CERAI GUGAT SEBAB TINDAK KEKERASAN (Studi Analisa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 243/ Pdt.G/ 2007/ PA.JS.) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
oleh :
Andri Safa Sinaga NIM : 105044101358
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H / 2009 M
CERAI GUGAT SEBAB TINDAK KEKERASAN (Studi Analisa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 243/ Pdt.G/ 2007/ PA.JS.)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh :
Andri Safa Sinaga NIM :15044101358
Pembimbing :
DR. K.H. Juaini Syukri, Lcs. M.A. NIP : 150 256 969 K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H / 2009 M
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaikum. Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia
sebagai
mahluk
yang
paling
sempurna.
Diantara
salah
satu
kesempurnaannya adalah Allah karuniakan manusia pikiran dan kecerdasan. Shalawat dan salam kita sanjungkan kepada pemimpin revolusioner ummat Islam sedunia tiada lain yakni, Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, para sahabat dan
ummatnya yang selalu berpegang teguh hingga akhir zaman Empat tahun menempuh studi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini tentu bukan waktu yang singkat, banyak pengalaman baik suka maupun duka yang penulis alami dan rasakan, selain itu juga banyak pelajaran yang secara langsung maupun tidak langsung yang dapat diambil penulis. Dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis ingin mengungkapkan rasa hormat dan terima kasih tiada terhingga kepada: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.M. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyah Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Kamarusdiana, S.Ag., M.H. Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyah Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. DR. K.H. Juaini Syukri, Lcs. M.A. yang bersedia membimbing dan telah memberikan pengarahan, motivasi serta tidak jera memberi masukanmasukan dalam penyelesaian skripsi ini sekaligus tidak bosan-bosannya untuk megingatkan secara langsung penulis di tengah-tengah kesibukannya. 5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. yang telah memberi dan membagi ilmu pengetahuannya kepada penulis, sehingga penulis terbekali akan ilmu yang yang bermanfaat dan berharga yang suatu saat akan berguna bagi penulis. 6. . Jajaran staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Atas pelayanannya sehingga penulis merasa terbantu dalam memperoleh referensi-referensi untuk karya ilmiah ini. 7. Teristimewa buat yang tak ingin ku kecewakan Ayahanda Juhairdin Sinaga dan Ibunda Siti Maryam Siregar, Terima kasih atas segala do’a, kesabaran, i
jerih payah dan pengorbanan serta nasihat yang senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga ananda dapat menyelesaikan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan do’a, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan serta abangku Hendra Wira Buana Sinaga dan adik-adik yang kucinta dan kusayangi, Harma Zwendy Sinaga, Muhammad Ridho Fahmi Sinaga, Romi Hoesin Sinaga, dan Keluarga Besarku di Kota Medan dan Sekitarnya. 8. Sahabat-sahabatku, kelas Peradilan Agama angkatan 2005. Lingkup organisasi.dan
teman-teman dimasa perkuliahan dan diluar perkuliahan.
Terima kasih atas kebersamaan dan kehangatan semoga persahabatan kita tetap terjalin sampai kita tidak tahu kapan waktunya. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik kita disisi Allah SWT. Akhir kata, semoga setiap bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Wasallamu’alaikum. Wr. Wb.
Jakarta, 23 November 2009 Penulis Andri Safa Sinaga i
OUTLINE KATA PENGANTAR ................................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................................. vi BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………….. B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah………………………………. C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian…………………………………….. D. Metode Penelitian…………………………………………………... E. Sistematika Penulisan……………………………………………….
BAB II TINJAUAN
UMUM
TENTANG
PERCERAIAN
MENURUT
KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Pengertian dan Syarat Cerai Gugat………………………………… B. Sebab-Sebab Terjadinya……………………………………………. D. Macam-Macam dan Akibat Perceraian……………………………...
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga..................................... B. Jenis-Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga..................................... C. Sebab-Sebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga.................
BAB IV ANALISA PUTUSAN
PERKARA
CERAI
GUGAT
AKIBAT
KEKRASAN DLAM RUMAH TANGGA A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan………………................ B. Prosedur Cerai Gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan……….. C. Putusan Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga………. D. Analisis Penulis……………………………………………………….
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………………... B. Saran…………………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan menurut Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 1 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan juga ‘aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. 2 Sebagaimana firman Allah SWT:
( 3 : )اء....
Artinya: “Maka bolehlah kamu menikahi perempuan yang kamu pandang baik untuk kamu, dua atau tiga atau empat, jika kiranya kamu takut tidak dapat berlaku adil diantara mereka itu, hendaklah kamu kawini seorang saja”. (Q.S. An-nisa: 3).
Firman Allah SWT:
1
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Qalbun Salim, 2005). 2
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta : Attahiriyah, 1976), cet.ke-17, h.355.
2
(: )ا وم Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berpikir”.(Q.S. ArRum: 21).
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna, bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan turunan, tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan lain, serta perkenalan itu akan menjadi jalan buat menyampaikan kepada bertolongtolongan antara satu dengan yang lainnya. Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri dan turunan bahkan antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari sebab baik pergaulan antara isteri dengan suaminya, kasih-mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolongtolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan menjaga segala kejahatan. Selain dari pada itu, dengan perkawinan seseorang akan terpelihara dari pada kebinasaan hawa nafsunya. 3
3
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mukhtasar Shahih Muslim, (Beirut : Al-Makkah Al-Islami, tth), Jilid I, h. 557.
3 Sabda Rasulullah SAW:
, ا ب: ل رﺳل ا ا و ﺳ: ر "! ا#$ م% و *)( ' ﺑ, ج, %- وا% ./ 'ءﻧ ا,وج1*' ا ءة3 ﺳ*)ع 4
(ȅǁƼ ) ء 5وdz ơ 'ءﻧ
Artinya: Dari Ibnu Umar RA. Dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda kepada kita: “Hai pemuda-pemuda barang siapa yang mampu diantara kamu serta berkeinginan hendak kawin, hendaklah dia kawin. Karena sesungguhnya perkawinan itu akan memejamkan matanya terhadap orang yang tidak halal untuk dilihatnya, dan akan memeliharakannya dari godaan syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia puasa, karena dengan puasa, hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang . Bahwa kawin itu akan mengurangi rasa was-was setan dari dalam dada terhadap nafsu atas perempuan. Pengaruh was-was ini amat besar, sehingga sering menghambat seseorang sedang berdiri shalat mengahadap Tuhan-Nya, atau ketika sedang membaca kitab suci, ataupun ketika sedang asyik berdzikir, maka jadilah ia sebagai orang yang tidak beradab kepada Tuhan-Nya.5 Kemudian kawin itu akan mengekang mata dari melihat sesuatu yang haram dan memelihara kemaluan dari melakukan hal-hal yang terlarang. Dalam hal ini, terdapat banyak riwayat yang menunjukkan kelebihan berkawin. Kesemuanya itu dipetik dari Al-Quran dan Hadits Nabi Saw. yang telah diketahui secara luas, khususnya oleh orang-orang yang berilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman:
4
Bukhari, Badr al-Din. Umdad al-Qari, Bab man la yastati’ al-baah, Jilid 29, Hadits no. 6605,
h.182 5
Habib Abdullah Haddad, Nasehat Agama dan Wasaiat Iman, Terjemah An-nasaih Ad-diniyah wa Al-washaya Al-imaniyah, (Bandung : Gema Risalah Press, 1993), cet.ke-3, h.324
ǽơȁ
4
( : )ار
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (An-nur: 30) Sesudah kawin, orang yang sabar dalam mempergauli isterinya dengan baik, memenuhi hak dan kewajiban terhadap isteri, dan mengeluarkan nafkah atas isteri dan anak-anaknya, niscaya akan beroleh pahala yang besar. Di antara penyebabnya ialah, pahala mendapat anak-anak yang shaleh yang menyembah Allah, mendoakan kedua ibu-bapak mereka dan memohonkan ampunan bagi keduanya, baik semasa hidup keduanya maupun sesudah mati. Apabila anak-anak itu mati sebelum mencapai usia baligh, maka kedua ibu-bapaknya akan memperoleh pahala dan balasan yang besar, disebabkan kesabaran atas bencana yang menimpa mereka. 6 Demikianlah maksud perkawinan yang sejati dalam Islam. Dengan singkat untuk kemaslahatan dalam rumah tangga dan turunan, juga untuk kemaslahatan masyarakat. Kehidupan suami isteri hanya bisa tegak kalau ada dalam ketenangan, kasih sayang, pergaulan yang baik, dan masing-masing pihak menjalankan kewajibannya dengan baik. Tetapi adakalanya terjadi suami membenci isteri atau isteri membenci suaminya.
