PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Cilik-cilik Cina, Suk Gedhe Arep Dadi Apa? Sebuah Studi Autoetnografi Mengenai Pengalaman Rasisme
TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh: Anne Shakka Ariyani H. NIM: 136322013
MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Cilik-cilik Cina, Suk Gedhe Arep Dadi Apa? Sebuah Studi Autoetnografi Mengenai Pengalaman Rasisme
TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh: Anne Shakka Ariyani H. NIM: 136322013
MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017 i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sebuah Studi Autoetnografi Mengenai Pengalaman Rasisme
Tesis
Dr. Katrin Bandel Pembimbing I
Ta"nggal: 3 Februari 2017
:.1 . ,,
:
t:rit::1.::l:,,i U :::111i;?5:';:: :
::;jl:r1';1r-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Cilik-Cilik Cina, Suk Gedhe Arep Dadi Apu? Sebuah Studi Autoetnografi Mengenai Pengalaman Rasisme Tesis
,
Oleh:
Anne Shakka Ariyani Hermanto 136322013 Telah dipertahankan .4..!, ,faniDewan Penguji Tesis dan di nyata&+*rt6iIF*t@puhi s yarat .:-a. .
' rril:,l::.
::ri ia:
:'; ..'.,,
fim
j i
Ftbguji:
-. .- ir l,-
"'..:r'r'
'';:r
Anggota .1 ,.i-ti'::.r'::.r'..
2..Df,,Starri*trfias.Suqardir,.
'.'-
:
":.
3. Dr. Katrin Bandel
3
Februari 2017 Pa,5casarjana
Dr. G, Budi Subanar
Ill
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Dengan
ini
saya mahasiswa universitas Sanata Dharma yogyakarta
yang bemama Anne shakka Ariyani Hermanro (NIM: 136322013), menyatakan bahwa tesis dengan judul: citik-cilik cina, suk Gedhe Arep Dadi Apa? sebuah studi Autoetnografi Mengenai pengalaman Rasisme, merupakan hasil dan karya penelitian saya sendiri.
Di dalam tesis ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru
dalam rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-oleah sebagai
tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis aslinya. Pemakaian" peminjaman" atau pengutipan dari karya penelitian lain dalam
tesis
ini saya pergunakan
hanya untuk keperluan ilmiah sesuai dengan
peraturan yang berlaku, sebagaimana diacu secara terlulis di dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 2 Februari 2017 Yang membuat pernyataan
Anne Shakka Ariyani Hermanto
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPBNTINGAN AKADBMIS Ariyani Hermanto
Nama
: Anne Shakka
NIM
:136322013
Program
: Program Magister
Ilmu Religi dan Budaya
Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan [Jniversitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah saya yang beriudul:
Cilik-Cilik Cina, Suk Gedhe Arep Dadi Apa: Sebuah Studi Autoetnografi Mengenai Pengalaman Rasisme
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam
bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara. terbatas, memubilkasikar-rnya
di
dan
internet atau media lainnya demi kepentingan
akademis tanpa perlu meminta
izin dari saya atau memberikan royalti
kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Dengan demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Dibuat di: Yogyakarta Pada tanggal: 2
Februart20lT
Yang menyatakan
Anne Shakka Ariyani H.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kata Pengantar
Jika saya ditanya apa yang ingin saya lakukan dalam hidup, maka jawaban saya adalah menulis, dan tesis ini membuat saya bisa meraih impian saya. Menjadi penulis penuh waktu. Proses yang panjang dan tidak mudah. Proses yang dengan satu dan lain cara mengubah diri saya. Untuk tercapainya mimpi yang sudah saya kejar seumur hidup ini, saya ingin berterima kasih pada begitu banyak pihak yang menemani saya selama proses ini. Jelas, kepada Tuhan dan keluarga saya untuk kesempatannya sehingga di tengah banyaknya keterbatasan, saya boleh dan bisa melanjutkan sekolah saya. Terima kasih untuk banyaknya ‗kebetulan‘ sehingga saya bisa belajar di tempat istimewa ini. Terima kasih untuk semua dosen yang memberikan kepercayaan, kesempatan, dan bimbingan. Dipercayai oleh Bapak-bapak dan Ibu sekalian untuk melakukan banyak hal itu adalah pembelajaran yang mengubah hidup. Terima kasih terutama untuk Mbak Katrin Bandel yang sudah menjadi dosen pembimbing yang menemani saya di setiap prosesnya, yang sudah dengan ikhlas dan sabar membaca kisah yang sama berulang kali. Terima kasih untuk Rama Banar dan Bapak St. Sunardi untuk setiap saran dan masukan yang berguna baik untuk penulisan saya, maupun selama proses belajar saya di IRB selama ini. Mbak Desi, Mbak Dita, Pak Mul, dan Mbak Marni, menyenangkan untuk bisa banyak bekerja sama dan untuk semua bantuan dalam yang sudah diberikan dalam proses belajar saya di IRB. Terima kasih. Terima kasih khusus untuk teman seperjuangan yang sudah berjalan bersama saya sejak sebelum IRB sekarang, Alexander Koko. Terima kasih sudah
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengajari, menemani, menyediakan waktu untuk saya tangisi, dan berkali-kali menyelamatkan saya. Untuk semua teman IRB yang sudah menjadi teman berdiskusi, teman yang saling mendukung, dan terima kasih sudah menjadi pelanggan ―Panda, Pedagang Perantara Anda!‖ yang membuat saya bisa lebih mudah bertahan hidup. Temanteman 2013, teman teman Jangkrik! Mas Noel, Mas Adit, Hans, Idud, Vina, Si Tong, Cahyi, dan Padmi. Teman-teman belajar bersama di PusDep Mbak Vini, Gogor, Pita, Kak Umar, dan semua teman lain yang tidak dapat saya sebutkan satu demi satu. Terakhir untuk orang-orang yang tidak bisa saya sebutkan di sini, yang membuat saya melanjutkan studi ini, yang membuat saya bisa menjalani proses penulisan ini sampai akhir. Terima kasih!
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Abstrak Menjadi orang keturunan Cina adalah menjadi orang yang istimewa di Indonesia ini. Banyak pengalaman yang begitu berbeda kami rasakan walaupun kami sama-sama warga negara Indonesia, mulai dari berbagai kerusuhan anticina, sampai berbagai undang-undang yang bersifat diskriminatif. Keistimewaan ini membuat saya ingin melihat bagaimana pengalaman rasisme sebagai orang keturunan Cina di Indonesia. Kebutuhan untuk memaknai apa yang dialami dan bagaimana pengalaman sebagai peneliti tidak dibungkam atas nama jarak dan objektivitas membuat saya menggunakan metode penelitian dan penulisan autoetnografi. Metode yang menggunakan pengalaman pribadi dari penulisnya sebagai sumber data dari penelitian. Pengalaman rasisme yang saya ceritakan dalam tulisan ini akan saya analisa menggunakan teori dari Frantz Fanon. Dari data ditemukan bahwa adanya kecenderungan saya untuk menolak kecinaan saya yang membuat saya menjadi Liyan dan berusaha menjadi yang standar yaitu Jawa. Usaha yang pada akhirnya gagal dan menuntut negosiasi terus menerus. Kata Kunci: autoetnografi, pengalaman rasisme, keturunan Cina, pascakolonial
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Abstract Being a Chinese descent means being distinctive people in Indonesia. Although we are the citizens of the same nation, we have a lot of differences things differently; from anti-china riots to discriminative regulations. This distinctness urged me to look into my own racism experiences as a Chinese descent. In order to make sense of things I have been through as a researcher without being silenced for the sake of proper distance and objectivity, I applied autoethnography research and writing method. Autoetnography is a method that uses the researcher‘s personal experiences as the source of research data. Racism experiences narrated in this writing are analyzed by using Frantz Fanon‘s theory. From this research, I found that there a tendency to reject my ―chineseness‖ – which converted me into the Other–and to attempt to become what I perceive as the standard, which is Javanese. Those efforts eventually failed, and required continuous negotiations. Key word: autoethnography, experience of racism, Chinese descent, postcolonial
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Daftar Isi Halaman Judul…………………………………………………………………. Halaman Persetujuan………………………………………………………...... Halaman Pengesahan………………………………………………………...... Pernyataan Keaslian Karya……………………………………………………. Pernyataan Persetujuan Publikasi…………………………………………….. Kata Pengantar…………………………………………………………………. Abstrak................................................................................................................. Abstract.................................................................................................................. Daftar Isi……………………………………………………………………….... Bab I Pendahuluan.............................................................................................. A. Latar Belakang........................................................................................ B. Tema Penelitian...................................................................................... C. Rumusan Masalah................................................................................... D. Tujuan Penelitian................................................................................... E. Manfaat Penelitian................................................................................. F. Tinjauan Pustaka.................................................................................... 1. Black Skin White Masks................................................................. 2. On Not Speaking Chinese............................................................... 3. Penelitian Mengenai Orang Cina Indonesia Pasca Orde Baru…..... G. Kerangka Teoretis.................................................................................. 1. Ras dan Rasisme............................................................................... 2. Respon Psikologis............................................................................ 3. Nativisme, Négritude, dan Resinifikasi............................................ H. Metode Penelitian................................................................................. I. Skema Penelitian.................................................................................... Bab II Mengapa Autoetnografi?....................................................................... A. Perkembangan Metode Penelitian Sosial dalam Keilmuan Sosial................. B. Autoetnografi sebagai Metode Penelitian Sosial........................................... C. Mengolah, Analisa, dan Interpretasi Data.................................................... BAB III Mencari Ke-Cina-an: Identitas dalam Persimpangan........................... Bab IV Refleksi Kritis atas Metode Autoetnografi............................................. Daftar Pustaka.................................................................................................
x
i ii iii iv v vi viii ix x 1 1 7 8 8 9 9 10 13 16 20 22 30 34 38 43 44 44 53 66 73 140 149
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Terlahir di tengah keluarga berketurunan Cina dan memiliki mata sipit ini sebagai efeknya, membuat perjalanan hidup saya ini memiliki liku-likunya tersendiri. Bukan hanya sekadar saya tidak sama dengan teman-teman sepermainan dalam hal fisik, tetapi juga banyak hal lain yang pada akhirnya saya sadari saya lakukan dengan cara yang berbeda pula. Kesadaran akan perbedaan tersebut tidak terbentuk begitu saja pada diri saya. Kesadaran, pemahaman, dan pengalaman akan kecinaan yang ternyata menuntut negosisasi terus menerus dalam diri saya. Negosiasi itu pada akhirnya saya bawa ke dalam penelitian yang saya lakukan untuk meluluskan saya dari perkuliahan tingkat S1 di bidang Psikologi. Saya berusaha memahami dan mereduksi kecemasan dan kegelisahan saya sebagai orang Cina dengan cara mengolahnya secara intelektual. Bagi saya menjadi Cina bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Rasanya banyak batasan-batasan yang tidak dapat saya lampaui karena ada kata ―Cina‖ yang dilekatkan dalam diri saya. Kata yang pada awalnya tidak saya mengerti apa maksudnya. Kata yang akhirnya mau tidak mau saya adopsi menjadi salah satu identitas dan tanda pengenal akan keberadaan diri dan keluarga saya. 1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kata yang sedikit banyak membawa rentetan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh saya lakukan, apa yang bisa dan tidak bisa saya lakukan. Kata yang begitu ingin saya lepas tetapi tidak dapat karena kata itu menggurat dalam pada diri saya dan mengalir di dalam darah. Keinginan memahami dan melepas inilah yang membuat saya pada akhirnya memutuskan untuk melakukan penelitian mengenai ―Identitas Warga Keturunan Cina di Jawa Tengah‖1. Suatu usaha yang masih jauh dari sempurna untuk belajar dan memahami bagaimana melakukan suatu penelitian dan penulisan akademis. Penelitian yang pada awalnya saya lakukan karena saya menemukan adanya perbedaan pandangan dan pemahaman mengenai apa itu Cina dan apa itu Jawa di dalam keluarga saya dan di lingkungan pergaulan saya yang didominasi oleh orang-orang yang bukan keturunan Cina. Saya mendapatkan adanya pembedaan yang memang dilakukan oleh orang-orang Cina, termasuk keluarga saya sebagai orang-orang yang saya temui, dengan orang-orang Jawa di sekitar kami. Relasi yang tidak mungkin kami hindari sebagai kelompok minoritas untuk bertemu dengan orang-orang mayoritas. Di kepala saya waktu itu, saya berpikiran bahwa tidak aneh jika orang-orang Cina itu didiskriminasikan karena kami sendiri juga membedakan
1
Anne Shakka, 2012, Identitas Warga Keturunan Cina di Jawa Tengah. Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma (skripsi, tidak diterbitkan)
2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diri dengan orang-orang di sekitar kami. Dari situ saya sudah tidak berdiri di pihak orang-orang Cina. Bagi saya, kelompok orang Cina sudah menjadi ―mereka‖, saya hanya dipaksa berada di dalamnya. Penelitian berlangsung. Saya saat itu melakukan wawancara dengan kedua orangtua saya mengenai kisah hidup dan pengalaman mereka sebagai orang keturunan Cina. Ada tiga orang narasumber yang membantu saya dengan kisah hidup mereka kala itu, Mamah saya, Papah, dan seorang teman dari Papah saya. Dari penelitian tersebut, saya menemukan bahwa sebagai orang keturunan Cina mereka bergulat dengan banyak hal. Ada tegangantegangan yang sulit untuk didamaikan. Di satu sisi, mereka merasa sebagai bagian yang menyatu dengan orang-orang di sekitar mereka, di sisi lain, mereka tetap berbeda. Ada keinginan untuk bertahan tetap berbeda, sekaligus ada keinginan untuk melenyapkan perbedaan itu. Juga ada perasaan terancam terus-menerus yang membuat mereka melakukan segala cara untuk merasa aman dan mengamankan keluarga mereka dari berbagai aspek. Di sisi lain, saya juga berproses untuk menemukan diri. Saya menemukan bahwa banyak ketakutan yang saya bawa dalam diri saya adalah ketakutan dan kekhawatiran yang dibawa oleh orangtua sebagai orang Cina yang terus menerus merasa terancam. Ada suatu ketidakpercayaan diri dan perasaan ingin menarik diri yang saya temukan terkait dengan keadaan saya sebagai
3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
orang Cina. Temuan-temuan bagi saya kala itu menjelaskan banyak hal, tetapi tidak dapat saya bahasakan dalam skripsi saya. Temuan yang terasa ada, tetapi tidak terlihat dengan jelas. Suara saya sebagai peneliti terpaksa harus dibungkam atas nama jarak dan objektivitas. Sebagai seorang keturunan Cina yang terlahir di akhir tahun delapan puluhan dan tumbuh besar di era sembilan puluhan, saya tidak terlalu banyak bertemu dengan diskriminasi rasial sebagaimana yang orangtua saya alami. Saya tidak mengalami kerusuhan yang membahayakan hidup saya secara langsung selama ini. Secara kasat mata, hidup saya damai dan tenteram. Namun tetap saja ada yang terasa tidak benar dan mengganjal dalam perjalanan hidup saya sehari-hari. Suatu perasaan akan adanya perbedaan yang pada akhirnya menubuh dan membentuk cara saya berpikir dan berperilaku. Suatu keadaan yang memengaruhi pilihan dan keputusan yang saya ambil. Di sinilah pada akhirnya saya memilih untuk melakukan penelitian ini. Suatu penelitian yang ingin mencoba menjelaskan bagaimana pengalaman rasisme yang saya alami dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang keturunan Cina. Bukan suatu pengalaman akan kekerasan atau perbedaan perlakuan yang masif, melainkan mengenai pengalaman-pengalaman kecil dengan keluarga dan lingkungan. Pengalaman yang pada kenyataannya tidak
4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dapat terlepas dari banyak wacana besar yang melingkupi dan memang tidak bisa dihindari. Berangkat dari tujuan ingin menjelaskan bagaimana pengalaman rasisme ini, saya memutuskan untuk menggunakan metode yang terbilang masih cukup baru untuk dilakukan dalam penelitian di Indonesia, metode autoetnografi. Di Program Ilmu dan Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, metode ini baru dilakukan oleh Kurniasih dalam penelitiannya
―Jilbab Sebagai Lokus Pengolahan Diri: Sebuah Analisa Otoetnografi‖. Pemilihan metode ini saya lakukan dengan pertimbangan karena pengalaman dari diri sendirilah yang ingin saya maknai dan bahasakan. Saya berharap metode ini menyediakan perangkat itu. Suatu metode yang memungkinkan saya sebagai penulis lebih memahami lingkungan dan situasi budaya melalui pengalaman hidup saya (Chang, 2008; Wall, 2008).2 Pemilihan ini juga saya lakukan dengan melihat ada penelitian mengenai pengalaman rasisme yang juga menggunakan metode serupa walaupun tidak menggunakan istilah autoetnografi. Dua di antaranya yang saya temukan adalah tulisan dari Frantz Fanon dalam ―White Skin Black Masks‖ yang menceritakan pengalaman diskriminasi rasial yang dialaminya sebagai seorang
2
Heewon Chang, 2008. Autoethography as Method. California: Left Coast Press, Inc. & Sarah
Wall. 2008. Easier Said than Done: Writing an Autoethnography. International Journal of Qualitative Methods, 38-53.
5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kulit hitam di Prancis. Bertemu Fanon membuat saya merasakan bahwa apa yang saya alami itu bukan pengalaman diri saya sendiri saja. Kami sama-sama merasakan bagaimana menjadi liyan dan bagaimana itu memengaruhi kami sebagai individu. Saya jadi merasa heran kenapa saya begitu terlambat mengenal Frantz Fanon, padahal orang ini berbicara mengenai psikologi dan dominasi kolonial, sesuatu yang sangat relevan dengan keadaan Indonesia sebagai negara bekas jajahan. Tulisan lain adalah karya Ien Ang dalam ―On
Not Speaking Chinese‖ yang merupakan suatu kumpulan artikel dari penulis dalam
bentuk
tulisan
semi-autobiographical
(2001:
vii)
mengenai
pengalamannya sebagai seorang keturunan Cina diaspora dalam kehidupannya sebagai seorang akademisi dan mengalami benturan-benturan dengan berbagai budaya. Kedua buku ini akan saya bahas dan jelaskan lebih lanjut pada bagian lain bab ini. Perjalanan saya untuk memahami kecinaan ini juga membawa pada isu yang pernah muncul mengenai orang Cina yang ada di Indonesia atau mungkin suatu isu yang memang muncul dan dialami pada orang Cina diaspora, resinicization atau pencinaan kembali. Usaha di mana orang-orang Cina diaspora mencoba untuk menemukan kembali identitasnya sebagai orang Cina atau menemukan kembali identitas budayanya. Usaha yang mulai marak sejak runtuhnya Orde Baru dan semakin dirayakan secara meriah pada
6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
beberapa tahun terakhir. Saya masih berusaha memahami apa tujuan dari usaha melakukan pencinaan kembali ini dan sejujurnya, tidak dapat saya temukan manfaatnya. Dalam tulisan ini saya nanti juga akan secara khusus membahas mengenai gerakan pencinaan kembali ini dalam posisi saya sebagai orang Cina yang ingin mengkritisi hal tersebut. Pada bab-bab selanjutnya saya akan berbicara mengenai bagaimana wacana Cina yang tumbuh dan berkembang di Indonesia melalui pengalaman rasial yang saya alami. Tulisan ini saya harapkan bisa menjadi suatu alternatif dari penelitianpenelitian mengenai orang keturunan Cina di Indonesia secara umum, bagaimana
pengalaman
rasisme
yang
saya
alami
ini
bisa
untuk
menggambarkan akibat psikologis kepada individu yang menjadi liyan dalam masyarakat.
B. Tema Penelitian Pengalaman rasisme tidaklah selalu merupakan suatu pengalaman yang menyisihkan atau suatu pengalaman akan kekerasan dan genosida pada suatu kelompok ras. Penelitian ini akan berfokus pada bagaimana pengalaman rasisme pada kehidupan sehari-hari saya sebagai orang keturunan Cina di Indonesia.
7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C. Rumusan Masalah Perjalanan untuk mengenali dan memahami pengalaman rasisme sebagai keturunan Cina membuat saya ingin mempertanyakan kembali bagaimana pengalaman rasial dengan perangkat yang baru saya kenal ini, autoetnografi. Hal tersebut ini membuat saya mengajukan kedua pertanyaan ini: 1. Bagaimana posisi dan relevansi metode autoetnografi dalam penelitian kajian budaya? 2. Bagaimana pengalaman rasisme yang terjadi pada orang keturunan Cina di Indonesia ini bisa ditemukan, direfleksikan, dan dimaknai dengan metode autoetnografi?
D. Tujuan Penelitian 1. Untuk memahami bagaimana wacana kecinaan itu memengaruhi pandangan dan pemikiran masyarakat di dalamnya serta bagaimana wacana itu dimaknai dalam kehidupan sehari-hari 2. Untuk mengetahui bagaimana pengalaman rasisme itu dirasakan dan membentuk pemahaman seseorang akan identitas dirinya
8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini berfokus pada penggunaan metode autoetnografi sebagai suatu metode penelitian dalam kajian budaya secara khusus dan pada penelitian ilmu sosial secara lebih luas. Diharapkan penelitian ini bisa memberikan wacana baru dalam penggunaan metode penelitian ini dalam bidang penelitian ilmu sosial. Di sisi lain, penelitian ini mengangkat tema mengenai pengalaman rasial sebagai seorang keturunan Cina di Indonesia. Penelitian
dan
pemaknaan
pengalaman
keseharian
ini
diharapkan
memberikan suatu warna lain dalam kajian dan narasi besar mengenai orang keturunan Cina yang ada di Indonesia.
F. Tinjauan Pustaka Banyaknya wacana dan penelitian yang selama ini saya baca mengenai orang Cina di Indonesia sering kali tidak menggambarkan diri saya secara utuh, padahal saya merasa secara kategori operasional, saya termasuk di dalamnya. Penelitian mengenai orang Cina di Indonesia banyak yang menceritakan mengenai bagaimana orang-orang Cina pasca Orde Baru mulai merayakan kembali kecinaan yang mereka miliki atau mengadopsi identitas yang lebih mengglobal. Penelitian juga lebih banyak dilakukan dari sudut
9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pandang peneliti sebagai seorang yang berada di luar dari kelompok yang diteliti. Berikut ini saya akan menjelaskan mengenai beberapa penelitian yang terkait dengan tema penelitian yang saya teliti. Pemilihan penelitian ini meliputi penelitian mengenai objek formal yang akan saya teliti yaitu tentang kecinaan, mengenai pengalaman rasisme, dan penelitian sejenis yang menggunakan
metode
autoetnografi
atau
yang
berbicara
mengenai
pengalaman rasisme yang dialami oleh penulisnya. 1. White Skin Black Masks Salah satu tulisan yang membahas rasisme dengan berangkat dari pengalaman penulisanya sendiri adalah buku dari Frantz Fanon ini yaitu
Black Skin White Masks. Ia berbicara tentang pengalamannya sebagai orang kulit hitam dalam berelasi dengan dunia kulit putih. Tulisan ini pertama terbit dalam bahasa Prancis pada tahun 1952. Dalam pengantarnya, Fanon menjelaskan bahwa buku ini sebenarnya sudah selesai ditulisnya tiga tahun sebelumnya, tetapi tidak dapat langsung diterbitkan karena rasisme masih menjadi isu yang sensitif kala itu. Buku ini sendiri terbit ketika Fanon merasa lingkungan di sekitarnya sudah lebih menerima isi dari tulisannya ini.3.
