Refleksi Diri Para Korban dan Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga Apakah Aku Sehat (Jiwa)? Lely Setyawati
1
Abstrak Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga terhadap anggota lainnya Tindak kekerasan dalam rumah tangga ternyata erat kaitannya dengan gangguan jiwa yang dimiliki pasangan suami-istri. Stigma tentang gangguan jiwa masih begitu erat dan mendalam di hati masyarakat kita, sehingga membuat kasus-kasus gangguan jiwa lambat terdeteksi, dan tidak optimal penangannya. Jumlah kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) seperti fenomena gunung es, hanya sekitar sepuluh persen yang berhasil terungkap ke permukaan, sisanya ditutup-tutupi karena dianggap sebuah aib dalam keluarga. Salah satu penyebab terjadinya KDRT terhadap pasangan adalah gangguan jiwa, yang dialami oleh salah satu ataupun kedua pasangan suami-istri, demikian juga dalam hubungan orangtua – anak, mereka yang mengidap gangguan jiwa cenderung menjadi korban ataupun pelaku KDRT.
2
Pendahuluan Maraknya tindak kekerasan khususnya yang terjadi di rumah tangga, merupakan sebuah konsekuensi yang harus dihadapi oleh pasangan yang akan menikah. Tindak kekerasan dalam rumah tangga ternyata erat kaitannya dengan gangguan jiwa yang dimiliki pasangan suami-istri. Sayang sekali ada keengganan dan rasa marah dalam hati mereka setiap kali ada orang yang menyarankan bahwa mereka memerlukan bantuan psikiater. Stigma tentang gangguan jiwa masih begitu erat dan mendalam di hati masyarakat kita, sehingga membuat kasus-kasus gangguan jiwa lambat terdeteksi, dan tidak optimal penangannya. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga terhadap anggota lainnya. Bentuk yang paling sering dijumpai dalam KDRT adalah penganiayaan orang-tua terhadap anak, penganiayaan suami terhadap istri, meskipun ada pula penganiayaan istri terhadap suami atau anak terhadap orang-tuanya, serta penelantaran yang dilakukan oleh kepala rumah tangga terhadap seluruh anggota keluarganya, termasuk mereka yang tidak memiliki hubungan darah. Pelaku KDRT bervariasi dari mereka yang masih sangat muda sampai yang telah berumur, dari mereka yang baru saja menjalani pernikahan sampai mereka yang telah sangat lama menikah – bahkan memiliki anak dan cucu. Bourget meneliti 27 pelaku pembunuhan berumur di atas 65 tahun, dengan karakteristik korban 89% adalah wanita berusia 12 – 82 tahun, dimana 2 orang diantaranya adalah anak wanita dari pelaku. Pembunuhan lebih banyak dilakukan oleh para pria terhadap istrinya (67%), pasangan yang tidak terikat pernikahan (18,5%) dan mantan istrinya (7%). (Bourget, 2010). Jumlah kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) seperti fenomena gunung es, hanya sekitar sepuluh persen yang berhasil terungkap ke permukaan, sisanya ditutup-tutupi karena dianggap sebuah aib dalam keluarga. Korban tidak mempunyai ruang atau informasi yang jelas apakah masalah mereka layak dilaporkan ke polisi, atau dibawa ke pengadilan, karena selama ini masyarakat menganggap bahwa persoalan KDRT adalah persoalan internal, yang harus diselesaikan dalam ruang lingkup rumah tangga saja. Apalagi secara hukum KDRT adalah delik aduan, sangat berbeda dengan KUHP pasal 351 (tentang penganiayaan fisik) dan pasal 356 (penganiayaan dengan pemberatan), yang sama sekali tidak mengisyaratkan suatu delik aduan, tetapi kasus kriminal murni (Reynata, 2003).
3
Etiologi Tindak Kekerasan Salah satu penyebab terjadinya KDRT terhadap pasangan adalah gangguan jiwa, yang dialami oleh salah satu ataupun kedua pasangan suami-istri, demikian juga dalam hubungan orangtua – anak, mereka yang mengidap gangguan jiwa cenderung menjadi korban ataupun pelaku KDRT. Akhir tahun 2009 majalah Forbes memberikan siaran releasenya, bahwa penyakit termahal di dunia saat ini adalah penyakit mental, disusul kemudian oleh penyakit jantung dan penyakit akibat trauma serta penyakit kanker di urutan dua, tiga dan empat. Tanpa memberi kesan menakut-nakuti, seyogyanya kita memang harus waspada dan berusaha memberikan kekebalan tubuh / vaksin bagi seluruh keluarga kita agar tidak terserang penyakit mental tersebut. Bagaimana cara vaksinasinya? Melalui berbagai sesi konseling, psikoterapi, terapi kelompok dan terapi keluarga, diharapkan respon imun / daya tahan tubuh kita akan semakin terbentuk. Para peneliti dari Harvard Medical School menyatakan bahwa verbal abuse yang dilakukan orang-tua dapat melukai jalur-jalur vital di otak anak, sehingga dapat menyebabkan depresi, cemas dan masalah-masalah berbahaya. Kata-kata kasar merusak koneksi spesifik di otak. Otak anak-anak tampak berkurang volumenya saat mendengar kata-kata kasar, melihat / membayangkan ataupun mengalami sakit. Akibatnya keutuhan sensory pathway menjadi terganggu (Teicher and Samson, 2006). Korban KDRT seringkali memiliki suatu ciri kepribadian dan psikopatoplogi tertentu, yang membuat mereka rentan terhadap situasi yang kurang bersahabat dari lingkungan. Stresor yang bagi sebagian besar orang dirasakan biasa-biasa saja ternyata justru dirasa sangat menyesakkan bagi para korban. Ada benang merah antara karakter agresif seseorang dan berbagai kasus KDRT, keduanya membawa dampak jangka panjang serta permasalahan sosial dan kesehatan keluarga. Wanita yang mengalami tindak kekerasan memiliki risiko 50-70% lebih besar untuk terserang berbagai penyakit, termasuk ginekologi, susunan saraf pusat dan problem terkait stres, serta bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas (Campbell, et al, 2002). Sejak didirikan tahun 2004, P2TP2A Provinsi Bali telah menangani tidak kurang dari 300 kasus KDRT. Jika ditambah dengan data yang tercatat di masing-masing kabupaten dan kota, angka itu bergerak menjadi lebih dari seribu kasus. Kasus yang terbanyak adalah kasus
4
kekerasan suami terhadap istri, mulai dari kekerasan fisik, emosional, perselingkuhan dan penelantaran. Para ilmuwan telah lama memperdebatkan tentang akar tindak kekerasan. Freud (1930) berasumsi bahwa manusia memiliki naluri untuk bertindak agresif. Menurut teori instink kematian (thanatos) yang digagasnya, agresi mungkin diarahkan pada diri sendiri atau orang lain. Meskipun Freud mengakui bahwa agresi dapat dikontrol, dia berpendapat bahwa agresi tidak dapat dieliminasi, karena agresi adalah sifat alamiah manusia (Freud, 2002). Agresivitas yang dilakukan manusia seringkali diidentikkan dengan perilaku agresif pada hewan. Ada berbagai tipe perilaku agresif pada hewan mamalia, yaitu sebagai upaya mencari makan (predatory), mempertahankan diri (defensive), mempertahankan wilayah teritorial, hubungan dengan dominansi, persaingan seksual, usaha mendapatkan hubungan seksual, melindungi / menjaga pasangan, perlindungan ibu terhadap anaknya (maternal) dan pembunuhan bayi (infanticide). Perilaku tindak kekerasan pada manusia sebagian atau seluruhnya seringkali juga memiliki alasan seperti yang disebutkan di atas, meskipun sebenarnya manusia memiliki rasio perbandingan otak dan tubuh yang jauh lebih tinggi dibandingkan semua mamalia yang ada, demikian juga otak manusia memiliki tingkat perkembangan isocortex yang lebih tinggi dari tingkat sebelumnya (allocortex) yang akan membuat manusia memiliki perencanaan jangka panjang dan emosi sekunder (Victoroff, 2009). Pasien seringkali cukup menyadari bahwa mereka terjebak dalam masa lalu, mereka tidak mampu melepaskan diri darinya dan akibatnya mereka terasing di masa kini dan masa depan. Mereka terdampar di masa yang dipenuhi kesedihan. Misalnya seorang istri yang telah lama berpisah dengan suaminya, selalu menganggap bahwa puncak bencana adalah pernikahannya dengan suaminya, padahal kenyataannya mereka sudah lama sekali berpisah. Gejala-gejala yang muncul membuatnya tak mampu melanjutkan hubungan dengan suaminya, memaafkannya, menghargai dirinya sendiri, bahkan meratapi ketidakmampuannya. Walaupun dia masih muda dan menarik bagi pria lain, tetapi dia melakukan pencegahan baik nyata atau dalam lamunan untuk mempertahankan kesetiaan terhadap suaminya (Freud, 2002). Bahasa merupakan bentuk tindak kekerasan yang aneh yang digolongkan ke dalam suatu tipe baru agresifitas. Agresi verbal akan menjadi lebih kompleks dan merupakan ancaman tersendiri bagi korbannya. Bentuknya barangkali hanya sekedar komunikasi pendek, tetapi 5
