TINDAKAN POLRI DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN
SIKRIPSI
OLEH : ERINOFAN ZAI NPM : 29120006
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2013
TINDAKAN POLRI DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN
SIKRIPSI
OLEH : ERINOFAN ZAI
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2013
TINDAKAN POLRI DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN
NAMA
: ERINOFAN ZAI
NPM
: 29120006
JURUSAN
: ILMU HUKUM
FAKULTAS
: HUKUM
DI SETUJUI dan DI TERIMA OLEH : DOSEN PEMBIMBIMNG
Dr. H. TAUFIQURRAHMAN, S.H., M.Hum NIDN : 0709126301
Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Sikripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian Sikripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi Syarat-syarat mencapai gelar Sarjana HUKUM pada FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA.
Tim Penguji Skripsi :
1. Ketua
: Tri Wahyu Andayani, SH.CN.,MH
...........................
(Dekan Fakultas Hukum)
2. Sekretaris
: Dr. Taufiqurrahman, SH.,M.Hum
...........................
(Dosen Pembimbing)
3. Anggota
: 1. Tri Wahyu Andayani, SH.CN.,MH
...........................
Dosen Penguji I
2. Arief Syahrul Alam, SH.,M.Hum Dosen Penguji II
...........................
MOTTO
“TAKUT AKAN TUHAN ADALAH PERMULAAN PENGETAHUAN”
Kegagalan adalah awal dari kesuksesan
KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, yang selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dibidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Dalam penyusunan sikripsi ini penulis telah mendapat banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak yang telah menyumbangkan waktu, tenaga dan pikiran maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : 1. Bapak Budi Endarto, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya. 2. Bapak Dr. H. Taufiqurrahman, S.H., M.Hum selaku Wakil Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya dan selaku Dosen Pembimbing dalam penyusunan sikripsi ini. 3. Ibu Tri Wahyu Andayani, S.H., C.N., M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 4. Bapak Andi Usmina Wijaya, S.H., M.H selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya 5. Bapak dan Ibu Dosen yang telah menuangkan ilmu pengetahuannya selama penulis di bangku kuliah, serta staff di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan administrasi perkuliahan
6. Bapak (alm) dan Ibu tercinta, Kel. Paman, keluarga Abang serta saudarasaudaraku yang telah banyak memberikan dukungan, dorongan, semangat serta do’a sehingga penulis dapat menyelesaikan sikripsi ini. 7. Teman-teman di bangku kuliah yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, saya ucapkan terimakasih atas bantuan dan doronganya yang diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan sikripsi ini. 8. Dan saya juga tidak lupa kepada kekasihku yang dalam hal ini saya tidak menyebutkan namanya, saya ucapkan terimakasi atas bantuan, dorongan serta motifasi semangat kepada penulis, sehingga dapat menyelesaiakan sikripsi ini. Sebagai manusia biasa yang memiliki keterbatasan, penulis menyadari bahwa dalam sikripsi ini masih banyak kekurangannya sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Dan muda-mudahan sikripsi ini dapat membantu dan bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukanya.
Surabaya,
Juli 2013
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL LEBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR ........................................................................................... i DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1 B. Rumusan Masalah .......................................................................... 4 C. Penjelasan Judul ............................................................................. 5 D. Alasan Pemilihan Judul .................................................................. 5 E. Tujuan Penelitian ............................................................................ 6 F. Manfaat Penelitian ........................................................................... 6 G.Metode Penelitian ............................................................................ 7 H. Sistematika Pertanggung Jawaban ................................................ 10
BAB II
KEWAJIBAN POLRI SEBAGAI PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENCURIAN YANG DI SERTAI DENGAN KEKERASAN BERDASARKAN HUKUM POSTIF DI INDONESIA ................................................................................... 11
2.1
Pengertian Tindak Pidana Pencurian Yang Di Sertai Dengan Kekerasan ...................................................................... 11 2.1.1 Tujuan tentang tindak pidana ........................................... 11 2.1.2 Tindak pidana pencurian dengan kekerasan .................... 17
2.2
Kewajiban Polri Sebagai Penegak Hukum Berdasarkan Hukum Postif di Indonesia .................................... 24
BAB III
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP RESIDIVIS TERHADAP PELAKU PENCURIAN YANG DISERTAI DENGAN KEKERASAN DI INDONESIA ............................................................. 30 3.1
Pegertian Residivis (recidive) .................................................... 30
3.2
Faktor-Faktor
Penyebab
Timbulnya
Tindak
Pidana/Residivis .......................................................................... 31 3.3
Pengertian Residivis Dalam Sistim Hukum Pidana Di Indonesia ..................................................................................... 37
BAB IV
PENUTUP ............................................................................................. 46 A. Kesimpulan....................................................................................... 46 B. Saran ................................................................................................ 47
DAFTAR BACAAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara (rechtsstaat),
Indonesia tidak
adalah
berdasarkan
Negara atas
yang berdasarkan kekuasaan
belaka
atas
hukum
(machtsstaat).1
Pernyataan tersebut secara tegas tercantum dalam Penjelasan Umum UndangUndang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia Oleh karena itu, hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma. Hukum yang berupa norma dikenal dengan sebutan norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut. Unsur tindak pidana pencurian merupakan perbuatan pengambilan barang. Kata mengambil (wegnemen) merupaka dengan cara menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barangnya, dan mengalihkannya ke tempat lain. Akhir-akhir ini berbagai macam bentuk pencurian sudah demikian merebak dan meresahkan orang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan sebagian masyarakat sudah cenderung terbiasa dan seolah-olah memandang pencurian dengan kekerasan tersebut merupakan kejahatan yang dianggap sebagai kebutuhan.
1
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet ke-8, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm 346.
Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur Pasal 362 KUHP terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif sebagai berikut : a.
Unsur subjektif : met het oogmerk om het zich wederrechtelijk toe te eigenen.“Dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum”.
b.
Unsur objektif : 1. Hij atau barangsiapa. 2. wegnemen atau mengambil. 3. eenig goed atau sesuatu benda. 4. dat geheel of gedeeltelijk aan een ander toebehoort atau yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. Suatu tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP juga
merupakan
gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi
ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur memberatkan. Dengan demikian maka yang diatur dalam Pasal 365 KUHP sesungguhnya hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua kejahatan yang terdiri atas kejahatan pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang, dari kejahatan pencurian dengan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang.2 Maka sudah jelas bahwa pada hakekatnya, pencurian dengan kekerasan adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat,
bangsa
dan
negara.
Ditinjau
dari
kepentingan
nasional,
penyelenggaraan pencurian dengan kekerasan merupakan perilaku yang negatif dan merugikan terhadap moral masyarakat. 2
Simons, Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm 106.
