam yang bercorak historis, yaitu Ilmu Pendidikan Islam yang memfokuskan kajiannya pada data-data empiris yang dapat dilacak dalam sejarah, baik yang berupa karya tulis, atau peninggalan yang berupa lembaga dengan berbagai aspeknya. Melalui kajian ini, umat diajak untuk menyaksikan maju mundurnya pendidikan Islam sepanjang sejarah untuk kemudian direnungkan, dianalisis dan diambil hikmahnya, untuk dijadikan bahan perbandingan dan masukan demi kemajuan pendidikan Islam masa sekarang. Keempat, Ilmu Pendidikan Islam yang bercorak aplikatif, yaitu Ilmu Pendidikan Islam yang memfokuskan kajiannya pada upaya menerapkan konsep-konsep pendidikan dalam kegiatan yang lebih kongkrit dan dapat diukur serta dilihat hasilnya. Kajian ini mengharuskan adanya uji coba konsep melalui kelas dan lainnya. ( Abuddin Nata, 2004:1-6 ) Berdasarkan pada pembagian paradigma keilmuan pendidikan Islam sebagaimana tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa kajian yang terdapat dalam penelitian ini adalah kajian yang pertama, yaitu Ilmu Pendidikan Islam yang bercorak normatif-perenialis.
26
2.Fungsi Ilmu Pendidikan Islam. Secara umum, A. Tafsir (2006 : 37-41) mengemukakan fungsi ilmu sebagai berikut : a. Sebagai alat ekspalansi. Berbagai ilmu yang ada sekarang, secara umum berfungsi sebagai alat ekspalansi kenyataan. Sains merupakan system yang paling dapat diandalkan sebagai alat ekspalansi dibanding dengan alat-alat lainnya dalam memahami masa lampau, sekarang dan mengubah masa depan. b. Sebagai alat peramal Setelah mengetahui faktor penyebab suatu masalah, seorang ilmuan dapat membuat ramalan. Dalam bahasa ilmuan, ramalan itu disebut prediksi untuk membedakannya dengan ramalan dukun. Ketepatan dan banyaknya ramalan yang dikemukakan oleh para ilmuan akan banyak ditentukan oleh kekuatan teori yang digunakan, kepandaian dan kecerdasan serta ketersediaan data di sekitar gejala itu. c. Sebagai alat pengontrol Ekspalansi merupakan bahan untuk membuat ramalan dan control. Ilmuan selain mampu membuat ramalan berdasarkan ekspalansi gejala, juga dapat mengontrol. Kontrol merupakan tindakan-tindakan yang diduga dapat mencegah terjadinya gejala yang tidak diharapkan atau gejala yang memang diharapkan. Perbedaan control dengan prediksi adalah prediksi bersifat pasif; misalnya ketika terjadi kondisi tertentu maka dapat dibuat prediksi. Sedangkan control bersifat aktif; misalnya ketika terjadi sesuatu maka dapat dibuat control berupa tindakantindakan unutuk mengantisipasinya.
27
Lebih lanjut, Nur Uhbiyyati (1999:22) mengemukakan fungsi Ilmu Pendidikan Islam sebagai berikut : a. Ia melakukan pembuktian terhadap teori-teori kependidikan Islam yang merangkum aspirasi dan cita-cita Islam yang harus diikhtiarkan agar menjadi kenyataan. b. Ia memberikan bahan-bahan informasi tentang pelaksaan pendidikan dalam segala aspeknya bagi pengembangan ilmu pengetahuan pendidikan Islam tersebut. Ia memberikan bahan masukan (input) yang berharga bagi ilmu ini. c. Ia menjadi pengoreksi terhadap kekurangan teori-teori yang dipegang oleh Ilmu Pendidikan Islam, sehingga pertemuan keduanya makin bersifat interaktif (saling mempengaruhi). Selain fungsi keilmuan seperti diatas, ilmu pendidikan juga berguna bagi para guru yang melaksanakan ilmu pendidikan tersebut. Tim DEPDIKBUD (1987 : 27-28) merangkum fungsi aplikatif ilmu tersebut sebagai berikut : a. Praktik mendidik tidak dapat dilepaskan dari teori tentang pendidikan atau ilmu mendidik. b. Teori tentang pendidikan diperlukan agar dapat mempertanggung jawabkan perbuatan yang dilakukan terhadap anak didik. c. Teori diperlukan dengan alasan pertanggung jawaban moril. d. Keperibadian seseorang dapat berubah menjadi makin sempurna dengan mempelajari ilmu pendidikan. Hal ini disebabkan teori atau ilmu pendidikan itu harus terlebih dahulu diinternalisasikan oleh si pendidik sebelum disampaikan kepada anak didik.
28
e. Tindakan terhadap anak didik tidak boleh bersifat coba-coba. Apabila tindakan yang dikenakan terhadap anak didik itu salah, maka mustahil untuk diralat kembali atau dihapus dari pengalaman dan penghayatan anak yang bersangkutan. Manusia hanya bersifat satu kali atau “einmalig”. Kesalahan pendidikan hanya akan melahirkan kerugian pada anak didik. f. Manusia bersifat unik. Maksudnya tidak ada didunia ini manusia yang sama. Walaupun kelihatannya sama-sama bermata, berhidung bertelinga, tetapi berbeda satu dengan yang lainnya. Setiap manusia berbeda satu dengan yang lainnya, baik dari cara berfikir menerima pengaruh dari luar, cara bereaksi, dan beraksi dan lain sebagainya. g. Dengan memepelajari ilmu pendidikan sorang guru dapat mengenal dirinya sendiri dan tujuan pendidikan. h. Mempelajari ilmu pendidikan berarti mencegah pemerkosaan terhadap martabat kemanusiaan pada umumnya, khususnya lagi terhadap martabat anak didik. Manusia adalah makhluk yang mendidik, didik dan pendidikan. Perlunya Ilmu Pedidikan Islam juga dikemukakan oleh H. M Arifin, seperti yang dikutip oleh Mahmud dan Tedi ( 2005:44-45) sebagai berikut : a. Pendidikan sebagai usaha pembentukan pribadi Muslim harus melalui proses yang panjang, dengan resultat (hasil) yang tidak dapat diketahui dengan segera, berbeda dengan membentuk benda mati yang dapat dilakukan sesuai dengan keinginan “pembuatnya”. Dalam proses pembentukan tersebut diperlukan suatu perhitungan yang matang dan teliti berdasarkan pandangan dan fikiran-fikiran atau teori yang tepat, sehingga kegagalan atau kesalahan
29
langkah pembentukannya terhadap anak didik dapat dihindarkan. Oleh karena itu lapangan tugas atau sasaran pendidikan adalah makhluk hidup yang sedang berkembang dan tumbuh, yang mengandung berbagai kemungkinan. Apabila salah dalam pembentuknnya, maka akan sulit memperbaikinya. b. Pendidikan Islam pada khususnya yang bersumberkan nilai-nilai agama Islam, disamping menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai niali-nilai tersebut, juga mengembangkan kemampuan berilmu adalah ikhtiariah yang secara paedagogik mampu mengembangkan hidup anak didik kearah kedewasaan atau kematangan. Oleh karena itu ikhtiariah tersebut dapat dilakukan hanya berdasarkan kemauan pendidik yang dilandasi dengan teoriteori kependidikan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah paedagogik. c. Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT dengan tujuan mensejahterakan dan membahagiakan hidup dan kehidupan ummat manusia di dunia dan akhirat, baru dapat mempunyai arti fungsional dan aktual dalam diri manusia bilamana dikembangkan melaui proses kependidikan yang sistematis. Oleh karena itu teori-teori pendidikan Islam yang disusun secara sisitematis merupakan kompas bagi proses. d. Ruang lingkup kependidikan Islam mencakup segala bidang kehidupan manusia di dunia, dimana manusia mampu memanfaatkan sebagai tempat menanam benih-benih amaliah yang buahnya akan dipetik di akhirat kelak, maka pembentukan sikap dan amaliah dalam pribadi manusia baru dapat
30
efektif bilamana dilakukan melalui proses kependidikan yang berjalan di atas kaidah-kaidah ilmu pengetahuan kependidikan. e. Teori-teori, hipotesis dan asumsi kependidikan yang bersumber dari ajaran Islam sampai kini masih belum terjelaskan secara ilmiah meskipun bahanbahan bakunya telah tersedia baik dalam kitab suci al-Qur`an, hadis maupun qaul ulama. Untuk itu diperlukan secara sistematis introdusir ilmiah yang didukung dengan hasil penelitian yang luas. 3.
Dasar-Dasar dan Prinsip-Prinsip Ilmu Pendidikan Islam Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hery Noer Aly (1999:29)
mengartikan dasar dengan asas, fundamen, pokok dan pangkal segala sesuatu (pendapat, ajaran atau aturan). Sebagai contoh, argumentasi global bagi suatu pemahaman (fikih) disebut Ushul Fiqih. Dengan kata lain Ushul Fikih adalah dasar atau asas bagi Fikih (Abdul Hamid Hakim, tt : 5). Sedangkan prinsif, seperti dikemukakan oleh Ramayulis (2004:7) seraya mengutif W. J. S. Poerwadinata, berarti asas (kebenaran yang menjadi asas orang berfikir, bertindak dan sebagainya). Dalam konteks pendidikan, prinsif dapat diartikan dengan kebenaran yang sifatnya universal, yang dijadikan dasar dalam merumuskan pendidikan. Prinsif pendidikan diambil dari dasar pendidikan, baik berupa agama maupun idiologi Negara yang dianut. a. Dasar Ilmu Pendidikan Islam. Dasar Ilmu Pendidikan Islam adalah al-Qur`an, al-Sunnah dan Ijtihad (Zakiah Daradjat dkk, 2006 : 19). Sejarah telah meneorikan bahwa sekarang ini kitab suci yang terjamin keasliannya adalah al-Qur`an. Oleh karena itu, orang
31
Islam mengambil kitab suci al-Qur`an sebagai dasar kehidupannya untuk dijadikan sumber ajaran Islam. Inilah pula yang dijadikan dasar bagi Ilmu Pendidikan Islam. Al-Qur`an didalam ayat-ayatnya ternyata memberikan jaminan juga kepada hadis Nabi Muhammad SAW. Ada perintah Tuhan yang mengatakan bahwa manusia beriman wajib mengikuti Allah dan Rasul-Nya. Rosul-Nya yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW. Perintah inilah (secara etimologis, jaminan inilah) yang dijadikan dasar kedua bagi kehidupannya. Kemudian juga al-Qur`an dan hadis Nabi menyuruh menggunakan akal untuk digunakan dalam membuat aturan hidup. Akan tetapi aturan yang akan dibuat akal itu merupakan aturan yang tidak terdapat dalam al-Qur`an dan Hadis. Selain itu keputusan yang dibuat oleh akal (ijtihad) tidak boleh bertentangan dengan jiwa al-Qur`an dan hadis. Dengan alasan seperti ini maka wajarlah orang Islam meletakan al-Qur`an, hadis dan akal sebagai dasar bagi teori- teori pendidikannya. (A . Tafsir, 2005:2122). Pertama, al-Qur`an. Yaitu firman Allah SWT yang diwahyukan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW sebagi petunjuk hidup manusia. Secara gais besarnya al-Qur`an mengandung dua hal, yaitu keimanan yang disebut akidah, dan aturan perbuatan yang disebut Syariah. Syariah ini dibagi tiga bagian; 1) ibadah, yaitu aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah SWT. 2) Muamalah, yang mengatur hubungan manusia dengan selain Allah dan 3) akhlak yang mengatur
budi pekerti manusia. Pendidikan termasuk kedalam
lingkup muamalah. Pendidikan sangat penting karena ia mempengaruhi corak dan bentuk kehidupan mansuia. (Zakiah Daradjat, 2006:19-20). Kaitan antara al-
32
Qur`an dengan pendidikan dapat terlihat dari tiga hal; 1) Banyaknya istilah pendidikan yang terdapat dalam al-Qur`an, seperti “al-Tarbiyyah” dan “al-Ilmu”. Konsep-konsep ini mengindikasikan bahwa al-Qur`an tidak mengesampingkan masalah pendidikan. Bahkan wahyu
Allah SWT yang diturunkan kepada
Muhammad SAW ini, diberi nama al-Qur`an dan al-Kitab, yang berarti “bacaan” dan “tulisan”. Sebuah kegiatan yang sangat penting dalam pendidikan. 2). Nabi Muhammad SAW sendiri merupakan pendidik dan pengajar. 3). Apabila alQur`an diyakini sebagai petunjuk hidup, maka mudah pula
untuk meyakini
bahwa dalam al-Qur`an terdapat asas-asas pendidikan. Seorang tidak mungkin berbicara tentang pendidikan Islam tanpa mengambil rujukan dari al-Qur`an. (Abdurrahman Saleh Abdullah, 2007:19-20). Kedua,
al-Sunnah,
yaitu
perkataan,
perbuatan
Nabi
SAW
dan
persetujuannya terhadap peristiwa atau perbuatan orang lain yang diketahuinya. Rosullulah SAW ialah pendidik dan guru yang utama. Cara pendidikan Rosulullah SAW dilakukan dengan tiga cara; 1) menjadikan rumah al-Arqom sebgai tempat pendidikan. 2). Memanfaatkan tawanan perang yang dapat menulis dan membaca untuk mengajari baca tulis terhadap umat Islam. 3). Mengirimkan para Sahabat kedaerah-daerah yang baru memeluk Islam. Dari itulah al-Sunnah merupakan dasar bagi pendidikan Islam. (Zakiah Daradjat, 2006:20-21). Ketiga Ijtihad, yaitu berifkir dengan mencurahkan segenap ilmu yang dilakukan oleh ulama dalam menentukan hukum/peraturan yang tidak disebutkan dalam al-Qur`an al-Sunnah. Ijtihad ini tidak boleh bertentangan dengan al-Qur`an dan al-Sunnah, serta harus dengan kaidah-kaidah tertentu yang telah dirumuskan
33
oleh para Mujtahid. Ijtihad dalam masalah pendidikan ternyata semakin diperlukan, karena al-Qur`an dan al-Sunnah bersifat pokok-pokok dan prinsipprinsipnya saja. Apabila ada hal agak rici, hal itu hanya contoh penerapan prinsipprinsip itu.( Zakiah Daradjat, 2006:22). b. Prinsip-Prinsip Ilmu Pendidikan Islam. Ramayulis (2002:8-16) dengan mengutip al-Syaibani, mengemukakan prinsip-prinsip pendidikan Islam sebagai berikut : Pertama, prinsip pendidikan Islam merupakan implikasi dari ciri-ciri manusia menurut Islam yaitu; 1) fithrah 2) kesatuan ruh dan jasad 3) kebebasan berkehendak. Kedua, pendidikan Islam integral dan terpadu. Artinya pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi antara sains dan agama, tidak ada pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama. Ketiga, prinsip pendidikan Islam adalah seimbang, yaitu keseimbangan antara dunia dan akhirat, keseimbangan antara ruh dan jasad serta keseimbangan antara individu dan masyarakat. Keempat, prinsip pendidikan Islam adalah universal artinya pendidikan Islam memperhatikan segala aspek yang ada pada manusia. Manusia yang hendak “diwujudkan” oleh pendidikan Islam adalah manusia seutuhnya. Dan Kelima, prinsip pendidikan Islam adalah dinamis. Artinya harus sesuai dengan tuntutan tempat dan waktu yang dilaksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah Islam yang bersifat tetap. 4.
Ruang Lingkup Ilmu Pendidikan Islam. Pendidikan Islam sebagai ilmu, memiliki ruang lingkup yang sangat luas
karena ia melibatkan berbagai segi atau pihak. Ruang lingkup Ilmu Pendidikan meliputi masalah-masalah kependidikan dalam batas dunia empiris. Secara garis
34
besarnya terbagi dua yaitu yang bersifat teoritis dan teknis. (Hery Noer Aly, 1999:20). Nur Uhbiyyati ( 2005:13-15) merinci ruang lingkup Ilmu Pendidikan tersebut sebagai berikut : a. Perbuatan mendidik. Seluruh kegiatan, upaya dan sikap yang dilakukan pendidik sewaktu mengajar membing-bing dan melatih anak didiknya sampai tercapai tujuan pendidikan, itulah yang dimaksud perbuatan mendidik. Perbuatan mendidik ini sering disebut tahdzib, tarbiyyah dan ta`dib b. Anak Didik. Yaitu pihak yang merupakan objek terpenting dalam pendidikan, hal ini disebabkan perbuatan mendidik itu dilakukan untuk membawa anak didik kepada tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Anak didik ini sering diistilahkan dengan santri, thalib, muta`allimin, muhadzab dan tilmidz. c. Dasar dan tujuan pendidikan Islam. Yaitu semua landasan yang menjadi sumber segala kegiatan pendidikan. Dasar pendidikan berarti arah, kemana anak didik akan dibawa, sedangkan tujuan pendidikan Islam yaitu hendak mewujudkan manusia (dewasa) muslim yang bertakwa dan berkepribadian muslim d. Pendidik. Yaitu subyek yang melaksanakan pendidikan. Ia memegang peranan penting dalam pendidikan, baik buruknya pendidik akan sangat berpengaruh terhadap hasil pendidikan. Pendidik ini sering disebut Mua`llim, Muhadzib, ustadz, kiyai, dan sebagainya.
35
e. Materi pendidikan Islam. Yaitu bahan-bahan atau pengalaman belajar ilmu agama Islam yang disusun sedimikian rupa untuk disajikan kepada anak didik. Dalam istilah pendidikan Islam materi ini sering disebut madatut tarbiyyah f. Metode Pendidikan Islam. Yaitu cara yang paling efekif dalam menyampaikan materi kepada anak didik. Metode, mengemukakan suatu cara dalam mengolah, menyusun dan menyajikan materi kepada anak didik. Sering diistilahkan dengan Thoriqotut tarbiyyah, atau Thorqotut Tahdzib
B. Deskripsi Tujuan Pendidikan Islam 1. Pengertian Tujuan Pendidikan Islam a. Pengertian secara bahasa Dalam bahasa Arab, istilah yang dipergunakan untuk menunjukan pada hasil dari proses pendidikan adalah: 1) ghayat; yang dipergunakan untuk menunjukan tujuan akhir (muntaha), sehingga ketika sudah mencapainya tidak ada lagi hal yang ingin dicapai. 1) ahdaf; arti asalnya adalah tempat tinggi dimana seseorang dapat menagwasi daerah sekitarnya yang luas. 3) maqosid, yang arti asalnya adalah jalan yang lurus. (Mahmud dan Tedi Priatna, 2005 : 97). Dengan mengutuip the oxford engkish dictionary, Abdurrahman Saleh Abdullah (2007:130-132) menjelaskan pengertian tujuan dalam istilah bahasa inggris sebagai berikut :
36
Pertama, aims; yaitu yaitu perbuatan yang menentukan cara yang berkenaan dengan tujuan yang diharapkan. kata aims besinonim dengan kata goal. Kedua, objective. Pengertiannya lebih sederhana dan lebih ringkas menuju kepada aims dan goal. Menurut para ahli pendidikan istilah aims dan goal menujukan tujuan umum, sedangkan objective menunjuk pada makna tujuan khusus. Maka hasil pendidikan tidak akan dikatakan objective sebelum dirumuskan pada tingkah laku yang dapat diamati. Inilah makna objective. Dalam bahsa Arab, tujuan
diistilahkan dengan muntaha, yaitu tujuan
akhir, ahdaf yaitu, peranan yang lebih tinggi dan dapat dimiliki oleh seseorang. dan maqosid artinya “pokok” . Jalan yang dilukiskan dengan al-qosdhu biasanya membawa kepada hasil yang dikehendaki. (Abdurrahman Saleh Abdullah, 2007 :132). Contoh, dalam ushul fiqh ada kaidah “maqosidul lafdzi ala niyyatil laafidz”. Artinya “yang mengetahui maksud/pokok/tujuan suatu ucapan itu adalah orang yang mengucapkannya”. Secara aflikatif, Nur uhbiyyati (1999:58) menjelaskan arti istilah-istilah tersebut dengan perkataannya : “Bila tujuan itu diterapkan pada kurikulum pendidikan maka jelaslah bahwa secara operasional mengandung makna yang sama dengan maksud, hanya dapat dibedakan dari arahan, yaitu tujuan arahannya bersifat umum yang individual sedangkan maksud dan purposes dalam pendidikan mengandung makna arah yang ditujukan kepada individualitas dilihat dari aspek potensialitas dari dalam diri peserta didik. Jika diaflikasikan dalam penyusunan program jangka pendek, menengah dan panjang, maka lazimnya istlilah sasaran, atau ahdaf, dan program jangka menengah lazimnya mempergunakan istilah puposes atau maqosid. Sedangkan untuk tujuan akhir lzimnya mempergunakan istilah ghayat atau ghard”
Tujuan adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang, dan menjadi pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Dalam tujuan terkandung
37
maksud, cita-cita, kehendak dan kesengajaan serta berkonsekwensi penyusunan dan upaya-upaya untuk mencapainya. (Hery Noer Aly, 1999:51). Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa tujuan berbeda dengan dorongan. Dorongan adalah daya pshikis atau organis yang menggerakan untuk mencapai tingkah laku sehingga dapat mencapai sasaran, baik disadari atau tidak. Contoh; orang yang sedang tidur lelap, menggerakan tangannya untuk mengusir nyamuk yang menggigitnya. Gerakan ini lahir dari dorongan organis yang disebut dengan dorongan mempertahankan diri, bukan lahir dari usaha sadarnya untuk mengusir nyamuk. Tujuan berbeda pula dengan akibat. Akibat adalah hasil yang lahir dari tingkah laku, baik hasil itu dapat merealisasikan tujuan atau tidak. Contoh; seorang siswa lulus dalam ujian dengan nilai yang memuaskan, memperoleh gelar akademis yang memuaskan, dan diangkat menjadi pegawai dengan gaji yang memuaskan, adalah akibat bukan tujuan. Tujuan sebenarnya adalah memperoleh ilmu atau kecakapan tertentu. (1999:52) Menurut Zakiah Daradjat (2006:29) tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai oleh suatu usaha atau aktifitas. Menurut H. M. Arifin, seperti dikutip Ramayulis (2004 :65) tujuan menunjuk kepada arti futuritas (masa depan) yang terletak pada suatu jarak tertentu yang tidak akan tercapai kecuali melalui proses tertentu. Meskipun banyak perbedaan dalam ungkapan perumusan tujuan, tetapi inti maknanya sama yaitu berpusat pada aktifitas atau perbuatan yang diarahkan atau dilaksanakan untuk suatu maksud tertentu. Selain pembahsan tujuan dari segi istilah, seperti yang telah penulis kemukakan diatas, al-Syaibany ( 1979:400-402 ) mengemukakan pula beberapa
38
istilah yang berkaitan dengan istilah tujuan, yaitu "alamat", "ramalan", “hasil”, “keinginan” dan “nilai-nilai”. Pertama, hubungan antara “tujuan” dengan “alamat”, yaitu sebagai sebuah sinonim kata, artinya “tujuan” dan “alamat” adalah dua hal yang memiliki makna yang sama. “Tujuan” dan “tanda” atau “alamat” adalah akhir suatu proses. Kedua, hubungan istilah “tujuan” dengan “ramalan”. “Tujuan” sama dengan “ramalan” jika perkara yang diramalkan atau diprediksikan itu terjadi atau tercapai setelah melalui berbagai prosesnya. “Tujuan” bebeda maknanya dengan “ramalan”, karena “tujuan” adalah apa yang hendak dicapai oleh institusi pendidikan, sedangkan ramalan apa yang diharapkan terjadinya oleh institusi pendidikan. Ketiga, “tujuan” dan “hasil”. “Tujuan” adalah akhir usaha yang disengaja teratur dan tersusun, sedangkan “hasil” bukanlah batas akhir dari serentetan langkah-langkah yang berkaitan satu sama lain. Keempat, “tujuan” dan “keinginan”. “Tujuan” itu bukanlah keinginan walau “tujuan” itu sendiri berasal dari sebuah “keinginan”. “Tujuan” merupakan pengejawantahan dari “keinginan” dalam bentuk rencana dan metode bertindak. Kelima, “tujuan” dan “nilai”. “Tujuan” dan “nilai” memiliki hubungan yang sangat erat karena tujuan pendidikan itu sebagai nilai-nilai yang disukai untuk melaksanakannya. b. Pengertian secara istilah Para ahli pendidikan Islam berbeda-beda dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam. Walaupun demikian, semuanya berada dalam mainstrim
39
pemikiran yang sama, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah hasil yang ingin dicapai dari proses pendidikan yang berlandaskan Islam. (Mahmud dan Tedi Priatna, 2005:109). Ada tiga hal yang ingin dicapai oleh pendidikan Islam, yaitu : Pertama, manusia. Para ahli pendidikan tampaknya sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, tetapi mereka berbeda pendapat tentang ciri-ciri manuisa yang baik itu. (A Tafsir, 2002:14). Dalam pendidikan Islam ciriciri manusia yang baik itu adalah yang sesuai dengan tuntutan ajaran Islam. AlAttas, seperti ditulis Wan M. Noor (2005, No 6 : 77), Mengatakan bahwa manusia yang baik adalah yang menyadari sepenuhnya akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Haq, yang memahami dan melaksanakan kewajibannya, baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain, dan yang selalu meningkatkan kualitas dirinya sebagai manusia yang beradab. Kedua, masyarakat yang tumbuh dan berkembang, kaya pengalamannya, serta maju sesuai dengan yang dicita-citakan. Ketiga, profesi pendidikan itu sendiri. Yaitu yang berkaitan dengan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi dan sebagai aktivitas dalam beragam aktivitas hidup lainnya. (Al-Syaibani, 1979:399). Muhaimin dkk (2004 :48), mengutip beberapa rumusan tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam sebagai berikut : a. Muhammad Munir Mursyi; Pendidikan itu diarahkan pada manusia yang menyembah kepada Allah dan takut kepadaNya.