memberi dampak jangka panjang, menimbulkan kemarahan, pertengkaran dan perkelahian. Pada hewan bentuk kekerasan verbal ini misalnya mendesis, mengaum atau suara-suara hewan lainnya. Variasi kultural pada manusia akan membuat mereka mempertimbangkan berbagai sangsi sosial, budaya tabu dan berbagai hukuman jika melakukan tindakan agresif (Victoroff, 2009). Banyak psikolog sosial memakai sudut pandang sosiobiologi, paling tidak untuk menjelaskan agresi manusia. Agresi manusia lebih kompleks, bentuknya berbeda dengan agresi hewan dan sering terjadi dalam konteks sosial yang berbeda, serta diatur oleh norma-norma sosial (Taylor et al, 2009). Selain itu ada pula teori biologi yang menerangkan bahwa agresi fisik dipengaruhi oleh hormon testosterone serta beberapa faktor biokimia lainnya seperti neurotransmiter serotonin. Individu yang suka kekerasan diduga memiliki pola aktivasi otak yang berbeda. Tampaknya ada komponen genetik dalam agresi manusia, karena tipe perilaku agresi dan antisosial tertentu jelas ada di dalam garis keturunan suatu keluarga. Orang yang relatif tidak agresif cenderung tetap demikian, sedangkan mereka yang sangat agresif cenderung tetap agresif sampai tua. Meskipun ada signifikasi dari dasar genetik dan biokimia dari perilaku agresif, namun jelas bahwa faktor sosial juga berpengaruh terhadap ekspresi agresi manusia (Taylor et al, 2009). Alison Karasz meneliti kerentanan pada wanita imigran yang telah menikah, dibandingkan dengan penduduk asli. Terdapat hubungan sebab akibat antara perkawinan, kesehatan mental dan munculnya suatu penyakit baik fisik maupun mental. Model sociomatic menghubungkan keterkaitan antara ketegangan dan kekerasan dalam rumah tangga, serta peranan stres sosial yang akan mempengaruhi konsep-konsep tradisional dan humoral oleh model biomedis (Karasz, 2005). Penelitian yang dilakukan pada orang-orang dewasa yang memiliki pengalaman kronis verbal abuse dari oerang-tua mereka menunjukkan bahwa terdapat 3 lokasi di otak yang terganggu volumenya berdasarkan pemeriksaan Diffusion Tension Imaging (DTI) sebagai berikut : 1. Bagian Arcuate fasciculus : berhubungan dengan fungsi berbahasa 2. Bagian Cingulum Bundle : tampak meningkat pada pasien yang mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), serta berhubungan dengan gangguan cemas, depresi dan disosiatif. 6
3. Bagian Fornix : erat kaitannya dengan kecemasan. Tingkatan gangguan aliran normal tersebut berkorelasi dengan beratnya tindak kekerasan yang terjadi. (Teicher & Samson, 2006). Penemuan ini membawa harapan baru terhadap orang-orang yang menderita gangguan psikiatri untuk maju selangkah mengidentifikasi penyebab-penyebab potensial dan memberi kemungkinan intervensi otak secara individual di masa yang akan datang. Agresi verbal berkorelasi dengan dampak kejiwaan yang sedang sampai besar, dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan dari menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan seksual nonfamilial, serta lebih besar dari orang-orang yang mengalami kekerasan fisik dalam keluarga. Paparan terhadap berbagai bentuk penganiayaan memberikan dampak
yang
sering
lebih
besar
dibandingkan
dengan
akumulasi
per
komponen
kekerasan. Paparan gabungan antara kekerasan verbal dan menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga berefek negatif lebih besar daripada paparan terhadap pelecehan seksual dalam keluarga. Kekerasan emosional memiliki pengaruh cukup besar pada iritabilitas limbik. Subjek yang terpapar kekerasan emosional memiliki iritabilitas limbik sama tingginya dengan subjek yang terpapar kekerasan fisik ataupun pelecehan seksual. Subjek dengan paparan dua kategori kekerasan memiliki skor iritabitalitas limbik yang lebih tinggi lagi dan Subjek yang melaporkan terpapar ketiga kategori kekerasan memiliki skor paling tinggi. KDRT dan Gangguan Mental Survei akhir tahun 2009 yang lalu menyebutkan bahwa penyakit termahal di dunia saat ini adalah penyakit mental. Selama setahun Amerika Serikat telah mengeluarkan biaya US$ 142,2 milyar untuk membiayai penyakit mental. Jumlah ini merupakan pengeluaran terbesar, melampaui pengeluaran untuk pembiayaan penyakit jantung - yang masih tetap menjadi pembunuh nomor satu - sebagai penyakit termahal kedua, serta penyakit akibat trauma dan kanker di posisi ketiga dan keempat. Sementara itu di berbagai negara lainnya banyak asuransi kesehatan justru menolak untuk membiayai penyakit/gangguan mental dengan berbagai alasan (WHO, 2009). Tabel 2.1 : Karakteristik neuropsikologik pelaku tindak kekerasan (abusers) 7
Menyaksikan tindak kekerasan yang terjadi di rumahnya saat kanak-kanak Tipe kepribadian: dependent, tidak asertif, kurang rasa percaya diri, perasaan tidak adekuat Cemburu patologis Penyalahguna alkohol atau zat Perhatian berlebihan terhadap penampilan luar Sikap merendahkan wanita Tidak dapat memecahkan konflik dengan mekanisme yang matur. Angka prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia adalah 11,6%, dengan prevalensi tertinggi berasal dari Jawa Barat, sebesar 20%. Lima wilayah/propinsi lain yang memiliki angka prevalensi melebihi angka nasional adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatra Barat, Riau, Bangka Belitung, dan DKI Jakarta. Penderita gangguan mental emosional terbanyak berasal dari kelompok yang tidak bekerja (19,6%) dan ibu rumah tangga (13,4%). (RISKESDAS, 2007). Penyebab terus meningkatnya tingkat kekerasan terhadap perempuan, menurut Arimbi, diantaranya disebabkan adanya relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki serta perangkat hukum yang ada belum maksimal melindungi perempuan dari kekerasan. Selain itu, para pejabat publik juga belum memiliki perspektif gender yang baik. Saat ini, kapasitas penyelenggara negara dalam memberikan layanan kepada perempuan korban tindak kekerasan juga sangat mengkhawatirkan. Komisioner Komnas Perempuan, Ninik Rahayu, mengatakan, "Struktur, perangkat sarana dan prasarana untuk memastikan korban untuk mendapatkan keadilan, ternyata tidak tercapai sebagaimana dijanjikan oleh undang-undang". (Fathiyah Wardah, 2011). KDRT membawa dampak jangka panjang serta berbagai permasalahan kesehatan seseorang dan keluarganya. Wanita yang mengalami tindak kekerasan memiliki risiko 50-70% lebih besar untuk terserang berbagai penyakit, termasuk penyakit ginekologi, susunan saraf pusat dan problem terkait stres, serta berbagai penyakit neurologis lainnya. Mereka sering sakit kepala, sakit punggung, nyeri perut, infeksi saluran kencing, memiliki problem pencernaan dan sulit tidur. Selain itu mereka juga merasa rendah diri, cemas, penuh ketakutan, sedih, putus asa,
8
terlihat lebih tua dari usianya, serta bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas. (Campbell, et al, 2002). Kenyataan bahwa perilaku seseorang di masa yang akan datang didasari oleh penyakit mental, terkait kompetensi mental seseorang, dimana dampak dari gangguan mental ini perlu dibicarkan. Perilaku tindak kekerasan bisa muncul secara langsung sebagai akibat dari pengalaman morbiditas yang spesifik yang ada kaitannya dengan kebiasaan seseorang untuk bertindak agresif. Sebagaimana hubungannya dengan risiko suatu penyakit, saat penyakit tersebut remisi, maka risiko akan berkurang, sebaliknya risiko akan kembali muncul saat penyakit ini relaps. (Mullen. 1997). Tabel 2.3 Persepsi masyarakat tentang penyakit mental 71%
Dipengaruhi oleh kelemahan emosional
65% Disebabkan oleh kesalahan pola asuh orang-tua 45%
Korban kesalahan, akan hilang dengan sendirinya
43%
Tidak dapat diobati
35%
Konsekuensi dari perbuatan dosa
10%
Memilik dasar biologis, termasuk otak. Dikutip dari Stahl, Depression and Bipolar Disorders, in Essential Psychopharmacology,2000.
