SKRIPSI
CERAI GUGAT DENGAN ALASAN IMPOTEN (Kasus di Pengadilan Agama Batang) Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh ULFA MUBASYIROH NIM. 231 107 060 JURUSAN SYARI’AH AHWALUS SYAHSYIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN 2011
15
BAB II Tinjauan Umum Tentang Alasan Perceraian
A.
Tinjauan Umum Tentang Perceraiaan 1. Pengertian perceraian Pengertian perceraian menurut bahasa arab طاللا- يطلك-طلك
bahasa adalah berasal dari kata
yang
artinya
“melepaskan”
atau
“meninggalkan”. Dalam istilah fiqih berarti pelepasan ikatan perkawinan, yakni perceraian antar suami-istri. Perceraian dalam fiqih islam dipakai istilah at-tholaq dan al-furqoh. Dengan demikian kata cerai sinonim dengan kata at-tholaq. Kata ‟thalaq‟ dalam bahasa arab berasal dari kata
طاللا- يطلك- طلكyang
artinya melepas, membuka ikatan atau mencerai. Sedang al-furqoh berasal dari kata فرق – يفرق – فرلا وفرلةyang artinya ialah menceraikan atau memutus.1 Dalam kitab fiqih ala madzahibul arba‟ah, al jaziri memberikan definisi sebagai berikut:
ازالة النكااونمصا ن حله بلفظ ممصىص:الطالق “thalaq ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatanya dengan mempergunakan kata-kata tertentu”. Sedangkan thalaq menurut syara‟ ialah melepas tali ikatan perkawinan atau berakhirnya hubungan suami –istri.2
1 2
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 8 (Bairut: Dar Al-fikr, 1883), h. 206. Al Jaziri, Fiqih Ala Madzhahibul Arba‟ah, Darul Fikri JUz IV, h. 278.
16
Tentang masalah perceraian ini, hukum Nasional telah banyak memberikan penjelasan, seirama dengan ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian, karena perceraian berarti gagalnya tujuan pernikahan. Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.3 Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974, menentukan bahwa perkawinan dapat putus karena: a.
Kematian
b.
Perceraian
c.
Atas keputusan pengadilan. 4
2. Macam-macam putusnya perkawinan 1. Talak Dalam islam, hukum talak diberikan pada suami, tetapi dalam penggunaanya harus dengan cara yang patut, tidak untuk dimainmainkan apalagi untuk tindakan sewenang-wenang.
Ini sesuai dengan hadits Nabi saw
ثالث جدهن جد وهسلهن جد:عن ابى هريرة ان رسىل هللا ملسو هيلع هللا ىلص لال النكاح والطالق والرجعة: 3 4
h. 94
R. Subekti, S. H., Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, Jakarta: Pradya Paramita Asro Sosroatmojo, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978),
17
“ Dari Abu Hurairah, bahwa Rosulullah saw bersabda: Tiga perkara kesungguhanya di pandang benar dan main-main nya di pandang benar pula, yaitu nikah, talak dan rujuk“ 5 Sifat-sifat Thalaq Talak ditinjau dari segi waktu di jatuhkanya talak itu, maka talak di bagi menjadi 3 macam6 yaitu : 1.
Talak sunni, yaitu talak yang di jatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi 4 syarat: 1) Istri yang di talak sudah pernah digauli. 2) Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah di talak. Yaitu dalam keadaan suci dari haid. Menurut ulama syafi’iyah, perhitungan iddah bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci, bukan tiga kali haid. 3) Talak itu di jatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci, baik permulaan, di pertengahan maupun di akhir suci, kendati beberapa saat lalu datang haid. 4) Suami tidak pernah menggauli isteri selama masa suci di mana talak itu di jatuhkan.
2.
Talak bid’I, yaitu talak yang di jatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntutan sunnah, tidak memenuhi syaratsyarat talak sunni.
5
Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, dialih bahasakan, Moh. Zuhri, dkk, Terjemah Sunan At-Tirmidzi, (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1992) Cet. 2 h. 530-531 6 Abdur Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 192.
18
Termasuk talak bid’I ialah: 1) Talak yang di jatuhkan terhadap istri pada waktu haid (menstruasi), baik di permulaan haid maupun di pertengahan 2) Talak yang di jatuhkan terhadap isteri dalam keadaan suci tetapi pernah di gauli oleh suaminya keadaan suci di maksud 3.
