BAB IV ANALISIS YURIDIS PUTUSAN NO. 0689/Pdt.G/2013/PA.Kjn TENTANG CERAI GUGAT YANG DITOLAK HAKIM
Secara filosofis UU Perkawinan di Indonesia berlandaskan pada falsafah pancasila dan UUD 1945, maka disamping UU harus mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pancasila dan UUD 1945 juga harus dapat menampung kenyataan yang hidup dalam masyarakat. UU Perkawinan didalamnya terkandung unsur-unsur dan prinsip-prinsip/asas-asas yang berkaitan dengan segala sesuatu perkawinan sehingga harus sesuai dengan tuntutan zaman. Perjalanan sejarah pembentukan UU Perkawinan di Indonesia dimulai pada tanggal 16 Agustus 1973 mengajukan RUU Perkawinan untuk dijadikan dasar hukum dalam mengatur tata cara pernikahan seluruh penduduk Indonesia. Namun sebelum diajukannya UU tersebut, timbul reaksi keras dari kalangan umat Islam yang menilai bahwa RUU tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan ada anggapan yang lebih keras yang menyatakan bahwa RUU tersebut merupakan upaya untuk mengkristenkan Indonesia.1 Pada perjalanan selanjutnya, RUU Perkawinan berhasil disahkan menjadi UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan direalisasikan pada tahun 1975 dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Maka konsekuensi dari UU Perkawinan tersebut masyarakat Indonesia harus mematuhinya.
1
Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia, Respon Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), h. 190
Dalam teori dan praktek, hadirnya UU Perkawinan telah memberikan payung hukum bagi keluarga dan masyarakat. UU Perkawinan juga dirasa memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum bagi masyarakat. Namun demikian, seiring dengan perubahan waktu dan zaman persoalan yang dihadapi masyarakat semakin kompleks dan beragam. Hal ini berpengaruh pada aplikasi UU Perkawinan ditengah-tengah masyarakat sesuai pemahamnnya masing-masing. Bahwa dalam penerapan hukum masih dirasakan adanya kesimpang siuran yang disebabkan oleh perbedaan pendapat para ulama sebagaimana ditulis dalam kitabnya masing-masing, sehingga mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Oleh karena itu demi kepastian hukum diperlukan adanya buku yang menghimpun semua hukum terapan sebagai hukum positif yang berlaku bagi semua Peradilan Agama. Maka sambil menunggu adanya hukum positif tentang hukum Islam berdasarkan Undang-undang, telah ditempuh jalan yang panjang dan akhirnya berhasil menghimpun hukum terapan dalam satu buku Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Dalam kasus gugatan cerai di Pengadilan Agama Kajen yang terdaftar dengan No. 0689/Pdt.G/2013/PA.Kjn, Penggugat berkeinginan bercerai dari suaminya (Tergugat) dengan alasan bahwa Tergugat telah melanggar sighat taklik talak yang diucapkan setelah akad nikah. Tergugat pergi meninggalkan Penggugat dan telah membiarkan serta tidak memberi nafkah. Sementara berdasarkan bukti yang diajukan dalam persidangan, saksi menerangkan tidak mengetahui peristiwa
yang didalilkan oleh Penggugat. Dengan demikian Penggugat tidak berhasil membuktikan gugatannya. Suatu gugatan harus memuat gambaran yang jelas mengenai duduk persoalan yang dikemukakan dengan sebenar-benarnya. Dalam hukum acara perdata bagian ini disebut Posita atau Fundamentum Petendi. Suatu posita harus terdiri dari alasan-alasan berdasarkan keadaan dan alasan yang berdasar pada hukum.2 Alasan tersebut harus dibuktikan oleh pihak berperkara untuk dinilai kebenarannya oleh hakim. Dalam memeriksa perkara, hakim memiliki 3 tugas pokok yang harus dilakukan secara berturut-turut dan sistematis, yaitu: pertama mengonstatir perkara yaitu melihat benar tidaknya peristiwa dan fakta-fakta yang diajukan pihak-pihak yang berperkara, kedua mengualifisir peristiwa yang dikonstatir itu termasuk hubungan hukum apa untuk menemukan hukumnya atau mengadili menurut hukum,3 dan yang ketiga adalah mrengonstituir yaitu memberikan konstitusinya, hakim menetapkan dan menerapkan hukumnya untuk memberi keadilan.4 Hakim harus pasti akan kebenaran peristiwa yang di konstatirnya sehingga hasilnya bukan sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal dan gegabah. Hakim harus menggunakan saran atau alat untuk memastikan dirinya tentang kebenaran suatu peristiwa yang bersangkutan.5
