RASA TOLERANSI DALAM MEREDUKSI TINDAK KEKERASAN DAN PERTIKAIAN ANTAR KELOMPOK Erik Saut Hatoguan Hutahaean Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
[email protected] ABSTRAK Jika memperhatikan perilaku toleransi antar keragaman, rasanya penerapan tepo seliro manjing ajur ajer mengalami banyak kemunduran, sikap untuk memberitakan kebenaran dan kebaikan tidak sedikit yang dipakasakan untuk disertai tindak kekerasan yang berwujud pertikaian. Data dan fakta didapatkan melalui literatur beberapa tulisan dan survey. Berdasarkan fakta-fakta yang didapatkan dan diulas secara teoritis, dapat diketahui bahwa toleransi memang barang lama, tetapi penerapannya selama ini dirasakan tidak tepat. Konflik antara pluralitas vs kebenaran tunggal, fanatisme, prejudise dan diskriminasi dalam perilaku antar kelompok, sikap sentrisme dalam masyarakat sering memunculkan tindak kekerasan dan pertikaian antar kelompok Penulis sangat berharap bahwa artikel ini menjadi bermanfaat dalam mewujudkan perdamaian bagi bangsa kita. Kata kunci : tindak kekerasan, pertikaian dan toleransi
PENDAHULUAN Berdasarkan sejarahnya pancasila yang selama ini menjadi pegangan ideologi hidup bernegara di bangun atas dasar adanya keragaman masyarakat kita. Dari segi suku, agama dan kepercayaan, kelas sosial dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan pluralitas dari masyarakat kita. Begitu besar nilai yang terkandung di dalamnya, hayati saja makna bhineka tunggal ika ; yang mana dari banyaknya keragaman masyarakat Indonesia, tetapi harus tetap menjadi satu integrasi yang utuh dan tidak bisa dipecahkan. Jika ini masih menjadi ideologi maka sampai sekarang Pancasila masih berlaku, kenyataanya adalah tepo seliro yang semestinya harus berkembang dengan baik ternyata mengalami deimplementasi dan kerusakan yang sangat parah. Dalam kurun beberapa waktu yang cukup lama atau lebih dari lima repelita kita merasakan begitu tertibnya kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Harus kita akui bukan berarti tidak muncul letupan-letupan yang dianggap dapat memecah belah integrasi keragaman. Sebagai salah contohnya adalah primordialisme suatu kelompok masyarakat,dan kelompok-kelompok radikalisme. Tetapi dengan gaya yang khas represif ala militer membuat letupan yang ada menjadi tidak lagi nampak kepermukaan. Cukup mudah rasanya untuk dipahami bahwa supaya letupan tidak kelihatan cukup ditekan saja dengan menggunakan kekuatan militer, alasannya adalah letupan keragaman dianggap dapat mengancam NKRI jadi harus ditiadakan dengan kekuatan militer,
B18
naungan kekuatan ini mewujud nyatakan ketentraman dalam keberagaman. Pada saatnya ketika terjadi krisis ekonomi rezim tersebut tumbang, runtuh menjadi kepingan, dan tergusur oleh usung-an masal yang dinamakan reformasi. Ternyata hal ini berdampak bahwa munculnya sinergi masal yang merasa sudah tidak adanya lagi suatu kekuatan yang dapat mengekang dan menekan kebebasannya. Dengan meminjam istilah dari seorang antropolog, bahwa primordialisme ibarat seekor buaya, tidak akan mucul ke per-mukaan kalau ditekan terus ke bawah, tetapi begitu tidak adanya lagi kekuatan yang menekan buaya akan kelihatan dan siap menjadi liar. Penjelasannya sama seperti yang terjadi pada masa sekarang ini. Refor-masi yang menuntut kebebasan berdemo-krasi, ternyata melahirkan pertikaian yang disertai dengan tindak kekerasan