TINDAK KEKERASAN DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGIS Oleh: Nandang Sambas Abstrak Violence is a part of crime in general. However, every violence cannot be categorised as a crime and not every crime has been done by a violence. It is difficult to shed light on factors that emerge a violence in Indonesia because of the differential character and form of a violence. Beside that, theories of criminology with Indonesian characteristic have developed slowly. This study shows that from a criminological perspective, the emergence of violations can be analysed both from macro and micro level. At the macro level, the emergence of violations is a result of or influenced by the emergence of conflicting values within a society and at the micro level, it is a result of the lack of ability of a person in making adjustment with a social structure of a society.
Kata Kunci: Kekerasan, kriminologi 1. Pendahuluan Salah satu problema sosial yang tidak henti-hentinya harus diperhatikan adalah munculnya perilaku menyimpang yang dilakukan sebagian anggota masyarakat, yang dikenal dengan kejahatan. Kejahatan sebagai salah satu bentuk perilaku menyimpang selalu ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat, dan tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan1. Masalah kejahatan merupakan masalah abadi dalam kehidupan umat manusia, karena ia berkembang sejalan dengan tingkat peradaban umat manusia itu sendiri. Kejahatan adalah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Betapapun kita mengetahui banyak pendapat tentang faktor penyebab kejahatan dalam masyarakat, namun satu hal pasti adalah kejahatan sebagai salah satu bentuk tingkah laku manusia mengalami perkembangan yang sejajar dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Durkheim mengungkapkan bahwa kejahatan merupakan phenomena sosial yang normal, artinya bahwa kejahatan akan selalu ada di setiap masyarakat dan usia kejahatan seusia dengan usia masyarakat itu sendiri.
. Pengajar Hukum pidana dan Kriminologi Fakultas Hukum Unisba. . Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara.CV. Ananta, Semarang, 1994, hal.11. 1 1
Walaupun upaya penanggulangan masalah kejahatan tersebut seringkali dilakukan bahkan telah menjadi agenda masyarakat internasional2, namun masalah kejahatan bukan semakin surut malah sebaliknya. Semakin tinggi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin tinggi pula kuantitas dan kualitas kejahatan yang terjadi. Adanya kecenderungan tersebut nampak sebagaimana yang terjadi di Indonesia, yang semula hanya terjadi di kota-kota besar namun dalam perkembanganya menjamur kepelosok pedesaan. Kenyataan tersebut dirasakan semakin meningkat terutama setelah menggulirnya gelombang reformasi yang diawali dengan runtuhnya kekuasaan Orba. Salah satu akibat yang sangat menonjol dari reformasi yang tidak terarah, telah membawa masyarakat kepada kebebasan bertindak di luar koridor hukum yang berlaku. Kenyataan tersebut diperparah dengan semakin meningkatnya jumlah pengangguran yang ada. Data statistik pada tahun 2000 menunjukan bahwa dari 209.950.000 jumlah penduduk dengan angkatan kerja sebanyak 95.650.961, jumlah penganggur tidak kurang dari 45.000.000 orang.3 Walaupun belum ada hasil penelitian ilmiah yang mengungkapkan data yang valid, namun secara kasat mata kondisi demikian mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap meningkatnya perilaku-perilaku menyimpang dalam masyarakat, yang sudah tentu menambah pula jumlah kejahatan yang selama ini terjadi. Sebagaimana yang terjadi di DKI Jakarta, kecenderungan terjadinya kejahatan setiap tahun mengalami peningkatan, bahkan pada periode bulan Januari – Oktober 2001 kejahatan meningkat sampai 70 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Setiap bulan jumlah kejahatan yang terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya berkisar antara 2.300 - 3.200 kasus. Dari berbagai kasus kejahatan tersebut, Polda Metro Jaya mencatat bahwa kasus yang paling menonjol tahun 2001 antara lain : Ancaman dan peledakan bom 122, kejahatan jalanan 791, bentrok masa 59, anarki masa 88, aksi main hakim sendiri 113, dan narkoba 843 kasus4. Data tersebut hanya berdasarkan angka yang tercatat di kepolisian, belum termasuk kejadian-kejadian yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat serta perilaku-perilaku menyimpang lain yang disertai dengan tindak kekerasan.