Pencurian dengan kekerasan merupakan salah satu penyakit masyarakat yang menunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi ke generasi ternyata kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang merugikan dan menyiksa orang lain. Oleh karena itu perlu diupayakan agar masyarakat menjauhi melakukan pencurian dengan kekerasan terhadap orang lain. Pencurian dengan kekerasan dalam perspektif hukum merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan dan merugikan masyarakat. Perihal tentang yang disebut kekerasan itu Prof. Simons mengatakan : “Onder geweld zal ook hier mogen worden verstan, elke uitoefening van lichamelijke kracht van niet al te geringe betekenis”. Yang artinya : “Dapat dimasukkan dalam pengertian kekerasan yakni setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan”3. Pencurian dengan kekerasan memang suatu kejahatan yang membuat masyarakat menjadi resah. Orang yang melakukan tindak kejahatan tersebut memang dari unsur paksaan terhadap dirinya. Orang tersebut berani melakukan di karenakan ekonomi yang lemah dan selalu mengharapkan suatu kekayaan yang mengambil dari milik orang lain tanpa terbebani dengan cara bersekutu. Maka dari pihak instansi kepolisian harus lebih ekstra bekerja keras untuk memberantas tindak pidana pencurian yang disertai kekerasan dalam lingkup masyarakat. Secara universal, peran polisi dalam masyarakat dirumuskan sebagai penegak hukum (law enforcement officers), pemelihara ketertiban (order maintenance). Peran tersebut di dalamnya mengandung pula pengertian polisi sebagai pembasmi kejahatan (crime fighters). Namun di dalam negara yang sistem politiknya otoriter, makna peran polisi sebagai alat penegak hukum direduksi menjadi alat kekuasaan. 3
Ibid, hlm 107
Sebagai akibatnya, keberadaan polisi bukannya dekat dan melindungi masyarakat, melainkan sebaliknya berada jauh dari rakyat, dan justru berhadapan dengan rakyatnya. Sementara di negara demokratis, polisi harus transparan dan bukan membela kekuasaan. Oleh karenanya pengawasan terhadap lembaga yang memiliki alat kekerasan ini mesti dilakukan oleh rakyat, lewat badan independen yang menjamin transparansi dan akuntabilitas. Berkaitan dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dalam skripsi yang berjudul
“tindakan polri dalam
menanggulangi tindak pidana pencurian yang di sertai dengan kekerasan.” Dengan harapan tindak pidana Pencurian yang di sertai dengan kekerasan dapat mengalami penurunan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan penulis bahas dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kewajiban polri sebagai penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencurian yang di sertai dengan kekerasan berdasarkan hukum postif di Indonesia ? 2. Bagaimana
penegakan
hukum
terhadap
residivis
terhadap
pelaku
pencurian yang disertai dengan kekerasasan di Indonesia?
C. Penjelasan Judul tindakan polri dalam menanggulangi tindak pidana pencurian dengan kekerasan adalah merupan bentuk penyelesaian tindak pidana serta bentuk kejahatan yang timbul berdasarkan perbuatan yang tindak pidana pencurian yang di sertai dengan kekerasan.
Tindakan polri yang di maksut adalah berdasarkan ketentuan undangundang kepolisian yaitu UU No. 2 Tahun 2002. Tentang kepolisian negar Repoblik Indonesia, dengan jelas di uraikan di dalam undan-undang tersebut tentang ketentuan umum, susunan dan kedudukan kepolisian negara republik Indonesia, tugas dan wewenang dan seterusnya. Sehinga kepolisian di nobatkan sebagai penegak hokum. Tindak pidana pencurian yaitu tindak pidana yang diatur dalam Pasal 365 KUHP sesungguhnya hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua kejahatan yang terdiri atas kejahatan pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang. Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP juga merupakan
gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi
ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan. Menurut arrest Hoge Raad arti dari kata yang memberatkan adalah karena di dalam pencurian itu, orang telah memakai kekerasan atau ancaman kekerasan. D. Alasan Pemilihan Judul Penelitian ini untuk mengkaji suatu tindak pidana pencurian yang semakin merebah di masyarakat. Pencurian merupakan tindak pidana yang dapat merugikan orang lain. Salah satunya adalah tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Pencurian dengan kekerasan tersebut merupakan pencurian yang dilakukan dengan disertai kekerasan terhadap korbannya dan mengambil barang si korban. Biasanya pencurian ini dilakukan oleh dua orang atau lebih. Pencurian dengan kekerasan biasanya dilakukan dengan cara penodongan, perampasan, penjambretan, perampokan, dan pembajakan.
Latar belakang seseorang untuk melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan diantaranya adalah faktor ekonomi, terbatasnya lapangan pekerjaan,
ingin
kesenjangan
mendapatkan
sosial.
Maka
uang
sebaiknya
dengan semua
mudah,
lingkungan
dan
masyarakat harus
bisa
bekerjasama dengan kepolisian untuk memberantas tindak pidana pencurian di dalam lingkup masyarakat. Supaya tindak pidana tersebut dapat dicegah dan dapat berkurang. E. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana kewjiban polri sebagai penegakan hukum terhadap pelaku pencurian dengan kekerasan berdasarkan hukum postif di Indonesia. 2. Untuk mengetahui Bagaimana penegakan hukum terhadap residivis terhadap
pelaku
pencurian
yang
disertai
dengan
kekerasasan
di
indonesia? F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mempunyai 2 manfaat sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan Hukum sebagai sumbangan pikiran dalam rangka pembinaan hukum nasional. b. Manfaat Praktis : Penulis pada dasarnya dapat memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi pemerintah serta instansi-instansi hukum yang terkait,
dalam memberantas tindak pidana
pencurian dengan kekerasan
di
Indonesia. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif
yaitu
penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan norma dan kaidah dari peraturan perundangan. 2. Pendekatan Masalah Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif. Dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif, kegiatan untuk menjelaskan hukum tidak diperlukan dukungan data atau fakta-fakta sosial, sebab ilmu hukum normatif tidak mengenal data atau fakta sosial, yang dikenal hanya bahan hukum. Jadi untuk menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah langkah normatif. Pendekatan yang peneliti lakukan ini berdasarkan aturan-aturan dan teori-teori yang berkaitan dengan kasus tindak pidana pencurian dengan kekerasan, sesuai dengan KUHP. 3. Sumber Bahan Hukum Penelitian ilmu hukum normatif, sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial karena dalam penelitian ilmu hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif. Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari :
1. Sumber Bahan Hukum Primer Sumber Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan secara hierarki dan putusan-putusan pengadilan. Data primer diperoleh melalui bahan yang mendasari dan berkaitan dengan penulisan ini, yaitu : Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 2. Sumber Bahan Hukum Sekunder Adalah bahan hukum yang mejelaskan secara umum mengenai bahan hukum primer, hal ini bisa berupa: Bukubuku Ilmu Hukum, jurnal Ilmu Hukum, laporan penelitian ilmu hukum, internet dan bahan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas : Prodjodikoro Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Cet. 2, Refika Aditama, Bandung, 2003. Djamali R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 Lamintang, P.A.F, Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Cet. 2, Sinar Grafika, Djakarta, 2009. 3. Sumber Bahan Hukum Tersier Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelas terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, dan lain-lain dalam skripsi ini terdiri dari : Kamus hukum. Kamus bahasa Indonesia.
4. Metode Pengumpulan Data Adapun
petunjuk
yang
dipakai
Metode
atau
cara
untuk
mengumpulkan data berbeda dengan cara pengumpulan data pada disiplin ilmu lain, perbedaan ini muncul karena apa yang dimaksud dengan data dalam ilmu hukum berbeda dengan makna data pada penelitian ilmu lain. Data yang dimaksud dalam penelitian ilmu hukum Normatif adalah apa yang ditemukan sebagai isu atau permasalahan hukum dalam struktur dan materi hukum positif yang diperoleh dari kegiatan mempelajari bahanbahan hukum terkait. 5. Analisis Data Analisis hasil penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang terkumpul untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskripstif, yang diawali dengan mengelompokkan data dan informasi yang sama menurut sub aspek dan selanjutnya melakukan interprestasi untuk memberi makna terhadap tiap sub aspek dan hubungannya satu sama lain. Kemudian
setelah
itu
dilakukan
analisis
atau
interprestasi
keseluruhan aspek untuk memahami makna hubungan antara aspek yang satu dengan aspek yang lain dan dengan keseluruhan aspek yang menjadi pokok permasalahan penelitian yang dilakukan secara induktif sehingga memberikan gambaran hasil secara utuh.