40
b. Ali Asyraf; tujuan akhir pendidikan Islam terletak pada perwujudan penyerahan diri atau ketundukan yang mutlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya. c. Abdul Fattah Jalal; tujuan umum pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia yang beribadah atau abid yaitu manusia yang memiliki sifat-sifat yang diberikan Allah SWT kepada Ibadurrahman atau hamba Allah yang mendapat kemuliaan. Tujuan pendidikan Islam sangat bervariasi, yang secara umum terlihat dari uraian diatas. Ali Abdul Halim Mahmud (2000:27-41) merincinya sebagai berikut: a. Pembentukan akidah yang benar bagi manusia. Pandangan yang benar bagi manusia dapat memberikan kehidupan yang penuh dengan kemanusiaan, diridhai serta meridlai segala keputusan Allah SWT. Ada beberapa hal yang harus diyakini oleh manusia antara lain: yakin terhadap Allah SWT, baik Dzat, Nama maupun Sifat-Sifat-Nya, pekerjaanNya dan rukun-rukun iman lainnya. Berakidah terhadap manusia itu sendiri; sebab penciptaan manusia, dengan apa manusia harus beriman, dan tujuan penciptaan manusia. Berakidah terhadap jagat raya dan seluruh makhluk lainnya. b. Pengajaran akidah yang benar. Pengajaran ibadah harus diambil dari sumber yang benar yaitu al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW. Pengajaran ini tidak akan terealisasi dengan benar kecuali dengan melaksanakan keimanan, keislaman, keadilan, berbuat ihsan, amar makruf nahi munkar serta berjihad dijalan Allah SWT.
41
c. Menumbuhkan keinginan mengenal sesama manusia. Saling mengenal merupakan
tuntutan
al-Qur`an
(al-Hujrat:13).
Saling
mengenal
dan
menumbuhkan rasa cinta akan melancarkan jalan dakwah dan menjauhkan manusia dari sikap tidak bersaudara. Persaudaraan yang paling utama adalah ketika berada di mesjid karena orang yang berada didalamnya telah melalui jalan Islam. Kecintaan terhadap sesama harus berdasarkan niat karena Allah semata, menumbuhkan persaudaraan, dan saling berwasiat dalam kebenaran. d. Menyebarkan ruh at Taawun ( spirit kebersamaan) antar sesama manusia. Alta`awun adalah salah satu bentuk interaksi sosial, dan bentuk ekspresi antar semua orang atau lebih guna mencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini harus dilakukan agar menjadi suatu amal yang bernilai kebaikan dan takwa (alMaidah:2). Al-Ta`awun adalah kewajiban setiap orang, rumah tangga, kelompok, himpunan-himpunan sosial kemasyarakatan dan komunitaskomunitas lainnya. e. Bekerja untuk memakmurkan bumi. Pada dasarnya pendidikan mempersiakan manusia untuk bekerja memakmurkan bumi demi kepentingan manusia itu sediri, demi kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Pendidikan Islam mengajarkan bahwa manusia ialah pemimpin dimuka bumi ini. Ia dituntut untuk berjalan dan mengambil manfaat darinya. Pendidikan manusia dengan bentuk memakmurkan bumi merupakan pendidikan ilmiah yang dapat merubah teori menjadi lahan terapan. Semuanya mendatangkan pengaruh positif bagi proses belajar yang diinginkan Islam. Inilah tujuan pendidikan Islam yang telah dilupakan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam, mereka berada dalam
42
kerugian karena mereka tidak dapat merealisasikan tujuan pendidikan ini pada kehidupan nyata. f. Mengajarkan manusia untuk berkomitmen/berpegang teguh terhadap ajaran Islam. Manusia yang dikehendaki oleh pendidikan Islam adalah manusia yang memiliki komitmen bahwa aturan-aturan Allah SWT dapat mendatangkan manfaat dan berguna bagi kehidupannya didunia. Ada beberapa hal yang harus dipegang teguh oleh seorang Muslim, yaitu : -
kewajiban/aturan Allah, agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.
-
Manhaj/cara hidup dari Allah SWT. Demi kebaikan mereka dirumah, komunitas sosial, dan umat Islam seluruhnya.
-
Perintah dan larangan Allah SWT.
-
Kasih sayang terhadap sesama dan berusaha menyebarkannya.
-
Penyebarluasan Islam. Orang-orang kafir harus diusahakan untuk memeluk Islam serta melaksanakan kewajibannya.
g. Mengajari manusia untuk membangun rumah tangganya. Pendidikan Islam harus menghasilkan manusia yang dapat membangun rumah tangganya, yaitu keluarga yang penuh dengan nilai-nilai Islam dan setiap angota keluarga memiliki komitmen untuk menegakan ajaran Islam. Mulai dari memilih pasangan hidup, interaksi suami istri, pendidikan anak-anak, kerabat, sampai adab bertetatangga. Semua itu memiliki kontribusi terhadap komunitas sosial dan peradaban kemanusiaan pada umumnya. Jika rumah tangga muslim dipimpin dengan benar maka akan menjadi sebuah fondasi yang kokoh bagi komunitas dunia Islam.
43
h. Membentuk manusia sosial. Manusia sosial ialah manusia yang hidup secara seimbang, ia berkomitmen terhadap semua hubungan dengan sesama manusia, dirumah atau dimasyarakat. Pendidikan Islam harus membentuk manusia yang mengetahui bagaimana mengembangkan masyarakatnya menjadi masyarakat yang diriridlai Allah SWT. Masyararakat muslim memiliki ciri-ciri sebagai berikut : -
Beriman kepada Allah SWT.
-
Komitmen terhadap ajaran-ajaran Islam.
-
Memiliki perhatian cukup terhadap keluarga.
-
Kerja aktif dan efektif dalam menegakan nilai-nilai Islam.
-
Orientasi kerjanya adalah keridlaan Allah SWT.
i. Pendidikan Islam bagaimanapun juga mendidik manusia Arab-Muslim untuk menjauhi pendidikan yang memiliki unsur-unsur negatif. Tidak ada keutamaan orang Arab dari orang lainnya kecuali dengan ketakwaan. Melihat dan memahami Arab dan Arabisme dengan pandangan yang benar dan digunakan untuk kepentingan Negara besar Islam. j. Membentuk manusia yang berdedikasi Islam. Pendidikan Islam bertanggung jawab untuk mewujudkan manusia yang berdedikasi Islam. Manusia yang berdedikasi Islam ialah manusia yang merasakan penderitaan dan kelemahan umatnya, serta berbagai permasalahannya, disusul dengan kerja maksimal untuk membebaskan negara Islam dari penguasaan musuh-musuh Islam dan bekerja menyatukan dunia Islam baik ekonomi, politik sampai budayanya.
44
k. Membentuk Muslim yang menyeru kepada Allah SWT. Tujuan pendidikan Islam ialah membentuk manusia yang menyeru kepada Allah SWT, Memiliki kemampuan dalam berdakwah. Setiap Muslim harus menyeru kepada jalan yang benar, menyebarkan dakwah tentang Islam. Setiap mulim harus berusaha menyebarkan kebaikan bagi manusia. l. Membentuk pribadi muslim agar memiliki kemampuan untuk ikut serta dalam kerja Islami. Pendidikan Islam dibentuk untuk menyiapkan manusia yang berkontribusi terhadap berbagai pekerjaan yang diadakan dalam rangka mengukuhkan Islam dan pemerintahan Islam. Pendidikan Islam bertanggung jawab untuk menyingkap bakat peserta didik dan memfungsikan kemampuan yang dimilikinya dalam suatu kerja Islami. Kerja Islami berarti : -
Berdakwah kapada Allah SWT.
-
Harokah Islamiah
-
Pengorganisasian Islam
-
Pendidikan dan kebutuhan-kebutuhannya.
-
Penerapan kerja Islami pada level individu, keluarga dan masyarakat.
-
Membumikan agama Islam.
-
Bekerja secara kontinyu. Demikianlah uraian tentang tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan
oleh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya al-Tarbiyyah al-Islamiah 2. Fungsi Tujuan Pendidikan Islam dalam Ilmu Pendidikan Islam Tujuan memainkan peranan yang sangat penting dalam setiap kegiatan, tanpanya setiap kegiatan akan berjalan tanpa arah dan programnya menjadi acak-
45
acakan. Ahmad D. Marimba, seperti dikutif Nur Uhbiyyati (2005:29), mengemukakan empat fungsi tujuan sebagai berikut : a. Mengakhiri usaha b. Mengarahkan usaha c. Tujuan merupakan titik pangkal dalam mencapai tujuan-tujuan lain, baik berupa tujuan baru maupun tujuan lanjutan. d. Memberi nilai (sifat) pada usaha-usaha itu. Muhaimin, seperti dikutip Sama`un Bakri (2005:33) mengemukakan tiga fungsi tujuan sebagai berikut : a. Jika suatu pekerjaan tidak disertai tujuan yang jelas, maka akan sulit untuk memilih atau merencanakan bahan atau strategi yang akan digunakan. b. Rumusan yang baik dan terinci akan mempermudah pengevaluasian subjek pendidikan agar sesuai dengan cita-cita yang telah ditetapkan. c. Rumusan tujuan yang benar akan berguna bagi siswa dalam menyelesaikan materi dan kegiatan belajarnya. Hery Noer Aly (1999:54) menambahkan fungsi tujuan sebagai pemberi semangat dan dorongan dalam suatu aktifitas pendidikan. Sebagai contoh, jika seseorang diperintah untuk berjalan tanpa dijelaskan kepadanya tujuan perjalannya maka mungkin ia akan ragu-ragu, akan tetapi jika ia diberitahu bahwa tujuannya berjalan adalah untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, tentu dia akan berjalan dengan penuh semangat.
46
3. Prinsip-Prinsip Perumusan Tujuan Pendidikan Islam . Manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat, sebagai hasil yang dituju oleh proses pendidikan itu, tentunya harus berbentuk manusia ideal atau yang terbaik, yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut oleh para perumus pendidikan itu. Karena pendidikan Islam adalah pendidikan yang berlandaskan Islam maka tentu saja manusia yang menjadi tujuan pendidikan Islam itu haruslah manusia yang baik menurut ajaran Islam atau berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang melandasi proses pendidikannya. Al-Syaibany
(1979:436-443)
mengemukakan
prinsip-prinsip
tujuan
pendidikan Islam sebagai berikut : a. Universal (menyeluruh) Tujuan pendidikan Islam harus memiliki pandangan yang menyeluruh, baik terhadap agama, manusia, masyarakat dan kehidupan. Islam tidak menginginkan adanya pemisahan suatu aturan dan aturan yang lainnya. Tidak ada pemisahan antara ibadah, muamalah dan akhlak. Prinsip ini bertujuan untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki manusia. Mengkaji dan mengembangkan segala segi kehidupan masyarakat, baik budaya, sosial ekonomi, dan politik. b. keseimbangan dan kesederhanaan. Kehidupan harus berjalan secara seimbang. Keinginan individu harus seimbang dengan keinginan masyarakat. Menjaga budaya masa silam harus seimbang dengan tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan budaya masa kini. Pendidikan Islam menghendaki kehidupan yang saling melengkapi satu sama lain,
47
baik tingkat individu maupun masyarakat. Dan hal inilah yang sesuai dengan fithrah manusia. c. Jelas dan tegas. Islam bersifat jelas dan terang dalam prinsip, aturan, dan hukumhukumnya. Ia memberi jawaban yang jelas terhadap berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi. Ketegasan tujuan memberi makna dan kekuatan terhadap pengajaran dan mendorongnya untuk berjalan kearah yang jelas. d. Tidak ada pertentangan (sistematis) Dalam tujuan tidak boleh ada pertentangan antara berbagai unsur dengan cara pelaksanaannya. Tujuan pendidikan Islam berpadu secara organik antara berbagai unsur yang ada di dalamnya, sebab ia berasal dari Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Suatu tujuan tidak boleh dicapai dengan caracara yang tidak halal. Menanamkan keimanan tidak boleh dilakukan dengan cara memaksa dan kekerasan, demikian juga dengan seni tidak boleh dicapai dengan mengajarkan gambar-gambar dan musik yang cabul. e. Realistis (dapat dilaksanakan) Pendidikan Islam tegak di atas dasar yang realistis jauh dari khyalan, berlebihlebihan dan serampangan. Prinsip ini mengajarkan bahwa Islam dan pendidikan Islam bukanlah ungkapan pameo belaka, bukan pula prinsip ideal yang tak dapat dicapai dalam kehidupan dunia manusia. Tujuan, rencana, kurikulum dan berbagai program haruslah realitis. Tujuan pendidikan harus sesuai dengan kondisi jasmani, akal, emosi, spiritual dan sosial murid. Sesuai dengan kondisi masyarakat, dapat diterjemahkan kedalam bentuk tingkah laku yang dapat
48
diamati, harus pula memperhatikan berbagai sarana untuk mencapainya. Apabila prinsip ini diabaikan, maka tujuan akan kehilangan nilainya dan hanya akan menjadi ungkapan yang tak berisi apapun. f. Perubahan yang diinginkan Prinsip ini sesuai dengan ketetapan para ahli pendidikan bahwa pendidikan adalah proses perubahan pada indidvidu dan masyarakat. Jika perubahan ini tidak terjadi maka pendidikan tidak berhasil mencapai tujuannya. Perubahan yang diharapkan terjadi pada individu, meliputi perubahan pada aspek jasmani, akal, psikologis dan sosial, sedangkan perubahan pada masyarakat meliputi perubahan budaya, spiritual, sosial ekonomi dan politik. Perubahan-perubahan yang diharapakan setelah melalui proses pendidikan tersebut harus sesuai dengan ajaran Islam, hukum dan dasar-dasar akhlaknya. g. Menjaga perbedaan-perbedaan sesesorang. Setiap orang yang dididik tentu memiliki berbagai perbedaan, baik perbedaan ciri, kebutuhan, tahap kecerdasan, minat dan sikap, hingga kematangan jasmani, akal serta emosi. Demikian juga masyarakat yang dibina oleh pendidikan Islam memiliki perbedaan berupa budaya, alam lingkunagn sekitar, derajat kemajuan peradabannya, sumber ekoomi, sistem politik dan lain sebagainya. Pendidikan Islam dengan berpedoman pada ajaran Islam sudah barang tentu mengakui perbedaan-perbedaan tersebut. h. Dinamis. Pendidikan Islam tidaklah beku menyangkut tujuan, kurikulum, dan metode, tetapi selalu berusaha untuk memperbaharui diri dan terus berkembang
49
mengikuti zaman sesuai dengan segala tempat yang diakui oleh ajaran Islam. Pembaharuan tersebut dilakukan dengan berbagai penelitian dan eksperimen serta bersikap terbuka terhadap berbagai hasil kajian bangsa-bangsa lain yang telah melakukan perbaikan-perbaikan dalam bidang pendidikan. Dalam lingkup yang lebih khusus, Hilda Taba, seperti dikutip Samau`n Bakry (2005:33) mengemukakan prinsip-prinsip perumusan tujuan sebagai berikut : a. Rumusan tujuan hendaknya meliputi aspek bentuk kelakuan yang diharapkan dan bahan yang berkaitan dengannya. b. Tujuan yang kompleks perlu ditata sehingga jelas bentuk kelakuan yang diharapkan. c. Dalam perumusan tujuan, hendaknya dipormulasikan bentuk perilaku yang diharapkan dengan kegiatan belajar tertentu. d. Tujuan itu pada dasarnya mencerminkan developmental, mencerminkan arah yang hendak dicapai e. Tujuan itu harus realistis dan mencerminkan apa yang dapat diterjemahkan kurikulum dan pengalaman belajar f. Perumusan tujuan tersebut harus mencakup segala aspek perkembangan peserta didik yang menjadi tanggung jawab sekolah. 4. Jenis-Jenis Tujuan Pendidikan Islam Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa salah satu unsur pertama dalam pendidikan adalah tujuan. Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan itu, tidak dapat dilakukan dengan sekaligus, tetapi membutuhkan tahapan-tahapan
50
tertentu. Oleh karenanya para ahli pendidikan Islam, ketika membahas tentang rumusan tujuan pendidikan Islam, mengklasifikasikan tujuan tersebut berdasarkan tahapan-tahan pencapainnya. Zakiyah Daradjat (2006 : 30-33) mengklasifikasikan tujuan dalam empat tahapan yaitu : 1) Tujuan umum, 2) Tujuan akhir, 3) Tujuan sementara, 4) Tujuan operasional. a. Tujuan Umum. Tujuan umum adalah tutjuan yang ingin dicapai oleh setiap kegiatan pendidikan, baik dengan kegiatan pengajaran atau dengan kegiatan lainnya. Tujuan ini meliputi aspek sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan. (Zakiah Dardjat : 2006:30). Para ahli pendidikan Islam telah merumuskan tujuan pendidikan secara umum ini, walaupun kelihatannya berbeda-beda tapi mereka sebenarnya mengemukakan suatu maksud yang sama, yaitu terwujudnya manusia yang baik menurut ajaran Islam. Pendapat-pendapat mereka, penulis kemukakan sebagai berikut : Muhaimin, dkk (2004:48) mengutip beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam tentang tujuan umum pendidikan Islam yaitu : - Muhammad Munir Mursyi; Pendidikan itu diarahkan pada manusia yang menyembah kepada Allah dan takut kepada-Nya. - Ali Asyraf; Tujuan akhir pendidikan Islam terletak pada perwujudan penyerahan diri atau ketundukan yang muthlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya.
51
- Abdul Fattah Jalal; Tujuan umum pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia yang beribadah atau Abid yaitu manusia yang memilki sifat-sifat yang diberikan Allah SWT kepada Ibadurrahman atau hamba Allah yang mendapat kemuliaan. Selain pendapat pendapat para ahli pendidikan seperti dikutip oleh Muhaimin dkk, diatas, masih ada lagi pendapat para ahli sebagai berikut : - Al-Ghazaly, seperti ditulis Fathiyah Hasan Sulaiaman (1986:ix), menyatakan bahwa tujuan pendidikan itu adalah meraih kesempurnaan manusia yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT serta kebahagiaan di dunia dan akhirat. - Muhammaad Qutb, seperti ditulis Saefullah (2005: 70), mnyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mewujudkan manusia yang bertakwa. - Ishak Ahmad Farhan (2002:26) menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mewujudkan individu mukmin yang takut kepada Allah SWT, bertakwa kepadanya, serta beribadah sebaik-baiknya agar ia memperoleh kemenangan di akhirat dan kebahagiaan di dunia. - Oemar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, (1979:444) menyatakan bahwa tujuan pendidikan
Islam
adalah
terwujudnya
pribadi
Muslim
yang
memiliki
perkembangan yang baik dari aspek spiritual, jasmani, emosi, intelektual dan sosial. - Nurwdjah Ahmad (2007:165), ketika menafsirkan surat Luqman ayat 12-19, menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menumbuh kembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak dalam ketaatan kepada Allah SWT.
52
- Tujuan umum pendidikan Islam adalah mewujudkan manusia Muslim yang sempurna, atau manusia yang takwa, atau manusia yang beriman, atau manusia yang beribadah kepada Allah SWT. (Mahmud dan Tedi Priatna, 2005:116). b. Tujuan akhir. Orang yang bertakwa dalam bentuk insan kamil masih memerlukan pendidikan dalam rangka penyempurnaan, meskipun pendidikan oleh diri sendiri dan bukan dalam lembaga pendidikan formal. Tujuan pendidikan akhir itu adalah akhir dari proses pendidikan yang mewujudkan manusia muslim yang senantiasa bertakwa kepada Allah SWT sampai akhir hayatnya. (Zakiah Daradjat dkk, 2006:31). c. Tujuan sementara. Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu pendidikan formal. Pada tujuan sementara bentuk insan kamil dengan pola takwa sudah kelihatan meskipun dengan ukuran sederhana, sekurang-kurangnya beberapa ciri pokok sudah kelihatan dalam pribadi anak. Dengan kata lain bentuk insan kamil dengan pola takwa itu harus kelihatan dalam setiap tingkat pendidikan Islam. (Zakiah Daradjat dkk, 2006:31-32). d. Tujuan operasional. Tujuan operasianal adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Tujuan ini sering juga disebut tujuan instruksional, yang kemudian dikembangkan lagi menjadi tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus. Dalam tujuan instruksional ini anak lebih
53
dituntut untuk memiliki suatu kemampuan dan keterampilan tertentu. (Zakiah Daradjat dkk, 2006:33). Tujuan penjabaran yang berkali-kali ini pada dasarnya ialah agar rumusan ciri tujuan pendidikan tersebut menjadi khusus dan operasional. Karena pada dasarnya tujuan pendidikan itu hanya dapat dicapai apabila sudah dirumuskan kedalam tujuan yang khusus dan opersional. (A. Tafsir, 2002 : 20). Selain dari segi tahapan pencapaian, tujuan juga dapat diklasifikasikan dari segi dasar perumusan tujuan dan pendayagunaan ranah binaan, seperti yang dikemukakan oleh H.M Arifin (1996:127-126) sebagai berikut : 1. Tujuan Normatif Suatu tujuan yang harus dicapai berdasarkan kaidah-kaidah (normanorma)
yang
mampu
mengkristalisasikan
nilai-nilai
yang
hendak
diinternalisasikan kepada peserta didik, yang meliputi: a. Tujuan normatif yang memberikan persiapan dasar korektif b. Tujuan selektif yang memberikan kemampuan untuk membedakan yang benar dan salah c. Tujuan determinatif yang memberikan kemampuan untuk mengarahkan diri pada sasaran-sasaran yang sejalan dengan proses pendidikan d. Tujuan integratif yang memberikan kemampuan untuk memadukan fungsi psikis kearah tujuan akhir proses pendidikan e. Tujuan aplikatif yang memberikan kemampuan untuk menerapkan segala pengetahuan yang telah diperoleh ke dalam pengamalan
54
2. Tujuan fungsional Tujuan ini memiliki sasaran untuk memberikan kemampuan kepada anak didik agar dapat memfungsikan daya kognitif, afektif dan psikomotor dari hasil pendidikan yang diperoleh sesuai dengan yang telah ditetapkan, yang meliputi: a. Tujuan individual yang memberikan kemampuan kepada peserta didik dalam mengamalkan nilai-nilai yang telah diinternalisasikan, berupa moral, intelektual dan skill b. Tujuan sosial yang memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk mengamalkan nilai-nilai ke dalam kehidupan sosial, interpersonal dan interaksional dengan orang lain dalam masyarakat c. Tujuan moral yang memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan moral atas dorongan motivasi yang bersumber dari agama, dorongan sosial dan dorongan biologis d. Tujuan profesional yang memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk untuk mengamalkan keahliannya sesuai dengan profesinya
55
BAB III PENAFSIRAN PARA MUFASSIR TERHADAP SURAT AL-BAQARAH AYAT 1-5 TENTANG KARAKTERISTIK AL-MUTTAQIN
A. Orientasi Umum Penafsiran Al-Qur`an secara bahasa berarti “bacaan”. Secara istilah, Subhi Shalih, seperti dikutip Wawan Setiawan (2004:12) mengemukakan bahwa al-Qur`an adalah kalām Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tertulis dalam mushaf, diriwayatkan secara mutawatir dan membacanya merupakan Ibadah. Umat Islam meyakini bahwa al-Qur`an merupakan wahyu terakhir dari rangkaian wahyu yang diterima para Nabi terdahulu. Ia diterima Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada manusia sebagai sumber anutan, landasan konsep, pengarah, serta petunjuk, bagaimana manusia bertindak, supaya tidak terjerumus kepada kehancuran. (Wawan Setiawan, 2004 :19-20) Para ulama, khususnya yang menggeluti bidang tafsir, telah banyak memberikan komentar tentang kedudukan al-Qur`an dalam kehidupan manusia, akan tetapi semua komentar itu tidak melebihi sabda Nabi SAW, seperti dikutip ‘Ali al-Shābūni (1985 : 7-8), melalui hadist yang diriwayatkan oleh Imam alTirmidzī. Dalam hadist itu Nabi SAW bersabda, yang artinya: “Al-Qur`an adalah kitab Allah yang memuat berita tentang orangorang sebelum kalian, juga memuat khabar tentang orang-orang setelah kalian, dan berisi hukum bagi kalian. Al-Qur`an adalah pemisah yang tidak mengandung gurauan. Barang siapa yang meninggalkannya karena keangkuhan, maka Allah akan membinasakannya, dan barang siapa yang mencari petunjuk dari selainnya, maka Allah akan menyesatkannya. Al-Qur`an adalah tali
56
Allah yang sangat kuat, peringatan yang sangat bijaksana dan jalan yang lurus. Al-Qur`an tidak ditumpangi oleh hawa nafsu dan tidak juga tercampur dengan bahasa manusia, dan para ulama tidak akan pernah merasa kenyang untuk memahaminya. Keagungan al-Qur`an tidak akan pernah hilang walau banyak orang yang menentangnya, dan keajaibannya tidak akan pernah terhenti. Dialah al-Qur`an, yang Jin tiada henti untuk mendengarnya, sampai mereka mengatakan, “kami telah mendengar al-Qur`an yang menakjubkan, yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, lalu kami beriman kepadanya …..”. Barang siapa yang berkata-kata dengan al-Qur`an, maka ia telah benar, barang siapa yang mengamalkannya, maka ia akan diberi pahala, barang siapa yang memutuskan suatu perkara dengannya, maka ia telah berlaku adil, dan barang siapa yang mengajak kepadanya, maka ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. Deskripsi Nabi SAW tentang al-Qur`an di atas, menjadi landasan pemikiran bagi umat Islam untuk menjadikannya sebagai pedoman dalam kehidupannya. Profesi apapun yang dijalankan tidak boleh terlepas dari ramburambu al-Qur`an. Termasuk bagi seorang pendidik, dalam menjalani aktivitas kependidikannya, harus sesuai dengan norma-norma al-Qur`an. Menjadikan al-Qur`an sebagai pedoman atau rambu-rambu kehidupan, tentu tidak akan terlaksana apabila al-Qur`an hanya dibaca kata perkatanya, dan tidak memahami kandungan-kandungannya. Memang benar membaca al-Qur`an adalah ibadah akan tetapi untuk dapat mengambil manfaat al-Qur`an dan memfungsikannya dalam kehidupan, tentu harus difahami dengan baik berbagai kandungannya. Dalam hal ini Imam Ibn al-Taimiyah, seperti dikutip al-Shabuni (1985:10), mengatakan “barang siapa yang tidak
membaca al-Qur`an, maka
sungguh dia telah meninggalkan al-Qur`an, barang siapa yang membacanya tetapi tidak berusaha memahami maknanya, maka sungguh ia telah meninggalkan alQur`an, barang siapa yang membaca dan memahami maknanya tetapi tidak mengamalkannya maka diapun telah meninggalkan al-Qur`an”.