Jika tidak dilakukan intervensi oleh pihak luar seringkali masalah KDRT ini menimbulkan berbagai macam morbiditas, mortalitas (termasuk bunuh diri), serta terputusnya ikatan pernikahan diantara mereka, dengan segala dampak/risikonya termasuk gangguan mental. Stresor kehidupan yang berat merupakan faktor patogen lingkungan awal terjadinya gangguan atau kelainan mental. Variasi fenotip seseorang akan memberikan respon yang berbeda terhadap semua paparan stressor kehidupan dan bencana, salah satunya adalah gen SLC6A4 yang secara konsisten memberikan perbedaan respon psikologis terhadap stres kehidupan (Kilpatrick, et al, 2007). Adanya keyakinan sentral bahwa depresi berhubungan dengan hiperaktivitas HPA axis (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal) yang dibuktikan dengan meningkatnya kadar cortisol, perlahan mulai tergoyahkan. Peningkatan Kadar Cortisol ternyata bervariasi pada beberapa tipe depresi mayor, demikian juga ada jam-jam tertentu yang memperlihatkan peningkatan kadar 9
cortisol. Penggunaan psikotropik ternyata berhubungan dengan rendahnya kadar cortisol (Vreeburg, et al, 2009). Suami – istri yang terlibat dalam pertengkaran dan akhirnya saling melakukan tindak kekerasan seringkali mengakui bahwa pada awalnya sebenarnya mereka sedang berbincangbincang, kemudian mulai berbeda pendapat, dan saling menyerang dengan kata-kata kasar, hingga berakhir dengan tindak kekerasan fisik yang akhirnya harus dilaporkan ke polisi dan dimintakan visum et repertum ke dokter. Seringkali mereka menyesali perbuatan tersebut dan berusaha
untuk
memperbaiki
diri,
sembari
saling
menyalahkan
pasangannya
yang
membangkitkan emosional sekunder mereka. Tindak kekerasan yang mereka lakukan ternyata erat kaitannya dengan berbagai gangguan jiwa yang terdeksi saat itu (P2TP2A, 2010). Penanganan KDRT Penanganan KDRT seringkali memang tidak mudah, karena umumnya pelaku dan korban memiliki ikatan emosional yang kuat. Banyak dari mereka merupakan pasangan yang telah lama menikah, memiliki banyak harta dan usaha bersama, termasuk anak-anak yang sulit untuk diperebutkan ataupun harus dibagi. Penyelesaian kasus yang terburu-buru melibatkan aparat hukum juga sering menjadi bumerang bagi masing-masing pihak, baik pelapor maupun terlapor. Pada umumnya korban memang melaporkan kasusnya kepada aparat kepolisian dengan tujuan memberikan efek jera pada pelaku. Tetapi seringkali yang terjadi justru sebaliknya. Pihak terlapor umumnya akan sangat marah dan menganggap hal ini sebagai sebuah genderang perang. Dalam hati kecil kedua belah pihak sebenarnya tak ingin kasus internal rumah tangga mereka terbuka dan terbongkar menjadi konsumsi publik, bagaimanapun hal ini adalah sebuah aib dalam keluarga. Bahkan di beberapa kalangan masyarakat .
membutuhkan banyak pemikiran dan koordinasi dari berbagai pihak.
Pencegahan Upaya pencegahan KDRT
Konseling Pranikah
10
Melihat begitu banyaknya kasus KDRT yang didahului dengan permasalahan di awal pernikahan sangat dianjurkan orang-orang muda yang ingin memasuki jenjang pernikahan harus menjalani tahapan konseling pranikah. Tujuan konseling pranikah untuk saling mengetahui kelebihan dan kelemahan satu sama lain, belajar saling menghargai kelebihan pasangan dan sebaliknya mau menerima dan saling tolong menolong saat pasangan membutuhkan bantuan. Pertanyaan yang sering diajukan oleh peserta konseling pranikah adalah apabila ternyata mereka tidak ada kecocokan satu sama lain, apakah mereka harus berpisah? Pertanyaan ini agak sulit dijawab oleh konselor / terapis, karena justru harus dijawab oleh pasangan itu sendiri. Mampukah mereka mencari jalan dan saling menyesuaikan diri dengan berbagai perbedaan / ketidak-cocokan satu dengan yang lain? Apakah sebenarnya motivasi sepasang lelaki dan perempuan menikah? Paling tidak ada empat hal yang mendasari dan menjadi motivasi mereka menikah. Yang paling ideal adalah karena saling mengasihi, saling berbagi dan mempunyai niat yang suci untuk membentuk sebuah rumah tangga baru. Sayangnya tak banyak pasangan yang seperti ini. Sebagian anak-anak muda justru menikah tanpa persetujuan orang-tua, sebagian lagi menikah karena terlanjur hamil dan ada satu kelompok lagi yang menikah karena ingin ‘menolong’ pasangannya. Dalam keadaan sadar anak muda sebenarnya juga tidak ingin kawin lari, karena ternyata kawin lari adalah cerminan emosi sesaat, dimana sepasang kekasih tidak dapat lagi sabar menunggu restu kedua orang-tua mereka. Tetapi dalam keadaan / situasi yang makin memburuk, justru mereka melakukannya. Kawin lari membuat perasaan orangtua sakit dan kalah, sementara pihak yang memaksa / mengajak untuk kawin lari saat ini merasa menang. Peristiwa ini sebenarnya adalah trauma bagi semua pihak, dan dapat berbalik menjadi sangat tidak menguntungkan bagi pasangan muda tadi. Bagaimana jika nantinya terjadi kekerasan dalam rumah tangga? Ke mana harus mengadu? Keluarga merupakan satuan masyarakat terkecil yang dimiliki oleh seorang individu. Kalau keluarga bisa memainkan peranannya dengan baik, individu-individu yang tumbuh dan tinggal di dalamnya niscaya akan merasa nyaman dan bertumbuh dengan sehat. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi dan menolong. Awalnya Tuhan menciptakan laki-laki (Adam) kemudian karena Tuhan melihat tidak ada mahluk lain yang bisa mendampingi / sepadan dengan Adam, Tuhan menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam. Jadi tugas Hawa saat itu adalah mendampingi, menemani dan menolong laki-laki yang menjadi suaminya. Susah 11
dan senang mereka jalani bersama, mereka saling setia meskipun badai dan krisis datang menerpa.
Kesimpulan KDRT ternyata berkaitan erat dengan gangguan jiwa yang dialami, baik oleh pelaku maupun korban, ataupun keduanya. Sayangnya hampir semua pelaku dan korban KDRT kurang memahami hal tersebut, karena saat ditawarkan layanan psikiatri, banyak dari mereka justru menolaknya dan mengatakan diri mereka baik-baik saja dan tidak ‘gila’. KDRT sebenarnya dapat dicegah, apabila masing-masing anggota keluarga berada dalam kondisi mental yang sehat. Rantai KDRT terus berjalan seolah tak ada putusnya, mereka yang dulu jadi korban KDRT kini justru berbalik menjadi pelaku KDRT terhadap keluarganya, pasangannya, serta anaknya. Diperlukan pemahaman dan wawasan yang baik tentang peran dan fungsi masingmasing anggota keluarga agar mereka tidak menjadi korban KDRT, atau sebaliknya justru menjadi pelaku KDRT.
Contoh-contoh kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (Catatan : Semua nama yang ada dalam kasus ini adalah bukan nama sebenarnya).