6
Habib Abdullah Haddad, Nasehat Agama dan Wasaiat Iman, Terjemah An-nasaih Ad-diniyah wa Al-washaya Al-imaniyah, cet.ke-3, h.325
5 Dalam keadaan seperti ini Islam memberikan obat penawar yaitu sabar sebagai penghilang sebab-sebab timbulnya rasa kebencian tersebut. Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai wafatnya salah seorang suami isteri, inilah sebenarnya yang dikehendaki dalam Islam. Salah satu azas perkawinan adalah monogami (tawahhud al-zawj). Perkawinan dilakukan atas prinsip kerelaan (al-taraadli), kesetaraan (al-musaawah), keadilan (al’adaalah), kemaslahatan
(al-maslahat), pluralisme (al-ta’addudiyyah),
dan
demokratis (al-diimuqrathiyyah).7 Namun dalam keadaan tertentu terdapat hak-hak yang menghendaki putusnya perkawinan, dalam arti bila hubungan
perkawinan tetap dilanjutkan
akan
menimbulkan kemudharatan yang akan terjadi. 8 Dalam azas perkawinan yang ada juga ditekankan untuk mempersulit terjadinya perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang baik, apabila terpaksa melepaskannya dengan cara yang baik pula Sebagaimana Firman Allah SWT:
(227/ )أ ة Artinya: Jika mereka bercita-cita hendak menceraikannya maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (Al-Baqarah:227). Meski diperbolehkan untuk bercerai, tetapi hal itu suatu perbuatan yang paling dibenci oleh Islam karena akan menghilangkan kemaslahatan antara suami isteri. 9
7
Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta, 2004), h.36 8
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Prenada Media, 2003),cet.I, h.124
6 Saat masalah yang sudah ada tidak dapat diselesaikan dengan upaya perdamaian maka Islam memberikan solusi dengan dibolehkannya perceraian. Cerai atau putusnya perkawinan dapat terjadi atas kehendak suami ataupun kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian, sehingga proses perceraiannya pun berbeda.10 Perceraian atas kehendak suami disebut cerai thalaq, dan perceraian atas kehendak isteri disebut cerai gugat. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang ada pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. 11 Kekerasan adalah tindakan dan serangan terhadap seseorang yang kemungkinan dapat melukai fisik, psikis, dan mental, serta menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan. 12 Kekerasan atau penganiayaan tidak selayaknya terjadi, terlebih dalam sebuah rumah tangga antara suami isteri, karena dalam pandangan Islam berumah tangga adalah suatu ibadah. Karena itu Islam tidak pernah membenarkan kekerasan dalam rumah tangga Sebagaimana firman Allah dalam surat An-nisa ayat 19:
9
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Beirut : Dar al-Kitab al-Farabi, 1973), cet-2, h.9
10
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), cet.I h.206 11
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta : Visimedia, 2007), cet.I h.68-69 12
Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam, h.35
7
( 19 )أء
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu. Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (An-Nisa: 19) Awalnya masalah kekerasan dalam rumah tangga terhadap isteri tidak banyak menarik perhatian publik, karena kebanyakan perempuan memilih untuk diam dan menerima perlakuan suaminya. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya masalah ini menjadi pembicaraan yang hangat dan meledak di media massa maupun elektronik. Alasan yang dibolehkan bagi seorang isteri untuk meminta cerai dari suaminya telah diatur dalam PP No.9 Tahun 1975 tentang “Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” pasal 19 dan salah satu alasan yang dapat dikabulkan oleh hakim adalah perlakuan yang menyakitkan yang terus menerus terhadap isteri. 13 Hal ini sejalan dengan isi PP No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan pasal 19 poin (d) yaitu: salah satu pihak melakukan kekerasan atau penganiayaan berat yang
dapat
membahayakan pihak lain. Berdasarkan hal tersebut diatas dan kaitannya dengan
13
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: PP No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Peraturan UU No.1 Tahun 1974 (Jakarta : Pradnya Paramita, 1991),h.45
8 gugatan cerai isteri maka jika suami melakukan kekerasan berat terhadap isterinya, maka isteri berhak melakukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Di dalam KHI juga telah diatur, Bab XVI Mengenai Putusnya Perkawinan Pasal 116, point d yang menyatakan “ salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain” dan point f, yang menyatakan“ antara suami atau isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Kemudian sampai sejauh mana ukuran keobjektifan suatu perlakuan dapat dikatakan kejam atau termasuk perbuatan tindakan kekerasan sehingga dapat dijadikan alasan dalam memohon perceraian. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu fenomena pelanggaran HAM. Sehingga masalah ini tercakup sebagai salah satu bentuk diskriminasi khususnya pada perempuan atau isteri. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang kurang mendapat perhatian dalam masyarakat karena memiliki ruang lingkup yang tertutup karena bersifat pribadi dan terjaga privasinya, kekerasan rumah tangga dianggap wajar karena diyakini bahwa memperlakukan isteri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Realita inilah yang yang menyebabkan minimnya tanggapan masyarakat dan pihak yang berwajib terhadap keluh kesah para isteri (perempuan), yang dalam menjalani bahtera rumah tangganya terlibat dalam suatu perselisihan dan pertengkaran yang kemudian berujung kepada tindak kekerasaan dari suami terhadap isteri dalam rumah tagga mereka.
9 Sebab landasan uraian diatas, penulis tertarik dan bermaksud untuk mengkaji dan meneliti lebih mendalam permasalahan tersebut yaitu mengenai gugatan cerai yang diakibatkan oleh suatu pertengkaran yang berlanjut kepada tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Sebagaimana yang telah diatur didalam KHI Bab XVI Mengenai Putusnya Perkawinan Pasal 113, point c yang menyatakan bahwa” Perkawinan dapat putus karena atas putusan Pengadilan”, maka dalam hal ini penulis memilih Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang untuk ditelusuri. oleh penulis memberi judul : “Cerai Gugat Sebab Tindak Kekerasan” (Studi Analisa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 243/ Pdt.G/ 2008/ PA.JS.)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan masalah Agar apa yang di bahas dalam kajian ini tidak meluas dan simpang siur, maka dalam hal ini penulis memfokuskan diri untuk menganalisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor Perkara : 243/ Pdt.G/ 2007/ PA.JS. tentang suatu kasus cerai gugat yang disebabkan oleh tindak kekerasan dalam rumah tangga. 2. Perumusan Masalah Undang-Undang telah mengatur masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dengan UU. No.23 Tahun 2004 Tentang “Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, dan diatur di dalam KHI Bab XVI Mengenai Putusnya Perkawinan Pasal 116, point d. yang menyatakan “Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayaan pihak lain”. Dan point f. yang menyatakan “Antara suami atau isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
10 tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Sedangkan realita yang banyak terjadi sekarang ini, dimana masih banyak individu-individu yang di dalam mengarungi bahtera rumah tangga terlibat dalam suatu perselisihan dan pertengkaran yang berlanjut kepada tindak kekerasan dalam rumah tangga tersebut, khususnya terhadap pihak perempuan atau isteri. Dari perumusan masalah di atas, setidaknya dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan tindak kekerasan dalam rumah tangga itu sering terjadi? 2. Apa saja jenis-jenis tindak kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan? 3. Apa yang menjadi pertimbangan hakim memutuskan perkara tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksud untuk mendeteksi dan menelusuri bagaimana sesunnguhnya realitas hukum yang ada di lingkungan Pengadilan Agama, khusunya dalam lingkup yang relatif tertutup, yaitu perceraian yang disebabkan suatu pertengkaran dan berlanjut kepada tindak kekerasan dalam rumah tangga, setidaknya tujuan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut: 1) Mengetahui faktor yang menjadi penyebab terjadinya suatu pertengkaran yang berlanjut kepada tindak kekerasan dalam rumah tangga
11 2) Mengetahui bentuk pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama Jakarta Selatan 3) Mengetahui apa yang menajadi dasar hakim memutuskan perkara dalam putusan tersebut. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang ingin penulis sampaikan dari penelitian ini adalah, setidaknya sebagai berikut: 1. Ingin memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai bagaimana sebenarnya proses penyelesaian perkara cerai gugat akibat suatu pertengkaran dan kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 2. Turut berkontribusi dalam memperkaya kahazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang perkawinan dan perceraian. 3. Selanjutnya penelitian ini diaharapkan dapat digunakan sebagi bahan acuan dan masukan bagi Sarjana Hukum Islam yang bersifat praktis dan menjadi rujukan bagi para civitas akademi dan golongan education pada umumnya.
D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Maasalah Mengingat dalam penulisan suatu karya ilmiah atau skripsi dimana metode penelitian mempunyai peranan yang sangat penting untuk dapat mencapai hasil
12 yang baik dan memadai, karena metode ini merupakan cara kerja untuk dapat memahami dan mengelola obyek yang menjadi sasaran penelitian. Dari itu penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, pendekatan kualitatif berarti upaya menemukan kebenaran dalam wilayah-wilayah konsep mutu. Yaitu melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan, dan mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan tersebut. Kemudian menghubungkannya dengan masalah yang penulis ajukan, sehingga ditemukan kesimpulan yang obyektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai tujuan yang dikehendaki penulis dalam penelitian ini. 2. Sumber Data a. Data Primer Didapatkan dari Pengadilan Agama yaitu berupa putusan cerai mengenai perceraian akibat pertengkaran yang berlanjut kepada tindak kekerasan dalam runah tangga yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan nomor perkara: 243/Pdt.G/2008/PA.JS. Wawancara terhadap hakim, kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji. b. Data Sekunder Diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan, mempelajari dan menelaah data-data atau teori-teori tertulis lainnya, baik dari Al-Quran, Hadits, buku-buku ilmiah, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan. 3. Tekhnik Pengumpulan Data
13 Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: a. Menganalisis terhadap putusan cerai gugat dengan alasan pertengkaran yang berlanjut kepada tindak kekerasan dalam rumah tangga pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan nomor putusan 243/Pdt.G/2008/PA.JS. b. Interview atau wawancara, dalam hal ini penulis akan mengadakan dialog langsung dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 4. Analisa Data Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan meggunakan analisa kualitatif, yaitu menganalisis dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan putusan perkara perceraian akibat pertengkaran yang berlanjut kepada tindak kekerasan dalam
rumah
tangga
yaitu
putusan
dengan
nomor
perkara
243/Pdt.G/2008/PA.JS. dan menghubungkannya dengan hasil interview dari pihak yang menyelesaikan perkara tersebut, dalam hal ini yaitu hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sehingga didapatkan kesimpulam yang obyektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini.
