TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF NORMATIF
OLEH : M. SATRIA, SH., M.Kn2
PENDAHULUAN Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara Hukum (Rechtsstaat/The Rule of Law). UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum"3. Oleh karena itu, hokum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan system. Apalagi, Negara hendak dipahami sebagai suatu konsep hokum, yaitu sebagai Negara hokum. Dalam hokum sebagai suatu kesatuan system terdapat (1) elemen kelemabagaan (elemen institusional), (2) elemn kaedah aturan (elemen instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hokum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultur). Ketiga elemen system hokum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hokum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hokum (law administrating), dan (c) kegiatan peradilan atas pelanggaran hokum (law adjudicating). Biasanya, kegiatan terakhir lazim juga disebut sebagai kegiatan penegakkan hokum dalam arti yang sempit (law enforcement) yang dibidang pidana melibatkan peran kepolisian, kejaksaan, advokat, dan kehakiman atau di bidang perdata melibatkan peran advokat (pengacara) dan kehakiman. Selain itu, ada pula kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu : (d) pemasyarakatan dan pendidikan hokum (law socialization and law education) dalam arti seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hokum (law information management) sebagai kegiatan penunjang.
2
M. Satria, Dosen Fakultas Hukum Unhalu Kendari. Makalah di sampaikan pada seminar nasional tentang Anti Korupsi pada tanggal 9 Mei 2009 di Hotel Aden Kendari. 3
1
Kelima kegiatan itu biasanya dibagi dalam tiga wilayah fungsi kekuasaan Negara, yaitu (i) fungsi legislasi dan regulasi, (ii) fungsi eksekutif dan administrative serta (iii) fungsi yudikatif atau judisial4. Organ legistlatif adalah lembaga parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi pemerintah, sedangkan organ judikatif adalah birokrasi aparatur penegak hokum yang mencakup kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kesemua itu harus pula dihubungkan dengan hirarkinya masing-masing mulai dari organ tertinggi sampai terrendah, yaitu yang terkait dengan aparatur tingkat pusat, aparatur tingkat provinsi, dan aparatur ditingkat kabupaten/kota. Artinya, supremasi hokum dimaknai bahwa asas legalitas merinpakan landasan yang terpenting di dalam setiap tindakan, baik itu yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Dalam keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah5, tercakup pengertian system hokum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan aspek, elemen, hirarki dan komponen tersebut tidak bekerja secara seimbang dan sinergis, maka hokum sebagai satu kesatuan system juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, karena bangsa kita mewarisi tradisi hokum Eropa Kontinental (civil law), kita cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hokum (law making), tetapi kurang memperhatikan yang sama banyaknya terhadap kegiatan penegakkan hokum (law enforcing. Bahkan, kitapun dengan begitu saja menganut paradigm dan doktrin berpikir yang lazim dalam system civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hokum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orasng dianggap tahu hokum. Ketidaktahuan seseorang akan hokum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hokum. Teori ini diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga diakui universal, yaitu persamaan di hadapan hokum (equality before the law). 4
Montesquieu, The Spirit of the laws, Translated by Thomas Nugent, (London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914), Part XI, Chapter 67. 5 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by : Anders Wedberg, (New York; Russell & Russell, 1961), hal. 115 dan 123-124.
2
Oleh Karen itu, di samping adanya dan diantara kegiatan pembuatan hokum (law making) dan penegakkan hokum (law enforcing), diperlukan kegiatan, yaitu pemasyarakatan huku (law socialization) yang cenderung diabaikan dan dianggap tidak penting selama ini. Padahal, inilah kunci tegakknya hokum. Tanpa basis social yang menyadari hak dan kewajibannya secara hokum, maka hokum apapun yang dibuat tidak akan efektif, tidak akan tegak, dan tidak akan ditaati dengan sungguh-sungguh. Memahami hokum secara komprehensif sebagai suatu system yang terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hokum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (rechtsstaat atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hokum saja, ataupun hanya dengan salah satu elemen atau aspek saja dari keseluruhan system hokum tersebut di atas. Menurut Bagir Manan (1994) sendi utama Negara berdasarkan atas hokum adalah bahwa hokum merupakan sumber tertinggi (supremasi hokum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hokum antara Negara dan masyarakat ataupun antara anggota atau kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain. Supremasi hokum dalam pengertian itu dapat dimknai bahwa asas legalitas merupakan landasan yang terpenting di dalam setiap tindakan, baik itu yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Punjak legalisme ini dapat dicermati pada pendapat Krabbe yang menyatakan bahwa yang memiliki kekuasaaan tertinggi adalah hokum. Hamper sejalan pemikiran ini adalah apa yang diutarakan Leon Duguit. Menurutnya, hokum merupakan penjelmaan daripada kemauan Negara, tetapi, dalam keanggotaannya Negara sendiri tunduk pada hokum yang dibuatnya, (Abu Daud Busroh, 1993). Hokum yang didorong berlaku tanpa terkecuali umumnya dilandasi nilai kepastian hokum. Menurut Gustaf Radbruch (1961) ada tiga nilai dasar hokum, yaitu; Keadilan, Kegunaan dan Kepastian Hukum. Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar dari hokum,
3
namun antara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis, suatu ketatanegaraan satu sama lain. Hubungan atau keadaan yang demikian itu, menurut Satjipto Rahardjo (1991) bisa dimengerti, karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang berlain-lainan dan satu sama lain mengandung potensi untuk bertentangan. Apabila kita ambil sebagai contoh kepastian hokum, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang utama bagi kepastian hokum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan masyarakatnya, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hokum.
