66
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG CERAI GUGAT DENGAN ALASAN IMPOTEN
A.
Prosedur Cerai Gugat Dengan Alasan Impoten Prosedur cerai gugat dengan alasan impoten diawali dengan adanya pengajuan gugatan oleh si penggugat kepada Pengadilan Agama. Setiap perceraian menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 harus dilakukan di depan Pengadilan Agama setempat. Oleh karena itu, semua masyarakat yang akan melakukan perceraian harus menjatuhkan talak atau mengajukan gugatan di depan pengadilan. Seperti yang telah dijelaskan di atas mengenai kewenangan absolut dan kewenangan relatif Peradilan Agama. Dalam hal ini berarti perkara Nomor. 1467/Pdt.G/2010/PA.BTG tentang cerai gugat telah sesuai dengan kewenangan absolut peradilan agama. Dalam perkara tersebut penggugat TUKIYEM binti WARMAD( Nama Samaran) dan tergugat bernama WARSONO bin KARSOTONO (Nama Samaran) sama-sama berdomisili di wilayah Batang, sehingga Pengadilan Agama Batang berwanang mengenai perkara ini. Pasal 55 Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama menyebutkan bahwa pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama dimulai sesudah diajukannya permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku.
67
Dalam perkara ini, Penggugat telah mengajukan gugatan cerainya kepada Pengadilan Agama Batang pada tanggal 08 November 2010 Gugatan berisi tentang: 1.
Identitas
para
pihak,
dimana
pihak
penggugat
bernama
TUKIYEM binti WARMAD (Nama Samaran) dan pihak tergugat bernama WARSONO bin KARSOTONO ( Nama Samaran) 2.
Posita, yaitu fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah pihak. Yang menjadi posita dalam perkara ini adalah bahwa penggugat adalah isteri sah dari tergugat yang perkawinannya telah dilangsungkan pada tanggal 11 Mei 2006. Dan penggugat telah menyerahkan dirinya sebagai isteri yang baik dan mengalami hidup bersama selama ± 2 Tahun. Ketentraman rumah tangga penggugat dan tergugat mulai goyah dan sulit untuk dibina lagi setelah hidup bersama ± 2 Tahun. Hal ini disebabkan tergugat impoten. Dan selama pisah, tergugat tidak pernah membeli nafkah kepada penggugat.
3.
Petita atau petitum, yaitu isi tuntutan. Dalam perkara ini ada dua petita yang diminta penggugat, yaitu petitum primer dan sekunder. Berisi memeriksa dan mengadili perkara ini dengan seadil-adilnya menurut ketentuan hukum yang berlaku. Setelah gugatan diterima di kepaniteraan Pengadilan Agama, Panitera memberi nomor perkara, dan membuat SKUM (Surat
68
Kuasa Untuk Membayar) sebagai bukti bahwa penggugat telah membayar biaya perkara. Kemudian panitera menetapkan Majelis Hakim dan Panitera pengganti serta menetapkan hari sidang. Setelah itu panitera membuat
Relaas
panggilan kepada para
pihak. Relaas panggilan harus disampaikan minim 3 hari sebelum hari sidang dan harus disampaikan oleh jurusita Pengadilan Agama. Kepatutan dan keresmian relaas harus benar-benar diperhatikan karena apabila terdapat kesalahan dalam relaas dapat mempengaruhi
putusan
hakim.
Begitu
pentingnya
relaas
panggilan sehingga hal pertama yang dilakukan hakim sebelum memulai pemeriksaan adalah memeriksa relaas panggilan, apakah sudah disampaikan secara resmi dan patut. Apabila terdapat kesalahan dalam relaas dan Majelis Hakim tidak memeriksanya sampai pembacaan putusan, maka yang dikalahkan dalam perkara tersebut dapat mengajukan upaya hukum banding dan Pengadilan Agama dapat dapat dipersalahkan karena hal itu. Pemeriksaan persidangan dilakukan 30 hari sejak gugatan didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Agama. Sesuai dengan pasal 80 ayat1 Undang-undang No.7 Tahun 1989 dan pasal 141 ayat 1 KHI. Pasal 80 ayat 1 berbunyi: Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat gugatan percerain didaftarkan di kepaniteraan.