E. Sistematika Penulisan BAB I,
Pendahuluan, dalam sub bab ini berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II,
Tinjauan Umum Tentang Perceraian Menurut Hukum Islam, dalam sub bab ini berisikan tentang Pengertian cerai gugat, Syarat-Syarat cerai gugat,
14 Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian, Macam-Macam dan Akibat dari Perceraian. BAB III,
Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam sub bab ini berisikan tentang Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Sebab-Sebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Jenis-Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
BAB IV,
Analisis Putusan Perkara Cerai Gugat Akibat Pertengkaran Yang Berlanjut Kepada Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam sub bab ini berisikan tentang Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Prosedur Cerai Gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Putusan Perceraian Akibat Pertengkaran Yang Berlanjut Kepada Tindak Kekerasan Dalam rumah Tangga, dan Analisis Putusan.
BAB V,
Penutup, dalam sub bab ini berisikan tentang Kesimpulan dan SaranSaran.
34
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga A.1. Pengertian Kekerasan Secara etimologi kekerasan berasal dari kata “keras” yang berarti padat dan tidak mudah pecah sedangkan kata “kekerasan” itu sendiri adalah perihal (yang bersifat, berciri) keras, perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan fisik atau barang orang lain, serta paksaan. 1 Secara terminologi yang dimaksud kekerasan atau “violence” pada dasarnya merupakan suatu konsep yang makna isinya sangat bergantung kepada masyarakat sendiri, seperti dikatakan (Levi, 1994 : 295-353).2 Kekerasan identik dengan bentuk penyiksaan, seperti yang terungkap dalam ayat-ayat Al-Quran, surat Al-Fajr ayat 25 dijelaskan kekerasan yakni (“maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksanya”). Yang dimaksud kalimat dari ayat ini “menyiksa” adalah kekerasan azab Allah. Sehubungan dengan makna kekerasan yang cukup luas, karena pengertiannya merupakan refleksi dari pengakuan realitas sosial dimana kekerasan terjadi.
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2, cet.VII, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), h.484-485 2
Fathul Djannah, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, (Yogyakarta : Lkis, 2003), h.11
35
Setidaknya kekerasan dapat dirumuskan kedalam dua hal, yaitu lebih menekankan pada physical force dan nonphisycal force. Kedua bentuk inilah yang diakui oleh masyarakat internasional sebagai bentuk kekerasan sebagaimana platform for action yang dihasilkan oleh konferensi Dunia ke-4 tentang perempuan, di Beijing pada tahun 1995.3 Bila dilihat dari segi unsur budaya, kekerasan dapat diartikan sebagai bentuk sebuah tindakan “kriminalitas, kerusakan moral, perusakan lingkungan hidup, pemiskinan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual”.4 Biasanya hal yang mendorong terjadinya tindak kekerasan dilihat dari berbagai segi yaitu “segi sosiologis, karena adanya faktor kesenjangan ; segi politik, karena adanya rekayasa untuk kepentingan memelihara status quo ; dan segi filosofis, karena adanya penjajahan ideologi materialisme. 5 Kekerasan bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan oleh siapa saja. Didalam keluarga, kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi diantara anggota keluarga. Dalam kaitan ini bahwa kekerasan tersebut bisa dilakukan oleh seorang suami kepada isterinya. Didalam rumah tangga, kekerasan bisa diartikan dengan
3
Fathul Djannah, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, h.12
4
Fathul Djannah, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, h.20
5
Glenn D Paige, dkk., ed., Islam Tanpa Kekerasan, Penerjemah M. Taufiq Rahman, cet-II, Yogyakarta : LKis, 2000, h.VII
36
“penganiayaan atau penelantaran” yang dapat digambarkan pada seorang isteri karena perlakuan yang sewenang-wenang dari suaminya.6 Secara sederhana faktor-faktor yang menimbulkan tindak kekerasan terhadap isteri dapat dirumuskan menjadi dua faktor: pertama, faktor eksternal dan kedua, faktor internal. 7 Penyebab eksternal timbulnya tindak kekerasan terhadap isteri berkaitan dengan hubungan kekuasaan suami-isteri dan diskriminasi jender dikalangan masyarakat. Adapun kekuasaan dalam perkawinan diekspresikan dalam dua area, yaitu: a. Dalam hal pengambilan keputusan dan control atau pengaruh dan b. Yang ada dibelakang layar, seperti ketegangan, konflik, dan penganiayaan. Faktor internal tumbuhnya kekerasan terhadap perempuan adalah kondisi psikis dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak kekerasan. R. Langley, Ricard. D. dan Levy. C. menyatakan bahwa kekerasan laki-laki terhadap perempuan dikarenakan: a. Sakit mental b. Pecandu alkhol dan obat bius c. Penerimaan masyarakat terhadap kekerasan
6
Elli H. Hasbianto, Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi, dalam Syafiq Hasyim, ed., Menakar Harga Perempuan : Ekplorasi Lanjut Atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam, cet-II, Bandung : Mizan, 1999, h.189 7
Fathul Djannah, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, h.16-20
37
d. Kurangnya komunikasi e. Penyelewengan seks f. Citra diri yang rendah perubahan situasi dan kondisi g. Kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah (pola kebiassan turunan keluarga atau orang tua). (R. Mossi, 1987: 75-76)
A.2. Kekerasan Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Adapun kekerasan dalam hal ini terdapat dua pandangan, yaitu kekerasan menurut hukum Islam dan kekerasan menurut Undang-undang No. 23 tahun 2004: 1. Kekerasan Menurut Hukum Islam Dalam Islam kehidupan suami isteri merupakan hubungan kerja sama kedua belah pihak untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang mawaddah wa rahmah (penuh cinta dan kasih sayang ) dan sakinah (kedamaian). Dalam mewujudkan kehidupan tersebut Al-Quran memberikan petunjuk bagi suami isteri.8
8
Basyir, Fiqh Perempuan, h.163
38
Bagi seorang suami harus mampu menciptakan kehidupan tenteram dan harmonis dalam rumah tangganya. Dapat memposisikan isterinya sebagai teman bergaul yang baik, sebagaimana firman Allah SWT:
( : )اء
Artinya:“…dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”(Q.S. an-Nisa’: 19) Dari ayat tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa Al-Quran telah menggariskan dalam hubungan suami isteri harus berdasarkan mu’asyarah bi al-ma’ruf. “Dengan prinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf, persoalan yang timbul dalam urusan rumah tangga bisa terselesaikan dengan baik.” 9 Namun sangat disayangkan hal semacam ini jarang diterapkan dalam rumah tangga muslim, selalu pada suami sebagai orang yang paling berhak dalam pengambilan keputusan.
9
Basyir, Fiqh Perempuan, h.164
39
Apabila isteri tidak taat atau melanggar atas keputusan suami, maka isteri dikenakan sanksi nusyuz. Dalam ketentuan ini sering dijadikan dalih atas perlakuan suami terhadap isterinya untuk memberikan hukuman berupa kekerasan. Dengan menggunakan dalil ayat Al-Quran tentang nusyuz, surat anNisa’ ayat 34, “…dan pukullah mereka…,” sering disalahartikan dengan pemahaman yang sempit. Banyaknya kejadian suami melakukan kekerasan karena adanya penolakan isteri dalam hubungan seksual. Hal ini dipicu sehubungan dengan hadits Nabi SAW yang menyatakan, ”Jika suami mengajak isterinya berhubungan seks, lalu isterinya menolaknya dan oleh karena itu suami menjadi marah, maka ia akan mendapat laknat dari para malaikat sampai pagi. ”Kebanyakan orang memahami hadits ini secara tekstual, maka menjadi sumber hukum yang menguatkan suami untuk memaksa dan melakukan tindak kekerasan. 10 Sejauh bentuk kekerasan itu dilakukan pada seorang suami yang posisinya sebagai penguasa, maka dapat diwajarkan dengan maksud untuk menjaga keutuhan rumah tangganya. Karena, wanita punya kewajiban yang
10
Hussein Mahmud, Refleksi Teologis Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Dalam Syafiq Hasyim, ed., Menakar Harga Perempuan: Eksplorasi Lanjut Atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam, cet-II, Bandunh : Mizan, 1999, h.207-208
40
harus dijalankan
dengan
baik
termasuk
memenuhi
kebutuhan
seks.
Sebagaimana firman Allah SWT: (228 : )ا ة....
....