2
Termasuk dalam hal ini
. Adanya Kongres PBB tentang “United Nation The Prevention of Crime and the Treatment of Offender” yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, dimulai sejak tahin 1955. 3 . Forum Keadilan, Nomor.35. 2 Desember 2001. 4 . Forum Keadilan No. 34, 25 Nopember 2001.. 2
tindakan-tindakan anarkis, baik yang berupa demonstrasi masa,
pendudukan dan
pengambil alihan lahan, tawuran masal dll. Yang lebih mengkhawatirkan meningkatnya tingkat
kejahatan tersebut terjadi
terhadap kejahatan yang disertai dengan kekerasan (violence crimes). Bahkan yang paling menarik terjadi pada periode tiga tahun terakhir, maraknya tindak kekerasan yang terjadi dalam masyarakat bukan hanya tindakan yang didasarkan pada motivasi
kriminal
sebagaimana sering kali dilakukan oleh para penjahat, melainkan munculnya tindak kekerasan yang dilakukan oleh warga masyarakat biasa. Kenyataan tersebut menunjukan bahwa semakin hari ancaman terhadap rasa aman masyarakat selalu membayangi kehidupan, bukan hanya masyarakat ibu kota melainkan masyarakat di luar kota Jakarta. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan apabila kondisi demikian tidak segera ditanggulangi. Bicara masalah (kejahatan) kekerasan, sesungguhnya bukan dominasi masyarakat modern seperti sekarang ini, namun sudah terjadi sejak jaman dahulu. Pada masa lalu, tindak kekerasan yang paling sulung terjadi di dunia ini adalah ketika Kabil membunuh Habil dalam upaya merebut yang akan dijadikan pasangannya. Peristiwa tersebut juga merupakan peristiwa kisah cinta segitiga pertama di dunia, yang diakhiri dengan bentuk kejahatan kekerasan. Apakah terjadinya peristiwa pembunuhan Kabil oleh Habil tersebut dapat dipandang sama, serta memiliki
benang
merah
dengan peristiwa kejahatan
kekerasan (pembunuhan) yang terjadi di Indonesia selama ini ? Berkaitan dengan masalah kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri. Bahkan ia telah membentuk ciri tersendiri dalam khasanah studi tentang kejahatan. Semakin menggejala dan menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka semakin tebal membentuk persepsi yang khas di kalangan masyarakat. Ilustrasi sebagaimana digambarkan di atas merupakan phenomena sosial yang tidak dapat segera dianalisis secara sederhana. Namun hanya sekedar untuk menyadarkan pada kita, bahwa sesungguhnya kejahatan adalah milik sah dari umat manusia sepanjang jaman dan sudah tua usianya. Karena masalah kejahatan (khususnya kejahatan kekerasan) merupakan salah satu aspek dari masalah sosial, kesulitan untuk menganalisis mengapa masalah kejahatan kekerasan muncul, bukan suatu alasan untuk membiarkan peristiwa tersebut terus 3
berlangsung. Atas dasar hal tersebut alangkah baiknya apabila masalah tersebut dicoba untuk dikaji dari sudut perspektif teori kriminologis. Walaupun
hasilnya tidak akan
menyelesaikan persoalan, paling tidak dapat sedikit terungkap faktor-faktor pendorong yang dapat dijadikan pegangan bagi kita agar tidak menjadi obyek (korban), apalagi bertindak sebagai subyek tindak kekerasan. Dari berbagai persoalan yang muncul berkenaan dengan terjadinya tindak kekerasan, dua persoalan yang menjadi pokok permasalahan adalah : 1.
Apakah tindakan kekerasan identik dengan perilaku menyimpang yang
dikategorikan sebagai suatu kejahatan ? 2.
Faktor – faktor apa yang mendorong munculnya tindak kekerasan dalam
masyarakat ? 2. Pembahasan. a. Kekerasan dan Perilaku Menyimpang Istilah "kekerasan" atau "la violencia" di Colombia, "the vendetta barbaricina" di Sardinia, Italia, atau "lavida vale nada" di ElSavador5 seiring dengan kata "kejahatan" sering menyesatkan banyak orang. Hal tersebut mendorong orang untuk selalu menafsirkan bahwa seolah-olah sesuatu yang dilakukan dengan "kekerasan" dengan sendirinya merupakan suatu tindak pidana/kejahatan. Para ahli sering kali memberikan pemahaman bahwa "kekerasan" yang dipergunakan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik maupun psikis adalah kekerasan yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu dengan sendirinya dapat dikategorikan sebagai suatu kejahatan. Atas dasar pola pikir seperti itu, maka
istilah "kekerasan" atau "violence" nampak semakin jelas, terutama jika kita
menyimak definisi sebagai berikut: "all tipes of illegal behavior, either threatened or actual that result in the damage or destruction of proverty or in the injury or death of an individual"6 (Setiap bentuk tindakan ilegal, yang berupa ancaman atau tindakan nyata yang dapat menimbulkan kerusakan atau kerugian terhadap harta benda atau menimbulkan luka atau kematian terhadap seseorang. Pen.) 5
. Hogan, John, Modern Criminology : Crime, Criminal Behavior, and its Control; McGraw-Hill Intern. Editions, 1987 p.181. 6 . Kadish, Sanford, et.al, “Ensyclopedia of Criminal Justice:, The Free Press, Collier Macmillan, 1983. 4
