TIGA SERANGKAI CILIK
CHAIRULLAH (RULL.CH)
2
Tiga Serangkai Cilik Penulis : Chairullah Cover : Nuzula Fildzah Editor: Bintang P Ilustrator Andi Fauzan (Koedil) Cetakan pertama,Maret 2012 Diterbitkan melalui : www.nulisbuku.com
undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2
3
Daftar Isi 1.Tiga Serangkai Cilik
7
2.Muhammad Hakim dan Puisinya
104
3.Bersedekah,yuk!
113
4.Bisa Karena Biasa
122
5.Kisah Uang Tabungan Ahmad
128
6.Laptop Buat Pak Guru
132
7.Kucing
138
8.Once Upon Time In Classroom
144
9.Add Facebook Pak Guru
152
10.Kumpulan Puisi :
156 -Dengan Puisi
157
-Kita Satu
159
-Jika Aku Besar Nanti
161
-Aku dan Handphone
162
-NKRI
163
-Internet,oh internet
164
-Kok ada guru gaptek?
166
-Elegi seorang anak
167
berkebutuhan khusus -Keluh sunyi abk
168
-Seorang nenek-nenek
172
-Bisa karena biasa
174
-Antara orang tua dan guru
176
-Hujan
177
-Sholat
178 3
4
TIGA SERANGKAI CILIK Suara
azan
subuh
terdengar serentak dari beberapa mesjid
dan
surau
seperti
membahana dan menusuk relung hati Burhan Sidqi. Ia terjaga dari mimpinya dan seperti biasa, ia tetap
bermalas-malasan
untuk
bangun. Dia tetap terbaring dan matanya mengerjap-ngerjap. Kalau saja ibunya tidak membangunkannya, sudah pasti ia akan tertidur lagi dan luput salat subuh. Dengan perasaan malas, Burhan segera bangkit dari tempat tidurnya karena kalau tidak, pasti ibunya mendampratnya habis-habisan atau bisa jadi, muka Burhan akan terkena percikan air dingin yang dicipratkan ibunya. “Uh, sebal! Tiap jam segini harus bangun, mandi, dan salat. Wong lagi enak-enak tidur kok dibangunkan!“ gerutu Burhan sewot.
4
5
“Kamu sudah besar, Nak. Sudah kelas lima dan umurmu sudah sebelas tahun. Dalam ajaran Islam, anakanak seusia kamu sudah boleh dipukul kalau tidak mau salat. Kamu tahu kalau salat itu wajib hukumnya?“ ujar sang ibu dengan tatapan dingin, sedingin pagi itu. Burhan ciut hati, lalu ngeloyor ke kamar mandi “Kalau belum mau mandi, ambil whudu saja, lalu cepat salat! Mandinya nanti saja setelah Ibu memasak air,” kata ibunya lagi. “Oke, Bos,” sahut Burhan pelan sambil merengut. Selesai
salat
subuh,
Burhan
membereskan
seprainya yang awut-awutan. Waktu telah menunjukan pukul 5, masih amat pagi dan dingin. Bagi Burhan, itu waktu yang sangat asyik untuk tidur lagi. Dan memang ia merasa sangat ingin tidur kembali, apalagi matanya merajuk-rajuk untuk telelap. Mulutnya pun sudah lebih dari tiga kali menguap. Haaakh! Hmmm, tidur lagi... nggak... tidur lagi... jangan tidur...
nggak!
Burhan
memain-mainkan
jari-jari
tangannya layaknya sedang menghitung. Celakanya, hal itu dilakukannya sambil merebahkan diri di kasurnya.