Dokter Yang Gagal 1. Ny. SH-MH, 40 tahun Saat ini usiaku 40 tahun, aku menikah saat statusku mahasiswa Fakultas Kedokteran Semester 6. Entah mengapa aku begitu bodoh saat itu, seluruh keluarga dan teman-temanku mengatakan sayang banget, karena sedikit lagi aku lulus sarjana kedokteran – dan dua tahun berikutnya menjadi seorang dokter. Saat itu aku begitu menggebu-gebu untuk menikah dengan seorang dokter yang aku kagumi, tetapi akhirnya cinta dan kekaguman itu makin pudar seiring dengan perjalanan rumah tangga kami. Aku rela mengorbankan kuliah dan masa depanku demi mendampingi suami yang ditugaskan ke luar daerah. Kalau konselor tak menanyakannya barangkali latar belakang klise 12
bahwa pacarku telah menodaiku sebelum pernikahan akhirnya terungkap. Tidak ada konseling apa-apa yang dijalani saat itu, semua begitu cepat terjadi. Di mata keluargaku kejadian ini juga dirasa mengejutkan karena aku baru saja berkenalan, berpacaran, tetapi tiba-tiba aku mendesaknya minta segera dinikahi. Menurut suami dan rekan-rekan kerjanya, perilaku dan sikapku dirasakan mulai aneh sesudah 2 tahun menikah. Aku menjadi mudah curiga dan bertengkar dengan suami, staf di kantornya, dan juga para tetangga, karena alasan-alasan yang sangat sepele. Saat itu aku merasa semua orang menjahatiku, mereka merencanakan suatu persekongkolan untuk mencelakai keluargaku, padahal sebelumnya semua baik-baik saja, dan aku juga selalu berbuat baik pada mereka. Analisa forensik psikiatri dari dokter yang mewawancaraiku menunjukkan bahwa aku mengalami gangguan Skizofrenia Paranoid, suatu gangguan jiwa yang benar-benar tidak pernah aku duga sebelumnya. Sampai hari ini aku tak percaya diriku bisa terserang gangguan jiwa semacam itu, hal itu yang membuatku malas minum obat. Apalagi selama ini aku merasa masih bisa bekerja dengan baik di kantor tempatku bekerja. Akibat gangguan yang kualami ini suamiku harus berkali-kali meminta maaf pada atasan, rekan-rekan kerja, bahkan seluruh keluarga besarnya. Aku sering tak mengerti mengapa harus meminta maaf, karena justru mereka sendirilah yang telah berbuat jahat terhadap keluargaku. Suatu kali sesudah kami bertengkar hebat, keluarga suami melaporkanku ke polisi. Tentu saja keluargaku tidak bisa terima, jadi kami saling melaporkan kasus KDRT yang kami alami dari pasangan serta keluarga masing-masing. Melalui berbagai proses konseling aku mulai bisa bersabar, lebih percaya diri dan bisa menerima kenyataan tentang penyakitku ini. Dengan telaten aku menjalani proses pengobatan, hingga akal sehatku kembali pulih. Aku mulai berpikir untuk menata karir dan masa depan, kalau dulu aku gagal menjadi seorang dokter, sekarang tak boleh lagi. Aku memilih ganti haluan dan kuliah di Fakultas Hukum, aku tak mau lagi direndahkan dan dilecehkan keluarga suamiku karena drop-out dan batal jadi dokter. Syukurlah gangguan Skizofrenia tak sampai menggerogoti kemampuan otakku, aku tetap bisa cerdas dan berprestasi. Selepas S1 aku langsung mendaftar untuk pendidikan S2 dan akhirnya aku memperoleh pekerjaan yang jauh lebih bagus melebihi suamiku. Persoalan baru kembali muncul saat suami merasa bahwa aku terlalu mendominasi dan mengatur dirinya. Beberapa kali suamiku mengeluh lelah, depresi dan frustrasi menghadapi 13
perilaku dan sikapku yang terlalu dominan. Hampir seluruh keluarga dan masyarakat di sekelilingku was-was banget, mereka khawatir penyakitku kambuh lagi seperti yang dulu. Refleksi diri: -
Komunikasi anak dan orang-tua sangat berperan saat anak dihadapkan pada berbagai pilihan penting dalam hidup mereka, agar pengambilan keputusan mereka tidak terburuburu dan akhirnya salah.
-
Permasalahan dan gangguan jiwa yang muncul bisa jadi merupakan akumulasi dari awal kehidupan pernikahan mereka, karena dasar pernikahan yang kurang kuat.
Bawalah Aku Pergi 2. Ny. MB, 40 tahun Usianya masih sangat muda saat memutuskan untuk menikah. Masa-masa indah yang biasa dirasakan oleh anak-anak dan remaja lainnya tak pernah dialaminya, karena ibunya menderita Skizofrenia Paranoid. Pengobatan yang dijalani si ibu tidak tuntas, ibunya sering menolak minum obat dengan alasan efek samping obat yang terus membuat ibunya tidur hampir sepanjang hari, sehingga ayahnya harus secara sembunyi-sembunyi menaburkan obat ke dalam makanan sang ibu. Ibunya begitu sering menceritakan ketakutan dan kecurigaannya bahwa ada orang-orang jahat yang ingin mencelakai keluarga mereka, seraya mengajak anak-anak
14
mengungsi ke suatu tempat. Korban mulai menyadari adanya gangguan jiwa saat dirinya terus dicurigai telah berselingkuh dengan ayah kandungnya. Korban tak suka tinggal di rumah karena terus dimusuhi oleh ibunya dan berpacaran di luar batas, sampai akhirnya menyadari dirinya telah hamil dan saat baru lulus SMA. Upacara pernikahanpun segera digelar, tak ada konseling pra-nikah, semua seolah buru-buru dilakukan mengingat si jabang bayi yang mulai membesar di perut korban. Untungnya keluarga suami bersedia menampung suami-istri muda ini yang sama sekali tak memiliki apa-apa saat mereka menikah. Perlahan pasangan ini menata kehidupan, merencanakan kuliah sambil mengasuh anak dan memulai suatu usaha. Dengan usia yang relatif masih muda ini begitu banyak godaan mereka rasakan, termasuk perselingkuhan dan perilaku penyimpangan seksual. Korban tak bisa memaafkan perilaku suaminya yang tiba-tiba Mengajak seorang seorang temannya masuk ke kamar mereka dan bercinta bertiga. Sementara itu suami juga sulit untuk menerima kenyataan istrinya pernah berselingkuh dengan atasannya demi memperoleh berbagai materi yang tidak mampu dibeli suaminya saat itu. Perilaku suami yang suka berjudi, mabuk, impulsif, pemarah dan royal dalam keuangan dirasakan makin mengganggu keluarga. Ketiga anak mereka seolah ikut memusuhi ayahnya. Kejadian menyesakkan yang terus terjadi dan menimpa keluarga membuat korban berpikir untuk menceraikan suami diam-diam. Saat ini korban memang masih tinggal seatap dengan suami dan anak-anaknya, tetapi statusnya telah bercerai. Ketakutan untuk tertular virus HIV-AIDS begitu kuat mengganggu pikirannya, karena berkali-kali terbukti suaminya berselingkuh dengan wanita-wanita murahan pekerja café. Hasil test yang negatif masih belum bisa meyakinnya bahwa dirinya akan aman.
Rumput Tetangga Ternyata Lebih Gersang 3. Ny. Dewi, 38 tahun Ibu Dewi sudah menikah + 15 tahun, dikaruniai 4 orang anak. Motivasi menikah saat itu karena ingin lari dari rumah orang-tua, karena tak kuat dengan penderitaan dan kemiskinan yang ada dalam rumahnya, setelah ayahnya menceraikan ibunya. Di depan matanya ayahnya sering melakukan tindak kekerasan, sementara ibunya hanya bisa menangis dan diam mengalah. Begitu bertemu dengan pacarnya yang dikiranya baik hati ini, korban cepat-cepat minta dinikahi agar 15
terlepas dari ikatan dengan orang-tuanya. Tak ada persiapan khusus untuk pernikahan mereka, karena semua dilakukan terburu-buru, tidak ada konseling pra-nikah bagi pasangan muda ini. Tetapi kebahagiaan yang dirasakan ternyata tidak bertahan lama. Perilaku suami yang selalu mencurigainya semakin menjadi-jadi. Korban sering dituduh berselingkuh tanpa alasan yang jelas, dimaki-maki dengan kata-kata kasar. Bahkan setiap kali suaminya pergi keluar, istri dan anak-anak akan dikunci di dalam kamar tidur menunggu suaminya pulang. Dari 4 anaknya hanya seorang saja yang diakui oleh suaminya. Tentu saja hal ini membuat sakit hati korban dan perlahan-lahan diketahui juga oleh anak-anak yang makin beranjak remaja. Dari hasil pemeriksaan medis ternyata suami korban memang menderita Skizofrenia Paranoid, yang memerlukan pengobatan yang serius. Istri dan anak-anaknya terus menjadi sasaran kecurigaan dan kemarahan suami. Bahkan untuk kesalahan sepele seperti salah mengerjakan PR, salah parkir sepeda motor akan menjadi bahan omelan dan kemarahan yang tak kunjung berhenti, yang tak jarang berakhir dengan kekerasan fisik. Sudah dua tahun ini suami juga tak lagi mau bekerja dan membiayai rumah-tangga serta sekolah anak-anaknya, sehingga membuat korban harus pontang-panting menanggung malu karena menunggak berbagai kewajiban dan mencari pinjaman. Korban dan anak-anaknya saat ini dalam keadaan depresi.
