1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu yang dipilih Allah swt sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan melangsungkan kelestarian hidupnya.1 Selain mempunyai kedudukan yang sangat mulia, perkawinan juga merupakan momen yang penting dan berarti bagi kehidupan manusia di muka bumi ini. Yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Sesuai dengan firman Allah swt :
!د ًة$َ %! ْ')ُ *َ +ْ ,َ َ .َ / َ َو1َ 2ْ+3َْا ِإ$*ُ )ُ 7 ْ 8َ 39 1ً / ُ)'ْ َأزْوَا7 ِ <ُ ْ،>ْ َأ%ّ ْ')ُ 3َ @ َ AَB َ ْ َأنDِ 8ِ Eَ >ْ َأ%ِ َو (٢١: ومF3ن )ا َ ْوFُ )! Gَ 8َ E! ْ ٍم$Jَ 39 K ٍ Eَ Lَ 3َ M َ 3ِْ َذO<ِ ن ! ِإPً Qَ R ْ !و َر Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (QS. ArRum: 20)2 Untuk mewujudkan tujuan tersebut dan mengingat perkawinan merupakan lembaga sakral yang pertanggungjawabannya langsung kepada Allah swt, maka memilih pasangan merupakan hal yang perlu diperhatikan. Dalam memilih pasangan ada istilah kafâ’ah. Kafâ’ah itu disayari’atkan atau diatur dalam perkawinan Islam, namun karena dalil yang mengaturnya tidak ada yang jelas dan spesifik baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadith Nabi, 1
. Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Terj.Mahyudin (Bandung : Al-Ma’arif, 1996), 9.
2
. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2000), 324.
1
2
maka kafâ’ah menjadi pembicaraan di kalangan ulama’ baik mengenai kedudukannya dalam perkawinan, maupun kriteria apa yang digunakan dalam penentuan kafâ’ah itu. Kafâ’ah yang berasal dari bahasa Arab dari
ءة1G آ, berarti sebanding,
setaraf dan sesuai.3 Kata ini merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab dan terdapat dalam al-Qur’an dengan arti sama atau setara. Di dalam alQur’an yang terdapat pada surat al-Ikhlas ayat 4 :
nُ R َ ًا َأ$Gُ ُآDُ 3َ ْ>)ُ Eَ ْ'3ََ yang
berarti “tidak suatu pun yang sama dengan-Nya”. Kata kufu’ atau kafâ’ah dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafâ’ah mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan harus ada pada laki-laki yang mengawininya. Dilihat dari satu segi, persoalan kafâ’ah memang dirasa penting, agar terjadi keserasian dalam kehidupan suami istri dalam membina rumah tangga.4 Penentuan kafâ’ah itu merupakan hak perempuan yang akan kawin sehingga bila dia akan dikawinkan oleh walinya dengan orang yang tidak sekufu’ dengannya, dia dapat menolak atau tidak memberikan izin untuk dikawinkan oleh walinya. Sebaliknya dapat pula dikatakan sebagai hak wali yang akan menikahkan sehingga bila si anak perempuan kawin dengan lakilaki yang tidak sekufu’, wali dapat mengintervensinya selanjutnya dapat menuntut pencegahan berlangsungnya perkawinan itu. 3
. M.Ali Hasans, Pedoman Hidup Berumah tangga dalam Islam (Jakarta: Siraja, 2003), 33
4
. Ibid
3
Yang dijadikan standar atau kriteria dalam penentuan kafâ’ah itu adalah status sosial pihak perempuan karena dialah yang kaan dipinang oleh laki-laki untuk dinikahi. Seandainya pihak istri dapat menerima kekurangan laki-laki tidak menjadi masalah. Masalah timbul kalau laki-laki yang kurang status sosialnya sehingga dikatakan si laki-laki tidak sekufu dengan istri. Mengenai kriteria atau standar kafâ’ah dalam perkawinan ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’, di antaranya : Pertama, agama, ulama’ sepakat menempatkan dien atau dinayah yang berarti tingkat ketaatan beragama sebgai kriteria kafâ’ah bahkan menurut ulama’ Malikiyah hanya inilah satu-satunya yang dapat dijadikan kriteria kafâ’ah itu. Karean manusia itu sama bentuk dan ciptaannya, tidak ada yang lebih mulia dari yang lainnya kecuali karean takwanya dan kesediannya untuk menunaikan hak Allah.5 Kesepakatan tersebut didasarkan kepada firman Allah dalam surat as-Sajadah (32) 18 :
ن َ ْو$ُ 8َ 7 ْ Eَ 1َ3 1ًJu ِ 1َ< ن َ 1َ>ْ آQَ َآ1ً*%ِ ْv%ُ ن َ 1َ>ْ آQَ <َ َأ Artinya: “Orang-orang yang beriman tidaklah seperti orang-orang yang fasik; mereka tidaklah sama”6 Diantara ulama’ yang sepakat tentang kriteria ini adalah ulama’ Malikiyah dan ulama’ Hanabilah. Kedua, kekayaan, ulama’ juga berbeda pendapat dalam hal kekayaan sebagai kriteria kafâ’ah. Sebagian ulama’ di antarnaya Imam Ahmad dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa kekayaan itu merupakan salah satu 5
Sa’id bin Abdullah, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), terj. Agus Salim, (Jakarta :
Pustaka Amani, 2002), 18. 6
Qur’an dan Terjemahnya, 332.
4
syarat kafâ’ah. Hal ini berarti laki-laki yang akan mengawini seorang perempuan hendaknya kekayaan yang dimilikinya tidak kurang dari kekayaan pihak perempuan.7 Yang dijadikan dalil oleh kelompok ini adalah hadith Nabi dari Samrah yang dikeluarkan oleh Ahmad yang bunyinya : 8
ل ُ 1َQ3ْ َه{َا ا1َ+}ْn3~ْ َه{ِ اO<ِ ْ'2ُ *َ +ْ ,َ س ُ 1!*3 ا َ 7 َR ْ ن َأ ! ل ِإ َ 1َ ل َو ُ 1َQ3ْ ا ُ 7 َ َ 3ْ َا
Artinya: “Derajat seseorang terletak pada harta. Yang paling berharga manusia di antara mereka adalah harta ini” Ketiga, pekerjaan, dalam riwayat kedua yang didukung sebagian ulama’ berpendapat bahwa kekayaan dan harta itu tidak dapat dijadikan syarat kafâ’ah. Dalil yang dipegang golongan ulama’ ini adalah doa Nabi yang berasal dari Anas menurut riwayat at-Tirmizi yang bunyinya : 9
1ً*+ْ )ِ 7 ْ %ِ ْO*ِ 8َ %َ َو َأ1ً*+ْ )ِ 7 ْ %ِ ْO*ِ +َ R ْ !' َأ2ُ A!3َا
Artinya: “Ya Allah hidupkanlah saya dalam keadaan miskin dan matikanlah saya dalam keadaan miskin” Kedudukan usaha atau profesi sebagai syarat kafâ’ah juga menjadi perbincangan dikalangan ulama’.10 Ulama’ yang menjadikannya sebagai kriteria kafâ’ah berdasarkan dengan hadith yang kebanyakan ulama’ tidak menilainya sebagai hadith shahih yang bunyinya : 11
1ً%1!/َْ َأو1ً ِء آ1َR 1!3 ُء ِإ1َG َأ ْآ ٍ .ْ
َ 3ِ ْ'2ُ َ .ْ ,َ ب ُ Fَ .َ 3ْ َا
Artinya: “Orang arab itu sekufu sesamanya kecuali tukang jahit dan tukang bekam” 7
. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta : Prenada Media, 2006), 144. 8
Musnad Ahmad (Darul Qalam, 1987), Hadith No. 19243.
9
Jami’ al-Tirmidzi (Darul Qalam, 1987), Hadith No. 2275.
10
Amir, Hukum Perkawinan, 144.
11
Hafiz Ibn Hajar al-‘asqalaniy, Bulughul Maram (Semarang : Karya Putra), No. 382.
5
Keempat, merdeka, seorang budak tidak dipandang sekufu’ dengan orang merdeka, demikian pula orang yang pernah menjadi budak tidak sekufu’ dengan perempuan yangayahnya belum pernah menjadi budak, karena orang yang merdeka akan merasa terhina apabila hidup bersama seorang budak atau orang pernah menjadi budak atau anak bekas budak. Kelima, tidak cacat, asy-Syafi’I menganggap tidak cacatnya seseorang sebagai ukuran kafâ’ah. Suami yang cacat memungkinkan seorang istri menuntut fasak, dianggap tidak sekufu’ dengan orang yang tidak cacat, meskipun cacatnya tidak menyebabkan fasakh, tetapi yang sekiranyaakan membuat orang tidak senang mendekatinya seperti buta, terpotong atau rusak anggota tubuhnya. Cacat itu menyebabkan orangnya tidak sekufu’. Berbeda dengan pendapat ulama’ Hanafiyah dan Hanabilah, mereka tidak menganggap bersih dari cacat sebagai ukuran kafâ’ah dalamperkawinan. kafâ’ah dalam perkawinan mengandung arti yaitu adanya kesetaraan antara wanita dengan laki-laki. Standar kafâ’ah yang masih menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’ di antaranya adalah agama, kekayaan, pekerjaan, merdeka dan tidak cacat. Selain itu kriteria lain kafâ’ah adalah nasab atau kebangsawanan, sebagaimana yagn terdapat pada kitab Bughiyah Mustarsyidin karya Abdurrahman Bâ ‘Alawî
yang menempatkan nasab
sebagai kriteria kafâ’ah. Jumhur ulama’ juga menempatkan nasab atau kebangsawanan sebagai kriteria kafâ’ah. Dalam pandagan ini orang yang bukan Arab tidak setara dengan orang Arab. Ketinggian nasab orang Arab itu menurut mereka karean
6
Nabi sendiri orang Arab. Bahkan di antara sesama Arab, kabilah Quraisy lebih utama dibandingkan bukan Quraisy. Alasannya seperti tadi yaitu Nabi sendiri berasal dari kabilah Quraisy. Mereka beralasan dengan hadith :
ْ َأو1ً ِءآ1َR 1!3 ِاٍ/ ُ Fَ 3ِ ٌ-/ ُ َو َرO َ 3ِ O R َ َوPٍ Aَ+ْ
ِ Jَ 3ِ Pٌ Aَ+ْ
ِ َ ٍ .ْ
َ 3ِ ْ'2ُ َ .ْ ,َ ُء1َGب َأ ْآ ُ Fَ .َ 3َْا 12
FQ >,آ' > ا13 روا ا1ً %1!R َ
Artinya: “Orang arab adalah kufu orang Arab, Qureisy adalah kufu bagi orang Quraisy. Satu kabilah untuk kabilah, kabilah Hay untuk Hay, seorang untuk seorang, kecuali tukang tenun dan tukang canduk”. (Riwayat al-Hakim dari Ibnu Umar)
ٍ .ْ
َ 3ِ ُء1َG'ْ َأ ْآ2ُ ُ .ْ ,َ ْO3َِا$Qَ 3ْ ُء َوا1َG َأ ْآ ٍ .ْ
َ 3ِ ْ'2ُ َ .ْ ,َ ب ُ Fَ .َ 3ْ ا 13
(-
/ >, ذ1.% >
ار3)روا ا
Artinya: “Orang Arab adalah kufu’ bagi lainnya, orang Mawali kufu’ dengan Mawali lainnya”. (Riwayat al-Bazzar dari Muadz bin Jabal) Dan mereka juga beralasan dengan atsar dari Umar bin Khaththab ra: 14
(O*ارn3ب )روا ا ِ 1َ7R ْ َ ْ> ا َ %ِ 1!3ب ِإ ِ 1َ7R ْ َ ْت ا ِ ج َذوَا َ > َ َ ~و ! .َ *َ %ْ 1َ 3َ
Artinya: “Sungguh saya akan mencegah perkawinan perempuan-perempuan bangsawan kecuali kawin dengan laki-laki yang se-kufu’”. (Riwayat Daruquthni)
َة1َ !َّآـ3 ُم اFِ ْ َ َ ِء َوGْ3 ِة وَا َ َا$Qَ 3ْ ا َ Aَ ٌnR ِ ْءٌ وَا+ َ ُ Aِ َ Qُ 3ْ ا$*ُ ,َ > َو ُ ْ }َ 15
1َ َهـF+ْ َ َو
12
Ibid.
13
Mujamma‘a Zawâidi wa mana’, 1920.
14
Irwâ’ul ghalîl fi takhrij, 283. Abdurrahman Ba Alawi, Bughyatul Mustarsyidin, (Indonesia : Dar al-Ihya’ al-Kutub al-
15
‘Arabiyah), 209.
7
Artinya : “Kami dan Bani Muthalib adalah satu dalam perwalian, fa’I, terhalang zakat dan lain-lainya.” Melalui hadith-hadith itulah Abdurrahman Bâ ‘Alawî berpendapat bahwa orang Arab sekufu’ dengan orang Arab lainnya. Dan lebih spesifikasi lagi bahwa keturunan Nabi yaitu keturunan fatimatuz Zahra’ hanya dapat dinikahi oleh kalangna mereka yang dekat maupun jauh. Abdurrahman Bâ ‘Alawî di dalam kitabnya Bughiyah Mustarsyidin tidak memperbolehkan adanya pernikahan seorang ‘Alawî dengan bukan seorang ‘Alawî, meskipun perempuannya ridha. Sebab keturunan ‘Alawî dipandang sebagai yang paling mulia yang tidak dapat disamai atau diimbangi. Semula keturunan Fatimatuz Zahra’ hanya dapat dinikahi oleh kalangan mereka yang dekat maupun jauh.16 Beliau juga mengatakan bahwa keturunan Fatimatuz Zahra’ adalah milik segenap keluarganya baik yang dekat maupun yang jauh. Bagaimana mungkin mengumpulkan mereka dan meminta izin mereka. Mereka yang mulia itu akan menuntut dan tidak akan memperbolehkan sampai perkawinan itu dibatalkan (dipisahkan antara perempuan ‘Alawî dengan laki-laki bukan ‘Alawî). Karean mereka berbangga dengan nasab mereka dan khawatir kalau nasab mereka diremehkan dan dihinakan.17 Kemudian selanjutnya beliau mengatakan bahwa meskipun para fuqaha’ mengesahkan perkawinannya, bila perempuan itu ridha dan walinya juga ridha, nenek moyang kami mempunyai pilihan yang para ahli fiqih tidak
16
Ibid.
17
Ibid.
8
mampu menangkap rahasianya, maka terima sajalah kamu pasti selamat, ambillah pendapatnya jangan kamu bantah, kamu akan rugi dan menyesal.18 Tidak dapat diragukan bahwa kedudukan dalam hal nasab suami seimbang dengan kedudukan istri itu akan lebih menjamin terwujudnya kebahagian hidup suami
istri, serta rumah tangga mereka akan lebih
terpelihara dari kehancuran. Terlalu rendahnya kedudukan nasab suami dibanding dengan kedudukan nasab calon istri akan menadikan sang istri selalu memandang suami dengan rasa sinis dasn sikap angkuh, mempersulit suami memimpin dan mengendalikan istrinya, bahkan akan menimbulkan kritik-kritik distruktif dari orang tua. Akibatnya, jiwa istri akan menolak untuk tunduk kepada pendapat suaminya itu, harmonisai dan stabilitas rumah tangga selalu terganggu dan ancaman kehancuran rumah tangga selalu di ambang pintu. kafâ’ah nasab atau syarifah yang berimplikasi pada keseimbangan, keharmonisan dan keserasiankehidupan sosial masyarakat tida sesuai dengan maksud yang terkandung dalam kafâ’ah yang sebenarnya. Yaitu dalam hal keagamaan. Sebab kalau kafâ’ah diartikan persamaan dalam hal harta atau kebangsawanan, maka akan terbentuk kasta dan akan terjadi jurang pemisah pada strata social yang ada kaerna tidak sesuai dengan ketentuan yang digariskan Allah swt. Sebgaimana Allah berfirman dalam kitab-Nya :
'ُآ1َJْ َأ ِ اnَ *ْ ِ ْ')ُ %َ Fَ ن َأ ْآ ! ِإ Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling takwa diantara kalian”19 18
. Ibid, 210.