2
Ny. Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: CV. Mandar Maju,2009), h. 17 3 Lihat pasal 4 dan 10 UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman 4 H.A Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata di Pengadilan Agama, Cet. 1, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), h. 135 5 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh Al Qadha, Cet. 2, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 54
Dalam perkara ini, hakim telah melakukan pemeriksaan dan memutuskan dalam persidangan terbuka untuk umum pada tanggal 30 Oktober 2013 oleh ketua majelis hakim Drs. Khaeruddin dan hakim anggota Hj. Nurjannah, S.Ag dan Hj. Awaliatun Nikmah, S.Ag, M.H. dengan amar putusan sebagai berikut: 1. Menolak gugatan Penggugat; 2. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 406.000,- (empat ratus enam ribu rupiah); Dalam pertimbangannya majelis hakim terlihat sederhana dan terkesan hanya
melihat
peraturan
perundang-undangan
semata.
Dengan
mempertimbangkan hal ini maka putusan hakim perlu dilihat lebih lanjut dalam perspektif legal hermeneutik. Untuk mengetahui apakah majelis hakim telah menggunakan hermeneutika hukum sebagai salah satu alternatif metode penemuan hukum, dimana bertujuan untuk menempatkan perdebatan kontemporer mengenai interpretasi dalam kerangka interpretasi yang lebih luas.6 Dalam perspektif filosofis Gadamer, hermeneutika hukum merupakan aliran filsafat yang mempelajari hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi terhadap teks dimana metode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks dan kontekstualisasinya. Teks tersebut bisa berupa teks hukum, dokumen resmi negara, naskah kuno atau ayat ahkam dalam kitab suci, ataupun berupa pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin) yang menjadi obyek yang ditafsirkan. Hermeneutika hukum penting dilakukan agar hakim tidak hanya 6
Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori dan Praktik, diterjemahkan oleh M. Khozim, (Bandung: Nusa Media, 2011), h. 1
berkutat pada paradigma positivisme dan metode logis formal saja, tetapi sebaliknya hermeneutika hukum menganjurkan agar hakim menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif pengguna dan pencari keadilan. Oleh karena itu sesuai dengan pendapat Gadamer, untuk mengetahui sudahkah majlis hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara No. 0689/Pdt.G/2013/PA.Kjn menggunakan hermeneutika hukum, maka perlu melihat dari 3 hal, yaitu: a. Teks Teks disini berupa peraturan mengenai perceraian dalam gugatan dan landasan putusan hakim yaitu: 1) Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974, karena berkaitan dengan putusnya perkawinan. 2) Pasal 116 (g), karena alasan gugatan cerai yang diajukan yaitu pelanggaran sighat taklik talak. 3) Pasal 163 HIR, mengenai pembuktian yang dijadikan sebagai landasan putusan hakim. Peradilan Agama sebagai lembaga yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,7 termasuk didalamnya masalah perceraian. Suatu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan keputusan Pengadilan.8 Putusnya perkawinan yang
7 8
Lihat pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 Lihat pasal 38 UU No.1 Tahun 1974
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.9 Apabila ditelaah dari segi hukum perkawinan, perceraian merupakan hal yang wajar saja terjadi dalam setiap perkawinan. Undang-undang pun membolehkannya dan mengatur nya secara rinci. Seperti alasan yang dibolehkan peceraian, bagaimana tatacara perceraian dan lain-lain. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri sudah tidak dapat hidup rukun lagi. Adapun alasan perceraian sudah diatur dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, salah satunya yaitu adanya pelanggaran sighat taklik talak (116 (g) KHI). Dalam
perkara
No.