Artinya: “Dan para wanita mempunyi hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…”(Q.S. Al-Baqarah: 228) Suami hendaknya jangan sampai memukul wajah dan bagian tubuh lainnya yang dapat melukai apalagi sampai mencelakakan terhadap diri isteri. “Karena tujuan memukul ialah untuk memberi pelajaran dan bukan untuk membinasakan.” 11 suami hendaknya memukul dengan tidak meciderai, dalam hadits dijelaskan bahwa, “Jika mereka masih tetap melakukannya (nusyuz), maka pisahkannya mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menciderai.’’12 Sehubungan dengan kekerasan fisik, Islam telah memberikan batasanbatasan tertentu yaitu melalui tahapan-tahapan. Firman Allah SWT:
( : )اء
11
12
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Beirut : Dar al-Kitab al-Farabi, 1973), h.146
Fada Abdur Razak, Bangga Menjadi Muslimah, Penerjemah Muhammad Haris KS dan Abdul Mukti Tabrani, (Yogyakarta : Think, 2005), h.181
41
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”. (Q.S. an-Nisa’:34) Dengan adanya tahap-tahap sanksi seperti yang terdapat dalam surat anNisa’:34 ini, Al-Qur’an justru ingin mencegah pemukulan terhadap isteri dan secara bertahap mengahapuskannya. Sabda Nabi SAW setelah itu menunjukkan pelanggaran pemukulan terhadap isteri. Umar memprotes Navi SAW atas larangan itu. Menurutnya, “Isteri-isteri kami akan bertindak semaunya bila mereka mendengar tentang ini.” Tetapi pada saat yang lain, ketika banyak perempuan mengeluhkan pukulan suami mereka, Nabi bersabda,” Mereka memukul isteri dan tidak bertingkah laku baik. Sungguh bukan termasuk pengikutku, mereka yang menyebabkan perempuan menjadi tidak baik. 13 2. Kekerasan Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Hadirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), adalah upaya nyata untuk pencegahan sekaligus penindakan tindak kekerasan dalam rumah tangga, dalam hal ini melindungi khususnya perempuan sebagai isteri dalam rumah tangga.
13
Al-Asyhar, Fikih Progresif, h.165
42
Kekerasan yang dimaksud UU PKDRT dalam ketentuan umum BAB I pasal I ayat (1) menjelaskan bahwa, “ Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran ruamah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga .”14 Sehubungan dengan banyaknya kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga yang merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Maka hukum melarang adanya kekerasan dalam rumah tangga tersebut dengan tujuan memberikan rasa aman orang yang ada di dalamnya termasuk perempuan (isteri). Dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT),15 larangan kekerasan dalam rumah tangga dijelaskan secara rinci sebagai berikut: Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
14
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, (Jakarta : Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2004), h.10 15
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, h.9-11
43
a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga. Pasal 6 Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Pasal 7 Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Pasal 8 Kekerasan seksual sebgaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Pasal 9 1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
44
2) Penelantaran sebagaimana diamksud ayat (1) juga berlaku bagi set iap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
B. Jenis-Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan yang dialami perempuan khususnya isteri sangat banyak macamnya, baik yang bersifat psikologis, fisik, seksual maupun yang bersifat ekonomis, budaya dan keagamaan, bentuk kekerasan ini hadir dalam lingkungan keluarga. Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang sering dialami oleh perempuan yaitu : 1. Kekerasan fisik (Physical Abuse) adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.16 Tindakan tersebut kekerasan fisik dalah tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa atau menganiaya orang lain. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (tanpa kaki) atau dengan alat-alat lainnya. 17 Kekerasan fisik antara lain berupa pemukulan, penganiayaan, cidera, luka atau cacat pada tubuh seseorang atau menyebabkan kematian. Dalam konteks relasi personal, bentuk-bentuk kekerasam fisik yang dialami perempuan mencakup,
16
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, Pasal 6, h.5 17
http/www.genderkesrepro info. htm, 20 april 2007.
45
antara lain: tamparan, pemukulan, penjambakan, pendorong-dorongan, secara kasar, penginjak-injakan, penendangan, pencekikan, pelemparan benda keras, penyiksaan menggunakan
benda
tajam,
seperti pisau,
gunting,
serta
pembakaran. 18 2. Kekerasan psikis (Phsyological Abuse) adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilagnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa sakit tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.19 Kekerasan ini ditunjukkan kepada tubuh atau seksualitas yang bertujuan untuk merendahkan martabat serta harga diri seseorang. Kekerasan psikologis dapat meruntuhkan harga diri bahkan memicu dendam dihati isteri kepada suami. Kekerasan psikologis yang dialami isteri, seperti: dalam bentuk caci maki, katakata kasar, ancaman, pengabaian atau diacuhkan, penolakan, dan tuduhan. 20 Tindak kekerasan psikologis tindakan yang bertujuan merendahkan citra atau kepercayaan diri seorang perempuan, baik melalui kata-kata maupun melalui perbuatan yang tidak disukai atau dikehendaki korbannya. Tindakan yang bertujuan mengganggu atau menekan emosi korban secara kejiwaan, korban menjadi tidak
18
Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, (Jakarta : Publikasi komnas perempuan, 2002),h.41 19
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004,Pasal 8, h.5 20
Fathul Djannah, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, h.31
46
berani mengungkapkan pendapat, menjadi penurut, menjadi selalu bergantung pada orang lain dalam segala hal. 21 Akibatnya korban menjadi sasaran dan selalu dalam keadaan tertekan atau bahkan takut. Beberapa tindakan yang termasuk ke dalam kekerasan psikologis atau jiwa yaitu : a. Penyiksaan Mental Bentuk-bentuk penyiksaan psikologis yang dialami perempuan mencakup makian dan penghinaan yang berkelanjutan untuk mengecilkan harga diri korban, bentakan dan ancaman yang diberi untuk memunculkan rasa takut, larangan keluar rumah atau bentuk-bentuk pembatasan kebebasan bergerak lainnya. b. Diskriminasi Bentuk diskriminasi dalam keluarga misalnya perempuan sering tidak diberi hak atas warisan, dibatasi peluang bersekolah diganti dengan anggota laki-laki, direnggut haknya untuk bekerja diluar rumah, dan dipaksa untuk kawin muda. c. Kekerasan Seksual (Sexual Abuse) adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Kekerasan ini ditujukan kepada tubuh atau seksualitas yang bertujuan untuk merendahkan martabat serta harga diri seseorang.
21
http/www.genderkesrepro info. htm, 20 april 2007.
47
d. Penelantaran Ekonomi (Economic Abuse) adalah menelantarkan kebutuhan ekonomi orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.22 Penelantaran kebutuhan hidup berupa nafkah dirasakan sangat menderita bagi perempuan atau isteri yang tergantung oleh suami. 23 e. Gabungan antara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran ekonomi adalah tindakan ini merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan suami terhadap isterinya yang dapat menimbulkan kerugian isterinya, tindakan ini merupakan tindakan “out of control”.24
C. Sebab-Sebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, namun secara umum Farha Ciciek mengemukakan beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut: 1. Masyarakat masih membesarkan anak lelaki dengan mendidiknya agar mereka yakin bahwa mereka harus kuat dan berani serta tahan ampun.
22
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 23
24
Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, h.42
Ratna Batara Munti, Advokasi Legislatif Untuk Perempuan, Solidaritas Masalah dan Draft RUU KDRT, (Jakarta : LBH Apik, 2000), cet.ke-I, h.36
48
Lelaki dilatih untuk merasa berkuasa atas diri dan orang sekelilingnya, itulah kejantanan. Jika mereka menyimpang dari harapan peran tersebut, mereka dikategorikan sebagai lelaki lemah. Dan hal ini sangat melukai diri dan martabat lelaki. Setelah mereka tumbuh menjadi lelaki dewasa dan menikah, masyarakat semakin mendorong mereka untuk menaklukkan isteri. Jiak gagal, berarti kejantanannya terancam. Nilai inilah yang mendorong suami untuk mempergunakan cara apapun, termasuk cara-cara kekerasan demi menundukkan isterinya. Jika tetap membesarkan anak lelaki seperti ini, maka termasuk golongan yang melanggengkan budaya kekerasan. 2. Kebudayaan kita mendorong perempuan atau isteri supaya bergantung kepada suami, khususnya secara ekonomi. Hal ini membuat perempuan hampir sepenuhnya berada di bawah kuasa suami. Dan salah satu akibatnya, isteri sering kali diperlakukan semenamena sesuai kehendak atau mood suaminya. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemicu tindak kekerasan terhadap isteri justru bukan “kesalahan” isteri sendiri. Suami yang frustasi di tempat kerja dan tidak mampu mengatasi persoalannya dengan sangat mudah melampiaskan kejengkelannya. 3. Fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat Kita pada umumnya percaya bahwa lelaki berkuasa atas perempuan. Didalam rumah tangga, ini berarti suami di atas isteri. Isteri adalah sepenuhnya milik suami sehingga selalu harus berada dalam kontrol suami.