3
Saya sendiri menggunakan White Skin Black Masks ini dengan versi terjemahan bahasa Inggris
yang diterjemahkan oleh Richard Philcox yang diterbitkan pada tahun 2008 oleh penerbit Grove
10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Buku ini sendiri sebenarnya merupakan analisis psikoanalisa dari Fanon mengenai kondisi psikologis orang kulit hitam (lelaki) sebagai subjek kolonial. Secara khusus dia menggunakan pengalaman pribadinya sebagai data dalam analisanya. Fanon membagi bukunya dalam delapan bab. Pada tiap babnya dia membahas berbagai macam aspek yang menurutnya dipengaruhi oleh kondisi diskriminasi ras yang diterima oleh orang kulit hitam di dunia barat, dalam kasus buku ini adalah di Prancis. Fanon sebagai seorang yang mendapatkan beasiswa dalam bidang kedokteran dan psikiatri memfokuskan tulisan dan analisisnya pada bagaimana kondisi diskriminasi yang dialami oleh subjek kolonial ini memengaruhi mereka dalam berperilaku, berbahasa, dan dalam bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri dan Liyan—dalam hal ini adalah orang kulit putih. Dalam dunia kolonial, dikenal pandangan yang menyatakan bahwa orang kulit hitam itu merupakan seorang yang dianggap bodoh, primitif, liar, dan terbelakang. Bahkan Fanon juga menyatakan bahwa ada anggapan bahwa orang kulit hitam dianggap sebagai hasil evolusi manusia yang kurang sempurna. Orang-orang kulit putih memerlakukan mereka secara berbeda. Mereka diperlakukan seperti
Press, New York, yang belakangan dibantu juga dengan terbitnya terjemahan dalam bahasa Indonesia yang terbit awal tahun 2016 ini, White Skin Black Masks edisi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Harris A. Setiajid dan diterbitkan oleh penerbit Jalasutra pada 2016
11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
anak kecil atau orang bodoh, tetapi mereka kadang juga dipandang sebagai monster—sampai membuat seorang anak kecil menangis karena takut dimakan oleh orang kulit hitam. Pertemuan dengan Liyan dan kondisi seperti itulah yang digambarkan Fanon terjadi dalam dirinya dan orang-orang kulit hitam lainnya yang berada di dunia Barat. Relasi yang kemudian mengubah cara pandang mereka memandang kehitaman mereka, dan memandang dunia di sekitarnya. Relasi ini, bagi Fanon, juga mengubah relasi orang kulit hitam dengan sesama kulit hitam sendiri. Mereka yang sudah mengenyam pendidikan Barat dan berbicara dengan bahasa orang Barat, seringkali tidak lagi memahami atau tidak mau lagi memahami budaya asli mereka yang mereka tinggalkan. Tulisan Fanon ini juga berfokus pada kerusakan psikologis yang disebabkan oleh kolonialisme, bagaimana kolonialisme berpengaruh pada pembentukan subjek seseorang baik itu dari sisi korban maupun dari orang yang melakukan kolonisasi. Menurut saya, buku Fanon ini akan memberi saya perangkat bahasa untuk berbicara mengenai bagaimana pengalaman terdiskriminasi akan membentuk dan memengaruhi kondisi psikologis seseorang dan bagaimana pengalaman itu direproduksi juga dalam keluarga orang-orang yang mengalami diskriminasi tersebut. Walaupun dalam konteks permasalahan
12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Cina di Indonesia, teori Fanon ini tidak akan dapat ditempatkan dengan tepat karena kompleksitas posisi orang Cina itu sendiri. 2. On Not Speaking Chinese Buku ini ditulis oleh Ien Ang, seorang Indonesia keturunan Cina yang lahir di Indonesia dan pada tahun 1967 pindah ke Belanda. Ia menjadi seorang akademisi dalam bidang kajian budaya dan akhirnya pindah dan menjadi warga negara Australia. Buku ini menekankan pada posisi Ang sebagai seorang Cina yang diaspora. Seorang Cina yang tinggal di Barat. Permasalahan yang dia angkat adalah permasalahan yang didapatnya dari pengalaman hidupnya. Ia selalu merasa tidak asing dengan keberadaan dirinya. Sebagai seorang dengan fisik Cina di Barat, dia merasa berbeda dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Sedangkan ketika ia berada di Taiwan, yang pada dasarnya orang-orangnya memiliki ciri fisik yang sama dengan dirinya, ia tetap merasa berbeda karena dia tidak dapat berbahasa Cina. Konsep teoretis yang dipakainya dalam penelusuran ini adalah hibriditas. Ang mengkritik konsep asimilasi dan multikulturalisme yang menurutnya tidak tepat dalam menggambarkan relasi antar ras yang terjadi. Buku ini dibagi menjadi 3 bagian besar. Bagian pertama berjudul, ―Beyond Asia: deconstructing diaspora‖, bagian kedua, ―Beyond the West: negotiating multiculturalism‖ dan bagian yang ketiga, ―Beyond Identity:
13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
living hybridities.‖ Permasalahan yang banyak diangkat adalah pertemuan antara dia sebagai seorang wanita Asia dengan dominasi Barat atau orang kulit putih. Secara khusus dia membahas posisinya sebagai perempuan Asia adalah pada tulisannya yang berjudul ―I‘m feminist but…: ‗other‘ women
and postnational identities‖ (Ang, 2001: 177). Ien Ang juga secara khusus membahas mengenai Cina di Indonesia dari tahun 1960-an sampai ke era 2000-an pada bab 3 yang berjudul, ―Indonesia On My Mind, Diaspora, the Internet and the struggle for hybridity.‖ Di sini Ang banyak membahas mengenai hibriditas dan diaspora. Hal ini terpengaruh dari keadaannya sebagai seorang migran di Belanda. Dia sendiri mempertanyakan apakah ia seorang Cina diaspora ataukah seorang Indonesia diaspora. Lebih lanjut dia mengkritisi mengenai wacana yang sudah diterima begitu saja mengenai Cina di Indonesia. Seperti pandangan bahwa orang Cina yang mendominasi kekayaan dan kesejahteraan di Indonesia. Sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan, tetapi juga tidak benar begitu saja. Kecinaan di Indonesia tidak lagi menjadi suatu penanda ras atau ciri fisik saja, melainkan menjadi suatu identitas ekonomi. Ang kemudian menganalisis persoalan kecinaan yang ada di Indonesia ini menggunakan teori hibriditas dari Homi Bhabha. Hibriditas atau
14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pembauran dilakukan sebagai suatu strategi untuk membaur dengan lingkungannya. Hal ini terutama dilakukan oleh orang keturunan Cina yang tidak cukup kaya untuk berpindah negara. Hibriditas sebagai suatu strategi yang perlu untuk dilakukan sebagai suatu negosiasi atas marginalisasi yang terjadi. Buku ini juga membantu saya dalam melihat permasalahan kecinaan yang ada di Indonesia dari perspektif kajian budaya dan kajian pascakolonial. Selain itu, dalam buku ini Ien Ang menggunakan metode penulisan yang sejalan dengan metode yang saya gunakan yaitu semi-
autobiografi. Sebagai seorang keturunan Cina yang sudah lama meninggalkan Indonesia, Ang memandang negara ini dalam posisinya yang sudah bukan lagi menjadi orang Indonesia. Di sini saya akan memiliki posisi pandang yang berbeda sebagai orang keturunan Cina yang tumbuh dan besar di Indonesia. Dalam penelitian ini saya akan membahas mengenai pengalaman rasisme yang terjadi pada orang keturunan Cina yang ada di Indonesia. Pada penelitian sejenis teori yang sering saya jumpai adalah negosiasi yang dilakukan orang keturunan cina tentang kecinaan mereka, bagaimana mereka bersentuhan dengan mayoritas.
15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam buku tersebut Ang banyak berbicara mengenai teori identitas dari Homi Bhabha dan mengkritik praktik asimilasi yang banyak digunakan untuk menghadapi perbedaan budaya. Mengutip Zygmunt Bauman, Ang menyatakan bahwa asimilasi tidak akan pernah benar-benar berhasil karena asimilasi yang dipahami sebagai ―membuat menjadi sama‖ tidak akan bisa terjadi. Subjek yang diasimilasi hanya akan menjadi subjek yang tidak benar-benar nyata, bahkan dicontohkan di sini bahwa subjek nonBarat yang paling Barat sekalipun tidak akan pernah benar-benar menjadi Barat (Ang, 2005:9). 3. Penelitian Mengenai Orang Cina Indonesia Pasca Orde Baru Identitas dan kondisi orang-orang keturunan Cina yang ada di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru menjadi suatu persoalan yang cukup banyak dibicarakan. Di sini saya akan membahas beberapa di antaranya, yaitu Setelah Air Mata Kering karya I. Wibowo (2010), Identitas Tionghoa
Pasca Soeharto tulisan Chang-Yau Hoon (2012), dan Identitas Hibrid Orang Cina dari Darwin Darmawan (2014). Ketiga buku ini merupakan hasil kajian yang membahas mengenai pengalaman orang Cina pasca Orde Baru, sejalan dengan apa yang akan saya bahas. Selain itu pembahasan ini juga membantu saya untuk menempatkan di mana posisi penelitian saya sendiri di tengah kajian mengenai orang Cina di Indonesia.
16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Setelah
Air
Mata
Kering
adalah
kumpulan
tulisan
yang
menggambarkan bagaimana kondisi orang Cina setelah runtuhnya Orde Baru. Dalam buku ini dibahas mengenai geliat orang Cina di Indonesia dalam menanggapi kebebasan yang diperoleh. Tulisan-tulisan ini tidak lepas dari sejarah orang Cina di Indonesia yang berada di posisi tertindas dan bagaimana perubahan mulai dirasakan dan diusahakan untuk terjadi. Sebagai contoh adalah bagaimana mulai bermunculan usaha untuk menunjukkan rasa nasionalisme orang Cina di Indonesia. Mulai munculnya partai dan organisasi politik yang didirikan untuk mewadahi aspirasi orangorang keturunan Cina di Indonesia. Usaha lain seperti mulai menuliskan sejarah atau biografi orang-orang Cina yang berperan selama masa kemerdekaan Indonesia seperti Oey Tjoy Tat, seorang menteri negara pada masa pemerintahan Soekarno. Buku ini juga membahas mengenai bagaimana perkembangan dari agama Buddha dan Kong Hu Chu yang pada masa Orde Baru sempat mengalami tekanan yang luar biasa. Kedua buku berikutnya secara khusus membahas mengenai identitas orang Cina di masa reformasi ini. Reformasi di sini menjadi suatu penanda penting bagi orang Cina di Indonesia pada khususnya karena runtuhnya rezim lama yang dianggap begitu represif bagi orang-orang Cina. ChangYau Hoon dalam tulisannya membahas mengenai bagaimana identitas
17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
orang keturunan Cina di Indonesia mulai menunjukkan dirinya kembali sebagai orang keturunan Cina. Hal ini terlihat dengan mulai dipelajarinya kembali
bahasa
Mandarin,
tumbuhnya
organisasi
baik
organisasi
masyarakat maupun organisasi politik yang menunjukkan kecinaan mereka, atau dapat dikatakan mulai ada usaha untuk melakukan pencinaan kembali atau resinifikasi pada masyarakat keturunan Cina yang menjadi subjek penelitian Hoon. Sedangkan pada Darwin Darmawan secara khusus membahas mengenai bagaimana identitas hibrid dari orang Cina di Gereja GKI Perniagaan, Jakarta. Penelitian ini merupakan suatu penelitian dalam area kajian budaya dan kajian Pascakolonial dengan menggunakan teori dari Homi Bhabha mengenai hibriditas dan ruang ketiga yang digunakan sebagai strategi negosiasi identitas bagi orang keturunan Cina. Dalam buku ini dikatakan bahwa Kekristenan menjadi suatu identitas atau ruang ketiga yang menegosiasikan aspek kecinaan dan keindonesiaan yang selama ini dianggap berada dalam posisi yang berlawanan. Di sini Darmawan sudah mencoba membongkar berbagai wacana yang tertanam dalam pemikiran kita mengenai kecinaan, seperti pandangan akan adanya eksklusifitas dari orang keturunan Cina.
18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ketiga buku ini saya gunakan untuk memberi saya gambaran yang cukup luas mengenai bagaimana kondisi orang keturunan Cina yang ada di Indonesia pasca Orde Baru. Bidang apa saja yang mengalami perubahan dan pembebasan, geliat apa saja dan di mana saja yang terjadi sejak kebebasan itu diberikan dan diundang-undangkan. Undang-undang represif apa saja yang dicabut dan digantikan dengan undang-undang yang lebih ramah Cina. Apa yang tidak saya temukan dari beberapa penelitian di atas adalah bagaimana pengalaman keseharian orang keturunan Cina dalam menemui diskriminasi dan rasisme dan bagaimana pengalaman itu dimaknai dan direfleksikan kembali. Bagaimana sebenarnya keadaan orang-orang Cina yang sehari-harinya membuka toko. Apakah pengeluaran Keppres tentang penggantian penggunaan istilah Cina dengan Tionghoa4 akan memengaruhi mereka,
misalnya.
Apakah
undang-undang
tersebut
memperbaiki
perlakuan yang mereka dapatkan, atau memengaruhi pandangan mereka akan diri mereka sendiri? Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba menempatkan diri untuk melihat bagaimana orang keturunan Cina dalam keseharian mereka.
4
Keputusan Presiden Republik Indoensia Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Pencabutan Surat
Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/PRES.KAB/6/1967, Tanggal 28 Juni 1967, diunduh dari http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/174034/KEPPRES122014.pdf pada Jumat, 17 Oktober 2014
19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Apakah pergantian rezim yang terjadi dan wacana-wacana yang ada di Indonesia ini juga memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka? Apakah perubahan itu juga dirasakan dan terjadi pembentukan makna ulang akan diri mereka sebagai orang keturunan Cina? G. Kerangka Teoretis
Remembering Fanon is a process of intense discovery and disorientation. Remembering is never a quiet act of introspection or retrospection. It is a painful re-membering, a putting together of the dismembered past to make sense of the trauma of the present. It is such a memory of the history of race and racism, colonialism and the question of cultural identity, that Fanon reveals with greater profundity and poetry than any other writer. (Mengingat Fanon adalah suatu proses yang sangat emosional akan pengungkapan diri dan keadaan kehilangan arah. Mengingat bukan hanya suatu tindakan melakukan instrospeksi maupun restropeksi. Ini adalah suatu tidakan yang menyakitkan untuk mengumpulkan dan menyusun kembali masa lalu yang terpecah untuk memahami trauma yang ada di saat ini. Mengingat Fanon adalah berbicara tentang memori sejarah mengenai ras dan rasisme, kolonialisme, dan pertanyaan akan suatu identitas kultural, suatu yang diungkapkan oleh Fanon dengan suatu cara yang lebih mendalam dan lebih puitis daripada yang pernah dituliskan oleh penulis lain.)
(Homi K. Bhabha5.)6 Bagi Fanon, ras dan rasisme bukanlah suatu konsep yang dipahami dengan berbagai definisi yang ditemukan dalam buku. Ras dan rasisme bukanlah suatu teori untuk dimengerti dan dipahami. Bagi Fanon, ras dan rasisme adalah pengalaman yang dia cecap dan rasakan dalam kehidupan sehari-harinya sebagi
5
Kata pengantar untuk edisi 1986, Remembering Fanon: Self, Psyche and the Colonial Condition
(Bhabha, 1986: xxxv) 6
Semua terjemahan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia dilakukan oleh saya sendiri kecuali
dinyatakan berbeda.
20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seorang Martinique yang tinggal di Prancis. Kehitamannya adalah konsep ras yang dia pahami ketika dia akhirnya dihadapkan terus menerus dengan Liyannya, para kulit putih. Atau mungkin lebih tepatnya dirinya yang adalah ―yang lain‖. Rasisme adalah apa yang dia alami, dan perlakuan yang dia terima setiap harinya sebagai seorang berkulit hitam dalam dunia berkulit putih. Sesuatu yang tidak melulu masuk akal, tetapi diterima seakan-akan itu kebenaran dan direproduksi terus menerus. ―Lihat ada Negro! Mama, ada Negro! Mama, lihat ada Negro. Aku takut!‖ Takut! Takut! Sekarang mereka mulai takut kepadaku. Aku ingin bunuh diri karena tertawa, namun tawa sama sekali bukan masalahnya. Aku tidak tahan lagi karena aku tahu ada legenda, kisah, dan sejarah… Aku bertanggung jawab, tidak hanya pada raga ini, namun juga pada ras, dan leluhurku.‖7 Rasisme bagi Fanon di sini menjadi suatu pengalaman yang berulang kali menegaskan kehitamannya. Suatu keadaan yang tidak dapat dilepaskannya dari dirinya dan juga selalu terkait dengan seluruh ras dan leluhurnya. Suatu keadaan, jika tidak mau dibilang beban, yang tidak mengada begitu saja tetapi juga membawa serta kisah-kisahnya, legenda, dan sejarah, baik yang terjadi dalam kenyataan yang dialaminya setiap harinya, maupun yang terjadi pada tataran bahasa dan wacana yang tidak terlihat namun bertumbuh di dalam pikiran.
7
Frantz Fanon, 2016, Black Skin, White Masks Kolonialisme, Rasisme, dan Psikologi Kulit Hitam
Edisi Bahasa Indonesia (hlm. 85-86)
21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1. Ras dan Rasisme Kata ras atau ‗race‘ sendiri, pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris pada tahun 1508 dalam puisi William Dunbar. Pada awalnya kata ini menunjukkan suatu kata yang didenotasikan dengan kelas manusia atau benda. Baru pada abad akhir abad ke 18, kata ras bermakna menjadi suatu kategori yang membedakan manusia dalam karakteristik fisik berdasarkan keturunan/etnik/suku (Ashcroft, Griffiths et al., 1998: 199). Dalam dunia imperialisme dan kolonialisme, ras ini digunakan sebagai suatu kategori untuk menegaskan hierarki yang didasari pada segi fisik untuk melegitimasikan penjajahan atau penguasaan dari ras yang dianggap lebih unggul (kulit putih) terhadap ras yang dianggap inferior (kulit berwarna). Konsep perbedaan berdasarkan fisik atau ideologi-ideologi mengenai perbedaan ras ini kemudian semakin tumbuh dan dilegitimasi dengan dimasukkannya ideologi-ideologi ini dalam wacana sains. Dalam segi sains ini ciri-ciri fisik atau biologis kemudian dikaitkan dengan ciri-ciri psikologis atau intelektual. Hal ini juga dijelaskan Ania Loomba dengan mengacu pada buku John Burke, The Wild Man‘s Pedigree (Loomba, 2003: 151). Di situ Loomba mencontohkan adanya kategorisasi manusia seperti manusia liar dengan ciri berkaki empat, bisu, dan berambut lebat; orang Amerika adalah orang dengan warna kulit tembaga, berambut hitam, pemarah, bandel, bebas, dan diatur
22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
oleh adat; orang Asia adalah orang dengan kulit kehitaman, mata hitam, keras, angkuh, tamak, dan diatur oleh pikiran (governed by opinion). Di situ ditunjukkan juga bahwa orang Eropa yang memiliki ciri psikologis yang unggul seperti optimis, lembut, cerdas, cerdik, dan diatur oleh hukum (Loomba, 2003: 115). Wacana semacam inilah yang kemudian dibawa dan disebarkan dalam dunia kolonialisme untuk membenarkan penguasaan dari orang-orang Eropa atas orang dari ras lainnya. Bahkan di sini orang Eropa berpendapat bahwa orang-orang dari suku atau ras lain itu merupakan ras yang lebih primitif sehingga perlu untuk diperadabkan atau dibimbing menjadi ‗orang dewasa‘. Pemisahan berdasarkan ras ini jugalah yang digunakan oleh pihak Belanda dalam melanggengkan dominasi dan kekuasaannya di Hindia Belanda. Belanda kala itu menerapkan sistem politik apartheid. Mereka membagi sistem masyarakat di Hindia Belanda menjadi tiga golongan: masyarakat Eropa, masyarakat timur asing (vreemde oosterlingen), yang termasuk di dalamnya orang Cina, India, dan Arab, dan yang ketiga adalah golongan pribumi. Onghokham dalam bukunya Anti Cina, Kapitalisme Cina,
dan Gerakan Cina. Sejarah Etnis Cina di Indonesia menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam golongan pribumi sendiri masih dibagi-bagi berdasarkan sukunya dan setiap golongan harus tinggal di kampung-kampung sendiri.
23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pembagian ini dapat kita lihat di Jakarta saat ini di mana bisa kita temukan Kampung Ambon, Kampung Melayu, Pecinan, dan lain sebagainya (Onghokham, 2008: 4). Jika kita menilik lebih jauh dari pembagian yang dilakukan oleh sistem kolonial ini, tidaklah murni pembagian berdasarkan ras atau ciri fisik. Kembali pada kategorisasi yang dimunculkan oleh Linnaeus dalam Ania Loomba (Loomba, 2003: 115), sains Barat hanya membagi ras menjadi lima kategori yaitu manusia liar, Amerika (penduduk asli Amerika), Eropa, Asiatik, dan Afrika, sehingga Cina, Melayu, Arab, dan India, merupakan satu rumpun ras Asiatik. Pembagian yang pada akhirnya merupakan suatu konstruksi dan pemisahan yang dilakukan kolonial demi kemudahan dan keuntungan mereka. Pembagian yang menegaskan stereotipe-stereotipe untuk memastikan masing-masing kelompok berada pada tempatnya masing-masing dan tidak bersatu untuk melawan kolonialisme. Pembatasan dan pembedaan secara rasial ini juga diikuti dengan pembatasan cara berpakaian, seperti orang Cina yang tidak boleh berpakaian dengan cara orang Eropa ataupun penduduk pribumi. Hal ini didasari oleh kecurigaan Belanda yang berlebihan akan keberadaan orang Cina di Hindia Belanda kala itu (Onghokham, 2008: 171). Sampai pada tahun 1910, lelaki Cina yang tinggal di Hindia Belanda masih memakai kucir dan berpakaian
24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Cina. Saat ada seorang Cina yang ingin memotong kucirnya dan ingin berpakaian secara Eropa, orang tersebut harus membuat petisi dan meminta izin kepada Gubernur Jenderal (Onghokham, 2008: 4). Pemisahan berdasarkan ras yang juga dilakukan oleh Belanda adalah dengan mengeluarkan peraturan untuk membatasi tempat tinggal atau pemukiman orang-orang Cina. Seperti di Batavia, mereka tinggal di satu kawasan, yaitu Glodok. Jika mereka ingin berpergian atau keluar dari kampung tersebut, mereka harus memiliki pas jalan atau izin untuk melintas. Peraturan atau pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh pihak Belanda ini, terutama kepada orang-orang Cina adalah karena meletusnya perang atau pemberontakan yang dikenal dengan periode perang ―Wolanda-
Cina‖, perang yang terjadi antara VOC dan orang-orang Cina dengan dukungan dari penguasa-penguasa lokal dan kerajaan Mataram (Lombard, 1996b; Onghokham, 2008; Daradjadi, 2013). Pemberontakan ini sendiri dipicu oleh VOC yang melakukan pembantaian besar-besaran pada orang Cina di Batavia pada 9 dan 10 Oktober 1740 (Lombard, 1996b; Daradjadi, 2013). Pembantaian orang-orang Cina atau yang dikenal dengan de Chineezen
Grootemoord ini memakan korban sampai 10.000 orang Cina di Batavia. Jumlah yang sangat besar jika mengingat jumlah penduduk di Jawa belum lagi
25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
genap lima juta jiwa8. Pembantaian yang juga ditandai oleh Onghokham sebagai kerusuhan anticina pertama dalam sejarah nusantara (Onghokham, 2008: 114). Di satu sisi, keberadaan perang ini dapat menandai adanya kerjasama atau persatuan antara orang-orang Cina dengan orang-orang lokal, dalam kasus ini adalah orang-orang Jawa atau kerajaan Mataram. Tetapi di sisi lain, pembantaian yang dilakukan oleh VOC ini juga mengawali keterpisahan antara orang keturunan Cina dan pribumi dengan politik apartheid yang dilakukan Belanda kemudian. Perbedaan yang tidak hanya sekadar berdasarkan perbedaan secara fisik atau secara budaya saja. Pembedaan yang kemudian terjadi adalah pembedaan yang menimbulkan adanya hierarki dalam relasi di masyarakat. Salah satu penandanya adalah adanya perbedaan hak dan perlakuan dalam hukum kolonial antara orang Cina dan orang Pribumi. Seperti adanya hak yang diberikan kepada orang-orang Cina untuk mengelola beberapa sektor perekonomian yang strategis seperti mengelola rumah gadai dan perdagangan candu. Adanya ketimpangan hukum dan berbagai kebijakan kolonial ini yang membuat dinamika masyarakat menjadi tertahan dan menyebabkan adanya minoritas (Onghokham, 2005: 82).
