Aspek psikososial pada korban tindak kekerasan dalam konteks keperawatan jiwa (Achir Yani S. Hamid)
23
TINJAUAN PUSTAKA
ASPEK PSIKOSOSIAL PADA KORBAN TINDAK KEKERASAN DALAM KONTEKS KEPERAWATAN JIWA Achir Yani S. Hamid * Abstrak Tindak kekerasan dan dampaknya telah menjadi masalah global dan sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa korban dan keluarganya. Teori biologik, teori psikologik, dan teori sosiokultural menjadi landasan teoritis yang menjelaskan tentang faktor predisposisi tindak kekerasan dan model ekologi yang membagi empat tingkat tindak kekerasan. Tindak kekerasan pada umumnya dilakukan terhadap perempuan, anak-anak, dan lanjut usia yang dapat berupa penganiayaan fisik, seksual, emosional, dan penelantaran. Respons yang dimanifestasikan oleh korban dapat berupa respons fisik, biologik, prilaku, interpersonal, serta psikologik. Respons psikologik yang dialami terdiri dari harga diri rendah, rasa bersalah dan malu, serta marah. Penanganan masalah tindak kekerasan harus dilakukan perawat secara menyeluruh dan berkesinambungan dengan selalu memberikan sentuhan manusiawi dan professional dalam asuhan keperawatan yang dilakukan. Kata kunci: penganiayaan, penelantaran, dampak,rentang respons, tidak berdaya, kualitas hidup. Abstract Violence and its impact had been a global issu and strongly affecting the mental health status of the victims and their family. Biological, psychological and socicultural theories have been used as theoretical foundation to explain about the predisposing factors of violence behavious as well as the ecological model which divide violence into four levels. In general, the victims of violence are women, children, and elderly in the forms of physical, sexual, emotional violences and neglected. The manifested responses by the victim can be classified as physical, biological, behavioral, interpersonal, and psychological. The psychological responses include low self esteen, guilty feeling shame, and anger. The treatmen of problems related to violence should be addressed by nurses comprehensively and continuously through the provision of human touch and professional nursing care. Key words: abuse, neglected, impact, continuum of response, helpless, quality of life.
LATAR BELAKANG WHO Global Campaign for Violence Prevention (2003) menginformasikan bahwa 1.6 juta penduduk dunia kehilangan hidupnya karena tindak kekerasan dan penyebab utama kematian penduduk berusia 15-44 tahun. Empat puluh hingga 70% wanita korban pembunuhan ternyata dilakukan oleh suami atau teman kencan mereka sendiri. Bahkan di beberapa negara 69% wanita dilaporkan pernah diperlakukan kasar oleh teman kencan laki-lakinya. Data menunjukkan bahwa hampir 1 dari 4 perempuan melaporkan pernah dianiaya secara seksual oleh teman dekatnya dan hingga sepertiga dari mereka diperkosa. Ratusan dari ribuan perempuan di dunia diperjualbelikan untuk dijadikan pekerja seksual. Terjadi 57,000 kematian karena tindak kekerasan terhadap anak <15 tahun pada tahun 2000, dan anak berusia 0 – 4 tahun dua kali lebih banyak dari anak berusia 5 – 14 tahun yang mengalami kematian. Terdapat 4 – 6% lansia mengalami penganiayaan di rumah (Jenkins, 2003)
Pada tahun 1993, sebelum Indonesia mengalami krisis moneter saja, telah terjadi 164.577 kasus kekerasan berupa tindakan pencurian, pemerasan, perkosaan, pembunuhan, penggunaan dan pengedaran narkoba, kenakalan remaja, penipuan, penggelapan, pengrusakan, perjudian dan kebakaran (Roesdihardjo, 1994). Saat ini, tidak terhitung jumlah korban tindak kekerasan akibat tekanan sosial politik yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Tindak kekerasan dipandang sebagai tindak kriminal yang dilakukan tanpa dikehendaki korban yang menimbulkan dampak fisik, psikologik, sosial, dan spiritual, serta mempengaruhi sistem keluarga dan masyarakat secara menyeluruh. Korban merasa tidak mampu menentukan jalan hidupnya. Oleh karena itu, keperawatan turut berperan untuk menanggulangi masalah ini sesuai dengan lingkup ilmu dan profesi keperawatan dengan memperhatikan kebutuhan holistik korban.