49
Jika isteri keliru menurut cara pandang suami, maka mereka bisa bebrbuat apa saja agar sang isteri segera kembali ke jalan yang benar. Termasuk di dalamnya melakukan tindakan kekerasan. 25 4. Masyarakat tidak menganggap KDRT sebagai persoalan social, tetapi persoalan pribadi suami dengan isteri. Orang lain tidak boleh ikut campur. Kepercayaan ini ditunjang sepenuhnya oleh masyarakat yang dengan sengaja “menutup mata” terhadap fakta KDRT yang lazim terjadi. Masyarakat menganggap masalah KDRT adalah masalah pribadi atau masalah rumah tangga yang orang lain tidak layak mencampurinya. Hal ini sungguh aneh. kalau kita melihat seorang perempuan yang tak dikenal diserang oleh seseorang di jalanan, maka kita akan berupaya menghentikannya atau melaporkannya ke Polisi. Tetapi jika kita mengetahui seorang suami menganiaya isterinya, kita tidak berbuat apaapa. Sikap inilah yang mengakibatkan kekejaman dalam rumah tangga ini terus berlangsung. 5. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
Tafsiran semacam ini
mengakibatkan pemahaman turunan bahwa agama juga membenarkan suami
25
Farha Ciciek, Jangan Ada Lagi Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.33
50
melakukan pemukulan terhadap isteri dalam rangka mendidik. Hak ini diberikan kepadanya Karena suami mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Suami adalah penguasa yang mempunyai kelebihan-kelebihan kodrati yang merupakan anugerah Tuhan. Pemahaman seperti diatas akan melestarikan tinadak kekerasan terhadap perempuan, jika tidak diliruskan dengan penafsiran yang lebih sesuai dengan semangat keadilan yang merupakan ruh Islam.
51
BAB IV ANALISA PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan 1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yang melaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai berikut: 1 1. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24. 2. Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok kekeuasaan kehakiman. 3. Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 4. Undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undangundang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 5. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undangundang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 6. Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. 7. Peraturan / instruksi / edaran Mahkamah Agung RI.
1
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 17 September 2009
52
8. Intruksi Dirjen Bimas Islam / Bimbingan Islam. 9. Keputusan Meneteri Agama RI No.69 Tahun 1963, Tentang Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 10. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan tata kerja dan wewenang Pengadilan Agama. Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan
surat
keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963 Tentang Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 2 2. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Jakarta Selatan Pada mulanya Pengadilan Agama diwilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan kantor cabang yaitu 3: 1. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara. 2. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah. 3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk. Semua Pengadilan Agama tersebut diatas termasuk wilayah hukum cabang Mahkamah Islam Tinggi Suarakarta. Kemudian setelah berdirinya cabang-cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan keputusan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976
Tentang Dasar
Pembentukan Pengadilan Agama pada Tanggal 16 Desember 1976.
2
Ibid, h.3.
3
Ibid.,
surat
53
Semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di daerah ibukota Jakarta berada dalam wilayah hukum Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA) 4. Beradasarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1985 tanggal 16 Juli 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindah ke Jakarta. Akan tetapi realisasinya, baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama diwilayah DKI Jakarta adalah menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Secara astronomis wilayah pemerintahan kotamadya Jakarta Selatan adalah seluas 145,73 Km2 dan secara astronomis wilayah kotamadya Jakarta Selatan terletak dan berada pada posisi 06’15’40,8’ lintang selatan 106’45/0’00’ bujur timur dan berada pada kemiringan 26,2 meter diatas permukaan laut. Letak bangunan gedung Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang sekarang terletak dijalan Rambutan VII/48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan dengan luas gedung 1000 M2. Wilayah kotamadya Jakarata Selatan pada masa perkembangannya, pada tahun 2001 ketika kepemimpinan dijabat oleh Bapak Zainuddin Fajri,
4
Ibid, h. 4.
54
pembenahan-pembenahan semua bidang baik fisik maupun non fisik diadakan komputerisasi dengan online komputer, dan ini terus dibenahi sampai sekarang dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan dan menciptakan peradilan yang bersih, disiplin dan berwibawa. 5
B. Prosedur Cerai Gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Berdasarkan undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama disebutkan pada pasal 65 bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, seperti yang diungkapkan Murti Arto dalam bukunya Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, maka tata cara penyelesaian cerai gugat diatur sebagai berikut;6 1. Gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama. 2. Surat gugatan cerai isinya memuat; a. Identitas (nama, umur, tempat kediaman penggugat (istri) dan tempat kediaman tergugat (suami). b. Alasan-alasan yang menjadi dasar perceraian. c. Petitum perceraian. 3. Kewenangan Relatif Peradilan Agama
5
6
Ibid.,
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996).h.132.
55
Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat, kecuali dalam hal sebagai berikut; a. Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat, maka gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. b. Dalam hal Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan perceraian juga diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tegugat. c. Penggugat dan tergugat yang beertempat kediaman di laur nergeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau Pengadilan Agama Jakarta Selatan.(Pasal 73 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).Gugatan cerai diproses di kepaniteraan gugatan dicatat dalam Register Induk Perkara Gugatan. 4. Pemanggilan pihak-pihak Pemanggilan pihak-pihak dalam perkara cerai dilakukan sama dengan panggilan dalam perkara cerai talak. Panggilan terhadap para pihak yang tempat kediamannya berada di wilayah Pengadilan lain, dilakukan melalui Pengadilan Agama di tempat kediaman pihak yang dipanggi ( Pasal 103 (2) Undang-Undang Peradilan Agama).
56
5. Pemeriksaan Pemeriksaan gugatan perceraian dilakuakn oleh majelis hakim selambatlambatnya tiga puluh hari setelah berkas atau surat guagatn perceraian didaftarkan di Kepaniteraan. Pemeriksaaan dilakukan dalam sidang tertutup, demikian pula pemeriksaan saksi-saksi (Pasal 80 Ayat (1) & (2) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agam, pasal 33 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. Tahun 1974 tentang perkawinan). Selain itu tentang waktu antara pendaftaran perkara cerai gugat sama dengan perkara cerai talak. 6. Upaya Perdamaian Dalam hal ini hakim hendaknya selalu dilakukan pada setiap awal persidangan. Upaya perdamaian dalam perkara gugatan cerai dilakukan sama seperti dalam perkara cerai talak. 7. Pembuktian Dalam pembuktian tentang alasan-alasan cerai guat, sama dengan perkara cerai talak, kecuali dalam perkara cerai dengan alasan zina, pelanggaran ta’lik talak dan pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan. 8. Putusan Setelah memeriksa isi gugatan yang diajukan dan berkesimpulan bahwa alasan yang diajukan cukup beralasan dan dapat diterima, terbukti serta tidak dimungkinkan lagi tercapainya perdamaian
antara keduanya, maka
Pengadilan Agama dapat memutuskan sesuatu dengan suatu putusan.
57
Dalam gugatan perceraian apabila ternyata penyebab perceraian itu tibul dari suami atau tidak dapt diketahui dengan pasati maka perkawinan diputuskan dengan talak ba’in. Tetapi apabila perceraian itu timbul dari pihak isteri, maka perkawinanya diputuskan dengan khulu’, sehingga isteri diwajibkan membayar iwadh (tebusan) kepada suaminya yang besarnya dipertimbangkan oleh hakim secara adil dan bijaksana. Selain itu perlu diketahui juga dalam HIR pasal 178 dikatakan bahwa hakim tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat atau memberikan lebih dari apa yang digugat. Dalam sidang pertama yang telah ditetapkan dan para pihak telah dipanggil untuk hadir dalam sidang tersebut maka ditemukan bebrapa kemungkinan, yaitu: a) Penggugat tidak hadir, sedang tergugat hadir. Apabila penggugat tidak hadir dalam sidang, sedang tergugat hadir, maka hakim dapat: - Menyatakan bahwa gugatan dinyatakan gugur, atau - Menunda persidangan sekali lagi untuk memanggil penggugat b) Tegugat tidak hadir, sedang penggugat hadir. Apabila dalam sidang pertama tesebut penggugat hadir sedang tergugat tidak hadir maka hakim dapat: - Menunda persidangan untuk memanggil tergugat sekali lagi, atau - Menjatuhkan putusan verstek, karena tergugat dinilai ghaib.
58
Kemudian apabila tergugat telah dipanggil lagi untuk kedua kalinya atau lebih dan tetap tidak hadir maka dapat diajukan putusan verstek. c) Penggugat dan tergugat tidak hadir dalam sidang. Jika Penggugat dan Terguagt tidak hadir dalam sidang pertama, maka sidang harus ditunda dan para pihak dipanggil lagi samapi dapat dijatuhkan putusan gugur atau verstek atau perkara dapat diperiksa. d) Pengguat dan tergugat hadir dalam semua sidang. Jika para pihak semua hadir dalam sidang, maka hakim sebelum memulai wajib berusaha mendamaikan para pihak.
C. Putusan Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Tentang Duduk Perkara Tentang para
pihak.