57
Upaya untuk memahami al-Qur`an lebih dikenal dengan istilah tafsīr. Secara bahasa, tafsīr berarti penjelasan, sedangkan secara istilah, al-Zarqani, seperti dikutip al-Shabuni (1985 :66) mengemukakannya sebagai “suatu ilmu yang membahas tentang al-Qur`an, dari segi dilalahnya, untuk mengungkap maksud-maksud Allah SWT, dalam batas kemampuan manusia”. Dengan demikian “menafsirkan” al-Qur`an berarti upaya untuk mengungkap maksud dari firman Allah SWT. Mengugkap maksud dari firman Allah SWT memerlukan suatu metodologi yang baik, jika tidak, maka maksud atau kandungan al-Qur`an tidak akan terungkap bahkan yang lebih membahayakan akan terjadi penyimpangan makna atau dapat menghasilkan sesuatu yang tidak diridloiNya. Oleh karena itu Imam Ibn al-Katsir (1997:10-12) mengemukakan langkah-langkah dalam menafsirkan al-Qur`an, sebagai berikut: Pertama, menafsirkan ayat al-Qur`an dengan ayat al-Qur`an yang lain, karena sesungguhnya pada suatu ayat yang mujmal terdapat perinciannya pada ayat yang lain. Kedua, menafsirkan al-Qur`an dengan al-Sunnah, karena ia merupakan penjelasan bagi al-Qur`an sebagaimana sabda Nabi SAW “sungguh aku diberi alQur`an dan juga diberi sesuatu yang serupa dengannya” yaitu al-Sunnah. Bahkan Imam al-Syafi`i mengatakan “setiap perkara yang diputuskan oleh Rasullullah SAW adalah apa yang beliau pahami dari al-Qur`an”. Ketiga, merujuk kepada pendapat para sahabat, karena mereka adalah orang-orang yang yang lebih tahu terhadap al-Qur`an. Hal ini disebabkan mereka
58
adalah orang-orang yang mengetahui berbagai qarīnah dan kejadian yang menjadi latar belakang ayat al-Qur`an. Selain itu mereka adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang sempurna, pengetahuan yang shahīh dan amal yang shālih, terutama kalangan ulamanya, seperti khalifah yang empat, Abdullah Ibn Mas‘ūd, dan ‘Abdullah Ibn al-‘Abbās. Keempat, dengan merujuk kepada perkataan para Tabi`in, dengan catatan, jika pendapat tersebut merupakan suatu Ijmā maka ia adalah hujjah, sebaliknya jika terdapat perbedaan pendapat, maka suatu pendapat tidak dapat dipakai untuk melemahkan pendapat yang lain. Kelima, merujuk kepada kaidah-kaidah bahasa al-Qur`an dan al-Sunnah, atau kaidah-kaidah bahasa Arab secara umumnya, atau perkataan para sahabat tentang hal tersebut. Selain pemahaman istilah tafsīr dalam bahasa Arab, perlu kiranya dipahami juga istilah “penafsiran al-Qur`an” dalam bahasa Indonesia. Memang istilah “penafsiran” merupakan serapan dari bahasa Arab, dari kata “tafsir”, akan tetapi setelah memakai imbuhan “Pe-an”, istilah tersebut termasuk istilah dalam bahasa Indonesia. Istilah “Penafsiran” memiliki dua arti; Pertama, sebagai suatu proses, artinya upaya yang dilakukan seseorang untuk menjelaskan makna alQur`an dengan menggunakan berbagai metodologi dan melibatkan berbagai disiplin ilmu yang dibutuhkan. Kedua, sebagai suatu hasil, artinya berbagai hasil karya para ulama tafsir yang berhasil dikumpulkan. Dan dalam bab ini, makna yang kedualah yang dipakai, artinya penulis hanya mengumpulkan berbagai karya atau pendapat para mufassir tentang surat al-Baqarah ayat 1-5.
59
B. Teks dan Terjemah al-Qur`an Surat al-Baqarah Ayat 1-5 Tentang Karakteristik al-Muttaqin Teks dan terjemah al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 1-5 ini, penulis kutip dari mushaf al-Qur`an yang diterbitkan oleh Kerajaan Saudi Arabia (1408 H:8-9) sebagai berikut :
ا 4. Alif laam miim
ذ اب ر ه ى 5. Kitab (al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa. ن% "ة وﻡ رز&ه#ا ﻡن ون ا 6. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. ة ه &ن-.ْوا ﻡن اْﻥ*ل ا وﻡاْﻥ*ل ﻡ &( و 4. Dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. ن3 % ه ا2ْ وا/ ه ى ﻡ ر0 1 2اْو 5. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
60
C. Pendapat Para Mufassir Terhadap al-Qur`an Surat al-Baqarah ayat 1-5 Tentang Karakteristik al-Muttaqin 1. Ayat kesatu.
ا a. Imām Ibn al-Katsīr Imām Ibn al-Katsīr (1997:49-50) mengatakan bahwa kumpulan huruphurup yang terdapat di berbagai awal surat, dengan tidak diulang-ulang, semuanya ada empat belas, yaitu : Alif, Lam, Mim, Sha, Ra, Kaf, Ha, Ya, Ain, Tha, Sin, Ha, Qaf, dan Nun. Jumlah hurup-hurup tersebut adalah setengah dari seluruh bilangan huruf (dalam bahasa Arab), serta merupakan hurup-hurup yang paling mulya. Sebahagian ulama mengatakan bahwa hurup-hurup ini tidak diturunkan Allah SWT dengan sia-sia dan tidak tanpa tujuan. Adapun orang bodoh yang mengatakan bahwa dalam al-Qur`an terdapat sesuatu yang hanya bernilai ibadah tetapi tidak memiliki makna, maka hal itu merupakan suatu yang sangat salah. Dalam hurup-hurup tersebut pasti terdapat suatu makna. Jika ada riwayat yang shahih tentang makna hurup-hurup tersebut kita harus menerimanya, akan tetapi jika tidak, maka kita harus tawaquf dengan mengatakan “kami beriman dengannya, semuanya berasal dari Tuhan kami”. Para ulama tafsir berbeda pendapat tentang makna hurup-hurup tersebut, maka jika ada seorang yang berpendapat tentang maknanya disertai dalilnya, maka harus diikuti, tetapi jika tidak maka harus tawaquf sampai jelas maknanya. Selanjutnya beliau menyebutkan hikmah dibalik hurup-hurup tersebut, yaitu sebagai penjelas mengenai mukzijat serta keagungan al-Qur`an, hal ini dapat
61
diketahui dengan penelaahan yang mendalam terhadap dua puluh sembilan surat yang diawali dengan hurup-hurup tersebut. b. Muhammad Rāsyid Ridlā’. Syaikh Muhammad Rāsyid Ridlā’ (tt:122-123) ketika menafsirkan ayat ini, beliau mengeluarkan enam pernyataan. Pertama, hurup-hurup seperti ini dibaca secara terpisah, sesuai dengan nama hurrufnya dan bukan bunyinya, serta akhirnya dibaca sukun karena ia tidak termasuk susunan kata yang mengharuskan adanya perubahan harakat. Kedua, tidak adanya I`rāb (perubahan harakat) semakin menegaskan tentang adanya hikmah dalam hurup-hurup tersebut yang terdapat pada awal surat-surat tertentu, yaitu sebagai penarik perhatian (agar si pendengar memperhatikan) tentang apa yang akan dikemukakan berikutnya, berupa sifat-sifat al-Qur`an dan mukjizatnya. Sebagaimana diketahui bahwa ayatayat makkiyah dikemukakan kepada orang-orang musyrik agar mereka mau masuk Islam, demikian juga dibacakan kepada Ahli Kitāb, selain agar mereka masuk Islam, juga menjadi hujjah atas mereka. Ketiga para ulama dibidang bahasa telah cukup memberikan penjelasan bahwa hikmah hurup-hurup ini sebagai isyarat akan kemukjizatan al-Qur`an. Keempat, pendapat yang paling lemah adalah yang menyatakan, dengan memakai metode hisāb al-Jumāl, bahwa huruphurup tersebut mengisyaratkan tentang berbagai bilangan (ramalan) masa-masa umat Islam atau yang menyerupainya. Kelima, sama lemahnya dengan pendapat keempat, adalah apa yang dikemukakan oleh sebagian orang Syi‘ah yang membuang pengulangan hurup-hurup tersebut serta mereka-reka sisa jumlah hurup-hurup tersebut. Hal itu dilakukan dalam rangka memuji-muji al-Murtadlā
62
(‘Ali Ibn Abī Thālib r.a.) atau mengutamakan dan memperkuat kedudukannya sebagai khalifah. Selain itu merekapun memperbandingkan sejumlah huruf dengan jumlah huruf yang sama, sehingga mucul pemahaman bahwa terdapat kekurangan huruf dalam jumlah hurup-hurup tersebut. Keenam, akan selalu ada diantara manusia, bahkan para ahli sejarah dan bahasa, yang memiliki keyakinan bahwa dalam hurup-hurup ini terdapat suatu rumus yang dapat menyingkap hakikat agama dan sejarah yang akan terbukti dimasa yang akan datang. c. ‘Abdul Muni‘m Ahmad Tu‘ailab. Dalam kitab tafsirnya “Fath al-Rahmān fī al-Tafsīr al-Qur`ān”, ‘Abdul Mun‘im Ahmad Tu'ailab (1995:31) menguraikan ayat pertama surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Ada beberapa kemungkinan pemahaman tentang alīf, lām, mīm ini. Pertama, alīf, lām, mīm ini, merupakan pembuka berbagai surat. Kedua, termasuk ayat-ayat mutasyābih yang tidak ada seorangpun mengetahui maknanya selain Allah SWT. Ketiga, termasuk ayat muhkam, yang memungkinkan kita dapat menafsirkannya. Jika kemungkinan ketiga yang diambil, maka alīf, lām, mīm ini dapat difahami sebagai nama bagi surat ini (al-Baqarah) atau sebagai penjelasan tentang kemukjizatan al-Qur`an. Hal ini disebabkan al-Qur`an itu tersusun dari berbagai huruf sebagaimana perkataan mereka (orang Arab), akan tetapi mereka tidak dapat membuat sesuatu yang sama dengan al-Qur`an. Berdasarkan pemikiran ini maka dapat diketahui bahwa al-Quran bukanlah ucapan manusia, melainkan firman
63
Allah Yang Maha Gagah dan Maha Terpuji, Yang Maha Bijaksana dan Maha Mulia. d. Sa`id Hawwā. Dalam kitab tafsirnya “al-Asās Fī al-Tafsīr”, Sa‘id Hawwā (1993:67) menyatakan tentang ayat pertama surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Allah SWT mengingatkan melalui alīf, lām, mīm bahwa al-Qur`an adalah firmanNya yang menantang untuk mendatangkan perkara yang sebanding dengannya. e. Sayyid Qutb. Dalam kitab tafsirnya “Fī dzilāl al-Qur`ān”, Sayyid Qutb (1992:61) menyatakan tentang ayat pertama surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Surat ini dimulai dengan potongan huruf alīf, lām, mīm kemudian diikuti dengan pembicaraan tentang kitab Allah SWT. Hurup-hurup ini merupakan isyarat untuk mengingatkan bahwa al-Qur`an ini tersusun dari hurup-hurup semacam ini, yang sudah dikenal dikalangan orang-orang Arab yang dituruni firman ini. Akan tetapi mereka tidak dapat menyusun hurup-hurup ini menjadi seperti al-Qur`an. Sebuah kitab yang berulang kali menantang mereka untuk membuat yang sepertinya, atau sepuluh surat yang sepertinya, atau satu surat saja yang sepertinya, namun mereka tidak mampu menjawab tantangan ini. Manusia dapat membuat perkataan dan puisi, sedangkan Allah SWT, dari hurup-hurup ini, dapat membuat al-Qur`an, kitab yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil. Perbedaan antara yang diciptakan manusia dengan yang diciptakan Allah SWT adalah seperti perbedaan antara tubuh yang kasar dan mati dengan ruh
64
yang terus berdenyut dan bergerak. Dan itulah gambaran perbedaan antara kehidupan dengan hakikat kehidupan. f. Imam al-Marāghī Dalam kitab tafsirnya “Tafsīr al-Marāghī”, Syaikh Ahmad Mushtafa alMarāghī (1992:56-57) menyatakan tentang ayat pertama surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pada awal surat al-Baqarah ini disebutkan alīf, lām, mīm, yang berguna untuk menarik perhatian pendengar agar memperhatikan bahasan yang akan dikemukakan oleh Allah SWT mengenai kedudukan al-Qur`an, isyarat mengenai kemukjizatannya dan al-Qur`an sebagai hujjah atas ahli kitāb serta bahasan lain yang akan dikemukakan dalam surat ini. g. Muhammad Quraisy Syihab. Dalam kitab tafsirnya, “Tafsīr al-Mishbāh”, Muhammad Quraisy Syihab (2007:85-87) mengemukakan tentang ayat pertama surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Sejak dahulu para ulama berbeda pendapat tentang makna alīf, lām, mīm. Mayoritas ulama pada abad pertama sampai abad ketiga mengungkapkan “hanya Allah yang lebih mengetahui”. Namun setelah masa itu banyak ulama yang berusaha untuk menjelaskannya. Ada yang memahaminya sebagai nama surat, sebagian lain memahaminya sebagai penarik perhatian agar memperhatikan apa yang akan dikemukakan pada ayat berikutnya. Adapula yang memahaminya sebagai tantangan kepada pihak yang meragukan al-Qur`an. Tampaknya jawaban
65
“hanya Allah yang lebih mengetahui” merupakan jawaban yang masih relevan hingga kini, kendati tidak memuaskan nalar mansuia. Selain perbedaan, ada beberapa hal yang disepakati bersama, yang berkaitan dengan hurup-hurup tersebut, yaitu: Pertama, terdapat empat belas huruf yang dipilih untuk mengawali dua puluh sembilan surat, atau seperdua dari jumlah hurup-hurup hijaiyyah. Hurup-hurup tersebut yaitu: Alif, Ha, Ra, Sin, Sha, Tha, `Ain, Qaf, Kaf, Lam, Mim, Nun, Ha, dan Ya. Kedua, Alif, lam dan Mim merupakan wakil dari semua huruf, yang keluar dari ketiga makhraj al-huruf. Alif, keluar dari kerongkongan, Lam keluar dari lidah dan Mim keluar dari bibir. Ketiga, dengan dibaca alīf, lām, mīm, dapat dibuktikan bahwa al-Quran tidak bisa dibaca kecuali
dengan pengajaran, karena rangkaian huruf yang sama yang
terdapat diawal surat al-Fīl dibacanya “Alam”, bukan alīf, lām, mīm. Tentu saja perbedaan pembacaan seperti itu diketahui bukan melalui tulisan, tetapi melalui pendengaran atau pengajaran. 2. Ayat kedua. ذ اب ر ه ى a. Imam Ibn al-Katsīr. Dalam kitab tafsirnya “Tafsīr al-Qur`ān al-`Adzīm”, Imam Ibn al-Katsīr, (1997:51-53) menguraikan ayat kedua surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, ذ اب. Artinya itulah al-kitab. Menurut Ibn al-A'bbās, dzālika pada ayat ini berarti hādzā. Memang orang Arab terkadang mempergunakan kata dzālika dengan makna hādzā, demikian juga sebaliknya. Sedangkan al-Kitāb pada ayat ini adalah al-Qur`an.
66
Kedua, ر. Artinya, tidak ada keraguan padanya. Berdasarkan riwayat yang bersumber dari Ibn al-A‘bbās, Ibn al-Mas‘ūd, dan sahabat-sahabat Rasulullah SAW lainnya, bahwa yang dimaksud al-raib pada ayat ini adalah alsyak
(keraguan). Ibn Abī Hātim mengatakan “saya tidak mengetahui ada
perbedaan pendapat tentang hal ini”. Makna dari kalimat ini adalah tidak ada keraguan bahwa al-Qurān ini diturunkan dari Allah SWT, sebagaimana surat alSajdah ayat 1-2. Sebagian ulama mengatakan maknanya adalah larangan, sehingga menjadi janganlah kalian ragu terhadap al-Qur`ān. Ketiga, ه ى. Artinya petunjuk bagi orang-orang bertaqwa. Hidayah pada ayat ini dihususkan bagi orang bertakwa. Dalam al-Qur`ān banyak terdapat ayat yang menunjukan bahwa hanya orang berimanlah yang dapat memanfaatkan al-Qur`ān, meskipun al-Qurān merupakan hidayah, akan tetapi hanya orang baikbaiklah yang dapat menggapai hidayah al-Qur`ān tersebut. Hidayah pada ayat ini berarti cahaya. Sehingga maknanya adalah cahaya bagi orang-orang bertakwa. Demikian pendapat Ibn al-A‘bbās, Ibn Mas‘ūd dan sahabat-sahabat Rasulullah SAW lainnya. Terkadang hidayah memiliki arti keimanan yang tertanam dalam hati, dimana tidak ada yang dapat mewujudkan keimanan tersebut kecuali Allah SWT. Dan terkadang juga hidayah diartikan dengan penjelasan tentang kebenaran serta bimbingan untuk mencapainya. Sedangkan asal makna kata taqwā adalah kehati-hatian. Yaitu kehati-hatian terkena perkara yang tidak disukai. Selanjutnya Ibn al-A‘bbās mengatakan bahwa orang bertakwa adalah orang yang menjauhi kemusyrikan serta melaksanakan ketaatan. Di lain tempat beliau mengatakan orang bertaqwa adalah orang yang menghindari adzab Allah
67
SWT karna meninggalkan petunjuk yang telah mereka ketahui, seraya mengharapkan rahmatNya dengan cara membenarkan apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Sedangkan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud orangorang bertakwa adalah orang-orang yang disifati dengan ayat-ayat setelahnya. b. Muhammad Rasyid Ridla. Dalam kitab tafsirnya “al-Qur`ān al-Hakīm (al-Manār)”, Muhammad Rasyid Ridla (tt :123-126) menafsirkan ayat kedua ini, sebagai berikut : Pertama, ذ اب. Artinya itulah al-kitab (al-Qur`ān). Al-kitāb memiliki arti al-maktūb yaitu nama bagi setiap sesuatu yang ditulis. Dalam hal ini kitab berarti nomor dan ukiran yang memiliki makna. Kata isyārat (dzālika) mengandung arti petunjuk yang pasti terhadap suatu jenis atau suatu bentuk tertentu. Akan tetapi al-kitāb dalam ayat ini tidak termasuk salah satu macam dari kitab-kitab yang ada, melainkan suatu kitab yang
telah dikenal, dan telah
dijanjikan, dan berbagai sifat lainnya, untuk diberikan kepada Muhammad SAW. Kitab yang dijanjikan tersebut merupakan bukti kebenaran janji Allah SWT, yang akan menguatkan beliau dengan sebuah kitab yang sempurna, yang dapat memberikan apa yang dicari oleh orang yang mencari kebenaran, petunjuk serta bimbingan, dalam setiap masa kehidupan dan berbagai generasi. Maka Allah SWT mengisyaratkan dengan dzālika kepada kitab tersebut. Walaupun ayat (alQur`an) yang turun baru sebagian, penggunaan isyarat terhadapnya tidak perlu dipermasalahkan karena sebahagian besar ayat al-Qur`an sudah turun, sebelum awal surat al-Baqarah ini, selain itu Nabi SAW diperintah untuk menuliskan alQur`an, yang kemudian selain ditulis, juga dihafal. Oleh sebab itu penggunaan
68
isyarat terhadap sebagian besar ayat al-Qur`an sama halnya dengan isyarat utuk keseluruhan ayat al-Qur`an, bahkan cukup sah apabila dzālika digunakan sebagai isyarat kepada surat al-Baqarah itu sendiri, karena sifat al-Qur`an “sebagai petunjuk bagi orang bertakwa” sah pula dijadikan objek isyarat oleh kata dzālika. Akan tetapi pemahaman pertama yang lebih relevan. Selain itu penggunaan isyarat untuk seluruh ayat al-Quran merupakan isyarat bahwa Allah SWT akan menepati janjiNya kepada Nabi SAW untuk menyempurnakan turunnya alQur`an. Diantara hikmah menggunakan kata al-kitāb sebagai objek isyarat adalah Nabi SAW diperintah untuk hanya menuliskan al-Qur`an. Selain itu isyarat untuk sesuatu yang jauh, sebagaimana dipahami dari huruf “lam” memiliki arti kesempurnaan dalam martabatnya yang sangat tinggi, serta tidak tertandingi oleh goresan tinta para penyair dan ucapan para orator. Adanya istilah “jauh” dan “dekat” pada al-Qur`an ini hanya dinisbatkan kepada makhluk, karena tidak mungkin mengatakan “perkara ini jauh atau dekat dari Allah SWT” secara lahiriah, karena segala sesuatu adalah sama bagi Allah SWT. Istilah “jauh atau dekat” hanyalah arti maknawi. Kedua, ر. Artinya tidak ada keraguan padanya. Al-raib berarti alsyak (keraguan) dan al-dzan (perasangka buruk). Dengan demikian makna kalimat ini adalah itulah kitab yang tidak memiliki kecacatan, maka tidak pantas ada keraguan dan perasangka buruk tentangnya, baik dari segi sumbernya yaitu dari Allah SWT, maupun dari segi kandungannya sebagai petunjuk dan bimbingan. Pemahaman terhadap kalimat lā raiba fīh, dapat pula dikatakan bahwa pada kekuatan ayat-ayat serta kejelasan nas-nasnya, bagi orang yang memiliki akal
69
yang lurus, dan tanpa mengada-ada, tidak akan meragukan bahwa al-Qur`an adalah hidayah dari langit yang dilimpahkan untuk makhluk, melalui lisan seorang yang ummi (tidak pandai baca tulis) serta tidak pernah belajar ilmu bahasa, tidak pernah pula menyusun ungkapan yang menyerupai al-Qur`an, baik kepasihan maupun gaya bahasanya, sampai tibanya masa kenabian. Demikianlah al-Qur`an, dari susunannya, gaya bahasa dan kepasihan, kandungan maknanya, ilmu dan pengaruh hidayahnya, tidak mungkin didapati suatu keraguan didalamnya, tidak mungkin ada perasangka buruk yang mendekatinya. Baik keraguan yang disebabkan oleh kebodohan atau kebutaan hati. Ketiga, ه ى. Artinya petunjuk bagi orang yang bertakwa. Hidayah pada ayat ni mengandung arti petunjuk kepada jalan yang lurus disertai pertolongan yang khusus untuk melaksanakannya, karena al-Qur`an menjadi hidayah bagi orang bertakwa, yang disertai perbuatan. Hal ini berbeda dengan kedudukan al-Qur`an sebagai hidayah bagi seluruh manusia yang tidak memandang perilaku mereka; apakah mereka mengambil petunjuknya atau tidak, apakah mereka istiqamah pada jalan al-Qur`an atau tidak. Kata muttaqin berasal dari kata ittiqā’, yang berarti menjauhi perkara yang membahayakan atau menolaknya. Jika kata ini dinisbatkan kepada Allah seperti ittaqullaha maka maknanya adalah menjauhi adzab Allah SWT. Penisbatan kata ittiqā’ kepada Allah merupakan sikap mengagungkan terhadap urusan azabNya. Apabila tidak diartikan menjauhi azab Allah, maka tidak mungkin seseorang akan dapat menjauhi dzat Allah SWT, tidak akan ada pengaruh dari kekuasaanNya, serta tidak akan ada perasaan tunduk secara fitrah terhadap kehendakNya.
70
Menjauhi adzab Allah SWT tersebut dapat dilakukan dengan menjauhi perkara yang dilarangNya, dan menuruti apa yang diperintahkanNya. Sikap ini adalah hasil dari rasa takut terhadap siksaan dan yang memberikan siksaan. Rasa takut juga merupakan permulaan dari siksaan, yang hakikatnya berasal dari sumber (yang memberi) siksaan. Dengan demikian orang bertakwa adalah orang yang menjaga diri dari adzab, yang mengharuskannya memiliki arahan atau bimbingan tentang perkara-perkara yang dapat mendatangkan adzab tersebut. Siksa Allah SWT tersebut ada dua macam; siksa dunia dan siksa akhirat. Penyebabnya ada dua yaitu menyalahi agama dan aturan Allah SWT serta menyalahi sunnatullāh pada ciptaanNya. Siksa akhirat dapat dijauhi dengan memiliki iman yang benar, tauhid yang bersih, amal shalih, dan menjauhi perkara yang dapat menggugurkannya, berupa syirik, kufur, maksiat, dan perbuatanperbuatan hina. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur`an dan sunnah Rasulullah SAW. Untuk membantu memahaminya, dapat mengikuti perjalanan hidup orang-orang saleh terdahulu seperti para sahabat, tabi`in, imam-imam pertama dari keluarga Rasul SAW, dan ulama-ulama Mesir. Adapun siksaan di dunia dapat dihindari dengan berpedoman pada pengetahuan terhadap sunnatullāh yang berlaku di alam ini, terutama ilmu kedokteran dan yang sejenisnya, dan hukum-hukum kemasyarakata. Upaya untuk menghindari kekalahan dalam peperangan adalah dengan menguasai strategi peperangan, mempersiapkan alat-alatnya, yang pada masa ini tumbuh dengan sangat mengagumkan, perlu juga kekuatan psikis yaitu persatuan umat, kesabaran, ketetapan hati, tawakkal kepada Allah serta mengharapkan pahala dariNya.