5
6
Entah pada hitungan keberapa ia seperti terbang melayang ringan sekali. Begitu nyaman dan mengasyikan. Namun hanya sesaat, sebab tiba-tiba tetes air dingin menimpa wajahnya. Burhan gelagapan. “Jangan dibiasakan habis salat lalu tidur lagi! Ayo, mandi sana! Air panasnya sudah Ibu siapkan!” omel ibu Burhan sambil menepuk-nepuk kaki anaknya. Burhan menghambur ke kamar mandi lagi dengan perasaan
enggan
sebab
rasa
kantuk
masih
menggelayutinya. Ditambah lagi udara dingin yang begitu menggigit membuat dirinya jadi malas untuk segera mandi. Beberapa saat dia mematung di kamar mandi sambil bersedekap tangan, namun akhirnya terpaksa gebyar-gebyur setelah ibunya berteriak dari luar kamar mandi. Sambil mengguyur tubuhnya dengan air hangat, hati Burhan menggerutu sendiri, memprotes sikap ibunya yang menurutnya agak keras dan bawel, berbeda dengan ayahnya. Ayahnya tak pernah memaksa Burhan agar bangun pagi-pagi sekali dan salat subuh di masjid dekat rumah mereka. Tapi kalau sembahyang maghrib dan isya, serta salat Jumat, Burhan diharuskan untuk ke mesjid dan
6
7
tak boleh membantahnya. Soal belajar dan mengerjakan PR, ibunya juga selalu mengontrol. Ayahnya cuma menerima laporan dari ibunya. Paling-paling ayahnya hanya berkata singkat, “Gunakan waktu untuk belajar. Jangan malas!” Singkat tapi tegas. Bagi Burhan, itu bermakna sangat luas. Dan Burhan senantiasa mengingat kata-kata itu. Bukan hanya mengingat, tapi juga melaksanakan dengan sepenuh hati. Setelah
mandi,
Burhan
mendapati
ayahnya
sedang duduk di ruang tamu sambil membaca Al Qur’an dengan suara pelan. Ayahnya hanya menoleh sekilas, lalu kembali melafalkan ayat-ayat kitab suci. Burhan terus ke kamarnya
untuk
berpakaian
seragam
sekolah
dan
menyiapkan buku-buku pelajaran dan PR sesuai jadwal hari ini. Hari mulai terang. Sudah pukul 6 pagi. “PR-nya
sudah
diselesaikan,
Han?”
tanya
ayahnya ketika Burhan baru saja keluar dari kamarnya. “Sudah dari semalam, Yah,” jawab Burhan seraya duduk untuk mengenakan sepatu.
7
8
“Bagus. Jangan dibiasakan mengerjakan PR ketika mau berangkat ke sekolah, apalagi di kelas,” ujar ayahnya memuji, sekaligus menasihati. “Nggak dong, Yah.” Sambil menunggu waktu berangkat ke sekolah, Burhan berusaha menarik perhatian ayahnya dengan menyibukkan
diri
membuka-buka
buku
pelajaran.
Ayahnya tampak senang putra tunggalnya rajin belajar. “Pelajaran apa saja hari ini?” “Eh, anu... Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPS, serta Agama.” “Hari ini ada ulangan?” “Nggak ada, Yah.” “Ada atau tidak, kamu harus tetap rajin belajar. Rajin mengulang pelajaran yang sudah diberikan gurumu. Kalau hal itu kamu lakukan setiap hari, Ayah yakin kamu akan menjadi anak yang pandai dan bisa meraih juara pertama.” “Baik, Yah.”
8
9
“
“Ayo, kita sarapan dulu,” panggil ibunya dari dapur, menyuruh anak dan suaminya untuk segera sarapan pagi. Kendati hanya nasi goreng, tapi mereka segera menyerbu dan melahapnya dengan nikmat. Sungguh keluarga kecil yang harmonis. Pak Abdillah, sang ayah hanya seorang pedagang pakaian. Ia mempunyai toko kecil di pasar tradisional. Sedang itu, Hikmah—istrinya yang cuma tamatan SD—pekerjaannya mengurus rumah tangga. Namun kehidupan keluarga yang sederhana itu cukup bahagia, tenteram, dan damai. Mereka tak pernah mengeluh walaupun krisis moneter sedang melanda negeri ini. Mereka hanya mempunyai satu anak dan masih di SD pula. Jadi belum terlalu pusing memikirkan biaya pendidikan anaknya dan biaya hidup lainnya. Atau bisa 9
10
jadi memang mereka adalah orang yang tabah dan tawakal. “Yah, nilai mengarang Burhan selalu kecil,“ adu Bu Hikmah kepada suaminya sambil membenahi piring bekas makanan mereka. “Betul, Han?“ tanya Pak Abdillah. Yang ditanya cuma
nyengir.
“Kenapa
begitu?
Apa
susahnya
mengarang? Atau kamu nggak suka pelajaran itu?” lanjutnya bertubi-tubi. “Bukan begitu, Yah. Burhan nggak bisa kalau disuruh membuat puisi, mengarang cerita. Susah, Yah,“ tangkis Bunhan membela diri. “Pantas nilai Bahasa Indonesiamu di rapor semester pertama dapat nilai 6. Mengarang itu bagian dan pelajaran Bahasa Indonesia dan tidak kalah pentingnya dari pelajaran lain. Jadi kamu harus berusaha terus agar bisa.” “Memang betul, Yah. Tapi bagaimana dong? Burhan benar-benar nggak mampu.”
10