0689/Pdt.G/2013/PA.Kjn
alasan
Penggugat
mengajukan gugat cerai bahwa Tergugat meninggalkan Penggugat dan tidak mempedulikannya sehingga terjadi pelanggaran sighat taklik talak. Namun hal tersebut menjadi fatal karena penggugat tidak berhasil membuktikan kebenaran dalil gugatannya dalam persidangan sehingga Penggugat dianggap melanggar aturan pembuktian yaitu pasal 163 HIR. Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/ peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku, guna mendapatkan kepastian bahwa peristiwa yang diajukan benar-benar terjadi sehingga mendapatkan putusan yang benar dan adil. Hakim membebankan kepada para pihak untuk menghadirkan bukti masing-masing, penggugat harus membuktikan dalil gugatannya dan tergugat
9
Lihat pasal 114 KHI
harus membuktikan dalil bantahannya. Para pihaklah yang aktif berusaha mencari, menghadirkan dan mengetengahkannya di muka sidang. 10 Dalam setiap perkara perceraian memang diharuskan ada pembuktian untuk menghindari alasan yang tidak berdasarkan hukum. Sebagaimana penjelasan pasal 33 PP No. 9 Tahun 1975 bahwa untuk mengabulkan setiap kehendak perceraian harus terdapat alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar percerian. Selain harus memuat alasan dan dasar hukum, suatu putusan juga harus memuat pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis untuk dijadikan dasarnya.11 Sehingga berdasarkan pertimbangan hukum atas peraturan yang dilanggar Penggugat, majelis hakim menjatuhkan putusan menolak gugatan cerai tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam putusan No. 0689/Pdt.G/2013/PA.Kjn. Menurut penulis, majelis hakim telah menjalankan maksud dari pasal 38 UU Perkawinan dengan sikapnya memeriksa dan menyelesaikan perkara ini. Sementara hakim dalam menilai keterangan saksi dalam persidangan yang berbanding terbalik dengan apa yang didalilkan Penggugat tentang pasal 116 (g), menggunakan metode penafsiran argument a contrario, artinya penafsiran Undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran. Maksudnya berlawanan dengan pengertian soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam Undangundang. Berdasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, tetapi berada
10
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh Al Qadha, Cet. 2, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 54-55 11 Lihat pasal 62 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
diluar peraturan perundang-undangan.12 Adanya fakta persidangan yang menerangkan bahwa Penggugatlah yang pergi meninggalkan Tergugat menunjukkan ketidaksesuaian antara alasan perceraian dengan peristiwa yang sebenarnya. Sementara dalam mencari landasan hukum, majelis hakim melakukan penemuan hukum dengan menerapkan peraturan Undang-undang yang telah ada. Sebagai indikator valid bagi hakim dalam menolak gugatan tersebut adalah ketidakberhasilan Penggugat membuktikan dalil gugatannya. Maka hakim menggunakan pasal 163 HIR tentang pembuktian sebagai pertimbangan dalam putusan. Menurut penulis, majelis hakim dalam pertimbangannya menggunakan penafsiran gramatikal, yaitu cara penafsiran undang-undang menurut arti perkataan
(istilah)
yang
terdapat
dalam
undang-undang
dengan
menghubungkan satu sama lain dalam kalimat kalimat yang di pakai dalam undang-undang. Penafsiran ini dilakukan pada pasal 163 HIR mengenai pembuktian yaitu barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.13
12
http://fhuk.unand.ac.id/in/kerjasama-hukum/menuartikeldosen-category/950-penemuanhukum-oleh-hakim-indonesia-article.html, diakses tanggal 13-9-2014 13 M.Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Stari’ah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 1995), h. 35
Dengan demikian karena Penggugat tidak berhasil membuktikan dalil gugatan dalam hal alasan perceraian maka secara hukum dia melanggar ketentuan pasal 163 HIR.