Maafkanlah Aku Ibu…. 4. Ayu, 35 tahun Korban lari dari rumah orang-tua dan keluarga besarnya sekitar 15 tahun yang lalu, saat itu alasan orang-tua tidak menyetujui karena perbedaan kasta. Jangankan konseling pra-nikah, restu orang-tua pun tak didapatnya. Kini hanya tinggal penyesalan mendalam yang terus menyesakkan dadanya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya perkawinannya akan berakhir seperti ini, suaminya yang telah mapan diperjuangkannya menjadi pegawai negeri ternyata berselingkuh dengan seorang pengusaha kaya dan berusaha menceraikannya. Berbagai upaya
16
telah dilakukannya, termasuk melaporkan hal ini kepada atasan suaminya, tetapi justru suaminya makin bersikeras menceraikannya. Sebetulnya ibu Ayu seorang istri yang kreatif, keuangan rumah tangga lebih banyak berasal dari buah karyanya. Tetapi rupanya tinggal di rumah mertua bersama seluruh keluarga besar suami merupakan stres tersendiri bagi si korban. Beberapa kali korban jatuh dalam keadaan fase depresi, menghapus semua keceriaan yang kadang-kadang nampak saat fase mania. Suaminya yang memiliki kepribadian disosial seringkali tak pulang, dengan alasan lembur di kantor. Padahal kenyataannya justru tidur dan bersenang-senang di luar kota bersama wanita lain yang juga telah bersuami. Dalam keadaan seperti itu emosi korban mudah sekali terpancing, pertengkaran diantara mereka makin sering terjadi, sampai akhirnya suaminya mengusirnya. Bahkan seluruh keluarga suami melarangnya untuk menginjakkan kaki di rumah mereka. Istri sering mengalami Gangguan Disosiatif, keluarga besar suami tersinggung. Jadilah bu Ayu terlunta-lunta sendiri tanpa rumah dan kehangatan keluarga. Untuk kembali kepada orang-tua dia benar-benar tak sanggup, seluruh keluarga besarnya benar-benar marah saat dirinya memutuskan kawin lari dulu. Untuk menghidupi dirinya korban harus bekerja sebagai buruh kasar dari rumah ke rumah dan kost di kota terdekat. Anak-anaknya tidak lagi bisa ditemuinya, mereka terbius dengan kemewahan yang ditawarkan oleh calon ibu tiri mereka. Sampai suatu kali putri sulungnya datang mengendap-endap ke kamar kostnya dalam keadaan sakit. Putrinya yang baru berusia 14 tahun pun mulai belajar berbohong kepada ayah dan seisi rumahnya agar dapat bertemu dengan ibunya.
Lebih Baik Aku Tak Punya Ayah 5. Topan, 16 tahun Remaja putra ini begitu kaget saat ayahnya tiba-tiba datang memasuki rumahnya, memaki-maki kakek neneknya dan mengusir ibunya. Topan sudah lama tahu bahwa ayahnya memang pergi meninggalkan dirinya sejak dalam kandungan ibunya. Saat itu ayah Topan meminta si ibu memberikan persetujuan untuk menikahi wanita lain. Ibu Topan yang saat itu
17
sedang hamil tentu saja menolak, sehingga si ayah pergi meninggalkannya dan mengirimkan surat cerai beberapa bulan kemudian. Meskipun telah diceraikan, keluarga besar ayahnya tetap memintanya tinggal di rumah, mengasuh Topan dan tetap diakui sebagai menantu di rumah tersebut. Ayahnya yang tinggal di luar pulau dicoret keanggotaannya oleh pemuka adat setempat, tidak lagi berhak menjadi pewaris di rumahnya. Sejak bayi Topan sama sekali tak pernah bertemu dengan ayahnya. Perasaan sedih, marah, kecewa, nampak begitu jelas di wajahnya saat menceritakan hal ini. Sejak kecil dia sangat iri melihat rekan-rekannya bisa memiliki ayah dan pergi bersama-sama, tidak seperti dirinya yang harus puas tinggal berdua saja dengan sang ibu. Menurut cerita keluarganya rupanya ayah Topan memang berpacaran dengan dua orang wanita, rupanya keduanya hamil dalam waktu yang hampir bersamaan, membuat ayah Topan kebingungan dan sulit menentukan sikap, tentu saja tak ada sesi konseling pra-nikah yang mereka jalani. Yang membuat Topan harus melaporkan kasus ini ke polisi dan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) adalah ancaman ayahnya terhadap ibunya, karena telah diceraikan si ibu harus keluar dari rumah. Sementara kakek neneknya digugat di pengadilan karena mencoret namanya sebagai pewaris di rumah tersebut. Saat ini persidangan demi persidangan telah dilalui tanpa sepengetahuan dirinya yang dianggap masih terlalu muda untuk dihadirkan. Padahal serangan panik dan depresi yang dialaminya gara-gara peristiwa ini terus mengganggu konsentrasi dan semangatnya untuk belajar.
Istriku Pembawa Sial 6. Adi, 50 tahun Laki-laki ini mengadukan istrinya ke lembaga P2TP2A propinsi Bali, terdengar aneh memang, tetapi itulah obsesinya beberapa tahun terakhir. Dalam benaknya istri yang mendampinginya dianggap tidak lagi setia dan taat kepada dirinya selaku komandan dalam rumah tangga. Menurutnya hal ini merupakan kesalahan yang fatal karena ekonominya menjadi sangat terganggu dan tidak lancar. Adi ingin menceraikan istrinya agar rejekinya lancar / tak lagi 18
terhalang. Konseling pra-nikah yang dulu pernah mereka lalui ternyata hanya formalitas belaka yang tak mampu diingatnya lagi. Konsep pemikiran aneh setingkat waham inilah yang membuatnya menghalalkan segala cara agar memenangkan gugatan cerainya di pengadilan segeri setempat. Adi menteror dan terus memaki-maki serta menyerang istri dan anak-anaknya agar memberhentikan pengacara P2TP2A yang membela istrinya. Pengacara tersebut dicabut kuasanya tepat setelah replik dan bukti-bukti medis bahwa Adi mengidap gangguan jiwa telah dipegangnya. Saat diminta menghadirkan saksisaksi untuk pembuktian bahwa mereka benar-benar layak untuk bercerai Adi dan pengacaranya bersekongkol untuk menghadirkan saksi-saksi palsu guna meyakinkan majelis hakim. Perceraianpun terjadi, sejarah lama beberapa puluh tahun yang lalu rupanya berulang di sini, karena kedua orang-tua Adi mengalami kasus yang sama persis dengan dirinya. Adi kecil adalah korban KDRT yang dilakukan ayahnya terhadap ibunya, dia benar-benar membenci ayahnya dan berusaha untuk hati-hati memperlakukan istri dan anak-anaknya. Nyatanya semua itu tak lagi diingatnya, pola kekerasan yang dahulu pernah terjadi kembali terulang kembali. Refleksi diri: -
Ternyata lingkaran KDRT masih tetap ada sampai sekarang, dulu menjadi korban KDRT, atau barangkali hanya sebagai saksi KDRT, kini setelah dewasa justru menjadi pelaku KDRT.
-
Tentu saja diperlukan berbagai intervensi dan terapi agar siklus KDRT ini tidak terus berlangsung dalam generasi mereka.