H. Sistematika Pertanggung Jawaban Untuk memudahkan pemahaman
proposal
ini, maka kerangka dibagi
menjadi beberapa bab yang terdiri beberapa sub-sub : - Bab I pendahuluan. Bab ini memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh tentang pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi, meliputi latar belakang, rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini serta
sistematika pertanggung jawaban. Hal
tersebut dimaksudkan untuk memberikan pengertian kepada pembaca agar dapat mengetahui secara
garis besar pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam penulisan skripsi ini. - Bab II, kewajiban polri sebagai penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencurian yang di sertai dengan kekerasan berdasarkan hukum postif
di
indonesia Pada bab ini terdiri dari beberapo pokok pembehasan yaitu, Pengertian Tindak Pidana Pencurian Yang Di Sertai Dengan Kekerasan, mengenai tinjauan umum tentang tindak pidana. mengenai pengertian tindak pidana dengan kekerasan, ancaman atau sanksi dari tindak pidana pencurian dengan kekerasan serta dengan tugas dan wewenag kepolisian dalam menangani tindak pidana pencurian yang di sertai dengan kekerasan. - Bab III, penegakan hukum terhadap residivis terhadap pelaku pencurian yang disertai dengan kekerasan di indonesia. Dalam bab ini terdiri dari 3 sub bab yaitu,
pertama pengertian residevis. Kedua, Faktor-Faktor Penyebab
Timbulnya Tindak Pidana/Residivis dan yang ke tiga. Pengertian Residivis Dalam Sistim Hukum Pidana Di Indonesia. - Bab IV, penutup merupakan bagian terakhir dan sebagai penutup dalam penulisan skripsi ini yang berisi kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya dan juga berisikan saran-saran dari permasalahan tersebut. Dengan demikian bab penutup ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi ini sekaligus merupakan rangkuman jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini.
BAB II KEWAJIBAN POLRI SEBAGAI PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENCURIAN YANG DI SERTAI DENGAN KEKERASAN BERDASARKAN HUKUM POSTIF DI INDONESIA
2.1
Pengertian Kekerasan
Tindak
Pidana
Pencurian
Yang
Di
Sertai
Dengan
2.1.1 Tinjauan tentang tindak pidana. a. Pengertian Tindak Pidana R. Abdoel Djamali, S.H mengatakan, Peristiwa Pidana atau sering disebut Tindak Pidana (Delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran, baik yang disebutkan dalam KUHP maupun peraturan perundangundangan lainnya. 4 Menurut Prof. Moeljatno, S.H pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.5 Menurut Prof. Simons tindak pidana adalah perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum. Perbuatan yang mana dilakukan oleh
4 5
. Kamus Hukum, Citra Umbara, Bandung, 2008, hlm 493. . Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm 54.
seseorang yang dipertanggung jawabkan, dapat diisyaratkan kepada pelaku.6 Hari Saherodji mengatakan, bahwa Tindak Pidana merupakan suatu kejahatan yang dapat diartikan sebagai berikut : 1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu waktu tertentu. 2. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. 3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/perbuatan anti sosial yang sengaja, merugikan, serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana dapat dihukum oleh negara.7 b. Tujuan Hukum Pidana Adapun tujuan dari hukum pidana, ialah : 1. Untuk menakut-nakuti orang agar tidak melakukan kejahatan, baik menakut-nakuti orang banyak (generale preventie), maupun menakut-nakuti orang tertentu yang telah melakukan kejahatan, agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie). 2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik, sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi individu dan sekaligus masyarakat terhadap kejahatan dan pejabat, serta memberi sistem dalam bahan-bahan yang banyak dari 6
C.S.T. Kansil, Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, PT Sinar Grafika, Jakarta, 1994,
hlm 106. 7
Ibid, hlm 55
hukum pidana. Asas-asas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu sistem, (Susilo Prajogo, ”Pengantar Hukum Pidana”, Hal 115).8 c. Unsur-unsur Hukum Pidana 1. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah tindakannya. 2. Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).9 Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana. Menurut Abdoel Djamali, syaratsyarat yang harus dipenuhi ialah sebagai berikut: 1. Harus adanya suatu perbuatan. 2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum, 3. Harus
terbukti
adanya
kesalahan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. 4. Harus berlawanan dengan hukum. 5. Harus tersedia ancaman Hukumannya.10
8 9
. Susilo Prajogo, ”Pengantar Hukum Pidana”, Hal 115.
. R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm 175.
Azas-azas hukum pidana Hukum pidana mempunyai azas-azas, yang menunjukkan sifat-sifat tertentu, sifat-sifat mana tidak tedapat dalam macam-macam hukum lainnya, yakni: 1. Sesuatu perbuatan itu boleh dihukum, jika berdasarkan peraturan pidana, yang telah ada terlebih dahulu (Pasal 1 ayat 1 KUHP). 2. Penafsiran peraturan-peraturan pidana itu hanya berdasarkan arti kata-kata, yang terdapat dalam peraturan pidana itu saja. 3. Tidak ada hukuman jika tidak ada kesalahan. 4. Hukum pidana menjatuhkan sanksinya, yaitu hukuman jika dilanggar. 5. Yang dapat dihukum hanya orang biasa saja, sedangkan badan hukum dan binatang tidak, Selanjutnya masih ada 4 (empat) azas-azas hukum pidana, yang bertalian dengan berlakunya hukum pidana, yaitu: 1. Azas tritorialiteit : menurut azas ini, maka setiap orang baik orang indonesia, maupun orang asing yang telah melakukan kejahatan didalam wilayah hukum Negara Republik Indnesia, diadili oleh hakim Indonesia. Pada azas ini orang menitikberatkan kepada : dimana tindak pidana itu telah dilakukan. 2. Azas personaliteit aktif ( azas nasionaliteit) : menurut azas ini maka tiap-tiap orang Indonesia, baik ia ada di Indonesia, maupun ia diluar negeri, dikenakan hukum pidana Indonesia, dimana saja ia melakukan kejahatan. Dalam azas ini tekanan diletakkan kepada orang. 10
Ibid, hlm 176,
3. Azas nasionaliteit pasif (azas perlindungan) : menurut azas ini maka hukum pidana itu berlaku dimana saja dan terhadap siapa saja, jika kepentingan-kepentingan nasional tertentu dilanggar atau dinodai, misalnya mengenai keamanan negara dan kepala negara, segel, merk dan lain-lain. Hal-hal tersebut harus diperlindungi. 4. Azas universaliteit : menurut azas ini tiap-tiap negara dengan hukum pidananya berkewajiban untuk menjaga dan memelihara jangan sampai ketertiban diseluruh dunia itu dapat dilanggar.11 d. Azas-azas hukum acara pidana Untuk melaksanakan hukum acara pidana, ada beberapa azas-azas penting yang perlu diketahui. Adapun azas tersebut antara lain:12 1. Azas persamaan di muka hukum yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. 2. Azas praduga tak bersalah atau presumption of innocent yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. 3. Azas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur dan tidak memihak yaitu peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak 11 12
J.C.T. Simorangkir, Pelajaran Hukum Indonesia, cet. XI, Djakarta, 1962, hlm 224.