Talak La-sunni wala bid‟i, yaitu talak yang tidak termasuk kategori-kategori talak sunni dan tidak pula talak bid’I, yaitu : 1) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli. 2) Talak yang dijatuhkan terhadp istri yang belum pernah haid, atau istri yang telah lepas haid. 3) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi 2 macam, yaitu: 1. Talak Sharih, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi. Imam syafi’I mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk talak sharih ada 3, yaitu: Talak, Firoq, dan Sharah. 2. Talak Kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan dengan kata-kata sindiran, atau samar-samar, seperti suami berkata pada istrinya: 1. Engkau sekarang telah jatuh dariku. 2. Selesaikan sendiri segala urusanmu.
19
3. Janganlah engkau mendekati aku lagi.7 Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri, maka talak menjadi 2 macam, yaitu: 1.
Talak Raj’I, yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang telah dikumpulinya betul-betul, yang ia jatuh bukan sebagai ganti mahar yang dikembalikannya dan sebelumnya ia belum pernah menjatuhkan talak kepadanya sama sekali atau baru sekali saja.
2.
Talak Ba’in, yaitu talak yang ketiga kalinya, talak sebelum istri dikumpuli, dan talak dengan tebusan oleh istri kepada suaminya. Talak Ba’in ada 2 macam, yaitu: 1) Ba’in Sughra, yaitu talak yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kembali dengan bekas istri. Termasuk talak bain sughra adalah: a.
Talak sebelum berkumpul
b. Talak dengan penggantian harta ataub yang disebut khulu’. c.
Talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara,
talak
kareana
penganiayaan,
atau
semacamnya.
7
Abdur Rahman Ghozali, Fiqih munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 194.
yang
20
2) Ba’in Kubro, yaitu talak yang menghilangkan kepemilikan bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk menikah kembali dengan bekas istrinya. Kecuali apabila mantan istrinya telah benar-benar menikah lagi dengan laki-laki lain, kemudian diceraikan oleh suaminya yang baru itu, dan ia sendiri telah selesai menjalani masa iddahnya.8 Talak bain kubro terjadi pada talak yang ketiga. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqoroh ayat 230
“..kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui (QS- AlBaqorh: 230).9
8 9
945.
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1883), h. 60. Soenarjo, S..H, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1989), h.
21
Talak ditinjau dari segi suami menyampaikan talak terhadap istrinya, yaitu: 1.
Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan lisan.
2.
Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disamapaikan oleh suami secara tertulis lalu disampaikan kepada istrinya, kemudian istri membaca dan memahami isi dan maksudnya. Talak yang dinyatakan secara tertulis dapat dipandang jatuh, mesqi yang bersangkutan dapat mengucxapkannya.
3.
Talak dengan Isyarat, yaitu talak yang dilakukan dal;am bentuk isyarat oleh suami yang tuna wicara.
4.
Talak dengan utusan, yaitu talaka yang dsisampaikan suami kepada istrinya melalui perntara orang lain sebagai utusan untuk menyampaikan maksud suami itu kepada istrinya yang tidak berda dihadpan suamibahwa suami mentalak istrinya.10
2. Khulu’ Kata الخلعberasal dari kata الخلعmaknanya “menanggalkan, melepaskan” karena suami-istri adalah ibarat pakaian satu sama lainnya.11 Khulu‟ dinamakan juga tebusan karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan menggunakan apa yang pernah diterima atau mahar
10 11
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1883), h. 62. Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1883), h. 120.
22
kepada istrinya. Menurut ahli fiqih, khulu‟ adalah “istri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya.12 Khulu‟ menurut syara‟ ialah perceraian dengan adanya penukaran atau tebusan dari istri kepada suami, dengan lafadz thalaq atau khulu‟ atau tebusan.13 Hukum Islam memberi jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu‟ sebagaimana hukum islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya dengan jalan thalaq.
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.” (AlBaqarah : 229)14
12
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1883), h. 95. Aliy As’ad, Terjemahan Fathu Mu‟in Jilid 3, (Kudus: Menara Kudus), h. 121. 14 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Wicaksana, 1999), h. 94 13
23
3. Syiqaq Syiqaq berasal dari kata شمك – يشمك – شمالا, artinya memecahkan atau menceraikan.15 Sedangkan menurut istilah ahli fiqih, syiqaq
ialah
perselisihan antara suami-istri yang diselesaikan oleh kedua orang hakam, yakni seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari istri. Kedua pendamai tersebut diambil dari keluarga masing-masing, tugas kedua
pendamai tersebut ialah berusaha untuk mendamaikan kedua
suami-istri. Jika usahanya berhasil yaitu suami-istri mau damai, maka selesaikan perkaranya dan jika usaha kedua pendamai tidak berhasil, maka untuk kemaslahatan diserahkan pada hakam
yang akan
memutuskan perkara tersebut.