Biadabnya Ayahku Kasus 7: SA, wanita, 17 tahun dan TI, wanita, 12 tahun Latar Belakang. Korban TI yang masih berusia 12 tahun, tampak begitu rapuh, lemah dan mudah menangis. Dia menceritakan permasalahannya dengan terbata-bata, matanya juga terus menjelajah ke sana ke mari penuh kecurigaan. Adiknya, yang masih berusia 9 tahun, ditemukan meninggal di dalam cubang tempat penampungan air. Sedihnya ternyata sang adik adalah korban tindak kekerasan 19
kakak laki-lakinya, yang berusia 15 tahun. Dalam keluarga mereka memang hanya terdapat 1 orang anak-laki-laki (anak ke-2). TI tidak tahu persis apa yang terjadi antara kakak dan adiknya tersebut sebelum meninggal. Saat ini kakaknya ada dalam tahanan polisi. Sebenarnya ayahnya juga ditahan oleh polisi tetapi mereka sekeluarga minta agar sang ayah dibebaskan, guna mencari nafkah bagi keluarga. Sampai hari ini ayah adalah satu-satunya pencari nafkah bagi mereka. Di rumah yang hanya memiliki 1 kamar tersebut ayah, ibu, nenek dan ke-7 bersaudara ini tinggal. Ada tambahan sebuah cerita miris yang keluar dari korban TI dan kakaknya SA, mereka sebenarnya adalah korban pemuas nafsu dari ayah kandung sendiri. Entah sudah berapa kali sang ayah melampiaskan nafsunya, memaksa anak-anak perempuannya berhubungan sex saat keadaan rumah sepi. Ibu mereka seolah tak berdaya saat mereka menceritakan kebiadaban perbuatan ayah mereka. Ibu hanya diam tanpa komentar apapun, sehingga akhirnya anak-anak menjadi malas untuk bercerita lagi. Sesakit apapun hati dan perasaan ini, mereka harus mampu menahan dan menanggungnya sendiri. Ironisnya TI juga menjadi obyek pemuas nafsu seksual kakak laki-lakinya. Perbuatan tersebut juga dilakukan saat kondisi rumah sepi tak ada orang tempat mengadu. TI tak kuasa menghindar karena kakaknya mengancam akan memukulnya jika menolak ataupun melaporkan hal tersebut kepada orang lain. Kakak wanitanya, SA, ternyata sudah mengerti semua kejadian tersebut sebelumnya, karena SA sendiri juga adalah korban pemuas nafsu ayahnya. Sedangkan adik lakilakinya sampai sekarang tidak pernah berani terhadap dirinya. SA sengaja pulang dan berhenti dari tempat kerjanya setelah mendengar permasalahan rumit yang dialami keluarganya. Dalam benaknya memang tak banyak yang bisa dikerjakan, tetapi paling tidak dia bisa menjaga adik-adiknya saat ayahnya dalam tahanan polisi dan ibunya terlihat terus melamun tak mampu bekerja apa-apa. Nanti setelah kondisi keluarga mereka mulai pulih, dia akan kembali ke tempat kerjanya di kota. Saat kedua korban ini ditanya untuk menanda-tangani laporan tentang kasus perkosaan dan pelecehan seksual tersebut, mereka berdua secara kompak menolaknya. Alasan utama karena kuatir sang ayah marah besar dan menghukum mereka. Meskipun sang ayah saat itu berada dalam tahanan, mereka tetap takut sesuatu terjadi atas mereka jika berani melaporkan perbuatan buruk tersebut. Bagi mereka sosok ayah tetaplah ayah, yang akan mencari nafkah dan menghidupi mereka sekeluarga, betapapun buruk perilakunya. 20
Evaluasi psikologis : ‐
Kedua korban dalam keadaan Depresi, perlu dipikirkan langkah-langkah terapi yang akan diambil setiap kunjungan.
‐
Keduanya adalah saksi kunci bagi kasus KDRT yang dilakukan ayah mereka, tetapi mereka sepakat tutup mulut agar tidak menambah masalah baru. Hal ini yang membuat polisi akhirnya melepaskan si ayah, karena tidak ada laporan apapun dari kedua korban. Padahal UU PKDRT dapat menjerat siapapun yang telah jelas-jelas mengetahui kasus KDRT tetapi enggan melaporkannya.
Saran: ‐
Kedua kakak beradik ini perlu mendapatkan rumah aman, agar peristiwa pelecehan dan perkosaan tersebut tidak menimpa mereka lagi.
‐
Mengingat usia mereka masih sangat muda, perlu dipikirkan agar mereka bisa memperoleh pendidikan dasar (saat ini mereka buta huruf, karena orang-tua hanya menyekolahkannya sampai kelas I saja).
‐
Terapi pemulihan secara sosial, adat dan psikologis perlu dilakukan secara teratur dan simultan minimal 2 minggu sekali. Apalagi ada ancaman dari pemuka masyarakat tempat mereka tinggal agar segera membuat upacara mecaru, guna membersihkan lingkungan mereka yang telah ternoda akibat ulah salah satu anggota keluarga mereka. Kalau mereka tak bisa membuat upacara tersebut dalam waktu 1 bulan ini, masyarakat akan mengusir mereka sekeluarga.
Berapa Istri Lagi Suamiku? Kasus 8: LY, wanita, 33 tahun. Menikah 12 tahun, anak 1 orang usia 11 tahun. LY datang dalam keadaan sangat kalut, dia benar-benar sedih dan putus asa mendapati kenyataan bahwa suaminya sejak 5 tahun terakhir selingkuh dengan salah seorang kerabat mereka. Kemarin dia baru saja memergoki suaminya berada dalam kamar kost seorang wanita tersebut. LY juga tidak menduga akan menangkap basah suaminya saat berselingkuh, ledakan emosi dan kemarahannya benar-benar tak dapat dibendung, dia menyerang wanita tersebut 21
dengan berderai-derai air mata, tetapi yang lebih menyakitkan dirinya, ternyata suaminya justru membela wanita tersebut dan mendorongnya keluar dari kamar kost si wanita. Tenaga suaminya yang tentunya jauh lebih kuat dari dirinya, membuatnya terjatuh ke lantai. Hatinya makin kecut saat suaminya hanya memandang sekilas dan tidak menolong membangunkannya dari lantai. Sebulan sebelum peristiwa ini LY mendapati sebuah nota kecil di saku celana panjang suaminya. Di situ terbaca samar-samar angka nominal uang tunai sejumlah dua milyard dan beberapa kode yang tidak dimengerti. Suaminya tampak acuh tak acuh saat ditanya apa maksud coretan di kertas tersebut. Setelah menyelidiki beberapa hari terungkaplah sebuah kenyataan yang sangat menyakitkan dirinya, karena suami telah membeli sebuah rumah di luar kota atas permintaan mantan istrinya. Dilihat dari jumlahnya, LY benar-benar tertegun, mengapa untuk sebuah pengeluaran sebesar itu suami tak pernah memberitahu dan meminta persetujuan dirinya. Selama ini mereka bekerja membanting tulang untuk merakit sebuah masa depan, tetapi dengan mudahnya sang suami membagikan hasil kerja keras mereka kepada orang lain. Sungguh tidak masuk di akal sehat LY, meskipun wanita yang telah berhasil merayu suaminya membeli sebuah rumah tersebut tidak lain adalah mantan istri suaminya. Di lain kesempatan suaminya kedapatan mentransfer sejumlah uang untuk salah seorang karyawan wanitanya. Alasan suami uang tersebut dibutuhkan untuk operasional kantor sementara suami tidak ada di tempat. LY sangat tersinggung karena keberadaan dirinya sebagai istri yang sah seolah diabaikan begitu saja. Suami justru mempercayakan keuangan mereka kepada orang lain, yang biasanya tidak jelas pertanggungan-jawabnya. Menurut LY mereka bekerja belasan tahun mulai dari titik nadir sampai jadi besar seperti sekarang ini. Tapi apalah yang mau dikata, semuanya telah terlanjur terjadi. Kejadian perselingkuhan ini juga bukan kali pertama dilakukan oleh sang suami. Jika mengingat awal-awal perjumpaan mereka, LY sebenarnya sangat kecewa dan sakit hati, karena suaminya sama sekali tidak pernah bercerita bahwa dirinya telah dua kali menikah dan mempunyai dua orang anak. Dengan demikian posisi LY saat menikah adalah sebagai istri ketiga, tetapi suami dengan manis memberikan sebuah angin segar bahwa dia telah menceraikan kedua istrinya. Banyak keraguan muncul di benaknya terutama saat dirinya mulai hamil, mampukah dia mempertahankan bahtera rumah tanga mereka. Akan tetapi rasa cinta dan kekagumannya terhadap suaminya yang seorang pekerja keras mampu menutup semua keraguan itu, lagipula suami juga telah berjanji tidak akan menikah lagi. LY adalah pelabuhan terakhirnya. 22