24
LANDASAN TEORITIS TENTANG FAKTOR PREDISPOSISI TINDAK KEKERASAN Faktor predisposisi tindak kekerasan menurut teori biologik, teori psikologik, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Townsend, 1996, adalah: 1. Teori Biologik Teori biologik terdiri dari tiga pandangan, yakni pengaruh: a. Neurofisiologik. Beragamkomponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresi. b. Biokimia. Goldstein dalam Townsend, 1996 menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (a.l: epinefrin, norepinefrin, dopamin, asetilkholin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Teori ini konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress. c. Genetik. Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY, yang pada umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak kriminal. d. Gangguan Otak. Sindroma otak organik telah terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan pada serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsi, khususnya epilepsi lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan. 2. Teori Psikologik a. Teori Psikoanalitik. Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasa n dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 8, No. 1, Maret 2004; 23-29
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan. b. Teori Pembelajaran. Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal mereka, namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplin mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku keras setelah dewasa (Owens & Straus dalam Townsend, 1996). 3. Teori Sosiokultural Pakar sosiologi lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat dipenuhi secara konstruktif. Etiologi Biopsikososial Tindak Kekerasan (Boyd & Nihart, 1998)
Biologik - Meningkatnya testosteron - Meningkatnya serotonin - Meningkatnya konsumsi alkohol
Psikologik - Kurang kendali terhadap impuls - Defisit kemampuan koping - Sifat yang lemah
Sosial - Perilaku kekerasan yang dipelajari - Transmisi antar generasi - Sikap permisif - Devaluasi pada wanita - Ketidakseimbangan kekuatan - Pandangan tentang wanita sebagai properti kekuatan
Aspek psikososial pada korban tindak kekerasan dalam konteks keperawatan jiwa (Achir Yani S. Hamid)
Model ekologi juga digunakan untuk memahami hakekat kekerasan ditinjau dari berbagai tingkat. Model ini mengkaji faktor yang mempengaruhi perilaku yang dapat meningkatkan risiko melakukan atau menerima perlakuan kekerasan dengan membaginya dalam empat tingkat, yaitu tingkat individual, hubungan, komunitas, dan sosial. Model Ekologi untuk Memahami Tindak Kekerasan (WHO, 2002)
Sosial
Komunitas
Hubungan
Individual
Tingkat pertama mengidentifikasi faktor riwayat biologis dan personal yang mempengaruhi bagaimana individu berperilaku dan meningkatkan kecenderungan untuk menjadi korban atau pelaku tindak kekerasan. Contoh faktor yang dapat diukur meliputi karakteristik demografik (usia, pendidikan, penghasilan), gangguan psikologik atau kepribadian, penyalahgunaan zat, dan riwayat perilaku agresif atau mengalami penganiayaan. Tingkat kedua adalah mengamati secara dekat hubungan dengan keluarga, sahabat, pasangan intim dan sejawat, serta menggali bagaimana hubungan tersebut dapat meningkatkan risiko menjadi korban atau pelaku tindak kekerasan. Misalnya, bersahabat dengan seseorang yang terlibat perilaku kekerasan akan cenderung membuat dirinya sebagai korban atau pelaku kekerasan. Tingkat ketiga menggali konteks komunitas di mana terjadi suatu hubungan sosial, seperti sekolah tempat kerja, dan tetangga, serta mengidentifikasi karakteristik tatanan yang dapat meningkatkan risiko kekerasan. Risiko ini antara lain pindah tempat tinggal, kepadatan penduduk, tingginya pengangguran. Tingkat keempat menekankan pada faktor sosial yang lebih luas yang dapat menciptakan suasana yang mendukung atau menghambat terjadinya tindak kekerasan. Faktor tersebut antara lain tersedianya senjata dan norma budaya serta sosial yang dianut.