9
karena disisi Allah swt semua adalah sama. Hanya ketakwaannyalah yang membedakannya. Dari semua pendapat para ulama’ terutama yang sangat fanatik tentang nasab syarifah, peneliti tertarik untuk meneliti lebih mendalam tentang konsep kafâ’ah dalam kitab Bughiyah Mustarsyidin yang menekankan pada kafâ’ah syarifah dalam bentuk skripsi dengan judul “PEMIKIRAN ABDURRAHMAN BÂ ‘ALAWÎ TENTANG KAFÂ’AH
SYARIFAH”
(DALAM KITAB BUGHIYAH MUSTARSYIDIN) B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah konsep kafâ’ah syarifah menurut Abdurrahman Bâ ‘Alawî dalam kitab Bughiyah Mustarsyidin ? 2. Bagaimanakah
dasar
hukum
tentang
kafâ’ah
syarifah
menurut
Abdurrahman Bâ ‘Alawî dalam kitab Bughiyah Mustarsyidin ? C. Penegasan Istilah 1. Kafâ’ah syarifah : Sistem kesetaraan perkawinan yang mengatur bahwa seseorang syarifah tidak kufu’ dengan laki-laki non-sayyid. 20 2. Sharifah : wanita keturunan Arab yang masih memiliki kesambungan nasab keatas sampai kepada Nabi Muhammad saw melalui jalur nasab Hasan dan Husain. 21
19
Qur’an dan Terjemahnya, 412.
20
M. Hashim Assaqaf, Derita Putri-Putri Nabi, Studi Historis Kafâ’ah Syarifah (Bandung :
PT. Remaja Rasdakarya , 2006), 26. 21
Ibid.
10
3. Kitab Bughiyah Mustarsyidin : sebuah kitab karya sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar al-Mashhur Bâ ‘Alawî. Yang berisi tentang ibadah, munakahat dan ketauhidan. D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahuhi bagaimanakah konsep kafâ’ah syarifah menurut Abdurrahman Bâ ‘Alawî dalam kitab Bughiyah Mustarsyidin 2. Untuk mengetahui dasar hukum tentang kafâ’ah syarifah menurut Abdurrahman Bâ ‘Alawî dalam kitab Bughiyah Mustarsyidin E. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah : 1. Studi ini diharapkan berguna bagi pengembangan wacana, khususnya dalam memahami konsep kafâ’ah syarifah dan dasar hukum Abdurrahman Bâ ‘Alawî dalam permasalahan ini. Dan diharapkan studi ini dapat menarik minat bagi peneliti lain, khususnya kalangan mahasiswa untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut tentang masalah yang serupa. 2. Dari
hasil
penelitian,
dapat
dilakukan
generalisasi
yang
lebih
komprehensif, apabila hal itu dapat ditempuh, maka akan menjadi sumbangan pemikiran bagi umat Islam dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan fiqih Islam. F. Telaah Pustaka Setelah penulis menelaah dari beberapa literature yang penulis temukan, pembahasan mengenai kafâ’ah dalam pernikahan telah banyak dilakukan dalam kitab al-Ahwal al-Syaksiyah, umpamanya: Muhammad Abu
11
Zahrah menjabarkan beragai hal seputar kafâ’ah. Zahrah membahas perbedaan pendapat di antara madzhab fiqih dalam lingkup kafâ’ah baik tentang kriteria kafâ’ah atau yang berhak baginya kafâ’ah dan lain sebagainya.22 Dalam
kitab
tersebut
Zahrah
mengartikan
kafâ’ah
sebagai
keseimbangan antara suami istri mengenai beberapa hal tertentu supaya terhindar dari perkara yang dapat menghancurkan kehidupan rumah tangga. Jika diambil kesimpulan kriteria-kriteria kafâ’ah tersebut meliputi nasab, Islam (agama), merdeka, harta, keberagaman (kesalehan) dan pekerjaan.23 Ketika membahas madzhab Hanbali, Abu Zahrah menyebutkan adanya dua riwayat dari Imam Ahmad. Pertama, sama dengan pendapat Imam as-Syafi’I kecuali bebas dari cacat; kedua, tidak adanya kafâ’ah kecuali dalam hal ketakwaan dan nasab. Dalam hal ini Zahrah tidak menjelaskan secara mendeteil, ia hanya membahas tanpa menguraikan pendapat-pendapat mereka lebih lanjut. Dalam bentuk skripsi, penelitian tentang kafâ’ah telah dilaukan oleh Siti Muniroh, ia membahas kafâ’ah dalam lingkup madzhab Hanbali dan kafâ’ah dalam kompilasi Hukum Islam. Ia menguraikan panjang lebar dalam masalah kafâ’ah pada madzhab ini.24 Penelitian juga dilakukan Ziara Syufi 22
Muhammad Abû Zahrah, al-Ahwâl al-Syakhsyiyyah (Kairo: Dâr al-Fikr, 1957), 156-168.
23
Ibid., 157.
24
Siti Muniroh, Kriteria Kafa’ah Dalam Perkawinan Menurut Madzhab Hanbalî
Dan
Relevansinya Dengan Kompilasi Hukkum Islam (Skripsi Ini Diterbitkan Di STAIN Ponorogo, 2007).
12
Rasmawati, ia juga membahas kafâ’ah, namun ia lebih kedalam praktek di masyarakat. Syufi meneliti kafâ’ah yang terjadi di kecamatan Ngledok kabupaten Blitar. Ia mengupas secara mendalam praktek kafâ’ah di daerah tersebut kemudian ia meninjaunya dari hukum Islam.25 Penelitian yang serupa, yang sedang diteliti oleh Nugroho, yang hamper sama yaitu kafâ’ah syarifah, namun ia lebih ke dalam praktek di masyarakat. Nugroho meneliti kafâ’ah yang terjadi di kota Malang. Ia membahas praktek kafâ’ah syarifah yang ada di kota Malang. Dari kajian yang telah dilakukan di atas, penyusun tidak menemukan kitab atau literatur-literatur lain yang membahas kafâ’ah
syarifah, maka
penulis memandang penelitian ini masih layak dilakukan. Dalam penelitian ini, penulis mencoba meneliti lebih lanjut persoalan kafâ’ah tersebut dengan mengkaji kitab Bughiyah Mustarsyidin yang di dalamnya terdapat kontroversi di kalangan ulama’, seperti yang telah terpapar pada latar belakang masalah.
25
. Ziara Syufi Rasmawati, Tinjaun Hukum Islam Terhadap Kafa’ah Dalam Memilih Jodoh Di
Kecamatan Ngledok Kabupaten Blitar (Skripsi Ini Diterbitkan Di STAIN Ponorogo, 1999).
13
G. Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah Library Research (penelitian kepustakaan, literer). Artinya sebuah studi dengan mengkaji buku-buku ada kaitannya dengan skripsi ini yang diambil dari perpustakaan. Semua sumber berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan literature-literatur lainnya. Dalam hal ini literature-literatur atau data yang akan diteliti adalah sebuah kitab Bughiyah Mustarsyidin karya Abdurrahman Bâ ‘Alawî tentang kafâ’ah syarifah. Serta literatur atau data lain yang mendukung. Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua sumber data yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer tersebut adalah data dari kitab Bughiyah Mustarsyidin tentang kafâ’ah syarifah. Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku yang penulis rujuk untuk melengkapi data-data yang tersedia dalam sumber data primer seperti : Bughiyatul Mustarsyidin karya Abdurrahman Bâ ‘Alawî, pedoman hidup berumah tangga dalam Islam karya M. Ali Hasan, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) karya Sa’id bin Abdullah, terj. Agus Salim, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan UndangUndang Perkawinan karya Amir Syarifuddin, al-Ahwal al-Syakhsyiyyah karya Muhammad Abu Zahra, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Vol.7, karya Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-Sunnah Vol.2 karya Sayyid Sabiq, Fiqh Lima Madzhab : Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hanbali karya Muhammad Jawwad Mughiroh.
14
Analisa data penulis menggunakan analisa interaktif. Analisa interaktif adalah
26
proses analisa yang mencakup pengumpulan data,
pengolahan data, sampai denga kesimpulan. Di mana proses tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain melalui tahap-tahap sebagai berikut : 1. Pengumpulan data yaitu proses penghimpunan data dari literature-litaratur yang sesuai dengan obyek pembahasan. 2. Reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul. 3. Penyajian data yaitu menyajikan sekumpulan data yang telah tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. 4. Menarik kesimpulan/verifikasi. H. Sistematika Pembahasan Agar lebih mudah dalam pembahasan skripsi ini, maka penulis akan membagi lima bab dan beberapa sub bab yang secara garis besarnya dapat penulis gambarkan sebagai berikut : Bab pertama, merupakan pendahuluan dari pada skripsi ini yang meliputi : latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan studi, kegunaan studi, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Hal ini dimaksudkan untuk mengarahkan pembaca kepada substansi penelitian ini.
26
. Mafthew B. Miles A, Michel Hubberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta : UII Press,
1992), 15.
15
Bab kedua, dalam bab ini diuraikan tentang kafâ’ah dalam pernikahan secara umum yang meliputi pengertian kafâ’ah, dasar hukum kafâ’ah, macam-macam kriteria kafâ’ah, waktu menetukan kufu’, dan diakhiri dengan penjelasan mengenai pengaruh kafâ’ah terhadap tercapainya tujuan pernikahan, dengan tujuan untuk memberikan gambaran umum tentang kafâ’ah yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini. Bab ketiga, dalam bab ini, penyajian data tentang kafâ’ah yang ada pada kitab Bughiyah Mustarsyidin. Yang mengenai tentang konsep kafâ’ah syarifah dasar hukum dan kriteria kafâ’ah syarifah yang ada pada kitab Bughiyah Mustarsyidin. Bab keempat, merupakan analisa untuk mendapatkan
kesimpulan
yang valid. Yaitu analisa terhadap konsep dan dasar hukum konsep kafâ’ah syarifah dalam kitab Bughiyah Mustarsyidin karya Abdurrahman Bâ ‘Alawî terhadap kafâ’ah syarifah. Selanjutnya bab lima, akhirnya kesimpulan dan saran dituangkan dalam bab ini yang sekaligus untuk mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini.
16
BAB II
KONSEP KAFÂ’AH SECARA UMUM
A. Pengertian Kafâ’ah Kafâ’ah dalam perkawinan ialah persesuain keadaan antara suami dengan istri sama kedudukannya. Suami seimbang kedudukannya dengan istrinya di masyarakat, sama baik akhlak dan kekayaannya.27 Persamaan kedudukan suami dan istri akan membawa ke arah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakberuntungan. Demikian gambaran yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafâ’ah. Perkataan kufu’ juga terdapat dalam firman Allah swt surat al-Ikhlas ayat 4, yang berbunyi :
nُ R َ ًا َأ$Gُ ُآDُ 3َ ْ>)ُ Eَ ْ'3َ Artinya : “Tidak satupun yang menyamai-Nya”28 Dalam suatu hadith yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Hakim, Rasulullah saw bersabda :
ْ' ُؤ َُه1َ% َد1َ< 1َ )َ 8َ َ ن َ ْ$Qُ Aِ7 ْ Qُ 3ا Artinya : “Kaum muslimin satu sama lain darah mereka sepadan”29
27
Zakiah Darajat, Ilmu fiqih jilid 2 (Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995), 732.
28
Qur’an dan Terjemahnya, 485.
29
Sunan Abu Daud (Darul Qalam, 1997), hadith No. 2371
17
Menurut Abu Ubaid : yang dimaksud sepadan dalam hadith tersebut adalah kesamaan dalam hal pemberlakuan hukum diyat dan qishas, bukan persamaan kemuliaan berdasarkan keutamaan. Menurut ulama’ Hanafiyah, kafâ’ah adalah kesepadanan yang khusus antara laki-laki dan perempuan. Menurut ulama’ Malikiyah, kafâ’ah adalah kesepadanan dalam hal agama dan keadaan yaitu selamat dari aib yang mewajibkan perempuan untuk menggunakan hak pilihnya30. Menurut ulama’ Safi’iyah, kafâ’ah adalah suatu urusan yang mewajibkan untuk menolak adanya aib dan kehinaan, terutama kesepadanan laki-laki terhadap perempuan dalam kesempurnaan keadaan keduanya sehingga selamat dari aib. Menurut ulama’ Hanabilah, kafâ’ah
adalah
kesamaan dan kesepadanan dalam lima perkara yaitu agama, nasab, kemerdekaan, pekerjaan dan kekayaan31. Ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan adanya
kafâ’ah. Dalam al-
Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 232, Allah swt berfirman :
> ِإذَا ! 2ُ / َ > َأزْ َو َ ْ )ِ *ْــEَ ْ> َأن ! ْ ُه$Aُ ُ .ْ َ ¨ َ <َ > ! 2ُ Aَ/ َ > َأ َ ©ْــAَ
َ <َ َءªَ7*9 3ُـ ُ' ا8ْـJَA« َ َوِإذَا ف ِ ْوFُ .ْ Qَ 3ْ 1ِ, ْ'2ُ *َــ+ْ ,َ ْا$َــFَ Artinya : “Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf” 32
30
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid juz 2, (Beirut : Darul Fikr), 15
31
Sa’id bin Abdullah, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), terj. Agus Salim, (Jakarta :
Pustaka Amani, 2002), 17. 32
Qur’an dan Terjemahnya, 29.
18
Maksud dari ayat tersebut adalah, wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan percaya kepada Rasul-Nya, jika kalian menjatuhkan talak kepada istri-istri kalian hingga habis iddahnya dan bekas suami mereka atau orang lain hendak mengawini mereka dan mereka juga menghendaki demikian, maka janganlah kalian (wali-wali mereka) mencegah mereka melakukan perkawinan jika keduanya sudah suka sama suka berdasarkan syari’at dan adat, yaitu tidak ada di dalamnya sesuatu yang diharamkan atau yang tidak mengandung kebaikan dan dapat menodai mereka (kaum wanita) sehingga kaum kerabat mereka pun ikut ternoda karenanya. Dalam tafsir al-Maraghi dijealskan : bahwa dalam firman Allha swt tersebut, kata
ْ'2ُ *َــ+ْ ,َ
(diantara mereka) menunjukkan tidak ada halangan bagi
seorang lelaki untuk melamar wanita (janda) tersebut langsung kepada dirinya dan bersepakat dengannya untuk melakukan perkawinan. Pada saat itu diharamkan pada walinya menahan dan menghalang-menghalangi melakukan pernikahan dengan orang yang melamarnya.33 Sebagaimana yang dijelaskan oleh firman-Nya dalam kata
ف ِ ْوFُ .ْ Qَ 3ْ 1ِ,
menunjukkan bahwa melarang atau mempersulit seorang janda melakukan perkawinan, hanya diperbolehkan jika ternyata laki-laki yang melamarnya tidak sepadan (tidask sekufu’) dengan janda tersebut, misalnya, seorang wanita terhormat hendak dinikahi oleh laki-laki berakhlak rendah yang dapat merusak kehormatan wanita tersebut serta mencemarkan kerabat dan sanak 33
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, Hery Noer Aly,
juz. 2 (Semarang : CV. Toha Putra, 1994) 233.
19
familinya. Jika memang demikian, maka wajib bagi walinya mengallihkannya dari laki-laki tersebut dengan nasehat dan petunjuk yang bijaksana.34 Sebagian ahli fiqih ada yang memperbolehkan melarang wanita kawin jika ternyata mahar yang diserahkan oleh pelamar masih di bawah mahar yang sepadan (mitsil). Tetapi harus diingat, bahwa jika yang datang melamar adalah seorang lelaki yang baik perangainya serta berakhlak mulia dan diharapkan dapat membina suatu rumah tangga yang baik, tetapi ia tidak bias membayar mahar yang banyak atau sulit dilakukannya olehnya, maka saat itu wajib bagi walinya menikahkannya dan tidak boleh mencegahnya. Dalam kitab Al-Ahwal Al-Syakhsyiyyah, umpamanya, Muhammad Abu Zahrah menjabarkan berbagai hal seputar kafâ’ah. Zahrah membahas perbedaan pendapat di antara madzhab fiqh dalam lingkup kafâ’ah baik tentang kriteria kafâ’ah atau yang berhak baginya kafâ’ah dan lain sebagainya.35 Dalam
kitab
tersebut
Zahrah
mengartikan
kafâ’ah
sebagai
keseimbangan antara suami istri mengenai beberapa hal tertentu supaya terhindar dari perkara yang dapat menghancurkan kehidupan rumah tangga. Jika diambil kesimpulan dari kriteria-kriteria kafâ’ah tersebut meliputi nasab, Islam (agama), merdeka, harta, keberagaman (keshalehan) dan pekerjaan.36 Ketika membahas madzhab Hambali, Abu Zahrah menyebutkan adanya dua riwayat dari Imam Ahmad. Pertama, sama dengan pendapat Imam al-Syafi’i 34
Ibid.