Berdasarkan firman Allah (QS. An-nisa :35)
15
Ahmad Zuhdi Mundhor, Atabila Ali, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak), h. 1141
24
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan pada keduanya, maka kirimlah hakam dari seorang keluarga laki-laki dan seorang hakam itu bermaksud dari pihak keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perdamaian, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.An-nisa: 35)16
4. Fasakh Fasakh menurut bahasa berasal dari kata فسخ – يفسخ – فسخا, yang artinya membatalkan.17 Sedangkan Fasakh menurut istilah ialah melepaskan ikatan perkawinan yang disebabkan karena cacat yang terjadi atau timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami-istri atau keduanya, sehingga mereka sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami-istri dalam mencapai tujuannya. Diantara alasan-alasan yang dapat diajukan dalam perkara faskh : a.
Cacat atau penyakit
b.
Suami tidak member nafkah
c.
Meninggalkan tempat kediaman bersama
d.
Menganiaya berat
e.
Salah seorang dari suami-istri melakukan zina
f.
Murtad.18
5. Zhihar
16
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Wicaksana, 1999), h. 178 Ahmad Zuhdi Mundhor, Atabila Ali, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak), h. 1392 18 Kamal Muhtar, Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 213 17
25
Zhihar dari kata zhahr, artinya punggung. Maksudnya: suami berkata kepada istrinya : Engkau dengan aku seperti punggung ibuku. Para ulama sepakat tentang haramnya zhihar. Dan tidak boleh melakukan perbuatan ini, karena Allah berfirman :
“ Orang-orang laki-laki di kalangan kamu sekalian yang menzhihar istriistrinya itu sebenarnya mereka (istri-istri) itu bukanlah ibu-ibunya. Sesungguhnya ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sudah berkata keji dan dusta. Dan sesungguhnya Allah itu Maha pemaaf lagi pengampun”. 19
Suami yang telah menzhihar istrinya yang sah bisa menimbulkan 2 (dua) macam akibat, yaitu : Pertama : Haram menyetubuhi istrinya sebelum ia bayar kafarat zhihar. Kedua : Wajib membayar kafarah, dan berhak kembali lagi. 20 6. Li’an Li’an berasal dari kata la’na, yang artinya kutuk. Perceraian berdasarkan gugatan dari suami dengan alasan atau tuduhan istri
19 20
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Wicaksana, 1999), h. 1.090 Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1883), h. 122
26
melakukan perzinahan, tanpa saksi maupun bukti yang cukup disebut perkara atau perceraian karena li’an. Proses pemeriksaan perkara dari suami-istri itu, dilakukan dengan kewajiban masing-masing mengucapkan sumpah sebanyak 5 (lima) kali. Pelaksanaan sumpah itu, dengan mendahulukan pihak yang menuduh mengucapkan sumpah “Dengan nama Allah menyatakan istri (nya) telah melakukan zina” di ucapkan sebanyak 5 (lima) kali. Dan pada sumpah kelima, ia (suami) mengucapkan sumpah “Apa bila tidak benar, apa yang saya tuduhkan akan menerima segala kutuk dan laknat dari Allah .“ Sebaliknya pihak istri wajib pula mengucapkan sumpah atas nama Allah sebanyak 4 (empat) kali sebagai bantahan terhadap tuduhan suaminya tersebut. Pada sumpah ke-5 (lima), ia menyatakan akan menerima segala kutuk Allah, bila ia benar melakukan zina yang dituduhkan suaminya. Proses perkara demikian disebut perkara li‟an. 21 Li‟an ada dua macam: Pertama : Suami menuduh istrinya berzina, tapi ia tidak mampunyai empat orang saksi laki-laki yang menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Kedua
: Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya. 22
7. Ila’
21
Anwar Sitompul, S. H., Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Pengadilan Agama, (Bandung: CV. Armico, ), h. 44 22 Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1883), h. 130
27
Ila’ ialah sumpah untuk tidak menggauli istri selama waktu tidak tertentu atau waktu lebih dari 4 (empat) bulan yang dikatakan oleh suami yang berkesanggupan menggauli. Seperti misalnya suami mengatakan “saya tidak mnggaulimu” atau “saya tidak menggaulimu selama 5 (lima) bulan”. Maka apabila telah berjalan masa 4 (empat) bulan dari ila’ tanpa terjadi pergaulan, maka istri bisa menuntut (lewat qodhi) kepada suami untuk tidak dilakukan penggaulan atau dijatuhkan thalaqnya, jika suami membangkang, maka sang qodhi menthalaqnya. Ila’ bisa jadi dengan bersumpah demi Allah SWT, dengan menta’liq thalaqnya atau memerdekakan budak atau menetapkan melakukan ibadah (jika penggaulan dilakukan, misalnya : jika saya menggaulimu maka saya wajib berpuasa 5 (lima hari). Apabila (dalam masa iddah) sang suami melakukan penggaulan bukan karena dipaksa, baik dengan adanya tuntutan dari istri atau tidak, maka wajib membayar kafarat sumpah jika Ila’ dilakukan dengan bersumpah demi Allah. 23 8. Cerai gugat Cerai gugat yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) dalam perkawinan 24