25
Jenis Penganiayaan Jenis penyaniayaan terdiri dari penganiayaan pada perempuan dan orang tua (Boyd & Nihart, 1998). 1. Penganiayaan Terhadap Perempuan (pasangan/ istri/ tindak kekerasan domestik) Tindak kekerasan yang terjadi di Amerika, 90-95% korban penganiayaan adalah perempuan dan pelaku kekerasan adalah pria. Pada kasus di mana wanita melakukan tindak kekerasan, biasanya dalam upaya mereka untuk membela diri, dan pada umumnya perempuan akan mengalami cidera lebih parah dari pada pria (Sassetti, 1993. Perempuan yang tidak menikah, perempuan yang bercerai atau berpisah dari suaminya cenderung lebih berisiko mengalami penganiayaan dari pada perempuan yang menikah (Sassetti, 1993). Penganiayaan pada perempuan tidak hanya bersifat fisik atau seksual, namun juga emosional, membatasi kebebasan, merusak properti, mengancam, mengisolasi dari keluarga dan teman. Inti kekerasan seperti ini berpola pada pengendalian dan dominasi secara paksa terhadap semua aspek kehidupan perempuan. Hal ini digunakan untuk membuat perempuan lebih submisif (menerima) dan merahasiakan tindakan penganiayaan. Banyak perempuan korban tindak kekerasan melaporkan bahwa kekerasan fisik lebih dirasakan ringan dibandingkan penyaniayaan yang bersifat emosional, karena merusak dan mengisolasi perempuan. 2. Penganiayaan Terhadap Anak Semua tindak penganiayaan pada anak merupakan tindakan yang merenggut semua hak yang seharusnya dimiliki oleh anak anak. Termasuk hak anak untuk berperilaku sebagai anak, merasa aman dan dilindungi dari bahaya, diberi makan dan pakaian serta diasuh dengan kasih sayang sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang serta memenuhi semua potensi unik yang dimiliki (WHO, 2003). Perawat perlu memahami landasan teoritis suatu fenomena penganiayaan pada anak ini. Landasan teoritis tersebut digunakan sebagai kerangka kerja keperawatan tentang anak teraniaya dan terlantar yang merupakan fenomena multifaktor yang
26
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 8, No. 1, Maret 2004; 23-29
melibatkan orang tua, keluarga, budaya, anak dan stres dalam rentang mulai dari perilaku normal dan penuh kasih sayang sampai tindak penganiayaan dan penelantaran (Milor, 2001). Korban penganiayaan biasanya mempunyai karakteristik yang sama, walaupun usia dan jenis kelamin berbeda. Korban biasanya sangat tergantung dan tidak berdaya. Tindak kekerasan ini umumnya diteruskan dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya. Schneider, Pollock, dan Helfer (1972) melaporkan bahwa orang tua penganiaya pada masa kecilnya pernah mengalami hukuman fisik yang berat, mengalami ansietas yang lebih tinggi dalam mengatasi permasalahan anak mereka, dan lebih peka terhadap kritik dan isolasi sosial, begitu pula mempunyai harapan yang tinggi terhadap anak mereka. Lingkaran Tindak Kekerasan (Clunn, 1993) Pasangan tidak mampu memenuhi kebututuhan
Konsepsi
Harga diri
Hamil
Anak
Memilih Tidak mampu menolong orang lain
Kebutuhan tak terpenuhi
Penganiaya Isolasi
Tidak mampu menggunakan orang lain
Harapan tidak realistik Putaran Peran
Tidak ada rasa percaya, identitas diri, harga diri. Kebutuhan untuk tergantung tidak terpenuhi
Biasanya anak mempersepsikan dirinya sebagai anak yang nakal dan menimbulkan kesulitan. Hal ini mungkin disebabkan oleh sikap negatif orang tua terhadap anaknya, atau juga karena pengetahuan tentang perkembangan anak yang sangat terbatas, sehingga orang tua mempunyai harapan yang tidak realistik terhadap perkembangan bahasa, motorik, perilaku dan kebutuhan psikologis anak. Orang tua juga cenderung menganggap anaknya hiperaktif dan agresif. Penganiayaan pada anak umumnya meliputi penganiayaan fisik, seksual, penelantaran dan penganiayaan emosional.