71
Selanjutnya beliau mengutip uraian Muhammad Abduh tentang makna orang bertaqwa, yaitu pertama, orang Arab jahiliah yang menjauhkan diri dari pergaulan masyarakat jahiliah. Mereka tidak mengetahui cara ibadah kepada Allah SWT selain menyandarkan diri dan mengagungkan rubūbiyyah Allah SWT, dan inilah yang disebut shalat dalam ungkapan mereka. Selaini itu merekapun suka melakukan kebaikan sesuai dengan apa yang dipahami oleh akal, ketika bergaul dengan sesama. Kedua, ahli kitab, sebagaimana terdapat dalm surat Ali Imran ayat 113 dan114 dan surat al-Maidah ayat 82-83. Dengan demikian orang bertakwa pada ayat ini adalah mereka yang selamat fitrahnya sehingga akal mereka menemukan semacam bimbingan. Dalam diri mereka ada kesiapan untuk menerima cahaya kebenaran, yang disertai rasa takut akan murka Allah dan disertai dengan usaha mencapai keridloanNya, sesuai dengan pengetahuan yang mereka capai, serta kesungguh-sungguhan mereka. c. Abdul Mun‘im Ahmad Tua‘ilab. Dalam kitab tafsirnya “Fath al-Rahmān fī al-Tafsīr al-Qur`ān”, Abdul Mun‘im Ahmad Tua‘ilab (1995:32-34) menguraikan ayat kedua surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, ذ اب. Artinya itulah al-kitab (al-Qur`an). Dengan mengutip Imam al-Qurthubī beliau menerangkan bahwa Kata dzālika adalah isim isyārah yang biasanya digunakan untuk menunjukan sesuatu yang jauh dan ghaib, akan tetapi terkadang juga digunakan untuk menunjukan kepada sesuatu yang dekat dan hadir. Al-kitāb secara harfiah berarti kumpulan tulisan. Pada ayat ini al-kitāb yang dimaksud adalah al-Qur`an, dengan mengutip al-Naisaburi yang mengatakan
72
bahwa al-kitāb menjadi salah satu diantara empat puluh nama al-Qur`an. Dengan demikian makna dzālikal kitābu pada ayat ini adalah inilah al-Qur`an, kitab Kami yang tinggi derajatnya melebihi semua tulisan, yang mengunpulkan semua macam kebaikan dan kebenaran. Itulah al-Qur`an yang mulia, bahkan sebenarbenarnya kitab. Kedua, ر. Artinya tidak mengandung keraguan padanya. Maknanya adalah bahwa al-Qur`an tidak ada keraguan padanya dan tidak pantas ada tuduhan yang salah, bahwa ia berasal dari Allah Maha Pencipta dan Maha Mulia, dan alQur`an adalah suatu kebenaran. Kalimat ini tidak ditujukan untuk menafikan adanya orang yang meragukan al-Qur`an, karena telah banyak orang yang meragukannya, akan tetapi ditujuksn bagi bentuk keraguan dan perasangka buruk terhadap al-Qur`an. Hal ini disebabkan petunjuk al-Qur`an yang sedemikian jelas sehingga tidak pantas bagi siapapun memiliki keraguan terhadap al-Qur`an. kalimat ini dipahami juga dengan khabar yang bermakna larangan, sehingga maknanya menjadi janganlah kalian ragu tentang al-Qur`an. Ketiga, ه ى. Artinya, petunjuk bagi orang-orang bertaqwa. Hidayah terkadang diartikan dengan penjelasan, petunjuk, peringatan dan ajakan. Hidayah dengan pengertian seperti ini adalah hidayah yang dapat diupayakan oleh para Rasul dan pengikut-pengikut mereka. Hidayah juga terkadang diartikan dengan penguat keimanan, kesesuaian hati dan penciptaan iman dalam hati. Hidayah seperti ini tidak ada seorangpun yang dapat mengupayakannya selain Allah SWT. Al-Mutaqin adalah orang yang melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya. Hakikat taqwa adalah al-khasyyah (rasa takut). Terkadang diartikan
73
dengan tauhid atau kalimat lā ilāha illallāh. Terkadang juga diartikan dengan keikhlasan. Menurut Ibn al-A‘bbās orang bertaqwa adalah orang mukmin yang menjauhi syirik dan melaksanakan ketaatan padaNya. Sementara Qatadah mengatakan yaitu orang yang disifati Allah pada yat-ayat setelahnya. Sedangkan Ibn al-Jarir memahami bahwa pengertian al-Muttaqin mencakup semua yang telah disebutkan. Al-Qur`an mampu menerangi dan menunjukan kepada kebenaran serta membingbing dan mengajak kepada kebaikan, akan tetapi orang yang memanfaatkan petunjuknya hanyalah orang yang takut kepada Allah SWT, dan mencari rahmat, pahala serta ridlaNya. d. Sa‘id Hawwā. Dalam kitab tafsirnya “al-Asās Fī al-Tafsīr”, Sa‘id Hawwā (1993:68) menyatakan tentang ayat kedua surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, ذ اب. Artinya itulah al-kitab (al-Qur`an). Kata dzālika megandung isyarat tentang martabat al-Qur`an yang begitu tinggi, melebihi semua kitab. Dengan demikian dzālika al-kitāb bermakna inilah kitab yang sangat sempurna. Penggunaan kata Dzalika menyiratkan arti bahwa al-Quran disifati dengan kesempurnaan yang paling tinggi. Dan dengan penggunaan isim isyārat ini semakin mempertegas segi tantangan al-Qur`an. Kedua, ر. Artinya tidak ada keraguan padanya. Maknanya adalah la syakka (tidak ada keraguan). Penafian ini tidak ditujukan kepada adanya manusia yang meragukan, melainkan kepada segala sesuatu yang berhubungan dengan bentuk keraguan dan perasangka buruk tentang al-Qur`an. Karena kejelasan petunjuk dan ketegasan penerangannya, sehingga tidak pantas bagi siapapun
74
untuk meragukan al-Qur`an. Akan tetapi bukan berarti tidak ada yang akan meragukan al-Qur`an. Ayat ini menafikan setiap bentuk keraguan yang berkaitan dengan al-Qur`an. Penafian ini mempertegas kesempurnaannya, karena tiada yang melebihi kesempurnaan kebenaran dan keyakinan, dan tiada yang melebihi kekurangan kebatilan dan keraguan. Ketiga, ه ى. Artinya sebagai petunjuk bagi orang-orang bertakwa. Allah SWT menghabarkan bahwa ia merupakan petunjuk bagi orang-orang bertakwa. Kedudukan al-Qur`an seperti ini merupakan penegasan bahwa alQur`an merupakan suatu keyakinan yang tidak dikelilingi oleh suatu keraguan, dan suatu kebenaran yang tidak didatangi oleh kebatilan dari arah depan maupun belakangnya. Al-Hudā adalah petunjuk yang dapat mengantarkan kepada apa yang diharapkan. Sedangkan al-Muttaqi (orang bertakwa) adalah orang yang menjaga dirinya dari perkara yang dapat mendatangkan siksaan, baik dengan cara melaksanakan
perintah
maupun
meninggalkan
laranganNya.
Ayat
ini
menghususkan hidayah bagi orang bertakwa, karena hanya merekalah yang dapat menjdikan kitabullah sebagai petunjuk. e. Sayyid Qutb. Dalam kitab tafsirnya “Fī dzilāl al-Qur`ān”, Sayyid Qutb (1992:61-62) menyatakan tentang ayat kedua surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, ذ اب ر. Artinya kitab al-Qur`an ini tidak ada keraguan padanya. Al-Qur`an ini tidak mengandung keraguan, karena didalamnya terdapat petunjuk kebenararan dan keyakinan, selain itu manusia tidak mampu membuat
75
yang sepertinya padahal hurup-hurupnya adalah bahasa Arab yang sama seperti yang digunakan oleh mereka. Kedua, ه ى. Artinya petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Ketaqwaan adalah sensitivitas dalam hati, kepekaan perasaan, responsif, takut, senantiasa berhati-hati dan menjaga diri dari duri-duri jalanan kehidupan yang penuh dengan duri kesenangan syahwat, ambisi, kehawatiran, harapan palsu terhadap orang yang memiliki kemampuan memenuhi harapan, ketakutan palsu kepada orang yang yang tidak dapat mendatangkan madarat atau manfaat dan duri-duri lainnya. Hakikat, tabiat, keberadaan, dan materi al-Qur`an adalah petunjuk bagi orang bertaqwa, yakni yang layak mendapatkan manfaat darinya. Orang yang ingin mendapatkan petunjuk al-Qur`an harus datang kepadanya dengan hati yang bersih sehat dan sejahtera disertai dengan hati yang takut, berhati-hati, khawatir berada dalam kesesatan. f. Imam al-Marāghī Dalam kitab tafsirnya “Tafsīr al-Marāghī”, Syaikh Ahmad Mushtafā alMarāghī (1992:57-60) menyatakan tentang ayat kedua surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, ذ اب. Artinya itulah al-Kitāb. Isyarat ini menunjukan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak diperintahkan menulis sesuatu selain al-Qur`an. AlKitāb itu sendiri berarti sesuatu yang ditulis seperti ukiran dan nomor-nomor yang menunjukan arti sesuatu. Pengertian yang masyhur tentang al-Kitāb disini adalah al-Kitāb yang sudah dikenal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pengukuhan atas risalah yang dibawa. Selain itu sebagai petunjuk bagi
76
orang yang mencari kebenaran, dan menunjukan kepada manusia hal-hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan didunia dan akhirat. Kedua, ر. Artinya tidak mengandung keraguan. Al-Raib berarti alSyak (keraguan),yaitu rasa khawatir dan kegelisahan dalam jiwa. Makna al-Kitāb tidak mengandung keraguan adalah bahwa al-Qur`an tidak diragukan, benar-benar berasal dari Allah SWT, hidayah dan kandungannya berasal dariNya, demikian juga dengan kata-kata dan pramasastranya. Tidak ada seorangpun yang dapat menyusun suatu kalimat yang fashāh dan balāghahnya yang mirip al-Kitāb ini. Ketiga, ه ى. Hudan disini berarti jalan yang lurus, bukan semata petunjuk tetapi disertai kekuatan untuk melaksanakan petunjuk tersebut. Hal ini disebabkan al-Muttaqin adalah orang yang mengambil manfaat dari nūr al-Qur`an dan memetik kandungannya. Adapun pengertian hudan jika dikaitkan dengan selain orang bertaqwa hanya mengandung arti petunjuk kepada jalan kebaikan. Memang ada sebagian orang yang mengetahui petunjuk al-Qur`an tetapi mereka tidak mau mengambilnya. Matahari tetaplah “matahari” meskipun manusia tidak melihat sinarnya, madu tetaplah “madu” meski manusia tidak mengecap manisnya, demikianlah al-Qur`an tetaplah al-Quran meski manusia tidak mengambil petunjuknya. Sedangkan kata “Muttaqin” berasal dari masdar “Ittiqā’” yang berarti “penghalang”. Orang yang melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya disebut muttaqin, karena ia telah melakukan perbuatan yang menghalanginya dari adzab Allah SWT. Kaum Muttaqin dalam ayat ini adalah orang-orang yang berjiwa luhur, peka terhadap hidayah Allah SWT, memiliki kemauan untuk menerima cahaya kebenaran, yang sesuai dengan
77
keridloan Allah SWT, yang sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan ijtihad mereka g. Muhammad Quraisy Syihab. Dalam kitab tafsirnya, “Tafsīr al-Mishbāh”, Muhammad Quraisy Syihab (2007:87-90) mengemukakan tentang ayat kedua surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, ذ اب. Artinya itulah al-Kitāb. Penggunaan isyarat jauh (dzālika) dalam ayat ini bertujuan memberi kesan bahwa al-Qur`an berada pada kedudukan yang sangat tinggi, dan berada jauh dari jangkauan makhluk, karena ia bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi. Sedangkan kata al-Kitab adalah alQur`an. Pembubuhan Al pada awal kata itu dipahami dengan arti kesempurnaan, sehingga tidak ada yang wajar dinamai al-Kitāb selain al-Qur`an. Kedua, ر, Artinya tidak ada keraguan padanya. Yaitu bukti rasional dan emosional yang berkaitan dengan sumber serta kandungannya sedemikian jelas sehingga tidak wajar bagi seseorang meragukan al-Qur`an. Kata Raib itu sendiri berarti syak dan perasangka buruk, bukan sekedar syak (keraguan), karena keraguan yang mendorong seseorang berfikir positif tentu tidak dilarang, yang dilarang itu berfikir negatif. Pemahaman seperti ini didapat apabila menghentikan bacaan pada kata Raib. Sebagian ulama memahami Raib sebagai kegelisahan jiwa, karena memang keraguan dapat menyebabkan kegelisahan jiwa. sebagian ulama lainnya memahami Raib sebagai keraguan yang mendekati kepada syak, sehingga keraguan yang mendekati atau belum sampai kepada tingkatan syak, yaitu 50 %, dinilai tidak wajar.
78
Ketiga, ه ى. Artinya petunjuk. Petunjuk disini bukan sekedar fungsi memberi petunjuk, tetapi ia adalah perwujudan dari petunjuk tersebut. Al-Qur`an adalah pewujudan dari hidayah ilahi. Pemahaman seperti ini didapat dengan memperhatikan bentuk kata serta penempatannya setelah dzālikal kitāb. Kata Hudan adalah kata jadian atau mashdar, yang tidak mengandung atau menentukan informasi waktu. Atas dasar ini maka dapat dipahami bahwa al-Qur`an telah memberi petunjuk kepada orang-orang dimasa lalu, al-Qur`an telah teruji dalam memberikan petunjuk, bukan sekedar teori. Dapat pula dipahami bahwa al-Qur`an sedang memberi petunjuk kepada orang-orang pada masa turunnya al-Qur`an. Dan dapat pula dipahami bahwa al-Qur`an akan memberi petunjuk kepada orangorang pada masa yang akan datang. Keempat, . Artinya bagi orang-orang bertaqwa. Taqwā artinya menghindar. Orang bertaqwa adalah orang yang menghindar. Ada tiga hal yang harus dihindari oleh seseorang jika ingin disebut al-Muttaqin. Pertama, menghindari kekufuran, dengan jalan beriman kepada Allah SWT. Kedua, menghindari laranganNya dengan jalan melaksanakan perintahNya. Ketiga, menghindari segala aktivitas yang menjauhkan diri dari Allah SWT. Inilah tingkat ketaqwaan yang paling tinggi. Taqwā bukan nama bagi suatu tingkatan ibadah, tetapi nama yang mencakup semua amal kebajikan. Siapa yang mengerjakan sebagiannya, maka ia telah menyandang ketaqwaan, meskipun setiap orang berbeda tingkat ketaqwaannya. 3. Ayat ketiga ن% "ة وﻡ رز&ه#ا ﻡن ون ا
79
a. Imam Ibn al-Katsīr. Dalam kitab tafsirnya “Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adzīm”, Imam Ibn al-Katsīr, (1997:53-55) menguraikan ayat ketiga surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, 66 ن66 ﻡ6ا. Artinya orang-orang yang beriman kepada perkara ghaib. Abdullāh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan yu`minūna pada ayat ini adalah al-tasshdīq (pembenaran). Ibn al-‘Abbās mengatakan yu`munūna adalah membenarkan. Al-Zuhri mengatakan bahwa imān adalah amal. Dan Rabi‘ Ibn Anās mengatakan yu`minūna adalah yakhsya`una (merasa takut). Selanjutnya Ibn al-Katsīr mengatakan “menurut saya terkadang kata imān digunakan secara mutlak untuk arti membenarkan, demikian juga terkadang kata al-Tashdīq digunakan utuk arti imān. Adapun jika kata iman itu disebut secara mandiri, maka pengertian yang biasa digunakan adalah keyakinan, ucapan dan perbuatan”. Sebagian ulama menafsirkan imān pada ayat ini dengan rasa takut. Padahal rasa takut itu merupakan hasil dari iman dan ilmu. Sedangkan al-ghaib pada ayat ini menurut Ibn al-‘Abbās, Abdullāh Ibn al-Mas‘ud, dan para sahabat lainnya, adalah segala sesuatu yang ghaib untuk manusia, seperti surga, neraka dan hal-hal ghaib lainnya yang disebutkan dalam al-Qur`an. ‘Atha Ibn Abī Ribāh mengatakan al-Ghaib adalah Allah SWT. Ismai‘l Ibn Abī Khālid mengatakan alghaib adalah keghaiban Islam. Zaid Ibn Aslam mengatakan al-ghaib adalah taqdir.
Selanjutnya Imam Ibn Al-Katsīr mengatakan “semua pendapat diatas
memiliki makna yang sama, karena semua yang tersebut itu termauk perkara ghaib yang wajib diimani”. Sebagian ulama mengatakan, orang bertaqwa adalah yang beriman sewaktu tidak ada orang lain, sebagaimana mereka beriman ketika
80
disaksikan orang lain. Jika penafsiran ini yang diambil maka kata bil-ghaib pada ayat ini berstatus sebagai hal, sehingga arti yu`minuna bil ghaib menjadi mereka beriman dalam keadaan tidak diketahui orang lain. Dan Abu al-`Aliyah mengatakan, mereka beriman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-KitabNya, para RasulNya, hari akhir, surga, neraka, hari pertemuan denganNya, kehidupan setelah kematian dan hari kebangkitan. Semuanya ini adalah ghaib. Kedua, "ة#ون ا. Artinya dan mereka yang mendirikan shalat. Ibn alAbbas mengatakan iqāmatus shalāt berarti menyempurnakan ruku‘, sujud, tilawah dan khusyu` serta tetap menghadap didalamnya. Qatadah mengatakan iqamatus shalat berarti menjaga waktu, wudlu, ruku` dan sujudnya. Sedangkan Muqātil Ibn Hayyān menambahkan membaca al-Qur`an, tasyahud dan membaca shalawat untuk Nabi SAW. Ini semua adalah makna iqāmatus shalāt. Ketiga, ن% وﻡ رز&ه. Artinya dan mereka menginfakan apa yang telah kami rizqikan kepada mereka. Ibn al-‘Abbās mengatakan bahwa infaq pada ayat ini adalah zakat dari harta mereka. Dilain tempat, beserta Ibn al-Mas‘ud dan sahabat-sahabat yang lain, mengatakan bahwa infaq pada ayat ini adalah nafkah yang diberikan seseorang untuk keluarganya. Ayat ini turun sebelum ayat perintah zakat. Menurut al-Dhahak mengeluarkan infak menjadi sebuah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT sesuai dengan kesanggupan masing-masing orang, sampai diturunkannya kewajiban zakat dalam tujuh ayat surat al-Barā`ah yang menāsikh kewajiban infak tersebut. Ibn al-Jarīr berpendapat bahwa ayat ini berlaku secara umum, untuk zakat dan infak. Selanjutnya Ibn al-Katsīr mengatakan “dalam al-Qur`an banayak terdapat ayat yang menggandengkan
81
antara shalat dan infak. Hal ini karena shalat merupakan hak Allah dan peribadatan untukNya, yang meliputi pengesaan, pujian, pengagungan, do`a, dan penyerahan diri kepadaNya. Sementara itu infak merupakan kebaikan untuk sesama makhluk, dengan memberikan suatu yang bermanfaat untuk mereka. Yang paling utama menerima infak adalah keluarga, kerabat, hamba sahaya, dan kemudian orang lain. Dengan demikian setiap infak yang wajib dan zakat termasuk yang dimaksud dalam ayat ini. b. Muhammad Rasyid Ridla. Dalam kitab tafsirnya “al-Qur`ān al-Hakīm (al-Manār)”, Muhammad Rasyid Ridlā’ (tt :126-131) menafsirkan ayat ketiga dari surat al-Baqarah ini, sebagai berikut : Pertama,
ا ﻡن. Artinya yaitu orang-orang yang beriman
kepada perkara ghaib. Iman adalah pembenaran dengan sangat pasti, yang disertai dengan penerimaan dan ketundukan jiwa. Ciri iman adalah berbuat sesuatu yang menjadi tuntutan iman itu. Tingkatan iman itu berbeda-beda, sesuai dengan tingkat keyakinan yang dimiliki oleh setiap mukmin. Sedangkan al-ghaib adalah perkara yang pengetahuan tentangnya tersembunyi, seperti dzat Allah, Malaikat, dan negeri akhirat. Iman kepada perkara yang ghaib berarti meyakini sesuatu yang metafisik. Selanjutnya beliau mengungkapkan uraian gurunya, Muhammad Abduh, sebagai berikut : Pemilik keyakinan ini, berada diatas jalan yang lurus. Dia tidak membutuhkan selain Allah SWT, dan hanya mengharapkan pertolonganNya untuk mencapai apa yang dia cita-citakan. Keyakinan orang yang menyatakan bahwa
82
ada sesuatu yang metafisik, dibenarkan oleh akal, walaupun tidak dapat dibuktikan secara empiris. Apabila anda mengajukan suatu keterangan kepada orang itu, tentang adanya Sang Pencipta langit dan bumi, Yang melebihi segala yang ada, Yang disifati dengan sifat yang diberikan olehNya sendiri (yang disampaikan) melalui lisan RasulNya, maka orang itu akan dengan mudah membenarkannya, dan baginya akan sangat ringan untuk memahami apa yang tampak dan yang tersembunyi. Demikian juga apabila seorang Rasul datang dengan memberikan informasi tentang gambaran hari akhir, atau alam yang disembunyikan Allah SWT, seperti alam Malaikat, maka orang itu tidak akan sulit untuk membenarkan informasi itu setelah tetapnya kenabian. Oleh karena itu Allah SWT menjadikan iman kepada perkara yang ghaib sebagai pendahuluan bagi sifat-sifat orang yang bertakwa, yaitu orang yang mendapati al-Qur`an sebagai hidayah bagi mereka. Sebaliknya orang yang tidak mengetahui keberadaan sesuatu selain perkara fisik, dan menyangka bahwa tidak ada sesuatu yang metafisik dengan berbagai hal didalamnya, maka jiwanya tidak akan suka untuk mengingat apa yang ada dibalik perkara yang disaksikannya, dan ketika anda mengemukakan berbagai argumentasi kepadanya, anda akan sulit mendapati jalan masuk kehatinya. Bagi orang seperti ini bagaimana mugkin al-Qur`an menjadi hidayah dan menyelamatkan dari kesesatan. Kedua, "ة#ون ا. Artinya dan orang-orang yang mendirikan shalat. Iqāmatus shalāt berarti melaksanakan ibadah (shalat) yang berdimensi ruh dan badan, dengan cara yang paling sempurna, sesuai kemampuan. Shalat memiliki bentuk dan ruh, bentuknya adalah ibadah badan sedangkan ruhnya adalah ibadah
83
kalbu. Shalat merupakan upaya untuk menampakan kebutuhan, kefakiran, kepada Yang disembah melalui ucapan, amal, atau keduanya. Inilah makna ungkapan “shalat adalah do`a”. Hal ini disebabkan, menampakan kebutuhan terhadap Yang Maha Agung nan Mulia, adalah upaya memenuhi kebutuhan dan meminta nikmat atau meminta dihalangi dari siksaan. Banayak orang mengatakan bahawa makna iqāmatus shalāt adalah menunaikan hak-hak shalat berupa menyempurnakan bersuci, melaksanakan rukun-rukun dan hal-hal yang sunat, akan tetapi shalat seeprti itu tidak melebihibentuk luarnya saja. Makna iqāmatus shalāt yang sebenarnya adalah mengahdapkan wajah kepada Allah, khusu denagan sebenarnya dan menampakan kebutuhan kepadaNya. Ketiga, ن% وﻡ رز&ه. Artinya dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang telah kami berikan kepada mereka. Secara bahasa, rizqi berarti bagian yang diberikan. Secara umum, istilah rizqi digunakan untuk perkara yang konkrit dan abstrak, seperti harta, anak, ilmu dan taqwa, dan secara khusus, dengan melihat qarīnah kontekstual maupun tekstual, mengandung arti urusan-urusan kehidupan. Ulama-ulama dari kalangan ahli sunnah mengartikan rizki dengan perkara yang bermanfaat baik halal maupun haram, sedangkan kalangan ulama muktazilah menghususkannya dengan yang halal. Sedangkan arti menginfakan berarti memindahkan atau mengeluarkan harta dari tangannya. Mayoritas ulama mengatakan bahwa infak disini meliputi kepada infak yang wajib, seperti nafkah untuk keluarga, anak dan kaum kerabat, serta shadaqah sunnat. Infak pada ayat ini tidak diartikan zakat karena ayat ini diturunkan sebelum turun ayat tentang zakat. Kalimat diatas mengandung arti bahwa infak yang disyariatkan hanya
84
sebagiannya, bukan seluruh harta yang dimiliki. Infak fi sabilillah merupakan ciri iman yang benar. Muhammad Abduh mengatakan bahwa mengeluarkan infak merupakan penopang keimanan yang paling kuat terhadap perkara ghaib. Banyak orang yang melaksanakan bentuk-bentuk ibadah badaniah seperti shalat dan shaum akan tetapi ketika mereka dihadapkan pada tuntutan untuk mengeluarkan infak karena Allah, mereka menahan harta mereka dan diri mereka menjadi pelit. Infak pada ayat ini bukanlah infak yang diberikan untuk keluarga dan anak, dan bukan pula infak yang apabila dikeluarkan akan memberikan titel dermawan, infak disini adalah infak yang lahir dari kesadaran bahwa Allah yang telah memberikannya rizqi serta memberinya kenikmatan dengannya, kesadaran bahwa orang fakir adalah sama sebagai hamba Allah seperti dirinya, atau infak yang lahir dari suatu perasaan bahwa kemaslahatan kaum muslimin tidak akan tercapai kecuali dengan mengeluarkan harta, karena memang Allah SWT telah mewajibkan mengeluarkan harta untuk kemasalahatan umat, selain sebagai infak yang paling utama. Apabila seseorang telah mendapti pada dirinya suatu panggilan untuk mengeluarkan harta dengan niat mencari keridloan Allah selain sebagai ungkapan rasa syukur, dan kasih sayang terhadap orang yang membutuhkan, maka sungguh orang tersebut telah mempersiapkan dirinya untuk mnenerima hidayah al-Qur`an, sehingga apabila dia diajak untuk berinfak, dia dengan segera memenuhi panggilannya kemudian berserah diri kepada Allah SWT. Maksud al-Qur`an sebagai petunjuk bagi kelompok yang disebut pada ayat ini adalah karena mereka merupakan orang yang mempersiapkan diri untuk
85
menerima hidayah, serta siap dibimbing oleh hidayah ini. Karena keimanan secara garis besar terhadap Allah dan kehidupan hari akhir setelah kehidupan dunia akan cukup memeberikan ganjaran terhadap orang yang mengimaninya sesuai denagan amal badaniah dan maliah mereka serta upaya mereka dalam menghindari perkara yang mengahalangi kebahagiaan dalam kehidupan ini. c. ‘Abdul Mun‘im Ahmad Tu‘ailab. Dalam kitab tafsirnya “Fath al-Rahmān fī al-Tafsīr al-Qur`ān”, ‘Abdul Mun‘im Ahmad Tu‘ailab (1995:34-36) menguraikan ayat ketiga surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, ا ﻡن. Artinya orang-orang yang beriman kepada perkara ghaib. Secara umum iman berarti pembenaran, demikian juga makna ini masih dipakai ketika kata iman disertai dengan amal shaleh. Sedangkan pengertian iman secara muthlak mengandung arti keyakinan, ucapan dan perbuatan. Iman secara syari` menurut mayoritas ulama adalah membenarkan terhadap apa yang dibawa oleh Nabi SAW dengan mudah, baik secara terperinci terhadap perkara yang beliau ajarkan secara terperinci, mupun secara mujmal untuk perkara yang beliau ajarkan secara mujmal. Perkara yang harus diimani tersebut diisyaratkan oleh ayat 177 dan penutup surat al-Baqarah (ayat 286); yaitu beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malikatNya, para RasulNya, kitabkitabNya, dan hari akhir. Serta dalam al-Sunnah; beriman terhadap taqdir, baik yang terasa manis maupun pahit Adapun mengenai pengertian al-ghaib dalam ayat ini, para ulama salaf mengemukakan pengertian yang bermacam-macam. Abu al-Aliyah mengemukakan dengan ungkapan “mereka (orang-orang bertaqwa)
86
beriman kapada Allah para MalikatNya, kitab-kitabNya, para RasulNya, surga, dan akan adanya hari pertemuan denganNya. Sedangkan
orang-orang yang
meragukan al-Qur`an maka mereka tidak akan menjadikan al-Qur`an sebagai petunjuk, bahkan mereka akan semakin tenggelam dalam kesesatan setelah mendengar al-Qur`an. Kedua, "ة#ون ا. Artinya dan mereka yang mendirikan shalat. Maknanya adalah mereka menunaikan segala hak-hak shalat. Kata shalat pada asalnya berarti permintaan, sedangkan menurut para ulama syari` adalah suatu ibadah yang memiliki beragam gerakan dan ucapan, yang dimulai denagn takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat pada ayat ini meliputi shalat yang wajib dan sunat, akan tetapi ada kemungkinan juga shalat pada ayat ini hanya shalat wajib, berhubung kata al-falāh (yang disebut pada ayat kelima) diungkapkan dalam sabda Nabi SAW kepada orang Arab gunung; “sungguh ia akan bahagia jika ia benar”, perkataan itu diungkapkan oleh beliau setelah sebelumnya orang itu mengatakan “sungguh aku tidak akan menambah atau menguranginya”, maksudnya adalah tentang shalat-shalat fardlu. Ketiga, ن% وﻡ رز&ه. Artinya dan mereka menginfakan apa yang kami rizkikan kepada mereka. Rizki secara bahasa berarti perkara yang bermanfaat, menurut ulama ahli sunnah adalah perkara yang bermanfaat, baik halal maupun haram. Sedangkan arti infaq adalah mengeluarkan. Infak pada ayat ini meliputi infak yang wajib seperti nafkah seseorang untuk diri dan tanggungannya, dan zakat. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa agama yang lurus dan tabiat yang sehat akan menuntut pencarian kebahagiaan dan mencapai tingkat
87
ketakwaan harus melalui petunjuk al-Qur`an, yang caranya adalah dengan beriman dan beribadah. Orang-orang yang melaksanakan shalat, yang shalatnya dapat mencegahnya berbuat keji dan munkar, akan dilapangkan dadanya oleh Allah SWT dan Dia akan menjadikan indah ucapan dan perbuatannya, Dia juga akan mengurus semua urusannya. Semuanya itu tidak akan dapat tercapai kecuali oleh orang yang benar-benar yakin dan suka beramal. Mereka adalah orang-orang yang berbahagia di akhirat, dan di dunia mereka tidak berputus asa ketika ditimpa kesusahan, merekapun tidak sulit untuk memberi, sebaliknya dengan karunia Allah SWT mereka menjadi orang dermawan. Dari rizki yang baik-baik dan halal mereka makan, minum, berhias dan memilikinya, sementara itu merekapun bersadaqah dan suka memberi. Sebahagian ulama ada yang memahami infak disini bukanlah zakat, karena ayat ini turun pada awal hijrah ke Madinah sedangkan ayat syari`at zakat turun pada tahun kedua hijriyyah. Diantara keluasan Islam adalah mengatur tentang infak serta memberi pahala untuknya, serta Nabi SAW diberi kabar gembira bahwa setiap orang yang berinfak, dengan tidak mubazir dan sombong, akan mendapat ganjaran. d. Sa‘id Hawwā. Dalam kitab tafsirnya “al-Asās Fī al-Tafsir”, Sa‘id Hawwā (1993:68) menyatakan tentang ayat ketiga surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, ا ﻡن. Artinya orang-orag yang beriman terhadap perkara ghaib. Imān adalah al-Tasdhdīq (pembenaran). Sedangkan al-ghaib adalah perkara yang disembunyikan dari mereka, yaitu perkara-perkara yang
88
diinformasikan oleh Nabi SAW, seperti peristwa dibangkitkannya manusia, penghisaban amal, dan masalah penciptaan. Kedua, "ة#ون ا. Artinya dan mereka yang mendirikan shalat. Yuqīmūnas shalāta bermakna melaksanakan shalat, baik secara lahiriah maupun maknawi. Dapat juga diartikan dengan melaksanakan segala ketentuannya, menyempurnakan ruku`, sujud, membaca al-Qur`an, khusyu, tetap menghadap selama dalam shalat, menjaga waktu-waktunya, menyempurnakan bersuci, membaca tasyahud dan shalawat. Shalat pada ayat ini meliputi shalat yang wajib dan sunnat. Keempat. ن% وﻡ رز&ه. Artinya dan mereka menginfakan apa yang kami rizkikan kepada mereka. Maknanya adalah dan dari apa yang telah Kami berikan, mereka mensidqahkannya. Infak dalam ayat ini meliputi infak yang wajib, zakat yang telah ditentukan dan beragam sodaqoh (yang sunnah). Selanjutnya beliau mengungkapkan bahwa ayat ini memberikan sifat kepada orang bertakwa dengan keimanan, shalat dan shadaqah. Keimanan merupakan pondasi setiap kebaikan dan hal-hal yang bermanfaat lainnya. Sedangkan shalat dan shadaqah merupakan wakil dari ibadah badaniah dan ibadah harta, dari kedua ibadah inilah keseluruhan ibadah mengikuti. Oleh karena itulah ayat ini tidak panjang lebar menyebutklan beragam bentuk ketaatan orang bertakwa, dan hanya menyebut perkara yang terpenting. e. Sayyid Qutb. Dalam kitab tafsirnya “Fī dzilāl al-Qur`ān”, Sayyid Qutb (1992:63-65) menyatakan tentang ayat ketiga surat al-Baqarah ini sebagai berikut :
89
Pertama, ا ﻡن. Artinya orang-orang yang beriman terhadap perkara ghaib. Sifat pertama orang bertaqwa adalah beriman kepada perkara yang ghaib.