23
24
Aliy As’ad, Terjemahan Fathu Mu‟in Jilid 3, (Kudus: Menara Kudus), h. 171. Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-ahkam, (Jakarta : kencana, 2006), h. 226
28
Para ulama menyebutkan alasan yang apat membenarkan permintaan istri agar dipisahkan (di ceraikan) dari suaminya, antara lain : a)
Karena suami tidak mau atau tidak mampu memberikan nafkah yang wajar kepada istrinya
b) Karena suami pergi meninggalkan istinya selama masa cukup lama tanpa alasan yang dapat diterima atau tanpa diketahui alamatnya yang jelas c)
Karena perlakuan keras dan kasar suami terhadap istrinya, baik dengan memukul, menghina dan mencaci maki ataupun dengan berbagai gangguan lain, sedemikian sehingga tidak tertahankan lagi
d) Karena suami menderita beberapa jenis penyakit yang sangat mengganggu sehingga menimbulkan ketidak nyamana yang sangat dalam kehidupan bersuami-istri, misalnya, penyakitn lepra, blang dan sebagainya. Atau, kelainan fisik yang tidak dapat di sembuhkan atau memerlukan waktu sangat lama untuk di sembuhkan 25 3. Tata Cara Perceraian Dari ketentuan-ketentuan tentang perceraian di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1989, Undang-Undang No. 1 tahun 1974 serta Peraturan Pemerintah
25
Muhammad Bagir Al Habsyi, Fiqh Praktis Menurut Al-Qur‟an, As sunnah dan Pendapat Ulama, buku kedua, (Bandung: Mizan, 2002), h. 235
29
No. 9 tahun 1975, maka perceraian itu bisa berbentuk cerai talaq dan cerai gugat. Adapun tatacara dan prosedurnya dapat dibedakan menjadi : 1. Cerai Talaq Di dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama memuat bahwa : a.
Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna mengikrarkan ikrar talaq.
b.
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
c.
Dalam hal ini termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
d.
Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta pusat. Pasal 67 Undang-Undang Pengadilan Agama menyatakan bahwa
permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal tersebut memuat:
30
1.
Nama, umur dan tempat kediaman pemohon yaitu suami dan termohon yaitu isteri. Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talaq.26
2.
Sebagai langkah selanjutnya adalah pemeriksaan oleh pengadilan yaitu terdapat dalam Pasal 68 sebagai berikut : 1.
Pemeriksaan permohonan cerai talaq dilakukan oleh majlis hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talaq itu didaftarkan di kepaniteraan.
2.
Pemeriksaan permohonan cerai talaq dilakukan dalam siding tertutup. Dan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 15 tentang Peraturan
Pemerintah No. 7 tahun 1975 menyatakan bahwa pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud pasal 14 dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil pengirim surat dan juga isteri
untuk
meminta
penjelasan
tentang
segala
sesuatu
yang
berhubungan dengan maksud perceraian itu. Langkah selanjutnya yang telah diatur dalam pasal 70 UndangUndang Perkawinan dan sebagaimana telah dirinci dalam pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menyebutkan :
26
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agam, h. 27
31
1.
Pengadilan telah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin didamaikan dan telah cukup alasan perceraian maka pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
2.
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) istri dapat mengajukan banding.
3.
Setelah penetapan tersebut memperoleh ketentuan tetap pengadilan menentukan hari sidang menyaksikan ikrar talaq, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri siding tersebut.
4.
Dalam sidang itu, suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talaq yang dihadiri istri atau kuasanya.
5.
Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut tetapi tidak dating menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talaq tanpa hadirnya istri atau wakilnya.
6.