8
Iwan Santosa dalam Catatan Editor: Perang Terbesar Melawan VOC, Modal Sosial Membangun
Indonesia dalam Darajadi (2013).
26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam perjalanannya kemudian, orang-orang keturunan Cina juga tidak mengalami keadaan yang lebih baik, bahkan bisa dibilang lebih buruk dibandingkan pada era kolonial. Orang-orang keturunan Cina ini ditempatkan pada posisi yang dilematis oleh aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pihakpihak yang berkuasa dan merasa memiliki hak atas orang-orang keturunan Cina ini. Seperti adanya kebijakan dari pihak Cina yang menyatakan bahwa semua orang keturunan Cina adalah warga negara Cina. Keadaan tersebut memposisikan orang keturunan Cina memiliki dua kewarganegaraan. Hal ini berbuntut adanya kesulitan untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia dan pandangan akan orang Cina sebagai entitas yang asing terus menerus. Bahkan jika makhluk asing ini sudah tinggal dan menetap di tempat itu selama lebih dari tiga generasi. Masih banyak ejekan-ejekan yang menyuruh orangorang keturunan Cina ini untuk pulang ke negaranya. Negara yang mana? Ditempatkan sebagai liyan terus menerus ini membuat tidak adanya ikatan atau perasaan sebagai satu pihak antara orang keturunan Cina dengan orang-orang pribumi di sekitarnya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang membuat orang-orang keturunan Cina mudah menjadi korban ketika ada kerusuhan atau ketika situasi politik memanas. Dapat kita lihat sejarahnya, sejak tahun 1740, lalu tahun 1965 di mana orang keturunan Cina dikaitkan dengan komunis yang dari negara Cina, walaupun pada masa itu, pembantaian
27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang terjadi tidak pandang bulu. Lalu kerusuhan pada tahun 1981 di Solo yang merembet ke beberapa tempat, dan yang terakhir adalah rangkaian kerusuhan di tahun 1997-1998. Beberapa dari kejadian tersebut pada mulanya tidak ada korelasinya dengan orang keturunan Cina. Salah satunya adalah kerusuhan di Situbondo yang terjadi pada 10 Oktober 1996 di mana pada awalnya terjadi penistaan agama oleh seorang anak pesantren yang disidangkan dan menimbulkan kemarahan massa (Purdey, 2006: 40-42). Kemarahan tersebut berlanjut dengan pengerusakan yang menyerang rumah-rumah orang keturunan Cina. Ada yang juga disebabkan oleh perselisihan antara orang keturunan Cina dengan tetangga atau pekerjanya dan hal itu berakibat pada kerusuhan yang melanda seluruh kota. Di sini saya melihat bahwa jika kamu bukan orang keturunan Cina kamu boleh marah, atau menyatakan ketidaksenanganmu kepada orang lain, tetapi hal itu tidak boleh dinyatakan jika kamu merupakan seorang keturunan Cina. Sedikit salah langkah akibatnya bisa terjadi pembakaran. Pasca reformasi memang terjadi perubahan pada kondisi orang keturunan Cina di Indoenesia. Pemerintahan dan keadaan menjadi lebih ramah. Undangundang yang mendiskriminasi orang Cina dicabut, banyak hal menjadi dipermudah atau sama dengan warga negara yang lain. Walau tidak langsung
28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan butuh waktu, secara garis besar, saya sendiri merasakan adanya perbedaan dalam perlakuan yang saya terima jika dibandingkan dengan saat saya masih anak-anak dulu. Saya tidak perlu merasakan kesulitan yang Papah saya rasakan ketika mengurus berbagai dokumen. Dalam kondisi seperti inilah kehidupan kami jalani. Kehidupan yang membawa sejarah panjang migrasi, pembantaian, dan diskriminasi. Kehidupan yang juga membawa kekayaan, dan hak-hak istimewa sebagai warga negara kelas atas. Kehidupan yang mulai bergeser menjadi kehidupan yang lebih baik dan bahkan mulai dirayakan dengan meriah di setiap Imlek oleh hampir semua orang Indonesia. Bahkan seorang keturunan Cina saat ini sudah bisa bermimpi menjadi Presiden, sesuatu yang tidak mungkin terjadi 20 tahun yang lalu. Masyarakat luas pun mengalami kehidupan yang sama dari sisi yang berbeda. Mereka memandang orang-orang keturunan Cina ini sebagai makhluk asing yang entah bagaimana menjadi sukses dan kaya. Bahkan mungkin menjadi orang paling kaya di lingkungannya. Seseorang yang dianggap merampas sumber penghidupan yang seharusnya menjadi hak mereka. Dan dari hal-hal tersebutlah rasisme yang saya alami ini terbentuk dan membentuk diri saya.
29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Respon Psikologis Mendefinisikan apa yang dituliskan Fanon dalam bukunya Black Skin,
White Masks bukanlah hal yang mudah saya lakukan. Pada awalnya saya hanya melihat adanya kesamaan dari apa yang dituliskan Fanon dengan pengalaman yang saya alami dan rasakan sebagai orang keturunan Cina. Bagaimana pengalaman dipandang berbeda dari orang-orang di sekitar, diejek mengenai sesuatu yang tidak bisa kita ubah begitu saja, warna kulit atau bentuk mata. Bagaimana ketakutan dan usaha untuk berusaha menjadi sama dengan orang-orang di sekitar, usaha yang pada akhirnya tetap gagal karena penampilan yang memang tidak bisa diubah dengan mudah. Hal lain adalah bagaimana pengalaman menjadi yang lain ini juga membentuk bagaimana pandangan kami, saya dan Fanon, mengenai diri kami ini. Dalam tulisan ini saya akan mengacu pada tulisan Fanon secara khusus yaitu Black Skin, White
Masks. Tulisan ini yang secara khusus berbicara mengenai psikologi dari rasisme dan dominasi kolonial dengan didukung beberapa tulisan sekunder lainnya. Pengalaman kehitaman Fanon terjadi ketika dia hidup sebagai orang kulit hitam yang berada di Perancis. Dia sebagai tentara yang membela Prancis dalam peperangan, dia yang merupakan seorang Pskiater, dengan pendidikan dan posisinya yang bisa dibilang baik di dalam masyarakat tetap merasakan
30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adanya perlakuan yang berbeda karena warna kulitnya. Perbedaan yang tidak setara karena ada relasi kuasa di situ di mana Putih tetap menjadi standar dari dirinya yang Hitam. Fanon selalu dilihat dari kehitamannya. Hitam sebagai liyan, putih sebagai standar. Menjadi kulit hitam di antara kulit hitam dan hitam di antara putih, adalah suatu pengalaman yang berbeda. Tubuhnya menjadi sangat hadir dan sangat disadari. Yang dilihat dan yang dipikirkan orang kulit putih itu yang berlaku sampai orang kulit hitam juga dipaksa melihat dengan mata kulit putih. Pada orang kulit hitam sendiri, mereka memandang diri mereka sendiri sebagaimana orang kulit putih memandang mereka. Hal ini menimbulkan adanya persepsi dalam diri kulit hitam bahwa dirinya merupakan seorang yang masih terbelakang, bahwa dirinya itu memang budak, dan berbeda dengan orang-orang kulit putih. Sedangkan kulit putih sendiri diposisikan sebagai standar yang harus dicapai. Hal ini menyebabkan adanya kecenderungan
untuk
melakukan
proses
―memutihkan‖
diri
atau
―menghindari kehitaman‖ (Gordon, 2015: 40). Proses untuk menjadi putih ini dilakukan dengan berbagai cara. Orang kulit hitam akan berusaha melakukan hal-hal yang dilakukan kulit putih agar menjadi sama seperti orang-orang kulit putih. Mereka akan menggunakan
31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pakaian yang dipakai kulit putih, mereka akan berbicara dengan bahasa yang digunakan orang kulit putih. ―Waiterrr? Bwing me a dwink of beerrr!‖ (Fanon, 1952: 5). Fanon menunjukkan bagaimana orang kulit hitam berusaha menghancurkan stereotipe pada dirinya yang dipandang tidak bisa mengucapkan huruf ‗r‘ dengan baik dengan menonjolkan caranya mengucapkan walaupun pada akhirnya tidak juga diucapkan dengan benar. Hal ini dapat dijelaskan bahwa ada pandangan psikologis yang dipercayai bahwa dunia ini akan terbuka ketika batasan-batasan disingkirkan. (Fanon, 1952: 5) Proses atau usaha yang dilakukan untuk memutihkan diri ini juga dilakukan dengan mencari pasangan dari orang kulit putih atau menghasrati orang kulit putih. Hal ini dicontohkan Fanon dari sebuah novel I Am a
Martinician Woman, yang ditulis oleh Mayotte Capecia (Fanon, 1952: 25). Dalam buku itu, sebagaimana yang dijelaskan Fanon, menceritakan tentang seorang wanita kulit hitam yang ingin menjadi putih. Dia mencintai orang kulit putih tanpa syarat. Lelaki itu adalah pangerannya. Dia tidak menginginkan atau meminta sesuatu apapun. Wanita ini hanya menginginkan sedikit warna putih dalam hidupnya (Fanon, 1952: 25). Bagi Fanon, wanita dalam kisah tersebut mencintai lelaki kulit putih
karena kulitnya yang pucat, rambutnya yang pirang, dan matanya yang biru.
32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Capecia
sebagaimana
yang
diimajinasikan
dalam
tulisannya
di
sini
mengungkapkan bahwa sebagai wanita kulit berwarna dia menginginkan tidak hanya warna putih melainkan juga adanya hasrat untuk diinginkan. Ketika wanita tersebut menyadari bahwa menjadi putih adalah hal yang dia inginkan, maka diinginkan oleh seorang kulit putih menjadi hal yang paling diinginkan (Gordon, 2015). Ada dua tipe wanita yang diceritakan Fanon dalam pembahasannya mengenai wanita kulit berwarna dengan pria kulit putih. Wanita kulit hitam dan wanita campuran atau mulatresee. Wanita kulit hitam hanya memiliki satu kemungkinan, menjadi putih. Sedangkan yang kedua tidak hanya menginginkan menjadi kulit putih tetapi juga menghindari agar dirinya tidak lagi terperosok menjadi hitam (Gordon, 2015: 40). Setiap usaha yang dilakukan orang kulit hitam itu dilakukan untuk membuat dirinya menjadi putih. Hingga suatu saat dia merasa dirinya adalah seorang kulit putih sampai dia bertemu dengan masyarakat atau liyan kulit putih yang menjadi cermin dari dirinya. Pertemuannya dengan liyan ini akan membuatnya terpaksa untuk menyadari bahwa dirinya tetap kulit hitam. ―Ini
dokter yang kulit hitam, dia adalah seorang profesor kulit hitam.‖ Atau dengan kata lain, walaupun berkulit hitam dia merupakan seorang dokter, ia tidak bisa hanya menjadi seorang dokter atau profesor saja. Di sisi lain Fanon
33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
juga mengalami adanya pembedaan yang diterimanya karena posisinya dan pendidikannya di antara teman-temannya yang berkulit putih. Dia menjadi sama dengan kulit putih karena dia dianggap berbeda dengan orang-orang kulit hitam lainnya. ―I am slave not to the ―idea‖ others have to me, but my
appearance (Fanon, 1952: 95). Apapun yang orang kulit hitam lakukan, penampilannya itu akan selalu menjadi penanda dirinya, dan hal itu yang menentukan bagaimana dirinya dipandang dan diperlakukan oleh orang lain. Usaha dan kegagalan terus-menerus inilah yang menjadi pengalaman keseharian orang kulit hitam. Lingkaran yang membentuk identitas dan bagaimana seorang kulit hitam memandang dirinya. Sesuatu yang membentuk identitas kulit hitamnya. Identitas yang tidak pernah menjadi suatu produk yang jadi atau selesai, identitas selalu merupakan proses problematik akan akses terhadap suatu imaji akan keutuhan (Bhabha, 1986: xxx). 3. Nativisme, Négritude, dan Resinifikasi Dalam suatu komunitas atau negara yang pernah mengalami kolonisasi, seringkali ditemukan adanya kecenderungan munculnya nativisme. Nativisme sendiri adalah suatu istilah yang menunjukkan adanya keinginan atau gerakan untuk menemukan atau memunculkan kembali kebudayaan asli atau kebudayaan sebelum kolonialisme terjadi (Ashcroft, Griffiths et al., 1998: 159). Nativisme ini berangkat dari bahwa memang ada sebuah budaya yang asli
34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang ada sebelum kolonialisme terjadi, dan bahwa budaya yang ―asli‖ tersebut bisa diraih kembali. Hal ini dimunculkan untuk mengatasi atau melampaui kolonialisme yang seringkali mendiskriminasikan atau merendahkan orangorang yang dikoloni, sebagai contohnya yang terjadi pada orang-orang kulit hitam. Salah satu gerakan yang muncul untuk melawan kolonialisme yang terjadi pada orang kulit hitam adalah gerakan yang dikenal dengan Négritude. Gerakan ini pada awalnya dimunculkan oleh para intelektual Afrika dan Caribia yang berada di Paris seperti Leopold Sedar Senghor dan Aime Césaire pada sekitar era perang dunia kedua (Ashcroft, Griffiths et al., 1998: 161). Négritude sendiri adalah suatu gerakan orang-orang kulit hitam yang muncul melalui tulisannya yang membawa semangat untuk memperbaiki gambaran orang kulit hitam dengan mengekspresikan atau mengafirmasi kehitaman (Gordon, 2015: 53). Dalam gerakan ini muncul kecenderungan untuk merayakan kehitaman yang selama ini berada dalam posisi inferior dibandingkan dengan kulit putih. Frantz Fanon sendiri mengenal gerakan ini dari saudara dan juga gurunya Aime Césaire, ia mengadopsi gerakan ini ketika mendukung Aime Césaire dalam pemilihan sebagai walikota Fort-de-France dari partai komunis (Gordon, 2015: 52). Fanon melihat gerakan ini sebagai suatu kesempatan
35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
untuk merehabilitasi posisi orang-orang kulit hitam. Usaha yang dilakukan dengan menggali kembali sejarah orang kulit hitam yang bercerita tentang riwayat
orang-oang
kulit
hitam
yang
terpelajar.
Kisah-kisah
yang
membuktikan bahwa orang kulit hitam bukanlah makhluk primitif atau setengah manusia, ras kulit hitam yang sudah memiliki sejarah panjang sejak dua ribu tahun yang lalu (Fanon, 2016: 101). Pengakuan akan keberadaan yang diungkapkan dalam gerakan Négritude ini pada akhirnya tidak membawa Fanon ke sampai pada posisi yang dia inginkan. Keberadaannya sebagai orang kulit hitam tidak bisa terlepas dari orang kulit putih, dan hanya menemukan kekosongan.
―Without a black past, without a black future, it was imposibble for me to live my blackness. Not yet white, no longer completely black, I was damned. (Tanpa masa lalu hitam, tanpa masa depan hitam, mustahil bagiku untuk melalui kehitamanku. Belum putih, tidak lagi sepenuhnya hitam, aku terkutuk.‖ (Fanon, 1952: 117) Négritude, sebagai suatu gerakan, bisa menjadi gerakan yang ―rasis‖ karena mengafirmasi superioritas atas kulit putih, atau menjadi suatu gerakan antirasis ketika menolak kekuasaan kulit putih dan antirasis terhadap kulit hitam (Gordon, 2015: 52). Pandangan esensialis akan adanya suatu identitas hitam juga menjadi dasar dari munculnya gerakan ini, walaupun dalam retorika yang diajukan identitas kehitaman tersebut dibicarakan secara positif dan dirayakan.
36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gerakan serupa juga cenderung muncul pada orang-orang Cina di Indonesia, resinifikasi atau gerakan pencinaan kembali. Gerakan di mana orang-orang Cina mulai memunculkan ciri identitas kecinaan atau menceritakan kembali jasa-jasa orang keturunan Cina bagi negara Indonesia. Seperti yang ditemukan dalam penelitian Hoon (2012) yang menemukan bahwa orang-orang keturunan Cina pasca Orde Baru mulai kembali mempelajari bahasa Cina, kembali berorientasi ke negara Cina sebagai pilihan alternatif
tempat
tinggal
atau
pendidikan,
membentuk
organisasi
kemasyarakatan atau partai Tionghoa atau yang berbasis marga, serta munculnya kembali media baik cetak maupun televisi yang berbahasa Cina (Wibowo and (ed.), 2010). Munculnya gerakan ini bisa dianggap sebagai reaksi dari terbebasnya orang-orang keturunan Cina dari rezim Orde Baru yang sangat menekan dan membatasi gerakan orang-orang Cina. Misalnya, Didi Kwartanda dalam bukunya pengantarnya dalam buku Geger Pacinan menyatakan bahwa ada penghilangan sejarah mengenai peran orang Cina dalam perang melawan penjajah dalam materi sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia (Kwartanada, 2013: xiv). Saya dalam penelitian ini akan mencoba memandang dan merefleksikan apa yang saya alami dengan cara pandang yang digunakan Fanon. Usaha-usaha
37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
apa saja yang dilakukan seorang keturunan Cina dalam prosesnya bernegosiasi dalam menghadapi liyannya, atau dalam prosesnya menjadi liyan. Bagaimana saya mencoba keluar dari kecinaan yang saya alami, bagaimana hal itu, tentu saja gagal, karena penampilan yang tidak dapat saya lepaskan, bagaimana kegagalan terus menerus itu membentuk pandangan saya akan diri dan kecinaan saya. Kemudian, apakah saya dapat keluar dari lingkaran ini?
H. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian autoetnografi yang akan melihat bagaimana pengalaman sehari-hari saya dalam mengalami rasisme. Memilih untuk menggunakan metode ini bukanlah suatu yang tanpa polemik. Ada banyak kritik dan ketidaksetujuan dalam penggunaan metode ini untuk suatu penelitian. Salah satunya adalah kritik yang diajukan oleh Sara Delamont dalam tulisannya yang berjudul Arguments againts Auto-Ethnography9 yang dengan
cukup
keras
melakukan
kritik
terhadap
metode
penelitian
autoetnografi. Ia menggunakan kata yang keras yaitu ‗lazy‘, malas. Delamont menyatakan bahwa pada dasarnya metode penelitian ini adalah suatu metode
Artikel dari Sara Delamont ini adalah tulisan yang pernah dipresentasikan pada European Sociological Association conference; ‗Advance in Qualitative Research Practice‘ pada September 9
2006. Tulisan ini juga diterbitkan kembali di Qualiti (halaman 2-4), suatu terbitan mengenai penelitian kualitatif dari Cardiff University pada 4 Februari 2007. Artikel saya unduh pada Kamis, 12 Maret 2015 dari http://www.cardiff.ac.uk /socsi/qualiti/QualitativeResearcher/QR_Issue4_Feb07.pdf)
38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penelitian yang malas, baik secara harafiah maupun secara intelektual (Delamont, 2007: 2). Lalu mengapa saya bersikeras untuk menggunakan metode ini? Carolyn Ellis menjelaskan bahwa metode autoetnografi adalah suatu metode yang secara sistematis melihat pada pengalaman pribadi dari penulis. Metode ini berfokus pada sensasi fisik, pikiran, dan emosi dari penulis. Instrospeksi dan mengingat kembali pengalaman emosional digunakan sebagai suatu metode untuk memahami kembali pengalaman hidup yang sudah terjadi (Ellis, 2004: xvii). Dalam penelitian ini saya ingin melihat bagaimana rasisme yang saya alami memengaruhi diri saya secara psikologis dan bagaimana saya memaknai hal tersebut. Metode autoetnografi ini akan memungkinkan melihat pengalaman saya sendiri dan lebih memudahkan saya dalam menarasikan pengalaman yang saya miliki. Pembahasan lebih menyeluruh mengenai metode autoetnografi ini akan saya bahas pada Bab II. Selain mengingat kembali bagaimana pengalaman yang pernah saya sendiri alami, saya akan menggunakan dokumentasi yang saya miliki seperti catatan harian, dokumen-dokumen, dan foto-foto mengenai kehidupan saya atau keluarga saya. Data pengalaman hidup ini juga akan saya perbandingkan atau untuk memastikan pengalaman yang saya alami dengan mewawancara anggota keluarga atau teman-teman saya. Saya juga akan menggunakan
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kembali data wawancara kedua orangtua saya mengenai pengalaman hidup mereka sebagai orang keturunan Cina yang pernah saya gunakan dalam skripsi saya. Selain untuk memvalidasi pengalaman sendiri, wawancara juga dilakukan untuk mencari tahu bagaimana pandangan orang-orang mengenai orang keturunan Cina di Indonesia baik dari persepsi orang Cina itu sendiri maupun dari pandangan orang noncina. Wawancara yang terjadi ini tidak saya lakukan secara formal dengan membuat daftar pertanyaan tertentu. Wawancara atau percakapan-percakapan yang terjadi merupakan diskusi mengenai kecinaan yang mereka pahami. Seperti bagaimana pandangan kami tentang orang Cina, atau bagaimana pengalaman kami terkait dengan kecinaan, misalnya pengalaman rasisme yang dialami atau pengalaman berteman dengan orang keturunan Cina, wacana atau stereotipe mengenai orang Cina yang tersebar di masyarakat. Sumber data lain selain data pengalaman dan data wawancara adalah data pustaka seperti mengenai sejarah dan kebijakan pemerintah mengenai warga keturunan Cina yang ada di Indonesia. Saya menyadari sepenuhnya bahwa orang Cina di Indonesia bukanlah suatu kelompok yang homogen. Perbedaan lokasi dan status ekonomi merupakan suatu faktor yang akan memengaruhi bagaimana pengalaman dan relasi dalam kehidupan seseorang. Mely G. Tan, dalam bukunya Etnis
40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tionghoa di Indonesia10 menemukan dalam penelitiannya bahwa di level kelas sosial yang tinggi, orang-orang Cina tidak mengalami permasalahan rasisme. Mereka bisa bergaul dengan baik dengan orang-orang pribumi. Dari pernyataan ini dan mengacu pada pernyataan Ien Ang mengenai kelas orang Cina yang bergulat dalam masyarakat adalah orang keturunan Cina dari kelas menengah bawah, saya kemudian mengevaluasi posisi di mana saya berdiri secara kelas. Kesadaran akan kelas dalam suatu penelitian etnografi ini juga dilakukan oleh Paul Willis, dalam imajinasi etnografis.11 Dalam penelitian etnografi yang dilakukan oleh Willis, basis material menjadi salah satu dasar di mana pengalaman sehari-hari terjadi. Kelas ini akan menentukan bagaimana lingkungan sosial seseorang, bagaimana dia berelasi dengan lingkungannya, pendidikan seperti apa yang akan didapatkannya, dan bagaimana hal itu dimaknai dalam konteks kelasnya. Dari sini saya berpendapat bahwa memastikan posisi kelas adalah hal yang penting untuk memberikan konteks pada pengalaman rasisme akan dibicarakan. Saya melihat posisi kelas saya dari gaya hidup yang saya jalani dan dari pendidikan saya sebagai mahasiswa pascasarjana yang menjadikan saya berada di posisi kelas menengah. Walaupun hal ini juga bisa
10 11
(Tan, 2008), hlm. 172 Willis, P. (2000) The Ethographic Imagination. Cambridge, UK: Polity Press
41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dipertanyakan kembali dengan standar seperti apa saya menempatkan diri saya. Posisi ini menentukan pendidikan yang saya dapatkan, tempat tinggal, dan lingkungan pergaulan. Sesuatu yang pastinya akan sangat berbeda jika misalnya saya berasal dari kelas atas atau kelas bawah. Lebih lanjut pemahaman akan kelas dan bagaimana hal itu dimaknai akan membawa saya pada penarikan kesimpulan lebih lanjut dengan melihat bagaimana pengalaman yang saya alami itu dipengaruhi dan memengaruhi lingkungan yang lebih luas. Ada hubungan saling memengaruhi antara suatu struktur sosial dan identitas atau pembentukan budaya dalam diri seseorang. Struktur sosial ini tidak hanya terletak di luar diri, melainkan juga ada di dalam diri. Struktur inilah yang terkait erat dengan ideologi, ideologi yang hadir karena diadopsi, dipertarungkan, dijelaskan, serta ideologi yang ditolak (Willis, 2000: xvi). Metode analisis data ini akan membantu saya memahami bagaimana suatu budaya atau ideologi yang ada di dalam masyarakat itu diolah di dalam diri, baik itu diterima maupun ditolak. Dalam penelitian ini ideologi yang akan dilihat adalah mengenai keturunan Cina yang ada di Indonesia, seperti apakah ideologi yang terbentuk di dalam masyarakat dan bagaimana hal itu memengaruhi diri saya sebagai seorang yang diwacanakan.