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet Ke-8, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm 347.
harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. 4. Azas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya yaitu setiap orang
yang
tersangkut
perkara
wajib
diberi
kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya. e. Pelaku tindak pidana Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa Pelaku Tindak Pidana adalah orang yang melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Menurut KUHP, macam pelaku yang dapat dipidana terdapat pada Pasal 55 dan 56 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut : a. Pasal 55 KUHP. 1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana : Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan
kekuasaan
atau
martabat,
dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. 2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja yang dianjurkan akibatnya.
sajalah
yang
diperhitungkan,
beserta
akibat-
b. Pasal 56 KUHP. 1. Dipidana sebagai pelaku kejahatan : Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
2.1.2 Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan a. Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana ini oleh Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai berikut: mengambil barang, seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan tujuan memilikinya secara melawan hukum. Unsur pertama dari tindak pidana pencurian adalah perbuatan mengambil barang. Kata mengambil (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barangnya, dan mengalihkannya ke tempat lain. 13 Perlu diketahui bahawa baik Undang-Undang maupun pembentuk Undang-Undang ternyata tidak pernah memberikan sesuatu penjelasan tentang dimaksud dengan perbuatan mengambil, sedangkan menurut pengertian sehari-hari kata mengambil itu sendiri mempunyai lebih dari satu arti, masing-masing yakni: 1. Menurut Mr.Blok: Wegnemen is ene gedraging waardoor men het goed brengt in zijn feitelijke heerschappij, onder zijn macht, in zijne detentie,
13
Wirjono Prodjodikoro,Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 15.
onafhankelijk van de bedoeling, die men ten opzichte van dat goed verder koestert. 14 Artinya: Mengambil itu ialah suatu perilaku yang membuat suatu benda berada dalam penguasaanya yang nyata, atau berada di bawah kekuasaanya
atau
di
dalam
detensinya,
terlepas
dari
maksudnya tentang apa yang ia inginkan dengan benda tersebut. 2. Menurut Prof. Noyon dan Prof. Langemaijer: Wegnemen (in de zin van art. 310) is altij een eigenmachtige inbenzitneming. Artinya: Mengambil (menurut pengertian Pasal 362 KUHP) selalu merupakan suatu tindakan sepihak untuk membuat suatu benda berada dalam penguasaanya.15 3. Menurut Prof. Simons: Wegnemen is het voorwerp tot zick nemen,
het
bregen
onder
zijne
uitsluitende
feitelijke
heerschappi m.a.w de dader moet het voorwerp op het ogenblik der handeling niet reeds onder zick hebben.16 Artinya: Mengambil ialah membawa suatu benda menjadi berada dalam penguasaanya atau membawa benda tersebut secara mutlak berada di bawah penguasaanya yang nyata, dengan kata lain, 14
P.A.F. Lamintang, Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Kekayaan, Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 13. 15 16
Ibid, halaman 14 Ibid, halaman 14
terhadap Harta
pada waktu pelaku melakukan perbuatannya, benda tersebut harus belum berada dalam penguasaanya. 4. Menurut Prof. Van Bemmelen
dan Prof. Van Hattum:
Wegnemen is iedere handeling, waardoor iemand of een vermogenbestanddel van een ander in zijn eigen herschappij brengt zonder mederwerking of toestemming van dia ander of de band, die op een of andere wijze nog tussen die ander en dat vermogenbestanddeel bestond, verbreekt.17 Artinya: Mengambil ialah setiap tindakan yang membuat sebagian harta kekayaan orang lain menjadi berada dalam penguasaannya tanpa bantuan atau tapa seizin orang lain tersebut, ataupun untuk memutuskan hubungan yang masih ada antara orang lain itu dengan bagian harta kekayaan yang dimaksud. Adapun unsur-unsur dari Pasal 362 tentang pencurian terdiri atas: 1. Unsur subyektif: met het oogmerk om het zick wederrechtelijk toe te eigenen atau dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum. 2. Unsur obyektif: a. Hij atau barangsiapa. b. Wegnemen atau mengambil. c. Eenig goed atau sesuatu benda.
17
Ibid, halaman 15
d. Dat geheel of gedeeltelijk aan een ander toebehoort atau yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. 18 Agar seseorang dapat dinyatakan terbukti telah melakukan tindak pidana pencurian, orang tersebut harus terbukti telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana pencurian yang terdapat di dalam rumusan Pasal 362 KUHP. Walaupun pembentukan undang-undang tidak menyatakan dengan tegas bahwa tindak pidana pencurian yang telah dimaksud dalam Pasal 362 KUHP harus dilakukan dengan sengaja, tetapi tidak dapat disangkal lagi kebenarannya bahwa tindak pidana pencurian tersebut harus dilakukan dengan sengaja, yakni karena undang-undang pidana kita yang berlaku tidak mengenal lembaga tindak pidana pencurian yang dilakukan dengan tidak sengaja atau culpoos diefstal. Kesengajaan atau opzet pelaku itu meliputi unsur-unsur : 1. Mengambil. 2. Sesuatu benda. 3. Yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. 4. Dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum.19 b. Macam-macam Tindak Pidana Pencurian 1. Tindak Pidana Pencurian dengan pemberatan. 2. Tindak Pidana Pencurian ringan. 3. Tindak Pidana Pencurian dengan kekerasan.
18 19
Ibid, halaman 2 Ibid, halaman 2
4. Tindak Pidana Pencurian dalam keluarga. c. Tindak pidana pencurian dengan kekerasan Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP sesungguhnya hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua kejahatan yang terdiri atas kejahatan pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang.20 Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP juga merupakan
gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan
kualifikasi ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan. Menurut arrest Hoge Raad arti dari kata yang memberatkan adalah karena di dalam pencurian itu, orang telah memakai kekerasan atau ancaman kekerasan. Dari perumusan Pasal 365 KUHP dapat menyebutkan unsurunsur tindak pidana pencurian dengan kekerasan dari ayat 1 sampai dengan ayat 4. Adapun unsur-unsur tindak pidana ini adalah sebagai berikut : Ayat (1) memuat unsur-unsur : 1. Pencurian dengan : 1.
Didahului.
2.
Disertai.
3.
Diikuti.
4.
Oleh kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap seseorang.
20
Ibid, halaman 56
2. Unsur-unsur subyektifnya : 3. Mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu atau, 4. Jika tertangkap tangan memberi kesempatan bagi diri sendiri atau peserta lain dalam kejahatan itu.21 Pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP, yang pada intinya memiliki unsur : a. Maksud untuk “mempersiapkan pencurian”, yaitu perbuatan kekerasan
atau
ancaman
kekerasan
yang
mendahului
pengambilan barang. Misalnya : mengikat penjaga rumah, memukul dan lain-lain. b. Maksud untuk “mempermudah pencurian”, yaitu pengambilan barang dipermudah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Misalnya : menodong agar diam, tidak bergerak, dangkan si pencuri lain mengambil barang-barang dalam rumah.22 d. Tindak Pidana Kekerasan Menurut Prof Simons arti dari kekerasan adalah dapat dimasukkan dalam pengertian kekerasan yakni setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan.23 Menurut H.A.K Moch Anwar yang merumuskan arti dari kekerasan adalah sebagai perbuatan yang menggunakan tenaga badan yang tidak dengan (kekuatan fisik).24
21
Ibid, halaman 52
22
M. Sudradjat Bassar, Tindak -tindak Pidana tertentu Di Dalam KUHP, Remaja Karva, Bandung, 1986, hlm 71. 23
24
Ibid, hlm 130 Ibid, halaman 135
Sedangkan menurut pendapat dari R.Soesilo dalam mengartikan kekerasan adalah menggunakan tenaga fisik atau jasmaniah tidak kecil secara tidak syah (R.Soesilo, 1984: 123)25 Menurut Lamintang P.A.F. dan C. Djisman Samosir Pasal 89 KUHP hanya mengatakan tentang melakukan kekerasan saja, bunyi dari pasal 89 KUHP adalah ”yang disamakan dengan melakukan kekerasan itu adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.26 Menurut Prof. Simons, kekerasan itu tidak perlu merupakan sarana atau cara untuk melakukan pencurian, melainkan cukup jika kekerasan tersebut terjadi sebelum, selama, dan sesudah pencurian itu dilakukan27 dengan maksud seperti yang dikatakan di dalam rumusan Pasal 365 ayat 1 KUHP, yakni : 1. Untuk mempersiapkan atau untuk memudahkan pencurian yang akan dilakukan. 2. Jika kejahatan yang mereka lakukan itu op heterdaad betrapt atau diketahui pada waktu sedang dilakukan, untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lain-lain peserta kejahatan dapat melarikan diri. 3. Untuk menjamin tetap mereka kuasai benda yang telah mereka curi.