a. Penganiayaan Fisik (Physical Abuse). Erik Erikson dalamTownsend (1996) menyatakan bahwa “dosa terberat adalah mutilasi terhadap spirit anak-anak.” Anak-anak merupakan makhluk yang lemah dan tidak berdaya, dan tritmen yang salah pada anak dapat berakibat sangat dalam dan berjangka panjang. Penganiayaan anak didefinisikan sebagai cidera fisik atau emosi, penelantaranan fisik atau emosi, atau tindakan seksual yang dilakukan oleh orang yang seharusnya mengasuh mereka (WHO, 2002). Penganiayaan fisik dapat berupa tindakan memukul, menendang, melempar, menyundut dengan rokok dan berbagai bentuk kekerasan lainnya yang dapat menimbulkan cidera. Cidera fisik dapat terjadi karena penganiayaan dari yang ringan hingga berat, bahkan mengancam kehidupan. Jenis cidera fisik yang mungkin dialami korban meliputi cidera pada kulit atau jaringan lunak, cidera internal; dislokasi dan fraktur; gigi rontok; luka bakar; abrasi atau kebiruan karena dicambuk dengan ikat pinggang; rambut rontok karena dicambak; luka tembak, tusuk pisau atau obyek tajam lainnya, perdarahan pada retina; dan perdaharan di konjungtiva (Fontaine, 1996) b. Penganiayaan Seksual (Sexual Abuse) Ada dua kategori penganiayaan seksual: incest dan penganiayaan seksual yang dilakukan bukan oleh anggota keluarga. Incest didefinisikan sebagai semua bentuk kegiatan seksual antara anak di bawah 18 tahun dengan anggota keluarga dekat (orang tua kandung, orang tua tiri, saudara kandung), anggota keluarga besar (kakek/ nenek, paman, bibi, sepupu) atau orang tua angkat (Rappley & Speare, 1993). Penganiayaan seksual di luar keluarga adalah bentuk kontak seksual antara bukan anggota keluarga dengan anak di bawah usia 18 tahun. Penganiayaan seksual oleh anggota keluarga lebih traumatik bagi anak, karena mereka kehilangan rasa percaya, merasa tidak aman di lingkungan rumahnya sendiri, dan merupakan ancaman yang paling mendasar dalam kehidupan anak. Perilaku penganiayaan anak berkisar dari yang paling ringan, perilaku tertutup hingga tindakan seksual yang terbuka. Misalnya tidak menghormati privacy anak, memandang anak secara sensual, meminta anak untuk telanjang hingga berhubungan seksual.
Aspek psikososial pada korban tindak kekerasan dalam konteks keperawatan jiwa (Achir Yani S. Hamid)
Berbagai faktor dapat memediasi dampak penganiayaan seksual terhadap anak. Secara umum, anak yang lebih muda dengan riwayat masalah emosional mungkin dapat lebih traumatis dari pada yang berusia lebih tua, dengan jiwa yang lebih stabil. Penganiayaan yang terjadi secara berulangkali dan dalam jangka waktu yang lama disertai tindak kekerasan dan penetrasi tubuh mengakibatkan trauma yang lebih hebat. Penganiayaan seksual yang dilakukan oleh seseorang yang diketahui dan dipercayai oleh anak akan minimbulkan trauma lebih parah. Reaksi negatif dari orang yang dekat dengan korban, tenaga kesehatan, atau orang lain dapat memperparah trauma. c. Penelantaran Anak (Child Neglect) Penelantaran anak merupakan suatu bentuk penganiayaan anak yang paling sering dilaporkan (Fontaine, 1996). Ada beberapa jenis pengabaian, yaitu gagal melindungi anak, penelantaran fisik, dan penelantaran medik. Termasuk gagal melindungi anak dari berbagai macam cidera kecelakaan, seperti terminum racun, kesetrum listrik, jatuh dan terbakar. Penelantaran fisik meliputi gagal memberi makan, pakaian dan tempat tinggal. Indikator penelantaran fisik adalah infeksi pada kulit, rambut berkutu, scabies, penampilan yang kotor, pakaian yang tidak sesuai dan lingkungan