Bertitik tolak pada definisi tersebut, nampak bahwa kekerasan (violence ) menunjuk kepada tingkah laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata dan menimbulkan akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau mengakibatkan kematian pada diri seseorang. Dari definisi tersebut ternyata tindak kekerasan mempunyai pengertian yang cukup luas, bukan hanya berupa tindakan fisik namun menyangkut pula perbuatan "mengancam". Kekerasan itu sendiri dapat diklasifikasikan kedalam tiga bentuk, yaitu: 1) Emotional and Instrumental Violence, ‘Emotional Violence’ menunjuk kepada tingkah laku yang bersifat agresif disebabkan karena amarah atau perasaan takut yang meningkat. ‘Instrumental Violence’ menunjuk kepada tingkah laku agresif karena memang dipelajari dari lngkungannya. 2) Random or Individual Violence, menunjuk kepada tingkah laku perorangan yang bersifat kekerasan dengan tujuan tertentu. 3) Collective Violence, menunjuk kepada tingkah laku yang melibatkan kelompok tertentu yang ditujukan untuk mencapai tujuan terntentu 7. Dari uraian tersebut secara tegas diakui bahwa secara yuridis tindak kekerasan dipandang sebagai suatu kejahatan, sepanjang tindakan tersebut bertentangan dengan undang-undang. Namun demikian tidak berarti bahwa semua bentuk kekerasan harus dipandang sebagai kejahatan, karena banyak tindakan-tindakan kekerasan yang tidak memenuhi kualifikasi yuridis. Sebagai contoh kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah atau para penegak hukum untuk menegakan hukum itu sendiri. Begitu juga tindakan terorisme, tidaklah selalu dipandang oleh pihak tertentu sebagai kejahatan. Bahkan dari sudut pandang tertentu, kekerasan dalam bentuk dan manifestasi teror dapat dipandang sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan suatu pesan. Dengan demikian kita harus melihat bahwa tindakan kekerasan harus dilihat dari apa yang mejadi tujuan dari kekerasan itu sendiri serta tergantung pula dari persepsi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Apakah kelompok berdasarkan ras, agama atau ideologi. Dilihat dari aspek cultural, para sosiolog mengakui bahwa setiap masyarakat memiliki suatu kebudayaan yang didukung oleh sebahagian besar warganya, hal tersebut 7
. Ibid.
5
lazim disebut "super culture". Misalnya kebudayaan Indonesia bagi masyarakat Indonesia. Di dalam "super culture" tersebut, tumbuh bagian-bagian dari kebudayaan, karena faktorfaktor suku, pendidikan, profesi, kelas sosial, agama dan lain sebagainya. Sebagai contoh adanya berbagai kebudayaan suku di Indonesia yang timbul karena sistem sosial budaya yang berbeda; biasanya bagian dari super culture tersebut dinamakan "culture" 8. Dalam lingkungan ”culture" tidak mustahil ada nilai-nilai tertentu yang menganggap kekerasan sebagai gejala atau hal yang positif. Misalnya, pada pola pendidikan anak-anak yang menjadi adat istiadat dari suku-suku tertentu, kekerasan merupakan sanksi negatif yang harus dijatuhkan pada anak yang nakal, agar dia jera. Tujuannya adalah agar suatu perbuatan yang dianggap terlarang tidak dilakukan lagi. Jadi, sanksi tersebut merupakan suatu rangsangan agar pihak-pihak tertentu tidak melakukan perbuatan tersebut. Contoh lain adalah kebiasaan yang dilakukan beberapa masyarakat Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung menimbulkan penderitaan baik secara secara fisik maupu psikis, namun mereka menganggap hal tersebut merupakan suatu yang seharusnya dilakukan, bahkan mungkin mempunyai hubungan yang bersifat magis religius. Pada masyarakat yang menghadapi tantangan alam yang begitu berat, kekerasan merupakan salah satu faktor untuk dapat mempertahankan hidup. Akan tetapi di dalam hal ini kekerasan mungkin dilakukan untuk kepentingan kelompok secara menyeluruh. Seorang yang memenuhi syarat-syarat fisik tertentu mungkin diangkat menjadi pemimpin, karena dia diakui dapat memenuhi kebutuhan kelompok serta dapat melindungi kepentingan kelompok tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pada masyarakat-masyarakat tertentu, kekerasan merupakan suatu kebudayaan khusus. Hal tesebut disebabkan karena kekerasan merupakan dasar manusia. Dalam hal ini, maka gejala tersebut dinamakan "sub-culture", karena tidak bertentangan dengan culture yang berlaku dan dianut oleh masyarakatnya. Berbagai pendapat mengatakan bahwa kekerasan merupakan salah satu ciri yang khas dari masyarakat yang masih bersahaja, misalnya, masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari berburu. Hal tersebut disebabkan karena untuk dapat mempertahankan hidup maka anggota masyarakat harus melakukan kekerasan, yakni membunuh hewan. Kecuali
8
. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers. Jakarta, 1986.