35
Muhammad Abu Zahra, Al-Ahwal Al-Syakhsyiyyah (Kairo : Dar al-Fikr, 1957), 156.
36
Ibid., 157.
20
kecuali bebas dari cacat. Kedua, tidak adanya kafâ’ah kecuali dalam hal ketakwaan dan nasab. Dalam hal ini Zahrah tidak menjelaskan secara mendetail, ia hanya membahas tanpa menguraikan pendapat-pendapat mereka lebih lanjut. Dalam Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Wahbah al-Zuhaili menerangkan bahwa kafâ’ah adalah kesesuain antara suami istri dalam halkemasyarakatan supaya keberlangsungan hidup berumah tanga dapat terjaga. Dalam kitab ini Wahbah menguraikan permasalahan kafâ’ah secara terperinci, terutama ketika menjelaskan perbedaan dikalangan fuqaha’ dalam maslah kafâ’ah sebagai syarat pernikahan. Wahbah menjelaskan bahwa ada dua pendapat dalam menentukan kafâ’ah sebagai syarat nikah tersebut. Pendapat pertama mengatakan bahwa kafâ’ah bukan merupakan syarat pernikahan baik syaratsyarat sah nikah atau luzum /lazim (syarat yang memungkinkan adanya fasakh). Menurut pendapat pertama ini, perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan tetap sah walaupun keduanya tidak sekufu’. Pendapat kedua adalah pendapat para jumhur fuqaha’ yang mengatakan bahwa kafâ’ah adalah syarat lazim bukan syarat sah nikah. Menurut pendapat ini apabila seorang perempuan dinikahi laki-laki yang tidak sekufu’ dengannya, maka akad perkawinan tetap sah tetapi untuk walinya berhak menolak (memfasakh) akad itu untuk mencegah aib diantara mereka.37 Mengenai kriteria kafâ’ah Wahbah menjelaskan dengan rinci, ia mengatakan kriteria itu meliputi keberagaman (iffah atau taqwa), Islam, 37
234.
Wahbah Al-Zuhayli, Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol 7 (Damaskus : Dar al-Fikr, 1989),
21
merdeka, nasab, harta (kekayaan), pekerjaan (profesi) dan bebas dari cacat. Adapun mengenai madzhab Hambali ia secara global tidak menyebutkan adanya perbedaan dikalangan madzhab ini. Madzhab ini memberikan kriteria kafâ’ah dalam lima hal : agama, kemerdekaan, nasab, kekayaan dan pekerjaan.38 Masih dalam pembahasan kafâ’ah, Sayyid Sabiq dalam kitabnya fiqh al-sunnah mengemukakan pendapatnya bahwa dalam perkawinan memang diperlukan kesederajatan, kesepadanan atau kafâ’ah, maksaudnya antara calon suami dan istri harus sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak dan agama sehingga tidak diragukan lagi jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding merupakan faktor kebahagian hidup suami istri dan akan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan dalam rumah tangga.39 Dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah karangan Muhammad Jawwad al-Mughniyah disebutkan bahwa kesepadanan antara suami istri dalam perkawinan ini meliputi : Islam, merdeka, keahlian dan nasab, ini menurut madzhab Hanafi, Syafi’ai dan Hambali, sedangkan Imamiyah dan Malikiyah tidak memandang kafâ’ah ini. Jawwad hanya membahas tentang perbedaan pendapat dikalangan fuqaha’ dalam menentukan kriteria kafâ’ah tanpa menyebutkan daling dari masing-masing kriteria
38
Muhammad Abu Zahra, Al-Ahwal Al-Syakhsyiyyah, 240.
39
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah Vol. 2 (Beirut : Dar al-Fikr), 143.
22
tersebut. Mengenai madzhab Hambali, ia menentukan sama dengan pendapat para madzhab.40 Adapun yang menjadi ukuran kafâ’ah (sepadan) adalah menurut adat istiadat yang berlaku pada masyarakat umumnya. Jadi bukan menurut ukuran golongan elit atau yang berpangkat dan berkedudukan tinggi. Apa yang dianggap oleh masyarakat umum tidak cocok dengan wanita dan status keluarganya, maka hal itu boleh dijadikan alasan bagi walinya untuk mencegah terjdinya perkawinan, sebab akibatnya akan membawa malapetaka yang lebih berat. Sebagaimana seorang walipun tidak berhak memaksanya menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Sebab hal ini sering membawa malapetaka dankerusakan pada rumah tangga. Sayid Rasid Ridha dalam tafsir al-Manar mengatakan, para ahli fiqih telah mengambil dalil dari ayat ini bahwa menghalangi pernikahan yang tidak sekufu’ bukanlah suatu yang haram, seperti menghalangi pernikahan seorang wanita yang mulia dalam suatu kaum dengan seorang lelaki hina yang akan membawa wanita tersebut ke dalam derajat yang rendah. Sedang menurut Imam Syafi’i, masalah kafâ’ah pertma kali diistinbat berdasarkan hadits dari Bariroh. Bariroh dikawinkan dengan lelaki yang tidak sekufu’ dengannya, beliau mengadu kepada Rasulullah saw dan beliau memberikan hak untuk memilih kepada Bariroh. Hadith yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Imam Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersabda : 40
Muhammad Jawwad Mughiroh, Fiqh Lima Madzhab : Ja’far, Hanafi, Maliki, Syafi’I,
Hanbali, terj. Maskur AB. Dkk, Vol. 7 (Jakarta : Lentera, 2000), 350.
23
'Eَ®ت وَا ِ َاFَــR َ َز َة ِإذَا1َ* َ 3ْ ْ وَاK¨ َة ِإذَا ¯َــ َ° ! 3> ا ! ُهFَ !ــBvَ َــ َ OِA َ 1َ E ٌ¨ث َ ــ² 41
ًاvَــGَتْ آnَ َــ/إذَا َو
Artinya : “Wahai Ali ada tiga perkara jika tiba waktunya tidak boleh ditundatunda : shalat jika telah masuk waktunya, jenazah jika telah hadir untuk dishalatkan dan wanita telah datang yang sekufu’ degnannya” Hadith yang diriwayatkan oleh al-Hakim, Ibnu Majah, al-Baihaqi dan alDaruquthni, dari Aisyah bersabda Rasulullah saw bersabda : 42
ْ'2ِ ْــ+3َْا ِإ$ ُء وَا}ْــ ِ)ُـــ1ــَـGْ®آ َ ْا ا$ ُ )ِ }ْ َـــ)ُـــ'ْ وَاG ْ *~ 3وْ اFُ +! ³ َ َ
Artinya : “Pilihlah wanita sebagai wadah untuk menumpahkan nutfahmu, carilah mereka yang sekufu’ denganmu dan kawinilah mereka” Hadith yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Daruquthni, dari Jabir bin Abdillah al-Anshori Rasulullah saw bersabda : 43
ُء1َ ـــ+ِ3ْ®و َ ا ! > ِا ! 2ُ / ُ و9 َ Eُ َ ُء َو1َ ـــGْ®آ َ ا ! ُء ِإ1َ ـــ79*3ْا ا$ َ*ْــ ِ)ُـــ َ
Artinya : “Janganlah engkau menikahkan wanita kecuali dengan yang sekufu’ dan janganlah engkau mengawinkannya kecuali dengan izin walinya …” Hadith yang diriwayatkan al-Hakim dan ia mensahihkannya, Rasulullah saw bersabda : 44
ِء1َـــG® ْآ َ اFِ +ْ َ ْO<ِ 1َ ْه$.ُ ََــــ َ )ُـــ'ْ َوGَ ْ *~ 3وْ اFُ +! ³ َ َ
Artinya : “Pilihlah wanita sebagai wadah untuk menumpahkan nutfahmu, carilah mereka yang sekufu’ ”
41
Sunan Al-Tirmidzi (Darul Qalam, 1987), Hadith No. 156.
42
Sunan Ibnu Majah (Darul Qalam, 1987), Hadith No. 1958.
43
Sunan Kubro lilbaihaqiy, no. 1514.
44
Albahrul madîd, 216.
24
B. Dasar Hukum Kafâ’ah 1. Al-Qur’an Dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13, Allah swt berfirman :
ْ' ُآ1َJْ َأ ِ اnَ *ْ ِ ْ')ُ %َ Fَ ن َأ ْآ ! …ِإ. Artinya : “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu”.45 Ayat ini menunjukkan adanya kafâ’ah dalam segi agama dan akhlaq. Allah swt menjadikan orang-orang yang bertakwa lebih utama dari orang-orang yang tidak bertakwa. Dan menafikan adanya kesetaraan di antara keduanya dalam hal keutamaan. Hal ini menunjukkan adanya dua hal. Pertama, adanya ketidaksetaraan dasn kedua, terdapat
perbedaan
kemuliaan dalam hal taqwa. Diantara dalil lain yang mendukung kedua hal tersebut adalah surat al-Zumar ayat 9, yang berbunyi : 46
ۗن َ ْ$ُـــQAَْــ.Eَ َ > َ Eْ {ِ 3!ن وَا َ ْ$Qُ َــA.ْ Eَ > َ ْE{ِ 3!ِى ا$َـــ87 ْ Eَ ْ-ْ َه-ُ .....
Artinya : “Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui”
> َ ْــ+
ِ +! ! Aِ3 K ُ ٰ
+9 !ــ3وَا
ِۖK¸ٰـــ+ْ
ِ ³ َ Aْ 3ِ ن َ ْ$¸ُــ+ْ
ِ ³ َ 3ْ > وَا َ +ْ ¸ِ +ْ
ِ َــ³Aْ 3ِ K ُ ¸ٰــ+ْ
ِ َـــ³3ْ َأ 47
ِۚKٰ
+9 ! Aِ3 ن َ ْ$
ُـــ+9 ! 3وَا
Artinya : “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wwanita yang baik adalah untuk laki-laki yang 45
Qur’an dan Terjemahnya, 412.
46
Ibid, 367.
47
Ibid, 281.
25
baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik pula” Berkaitan dengan hadith Rasulullah saw, yang berbunyi : 48
Dُ َـــJAْ B ُ َوDُ *َـــEْ ن ِد َ ْ$ َ Fَ َ ْ>%َ ْ' ُآLَ َـــ/ ِإذَا.....
Artinya : “Jika telah datang seorang yang engkau ridha akan agama dan akhlaqnya” Menurut al-Syaukani dalam kitabnya Nail al-Author bahwa hadith tersebut adalah dalil kafâ’ah dari segi agama dan akhlak. Dan ulama’ yang berpendapat demikian adalah Imam Malik. Telah dinukil dari Umar, Ibnu Mas’ud dari Tabi’in yang meriwayatkan dari Muhammad Ibnu Sirrin dan Umar bin Abdul Aziz menunjukkan bahwa ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling takwa di antara kamu, yang merupakan dalil kafâ’ah dalam masalah nasab, begitulah seperti yang disepakati jumhur. Dalam ayat lain, surat al-Furqan ayat 54, Allah swt berfirman :
ن َ 1اۗ َوآَـFً 2ْ ½ ِ َو1ً
َـــ7}َ Dُ َـــA.َ َ ًا <َــF»َـــ,َ ِءªـــQْ3>َ ا%ِ @ َ َــAَـــB ْ ِ{ي3! ا$َ َو ُه 49
ًاFEْ nِ َ M َ ~ــ,َر
Artinya : “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan Tuhanmu maha kuasa”
48
Sunan Al-Tirmidzi (Darul Qalam, 1987), Hadith No. 1004.
49
Qur’an dan Terjemahnya, 291.
26
Menurut Ibn Qayyim, kafâ’ah berkaitan erat dengan kesempurnaan budi pekerti, seorang muslimah jangan dikawinkan dengan laki-laki kafir, perempuan yang tidak berzina jangan dikawinkan dengan laki-laki jahat, al-Qur’an dan sunnah tidak menyebut kafâ’ah selain agama.50
2. Hadith Nabi saw a. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda :
1َ2*ِـــEْ nِ 3ِ َو1َ2
ِـــ7 َ َــ3ِ َو1َ 2ِــ31َQ َ 3َِ و1َـــ23ِ1َــQ3ِ ¾َ َـــ,ْ®ر َ َْأ َة اFَـــQ3ْ ¿ ا ُ َ ْ*)ِـــ 51
ك َ nَ Eَ K ُ ,َ ْFَ > َ ْــEn9 ـــ3ت ا ِ {َا,ِ Fَ Gَ Á َ 1<َــ
Artinya : “Wanita itu dinikahi karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Maka carilah wanita yang taat kepada agama, niscaya akan beruntung” Menurut Ibn Hajar, yang dimaksud dengan asal-usul keturunan (nasab) adalah kemuliaan leluhur dan kerabat. Al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi al-Kabir Syarah Mukhtashor al-Muzani mengatakan, bahwa syarat yang kedua (dari syarat-syarat kafâ’ah) adalah nasab, berdasarkan hadits Nabi saw : “Wanita itu dinikahi karena hartanya, asal-usul keturunannya……” yang dimaksud dengan asal-usul keturunannya adalah kemuliaan nasabnya. b. Diriwayatkan oleh Muslim dari Watsilah bin al-Asqa’, Rasulullah saw bersabda :
50
Al-Hamdani, Risalah, 29.
51
Shahih Bukhari (Darul Qalam, 1987), hadith No.4700.
27
ْO*ِ ,َ ْ>%ِ ٰG َ½ ْ وَاَ ْـــ+ ِ 1َــQu ْ ْ ِإO*ِـ,َ ْ>%ِ Pَ }َ 1ْ آِ*َــO*ِ ,َ ٰGَ½ ْ اDَ Aّٰ3ن ا ! ِإ ْO*ِ ,َ ْ>%ِ ْO}ِ 1َG َ½ ْ ِـــ ُ' وَا1َْ هO*ِ ,َ Â ٍ Eْ َFُ ْ>%ِ ٰG َ½ ْ وَا1»ْــEFَ ُ Pِ }َــ1َ *ِآ 52
'ِ ِــــ1هَـ
Artinya : “Sesungguhnya Allah swt telah memilih bani Kinanah dari bani Ismail, dan memilih dari bani Kinanah Quraisy, dan memilih dari Quraisy bani Hasyim, dan memilih aku dari bani Hasyim” Hadith di atas menjelaskan tentang keutamaan Bani Hasyim. Allah swt telah memuliakan mereka dengan memilih Rasul-Nya dari kalangan mereka. Hal ini menunjukkan kemuliaan yang Allah swt berikan kepada ahlul bait Nabi saw. Imam al-Baihaqi menggunakan hadith ini sebagai dasar adanya kafâ’ah dalam hal nasab. c. Hadith yang diriwayatkan oleh al-Haim, Ibnu Majah, al-Baihaqi dan al-Daruquthni, dari Aisyah bersabda Rasulullah saw : 53
ْ'ِـــ2+ْ 3َْا ِإ$ َء وَا ْ} ِ)ُـــ1َـــG® ْآ َ ْا ا$ ُ )ِ }ْ ُ)'ْ وَاGَ ْ *~ 3وْ اFُ +! ³ َ َ
Artinya : “Pilihlah wanita sebagai wadah untuk menumpahkan nutfahmu, carilah mereka yang sekufu’ denganmu dan kawinilah mereka”
3. Kafâ’ah menurut ulama’ madzhab. Dalam kitab al-Fiqih ‘ala al-Madzhahib al-Arba’ karangan Abdurrahman al-Jaziry, disebutkan bahwa yang termasuk perkara kafâ’ah adalah agama, keturunan, kekayaan, pekerjaan dan bebas dari cacat. Para fuqaha’ telah sepakat bahwa faktor agama termasuk dalam pengertian 52
Shahih Muslim (Darul Qiyam, 1965), Hadith No. 4221.
53
Sunan Ibnu Majah (Darul Qalam, 1987), Hadith No. 1958.
28
kafâ’ah,
kecuali pendapat dari Muhammad bin Hasan yang tidak
memasukkan
faktor
agama
dalam
pengertian
kafâ’ah.