kehidupan yang tidak aman dan tidak bersih. Sedangkan penelantaran medik/ kesehatan mencakup gagal untuk memberikan kebutuhan pelayanan kesehatan kepada anak. Indikator penelantaran dalam bentuk ini adalah kunjungan kesehatan yang dilakukan berulang kali, ketidakmampuan, dan komplikasi. d. Penganiayaan Emosional Walaupun penganiayaan fisik dan seksual merupakan pengalaman yang traumatik bagi anak, namun perkembangan diri anak juga lebih besar bahayanya, karena pesan yang tersirat dari penganiayaan tersebut adalah: “Saya tidak peduli kamu. Saya lebih berkuasa dari pada kamu. Kamu adalah milik saya dan tidak punya hak atas tubuh anda (Garbarino, 1993). Kegagalan total orang tua untuk memenuhi kebutuhan emosional anak merupakan bentuk penganiayaan dan penelantaran
27
emosional. Lima kategori penelantaran emosional terhadap anak adalah menolak, mengisolasi, menteror, mengabaikan kebutuhan psikologisnya, dan mengkorupsi anak. 3. Penganiayaan Terhadap Lanjut Usia (Lansia) Penganiayaan terhadap Lansia mengakibatkan cidera fisik atau penelantaran emosional, a.l: menentang keinginan Lansia, mengintimidasi atau membuat keputusan yang kejam. Eksploitasi mencakup tindakan illegal untuk mendapatkan atau menggunakan sumber atau milik Lansia untuk kepentingan pribadi. Penelantaran meliputi gagal memberikan sesuatu atau pelayanan yang diperlukan untuk menghindarkan bahaya fisik, kemunduran mental, atau gangguan jiwa (Costa dalam Townsend, 1996). Penganiayaan terhadap Lansia pada umumnya dilakukan oleh anak-anak mereka. Lansia perempuan lebih cenderung dianiaya daripada lansia pria. Karakteristik lansia yang mungkin menjadi korban penganiayaan antara lain: berusia tua, tergantung pada anggota keluarga atau pemberi pelayanan, penyalah guna alkohol, atau ada riwayat konflik antar generasi antara lansia dan pemberi pelayanan, kemunduran kondisi fisik dan mental, serta perilaku provokatif.
Respons Korban Tindak Kekerasan Respons korban tindak kekerasan sangat tergantung pada tingkat perkembangan korban pada saat terjadi tindak kekerasan tersebut. Oleh karena itu, perawat perlu memahami tahap perkembangan individu, sehingga dapat mengidentifikasi dampak tindak kekerasan sesuai dengan titik rawan pada tiap tahap perkembangan individu. Foley, cit Shives (1994) menjelaskan reaksi korban tindak kekerasan sesuai dengan tingkat perkembangan mulai dari masa bayi sampai usia dewasa tua. Rasa percaya pada orang dewasa akan terguncang selama masa bayi (0-3 tahun); preokupasi dengan tindakan yang salah dan benar pada masa kanak kanak (4-7 tahun); persepsi yang salah tentang tindak kekerasan selama masa laten (7 tahun hingga remaja); kerancuan terhadap perilaku tindak kekerasan dan akibatnya sebagai remaja (pubertas sampai 18 tahun); kepedulian terhadap kredibilitas, gaya hidup dan nilai moral terjadi pada masa
28
dewasa muda (18-24 tahun); kepedulian bagaimana tindak kekerasan dapat mempengaruhi kehidupan keluarga dan gaya hidup selama masa dewasa (25-45 tahun); serta kepedulian terhadap keselamatan diri, takut mati, reputasi dan kehormatan, dirasakan oleh orang yang sudah tua (45 tahun dan lebih tua). Respons korban terhadap tindak kekerasan perlu dikaji dengan memperhatikan tahap perkembangan individu dan proses adaptasi terhadap tindak kekerasan, yang dikenal dengan sindroma trauma tindak kekerasan. Korban tindak kekerasan atau korban serangan dengan ancaman akan mengalami ketidakseimbangan internal dan eksternal sebagai akibat situasi yang mengancam kehidupan yang menimbulkan