b. Konteks Dalam perspektif hermeneutika hukum peraturan Undang-undang tidak semata-mata dilihat dari aspek legal formal atau berdasarkan bunyi teks semata, tetapi juga melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi peristiwa yang terjadi sehingga melahirkan peraturan tertentu. Tidak dapat dipungkiri bahwa agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh penduduk Indonesia. Hal tersebut memberi implikasi pada relasi hukum Islam dan hukum positif di Indonesia. Adanya RUU tentang hukum materiil dalam bidang perkawinan sebagai upaya penciptaan kemaslahatan bagi bangsa Indonesia. Dalam sejarahnya UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 merupakan hasil akhir dari dialog panjang bangsa Indonesia yang dilakukan sejak tahun 1950. Dalam proses awal RUU perkawinan yang diajukan pemerintah kepada DPR untuk disahkan sebagai Undang-undang terjadi protes keras dari umat Islam karena dianggap bertentangan dengan hukum Islam. Namun pada akhirnya setelah diadakan perubahan atas usulan mereka dan telah sesuai dengan hukum
Islam, RUU tersebut disahkan menjadi UU Perkawinan. Sejak saat itu UU perkawinan diberlakukan bagi semua orang di Indonesia.14 Setiap perkawinan tidak pernah luput dari berbagai permasalahan dan perselisihan yang dapat menggoncang keutuhan rumah tangga. Perselisihan tersebut muncul karena adanya rasa ketidaknyamanan dengan pasangan. Salah satu sebab yang dapat memicu hal tersebut adalah tidak dipenuhinya kewajiban terhadap pasangannya. Misalnya kewajiban suami untuk memberi nafkah dan perlindungan terhadap istri, dan kewajiban istri untuk melayani dan menaati suami. Apabila mereka menyalahi aturan pernikahan maka permasalahan tidak dapat dihindarkan. Banyak dari pasangan suami istri yang mengalami keputusasaan dalam mempertahankan rumah tangganya dan menganggap sudah tidak ada manfaat jika mereka tetap hidup bersama. Akibatnya mereka mengambil jalan terakhir untuk memutus perkawinannya melalui perceraian. Sebagai lembaga kehakiman, Pengadilan bertugas dan berwenang menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan.15 Maka Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.16 Sebagaimana terjadi di Pengadilan Agama Kajen terdapat gugatan cerai yang masuk pada tanggal 20 Mei 2013 dengan alasan pelanggaran sighat taklik talak oleh suami. Pada hakikatnya UU perkawinan
14
Taufiqqurrohman Syahuri, Legalisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 207 15 Lihat pasal 49 (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang PA 16 Lihat pasal 56 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
mempersulit terjadinya perceraian, karena sebuah perceraian hanya dapat terjadi dengan alasan-alasan yang berlandaskan hukum. Alasan perceraian yang dibenarkan oleh Undang-undang berupa salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya, salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, salah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri, antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, suami melanggar taklik talak, peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.17 Terkait dengan kasus cerai gugat ini, pendapat majlis hakim dalam memutus
perkara
ini
menganggap
bahwa
Penggugat
tidak
berhasil
membuktikan dalil gugatannya. Sehingga istri dianggap telah merendahkan suami dan nilai pernikahan dengan meninggalkan suami tanpa ada sebab yang mendasari perbuatannya. Selain itu, adanya pemberian keterangan palsu dalam dalil gugatan sangat bertentangan dengan aturan berperkara di peradilan. Karena dalam hukum acara perdata Peradilan Agama dalam menangani
17
Lihat pasal 116 KHI
perkara perceraian (hukum keluarga) selalu dibebani pembuktian kepada Penggugat yaitu dengan meminta keterangan saksi (lex spesialist).18 Fakta yang terjadi
dalam
persidangan
mengungkapkan
bahwa
istri
yang
pergi
meninggalkan suami (nusyuz) bukan karena pelanggaran sighat taklik talak oleh suami. Oleh karena dalam konteks peradilan sangat menjunjung tinggi dan mematuhi Undang-undang atau peraturan hukum, maka apa yang dilakukan majelis hakim dalam memutuskan menolak gugatan tersebut telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya terjadi, dimana istri terbukti melanggar peraturan mengenai pembuktian.