merebak dibanyak wilayah. Kasus pembantaian di Poso yang beraroma keagamaan. Kasus Sambas yang menunjukkan perilaku sadis-tis, yang dibungkus dalam kemasan pertikai-an antar etnik. Kasus peledakan bom di malam Natal dan di Bali. Kasus perusakan oleh kelompok organisasi keagamaan ter-hadap tempat-tempat hiburan malam. Kasus penyerangan terhadap pemukiman kelom-pok Ahmadiah. Kasus pengerusakan dan pembakaran tempat ibadah. Merebaknya aktivitas kelompok radikalisme yang meng-hembuskan ideologi kebenaran yang linear. Belum lagi kasus-kasus yang menuntut diberlakukannya suatu ajaran keagamaan tertentu secara universal yang disatu sisi lainnya tidak bisa diterima kelompok lainnya. Serta masih banyak lagi kasus lainnya yang sering terlihat ditelivisi atau dapat diketahui melalui media lainnya. Dengan demikian rasanya dapat
Rasa Toleransi Dalam Mereduksi …. Hutahean
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil) Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
dikatakan bahwa demokrasi yang diusung pada masa ini belum menunjukkan tajinya untuk mengatasi pentingnya suatu integritas bangsa sebagai cerminan bangsa yang beragam. Jika memperhatikan perilaku tole-ransi antar keragaman, rasanya penerapan tepo seliro manjing ajur ajer mengalami banyak kemunduran, sikap untuk memberi-takan kebenaran dan kebaikan tidak sedikit yang dipakasakan untuk disertai tindak kekerasan yang berwujud pertikaian. Jika bhineka tunggal ika masih berlaku, masih menjadi falsafah hidup bernegara, masih dijadikan sandaran yang paradoks, lalu bagaimanakah semua benang yang kusut dapat diurai sehingga menjadi bermanfaat?.
Vol. 2 ISSN : 1858 - 2559
sudut pandang ilmu perilaku konflik dijelaskan sebagai suatu ketegangan yang muncul dari suatu keinginan yang berlaku bertolak belakang dengan keadaan yang ada dan muncul secara bersamaan. Pertentangan itu berupa persaingan antara motif pendekatan-pendekatan, pendekatan-penghindaran dan penghindaranpenghin-daran. Lain dari itu melalui sudut pandang sosial, Christie (2006) menguraikan pan-dangannya tentang konflik, dituliskan bahwa dalam konflik terdapat hal yang dapat memecah belah dan melibatkan tandingan identitias sosial. Meskipun beberapa teori memaparkan bahwa konflik dapat memiliki dampak positif, akan tetapi secara mendasar perbedaan pandangan dan kosep idealis akan mengarahkan perilaku kita pada suatu pertentangan.
TINJAUAN PUSTAKA Toleransi Tindak Kekerasan Dalam suatu pengertian yang lainnya tindak kekerasan diartikan sama dengan perilaku agresif. Hal ini sejalan dengan pandangan yang diruaikan Setiadi (2001) yang mana secara lebih spesifik diterangkan bahwa dalam kajian psikologis tindak kekerasan pada tingkat individual diartikan sebagai perilaku agresif, lain dari itu juga dapat diartikan sama karena tindak kekerasan dan perilaku agresif merujuk pada pengertian yang sama. Tindak kekerasan dapat didefinisikan sebagai tindakan yang dengan sengaja bertujuan untuk menyerang dan menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental (Myers 1996). Tindak kekerasan ada yang ber-karakter untuk mengungkapkan kemarahan yang ditandai dengan pelampiasan rasa benci dan emosi yang tinggi. Akibat dari jenis ini lebih banyak ,menimbulkan kerugi-annya dibanding manfaat yang akan di-peroleh (Sarwono 1999). Dalam teori agresi dari sudut pandang kognisi dijelaskan bahwa agresi terjadi karena adanya