Tidak
diperselisihkan lagi di kalangan madzhab Maliki, bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamer atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan antara keduanya. Begitu pula halnya apabila ia dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata talaq. Fuqaha’ berselisih pendapat tentang faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafâ’ah atau tidak. Begitu pula tentang faktor kemerdekaan, kekayaan dan bebas dari cacat (aib). Menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik, dibolehkankawin dengan hamba sahaya Arab, dan mengenai hal itu ia beralsan dengan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi :
ْ' ُآ1َJْ َأ ِ اnَ *ْ ِ ْ')ُ %َ Fَ ن َأ ْآ ! ِإ Artinya : “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu”.54 Akan tetapi dalam perkawinan hamba sahaya tersebut ulama’ Malikiyah mempunyai dua pendapat : pertama, jika hamba sahaya berkulit putih kawin dengan wanita merdeka maka perkawinannya kufu’. Kedua,
54
Qur’an dan Terjemahnya, 412.
29
jika perkawinan antara hamba sahaya berkulit hitam dengan wanita merdeka maka perkawinannya tidak sekufu’ dan itu merupakan aib. Sufyan al-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya. Imam Abu HAnifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy. Dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula55. Silang pendapat ini disebabkan pendapat mereka tentang pemahaman dari sabda Nabi saw :
ك َ َاnَــE 1َــ2*ِ ْـEnِ 3ِ َو1َ2
ِ ْـــ7 َ 3ِ َو1َـــ23ِ1َــQ َ 3ِ َو1َـــ23ِ1َQ3ِ ¾َ ,َ ْ®ر َ َْأ َة اFQَ 3ْ ¿ ا ُ َ ْ*)ِـــ 56
ك َ َاnEَ ْK,َ Fِ َ > ِ Eْ n9 ــــ3ت ا ِ ِـــ{َا, ْFGَ Á َ 1<َــــ
Artinya : “Seorang wanita itu dinikahi karena 4 perkara : hartanya, karena kedudukannya, (martabatnya), kecantikannya dan karena agamanya. Maka carilah yang taat kepada agama, niscaya akan beruntung” Segolongan fuqaha’ ada yang memahami bahwa faktor
karena karena wanita agama
sajalah yang dijadikan pertimbangan. Demikian itu karena didasarkan kepada sabda Nabi saw : ….maka carilah wanita yang taat pada agama. Segolongan yang lain berpendapat faktor nasab (keturunan)sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan. Dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafâ’ah kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma’ yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafâ’ah. Semua fuqaha’ yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat, mereka akan menganggap bebas dari cacat termasuk dalam lingkup 55
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 10.
56
Shahih Bukhari, (Darul Qalam, 1987) Hadith No. 4700.
30
kafâ’ah. Berdasarkan pendapat ini ada yang memasukkan kecantikan sebagai lingkup kafâ’ah. Di kalangan madzhab Maliki, tidak diperselisihkan lagi faktor kemiskinan (pada pihak lelaki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya, begitu pula faktor kemerdekaan (bukan budak). Mengenai mahar mitsil (yakni yang semisal ukurannya), maka Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut tidak digolongkan sebagai kafâ’ah. Oleh karenanya seorang ayah boleh mengawinkan anak gadisnyadengan mahar yang kurang dari mahar mitsil. Sedangkan Imam Hanafi memasukkan mahar mitsil sebagai kafâ’ah. Semua Imam Madzhab dalam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sepakat akan adanya kafâ’ah walaupun mereka berbeda pandangan dalam menerapkannya. Salah satu yang menjadi perbedaan tersebut adalah dalam masalah keturunan (nasab). Dalam hal keturunan orang Arab adalah kufu’ antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya orang Quraisy dengan Quraisy lainnya. Karena itu laki-laki yang bukan Arab (Ajam) tidak sekufu’ dengan wanita-wanita Arab. Laki-laki Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy tidak sekufu’ dengan wanita Quraisy. Hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda :
31
57
ل ٍ sُـــ/Fَ ,ِ ٌ-ُـــ/ َو َرPٍ Aَْــ+
ِـJَ ,ِ Pٍ Aَ
ِ َ ٍ .ْ
َ 3ِ ُء1َـــG'ْ َأ ْآ2ُ َ .ْ ,َ ب ُ Fَ .َ 3ْ َا
Artinya : “Orang-orang Arab sekufu’ satu dengan yang lainnya. Kabilah dengan kabilah lainnya, kelompok yang satu sekufu’ dengan kelompok yang lainnya, laki-laki yang satu sekufu’ dengan yang lainnya” Hadith riwayat Aisyah, bahwa Rasulullah saw bersabda : 58
ُء1َــGب َأ ْآ ِ Fَ .َ Aْ 3ِ ب ُ Fَ َـــ.3ْ َا.....
Artinya : “ Orang-orang Arab satu dengan yang lainnya adalah sekufu’ “ Menurut Imam Hanafi : laki-laki Quraisy sepadan (kufu’) dengan wanita Bani Hasyim. Menurut Imam Syafi’i : laki-laki Quraisy tidak sepadan (tidak sekufu’) dengan wanita Bani Hasyim dan wanita Bani Muthalib.59 Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim :
Pِ }َــ1َ *ِْ آO*ِ ,َ ْ>%ِ ٰG َ½ ْ وَاَ ْـــ+ ِ 1َــQu ْ ْ ِإO*ِـ,َ ْ>%ِ Pَ }َ 1ْ آِ*َــO*ِ ,َ ٰGَ½ ْ اDَ Aّٰ3ن ا ! ِإ 60
'ِ ِــــ1ْ هَـO*ِ ,َ ْ>%ِ ْO}ِ 1َG َ½ ْ ِـــ ُ' وَا1َْ هO*ِ ,َ Â ٍ Eْ Fَ ُ ْ>%ِ ٰG َ½ ْ وَا1»ْــEFَ ُ
Artinya : “Sesungguhnya Allah swt telah memilih bani Kinanah dari bani Ismail, dan memilih dari bani Kinanah Quraisy, dan memilih dari Quraisy bani Hasyim, dan memilih aku dari bani Hasyim” Akan tetapi kebanyakan ahli fiqih berpendapat bahwa kafâ’ah merupakan hak bagi perempuan dan walinya. Seorang wali tidak boleh mengawinkan permpuan dengan laki-laki tidak sekufu dengannya kecuali denga ridhanya dan ridha segenap walinya. Jika para wali dan perempuannya ridha maka ia boleh dikawinkan, sebab para wali berhak 57
Tibaqât ilmuhadithina bi asbahân, No. 1210, 280.
58
Jâmi’ilahâdîth, 355.
59
Sa’id bin Abdullah, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), 20.
60
Shahih Muslim (Darul Qalam, 1987), Hadith No. 4221.
32
menghalangi kawinnya perempuan dengan laki-laki yang tidak sepadan (tidak kufu’). Dari uraian dan pendapat diatas sebagai berikut : 1. Menurut Imam Syafi’i : jika perempuan yang dikawinkan dengan lakilaki yang tidak sepadan (tidak sekufu’) tanpa ridhanya dan ridha para walinya, maka perkawinannya batal. 2. Menurut Imam Hanafi : jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat (tidak kufu’) tanpa persetujuan walinya, maka perkawinan tersebut tidak sah dan wali berhak untuk menghalangi perkawinan wanita dengan pria yang tidak sederajat tersebut atau hakim dapat memfasakhnya, karena yang demikian itu akan menimbulkan aib bagi keluarga. 3. Menurut Imam Ahmad : perempuan itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat maupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridha dikawinkan dengan laki-laki yang tidak sederajat (tidak kufu’), maka ia berhak membatalkan. Riwayat lain dari Ahmad, menyatakan : bahwa perempuan adalah hak Allah, sekiranya seluruh wali dan perempuannya sendiri ridha menerima laki-laki yang tidak sederajat (tidak sekufu’), maka keridhaan mereka tidaklah sah.
C. Macam-Macam Kafâ’ah Ibnu Hazm pemuka madzhab Zhahiriyah, yang dikenal sebagai mujtahid mutlak tidak mengakui adanya kafâ’ah dalam perkawinan. Ia berkata
33
: “setiap muslim selama tidak melakukan zina boleh kawin dengan perempuan muslimah siapapun orangnya asal bukan perempuan pezina”. Semua orang Islam adalah saudara.tidaklah haram perkawinan seorang budak hitam dari Ethiopia dengan perempuan keturunan bani Hasyimi. Seorang muslim kelewat fasik, asal tidak berzina adalah kufu’ bagi muslimah yang fasik asalkan perempuan itu tidak berzina.61 Demikian pendapat Ibn Hazm yang tidak mengakui adanya kafâ’ah dalam perkawinan. Ulama’ malikiyah mengakui adanya kafâ’ah, tetapi menurut mereka kafâ’ah hanya dipandang dari sifat istiqomah dan budi pekertinya saja. kafâ’ah bukan karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan atau kekayaannya. Seorang laki-laki saleh yang tidakbernaab boleh kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha kecilboleh kawin dengan pengusaha besar, orang hina boleh saja kawin dengan orang yang terhormat, seorang laki-laki miskin boleh kawin dengan perempuan kaya raya asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-lakinya tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan. Apabila pihak laki-laki jelek akhlaknya ia tidak sekufu’ dengan perempuan yang salehah, si permpuan berhak menuntut fasakh apabila ia masih gadis dan dipaksa kawin dengan laki-laki fasik.62 Demikian pendapat madzhab Maliki tentang kafâ’ah yaitu persamaan akhlak dan agamanya, bukan ukuran lainnya. Pendapat ini lebih dekat dan 61
Abdul Ghani Aziz, Hukum-Hukum Perkawinan Dan Kekeluargaan Dalam Islam, 71.
62
Sa’id bin Abdullah, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), 24.
34
lebih cepat dengan ajaran Islam. Tetapi kenyataanya, ahli fiqih dari kalangan Hanafi, Syafi’i serta Hambali memasukkan ukuran lain dalam kafâ’ah tidak seperti yang digariskan oleh Malikiyah. Dengan demikian, kafâ’ah mempunyai banyak persepsi aspek, kafâ’ah dalam perkawinan tidak bersifat menyeluruh
atau sederajat secara
keseluruhan dari berbagai aspeknya. Dimensi kafâ’ah dapat dilihat dari hal-hal berikut :63 Pertama, nasab, orang Arab adalah sekufu’ bagi orang Arab, Quraisy adalah kufu’ bagi Quraisy. Kedua, merdeka, seorang budak tidak dipandang sekufu’ dengan orang merdeka, demikian pula orang yang pernah menjadi budak tidak sekufu’ dengan perempuan yang ayahnya belum pernah menjadi budak, karena orang yang merdeka akan meras terhina apabila hidup bersama seorang budak atau orang yang menjadi budak atau anak bekas budak. Ketiga, Islam, kufu’ berdasarkan ke-Islaman ini pada dasarnya digunakan bagi selain orang Arab. Sedangkan orang Arab kafâ’ahnya tidak diukur dengan keIslamannya, sebab mereka bangga dengan nasab atau keturunan mereka, mereka tidak akan bangga dengan ke-Islaman nenek moyang mereka. Keempat, pekerjaan, apabila seorang perempuan berasal dari kalangan orangorang yang mempunyaikerja tetap dan terhormat tidak dianggap sekufu dengan seseorang yang rendah penghasilannya, apabila penghasilanya hampir sama dari usaha yang sama dianggap tidak berbeda.
63
Ibid, 72.
35
Kelima, kekayaan, ulama’ Syafi’iyah berbeda-beda dalam menetapkan kafâ’ah, menurut mereka kekayaan ini. Sebagian mengganggapnya sebagai ukuran kufu’. Keenam, tidak cacat, asy-Syafi’i menganggap tidak cacatnya seseorang sebagai ukuran kafâ’ah. Orang cacat yang tidak sekufu’ dengan istri menuntut fasakh dianggap tidak sekufu’ dengan orang yang tidak cacat, meskipun cacatnya tidak menyebabkan fasakh, tetapi yang sekiranya akan membuat orang tidak senang mendekatinya seperti buta, terpotong atau rusak anggota tubuhnya.
D. Waktu Menentukan Kafâ’ah Dan Ukurannya kafâ’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagian suami istri dan lebih menjamin keselatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. kafâ’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami atau istri, tetapi tidak menetukan sah atau tidaknya perkawinan. kafâ’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi atau sesuai akanmenimbulkan problema berkelanjutan. Dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh karena itu boleh dibatalkan.64 Masalah kafâ’ah yang perlu diperhatikan yang menjadi ukuran adalah sikap hidup yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan dan sebagainya. Seorang laki-laki yangshalwh walupun dari
64
Abdul Ghani Aziz, Hukum-Hukum Perkawinan Dan Kekeluargaan Dalam Islam, 74.
36
keturunan rendah berhak menikah dengan perempuan yang berderajat tinggi. Lai-laki yang memilki kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan yang memilki derajat dan kemasyhuran yang tinggi.begitu pula laki-laki yang fakir sekalipun, ia berhak dan boleh menikah dengan permpuna yang kaya raya, asalkan laki-laki itu muslim dan dapat menjauhkan diri dari memintaminta serta tidak seorangpun dari pihak walinya menhalangi atau menuntut pembatalan. Selain tiu ada kerelaan dari walinya yang akanmengakadkan dari pihak perempuannya. Akan tetapi jika laki-lakinya dari bukan dari golongan yang berbudi luhur dan jujur berarti ia tidak kufu’ dengan permpuan yang shalihah. Bagi permpuan yang shalihah jika dikawinkan oleh bapaknya dengan lelaki fasik, kalau perempuannya masih gadis dan dipaksa oleh orang tuanya, maka ia boleh menuntu pembatalan. Menurut
Ibnu
Rusyd
di
kalangan
madzhab
Maliki
tidak
diperselisihkann lagi bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamar (pemabuk) atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan terebut. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan antara keduanya. Begitu pula halnya apabila seorang gadis dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata talak. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa para fuqaha’ juga berbeda pendapat tentang faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafâ’ah atau tidak. Begitu pula tentang faktor hurriyah (kemerdekaan), kekayaan dan keselamatan dari cacat (‘aib).
37
Menurut pendapat yang masyhr dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab. Dan mengenai hal ini ia beralasan dengan firman Allah swt :
ْ' ُآ1َJْ َأ ِ اnَ *ْ ِ ْ')ُ %َ Fَ ن َأ ْآ ! ِإ Artinya : “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu”. 65 Sufyan al-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya lelaki. Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy . dan wanita Arab tidak boleh kawin dengan lelaki Arab pula. Perbedaan pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat mereka tentang mafhum (pengetian) dari sabda Nabi saw yang artinya : “Wanita itu dikawin karena agamanya, kecantikannya, hartnaya dan keturunannya. Maka carilah wanita yang taat beramga, niscaya akan beruntung tangan kanannmu. “ Segolongan fuqaha’ ada yang memahami bahwa faktor agama sajalah yang dijadikan pertimbangan. Demikian itu karena didasarkankepada sabda Nabi saw di atas (….maka carilah wanita yang taat beragama). Segolongan lainnya berpendapat bahwa faktor keturunan (nasab) sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan, dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafâ’ah, kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma’, yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafâ’ah. Dan semua fuqaha
65
Qur’an dan Terjemahnya, 412.
38
yang berpendapat adanya penolakn nikah karena adanya cacat, mereka akan menganggap keselamatan dari cacat termasuk dalam lingkup kafâ’ah. Dikalangan madzhab Maliki juga tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan (pada pihak laki-laki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkandibatalkannya perkawinanyang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya. Faktor kemerdekaan juga todak diperselisihkan lagi dikalangan madzhab Maliki bahwa ia termasuk dalam lingkup pengertian kafâ’ah. Hal ini didasarkan adanya hadits shahih yang memberikan hak khiyar (memilih) kepada hamba sahaya perempuan yang telah dimerdekakan (yakni hak memilih untuk meneruskan atau itdak meneruskan perkwinannya dengan suaminya yang masih berstatus hamba sahaya). Jika melihat pada al-Qur’an dan as-Sunnah ditinjau dari segi insaniyah, manusia itu sama seperti tersebut dalam al-Hujurat ayat 13 :
َ ــª َو َ
َــ1ً ,ْ$.ُ ْــ*ٰ ُ)'ْ ُـA.َ / َ !وُأ}ْـــ¸ٰ َوFٍ >ْ َذآَـــ%9 ْ')ُ ْــ*ٰـــJAَB َ 1!}س ِإ ُ 1!*3 ا1َـــ2~ـELَ َــE ٌF+ْ
ِـــB َ ٌ'+ْ Aِ َــDَ Aّٰ3ن ا ! ٰــ ُ)'ْۚ ِإJ َأْــDِ Aّٰ3 اnَ *ْـ ِ ْ')ُ %َ Fَ ن َأ ْآ ! ْاۚ ِإ$<ُ َر1َــ.8َ 3ِ Artinya : “Hai manusia, sesugnguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” 66
E. Pengaruh Kafâ’ah Terhadap Pencapaian Tujuan Perkawinan Konsepsi kafâ’ah sebagaimana dijelaskan di atas, tidak mengemuka begitu saja tanpa sebab. Namun kemunculan fenomena kafâ’ah beserta 66
Ibid.