Pada putusan
ini
adalah perkara
nomor
243/Pdt.G/2008/PA.JS. Penggugat adalah isteri, umur 51 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal di Jl. Peninggaran No. 57 Rt. 011/09, Kelurahan Kebayoran Lama Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut sebagai pihak “Penggugat”. Tergugat adalah suami umur 53 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, tempat tinggal di Jl. Kangkung No. 11 Rt. 015/006, Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut sebagai “Tergugat”. Pada tanggal 08 Agustus 1987, telah melangsungkan pernikahan Penggugat dengan Tergugat, tercatat di PPN. KUA Kecamatan Kebayoran
59
Lama, Jakarta Selatan dengan Kutipan Akta Nikah Nomor : 738/135/IX/1987 tanggal 08 Agustus 1987. Sejak menikah sampai dengan tahun 1994 kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat masih rukun sebagaimana layaknya suami isteri meskipun pernah timbul perselisihan namun dapat diatasi. Pada waktu kurun berumah tangga Penggugat dan Tergugat berkediaman di Jalan Kangkung Rt.015/006 No.11 Kelurahan Grogol Selatan Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Namun sejak tahun 1994 sampai dengan sekarang kehidupan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan/pertengkaran secara terus menerus yang sulit diatasi, sehinngga membawa akibat buruk bagi kelangsungan hidup berumah tangga. Sebab-sebab terjadinya perselisihan tersebut utamanya karena Tergugat sering bicara kasar dan suka memukul, Tergugat setiap kali cekcok selalu merusak barang-barang rumah tangga, Tergugat sering menghujat dan menghina Penggugat, Tergugat jarang pulang sampai beberapa hari dan kalau pulang terus cekcok hanya karena masalah kecil menjadi besar. Akibat dari perselisihan tersebut akhirnya sejak awal Februari 2008 sampai sekarang ± 2 minggu Penggugat dengan Tergugat telah berpisah tempat tinggal, yang mana dalam pisah tersebut Peenggugat dan Tergugat masingmasing tinggal dialamat tersebut diatas.
60
Penggugat telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan cara musyawarah, namun upaya tersebut tidak berhasil, oleh karenanya Penggugat merasa rumah tangganya tidak bisa dipertahankan lagi, dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam berumah tangga. 2. Tentang Pertimbangan Hukumnya Adapun pertimbangan hukumnya bahwa maksud dan tujuan perkawinan tidak terwujud. Pada pokok gugatan penggugat memuat hal-hal sebagai berikut: 1) Antara Penggugat dan Tergugat terdapat ikatan perkawinan yang sah sejak tanggal 08 Agustus 1987 dengan bukti Kutipan Akta Nikah dengan nomor: 738/135/IX/1987, yang tercatat di PPN. KUA Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. 2) Rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis lagi dan antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus. Tergugat tidak kerja dan tidak memberi nafkah. Selama persidangan perkara ini berlangsung, Majelis hakim telah berusaha menasehati, memberikan pandangan-pandangan dan mendamaikan Penggugat dan Tergugat sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (1) Undangundang No.1 Tahun 1974 jo pasal 82 ayat (1) dan (2) Undang-undang No.7 Tahun 1989 yang diamandemen Undang-undang No.3 Tahun 2006 jo pasal 31 dan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 agar Penggugat dan Tergugat rukun lagi kembali membina rumah tangga akan tetapi tidak berhasil.
61
3) Kemudian Penggugat didalam persidangan tetap teguh terhadap dalildalilnya yang telah dibenarkan oleh Tergugat dianggap sebagai pengakuan Tergugat, sehingga oleh karenanya dalil-dalil Penggugat tersebut telah menjadi dalil yang tetap, dan sesuai dengan ketentuan pasal 174 HIR, pengakuan tersebut dipandang telah mempunyai kekuatan pembuktian. 4) Terhadap bantahan-bantahan Tergugat tersebut Majelis hakim berpendapat bahwa bantahan-bantahan tersebut ternyata tidak mengurangi nilai terhadap dalil-dalil yang diakuinya karena Tergugat 4 kali berturut-turut sidang terakhir tidak hadir tanpa ada keterangan, Tergugat sudah tidak mau menggunakan haknya lagi. Kemudian Majelis hakim menemukan fakta-fakta didalam persidangan sebagai berikut; -
Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah.
-
Bahwa Penggugat dan Tergugat sering bertengkar sejak tahun 1994.
-
Bahwa Tergugat sering melakukan kekerasan kepada Penggugat.
-
Bahwa Penggugat dan Tergugat pisah rumah selama 4 bulan.
Oleh sebab itu, maka gugatan Penggugat dapat dikabulkan mengingat juga bahwa keterangan para saksi tersebut secara formil dapat diterima karena telah memenuhi unsur pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan secara materil dapat dipertimbangkan karena satu sama lain saling bersesuaian sebagaimana
62
dimaksud oleh pasal 170 dan pasal 172 HIR. Dan berdasarkan keterangan Penggugat jawaban Tergugat bukti-bukti dan keterangan para saksi yang saling bersesuaian tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut, setelah memeriksa majelis hakim berkesimpulan bahwa maksud dan tujuan perkawinan menurut ketentuan hukum perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 jo. pasal 3 Kompilasi Hukum Islam adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah, tidak terwujud namun yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat adalah sebaliknya yaitu suatu rumah tangga penuh dengan perselisihan dan pertengkaran bahkan antara Penggugat dengan Tergugat telah berpisah rumah selama kurang lebih 4 bulan sehingga kedua belah pihak sudah tidak dapat lagi menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing. Rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat sudah pecah belah dan sudah tidak harmonis lagi serta tidak sesuai dengan tujuan perkawinan sebagaimana tersebut diatas, maka mempertahankan rumah tangga Penggugat dan Tergugat dikhawatirkan dapat menimbulkan hal-hal yang negatif bagi keduanya, sehingga Majelis hakim berpendapat bahwa alasan Penggugat telah sesuai dengan ketentuan pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, dan tetap teguh pada pendiriannya untuk
63
bercerai maka gugatan Penggugat patut dikabulkan, karena dalil gugatan Penggugat dapat dibuktikan dengan alasan-alasan yang tepat dan tidak melawan hukum. Pertimbangan hakim telah tepat, karena berdasarkan KHI pasal 116 point (d) dinyatakan bahwa “salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain” dan juga point (f), dinyatakan bahwa “antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” Dengan pertimbangan-pertimbangan diatas, jelas adanya bahwa pihak Penggugat tetap pada pendiriannya dan memutuskan untuk bercerai dari suaminya, dengan berbagai alasan dan pelanggaran dari pihak Tergugat serta tidak mengabaikan pasal 19 huruf (f) , PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi
Hukum
Islam
(KHI),
Penggugat
dapat
dikabulkan
atas
permohonannya untuk menggugat cerai yaitu Talak Satu Bain Sughro.
D. Analisa Penulis 1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa secara terminologi yang dimaksud dengan kekerasan adalah perbuatan sesorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau
64
menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, sedangkan rumah tangga dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah sesuatu yang berkenaan dengan masalah kehidupan di rumah. 7 Seperti yang telah di urai diatas bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran ruamah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 8 Kekerasan secara umum didefinisikan sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk melukai seseorang atau merusak barang. Dalam hal ini segala bentuk ancaman, cemohan, pengucapan kata-kata kasar. Juga diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik untuk melukai manusia atau merusak barang, serta mencakup ancaman pemaksaan terhadap kebebasan individu. Jadi dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap kekerasan yang mengakibatkan luka fisik, psikis, seksual, dan ekonomi yang terjadi dalam ruang lingkup domestik antara orang-orang dalam hubungan keluarga atau perkawinan.
7
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka), cet. ke-2, h.429 8
Lihat Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, pasal 1
65
Kekerasan, khususnya dalam lingkup rumah tangga, dalam bentuk apapun dan dilakukan terhadapa siapa saja, merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Karena Islam sendiri selalu mengajarkan untuk berlaku lemah lembut dan kasih sayang antar sesama Bagi seorang suami harus mampu menciptakan kehidupan tenteram dan harmonis dalam rumah tangganya. Dapat memposisikan isterinya sebagai teman bergaul yang baik, “Dengan prinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf, persoalan yang timbul dalam urusan rumah tangga bisa terselesaikan dengan baik.” 9 Namun sangat disayangkan hal semacam ini jarang diterapkan dalam rumah tangga muslim, selalu pada suami sebagai orang yang paling berhak dalam pengambilan keputusan. Apabila isteri tidak taat atau melanggar atas keputusan suami, maka isteri dikenakan sanksi nusyuz. Dalam ketentuan ini sering dijadikan dalih atas perlakuan suami terhadap isterinya untuk memberikan hukuman berupa kekerasan. Dengan menggunakan dalil ayat Al-Quran tentang nusyuz, surat anNisa’ ayat 34, “…dan pukullah mereka…,” sering disalahartikan dengan pemahaman yang sempit.