69
Pasal 141 ayat 1 KHI berbunyi: Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian. Pemeriksaan perkara perceraiann dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum sesuai ketentuan pasal 80 ayat 2 Undang-undang No.7 Tahun 1989. Persidangan perkara Nomor 1467/Pdt.G/2010/PA.BTG dilakukan sidang sebanyak Tiga kali: Sidang pertama, pemeriksaan. Dimana pemeriksaan dilakukan sebelum 30 hari dan telah sesuai dengan Undang-undang. Dalam sidang tersebut penggugat dan tergugat datang menghadap sendiri dipersidangan. Kemudian ketua majelis mencocokkan identitas para pihak, selanjutnya ketua majelis menasehati penggugat dan tergugat agar rukun kembali membina rumah tangga tetapi tidak berhasil, masing-masing pihak tetap pada pendiriannya, penggugat ingin bercerai dan tergugat tidak keberatan. Selanjutnya para pihak dipersilahkan untuk mengikuti mediasi dengan didampingi seorang mediator. Dan berdasarkan mediasi yang dilaksanakan tidak tercapai kesepakatan dimana antara pihak penggugat dan tergugat tetap berkeinginan bercerai. Hal ini sesuai dengan pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor. 1 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap perkara yang masuk di Pengadilan harus dilakukan upaya perdamaian melalui mediasi.
70
Selanjutnya ketua majelis membacakan surat gugatan penggugat yang pada pokoknya menyatakan rumah tangga yang dibina dengan tergugat sudah tidak harmonis, telah berpisah selama 2 Tahun yang disebabkan tergugat tidak bisa memenuhi kebutuhan batin hal tersebut dikarenakan tergugat impoten. Tergugat memberikan jawabannya secara lisan yang pada pokoknya mengakui, membenarkan dan tidak membantah dalil-dalil serta alasan tergugat. Sidang berikutnya adalah sidang kedua, berupa pembuktian. Pembuktian tersebut berupa alat-alat bukti foto copy Kutipan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh KUA serta dua saksi-saksi. Saksi adalah orang yang melihat, mendengar, mengetahui sendiri suatu peristiwa. Sebelum saksi memberikan keterangan diwajibkan untuk bersumpah menurut tata cara agama islam bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya tidak lain dari pada yang sebenarnya. Selain itu Alat bukti yang diajukan penggugat adalah pengakuan diri dari penggugat yang dibenarkan oleh tergugat. Kemudian dilanjutkan sidang berikutnya yaitu putusan. Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum. Dan hakim juga sudah mengetahui duduk perkara yang sebenarnya kemudian dijatuhkan putusan. Dalam perkara cerai gugat dengan alasan impoten memang boleh sesuai dengan alasannya yang telah disebutkan menurut bukunya Muhammad jawad mughniyah yang berjudul Al-fiqh „ala madzahib Al-khomsah yang
71
dialih bahasakan oleh Rizki Fauzan yang judul bukunya Fikih lima madzhab bahwa seorang istri boleh minta cerai kepada suami karena lima hal yaitu gila, berpenyakit kusta, penyakit supak, tidak memiliki alat kelamin (terpotong) dan impoten/lemah syahwat1. Artinya apabila seorang lelaki itu lemah dalam hubungan seksual maka di perbolehkan bagi seorang wanita atau laki-laki tersebut untuk mengangkat permasalahannya ke hakim sehingga hakimlah yang memutuskan pisah di antara keduanya. Hal ini untuk menghindarkan wanita itu dari bahaya, karena tidak boleh saling membahayakan di dalam islam. Dalam keadaan tergugat yang memiliki aib atau cacat seksual (Impoten) tersebut, sehingga tergugat tidak dapat menggauli istrinya secara sempurna. Menurut mazhab hambali bahwa suami wajib menggauli istrinya paling tidak sekali dalam empat bulan. Jika batas ini dilanggar oleh suami, maka keduanya harus diceraikan2. Dalam setiap persidangan di Pengadilan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa tertentu, hakim wajib melakukan pemeriksaan terhadap alat bukti agar dapat mengadili secara hukum. Hal ini sesuai dengan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang mewajibkan hakim mengadili menurut hukum. 3
1
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-fiqh’ala madzahib Al-khomsah, Dialih bahasakan, Rizki fauzan, Fikih lima madzhab, (Jakarta: Lentera, 2000), cet, ke-5, h.351 2 Husain Muhammad, Fiqih Perempuan, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2001), h. 112113 3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2002), h. 124