perasaan takut dan tidak berdaya yang luar biasa. Respons korban tindak kekerasan dapat ditinjau dari respons fisik, respons biologik, respons psikologik, respons perilaku dan respons interpersonal (Boyd & Nihart, 1998), sebagai berikut: 1. Respons Fisik Korban tindak kekerasan menderita sejumlah konsekuensi fisik dari yang ringan hingga berat. Cidera ringan bisa hanya abrasi atau lecet pada kepala, leher, muka, torso dan alat pergerakan. Cidera berat meliputi trauma ganda, fraktur yang parah, laserasidan cidera bagian dalam tubuh. Kehilangan penglihatan dan pendengaran dapat diakibatkan oleh pukulan pada kepala. Korban penganiayaan seksual dapat mengalami trauma pada vagina dan perineum yang sampai memerlukan tindakan pembedahan. Kekerasan fisik atau seksual dapat mengakibatkan trauma kepala yang menimbulkan perubahan dalam kemampuan berpikir, afek, motivasi dan perilaku. 2. Respons Biologik Depresi merupakan salah satu respons yang paling sering terjadi akibat penganiayaan. Depresi berdasarkan gangguan yang bersifat biologik sebagai pengaruh dari stress kronik terhadap neurotransmitter dan sistem neuroendokrin. Sebagian besar jenis penganiayaan merupakan bentuk ekstrim dari stress yang kronik. 3. Respons Psikologik Respons psikologi terdiri dari harga diri rendah, rasa bersalah dan malu serta marah, yang diuraikan sebagai berikut:
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 8, No. 1, Maret 2004; 23-29
a. Harga diri rendah. Penganiayaan mempengaruhi afek harga diri korban. Harga diri rendah bisa sebagai akibat langsung dari penganiayaan fisik atau seksual atau sebagai penyerta penganiayaan psikologik. Salah satu teknik yang digunakan penganiaya untuk mengendalikan dan membuat korban merasa tidak berdaya adalah dengan membuat mereka merasa tidak berharga dengan secara terus menerus menghina korban. Pada umumnya penganiaya perempuan seringkali mengatakan bahwa korbannya bodoh, jelek, bukan isteri atau ibu yang baik dan tidak mempunyai kemampuan. Faktor lain yang mengkontribusi pada harga diri rendah yang dialami wanita korban penganiayaan adalah perasaan berbeda dari orang lain, kebutuhan untuk mempertahankan rasa percaya, kurang rasa percaya dan menyalahkan dirinya sendiri. Perasaan harga diri rendah merupakan salah satu faktor yang membuat perempuan korban penganiayaan ragu ragu untuk mengungkapkan tentang penganiayaan yang dialaminya. b. Rasa Bersalah dan Malu Perasaan bersalah membuat korban meyakini bahwa merekalah yang salah dan penyebab terjadinya tindak kekerasan. Perasaan terhina dan malu mencegah korban untuk meminta bantuan dari tenaga kesehatan dan melaporkan tentang penganiayaan tersebut kepada yang berwenang. Pengalaman disiksa dan dihina begitu kuat sehingga seringkali korban takut untuk mengungkapkannya. Banyak yang merasa takut bahwa orang lain tidak serius akan membantunya atau bahkan menyalahkan dirinya karena tetap bertahan tinggal bersama penganiaya (Hendricks-Mattews, 1993). c. Marah Rasa tersinggung dan mudah marah, yang kronik, perasaan marah yang tidak terkendalikan, dan kesulitan untuk mengekspresikan kemarahan sering dialami oleh korban penganiayaan. Perasaan marah yang ditutupi dengan perilaku patuh dan berupaya selalu sempurna, biasa dimanifestasikan oleh
Aspek psikososial pada korban tindak kekerasan dalam konteks keperawatan jiwa (Achir Yani S. Hamid)