c. Kontekstualisasi Kontekstualisasi (yang menjembatani antara teks dan konteks dalam putusan
hakim)
dalam
0689/Pdt.G/2013/PA.Kjn
kasus
ini
diwujudkan
dalam
putusan
No.
yang menolak gugatan cerai Penggugat adalah
berdasarkan hukum, karena sesuai dengan fakta-fakta dan bukti-bukti dalam persidangan. Suatu gugatan dapat ditolak karena beberapa hal, diantaranya gugatan tidak terbukti baik dalam hal bukti-bukti surat, saksi dan lain-lain, atau karena dalil penggugat dibantah oleh tergugat dan penggugat membenarkannya sehingga pengakuan penggugat menjadi alasan penolakan tersebut. Bukti saksi yang diajukan ternyata tidak mengetahui keadaan rumah tangga mereka dan
18
Wawancara dengan hakim PA (Drs. Khaeruddin) tanggal 20 Mei 2014
bertentangan dengan apa yang didalilkan Penggugat sehingga gugatan tersebut ditolak. Untuk itu melihat putusan No. 0689/Pdt.G/2013/PA.Kjn tentang cerai gugat yang ditolak hakim dalam kajian hermeneutika hukum dapat dilihat dari kajian hermeneutika yang memiliki 2 makna, yaitu: 1. Dari segi kandungannya, hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi atas teks-teks hukum, dimana interpretasi yang benar terhadap teks hukum itu harus selalu berhubungan dengan isi (kaidah hukum) baik tersirat maupun tersurat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum. Menurt Gadamer ada 3 syarat yang harus dipenuhi seorang penafsir, yaitu: memenuhi subsilitas intelegendi (ketetapan pemahaman), subsilitas explicandi (ketetapan penjabaran), subsilitas applicandi (ketetapan penerapan). 2. Dari segi signifikasinya, hermeneutika hukum juga mempunyai pengaruh besar dengan teori penemuan hukum. Hal ini ditunjukkan dalam kerangka lingkaran spiral hermeneutika, yaitu proses timbal balik antara kaidahkaidah dan fakta-fakta. Karena dalil hermeneutika menjelaskan bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam bingkai kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam bingkai fakta-fakta.19 Dengan demikian bila dikaji dengan pendapat Gadamer, maka bisa dikatakan bahwa majelis hakim telah melakukan:
19
A. Zainal Fanani, Hukum Sebagai Metode Penemuan Hukum: Telaah Filasfat Hukum, badilag, h. 6
a) Ketetapan pemahaman, yaitu hakim mencoba memahami peristiwa konkrit (adanya permasalahan dalam pernikahan yang mengakibatkan Penggugat pergi meninggalkan Tergugat dan kembali kerumah orang tuanya dan ingin bercerai). b) Ketetapan penjabaran, yaitu hakim telah berusaha menjabarkan unsur-unsur pelanggaran yang dilakukan (adanya rekayasa dalam memberikan alasan perceraian yang tidak dapat dibuktikan) sehingga melanggar ketentuan hukum acara dan diperkuat dengan adanya alat bukti saksi yang diajukan Penggugat. c) Ketetapan penerapan, yaitu hakim telah menolak gugatan cerai Penggugat berdasarkan Undang-undang HIR, maka dapat dikatakan bahwa majelis hakim telah mendialogkan antara peristiwa konkrit yaitu Penggugat pergi meninggalkan Tergugat (nusyuz), bukan Tergugat melanggar sighat taklik (116 (g) KHI) sebagaimana apa yang didalilkan dalam gugatannya. Maka Penggugat dinyatakan melanggar pasal 163 HIR karena tidak berhasil membuktikannya dalam persidangan. Jika putusan hakim dikaji menurut hermeneutika hukum maka majlis hakim telah melakukan 2 makna sekaligus, yaitu sebagai metode interpretasi hukum sekaligus sebagai cara bagaimana majelis hakim mengualifikasi faktafakta untuk mencari aturan hukum yang mengaturnya. Setiap perkara gugat cerai yang masuk di Pengadilan Agama, paling tidak sampai pada tahap pemeriksaan bukti-bukti untuk mengetahui kebenaran dalil penggugat. Dapat dilihat ketika proses pemeriksaan dan pembuktian dalam persidangan, majelis