Jika suami dalam tenggang waktu 6 bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talaq tidak dating sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama. Selanjutnya diatur dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975 yaitu “ sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk
32
menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 16, ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian. Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 menyatakan bahwa perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. 27 2. Cerai Gugat Undang-Undang perkawinan menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan dan tentang bagaimana caranya akan diatur dalam peraturan perundang-undangan sendiri. Di dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Pasal 73 ayat
(1)
menyebutkan bahwa gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat kecuali apabila penggugat
dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. 28 Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, maka UndangUndang No. 7 tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam, gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya. Pengadilan tempat mengajukan gugatan perceraian dalam peraturan pemerintah diajukan di Pengadilan yang mewilayahi tempat tergugat, maka kalau Undang-
27 28
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 18
33
Undang No. 7 tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam di pengadilan yang mewilayahi tempat kediaman penggugat. Selanjutnya diatur mengenai alat-alat bukti yang menguatkan alasanalasan diajukan gugatan perceraian hanya Pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 menambahkan masalah tempat mengajukan gugatan kaitannya dengan alasan-alasannya. Pasal 21 UU No. 1/1974 1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b (pelanggaran takliq thalaq) diajukan kepada pengadilan tempat kediaman penggugat. 2) Gugatan tersebut dalam ayat 1 dapat diajukan setelah lampau 2 tahun terhitung sejak meninggalkan rumah 3) Gugatan perceraian dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama. Adapun yang menyagkut alasan-alasan dan dukungan serta buktinya, dijelaskan dalam Pasal 75, dan 76 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 dan Pasal 133, 134 dan 13 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 75 : Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami-istri, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri ke dokter.
34
Pasal 76 : (1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami-istri. (2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami-istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak atau orang lain untuk menjadi hakim. 29 Namun apabila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup ( Pasal 135 KHI, Pasal 33 Peraturan Pemerintah dan Pasal 80 ayat ( 2 ) UU PA. Adapun kapan persidangan dimulai sesuai penjelasan dalam Pasal 80 ayat (1) UUPA adalah : “ pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh majlis hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan”. Meskipun sidang pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan secara tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan
perceraian tersebut
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 81 ayat 1 UUPA Jo. KHI Pasal 146 ayat 1). Perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (UU PA Pasal 81 ayat 2 dan Pasal 146 ayat 2 KHI, Pasal 34 Peraturan Pemerintah).
29
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 18, h. 30
35
B. Tinjauan Umum Tentang Impoten sebagai Alasan Perceraian Alasan perceraian dapat terjadi bila terdapat salah satu dari alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam pasal 39 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975. Alasan-alasan tersebut adalah : 1.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disebutkan.
2.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya.
3.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
5.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit, akibatnya tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri
6.
Antara suami atau istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 30
30
Mulyadi, SH. MH., Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang : Fakultas Hukum UNDIP, h. 98)
36
Selain alasan-alasan tersebut di atas, Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menambahkan pula alasan perceraian dengan alasan lain yaitu : 1.
Suami melanggar ta‟lik thalaq
2.
Perubahan Agama atau murtad yang nenyebabkan terjadinya ketidak akuran dalam rumah tangga.
Dalam Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975. Untuk menentukan dapat atau tidak suami atau istri melaksanakan kewajiban digantungkan pada dua faktor. Pertama, digantungkan pada faktor keadaan “fisik” atau jasmani atau “mental” bukan pada faktor kepribadian atau perilaku. Jasmaninya “cacat”. Atau mentalnya “sakit”. Dari factor pertama ini lahirlah akibat yang langsung menjadi faktor kedua: “tidak dapat menjalankan kewajiban”. Dalam hal ini, cacat atau sakit jasmani atau rohani tersebut telah mengakibatkan suatu keadaan yang bersifat “impossibilitas”, yakni sifat “ketidakmungkinan”
melaksanakan
kewajiban
sebagaimana
mestinya
manusia normal. Jadi, yang menjadi sebab tidak melaksanakan kewajiban bukan karena lalai (negligent). Tidak pula karena menolak dengan sengaja (refuse). Bukan pula karena gagal (failure). Tetapi karena semata-mata oleh karena kondisi jasmani yang cacat atau sakit. Dia benar-benar mau melaksanakan kewajiban. Namun hal itu tidak dapat dilakukannya atau ia berada dalam keadaan impossibilitas disebabkan cacat atau sakit.31
31
M. Yahya Harahap, Kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama UndangUndang No. 7 Tahun 1989 (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), Cet. 2 h. 241
37
Wanita boleh dikembalikan (kepada orang tuanya) karena memiliki cacat seperti: gila, mempunyai penyakit lepra, penyakit kusta, atau tertutupnya lubang kewanitaaan oleh daging tumbuh atau tulang.“Apa bila ada seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang mempunyai penyakit gila, lepra, kusta, “(dalam riwayat lain : atau tertutup lubang kewanitaan), lalu dia melakukan hubungan badan dengannya, maka wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya secara utuh dan itu diambil dari walinya sebagai denda dari suaminya”.32 Seorang wanita diperkenankan juga untuk meminta pembatalan pernikahan apabila menemukan suaminya memiliki cacat seperti gila, penyakit lepra, kusta, terpotongnya alat kelamin ataupun impotensi (tidak sanggup melakukan hubungan badan karena alat kelaminya tidak bereaksi)33. Di kalangan mazhab-mazhab fiqh terdapat rincian-rincian dan jumlah cacat yang salah satunya adalah impotensi.34 1.