6
dari itu, maka keadaan fisik tertentu merupakan perlambang dari kekuatan yang apabila diakui kemudian menjadi dasar dari kekuasaan. Kekerasan sebagai bagian dari kebudayaan, mungkin merupakan gangguan bagi masyarakat, di dalam hal ini, maka bagian tersebut lazim dinamakan "counter-culture" (kebudayaan tandingan). Gejala tersebut dapat dinamakan bagian dari kebudayaan karena merupakan nilai, norma dan pola perilaku yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Dari apa yang telah digambarkan tersebut nampak bahwa tidak semua kekerasan identik dengan kejahatan. Hal tersebut tergantung dari kondisi yang melatar belakanginya. Hanya kekerasan yang secara yuris yang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan. Kejahatan itu sendiri bersifat relatif berdasarkan waktu, tempat dan kondisi dimana ia berada. Apa yang dikatakan jahat di suatu masa/jaman, atau di suatu tempat atau dalam kondisi masyarakat tertentu, tidaklah harus sama dan sebangun dengan masyarakat lainnya yang memiliki nilai-nilai sosial yang berbeda. Sebagai contoh pada jaman Jahiliah, di Arab Saudi membunuh anak perempuan yang baru lahir adalah suatu hal yang dianggap normal. Begitu juga pada sebagian masyarakat Indonesia masa lampau, seperti masyarakat Dayak, budaya Mengayau dianggap memiliki nilai-nilai magis religius tertentu yang justru diperlukan pada saat itu. Demikian pula dengan budaya Carok di Madura dan budaya Siri di Sulawesi serta berbagai bentuk sub culture masyarakat tertentu di setiap bangsa. Harsja W. Bachtiar mengungkapkan, mungkin dalam setiap kebudayaan terdapat unsur-unsur kekerasan yang membenarkan penggunaan kekerasan dalam keadaan-keadaan tertentu. Adanya unsur-unsur demikian dalam budaya-budaya kita sepantasnya dapat dianggap sebagai gejala normal. Idiologi- ideologi politik, terutama yang bersifat radikal, baik dalam usaha merubah maupun mempertahankan keadaan masyarakat sebagaimana yang diinginkan, biasanya tidak luput dari unsur-unsur yang merangsang penggunaan kekerasan. Ideologi anarkhis, fasis, imperalis, komunis, DI/TII dan kaum ekstrimis lainnya menggunakan tindakan kekerasan dalam memperjuangkan tujuan yang hendak di capai oleh para pengikut faham-faham tersebut 9. Dalam perkembangannya, suatu tindakan termasuk tindak kekerasan yang terjadi dalam masyarakat diidentikan sebagai suatu perbuatan tercela dan patut mendapat sanksi, 9
. Sahetapy, Kejahatan Kekerasan sebagai suatu Prolusi. Makalah Seminar Perkembangan Kejahatan Kekerasan Di Indonesia, 1990.hal.2. 7
bukan semata-mata karena perbuatan tersebuat bertentangan dengan nilai-nilai yang diakui dan berlaku dalam kelompok masyarakat. Melainkan karena lebih dipengaruhi oleh perkembangan hukum modern yang secara langsung diakui keberadaannya oleh pihakpihak yang mempunyai otoritas mengendalikan masyarakatnya. Bahkan semakin maraknya isue terhadap perlindungan HAM pada dekade terakhir ini telah mengimbas pula terhadap persoalan-persoalan yang selama ini diakui sebagai sesuatu yang legal untuk dilakukan menurut nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tertentu. Atas dasar hal tersebut, tidaklah mengherankan apabila muncul berbagai dilema yang dihadapi masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami perubahan sebagaimana dihadapi Indonesia. Disatu sisi sebagai bagian dari masyarakat internasional tentunya harus dapat mengikuti perkembangan-perkembangan masyarakat internasional yang nota bene diakui sebagai masyarakat modern. Disisi lain pola pikir masyarakat masih berpegang kepada norma-norma serta nilai-nilai yang masih bersifat tradisional, yang sesungguhnya berumur lebih tua dan lebih mengakar dalam sejarah dari pada apa yang nasional dan modern. b. Faktor – faktor munculnya tindakan Kekerasan. Dalam kajian kriminologi salah satu aspek penting dalam mengkaji masalah perilaku menyimpang (kejahatan) adalah dengan cara mencari sebab/causa dari kejahatan itu sendiri atau dikenal dengan istilah Etiologi criminal. Dalam presfektif kriminologi, membahas masalah kejahatan pada umumnya memiliki dimensi yang sangat luas. Namun demikian terdapat tiga titik pandang untuk melakukan analisis suatu kejahatan, yaitu : pertama, titik pandang secara makro (macrotheories), kedua, titik pandang mikrotheories, ketiga, disebut bridingtheories 10. “Macrotheories” adalah teori-teori yang menjelaskan kejahatan dipandang dari segi struktur sosial dan dampaknya. Teori-teori ini menitik beratkan "rate of crime" atau epidemologi kejahatan atas pelaku kejahatan. Sebagai contoh teori “anomie “dan teori “conflik”. Sedangkan “Microthheories”, adalah teori-teori yang menjelaskan : mengapa seseorang atau kelompok orang dalam masyarakat melakukan kejahatan atau di dalam masyarakat terdapat orang-orang yang melakukan kejahatan dan terdapat pula sekelompok 10
. Williams III, Frank P. & McShane Marilyn D,. Criminologycal Theory,Prentice Hall, 1988.hal. 4.
8
orang atau orang-orang tertentu yang tidak melakukan kejahatan. Teori-teori tersebut menitik beratkan kepada pendekatan psikologi atau sosiologis atau biologis. Sebagai contoh teori ”social control” dan “social learning theory”. Sedangkan “Bridging theories” adalah teori-teori yang tidak atau sulit untuk dikategorikan baik kedalam “macrotheories” maupun “microtheories” . Theori-theori yangb termasuk kedalam kategori ini menjelaskan tentang struktur sosial dan juga menjelaskan bagaimana seseorang atau kelompok orang menjadi penjahat. Sebagai contoh, teori “subcultur” dan teori “diferential oportunity” . Munculnya teori-teori kriminologi yang berkultur masyarakat barat, tidak berarti bahwa teori-teori tersebut dapat dipergunakan sepenuhnya dalam menganalisis kejahatan yang terjadi di Indonesia. Namun demikian mengingat masih miskinnya teori-teori kriminologi yang dihasilkan para pakar Indonesia, setidak-tidaknya teori-teori barat dapat dijadikan sebagai
usaha untuk mencoba mempertautkan dengan keadaan Indonesia.