9
Ibid, h.164
66
2. Jenis-Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan yang dialami perempuan khususnya isteri sangat banyak macamnya, baik yang bersifat psikologis, fisik, seksual maupun yang bersifat ekonomis, budaya dan keagamaan, atau bentuk kekerasan lainnya yang mengakibatkan isteri terluka baik jasmani ataupun rohaninya. Pada penelitian ini penulis menemukan jenis-jenis kekerasan dalam rumah tangga Bentuk-bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi juga bermacam-macam, mulai dari yang umum dilakukan yaitu pemukulan yang
dilakukan suami terhadap
isterinya sampai
kepada
penamparan di wajah isteri, penyeretan oleh si suami (isteri diseret-seret suami), penjedotan, misalnya, kepala isteri dijedotin ke jendela, dinding dan hal yang keras lainnya, dipeluntir bagian tubuh si isteri, pemaksaan dan banyak tindakan-tindakan lain. 3. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga di dalam masyarakat. Pertama, budaya kita yang masih menganggap membesarkan anak lelaki dengan mendidiknya agar mereka yakin bahwa mereka harus kuat dan berani serta tahan ampun. Kedua, kebudayaan kita mendorong perempuan atau isteri supaya bergantung kepada suami, khususnya secara ekonomi. Ketiga, fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan
67
setara dalam masyarakat. Keempat, masyarakat tidak menganggap KDRT sebagai persoalan sosial, tetapi persoalan pribadi suami dengan isteri. Kelima, pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama. 10 Selain itu dari penelitian ini penulis temukan faktor- faktor pendukung lainnya yang datang dari luar, tidak bisa disangkal hal yang dianggap kecil atau sepele misalnya, si isteri pemboros atau sebut saja sering keluar baik siang atau malam tanpa izin suaminya, dari sini saja sudah dapat membuat pergaduhan atau pertengkaran yang memancing si suami untuk melakukan tindak kekerasan tersebut, karena tingkat emosional setiap orang berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan keadaan orang tersebut, bahkan sampai hal-hal yang lain seperti isteri tidak melayani suami, perselingkuhan, si isteri susah diatur (keras kepala) sampai kepada masalah keuangan (ekonomi). 11 4. Pertimbangan Hakim Dari putusan yang penulis dapatkan, perkara ini diperiksa oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang mengambil sumber hukum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 serta Inpres Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana ketiga perundang-undangan ini adalah yang digunakan pada Pengadilan Agama seluruh Indonesia.
10
Farha Ciciek, Jangan Ada Lagi Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.33 11
Wawancara Pribadi dengan Dra. Noor Jannah Aziz, M.H., Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Jakarta : 10 September 2009)
68
Dalam putusan ini kekerasan dalam rumah tangga dijadikan sebagai alasan perceraian. Padahal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tetang Perkawinan tidak tertulis dan tidak ada menyebutkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai alasan Perceraian, oleh sebab itu perlu ada pertanyaan mengapa Hakim memutuskan demikian. Jika diperhatikan kemudian dianalisa dengan seksama, maka pada pasal 116 point (d) pada isi Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat kata-kata kekejaman atau penganiayaan berat, memang tidak disebutkan secara detail bahwa kekerasan dalam rumah tangga itu sebagai alasan perceraian. Namun jika diterjemahkan lagi maka kata-kata kekejaman dan penganiayaan berat itu mengarah kepada objek berupa fisik atau tubuh. Jadi penulis menyimpulkan bahwa pertimbangan Hakim terhadap perkara yang diputus telah tepat, karena berdasarkan KHI pasal 116 (d), yang menyatakan bahwa ”salah satu pihak melakukan kekejaman atau peganiayaan berat yang membahayakan pihak lain” dan juga point (f) yang menyatakan ”antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalan rumah tangga”. Dalam hal ini hakim sebagai pembuat keputusan dari perkara-perkara yang diajukan kepadanya, lebih mengedepankan aspek kemaslahatan yaitu lebih melihat maslahat di kemudian hari yang akan terjadi bilamana pernikahan tersebut tidak diputus dan tetap berjalan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan
69
akan menimbulkan kemudharatan yang akan terjadi. 12 Demikianlah maksud perkawinan yang sejati dalam Islam. Dengan singkat untuk kemaslahatan dalam rumah tangga dan turunan, juga untuk kemaslahatan masyarakat karena tujuan utama dari pernikahan adalah untuk menciptakan keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah sebagaimana yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). 13
12
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Prenada Media, 2003),cet.I, h.124
13
Lihat KHI Pasal 3
71
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Setelah melakukan penelitian dan menganalisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Nomor Perkara 243/ Pdt.G/ 2007/ PA.JS. tentang kasus cerai gugat yang disebabkan oleh tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat disimpulkan bahwa: 1. Kekerasan secara umum didefinisikan sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk melukai seseorang atau merusak barang. Dalam hal ini segala bentuk ancaman, cemohan, pengucapan kata-kata kasar. Juga diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik untuk melukai manusia atau merusak barang, serta mencakup ancaman pemaksaan terhadap kebebasan individu. Jadi dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap kekerasan yang mengakibatkan luka fisik, psikis, seksual, dan ekonomi yang terjadi dalam ruang lingkup domestik antara orang-orang dalam hubungan keluarga atau perkawinan. 2. Kekerasan yang dialami perempuan khususnya isteri sangat banyak macamnya, baik yang bersifat psikologis, fisik, seksual maupun yang bersifat ekonomis, budaya dan keagamaan, atau bentuk kekerasan lainnya yang mengakibatkan isteri terluka baik jasmani ataupun rohaninya.
72
3. Pertimbangan Hakim terhadap perkara yang diputus telah tepat, sesuai dengan ketentuan pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalan rumah tangga dan diikuti dengan pembuktian dari keterangan para saksi yang saling bersesuaian. B. Saran-saran 1. Perwujudan pelaksanaan hukum Islam yang baik baik sangat tergantung pada tiga pilar hukum. Pertama, pelaku atau penegak hukum itu sendiri. Kedua, peraturan hukum. Ketiga, kesadaran hukum masyarakat Ketiga pilar hukum tersebut harus tegak secara baik. 2. Kepada pelaku atau penegak hukum lebih mensosialisasikan akan akibat dan dampak dari bahaya atas pelanggaran peraturan hukum yang dibuat tersebut. Bukan hanya mendesain peraturan hukum tetapi menggalakkannya. Terlebih pada kasus cerai gugat akibat tindak kekerasan dalam rumah tangga. 3. Kepada masyarakat harus mampu menumbuhkan rasa sadar untuk mematuhi hukum. Terlebih masyarakat muslim Indonesia disarankan untuk tidak melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga karena memiliki efek buruk bagi kelangsungan hidup berumah tangga.
73
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Mukhtasar Shahih Muslim, (Beirut : AlMakkah Al-Islami, tth), Jilid I Al-Quran dan terjemahannya. Jakarta : Departemen Agama RI, 1994 Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 17 September 2009 Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), cet.I Ayub, Syaikh Hasan, Fkih Keluarga. Penerjemah M. Abdul Ghoffar (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka), cet. ke-2 Djalil, A. Basiq, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Qalbun Salim, 2005) Djannah, Fathul, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, (Yogyakarta : Lkis, 2003) Farha Ciciek, Jangan Ada Lagi Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.33 Haddad, Habib Abdullah, Nasehat Agama dan Wasaiat Iman, Terjemah An-nasaih Ad-diniyah wa Al-washaya Al-imaniyah, (Bandung : Gema Risalah Press, 1993), cet.ke-3 Hasbianto, Elli, H. Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi, dalam Syafiq Hasyim, ed., Menakar Harga Perempuan :
74
Ekplorasi Lanjut Atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam, cet-II, Bandung : Mizan, 1999 Husain, Muhammad, Abi, bin Mas’ud Baghwi, 516-463 H, Syarohus sunnah Jilid 5, Darul Kitabul Alamiah,Beirut Kamarusdiana, dan Aripin, jaenal, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2007), cet.ke-1 Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, (Jakarta : Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2004), h.10. UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 14 Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, (Jakarta : Publikasi komnas perempuan, 2002) Kompilasi Hukum Islam, Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jakarta, 1999 Kuzairi, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995) Mahmud, Hussein, Refleksi Teologis Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Dalam Syafiq Hasyim, ed., Menakar Harga Perempuan: Eksplorasi Lanjut Atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam, cet-II, Bandunh : Mizan, 1999 Muhdhor, Zuhdi, A. Memahami Hukum Perkawinan, (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk), (Bandung : Al-Bayah, 1999), cet.ke-2 Mulyanti, Sri, Relasi Suami Istri dalam Islam (Jakarta: Pusat Study Wanita (PSW), UIN Syarif Hidayatullah, 2004)
75
Munti, Batara, Ratna, Advokasi Legislatif Untuk Perempuan, Solidaritas Masalah dan Draft RUU KDRT, (Jakarta : LBH Apik, 2000), cet.ke-I Nuruddin Amiur, dan Tarigan, Akmal, Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2004) Paige, Glenn, D. dkk., ed., Islam Tanpa Kekerasan, Penerjemah M. Taufiq Rahman, cet-II, Yogyakarta : LKis, 2000 Qardhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Penerjemah As’ad Yasin (Jakarta : Gema Insani Press, 1995) Rahman, A. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), cet. ke-1 Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Jakarta : Attahiriyah, 1976), cet.ke-17 Razak, Abdur, Fada, Bangga Menjadi Muslimah, Penerjemah Muhammad Haris KS dan Abdul Mukti Tabrani, (Yogyakarta : Think, 2005) Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia ,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), cet. ke-6 Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah: Fikih Sunnah 8, Terjemahan oleh Moh. Thalib (Bandung : PT.Al-Ma’arif, 1996), cet.II Said, Fuad, H.A. Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1998), cet.ke-30 Shidieq, Ahmad, Hukum Talak dalam Islam, (Surabaya: Putra Pelajar 2001) Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Prenada Media, 2003),cet.I
76
Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta, 2004) Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2, cet.VII, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta : Visimedia, 2007), cet.I Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Perkawinan di Indonesia: PP No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Peraturan UU No.1 Tahun 1974 (Jakarta : Pradnya Paramita, 1991) Wawancara Pribadi dengan Dra. Noor Jannah Aziz, M.H., Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Jakarta : 10 September 2009) www.genderkesrepro info. Htm
C. Putusan Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Tentang Duduk Perkara a.
Tentang
para
pihak.