39
hukum-hukumnya memiliki guna dan manfaat yang khas. Dalamperspektif ini, pemikiran positif tampaknya akan lebih tepat untuk digunakan. Dengan demikian para pengkaji bidang ini dapat mencari pengaruh dan manfaat kafâ’ah dalam perkawinan.67 Yang antara lain : 1. Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalanyang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikkan bukan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam. 2. Untuk membentengi akhlak yang luhur Sasaran utama dari disyari’atkanya perkawinan dalam Islam diantaanya ialah untuk membentengai martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari erusakan dan melindungi masyarakat dari kekacauan. 3. Untuk rumah tangga yang Islami Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya talak (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi untuk menegakkan batas Allah. Yakni keduanya sudah tidak sanggup
67
Abdul Ghani Aziz, Hukum-Hukum Perkawinan Dan Kekeluargaan Dalam Islam, 75.
40
melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan
syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum
ditegakkanya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam dalah wajib. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaan Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal yakni harus kafâ’ah dan shalihah. 4. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesame manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih disamping ibadah dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri pun termasuk ibadah (sedekah). 5. Untuk mencari keturunan yang shaleh Tujuan
perkawinan diantaranya ialah untuk melestarikan
dan
mengemabangkan bani Adam, Allah berfirman : Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas yaitu mencari anak yang shalih danbertakwa kepada Allah. Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan denganpendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “lembaga pendidikan Islam”, tetapi isi dan caranya tidak Islami.
41
Sehingga banyak kita lihat banyka anak-anak kaum muslimin tidak memilki akhlak Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh kaerna itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar dan mengarahkan anak-anaknya kejalan benar. Dengan demikian tentang tujuanperkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukankeluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.
42
BAB III KONSEP KAFÂ’AH NASAB DALAM KITAB BUGHIYAH MUSTARSYIDIN
A. Sekilas Tentang Kitab Bughiyah Mustarsyidin 1. Tentang penulis kitab Kitab Bughiyah Mustarsyidin ditulis oleh Al-Sayyid Abd AlRahman bin Muhammad bin Husain bin Umar atau lebih dikenal dengan nama Abd Al-Rahman Al- Bâ ‘alawî. Dari kitab tersebut memang tidak dijelaskan secara transparan mengenai identitas pengarang kitab tersebut. Namun yang jelas al- Bâ ‘alawî
merupakan pemikir Islam moderen.
Dalam kitab tersebut dijelaskan, latar belakang penulis menulis kitab dikarenakan muncul kegelisahan-kegelisahan mendalam terhadap berbagai ikhtilaf ulama’ klasik dan moderen terhadap berbagai persoalan fiqih, kegelisahan memuncak pada suatu ketika dalam perjalanan dari Hijaj ke Mesir pada 22 Rabiutsani 1260 H. ketika bertemu dengan Syaik Basyri alKarim. Dengan sedikit penyebutan tahun tersebut, maka peneliti meyakini bahwa pengarang kitab hidup pada abad ke 13 Hijriyah. 2. Tentang kitab Bughiyah Mustarsyidin Kitab Bughiyah Mustarsyidin merupakan kumpulan dari berbagai ikhtilaf antara dua ulama’ muta’akhirin yaitu syaikh Ahmad bin Muhammad bin Hajar al-Haitami atau yang lebih dikenal dengan ibn Hajar
43
al-Haitami dan syaikh Muhammad bin Ahmad al-Ramli atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syamsu al-Ramli . Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa kitab ini ditulis karena munculnya fenomena ikhtilaf
yang cukup signifikan di masyarakat
muslim moderen tentang pemikiran kedua syaikh tersebut, karena itu kitab tersebut mencoba untuk meringkas pemikiran kedua ulama’ tersebut sekaligus memberi komentar dan jalan tengah dari berbagai perdebatan dan ikhtilaf dalam bidang fiqih . Ketika dalam perjalanan dari Hijaj ke Mesir al- Bâ ‘alawî berjumpa dengan syaikh Said bin Muhammad Ba’asyan atau yang lebih dikenal dengan Bisyri al-Karim yang banyak memberikan ulasan mengenai pemikiran-pemikiran tentang khilafiyah kedua tokoh diatas, maka mulai tanggal 2 Jumadal ula 1260, al- Bâ ‘alawî memulai mengikuti perkuliahan syikh Basyri. Dalam rentang waktu sepuluh hari al- Bâ ‘alawî menemukan fokus masalah yang menjadi titik kajian dari kedua syaikh diatas oleh syaikh Bisyri al-Karim. Selanjutnya dari sinilah al- Bâ ‘alawî mulai mengkaji pemikiaran kedua tokoh tersebut. Kitab Bughiyah Mustarsyidin adalah merupakan ringkasan
pemikiran kedua tokoh
tersebut. Sedang skripsi ini hanya membahas satu pokok masalah yang berkembang disekitar kafâ’ah nasab pada halaman 208-211.
44
B. Konsep Kafâ’ah Dalam Kitab Bughiyah Mustarsyidin Dalam kitab Bughiyah Mustarsyidin dijelaskan secara ekplisit, bahwa Kafâ’ah berarti kesetaraan, kesepadanan atau kesamaan kedudukan antara calon suami dan istri dalam dimensi psykologi, spiritual dan materi. Meskipun demikian al- Bâ ‘alawî tidak begitu kaku dalam menerapkan watak kafâ’ah dan berbagai dimensinya. Konsep kafâ’ah dalam kitab karangan al- Bâ ‘alawî masih mengisyaratkan pendapat para imam madzhab salaf. al- Bâ ‘alawî membagi permasalahan di sekitar kafâ’ah dalam empat pendapat :
ِ 7 َ *ّ!3 اOِ< 1ــ2ْ+Aَج َأوْ زَا َد َـ ُ ْ !َو3 ا1وَا َهَـ1َــu َ ِإ َذَا ّ! > ِإ ِ +ْ / َ ْ !و3> ا َ +ْ ,َ vُ <َ 1َ) ََــ َ Dُ }ّ! َأ Pِ G! .ِ 3 ِ<ِ ا1َQ ِءهِـ1َـ,َ > َوَأ ِ +ْ / َ ْ َ!و3َا ُء ا$َ 8ِ ْu ِإnَ / ِ َو ُوDِ ْ+3َ ِإ ِ 7 َ 8َ ْ*Qُ 3ْ ا َ 3َ ِء ِإ1ـ,َ® َ ِد اnَ َ َو 1هَـnّ9 ِـ ِ ْ َأوPِ 3َ َد1َ.3ْ اPِ +َ 3َ$ِ ْ31ِ,ِ ح َو ِ¨ َ° ّ!َ 3 ِ' َوَاAْ .ِ 3ْ 1ِـ, ِةFَ ْ2» ّ! 3¨ ِم وَا َu ْÇ ِبا ِ ْFَ َوPِ Eَ Fّ9 ُ ْ3وَا Pٍ Gَ ° ِ ,ِ È َ ° َ ّ!َ >ْ ِإ%َ 1َ ءِهـ1َ ـ,َن <ِ َأ َ 1 َأوْ َآَـ ِ 7 َ *!َ 3 ِ<ِ اPٍ / َ َرnَ ,ِ Dُ *ْ %ِ ¾َ <َ ْْ َأرK}َ 1َ َ آـ8َ Qَ <َ ُ nّ~ / َ 1َ2,ِ È َ ° َ ّ!َ ْ ُر َوِإنْ ِإ${ْ ُآQَ 3ْ ُ اnّ! َـ/ َ M َ 3ِ{َ ,ِ ْÈ° ِ 8ّ! Eَ ْ'3َ¨ َو ً ¸َ %َ É َ %ِ 1َ³3 ا1 َهَـnّ!َ َ َآ َوهَـ{َاnٍ .ْ
َ ,ِ 1َ2 َ .ْ ,َ ُ ,ِ 1َـJَ Eُ َ َء ِة1َG)َ 3ْ ¨ ا َ° َ B ِ ن ّ! Lَ3ِ 1َفءْهَـ ِ 1َ)Eُ ْ'3َ 1 َهَـn9 / َ ن َ ْس ُدو ُ nِ 7 ّ! 3ا 68
Fٍ َR َ > ِ ,ْ 1َن آ َ ْوFُ B 9 Lَ 8َ Qُ ْ3 اDِ +ْ Aَ َ َىFَ / َ ن َو ِ 1َ³+ْ »!ـ ّ 3 ُ اnُ Qَ 8َ ْ ِإ1َ%َ
1. Kafâ’ah dalam pengertian bahwa calon suami dan calon istri dikatakan kufu’ jika calon suami lebih tinggi derajatnya dalam nasab, baik secara langsung maupun tidak langsung. Langsung dalam pengertian calon suami 68
Abdurrrahman al- Bâ ‘alawî, Bughiyah Mustarsyidin (Indonesia : Dar al-Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyah), 208.
45
an sich lebih tinggi derajatnya dari pada calon istri atau paling jauh ayah dari calon suami lebih tinggi derajatnya dari pada calon istri. Atau dalam pengertian tidak langsung, dimana calon suami kakeknya kakeknya ke atas memang lebih tinggi derajatnya dari pada keluarga calon istri.
ِر1َـ2َ 8ِ ْÇ ِ ْ ِد اFّ9 َ %ُ ¾َ %َ Pِ <َ ْF ِ 3ْ وَاPِ Eَ F9 ُ ْ3 وَاPِ Gّ! .ِ 3ْ وَا ِ 7 َ *ّ! 3 ا ِ < َا ِء$8ِ u ْÇ ِطا ُ Fَ 8َ » ْ Eُ Fَ ¸َ آْــLَ <َ Pٍ / َ َرnَ ,ِ ل ُ ِز1!*3 اِ ,َ ََا ُء$8ِ ْuÇ ِطا ُ Fَ 8َ ْ»Eُ َ َو, َر ِة1َ%َ Ç ِ ح وَا ِ¨ َ ° 9 3 ِ' وَاAْ .ِ ْ31ِ, ¨ ُم َ ْ ِدِى َو َآ$ُـQ.َ ْ3> وَا ِ ْ+7 ِ ْ ¨ءِ ِد َو َد َ Jَ ْ3 ُ <ِ اnُ Qَ 8َ ْ ِإ1َ ــ% َوهَـ{َاDُ َ ْ$<َ ْ>َـQ3ّ9ِ ٌْءÈَآ 69
> ِ ْ+َـ³ َ +ْ » !َ 3¿ ا َ/ ّ!َ Fَ %ُ Dُ }ّ! َأ َ 3ِ ِإُ ْ+Qِ Eَ ِ ِ 1ََ > ُ ,ْ إ
2. Kafâ’ah dalam dimensi spiritual yaitu calon suami dan calon istri memiliki keseimbangan spiritualitas dan kesalehan, nasab dan identitas diri yang merdeka (bukan budak).
> ِ َ Dُ AُJَ }َ ِ َو ِ ®ذْ َر َ اDُ ُ/ ّ!َ َر1َ% $َ وَ ُه1َQ ِء ِهِـ1َ,َأ َ Ë ْ Jَ <َ > ِ +ْ / َ ْ َ!ّو31ِ,ِ M َ 3ِ ُر َذ1 َ
َـ8َ ِْإ Dِ ْ+Aَ َ ل ! ِ{ِى َد3ّ! ُر ا1َ8َ ³ ْ Qُ 3ْ ا$َ ْدِى ُه$Qُ .َ ْ3ل ا َ 1ََ َوPِ .َ <َ Fّ9 3> ا ُ ,ْ اDُ َ/ ّ!َ وْ َرFُ ¸َ ® ْآ َ ْا 70
ن ِ 1َ%َ !َ 3 ِ' اEِn>ْ َـ%ِ ُ Qَ .َ 3ْ ا
3. Kafâ’ah dimensi ini lebih sederhana pengertiannya dari pada dua di atas, karena kafâ’ah hanya dilihat dari sudut pandang calon suami atau istri saja, tanpa melihat keluarga dan keturunannya.
ذَاÌِ <َ ٍ .ْ
َ ,ِ ل ِ 1َ°³ ِ 3ْ ا َ .ْ ,َ ُ ,ِ 1َJEُ ْ>)ِ 3َ ل ِ ® !ّو َ ْ <ِ اFّ! %َ 1َ% 1َQ2ِ ْــ+ْ <ِ Fُ
َ 8َ .ْ Eُ Dُ }ّ!َ َأ nُ R َ َأ1َـ2/ َ *َــءِـ ٍ{ ِإ َذَا َز َ!و+ْ ِـRَى َوFَBتْ َأnَ / ِ َو ُو1َQ ِهnِ R َ <ِ َأPٌ Aَ° ْ B ِ s ْاتnَ Jِ <ُ 69
Ibid.
70
Ibid.
46
ْنÌِ <َ ْ' ُه1َ ِرFِ +ْ ©َ ,ِ ْ َأو1ً ـJَA ْ %ُ ¿ 9½ َ Pِ +! Jِ
َ 3ْ ا1َFِ ,ِ ن َ 1نْ آَـÌِ <َ > َ Eْ $ِ 8َ ْ7Qُ ْ3 ِء ا1َ +ِـ3ْ®و َ ْا 71
َء ُة1َـGَ)3ْ ا1َ ـ2ْ8Aَ,َ 1َ َْاتn/ ِ ُو
4. Kafâ’ah yang terakhir merujuk pada kafâ’ah seperti pada nomor satu, yaitu berbanding mutlak, namun bila ada ketidaksepadanan dalam nasab ke atas, dan wali kedua belah pihak menerima perbedaan tersebut dan kurang mempersoalkan nasab dan derajat, karenanya jika wali menikahkan disertai dengan kerelaan calon istri, maka nikah tersebut sah dan telah sampai pada derajat kekufu’an artinya kafâ’ah bertumpu pada wali dan calon istri. Al- Bâ ‘alawî tampaknya menyetujui pendapat yang menyatakan kafâ’ah sebagai syarat sahnya perkawinan, sehingga meskipun ada dugaan adanya
kafâ’ah suami-istri dan ternyata setelah akad diketahui tidak ada
kafâ’ah maka pernikahan bisa batal, namun sebaliknya jika terdapat kafâ’ah antara suami-istri maka seorang hakimpun tidak dapat membatalkan pernikahan itu. Tampaknya semua imam madzhab sepakat dengan dalil yang menyatakan bahwa kafâ’ah menjadi hak prerogratif wali dan calon istri, artinya yang disepadankan adalah calon istri, karena wanita tidak dapat menikah sendiri tanpa seizin walinya. Dengan demikian, secara simplikatif dapat dinyatakan bisa saja seorang wanita menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu’ dengan dirinya asalkan ia menyetujuinya dan walinya berkenan. Atau dapat juga wali menikahkan wanita dengan laki-laki yang tidak kufu’ 71
Ibid.