Sebagaimana diungkapkan Romli Atmasasmita, bahwa teori-teori kriminologi dari barat belum tentu cocok dengan kondisi dan situasi kriminalitas di Indonesia. Namun tanpa teori-teori itupun mustahil kita dapat mengembangkan teori-teori baru tentang kejahatan di Indonesia. Bahkan melalui cara uji hipotesa-hipotesa yang mendukung lahirnya teori barat itu, kita dapat menarik manfaat sebesar-besarnya dalam menggali perkembangan dan masalah kejahatan di Indonesia11. Di seluruh dunia, kekerasan pasti terjadi, walaupun dengan derajat intensitas dan frekuensi yang berbeda-beda. Pada masyarakat Amerika
Latin
misalnya, tindakan
kekerasan sangat menonjol baik intensitas maupun frekuensinya. Di Amerika Serikat serta pada beberapa masyarakat di Eropa boleh dikatakan bahwa tarafnya tergolong kategori menengah. Demikian pula halnya dengan beberapa masyarakat di Asia, apabila dibandingkan dengan keadaan masyarakat-masyarakat Amerika Latin. Masyakatmasyarakat Skandinavia termasuk kategori masyarakat yang tenang apabila dibandingkan dari sudut terjadinya perilaku dengan kekerasan tersebut. Perbedaan-perbedaan tersebut terjadi mungkin karena adanya perbedaan kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Masyarakat-masyarakat yang secara relatif tidak stabil, biasanya merupakan tempat yang subur bagi terjadinya perilaku dengan kekerasan. Ketidak stabilan tidak hanya 11
. Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Eresco, Bandung, 1992. Hal. 63.
9
terbatas pada ketidak stabilan di bidang politik saja, akan tetapi mungkin dibidang ekonomi, sosial, kebudayaan dan hukum. Kadang-kadang bahkan dikatakan, bahwa intensitas serta frekuensi yang tinggi dari pola perilaku dengan kekerasan merupakan pertanda tidak efektifnya pengendalian sosial di dalam masyarakat tersebut, walaupun intensitas dan frekuensinya tidak begitu besar. Modernisasi merupakan suatu proses yang harus dialami, agar suatu masyarakat menjadi modern. Keadaan modern merupakan suatu bentuk peradaban yang menjadi ciri dari masyarakat-masyarakat yang telah mengalami industrialisasi dalam arti fisik, serta penyesuaian mental terhadap industrialisasi tersebut. Dengan demikian, maka modernisasi mencangkup berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang antara lain mencakup bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan maupun hukum. Akibatnya adalah, bahwa di dalam masyarakat perlu diadakan perubahan-perubahan yang antara lain mencakup penggantian dan perubahan, maupun adakalanya ada unsur-unsur tradisional yang perlu dipertahankan. Modernisasi ekonomi mula-mula timbul sebagai akibat dari terjadinya revolusi industri di Inggris. Revolusi industri tersebut berorientasi pada individualisme serta pengutamaan nilai kebendaan. Pengaruh revolusi industri menjalar ke segenap penjuru dunia, dan termasuk masyarakat Indonesia. Di dalam melaksanakan pembangunan, terlihat dengan jelas bahwa prioritas utama pada awalnya diletakan pada pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meratakan kemakmuran di dalam arti materi atau kebendaan. Proses tersebut tidak diimbangi dengan usaha-usaha untuk menetralisasikan akibat-akibat negatif yang akan muncul, menyebabkan orang banyak berorientasi pada nilai kebendaan semata. Orientasi pada nilai-nilai kebendaan menyebabkan manusia lebih mementingkan perilaku dan polanya yang terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan benda/materi, dengan mengeyampingkan caranya yang pantas. Manusia lebih dihargai karena mempunyai ciri-ciri yang bersifat kebendaan yang kelihatan dengan nyata, yang biasanya bersifat konsumtif. Akibatnya adalah, bahwa hampir segalanya di dalam kehidupan ini diukur dengan nilai kebendaan. Sikap tersebut menghasilkan pola perilaku tertentu pula, yang cenderung mengutamakan kekuatan, kekayaan materiil, prestise serta ketenaran, yang selama ini menjadi ciri pergaulan sehari-hari yang memang tampaknya semakin melembaga.