Kejadian perselingkuhan suami memang sudah sering terjadi, tetapi LY masih mampu memaafkannya. Baginya yang terpenting adalah keutuhan rumah-tangga, apalagi mereka sudah dikaruniai seorang anak. Dengan sangat berat LY mengubur semua angan-angan dan mimpi indahnya tentang sebuah keluarga harmonis yang tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas, serta mampu bertahan hingga kematian memisahkan mereka. Semua problema hidup dan kesedihan yang terus menggerogotinya lima tahun terakhir membuatnya jatuh dalam keadaan Depresi. Hidup tak lagi berarti, semua harta yang dikumpulkannya juga rasanya tak mampu membuatnya bahagia, suaminya terus bersenang-senang bersama wanita lain, pulang hingga larut malam dan tidak lagi memperdulikan istri dan anaknya. Seorang kerabat mengajaknya untuk berobat ke dokter Psikiater. Psikiater memberikan beberapa obat guna menghapus kesedihan dan sakit hatinya, tapi perilaku suaminya yang tidak juga menjadi baik membuatnya memutuskan untuk tidak lagi meminum obat-obatan tersebut. Lagipula obat-obat tersebut membuatnya tertidur lelap dan sulit untuk mengawasi gerak-gerik perilaku buruk suaminya. Dalam keadaan sadar suaminya pernah mengatakan bahwa alasan mencari wanita lain adalah karena LY berkali-kali menolak tak mau melayani kebutuhan biologis suaminya, bahkan dengan marah LY juga pernah mempersilahkan suaminya mencari wanita lain yang sanggup melayaninya. Kata-kata dan ucapannya itu benarbenar menjadi bumerang dalam hubungan pernikahan mereka. LY akhirnya menghentikan pengobatan yang dijalaninya, dia menguatkan keyakinannya bahwa dirinya sanggup bertahan menghadapi perselingkuhan suaminya, tanpa perlu campur tangan dan bantuan dokter Psikiater ataupun obat-obatan. Apalagi selama ini suaminya juga tidak terlalu memperdulikan dirinya, apakah sudah minum obat atau belum. Suasana hatinya yang murung dan frustasi memang hilang timbul, beberapa tahun terakhir bahkan LY tak lagi menghiraukan anak semata wayangnya, semua tanggung jawab pengasuhan anak diambil alih oleh saudara-saudaranya. Beberapa kali suaminya memarahinya karena terlalu banyak menenggak alcohol dan minuman keras, tetapi LY tak lagi mau menuruti nasihat suaminya. Refleksi diri : ‐
Pernikahan yang diawali dengan sebuah kebohongan, sangat buruk akibatnya di kemudian hari, misalnya saat salah satu pasangan mengaku bujangan padahal sebenarnya telah menikah, ataupun telah bercerai beberapa kali, serta memiliki beberapa anak buah dari pernikahan sebelumnya. 23
‐
Pernikahan yang telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun bukanlah jaminan bahwa pernikahan tersebut akan berjalan mulus dan langgeng.
‐
Dibutuhkan kehati-hatian dalam berkata-kata, karena dalam keadaan marah / emosional orang sering mengambil keputusan yang keliru, misalkan dengan menyuruh pasangan untuk mencari wanita lain seperti pada kasus LY di atas.
‐
Konseling dan terapi pernikahan sangat dibutuhkan untuk memperbaiki komitmen pasangan ini. Sementara dalam kenyataannya salah satu / kedua belah pihak justru memandanganya dengan sebelah mata kegiatan konseling tersbut.
Ayahku, suamiku Kasus 9: DE, wanita, 21 tahun, tidak menikah, anak 1 orang usia 3 tahun. Namaku DE. Hari ini aku merasa tak lagi sanggup menatap masa depan, semuanya telah hancur berantakan, entah bagaimana aku harus mulai membangunnya kembali. Tinggal bersama orang-tua adalah kerinduanku sejak kecil, sama seperti anak-anak lainnya yang bisa merasakan kasih sayang ayah dan ibu... Tapi betapa buruk nasibku ini, ayah ibuku berpisah saat aku belum lahir ke dunia, entah apa yang mereka peributkan, yang jelas saat aku hadir tak ada seorangpun yang terseyum menyambutku. Aku dirawat oleh nenek, paman dan bibiku, karena ayah dan ibuku tak lagi mau bersatu, mereka menempuh jalan hidupnya masing-masing. Aku harus berpindah dari satu kota ke kota lain, karena mengikuti orang-tua angkatku. Kata mereka aku anak yang bandel, seringkali benar-benar nakal dan membuat mereka kewalahan mengasuhku. Sampai suatu saat nenekku meninggal dan aku dijemput oleh seorang kerabatku mencari ayah kandungku. Saat itu usiaku sudah 15 tahun dan lulus Sekolah Menengah Pertama. Dalam hati aku merasa sangat senang, karena pada akhirnya aku akan bertemu dengan ayahku dan tinggal bersamanya. Selama ini aku hanya mengenal wajah ayah-ibuku melalui foto saja, belum pernah seumur hidupku aku bertemu dengan mereka. Ternyata ayahku telah menikah lagi dan mempunyai dua orang anak. Rumah tempat tinggal ayahku tak bisa dibilang layak, hanya kamar kost kecil di sebuah gang. Di situ hanya terdapat sebuah tempat tidur, yang dipakai berdesak-desakan untuk mereka berempat. Ibu tiriku seolah tak rela aku menambah sesak kamar mereka, tetapi karena tak berani melawan perintah ayahku akhirnya kami berlima berdesak-desakan di kamar kost itu. Aku tak terlalu 24
mempermasalahkan minimnya fasilitas yang ada di rumah ayahku, bisa tinggal bersamanya saja sudah membuat hatiku senang. Aku bisa cerita kepada teman-temanku bahwa ternyata aku masih memiliki ayah. Hari demi hari berjalan begitu cepat, sampai suatu saat terjadilah malapetaka itu. Ayahku tiba-tiba menindihku dan meminta aku melayaninya. Dengan memohon-mohon ayahku meminta dan merayu agar aku mengikuti perintahnya, apalagi selama setahun lebih ayahku sudah menerimaku di rumah ini dan membiayai sekolahku. Aku mendekat ke ibu tiriku, memohon dia mau membelaku agar tidak harus melayani nafsu ayahku, tapi justru aku dimarahi dan dianggap anak yang tak tahu diri, karena tidak dapat membalas budi terhadap orang-tua. Tak ada lagi yang dapat aku lakukan selain mengiyakan kemauan mereka. Ibu tiriku malah membantu memegangi kakiku agar ayahku dengan mudah merenggut kegadisanku. Lenyap sudah rasanya masa depanku, hatiku benar-benar sakit dan hancur. Pada siapa aku harus mengadu, tak sanggup rasanya aku membuka mulutku menceritakan aib ini pada kerabatku, ataupun sahabat dekatku. Peristiwa menjijikkan itu terjadi berkali-kali, sampai suatu saat ada perasaan aneh merasuki diriku, entah mengapa jika pada awalnya aku merasa benci dan marah pada ayahku, sekarang justru muncul kekaguman dan ketergantungan dalam diriku. Diamdiam aku merindukan belaian, ciuman dan pelukannya, sampai suatu saat aku pernah merengekrengek agar ayahku memberiku seorang anak. Beberapa bulan sebelum menamatkan SMA aku positif hamil. Rasa takut dan mal uterus berkecamuk dalam pikiranku, apa jadinya nanti jika teman-teman dan guruku mengetahui bahwa aku hamil? Syukurlah ukuran badanku memang gemuk sehingga tidak ada seorangpun yang menyadari telah terjadi perubahan pada perutku. Aku berhasil melewati masa-masa sulit ujian dan dinyatakan lulus. Begitu selesai ujian ibu tiriku langsung membawaku ke kampungnya, aku disewakan sebuah tempat kost dan dilarang menerima tamu siapapun. Sedih dan sakit sekali rasanya hati ini, aku harus menunggu sampai tiba waktu bersalin. Begitu anakku lahir, ibu tiriku langsung membawa bayiku pergi. Katanya lebih baik aku tak usah mengingat-ingat anak itu, karena umurku masih terlalu muda untuk disibukkan dengan berbagai urusan anak dan rumah tangga. Tidak ada upacara, tidak ada ucapan selamat, semua seolah diam membisu dan pura-pura menutup mata dan telinga tetrhadap kejadian luar biasa yang baru saja aku alami. Hidupku benar-benar terpuruk, masih adakah orang yang mau
25
menerima diriku saat ini, ingin rasanya aku berteriak keras-keras mengutuki nasibku, tapi aku tak sanggup, semua itu hanya bergema jauh di lubuk hatiku yang paling dalam. Refleksi diri: ‐
Kisah sedih seperti yang dialami DE dapat kita simak dan ambil hikmahnya, betapa mudahnya tindak kekerasan (seksual) terjadi di sekeliling kita, dengan pelaku justru orang terdekat yang seharusnya melindungi.