72
Menurut sistem HIR dan RBg hakim terikat dengan alat-alat bukti sah yang diatur dengan Undang-undang, berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR, 284 RBg ada lima jenis alat bukti dalam perkara perdata, yaitu surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.4 Dengan demikian hakim hanya boleh menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah diatur oleh Undang-undang. Dengan demikian menurut pendapat saya, Prosedur Cerai Gugat Dengan Alasan Impoten di Pengadilan Agama Batang sudah sesuai dengan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Indonesia, meskipun dalam prosedur pemeriksaan di Persidangan tanpa adanya pembuktian surat pemeriksaan diri dari dokter sebagaimana pasal
75 Undang-undang
Pengadilan Agama yang menyatakan bahwa apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat memeriksakan diri kepada dokter. Dengan adanya pengakuan diri dari tergugat yang tertera dalam surat cerai gugat dan pengakuan tersebut dibenarkan oleh tergugat maka bukti pengakuan tersebut sudah mengikat seluruhnya5. Pengakuan terhadap suatu peristiwa yang didalilkan, dianggap telah terbukti adanya peristiwa yang didalilkan tersebut dan pengakuan di depan sidang merupakan pembuktian
4
Abdul kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 119 5 Sri Rohmani, Hakim Pengadilan Agama Batang, Wawancara, 16 Agustus 2011, Jam 14.00.
73
yang sempurna6. Dan dari setiap pemeriksaan perkara dalam persidangan perkara ini, hakim telah berusaha mendamaikan penggugat dan tergugat, tetapi tidak berhasil. Hal ini sesuai dengan pasal 82 ayat (4) yang menyatakan bahwa selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
B.
Dasar Pertimbangan Hukum yang dipergunakan Hakim dalam Memutus Perkara Cerai Gugat dengan Alasan Impoten Pertimbangan hakim yang pertama adalah adanya penggugat yang maksud dan tujuannya telah diuraikan dalam duduk perkara. Dan Majelis Hakim berusaha menasihati penggugat agar mau kembali hidup rukun dengan tergugat serta mengurungkan niatnya untuk bercerai sebagaimana maksud pasal 39 Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tetapi tidak berhasil. Dan juga telah dilakukan mediasi dengan didampingi oleh seorang mediator sebagaimana pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap perkara yang masuk di Pengadilan harus dilakukan upaya perdamaian melalui mediasi, tetapi tidak berhasil juga. Hakim menimbang bahwa berdasarkan bukti P1 yang merupakan akta otentik sehingga merupakan bukti yang sempurna dan dihubungkan dengan keterangan saksi penggugat, maka telah terbukti penggugat dan tergugat yang sah menikah pada tanggal 11 Mei 2006 dan belum dikaruniai anak.
6
Soebekti, Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1992), h. 183
74
Kemudian setelah usaha perdamaian tersebut tidak berhasil, hakim menimbang tentang alasan Cerai Gugat pada pokoknya sebagai berikut: - Bahwa didalam dalil-dalil gugatan pada pokoknya penggugat menyatakan Rumah Tangga yang dibina dengan tergugat sudah tidak harmonis, telah berpisah tempat selama dua tahun dan selama pisah tersebut sudah tidak saling komunikasi lagi diantara keduanya - Bahwa atas dalil-dalil Gugatan Penggugat tersebut tergugat telah memberikan jawabannya pada pokoknya mengakui dalil-dalil penggugat. - Bahwa berdasarkan keterangan kedua belah pihak yang dikuatkan dengan keterangan dua orang saksi tersebut diatas, maka penggugat telah dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya bahwa rumah tangga yang dibina antara penggugat dan tergugat sudah tidak harmonis lagi, telah berpisah tempat tinggal dua tahun lamanya, Tergugat pulang kerumah orang tua tergugat sendiri karena tergugat impoten.7 Dari saksi-saksi dan alat bukti yang ada dan dengan kondisi Rumah Tangga sebagaimana yang telah disebutkan dalam gugatan, majelis hakim berpendapat akibat suami impoten Karena tidak mampu lagi memberikan kepuasan seksual maka Rumah Tangga penggugat dan tergugat retak dan tidak ada keharmonisan lagi, meskipun keduanya masih saling mencintai.