kesadaran dalam membuat pengkategorian, pemberian sifat-sifat, penilaian dan pembuatan keputus-an. Hal lain yang perlu kita ketahui adalah adanya konsep deprivasi, yang karena kita membandingkan dengan orang lain atau karena membandingkan dengan diri sendiri. Jika mengalami kendala deprivasi akan memunculkan perilaku agresif. Pertikaian Untuk lebih memudahkan pemahaman, pengertian mengenai pertikaian tidak dibeda-kan dengan istilah konflik. Jadi dengan demikian pertikaian dianggap sama dengan konflik. Melalui Rasa Toleransi Dalam Mereduksi …. Hutahean
Bhineka tunggal ika yang menjadi asas toleranasi dalam seting kerakyatan dimaknai sebagai suatu bentuk dari keragaman yang menyatu, dan merupakan ideologi yang bisa dikatakan sebagai suatu sikap yang seharusnya mengakui pluralitas. Masyarkat kita sendiri menunjukkan adanya kebiasaan untuk hidup berdampingan dengan individu lainnya yang berasal dari kelompok yang berbeda-beda, baik dari segi suku, agama, status sosial dan masih banyak lainnya. Tepo seliro manjing ajur ajer, kira-kira itulah kalimat yang cukup mewakili toleransi dari kemajemukan masyarakat kita. Toleransi didefinisikan sebagai perwujudan dari sifat dan sikap untuk menghargai, membiarkan atau membolehkan (tenggang rasa) pendapat, pandangan kepercayaan, ke-biasaan, kelakuan (dll, pendirian) yang menunjukkan adanya pertentangan, atau berlawanan (Poerwadarminta 1985). METODE PENELITIAN Dengan merujuk pada uraian permasalahan yang ada dan kemudian berdasarkan pan-duan teoritis maka penulis mengasumsikan diperlukannya implementasi yang tepat mengenai makna toleransi untuk menang-gulangi tindak kekerasan dalam pertikaian antar kelompok. Data dalam tulisan diper-oleh melalui beberapa literatur yang dipadu-kan dengan realitas sosial yang ada, dan survey terhadap 30 orang responden. HASIL DAN ANALISA Hasil yang dikemukakan dalam tulisan ini dapat dikatakan sebagai pemaparan-pe-maparan fakta
B19
nyata yang ada pada masya-rakat kita. Ulasan dan analisa yang dikemu-kakan bermaksud untuk memperlihatkan tentang dibutuhkannya bangunan toleransi dengan fondasi yang kuat, dengan penerapan yang sangat tepat. Adanya Konflik Antara Pluralitas vs Kebenaran Tunggal Keadaan yang majemuk dari masyarakat kita hendaknya dianggap sebagai suatu ke-ragaman yang berjalan bersama-sama da-lam kehidupan sosial. Dalam kutipan lirik dari sebuah lagu kelompok musik Metalica (black album) menyebutkan bahwa “open mind for a different view and nothing else matters“, kalimat ini dapat disinonimkan sebagai keragaman yang harus bisa kita jalani untuk mendatangkan hasil yang Pluralisme
baik. Paradoksikal dari masyarakat hendaknya justru memunculkan harmonisasi dan keselarasan masyarakat kita. Tidak seperti kebenaran tunggal yang memaksakan kebenaran, tetapi dalam keberagaman ini adalah melestarikan prinsip masing-masing. Dengan demikian identitas dan ideologi masing-masing kelompok tetap terjaga. Nampaknya paradoksikal ini cukup ideal, tetapi sesuai faktanya meskipun pengakuan terhadap pluralisme dapat terjaga, ternyata ada segelintir kelompok primordialis yang tetap memegang teguh prinsip ideologinya (biasanya gerakan keagamaan). Kabarnya gerakan ini mendapatkan tekanan yang kuat pada masa orde-baru, tetapi menjadi semakin membabi buta pada masa kebebasan demokrasi pada masa sekarang ini karena tidak adanya tekanan dari pihak yang berwenang.