10
Nilai kebendaan yang tidak didasari dengan nilai spiritual atau keahlakan, antara lain mengakibatkan seseorang lebih besar untuk mengambil resiko. Keadaan masyarakat pada umumnya memberikan peluang lebih besar bagi tindakan-tindakan yang penuh resiko, karena dalam kebanyakan hal faktor kebendaan menjadi ukuran bagi perilaku etis. Situasi semacam ini ditambah lagi dengan adanya suatu harapan yang sia-sia belaka terhadap pihak-pihak, yang seyogyanya memberikan contoh atau tauladan baik dalam berucap maupun berperilaku. Hal inilah yang merupakan salah satu faktor terjadinya perilaku yang disertai dengan kekerasan. Dalam perspektif sosiologi-kriminal sebagai sebuah ilmu yang salah satu tugasnya mengungkap dan menganalisis kriminalitas, khususnya kejahatan kekerasan sebagai gejala sosial, melihat bentuk kejahatan dengan menggunakan kekerasan merupakan suatu bentuk dari perilaku menyimpang (Deviant Behaviour). Perilaku menyimpang tersebut biasanya diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Penyimpangan adalah perbuatan yang mengabaikan norma, dan penyimpangan ini terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mematuhi norma dalam masyarakat. Howard Becker12., mengajukan konsep bahwa perilaku yang teridentifikasi sebagai menyimpang muncul melalui proses pemberian label (Labelling). Becker melihat deviant sebagaimana tercermin dalam ungkapan " kecantikan ada di mata anda". Jadi bagaimana anda atau orang lain memiliki konsepsi tentang orang lain atau tentang anda, bergantung dari situasi tertentu.
Menurut Becker, seorang yang berperilaku menyimpang adalah
seseorang yang telah berhasil diberi label sebagai berperilaku menyimpang oleh orang lain atau masyarakat. Akan tetapi proses pemberian labelling tersebut biasanya mendapat antisipasi dari yang diberi label, mereka menolak dengan keras. Jadi dalam hal ini proses pemberian label perilaku menyimpang pada seseorang biasanya melibatkan kekuasaan (power). Kekuasaan itu dapat berupa kekuatan kelompok yang lebih kuat secara formal atau non formal, bahkan oleh negara sekalipun. Sebagai contoh perbedaan terhadap pelaku kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP dalam buku II dan buku III. Dalam hal ini label yang diberikan oleh masyarakat kita mengenal pepatah "sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tidak akan percaya", atau label para "jeger", “preman” kelompok "vandalisme" dan lain sebagainya. 12
. Sahetapy, Teori Kriminologi Suatu pengantar, Citra Aditya Bhakti, Bandung. 1991.hal.26.
11
Mengenai proses labeling ini sesungguhnya merupakan sisi lain dari perwujudan reaksi masyarakat terhadap apa yang dianggap sebagai hal yang mengganggu norma yang ada. Bruce J Cohen, mengelompokan kepada tiga kelompok pendekatan yang dipergunakan para sosiolog sebagai faktor munculnya perilaku menyimpang dalam kaitannya dengan proses sosialisasi yang kurang tepat13. Pendekatan pertama, bahwa individu yang terisolasi secara kurang tepat tidak dapat menyerap norma-norma kultural ke dalam kepribadiannya, sebab itu tidak mampu membedakan perilaku yang kurang pantas menurut peradaban. Pendekatan selanjutnya berkeyakinan bahwa individu yang menyimpang pertamatama harus melalui "proses belajar" bagaimana melakukan penyimpangan. Dalam pendekatan ini perilaku menyimpang dalam segala bentuknya ditularkan dari individu ke individu lainnya. Pendekatan ini bertitik tolak pada "Learning Theory" . Sutherland14. berpendapat bahwa untuk menjadi penjahat seseorang mengalami proses belajar. Keterlibatan seseorang dalam suatu interaksi yang bersifat "bad companions" dengan individu atau kelompok lainnya merupakan "bangku kuliah" untuk menjadi penjahat. Pendekatan yang terakhir tentang perilaku menyimpang berpostulat pada keyakinan bahwa perilaku menyimpang akibat dari ketegangan yang terjadi antara kebudayaan dengan struktur sosial suatu masyarakat. Dalam setiap masyarakat tidak hanya memiliki tujuan-tujuan yang dianjurkan oleh kebudayaan, tetapi juga cara-cara yang diperkenankan oleh kebudayaan tersebut untuk memperoleh apa yang menjadi tujuan yang diingini. Dalam hal ini terdapat kesenjangan antara "goals and means", antara cita-cita dan realita. Apabila individu tidak mempunyai peluang untuk mendekatkan cita-cita dengan realita melalui cara yang disarankan oleh kebudayaan atau memilih cara yang berpegang pada patokan baku dalam masyarakat, peluang untuk lahirnya perilaku menyimpang akan terbuka lebar. Kesenjangan dan ketidak selarasan antara goals and means melahirkan berbagai dampak negatif terhadap perilaku warga masyarakat. Kesenjangan sosial akan mudah tercipta demikian pula bentuk kecemburuan sosial, antara orang yang berhasil mencapai tujuan-tujuan sosialnya melalui cara yang selaras dengan norma-norma yang berlaku. Pada 13