Pengertian Impotensi Impotensi adalah cacat seksual yang mengakibatkan seorang suami tidak mempunyai potensi untuk berhubungan seks. Banyak terminology dan istilah untuk impotensi antara lain: lemah syahwat atau mati pucuk
32
Al-Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Ashfani, Mathnil Ghayat wat Taqrib, dialih bahasakan , Rizki Fauzan, Fikih Sunnah Imam Syafi‟I, (Bandung: PADI, 2009), cet. 1, h. 206 33 Al-Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Ashfani, mathnil Ghayat wat taqrib, dialih bahasakan , Rizki fauzan, Fikih sunnah Imam Syafi‟I, (Bandung: PADI, 2009), cet. 1, h. 206 34 Muhammad Jawad Mughniyah , Al-fiqh „ala madhahib Al-khomsah, Dialih bahasakan, Rizki fauzan, Fikih lima madzhab, (Jakarta: Lentera, 2000), cet, ke-5, h. 351
38
dzakar
35
Impotensi adalah ketidak mampuan alat kelamin pria untuk
ereksi, sehingga yang bersangkutan tidak dapat melakukan kewajiban sebagaimana mestinya hubungan intim suami istri. 36 Impotensi, ejakulasi dini, ejakulasi ntertunda, dan libido rendah merupakan beberapa contoh gangguan seks pada pria. Masalah ini menjadi momok yang sangat menakutkan bagi kaum pria karena seorang pria yang mengalami gangguan seksual akan merasa dirinya sudah tidak “jantan” lagi. Terjangkit gangguan seksual menyebabkan kehidupan seksual dengan pasangan terganggu, apa lagi jika pasangan ingin segera mempunyai momongan. Namun, gangguan seksual berbeda dengan infertilitas (ketidak suburan). 37 2.
Jenis-jenis Impotensi Masalah impoten cukup bervariasi. Seorang suami mungkin mendapatkan ereksi selama cumbuan awal, tetapi zakarnya menjadi lemas sewaktu ia mengakhirinya atau pada saat usaha persanggamaan sebenarnya. Mungkin juga, suami mampu memasukan zakarnya ke dalam vagina istrinya tetapi, setelah beberapa kali gerakan keluar-masuk,
35
Nina Surtiretna, Bimbingan Seks Suami Istri, (Bandung: PT. Remaja roskarya, 2004), h.
125 36
Dadang Hawari, Al-Qur‟an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 361 37 Erigga Yogasmara dan Puji lestari, Buku pintar keluarga sehat, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 86
39
ia menjadi lemas, dan zakarnya segera tergelincir keluar dari vagina istrinya.38 Selain itu, seorang suami mungkin menderita impoten sebagian dan mungkin pula impoten penuh, impoten sementara atau impoten selamanya. Misalnya seorang suami hanya dapat ereksi sebagian yang tidak cukup kuat untuk melakukan penetrasi. Di samping itu, ada pula yang di namakan impoten tertentu (relative impotent), yaitu seorang lakilaki tidak sanggup bersanggama kecuali dengan wanita tertentu, tidak dengan wanita lain.39 3.
Sebab Terjadinya Impotensi Terjadinya impotensi atau disfungsi ereksi disebabkan oleh tersumbatnya darah dari dan menuju dzakar. Ini mirip dengan mekanisme beberapa penyakit lain, stroke, dan penyakit jantung koroner. Selain itu impotensi juga dapat terjadi akibat suami menderita penyakit TBC, malaria, dan kencing manis(diabetes melitus). Kencing manis pada dasarnya merupakan penyakit gangguan metabolism tubuh, yakni kegagalan mengurangi gula didalam darah. Ketidak sempurnaan metabolisme tubuh itu memberikan peluang terjadinya komplikasi. Seperti gangguan pembuluh darah (Vaskulopati), gangguan persyarafan (neuropati), dan gangguan pada sel otak (miopati).
38
Nina surtiretna, Bimbingan Seks Suami Istri , (Bandung : PT. Remaja Roskarya, 2004).