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
I. Skema Penulisan Penelitian ini akan dibagi ke dalam empat bab secara keseluruhan: Bab I merupakan bab pendahuluan yang akan menjelaskan latar belakang penelitian ini, rumusan masalah, kajian pustaka, kajian teori yang digunakan, dan metode yang digunakan secara singkat. Bab II akan membahas mengenai metode autoetnografi secara lebih mendalam. Bagaimana perkembangan dan posisi metode tersebut dalam penelitian ilmu sosial secara umum dan bagaimana metode tersebut bisa digunakan dalam penelitian kajian budaya. Bab III akan berbicara mengenai bagaimana pengalaman saya sebagai seorang keturunan Cina dengan metode autoetnografi yang sudah dibahas sebelumnya. Bab IV merupakan kesimpulan dan refleksi dari proses yang sudah dilakukan.
43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bab II Mengapa Autoetnografi?
Pada bab sebelumnya, saya sudah sedikit menyinggung mengenai metode penelitian autoetnografi yang akan menjadi metode penulisan dan pengumpulan data dalam penelitian ini. Dalam bab ini saya akan membahas bagaimana metode tersebut berkembang dalam arena penelitian kualitatif dan bagaimana metode terebut digunakan dalam dunia akademis.
A. Perkembangan Metode Penelitian dalam Keilmuan Sosial Memasuki pembicaraan mengenai bidang penelitian kualitatif adalah memasuki suatu ranah pembicaraan yang sangat luas, jauh lebih luas daripada yang saya bayangkan sebelumnya. Sekalinya saya pernah melakukan penelitian adalah saat skripsi dengan metode penelitian kualitatif wawancara dan metode analisis data fenomenologi intrepretatif. Itu pun masih dalam level belajar yang hanya membaca seadanya saja dan melakukan penelitian sederhana. Saya kemudian mengawali dengan mempelajari bagaimana metode penelitian sosial secara umum berkembang selama ini. Dalam Handbook of Qualitative Research yang disusun dan diedit oleh Yvonna S. Lincoln dan Norman K. Denzin (2009), dijelaskan bagaimana sejarah perkembangan metode penelitian yang ternyata tidak dapat dilepaskan 44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dari perjalanan sejarah manusia dan ilmu pengetahuan itu sendiri, terutama di negara-negara Barat. Saya tidak pernah menyadari sebelumnya, bahwa perang, penaklukan, dan kolonialisme juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam perkembangan metode penelitian ilmu sosial. Paula Saukko membedakan antara istilah metode dan metodologi dalam suatu penelitian. Metode merupakan suatu sarana atau alat dalam melakukan suatu penelitian, sedangkan metodologi mencakup cara dalam melakukan penelitian sekaligus landasan filosofi dan politik yang mengikuti dalam pendekatan suatu penelitian (Saukko, 2003: 8). Autoetnografi ini sendiri adalah suatu metode yang menjadi salah satu sarana dan alat dalam melakukan penelitian kualitatif. Denzin dan Lincoln (2009) dalam bukunya menjelaskan bahwa penelitian kualitatif bergerak dalam lima kurun sejarah yang pada era sekarang ini bergerak secara simultan. Kurun sejarah tersebut adalah kurun tradisional (1900-1950), kurun modernis atau keemasan (1950-1970), genre yang kabur (1970-1986), krisis representasi (1986-1990), dan kurun postmodern atau masa kini. Kelima kurun waktu tersebut memiliki kecenderungan atau ciri khasnya masing-masing. Dalam kurun tradisional, suatu penelitian masih dicirikan dengan paradigma positivis. Positivisme sendiri beranggapan bahwa dunia ini dapat dijelaskan secara objektif. Pada kurun waktu modern atau keemasan dan
45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pada kurun genre yang kabur, paradigma yang dipakai adalah post-positivis. Suatu pandangan yang menjelaskan bahwa tidak semua hal dapat dijelaskan secara objektif karena semua metode memiliki kelemahan (Denzin & Lincoln, 2009: 2). Pada saat yang bersamaan mulai muncul pula pola-pola pemikiran dalam sudut pandang penelitian kualitatif dan interpretif yaitu hermeneutika, strukturalisme, semiotika, fenomenologi, kajian-kajian kebudayaan, dan feminisme. Perkembangan ini juga tidak dapat dilepaskan dari berbagai disiplin ilmu dalam ilmu sosial seperti antropologi, sosiologi, psikologi, sejarah, dan seni. Berbagai disiplin ilmu ini memberikan sumbangan tersendiri dalam penelitian ilmu sosial. Antropologi memberikan kontribusi akan tradisi penelitian lapangan
dengan
observasi
partisipatif,
bagaimana
menjelaskan
dan
menginterpretasikan suatu budaya dengan pemaparan yang mendalam sehingga pembaca bisa merasakan berada dalam budaya yang sedang dikisahkan. Sosiologi bergerak pada memahami bagaimana suatu relasi sosial terbentuk dan direproduksi. Sosiologi dan Antropologi sendiri merupakan suatu disiplin ilmu yang terlahir karena kepedulian untuk memahami ―liyan‖, yang juga berkomitmen pada pemahaman mengenai diri sendiri ( the self) (Vidich and Lyman, 2009: 27). Sedangkan ilmu psikologi mencoba menjelaskan dan memahami tentang perilaku manusia. Pada ilmu sejarah
46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mereka memberikan sumbangan akan bagaimana suatu dokumen dianalisis dan menerima penggunaan dari catatan harian dan surat-surat. Kemudian dalam bidang seni menonjolkan akan pentingnya penggunaan kreativitas dan imajinasi dalam melakukan interpretasi (Somekh, Burman et al., 2005). Perkembangan ilmu sosial pada awalnya tidak dapat terlepas dari perkembangan ilmu alam yang berpegang pada pembuktian yang terukur akan sesuatu. Hal ini membuat ilmu sosial juga berusaha membentuk standarstandarnya sendiri di mana ada usaha untuk adanya standar dan generalisasi dalam penelitian sosial. Dalam perkembangannya, ilmu sosial berusaha untuk membentuk penelitiannya menjadi ―liyan‖ yang setara dengan penelitian ilmu alam (Somekh, Burman et al., 2005: 2). Adanya suatu pergeseran padangan di mana mulai dihargainya subjektifitas dan mulai disadarinya akan bagaimana bahasa digunakan untuk membentuk dan merepresentasikan makna tidak dapat dilepaskan dari perkembangan feminisme, postmodernisme, dan dekonstruksi (Somekh, Burman et al., 2005). Perkembangan postmodern sendiri ditandai dengan pemahaman baru yang menyangsikan semua paradigma dalam pemahaman sebelumnya (Denzin and Lincoln, 2009). Runtuhnya pandangan akan masyarakat yang berbasis pada konsensus membangkitkan adanya kesadaran akan banyaknya realita yang saling beradu (Vidich and Lyman, 2009: 29).
47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Perkembangan yang membuat ilmu sosial mulai menghargai subjektivitas dan pengalaman pribadi dari individu. Perkembangan ilmu sosial juga mengikuti berbagai perubahan yang ada di dunia ini. Ilmu sosial sekarang sedang mencari tempatnya dalam dunia yang sedang
banyak
berubah.
Perubahan
yang
memungkinkan
tingginya
perpindahan dan pergerakan manusia yang membuat ilmu ini tidak lagi berada dalam konteks lokal maupun nasional, melainkan sudah berada dalam konteks global. Adanya suatu kebutuhan untuk menjelaskan mengenai identitas, perubahan budaya, dan relasi sosial termasuk juga relasi kekuasaan. Isu lain yang juga berkembang dan juga menjadi perhatian adalah adanya pertanyaan dan permasalahan karena isu pascakolonial yang semakin tidak dapat diabaikan (Somekh, Burman et al., 2005: 2). Perkembangan autoetnografi juga tidak dapat terlepas dari kesejarahan dan perkembangan ilmu-ilmu sosial itu sendiri. David Hayano berpendapat bahwa perkembangan autoetnografi ini juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dalam ilmu antropologi di mana mulai muncul kecenderungan para peneliti untuk melakukan penulisan etnografi pada orang-orangnya sendiri (Hayano, 1979: 99), yang dapat diartikan perkembangan metode autoetnografi ini seiring dengan perkembangan metode penelitian etnografi.
48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Secara harafiah, etnografi sendiri berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atau merupakan hasil penelitian lapangan dalam jangka waktu tertentu (Marzali, 2007: vii). Penelitian etnografi secara tradisional pada umumnya dilakukan oleh peneliti Barat untuk memahami kehidupan dan kebudayaan dari suku-suku terasing atau orang-orang yang pada awalnya menjadi daerah jajahan mereka. Penelitian ini biasanya dilakukan dengan terlibat langsung dalam kehidupan di tempat tersebut dan dengan melakukan wawancara langsung dengan beberapa orang yang dianggap informan kunci dalam masyarakat yang sedang diteliti (Marzali, 2007: x). Dari sini kemudian akan dihasilkan suatu tulisan yang menggambarkan bagaimana struktur sosial, sejarah, kebudayaan, atau cara hidup dari masyarakat yang diteliti. Dalam perkembangannya metode ini dianggap bermasalah karena membuat kita terjebak pada generalisasi dan kategorisasi atau pemberian label pada masyarakat yang menjadi subjek penelitian itu sendiri. Suatu keadaan yang malah menghindarkan kita dari kenyataan yang sebenarnya (Saukko, 2003). Berangkat dari pandangan dan kritik tersebut, maka mulai berkembang suatu metode yang disebut sebagai etnografi baru (new ethnography). Metode ini memiliki semangat untuk mendapatkan pengalaman hidup sehari-hari para partisipannya secara lebih nyata dan otentik (truer). Selain itu metode ini juga
49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mencoba untuk lebih kritis dalam melihat label-label yang kita berikan pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Selain itu dalam metode ini peneliti juga dituntut untuk semakin menyadari bahwa tidak ada penelitian yang benarbenar objektif. Peneliti pasti membawa motif politis dan memiliki keberpihakannya dalam memandang dan menyoroti suatu masalah. Hal yang senada saya temukan dalam pendapat dari Vidich dan Lyman (2009) yang menyatakan bahwa setiap penelitian, baik itu menggunakan metode kualitatif maupun kuantitatif tidak dapat terlepaskan dari persoalan pribadi peneliti yang pasti akan memengaruhi penelitian itu dan peneliti sendiri juga seorang pengamat yang terlibat dalam penelitian atau dunia tempat di mana dia melakukan penelitian tersebut. Berdasarkan hal ini, mengutip Atkinson, Vidich dan Lyman menyatakan bahwa, ―Jika, berdasarkan pengertian ini, semua penelitian berciri kualitatif—karena peneliti berada di pusat proses penelitian—bukankah hal ini berarti bahwa temuan-temuan unik yang dihasilkan oleh metode ini tidak lebih daripada realita unik masingmasing peneliti?‖ (2009). Autoetnografi sendiri pada dasarnya termasuk dalam kategori self naratif yang banyak berkembang dalam penelitian Antropologi. Carolyn Ellis (2004) Profesor dalam bidang komunikasi dan sosiologi serta pengajar di University of South Florida, dalam bukunya The Ethnographic I menjelaskan dalam
50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perkembangan penulisan antropologi, para peneliti selain menerbitkan hasil penelitiannya, mereka juga menerbitkan tulisan lain yang menceritakan pengalaman dan relasi mereka dalam penelitian terebut. Penerbitan secara terpisah ini dilakukan dengan maksud agar penelitian itu tidak kehilangan otoritas dan legitimasinya sebagai penelitian ilmiah. Seiring dengan perjalanan waktu, dan pergeseran paradigma seperti yang sudah saya ceritakan di atas, penelitian yang menceritakan mengenai penelitinya, bagaimana perasaan, emosi, dan perubahan yang dibawa maupun terjadi pada peneliti semakin diakui sebagai suatu penelitian ilmiah. Ellis (2004) lebih lanjut menjelaskan bahwa autoetnografi adalah suatu istilah yang dipilih untuk menamai penelitian yang meneliti diri sendiri. Penelitian sejenis ini bisa juga ditemukan dengan berbagai istilah lainnya seperti, personal naratives, self-stories, personal essay, personal writing,
reflexsive ethnography, narasi tentang diri, auto-observasi, personal etnografi, autobiografi kritis, radical empiricism, evocative naratives, etnografi refleksif, metode biografi, indigenous anthropology, antropological poetics, dan
performance ethnography dan lain sebagainya (Lincoln and Denzin, 2003; Ellis, 2004). Penggunaan istilah autoetnografi merupakan suatu pilihan atau
51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
klaim yang dilakukan oleh penulis dari penelitian terebut. Bahkan kritik pada genre ini sekarang menggunakan istilah autoetnografi.12 Walaupun bukan menjadi orang pertama yang mencetuskan istilah autoetnografi, Carolyn Ellis merupakan salah seorang yang banyak menggunakan dan memperkenalkan metode ini dalam kalangan akademis. Tulisan
pertamanya
yang
menggunakan
autoetnografi
adalah
Final
Negotiations yang diterbitkannya pada tahun 1993, dan semenjak itu hampir semua karyanya menggunakan istilah autoethnografi (Ellis, 2004: 42-44). Metode ini juga semakin banyak digunakan dalam 15 tahun terakhir. Hal ini diungkapkan oleh Sara Delamont dalam tulisannya yang berjudul The only
honest thing: autoethography, reflexivity and small crises in fieldwork yang diterbitkan pada tahun 2009. Metode ini memberi kesempatan pada peneliti atau penulisnya untuk mengekspresikan dirinya dalam karya yang dihasilkannya. Carolyn Ellis (2004), memberi definisi singkat mengenai autoetnografi yaitu sebagai suatu metode penulisan yang berangkat dari pengalaman pribadi penulis, dan mengamati sensasi fisik, pikiran, dan emosi. Suatu introspeksi sosiologis dan psikologis yang sistematis dalam mengingat ulang suatu pengalaman yang emosional untuk lebih memahami pengalaman yang sudah dijalani (Ellis, 2004: xvii). Metode ini juga merupakan suatu
12
Lihat: Sara Delamont, Arguments Againsts Auto-Ethnography (2007)
52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
metode penulisan mengenai sesuatu yang terjadi pada diri individu dan kaitannya pada budayanya. Penulisan dan penelitian ini adalah suatu genre autobiografi yang menyajikan banyaknya lapisan dari kesadaran (Ellis, 2004: 37). Heewon Chang (2008) dalam bukunya Autoethography as Method memiliki pendapat yang sejalan dengan pendapat di atas. Ia menyatakan bahwa metode ini memberi ruang dan kesempatan bagi penulis atau peneliti untuk menggunakan suara dan pengalaman pribadinya untuk lebih memahami lingkungan atau situasi budaya yang ada di sekitarnya (Chang, 2008; Wall, 2008). Adanya kesempatan dan ruang bagi penulis untuk mengekspresikan diri dan pengalamannya tanpa terlalu berjarak dengan tulisannya bagi saya adalah suatu nilai lebih dalam metode ini. Namun sama seperti yang dituliskan Sarah Wall dalam artikelnya, metode autoetnografi ini lebih mudah dibicarakan daripada dilakukan (Wall, 2008).
B. Autoetnografi sebagai Metode Penelitian Sosial Penelitian yang dilakukan untuk memahami diri sendiri (self-naratives) atau lingkungan tempat di mana peneliti tersebut tinggal sudah banyak dilakukan dewasa ini. Melihat pengalaman diri sendiri ini membuat peneliti menjadi peneliti sekaligus objek dari penelitian tersebut (Lincoln and Denzin,
53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2003: 19). Lalu apa yang membedakan autoetnografi dengan model penulisan lainnya? Autoethnography sendiri bukanlah suatu teknik penelitian, metode, atau suatu teori yang spesifik, tetapi ia mewarnai setiap bagian dalam penelitian lapangan yang dilakukan (Hayano, 1979: 99). Heewon Chang (2008) mengawali
penjelasannya
mengenai
metode
autoetnografi
dengan
menyatakan bahwa bercerita atau narasi merupakan salah satu kegiatan yang sudah lama dilakukan oleh manusia, bahkan mungkin sudah ada sepanjang sejarah kehidupan manusia. Orang-orang saling menceritakan kenangan masa kecil, pembentukan atau sejarah suatu keluarga, komunitas, atau suatu suku bangsa. Dalam perkembangannya cerita-cerita mengenai kehidupan seseorang atau suatu autobiografi disebut dengan self-narative (Chang, 2008: 31). Penulisan mengenai diri sendiri ini semakin berkembang dan banyak dilakukan pada beberapa dekade terakhir. Self-narative sendiri memiliki beberapa genre atau beberapa kategori, Chang (2008) membaginya menjadi tujuh kategori13. Saya, secara khusus akan membahas dan membicarakan mengenai penulisan autoetnografi.
13
7 kategori tersebut adalah autoetnografi; memori dan autobiografi (MA)—rasial, etnik, dan bahasa; MA—permasalahan religius; MA—politik, konflik sosial, dan perang; MA—kenangan masa kecil, hubungan keluarga, dan pertumbuhan; MA—permasalahan gender; MA— ketidakmampuan (disability), penyakit, dan kematian (Chang, 2008: 32)
54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sama seperti metode penelitian yang lain, memutuskan menggunakan metode penelitian autoetnografi juga harus disesuaikan dengan tema dan tujuan penelitian yang kita lakukan. Seperti misalnya mencari korelasi atau perbedaan dua variabel akan lebih cocok dengan menggunakan metode statistik, atau melihat suatu akibat dari perlakuan dengan metode eksperimen. Sejak awal kita perlu menyadari bahwa ada tema-tema dan tujuan penelitian yang bisa diteliti dengan menggunakan metode penelitian autoetnografi dan ada juga yang tidak (Adams, Jones et al., 2015: 21). Lebih jauh, Ellis menjelaskan bahwa tidak semua orang dapat melakukan penelitian dari genre ini karena tidak semua orang nyaman dan mampu untuk mengatasi emosi-emosi yang muncul dalam penelitian ini. Suatu proses yang memunculkan banyak ketakutan dan keragu-raguan, membuka luka, konflik, pilihan, dan nilai-nilai yang kita anut. Dalam penelitian ini kita akan mengukur emosi yang campur aduk, bertumpuk-tumpuk lapisan pengalaman yang hal itu sulit untuk dideskripsikan dan diatasi. Bahkan di sini Ellis juga menegaskan, jika hal itu tidak menghancurkan hati, maka tidak layak untuk dilakukan (Ellis and Bochner, 2000). Semua hal yang menyakitkan itu menjadi layak untuk dilakukan, karena ketika rasa sakitnya sudah tidak lagi tertahankan, maka di saat itulah proses pemahaman dimulai. Peneliti yang memilih menerjunkan diri dalam
55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penelitian bergenre ini akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai diri sendiri, dan dengan memahami diri sendiri ini kita akan mulai dapat memahami liyan. Tujuan dari penelitian ini tidaklah suatu pemahaman yang analitik, melainkan juga teraputik (Ellis and Bochner, 2000). Perkembangan dari autoetnografi sendiri tidak terlepas dari tren di mana subjektivitas dan refleksifitas dari peneliti mulai dihargai dalam pandangan postmodernisme (Chang, 2008; Wall, 2008). Sejalan dengan pandangan tersebut, Adams, Jones & Ellis (2015) menjelaskan bahwa autoetnografi adalah suatu metode kualitatif yang menawarkan suatu pengetahuan yang memperlihatkan perbedaan nuansa, kompleksitas, dan pengetahuan yang spesifik mengenai suatu bagian kehidupan, pengalaman, dan relasi daripada suatu informasi yang bersifat umum tentang sekelompok besar manusia. Lebih
lanjut
Leon
Anderson
dalam
tulisannya
Analytic
Autoethnography menjelaskan akan adanya suatu kecenderungan yang baru dalam dua dasawarsa belakangan ini dalam penelitian sosial dan kemanusiaan. Model penelitian ini merupakan suatu model penulisan dengan genre yang kabur, yang menekankan pada refleksifitas dari penulis dalam suatu penelitian etnografi, meningkatkan fokus pada emosi dalam penelitian sosial, dan adanya skeptisisme dari postmodernisme mengenai ketidakpercayaan akan adanya klaim pengetahuan yang digeneralisasikan secara luas (Anderson, 2006: 373).
56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Menurut saya, semua penulisan merupakan suatu produk yang subjektif, hal itu tercermin dari fokus penelitian yang dipilih, sudut pandang penulisan, sampai kesimpulan yang diambil. Hal ini juga diamini oleh Paula Saukko (2003) dalam bukunya Doing Research in Cultural Studies, An Introduction to
Classical and New Methodological Approaches. Ia membuka bukunya dengan pernyataan bahwa argumen yang diangkatnya dalam buku ini adalah bahwa suatu penelitian atau metodologi penelitian tidak akan pernah ‗objektif‘ tetapi selalu kontekstual (located), selalu dipengaruhi oleh posisi sosial dan peristiwa sejarah tertentu dan memiliki agenda atau tujuan tertentu (Saukko, 2003: 3). Dalam kasus autoetnografi permasalahan mengenai subjektivitas dari peneliti ini lebih ditunjukkan dan ―dirayakan‖. Subjektivitas dalam penelitian ini saya rasakan benar dalam membaca suatu hasil penelitian ataupun dalam proses penulisan karya ilmiah itu sendiri, bahkan jika penelitian itu dilakukan oleh orang dari luar kelompok yang diteliti dan mengklaim diri objektif. Sebagai contoh dalam penelitian yang mengambil tema mengenai warga keturunan Cina yang memang sudah banyak dilakukan di Indonesia baik oleh peneliti asing, peneliti orang Indonesia yang bukan Cina, maupun dari orang-orang keturunan Cina yang melakukan penelitian itu sendiri pasti kita akan menemukan banyak sudut pandang yang berbeda dalam penelitian-penelitian tersebut. Kita akan melihat
57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bagaimana keberpihakan peneliti, sumber apa yang dibacanya dalam menjelaskan fenomena tersebut, teori siapa yang dipakai atau dikritik oleh suatu penelitian. Hal ini sudah menunjukkan bahwa penelitian tersebut membawa subjektivitas dari penelitinya. Dalam penelitian yang pernah saya lakukan saya mengenai orang keturunan Cina ini sendiri, saya juga mengambil posisi dan keberpihakan yang terlihat dari argumen-argumen yang saya bangun. Adanya tuntutan untuk menjadi objektif, membuat saya mencoba untuk berada di luar komunitas Cina. Saya ingin berargumen bahwa bahwa diskriminasi yang terjadi kepada orang keturunan Cina tidak hanya merupakan perlakuan yang terjadi searah dari orang noncina kepada orang keturunan Cina. Ada peran di mana sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh orang keturunan Cina sendiri yang pada saat itu saya anggap layak membuat orang keturunan Cina mendapatkan perlakuan yang mendiskriminasi. Dalam proses penelitian yang berlangsung tersebut, pada kenyataannya saya tidak bisa benar-benar berjarak dari apa yang saya lakukan. Saya yang saat itu mewawancarai kedua orangtua saya merasa harus menyembunyikan fakta tersebut, karena hal itu saya takutkan akan membuat penelitian saya menjadi penelitian yang tidak objektif.