TENTANG KORUPSI dan PENEGAKKAN HUKUMNYA Disebelah bumi maupun pelaku korupsi adalah orang-orang terdidik dan relative memiliki jabatan (birokrasi), pada asasnya setiap korupsi di birokrasi mana saja sifatnya sama, yakni pemanfaatan jabatan oleh oknum pejabat untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya, dalam hal mana perbuatan tersebut menyimpang dari bunyi sumpah jabatan dan hokum yang berlaku. Ditinjau dari segi keuangan yang di rugikan, korupsi ini pada galibnya ada dua; merugikan keuangan Negara dan merugikan keuangan msyarakat dalam kategori individual6. Dakwaan korupsi terhadap beberapa petinggi Negara memiliki persamaan prinsipil, yakni bahwa tindak pidana yang didakwakan tersebut berkaitan erat dengan jabatan yang disandang tatkala itu dilakukan. Jabatan (okupasi), yang didalamnya terkandung sejumlah power
and
authority
(kekuasaan
dan
kewenangan),
mejadi
instrument
utama
dimungkinkannya kejahatan yang dituduhkan itu dapa dilaksanakan pelaku. Karena, hamper senantiasa bertalian dengan jabatan, maka tindak pidana korupsi sering pula dikelompokkan sebagai occupational crime (kejahatan jabatan), yakni kejahatan yang terlaksanakannya mensyaratkan adanya suatu jabatan atau jenis pekerjaan yang dilindungi undang-undang. 6
Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, 2007, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, PT, Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal: 26.
4
Dominannya i=unsure jabatan dalam tindak pidana ini, menyebabkan pelaku tindak pidana korupsi tergolong sulit dilacak secara yuridis dibandingkan dengan rata-rata pelaku tindak pidana lain, karena ia memiliki kedudukan yang ditopang oleh berbagai ketentuan yang memungkinkan dijalankannya kekuasaan diskresional. Dengan kekuasaan itu, korupsi yang dilakukan dapat dibungkus dengan kebijakan (policy) yang sah, sehingga dari segi hokum dapat dinilai sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi jabatan resmi. Itulah antara lain sebabnya, semakin tinggi tampuk jabatan yang diduduki, semakin powerfull pelaku delik ini. Ia mempunyai keliatan (tougnness) tersendiri yang tidak dipunyai orang lain dalam menghadapi setiap jerat hokum pidana yang merugikan sewaktu-waktu mengancam dirinya. Jaringannya luas, struktur birokrasi yang didudukinya kokoh, dan fasilitas yang berupa berbagai kemudahan (termasuk akses kepada uang) lumayan banyak. Kesemuanya itu memungkinkan ia tetap bertahan pada posisinya tepat istilah Ezzat E Fattah (1997), menamakan mereka sebagai penjahat-penjahat berkekuasaan dan penjahat-penjahat yang memegang kekuasaan (powerfull criminals and criminals in power). Karenanya patut disimpulkan bahwa pelaku kejahatan ini adalah paling rasional dibandingkan dengan pelaku dari jenis-jenis kejahatan lainnya. Sebelum melakukan kejahatan telah dihitung masak-masak berdasarkan prinsip untung-rugi. Para penjahat ini senantiasa berada dalam pilihan yang sadar di dalam melaksanakan kejahatannya. Korupsi adalah suatu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian, sudah ada sejak manusia bermasyarakat di atas bumi ini. Yang menjadi masalah utama adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Bahkan ada gejala dalam pegalaman yang memperlihatkan, semakin maju pembangunan suatu bangsa, semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong orang untuk melakukan korupsi. Kausa atau sebab orang melakukan perbuatan korupsi di Indonesia telah banyak diteliti dan lontarkan oleh para akademisi ataupun peneliti yang konsen terhadap penyelamatan keuangan Negara dengan membuat asumsi atau hipotesis, anatara lain : 5
1. Kurangnya gaji atau pendapatan PNS dibandingkan dengan kebutuhan yang makin haru makin meningkat. 2. Karena latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. 3. Adanya manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan efisien. 4. Pengaruh daripada modernisasi. 5. Keinginan yang timbul dan muncul karena jabatan, kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki. 6. Pengaruh kehidupan social kemasyarakatan yang menuntut pemenuhan kebutuhan hidup secara berlebihan (lux). 7. Kurangnya pemahaman ajaran-ajaran agama. Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corroptus. Eropa seperti Inggris corruption, corrupt, Perancis corruption, Belanda corruptive dan Indonesia korupsi yang secara harafiah adalah kebusukan, kebutrukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dan kesucian. Sedangkan istilah korupsi oleh Poerwadarminta korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya7. Menurut kriminolog dari Canada tersebut, penjahat-penjahat jenis tangguh ini terdiri dari dua kelas; pertama, yang tak tersentuh (untouchable), yani pelaku-pelaku kejahatan yang realitasnya benar-benar berada di atas hokum (above the law), seperti Hitler, Idi Amin, Pinochet, dan sebagainya pada saat mereka berkuasa. Kedua, yang tak terjangkau (unreachable). Termasuk dalam kategori ini adalah para pelaku kejahatan yang berkekuasaan Formal maupun Informal yang cukup tinggi dan sangat sulit dijangkau tangan hokum, (except with great difficulty and in exceptional circumstances) kecuali dengan kesulitan yang besar dan dalam kondisi-kondisi khusus.