7
Salinan Putusan No:1467/Pdt.G/2010/PA.BTG
75
Akan tetapi tidak saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak terhadap lainnya dikarenakan suami impoten. Sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974) dan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang tentram penuh dengan mawaddah dan Rohmah (Al-Qur‟an surat Arrum ayat 21) sulit tercapai dan tidak ada harapan untuk dapat hidup rukun kembali.8 Dalam memeriksa dan mengadili perkara cerai gugat dengan alasan impoten, Majelis Hakim Pengadilan Agama Batang sudah sesuai dengan aturan hukum yang ada, meskipun didalam proses pembuktian di persidangan penggugat dan tergugat hanya menghadirkan 2 orang saksi. Masing-masing antara penggugat dan tergugat 1 orang saksi yang menyatakan bahwa penggugat dan tergugat telah berpisah. Yang dikuatkan dengan alat bukti lain yaitu pengakuan diri dari tergugat sendiri yang menyatakan bahwa dirinya Impoten sehingga tidak mampu memberika kepuasan seksual karena alat kelaminnya lemah yang menyebabkan penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama serta pengakuan tergugat tersebut dibenarkan oleh penggugat.
8
Samsul Falah, Hakim PA Batang, wawancara, 15 oktober 2011, jam 11.00 WIB
76
Dengan pembuktian tersebut hakim telah mengkonstatiring fakta yaitu mengecek kebenaran fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak9. Fakta ialah keadaan atau peristiwa yang pernah terjadi atau perbuatan yang dilakukan dalam dimensi ruang dan waktu. Suatu fakta dapat dinyatakan terbukti apabila telah diketahui kapan, dimana dan bagaimana terjadinya berdasarkan alat-alat bukti
yang sah menurut cara-cara dalam hukum
pembuktian. Ini bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu fakta yang diajukan oleh pihak-pihak memang benar-benar terjadi. Putusan
Majelis
Hakim
Pengadilan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
Agama
Batang
dengan
sebagaimana tersebut diatas,
Majelis Hakim berkesimpulan bahwa sudah terdapat cukup alasan untuk memberikan izin kepada tergugat untuk menjatuhkan talak terhadap penggugat, maka gugatan penggugat pada petitum 2 dapat dikabulkan sesuai dengan pasal 19 huruf (e) PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (e) KHI. Disini Majelis Hakim telah mengkualifisir peristiwanya berarti menemukan hukumnya dengan jalan menerapkan hukum terhadap peristiwa suatu kegiatan yang umumnya bersifat logis10.
9
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2002), h.
110 10
h. 111
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2002),
77
Dalam perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Batang, alasan utamanya adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus disebabkan karena suami impoten yang menjadikan seorang laki-laki tidak mampu memenuhi maksud perkawinan baik maksud berketurunan ataupun untuk mengadakan hubungan seksual. Dengan keadaan Rumah Tangga penggugat dan tergugat yang demikian dimana sulit untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal sesuai tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam pasal 1 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa”. Sehingga yang dilakukan penggugat untuk mengajukan gugatannya kepada tergugat sudah tepat karena apabila Rumah Tangganya tetap dipertahankan akan lebih memberikan penderitaan yang lebih bagi penggugat. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح “Menolak kerusakan itu didahulukan dari pada menarik kebaikan”11
الضرر يزال 11
M. Adip Bisri, Al-faraidul Bahiyyah, (Kudus: Menara Kudus, 1977), h. 24
78
“Kemudharatan itu harys dihapus”12 Pengadilan Agama Batang dalam memutus perkara cerai gugat dengan alasan impoten sudah tepat sesuai dengan prosedur penyelesaian perkara perceraian. Berdasarkan alasan-alasan pokok Cerai Gugat yang diajukan oleh penggugat sebagai pertimbangan hakim dalam memutus dan disertai alat-alat bukti dan saksi yang telah memenuhi syarat yang menguatkan gugatannya. Majelis Hakim telah melihat bahwa antara penggugat dan tergugat tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali karena sudah tidak ada keharmonisan lagi didalam membina Rumah Tangga.
12
M. Adip Bisri, Al-faraidul Bahiyyah, (Kudus: Menara Kudus, 1977), h. 1