Tindak Kekerasan dan Pemidanaan Anak ditinjau dari Perspektif HAM Oleh Asep Mulyana
Tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak sekolah sudah lama terjadi, baik kekerasan yang bersifat kenakalan nonkriminal maupun kriminal murni. Perhatian publik atas isu kekerasan dan pemidanaan anak masih sangat minim. Padahal isu ini sangat penting karena terkait dengan masa depan bangsa yang berada di pundak anak-anak Indonesia itu. Pada umumnya, kekerasan yang dilakukan anak diajukan ke pengadilan dalam sebuah proses yudisial yang kaku dan berakhir dengan sanksi penjara. Menurut publikasi yang dikeluarkan Unicef, lebih dari 4,000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas tindak pidana ringan (tipiring), seperti pencurian. Anak-anak ini, menurut laporan ini, tidak mendapatkan dukungan pengacara maupun dinas sosial. Alhasil, sembilan dari sepuluh Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) akhirnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan. Anak-anak ini pun acapkali disatukan dengan sel orang dewasa. Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak, pada 2011 telah terjadi 1.851 pengaduan ABH yang diajukan ke pengadilan. Hampir 89,8 persen kasus ABH berakhir pada pe¬mi¬danaan atau diputus pidana. Data lain yang dirilis Kementerian Hukum dan HAM 2010 menunjukkan bahwa di 16 Lapas di Indonesia ditemukan 6.505 ABH yang diajukan ke penga¬dilan dan 4.622 ABH di antaranya mendekam dipenjara. Jumlah ini mungkin jauh lebih besar karena angka ini hanya bersumber dari laporan 29 Balai Pemasyarakatan (Bapas), sementara di Indonesia terdapat 62 Bapas (Rakyat Merdeka, 19 Januari 2012). Masalah ABH menjadi masalah pelik yang dihadapi bangsa ini. Pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah apakah proses yudisial yang berakhir dengan sanksi kurungan (penjara) adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah kenakalan dan kriminalitas anak/remaja? Bagaimana semestinya kita mendudukkan persoalan secara proporsional dan adil? Tidakkah anak-anak itu sedang berada dalam masa kejiwaan yang rentan, labil, tidak mandiri, gampang terpengaruh, dan belum berkesadaran penuh layaknya orang dewasa? Adilkah kita menghukum tindakan anak sama seperti orang dewasa untuk tindakan yang jika dilakukan orang dewasa adalah kejahatan? Apakah pemenjaraan sebagai sanksi pidana akan memulihkan keadilan dan merepresentasikan kepentingan terbaik buat anak?
Paradigma Lama Angka pemenjaraan anak di Indonesia yang tinggi sebagaimana disebut paragraf 2 dan 3 tidak mengejutkan mengingat sistem peradilan anak yang dimiliki bangsa ini pada kenyataannya masih berlandaskan paradigma lama, yaitu keadilan retributif (pembalasan sebagai keadilan) dan keadilan restitutif (ganti rugi sebagai keadilan). Dalam paradigma ini, kita menyerahkan wewenang untuk memberikan keadilan kepada negara c.q. aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim). Dalam situasi sistem peradilan umum kita yang belum normal—kuatnya mafia peradilan dan budaya rent seeking—adalah sulit bagi kita untuk berharap mendapatkan keadilan dari sistem peradilan umum. Negara menentukan keadilan bagi korban dengan memberikan hukuman penjara pada pelaku (retributive justice). Dalam situasi dimana aparat penegak hukum dan masyarakat belum sensitif terhadap ”kepentingan terbaik untuk anak”, maka angka pemidanaan dan pemenjaraan ABH akan makin meningkat. Celakanya, pemidanaan dan pemenjaraan terhadap ABH tak menyurutkan angka ABH dari tahun ke tahun. Lingkungan penjara justru dapat meningkatkan kualitas tindakan melawan hukum yang mereka lakukan karena di dalam penjara sangat mungkin terjadi ”pembangunan jaringan” dan ”transfer pengetahuan” tentang berbagai kejahatan yang dilakukan oleh para narapidana. Belum lagi stigma ”anak nakal” yang mereka dapatkan membuat pemulihan perilaku makin sulit dillakukan. Memang UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah mengatur agar ABH mendapatkan perlakuan khusus dari orang dewasa yang melakukan tindak kriminal. Adapun perlakuan khusus itu, antara lain: a. Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasehat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas (Pasal 6). b. Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup (Pasal 8). c. Hakim yang menangani perkara ABH harus berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak (Pasal 10). d. Pidana yang dijatuhkan terhadap anak nakal paling lama 1/2 dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa dan dalam hal tindak pidana yang diancam hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup, maka pidana penjara dapat dijatuhkan paling lama 10 (sepuluh) tahun (Pasal 26). e. Terhadap anak dapat dijatuhi pidana atau tindakan: (1) Mengembalikan kepada orang tua, wali dan orang tua asuh; (2) Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti
pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. (Pasal 24 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997). Namun dalam praktiknya, mayoritas ABH yang dihadapkan ke depan pengadilan tidak didampingi advokat karena asosiasi advokat belum memiliki kebijakan khusus mengenai bantuan hukum bagi ABH. Kenyataan lain yang juga mengganggu ”kepentingan terbaik buat anak” adalah banyaknya anak jalanan yang menjadi ABH tetap ditahan walaupun sanksi pidana yang diancamkan kurang dari 5 tahun. Hal itu terjadi karena tak ada yang mau menjamin anak-anak jalanan yang berhadapan dengan hukum. Pengaturan sanksi dalam UU No. 3 1997 masih berpijak pada paradigma lama yang memandang bahwa pemidanaan bersifat pembalasan (retributif). Hak Anak sebagai Hak Asasi manusia Hak anak dijamin dalam konstitusi (UUD 1945), UU No. 39 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 28B UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan, dan diskriminasi. Pasal 52 hingga Pasal 66 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM memuat jauh lebih rinci tentang hak-hak anak yang wajib dihormati, dipenuhi, dan dilindungi oleh negara. Pada Pasal 66 UU No. 39 Tahun 1999 diuraikan hak-hak ABH, yaitu: a. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiyaan, penyiksaan, atau penjatuhan, hukuman yang tidak manusiawi. b. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. c. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. d. Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya hukum terakhir. e. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa kecuali demi kepentingannya. f. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dan setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. g. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan
memperoleh keadilan didepan Pengadilan Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum. Sementara itu dalam Pasal 64 UU No. 23 Tahun 2002 dinyatakan bahwa terkait ABH, maka beberapa ketentuan di bawah ini harus dipenuhi, antara lain: a. Perlakuan atas anak secara manusiawi b. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak c. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga d. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Negara Sebagai Pemangku Kewajiban Dalam hukum Hak Asasi Manusia, negara c.q. pemerintah berkedudukan sebagai pemangku kewajiban. Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban untuk memenuhi (the obligation tofulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak yang disebut. Karena pemerintah telah meratifikasi hukum perjanjian internasional di bidang anak, yaitu Konvensi tentang Hak Anak, maka pemerintah terikat dengan sejumlah klausulklausul kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara, termasuk bagaimana negara memperlakukan ABH. Paradigma Baru: Keadilan Restoratif Dalam wacana hukum pidana dunia dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma keadilan dari peradigma keadilan retributif (pembalasan sebagai keadilan) dan keadilan restitutif (ganti rugi sebagai keadilan) ke paradigma baru yang disebut sebagai keadilan restoratif (restorative justice). Paradigma ini membongkar pola pikir lama dalam penanganan ABH.
Paradigma keadilan restoratif berlandaskan pada rekonsiliasi dan pemulihan korban. Hal ini tak lain untuk mencapai suatu keadilan moral dan sosial dalam penegakan hukum. Keadilan jenis ini melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka, dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana untuk secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut. Hal yang ingin dicapai adalah pemulihan kembali pada keadaan semula sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Fisik, psikis, dan pola pikir anak yang belum matang memunculkan pemikiran bahwa anak memerlukan perlindungan hukum yang khusus. Sebagai pemilik masa depan, anak harus disiapkan untuk menjalani kehidupan dalam masyarakat beradab yang penuh perdamaian, toleransi, kebebasan, martabat, kebersamaan, dan kesetaraan. Pendekatan hukum formalistik yang melulu menuntut pembalasan dan ganti rugi tak melahirkan keadilan substansial bagi korban dan pelaku. Masalah-masalah pelik justru muncul ketika ABH sampai mendapatkan pidana kurungan: stigma negatif, transfer of knowledge kejahatan, dan kejiwaan anak yang labil dan rawan. Dalam perkembangan di dunia global, peradilan pidana anak memang sangat dihindari untuk menyelesaikan persoalan ABH. Paradigma keadilan restoratif diterima mayoritas bangsa-bangsa di dunia karena menawarkan solusi komprehensif dan efektif dalam menangani ABH. Dalam paradigma ini, proses pencarian keadilan ditujukan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat demi perbaikan perilaku dengan berlandaskan suatu kesadaran akan pentingnya perbaikan kehidupan bermasyarakat. Keadlan tak lagi dihitung oleh seberapa akurat model pembalasan atau ganti rugi yang dikenakan kepada pelaku. Dalam paradigma ini, tingkah laku diperbaiki dan diubah dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat. Dalam pandangan paradigma baru ini, sistem peradilan dikatakan adil ketika proses pencarian keadilan itu melibatkan pelaku, korban, dan orangtua pelaku. Adapun polisi berperan sebagai mediator pada tingkat terendah. Masalah-masalah yang dihadapi anak kemudian diselesaikan secara musyawarah untuk mencari solusi terbaik, baik bagi pemulihan korban maupun bagi penghindaran pemidanaan dan pemenjaraan. Jadi, dalam pencarian keadilan substansial, kita tak perlu membuat persidangan