7
Jur. Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal: 4-5.
6
Apa yang dibicaakan di sini tampaknya masuk dalam kategori kedua, yakni unreachable, mengingat yang hendak kita teropong adalah pelaku yang memiliki keliatan dan ketangguhan dalam menghadapi hokum karena adanya abatan yang disidangkannya. Karena kedudukan resmi mereka yang tinggi itulah menyebabkan pengungkapan tindak kejahatan yang dilakukan membutuhkan keahlian dan energy yang luar biasa, sehingga kejahatan itu semakin menjadi semakin tampak istimewa. Bila tindak pidana itu juga menimbulkan moral hazard yang cukup besar di kalangan masyarakat, karena semakin banyak orang-orang penting dalam suatu Negara turut terlibat, barangkali kejahatan ini kualitasnya menyerupai apa yang disebut WJ Chambliss (1968) sebagai state-organized crime adalah perbuatan yang menurut hokum ditentukan sebagai kejahatan dan dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara dalam tugas jabatannya selaku wakil Negara (acts defined by law as and committed by state officialis in the pursuit of their job as representative of state). Untuk menentukan kekhususan kejahatan ini, tidak memasukan ke dalamnya kejahatnkejahatan yang tujuannya menguntungkan diri pribadi, atau sekedar kelompok kecil yang tidak memiliki orientasi lain kecuali sekedar keuntungan material. Terorganisirnya korupsi baru sampai berkualifikasi kejahatan ini, bila di balik korupsi itu terdapat tujuan-tujuan lain yang memiliki jangkauan lebih luas, misalnya kemenangan politis, Sementara itu, Muladi (1992) mengajukan tujuh macam karakteristik kejahatan orang-orang terhormat tersebut. Pertama, kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan normal yang rutin, melibatkan keahlian professional dan system organisasi yang kompleks. Kedua, kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity), karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan, dan pencurian serta seringkali berkaitan dengan suatu yang ilmiah, teknologis, financial, legal, terorganisasikan, melibatkan banyak orang, serta berjalan bertahun-tahun. Ketiga, terjadinya penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility) yang semakin luas akibat kompleksitas
organisasi.
Keempat,
penyebaran
koorban
yang
luas
(diffusion
of
victimization).
7
Pengertian tindak pidana korupsi menurut UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001, itu dapat dibedakan dari 2 segi, yaitu korupsi ak aktif dan korupsi pasif. pasif Adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah : (1) secara melawan hokum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara, (2) dengan tujuan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatn atau kedudukannya, (3) member hadiah atau janji dengan mengingat kekuasaan atau wewenang pada jabatan atau kedudukannya, (4) percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat, (5) member atau menjanjikan sesuatu dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat, (6) member sesuatu yang bertentangan dengan keajibannya, (7) member janji, (8) sengaja membiarkan perbuatan curang, (9) sengaja menggelapkan uang atau surat berharga. Sedangkan krupsi pasif, antara lain : (a) menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat, (b) menerima penyerahan atau keperluan dengan membiarkan perbuatan curang, (c) menerima pemberian hadiah atau janji, (d) adanya hadiah atau janji diberikan untuk menggerakkan agar melakukan sesuatu, (e) menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya. Selain itu juga, dalam prakteknya jenis korupsi itu sendiri dapat dikelompokkan kedalam 2 bentuk, yaitu : (1) Administrative Corruption, dimana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai dengan hokum/peraturan yang berlaku. Akan tetapi individuindividu tertentu memperkaya diri sendirinya (contoh; penerimaan CPNS) dan (2) Against the Rule Corruption, artinya korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya bertentangan dengan hokum (seperti; penyuapan, penyalahgunaan jabatan, pemberian dan lain-lain).