47
asalkan wanita tersebut diberitahu keadaan calon suaminya secara jelas dan ia menerimanya, maka pernikahan tersebut sah demi hukum. Al- Bâ ‘alawî amat memegang watak tradisionalisme Islam secara ketat, dalam keadaan apapun pernikahan seorang wanita harus didampingi oleh wali yang sah, jika memang walinya ada. Seorang wanita tidak dapat meminta kepada hakim untuk menikahkan dirinya dengan laki-laki yang tidak kufu’ dengannya, bila terjadi pernikahan, maka dalam perspektif hukum Islam pernikahan tersebut batal, karena ketentuan kafâ’ah tidak hanya berada di pihak wanita saja, tetapi juga berada di tangan walinya. Dalam watak tradisionalisme yang kental inilah al- Bâ ‘alawî memegang konsep-konsep hukumnya, meskipun demikian watak adat istiadat yang kuat dapat menjadi pegangan yang lebih baik dari pada fatwa dan pendapat para ulama’. Dalam perspektif lain konsep kafâ’ah al- Bâ ‘alawî mengindikasikan kesepakatan, kekompakan dan kebersamaan calon istri dengan walinya secara kental, keduanya menjadi penentu sah dan tidaknya suatu perkawinan. Wali mujbir misalnya, menikahkan wanita dengan laki-laki fasik karena meninggalkan shalat dan zakat, bisa jadi pernikahan tersebut batal, karena tidak ada unsur kerelaan, kesepahaman serta kegembiraan dari calon istri. Namun jika ada dua laki-laki yang sepadan meminangnya, maka wali berhak memilih calon suami untuk anaknya yang lebih sepadan dari keduanya, pendapat tersebut identik dengan pendapat Hanafi. Sebagaimana yang diungkapkan dalam Bughiyah Mustarsyidin sebagai berikut :
48
َA َ ¿ ّ~ ° ُ Eَ ْ'3َ ِة1 َ!آَـ3¨ ِة َأ ِو ا َ° ّ! 3ك ا ِ ْF8َ ,ِ @ ٍu ِ 1ِـ>ْ <َـ% رًا1َْ
ـ/ ِإDُ 8َ +َ 3ِْ$%َ Fُ ْ+
ِ ْ Qُ 3ْ ج ا َ َز !و nُ A9Jَ Eُ َوPً / َ 1َR Dِ +ْ 3َع ِإ َ ْnَ ْ'3َ1َ% ْ ٍءÈ ُآFَ +ْ َ 1ََـ2ِEْ ْ ِو8َ ,ِ ّ ُز9 .َ Eُ َوPِ َ
ْ ©ُ 3ْ ِم اnَ .َ 3ِ Fِ َـ2Á ْ ® َ ْا Dِ ,ِ 1َـ2َEْ َْ ِوOِ3$َ 3ْ َ ِم ا3ِ LُGَ َأ ْآ1َـQُهnَ َـRن َوَأ ِ َاvGُ آُـ1َ2
َ َB َ ْ$3َ ْ-,َ 1ً+ْ ِ َ½ ًاnً +ْ AِJْ َ ¿ ّ~ ° ِ Eَ ِ}1!¸3> وَا َ +ْ ِ 1َ
3ْ ا1َ َ ِرFِ +ْ ©َ ,ِ > َ Eْ $ِ 8َ ْ7Qُ 3ْ ِء ا1َ+ِـ3ْ®و َ ْ ا َ .ْ ,َ ج َ ْ َز !و$3َ 1َ Qَوهَـ{َا آَـ 72
P!+Gِ *َ َ 3ْ ا ُ {ْهَـ%َ $َ ُر َوهُـ1َ+³ ِ 3'ْ ا2ُ 3َ َو1َـ2َ3َو
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konsep kafâ’ah al- Bâ ‘alawî
cenderung menjadikan asas kebiasaan masyarakat sebagai perekat
utama menentukan kafâ’ah, sehingga seorang dapat saja menikah meskipun kedudukan suami jauh lebih rendah dibanding kedudukan calon istri, apabila adat istiadat tidak mempersoalkan hal tersebut. Putri pejabat dapat saja dengan mudah menikah dengan dengan putra seorang pemulung apabila calon istri dan wali menerima dan menikahkannya.
C. Dasar Hukum Kafâ’ah Nasab Dalam Kitab Bughiyah Mustarsyidin Diskusi di sekitar kafâ’ah nasab dalam kitab Bughiyah Mustarsyidin cenderung bertumpu pada perdebatan di kalangan ulama’-ulama’ madzhab, sehingga dasar hukum yang digunakan oleh masing-masing pendapat berakar pada pendapat para imam madzhab. Mengingat persoalan kafâ’ah
nasab
adalah persoalan yang bersifat partikular dalam hukum Islam, maka data yang disajikan dalam ranah ini adalah pendapat-pendapat para fakih dan imam madzhab. Menurut Ibnu Hajar dan Abu Makhramah bahwa setiap orang wajib 72
Ibid. , 209.
49
mengikuti salah satu madzhab yang dianggapnya benar atau bila ada perintah untuk mengikuti salah satu dari Imam madzhab maka wajib baginya untuk mengikuti perintah tersebut. Dasar-dasar hukum yang digunakan acuan dalam kitab tersebut sebagian besar adalah pendapat para ulama’. Dalil-dalil hukum yang mengemuka dalam kitab tersebut dapat dilihat dari beberapa argumentasi berikut ini : 1.
Kafâ’ah hukumnya wajib, dengan kriteria sebagai berikut : a. Dalil tentang kafâ’ah nasab berasal dari pendapat ulama mutaakhirin seperti Ibnu Hajar yang menyatakan urgensi kafâ’ah nasab. Bahwa kesetaraan dan kesepadanan nasab bersifat niscaya (wajib). Dalam arti calon suami dan calon istri sepadan dalam nasab atau calon suami lebih tinggi nasabnya dari calon istri . kesepadanan tersebut bersifat silsilah ke atas, bukan hanya bertumpu pada calon suami atau istri saja, karena bila tidak sepadan dan terjadi pernikahan, maka pernikahan dapat batal atau dibatalkan. Dari sini Ibnu Hajar meniscayakan kesepadanan nasab secara ketat. b. Pendapat dari al-Qalaid dan al-Amudi yang menyatakan kafâ’ah nasab hukumnya wajib, namun hanya kesepadanan dalam soal nasab, tingkat kesalehan dan orang merdeka, tidak menyangkut tingkat tingginya ilmu pengetahuan keturunan masing-masing, juga tidak menyangkut tinggi rendahnya kekuasaan. Dari sini kesepadanan (kafâ’ah) terbatas pada persoalan personal.
50
c. Kafâ’ah wajib hanya sebatas pada calon istri dan suami saja, tanpa melihat keturunan (nasab) masing-masing, dalam arti selain dari hal tersebut tidak menempati posisi wajib, dan tidak dapat menjadi penyebab rusaknya pernikahan. Pendapat tersebut didukung oleh Ibnu Rifa’ah, al-Adzra’I dan banyak ulama’ lainnya. d. Kafâ’ah nasab wajib seperti pada nomor satu, namun jika tidak sepadan dan wali keduanya sepakat menikahkan atas kerelaan waliwali lainnya, maka pernikahan tersebut sah. Dalam arti lain, wajibnya kafâ’ah nasab tidak bersifat wajib mutlak, bila ada hal yang menyebabkan hilangnya kemutlakan dan disepakati wali dari kedua belah pihak, maka pernikahan dapat sah. e. Kafâ’ah
yang menjadi kriteria
berasal dari keturunan Nabi atau
bukan. Yang sesuai dengan sabda beliau :
َة1َ !َّآـ3 ُم اFِ ْ َ َ ِء َوGْ3 ِة وَا َ َا$Qَ 3ْ ا َ Aَ ٌnR ِ ْءٌ وَا+ َ ُ Aِ َ Qُ 3ْ ا$*ُ ,َ > َو ُ ْ }َ 73
1َ َهـF+ْ َ َو
Artinya : “Kami dan Bani Muthalib adalah satu dalam perwalian, fa’I, terhalang zakat dan lain-lainya.” Keturunan Nabi memiliki status sosial yang terhormat, karena itu wanita-wanita dari keturunan Nabi menjadi hak kerabat-kerabatnya baik dekat maupun jauh. Dalam perspektif lain, jika tidak ada kafâ’ah menurut al- Bâ ‘alawî, wali wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada calon istri apabila ada kerelaan, maka pernikahan sah. Dalam arti lain , sifat “wajib” hilang dengan munculnya izin dan kesepakatan 73
Ibid.
51
calon istri dengan ketiadaan kafâ’ah tersebut. Namun jika calon istri yang tidak memiliki kafâ’ah dengan calon suaminya meminta hakim atau sultan untuk menikahkannya, maka pernikahan tersebut tidak sah, sebagian ulama’ menyatakan demikian. Namun sebagian besar justru berpendapat sebaliknya, pernikahan tersebut sah, sebagaimana dinyatakan oleh al-Balqini. 2. Dasar Hukum Kafâ’ah Adalah Adat Istiadat Menurut al- Bâ ‘alawî
adat istiadat menempati posisi penting
dalam hukum Islam, tak terkecuali dalam soal kafâ’ah nasab. kafâ’ah nasab dalam hukum Islam yang sifatnya wajib dapat berubah menjadi mubah bila adat istiadat menghendaki demikian. Dalam arti, kafâ’ah nasab menjadi gugur jika adat kebiasaan masyarakat tidak mempersoalkan kafâ’ah nasab, jadi seorang wanita dapat menikah dengan laki-laki dengan status sosial dan pekerjaannya lebih rendah dari pada nasabnya. Al- Bâ ‘alawî mengutip kitab al-Anwar yang menyatakan hal yang sama, bahwa hukum kafâ’ah dapat berubah dari wajib menjadi mubah bila adat kebiasaan masyarakat tidak menghendaki kafâ’ah sebagai prioritas dalam suatu perkawinan. Sebagaimana yang ditegaskan dalam kitabnya : 74
nِ Aَ
َ 3ْ ف ا ِ ْF.ُ 3ِ ¾ُ / ِ ْFEَ Dِ +ْ <ِ M ّ!َ َ 1َ%ف َو ِ ْF َ 3ْ ع وَا ِ ِء1َ*َ ° ! 3ت ا ِ $ُ Gَ َ َو
Artinya : “Tingkatan-tingkatan profesi kembali kepada adat kebiasaan suatu negara”
74
Ibid., 211.
52
Dalam wilayah yang lebih kontradiktif, al- Bâ ‘alawî menyatakan dapat saja seorang wali menikahkan wanita secara paksa dengan orang yang ditengarai fasik, meskipun wanita tersebut merasa terpaksa, namun memberi izin pada walinya, maka pernikahan tersebut sah demi hukum. Dasar yang digunakan dalam hal ini adalah kafâ’ah menjadi hak wanita dan walinya. Wanita memberi izin dengan kerelaannya, sedang wali menikahkannya.
D. Kriteria Kafâ’ah Nasab Dalam Kitab Bughiyah Mustarsyidin Memahami kalimat diatas tentang kriteria kafâ’ah nasab, sepertinya Islam concern dengan stratifikasi sosial, yang membuat masyarakat menjadi berkelas-kelas. Padahal secara universal dan partikular Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang anti kelas. Maksud sub judul di atas adalah berbagai pendapat yang muncul dalam hal bentuk kafâ’ah nasab dan pemberlakuannya. 1. Secara historis muncul fenomena status sosial antara orang merdeka dan budak. Dalam spectrum ini, perlakuan Islam kepada budak dan orang merdeka berbeda. Dalam konteks fikih munakahat hak dan kewajiban orang merdeka dan budak juga amat berbeda. Dalam bidang ini beberapa pendapat ulama’ dinyatakan sebagai berikut : a. Wanita merdeka sepadan dengan laki-laki merdeka tanpa melihat keturunan dan nasab masing-masing, kesepadanan tersebut melihat pada aspek status sosial masing-masing calon istri dan calon suami. Kesepadanan tersebut menjadi syarat utama sahnya pernikahan, karena
53
dalam tradisi Islam antara yang merdeka dan tidak merdeka (budak) mempunyai tanggung jawab syar’i yang berbeda. b. Kesepadanan status syar’i seseorang dilihat dari aspek nasabnya. Perempuan yang merdeka secara nasab (asal) dari ibunya, sepadan dengan laki-laki yang ibunya budak tetapi bapaknya merdeka, karena laki-laki tersebut dipandang merdeka secara nasab (asal). Dan sebaliknya laki-laki yang ibunya budak walaupun sudah merdeka dan bapaknya bekas budak, maka laki-laki tersebut tidak sepadan dengan wanita merdeka. 2. Kategori status pekerjaan dalam fikih munakahat menjadi ukuran kesepadanan (kafâ’ah). Menurut Syaikhani, laki-laki yang berprofesi rendah atau dia berasal dari keturunan berprofesi rendah tidak sepadan dengan wanita yang berasal dari kturunan terhormat, karena pekerjaan merupakan bentuk manifestasi dari status sosial seseorang dan bukan berasl dari ketentuan Tuhan. Berbeda dengan laki-laki yang berasal dari keturunan orang berpenyakit (belang-belang misalnya), laki-lakitersebut tetap sepadan dengan wanita yang berasal dari keturunan sehat, karena penyakit tersebut bukan hasil kreasi manusia, karena penyakit tidak menjadi penyebab laki-laki tersebut dicela karena aib orang tuanya. Pendapat tersebut dikuatkan oleh al-Mawardi, al-Harawi dan al-Rouyani. 3. Kategori keimanan seseorang menjadi ukuran kesepadanan antara calon istri dan calon suami. Wanita muslimah sepadan dengan laki-laki muslim.
54
Wanita muslimah tidak sepadan laki-laki fasik. Dalam persoalan ini dibagi sebagai berikut : a. Menurut Ibnu Hajar, jika seorang dinyatakan fasik karena selain zina dan telah bertobat selama lebih dari setahun, maka dia sepadan dengan wanita terhormat. Sebaliknya jika kefasikannya karena zina, maka dia tidak sepadan dengan wanita terhormat, walaupun laki-laki tersebut telah bertobat secara nasuha. b. Menurut al-Nasyiri, laki-laki yang fasik karena membunuh muslim lainnya, sepadan dengan perempuan fasik, walaupun salah satu dari keduanya lebih fasik dari yang lainnya, laki-laki kategori ini tidak sepadan dengan wanita terhormat. Kefasikan karena meninggalkan shalat misalnya, dan adanya persaksian dengan realitas tersebut, maka ulama’ menfatwakan agar menerima persaksian tersebut dengan pertimbangan semakin menyebarnya kefasikan dalam masyarakat. Dalam arti lain, laki-laki fasik karena terbiasa meninggalkan shalat tidak sepadan wanita shalihah. 4. Kategori berasal dari keturunan Nabi atau bukan. Keturunan Nabi memiliki status sosial yang terhormat, karena itu wanita-wanita dari keturunan Nabi menjadi hak kerabat-kerabatnya. Menurut Abu Bakar bin Yahya bahwa kafâ’ah nasab dalam hal ini berdasar pada empat derajat bangsa Arab yaitu : Quraish, Bani Hasyim, Bani muthalib dan keturunan Fatimah dari kedua cucu Nabi. Dalam perspektif tersebut, orang-orang Syiah sangat concern menjaga kafâ’ah nasab secara tegas, karena mereka
55
ingin menjaga perempuan keturunan Nabi dengan laki-laki keturunan Nabi, tanpa melihat status sosial dan status pekerjaan. Golongan ‘Alawiyah hanya ingin menjaga keturunan Nabi tetap berada dalam koridornya, sehingga rincian-rincian tentang kafâ’ah yang dibuat oleh para fuqaha diabaikan begitu saja. Menurut al- Bâ ‘alawî, wanita keturunan Nabi yang dipingan oleh laki-laki bukan keturunan, maka pernikahan tersebut harus dibatalkan, meskipun wanita dan walinya rela, karena nasab mulia yang tidak tertandingi ini harus bersanding dengan nasab mulia juga. 5. Menurut al- Bâ ‘alawî, kebolehan menikahkan wanita keturunan Nabi dengan laki-laki biasa hanya dilakukan jika dalam keadaan darurat, dalam arti, apabila tidak dinikahkan akan terjadi kerusakan pada keduanya, seperti perzinahan dan perbuatan dosa lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh Bâ ‘alawî dalam kitabnya :
Pِ 8َ +ْ Qَ 3ْ اِ ْآLَ وْ َر ِة َآFُ َ Aِ3 M َ 3ِح َذ ُ 1َ
َ +ُ <َ Î ِ ْEْ ِو8! 3 ِم اnَ .َ ,ِ َةnَ 7 َ Gْ Qَ 3ْ اK ِ Jَ Jّ ََ ْ ِإن ّ! ِإ 75
ِةFَ ْ Gُ ْ3 ِم ا1َ8ِ ْ َأوِا1َ}ّ!َ 3ف ا َ ْ$B َ َ ِةn7 َ ْGQُ 3ْ 1ِ, Oِ* ْ َوَأFّ9 َْ ْ Qُ ْA3ِ
Artinya : “Kecuali jika ada kerusakan kalau tidak menikah, sehingga pernikahan tersebut diperbolehkan karena terpaksa seperti makan bangkai karena terpaksa. Maksudnya dengan kerusakan adalah ttakut terjadi zina atau terjerumus ke perbuatan dosa” jika realitas menunjukkan urgensinya secara Menurut al- Bâ ‘alawî konkrit, maka pernikahan tersebut harus mengabaikan kafâ’ah dan mengutamakan kemaslahatan dan keselamatan, karena itu dalam kondisi 75
Ibid., 210.