Yaitu
orang-orang
yang
perasaannya
tidak
terhalangi
untuk
menghubungkan ruh mereka dengan kekuatan terbesar yang menjadi sumber dirinya dan menjadi sumber alam semesta. Sedangkan al-ghaib dalam ayat ini adalah Zat Ilahi yaitu Allah SWT. Keimanan terhadap al-ghaib ini merupakan palang pintu yang dilewati manusia, meninggalkan derajat binatang, yang hanya mengerti apa yang dicapai panca indra, menuju tingkat kemanusiaan yang lebih luas dan lebih besar dari batas-batas panca indra. Kedua, "ة#ون ا. Artinya dan mereka yang mendirikan shalat. Maknanya adalah mereka menghadapkan dan mengarahkan wajahnya hanya kepada Allah. Dengan melaksanakan shalat, meningkatlah derajat manusia, karena ia tidak menghambakan dirinya kepada sesama dan benda-benda, melainkan kepada Allah, pemilik kekuatan mutlak tak terbatas. Dengan shalat seorang hamba akan memiliki tujuan dalam hidupnya. Dengan shalat seorang hamba dapat memiliki kekuatan hati, karena ia yakin bahwa Allah selalu berhubungan dengannya setiap waktu, selain itu, dengan kekuatan hati dia dapat menjauhi segala perbuatan dosa dan melaksanakan ketaqwaan. Dengan shalat pula seorang hamba akan memiliki pemikiran, perasaan, dan perilaku rabbāniyyah yang selalu disertai bimbingan ke-Tuhanan. Ketiga, ن% وﻡ رز&ه. Artinya dan mereka menafkahkan sebagian rizki yang kami berikan kepada mereka. Orang bertaqwa mengerti bahwa harta yang ada ditangan mereka adalah rizki dari Allah SWT, bukan hasil ciptaannya.
90
Pengakuan semacam inilah yang melahirkan perasaan solidaritas sosial dan perasaan ingin berbagi dengan sesama manusia. Dengan mengeluarkan infaq, jiwa menjadi bersih, sifat-sifat bakhil akan terkikis. Dengan infaq, kehidupan ini akan menjadi lapangan untuk tolong menolong, bukan untuk berperang dan bertengkar, untuk memberikan rasa aman dan melindungi mereka yang tak berdaya. Dengan berinfaq pula manusia disadarkan akan sisi kemanusiaannya, bahwa ia hidup diantara hati, wajah dan jiwa, bukan diantara kuku, pencakar dan taring. Infaq dalam ayat ini mencakup zakat dan sedekah, dan segala sesuatu yang dinafkahkan untuk kebaikan dan kebajikan. f. Imam al-Marāghī. Dalam kitab tafsirnya “Tafsīr al-Marāghī”, Syaikh Ahmad Mushtafā alMarāghī (1992:61-65) menyatakan tentang ayat ketiga surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, ا ﻡن. Artinya yaitu orang-orang yang beriman terhadap perkara ghaib. Imān adalah pembenaran secara pasti yang dibarengi dengan ketaatan dan penyerahan jiwa. Tanda iman adalah melaksanakan ketentuan iman tersebut. Iman memiliki tingkat yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat keyakinan iman itu sendiri. Sedangkan al-Ghaib adalah semua yang tidak dapat dicapai oleh panca indra, seperti Zat Allah, para Malaikat, dan hari akhir, seperti dibangkitkannya manusia, perhitungan amal dan sebagainya. Iman terhadap perkara ghaib artinya meyakini akan adanya hal-hal yang diluar kemampuan indrawi yang didasarkan kepada perasaan atau dalil yang benar.
91
Kedua, "ة#ون ا. Artinya dan orang-orang yang mendirikan shalat. Shalat secara bahasa berarti do`a. memanjatkan do`a dengan ucapan atau perbuatan atau dengan keduanya menunjukan keadaan hamba yang membutuhkan Allah agar Dia memberikan kenikmatan dan menghindarkannya dari siksaan. Shalat sebagaimana yang digariskan Islam adalah ungkapan paling baik tentang keagungan Allah SWT disamping menunjukan betapa butuhnya kepada Allah SWT. Shalat harus dilaksanakan sesuai dengan petunjuk-petunjuk agama. Shalat harus dilakukan secara khusyu, karena tanpanya seperti jasad yang tak memiliki ruh, bahakan seseorang belum dikatakan shalat jika kosong dari kekhusyuan. Jadi pengertian mendirikan shalat adalah kekhusyuan dalam melaksanakan bagianbagiannya, hati tertuju hanya kepada Allah SWT seakan-akan dia melihatNya. Shalat memiliki peranan penting dalam menyucikan jiwa, selain itu shalat memiliki pengaruh lain yaitu mencegah perbuatan keji dan munkar (QS. 28:45). Nabi SAW mengatakan bahwa “shalat merupakan tiang agama dan zakat adalah langit-langit Islam”. Ketiga, ن% وﻡ رز&ه. Artinya dan mereka menginfakan apa yang kami berikan terhadap mereka. Al-Rizq secara bahasa adalah pemberian. Al-Rizq banyak dipakai untuk perkara yang bermanfaat baik bagi manusia maupun hewan. Kedudukannya baik halal maupun haram. Tetapi ada sebagian orang yang mengatakan bahwa status al-rizq hanya berasal dari perkara yang halal. Seangkan infāq artinya hampir sama dengan infāz (menghilangkan), akan tetapi dalam infāz penghilangan itu secara keseluruhan. Infaq pada ayat ini mencakup infak wajib dan sunnah untuk diberikan kepada istri dan sanak keluarga lainnya. Dari kata
92
wamimmā (dari/sebagian), meyiratkan arti bahwa harta yang diinfakan tersebut adalah sebagian bukan seluruhnya. Hal ini mengajarkan kepada manusia akan keseimbangan prinsip ekonomi dan imbauan menabung harta. Wal hasil, orang bertaqwa dan mempunyai kesiapan menerima petunjuk Allah SWT adalah orangorang yang cendrung menginfakan harta yang paling disukai, untuk mencari keridloan Allah SWT, rasa syukur atas nikmatNya, dan rasa belas kasih terhadap sesama. g. Muhammad Quraisy Syihab. Dalam kitab tafsirnya, “Tafsīr al-Mishbāh”, Muhammad Quraisy Syihab (2007:91-93) mengemukakan tentang ayat ketiga surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, ا ﻡن. Artinya, mereka yang beriman kepada yang ghaib. Beriman kepada yang ghaib merupakan sifat pertama bagi orang yang beriman. Al-Ghaib yang dimaksud dalam ayat ini adalah hal ghaib yang diinformasikan oleh al-Qur`an dan al-Sunnah. Jika sesuatu telah dapat dilihat, diraba, atau dietahui hakikatnya, maka ia bukan lagi ghaib. Sebaliknya jika sesuatu itu tidak dapat dilihat, diraba atau diketahui hakikatnya dan ia diinformasikan oleh al-Qur`an dan al-Sunnah maka itulah al-Ghaib yang menjadi objek iman. Puncak al-ghaib adalah percaya kepada keesaan Allah SWT dan berbagai informasi yang disampaikannya. Oleh karena itu ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa maksud al-Ghaib dalam ayat ini adalah Allah SWT. Kedua, "ة#ون ا. Artinya dan mereka yang melaksanakan shalat secara benar dan berkesinambungan. Ini merupakan sifat kedua bagi orang yang
93
bertaqwa. Para ulama berbeda pendapat tentang asal untuk kata yuqimuna. Namun banyaknya perbedaan tentang asal maknanya, namun belum ditemukan seorang ulama pun yang memahami kata tersebut dengan arti “berdiri” atau “mendirikan”. Ketiga, ن% وﻡ رز&ه. Ini merupakan sifat ketiga bagi orang yang bertaqwa. Menafkahkan berarti mengeluarkan apa yang dimiliki dengan tulus, setiap saat secara berkesinambungan, baik yang wajib maupun yang sunnah, untuk kepentingan peribadi, keluarga, atau siapapun yang butuh. Mengeluarkan harta itu hanya sebagiannya, sedangkan sebagiannya lagi ditabung untuk kebutuhan peribadi, keluarga dan masyarakat dimasa yang akan datang. Selain itu ayat ini mengisyaratkan bahwa orang bertaqwa harus bekerja keras, sehingga memperoleh hasil yang melebihi kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang serta dapat membantu orang lain. 4. Ayat keempat ة ه &ن-.ْوا ﻡن اْﻥ*ل ا وﻡاْﻥ*ل ﻡ &( و a. Imam Ibn al-Katsīr. Dalam kitab tafsirnya “Tafsīr al-Qur`ān al-`Adzīm”, Imam Ibn al-Katsīr, (1997:55-57) menguraikan ayat keempat surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, (& وا ﻡن اْﻥ*ل ا وﻡاْﻥ*ل ﻡ. Artinya dan orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelumu. Menurut Ibn al-‘Abbās maknanya adalah mereka membenarkan terhadap apa yang engkau (Muhammad) bawa dan membenarkan apa yang dibawa oleh para Rasul sebelummu, mereka tidak membedakan para
94
Rasul tersebut, dan mereka tidak menentang apa yang dibawa oleh para Rasul dari Rabb mereka. Kedua, ة ه &ن-.ْو. Artinya dan terhadap hari akhirat mereka meyakini. Hari akhirat pada ayat ini mencakup hari kebangkitan, qiyamat, surga, neraka, hisab, dan mizan. Dinamakan dengan ākhirat (terakhir) karena hari itu terjadi setelah kehidupan dunia. Selanjutnya beliau mengomentari berbagi pendapat tentag orang beriman yang disebut dua kali pada ayat ketiga dan keempat ini. Orang beriman tersebut adalah orang beriman secara umum, baik orang Arab, orang non-Arab, ahli kitab, manusia atau Jin. Selain itu sifat-sifat yang telah disebut tidak boleh dimiliki sebagian-sebagian tanpa yang lainnya. Tidak benar keimanan terhadap perkara ghaib, mendirikan shalat, mengeluarkan dan zakat kecuali dibarengi dengan iman kepada apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan para Rasul sebelumnya serta yakin akan adanya hari akhir. b. Muhammad Rāsyid Ridlā’. Dalam kitab tafsirnya “al-Qur`ān al-Hakīm (al-Manār)”, Muhammad Rāsyid Ridlā’ (tt :131-136) menafsirkan ayat keempat dari surat al-Baqarah ini, sebagai berikut : Pertama, وا ﻡن اْﻥ*ل ا. Artinya dan orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad). Keimanan terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad (al-Qur`an) adalah dengan mengimani secara terperinci terhadap apapun yang diturunkan Allah SWT yang terdapat dalam alQur`an. Orang yang beriman dan yakin seperti yang tersebut dalam ayat ini adalah
95
orang yang menghiasi amal dan akhlaknya dengan hidayah yang ia terima dari alQuran secara optimal. Kedua, (& وﻡاْﻥ*ل ﻡ. Artinya dan beriman kepada apa yang diturunkan sebelummu. Keimanan terhadap kitab-kitab sebelum al-Qur`an cukup dengan mengimaninya secara global. Adapun kata inzāl yang dipakai dalam ayat ini mengandung arti bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari sisi Allah Tuhan Pengurus alam semesta, Yanag memiliki derajat Yang Maha Luhur. Dia mewahyukan kepada hambanya suatu bimbingan ilahi, Pewahyuan bimbingan tersebut dinamakan dengan inzal (turun), karena ia berasal dari sisi Yang Maha Luhur. Keluhuran Rabb (Pemelihara) dari marbub (yang dipelihara), keluhuran Sang Pencipta dari yang diciptakan, yaitu manusia yang tidak akan mampu keluar dari status mereka sebagai hamba yang rendah, menjadi mulia dan terpilih. Ketiga, ة ه &ن-.ْو. Artinya dan mereka yakin kepada adanya ākhirat. Kata ākhirat banyak terdapat dalam al-Qur`an, yang maksudnya adalah kehidupan akhirat atau negeri akhirat, yang didalamnya ada perhitungan serta balasan terhadap amal-amal manusia. Sedangkan yaqīn secara bahasa, menurut Muhammad Abduh, adalah `itiqād yang pasti untuk perkara-perkara yang diluar panca indra atau perkara-perkara yang diketahui tanpa memerlukan pemikiran yang dalam. I`tiqad adalah suatu keyakinan yang berdasarkan dalil-dalil. Keyakinan (i`tiqād) ini dinamakan dengan yaqin apabila benar-benar telah mantap dan tidak ada keraguan. Keimanan yang sesuai dengan tuntutan syar`i, mengharuskan adanya keyakinan, yaitu membenarkan dengan penuh kepastian,
96
yang tidak tercampur oleh keraguan ataupun perasangka buruk. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa pada ayat ini orang bertakwa disifati sebagai orang yang beriman terhadap hari akhir, karena mereka beriman terhadap al-Qur`an. Ini berbeda dengan sifat yang diberikan kepada golongan mukmin yang disebut pada ayat
ketiga,
walaupun
mereka
beriman
terhadap
perkara
ghaib,
dan
menghadapkan wajahnya kepada Allah SWT dengan melaksanakan shalat dan infak, akan tetapi perilaku itu tidak menafikan adanya kebingungan tentang urusan akhirat. Dengan beriman terhadap al-Qur`an kebimbangan tersebut hilang. Demikianlah hidayah al-Qur`an yang dapat mengeluarkan manusia dari gelapnya kebimbanagn semacam itu. c. ‘Abdul Mun‘im ahmad Tu‘ailab. Dalam kitab tafsirnya “Fath al-Rahmān fī al-Tafsīr al-Qur`ān”, ‘Abdul Mun‘im Ahmad Tu‘ailab (1995:37-38) menguraikan ayat keempat surat alBaqarah ini sebagai berikut : Pertama, (& وا ﻡن اْﻥ*ل ا وﻡاْﻥ*ل ﻡ. Artinya dan orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad), dan kepada apa yang diturunkan sebelummu. Orang yang beriman kepada perkara ghaib, mendirikan shalat, menginfakan rizki yang diberikan Allah, akan dapat menemukan hidayah dan ketakwaan serta akan berbahagia dengan keduanya. Demikian juga orang yang membenarkan terhadap wahyu yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan kepada wahyu yang diturunkan kepada para Rasul sebelummu. Sungguh, Rabb kita Yang Maha Agung telah memerintahkan kepada kita untuk meyakini firmanNya (al-Qur`an) yang telah diberikan kepada
97
Muhammad, manusia pilihan serta penutup para NabiNya. Dan Dia juga memerintahkan agar meyakini firmanNya yang telah diberikan kepada para Rasul sebelumnya. Selain itu kitapun diperintah untuk mengingatkan dengan lemah lembut kepada orang Yahudi dan Nasrani, bahwa kita tidak menentang kebenaran yang datang kepada mereka. Agama Islam telah datang sebagai pembenar syari`at-syari`at Allah yang telah disyari`atkan kepada umat-umat terdahulu dan Dia telah menjadikan Muhammad, penutup para Nabi, sebagai penjaga petunjuk ini. Kedua, ة ه &ن-.ْو. Artinya dan mereka beriman kepada hari akhir. Maknanya adalah dan terhadap negeri akhirat, mereka mengetahui dengan pengetahuan yang
dalam, baik pengetahuan yang ada dalam kepala (logika)
maupun yanag ada dalam jiwa (intuisi). Kata ākhirat asalnya merupakan sifat bagi suatu nama masa kehidupan setelah kematian. Terkadang kata al-dār dirangkai denagan kata al-ākhirat (Dār al-ākhirat). Makna al-ākhirat terkadang juga menunjukan kebalikan makna al-ūla. Pada ayat ini, makna al-dār al-ākhirat adalah kebangkitan hari akhir. Sedangkan keyakinan adalah membenarkan suatu perkara, seperti diam atau kejelasannya. Imam Jauhari mengatakan keyakinan adalah mengetahui serta hilangnya keraguan. Sedangkan Imam al-Wahidi dan segolongan ulama lain berpendapat bahwa keyakinan adalah pengetahuan yang dihasilkan dari upaya penelitian, karenanya, sesuatu yang diketahui dengan sangat mudah tidak dapat dinamakan keyakinan, demikian juga dengan ilmu Allah. Imam al-Nasafi dan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa keyakinan adalah suatu pengetahuan yang tidak mungkin dibatalkan lagi. Sementara itu ulama
98
lainnya berpendapat bahwa keyakinan adalah mengetahui sesuatu, setelah orang yang memiliki pengetahuan itu mengalami keraguan, baik pengetahuan untuk perkara yang mudah maupun perkara yang memerlukan penelitian. Dan al-Raghib berpendapat bahwa keyakinan adalah sifat bagi ilmu, yang berada diatas makrifah, dirayah dan yang sejenisnya. Oleh karena itu dikatakan ilmu yakin, bukan makrifah yakin. Tegasnya keyakinan adalah tentramnya jiwa beserta tetapnya suatu keputusan. Adapun orang yang menentang pertemuan dengan Allah atau meragukan hari datangnya, maka hatinya telah buta. Mereka tidak akan menjadikan al-Qur`an sebagi penerang, walaupun yang membacakannya adalah Rasulullah SAW, sebaik-baiknya manusia. Sangatlah aneh apabila ada orang yang meragukan adanya Allah padahal dia melihat ciptaanya, sangat aneh apabila ada orang yang mengetahui kebangkitan pertama kemudian dia mengingkari kebangkitan kedua, sangat aneh apabila ada orang yang mengingkari hari dibangkitkan dari kubur sementara dia hidup dan mati setiap hari. Dan sangat aneh juga apabila ada orang yang beriman akan adanya surga beserta kenikmatannya, tetapi usahanya ditujukan hanya bagi kehidupan dunia yang menipu. Orang beriman dan bertakwa membenarkan akan adanya hari pembalasan, hari diputuskannya nasib setiap hamba setelah dibangkitkan jasad, membenarkan akan adanya hari dikumpulkannya manusia. Mereka tidak meragukan tentang kehidupan setelah kematian serta adanya hari dihadapkannya mereka kepada Rabb mereka. Merekapun tidak meragukan bahwa mereka akan menerima pahala atau siksa dan mereka tidak meningkari suatu perkarapun tentang tempat tinggal yang abadi yang telah diberitakan oleh Allah.