Kebenaran tunggal
Konflik Gambar 1. Pluralisme vs Kebenaran Tunggal
Di sisi lain nampaknya ada kecenderungan nyata yang meneyelimuti kehidupan masyarakat kita, dimana menurut pemahaman penulis dianggap sebagai pengakuan akan kebenaran tunggal. Hal ini sejalan dengan anggapan Sumardjo (2006) menurutnya adalah sejarah penderitaan manusia meru-pakan perang kebenaran untuk menduduki tempat yang tunggal. Konflik kebenaran akan terus berlanjut menjadi sebuah pertempuran tentang kebenaran. Pada masyarakat kita konflik seperti ini cukup sering terjadi, konsep pluralisme yang menjadi ideologi negara masih sukar diterima. Banyak sekali masyarakat kita yang masih mengacu kepada tafsiran skripturalisitk yang seharusnya bersifat majemuk tetapi dipaksakan untuk bersifat tunggal. Tafsiran yang ada bukanlah hal yang buruk tetapi masalahnya adalah perbedaan penafsiran sering menjadi konflik. Masyarkat kita sering meributkan satu tafsiran dengan tafsiran yang lainnya masingmasing menganggap penafsirannyalah yang paling pantas. Kehidupan kita ini semakin menunjukkan adu kekuatan atau perang yang semuanya bila diurai karena adanya perbedaan. Rasanya dapat dikatakan sebagai kesimpulan yang akurat, yaitu yang dapat kita temukan adalah dimana ada perbedaan disitu konflik akan menghampiri
B20
kehidupan kita. Masing-masing kelompok menganggap dirinya sebagai yang benar. Apa yang terjadi selanjutnya adalah perang kebenaran, semua itu karena ditemukannya pola dan cara berfikir yang berseberangan antara satu kelompok yang lainnya. Fanatisme, Prejudise dan Diskriminasi Sebagai Respon Dinamika Perilaku AntarKelompok (Inter-Group Behavior) Keadaan yang etic dari masyarakat kita sangat memungkinkan terbentuknya berbagai kelompok tertentu yang didasarkan pada karakter tertentu, yang unik atau khas dan menjadi identitas kelompoknya. Dalam dinamikanya kelompok sudah barang tentu akan berinteraksi dengan kelompok lainnya (Haug 2002). Interaksi ini tidak berlalu begitu saja, dapat dipastikan akan muncul reaksi-reaksi untuk menanggapi proses interaksi yang berjalan. Pada tulisan ini respon yang dijabarkan memang tidak sebanyak seperti yang ada pada kenyataannya. Tetapi seper-tinya dalam pandangan penulis respon ini dianggap sebagai respon penting dalam kaitannya dengan tema pada artikel ini. Yaitu ; fanatisme, prejudise, dan diskriminasi.
Rasa Toleransi Dalam Mereduksi …. Hutahean
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil) Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
Hakim (2006) menjelaskan bahwa fanatisme dapat muncul karena adanya ketidakpercayaan diri untuk menghadapi perbedaan pikiran, ekspresi, kehidupan dan kemudian menetapkan segala sesuatu yang suci sebagai steril, tidak pernah terkontaminasi, orisinil dan bahkan konsisten. Pada intinya fanatisme mempunyai karakter menolak adanya keragaman dan kemajemukan masyarakat
Vol. 2 ISSN : 1858 - 2559
sosial, sebagai reaksi balik terhadap situasi yang timpang dengan tetap berpaku pada tatanan, ajaran dan ideologi yang menjadi sumber kebenaran dan kemudian menjadi legitimasi suatu keyakinan kaum yang fanatik. Dengan dasar inilah dapat dikatakan bahwa fanatisme dianggap sebagai respon panik dan gagap dalam menanggapi keragaman masyarakat sosial.