25
Ibid, hlm 123
26
Ibid, hlm 123
27
Ibid, hlm 124
Menurut Mulyani W.K. kekerasan ada 4 macam yaitu: 1) Kekerasan legal. Merupakan kekerasan yang didukung oleh hukum. Misalnya: tentara yang melakukan tugas dalam peperangan. 2) Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi Suatu faktor penting dalam menganalisa kekerasan adalah tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadapnya. Misalnya: tindakan kekerasan seorang suami atas penzina akan memperoleh dukungan sosial. 3) Kekerasan rasional Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tidak ada sanksi sosialnya adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam kontek kejahatan. Misalnya: lalu lintas. 4) Kekerasan yang tidak berperasaan (irrational violence) Kekerasan yang terjadi karena tanpa adanya provokasi terlebih dahulu
tanpa
memperlihatkan
motivasi tertentu
dan
pada
umumnya korban dikenal oleh pelakunya.28
28
hal 59.
Drs. P.A.F. Lamintang, S.H., Delik-delik Khusus Kejahatan terhadap Harta Kekayaan,
2.2
Kewajiban Polri Sebagai Penegak hukum berdasarkan hukum postif di Indonesia Demi terjaminnya keamanan, ketertibaan dan tegaknya hukum, serta
terbinanya
ketentraman
mengembangkan
yang mengandung kemampuan membina
potensi
dan
kekuatan
masyarakat
dalam
serta
menangkal,
mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat, aparat kepolisian diharapkan bersandar pada pedoman yang telah diatur dalam Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya di atur dalam dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 nomor 2 Tahun 2002 TentangKepolisian Negara Republik Indonesia yang tercantum sebagai berikut : Tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Pasal 13 adalah sebagai berikut : Tugas pokok Kepolisian Negara RI adalah : a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b.
Menegakkan hukum dan ;
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 14 menjelaskan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1)
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan suatu kejahatan dengan bertugas : a.
Melaksanakan
pengaturan,
penjagaan,
pengawalan
dan
patrol
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintahan sesuai kebutuhan;
b.
Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c.
Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaraan hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d.
Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
e.
Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangundangan lainnya;
f.
Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
g.
Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi atau pihak yang berwenang;
h.
Memberikan
pelayanan
kepada
masyarakat
sesuai
dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; sertai. i.
Melaksanakan
tugas
lain
sesuai
dengan
peraturan
perundangundangan. Pasal 15 mengatur mengenai wewenang kepolisian sebagai berikut : 1)
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang melakukan tindakkan yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan, yaitu : a.
Menerima laporan dan pengaduan;
b.
Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
c.
Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakkan kepolisian dalam rangka pencegahan;
d.
Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
e.
Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
f.
Mencari keterangan dan barang bukti;
g.
Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
h.
Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu
Pasal 16 mengatur mengenai wewenang kepolisian dalam proses pidana yaitu: 1)
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a.
Melakukan
penangkapan,
penahanan,
penggeledahan
dan
pengintaian; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan ; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f.
Memanggil orang untuk didengarkan dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan; i.
Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j.
Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik PNS serta menerima hasil penyidikan PPNS untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. 2)
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut: a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e.
Menghormati Hak Asasi Manusia.
Pasal 17 mengatur mengenai wewenang kepolisian sebagai berikut: Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas dan wewenangnya di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia khusunya di daerah hukum pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 18 memuat tentang tugas dan wewenang kepolisian sebagai berikut:
1.
Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
2.
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan,serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 19 memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 3.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
4.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan.
BAB III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP RESIDIVIS TERHADAP PELAKU PENCURIAN YANG DISERTAI DENGAN KEKERASASAN DI INDONESIA 3.1 Pengertian Residivis (Recidive) Residivis atau pengulangan tindak pidana berasal dari Bahasa Perancis yaitu Re dan Cado. Re berarti lagi dan Cado berarti jatuh, sehingga secara umum dapat diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan kriminal yang sebelumnya biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana dan menjalani penghukumannya.29 Atau apabila “Seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri yang atas satu atau lebih perbuatan telah dijatuhi hukuman oleh hakim.30 Rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dianggap sebagai pengulangan tindak pidana atau residivisme, yaitu: 1.
Pelakunya adalah orang yang sama
2.
Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana oleh suatu keputusan hakim.
3.
Si bersalah harus pernah menjalani seluruhnya atau sebahagian hukuman penjara yang dijatuhkan terhadapnya atau dibebaskan sama sekali dari hukuman tersebut.
4.
Keputusan hakim tersebut tidak dapat diubah lagi atau sudah berkekuatan hokum tetap.
5.
Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.
29
Recidivism Among Juvenille Offenders: An Analysis of Timed to Reappearance in Court? Australian Institute of Criminology, 1999, hlm. 8 30 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian Dua: Balai Lektur Mahasiwa, hlm.233.
Budiono menyatakan bahwa residivisme adalah “kecenderungan individu atau sekelompok orang untuk mengulangi perbuatan tercela, walaupun ia sudah pernah dihukum karena melakukan perbuatan itu.” 31 Selanjutnya
Recidivism
juga
diartikan
sebagai
orang
yang
telah
menjalankan kejahatan kembali. Sedangkan recidivis adalah orang yang pernah melakukan suatu kejahatan yang sama.32
3.2 Faktor-faktor Penyebab Pidana/Recidivis a.
Timbulnya
Pengulangan
Tindak
Stigmatisasi masyarakat
Dalam lingkungan masyarakat perilaku orang yang tidak sesuai dengan norma atau tidak seharusnya dilakukan dikatakan sebagai prilaku yang menyimpang,
dampak
dari
penyimpangan
prilaku
tersebut
kemudian
memunculkan berbagai akibat yaitu positip dan negative. Akibat positip dari adanya hal tersebut selalu terjadi perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek sosial, sehingga dapat mengasah kreatifitas manusia untuk mengatasinya, sedangkan dampak negatif dari penyimpangan
prilaku
menjurus
kepada
pelanggaran
hukum
kemudian
menimbulkan ancaman ketenangan lingkungan sekitar atau mengganggu ketertiban masyarakat, yang mana kerap menimbulkan respon tertentu bagi masyarakat yang merasa terganggu atau terancam ketenangannya. Salah satu respon dari masyarakat yang merasa terancam ketenangan lingkungan dan ketertiban masyarakatnya kemudian memunculkan stigmatisasi terhadap
individu
yang melakukan prilaku
yang menyimpang
tersebut.