99
d. Sa‘id Hawwā. Dalam kitab tafsirnya “al-Asās Fī al-Tafsīr”, Sa‘id Hawwā (1993:68) menyatakan tentang ayat keempat surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, (& وا ﻡن اْﻥ*ل ا وﻡاْﻥ*ل ﻡ. Artinya dan orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan apa yang diturunkan sebelummu. Yaitu mereka beriman kepada al-Qur`an dan semua kitab yang diturunkan kepada Nabi sebelumnya. Kendati dari satu segi, keimanan terhadap kitab sebelum al-Qur`an termasuk masalah ghaib, tetapi dari segi lainnnya kitab ini memiliki bentuk yang terlihat. Kedua, ة ه &ن-.ْو. Artinya dan mereka yakin kepada hari akhirat. Kehidupan akhirat dalam ayat ini diungkapkan sebagai tambahan perkara ghaib yang harus diimani selain sifat keghaibannya yang berada di masa depan. Keyakinan adalah pengetahuan yang dalam, disertai hilangnya keraguan dan ketidak jelasan. e. Sayyid Qutb. Dalam kitab tafsirnya “Fī dzilāl al-Qur`ān”, Sayyid Qutb (1992:66) menyatakan tentang ayat keempat surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, (& وا ﻡن اْﻥ*ل ا وﻡاْﻥ*ل ﻡ. Artinya dan mereka yang beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang telah diturunkan sebelumu. Dengan beriman kepada al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya orang bertaqwa memiliki rasa kesatuan kemanusiaan, kesatuan agama, kesatuan para RasulNya dan keesaan Yang disembah. Dengan keimanan ini jiwa mereka menjadi bersih dari sifat panatisme tercela, fanatisme yang
100
mencela agama dan orang yang beriman kepada agama yang benar. Dengan keimanan inipula mereka merasa tentram karena mereka yakin bahwa Allah SWT memelihara dan memberikan perlindungan sepanjang masa pada setiap generasi, melalui pengutusan para RasulNya yang membawa agama yang sama. Kedua, ة ه &ن-.ْو. Artinya dan kepada hari akhirat mereka yakin. Akhirat adalah tempat kembali. Hari yang menghubungkan antara amal dan balasannya. Dengan beriman kepada hari akhirat akan menimbulkan perasaan bahwa hidup manusia tidak dicampakan, tidak dibiarkan hidup tanpa makna, tetapi ada keadilan mutlak yang dinantikan. Oleh sebab itu semangat untuk beramal sholeh akan muncul kembali seraya mengharap keadilan dan rahmat Allah setelah hidup di dunia berakhir. Inilah pembeda anatara orang beriman dan kafir, antara orang yang hidup dalam alam yang lapang membentang dan orang yang hidup dalam ruangan yang terbatas. f. Imām al-Marāghī. Dalam kitab tafsirnya “Tafsīr al-Marāghī”, Syaikh Ahmad Mushtafā alMarāghī (1992:65-67) menyatakan tentang ayat keempat surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, وا ﻡنArtinya dan orang-orang yang beriman. Dalam Riwayat Ibn al-Jarīr, Ibn al-‘Abbās mengatakan bahwa orang beriman dalam ayat ini adalah ahli kitāb yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Sedangkan orang beriman pada ayat sebelumnya adalah kalangan Arab Jahiliyah yang beriman kepada Allah dan RasulNya.
101
Kedua, اْﻥ*ل ا. Artinya, kepada apa yang diturunkan kepadamu. Maksudnya adalah wahyu berupa al-Qur`an dan dan sunnah Nabi SAW sebagai penjelasannya. Setiap muslim diwajibkan untuk mengetahui kedua hal itu secara terperinci. Sedangkan kata “inzāl” menyiratkan arti bahwa Allah SWT yang menurunkan al-Qur`an memiliki derajat keluhuran terhadap mahklukNya. Atau bisa pula dipahami bahwa malaikat Jibril turun kepada Nabi SAW agar ia menyampaikannya kepada semua manusia. Ketiga,
(& وﻡاْﻥ*ل ﻡArtinya mereka beriman kepada apa yang
diturunkan sebelummu. Maksudnya adalah kitab-kitab samāwiy. Mereka beriman kepada kitab-kitab tersebut secara garis besarnya, tidak secara terperinci. Keempat, ة ه &ن-.ْو. Artinya dan terhadap hari akhirat mereka meyakini. Hari akhir adalah hari pembalasan terhadap amal perbuatan. Iman terhadap hari akhir berarti mengimani semua kejadian yang ada melalui nas-nas mutawatir, seperti perhitungan amal, mizan, sirath, surga dan neraka. Sedangklan al-Yaqin berarti membenarkan secara pasti tanpa keraguan atau syak. Yakin terhadap Allah dan hari makhir dapat diketahui dari perbuatan lahiriyyah seseorang. Orang yang melakukan perbuatan dosa didalam hatinya tidak terdapat keimanan yang didasari keyakinan. Keimanan yang hakiki adalah keimanan yang dapat mengendalikan jiwa dan tingkah lakunya. g. Muhammad Quraisy Syihab. Dalam kitab tafsirnya, “Tafsīr al-Mishbāh”, Muhammad Quraisy Syihab (2007:93-94) mengemukakan tentang ayat keempat surat al-Baqarah ini sebagai berikut :
102
Pertama, (& وا ﻡن اْﻥ*ل ا وﻡاْﻥ*ل ﻡ. Orang bertaqwa, sepanjang saat, percaya menyangkut apa yang diturunkan kepadamu, Muhammad, yakni alQur`an dan para Nabi sebelummu, yakni, Taurat, zabūr dan Injīl. Kalimat “sepanjang hayat” dipahami dari penggunaan bentuk mudhāri` dalam kata “yu`minūna”, yakni bentuk kata yang menunjukan waktu sekarang dan masa yang akan datang. Kedua, ة ه &ن-.ْو, orang bertaqwa juga memepercayai terehadap kepastian adanya hari akhirat, seperti adanya perhitungan, surga dan neraka. Ayat ini mendahulukan objek (akhirat) daripada kata kerjanya (yūqinūna), yang mengisyaratkan tentang betapa kukuhnya keyakinan mereka terhadap hari akhirat, bahkan keyakinan tersebut telah mewarnai segala aktivitasnya. Visi yang mereka miliki adalah visi yang jauh kedepan tidak hanya terbatas “disini” dan “sekarang”. Kata “yuqinuna” sendiri mengandung pengertian sebagai pengetahuan yang mantap tentang sesuatu dibarengi dengan tersingkirnya apa yang mengeruhkan pengetahuan itu. Dengan kata lain sebelum tercapainya pengetahuan itu manusia disentuh oleh keraguan, namun ketika sampai kepada tingkat yakin, maka keraguan itupun sirna. Itulah sebabnya pengetahuan Allah Yang Maha Mengetahui tidak dinamakan tingkat yakin, karena pengetahuanNya itu sedemikian jelas dan tidak pernah, walau sesaat, disentuh oleh keraguan. 5. Ayat kelima ن3 % ه ا2ْ وا/ ه ى ﻡ ر0 1 2اْو
103
a. Imām Ibn al-Katsīr. Dalam kitab tafsirnya “Tafsīr al-Qur`ān al-`Adzīm”, Imām Ibn al-Katsīr, (1997:57) menguraikan ayat kelima surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, / ه ى ﻡ ر0 1 2اْو. Artinya mereka itu adalah orang yang berada dalam petunjuk Tuhan mereka. Maksudnya adalah orang-orang yang yang disifati oleh keimanan terhadap perkara ghaib, mendirikan shalat, menginfakan apa yang telah Allah rizkikan terhadap mereka, mengimani terhadap apa yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW dan para Rasul seblumnya, meyakini akan adanya negeri akhirat dengan mempersiapkan amal saleh serta menjauhi perkara-perkara yang diharamkan. Mereka yang disifati dengan semua itu ada pada cahaya, petunjuk dan pengarahan dari Allah SWT. Kedua, ن3 % ه ا2ْوا. Artinya dan mereka adalah orang yang berbahagia. Kebahagiaan disini adalah kebahagiaan di dunia dan akhirat. b. Muhammad Rāsyid Ridlā’. Dalam kitab tafsirnya “al-Qur`ān al-Hakīm (al-Manār)”, Muhammad Rāsyid Ridlā (tt :136-138) menafsirkan ayat kelima dari surat al-Baqarah ini, sebagai berikut : Pertama, / ه ى ﻡ ر0 1 2اْو. Artinya mereka itulah yang berada diatas petunjuk dari Tuhan mereka. Dengan mengutip perkataan Muhammad Abduh, beliau mengungkapkan bahwa isyarat ini ditujukan kepada golongan pertama orang beriman dari kalangan Arab Jahiliah (pada ayat ketiga), yaitu orang-orang yang menantikan kebenaran dan penjelasan dari Allah SWT, kemudian setelah datangnya apa yang mereka nantikan, mereka menerima dan melaksanakannya.
104
Allah SWT, telah menjadikan mereka dapat merasakan hidayah, karena mereka beriman kepada perkara ghaib, melaksanakan shalat (shalat sebagaimana istilah yang berlaku pada masa sebelum kenabian), dan mengeluarkan infak. Perkataan ala hudan mengandung arti keberadaan yang tetap. Orang-orang yang disebut pada ayat ketiga itu berada, dengan sangat mantap, diatas suatu pengetahuan (hidayah). Oleh karenanya, pengetahuan itu menjadi bekal bagi mereka utuk mengimani secara terperici terhadap al-Qur`an. Kedua, ن3 % ه ا2ْوا. Artinya dan mereka itu adalah orang yang mendapatkan kebahagiaan. Isyarat ini ditujukan kepada golongan mukmin kedua (pada ayat keempat), yaitu orang yang beriman terhadap apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Seperti halnya golongan mukmin pertama, golongan mukmin kedua ini berada dengan mantap diatas petunjuk dari Tuhannya, akan tetapi keberadaan mereka lebih sempurna, karena keimanan mereka terhadap alQur`an dan pengamalan mereka dengannya. Mereka adalah golongan orang yang berbahagia karena mereka beriman terhadap al-Qur`an dan kepada kitab-kitab samāwi sebelumnya. Adanya dlāmir “hum” pada isyarat yang kedua, yang tidak dituliskan pada isyarat yang pertama, menyiratkan arti bahwa orang yang diisyaratkan oleh ayat ini adalah dua kelompok orang yang berbeda, karena jika yang diisyaratkan itu sama, pasti dlamir “hum” akan disebut pada isyarat yang pertama. Orang yang beriman terhadap al-Qur`an adalah orang yang berada diatas petunjuk yang benar dan sempurna, hal ini menjadi kekhususan yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Akan tetapi inklusifitas al-Falāh (kebahagiaan) pada mereka telah mencukupi, daripada mendapatkan prioritas sebagai orang yang
105
berada diatas petunjuk. Kata al-falāh (kebahagiaan) menyiratkan pengertian adanya usaha untuk meraih apa yang dicita-citakan. Orang-orang itu tidak akan berbahagia kecuali setelah ia beriman terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad dan apa yang diturunkan sebelumnya, disertai melaksanakan perintah dan menajuhi larangaNya. Secara keseluruhan, keimanan terhadap al-Qur`an adalah keimanan kepada materi agama Islam secara terperinci. Apapun yang diketahui didalamnya secara mudah tanpa adanya yang menentang, maka tidak ada toleransi bagi seorangpun untuk tidak mengetahuinya. Iman terhadap al-Qur`an adalah iman yang sebenarnya, berserah diri kepada Allah dengan al-Qur`an adalah Islam yang sesungguhnya, mengingkari al-Qur`an adalah sama dengan keluar dari Islam. c. ‘Abdul Mun‘im Ahmad Tu‘ailab. Dalam kitab tafsirnya “Fath al-Rahmān fī al-Tafsīr al-Qur`ān”, Abdul Mun`im Ahmad Tu`ailab (1995:38-39) menguraikan ayat kelima surat al-Baqarah ini sebagai berikut : pertama, / ه ى ﻡ ر0 1 2 اْو. Artinya itulah orang yang berada diatas petunjuk Tuhan mereka. Maknanya adalah mereka yang disifati pada ayat-ayat terdahulu, akan berbahagia lantaran memegang teguh petunjuk. Orang-orang yang membenarkan dan berpegang teguh kepada wahyu, maka bagi mereka, Allah adalah walinya, yang akan memaslahatkan mereka serta menjadikan mereka mencintai keistiqamahan. Mereka berada diatas petunjuk Tuhan mereka, berada dalam keistiqamahan dan jalan yang lurus serta taufiq yang diberikan Allah kepada mereka.
106
Kedua, ن3 % ه ا2ْوا. Artinya dan mereka itu adalah orang-orang yang berbahagia. Maknanya adalah mereka adalah orang yang beruntung di dunia dan di akhirat. Ibn al-‘Abbās mengatakan mereka adalah orang yang mendapatkan apa yang mereka cari dan selamat dari apa yang mereka takutkan. Mereka adalah orang yang mendapatkan apa yang mereka cari di sisi Allah. Karena amal, iman kepada Allah kitab-kitabNya dan para RasulNya, Allah memberi mereka kebahagiaan berupa kekekalan dalam surga, dan selamat dari siksaan yang telah dijanjikan bagi musuh-musuhNya. d. Sa‘id Hawwā. Dalam kitab tafsirnya “al-Asās Fī al-Tafsīr”, Sa‘id Hawwā (1993:68) menyatakan tentang ayat kelima surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama,/ ه ى ﻡ ر0 1 2 اْو. Artinya mereka itu berada diatas petunjuk. Kata ala pada kalimat ini menunjukan arti bahwa mereka telah tetap, dan berpegang teguh kepada hidayah Rabb mereka, keadaan mereka dapat diumpamakan dengan
seorang yang berada diatas sesuatu yang kemudian
menungganginya. Kedua, ن3 % ه ا2ْوا. Artinya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Maknanya adalah mereka mendapatkan apa yang mereka cari, mereka adalah orang yang selamat dari apa yang mereka takutkan. Al-falāh adalah tercapainya apa yang diharapkan, dan orang al-muflih adalah orang yang berbahagaia karena telah mencapai apa yang diharapkan.
107
e. Sayyid Qutb. Dalam kitab tafsirnya “Fī dzilāl al-Qur`ān”, Sayyid Qutb (1992:67) menyatakan tentang ayat kelima surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pada ayat kelima ini beliau hanya menafsirkan kata 2ْ( اisim isayarah), yang menyiratkan arti bahwa petunjuk dan kebahagian yang mereka peroleh adalah dengan perilaku-perilaku mereka sebelumnya. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa jalan petunjuk dan kebahagiaan itu adalah jalan yang dibentangkan. f. Imam al-Maraghi. Dalam kitab tafsirnya “Tafsīr al-Marāghī”, Syaikh Ahmad Mushtafa alMaraghi (1992:68) menyatakan tentang ayat kelima surat al-Baqarah ini sebagai berikut : Pertama, 2اْو
pada ayat ini menunjukan kepada dua macam golongan
yakni; pertama golongan mukmin dari ahli kitāb dan kedua golongan mukmin yang bukan berasal dari ahli kitāb. Isyarat ini diungkapkan dua kali sebagai petunjuk bahwa mereka diberikan dua sifat utama. Yakni hudan dan al-Falāh. Kedua, / ه ى ﻡ ر0 1. Artinya berada diatas petunjuk. Hal ini memberi pengertian akan tetapnya petunjuk yang melekat dihati mereka. Sama halnya dengan penunggang kuda yang bertengger diatas punggung kuda. Ketiga, ن3 % اyang berasal dari kata al-falāh, berarti membelah atau memotong. Petani dalam bahasa Arab dikatakan fallāh karena bekerja membelah tanah. Al-muflihun adalah orang-orang yang mencapai tujuan mereka setelah
108
mengalami upaya dan mencurahkan segenap kemampuan didalam mencapainya. Mereka telah melalui kesusahan dan dan kesulitan yang hampir menjeratnya. g. Muhammad Quraisy Syihab. Dalam kitab tafsirnya, “Tafsīr al-Mishbāh”, Muhammad Quraisy Syihab (2007:94) mengemukakan tentang ayat kelima surat al-Baqarah ini sebagai berikut: Pertama, / ه ى ﻡ ر0 1 2اْو. Artinya mereka itu berada diatas petunjuk. Penegasan ini memberi kesan bahwa sifat-sifat terpuji mereka adalah berkat hidayah Allah atas mereka. Selanjutnya dengan adanya penegasan sebelumnya bahwa al-Qur`an adalah hidayah, lahir kesan bahwa mereka itu diliputi oleh dua hidayah. Hidayah pertama adalah kesucian jiwa mereka dan kesediaannya menampung kebenaran. Hal ini mengantar mereka kepada kesadaran akan kelemahan mereka serta kebutuhan mereka akan bimbingan yang berada diluar diri, akal dan rasa mereka. Disinilah lahir kepercayaan akan wujud yang ghaib yang dapat membantu mereka. Akhirnya muncul keyakinan terhadap wujud Allah SWT serta bimbinganNya. Seangkan hidayah kedua adalah kelebihan atau tambahan hidayah yang pertama, seperti penegasanNya Allah menambah hidayahNya bagi orang yang telah memperoleh hidayah. Kedua, ن3 % ه ا2ْوا. Artinya, dan mereka adalah orang yang beruntung yakni memperoleh apa yang mereka dambakan.
109
D. Esensi
Tafsir
al-Qur`an
Surat
al-Baqarah
Ayat
1-5
Tentang
Karakteristik al-Muttaqin Dari penafsiran para ulama mengenai surat al-Baqarah ayat 1-5 tentang karakteristik orang bertaqwa dapat kami kemukakan hal-hal yang esensial sebagai berikut: 1. Pada ayat pertama, Allah SWT memulai firmanNya dengan rangkaian huruf; alif, lam, mim. Diantara ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah SWT, karena dipandang Termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya. Golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa hurup-hurup abjad itu berfungsi untuk menarik perhatian para pendengar supaya memperhatikan alQur`an itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa al-Qur`an itu diturunkan dari Allah SWT dalam bahasa Arab yang tersusun dari hurup-hurup abjad sebagaimana huruf yang biasa mereka pergunakan dalam perkataan sehari-hari. Dengan kata lain Allah SWT menantang manusia untuk membuat sesuatu yang serupa denagn al-Qur`an, jika mereka tidak percaya bahwa bahwa al-Qur`an diturunkan dari Allah SWT. 2. Pada ayat kedua Allah SWT mengisyaratkan bahwa al-kitab yaitu al-Qur`an memiliki kedudukan yang tinggi, dan tidak mungkin ada kitab (tulisan) buatan manusia yang menyamainya. Al-Kitab (al-Qur`an) ini menjadi petunjuk bagi orang-orang bertaqwa, tidak hanya petunjuk dalam arti memberitahu mana yang benar dan salah, atau mana harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, tetapi ia menjadi petunjuk dalam arti bimbingan dan kekuatan untuk melaksnakan
110
segala aturan Allah SWT. Hal ini disebabkan karena orang yang menerima alQur`an ini (al-Muttaqin) adalah orang yang memiliki kepekaan hati, rasa takut kepada siksa Allah SWT serta sanggup untuk mengamalkan apapun yang ada dalam al-Qur`an itu. 3. Pada ayat ketiga Allah SWT menjelaskan sifat-sifat orang bertakwa, yaitu : - Beriman kepada perkara yang ghaib. Iman ialah kepercayaan yang kuat, yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu. Al-ghaib ialah seuatu yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. Iman kepada yang ghaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu, yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya. - Mendirikan Shalat. Shalat secara bahasa berarti “doa”. Menurut istilah syara' ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. Iqamatus shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu', memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya. - Menginfakkan sebagian rizki. Rizki adalah segala yang dapat diambil manfaatnya. Infaq pada ayat ini meliputi nafakah wajib, zakat, dan sadaqah sunnat. Menginfakan sebagian rezki, ialah memberikan sebagian dari harta yang telah dirizkikan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang disyari'atkan oleh
111
agama memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain. 4. Pada ayat keempat Allah SWT menguraikan kembali sifat orang bertakwa. Sebagian ulama memahami sifat pada ayat ini sebagai lanjutan dari rangkaian sifat sebelumnya, sedangkan sebagian lagi memahaminya sebagai sifat kelompok yang kedua bagi orang bertaqwa. Sifat-sifat tersebut adalah: - Beriman kepada al-Qur`an dan al-Sunnah yang diturunkan kepada Muhammad SAW secara terperinci. Allah menurunkan al-Qur`an kepada Rasulullah SAW ialah
dengan
memberikan
wahyu
kepada
Jibril
a.s.,
kemudian
Jibril
menyampaikannya kepada beliau. - Beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada para RasulNya sebelum Muhammad SAW, yaitu ; Taurat, Zabur, Injil dan Shuhuf-Shuhuf yang tersebut dalam al-Qur`an yang diturunkan kepada Para Rasul. - Meyakini akan adanya kehidupan akhirat. Yakin ialah kepercayaan yang kuat dengan tidak dicampuri keraguan sedikitpun. Kehidupan akhirat ialah kehidupan sesudah dunia berakhir. Yakin akan adanya kehidupan akhirat ialah benar-benar percaya akan adanya kehidupan sesudah dunia berakhir, dan berbagai peristiwa di dalamnya, seperti fase mahsyar (dikumpulkannya seluruh manusia), mizan (pertimbangan amal), hisāb (perhitungan amal), dan masuknya manusia kesurga atau keneraka. 5. Pada ayat kelima, Allah SWT mengemukakan dengan isyarat bahwa orang bertaqwa adalah orang yang berada secara tetap (istiqāmah), di atas hidayahNya, selain itu merekapun berbahagia, karena mendapat apa-apa yang dimohonkannya
112
kepada Allah SWT sesudah mengusahakannya. Sementara itu sebahagian ulama memahami bahwa isyarat u’lāi`ka ‘alā hudan min rabbihim ditujukan kepada kelompok pertama orang bertakwa, yang terdapat pada ayat ketiga. Sedangkan isyarat ula`ika humul muflihuna ditujukan kepada kelompok orang bertaqwa yang kedua, yang terdapat pada ayat keempat.
113
BAB IV ANALISIS ILMU PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP SURAT ALBAQARAH AYAT 1-5 TENTANG KARAKTERISTIK AL-MUTTAQIN
E. Analisis Ilmu Pendidikan Islam Terhadap al-Qur`an Surat al-Baqarah Ayat 1-5 Tentang Karakteristik al-Muttaqin. Dalam bab ini, penulis akan menguraikan tentang karakteristik al-muttaqin (orang bertakwa) dengan mempergunakan Ilmu Pendidikan Islam sebagai alatnya. Penguraian ini diperlukan sebagai usaha untuk memperjelas permasalahan yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 1-5 ini, dan mendudukannya sesuai dengan rumusan Ilmu Pendidikan Islam, guna mencapai tujuan penulisan, yaitu didapatnya suatu kesimpulan bahwa ayat-ayat ini berimplikasi terhadap tujuan pendidikan Islam. Analisis berarti penguraian atau penjabaran (Eko Endarmoko, 2006:24). Lebih lanjut J.P Chaplin (1997:25) menerangkan bahwa analisis adalah proses mengurai kekomplekan suatu gejala rumit, sampai pada pembahasan bagianbagian paling elementer atau bagian-bagian paling sederhana. Sedangkan Ilmu Pendidikan Islam, secara ringkas, adalah Ilmu Pendidikan yang berdasarkan Islam (Ahmad Tafsir, 2005:12). Dengan demikian dapat dipahami bahwa analisis terhadap surat al-Baqarah ayat 1-5 ini adalah upaya untuk mentasyrih berbagai komponen yang ada dalam ayat-ayat tersebut, dengan mempergunakan Ilmu Pendidikan Islam sebagai rumusan teori yang mendasari analisis tersebut. Sebagai suatu analisis yang didasari oleh Ilmu Pendidikan Islam, maka analisis ini akan menghasilkan suatu pemahaman bahwa surat al-Baqarah ayat 1-5
114
ini memiliki nilai kependidikan Islam, walaupun tentunya tidak akan menutup kemungkinan didapatnya nilai-nilai yang lain. Hal ini karena al-Qur`an itu seperti sebuah berlian yang memiliki banyak sisi, dari sisi mana saja seorang mengkajinya, maka ia akan melihat beragam warna, apalagi jika yang mengkajinya itu orang-orang yang berbeda. Pemahaman atau hasil dari pemahaman terhadap ayat al-Qur`an akan sangat ditentukan oleh ilmu yang digunakan. Perlu kiranya dikemukakan bahwa analisis ini difokuskan kepada upaya untuk menemukan nilai kependidikan dari ayat-ayat tersebut terhadap tujuan pendidikan Islam. Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa ruang lingup kajian Ilmu Pendidikan Islam itu bukan hanya tujuannya, tetapi juga mencakup guru, murid, alat, metode, dan materi pendidikan. Dari uraian teoritis tentang tujuan pendidikan Islam dan penafsiran para ulama tentang surat al-Baqarah ayat 1-5, dapat penulis kemukakan beberapa analisis sebagai berikut : Pada ayat pertama, walaupun mayoritas ulama tidak mengungkapkan maknanya, dapat dilihat adanya keterkaitan yang sangat erat dengan ayat kedua yang mengungkapkan tentang kedudukan al-Qur`an. Bahkan pada 28 surat lainnya yang diawali dengan huruf-hurf muqatha`ah, selalu diikuti oleh ayat yang menerangkan tentang kedudukan al-Qur`an. Oleh karena itu wajar apabila sebagian ulama memahami huruf-huruf muqatha`ah ini sebagai mukjizat (bukti kebenaran) al-Qur`an. Dengan kata lain Allah SWT menantang manusia untuk membuat sesuatu yang serupa dengan al-Qur`an, karena ia tersususn dari huruf-
115
huruf yang biasa digunakan oleh manusia. Akan tetapi walupun bukti-bukti bahwa al-Qur`an adalah kalāmullāh, masih sangat banyak manusia yang tidak mau mengikuti ajarannya. Hanyalah mereka yang mengikuti fithrah kemanusiaannya yang dapat mengikutinya. Manusia semacam ini diceritakan pada ayat kedua. Pada ayat kedua Allah SWT mengisyaratkan bahwa al-Qur`an yang menjadi bukti kebenaran itu adalah kitab yang memiliki kedudukan yang luhur. Kitab (al-Qur`an) tersebut tidak pantas diragukan, baik dari segi sumbernya, sebagai firman Allah SWT, maupun dari segi kandungannya sebagai suatu kebenaran yang hakiki. Kitab ini menjadi petunjuk hanya bagi orang yang bertakwa. Dibatasinya hidayah al-Qur`an bagi orang bertakwa, disebabakan hidayah dalam ayat ini tidak hanya berarti penunjuk kepada kebenaran atau keselamatan tetapi juga berarti kekuatan untuk melaksanakan petunjuk tersebut. Oleh karenanya hanya mereka yang bertakwa yang mendapatkan hidayah alQur`an. Orang bertakwa atau al-mutaqin ialah orang yang memiliki kepekaan hati dan senantiasa merasa takut jika dirinya terjerumus kedalam kesesatan. Kepekaan hati dan rasa takut inilah yang menyebabkan dirinya selalu berupaya menghindari kekufuran dengan cara beriman kepada Allah SWT, menghindari laranganNya dengan cara melaksanakan perintahNya dan dia senantiasa menghindari segala sesuatu yang melalaikannya dari mengingat Allah SWT. Dengan kepekaan hati inipula orang bertakwa senantiasa menjaga diri dari perbuatan yang dapat mendatangkan siksaNya, baik dengan melaksanakan perintah Allah SWT dan
116
menjauhi laranganNya untuk menghindarkan diri dari siksa akhirat, maupun dengan mengikuti sunnatullah untuk mengihindarkan diri dari siksa dunia. Dalam Ilmu Pendidikam Islam, mewujudkan al-muttaqin atau orang bertakwa merupakan tujuan akhir atau tujuan umum pendidikan Islam. Nur Uhbiyyati (2005:58) mengatakan bahwa tujuan akhir adalah tujuan yang akan dicapai oleh semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan kegiatan lainnya. Tujuan ini meliputi setiap aspek kegiatan seperti sikap, tingkah laku dan cara pandang. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa ketakwaan itu dapat mengalami fluktuasi dalam kehidupan seseorang, oleh karena itu pendidikan Islam harus berlangsung seumur hidup, guna memupuk, mengembangkan dan memelihara tujuan (ketakwaan) tersebut.