56
seperti ini pernikahan menjadi wajib sebagaimana dikelaskan dalam kitab Tuhfah. 76
Pِ Gَ ْ 8ّ~ 3 <ِ ا1َQْ ِء َآÈ)ُ 3ْ اFِ +ْ ©َ ,ِ 'ِ ِآ1َ3ْ ا$ِ ْ }َ ْ>%ِ M َ 3ِ َذ ُ ِ Eَ ْnَ
Artinya : “Maka pernikahannya bahkan menjadi wajib bagi hakim walaupun tidak sepadan sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Tuhfah.” 6. Kategori nasab dari ketinggian ilmu pengetahuan yang dimiliki. Wanita putri seorang fakih hanya sepadan dengan laki-laki anak fakih atau anak orang ‘alim. Artinya putri fakih tidak sepadan dengan laki-laki keturunan orang bodoh. Menurut al- Bâ ‘alawî sebagaimana beliau mengutip dari kitab Tuhfah, kesepadanan dalam bidang ini sangat penting, agar keturunan yang dilahirkan dari pasangan pintar, anak-anaknya juga pintar sebagaimana
keturunannya,
mempersoalkan
kafâ’ah,
namun
karena
jika adat
di
suatu
kebiasaan
Negara
tidak
memang
tidak
mempersoalkan hal tersebut, maka konsep-konsep kafâ’ah sebagaimana dijelaskan dapat saja gugur. Dari urain di atas, tampaknya al- Bâ ‘alawî bertumpu secara ketat dengan aturan fikih sebagaimana yang difatwakan ulama’. Namun hukum adat yang tidak kontras dengan ajaran Islam yang berlaku di suatu Negara harus lebih diutamakan dari pada fatwa dan kongklusi yang yang dibuat oleh para ulama’.
76
Ibid.
57
58
BAB IV ANALISA TERHADAP KAFÂ’AH NASAB DALAM KITAB BUGHIYAH MUSTARSYIDIN
A. Analisa Konsep Kafâ’ah Syarifah Dalam Kitab Bughiyah Mustarsyidin Para ulama’ berbeda pendapat dalam kafâ’ah nasab, apakah merupakan keniscayaan (wajib) atau merupakan hal yang mubah. Konsepsi hukum Islam tentang kafâ’ah adalah bagian dari fadhilah atau keutamaan, atau merupakan perintah syari’ah. Dalam kitab Bughiyah Mustarsyidin konsep kafâ’ah nasab didasarkan pada pendapat dan fatwa-fatwa ulama’ yang berlaku secara partikular, dan tidak dapat berlaku secara universal karena lokus dan fokus hukum Islam berbeda-beda. Karena itu al- Bâ ‘alawî pada bagian akhir sub bab tersebut mengindikasikan urgensi dari adat istiadat suatu masyarakat sebagai bagian dari pertimbangan hukum. Fuqaha’ berselisih pendapat tentang faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafâ’ah atau tidak. Begitu pula tentang faktor kemerdekaan, kekayaan dan bebas dari cacat (aib). Menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab. Mengenai hal itu ia beralasan dengan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi :
59
ْ' ُآ1َJْ َأ ِ اnَ *ْ ِ ْ')ُ %َ Fَ ن َأ ْآ ! ِإ Artinya : “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu”.77 Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar mengatakan, para ahli fikih telah mengambil dalil bahwa menghalangi pernikahan yang tidak sekufu’ bukanlah suatu yang haram, seperti menghalangi pernikahan seorang wanita yang mulia dalam suatu kaum dengan seorang lelaki hina yang akan membawa wanita tersebut ke dalam derajat yang rendah. Sedang menurut Imam Syafi’i, masalah kafâ’ah pertama kali diistinbatkan berdasarkan hadis dari Barirah, padahal Barirah dikawinkan dengan lelaki yang tidak sekufu’ dengannya, beliau mengadu pada Rasulullah saw dan beliau saw memberikan hak untuk memilih kepada Barirah. Tampaknya semua Imam madzhab sepakat dengan dalil yang menyatakan bahwa kafâ’ah menjadi hak prerogratif
wali dan calon istri,
artinya yang disepadankan adalah calon istri, karena wanita tidak dapat menikah sendiri tanpa seizin walinya. Dengan demikian, secara simplikatif dapat dinyatakan biasa saja seorang wanita menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu’ dengan dirinya asalkan ia menyetujuinya dan walinya berkenan. Atau dapat juga wali menikahkan wanita dengan laki-laki yang tidak sekufu’ asalkan wanita tersebut diberitahu keadaan calon suaminya secara jelas dan ia menerimanya, maka pernikahan tersebut sah demi hukum. Bila yang dimaksud kafâ’ah adalah kesepadanan dalam berbagai hal, apalagi kafâ’ah nasab yang secara ekplisit menggambarkan kesepadanan 77
Qur’an dan Terjemahnya, 412.
60
keturunan secara kongkrit, maka perkawinan tentu akan menjadi sulit diwujudkan. Tetapi bila yang dimaksud kafâ’ah nasab berkaitan dengan akhlak dan tidak dengan jabatan, kedudukan dan materi, mungkin akan memudahkan wanita mendapatkan jodohnya. Menurut al-Syaukani daslam kitabnya Nail al-Author bahwa yang dimkasud kafâ’ah dari segi agama dan akhlak. Ulama’ yang berpendapat demikian ialah Imam Malik. Telah dinukil dari Umar, Ibnu mas’ud dari tabi’in yang meriwayatkan dari Muhammad Ibnu Sirrin dan Umar bin Abdul Aziz menunjukkan bahwa ayat al-Qur’an yang menyatakan orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orangorang yang paling takwa diantara kamu adalah dalil kafâ’ah dalam masalah nasab, begitulah seperti disepakati jumhur ulama’. Dalam perspektif lain kopsep kafâ’ah al- Bâ ‘alawî mengindikasikan kesepakatan, kekompakan dan kebersamaan calon istri dengan walinya secara kental, keduanya menjadi penentu sah dan tidaknya suatu perkawinan. Wali mujbir misalnya, menikahkan wanita dengan laki-laki fasik karena meninggalkan shalat dan zakat, bisa jadi pernikahan tersebut batal karena tidak ada unsur kerelaan, kesepahaman serta kegembiraan dari calon istri. Namun jika ada dua laki-laki yang sepadan meminangnya, maka wali berhak memilih calon suami umtuk anaknya yang lebih sepadan dari keduanya, pendapat tersebut identik dengan pendapat Hanafi. s Al- Bâ ‘alawî sangat memegang watak tradisionalisme Islam secara ketat, dalam keadaan apapun pernikahan seorang wanita harus didampingi oleh wali yang sah, jika memang walinya ada. Seorang wanita tidak dapat
61
meminta kepada hakim untuk menikahkan dirinya dengan laki-lakiyang tidak sekufu’ dengannya, bila terjadi pernikahan, maka dalam perspektif hukum Islam, pernikahan tersebut batal, karena ketentuan kafâ’ah tidak hanya berada di pihak wanita saja, tetapi juga berada ditangan walinya. Dalam watak tradisionalisme yang kental inilah al- Bâ ‘alawî memegang konsep-konsep hukumnya, meskipun demikian watak adat istiadat yang kuat dapat menjadi pegangan yang lebih baik dari pada fatwa dan pendapat para ulama’. Akan tetapi kebanyakan ahli fikih berpendapat bahwa kafâ’ah merupakan hak bagi perempuan dan walinya. Seorang wali tidak boleh mengawinkan perempuan dengan lelaki yang tidak kufu’ dengannya kecuali dengan ridhanya dan ridha segenap
walinya. Jika para wali dan
perempuannya ridha maka ia boleh dikawinkan, sebab para wali berhak menghalangi kawinnya perempuan dengan laki-laki yang tidak sepadan (tidak kufu’). Menurut Imam Syafi’i : jika perempuan yang dikawinkan dengan lakilaki yang tidaksepadan ( tidak sekufu’) tanpa ridhanya dan ridha para walinya, maka perkawinannya batal. Sebalknya dalam kitab Bughiyah Mustarsyidin jika memang tidak ada k kafâ’ah dan wanita beserta walinya meridhainya, maka perkawinannya dapat dilangsungkan dan dianggap sah. Menurut Imam Hanafi : jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat (tidak sekufu’) tanpa persetujuan walinya, maka perkawinan tersebut tidak sah dan wali berhak untuk menghalangi perkawinan wanita dengan pria yang tidak sederajat tersebut dan haim dapat memfasakhnya,
62
karena yang demikian itu akan menimbulkan aib bagi keluarga. Namun bila ada kerelaan wanita dan walinya maka menurut al- Bâ ‘alawî perkawinan menjadi sah, inti dari hukum
ini adalah kesepakatan, ridha wanita dan
walinya. Menurut Imam Ahmad : perempuan itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun yang jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridha dikawinkan dengan laki-laki yang tidak sederajat (tidak sekufu’), maka ia berhak membatalkan. Riwayat lain dari Ahmad, menyatakan : bahwa perempuan adalah hak Allah, sekiranya seluruh wali dan perempuannya sendiri ridha menerima laki-laki yang tidak sederajat (tidak sekufu’), maka keridhaannya mereka tidaklah sah, hal ini bertentangan dengan semangat idiil moril kitab Bughiyah Mustarsyidin, yang menganggap inti kafâ’ah adalah ridha wanita dan walinya.
B. Analisa Dasar Hukum Islam Dalam Kitab Bughiyah Mustarsyidin Sebagaimana dijelaskan dalam bab terdahulu, bahwa dasar kafâ’ah secara umum adalah al-Qur’an, sunnah dan pendapat para ulama’. Dalam kitab Bughiyah Mustarsyidin, kafâ’ah nasab berdasar pada hadith, pendapatpendapat ulama’ dan hukum adat. Dalam ayat lain, surah al-Furqan ayat 54, Allah swt berfirman :
ًاFEْ nِ َــM َ ,~ ن َر َ 1ًَا َوآF2َ ½ َ َو1ً
7 َ }َ Dُ َــA.َ َ <َ ًاF» َ ,َ ِء1َــQ3ْ > ا َ %ِ @ َ AَB َ ْ ِ{ي3! ا$َ َو ُه
63
Artinya : “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan Tuhanmu maha kuasa” 78 Ayat ini merupakan dalil adanya kafâ’ah dalam hal nasab, hal ini dijelaskan oleh al-Bukhari yang menyebutkan ayat tersebut sebagai dalil dalam bab kafâ’ah. Imam al-Qastalani dalam kitabnya Syarah al-Bukhari menulis, yang dimaksud al-Bukhari dengan hubungan
kalimat ini
mengisyaratkan bahwa sesungguhnya nasab dan hubungan Musharah berkaitan dengan masalah hukum kafâ’ah Dasar hukum yang dikemukakan dalam kitab Bughiyah Mustarsyidin memang sebagian besar adalah pendapat ulama’, namun demikian al- Bâ ‘alawî tidak menerapkan pemikiran konsepsi kafâ’ah nasab sebagai yang tidak bisa ditawar, dalam arti dasar-dasar hukum kafâ’ah nasab yang bertumpu pada pendapat para ulama’ juga linier dengan dasar al-Qur’an dan sunnah, sehingga pendapat-pendapat
para ulama’ tersebut merupakan interpretasi
hukum yang diperintahkan dalam al-Qur’an dan sunnah, hal ini terbukti al- Bâ ‘alawî sangat concern memperhatikan perbedaan lokus dan fokus hukum yang berbeda karena perbedaan adat istiadat..79 Lokus dan fokus yang berbeda karena perbedaan adat kebiasaan suatu Negara menjadi lebih penting untuk dijadikan pertimbangan hukum dari pada interpretasi hukum ulama’ yang berada di wilayah lain. Dengan demikian dalam tataran ini, dasar hukum kafâ’ah nasab al- Bâ ‘alawî memiliki landasan kontektual dan idiil moril yang sama dengan semangat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an diatas. 78
Qur’an dan Terjemahnya, 291.
79
Abdurrahman Ba-‘alawi, Bughiyah Mustarsyidin, 211.
64
Rasulullah saw bersabda :
ت ِ {َا,ِ Fَ Gَ Á َ 1َ< 1َ2*ِـEْ nِ ِـ3 َو1َ 2ِ
ْـــ7 َ 3ِ َو1َــ23ِ1َـQ َ 3ِ َو1َــ23ِ1َــQِـ3 ¾َ ,َ ْ®ر َ َْأ َة اFQَ 3ْ ¿ ا ُ َ ْ*)ِـــ 80
ك َ َاnَــE K ُ ,َ ْFَ > ِ Eْ n9 3ا
Artinya : “Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu : agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Maka carilah wanita yang taat kepada agama, niscaya akan beruntung” Menurut Ibnu Hajar, yang dimaksud dengan asal-usul keturunan (nasab) adalah kemulian leluhur dan kerabat. Al-Mawardi dalam kitabnya mengatakan, bahwa syarat yang kedua (dari syarat-syarat kafâ’ah) adalah nasab, berdasarkan hadith Nabi saw : “wanita itu dinikahi karena hartanya, asal-usul keturunannya…” yang dimaksud dengan asal-usul keturunannya adalah kemulian nasabnya. Menurut al- Bâ ‘alawî
nasab memainkan peranan penting dalam
kerumahtanggaan, al- Bâ ‘alawî tampaknya menyetujui pendapat di atas, bahwa yang dimaksud nasab adalah kemulian akhlak, bukan pangkat dan jabatan, kecuali bila wanita tersebut berasal dari keturunan Nabi, yang hanya menjadi hak kerabat dekat dan kerabat jauhnya. Sedangkan di luar itu, konsepsi spritualistik dan moralitas menjadi penentu dominant kafâ’ah nasab, maka al- Bâ ‘alawî menolak pendapat yang menyatakan wanita muslimah boleh dinikah
dengan lelaki fasik, karena kefasikan menyangkut nilai
kemulian, laki-laki fasik hanya untuk wanita yang fasik atau yang lebih rendah dari itu.81
80 81
Shahih Bukhari (Darul Qalam, 1987), hadith No.4700. Ibid, 209.
65
Fuqaha berselisih pendapat tentang faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafâ’ah atau tidak. Begitu pula tentang faktor kemerdekaan, kekayaan bebas dari cacat (aib). Menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab, dan mengenai hal itu beliau beralasan dengan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi :
ْ' ُآ1َJْ َأ ِ اnَ *ْ ِ ْ')ُ %َ Fَ ن َأ ْآ ! ِإ Artinya : “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu”.82 Akan tetapi dalam perkawinan hamba sahaya tersebut ulama’ Maliiyah mempunyai dua pendapat : pertama, jika hamba sahaya berkulit putih kawin dengan wanita merdeka maka perkawinannya kufu’. Kedua, jika perkawinan antara hamba sahaya berkulit hitam dengan wanita merdeka maka perkawinannya tidak kufu’ dan itu merupakan aib. Menurut al- Bâ ‘alawî jika suatu daerah tidak mempersoalkan masalah nasab, baik warna kulitnya, budak atau merdeka, tentu apa yang dikatakan oleh Imam Malik tersebut dapat diabaikan, karena nasab budak bukan yang dikehendaki oleh anak. Dan siapapun tidak ingin terlahir sebagai anak budak, karena budak bukanlah aib.83 Hukum darurat dan adat istiadat yang digunakan sebagai illat hukum oleh al- Bâ ‘alawî dapat menjadi penyebab gugurnya semua rincian dan pendapat hukum yang dibuat oleh para ulama’. Persoalan diperbolehkannya keturunan Nabi menikah dengan selain keturunan nasab yang mulia dengan alasan keterpaksaan dan darurat dapat menjadi celah dibolehkannya menikah 82 83
Qur’an dan Terjemahnya, 412. Ibid, 211.
66
keturunan Nabi dengan selainnya dengan alasan darurat, sifat kedaruratan sebagai illat yang dijadikan landasan oleh al- Bâ ‘alawî
yang relatif ini
selanjutnya menjadi indikator inkonsistensi pemberlakuan hukum, hukum mennjadi tidak universal, tetapi partikular. Meskipun demikian sikap al- Bâ ‘alawî
tersebut cukup bijaksana, melihat fenomena krusial dan semakin
luasnya wilayah Islam. Landasan adat istiadat menjadi sumber hukum merupakan bentuk apresiasi wacana hukum Islam yang luas dari al- Bâ ‘alawî , dengan demikian berpatokan pada hadith saja untuk memberikan solusi hukum di tempat yang bertbeda akan sangat menyulitkan, karena itu pemberlakuan adat sebagai illat hukum menunjukkan keluasan cakrawala berfikir al- Bâ ‘alawî, illat adat istiadat dapat menjadi pertimbangan hukum sepanjang tidak kontradiktif dengan al-Qur’an dan sunnah.