Stigmatisasi merupakan proses pemberian cap oleh masyarakat melalui 31
Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Agung, Surabaya, hlm. 416. Rudi Haryono dan Mahmud Mahyung, Kamus Lengkap Inggris – Indonesia, Lintas Media, Jakarta, hlm. 215. 32
tindakan-tindakan yang dilakukan dalam proses peradilan bahwa ia adalah seseorang yang jahat. Lebih jauh dan lebih dalam lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukum yang bersangkutan, lebih besar kemungkinan ia menghayati dirinya sebagai benar-benar pelanggar hukum yang jahat dan pada gilirannya yang lebih besar lagi penolakan masyarakat terhadap yang bersangkutan sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat dipercaya.33 Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa ketakutan masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikwatirkan akan mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan melanggar hukum. Dengan adanya kekhwatiran tersebut kemudian secara tidak langsung berdampak kepada sikap dan perbuatannya dalam berinteraksi dengan masyarakat yang mana secara bertahap lingkungan akan menjauhi dan menutup diri dengan mantan narapidana. Sedangkan, permasalahan bagi narapidana adalah kebanyakan mereka dan rata-rata setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan baik itu yang bebas murni atau pun yang masih dalam bimbingan Balai pemasyarakatan (BAPAS) tidak mempunyai atau tidak dibekali dengan keahlian khusus, mengingat selama berada di dalam LAPAS tidak ada bentuk pembinaan yang sekiranya dapat membantu mencari pekerjaan di luar LAPAS. Sedangkan dari hasil pembimbingan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan walaupun ada bimbingan kemandirian (keterampilan kerja) namun itu sifatnya hanya sebagai bekal dalam mencari pekerjaan, dan untuk 33
Didin Sudirman “ Masalah-masalah actual tentang pemasyarakatan”, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Gandul Cinere Depok, 2006 hal 52.
sampai menyalurkan ke tempat kerja dari pihak Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) sendiri belum bisa menyalurkannya, sehingga narapidana harus mencari pekerjaannya sendiri dan hal ini menjadi dilema bagi narapidana, di satu sisi keberadaan mantan
narapidana ditengah-tengah masyarakat masih
dianggap jahat. Di sisi lain narapidana atau mantan narapidana walaupun dibekali dengan keterampilan khusus namun tidak disertai dengan penyaluran ke bursa kerja ataupun pemberian modal sehingga narapidana ataupun mantan narapidana tidak dapat mengembangkan bakat dan keterampilannya, padahal satu-satunya peluang bagi narapidana atau mantan narapidana adalah berwiraswasta atau membuka usaha sendiri. Kemudian, dari dalam diri narapidana atau mantan narapidana muncul persepsi bahwa dirinya tidak lagi diterima di lingkungannya dan kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan serta satu-satunya jalan adalah dengan jalan mencari jalan pintas yaitu mengulangi perbuatannya melanggar hukum. Sebagaimana yang dikemukan oleh Edwin Lemert, dimana menurutnya tindakan penyimpangan dibagi menjadi dua yaitu :penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder, yang mana terjadinya penyimpangan sekunder sendiri dapat digambarkan sebagai berikut : a. Seseorang anak muda melakukan perbuatan menyimpang yang ringan (primary deviation) seperti melempari rumah tetangganya dengan batu. b. Kemudian terjadi suatu reaksi sosial yang informal, tetangga tersebut menjadi marah. c. Anak muda tersebut melakukan reaksi sosial(primary deviation) dengan melepaskan anjing tetanganya itu keluar halaman.
d. Terjadi peningkatan reaksi sosial primer, tetangga tersebut memarahi anak tersebut. e. Anak muda tadi kemudian melakukan perbuatan menyimpang yang lebih serius, ia melakukan pencurian toko(masih primary deviation). f. Terjadi suatu reaksi formal, anak muda tersebut diadili sebagai Juvenile Delinquency di pengadilan. g. Anak muda itu kemudian di beri label delinquency (nakal /jahat) oleh pengadilan dan bad (buruk/jelek) oleh tetangganya, teman- temannya dan oleh orang lain. h. Anak muda tadi mulai befikir tentang dirinya sendiri sebagai Delenquency dan bergabung dengan anak-anak muda tidak baik i. Anak muda itu melakukan penyimpangan lain yang lebih serius (Secondary deviation), seperti merampok toko bersama anggota geng lainnyaj. j. Anak muda itu kembali kepengadilan, mendapat lebih banyak lagi catatan kejahatan, semakin jauh dari masyarakat normal, dan menempuh jalan hidup yang sepenuhnya menyimpang.34 Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa prilaku menyimpang primer dapat terjadi pada setiap orang, akan tetapi manakala anak muda tersebut di tangkap dan ditahan, terjadilah pemberian cap/ label terhadap anak muda tersebut (terjadilah stigmatisasi terhadap yang bersangkutan), yang kemudian anak muda tersebut dikeluarkan dari interaksi dengan sistem nilai yang berlaku sebelumnya dimasyarakat, untuk selanjutnya di dorong dalam keadaan berinteraksi dan berasosiasi dengan orang-orang yang mendapat label/ cap yang sama.
34
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 101
Perilaku menyimpang sekunder adalah akibat yang timbul karena adanya stigmatisasi formal ini. Perilaku menyimpang sekunder ini dapat membawa akibat timbulnya perilaku-perilaku kriminal yang sekunder yang seringkali sulit diatasi seperti terjadinya pengulangan tindak pidana atau pelanggaran hukum.
b. Dampak dari Prisonisasi Dalam kaitannya dengan sistem pemasyarakatan, masalah prisonisasi bukanlah hal yang baru, dimana prisonisasi sendiri diartikan sebagai proses terjadinya pengaruh negatif (buruk) yang diakibatkan sistem nilai yang berlaku dalam budaya penjara. Pada saat dicetuskannya sistem pemasyarakatan oleh Sahardjo pada tahun 1963, salah satu asumsi yang dikemukakan adalah bahwa Negara tidak berhak memnbuat orang lebih buruk atau jahat pada saat sebelum dan dipenjara, asumsi ini secara langsung menunjukkan adanya pengakuan bahwa tindakan pemenjaraan secara potensial dapat menimbulkan dampak negatife, sebagaimana yang dinyatakan dalam Poin 53, Implementation The Standard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners (Implementasi SMR) yang berbunyi ;“ Tujuan-tujuan pembinaan dalam rangka pemasyarakatan cenderung berbelok kearah yang menyimpang, karena terpengaruh kekuatan-kekuatan yang merusak yang terdapat di dalam hubungan para penghuni.35 Sehingga dari sini dapat di jelaskan bahwa ajaran-ajaran sosiologis mengenai masyarakat lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) telah menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan dengan peraturan-peraturan keamanan maksimum
35
terdapat
suatu
pertumbuhan
kehidupan
yang
menghambat
Didin Sudirman “ Masalah-masalah Aktual Bidang Pemasyarakatan “ Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Gandul Cinere Depok, 2006
kemungkinan integrasinya narapidana kali dapat membuat tumbuhnya sifat-sifat kelainan pada narapidana, dengan lebih memperlihatkan ciri-ciri persamaannya dengan pola-pola penjahat serta ciri-ciri perbuatan jahatnya. Terjadinya penyimpangan sendiri didalam masyarakat penjara diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang merusak di dalam kehidupan para penghuni penjara, sebagaimana yang telah diketahui bahwa kehidupan seseorang selama berada didalam penjara tidak sebebas orang yang berada di luar tembok penjara. Tingkat kenaikan dan penurunan residivis selain merupakan indikator berhasil atau tidaknya suatu pembinaan terhadap narapidana tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berkembang dalam masyarakat seperti susahnya mencari pekerjaan, tidak adanya tempat untuk berteduh atau kesejahteraan di dalam Lapas yang lebih terjamin daripada apabila mereka berada di luar lapas.