(Nur Uhbiyyati, 2005:59).
Sebagaimana pendapat di atas, Muhammad Munir Mursyi, seperti dikutip Muhaimin (2004:48) mengatakan bahwa pendidikan itu diarahkan pada peningkatan manusia yang menyembah kepada Allah SWT dan takut kepadaNya. Demikian juga dengan Muhammad Qutb, seperti ditulis Saepullah (2005:65), yang mengatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan membentuk manusia yang beribadah kepada Allah SWT dan takut kepadaNya. Dalam surat al-Hujurat ayat ke 13 Allah SWT berfirman, yang artinya: "Sesungguhnya yang paling mulya diantara kalian ialah yang paling tinggi derajat ketakwaanya". Dalam ungkapan ahli pendidikan Islam yang lain, tujuan pendidikan Islam adalah mewujudkan manusia yang sempura (insan kamil). Menurut Ahmad Tafsir (2004:46), manusia sempurna ialah manusia yang hatinya penuh dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
117
Mengenai profil orang bertakwa sebagai tujuan umum atau tujuan akhir dari pendidikan Islam, Muhaimin (2004:50-51) mengemukakannya sebagai berikut: Pertama, Ittibāu‘ syari‘atillāh, yaitu mengikuti ajaran Allah SWT yang terdapat dalam al-Qur`an dan sunnah Rasulullah SAW. Ciri-cirinya sebagai berikut: - Senantiasa membaca al-Qur`an
dan al-Sunnah, berusaha memahami dan
menghayatinya. - Agar dapat menghayati ajaran Allah SWT, mereka harus berusaha mempersiapkan diri untuk menjadi pelaku ajaran Islam, bukan hanya pemikir melainkan sebagai pelaku. - Mereka memiliki komitmen yang tinggi terhadap ajaran Islam. - Mereka berdedikasi untuk menegakan syari‘at Islam yang rahmatan lil ‘ālamin. Kedua, ittibau‘ sunnatullāh, yaitu mengikuti hukum-hukum Allah SWT yang berlaku dialam semesta. Ciri-cirinya sebagai berikut: - Berusaha membaca setiap fenomena alam (karena dirinya merupakan bagian dari alam), fenomena pisik dan pshikis (karena dirinya merupakan makhluk individu) dan fenomena historis (karena dirinya merupakan bagian dari sejarah) dan fenomena lainnya. - Agar
mereka dapat
memahami
fenomena
sunnatullāh
mereka harus
memepersiapkan diri untuk menjadi peneliti, memiliki daya analisis yang tajam, kritis dan dinamis. - Berusaha membangun kepekaan intelektual dan kepekaan informasi.
118
- Karena masing-masing memiliki bakat, minat dan kebutuhan tertentu, maka dalam ittibau‘ sunnatillāh perlu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing sehingga terwujudlah kematangan profesionalisme. Untuk dapat mewujudkan al-Muttaqin sebagai tujuan umum pendidikan Islam tersebut, Hasan Langgulung seperti dikutip M. Daud Ali (2000:366) mengajukan tiga tahap. Pertama, tahap sosialisasi. Pada tahap ini anak didik diajari melakukan nilai-nilai yang terkandung dalam takwa tersebut. Kedua, tahap tahap identipikasi, yaitu tahap anak didik mengerjakan nilai-nilai tertentu yang mereka sukai dari nilai-nilai ketakwaan tersebut. Ketiga, tahap penghayatan, yaitu tahap anak didik merasa nikmat mengerjakan nilai-nilai ketakwaan. Pada ayat ketiga, Allah SWT mengemukakan ciri-ciri al-muttaqin yang terdapat pada ayat kedua, sebagai berikut: Pertama, ا ن, yaitu orang-orang yang beriman terhadap perkara ghaib. Orang yang beriman ialah orang yang memiliki keyakinan yang kuat disertai dengan penyerahan jiwa. Ciri iman adalah melaksanakan ketaatan atau melakukan perbuatan yang dituntut oleh keimanan tersebut. Beriman kepada perkara ghaib artinya meyakini adanya perkara yang diluar jangkauan panca indra, yang diinformasikan oleh al-Qur`an atau al-sunnah. Jika perkara yang dianggap ghaib itu bukan berasal dari al-Qur`an atau al-Sunnah, maka itu bukan ghaib, melainkan takhayul. Allah SWT, malaikatNya, surga, neraka, qadla dan qadar adalah diantara perkara ghaib yang diinformasikan oleh al-Qur`an dan al-Sunnah, yang harus diimani.
119
Keimanan adalah fondasi utama membangun kekuatan hati yang kokoh. Seorang yang melaksanakan prinsip-prinsip keimanan akan memancarkan cahaya selama-lamanya. Seberat apapun cobaan hidup akan mampu dihadapi dengan hati yang tenang dan tegar. (Ahmad Taufik Nasution, 2005:74-75). Selain itu seorang mukmin akan menjadi cerdas dengan menggunakan fasilitas "mengimani", mulai dari iman kepada Allah SWT, para RasulNya, malaikatNya, sampai dengan beriman kepada qadla dan qadar. (M. Djarot Sensa, 2004:155). Dalam Ilmu Pendidikan Islam, masalah keimanan adalah salah satu dimensi tujuan umum pendidikan Islam. Muhaimin seperti dikutip Samau`n Bakry (2005:41) mengemukakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam pada dimensi individual adalah pembinaan individu atau warga Negara yang beriman kepada Allah SWT, Nabi-nabiNya, kitab-kitabNya yang diturunkan kepada mereka serta pesan-pesan yang diwahyukan kepada mereka, percaya kepada adanya hari akhirat dan apa yang dikandung di dalamnya, yang berupa penghimpunan, hisab, dan balasan, serta kepada qadla dan qadar. Ahmad Tafsir (2002:124) mengemukakan bahwa tujuan individual itu terbagi pada tiga aspek, yaitu ; 1) kognitif, 2) afektif dan 3) psikomotor. Aspek keimanan terdapat dalam ranah binaan afektif. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa ciri seorang muslim yang baik adalah yang; 1) jasmaninya sehat (psikomotor). 2) akalnya cerdas (kognitif) dan 3) hatinya takwa kepada Allah SWT (afektif). Ciri hati yang takwa kepada Allah SWT adalah suka rela melaksanakan
perintah
Allah
SWT
dan
menjauhi
laranganNya
berkemampuan berhubungan dengan alam ghaib. (Ahmad Tafsir, 2005:50-51).
dan
120
Dalam wacana populer saat ini, sumber daya manusia yang unggul adalah orang yang beriman, karena mereka memiliki keseimbangan antara kecerdasan intelektual, kecerdasan omosional dan kecerdasan spiritual. Dengan keimanan, seseorang akan mampu mewujudkan keseimbanagan itu atau antara aktivititas fikir dan aktivitas dzikir. Dia akan mampu berfikir secara sistematis dan terarah dalam mempelajari al-Qur`an, al-Sunnah dan al-Kaun (alam semesta). (Muhammad Sirodzi, 2005:145-147). Diantara hikmah beriman adalah : a. Beriman kepada Allah SWT; 1). Terbebas dari belenggu hawa nafsu (perilaku instingtif, impulsif), syaithoniah dan bahimiah. 2) bersikap optimis dalam menghadapi berbagai tantangan, tegar, tabah dan tidak stres atau perasaan cemas (anxiety). 3) berkemampuan mengendalikan diri dari sesuatu yang dilarang Allah SWT (self control). 4), ikhlas. b. Beriman kepada malaikat; 1). Melahirkan sikap hati-hati, waspada dan penuh pertimbangan agar terhindar dari segala sesuatu yang dilarang Allah SWT. 2) senantiasa semangat melaksanakan amal shalih. c. Beriman kepada hari akhir; 1) optimis dalam menjalani kehidupan karena adanya keyakinan bahwa hari akhirat lebih baik dari dunia. 2). Berhati-hati karena adanya keyakinan bahwa segala sesuatu akan ada balasannya. 3) tidak depresi karena dia yakin akan mendapatkan keadilan. d. Beriman kepada taqdir akan mewujudkan sikap sabar dan bersukur, karena adanya keyakinan bahwa segala sesuatunya merupakan kehendak Allah SWT. (Syamsu Yusuf, 2004:59-66)
121
Kedua, sifat al-muttaqin yang kedua ialah و ن اة. Orang bertakwa ialah orang yang melaksanakan shalat secara benar dan berkesinambungan. Menunaikan segala syarat dan rukunnya sesuai dengan tuntunan sunnah Rasulullah SAW. Selain itu shalat yang dilaksanakan melibatkan perasaan dan fikiran yang tertuju hanya kepada Allah SWT, seakan-akan sedang melihatNya. Ukuran benarnya shalat adalah contoh-contoh Rasullullah SAW ketika beliau melaksanakan shalat sebagai mana sabdanya: " ﺹ ا آ را ﻥ اﺹshalatlah kalian sebagaimana kalian melihat (mengetahui) aku melaksanakan shalat". Dari uraian tentang makna "yuqīmunas shalāt" di atas, dapat dipahami bahwa shalat memiliki dua dimensi, yaitu dimensi pisik dan dimensi pshikis. Dimensi pisik dari "yuqīmunas shalāt" adalah gerakan dan bacaan-bacaan yang diajarkan Nabi SAW, mulai dari mengucapkan takbir dengan mengangkat tangan sampai dengan mengucap salam dengan menoleh kesebelah kanan dan kiri. Sedangkan dimensi pshikis dari "yuqīmunas shalāt" adalah kekhusyuan ketika shalat, yaitu tertujunya perhatian hanya kepada Allah SWT dibarengi dengan rasa rendah hati, takut dan penuh harap. Shalat merupakan sebuah aktivitas komunikasi yang menggunakan aktualisasi segenap unsur tubuh, mulai dari menggerakan beberapa jenis anggota tubuh sampai penyebutan nama-nama Allah SWT yang penuh dengan kemesraan spritualistik. (Djarot Sensa, 2004:183). Mendirikan shalat secara fisik dapat mendatangkan manfaat bagi kesehatan tubuh. Jika diperhatikan, hampir tidak ada anggota tubuh yang tidak difungsikan ketika melaksanakan shalat, mulai dari kepala hingga ujung jari kaki. Syamsu Yusuf (2004:70) mengatakan: "Dengan melaksnakan shalat, seorang
122
muslim akan memperoleh ketentraman hati, ketenangan jiwa, pencerahan kalbu, dan relaksasi otot-otot". Posisi berdiri dalam shalat memberi kesempatan mengasah berbagai bagian otak. Pada saat itu otak dilatih untuk mampu mengendalikan adrenalin yang terpacu, yaitu dengan keyakinan bahwa Allah SWT akan mengokohkan pancangan kaki orang yang beriman. Posisi ruku merupakan gerakan peregangan otot kaki, pinggang dan punggung serta keseimbangan ruku. Posisi ini melatih kelancaran hubungan otak dengan system keseimbangan di telinga, mengolah ragakan syaraf-syaraf tulang belakang dan melatih koordinasi otak motorik dengan hampir semua system syaraf dan otot-otot pada semua anggota tubuh. Posisi sujud menempatkan kepala lebih rendah dari jantung. Perubahan "perhitungan" gravitasi dan tekanan darah ke kepala, melatih otak untuk dapat beradaptasi, meluruskan persepsi dan kembali berfikir jernih. Posisi duduk membawa otak pada kondisi terkendali. Pada posisi ini otak dibawa pada kondisi alfa. Posisi duduk adalah posisi yang fleksibel untuk rileks dan siaga, sehingga sangat adaptif terhadap informasi yang masuk. (Rajendra Kartawiria, 2004:141-145) Demikian juga dengan mendirikan shalat secara pshikis akan mencegah seseorang berbuat fahsyā’ dan munkar. Fahsya artinya kejahatan yang dilakukan dengan melibatkan orang lain, seperti berzina, bergunjing, atau berkelahi dan sebagainya. Sedangkan munkar adalah kejahatan yang dapat dilakukan tanpa melibatkan orang lain, seperti mencuri, korupsi, menipu atau berbohong dan sebagainya. (Ua Saefuddin, 2002:91-92). Dengan demikian "yuqīmuna shalāt"
123
adalah pembinaan terhadap aspek jasmani dan ruhani seseorang secara bersamaam, agar menjadi orang yang bertakwa. Dalam Ilmu Pendidikan Islam, pendidikan terhadap aspek jasmani dan ruhani merupakan sebahagian dari aspek-aspek tujuan pendidikan Islam. Untuk mewujudkan manusia yang bertakwa, pendidikan Islam harus membina jasmani dan ruhani secara seimbang. (Ramayulis, 2004:75). Tujuan pendidikan jasmani menghendaki
agar
seorang
anak
didik
memiliki
keterampilan
untuk
memfungsikan anggota tubuhnya sesuai dengan kebutuhannya, memiliki anggota badan yang sehat dan kuat, menghindarkannya dari situasi-situasi yang mengancam kesehatan tubuh. Umpamanya bersuci ketika akan melaksanakan shalat, dengan berwudlu atau mandi. Demikian halnya dengan memakai pakaian yang indah ketika hendak shalat. (Abdurrahman Saleh Abdullah, 2007:139). Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu ranah yang harus dikembangkan guna mewujudkan manusia yang baik yaitu orang bertakwa adalah ranah psikomotor, yaitu ranah yang berkaitan dengan keterampilam (skill) atau kemampuan bertindak setelah seeorang menerima pengalaman tertentu. Tujuan psikomotor adalah tujuan yang banyak berkenaan dengan keterampilan motorik siswa. (Syaiful Sagala, 2007:160). Belajar keterampilan fisik dianggap telah berhasil apabila telah memperoleh keterampilan yang melibatkan penggunaan lengan dan tungkai secara benar. (Muhibbin Syah, 2004:63). Salah satu aspek Tujuan pendidikan Islam adalah membina ranah psikomotor tersebut, sehingga sangat wajar apabila ayat ketiga ini menyatakan bahwa ciri manusia yang bertakwa sebagai tujuan umum pendidikan Islam adalah
124
mendirikan shalat, karena ketika melaksanakan shalat seorang anak didik telah, secara tidak langsung, diajari untuk memfungsikan anggota tubuhnya secara benar. Ketiga, ه" ! ن$و رز. Ciri orang bertakwa adalah menginfakan sebahagian rizki yang diberikan Allah SWT kepada mereka. Ada dua hal yang disoroti oleh ulama tafsir dari potongan ayat ini. Pertama, " ه$و رز/ dan dari sebahagian yang kami—Allah—berikan kepada mereka. Orang bertakwa sangat mengerti bahwa apa yang mereka miliki berupa harta, merupakan pemberian dari Allah SWT untuk mereka, yang harus dimanfaatkan secara benar sesuai dengan kehendak Allah SWT yang telah memberikannya. Selain itu dalam memanfaatkan harta tersebut, orang bertakwa memiliki kemampuan untuk menganalisis beragam kebutuhan dirinya dan orang lain. Hal ini dapat dipahami dari penggunaa kata " ", yang berarti sebahagian, sehingga dalam pemanfaatanya dia dapat mengalokasikan hartanya untuk kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang, serta kemampuan untuk berbagi kebutuhan dengan yang lain. Kedua, ! ن/ mereka menginfakan. Orang bertakwa adalah mereka yang memiliki rasa empati atau solidaritas sosial yang sangat tinggi terhadap orang lain. Hal inilah yang menyebabkannya mudah untuk menginfakan sebahagian hartanya untuk keluarga, tetangga dan orang-orang yang membutuhkan. Dengan menggunakan Ilmu Pendidikan Islam, dari ayat ini, ada dua kemampuan yang dimiliki oleh orang bertakwa. Pertama, kemampuan untuk menganalisis permasalahan, berupa kebutuhan hidup, serta kemampuan untuk memecahkan masalah dengan meggunakan harta yang ada padanya. Kedua,
125
kemampuan untuk dapat bersosialisasi, berupa sikapnya yang mudah untuk berbagi dengan yang lain. Dalam Ilmu Pendidikan Islam, kemampuan (skill) yang pertama, yaitu kemampuan untuk menganalisis sebuah permasalahan serta kemampuan memecahkannya merupakan indikator dari sebuah skill yang ada pada ranah kognitif atau al-ahdāf al-akliah. Pengembanagn terhadap ahdāf al-akliah atau ranah kognitif merupakan salah satu aspek tujuan pendidikan Islam. Salah satu ciri manusia yang bertakwa sebagai tujuan umum pendidikan Islam adalah memiliki kemampuan dalam mendayagunakan akal atau kognisinya secara maksimal. Ranah kognitif atau al-ahdāf al-akliah adalah wilayah garapan atau aspek yang akan dikembangkan, yang berkaitan dengan kecerdasan. Abdurrahman Saleh Abdullah (2007:143) mengungkapkan bahwa tujuan akliah adalah upaya untuk mengembangkan kecerdasan individu, sehingga dia mampu menemukan kebenaran hakiki. Ranah akliah yang berkembang dengan baik akan mampu menelaah setiap fenomena alam sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, sehingga membawa pemilikinya mengimani Allah SWT yang menciptakannya. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Syahidin (2000:53) dengan menambahkan bahwa tujuan pendidikan Islam pada ranah kognitif/akliah adalah mendorong dan mengantarkan anak didik untuk berfikir logis dan kritis. Dengan menggunakan bahasa yang agak berbeda, A. Tafsir (2005:43) mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam pada ranah akliah adalah terwujudnya manusia yang cerdas dan pandai. Cerdas berarti mampu menyelesaikan masalah
126
secara cepat dan tepat. Sedangkan pandai artinya banyak memiliki pengetahuan atau informasi. Ciri cerdas adalah menguasai sains, yaitu pengetahuan sebagai produk akal dan indra, serta menguasai filsafat, yaitu pengetahuan yang sematamata produk akal. Apabila pengertian ranah akliah ini diterapkan dalam konteks ciri orang bertakwa pada ayat ketiga ini, maka dapat dikatakan orang bertakwa memiliki kecerdasan dan kepandaian. Dikatakan cerdas dan pandai karena mampu mengetahui dan memahami bahwa ditengah-tengah hiruk pikuknya interaksi sosial sebagai jalan masuk dan keluarnya rizki, terdapat fenomena ke-Tuhanan. Dia memahami bahwa causa final atau penyebab utama datangnya rizki adalah Allah SWT. Selain itu dikatakan cerdas dan pandai karena orang bertakwa mampu bertindak tepat dalam menyikapi rizki (harta) yang ada padanya, berupa pemanfaatan rizki tersebut, yang tidak hanya untuk menutupi kebutuhannya sendiri, tetapi juga berusaha untuk menutupi kebutuhan orang lain. Sedangkan kemampuan (skill) yang kedua, dari potongan ayat di atas, yang dimiliki oleh orang bertakwa adalah kemampuannya untuk bersosialisasi. Dalam Ilmu Pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam dibagi dalam dua tujuan, yaitu tujuan individual dan tujuan sosial. Tujuan sosial adalah kemampuan sesorang anak didik untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya serta melakukan perbaikan-perbaikan bagi kemajuan lingkungannya. Ramayulis (2004:77), dengan mengutip Abdurrahman Saleh Abdullah, mengatakan bahwa tujuan sosial dalam Ilmu Pendidikan Islam adalah terbentuknya keperibadian yang utuh dari unsur ruh, akal dan tubuh. Identitas keperibadian tersebut tercermin
127
dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Tujuan pendidikan sosial ini sangat penting, mengingat manusia tidak akan dapat melepaskan diri dari masyarakatnya. S. Nasution (1983:142) mengungkapkan bahwa pendidikan sosial adalah proses membingbing individu ke dalam dunia sosial, yang dinamakan juga dengan sosialisasi. Sosialisasi dilakukan dengan mendidik individu tentang hubungan yang harus dimiliki dan diikutinya, agar dia dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Pendidikan Islam harus membekali manusia dengan pengetahuan tentang semua cara yang memungkinkannya untuk ikut serta dalam membangun masyarakat yang hidup dalam keridloan Allah SWT. (Abdul Halim Mahmud, 2000:34). Diantara usaha untuk mewujudkan tujuan ini adalah bentuk-bentuk ibadah seperti shalat, zakat, dan haji. Dalam ibadah-badah ini terkandung nilai sosial yang sangat banyak. Sebagai contoh zakat dapat memberikan pengaruh yang sangat besar bagi rasa empati dan solidaritas sosial. (Ishak Ahmad Farhan, 2000:87-88). Oleh karena itu sangat wajar apabila dalam ayat ketiga ini, orang bertakwa sebagai tujuan pendidikan Islam, memiliki ciri "menginfakan sebagian rizki", karena dengan infak, baik infak wajib seperti zakat, atau infak sunnat seperti shadaqah, akan melahirkan manusia sebagai anggota masyarakat yang baik. Yusuf al-Qardlawi (2006:851) mengatakan bahwa diantara hikmah zakat adalah mendidik seorang muslim agar memiliki rasa ingin memberi. Seorang muslim yang terbiasa berinfak dan mengeluarkan zakat ketika panen, mengeluarkan zakat hewan ternaknya, mengeluarkan uang sebagai zakat dagangannya, maka dengan kebiasaanya itu akan membentuk suatu akhlak atau
128
keperibadian sosial yang tetap baginya. Hal ini disebabkan adat atau kebiasaan itu akan memberikan pengaruh terhadap akhlak, cara pandang dan hidupnya, bahkan kebisaan itu memiliki pengaruh yang hampir sama dengan tabi`at yang dibawa sejak lahir. Pada ayat keempat, Allah SWT mengungkapkan ciri orang bertakwa sebagai; Pertama, '($ وا ن اْﻥ*ل ا' و اْﻥ*ل. Orang bertakwa adalah mereka yang beriman kepada al-Qur`an al-Sunnah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, selain itu merekapun beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada para Nabi sebelum beliau, yaitu Zabūr, Taurat dan Injīl. Iman kepada al-Qur`an dan al-Sunnah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dilakukan secara terperinci (tafsily), artinya meyakini bahwa kedua hal itu merupakan wahyu dari Allah SWT yang diikuti dengan melaksanakan segala sesuatu yang ada di dalamnya secara sempurna. Sedangkan beriman kepada kitabkitab yang diturunkan kepada para Nabi sebelum Muhammad SAW, dilakukan secara global (ijmaly), artinya hanya meyakini bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Allah SWT. Jika keimanan, shalat dan infak merupakan fondasi, maka beriman kepada al-Qur`an dan al-Sunnah merupakan bangunan yang didirikan di atasnya. (Sa‘id Hawwā, 1993:69). Dengan kata lain, untuk mewujudkan ketakwaan tidak cukup dengan beriman kepada perkara ghaib, melaksnakan ibadah mahdlah seperti shalat dan berbuat baik terhadap sesama melalui infak, tetapi juga cara pandang harus sesuai dengan tuntunan al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW. Inilah esensi dari beriman kepada "apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad)".
129
Tujuan pendidikan Islam tidak hanya memiliki sasaran pada pemberian kemampuan individual dan sosial, tetapi juga harus memiliki sasaran berupa pemberian kemampuan kepada peserta didik untuk berperilaku sesuai tuntutan moral atas dasar motivasi yang bersumber dari agama, dorongan sosial dan dorongan biologis. (M. Arifin, 1996:127-128). Kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan agama Islam tentu tidak akan dapat terwujud kecuali setelah peserta didik memiliki keimanan kepada al-Qur`an dan al-Sunnah yang menjadi dasar agama Islam. Keimanan, shalat dan infak yang menjadi fondasi ketakwaan dapat ternodai oleh berbagai kotoran. Keimanan dapat ternodai oleh kemusyrikan, khurafat dan takhayul. Ibadah mahdlah seperti shalat, dapat bercampur dengan bid`ah. Demikian juga dengan membina hubungan sosial, yang terkadang dikendalikan oleh perasaan suka dan tidak suka, bukan dengan nilai-nilai keadilan. Oleh sebab itulah perlu suatu garis lurus yang menjadi rute dalam memelihara ketakwaan tersebut. Garis lurus tersebut adalah al-Qur`an dan al-Sunnah. Nabi SAW bersabda dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imām Mālik yang bersumber dari Katsīr Ibn ‘Abdillāh:,( ﻥ- . و/ آ ب ا1 "23ا ﺕ5 ا ا6 ﺕ7" ا28 9آ7 ﺕ. "Aku tingalkan untuk kalian dua perkara. Jika kalian berpegah teguh kepada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. (Dua perkara itu) adalah kitabullah dan sunnah NabiNya". Demikian juga ketika ada tiga orang yang menganggap terlalu sedikit atau sederhananya ibadah Nabi SAW, sehingga apabila beribadah seperti itu, maka mereka tidak akan menggapai ketakwaan.