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF NORMA HUKUM Menegakkan keadilan melalui supremasi hokum menurut Voltaire, apabila kita mencintai hokum, kita wajib memikul seluruh beban yang ditimpahkan. Yang dimaksud
8
dengan “beban yang ditimpahkan oleh hokum adalah kewajiban bagi pemerintah dan rakyat untuk bersama-sama menaati huku”. Seperti juga yang dikatakan oleh Bagir Manan, sendi utama Negara berdasarkan atas hokum adalah bahwa hokum merupakan sumber tertinggi dalam mengatur dan menentukan hubungan hokum antara Negara dan masyarakat maupun anatara anggota atau kelompok masyarakat yang satu dengan lain8. Peraturan-peraturan tentang pemberantasan korupsi silih berganti, selalu orang yang belakangan yang memperbaiki dan menambahkan, namun korupsi dalam segala bentknya dirasakan masih tetap mengganas. Istilah korupsi sebagai istilah hokum dan member batsan pengertian
korupsi
adalah
perbuatan-perbuatan
yang
merugikan
keuangan
dan
perekonomian Negara atau daerah atau badan hokum lain yang mempergunakan modal dan/atau kelonggaran yang lain dari masyarakat, sebagai bentuk khusus daripada perbuatan korupsi. Oleh karena itu, Negara memandang bahwa perbuatan atau tindak pidana korupsi telah masuk dan menjadi suatu perbuatan pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara dan daerah, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Maka, Negara mengeluarkan 3 produk hokum tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu: UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kesimpulan dari ketiga UU yang menyangkut pemberantasan tindak pidana korupsi ini merupakan lex specialis generalis. Materi substansi yang terkandung didalamnya antara lain9 :
8
Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, 2007, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal: 26. 9 Darwan Prinst, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal:29-90.
9
1. Memperkaya diri/orang lain secara melawan hokum (Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999). Jadi, pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah setiap orang baik yang berstatus PNS atau No-PNS serta korporasi yang dapat berbentuk badan hokum atau perkumpulan. 2. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. 3. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. 4. Adanya oenyakahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana (Pasal 3 UU N0.31 Tahun 1999). 5. Menyuap PNS atau Penyelenggara Negara (Pasal 5 UU No.20 Tahun 2001). 6. Perbuatan curang (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001). 7. Penggelapan dalam jabatan (Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001). Oleh karena itu, keberadaan produk regulasi yang diberikan Negara untuk menyelamatkan keuangan Negara dari perilaku korupsi, sangatlah dituntu kepada para aparat penegak hokum lainnya untuk semkasimal mungkin dapat memahami rumusan delik yang terkait dan menyebar di setiap pasal yang ada agar tepat dalam menerapkan kepada para pelaku.selain itu juga diperlukan strategi pemberantasan korupsi yang sangat jitu dan tepat. Karena, penerapan sangsi normatif mengenai korupsi kepada para pelakunya tidak akan bermanfaat dan bernilai penyesalan bilamana tidak diikutkan juga beberapa strategi. Ada 3 hal yang harus dilakukan guna mengurangi sifat dan perilaku masyarakat untuk korupsi, anatara lain; (1) menaikkan gaji pegawai rendah dan menengah, (2) menaikkan moral pegawai tinggi, serta (3) legislasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal. Semoga yang diuraikan di dalam tulisan ini bermanfaat bagi kalangan teori dan praktik hokum, dan semoga kalangan luas tergugah pula untuk memikirkan jalan terbaik untuk memberantas korupsi di Indonesia. Pemberantasan korupsi harus ditunjang pula dengan prinsip-prnsip pemerintahan yang baik dan pembangunan berkelanjutan.
10
DAFTAR PUSTAKA :
UUD Negara Republik Indonesia 1945. Montesquieu, The Spirit f the laws, Translated by Thomas Nugent, (London : G. Bell & Sons, Ltd, 1914), Part XI. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by: Anders Wedberg, (New York; Russell & Russell, 1961). Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, 2007, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta. Darwan Prinst, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung. Jur Andi Hamzah, 2007, Pemberantasan Tindak Pidana Krupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Jur Andi Hamzah, 2005, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Graika, Jakarta.
11