58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Proses analisa dari data tersebut juga membawa dinamikanya tersendiri yang memengaruhi saya sebagai peneliti. Saya menjadi memahami dinamika psikologis yang membentuk diri saya terkait dengan kecinaan yang saya alami ini. Suatu temuan yang pada akhirnya harus saya abaikan karena itu tidak sesuai dengan pertanyaan penelitian yang akan saya jawab dan tidak adanya ruang bagi suara pribadi peneliti di kala itu. Sebenarnya mengenai autoetnografi sendiri ada banyak pemahaman dan genre yang berkembang tergantung di mana seni penulisan mengenai diri ini berkembang. Penulisan kali ini mengambil pemahaman yang diangkat oleh Chang (2008) yang memahami penulisan autoetnografi sebagai penulisan kombinasi analisa budaya dan interpretasi dengan detail yang bersifat naratif. Autoetnografi adalah suatu metode penelitian yang menggunakan data autobiografi dari peneliti untuk menganalisis dan menginterpretasikan asumsi budaya mereka (their cultural assumptions) (Chang, 2008). Ellis dan Bochner dalam Chang (2008) memberikan suatu model yang menjelaskan mengenai kompleksitas dari variasi autoetnografi. Mereka menjelaskan bahwa dalam penulisannya, autoetnografer harus selalu menyesuaikan penekanan dalam proses penelitian (graphy), pada budaya (etno), dan pada diri (auto), dan setiap hasil penulisan dari autoetnografi berada pada kontinum antara tiga aspek tersebut. Lebih lanjut Chang (2008)
59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menyimpulkan bahwa dalam penulisan autoetnografi kita harus menjaga keseimbangan antara ketiga aspek tersebut. ―I argue that autoethography
should be ethnographic in its methodological orientation, cultural in its interpretive orientation, and autobiographical in its content orientation‖ (Chang, 2008). Dari beberapa pemaparan di atas, dapat kita lihat bahwa autoetnografi memiliki
posisinya
sendiri
dalam
suatu
penelitian.
Ia
memiliki
kompleksitasnya sendiri dalam memandang suatu permasalahan, baik itu identitas, kehidupan, relasi, dan pengalaman personal seseorang. Untuk dapat mengungkapkan hal-hal tersebut dalam suatu desain penelitian bukanlah hal yang mudah. Suatu desain penelitian autoetnografi yang diharapkan dapat mengungkapkan kompleksitas-kompleksitas itu tidak dapat hanya dengan menggunakan rancangan penelitian yang berupa eksperimen, survei, atau daftar pertanyaan saja. Namun bagaimanapun juga autoetnografi memiliki beberapa hal yang menjadi prioritas, perhatian, cara-cara dalam melakukan penelitian (Adams, Jones & Ellis, 2015: 26). Hal itu meliputi: 1. Mengedepankan pengalaman pribadi dalam penelitian dan penulisan 2. Menggambarkan proses pembentukan makna 3. Menggunakan dan menunjukkan refleksifitas
60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4. Menggambarkan pengetahuan dari orang dalam (insider) dari suatu fenomena budaya/pengalaman 5. Mendeskripsikan dan mengkritisi norma budaya, pengalaman, dan kebiasaan 6. Mencari respon dari pembaca, di mana autoetnografi mengundang partisipan dan pembaca untuk mengungkapkan kisah mengenai identitas, pengalaman dan dunia tempat mereka hidup. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa penelitian ini merupakan tindakan sadar secara sosial dan adanya suatu relasi yang timbal balik dan saling memengaruhi antara peneliti, partisipan, dan pembaca (Adams, Jones & Ellis, 2015: 34-35) Lebih lanjut, dalam penjelasannya mengenai bagaimana melakukan penelitian autoetnografi, Chang (2008) mencoba menjelaskan langkahlangkah apa yang perlu dilakukan baik itu sebelum maupun saat melakukan penulisan autoetnografi itu sendiri. Salah satu hal yang ditekankan dalam penulisan autoetnografi adalah mengumpulkan data kenangan. Kenangan atau memori adalah suatu hal yang penting dalam penulisan autoetnografi. Kenangan adalah faktor pembentuk diri kita saat ini.
―Recalling‖ atau mengingat kembali suatu kejadian dalam penelitian autoetnografi memiliki prinsip yang sama dengan apa yang dilakukan oleh
61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penelitian etnografi dari genre yang lain (Chang, 2008: 71). Sedangkan dalam autoetnografi, penulis memiliki keuntungannya tersendiri. Sebagai penulis kita memiliki akses penuh pada pengalaman dan interpretasi kita akan apa yang terjadi di masa lalu. Selain itu kita juga menjadi tangan pertama yang bisa memilih ingatan mana yang relevan dalam penelitian yang sedang kita lakukan (Chang, 2008: 27). Dalam mengumpulkan data kenangan ini, Chang (2008) memberikan beberapa panduan yang sudah pernah dia lakukan dalam melakukan penulisan autoetnografi yaitu menyusun kembali kenangan berdasarkan hal-hal besar yang terjadi dalam kehidupan, seperti pernikahan, kelahiran, lulus sekolah, pindah tempat tinggal atau perubahan karir. Hal lain yang digunakan dalam menyusun kenangan adalah berdasarkan perayaan tahunan atau kejadian sehari-hari, seperti perayaan hari raya keagamaan, pertemuan komunitas yang diadakan setiap minggu, rapat, sampai waktu bersama keluarga. Kegiatan keseharian inilah tempat di mana orang-orang belajar mengenai bahasa, kebiasaan, budaya dan dapat menyatu dengan pola-pola yang ada dalam masyarakat (Chang, 2008: 72-75). Hal ini berarti bahwa walaupun dari segi isi atau data penelitian autoetnografi banyak menggunakan data yang dimiliki oleh peneliti itu sendiri tetapi tetap harus menggunakan prinsip dan disiplin dari metode
62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penelitian etnografi. Seperti dalam pengumpulan data, penulisan data lapangan, dan penggunaan data lain untuk melakukan triangulasi validitas data (wawancara, observasi, data pustaka, dan artefak). Selain itu pada hasilnya autoetnografi tidak hanya menekankan pada kisah yang dimiliki oleh autoetnografer itu sendiri melainkan harus menghasilkan suatu analisa atau interpretasi mengenai konteks budaya dan pemahaman mengenai liyan (other) baik yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung. Penulis dituntut untuk memperlakukan datanya dengan kritis, analitis, dan interpretatif untuk menemukan wacana yang ada. Dari pemaparan di atas saya memahami bahwa dalam penelitian kajian budaya di mana lived experience menjadi suatu aspek yang penting dalam penelitian, autoetnografi juga menjadi suatu model penelitian yang dapat digunakan dalam bidang ilmu kajian budaya. Autoetnografi sendiri memiliki keuntungan dalam mendapatkan data mengenai pengalaman-pengalaman yang bersifat personal, seperti pengalaman mengenai sakit, gangguan mental, relasi, atau pengalaman kehidupan terutama pada orang-orang yang termarjinalkan yeng sulit diungkapkan pada orang lain. Banyak contoh penulisan autoetnografi yang menceritakan tentang pengalaman penulisnya dalam menghadapi pengalamannya sebagai kaum minoritas baik secara kelas,
63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
gender, agama, maupun dalam pengalamannya mengenai keterbatasan fisik dan mental.
Autoethnography benefits greatly from the thought that self is an extension of community rather than that it is an independent, selfsufficient being, because the possibility of cultural self-analysis rests on an understanding that self is part of cultural community. (Salah satu keuntungan yang besar dari autoetnografi adalah dari pandangan bahwa self adalah suatu perpanjangan dari komunitas, alihalih sebagai suatu individu yang bebas atau terlepas dari komunitas tersebut. Self-sufficient being, karena kemungkinan dari analisa personal bersandar pada pemahaman bahwa diri merupakan bagian dari suatu komunitas budaya.) (Chang, 2008) p.26
Contoh lain dari autoetnografi adalah tulisan dari Paula Saukko dalam bukunya Anorexic Self14. Di sini ia mencoba mendeligitimasi pandanganpandangan yang selama ini ada mengenai anoreksia yang terjadi pada wanita. Ia mencoba menyatakan ketidakpuasannya akan pandangan mengenai anoreksia yang selama ini banyak dideskripsikan oleh para pskiater, media, dan para feminis. Di sini Saukko menganalisis dan mengkritisi wacana normatif mengenai perempuan dan menggambarkan kembali dari sisi yang berlawanan apa yang selama ini dianggap sebagai gangguan anoreksia (Saukko, 2008: 1-2).
14
Paula Saukko, (2008) The Anorexic Self, A Personal, Political Analysis of Diagnostic Discourse.
Albany: State University New York Press
64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Saya sendiri dalam penelitian kali ini akan menggunakan pengalaman dari kehidupan saya sendiri. Pengalaman yang tentunya sudah terpilah dan sudah saya klasifikasikan sedemikian rupa sesuai dengan tema yang saya ambil. Dalam mengumpulkan kenangan dan pengalaman yang saya miliki, saya tidak hanya mengandalkan ingatan yang saya miliki. Bagaimanapun juga ingatan memiliki sudut pandang dan pengetahuannya sendiri dalam melihat suatu kejadian atau pengalaman. Saya juga menggunakan catatan-catatan harian yang pernah saya tulis di masa lalu untuk menggali ingatan dan pengalaman yang pernah saya alami. Saya juga melakukan wawancara dengan orang-orang di sekitar saya seperti orangtua saya atau teman masa kecil saya. Pada beberapa bagian di mana saya tidak mengalami sendiri seperti pada pengalaman orangtua saya atau leluhur saya yang lain yang saya anggap juga memengaruhi diri saya saat ini, saya mengumpulkan dan melihat kembali foto-foto ataupun dokumen-dokumen yang saya anggap bisa membantu, seperti surat kelahiran, surat kematian, ataupun Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia yang legendaris itu. Membaca litelatur yang terkait itu juga suatu hal yang mutlak dilakukan.
65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C. Mengolah, analisa, dan interpretasi data Lalu data seperti apakah yang kita butuhkan dalam melakukan penelitian dan penulisan dengan metode autoetnografi ini? Bagaimana kita menganalisa data tersebut? Dan sejauh apa interpretasi dilakukan dengan metode ini? Di sini saya ingin menceritakan sedikit contoh mengenai suatu penelitian yang dilakukan oleh Michael Hemmingson (2008) yang berjudul
Zona Norte: The Post-Structural Body of Erotic Dancers and Sex Worker in Tijuana, San Diego and Los Angeles: an Auto/ethnography of Desire and Addiction, Hemmingson menuliskan tentang peneltian autoetnografi yang dilakukannya di Zona Norte, suatu area prostitusi di perbatasan Amerika dan Mexico. Ia menceritakan pengalaman dan ketertarikannya pada dunia prostitusi di area itu. Dalam penelitian ini selain menceritakan pengalamannya dengan para penari telanjang, ia juga menceritakan bagaimana perasaannya saat melakukan penelitian itu. Bagaimana dia tertarik dengan wanita-wanita yang dianggapnya mirip seorang teman atau seorang mantan kekasih. Ia juga menceritakan mengenai kondisi sejarah, sosial, dan politik yang membentuk kota Tijuana, kota tempat di mana penelitian itu berlangsung. Pada bab ke empat dalam bukunya, dia menceritakan tentang dirinya yang kecanduan
66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tramadol, obat penghilang rasa sakit yang bisa dengan mudah dan murah di dapatkannya di apotek-apotek di Tijuana. Lebih jauh, Hemmingson tidak hanya menceritakan pengalamanpengalamannya itu, baik dengan para pekerja seks yang disewanya maupun pengalamannya sebagai pecandu obat penenang, tetapi dia juga mengkritisi pengalaman-pengalaman tersebut dari berbagai sudut pandang. Seperti dia menganalisis seleranya dalam memilih wanita yang akan disewanya, pendapat orang lain dan pendapat dirinya sendiri bahwa dia merupakan seorang yang kesepian hingga melakukan penelitian ini, bias-bias yang menurutnya dialaminya, sampai pada ia merasa begitu ‗jatuh‘ ketika menyadari dirinya kecanduan Tramadol. Sampai akhirnya dia berusaha berhenti mengkonsumsi obat-obatan tersebut (Hemmingson, 2008).
And that is how I see myself now—a seeker of truth, a body desiring transendence and the truth. Every time I take the trolley down to the international border to get another bottle of my new reality, I am comfortable with the veracity I have embraced (Hemmingson, 2008: 104). (Dan ini adalah bagaimana aku melihat diriku sekarang—seorang pencari kebebaran, tubuh yang menginginkan keluarbiasaan dan kebenaran. Setiao kali aku mengambil troli melewati perbatasan internasional untuk mendapatkan botol lain dari kenyataan yang baru, dan aku merasakan kenyamanan dengan kebenaran yang merangkulku.) Melihat kembali apa yang terjadi dalam dirinya. Melihat bagaimana kejadian tersebut memengaruhi diri dan melihat bias-bias apa saja yang
67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dibawa. Mencari kebenaran atau pembenaran akan apa yang terjadi dan dialami. Hemmingson dalam penelitiannya ini menggunakan bentuk prosa dalam mengisahkan pengalamannya. Ia menceritakan apa saja yang dialami dan dilakukannya, bagaimana pertimbangan-pertimbangan dan refleksinya, juga hal-hal apa yang dirasakan selama kejadian itu berlangsung. Ia juga memberikan setting lokasi, waktu, dan tokoh-tokoh yang terlibat di dalam kisahnya. Banyak bentuk lain yang bisa dipilih dan digunakan dalam penulisan autoetnografi, ada yang menuliskan dalam bentuk puisi (Johnson, 2014: 85), esai, ataupun fiksi. Sebagai contoh penulisan fiksi ini adalah buku
Ethnographic I tulisan dari Carolyn Ellis (2004), di sini Ellis bercerita mengenai metode autoetnografi dalam sebuah novel, di mana terdapat alur yang mengemas kisah tersebut dan tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Beberapa kejadian yang diceritakan dan tokoh-tokohnya sebagian memang benar terjadi tetapi sebagian lagi merupakan adegan rekaan dengan tokohtokoh yang diciptkan. Hal ini dilakukan untuk menjaga alur dan keutuhan cerita. Dalam penulisan penelitian ini, saya akan mengambil bentuk surat elektronik yang seakan-akan saya kirimkan kepada seorang teman. Surat-surat inilah yang akan bercerita mengenai bagaimana pengalaman rasisme itu saya
68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
alami baik dari pengalaman saat ini maupun apa yang pernah terjadi di masa lalu, dan bagaimana saya memaknai pengalaman tersebut. Di sini saya menggunakan fiksi sebagai bentuk dari tulisan untuk mengemas data penelitian dan analisis yang akan saya sampaikan. Autoetnografi merupakan sebuah cara penulisan atau pengumpulan data dalam suatu penelitian sosial. Hemmingson (2008) dalam penelitiannya lebih jauh menggunakan metode tambahan dalam melakukan interpretasi pada penelitian yang dilakukannya. Dia menjelaskan bahwa interpretasi dalam penelitiannya ia menggunakan metode imaginasi sosiologis untuk bisa melihat dan menggambarkan kondisi sosial-ekonomi, budaya, sejarah, dan lingkungan di sekitar para pekerja seks komersial di Tijuana yang menjadi area penelitiannya (2008: 11). Penelitian yang saya lakukan ini akan menggunakan teori mengenai ras dan rasime serta bagaimana rasisme itu dialami dengan mengacu pada konsep dari Frantz Fanon (1952). Saya akan membagi kisah hidup yang saya miliki dalam tiga tema besar, yaitu bagaimana pengalaman saya sebagai orang keturunan Cina itu berawal yang akan menceritakan tentang awal pemahaman saya mengenai identitas yang saya miliki. Kesadaran akan kecinaan itu yang kemudian membawa saya pada rangkaian penolakan dan usaha untuk menjadi bagian dari kelompok mayoritas yang menjadi standar.
69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bagian terakhir adalah bagaimana negosiasi yang saya lakukan itu ternyata belum juga menemukan ujungnya. Dalam bagian-bagian tersebut saya mengacu pada Frantz Fanon karena adanya kesamaan pengalaman yang saya miliki dengan apa yang dialami oleh Fanon. Bagaimana individu berusaha keluar dari kelompok ras dari mana dia berasal dengan menggunakan bahasa, mengambil pasangan dari luar rasnya, mengadopsi stereotipe yang lebih dominan, dan mengambil identitas lain dari kelompok yang dianggap lebih aman. Sebagai penelitian tentang diri sendiri, autoetnografi dapat mengangkat hampir semua tema yang terjadi dalam kehidupan seseorang, tetapi ada beberapa pertanyaan dan persiapan yang perlu kita perhatikan sebelum kita menentukan tema yang akan dilakukan. Seperti juga dalam penelitian lain, kita perlu menentukan tujuan dari penelitian yang akan kita lakukan, bentuk data yang akan kita gunakan, lalu bagaimana posisi kita dalam penelitian ini, apakah hanya akan menggunakan data personal, menggunakan data personal dan menambahkan data sejenis dari orang lain, atau menceritakan kisah dari orang lain dari sudut pandang kita sebagai peneliti (Chang, 2008: 65). Pada setiap bentuk penulisan autoetnografi ini perlu diperhatikan bahwa penulis berperan sebagai narator, interpreter, dan peneliti dalam pengalaman yang dimilikinya. Posisi manapun yang akan kita pilih dalam penelitian yang akan
70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kita lakukan ini, pasti akan memengaruhi desain dari penelitian yang akan kita lakukan (Chang, 2008:65). Dalam penelitian saya ini saya memutuskan untuk mengambil pengalaman rasisme yang saya alami sebagai orang keturunan Cina di Indonesia. Bagaimana pengalaman menjadi Cina ini terus menerus membentuk dan membuat saya mempertanyakan ulang siapa diri saya? Di mana sebenarnya saya ini harus berdiri? Bagaimana pengalaman rasime ini memengaruhi tindakan, keputusan, dan cara saya memandang diri saya sendiri? Permasalahan lain yang perlu diperhatikan di sini dalam pemilihan tema penelitian adalah permasalahan etis. Dalam suatu penelitian yang melibatkan narasumber lain, peneliti memiliki kewajiban untuk melindungi dan merahasiakan narasumbernya. Untuk penelitian autoetnografi sendiri, identitas dan kisah peneliti akan terbuka lebar, sedangkan dalam kehidupan ataupun dalam kisah yang diceritakannya, peneliti akan melibatkan banyak orang lain yang bersinggungan dengan kehidupan yang dia alami dan ceritakan. Seperti dalam kasus penelitian saya ini, saya pasti akan melibatkan keluarga saya dalam penelitian ini. Orang-orang yang membaca kisah ini dan mengenal saya, pasti juga akan bisa langsung mengidentifikasikan siapa orangtua saya, misalnya. Bagi saya sendiri dengan mengangkat mengenai
71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pengalaman rasisme, penelitian ini saya anggap tidak akan banyak mengganggu atau membahayakan orang-orang yang terlibat dalam penelitian ini. Walau demikian, selain identitas keluarga yang tidak mungkin saya sembunyikan, beberapa narasumber atau orang-orang lain yang terlibat akan saya rahasiakan identitasnya. Hal ini menjadi berbeda jika kasus yang diangkat lebih sensitif atau bisa membahayakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Seperti misalnya dalam penelitian Hemmingson mengenai kegiatan prostitusi (2008) adalah tidak etis jika dia mengungkapkan orang-orang dengan siapa dia terlibat. Dengan berbagai pertimbangan yang saya paparkan di atas, maka inilah kisah hidup saya dimulai.
72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III Mencari Ke-Cina-an: Identitas dalam Persimpangan
Jam sepuluh malam, pemberitahuan masuk ke ponselku, ada seseorang yang mengirimkan surel di tengah asyiknya permainan candy crush-ku. Nama yang sudah berbulan-bulan menghilang dari hidupku muncul kembali menanyakan kabar. Tidak butuh waktu lama, aku pun menekan tanda balas, dan mengirimkan surelku.
Jumat, 4 November 2016 Hai, orang asing, masih ingat denganku ternyata? Berbulan-bulan tidak ada kabar. Berangkat ke Itali tidak pamit. Sesibuk apa sih persiapan untuk berangkat sekolah ke daratan Eropa itu? Lalu kenapa baru sekarang muncul dan menanyakan kabar?
Sabtu, 5 November 2016 Maaf semalam aku sudah tidur ketika emailmu masuk. Sekarang pasti kamu yang masih tidur, masih sekitar jam tiga pagi ya di sana? Semalam Jakarta memang sempat mencekam dengan adanya kejadian pembakaran dan masa demonstrasi yang enggan dibubarkan itu. Daniel juga tidak berani pulang dari kantor karena kosnya harus melewati area demo itu. 73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jogja baik-baik saja dan tidak ada kabar apa-apa dari Temanggung. Jadi kusimpulkan keadaan tenang-tenang saja. Terima kasih sudah khawatir, aku malah baru ingat kalau aku dulu waktu pemilu itu pernah bercerita kepadamu kalau aku takut jika sampai terjadi kerusuhan lagi, karena jika itu sampai terjadi pasti orang Cina juga akan menjadi sasaran amuk masa. Waktu dulu pemilu dan masih terjadi perselisihan suara itu berita akan terjadi kerusuhan karena Prabowo tidak menerima kekalahannya memang terdengar kencang. Rasanya saat itu aku juga begitu ketakutan jika sampai terjadi kerusuhan. Kenapa ya dulu aku sempat begitu takut? Demo kemarin, apalagi penyebab demonya itu adalah Ahok yang juga orang keturunan Cina, rasanya bisa menjadi alasan yang sangat kuat untukku takut akan terjadi kerusuhan lagi, anehnya kali ini aku lebih tenang dalam menghadapi ini. Mungkin karena daerahnya yang jauh, mungkin karena pemerintahannya yang kuanggap lebih baik, mungkin juga karena sekarang aku tidak punya TV sehingga tidak banyak berita yang aku akses. Berita tentang kerusuhan semalam juga aku dapatkan dari Twitter. Semalam juga sempat tersebar foto dengan gambar seorang lelaki sedang menuliskan ―anti Cina‖ dengan cat semprot berwarna merah. Ada kicauan dari beberapa selebriti keturunan Cina yang mulai ketakutan karena ada berita mulai dilakukan sweeping terhadap orang-orang Cina. Berita lain menyatakan bahwa
74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ternyata ada beberapa orang keturunan Cina yang mengungsi karena takut kejadian 1998 terjadi lagi. Penjarahan yang dilakukan beberapa orang juga sempat terjadi, tetapi tidak lama sudah berhasil diredam oleh Polisi. Jadi sebenarnya para penegak hukum itu memang bisa mencegah agar tidak sampai terjadi kerusuhan besar ya, hal yang tidak terjadi di tahun 1998.
Sabtu, 12 November 2016 Setelah Minggu kemarin ada masalah Ahok di Indonesia, kemarin muncul Donald Trump di Amerika. Banyak dibicarakan juga ya ternyata di sana. Di sini media sosial juga menjadi sangat ramai dengan terpilihnya Trump. Aku sendiri tidak menyangka bahwa dia bisa terpilih kalau mengikuti isu-isu yang muncul selama masa kampanyenya. Selama ini Trump dianggap sebagai seorang yang rasis, seksis, homophobia, antiimigran, dan antimuslim. Banyak orang yang ketakutan dengan kemenangannya karena merasa keselamatan dan eksistensi diri dan kelompoknya terancam jika Trump menjadi pemimpin Amerika. Kamu ingat Irene? Dia menuliskan di status facebooknya agar jangan sampai terjadi perang dunia ketiga. Ada yang mengumpamakan bahwa kemenangan Trump itu seperti kemenangan Ahmad Dhani jika terjadi di Indonesia. Aku juga memperhatikan akan banyaknya aksi protes dengan langsung turun ke jalan di berbagai tempat di Amerika. Ada yang melakukan protes lewat media
75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sosial dengan menghitamkan bagian kepala halaman dan foto profil dengan taggar #twitterblackout. Ada twit dari seorang wanita muslim Amerika yang diminta oleh ibunya yang dianggapnya sangat taat untuk melepaskan hijab karena khawatir dengan keselamatan anaknya. Ada juga rencana dari Ku Klux Klan, organisasi anti kulit hitam di Amerika sana, yang akan melakukan parade kemenangan Trump. Entah mana yang hoax entah mana yang benar, tetapi kondisinya terasa sangat tidak nyaman. Rasanya mau berkata, ―Haloo… sudah 2016 dan masih saja rasis???‖ Aku sempat merasa kalau isu rasisme itu sudah tidak lagi ada. Indonesia sudah lama tidak diguncang isu rasial yang besar, walau hanya digeser menjadi isu agama sebenarnya. Namun kenyataan yang terjadi sekarang malah menyatakan sebaliknya. Amerika yang dianggap negara yang maju dan modern itu, saat ini sedang terguncang isu rasial. Orang-orang minoritas di negara tersebut sedang tercekam ketakutan dengan pemimpin barunya. Sama seperti orang-orang Cina di Jakarta sana juga mengalami ketakutan dengan tidak kondusifnya keadaan ibukota, entah benar karena penistaan agama itu, atau karena agenda politik lainnya. Ketakutan yang sangat akrab dengan apa yang aku rasakan, ketakutan yang sudah kubawa seumur hidup.
