HUBUNGAN ILMU QIRO’AT DAN ILMU TAFSIR Oleh: Rahmat Hanna
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Al-Qur’an sebagai kalam Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya, di samping sebagai mukjizat yang tak tertandingi juga sebagai pedoman, petunjuk ke jalan yang lurus yang diridhai oleh Allah SWT. Secara keseluruhan Al-Qur'an merupakan kitab suci yang memiliki kebenaran mutlak, di dalamnya dijelaskan prinsip-prinsip akidah (keimanan), ibadah dan pembahasan yang berkenaan dengan prinsip-prinsip syari’at. Salah satu yang berkenaan dengan ilmu-ilmu yang mempelajari Al-Qur'an adalah ilmu qiro’at yang membahas tentang berbagai macam qiro’at dalam Al-Qur'an. yang mana hal ini sangat dibutuhkan dalam mengambil dan melakukan penafsiran Al-Qur'an. Tafsir merupakan suatu ilmu yang menyangkut makna-makna ayat yang secara bahasa masih dirasakan adanya makna lain sehingga membutuhkan penjelasan maksud kandungan ayat tersebut. Tafsir sebagai salah satu cabang dalam ilmu-ilmu Al-Qur'an, tafsir memiliki sejarah yang panjang sejak masa Nabi, Sahabat, Tabiin, Ulama Salaf hingga ulama-ulama modern saat ini tidak pernah berhenti dalam menggali makna Al-Qur'an. dikaji.
B. Permasalahan Dalam makalah sederhana ini mengangkat permasalahan mendasar yakni bagaimana hubungan ilmu qiro’at dan ilmu tafsir.
BAB II PEMBAHASAN HUBUNGAN ILMU QIRO’AT DAN ILMU TAFSIR
A. Ilmu Qiro’at Qiraat ( ) ﻗﺮاةadalah bentuk jamak dari ﻗﺮاءyang berarti bacaan. Karena terambil dari kata dasar yang sama dari Al-Qur'an, sedang menurut istilah, Qiraat adalah madzhab pembacaan AlQur'an dari para imam qurra’ yang masing-masing memiliki perbedaan dalam pengucapan AlQur'an Al-Karim dan ia sandarkan pada sanad-sanad yang sampai kepada Rasulullah saw. Para ahli qiraat (qurra) pada masa sahabat-sahabat Rasulullah saw, di antaranya Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari dan lain-lain. Maka dari merekalah banyak Sahabat dan tabiin dalam beberapa waktu mengambil dan mempelajari qira’ah. Dan semua mereka bersandar pada Rasulullah saw, sampai datang masa tabiin seratus tahin kemudian. Lalu ada sekelompok orang yang berkehendak menekuni masalah qira’ah ini untuk memberikan pertolongan yang lebih sempurna manakala dibutuhkan. Maka kemudian mereka menjadikannya sebagai ilmu sebagaimana mereka berbuat terhadap ilmu-ilmu syara’ lainnya. Perlu diketahui bahwa mushaf Al-Qur'an pada masa Usman dan para sahabat lainnya tidak memiliki titik maupun syakalnya. Dimana bentuk kalimat yang ada di dalamnya adalah berbeda-beda sehingga mempunyai kemiripan antara satu kalimat dengan kalimat lain terhadap qira’ah-qira’ah yang berbeda-beda. Dan mana kala tidak ada kemiripan, maka suatu kalimat akan ditulis dengan salah satu bentuk dalam mushaf. Jadi pembacaan Al-Qur'an dengan mengambil dari imam ke imam sampai kepada Nabi saw. Maka tak diragukan lagi, bahwa soal riwayah memberi dan mengambil, amatlah penting sebagai dasar dalam qira’ah dan Al-Qur'an.
Ketika Usman bin Affan menyebarkan mushaf Al-Qur'an ke negeri-negeri taklukan Islam, maka beliau meyertakan seorang sahabat yang qira’ahnya sesuai dengan kebanyakan. Ketika pada masa itu para sahabat tersebut mengajarkan Al-Qur'an dengan qira’ah yang berbedabeda, maka para tabiin manuqilkan qira’ah tersebut secara otomatis, sehingga pengambilan tabiin ini berbeda pula. Keadaan seperti ini terus berlangsung sampai kepada masa para imam qurra’ yang termasyhur. Dimana mereka mengkhususkan diri dalam menekuni soal qiraah, kemudian mereka tentukan aturan-aturannya dan mereka sebarkan. Adapun perbedaan-perbedaan qira’ah dalam Al-Qur'an masih terbatas pada “qira’ah sab’ah” atau qiraat yang tujuh. Dalam Kitab Al-Itqan qiraah disebutkan bahwa qiraah itu ada yang mutawatir, Masyhur, ahad, syadz dan Mudarraj. Mengenai syarat diterimanya suatu qira’ah, oleh shahibut Thayyibah dikemukakan: •
Apabila qiraah cocok segi nahwunya
•
Sesuai penulisan
•
sah sanadnya Dengan demikian tiga rukun di atas adalah hal standar yang harus terpenuhi. Jika ada cela
maka syadzlah namanya walaupun termasuk dalam qira’ah sab’ah.