39
Nina surtiretna, Bimbingan seks suami istri , (Bandung : PT. Remaja Roskarya, 2004). h.
h. 127
128
40
Padahal, ketiga factor ini memegang peranan utama dalam proses terjadinya ereksi. Karena itu, tidak mengherankan jika impotensi itu sering terjadi pada mereka yang menderita kencing manis. Menurut N.Geiger J Reckless, impotensi yang diakibatkan oleh factor fisik dapat terjadi juga akibat kebanyakan obat antihipertensi, antidepresi, trankuizer (obat penenag), dan berbagai obat adiksi seperti: alcohol, herbitura, heroin dan amfetamin. Sesungguhnya kebanyakan masalah ereksi (baik ereksi sebagian maupun ereksi seluruhnya) terjadi karena factor psikologis. Para ahli kedokteran sependapat bahwa lebih dari 90% kasus lemah syahwat pada umumnya dan impotensi pada khususnya terjadi disebabkan oleh factor fungsi.40 Impotensi juga dapat diakibatkan oleh pendidikan dan pengertian seks yang negative, misalya: bahwa seks merupakan perbuatan yang kotor dan berdosa, dan sebagainya. Kadang-kadang impoten terjadi karena suami merasa rendah diri terhadap istrinya, terutama apabila suami mempunyai perasaan kurang dari segi jasmani. Boleh jadi kekurangan dari segi social berpengaruh pada diri suami, dan mengakibatkan terjadinya impotensi sehingga tidak dapat menjalankan hubungan kelamin dengan baik. Penyebab impotensi bisa bermacam-macam, 41yaitu:
40
Nina surtiretna, Bimbingan seks suami istri , (Bandung : PT. Remaja Roskarya, 2004). h.
129 41
Soelarto Reksoprodjo (editor) “Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Cetakan Pertama (Jakarta: Binarupa Aksara, 1995) h. 186
41
a.
Masalah psikis dan fisik Pria dengan usia lanjut akan lebih sering mengalami impotensi ketimbag pria yang masih muda. Sejumlah 75% pria usia 80 tahun sudah mengalami impotensi. Maslah psikis lebih banyak dijumpai pada kaum muda, bisa disebabkan oleh perasaan bersalah yang berlebihan, takut keintiman, depresi dan lain sebagainya
b.
Kerusakan syaraf Kerusakan syaraf dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu pemakaian obat-obatan (obat psiko, antidepresi, obat penenang, dan lain-lain), alcohol, stroke dan diabetes mellitus.
c.
Kelainan pembuluh darah Tegaknya penis harus ditunjang dengan aliran darah yang cukup. Oleh karena itu penyakit pada pembuluh darah akan mengakibatkan terjadinya disfungsi ereksi, misalnya: atherostlerosis
d.
Impotensi pada orang tertentu Impotensi bisa hanya terjadi jika si pria melakukan hubungan seks pada orang tertentu saja, missal pada istrinya, sementara dengan wanita idaman lain (WIL) pria tetap bisa ereksi (tidak impoten). Kasus ini bisa muncul karena perasaan dendam, marah, benci pada
42
pasangan, tetapi tidak berani mengungkapkan atau dengan istilah lain si pria ini sudah “ilfil”. 4.
Cara Penyembuhan Impotensi Masalah impotensi hanya bisa diketahui secara tepat oleh salah seorang dari suami (yang menderita) atau istrinya, tidak oleh orang lain. Jadi, yang paling mengetahui hal ini adalah istrinya atau suaminya. Dokterpun tidak akan mengetahuinya secara persis. Oleh karena itu, keluhan yang disampaikan merupakan keluhan yang sifatnya sangat pribadi yaitu keluhan antara suami-istri.
Menurut pasal 75 tata cara pemeriksaan perkara dalam menghadapi kasus
yang
seperti
itu?
Pasal
itu
mengatakan:
hakim
dapat
memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter.” Tujuannya apa? Menurut hemat kita, agar hakim mendapat gambaran fakta yang jelas tentang cacat atau penyakit yang diderita tergugat. Dari fakta keterangan yang diberikan dokter, hakim dapat menilai apakah cacat atau penyakit yang diderita tergugat bersifat “permanen” atau “temporer”. Di situlah letak tujuan pemeriksaan tergugat kepada dokter.42 Agar hakim dapat menilai dan menyimpulkan permanen atau temporer-kah cacat atau penyakit tersebut. Jika menurut keterangan dokter sifat cacat atau penyakit permanen, cukup alasan bagi hakim
42
h. 131
Nina surtiretna, Bimbingan Seks Suami Istri , (Bandung : PT. Remaja Roskarya, 2004).