76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Minggu, 13 November 2016 Aku heran ketika kamu bertanya ketakutan seperti apa yang aku alami sebagai orang keturunan Cina. Iya ya… kamu bisa memahami ketika terjadi kegentingan politik dan takut akan terjadi kerusuhan, tetapi aku baru menyadari bahwa apa yang aku rasakan sebagai orang keturunan Cina itu ya hanya aku, kami yang merasakan. Aku jadi ingat masa-masa kecilku dulu, sebelum kita bertemu dan berteman. Walaupun sudah lama tidak berkunjung, kamu pasti ingat kan bagaimana rumahku? Sejak lahir aku sudah tinggal di rumah itu. Rumah dengan toko yang menjual segala macam barang di depannya. Kampungku itu tidak terlalu besar, satu RT yang berbatasan dengan sekolah, gudang tembakau milik Gudang Garam Tbk., dan Kantor Telekom. RT yang agak terisolasi dengan RT yang lain. Keluarga kami satu-satunya orang Cina di tempat itu. Dengan empat keluarga Kristen di antara sekitar lima belas rumah lainnya. Masa kecilku dulu sering kuhabiskan dengan bermain-main dan berlarian di jalan-jalan kecil di antara rumah-rumah itu. Melihat anak-anak lelaki memanjat pohon jambu di taman RT. Bersembunyi dalam gang-gang kecil dan celah antar rumah. Tidak banyak anak yang sebaya denganku, sekampung itu sebagian besar anak-anak lelaki yang lebih tua dariku.
77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Suatu hari, entah kapan, karena rasanya saat itu ingatanku masih kabur, ada yang bertanya kepadaku, ―Cilik-cilik Cino, suk gedhe arep dadi apa?‖15 Bagaimana ya rasanya? Kalau dibilang saat itu aku marah, rasanya tidak demikian juga. Aku hanya merasa heran dengan pertanyaan itu. Apa jawabannya? Cina itu apa? Aku pulang dengan membawa pertanyaan itu ke rumah. Aku menanyakan ke Mamahku apa jawabannya. Aku bertanya ke Wak-ku, kakak perempuan Mamah, apa jawabannya? Kata mereka, itu dijawab dengan mau menjadi dokter atau mau menjadi koki, atau menjadi pramugari. Orang-orang itu bertanya dengan nada biasa, jadi rasanya jawaban itu juga tidak salah. Namun, rasanya juga bukan itu jawabannya. Kalau aku ingat lagi, rasanya perkataan itu juga bukan suatu ujaran yang diungkapkan dengan kebencian. Ungkapan merendahkan yang mungkin terasa sudah sewajarnya untuk dikatakan begitu saja kepada anak-anak. Sama seperti pertanyaan ―sudah makan apa belum‖, begitu biasa untuk diungkapkan. Bagaimana denganmu? Pernah kamu mengungkapkan hal yang sama kepada teman-teman Cinamu yang lain? Waktu SD kamu malah bersekolah di sekolah swasta yang banyak Cinanya dan kamu malah menjadi minoritas di dalamnya ya.
15
Kecil-kecil (sudah) Cina, besok kalau besar mau jadi apa?
78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Aku jadi mulai bertanya-tanya apa itu Cina? Kenapa aku tidak memanggil Daniel dengan sebutan Mas seperti anak-anak lain di sekitarku yang memanggil kakak lelakinya Mas. Kenapa tiap aku mengatakan Kokoh, aku seringkali ditertawakan. Aku tidak suka ditertawakan. Aku tidak suka menjadi tidak sama dengan orang-orang lain di sekitarku. Ketika kamu mengenalku, aku sudah memanggil Daniel dengan nama saja ya? Ya, itu memang keputusanku. Aku pada akhinya memutuskan untuk menghilangkan sebutan Kokoh, menghilangkan kata-kata lain yang membuatku berbeda dengan orang-orang di sekitarku. Aku mulai memanggil Daniel dengan namanya di umurku yang ke enam. Rasanya itu keputusan yang sangat besar yang kuambil di saat itu. Aku seakan melakukan lompatan di mana aku menentang apa yang ada di dalam keluargaku dan memilih untuk menjadi sama dengan orang-orang di luar rumahku. Seingatku, hal itu berlangsung dengan mulus di rumah. Aku tidak ingat ada yang memarahiku dengan apa yang aku lakukan. Keluargaku menerima transisi begitu saja. Jangan-jangan saat itu aku melepaskan tradisi berusia ratusan tahun yang sudah dijalani oleh keluargaku. Kamu tahu, aku merupakan generasi kelima yang tinggal di Indonesia dari pihak Papah dan generasi keempat dari pihak Mamah. Aku juga baru tahu tentang hal ini kemarin ketika membongkar-bongkar dokumen lama punya Papah.
79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 1. Surat Pernikahan
Aku menemukan surat nikah lama yang menarik, tertulis dalam bahasa Belanda. Suratnya aku lampirkan, mungkin kamu bisa membantuku memastikan apa isinya. Surat yang bertanggal 18 Desember 1905 itu, berisikan tentang perjanjian pernikahan antara Pang Tjoey Lay yang berusia 27 tahun, anak dari 80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pang Djing Khe yang menikah dengan Bhe Pin Nio. Pang Djing Khe adalah generasi pertama yang ditemukan tercatat di Indonesia. Beliau yang kemudian memiliki anak bernama Pang Tjoey Lay, yang kemudian memiliki anak bernama Pang Tong Liem dan bercucu Pang Ting Ham, Papahku. Aku dan Daniel adalah generasi pertama yang tidak membawa marga Pang dalam nama kami. Ini adalah foto pernikahan dari Engkong Pang Tong Liem dan Emakku.
Gambar 2. Pernikahan Pang Tong Liem
Mau membawa nama juga kondisi saat itu rasanya sudah tidak memungkinkan. Nama Cina itu ternyata menuntut pemahaman tentang bahasa Cina dan aksara Cina. Karena kata yang diucapkan dengan cara yang sama, belum 81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tentu membawa arti yang sama. Aku juga pernah membaca suatu artikel di Intisari16 tentang bagaimana nama Cina itu dibuat. Pada umumnya nama Cina terdiri dari dua sampai empat karakter, yang pertama adalah marga, dalam kasusku Pang. Lalu yang kedua adalah nama generasi yang biasanya namanya diambil dari suatu puisi atau bait dalam suatu puisi. Dalam satu bait puisi biasanya memiliki 16 sampai 24 karakter, jadi keturunan pertama sampai seterusnya akan dinamakan seperti yang sudah ditentukan. Penamaan ini biasanya diberikan dalam keluarga besar dan generasi yang setara atau sederajat akan mendapatkan nama yang sama. Dalam keluarga Papah, generasi pertama yang bisa aku ketahui bernama Djing, berikutnya adalah Tjoey, lalu Tong, dan generasi Papahku, Ting. Harusnya ada urutannya untuk nama di generasiku, tapi aku tidak tahu harus mencari di mana. Kata ketiga adalah namaku sendiri yang biasanya merupakan kata yang menjadi doa atau harapan dari orangtua untuk anak-anaknya. Menurut cerita dari Papah, ternyata tidak semua nama mengikuti aturan yang demikian. Adik dari kakek buyutku itu ada yang dinamai Pang Seneng dan anak terakhirnya dinamai dengan Pang Soedah. Berarti ada percampuran budaya di situ. Aku sebenarnya juga baru mengetahui tentang berbagai hal ini ketika
16
Satria, J., Sulaeman, A., Christine, F., Nugrahani N., & Aqimuddin E. A. (2012) Mencari Jati
Diri Peranakan Tionghoa. Intisari. No. 589, Februari
82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menuliskan skripsiku dulu. Memaksaku harus belajar banyak hal tentang kecinaan yang biasanya aku sangkal mati-matian. Aku dan Daniel adalah generasi lahir di tahun delapan puluhan. Saat itu Orde Baru sedang jaya-jayanya. Kamu tahu kan kalau ada banyak undangundang yang mengatur tentang orang-orang Cina? Dari undang-undang yang legendaris PP No. 10 tahun 1959 di mana orang Cina dilarang berjualan di daerah yang status administrasinya lebih rendah dari Kabupaten di era Soekarno, penutupan sekolah berbahasa Cina dan pelarangan penerbitan berbahasa Cina, perintah mengenai pergantian nama atas nama asimilasi tahun 196617, undangundang pelarangan agama dan kebudayaan pada tahun 196718, dan adanya instruksi mengenai kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina19. Bahkan sampai pada tahun 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai penggunaan istilah Cina dan Tionghoa20. Keputusan yang memang bernada positif dan menunjukkan bahwa negara sudah berpihak kepada orang-orang keturunan Cina, tetapi menurutku, ketika masih dibicarakan berarti masih ada permasalahan yang tersembunyi
17
Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966
18
Inpres No. 14 tahun 1967
19
Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967
20
Keputusan Presiden Republik Indoensia Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Pencabutan Surat
Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/PRES.KAB/6/1967, Tanggal 28 Juni 1967, diunduh dari http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/174034/KEPPRES122014.pdf pada Jumat, 17 Oktober 2014
83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
entah di mana. Melihat apa yang terjadi di tanggal 4 November kemarin, rasanya permasalahan itu masih ada di dalam kepala orang-orang Indonesia. Ada beberapa dokumen yang kutemukan tentang berbagai peraturan itu. Ada surat melepaskan kewarganegaraan Tiongkok dari Engkongku, surat pergantian nama, Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia yang legendaris atas nama Papahku. Papah yang sudah memiliki nama Indoesia sejak lahirnya saja, juga dipaksa untuk memiliki surat bukti pergantian nama. Surat yang ditebusnya dengan harga Rp175.000,- di masa itu.
Gambar 3. Surat Bukti Ganti Nama Hermato
84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4. Surat Melepaskan Kewarganegaraan Tiongkok
85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 5. SKBRI Pang Ting Ham
86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 6. Surat Bukti Ganti Nama
Aku dan kamu mungkin sangat beruntung. Kita bisa bersekolah sampai sejauh ini, bisa menempuh pendidikan sampai setinggi ini, kamu bahkan sudah 87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sampai di Itali untuk S2 sekali lagi. Bagi kita, ras, agama, kelas, itu bukan lagi sesuatu yang perlu dibicarakan. Aku merasa demikian ketika sekarang berada di kampus dan dengan teman-teman sekolahku. Namun, ternyata di masyarakat umum, di luar kampus, permasalahan ras itu masih ada, masih dirasakan, masih menjadi ketakutan. Terakhir ketakutan akan dihabisi karena aku itu Cina terjadi beberapa bulan yang lalu ketika Indonesia saat itu sedang mengalami krisis ekonomi. Walaupun tidak terlalu berbahaya. Saat itu rupiah hampir menembus lima belas ribu rupiah jika aku tidak salah ingat. Lalu ada berita yang menjadi viral,
Gambar 7. Potongan Artikel Status Facebook
Ada status demikian yang tersebar dan orang-orang mulai membuat petisi untuk menangkap orang itu. ―Babi Cina Keparat‖, sebutan itu yang melekat kepada kami, orang-orang keturunan Cina. Tidak peduli berapa lama kami
88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tinggal dan lahir di tempat ini. Tidak lama dari munculnya status itu, ada lagi hal lain yang beredar. Majalah Tempo terbitan 31 Agustus-6 September 2015 terbit dengan warnanya yang merah menyala dengan judul utama dengan huruf kapital berwarna kuning yang tidak kalah mencolok mata Selamat Datang Buruh Cina. Gambar dari sampul majalah itu juga menarik perhatian dengan gambar seorang lelaki berkulit gelap dan bermata sipit yang membawa palu godam besar. Benarbenar menggambarkan kaum buruh dan Cina karena sipit. Aku tertarik dengan majalah Tempo terbitan kali ini karena pada malam hari sebelumnya aku melihat di facebook ada yang posting sampul majalah ini beserta dengan komentarkomentar yang pro dan kontra. Membaca postingan-postingan itu bulu kudukku langsung meremang. Kedua hal tersebut muncul di saat yang bersamaan. Bayangkan betapa takutnya aku! Pikiran-pikiran buruk langsung menguasai otak. Bagaimana jika pemerintah mengizinkan orang-orang Cina itu masuk ke Indonesia dan mereka merebut lahan pekerjaan banyak orang di Indonesia ini? Bagaimana jika sampai terjadi kemarahan pada orang-orang pribumi yang rezeki mereka disunat oleh para buruh impor ini? Aku merasa pasti akan langsung diserang dan dibinasakan. Aku langsung memikirkan alternatif perlindungan jika terjadi kerusuhan atau bagaimana nasib toko dan Mamah-Papah di rumah.
89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
―Mati! Mati!‖ isi kepalaku berteriak! Seperti itulah hari-hari yang pernah aku lalui sebagai orang keturunan Cina. Rasanya hidupku itu diawali dari keadaan penuh ketakutan, di mana Mamah banyak memberikan peringatan akan apa yang boleh dan tidak boleh untuk dilakukan, apa yang boleh dan tidak boleh diucapkan. Seperti tidak boleh bilang PKI karena nanti bisa ditangkap Polisi. Berada dalam perasaan takut akan diserang terus menerus jika sedikit saja ada isu mengenai kerusuhan atau gonjang-ganjing politik. Rasanya menakutkan.
Selasa, 15 November 2016 Kenapa ya aku mengalami ketakutan-ketakutan itu? Betul juga omonganmu, aku tidak pernah benar-benar mengalami kerusuhan itu sendiri, aku juga tidak mengalami diskriminasi yang parah sekali, dan seperti katamu, pertemananku juga baik-baik saja, tetapi aku merasakan ketakutan akan diserang. Seumur hidup, kerusuhan yang aku lalui, ya hanya tahun 1998, tapi rasanya itu berlalu tanpa ada kesan bahwa keselamatanku terancam. Aku masih SD saat itu, 11 tahun. Yang aku ingat di saat itu adalah aku, pulang sekolah, dengan seragam merah putihku, melihat televisi dan di situ, Bapak Presiden yang aku kenal seumur hidupku mengundurkan dirinya di tengah kekacauan yang masif di ibu kota. Rasanya saat itu aku ikut senang karena orang-orang di sekitarku juga
90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menyambut hal itu dengan gembira. Aku tidak yakin aku paham betul dengan apa yang terjadi. Kerusuhan itu juga datang di Temanggung. Apa yang kamu ingat dengan saat-saat itu? Yang aku ingat adalah aku berkeliling Temanggung dan beberapa rumah-rumah, yang kata orangtuaku milik orang-orang Cina yang lain, jendelajendelanya pecah atau beberapa ditutup papan. Toko kami juga beberapa kali tutup. Suatu malam, ada tetangga yang datang sambil berlari, ―Hura-hura!‖ katanya saking paniknya. Ada serombongan orang yang bergerak ke arah rumah kami. Kami sekeluarga langsung dengan panik menutup toko, memasukkan drum minyak tanah ke rumah, dan memalang pintu toko. Aku tidak ingat kemudian apa yang terjadi malam itu, tetapi pagi harinya, orangtuaku menemukan ada sebuah batang pohon besar yang tersisa di depan toko. Mungkin ada yang melempari toko kami dengan batu dan batang kayu itu. Yang menjadi ketakutan Mamahku saat itu adalah banyaknya drum minyak tanah di depan toko kami. Untunglah tidak terjadi hal yang lebih parah seperti pembakaran. Ingat CFC yang dulu ada di daerah Terminal Lama? Saat kerusuhan terjadi, tempat itu juga menjadi sasaran pelemparan batu, dinding luarnya yang banyak terbuat dari kaca itu pecah. Setelah itu, mereka langsung tutup dan tidak pernah buka lagi. Tamat sudah warung ayam goreng waralaba pertama dan satu-satunya di Temanggung.
91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Aku tidak benar-benar mengingat apakah aku mengalami ketakutan ataukah aku merasa terancam dengan keberadaanku sebagai orang keturunan Cina. Saat itu aku belum benar-benar menyadari apa yang sebenarnya terjadi di Negara ini. Aku masih anak-anak dan selama keluargaku baik-baik saja, maka dunia juga baik-baik saja. Aku baru menyadari dan memahami kemasifan dari kejadian tahun 1998 tersebut dari buku-buku yang aku baca sekarang. Terutama sejak aku secara khusus melakukan penelitian yang mendalami tentang pengalaman rasisme yang dialami oleh orang Cina ini. Dari buku Jemma Purdey, Anti-Chinese Violence in
Indonesia 1996-1999,21 aku menemukan bahwa banyak kerusuhan besar yang terjadi sebelum memuncak pada Mei 1998 di Jakarta. Temuan yang menarik untukku adalah beberapa kerusuhan seperti di Situbondo dan Tasikmalaya, kerusuhan yang menyerang warga keturunan Cina itu sama sekali tidak ada keterlibatan orang Cina pada kejadian yang memicu kerusuhan. Tetapi akibat dari kerusuhan tersebut, banyak sekali orang keturunan Cina yang menjadi korban. Banyak sekali sumber yang menuliskan mengenai apa yang terjadi di Mei 1998 itu. Aku membaca tulisan dari Rene L. Pattrirajawane dalam buku Harga
yang Harus Dibayar, Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia22, dalam tulisan 21
Jemma Purdey, (2006)
22
Rene L. Pattiradjawane, (2000)
92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
itu diceritakan tentang apa saja yang terjadi dari tanggal 13-15 Mei 1998 dan apa saja yang dikorbankan dalam peristiwa tersebut. Banyak bangunan yang rusak dan jumlah korban jiwa dan luka-luka, dan jumlah yang ditampilkan tidak sama dari masing masing sumber. Korban meninggal yang dicatat oleh Tim Relawan bisa mencapai angka 2.244 korban, sedangkan data dari Pemda DKI Jakarta hanya berjumlah 288 korban.23 Belum lagi jumlah wanita-wanita yang kabarnya keturunan Cina yang diperkosa sepanjang kerusuhan terebut. Aku belum membaca itu semua ketika aku sudah mulai merasakan berbagai ketakutan. Tidak berbicara terlalu vokal, tidak mencari-cari masalah dengan orang lain, tidak usah berurusan dengan polisi ataupun aparat pemerintahan, tidak perlu menunjukkan diri. Bersembunyilah maka hidupmu akan aman. Setelah aku pikirkan lagi, aku mulai menyadari bahwa aku tidak lolos dari ketakutan karena bawaan lahirku ini. Aku tumbuh dengan belajar untuk hidup dengan hati-hati dan takut akan banyak hal. Aku membawa ketakutan yang dibawa oleh kedua orangtuaku dan itu aku pelajari, aku membawa kepasrahan mereka yang menyatakan bahwa sebagai orang Cina sudah layak untuk mendapatkan perlakuan yang tidak adil24. Aku jadi menyadari bahwa perasaan layak diperlakukan tidak adil dan adanya keyakinan bahwa posisi sebagai korban itu akan berulang, bukanlah suatu yang baik untuk
23
(Pattiradjawane, 2000: 232)
24
Wawancara dengan Pang Ting Ham, 9 Oktober 2011
93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dirasakan. Kesadaran yang datang ketika aku mengerjakan analisa skripsiku waktu itu. Skripsi yang berisi tentang kisah hidup kedua orangtuaku. Aku jadi menyadari kenapa ada rasa minder berelasi dengan orang, juga kesulitanku untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat kala itu, ternyata berkaitan dengan ketakutan yang aku pelajari dari lingkunganku. Aku, kami, dengan satu dan lain beban ketakutan ini dari orangtua dan leluhur kami. Kamu ingat ketika dulu masih belum zamannya ponsel dan kita masih berkomunikasi melalui telepon rumah? Aku selalu meminta Vika untuk meneleponkan terlebih dahulu, aku takut kalau yang mengangkat bukan kamu. Atau jika aku ingin membeli sesuatu di warung, aku selalu meminta tolong teman untuk nembungke, meminta temanku yang berbelanja untukku. Aku tidak pernah suka menjadi pusat perhatian. Ketidaksukaanku ini juga membuatku menjadi tidak suka berada di toko. Di toko penjual itu pasti akan menjadi pusat perhatian, semua orang yang datang pasti akan mencari penjualnya dan menanyakan macam-macam. Hal itu dulu selalu membuatku merasa tidak nyaman dan hampir panik. SMP sampai masa awal-awal kuliah, toko adalah tempat yang aku hindari. Berbicara di muka umum, ujian lisan, bisa membuatku tegang selama berhari-hari. Ketakutan-ketakutan itu yang rasanya aku bawa dan bisa jadi itu karena aku diajari untuk takut selama ini. Walaupun hal itu tidak terjadi dengan Daniel, dia selalu menjadi orang panggung seumur hidupnya.
94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ketakutan-ketakutan itu sedikit banyak berakibat pada aku yang menjadi mudah terganggu, tegang. Menjadi ketus, atau mudah marah terhadap banyak orang. Pada awalnya aku tidak mengira bahwa ini adalah akibat langsung dari kenyataanku sebagai keturunan Cina ini, tetapi aku pernah bercerita dengan Dewi dan Mamah mengenai sifat kami yang keras, ceplas-ceplos, dan defensif, dan kami mendapatkan kesimpulan yang sama. Sifat kami yang seperti ini terbentuk karena kami merasa harus mempertahankan diri terus menerus dalam lingkungan yang tidak ramah Cina ini. Sebelum kami diserang, kami akan membangun tembok tinggi-tinggi, atau menyerang terlebih dahulu25. Kesimpulan senada yang aku temukan saat melakukan analisa pada data wawancara yang kulakukan kepada Mamah dan Papah untuk skripsi. Saat itu rasanya ada yang tersambung dalam kepalaku, ada potongan puzzle yang aku temukan. Perasaan rendah diri yang aku miliki, itu karena aku Cina. Rasanya itu adalah temuan paling penting bagiku selama proses penulisan skripsi, tapi tidak ada satu katapun yang bisa aku ungkapkan mengenai hal tersebut. Berangkat dari situ, pandangan akan diriku mulai berubah. Ketakutanku itu tidak disebabkan oleh sesuatu yang ada pada diriku semata, itu bukan sesuatu yang terberi dan tidak bisa diubah. Ketakutan yang aku miliki adalah ketakutan yang diajarkan
25
Wawancara kepada Dewi, 15 April 2015
95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
oleh orangtua dan lingkunganku. Ketakutan yang mau tidak mau aku pelajari begitu saja dan menjadi caraku untuk menjalani kehidupan. Pemahamanku ini mendapatkan penguatannya ketika aku belajar mengenai Kajian Teori Pascakolonial di kuliah S2-ku. Dalam mata kuliah itu aku pertama kali bertemu dengan Frantz Fanon dalam Black Skin, White Masks, sebuah buku yang bercerita tentang pengalaman Fanon sendiri sebagai orang kulit hitam di Prancis dan bagaimana pengalamannya mengalami rasisme itu dianalisisnya dari sudut pandang psikologi. Dalam salah satu bagian bukunya Fanon bercerita bahwa ada seorang lelaki kulit hitam yang berkuliah di Sorbonne untuk mengambil gelar filsafat, dan karena kuatnya rasisme yang terjadi, orang itu sudah merasa was-was bahkan sebelum ada tanda akan terjadi konflik26. Aku belajar bahwa ternyata, keminderan yang terjadi pada diriku ini tidak hanya hasil dari didikan kedua orangtuaku saja. Ada sistem lebih besar yang berjalin kelindan di dalamnya. Salah satunya adalah efek dari kolonialisme. Seperti yang kita tahu, atau yang aku tahu mungkin, bahwa selama proses kolonialisme di Indonesia, orang-orang keturunan Cina di Nusantara ini ditempatkan pada posisi yang unik. Jika mau menelusur sangat jauh ke belakang, pada awalnya tidak ada masalah dengan orang Cina yang masuk dan menetap di Nusantara.27 Permasalahan timbul ketika Belanda dan usaha dagangnya datang di
26
(Frantz Fanon, 2016: 114)
27
(Lombard, 1996b: 47)
96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nusantara. Di satu sisi mereka membutuhkan orang Cina sebagai perantara antara mereka dengan orang-orang pribumi, di sisi lain mereka merasa terancam dengan keberadaan orang-orang Cina yang semakin lama semakin banyak dan menguasai berbagai sektor usaha, salah satunya adalah pabrik gula.28 Ketakutan dan perasaan terancam terebut kemudian mendesak orang Belanda melakukan pembantaian kepada orang-orang keturunan Cina di Batavia pada tahu 1740, de Chineezen Grootemoord. Sekitar 10.000 orang mati dibantai kala itu, jumlah yang masif jika mengingat penduduk Jawa kala itu belum mencapai lima juta orang.29 Itu merupakan pembantaian anti Cina pertama yang terjadi di Nusantara. Kemudian ada pembagian status kependudukan oleh Belanda yang menempatkan orang Cina di Hindia Belanda lebih tinggi dari penduduk pribumi. Orang-orang Cina mendapatkan hak secara hukum yang berbeda dengan yang diterapkan kepada orang-orang pribumi. Hak-hak usaha juga banyak diberikan kepada orang-orang Cina, seperti memungut pajak jalan, mengelola rumah gadai, serta pemasaran candu, dan berbagai bisnis lainnya30. Hal ini yang membuat sebagian orang Cina bisa menimbun kekayaan dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat. Kata J. S. Furnivall dalam bukunya Hindia Belanda, Studi tentang
28
(Daradjadi, 2013: 27-28)
29
(Lombard, 1996b; Onghokham, 2008; Daradjadi, 2013)
30
(Onghokham, 2008: 172)
97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ekonomi Majemuk,31 Raffles memperkirakan jumlah orang Cina yang ada pada saat itu adalah 100.000 orang dan kekayaan mereka sepuluh kali lipat lebih besar daripada harta semua orang Eropa di Hindia dijadikan satu.32 Keadaan ini yang membuat penguasa kolonial ketakutan dengan orang Cina dan semakin memisahkan posisi mereka dari orang-orang pribumi di sekitaranya. Salah satu alasannya adalah jangan sampai orang-orang Cina bersatu dengan pribumi sehingga dapat melawan kekuasaan Belanda. Pandangan mengenai orang-orang Cina yang ada saat ini di Indonesia, merupakan warisan masa kolonial.33 Pandangan bahwa orang Cina itu adalah bagian yang terpisah dari orang pribumi, bukan merupakan penduduk asli Indonesia atau terus menerus menjadi asing, orang-orang yang kaya dan berjaya di bidang ekonomi, bahkan menjadi hama yang mengisap hak dari orang-orang pribumi, orang dengan posisi sosial yang lebih tinggi. Pandangan dan stereotipe yang tidak banyak berubah bahkan setelah berganti abad.