3.3 Pengertian Residivis dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia KUHP tidak ada mengatur tentang pengertian dari pengulangan (recidive) secara umum. Namun ada beberapa pasal yang disebutkan dalam KUHP yang mengatur tentang akibat terjadinya sebuah tindakan pengulangan (recidive). Ada dua kelompok yang dikategorikan sebagai kejahatan pengulangan (recidive), yaitu: 1. Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal 486, Pasal 487 dan Pasal 488 KUHP.
2. Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386 sampai dengan Pasal 388, KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3) KUHP, Pasal 489 ayat (2), Pasal 495 ayat (2) dan Pasal 512 ayat (3).36 Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam pemberian atau menjatuhkan pidana dimuat dalam konsep Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUH Pidana) Nasional 2000. Di samping itu juga adanya perkembangan pemikiran mengenai teori pemidanaan mengakibatkan para sarjana berpikir untuk merumuskan tujuan pemidanaan yang ideal. Di samping itu dengan adanya kritik-kritik mengenai dasar pemidanaan yang menyangkut hubungan antara teori pidana, pelaksanaan pidana dan tujuan yang hendak dicapai serta hasil yang diperoleh dari penerapan pidana. Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu : 1.
Pengulangan tindak pidana menurut ilmu kriminologi, dibagi dalam penggolongan pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan, yaitu: a. Pelanggar hukum bukan residivis (mono deliquent/pelanggar satu kali/first offenders) yaitu yang melakukan hanya satu tindak pidana dan hanya sekali saja. b. Residivis yang dibagi lagi menjadi : Penjahat yang akut yaitu meliputi pelanggar hukum yang bukan residivis dan mereka yang berkali-kali telah dijatuhi pidana umum
36
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. hlm.. 81.
namun antara masing-masing putusan pidana jarak waktunya jauh, atau perbuatan pidananya begitu berbeda satu sama lain sehingga tidak dapat dilakukan ada hubungan kriminalitas atau dengan kata lain dalam jarak waktu tersebut (misalnya 5 tahun menurut Pasal 486, 487 dan 488 KUHP Indonesia atau 2 tahun menurut pasal 45 KUHP Indonesia) Penjahat kronis, adalah golongan pelanggar hukum yang telah mengalami penjatuhan pidana yang berlipat ganda dalam waktu singkat di antara masing-masing putusan pidana Penjahat berat,37 yaitu mereka yang paling sedikit telah dijatuhi pidana 2 kali dan menjalani pidana berbulan-bulan dan lagi mereka yang karena kelakuan anti sosial sudah merupakan kebiasaan atau sesuatu hal yang telah menetap bagi mereka. Penjahat sejak umur muda. Tipe ini memulai karirnya dalam kejahatan sejak ia kanak-kanak dan dimulai dengan melakukan kenakalan anak. Kritikan tersebut dapat berpengaruh besar terhadap proses pembuatan rancangan KUH Pidana Nasional yang telah rampung pada Tahun 2000 yang lalu dan telah disosialisasikan sejak bulan Desember Tahun 2000. “Konsep KUHPidana Nasional tersebut telah mengalami beberapa perubahan mulai dari konsep Tahun 1971/1972, konsep KUH Pidana 1982/1983, konsep KUH Pidana 1993 dan yang terakhir konsep KUH Pidana Nasional Tahun 2000.”38 Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindak pidana dibedakan atas 3 (tiga) jenis, yaitu:
37
Friedrich Stumpl dikutip oleh Stephen Hurwitz dalam bukunya Kriminologi Sansuran Ny. L. Moeljatno, hlm. 161. 38 Mulyana W. Kusumah, Loc. Cit.
1. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara lain: a. Pengertian yang lebih luas yaitu bila meliputi orang-orang yang melakukan
suatu
rangkaian
kejahatan
tanpa
diselingi
suatu
penjatuhan pidana/condemnation. b. Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan yang sejenis (homologus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu misalnya 5 (lima) tahun terhitung sejak terpidana menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan. 2. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain: a. Accidentale recidive yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang dilakukan merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya b. Habituele recidive, yaitu pengulangan tidak pidana yang dilakukan karena si pelaku memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat jahat sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya. 3. Selain kepada kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana dapat juga dibedakan atas: a. Recidive umum, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/tindak pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan
kejahatan/tindak pidana dalam bentuk apapun maka terhadapnya dapat dikenakan pemberatan hukuman.39 b. Recidive khusus yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/tindak pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/tindak pidana yang sama (sejenis) maka kepadanya dapat dikenakan pemberatan hukuman.40 Sejak Tahun 1972 hal mengenai tujuan pemidanaan telah menjadi pemikiran para perancang undang-undang. Hal ini terbukti dengan telah diaturnya tujuan pemidanaan dalam Pasal 2 konsep Tahun 1971/1972, selengkapnya Pasal 2 konsep Undang–undang Hukum Pidana Tahun 1971-1972 menentukan: 1. Maksud tujuan pemidanaan: a. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk; b. Untuk membimbing terpidana agar insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna; c. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana 2. Pemidanaan
tidak
dimaksudkan
untuk
menderitakan
dan
tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia. Kemudian tujuan pemidanaan tersebut mengalami perubahan pada konsep KUH Pidana Tahun 1982/1983, Buku I menyatakan bahwa tujuan pemberian pidana adalah:
200.
39
Utrecht E, Hukum Pidana II Rangkaian Sari Kuliah, Pustaka Surabaya Tinta Mas, hlm.
40
Ibid. halm 2000
1. Pemidanaan bertujuan untuk: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hokum dari pengayom masyarakat; b. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat; c. Menyelesaikan
konflik
yang
disebabkan
oleh
tindak
pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. Membebaskan rasa bersalah para terpidana. 2.
Pemidanaan
tidak
dimaksudkan
untuk
menderitakan
dan
tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dalam konsep rancangan KUH Pidana Nasional Tahun 1991/1992 tujuan pidana ditentukan sebagai berikut: a.
Pemidanaan bertujuan untuk: 1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dari pengayom masyarakat; 2. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bernasyarakat; 3. Menyelesaikan
konflik
yang
disebabkan
oleh
tindak
pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; 4. Membebaskan rasa bersalah para terpidana.
b. Pemidanaan
tidak
dimaksudkan
untuk
menderitakan
dan
tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dalam konsep KUH Pidana Nasional Tahun 2000 mengenai tujuan pemidanaan secara tegas diatur dalam Pasal 50, yaitu: 1. Pemidanaan bertujuan untuk: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayom masyarakat; b. Memasyarakatkan
terpidana
dengan
mengadakan
pembinaan
sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan
konflik
yang
disebabkan
oleh
tindak
pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. Membebaskan rasa bersalah para terpidana. 2. Pemidanaan
tidak
dimaksudkan
untuk
menderitakan
dan
tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia. Pengulangan (recidive) juga diatur secara umum dalam Buku I (sebagai alas an pemberatan pidana yang umum). Jadi berbeda dengan KUHP saat ini, yang mengaturnya sebagai alasan pemberatan pidana yang khusus untuk delikdelik tertentu (diatur dalam Buku II dan III). Dikatakan ada “pengulangan” menurut Konsep (Pasal 23), apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima) tahun sejak : 1. Menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan; 2. Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau 3. Kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kedaluwarsa.