layaknya persidangan pidana umum, apalagi jika tindak kekerasan yang dilakukan tergolong tipiring. Bahkan jika tindak kriminal yang dilakukan cukup besar dengan sanksi yang berat, proses peradilan itu tidak boleh membuat ABH mengalami trauma. Penyelesaian kasus didorong melalui partisipasi masyarakat. Di sini dapat dibicarakan kasus kriminal yang melibatkan anak, sehingga si anak tidak selalu diproses secara hukum, tetapi cukup diselesaikan melalui komunitas dengan jalan kekeluargaan. Proses ini diyakini dapat mengurangi efek buruk yang dialami ABH (jika diproses secara yudisial dan berakhir dengan pemenjaraan), bahkan efek itu dapat lebih buruk ketimbang perilaku kriminalnya itu sendiri. Paradigma lama yang represif disadari oleh dunia hukum terkini sebagai paradigma yang tidak efektif dalam mengubah tingkat laku dan mengurangi angka kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Oleh karena itu, proses peradilan anak sebisa mungkin dihindari demi “kepentingan terbaik bagi anak”. Proses peradilan pidana semacam itu sebaiknya diambil sebagai langkah terakhir. Paradigma baru lebih penting menjadi kerangka kita dalam menangani ABH karena pendekatan yang digunakan lebih menitikberatkan pada keterlibatan langsung (reintegrasi dan rehabilitasi) dalam menyelesaikan suatu kasus. Paradigma baru bertujuan untuk memulihkan (to restore) tindakan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban, dan lingkungannya. Paradigma keadilan restoratif tumbuh karena model-model keadilan balas dendam atau keadilan ganti rugi biasanya tak sukses menenggelamkan dendam di antara pihak bertikai. Tawuran antarpelajar, antarkelompok, dan antarkampung dapat terjadi berkali-kali. Hal ini menunjukkan betapa pendekatan hukum selama ini tak sukses memecahkan masalah keadilan substansial. Sebetulnya, paradigma baru yang menekankan pada keadilan restoratif ini sudah tersebar pada beberapa regulasi sektoral, namun masih sporadis dan tercecer. Paradigma baru belum terintegrasi ke dalam suatu produk peraturan induk nasional. Adapun yang sporadis dan tercecer itu, antara lain: a. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959 (persidangan anak harus dilakukan secara tertutup) b. Himbauan Ketua MA (menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007) c. Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 (Penuntutan terhadap Anak d. TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR/395/VI/2008 9
Juni 2008, (pelaksaan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau saksi). e. Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial RI Nomor : 12/PRS2/KPTS/2009, Departemen Hukum dan HAM RI Nomor M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, Departemen Pendidikan Nasional RI Nomor 11/XII/KB/2009, Departmen Agama RI Nomor : 06/XII/2009, Dan Kepolisian Negara RI Nomor : B/43/ XII/2009 (Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, tanggal 15 Desember 2009) f. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala kepolisian negara RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009,NO.148 A/A/JA/12/2009, NO. B/45/XII/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02 TAHUN 2009, NO. 10/PRS-2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penanganan ABH. Dalam paradigma keadilan restoratif dikenal istilah diversi, yaitu suatu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana anak ke proses di luar sistem peradilan pidana anak. Pergeseran paradigma peraturan nasional kita ke arah keadilan restoratif tampak jelas dalam RUU Sistem Peradilan Anak. Tentu perkembangan ini patut diapresiasi. Pasal 10 dan 11 RUU ini mengatur ketentuan tentang diversi, yaitu: a. Dalam Setiap Tingkat Pemeriksaan Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib menerapkan diversi. b. Proses diversi dilakukan dengan melibatkan anak dan orang tua/ orang tua asuh anak, korban dan orang tua/orang tua asuh korban, masyarakat, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial. c. Diversi dapat dilakukan terhadap anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan tidak merupakan pengulangan tindak pidana. Diversi dilakukan untuk memulihkan pelaku, korban, dan masyarakat. Apabila musyawarah sukses dan dicapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut dapat dijadikan pertimbangan jaksa untuk mengajukan Requisitoir/tuntutan berupa tindakan (Pasal 24 UU No.3 Tahun 1997) dan penasehat hukum dapat melampirkan hasil kesepakatan dalam pledoinya. Adapun hakim dapat menjatuhkan vonis berupa tindakan (Pasal 16 ayat (3) UUNo.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) yang mendorong pemenjaraan Anak sebagai pilihan akhir.