Sabtu, 19 November 2016 Pengalamanmu yang ditanya, ―Are you Chinese?‖ itu malah bikin aku
ngakak. Kok bisa kamu yang Jawa banget, hitam begitu dikira Cina. Tapi
31
J. S. Furnivall,(2009). Hindia Belanda, Studi tentang Ekonomi Majemuk (diterjemahkan dari
edisi tahun 1967). Jakarta: Freedom Institute 32
(Furnivall, 2009: 49-50)
33
(Onghokham, 2008: 1)
98
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mungkin pendapat Cina itu putih hanya ada di Asia ya? Mungkin kalau di Eropa aku juga digolongkan hitam, atau Asia itu terkenalnya cuma Cina? Lalu terima kasih untuk niat baiknya mau memperkenalkan aku dengan temanmu. Hahaha… Temanmu ganteng sih, tetapi tidak sesuai dengan tipeku. Menurutku dia terlalu putih, terlalu Cina. Kamu pasti akan menertawakan aku ketika membaca ini. Tapi mau bagaimana lagi selama ini aku selalu menyukai lelaki Jawa yang kecokelatan. Kamu ingat dengan lelaki yang dulu pernah dekat denganku? Tinggi, kurus, berkulit cokelat atau malah bisa disebut hitam, dan dengan muka yang Jawa
banget, dan biasanya lelaki seperti itu yang membuatku tertarik. Aku tidak yakin apakah yang aku rasakan ini ada hubungan pastinya, tetapi hal ini mengingatkanku pada saat aku SD dulu. Aku tidak ingat apa kejadian yang menyebabkannya, aku hanya merasa bahwa saat itu aku mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan karena kecinaanku. Dalam hatiku saat itu aku berjanji bahwa aku tidak akan mau menikah dengan orang Cina karena dalam otak anak SD-ku, jika aku menikah dengan orang Cina, aku akan mendapatkan anak yang juga Cina, dan anak itu nanti akan mendapatkan perlakuan seperti yang aku rasakan. Aku tidak mau itu terjadi, aku tidak mau ada orang lain merasakan apa yang aku rasakan. Keputusan itu ternyata memengaruhi seleraku dalam memilih lelaki.
99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bagiku saat itu dan mungkin sampai sekarang, menjadi Cina itu tidak enak. Ya seperti yang aku ceritakan kemarin. Diejek karena Cina itu sudah pasti. Di sisi lain, rasanya karena aku itu Cina, jadi banyak hal yang tidak bisa aku lakukan. Kala itu, aku tidak akan bisa menjadi PNS, aku tidak akan bisa menjadi Presiden, aku tidak akan bisa jadi Polisi. Dari masa kecilku aku sudah belajar istilah dicing, disingkirkan dari pergaulan karena aku Cina. Aku ingat saat SMP, Daniel tidak bisa mengikuti kegiatan Pramuka dan alasan yang kudengar di keluarga adalah kami Cina. Memilih sekolah juga menjadi hal yang begitu rumitnya. Pertimbangannya tidak melulu prestasi atau lokasi. Sejarah dan komposisi siswa juga menjadi faktor penting untuk dipertimbangkan. Apakah ada sejarah pengucilan di sekolah itu, berapa banyakkah orang Cina atau orang Kristen yang bersekolah di tempat itu. SMP Negeri tempatku sekolah dulu dianggap memiliki siswa Kristen yang cukup banyak dan merupakan sekolah unggulan, jadinya aku mendapatkan izin dari orangtuaku untuk bisa bersekolah di tempat itu. Tetapi ketika aku mau masuk SMA Negeri di Magelang, aku tidak mendapatkan izin karena ada sejarah pengucilan di sana. Pasti rumit menjadi orangtua Cina kala itu ya. Di satu sisi mereka sangat mendorongku untuk belajar dengan baik dan memiliki prestasi yang baik. Dulu pernah ketika SD prestasiku sempat turun, aku diancam akan dikeluarkan dari
100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sekolah dan menggembala sapi saja di sawah. Baru akhir-akhir ini aku memahami bahwa tuntutan sebagai orang Cina untuk bisa hidup mandiri di Indonesia ini menjadi kebutuhan yang sangat besar. Kami sebagai orang keturunan Cina tidak bisa mengandalkan siapa-siapa di sini. Kami tidak bisa mengandalkan negara dan pemerintah. Jadi salah satu antisipasinya adalah memiliki pendidikan sebaik mungkin. Kami harus bisa menghidupi diri sendiri agar bisa bertahan. Orangtuaku mengusahakan itu. Tetapi di sisi lain, ada juga kebutuhan untuk melindungi anak-anaknya dari kenyataan yang seringkali kejam sebagai orang Cina. Disingkirkan karena berbeda, karena sesuatu yang tidak dapat dubah. Karena hal ini juga kami—atau saat ini aku malah harus mengatakan ―mereka‖—menjadi begitu dekat satu sama lain. Kata Mamahku suatu hari, sebagai orang keturunan Cina itu memang harus dekat dan harus saling membantu, karena kami cuma bisa mengandalkan satu sama lain. Aku mengatakan ―mereka‖ karena dalam lingkaran pergaulanku saat ini malah sangat sedikit yang orang-orang keturunan Cina, dan teman-temanku ini adalah orangorang yang bisa aku andalkan dan percaya. Kamu salah satunya. Banyaknya batasan dan ketidaknyamanan sebagai orang Cina ini membuatku begitu enggan mengakui kecinaanku, bahkan menolaknya. Mulai dari memilih teman, memilih pakaian, memilih pasangan, bahkan memilih kata-kata untuk
101
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berbicara. Suatu sikap yang mungkin berbeda dari dengan sikap yang orang keturunan Cina lainnya ambil, bahkan berbeda sikap dengan apa yang oranguaku lakukan. Aku ini sebenarnya juga termakan stereotipe mengenai orang Cina yang tersebar di Indonesia ini. Kalau tentang perempuan Cina ya pakai baju yang berkilauan, dengan rambut panjang diwarnai cokelat atau orange, sepatu wedges tinggi dengan rok mini, atau celana mini, atau tabrak warna. Kalau cowok Cina penggambarannya dengan baju motif warna-warni, tidak dikancingkan sampai ke dada, kalung yang mencolok, dan rambut yang diwarnai. Atau kalau kamu ingat saat Tao Ming Se dan film Meteor Garden sedang tren, selain diwarnai, rambutnya juga akan diluruskan. Aku memilih untuk melanggar stereotipe itu. Aku akan tidak menyukai lelaki dengan model seperti yang aku gambarkan itu, aku juga tidak memilih pakaian sebagaimana cewek-cewek Cina distereotipekan pada umumnya. Yah… walau tidak selamanya demikian juga. Aku juga sesekali melanggar perinsipku sendiri, bahkan belakangan aku juga memanfaatkan hal itu. SMA-ku adalah sekolah Kristen yang banyak Cinanya, saat itu aku juga menyukai cowok Cina yang diidolakan oleh banyak perempuan. Aku juga pernah membeli baju dengan manik-manik berkilau, dan sepatu tinggi. Ternyata
102
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan siapa kita bergaul dan bagaimana mayoritas orang di dalamnya memengaruhi apa yang akan kita pilih dan kita sukai ya.
Gambar 8. Teman Sekelas SMA
Kembali ke seleraku memilih orang Jawa. Frantz Fanon34 membicarakan hal yang sama mengenai bagaimana perempuan kulit hitam dengan orang kulit putih. Pengalamanku yang mencari lelaki Jawa ini mendapatkan jawabannya ketika aku membaca Frantz Fanon dengan lebih mendalam. Di situ Fanon menceritakan sebuah novel yang ditulis oleh perempuan kulit hitam yang bercerita tentang wanita kulit hitam yang mencintai bahkan memuja orang kulit putih. Bagi dia menjadi hitam itu tidak menyenangkan dengan semua stereoptipe dan ideologi yang dibawa di belakangnya. Orang kulit hitam itu
34
(Fanon, 1952)
103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
primitif, budak, bahkan dikaitkan dengan evolusi manusia yang belum sempurna. Perempuan dalam cerita tersebut ingin melepaskan hal itu dari dirinya dengan mencintai dan menikahi orang kulit putih. Sama halnya dengan diriku, aku ingin melepaskan kecinaan ini dengan bisa menikah dengan orang Jawa. Rasanya bagiku menjadi Jawa itu merupakan suatu jalan keluar yang bisa membebaskan aku dari semua keterbatasan dan perlakukan lingkungan yang tidak menyenangkan yang aku terima selama ini. Rasanya selama ini aku adalah Liyan dari masyarakat di mana aku tinggal, dan Jawa adalah standar kepada siapa aku mengacu. Aku mungkin tidak menggambarkan kenyataannya, mungkin kamu sebagai lelaki Jawa juga tidak merasakan apa yang aku pikirkan. Ini bisa jadi hanya eksotismeku belaka akan kejawaan. Bagiku Jawa menggambarkan suatu perilaku yang lebih halus, lebih berbudaya, lebih priyayi. Karena itulah, walaupun di satu sisi aku merasa aku ingin masuk ke dalamnya, aku merasa tidak bisa benar-benar ada di dalamnya. Banyak hal yang aku coba lakukan untuk menjawakan diriku. Aku sejak kecil tidak suka terlihat putih. Aku ingin menjadi cokelat agar aku lebih mudah membaur di sekitarku. Sebagaimana bunglon yang mengubah warnanya, aku juga ingin menjadi tidak terlihat, sama dengan yang lain. Aku suka bermain di bawah matahari dan dengan sengaja tidak memakai jaket, dan aku menghindari
104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kosmetik yang mengandung pemutih. Saat banyak orang lain ingin menjadi putih, aku ingin yang sebaliknya. Jadi, pembelian kosmetik itu juga tidak melulu berdasarkan bagaimana konsep kecantikan yang ditawarkan media, dalam kasusku contohnya, lebih rumit daripada itu. Aku belajar berbahasa Jawa halus. Kamu tahu kalau di rumahku kami banyak berbicara dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa yang seadanya. Baru beberapa saat ini aku mulai belajar berbicara dengan bahasa Jawa yang halus, Aku tidak terlalu ingat persisnya sejak kapan, tetapi rasanya baru sekitar dua atau tiga tahun ini aku mulai banyak memakai bahasa Jawa halus untuk berkomunikasi, bahkan bertanya kepada teman jika ada kata-kata yang tidak aku pahami dengan niatan untuk belajar. Dalam anganku, jika misalnya aku menikah, semoga, dan memasuki keluarga Jawa, aku akan dituntut untuk berbahasa Jawa dengan benar. Ada satu kata yang menurutku sangat ingin aku ucapkan dan akhinya aku adopsi, karena bagiku kata itu mencerminkan kehalusan dan kesopanan Jawa, dalem. Banyak teman-temanku jika dipanggil dirinya akan menjawab dengan
dalem, saya. Mungkin kamu juga ya? Aku lupa. Ada saat-saat di mana aku belajar dengan sadar untuk menggunakan kata itu terus menerus, sampai pada akhirnya saat ini kata itu sudah meluncur dengan mulus dari mulutku jika aku dipanggil. Aku melepaskan bahasa yang aku pelajari di rumah, seperti aku tidak lagi
105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memanggil Daniel dengan kokoh, dan aku mengadopsi bahasa lain yang kuidentikkan dengan kelompok di mana aku ingin berada di dalamnya. Ternyata apa yang aku lakukan ini bukan hanya aku yang mengalami. Aku punya teman orang keturunan Cina juga, dia punya adik perempuan namanya Linda. Menurut cerita temanku, Linda ini sejak kecil suka bermain panaspanasan agar menjadi hitam, dan saat ini kekasihnya juga orang Jawa35. Lalu ada buku tulisan dari Audrey yang berjudul Mellow Yellow Drama36. Buku itu adalah memoar seorang anak jenius keturunan Cina di Jawa Timur. Dia bercerita bahwa dia begitu mencintai Indonesia tetapi selalu terbentur karena dirinya Cina, dan salah satu usaha yang dia lakukan adalah mengelantang diri di bawah matahari agar menjadi hitam. Akhir tahun 2015 yang lalu juga muncul film dari Ernest Prakasa yang berjudul Ngenest.37 Ernest yang merupakan penulis sekenario, pemain, sekaligus sutradara dalam film ini pada mulanya adalah seorang stand up komedian keturunan Cina yang sebagian besar materi yang dibawakannya mengenai kecinaan yang dialami dan dipahaminya. Film ini bercerita mengenai ketidaknyamannya sebagai orang keturunan Cina dan dia ingin keluar dari keadaan itu. Salah satu hal yang ingin dilakukannya adalah menikah dengan
35
Percakapan dengan Ika, perempuan keturunan Cina, 29 tahun.
36
(Hui, 2014)
37
(Prakasa, 2015)
106
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pribumi. Dalam film itu digambarkan bahwa dia menceritakan keputusannya itu kepada kepada keluarga saat makan dan semua keluarganya kaget dengan keputusannya. Pada akhirnya Ernest dalam cerita tersebut menikah dengan orang pribumi, tetapi dia tetap mengalami ketakutan anaknya akan mengalami
bullying sebagaimana yang dia alami sebagai orang keturunan Cina. Aku ingin menikahi pribumi, aku belajar bahasa Jawa, aku menghitamkan kulitku, bahkan aku mengambil bagaimana pandangan umum mengenai kecinaanku untuk menggambarkan diriku dan kaumku. Aku menolak itu matimatian. Aku berharap dengan begitu aku bisa menghilangkan kecinaanku dan menjadi sama dengan orang-orang kebanyakan. Bagiku menikahi orang pribumi itu sejenis pergerakan sosial yang memindahkanku dari ruang yang tidak nyaman ke ruang yang lebih nyaman. Ah… sebentar… Aku jadi teringat akan Nenekku dari Mamah. Beliau adalah orang Jawa yang menikah dengan orang Cina, Engkongku. Aku hanya berjumpa dengan Nenek atau Mak ini sebentar, tidak sampai lima tahun, dan aku malah tidak berjumpa dengan Engkongku sama sekali. Makku ini dulu sering mendongengiku sebelum tidur, tentang Keong Mas, tentang Timun Mas, dan Kancil. Mamahku bercerita bahwa beliau disebut orang-orang sebagai Mas Jeng, panggilan untuk wanita Jawa yang menikah dengan orang Cina.
107
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 9. Mak Nunuk dengan seorang sepupu
Suatu hari, anak lelakinya, atau Mpek ku, kakak Mamah, berpacaran dengan wanita Jawa dan ingin menikahinya. Nenekku yang orang Jawa melarang hal itu agar jangan terjadi. Sekali lagi aku jadi mengingat Fanon dan tulisannya, bagi wanita kulit hitam yang sudah menikah dengan orang kulit putih, mereka tidak hanya berusaha menghilangkan kehitamannya, tetapi juga berusaha agar bagaimana caranya mereka tidak lagi menjadi hitam.
108
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Apakah berbeda ya bagaimana relasi Cina dan pribumi di zaman Nenekku dulu dengan apa yang aku alami sekarang? Rasanya bagi orang-orang dari generasi yang lebih tua, kecinaan itu merupakan suatu yang baik, yang pantas untuk dipertahankan. Berada pada kelas sosial yang lebih tinggi. Apa yang dilakukan Nenekku kala itu sama dengan yang dibicarakan oleh Fanon, wanita kulit hitam yang meningkatkan posisinya dalam masyarakat dengan menjadikan dirinya Putih karena perkawinan. Lalu bagaimana ya untuk kasusku? Tidak nyaman sekali rasanya membicarakan kelas di mana aku berdiri sekarang, tapi apakah sekarang aku berada di kelas lebih tinggi atau lebih rendah dari orang-orang Jawa di sekitarku? Karena jika aku berkata itu setara, itu berarti aku berbohong. Kehitaman tidak sama dengan Kecinaan. Konstruksi ras Cina di Indonesia ini memiliki posisi yang unik dan tidak selalu sama dari masa ke masa dan juga tidak sama dalam semua aspek. Orang-orang berkulit hitam itu selalu dianggap sebagai yang lebih bodoh, lebih primitif, lebih miskin. Sedangkan pada orang keturunan Cina, kami seringkali dianggap lebih kaya, lebih pintar, lebih terhormat, tetapi dalam perlakuan yang kami terima, kami menjadi sasaran kemarahan dan pemerasan dari lingkungan. Aku tidak sama dengan Nenekku dan tidak sama dengan apa yang Fanon katakan. Aku dan orang-orang di generasiku merasakan kecinaan menjadi sesuatu yang ingin dilepaskan. Tidak ingin berpindah kelas menjadi lebih baik
109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagaimana orang kulit hitam ingin menjadi putih, bagiku, aku hanya ingin menjadi sama dengan banyak orang lain di sekitarku, atau aku tidak ingin dibedakan karena penampilan lahirku. Jadi bagiku menjadi orang Cina itu tidak menyenangkan. Mau menghindar juga tidak bisa. Aku mungkin juga didiskriminasikan karena aku Katolik di tengah masyarakat yang mayoritas Islam ini, tetapi Kekatolikanku tidak terpampang jelas di mukaku sebagaimana mata sipit menjadi penanda kecinaanku. Lalu aku harus bagaimana?
Selasa, 29 November 2016 Maaf baru sempat membalas suratmu yang terakhir. Yah pertanyaan terakhir suratku yang kemarin itu juga hanya pertanyaan retoris kok, tidak usah terlalu pusing menjawabnya. Akhir minggu yang lalu aku dan keluargaku harus pergi ke Solo. Kami memeringati setahun kematian kakak sepupuku yang meninggal karena kanker. Kematian dan bertemu dengan keluarga besar selalu mengingatkan aku bahwa aku itu orang Cina. Aku ingat setahun yang lalu, atau tiap ada kematian yang menghampiri keluargaku. Kami pasti akan selalu berkumpul di tempat di mana orang yang meninggal itu berada, bisa di Solo, bisa di Temanggung. Paling sering ya di Solo,
110
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
karena keluarga dari Mamah banyak yang di sana. Sekali terakhir kemarin di Jakarta, kematian dari adik Papah satu-satunya. Jenazah akan disemayamkan di rumah duka. Thiong Ting namanya. Rumah duka yang didirikan oleh Perkumpulan Masyarakat Solo atau yang terkenal dengan nama PMS. Komunitas yang didominasi oleh banyak orang Cina di sana. Keluarga inti akan menggunakan pakaian putih dan berdiri berjajar di samping kiri dan kanan peti mati sesuai dengan urutan kelahiran. Aku lupa persisnya, tetapi di satu sisi saudara-saudara perempuan dan di sisi yang lain saudarasaudara lelaki. Di tempat itu, apalagi ketika sepupuku itu kemarin meninggal, aku selalu diingatkan bahwa tiba saatnya nanti kita dan kerabat kita pasti akan mati, dan kematian menuntut upacaranya sendiri untuk dilakukan, dan apa yang aku lakukan, akan berbeda dengan apa yang kamu lakukan. Jika biasanya aku melayat di tempat teman yang bukan orang keturunan Cina, jenazah seringnya hanya disemayamkan di rumah, dan akan dimakamkan pada hari yang sama. Paling lama satu malam. Upacara biasanya disesuaikan dengan agama masing-masing, bisa disholatkan, bisa ibadah penghiburan, bisa juga dengan misa requiem. Kami melakukan hal yang berbeda. Jenazah akan disemayamkan di rumah duka, bisa tiga hari, bisa lima hari. Akan ada anggota keluarga yang menginap
111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
untuk menemani jenazah di situ. Akan ada surat yang bernama Hok im, surat edaran yang akan disebarkan untuk memberitahukan bahwa orang tersebut sudah meninggal dunia. Akan ada pemberitahuan yang dipasang di koran juga tentang kematiannya. Kemudian seperti yang aku ceritakan tadi, keluarga akan berjajar di samping jenazah menyambut pelayat.