Pada
putusan
ini
adalah
perkara
nomor
243/Pdt.G/2008/PA.JS. Penggugat adalah isteri, umur 51 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal di Jl. Peninggaran No. 57 Rt. 011/09, Kelurahan Kebayoran Lama Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut sebagai pihak “Penggugat”. Tergugat adalah suami umur 53 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, tempat tinggal di Jl. Kangkung No. 11 Rt. 015/006, Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut sebagai “Tergugat”. b. Tentang Posita / Duduknya Perkara 1. Bahwa, pada tanggal 08 Agustus 1987, telah melangsungkan pernikahan Penggugat dengan Tergugat, tercatat di PPN. KUA Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dengan Kutipan Akta Nikah Nomor : 738/135/IX/1987 tanggal 08 Agustus 1987 ;-------------------------------------------------------------------------------2. Bahwa, sejak menikah sampai dengan tahun1994 kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat masih rukun sebagaimana layaknya suami isteri meskipun pernah timbul perselisihan namun dapat diatasi. Pada waktu kurun berumah tangga Penggugat dan Tergugat berkediaman di Jalan Kangkung Rt.015/006 No.11 Kelurahan Grogol Selatan Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan ;-------------------------------------------------------------------------------
3. Bahwa, dari pernikahan tersebut belum dikaruniai anak walaupun telah berhubungan suami isteri ;------------------------------------------------------------------4. Bahwa, sejak tahun 1994 sampai dengan sekarang kehidupan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan/pertengkaran secara terus menerus yang sulit diatasi, sehinngga membawa akibat buruk bagi kelangsungan hidup berumah tangga ;---------------------------------------------------------------------5. Bahwa, sebab-sebab terjadinya perselisihan tersebut karena ;-------------------------5.1. Penggugat dan Tergugat menikah dalam status janda dan duda ;----------------5.2. Tergugat sering bicara kasar dan suka memukul ;---------------------------------5.3. Tergugat setiap kali cekcok selalu merusak barang-barang rumah tangga ;----5.4. Tergugat dalam memberi nafkah hanya kalau ada hubungtan suami isteri jika tidak ada hubungan suami isteri maka Tergugat tidak memberi uang/nafkah ;5.5. Tergugat sering menghujat dan menghina Penggugat ;---------------------------5.6. Tergugat jarang pulang sampai beberapa hari dan kalau pulang terus cekcok hanya karena masalah kecil menjadi besar ;----------------------------------------5.7. Tergugat pernah mengusir Penggugat dari rumah tinggal bersama orang tua Tergugat ;--------------------------------------------------------------------------------6. Bahwa, akibat dari perselisihan tersebut akhirnya sejak awal Februari 2008 sampai sekarang -+ 2 minggu Penggugat dengan Tergugat telah berpisah tempat tinggal, yang mana dalam pisah tersebut Peenggugat dan Tergugat masing-masing tinggal dialamat tersbut diatas ;------------------------------------------------------------7. Bahwa, Penggugat telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan/cara musyawarah, namun upaya tersebut tidak berhasil ;-------------------------------------
8. Bahwa, dengan sebab-sebab tersebut diatas, maka Penggugat mersa rumah tangganya tidak bisa dipertahankan lagi, dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam berumah tangga, oleh karena itu mohon kiranya kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk dapat memutuskan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat ;-------------------------------------------------------------------Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, maka Penggugat merasa mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, agar dapat memutuskan hal-hal sebagai berikut ;----------------------------------------------------------------------------------1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya ;------------------------------------------2. Menjatuhkan Thalak satu bain sughro Tergugat terhadap Penggugat ;--------------3. Menetapkan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan ;-----4. Atau menjatuhkan putusan perkara ini dengan seadil-adilnya ;------------------------
b. Tentang Hukumnya Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebgaimana tersebut diatas ;----------------------------------------------------------------------------------------Menimbang,
bahwa yang menjadi permasalahan Penggugat mengajukan
gugatannya adalah karena rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis lagi dan antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus, sebab Tergugat tidak kerja dan tidak memberi nafkah ;-----------------------------Menimbang, bahwa Majelis hakim telah berusaha menasehati dan mendamaikan Penggugat dan Terggugat sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974 jo pasal 82 ayat (1) dan (2) Undang-undang No.7 Tahun 1989 yang
diamandemen Undang-undang No.3 Tahun 2006 jo pasal 31 dan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 agar Penggugat dan Tergugat rukum lagi kembali membina rumah tangga akan tetapi tidak berhasil ;------------------------------------------------------------------Menimbang, bahwa berdasarkan sesuai dengan bukti P-2 (KTP Penggugat) bahwa Penggugat berdomisili diwilayah Jakarta selatan, maka perkara ini menjadi wewenang Pengadilan Agama Jakarta Selatan ;---------------------------------------------------------------Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Penggugat dan telah dibenarkan oleh Tergugat serta sebagimana ternyata dati Akta Kutipan Nikah dari KUA Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan, Nomor : 738/135/IX/1987 tanggal 8 Agustus 1987 (bukti P-1) harus dinyatakan terbukti bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah terikat dalam suatu pernikahan yang sah ;---------------------------------------------------------Menimbang, bahwa selama persidangan perkara ini berlangsung, Ketua majelis telah berusaha untuk memberikan nasehat-nasehat dan pandangan-pandangan kepada Penggugat agar bersabar dan rukun kembali dengan Tergugat akan tetapi tidak berhasil ;Menimbang, bahwa Penggugat didalam persidangan tetap teguh terhadap dalildalilnya dan tetap mau bercerai ;-------------------------------------------------------------------Menimbang, bahwa Tergugat yang hadir sendiri dalam persidangan menyatakan gugatan Penggugat tidak benar tidak justru Penggugat yang sering pergi meninggalkan Penggugat ;--------------------------------------------------------------------------------------------Menimbang, bahwa terhadap dalil-dalil Penggugat yang telah dibenarkan oleh Tergugat dianggap sebagai pengakuan Tergugat, sehingga oleh karenannya dalil-dalil Penggugat tersebut telah menjadi dalil yang tetap, dan sesuai dengan ketentuan pasal 174 HIR, pengakuan tersebut dipandang telah mempunyai kekuatan pembuktian ;---------------
Menimbang, bahwa terhadap bantahan-bantahan Tergugat tersebut Majelis hakim berpendapat bahwa bantahan-bantahan tersbut ternyata tidak mengurangi nilai terhadap dalil-dalil yang diakuinya karena Tergugat 4 kali berturut-turut siding terakhir tidak hadir tanpa ada keterangan, Tergugat sudah tidak mau menggunakan haknya lagi ;---------------Menimbang, bahwa keterangan para saksi tersbtu secara formil dapat diterima karena telah memenuhi unsur pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan secara materil dapat dipertimbangkan karena satu sama lain saling bersesuaian sebagaimana dimaksud oleh pasal 170 dan pasal 172 HIR ;----------------------------------------------------------------------Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Penggugat jawaban Tergugat buktibukti dan keterangan pada saksi yang saling bersesuaian tersebut Majelis hakim menemukan fakta-fakta didalam persidangan sebagai berikut ;---------------------------------
Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah ;------------------------
-
Bahwa Penggugat dan Tergugat sering bertengkar sejak tahun 1994 ;----------------
-
Bahwa Tergugat sering melakukan kekerasan kepada Penggugat ;--------------------
-
Bahwa Penggugat dan Tergugat pisah rumah selama 4 bulan ;-----------------------Menimbang, bahwa maksud dan tujuan perkawinan menurut ketentuan hukum
perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 3 Kompilasi Hukum Islam adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekeal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah, namun yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat adalah sebaliknya yaitu suatu rumah tangga penuh dengan perselisihan dan pertengkaran bahkan antara Penggugat dengan Tergugat telah berpisah rumah selama kurang lebih 4 bulan sehingga
kedua belah pihak sudah tidak dapat lagi menjalankan hak dan kewajibannya masingmasing ;----------------------------------Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, maka Majelis hakim berkesimpulan bahwa rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat sudah pecah belah dan sudah tidak harmonis lagi serta tidak sesuai dengan tujuan perkawinan sebagaimana tersebut
diatas,
maka
mempertahankan rumah tangga
Penggugat dan
Tergugat dikhawatirkan dapat menimbulkan hal-hal yang negatif bagi keduanya, sehingga Majelis hakim berpendapat bahwa alasan Penggugat telah sesuai dengan ketentuan pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 jo pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo passal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, maka gugatan Penggugat patut dikabulkan ;-----------------------------------------------------------------------Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta SEMA Nomor : 28/TUADA-AG/X/2002 tanggal 22 Oktober 2002 maka Majelis hakim memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada KUA Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan untuk mencatat perceraian tersebut ;------------------------------------------------------------------------------------------------Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka sesuai dengan ketentuan pasal 89 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diamandemenkan
dalam Undang-Undang No.3 Tahun 2006, biaya perkara ini dibebankan kepada Penggugat ;------------------------------------------
--------------------------- Mengingat,
pasal-pasal undangan
peraturan yang
perundangberlaku
dan
ketentuan lain yang berkaitan dengan perkara ini ;-----------------------------------------------