hakim melakukan penafsiran argument a contrario pada pasal 116 (g) KHI dan interpretasi gramatikal pada pasal 163 HIR. Hali itu dilakukan dengan mengkualifikasi fakta-fakta yang terjadi dengan mendengarkan keterangan saksi kemudian dicarikan aturan hukum yang berkaitan. Dikatakan demikian karena majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau perbuatan itu, dalam hal ini Penggugat harus membuktikan dan meneguhkan dalil gugatannya dengan mengajukan 2 saksi. Ternyata keterangan para saksi tidak membenarkan bahwa Tergugat pergi meninggalkan Penggugat, sehingga tidak terbukti kalau Tergugat melanggar sighat taklik talak. Maka dapat disimpulkan bahwa alasan perceraian dalam dalil gugatan tidak sesuai dengan pasal 116 (g). Kemudian Penggugat juga dianggap mengabaikan semangat UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengabdi dan memperkuat hukum Islam dengan meletakkan lembaga perkawinan sebagai perikatan suci antara seorang laki-laki dengan wanita untuk membentuk rumah tangga yang kekal dan bahagia diridhoi Tuhan Yang Maha Esa.20 Hal tersebut terlihat dari sikap Penggugat
yang tidak
mau mempertahankan rumah tangganya
dan
memutuskan untuk mengakhirinya dengan perceraian. Didalam setiap perkara perceraian Penggugat dibebani pembuktian untuk menghindari adanya perceraian yang tidak beralasan hukum. Bukt-bukti yang diajukan terdiri dari
20
Lihat pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan
bukti bukti dengan surat, bukti dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, sumpah.21 Bukti tersebut harus mendukung dalil gugatannya, kalau Penggugat tidak berhasil membuktikannya maka melanggar pasal 163 HIR dan gugatannya ditolak. Dalam hal menimbang nilai bukti kesaksian hakim memperhatikan dengan benar-benar kecocokan satu saksi dengan yang lainnya dengan menmpersesuaikan kesaksian dengan keterangan yang diketahui tentang perkara yang diperselisihkan yang menyebabkan saksi dapat dipercayai atau tidak. Jika kesaksian tersebut berbeda-beda tentang beberapa kejadian yang saling berhubungan maka diserahkan kepada hakim dalam menilai kesaksian yang sedemikian kuat menurut keadaan22. Dengan demikian jika direfleksikan dengan teori metode penemuan hukum, majelis hakim telah melakukan penemuan hukum dengan menerapkan peraturan yang sudah ada. Sebagai penguat pertimbangannya majelis hakim menggunakan interpretasi gramatikal untuk menafsirkan kata-kata dalam Undang-undang sesuai dengan kaidah bahasa, kaidah hukum tata bahasa dari kata: “Barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.” (pasal 163 HIR)
21 22
Lihat pasal 164 HIR Lihat pasal 172 HIR
Jadi majelis hakim telah melakukan penemuan hukum secara mendalam dengan melakukan penafsiran hukum dengan metode interpretasi gramatikal yang menyatakan bahwa yang harus dibuktikan itu hanyalah perbuatanperbuatan dan kejadian-kejadian yang dipersengketakan oleh kedua belah pihak yang berperkara karena "membuktikan" itu berarti memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya kejadian-kejadian dan keadaan-keadaan itu. 23 Sedangkan dalam makna kedua, majelis hakim telah menghubungkan pasal 116 (g) KHI dengan peristiwa konkrit (konteksnya) yaitu Penggugat mendalilkan peristiwa yang berbeda dengan keterangan saksi sehingga tidak terbukti apa yang didalilkannya. Kemudian dilakukan Interpretasi dengan menghubungkan dan mencarikan peraturan lain yang terkait dengan pelanggaran tersebut yaitu pasal 163 HIR, sehingga lahirlah putusan No. 0689/Pdt.G/2013/PA.Kjn