. Bruce J Cohen, ……………..1983. . E.H. Sutherland,& Donald R Cressey, Principle of Criminology. Terjemahan Momon Martasaputra.1970. 12 14
akhirnya akan lahir pula kondisi hilangnya kepercayaan pada norma-norma yang sudah ada yang selama ini menjadi pegangan, dan pada gilirannya akan mendatangkan frustasi sosial. Dengan mengacu pada pendekatan etiologi, kiranya dapat disimak konsep seorang sosiolog yang tidak asing lagi, yakni Emile Durkheim yang mengintrodusir konsep "anomie" . Konsep tersebut mempunyai makna bahwa, suatu situasi kekacauan norma dan arah yang tercipta akibat tidak adanya keselarasan dan lebarnya kesenjangan harapan kultural dengan kenyataan-kenyataan sosial. Sedangkan Robert K. Merton menghubungkan konsep anomie dengan perilaku penyimpangan sosial. Ia mengemukakan bahwa individu
belajar
mengenali tujuan-tujuan
akibat proses sosialisasi, individu-
penting
kebudayaan
dan
sekaligus
mempelajari cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan yang selaras dengan kebudayaan. Bilamana terjadi kemacetan, kesempatan kemudian
individu-individu
mencari
untuk alternatif,
mencapai
tujuan
perilaku
itu tidak
alternatifnya
ada,
mungkin
menimbulkan perilaku penyimpangan sosial. Merton mengemukakan empat tipe perilaku menyimpang apabila kondisi tersebut di atas
terbukti ada. Tipe-tipe tersebut meliputi inovasi, ritualisme, retretisme,
pemberontakan. Dalam penyimpangan tipe inovasi apabila seseorang mau menerima cara-cara pencapaian tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya, sambil menolak bagian-bagian yang bertentangan dengan itu. Dalam hal ini individu telah melakukan inovasi. Sedangkan tipe ritualisme adalah apabila individu menerima cara-cara yang diperkenalkan secara kultural dan menolak tujuan-tujuan kebudayaan. Berbeda dengan tipe ritualisma, tipe reteatisme timbul apabila individu menolak baik tujuan-tujuan yang disahkan
oleh
kebudayaan
ataupun
cara-cara pencapaian
tujuannya. Dan tipe yang terakhir adalah pemberontakan. Hal ini terjadi apabila individu menolak sarana dan tujuan yang disahkan oleh kebudayaan dan menggantinya dengan yang lain. Sehubungan dengan pembahasan masalah kejahatan kekerasan, apabila hendak mengaplikasikan konsep-konsep etologi perilaku
menyimpang
yang
terurai di atas
khususnya konsep anomie dari Robert K Merton, tidaklah dengan sendirinya akan dapat menerangkan secara utuh menyeluruh dan memuaskan. Hal tersebut disebabkan karena 13
kejahatan kekerasan hanyalah merupakan sebagaian kecil saja dari mata rantai problema sosial yang ada di negara kita Indonesia, ibarat gunung es yang muncul ke permukaan yang hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan kondisi yang ada. Kejahatan kekerasan di Indonesia merupakan produk sistem sosial dengan pelbagai nilai-nilai yang sangat bhineka, dimana satu sama lain tidak selalu serasi, selaras dan seimbang. Mengingat peranan kebhinekaan suku bangsa di Indonesia yang memiliki ciri khasnya masing-masing tidak jarang akan terjadi konflik kultural. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin terbuka lebarnya sarana komunikasi sangat merangsang percepatan perubahan sosial di Indonesia. Dengan terjadinya mobilitas sosial tersebut kejahatan kekerasan merupakan produk dari gerak perubahan kultural maupun perubahan sosial. Apabila perubahan itu sangat cepat dan tidak seimbang, maka masalah negatif juga akan berpeluang sangat besar untuk hadir. Individu kemudian merasa kesepian dan prustasi. Ia menjadi "tamu" dalam kulturnya sendiri, rangsangan hedonis dan materialis berkembang dan melahirkan budaya terobosan yang juga berdimensi negatif. Cepat ingin kaya bergegas untuk
menyelesaikan
problema
rumah tangga, haus kekuasaan dan pengembangan bisnis, ketakutan akan kehilangan kesempatan dan berbagai sisi negatif dari hadirnya budaya terobosan akan tumbuh subur karenanya. Bahkan tidak mustahil terjadinya kejahatan dengan kekerasan seperti kasus-kasus mutilasi, erat hubungannya dengan berbagai peristiwa kejahatan kekerasan yang sama yang terus terjadi selama ini. Kita masih ingat peristiwa pak guru Agus dengan kasus Nyonya Diah hingga peristiwa pembunuhan Pujiastuti di Surabaya yang mayatnya dipotong sepuluh, kasus potongan tubuh manusia di Ciroyom serta berbagai kaus lain. Atau munculnya generasi-generasi baru yang mengikuti jejak pelaku perampokan dan perkosaan keluarga Acan. Kesemuanya itu berakar pada kondisi aktual masyarakat. Apalagi bila terjadi perubahan sosial yang sangat mendadak, maka kesenjangan kultural sering merupakan pencetus disorganisasi sosial dalam masyarakat. Press dan media masa lainnya sering membentuk opini yang secara di bawah sadar diyakini dan dijadikan pegangan oleh masyarakat, massmedia sering kali mengekspos suatu peristiwa kejahatan kekerasan secara sangat rinci dan tendensius, sehingga justru menjadi semacam “buku petunjuk” bagi calon pelaku kejahatan kekerasan.