B. Ilmu Tafsir Kata tafsir diambil dari kata tafsirah yang bermakna perkakas yang dipergunakan tabib untuk mengetahui penyakit orang sakit. Yang secara bahasa memiliki arti menerangkan atau menyatakan. Sedang menurut maknanya tafsir dalam pandangan Al-Kilby adalah mensyarahkan Al-Qur'an, menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, ataupun dengan tujuannya.
Menurut Zarkasy Tasfir adalah menerangkan makna-makna Al-Qur'an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya. Sedang menurut Syaikh Thahir Al-Jazairi tafsir adalah mensyarahkan lafadz yang sukar difahamkan oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud. Yang demikian itu adakalanya dengan menyebut muradifnya, atau yang mendekatinya, atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melalui sesuatu jalan dalalah (petunjuk). Tafsir sebagai pengambilan makna Al-Qur'an tidaklah sembarangan mengeluarkan tafsiran terhadap makna Al-Qur'an. karena hal ini dapat menimbulkan kekeliruan pernafsiran karena tanpa dasar ilmunya. Saat ini ada banyak orang yang berupaya menafsirkan Al-Qur'an. tetapi dasar pengambilan maknanya tidak ada sehingga melahirkan versi makna yang terkadang bukan menerangkan malah sebaliknya menyesatkan. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa penafsiran haruslah dirujuk dari pemahaman yang benar terhadap ilmu riwayat dan dirayat, yakni; ilmu lughat, nahwu, tashrif, ilmu balaghah, ushul fiqh dan dari ilmu asbabin nuzul, serta nasikh masukh. Dengan pemahaman yang benar terhadap ilmu-ilmu ini, maka kpenafsiran akan mendekati makna dan tujuan kata atau kalimat dalam nash Al-Qur'an. Dalam melakukan penafsiran sangat dibutuhkan beragam ilmu pelengkap yang apabila diperhatikan apa yang telah di uraikan dan diperhatikan pula macam-macam pembahasan ‘ilmu itu, nyatalah bahwa sebahagiaanya tak ada jalan mengetahuinya selain dari pada berpegang kepada naqal semata-mata dan yang sebagainya dapat di peroleh dengan jalan tafakkur dan taammul, dengan sendirinya ilmu-ilmu al-qur’an itu terbagi dua. Pertama ilmu yang berhubungan dengan riwayat, seperti rupa qiroat, tempat-tempat turun Al-Qur'an, waktu-waktunya dan sebab-sebabnya. Bagian ini dinamai “ilmu riwayah”.
Kedua, bagian yang berhubungan dengan dirayah, yakni yang hasil dengan jalan pembahasan, seperti mengetahui lafadz yang gharib (pengertiannya) dan mengetahui maknamakna yang berpautan dengan hukum. Ilmu ini dinamai ilmu dirayat. Maksud yang terpokok dari mempelajari ilmu-ilmu ini ialah: “memperoleh keahlian dalam menginstinbatkan hukum sarah, baik mengenai i’tikad, baik mengenai “amalan” baik mengenai budi pekerti, maupun yang lainnya. Sehingga dalam melakukan penafsiran ilmu-ilmu tersebut dapat dijadikan sandaran untuk menjelaskan makna Al-Qur'an sebenarnya. C. Hubungan antara ilmu qiro’at dan ilmu tafsir Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian kedua di atas, tafsir dan qiro’at saling terkait. Sebab salah satu tunjauan yang dilakuakan ulama mufassirin dalam menafsirkan suatu ayat, harus memperhatikan tentang ilmu riwayat Al-Qur'an seperti tentang ilmu qiro’at, asbabun nuzul dan seterusnya. Dapat dikatakan, bahwa ilmu qira’at merupakan salah satu ilmu yang dibutuhkan dalam pengambilan makna keterangan atau penjelasan suatu ayat yang diturunkan. Dengan pemahaman yang benar tentang ilmu qira’ah, dan ilmu-ilmu lainnya, maka pengambilan makna dan pengistinbatan hukum akan berjalan dengan baik.
BAB III P E N U T U P
A. Kesimpulan 1. Qiraat adalah madzhab pembacaan Al-Qur'an dari para imam qurra’ yang masing-masing memiliki perbedaan dalam pengucapan Al-Qur'an Al-Karim dan ia sandarkan pada sanad-sanad yang sampai kepada Rasulullah saw. 2. Tafsir ialah ilmu yang digunakan untuk menjelaskan makna-makna Al-Quran serta menyimpulkan kandungan dan hikmah-hikmahnya. 3. Ilmu Tafsir dan Ilmu qiro’at saling terkait. Sebab salah satu tunjauan yang dilakukan ulama mufassirin dalam menafsirkan suatu ayat, harus memperhatikan tentang ilmu riwayat Al-Qur'an seperti tentang ilmu qiro’at, asbabun nuzul untuk dapat mengambil makna dan keterangan yang benar maksud suatu ayat. B. Saran 1. Dalam menjelaskan kandungan makna Al-Qur'an, tidak dapat hanya dengan kemampuan akal fikiran manusia semata, tanpa penguasaan ilmu-ilmu penunjang dalam tafsir seperti ilmu nahwu, shorof, qira’ah, asbabun nuzul dan sebagainya. 2. Dalam pembuatan makalah ini tentunya memiliki banyak kekurangan dan kekhilafan di dalamnya. Sehingganya masukan dari dosen pembimbing dan teman-teman seperjuangan sangat dibutuhkan untuk perbaikan-perbaikan ke depan.