perempuan korban incest. Sedangkan perempuan yang cenderung tidak secara terbuka mengungkapkan kemarahannya, mungkin karena ia merasa takut terhadap hukuman (Hendricks-Matthews, 1993). 4. Respons Perilaku Perempuan yang pernah mengalami penganiayaan, terutama penganiayaan seksual pada masa kanak kanak, sering kali menjadi peminum alcohol atau menyalahgunakan zat lainnya. Menurut Miller & Downs (1995), perempuan peminum alkohol dan obat lain, dua setengah kali lebih banyak yang melaporkan bahwa mereka pernah dianiaya secara seksual ketika kanak-kanak dibandingkan yang tidak menggunakan alkohol. 5. Respons Interpersonal Sebagai akibat penganiayaan yang sering dilakukan oleh keluarga dekat bahkan orang tua yang seharusnya menyayangi dan melindungi mereka, maka anak-anak korban penganiayaan akan tumbuh sebagai orang dewasa yang sulit menjalin hubungan rasa percaya dan intim. Hal ini ditandai dengan perasaan menolak dan tidak dapat menikmati hubungan intim. Berdasarkan laporan dari korban penganiayaan, khususnya penganiayaan seksual pada masa kanakkanak, ternyata cenderung untuk mengalami perkosaan pada kehidupan sesudah dewasa yang mungkin disebabkan karena kerapuhan diri untuk menghadapi situasi yang berbahaya.
KESIMPULAN Mengingat tindak kekerasan merupakan masalah yang multifaktor dan kompleks, maka penanganan masalah tindak kekerasan termasuk perkosaan terhadap korban dan keluarganya harus dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Perawat perlu memahami secara luas dan mendalam tentang landasan teoritis dan faktor yang mempengaruhi perilaku kekerasan serta dampak psikososial yang dialami korban. Pemahaman tersebut menjadi dasar kompetensi perawat untuk dapat memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan yang profesional dalam
29
penanggulangan perilaku tindak kekerasan dan dampaknya terhadap kesehatan dan kesejahteraan individu korban maupun keluarganya (HH). *
Achir Yani S. Hamid, D.N.Sc.: Staf pengajar jiwa komunitas FIK-UI
KEPUSTAKAAN Boyd, M. A., & Nihart, M. A. (1998). Psychiatric Nursing: Contempory practice. Philadelphia: Lippincott. Clunn, P. (1993). Child psychiatric nursing. St. Louis: Mosby Year Book, Inc. Fointaine, K. L. (1996). Rape and intrafamily abuse. In H. S. Wilson & C. R. Kenisl (Eds.), Psychiatric nursing. (5 th edition). Menlo Park: Addison-Wesley. Hendricks-Matthews, M. K. (1993). Survivors of abuse: Health care issues. Primary care, 20(2), 391-406 Jenkins, C. D. (2003). Building better health: Handbook of behavioral change. Washington, D. C.: Pan American Health Organization Miller, B. A., & Downs, W. R. (1995). Violent victimization among women with alcohol problems. In M. Galanter (Ed), Women and alcoholism (Vol. 12). New York: Plenum Press. Millor, G. (2001). A Theoretical framework for nursing research in child abuse and neglect. Nursing Research, 30, 78. Rappley, M., & Speare, K. H. (1993). Initial evaluation and interview techniques for child sexual abuse. Primary care, 20(2), 329-342. Roesdiharjo (1994). Profil kejahatan di Indonesia. Disampaikan pada Simposium Nasional Pencegahan Terjadinya Korban Kejahatan. Jakarta. Sassetti, M. R. (1993). Domestic Violence. Primary Care, 20 (2), 289-305. Schneider, C., Pollock, C. , & Helfer, R. (1972). Interviewing the parents. In Kempe, C. and Helfer, R., editors: Helping the Battered Child and His Family. Philadelphia: J. B. Lippincott. Townsend, M.C. (1996). Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of Care. Second Edition. Philadelphia: F.A.Davis Company. WHO. (2002). World report on violence and health: Summary. Geneva: WHO WHO. (2003). Mental health legislation and human rights. Geneva: WHO.