Fanatisme Intergroup Behavior
Pertikaian antar kelompok
Prejudise
Diskriminasi
Menekan Minoritas
Gambar 2. Respon Yang Memunculkan Konflik
Kekerasan sering menjadi respon balik ter-hadap kenyataan tersebut. Rasanya kita harus berbesar hati jika pada kenyataannya fanatisme tumbuh subur di negara kita, dan juga perlu was-was karena akibat paling fatal dari fanatisme ini adalah masyarakat sosial akan bertemu pada masa peng-hancuran. Karena tidak sedikit kasus-kasus perilaku agresif kelompok mencerminkan tentang fanatisme agama. Lebih lanjut lagi Hakim (2006) memaparkan bahwa fana-tisme akan menemukan bentuknya yang pa-ling ekstrim yaitu terorisme. Bukan bermaksud untuk memprofokasi dan juga bukan untuk mengungkit masa lampau, contoh yang terjadi di bumi nusantara kita ini adalah pemboman terhadap beberapa gereja di malam natal tahun 2000. Kondisi ini dapat dimengerti bahwa terorisme memiliki hubungan dengan pemahaman fanatis-dog-matis dalam mengintepretasikan ajaran agama ketika kelompok agama tersebut bereaksi terhadap modernitas dan sekulerisme. Prejudise secara umum dimengerti sebagai sikap negatif terhadap kelompok sosial yang lainnya. Sikap yang mendasari akan pemikiran, perasaan dan persepsi adalah memiliki karakter yang unfavorable (negatif). Pada masing-masing komponen sikap ini lebih mudah untuk dipengaruhi oleh pengalaman dan predisposisi personelnya. Baron & Byrne (1994) menjelaskan bahwa prejudise adalah sikap yang negatif terhadap kelompok tertentu atau seseorang, semata-mata karena keanggotaannya dalam kelom-pok tertentu. Pada kenyataannya sikap yang terbentuk biasanya merupakan sikap yang bukan melalui penilaian Rasa Toleransi Dalam Mereduksi …. Hutahean
yang cermat, secara mendasar bersifat bias dan menyimpang, sangat tidak beralasan (Sarwono 1999). Dampak negatif dari prejudise ini adalah munculnya masalah sosial yaitu kecenderungan menganggap semua sama (pukul rata). Yang paling sering menjadi target sasaran dalam prejudise adalah kelompok minoritas yang didasarkan pada jumlah yang sangat terkait dengan status sosial (misalnya jenis kelamin, agama, rasialis dll). Misalnya saja tindak kekerasan berbasis unsur agama yang terjadi di Poso, kasus antar etnik di Sambas Kalimantan, aksi sweaping terhadap warga negara asing. Belum lagi munculnya isu-isu dari suatu kelompok agama yang menganggap adanya upaya agamaisasi dari kelompok agama yang lain, Hunsberger (dalam Sarwono 1999) memberitahukan bahwa agama yang diketahui sangat menganjurkan toleransi dan kasih sayang kepada oranglain ternyata memiliki hubungan yang positif dengan prasangka. Meskipun banyak bukti yang menunjukkan tentang prejudise agama, tetapi yang terjadi sebenarnya adalah prejudise bukan timbul karena agama itu sendiri, melainkan karena wawasan sempit dari penganutnya (Sarwono 1999). Dampak negatif lainnya lagi dari prejudise adalah munculnya diskriminasi. Secara umum dapat dimengerti bahwa dis-kriminasi merupakan ekspresi yang sangat terlihat (overt) atau tingkah laku dari prejudise. Meskipun demikian kadang-kadang diskriminasi dapat terjadi tanpa adanya prejudise. Diskriminasi didefinisikan sebagai perlakuan yang berbeda terhadap individu yang dianggap tergolong pada
B21