‐
Trauma psikologis sebagai korban incest seperti yang dialami DE umumnya akan membekas seumur hidup, membuatnya ketakutan terhadap lawan jenis, selalu memandang curiga terhadap orang-orang di sekelilingnya, serta kehilangan rasa percaya diri.
‐
Kalau akhirnya perbuatan biadab sang ayah dibawa ke ranah hukum, tetap sulit bagi dirinya untuk mengemukakan kesaksiannya secara jujur – selain pelakunya adalah ayah kandungnya sendiri, dengan menceritakan peristiwa ini berkali-kali DE merasa seolah luka di hatinya yang mulai mengering terobek kembali.
Aku Benar-benar Seorang Diri Kasus 10: GP, wanita, 16 tahun, tamat SMP, hidup sendiri di dunia ini Usiaku baru saja genap enambelas tahun, tapi jalan hidup yang kulalui rasanya terlalu sulit untuk kujalani. Setiap hari aku harus berjuang untuk hidup, sering aku tak tahu besok apakah aku masih bisa makan karena di dompetku tak ada uang sepeserpun. Aku tak pernah tahu apa artinya bersenang-senang dan hidup aman dalam pelukan orang-tua. Orang yang paling aku sayangi hanyalah kakekku, sayang beliau telah sangat renta dan rapuh. Beberapa kali tubuh ringkihnya terserang stroke dan tak lagi mampu berjalan. Aku hanya mampu menangis duduk di sampingnya. Tangan yang dulu begitu perkasa menggendongku sekarang terkulai tanpa tenaga sedikitpun, suara dan hardikannya yang dulu begitu keras meneriakiku sekarang nyaris tak bersisa, bahkan untuk menggerakkan bibir saja tampak begitu sulit buat kakek. Aku tinggal bersama kakek dan nenek sejak bayi, orang-tuaku bercerai saat aku baru lahir, saat ini mereka masing-masing telah menemukan jodoh yang baru dan meninggalkanku sendiri di rumah tua. Semua ajaran adat, agama, dan tradisi leluhurku rasanya tak ada yang 26
tersisa lagi di benakku. Beberapa kali aku kabur dari rumah karena merasa muak dengan semua tradisi yang diagungkan oleh keluarga, tapi nyatanya mereka ingkari. Di depan mataku pamanpamanku bertengkar memperebutkan harta kakekku, sebulan yang lalu bahkan mereka menggugat kakek lewat pengadilan. Aku tak tahan melihat mereka memaki-maki kakek, menyumpahinya agar cepat meninggal dan akhirnya kakek masuk rumah sakit. Sejak kecil aku terbiasa bekerja sambil bersekolah, agar aku memiliki bekal dan bisa sekedar membeli keperluanku. Setiap hari aku meluangkan waktu tiga sampai empat jam untuk membantu beberapa tetangga yang membutuhkan tenagaku. Bagiku tak masalah pekerjaan apa yang harus aku kerjakan, aku biasa mencuci baju, membersihkan rumah, menjaga bayi, semuanya aku lakukan agar aku memiliki uang jajan. Ada suatu rasa bangga dalam pikiranku saat aku sesekali bisa membelikan sebungkus makanan kesukaan kakek dengan uang yang aku dapatkan itu. Tahun yang lalu aku mati-matian mengumpulkan uang agar dapat membayar biaya ujian akhir semester. Suatu kali aku benar-benar terkejut saat seorang ayah temanku menarik tanganku dan mengajakku tidur di kamarnya. Mungkin beliau tahu bahwa aku telah sering tidur dan berhubungan intim dengan beberapa pacarku. Iming-iming untuk memberiku sejumlah uang aku tolak – meskipun jujur saat itu aku memang bermaksud meminjam sejumlah uang padanya – tetapi perlakuannya yang kasar itu yang membuatku tersinggung. Rupanya penolakanku berakibat fatal, sesudah kejadian yang memalukan itu, aku justru dituduh dan difitnah telah mencuri sejumlah uang di rumah temanku, dan tak boleh lagi datang ke rumahnya. Tahun ini aku memutuskan untuk tidak bersekolah lagi, karena aku ingin bekerja dan mandiri, tanpa minta bantuan lagi pada kakekku. Aku tak tega melihat kakekku makin kurus memikirkan biaya sekolahku yang terus membengkak dari tahun ke tahun. Maklum aku bersekolah di sekolah swasta karena nilaiku tak cukup untuk bisa diterima di sekolah negeri. Seorang tetanggaku mengatakan aku bisa mengikuti Kejar Paket dan beroleh ijazah sama seperti teman-temanku yang bersekolah di sekolah regular. Refleksi diri: ‐
GP sudah mengalami KDRT sejak dalam kandungan, kedua orang-tuanya sama-sama tak pernah mengharapkan kehadirannya, begitu lahir dia diserahkan pada kakek neneknya dan hidup terlunta-lunta dari satu rumah ke rumah yang lain. Dapat dibayangkan 27
bagaimana pemahaman moral dan nilai-nilai yang didapatkannya dalam kondisi pengasuhan yang buruk semacam ini ‐
Rumah keluarga bukan hal yang menarik baginya karena penuh dengan pertengkaran dan keributan, akhirnya tempatnya berlindung adalah pacar-pacarnya, dengan segala risiko dan konsekwensi moral yang dijalaninya.
Referensi 28
Campbell, Jacquelyn, Alison Snow Jones, Jacqueline Dienemann et al, 2002. Intimate Partner Violence and Physical Health Consequences, Arch Intern Med.; 162:1157‐ 1163. WHO Release, 2009. The Ten Most Expensive Deseases, in Forbes Magazine, Desember 16, 2009. Available at http://www.seniorsworldchronicle.com/2009/usa‐ten‐most‐ expensive‐deseases.html Reynata, Vony, 2003. Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, FHUI. Teicher, Martin H.; Jacqueline A. Samson. 2006. Cutting Words May Scar Young Brains, Parental Verbal Abuse of Child Appears to Damage Cerebral Pathways. Am J Psychiatry; 163:993‐1000. Bourget, Dominique; Pierre Gagne; Laurie Whitehurst. 2010. Domestic Homicide and Homicide – Suicide: The Older Offender, J Am Acad Psychiatry Law 38:305‐11. Mullen, Paul E., 1997. Assessing risk of interpersonal violence in the mentally ill. Advances in Psychiatry Treatment, vol. 3, pp. 166‐173. Victoroff, Jeff. 2009. Human Agression, in Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry, 9th ed. Neural Sciences, Lippincott Williams & Wilkins;2672‐2703. Freud, Signmud. 2002. A General Introduction to Psychoanalysis, Ikon Teralitera, Yogyakarta. Taylor, Shelley E., Letitia Anne Peplau, David O. Sears, 2009. Social Psychology 12th ed. , Pearson Education‐Prentice Hall, Los Angeles. Kilpatrick, Dean G., Karestan C. Koenen, Kenneth J. Ruggiero, Ron Acierno et al, 2007. The Serotonin Transporter Genotype and Social Support and Moderation of Post Traumatic Stress Disorder and Depression in Hurricane Exposed Adults, Am J Psychiatry;164:1693‐1699. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional, 2007. Vreeburg, Sophie A., Witte J.G.Hoogendijk, Johannes van Pelt, Roel H DeRijk et al, 2009. Major Depressive Disorder and Hypothalamic‐Pituitary‐Adrenal Axis Activity, Results From a Large Cohort Study, Arch Gen Psychiatry; 66(6):617‐626. Wardah, Fathiyah, Lebih dari 90 Persen Kekerasan terhadap Perempuan Terjadi di Rumah Tangga, Jakarta. Available from RSS, Senin, 07 Maret 2011, file://KDRT,%20Suicide/KDRT‐Masih‐Tinggi‐Di‐Indonesia‐117538588.html. P2TP2A Propinsi Bali, 2010. Perlindungan terhadap kelompok rentan dalam keluarga, termasuk istri, anak, PRT dan lansia. Undang‐undang No. 23 Tahun 2004. Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
29