yang
menolak
gugatan
dasarnya
proses
Penggugat
adalah
kontekstualisasinya. Menurut
Gadamer,
pada
teks,
konteks
dan
kotekstualisasi yang tercermin dalam putusan majelis hakim tersebut sudah memasuki ranah legal hermeneutika (penafsiran hukum). Selain itu dalam filsafat hukum, subyek (interpretator) dalam menginterpretasi sesuatu tidak dapat memulai upayanya dengan mendekati obyeknya sebagai tabularasa (bertolak dari titik nol). Dilihat dari pertimbangannya majelis hakim tidak berangkat dari titik nol, dalam arti majelis hakim mengetahui peraturan yang dilanggar Penggugat, karena adanya rekayasa perceraian dengan alasan
23
Penjelasan pasal 163 HIR
pelanggaran sighat taklik talak (pasal 116 (g) KHI). Kemudian majelis hakim menggunakan peraturan HIR pasal 163 tentang pembuktian sebagai pertimbangan hukumnya. Hal itu semakin menguatkan bahwa majelis hakim dalam memahami atau menginterpretasi tidak berangkat dari pemahaman yang nol. Dasar hukum dan pertimbangan yang digunakan hakim dalam putusan No. 0689/Pdt.G/2013/PA.Kjn tentang cerai gugat yang ditolak hakim telah sesuai dengan maksud dan ketentuan pasal 116 (g) KHI dimana perceraian dapat terjadi karena pelanggaran sighat taklik talak bukan istri yang nusyuz. Hal ini terbukti dari keterangan saksi dalam pembuktian sehingga Penggugat dinyatakan melanggar peraturan mengenai pembukutian pasal 163 HIR. Jadi dapat disimpulkan bahwa majelis hakim dalam memutuskan sudah melakukan hermeneutika hukum karena telah melakukan 3 tahapan yaitu telah mencoba menghubungkan antara teks (UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi hukum Islam dan HIR), konteks (fakta adanya rekayasa alasan perceraian
yang dikaitkan
dengan
pembuktian),
dan
kontekstualisasi
(menjembatani teks dan konteks dalam bentuk putusan hukum) sehingga gugatan Penggugat tidak dikabulkan. Dalam proses penemuan hukum, majelis hakim telah melakukan 2 tahap penting yaitu tahap sebelum pengambilan keputusan (ex ante) dan tahap sesudah pengambilan keputusan (ex post).24 Dalam perspektif teori penemuan hukum modern, yang terjadi sebelum pengambilan keputusan disebut 24
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum: Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 49
“heuristika”, yaitu proses mencari dan berfikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hakim. Pada tahap ini berbagai argumen pro-kontra terhadap suatu peristiwa tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain kemudian ditemukan kebenarannya. Sedangkan penemuan hukum yang terjadi sesudah putusan disebut “legitimasi”, yang selalu berkenaan dengan pembenaran dari putusan yang sudah diambil. Kebenaran tersebut diwujudkan dalam putusan No. 0689/Pdt.G/2013/PA.Kjn. Dalam perspektif hukum, ada 3 aliran pikiran yang berhubungan dengan tugas hakim dalam menyelesaikan perkara yaitu: 1) Aliran Legisme (legal positivism), yaitu aliran yang menganggap bahwa semua hukum terdapat dalam Undang-undang, atau hukum identik dengan Undang-undang dan hakim dalam melaksanakan tugasnya terikat pada Undang-undang sehingga tugasnya hanya melaksanakan Undangundang. 2) Aliran Freie Rechtbewegung, yaitu hakim didalam melaksanakan tugasnya bebas untuk melakukan menurut Undang-undang atau tidak, karena tugas hakim adalah melakukan penciptaan hukum. 3) Aliran Rechtsvinding (legal realism), dimana hukum terikat pada Undang-undang akan tetapi tidak seketat aliran legisme karena hakim juga memiliki kebebasan. Sehingga didalam melakukan tugasnya hakim mempunyai kebebasan yang terikat atau keterikatan yang bebas. Oleh