C. Analisa Kafâ’ah Nasab Menurut Ulama’ Madhzab 1. Konsep kafâ’ah nasab menurut madhzab Hanafi Menurut madhzab ini, nasab terletak pada bangsa atau sukunya, karena manusia terbagi dua : ‘Ajam dan Arab. Orang Arab terdiri dari dua golongan : Quraisy dan non-Quraisy. Suami Quraisy dan istri Quarisy sah nasabnya wwalaupun berbeda kabilahnya, misalnya Bani Hashîm dan Bani Nawfal. Bagi perempuan Arab non-Quraisy, setiap lelaki Arab dari kabilah
67
mana saja adalah kufu’ baginya. Lelaki ‘Ajam tidak kufu bagi perempuan Quraisy dan perempuan Arab pada umumnya.84 Adapun bagi orang ‘Ajam berlaku nasabnya dalam keIslaman dan kemerdekaan; hanya terbatas dalam kedua hal itu. Karena itu, lelaki yang muslim ayahnya non-muslim tidaklah kufu dengan perempuan yang muslimah dan ayahnya muslim. Begitu juga, dengan lelaki yang merdeka tetapi ayahnya budak, tidaklah kufu’ bagi perempuan yang merdeka dan ayahnya juga merdeka.85 Doktrin Hanafi ini dipengaruhi oleh keadaan masyarakat Kufah dan Irak yang sangat kompleks, terdiri dari berbagai etnis, serta stratifikasi sosial dan warisan perbedaan kelas kerajaan Sasania. Selain itu, ketentuan kafâ’ah ini ditetapkan dengan tujuan menghindari keretakan rumah tangga. Sebab, dengan keliberalan madhzab Hanafi yang memberi kebebasan wanita telah dewasa untuk mengikat tali perkawinannya tanpa campur tangan wali, dikhawatirkan bisa memunculkan keretakan dan kehancuran rumah tangga yang dapat merugikan wanita itu dan keluarganya jika terjadi keteledoran si gadis dalam menentukan pilihannya.86 2. Kafâ’ah nasab menurut madhzab Shafi’i Menurut madhzab Shafi’i, tidak adanya kafâ’ah dalam perkawinan adalah aib. Patokannya adalah persamaan dan kesempurnaan.87 Mengenai 84
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid VII terj. Moh. Talib (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya),
85
Ibid.
86
Dahlan, Ensiklopedi Islam (Jakarta : PT. Ichtiar Vaan Hoeve, 2001), 832.
87
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 42.
68
nasab, manusia terbagi dalam dua golongan Arab dan bukan Arab, yakni orang ‘Ajam. Orang Arab terdiri dari dua golongan : Quraisy dan bukan Quraisy. Orang Quraaisy kufu’ dengan sesamanya. Tetapi orang Qurraisy bani Hashim hanya kufu’ antara sesama mereka sendiri; orang Quraisy selain bani Hashim tidak kufu’ bagi mereka. Orang Arab selain Quraisy tidak kufu’ bagi perempuan Quraisy, mereka kufu’ di antara sesama mereka. Orang ‘Ajam, walaupun ibunya Arab, tidak kufu’ bagi perempuan Arab.88 Kemudian, jika si perempuan bernasab pada tokoh berpribadi bangsawan, maka wajib si suami memiliki nasab pada tokoh seperti itu, dan ini berlaku bagi orang ‘Ajam ataupun orang Arab. Adapun alasan Shafi’i didasarkan pada hadith yang berbunyi :
ْO*ِ ,َ ْ>%ِ ٰG َ½ ْ وَاَ ْـــ+ ِ 1َــQu ْ ْ ِإO*ِـ,َ ْ>%ِ Pَ }َ 1ْ ِآ*َــO*ِ ,َ ٰGَ½ ْ اDَ Aّٰ3ن ا ! ِإ ْO*ِ ,َ ْ>%ِ ْO}ِ 1َG َ½ ْ ِـــ ُ' وَا1َْ هO*ِ ,َ Â ٍ Eْ َFُ ْ>%ِ ٰG َ½ ْ وَا1»ْــEFَ ُ Pِ }َــ1َ *ِآ 89
'ِ ِــــ1هَـ
Artinya : “Sesungguhnya Allah swt telah memilih bani Kinanah dari bani Ismail, dan memilih dari bani Kinanah Quraisy, dan memilih dari Quraisy bani Hasyim, dan memilih aku dari bani Hasyim”
88 Ibid. 43. Lihat Juga Muhammad bin Muhammad Abi Hamid al-Qhazali, al-Wajiz : Fiqh Madhzab Imam Shafi’i (Beirut : Dar al-Fikri) 246. 89
Shahih Muslim (Darul Qiyam, 1965), Hadith No. 4221.
69
Dengan pemahaman yang demikian, shafi’i dan kebanyakan muridnya beranggapan bahwa tercela apabila seorang perempuan dari satu suku yang menikah dengan laki-laki dari suku lain yang lebih rendah nasabnya. Jadi hukumnya sama dengan hukum yang berlaku di kalangan bangsa Arab karena sebabnya adalah sama.90 Alhasil, kafâ’ah pertama-tama berlaku pada nasab (kebangsaan), yaitu orang Arab sejenis. Kemudian orang Arab terbagi dalam golongan Quraisy dan non-Quraisy, orang Quraisy lebih utama dari mereka semua. Orang Quraisy berbeda-beda pula, bani Hashim lebih utama dari yang lainnya. Apabila si perempuan bernasab pada tokoh sharif, maka seorang lelaki harus pula memiliki kesambungan nasab kepada sharif. Nasab tersebut harus melalui nasab pihak ayah bukan pihak ibu, kecuali pada putra-putri Fatimah ra. Dan bani fatimah bernasab kepada Nabi saw dan mereka semua lebih utama dari pada semua Arab dan ‘Ajam. 91 Ddalam hal ini Shafi’i hanya membicarakan doktrin dalam terma yang umum. Beliau membuat satu argumen bahwa doktrin kafâ’ah bermaksud untuk melindungi wanita dari akad nikah yang tidak benar dan
90
Sabiq, Fiqh Sunnah, 44.
91
‘Ajam adalah lawan dari pada Arab. Semeetara kata al-Ajam berarti orang yang tidak fasih
dan jelas bicaranya meskipun ia sendiri berasal dari Arab. Lihat Khalil Abdul Karim, Historisitas Syari’at Islam (Yogyakarta : Pustaka Alief, 2003), 59.
70
untuk melindungi walinya dari rasa malu yang muncul akibat perkawinan yang tidak sekufu’ yang merupakan basis utama doktrin kafâ’ah.92 3. Kafâ’ah nasab menurut madhzab Maliki Berbeda dengan pendapat mayoritas fuqaha’ di atas, imam Malik berpendapat bahwa kafâ’ah nasab bukanlah sebuah keharusan. Sebab, Maliki meletakkan standar kafâ’ah dalam hal ketakwaan dan keimanan. 93 Adapun dasar yang dipergunakan adalah firman Allah yang berbunyi :
ْ' ُآ1َJْ َأ ِ اnَ *ْ ِ ْ')ُ %َ Fَ ن َأ ْآ ! ِإ Artinya : “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu”.94 Ayat ini merupakan dalil qat’i yang sudah jelas ketetapannya.95 Ayat tersebut menjadi indikasi bahwa Islam tidak membeda-bedakan manusia, baik dari segi ras, bangsa dan warna kulit. Islam mengajarkan persamaan di antara manusia. Yang membedakan antara manusia yang satu dengan yang lainnyaa hanyalah kualitas keimanan dan ketakwaan yang dimiliki manusia itu sendiri.96
92
Ibid. 63.
93
Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, 52.
94
Qur’an dan Terjemahnya, 412. Abdul wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Beirut : Dar al-Qalam), 34.
95 96
Dahlan, Ensiklopedi Islam, 834.
71
4. kafâ’ah nasab menurut madhzab Hanbali Para ulama’ madhzab Hanbali menamakan nasab ini adalah alMansib. Yang dimaksud di sini adalah hubungan seseorang dengan asalusulnya, di antaranya dengan bapak, kakek dan seterusnya.97 Madhzab Hanbali menetapkan bahwa seorang bangsa asing (nonArab) tidak sekufu’ dengan orang Arab. Penetapan ini berdasarkan pada perkataan Umar ra, yang diriwayatkan oleh al-Hallal dan ad-Dar Qutni, “Jangan kalian menikahkan para perempuan kecuali terhadap laki-laki yang sekufu’ atau sepadan dan janganlah kalian menikahkan mereka kecuali para walinya.”98 Perkataan di atas menunjukkan seseorang yang mempunyai keturunan yang baik hanya sekufu’ dengan orang yang mempunyai keturunan yang baik pula. Dengan kata lain, pernikahan seorang perempuan dengan laki-laki yang tidak sekufu’ dalam hal keturunan ini dilarang.99 Disamping itu, berdasarkan penetapan ini juga didasarkan pada kebiasaan
bangsa
Arab
yang
senantiasa
memperhitungkan
atau
memperhatikan nasab pada tiap pernikahan. Mereka memandang rendah pernikahan seorang budak. Karena mereka menganggap bahwa pernikahan tersebut cacat dan tercela. Sehingga, dapat dipahami bahwa madhzab Hanbali menetapkan bahwa orang ‘Ajam tidak sekufu’ dengan orang Arab 97 98 99
Ibid. Ibid. Ibid., 55.
72
dan keturunannya. Dengan kata lain menunjukkan bahwa orang non-Arab tidak sekufu’ dengan orang Arab.100 Dari pemaparan di atas, maka dapat dipahami bahwa menurut para Imam madhzab yang berbicara tentang kafâ’ah (Abu Hanifah, Shafi’I dan Ibn Hanbali), rumusan sistem kafâ’ah-nya mengatakan bahwa wanita hanya sederajat (kufu’) dengan lelaki yang bernasab sama atau lebih tinggi dari nasab si wanita.101 Karena ahl al-bayt Nabi adalah paling mulia dalam hal nasab, maka para anggota dari famili ini tidak kufu’ dalam nasab selain dengan keluarganya sendiri. Sehingga, selain sayyid tidak seorang pun boleh menikah dengan sharifah. Tetapi, para ulama’ peletak dasar fiqih madhzab-madhzab itu menegaskan bahwa ketentuan tersebut gugur apabila ada persetujuan antara wanita dan walinya untuk dilaksanakan perkawinan. Jelaslah bahwa ketentuan tersebut tidak mutlak, yakni boleh dilaksanakan perkawinan tanpa adanya kafâ’ah dengan syarat ada persetujuan dari wanita dan walinya. 5. Kafâ’ah nasab menurut madhzab Zahiri Ibn Hazm melontarkan pendapat yang cukup longgar. Menurut beliau, kafâ’ah bukanlah sebuah keharusan dalam melangsungkan ikatan perkawinan. Yang penting, sepasang kekasih yang akan menjadi suami istri harus memilliki nilai keimanan dan ketakwaan. Pada akhirnya, Ibn Hazm sampai pada titik kesimpulan bahwa, dalam konsep kafâ’ah tidak 100
Ibid., 56.
101
Ibid.
73
ditemukan komponen yang pasti untuk dijadikan syarat keabsahan nikah.102 Pendapat beliau sealur dengan pemkiran al-Thawri, Hasan Basri, al-Karkhi (termasuk kelompok Hanafiyah) yang berpendapat bahwa kafâ’ah bukanlah persyaratan bak syarat sah nikah ataupun syarat lazim.103 Dapat digarisbawahi, kelompok ini tidak mensyaratkan kafâ’ah secara mutlak. Yang dijadikan dasar mereka adalah ayat :
ْ' ُآ1َJْ َأ ِ اnَ *ْ ِ ْ')ُ %َ Fَ ن َأ ْآ ! ِإ Artinya : “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu”.104 Jadi, menurut Ibn Hazm yang menjadi ukuran kufu’ adalah aspek iman dan taqwa. Semua umat Islam adalah sekufu’, selama mereka masih memiliki keimanan dan ketaqwaan.105 Tidak ada pengkhususan sharifah atauppun sayyid. Dalam pandangan madhzab ini semuanya sama. Sehingga, kafâ’ah syarifah yang menekankan pada kriteria nasab di dalam implementasinya, menurut Ibn Hazm tidak memiliki keabsahan hukum.106 Dari pemaparan di atas, dapat ditarik suatu pemahaman kafâ’ah dalam mayoritas madhzab dijadikan sebagai syarat luzum atau syarat kelaziman perkawinan. Artinya, perkawinan yang berlangsung antara pasangan yang tidak kafâ’ah, maka perkawinan tersebut tetap sah. Hanya
102
Zzuhayli, al-Fiqh al-Islam, 230.
103
Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 855.
104
Qur’an dan Terjemahnya, 412. Dahlan, Ensiklopedia, 856.
105
106
Ibid.
74
saja bila pihak wali tidak sepakat dengan perkawinan tersebut, maka berhak untuk menuntut pembatalan perkawinan. Penetapan imam madhzab tersebut diorientasikan pada kemaslahatan bersama. Yaitu untuk menghindari adanya perpecahan keluarga dan menghindari munculnya aib akibat perkawinan yang tidak sekufu’. Sehingga, bisa dikatakan pula bahwa penetapan kafâ’ah sebagai syarat perkawinan diposisikan sebagai syarat jaliyah atau syarat mustahinah.107 Terkait dengan kafâ’ah dalam hal nasab, bahwa nasab (yang menjadi pertimbangan dalam kafâ’ah syarifah) dimasukkan sebagai unsur kafâ’ah dalam definisi madhzab Hanaffi, Shafi’i dan Hanbali. Pembagian nasab ini didasarkan pada ras, pertama-tama antara bangsa ‘Ajam dan Arab. Madhzab Hanafi dan Shafi’i membeda-bedakan pula sesama bangsa Arab dalam suku Quraisy dan non-Quraisy, madhzab shafi’i smembedakan lagi Quraisy antara bani Hashim dan bukan bani Hashim, dan bani Hashim dibagi lagi dalam turunan Muhammad saw (yang paling utama dari semua ras manusia di dunia) dan bukan turunan Muhammad saw, dan tidak ada jenis umat manusia lain yang kufu’ dengan mereka. Akan tetapi, kebanyakan ahli fiqih berpendapat bahwa kafâ’ah merupakan hak bagi permpuan dan walinya. Jika para wali dan perempuannya ridha maka ia
107
Syarat ja’liyah adalah syarat yang diperbolehkan oleh shari’ dilakukan oleh pihak yang
melakukan akad pada saat melangsungkan akad untuk berlakunya hukum. Syarat mustahsinah merupakan syarat pelengkap. Artinya masyruth tidak terlaksana dengan sempurna kecuali dengan adanya syarat itu. Lihat Amir Syarifuddin, Usul Fiqh, jilid 1 (Jakarta : Logos, 1997), 336.
75
boleh dikawinkan, sebab para wali berhak menghalangi kawinnya perempuan dengan laki-laki yang tidak sepadan (tidak kufu’).
76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Konsep kafâ’ah dalam kitab Bughiyah Mustarsyidin dijelaskan secara ekplisit, bahwa kafâ’ah berarti kesetaraan, kesepadanan atau kesamaan kedudukan antara calon suami dan istri dalam dimensi psykologi, spiritual dan materi. 2. Dasar hukum kafâ’ah dalam kitab tersebut bertumpu pada hadith Nabi dan pendapat-pendapat para imam Madzhab dan fuqaha’ dan yang lebih penting adalah hukum adat, karena hukum adat yang baik dapat menjadi landasan hukum yang lebih tinggi dibanding para fuqaha’, karena hukum adat merupakan suatu ketentuan yang sudah mentradisi atau mendarah daging pada masyarakat itu sendiri selama tidak kontradiktif dengan ketentuan al-Qur’an dan sunnah.
B.
Saran Kajian kafâ’ah nasab tampaknya sudah final, karena pembahasan dan pendiskusian kembali dalam ranah Indonesia tampaknya kurang mendapat apresiasi yang baik, dengan demikian kajian-kajian lapangan yang bersifat sosial mengenai implikasi kafâ’ah akan lebih membawa informasi yang lebih luas. Semoga skripsi ini dapat menjadi bahan kajian lanjutan bagi para pengkaji kemudian.
77