kelompok tertentu (Deaux, Dane, Wrights-man dan Sigelman 1993). Diskriminasi secara keseluruhan akan membentuk suatu pengkategorian terhadap seseorang karena keanggotaannya pada kelompok tertentu. Hal tersebut bukan tidak mungkin akan memunculkan tingkahlaku tidak adil yang ditunjukkan pada anggota suatu kelompok. Dalam paparan psikologi sosial dijelaskan bahwa antara sikap negatif ber-kaitan dengan tingkahlaku diskriminatif. Kali-mat ini menerangkan bahwa individu dengan sikap negatif terhadap minoritas secara sengaja akan memberlakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas tersebut. Ada satu contoh desas-desus yang berkembang tentang diskriminasi terhadap beberapa kelompok agama yang menjadi minoritas yaitu mengenai perkembangan karir dalam jajaran pegawai kepemerintahan. Contoh nyata yang pernah ada yaitu; perlakuan terhadap warga negara keturunan tionghoa. Kasus kerusuhan tahun 1998 menunjukkan banyaknya penyerangan terhadap individu dan aset milik warga keturunan tionghoa. Pada masa itu banyak tempat-tempat usaha diberi label milik pribumi dengan alasan biar tidak diserang dan diserbu masa yang memiliki sikap negatif tentang warga keturunan tionghoa. Adanya Kemunculan Sikap Sentrisme Sebagai Hasil Komparasi Antara In-group Terhadap Out-group Dalam suatu kerangka perilaku antar kelompok, secara ideal perilaku akan lebih terbentuk pada suatu budaya kolektif dimana kelompok yang kita diami lebih mendominasi tentang pemahaman dan nilai-nilai yang menjadi acuan kita dalam berperilaku. Memang bisa saja terjadi, jika ternyata perilaku kita tidak mengikuti
pemahaman dan nilai-nilai yang menjadi idealisme kelompok. Lumrah memang jika hal itu terjadi, tetapi biasanya anggota yang melakukan hal itu disebut sebagai orang yang tidak loyal, tidak setia, dan dianggap sudah menyimpang sehingga konsekuensi-nya akan mendapatkan hukuman dan di-kucilkan. Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada in-group dan out-group ketika terjadi intergroup behahior. Deaux, Dane, Wrights-man & Sigelman (1993) menjelaskan bahwa dalam in-group terdapat paradigma yang berlawanan terhadap out-groupnya. Adapun in-group memandang kelompoknya hebat dan superior, nilai-nilainya dianggap univer-sal dan benar, patuh pada otoritas dan mau berkorban untuk kelompok. Sedangkan penilaian terhadap out-groupnya adalah dinilai imoral dan inferior, menolak nilainilai out-group, tidak mau patuh, memelihara jarak sosial dan dapat disalahkan untuk masalahmasalah kelompok. Dalam suatu perbincangan dengan beberapa responden ditarik suatu kesim-pulan bahwa konsep ideologi keagamaan yang dimiliki subjek lebih banyak berkono-tasi kurang baik terhadap ideologi yang bukan agamanya. 30 dari 30 responden menyatakan bahwa perilaku umatnya lebih baik dari umat dengan agama yang berbeda, 30 dari 30 memandang ideologi agamanya yang dianggap paling tepat, dan 28 dari 30 merasa agamanya yang paling toleran dari agama yang lainnya. Hal tersebut sejalan dengan temuan Tjun (1990) disimpulkan bahwa nilai stereotip terhadap in-group lebih positif dibandingkan out-group. Dengan demikian jika fanatisme berkembang dengan subur pada suatu masyarakat yang penuh dengan keragaman, maka konsep cara pandang in-group terhadap out-group dapat memunculkan prasangka antarkelompok.
Tabel 1. Hasil Survey Perbandingan
Sendiri Perilaku Umat > Pandangan Ideologi > Toleransi > > lebih baik < kurang baik Jika ditinjau lebih lanjut lagi pandangan in-group terhadap out-group ini akan memun-culkan rasa eksklusifisme dimana hal ini dapat membangun suatu ruang perbedaan yang ternyata menjadi pemisah yang kokoh dalam suatu pengelompokan masyarakat dan fatalnya hal tersebut akan memunculkan kerusakan pada sisi sosial-kemasyarakatan. Bukti nyatanya adalah
B22
Lain < < <
Perbandingan 30: 00 30: 00 28: 02
dengan meningkat-nya perilaku keagamaan (tempat ibadah semakin banyak orang yang datang untuk beribadah) pada masa sekarang ini, tetapi juga banyaknya kemunculan permusuhan dengan isu-isu agama (misalnya islamisasi, kristenisasi dll). Dampaknya adalah meng-uatkan dorongan menuju pada suatu pertikaian, atau mengarah kepada tindak keke-rasan.