14
Sebagaimana diunghkapkan pelaku pembunuh Christine pada saat di persidangan, mengaku bahwa kebetulan ia pernah membaca kasus pemotongan mayat yang dilakukan Agus Naser, maka setelah menyeret korban ke kamar mandi, dia memandikan mayat korban untuk menghilangkan darah kemudian ia melakukan pemotongan serta memisahmisahkan tubuh korban, dan memasukannya dalam plastik 15. Teori belajar dari Suthetland, dalam hal ini nampaknya mendekati kebenaran, dimana
seseorang melakukan kejahatan disebabkan karena dipelajari dari peristiwa-
peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Namun ada juga yang berpendapat bahwa mass media tidak mempunyai pengaruh secara signifikab terhadap perilaku jahat. Seandainya ada pengaruh itupun hanya kecil saja, dan ternyata hal tersebut hanya berlaku untuk negara-negara yang sudah maju, seperti Amerika Serikat. Sedangkan untuk negara kita masih banyak perilaku menyimpang dalam bobotnya sebagai kejahatan kekerasan merupakan hasil peniruan dari mass media khususnya tayangan film-film yang
mempertontonkan unsur kekerasan. Termasuk di
dalamnya kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, seringkali meniru dari adegan film. Khusus terjadinya proses peniruan terutama dilakukan oleh anak yang masih labil, perlu memperoleh perhatian yang cukup serius. Ungkapan seorang ahli hukum dan sosiologi Gebrile Tarde yang menentang paham antropologi, dalam bukunya yang berjudul "La criminalite comparee" (1886) ia mengungkapkan bahwa, kejahatan bukanlah suatu gejala yang antropologis tetapi sosiologis. Seperti kejadian-kejadian masyarakat lainnya dikuasai oleh peniruan 16. Dari apa yang diuraikan di atas, tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa press dan mass media lainnya seperti film merupakan inspirator atas terjadinya kejahatan. Namun kiranya perlu juga diingat bahwa dalam sebuah sistem sosial yang dinamis, press dan media cetak maupun film merupakan bagian yang integral dan urgen dalam proses pembangunan masyarakat. Setelah berkembangnya pendekatan struktural dalam studi kejahatan, yang dikenal dengan pendekatan studi kejahatan struktural
para ahli kriminologi di Indonesia bukan
hanya mempertanyakan sejauhmana struktur masyarakat dengan berbagai kondisi yang
15 16
. Kompas, 21 Juni 1990. . Bonger, Pengantar Kriminologi, Ghalia Indonesia,1981.
15
menyetainya mendukung terjadinya kejahatan, sering juga mempertanyakan sejauhmana sistem peradilan pidana menghasilkan secondery deviance. 3. Kesimpulan Dari apa yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulan sbb: - Tidak semua bentuk kekerasan harus dipandang sebagai suatu kejahatan secara yuridis. Begitu juga sebaliknya, bahwa tidak semua kejahatan dilakukan dengan kekerasan. - Secara makro, faktor yang dapat mendorong munculnya kejahatan kekerasan dipengaruhi oleh adanya konflik nilai yang ada dalam masyarakat. Baik karena munculnya nilai-nilai baru yang berusaha untuk mengganti nilai-nilai yang sudah lama ada, maupun karena adanya konflik diantara nilai lama yang berbeda yang dianut oleh masing-masing kelompok. - Secara mikro, faktor munculnya kejahatan kekerasan adalah sebagai pengaruh dari ketidak mampuan seseorang untuk menyikapi kondisi struktur masyarakat yang ada. - Dalam kondisi yang lain, kejahatan kekerasan terjadi karena dihadapkan kepada kenyataan-kenyataan yang sering kali terjadi atau muncul pada masyarakat lain. Disadari atau tidak, baik secara langsung atau tidak langsung dijadikan sebagai bahan peniruan. Bahkan bukan hanya meniru tetapi lebih jauh dipelajari.
Daftar Pustaka a. Buku dan Makalah Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara.CV. Ananta, Semarang, 1994. E.H. Sutherland,& Donald R Cressey, Principle of Criminology. Terjemahan Momon Martasaputra.1970 Hogan, John,
Modern Criminology : Crime, Criminal Behavior, and its Control; McGraw-Hill Intern. Editions, 1987.
Kadish, Sanford, et.al, “Ensyclopedia of Criminal Justice:, The Free Press, Collier Macmillan, 1983. Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Eresco, Bandung, 1992. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers. Jakarta, 1986. 16
Sahetapy, Kejahatan Kekerasan sebagai sustu Prolusi. Makalah Seminar Perkembangan Kejahatan Kekerasan Di Indonesia, 1990. ------------------------, Teori Kriminologi Suatu pengantar, Citra Aditya Bhakti, Bandung. 1991. Williams III, Frank P. & McShane Marilyn D,. Criminologycal Theory,Prentice Hall, 1988.hal. 4. W.A Bonger, Pengantar Kriminologi, Ghalia Indonesia,1981. b. Majalah dan Surat Kabar Forum Keadilan, Nomor.35. 2 Desember 2001. Forum Keadilan No. 34, 25 Nopember 2001. Kompas, 21 Juni 1990.
17