130
Mendengar ungkapan mereka itu Nabi SAW bersabda, yang artinya: "Benar, bahwa aku adalah orang yang paling takwa dan takut kepada Allah dibanding kalian, tetapi akupun shalat dan meluangkan waktuku untuk tidur. Aku shaum tetapi ada waktu bagiku untuk berbuka. Dan aku tunaikan kewajibanku terhadap istri-istriku. Barang siapa yang membenci sunnahku maka ia bukanlah umatku". (H.R. al-Bukhāri dari Anas Ibn Mālik). Demikianlah, ketakwaan tidak akan terwujud tanpa mengikuti al-Qur`an dan sunnah Nabi SAW. Abdul Halim Mahmud (2003:31) mengatakan bahwa diantara tujuan pendidikan Islam adalah berkomitmen (iltizām) kepada perintah Allah SWT yang terdapat dalam al-Qur`an dan sunnah Nabi SAW. Kedua, ciri orang bertakwa yang terdapat dalam ayat keempat ini adalah : ن$ "ة ه7:ْ; و. Orang bertakwa memiliki keyakinan yang sangat kuat akan adanya negeri akhirat. Negeri akhirat adalah masa dibangkitkannya umat manusia setelah kematiannya. Allah SWT mengkhabarkan negeri akhirat melalui firmanfirmanNya, yang artinya sebagai berikut: "yaitu hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain, (demikian juga) dengan langit, dan mereka semuanya (di Padang Mahsyar) berkumpul mengahadap ke hadirat Allah SWT yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. (QS. Ibrahim:48). Di tempat itu (Padang Mahsyar), tiap-tiap diri merasakan pembalasan dari apa yang telah dikerjakan dahulu dan dikembalikan kepada Allah Pelindung mereka yang sebenarnya, dan lenyaplah dari mereka segala apa yang mereka ada-adakan. (QS. Yunus:48). Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiah. (QS. al-Qari`ah:6-9)". Demikianlah sebagian keadaan negeri akhirat yang diberitahukan Allah SWT, dan orang bertakwa sangat yakin akan adanya. Keyakinan mereka
131
mencapai 100 %, sehingga tidak ada tempat dihatinya bagi tumbuhnya benihbenih keraguan. Keimanan kepada akhirat memiliki kedudukan tersendiri dalam komponen keimanan lainnya. Quraisy Syihab (2002:100) mengatakan bahwa, jika keimanan kepada Allah SWT merupakan sumber keimanan kepada RasulNya, selain sebagai dasar diterimanya amal, maka keimanan kepada hari akhir merupakan pendorong melakukan amal-amal kebajikan. Dengan demikian orang bertakwa memiliki kemampuan untuk memelihara ketakwaan. Keyakinan kepada kehidupan akhirat sangat penting dalam mewujudkan manusia yang bertakwa, karena ketakwaan pada diri seseorang sebagai tujuan pendidikan Islam, sering mengalami fluktuasi. (Zakiah Deradjat, 2006:31). Keimanan akan naik dan turun, terkadang bertambah, terkadang berkurang. Bertambahnya keimanan adalah dengan ketaatan sedangkan berkurangnya keimanan adalah dengan kemaksiatan. Oleh sebab itulah seseorang yang bertakwa harus memiliki kemampuan dalam memelihara ketakwaan agar terus bertambah. Pemeliharaan ketakwaan tersebut dapat dilihat dari banyak dan bagusnya amalamal kebajikan yang dilakukan, sebagai sebuah cerminan dari motivasi yang sangat kuat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di akhirat.
Oleh
karena itu tujuan pendidikan Islam tidak hanya mewujudkan dan mengembangkan ketakwaan tetapi juga harus memberi kemampuan kepada peserta didik untuk memelihara ketakwaan tersebut. pendidikan Islam harus berlangsung seumur hidup, guna memupuk, mengembangkan dan memelihara tujuan (ketakwaan) tersebut. (Nur Uhbiyyati, 2005:59).
132
Pada ayat kelima, Allah SWT memberitahukan melalui isyaratNya bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat sebagaimana terdapat dalam ayat di atas adalah: Pertama, "1 ى ر5 اْو>' = ه. Orang bertakwa merupakan orang yang berada dalam petunjuk Tuhan mereka. Keberadaan mereka dalam hidayah Allah SWT tersebut secara tetap (istiqāmah). Dengan kata lain orang-orang bertakwa memegang teguh hidayah yang telah mereka dapatkan, sehingga hidayah terebut telah menjadi bagian hidup mereka sehari-hari. Orang-orang bertakwa berkepribadian Qur`ani. Perbuatan, pemikiran dan jiwa mereka mencerminkan segala sesuatu yang terdapat dalam al-Qur`an. Al-Qur`an dan al-Sunnah adalah dasar agama Islam, maka orang yang berkepribadian Qur`ani sama artinya dengan orang yang berkeperibadian Islam. Dalam Ilmu Pendidikan Islam, tujuan pendidikan diarahkan untuk membentuk kepribadian muslim yang paripurna, yaitu keperibadian yang aspek-aspeknya mencerminkan ajaran Islam. Aspek keperibadian yang dimaksud adalah tingkah laku luar, kegiatan-kegiatan jiwa dan filsafat serta kepercayaannya menunjukan pengabdian kepada Allah SWT dan penyerahan diri kepadaNya. Terkadang keperibadian muslim itu disebut juga dengan takwa. (Mahmud dan Tedi, 2005:110). Yadi Purwanto (2007:264) menatakan bahwa seorang mulim yang berkeperibadian Islam adalah orang yang menjadikan aqidah Islam sebagai dasar pemikirannya dan kecendrungannya, selanjutnya beraktivitas sesuai dengan pemahaman Islam.
Oleh karena itu pada ayat kelima ini, orang-orang yang
bertakwa yaitu orang taat terhadap segala aturan Allah SWT, dengan segala sifat-
133
sifatnya, diisyaratkan oleh Allah SWT sebagai orang yang berada secara tetap dalam hidayahNya. Kedua, واْ>' ه" ا!? ن. Orang bertakwa adalah orang yang berbahagia, karena mereka mendapatkan apa-apa yang dimohonkannya kepada Allah SWT sesudah mengusahakannya. Pembahasan mengenai tujuan pendidikan berkaitan erat dengan tujuan hidup manusia. Mahmud dan Tedi Priatna (2005:111) dengan mengutip Hasan Langgulung mengungkapkan bahwa pendidikan hanyalah alat yang digunakan manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya, sehingga tujuan pendidikan haruslah berpangkal pada tujuan hidup manusia. Tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan lahir dan batin, yaitu tercapainya segala keinginan yang selaras dengan kehendak Allah SWT. Akal dan nafsu sebagai sumber keinginan harus tunduk kepada aturan Allah SWT. (Afif Muhammad, 2005:83-84). Ketundukan kepada aturan Allah SWT ini juga merupakan esensi dari ketakwaan. Oleh karenanya maka tujuan pendidikan Islam adalah mewujudkan kebahagiaan ini. Imām al-Ghazāli, seperti ditulis Fathiyah Hasan Sulaimān (1986:ix) mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan demikian maka sangat wajar apabila orang bertakwa yang menjadi tujuan pendidikan Islam tersebut, dengan berbagai sifatnya diisyaratkan Allah SWT sebagai orang yang berbahagia. F. Implikasi al-Qur`an Surat al-Baqarah Ayat 1-5 Tentang Karakteristik alMuttaqin Terhadap Tujuan Pendidikan Islam.
134
Tujuan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pendidikan Islam. Tujuan dalam sistem pendidikan Islam merupakan komponen yang utama dan pertama dibicarakan diantara komponen-komponen lainnya. Dengan adanya tujuan yang jelas, seorang pendidik dapat memiliki orientasi dalam mendidik. Selain itu dengan adanya rumusan tujuan yang jelas pula, ia dapat memilih metode yang tepat, menentukan evaluasi, alat dan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam proses pendidikan. (Nurwadjah Ahmad, 2007:164) Dengan kedudukannya yang sangat penting dalam proses pendidikan, maka tujuan tidak boleh dirumuskan secara sembarangan, melainkan harus mengacu pada fithrah manusia, karena pendidikan adalah usaha memanusiakan manusia, yaitu manusia yang hidup selaras dengan fithrah kemanusiaannya. Jika pendidikan tidak selaras dengan fithrah manusia, apalagi jika bertentanagan, maka hal itu merupakan dosa besar, karena akan mematikan potensi-potensi anak didik, bahkan akan membuat anak didik kehilangan martabat kemanusiaannya yang sangat mulia. Agar rumusan tujuan pendidikan selaras dengan fithrah manusia, maka perumus pendidikan harus mengetahui secara sempurna fithrah manusia itu, akan tetapi tentu tidak akan ada yang mengetahuinya selain Allah SWT Pencipta manusia. Dengan sifat Rahmān dan RahīmNya, Allah SWT menurunkan wahyu dalam bentuk al-Qur`an dan al-Sunnah kepada Muhammad SAW. Dalam alQur`an dan al-Sunnah itulah terdapat segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk menjalankan kehidupannya di bumi ini. Diantaranya adalah yang menyangkut masalah-masalah kependidikan, seperti perumusan tujuannya,
135
sebagai upaya memelihara dan mengembangkan fithrah atau potensi-potensi yang telah diciptakan Allah SWT. Oleh sebab itulah, merupakan suatu keharusan bagi siapapun yang mengelola pendidikan untuk merumuskan tujuan pendidikan tersebut dengan berpedoman kepada al-Qur`an. Dalam
surat
al-Baqarah,
surat
kedua
dalam
urutan
al-Qur`an,
dikemukakan tiga karakteristik manusia ketika dihadapkan pada serangkaian aturan-aturan Allah SWT. Ketiga manusia itu ialah: 1) al-Muttaqin (manusia yang taat), 2) al-Kāfirūn (manusia yang ingkar) dan 3) al-Munāfiqūn (manusia yang munafik). Dari ketiga tipe manusia itu, tentu saja al-Muttaqin atau manusia yang bertakwa/taat yang menjadi manusia ideal, yang harus menjadi tujuan proses pendidikan. Karakteristik al-Muttaqin tersebut diuraikan oleh Allah SWT pada ayat 1-5. Menurut Quraisy Syihab (2007:616), dengan mengutip al-Biqa`i, kelima ayat itu merupakan pembukaan surat al-Baqarah tentang ketakwaan, yang perinciannya ada dalam ayat-ayat berikutnya, kecuali dua ayat terakhir yang merupakan kesimpulan dari surat tersebut. Dari uraian para mufassir tentang karakteristik al-Muttaqin atau manusia yang bertakwa pada ayat 1-5, dan setelah dianalisis dengan menggunakan Ilmu Pendidikan Islam, penulis mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ayat-ayat tersebut berimplikasi terhadap tujuan pendidikan Islam. Selengkapnya, implikasi tersebut penulis uraikan sebagai berikut : 1. Tujuan umum pendidikan Islam hendaknya diarahkan untuk membentuk manusia yang memahami dan mengamalkan al-Qur`an.
136
Nur Uhbiyati (2005:30-32) mengemukakan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah membentuk pribadi muslim yang sempurna. Keperibadian muslim yang sempurna artinya keperibadian yang semua aspek-aspeknya mencerminkan perealisasian ajaran-ajaran Islam, atau dapat pula dikatakan telah melaksanakan semua kandungan yang terdapat dalam al-Qur`an dan Hadist Nabi SAW. Oleh sebab itu Allah SWT mengisyaratkan orang bertakwa dengan firmanNya: = '>اْو "@1 ى @ ر5@ه. Orang bertakwa itu ialah mereka yang secara tetap berada dalam petunjuk Tuhan mereka. Memahami dan melaksanakan al-Qur`an dan hadist merupakan inti dari ketakwaan, oleh karena itu wajar apabila Muhammad Qutb, seperti dikutip Saepullah (2005:64-65) mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang bertakwa kepada Allah SWT. Tujuan ini lebih penting daripada sarana pendidikan, karena sarana pendidikan dapat berubah dari masa kemasa bahkan dari satu tempat ke tempat lain. Muhammad Daud Ali (2000:362-363) menyatakan bahwa, ketakwaan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan dalam agama Islam. Hal ini dapat terlihat dari beberapa segi yaitu; 1) ketakwaan adalah pokok semua pekerjaan seorang muslim, 2) ketakwaan adalah ukuran martabat seseorang di sisi Allah SWT,
3) ketakwaan adalah dasar persamaan hak antara
suami dan istri, 4) ketakwaan memiliki makna yang menghimpun seluruh makna kebajikan. Selanjutnya beliau mengutip pernyataan Hasan Langgulung yang menyatakan bahwa takwa adalah kata kunci untuk memahami sistem nilai dalam Islam. Takwa merupakan kesimpulan semua nilai yang terdapat dalam al-Quran.
137
Seseorang yang melaksanakan ketakwaan dengan sebenar-benarnya takwa akan menjadi seorang berkepribadian muslim yang sempurna. Keperibadian muslim yang sempurna inipun merupakan rumusan tujuan lain yang dikemukakan oleh sebahagian ahli pendidikan Islam. Selain itu dengan melaksanakan ketakwaan secara sempurna, seseorang akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Imām al-Ghazāli, seperti ditulis Fathiyah Hasan Sulaimān (1986:ix) mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan demikian maka sangat wajar apabila orang bertakwa yang menjadi tujuan pendidikan Islam tersebut, dengan berbagai sifatnya diisyaratkan Allah SWT sebagai orang yang berbahagia. Oleh karena itu maka suatu keharusan bagi siapapun yang mengelola pendidikan untuk merumuskan tujuan pendidikannya sebagai upaya mewujudkan manusia yang memahami dan melaksanakan hidayah dari Allah SWT yang terdapat dalam al-Qur`an dan penjelasannya, yang berupa al-Hadist. 2. Tujuan pendidikan Islam hendaknya memberikan kemampuan dalam mendayagunakan ranah afektif, kognitif dan psikomotor untuk mengamalkan nilai-nilai ketakwaan. Ranah binaan pendidikan menurut A. Tafsir (2002:14-15) dikelompokan ke dalam tiga aspek; yaitu afektif, kognitif dan psikomotor. Selanjutnya A. Tafsir (2005:41-46) mengemukakan bahwa ranah afektif merupakan wilayah binaan yang harus diisi oleh keimanan. Wilayah kognitif atau akal merupakan wilayah yang harus diisi oleh sains dan filsafat. Sedangkan ranah psikomotor atau aspek
138
jasmani adalah wilayah garapan yang harus menghasilkan manusia yang sehat, kuat dan berketerampilan. Ranah afektif
yang terdapat dalam hati manusia harus diisi dengan
keimanan. Keimanan itu ditujukan untuk hal-hal yang ghaib. Apabila seorang peserta didik sudah memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan yang ghaib, maka dia telah memiliki bekal utama untuk menjadi manusia ideal yang dicitacitakan oleh pendidikan Islam. Dalam wacana sekarang ini kemampuan untuk berhubungan dengan alam ghaib diistilahkan dengan Spiritual Quotion atau kecerdasan spiritual. Jalaludddin Rakhmat (2007:65-68), dengan mengutip Roberts A. Emmons, menguraikan karakteristik kecerdasan spiritual sebagai berikut: a. kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material. b. Kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak. c. Kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari d. Kemampuan
untuk
menggunakan
sumber-sumber
spritual
dalam
menyelesaikan masalah. e. Kemampuan untuk berbuat baik terhadap sesama. Karakteristik pertama dan kedua merupakan karakteristik inti kecerdasan spiritual. Anak yang merasakan kehadiran Allah SWT atau makhluk ruhaniah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material. Dia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkannya dengan seluruh alam semesta. Dia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan oleh panca indra. Sedangkan dengan karakteristik yang ketiga, seorang anak didik akan mampu
139
meletakan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Dengan karakteristik yang keempat seorang anak didik akan mampu memecahkan persoalan dengan menghubungkannya
kepada makna kehidupan secara spiritual, tidak hanya
dengan menggunakan pendekatan rasional dan emosional. Dan dengan karakteristik kelima seorang anak didik akan mampu berbuat baik. Oleh sebab itulah dalam ayat ketiga surat al-Baqarah, diungkapkan bahwa karakteristik orang bertakwa yang menjadi tujuan umum pendidikan Islam adalah: @ ا@ @ ن yaitu orang yang beriman kepada perkara ghaib. Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilam (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman tertentu. Tujuan psikomotor adalah tujuan yang banyak berkenaan dengan keterampilan motorik siswa. (Syaiful Sagala, 2007:160). Belajar keterampilan fisik dianggap telah berhasil apabila telah memperoleh keterampilan yang melibatkan penggunaan lengan dan tungkai secara benar. (Muhibbin Syah, 2004:63). Salah satu aspek tujuan pendidikan Islam adalah membina ranah psikomotor tersebut, sehingga sangat wajar apabila ayat ketiga ini menyatakan bahwa ciri manusia yang bertakwa sebagai tujuan umum pendidikan Islam adalah mendirikan shalat ( ن )اة, karena ketika melaksanakan shalat seorang anak didik telah, secara tidak langsung, diajari untuk memfungsikan anggota tubuhnya secara benar. Selain itu, dengan mendirikan shalat secara benar, seorang anak didik akan memiliki kemampuan untuk menyatukan jiwa dan tubuh secara bersamaan, karena
140
shalat yang tidak melibatkan rūh tidak akan diterima Allah SWT. Sehubungan dengan kesatuan tubuh dan jiwa ini, Jalaluddin Rakhmat (2007:38) mengatakan bahwa pendidikan harus memperhatikan tiga hal. Pertama, pendidikan harus memperhatikan kesatuan antara tubuh dan jiwa. Hal-hal yang bersifat fisik akan berpengaruh besar terhadap proses psikologis. Kedua, manusia memiliki kemampuan yang luar biasa. Tubuh dan jiwa manusia dapat berkembang jauh lebih dari yang dibayangkan. Pendidikan harus berusaha mengoptimalkan seluruh potensi itu. Ketiga, dimensi mistikal dalam kehidupan manusia harus dikembalikan lagi pada situasi belajar. Tujuan pendidikan Islam juga harus mengembangkan ranah kognitif atau akliah. Ciri ranah akliah yang berkembang dengan baik adalah adanya kecerdasan yaitu memiliki banyak pengetahuan dan cara pemecahan masalah dengan tepat (A. Tafsir, 2005:43). Oleh sebab itu maka sangat wajar apabila salah satu karakteristik orang bertakwa adalah mengeluarkan infaq, karena untuk mengeluarkan infak itu diperlukan dua hal. Pertama, kemampuan memahami rizki. Rizki yang harus dicari adalah rizki yang halal. Mencari rizki itu memerlukan teori-teori filsafat, sains dan tekhnik-tekhniknya (A. Tafsir, 2005:48). Kedua, kemampuan untuk mengalokasikan rizki yang dimiliki. Dengan kemampuan seperti ini, maka seseorang telah memiliki kecerdasan, yang merupakan ciri ranah kognitif. Cerdas artinya mampu menyelesaikan masalah secara cepat dan tepat (A. Tafsir, 2005:43). Dengan demikian orang bertakwa yang dikemukakan oleh Allah SWT sebagai ه" ! ن$ و رزialah orang yang memiliki kecerdasan manajerial, khususnya dalam melaksanakan ibadah maliah seprti infak.
141
3. Tujuan pendidikan Islam hendaknya memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk hidup bersosialisasi. Apabila pada poin kedua "berinfak" berimplikasi pada kecerdasan atau berkembangnya ranah kognitif, maka dalam poin ketiga ini memiliki implikasi pada tujuan sosial. Hal ini bukanlah suatu yang mengherankan karena setiap aspek ibadah dalam Islam, baik itu ibadah badaniah maupun ibadah maliah, sekurangkurangnya memiliki satu tujuan khusus pendidikan. (A. Tafsir, 2005:48) Salah satu tujuan pendidikan Islam dalam dimensi individual adalah kemampuan anak didik untuk dapat bersosialisasi dengan masyarakatnya. Abdurrahman Saleh Abdullah (2007:149-150) mengungkapkan bahwa pendidikan yang tidak memperhatikan aspek sosial sebagai kemampuan yang harus dimiliki, merupakan pendidikan yang tidak layak. Seorang individu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau kelompoknya, karenanya dia harus memiliki keterampilan untuk bersosialisasi. Rasa cinta kepada yang lain, hubungan keluarga yang harmonis, adil terhadap sesama, ramah tamah, rendah hati, sederhana dan tidak berlebih-lebihan merupakan keterampilan agar individu dapat hidup selaras dengan masyarakatnya. Dan hal seprti ini merupakan hikmah berinfak.
Oleh karena itulah maka sangat wajar apabila karakteristik orang
bertakwa ialah mereka yang suka menginfakan rizki yang telah dianugrahkan Allah kepada mereka. 4. Tujuan pendidikan Islam hendaknya memberi kemampuan moral atau akhlak kepada peserta didik.
142
Tujuan pendidikan Islam tidak hanya mempermasalahkan kualitas individu, tetapi juga menyangkut kepada apa yang diberikan kepada anak didik agar dia dapat memelihara dan mengembangkan dirinya untuk tetap berada pada jalur ketakwaan. Tujuan pendidikan moral adalah memberikan kemamapuan kepada anak didik untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan moral atas dorongan motivasi yang bersumber pada agama. (H. M Arifin 1996:128). Untuk mencapainya, ada dua hal yang diperlukan. Pertama, pemahaman yang utuh dan sikap yang teguh dalam mengamalkan wahyu Allah SWT berupa al-Qur`an dan sunnah Nabi SAW. Hal ini dikarenakan Keperibadian muslim atau akhlak sebagai realisasi nilai-nilai ketakwaan merupakan cerminan dari pemahaman yang utuh terhadap wahyu Allah SWT berupa al-Qur`an dan al-Sunnah. Oleh karena itu Siti Aisyah r.a, dalam hadist yang diriwayatkan Imam Muslim (juz I, 1992:331) mengatakan bahwa akhlak Nabi SAW adalah al-Qur`an. H. M Arifin (1996:122) mengatakan bahwa pendidikan Islam harus memberikan kemampuan kepada anak didik untuk mengamalkan nilai-nilai ketakwaan secara dinamis dan pleksibel dalam batasbatas wahyu Allah SWT, sehingga dia menjadi pemikir dan sekaligus pengamal ajaran Islam. Dengan kata lain tujuan pendidikan Islam adalah memberikan kemampuan berijtihād kepada anak didik dalam mengamalkan ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan sunnah Nabi SAW. Oleh sebab itu diantara karakteristik orang bertakwa sebagai tujuan pendidikan Islam adalah mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad).
143
Kedua, melaksanakan amal shaleh atau kebajikan sebanyak dan sebagus mungkin, sebagai persiapan atau bekal untuk kehidupan akhirat yang abadi. Nur Uhbiyati (2005:49) mengatakan bahwa salah satu tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang berorientasi kepada kebahagiaan hidup di akhirat. Kebahagiaan hidup di akhirat tentu tidak akan tercapai kecuali dengan memperbanyak amal shaleh. Amal shaleh ini lahir dari keyakianan yang sangat kuat terhadap adanya kehidupan akhirat. Apabila keimanan kepada Allah SWT menjadi dasar diterimanya amal, maka beriman kepada adanya akhirat menjadi sumber motivasi untuk melakukan berbagai amal shaleh atau bermanfaat bagi kehidupan diri sendiri, orang lain dan lingkungannya yang menjadi bekal untuk kehidupan akhirat. Oleh sebab itu maka ciri orang yang bertakwa, yang menjadi tujuan pendidikan Islam adalah: "ة ه7:ْ; و ن$ , mereka yang sangat yakin kepada adanya kehidupam akhirat.
144
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Tujuan Pendidikan Islam dalam Ilmu Pendidikan Islam adalah mewujudkan manusia yang dapat mendayagunakan kemampuan afektif, kognitif dan psikomotor serta kemampuan bersosialisasi untuk bertakwa lepada Allah SWT 2. Al-Muttaqin atau orang bertakwa memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Memahami dan mengamalkan al-Quran. b. Beriman kepada perkara yang ghaib. b. Melaksanakan Shalat sesuai tuntunan Nabi SAW. c. Menginfakkan sebagian rizki yang diberikan Allah SWT kepada mereka. d. Beriman kepada wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada para NabiNya. e. Meyakini akan adanya kehidupan akhirat. f. Istiqāmah dalam melaksanakan hidayahNya, dan mendapatkan kebahagiaan dengan melaksanakan nilai-nilai ketakwaan. 3. Hasil analisis Ilmu Pendidikan Islam terhadap karakteristik al-Muttaqin dalam al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 1-5 adalah sebagai berikut: a. Tujuan umum pendidikan Islam hendaknya diarahkan untuk membentuk manusia yang memahami dan mengamalkan al-Qur`an. b. Tujuan pendidikan Islam hendaknya memberikan kemampuan dalam mendayagunakan ranah afektif, kognitif dan psikomotor untuk mengamalkan nilai-nilai ketakwaan.
145
c. Tujuan pendidikan Islam hendaknya memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk hidup bersosialisasi. d. Tujuan pendidikan Islam hendaknya memberi kemampuan moral atau akhlak kepada peserta didik. B. Saran-Saran Berdasarkan hasil penelitian penulis tentang karakteristik orang bertakwa atau al-muttaqin dalam al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 1-5 dan implikasinya terhadap tujuan pendidikan Islam, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk itulah kepada siapa saja diharapkan dapat melakukan penelitian lenjutan guna mendapatkan hasil yang lebih baik. 2. Penulis menyarankan kepada insan akademik agar menggunakan al-Qur`an dan al-Sunnah sebagai konstitusi pendidikan Islam tertinggi dalam menjawab wacana pemikiran yang berkembang sehingga para pengelola pendidikan tidak merasa ragu untuk merumuskan dan menjadikan al-Muttaqin atau orang bertakwa sebagai arah tujuan pendidikan Islam. 3. Pendidik hendaknya menjadikan karakteristik al-Muttaqin dalam al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 1-5 ini sebagai rumusan tujuan pendidikan Islam, karena di dalamnya sudah terkandung nilai-nilai ideal yang harus diwujudkan oleh pendidikan Islam.