43
untuk mengabulkan gugat. Kalau cacat atau penyakit bersifat temporer, dan sifat temporernya hanya untuk jangka waktu yang tidak lama, kurang tepat untuk mengabulkan gugat. Sebab apa yang dikehendaki Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975, bukan keadaan impossibilitas yang temporer. Ketidak mungkinan melaksanakan kewajiban yang dituntut pasal itu untuk menjadi dasar perceraian, cacat atau penyakit itu sudah membuat suami “untuk selamanya “ tidak dapat menjalankan kewajiban. Cara penerapan yang demikian yang dapat disebut mengandung nilai edukatif dan preventif dalam kehidupan masyarakat. Dengan cara penerapan yang tidak gampang mengabulkan gugat atas alasan cacat atau sakit, anggota masyarakat terdidik dan dihalangi untuk cepat-cepat minta cerai. Padahal kemungkinan keadaan cacat atau penyakit itu hanya bersifat “sementara” atau “temporal”.43 Lebih lanjut, agar apa yang dikehendaki Pasal 75 benar-benar memenuhi sasaran, dalam hal hakim masih ragu atau hasil pemeriksaan seorang dokter, hakim dapat memerintahkan pemeriksaan ulang kepada dokter lain yang lebih ahli sebagai second opinion atau croos examination. 44
43
M. Yahya Harahap, Kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), Cet. 2 h. 241 44
M. Yahya Harahap, Kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), Cet. 2 h. 242
44
Dengan adanya dua hasil pemeriksaan, hakim memiliki bahan perbandingan dalam mengambil keputusan. Tindakan hakim untuk memerintahkan pemeriksaan ditinjau dari ketentuan Pasal 75, boleh saja. Tindakan memerintahkan pemeriksaan tidak langsung atas permintaan tergugat atau penggugat. Karena kewenangan memerintahkan yang diberikan Pasal 75 kepada hakim adalah bersifat ex officio atau berdasar”jabatan”(ambtshalve). Sudah barang tentu kewenangan ex officio tersebut, tidak mengurangi hak penggugat atau tergugat untuk meminta dilakukan pemeriksaan. Apa bila ada permintaan, sebaiknya hakim mempertimbangkan dengan bijaksana. 45 Barang kali ada baiknya dikemukakan pandangan menyangkut permasalahan perkara perceraian atas alasan cacat atau sakit. Pandangan yang saya
maksud
agar hakim
benar-banar meletakkan suatu
pertimbangan yang moderasi. Sungguh-sungguh mempertimbangkan suatu keseimbangan yang yuridis dan manusiawi. Artinya, jangan melihat permasalahan perkara yang seperti ini semata-mata yuridis sentris. Tapi kaitkan secara terpadu dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kita ambil contoh. Suami dalam keadaan sakit yang gawat. Ditinjau dari keadaan penyakit yang diterima mungkin tidak bisa lagi bertahan lama. Apakah dalam kasus yang seperti itu, manusiawi mengabulkan gugat perceraian yang diajukan isteri? Dari segi yuridis
45
M. Yahya Harahap, Kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama UndangUndang No. 7 Tahun 1989 (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), Cet. 2 h. 243
45
mungkin. Akan tetapi dari segi yuridis yang diseimbangkan dengan rasa kemanusiaan, barangkali lebih tepat untuk menolak gugat. Hal lain yang perlu diperhatikan sehubungan alasan perceraian yang ditentukan pada pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975, penerapanya bukan dititikberatkan pada penilaian cacat atau penyakit yang diderita tergugat. Pokok pemeriksaan dan penilaian fakta adalah pada unsur “tidak dapat menjalankan kewajiban”. Banyak orang yang cacat, tapi tetap sanggup menunaikan kewajiban. Sebaliknya banyak orang yang tidak cacat, tapi tidak sanggup menunaikan kewajiban. Kalau begitu, jika cacat atau penyakit yang diderita tergugat tidak sampai mengakibatkan lumpuhnya secara total kemampuan menjalankan fungsi sebagai suami dan kepala keluarga, kondisi cacat atau penyakit yang seperti itu, tidak dapat dijadikan dasar alasan gugat perceraian. Tekanan prenerapan ketetuan pasal 19 huruf e bukan pada cacat dan penyakit. Tekanan penerapannya pada akibat yang ditimbulkan cacat atau penyakit yakni tidak dapat menjalankan kewajiban. Harus dapat dibuktikan penggugat fakta-fakta tentang tidak dapatnya tergugat melaksanakan kewajiban. Bukan fakta-fakta cacat atau penyakit yang harus dibuktikan. Hal ini ditekankan agar hakim tyidak begitu gampang mengabulkan perceraian atas alasan cacat atau sakit. Akan tetapi, tidak dianjurkan agar bersikap kaku. Barangkali secara kasuistik dapat diperpegangi pendapat yang dikemukakan Dr. Musthafa As Sibay yang dirangkumnya dari pendapat
46
Ibn Syaikah Az Zuhry, Syuraih, dan Abu Tsaur yang antara lain dapat disadur, kalau penyakit itu sudah parah sehingga telah menghancurkan sendi-sendi kesejahteraan dan kehidupan rumah tangga, dapat dibenarkan terjadinya perceraian, karena sesuai dengan ajaran Islam salah satu tujuan utama perkawinan itu sendiri adalah untuk membina dan mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin. 46
46
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 243 .