karena itu tugas hakim sebagai upaya penselarasan Undang-undang pada tuntutan zaman.25 Dari ketiga perspektif tersebut, maka dapat dilihat bahwa majelis hakim dalam memutuskan perkara No. 0689/Pdt.G/2013/PA.Kjn menggunakan aliran legalisme yang semakin memperkuat aliran yang dianut di Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dalam pertimbangan hukum yang digunakan. Penulis berpendapat bahwa majelis hakim dalam memutus perkara hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan normatif yaitu KHI dan HIR yang berkaitan dengan perkara tersebut tanpa menggali lebih jauh hukumnya. Sekalipun hakim mengutip ayat dalam kitab Al muhadzdzab, tetapi hanya bersifat memperkuat pertimbangan hukumnya. Sementara menurut tata urutan hierarki perundangundangan, UU Perkawinan berada diatas KHI sehingga alangkah lebih patut jika hakim mengacu pada UU Perkawinan dalam memutus perkara tersebut dan tidak mengabaikannya. Kalaupun dalam UU tidak mengatur secara rinci maka dapat melihat PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974. Menurut penulis, hakim dalam putusan akhir untuk menolak gugatan tersebut membuktikan bahwa sebuah perceraian tidak mudah dilakukan sebagaimana prinsip Undang-undang yang mempersulit terjadinya perceraian. Untuk mengakhiri suatu pernikahan dengan jalan bercerai di Pengadilan Agama diperlukan dasar-dasar yang kuat sesuai dengan fakta sebenarnya. Karena hakim dalam menangani suatu perkara tidak hanya menilai keyakinan
25
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 113-116
hati si Penggugat untuk bercerai, namun juga kebenaran dasar gugatan yang didalilkan. Selain itu sikap hakim dalam proses persidangan dinilai berlaku pasif. Alasannya hakim dalam memeriksa bukti
tidak mengambil inisiatif
untuk meminta Penggugat mengajukan atau menambah bukti lain. Mengingat bukti saksi yang diajukan bertentangan dengan dalil gugatan. Hakim hanya memeriksa dan memutus terbatas pada tuntutan
perkara yang diajukan
Penggugat dalam gugatan. Pertimbangan hakim hanya berdasarkan fakta dan bukti dalam persidangan yang nampak jelas dalam putusan yang singkat dan sederhana. Jika diperhatikan dengan seksama berdasarkan dalil gugatan yang ada tanpa mengesampingkan pembuktian, penulis berpendapat gugatan ini dapat dikabulkan. Alasannya dalam dalil gugatan tergugat terbukti membiarkan dan tidak memperdulikan serta tidak memberi nafkah penggugat selama 1 tahun lebih, sehingga dapat dijadikan pertimbangan lain bagi hakim untuk mengabulkan gugatannya. Oleh karena itu hakim perlu menggali lebih dalam fakta-fakta perkara ini secara lebih kompleks. Putusan akhir Pengadilan Agama tentu nantinya akan menjadi acuan dan mempengaruhi proses penegakan hukum dimasa yang akan datang. Putusan hukum memiliki posisi yang sangat strategis sebagai law as a tool of sociil control dan sekaligus law as social engineering. Dengan kedua fungsi ini maka putusan hakim dapat digunakan untuk menjaga ketertiban (order), menciptakan keadilan bagi masyarakat (justice), memberikan efek jera bagi pelaku dan
masyarakat (punishment), dan perubahan sosial dalam masyarakat untuk lebih menghargai sebuah perkawinan.