Rasa Toleransi Dalam Mereduksi …. Hutahean
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil) Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
Dalam kemunculannya perilaku agresif dapat sekali dipengaruhi oleh faktor kelompok, pengaruh yang diberikan adalah kelompok dapat menurunkan hambatan terhadap pengendalian moral. perilaku agresif jika otoritas ingroup mempunyai karakter agresif, dan ini akan berdampak kepada dilakukannya tindak penyerangan terhadap out-group. Dengan demikian jelas rasanya bahwa salah satu faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya perilaku agresif adalah pandangan dari in-group terhadap siapa saja yang dianggap sebagai out-group. Hal ini senada dengan penjelasan Triandis (dalam Setiadi 2001), yang men-jelaskan bahwa individu yang dibesarkan dalam budaya kolektivis, biasanya lebih dapat menerima perilaku agresif dari otoritas kelompoknya (in-group) dari pada outgroupnya. Pada budaya kolektivis banyak ditemukan perilaku agresif terhadap out-group. Faham tentang positifisme akan ideologi yang dimiliki oleh suatu individu sebagai in-group semakin mengahambatnya proses toleransi dan penerimaan tentang keragaman. Diperlukannya Rasa Toleransi Yang Tepat Dengan memperhatikan dari apa saja yang diuraikan di atas, yaitu adanya perang tentang kebenaran tunggal dari suatu pema-haman skripturalistik, adanya respon-respon yang ternyata berdampak pada munculnya pertikaian, dan sikap sentrisme yang ternyata dapat membangun jurang pemisah sosial yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan perilaku agresif. Maka dengan demikian penulis melihat perlu adanya suatu penataan tentang pembangunan dan penerapan rasa toleransi. Dalam suatu pembuka-an acara kegamaan wakil presiden pernah mengungkapkan “marilah kita membahas persamaan yang di antara kita, biarkanlah perbedaan itu menjadi milik kita masing-masing. KESIMPULAN DAN SARAN Dari penjelasan yang ada ternyata diperlu-kan adanya penerapan rasa toleransi yang tepat, Marilah kita secara bersama-sama, hendaknya membicarakan persamaan yang ada diantara
Rasa Toleransi Dalam Mereduksi …. Hutahean
Vol. 2 ISSN : 1858 - 2559
kita, biarkanlah perbedaan yang ada menjadi milik kita masing-masing. Ajaran yang kita miliki hendaknya mampu menunjukkan suatu kondisi sosial yang beradap. Meskipun demikian kesimpulannya, tetapi dalam tulisan tidak mengungkap ten-tang bagaimana model penerapan toleransi yang tepat. Penulis sangat mengharapkan tindak lanjut dari siapa saja yang tertarik mengenai toleransi, dapat melakukan studi tentang model yang tepat dalam penerapan toleransi pada masyarakat yang sangat majemuk. DAFTAR PUSTAKA Baron
& Byrne, Social Psychology : Understanding Human Interaction. Boston, Mass : Allyn and Bacon. 1994. Christie, D. J, What is Peace Psychology the Psychology of?. Journal of Social Issues. Vol. 62 No 1. p 1 – 17. 2006. Deaux, K. Dane, F.C, Wrightsman, L.S, Sigelman, C.K, Social Psychology in The 90’s (6th edition). California : Brooks / Cole Publishing Company. 1993. Hakim, A. D, Dibalik Terorisme : Fanatisme di Sekitar Kita. Kompas edisi 5 Agustus. Rubrik Humaniora Teroka. Hal 14. 2006. Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. 1985. Sarwono, W.S, Psikologi Sosial : Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta : Balai Pustaka. 1999. Setiadi, N. B, Terjadinya Tindak Kekerasan Dalam Masyarakat : Suatu Analisis Teoritik. Jurnal Psikologi Sosial. No IX/TA VII/ Juni. Hal 59-66. 2001. Sumardjo. J, Kebenaran Itu Paradoks. Kompas edisi 26 Agustus. Rubrik opini. Hal 6. 2006. Tjun, S.H, Identitas Sosial dan Intensitas Kontak pada Siswa SLTA Golongan Pribumi dan Golongan Keturunan Cina di Jakarta. Skripsi. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. 1990.
B23