Pemberatan pidananya diatur dalam Pasal 132 KUHP, yaitu maksimumnya diperberat sepertiga. Salah satu unsur yang menentukan terjadinya kejahatan residive adalah berdasarkan waktu terjadinya tindak pidana. Batasan yang dipergunakan, asal surat dakwaan menguraikan suatu tempus delikti yang didasarkan pada perkiraan yang bersifat fleksibel, yang mengacu pada patokan: 1. sedapat mungkin uraian tempus delikti memuat penegasan waktu yang pasti yang berisi penjelasan jam, tanggal (hari), bulan dan tahun secara positip dan mutlak, 2. bila uraian yang seperti itu tidak dapat dipenuhi, terbuka kebolehan untuk menuturkan uraian tempus delikti yang bersifat perkiraan yang bercorak dugaan di sekitar bulan dan tahun tertentu tanpa dilengkapi penjelasan jam dan hari tertentu. Dimungkinkan membuat uraian tempus delikti yang bersifat luas dalam bentuk alternatip dengan mempergunakan perkataan atau kira-kira maupun atau di sekitar tanggal, bulan dan tahun sekian. Asal tetap terpenuhi persyaratan, uraiannya tetap cermat, jelas dan lengkap. Dasar pemberat pidana di atas adalah terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri). Adapun rasio pemberatan pidana pada kejahatan recidive ini terletak pada 3 (tiga) faktor, yaitu: a. Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana. b. Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena tindak pidana yang pertama. c. Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan.41
41
Ibid , hlm. 82.
Apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima) tahun sejak : a. Menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan; b. Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau c. Kewajiban
menjalani
pidana
pokok
yang
dijatuhkan
belum
kedaluwarsa.42 Namun ketentuan tentang pemberatan pidana ini tidak berlaku untuk anakanak. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat Pasal 45, 46 dan Pasal 47 yang mengatur penerapan hukum pidana terhadap anak-anak. Pasal-pasal tersebut antara lain mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut : Pertama, dalam menuntut orang yang belum cukup umur karena melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan: 1. Memerintahkan supaya
yang
bersalah
dikembalikan
kepada
orangtua atau walinya, tanpa pidana; 2. memerintahkan yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah tanpa pidana; atau 3. menjatuhkan pidana. Kedua, jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah, atau badan hukum tertentu untuk dididik, hal tersebut dilakukan paling lama sampai umur 18 tahun. Ketiga, jika dijatuhi hukuman pidana, maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga; sementara terhadap yang bersalah tidak diberlakukan hukuman mati atau hukuman seumur hidup.
42
Ibid , hlm. 86.
Para penyusun naskah baru KUHP Nasional sudah berfikir lebih maju dengan mencantumkan pada bagian khusus jenis-jenis pidana dan tindakan bagi anak dengan tidak kurang dari 17 aturan, mulai dari pasal 94-a sampai dengan 94-q, dengan aturan terpenting antara lain sebagai berikut: “Pertama, seorang anak yang melakukan tindak pidana dan belum berumur 12 tahun, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, pemberatan pidana bagi pengulangan tindak pidana tidak berlaku bagi anak-anak. Ketiga, pidana penjara yang dijatuhkan kepada seorang anak hanya dapat dilaksanakan dalam penjara yang khusus diperuntukkan bagi anak.” 43 Pasal-pasal yang dirumuskan dalam naskah RUU KUHP Nasional yang baru tersebut disusun dengan mempertimbangkan, selain aspek-aspek psikologi anak (seperti emosional, intelektual dan mental), juga aspek-aspek lingkungan sosial yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana oleh anak-anak, serta penyesuaian
dengan
perkembangan
hukum
modern
yang
perlindungan hak-hak anak.
43
Mulyana W. Kusumah, Penegakan Hukum dan Hak-hak Anak, Loc. Cit.
menyangkut
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian sehinga penulis dapat memberikan kesimpulan dengan keterkaitan pada rumusan masalah : 1.
kewajiban polri sebagai penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencurian yang di sertai dengan kekerasan berdasarkan hukum postif di indonesia, yaitu berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mana pihak kepolisian berkewajiban menjalankan tugasnya sebagai mana yang telah di tetapkan dalam Undang-undang kepolisian Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan.
2.
penegakan hukum terhadap residivis terhadap pelaku pencurian yang disertai dengan kekerasasan di indonesia, yaitu Pemidanaan dalam arti tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Berdasarkan Dalam konsep rancangan KUH Pidana Nasional Tahun 1991/1992 degan tujuan Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dari pengayom masyarakat; Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bernasyarakat; Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; Membebaskan rasa bersalah para terpidana.
serta
B. Saran Dari kesimpula tersebut di atas maka di sarankan : 1.
Untuk menunjang kinerja aparat kepolisian sebagai penegak hukum harus adanya perundang-undangan yang memberatkan tindak pelaku kejahatan pencurian yang di sertai dengan kekerasan karena, tindak pidana tersebut melakukan 2 tindakan pidana dalam waktu yang sama, sehinga sangat memberikan efek yang mendalam bagi korbanya, dengan dibuatkanya perundang-undangan yang memberatkan tersebut dapat memberikan efek jera bagi pelaku sehingan tidak terjadi kejahatan residifis.
2.
Penegakan hukum terhadap residivis tidak hanya tertunjuk atau berpatokan pada perundang-undangan atau KUHPidana, akan tetapi perlu di lihat dari factor terjadinya residivis tersebut, sebab factor-faktor tersebut sangat mendasar timbulnya suatu kejahatan, seperti factor ekonomi, keterpaksaan, dan adanya kesempatan terlebih-lebih bagi para mantan narapidana yang dipandang oleh masyarakat sebagai orang jahat. Oleh karena itu maka di sarankan untuk memberikan lapangan pekerjaan bagi orang yang telah pernah melakukan tindak pidana, dan terlebih lebih terhadap orang yang berada di lapas untuk di berikan pembekalan kerajinan tangan sehinga bila keluar dari lapas dapat membuka usaha sendiri, dan pemerintah berhak memberikan anggaran bagi mereka untuk modal usaha, demi menurunkan angka kejahatan residivis di Indonesia.
DAFTAR BACAAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Bassar, M. Sudradjat, Tindak -tindak Pidana tertentu Di Dalam KUHP, Remaja Karva, Bandung, 1986, Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Agung, Surabaya, Djamali, R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, Haryono, Rudi dan Mahyung, Mahmud, Kamus Lengkap Inggris – Indonesia, Lintas Media,Jakarta, Kansil, C.S.T, Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, PT Sinar Grafika, Jakarta, 1994, Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet Ke-8, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian Dua: Balai Lektur Mahasiwa, Lamintang, P.A.F, Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Harta Kekayaan, Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,
terhadap
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993, Offenders, Recidivism Among Juvenille: An Analysis of Timed to Reappearance in Court? Australian Institute of Criminology, 1999, Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Aditama, Bandung, 2003,
Pidana
Tertentu di Indonesia, Refika
Simons, Leerboek van het Nederlandse Strafrecht Persada, Jakarta, 2005,
II, PT Raja Grafindo
Simorangkir, J.C.T., Pelajaran Hukum Indonesia, cet. XI, Djakarta, 1962, Sudirman, Didin “ Masalah-masalah actual tentang pemasyarakatan”, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Gandul Cinere Depok, 2006 Santoso, Topo dan Zulfa, Eva Achjani, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Kamus Hukum, Citra Umbara, Bandung, 2008,