Gambar 10. Sesaat menjelang kremasi Engkong, 1995
Melayat ada waktu-waktunya sendiri. Ada mai song, jib bok, dan sang seng, atau dalam artikel yang aku temukan, nama lainnya sang cong38. Bahkan mau bercerita ini saja aku harus mencari dulu di internet dan membaca artikelnya untuk bisa bercerita padamu. Rasanya hal ini jauh sekali dari kehidupanku 38
Darno, Upacara Jib Bok, Mai Song, Sang Cong, dan Jib Gong dalam Konghuchu diunduh
tanggal 21 November 2016
112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sehari-hari. Aku tidak tahu tepatnya itu apa, namun dari apa yang aku ketahui,
mai song itu acara melayat yang dilakukan pada malam sebelum pemakaman. Jib bok adalah tutup peti dan sang seng adalah melayat di siang hari. Satu yang aku ingat dari tiap-tiap layatan yang aku datangi adalah suguhannya yang berupa permen, roti, dan kuaci semangka yang asin. Makanan untuk menemani pertemuan-pertemuan dan obrolan panjang mengenang almarhum dan memperbaharui kabar antar saudara yang sudah lama tidak bertemu. Masa-masa itu adalah masa di mana aku benar-benar berada di perbatasan. Aku sudah tidak lagi Cina karena aku tidak tahu bagaimana semua susunan upacara itu dilakukan, aku bahkan tidak mengenal saudara-saudaraku. Aku tidak tahu harus menyebut siapa dengan apa, sedangkan orang-orang di sekitarku berbicara mengenai Ku Hong, Ii Kim, Kou Geng. Aku tidak memahami semua panggilan itu. Aku tidak tahu lagi posisiku di dalam keluarga besar ini, aku hanyalah anak dari Lee Liu Nio, dan semua orang menjadi Tante dan Om. Di saat yang sama aku merasa dituntut untuk tahu bagaimana upacara kematian itu dilakukan sesuai dengan adatnya yang benar, walaupun entah benar menurut siapa, karena aku akan melakukannya suatu saat nanti, semoga tidak dalam waktu dekat. Upacara kematian yang aku tahu saat ini sudah tidak sama dengan apa yang dulu Mamahku pernah lakukan. Jenazah tidak lagi diletakkan di dalam peti cengkih yang besar dengan kayunya yang tebal, yang bahkan tidak
113
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
rusak di makan waktu. Tidak ada lagi kebiasaan memakai baju putih yang dibalik dengan bagian dalamnya yang berada di luar, untuk melambangkan duka. Saat ini upacara kematian disesuaikan dengan agama yang dianut oleh almarhum atau keluarganya. Dalam kasus yang sudah aku temui, biasanya Kristen atau Katolik. Urutan melayat itu digabungkan dengan ibadah sesuai dengan agama-agama itu. Meskipun tradisi Cina yang ada tidak sekental di masa lalu, ini adalah saat di mana kecinaanku tidak dapat aku lepaskan begitu saja. Jikapun dunia ini mengizinkan aku tidak lagi menjadi Cina, jika Tuhan mengizinkan hidupku cukup panjang dan aku berkesempatan mengantarkan kedua orangtuaku, aku tetap harus mengantarkan mereka sebagaimana mereka adanya, sebagai orang keturunan Cina. Mau berlari ke manapun juga, keluarga tetaplah yang akan mengikat, apa lagi jika urusannya dengan darah dan keturunan seperti soal kecinaan ini. Tidak hanya terkait soal kematian, tetapi juga dalam hal pernikahan. Kamu bisa begitu terbuka dengan banyak orang dari berbagai latar belakang, tetapi begitu terkait dengan urusan pernikahan, maka akan terlihat seterbuka apa dirimu dengan perubahan dan orang dari latar belakang yang berbeda. Hal itu terjadi dengan aku dan Mamahku. Aku ini orang yang keluar dari rumah sejak berusia 15 tahun, sama seperti Daniel, sama seperti kamu juga. Kota kecil memang tidak menyediakan pendidikan yang memadahi. Relasiku dengan
114
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
orangtuaku menjadi sekadarnya saja rasanya. Apalagi saat itu komunikasi tidak semudah sekarang, walaupun sekarang Mamahku tidak menggunakan saluran komunikasi selain telepon dan sms juga. Selama ini rasanya tidak ada permasalahan dengan pergaulan yang aku lakukan. Dulu ketika kamu sering main ke rumah, rasanya Mamah tidak mempermasalahkan itu. Walaupun aku akui, memang tidak semua orang diterima dengan tangan terbuka di rumahku. Aku juga kurang nyaman untuk membawa teman-temanku main ke rumah. Sampai tiba saatnya, di awal masa kuliahku, aku dekat dengan lelaki Jawa dan bisa dibilang kami berpacaran. Saat relasi kami terlihat semakin serius, Mamah angkat bicara. Di suatu malam, saat aku sedang di rumah, kami berdua berbicara dan pembicaraan
menjadi
serius.
Beliau
pada
akhirnya
dengan
terbuka
mengungkapkan ketidaksukaannya dengan relasi yang sedang aku jalin. Alasan ini yang dia ungkapkan, ―Kalau dengan sesama Cina itu relasinya akan lebih enak. Hubungan kekeluargaannya lebih dekat. Kamu lihat itu orang-orang Jawa, dengan saudaranya sendiri saja tidak akur.‖ Di posisi saat itu, terlebih lagi saat itu aku sedang jatuh cinta, aku lebih memilih untuk tidak memercayai kata Mamah. Apa lagi perkataannya tidak bisa aku buktikan. Dibanding dengan keluargaku, kamu lihatlah keluarga Vika,
115
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sekeluarga besar akrab semuanya, dekat, akur, dan saling membantu dalam kehidupan sehari-harinya. Aku sama keluarga besarku belum tentu setahun sekali berkomunikasi. Jadi bagaimana mau percaya dengan apa yang Mamah katakan. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa ada kepercayaan atau pandangan tertentu dari keluarga Cina terhadap orang-orang Jawa. Ada pandangan bahwa orang Jawa itu lebih malas, tidak seulet orang Cina. Cara berpikirnya beda. Bahkan waktu di SMA dulu, ketika dalam suatu lingkungan Cina menjadi mayoritas, ada pembedaan antara hwana dan tenglang. Hwana adalah sebutan yang diberikan pada orang pribumi dan memiliki makna mengejek di baliknya, sedangkan
tenglang adalah kata yang digunakan untuk menyebut orang keturunan Cina. Dalam relasi yang banyak ditemui di masyarakat, Cina selalu diposisikan sebagai bos, juragan, pemilik usaha, sedangkan orang Jawa selalu menjadi pegawainya, pembantu, atau sopirnya. Dan tidak bisa dipungkiri juga, kalau teman dekatku, atau temanku yang perempuan Cina ketika berpacaran dengan orang Jawa, sering dikira jalan dengan sopirnya. Tidak jarang aku berbelanja dengan teman yang Jawa, walaupun pakaianku lebih lusuh, aku yang akan diperlakukan sebagai orang yang berkepentingan. Kita pernah mengalami hal seperti ini tidak ya ketika jalan bareng?
116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pandangan yang merendahkan pribumi ini saebenarnya menjadi salah satu alasanku untuk mengambil penelitian mengenai orang keturunan Cina. Bagiku yang banyak bergaul dengan orang Jawa dan sejak di Jogja, aku bergaul dengan orang dari segala penjuru Indonesia, pandangan orang Cina yang eksklusif itu kuanggap sebagai sesuatu yang salah, yang bisa jadi merupakan salah satu alasan orang-orang keturunan Cina mendapatkan diskriminasi. Aku saat itu lupa memperhitungkan bahwa perlakuan ini juga terkait dengan sejarah Bangsa selama ratusan tahun. Kita ini orang luar yang selalu menjadi bagian Bangsa Indonesia, walaupun diposisikan sebagai musuh, sebagai liyan. Dipandang sebagai orang yang berpunya, dipandang sebagai orang kaya, apalagi sebagai orang Cina dari Temanggung yang selalu dikaitkan dengan pengusaha tembakau itu juga tidak menyenangkan. Orang-orang kulit hitam itu menderita dan didiskriminasikan mereka dianggap sebagai orang yang tidak beradab, budak, dan primitif. Ternyata dianggap sebagai orang kaya itu juga ada unsur tidak menyenangkannya. Tiba-tiba disuruh mentraktir dengan alasan karena Cina, membayar iuran atau sumbangan yang lebih banyak itu menyebalkan. Mungkin tidak akan terlalu menyebalkan jika aku memang benarbenar berpunya, entahlah, aku belum mengalami fase aku bisa menghamburhamburkan uangku dengan mudah.
117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Stereotipe sebagai orang kaya ini, mirip dengan stereotipe yang diterima oleh orang-orang Yahudi di Eropa. Yang membedakan, mengutip dari apa yang Fanon katakan, orang-orang Yahudi ini memiliki bentuk fisik yang tidak begitu berbeda dengan orang-orang di sekitarnya. Jadi diskriminasi tidak akan terjadi dengan hanya pertemuan sekilas39. Tidak seperti orang keturunan Cina yang dilihat sekilas saja sudah berbeda, dan orang bisa dengan ringan berteriak begitu saja,
―hoy, Cino!‖ Aku punya teman yang menceritakan pengalaman masa kecilnya mengenai hal yang sama. Dia pernah ketika pulang sekolah dan sedang bermain di jalan, tiba-tiba saja didatangi oleh seorang bapak-bapak yang tidak dia kenal, bapak itu kemudian memukulnya dan mengatainya Cina. Begitu saja, tanpa sebab yang jelas apa selain karena kami ini Cina.40 Jadi rasanya aku mengamini kenapa aku beberapa dari kami bisa begitu keras, karena jika tidak melawan, kami akan berada di posisi yang ditindas terus menerus. Kembali ke soal stereotipe, aku terkadang tidak menyukai apa yang orangorang tempelkan pada diriku, tetapi aku juga tidak bisa lepas dari pandangan yang sudah sejak kecil diajarkan di rumah. Pandangan bahwa orang Jawa itu ada di kelas lebih rendah itu juga aku bawa dalam ketidaksadaranku. Rasanya tidak enak menganggap orang lain sebagai orang dengan kategori atau golongan yang
39
(Frantz Fanon, 2016: 89)
40
Wawancara dengan Dewi, 15 April 2015
118
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lebih rendah, rasanya itu juga mengkhianati citra diriku sendiri sebagai seorang yang terpelajar dan menjunjung kesetaraan, tapi ini yang aku rasakan. Salah satu kejadian yang membuatku terasa sekali berada di posisi yang lebih tinggi dari orang-orang Jawa adalah masalah panggilan ―Mbak‖. Ketika SMP memanggil dan dipanggil Mbak itu bukanlah hal yang aneh. Mayoritas temanteman kita orang Jawa, dan itu hal yang lumrah dilakukan. Ketika SMA memanggil dan dipanggil ―Cik‖ juga hal yang lumrah kulakukan karena isi sekolahnya mayoritas orang Cina. Panggilan ini menjadi terasa bermasalah ketika aku kuliah, walaupun tetap lebih banyak orang Jawa, tetapi suasananya terasa lebih heterogen. Suatu saat aku mendapatkan asisten kakak kelas yang Cina, semua temanku memanggilnya Mbak, dan tampaknya yang bersangkutan juga tidak bermasalah dengan panggilan itu. Namun bagiku tidak demikian halnya. Panggilan itu serasa tidak enak untuk diucapkan, karena ketika memanggil Mbak hal itu langsung duhubungkan dengan Mbak pembantu. Hal yang sama juga terasa ketika ada orang Cina yang memanggilku Mbak, aku merasa juga direndahkan dan dianggap sebagai pembantu. Dianggap tidak setara. Sedangkan saat itu, dipanggil Cik juga sama tidak enaknya, karena dipanggil Cik itu berarti menegaskan kecinaan yang aku tolak. Pusing ya… Hal yang sama juga terasa sekarang. Ketika aku semakin jarang di rumah, semakin dekat dengan lingkungan pertemanan di Jogja yang banyak Jawanya,
119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang juga membuatku banyak bertemu dengan orang-orang Jawa yang lebih tua, aku jadi semakin terbiasa berbahasa Jawa. Sekarang menjawab dengan nggih,
mboten, dalem, itu sudah menjadi hal yang biasa. Suatu saat Mamah dan teman-temannya ke Jogja dan aku bergabung dengan mereka. Lalu dalam suatu percakapan aku menjawab,
―Nggih!‖ ―Nggah, nggih, nggah, nggih!‖ tegur Mamahku. Tidak perlu ada penjelasan lain, aku langsung merasa paham mengapa beliau menegur demikian. Aku dianggap sudah merendahkan diri di hadapan temantemannya. Tidak selayaknya sesama orang keturunan Cina menjawab orang Cina lainnya dengan bahasa Jawa, yang halus sekalipun. Itu merendahkan diri, menyetarakan diri dengan pembantu. Seberapa inginnya aku menjadi Jawa dengan berbagai usaha yang aku lakukan. Keluarga, Mamah, tetap menjadi tonggak yang mengikatku akan status kelahiranku. Mau sesadar apa aku akan kesetaraan, bawah sadarku selalu mengingatkan akan wacana apa yang aku terima selama masa hidupku. Dan sebagai manusia yang memahami dunia dengan bahasa, aku tidak dapat begitu saja terlepas dari semua wacana yang bertebaran disekitarku dan yang mendefinisikan siapa aku.
120
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Aku merasa ditarik ke berbagai arah yang aku sendiri tidak pahami. Aku sebagai pribadi merasakan ada keluarga yang mengikatku, aku yang Cina. Di sisi lain aku tidak mengenali lagi kecinaan itu apa, aku tidak pernah diperkenalkan. Aku menolak untuk mengenal. Di samping itu aku berdoa dengan agama Barat, dengan tata caranya yang berasal dari Eropa. Dan dari mulutku tetap meluncur kata-kata berbahasa Jawa. Jadi, siapa aku ini?
Minggu, 4 Desember 2016 Aku mau cerita! Tadi sore aku jalan-jalan melihat-lihat buku dengan teman. Kami melihatlihat bagian kamus, dan dia tiba-tiba bertanya padaku, ―Kamu nggak mau beli kamus Tionghoa?‖ Apa-apan coba? Rasanya aku tidak pernah menunjukkan ketertarikan dengan bahasa Cina. Rasanya aku juga tidak pernah bercerita mau belajar bahasa Cina. Kenapa dia tidak bertanya apakah aku mau membeli kamus bahasa Rusia atau tidak? Belum lagi ketika membicarakan dan menghitung diskon yang diberikan oleh toko baju yang sering kali rumit itu, diskon 50% + 20% misalnya. Ketika aku menghitungnya, temanku ini berkata, ―Emang kalau belanja kaya gini kudu karo Cina!‖
121
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Demikian kata Cina yang kutangkap kembali terlempar ke mukaku. Ucapan yang rasanya langsung membuat jantung berhenti. Butuh waktu sebelum aku bisa merespon perkataannya dengan biasa saja41. Celetukan yang mungkin tidak dimaksudkan untuk menyinggung. Celetukan yang mungkin hanya bermaksud untuk bercanda atau hanya menunjukkan fakta, tapi bagiku itu sampai membuatku membeku. Aku juga mengingat Imlek tahun ini atau tahun Cina 2567, malam sebelum pergantian tahun baru, dan aku mendapatkan pesan dari seorang kawan, ―Kowe
Imlekan ora?‖ Pertanyaan dalam bahasa Jawa yang menanyakan apakah aku merayakan tahun baru Imlek. Aku jawab bahwa aku tidak merayakannya. Malam itu aku hanya berada di kamar kos seperti malam-malam biasanya. Tidak ada perayaan apapun, bahkan aku tidak ada rencana untuk pulang ke rumah. Tidak ada… Kawanku itu kemudian bercerita tentang ramainya kota Solo yang merayakan Imlek. Tidak banyak yang dia katakan, tetapi imajinasiku menjadi liar. Betapa ramainya kota Solo malam itu dengan semua kemeriahan khas Imleknya, lampion-lampion, musik yang meriah mengiringi tarian Barongsai atau Liong. Pastinya ada banyak masakan khas Cina di mana-mana, kue kranjang,
41
Jogja City Mall, Jumat, 30 Oktober 2015
122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
warna-warna merah, dan semua kemeriahan lainnya. Lalu pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, ―haruskah aku terlibat semua itu?‖ Rumahku juga tidak melaksanakan perayaan apapun. Mamah juga pasti membuka dan menutup tokonya seperti biasanya. Tidak ada niatan untuk mengucapkan selamat tahun baru juga ke keluargaku. Ucapan selamat yang aku sampaikan malah kepada teman-temanku yang tidak benar-benar keturunan Cina tetapi entah karena menikah, entah karena wajah yang mirip, entah karena hanya bercanda, jadi dianggap Cina di kalangan teman-temannya. Haruskah aku membeli kamus Tionghoa? Untuk apa? Sama seperti saat ini. Haruskah aku merayakan Imlek? Haruskah aku mengerti bahasa Cina? Haruskah aku tahu di mana bisa membeli kue bulan? Hanya karena aku lahir di keluarga yang Cina dan aku membawa gen sipit ini, haruskah aku tertarik dengan semua yang berbau Cina? Hari seperti Imlek ini adalah masa-masa di mana aku mengalami krisis identitas. Di mana aku mempertanyakan ulang keberadaanku. Aku belajar untuk membuang dan tidak tertarik dengan semua yang terkait dengan Cina dari kecil. Menjadi Cina itu tidak enak. Menjadi Cina itu berarti tidak bisa bercita-cita untuk menjadi polisi atau tentara atau presiden. Menjadi Cina itu berarti berpikir seratus kali untuk masuk ke sebuah sekolah favorit karena sekolah itu berstatus sekolah negeri. Menjadi Cina itu berarti dipertanyakan terus menerus, apakah
123
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bisa berbahasa Cina, siapa nama Cinamu? Rasanya aku ingin berteriak, apakah kita tidak tinggal di Indonesia yang sama? Tidak tahukah kalian bahwa semua hal itu dilarang, bahkan punya nama saja kami tidak boleh dan kalian masih bertanya? Seperti yang sudah aku ceritakan, seumur hidup aku tidak tahu apa itu Imlek. Seumur hidup aku tidak pernah menerima angpao dalam rangka Imlek. Dan kenapa semua orang meminta angpao kepadaku? Aku bahkan tidak doyan makan kue kranjang, lebih enak jenang dodol. Aku kelelahan menjadi Cina, tapi aku tidak dapat menjadi yang lain. Sekarang ketika semua perayaan Cina ini menjadi trend di mana-mana, rasanya aku dipaksa untuk tertarik. Perayaan Imlek memang menjadi bagian dalam kehidupanku selama ini. Tapi tidak dengan cara sebagaimana ini dirayakan sekarang. Imlekku selama ini selalu hening dan hampir tidak terasa. Hanya menjadi satu penanda waktu yang rasanya berlalu begitu saja. Imlek dulu hanya aku tunggu karena akan datang seloyang penuh jajanan pasar yang sebenarnya diperuntukkan untuk sembahyang kepada leluhur. Kue ku, kue mangkok, lapis, dan bola-bola cokelat. Semua perayaan ini, dan gerakan resinifikasi yang ternyata terjadi di luar sana. Baru dalam rangka melakukan penelitian ketika S1 dan ketika membacabaca penelitian mengenai orang keturunan Cina di masa reformasi ini aku menemukan adanya kecenderungan orang-orang Cina yang mencari dan
124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memunculkan kembali identitas kecinaannya. Dalam buku Chang Yau Hoon yang aku baca mengenai Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto42, atau buku I. Wibowo yang berjudul Setelah Air Mata Kering43, aku menemukan bahwa orang-orang Cina mencari kembali identitas Cinanya. Mereka mulai mempelajari lagi bahasa Cina, beberapa membentuk organisasi yang berafiliasi pada marga atau pada kecinaan mereka, beberapa yang lain menerbitkan kembali media berbahasa Cina. Aku menyebut mereka karena hal-hal seperti itu rasanya tidak menyentuh kehidupanku. Orangtuaku tidak lalu memiliki kembali meja sembahyang, tidak juga bergabung dengan perkumpulan marga Pang. Namaku juga tidak lalu berubah menjadi Anne Pang, atau Pang Pan Da misalnya. Hidup berjalan seperti biasa. Menurutku, resinifikasi atau pencinaan kembali ini bukanlah solusi dari pengalaman kecinaan yang tidak menyenangkan selama ini. Bukan maksudku untuk menyangkal atau mengecilkan jasa-jasa para orang keturunan Cina yang berjasa bagi kemerdekaan Indonesia yang sekarang ini sedang banyak dimunculkan dan dibicarakan. Tetapi bagiku itu hanyalah esensialisme ataupun diskriminasi jenis lain. Terasa adanya usaha untuk mengembalikan kejayaan
42
(Hoon, 2012)
43
(Wibowo, 2010)
125
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
orang-orang Cina atau ―menempatkan kembali pada posisinya‖, yang bisa jadi sebagai penanda superioritas akan pihak lain. Salah satu contohnya adalah penggunaan kata Tionghoa yang dicanangkan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014 yang lalu44. Keppres ini mengatur tentang penggantian penggunaan kata Cina yang selama ini digunakan di Indonesia diganti dengan kata Tionghoa untuk menyebut orang Cina dan kata Tiongkok untuk menyebut negera Cina. Kata Cina sendiri mulai banyak digunakan sejak disahkannya Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera
Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 yang menggatur penggunaan kata Cina untuk menggantikan istilah Tionghoa yang dianggap memberikan dampak psikososial-diskriminatif bagi orang pribumi. Pengantian istilah yang kupertanyakan, apakah benar dengan menggunakan istilah Tionghoa akan memberikan akibat yang baik, karena masih banyak juga pro-kontra mengenai peraturan ini. Dalam kalangan orang ketrunan Cina sendiri, penggunan istilah ini juga masih menjadi perdebatan. Ada dua kelompok pendapat mengenai hal tersebut, di satu sisi merasa lebih nyaman atau lebih baik tetap menggunakan istilah Cina, di sisi lain ada yang lebih memilih menggunakan istilah Tionghoa karena ada
44
Keputusan Presiden Republik Indoensia Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Pencabutan Surat
Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/PRES.KAB/6/1967, Tanggal 28 Juni 1967, diunduh dari http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/174034/KEPPRES122014.pdf pada Jumat, 17 Oktober 2014
126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
anggapan istilah tersebut lebih baik. Dalam hal ini aku setuju dengan pernyataan Arief Budiman.45 Ia berpendapat bahwa masalah istilah ini tidak begitu penting, Tionghoa atau Cina jika digunakan dalam konteks menghina akan sama-sama menyakitkannya. Cara paling baik untuk melawan penghinaan adalah dengan menggunakan
istilah
yang
mengandung
penghinaan
tersebut
dan
menggunakannya sebagai istilah biasa. Terkadang aku merasa bahwa kebijakan mengenai orang keturunan Cina yang ada di Indonesia ini, atau berbagai gerakan yang muncul yang mengangkat dan merayakan kecinaan kembali, jika memang kecinaan itu ada, adalah suatu hal yang tidak berpijak dari pada keadaan yang ada dan tidak memberikan pemecahan akan diskriminasi yang terjadi. Aku merasa ketika perbedaan ini kembali ditegaskan dengan mengembalikan lagi kecinaan, maka pertentangan dan perbedaan akan tetap ada dan bisa jadi itu mencelakakan. Mungkin pendapatku ini hanya berdasar dari ketakutan akan sejarah diskriminasi panjang yang aku bawa, tetapi ketakutan ini juga dibicarakan oleh seorang Ien Ang dalam bukunya On Not Speaking Chinese, bahwa pada akhirnya yang akan banyak berhadapan dengan masyarakat adalah orang-orang Cina yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Orang-orang yang sehari-hari hidup dan berbaur dengan masyarakat yang majemuk, dan orang-orang ini pulalah yang tidak akan bisa lari
45
Leo Suryadinata, 2010, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, Sebuah Bunga Rampai 1965-2008, Penerbit Buku Kompas, hlm 196
127
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ke luar negeri jika ada kerusuhan. Jadi kenapa perbedaan itu harus ditegaskan kembali? Kejadian ini membuatku jadi menyadari, kebudayaan itu tidak diturunkan begitu saja karena kelahiran. Kebudayaan, upacara, bahasa, adat-istiadat itu dipelajari
dengan
dilakukan
berulang-ulang. Ketika aku tidak pernah
mempelajari dan melakukan tata cara perayaan Imlek yang benar, aku juga tidak merasakan keterikatannya dan perlunya melaksanakan itu. Tidak masalah jika aku dibiarkan begitu saja. Menjadi bermasalah ketika orang-orang ―memaksa‖ aku merayakan itu. Aku merasa dipaksa menjadi Cina menurut versi populer yang ada di masyarakat, yang itu bukan aku, dan mungkin juga bukan siapapun. Menjadi Cina aku sudah tidak bisa, menjadi Jawa aku juga tidak dapat. Ada istilah yang terkenal dengan itu, Cina wurung, Landa durung, Jawa tanggung. Menjadi Cina sudah batal, menjadi Belanda belum, Jawa juga tanggung. Istilah yang aku temukan dalam tulisan seorang yang banyak meneliti soal orang Cina, Didi Kwartanada dalam pengantarnya di buku Orang Cina, Bandar Tol, Candu,
dan Perang Jawa. Istilah ini digunakan untuk mengolok Tan Jin Sing atau Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat yang hidup tahun 1760 sampai 1831. Kalimat yang digunakan untuk mengejek identitasnya yang jamak.46 Di posisi itu juga aku berdiri, bukan Cina, tidak juga Jawa, dan belum juga menjadi warga
46
Didi Kwartanada dalam Peter Carey (2015)
128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dunia, tidak lagi mengidentifikasikan diri sebagai Cina atau Jawa, atau bahkan Indonesia, istilahnya identitasnya cair. Bicara menjadi warga dunia, ada beberapa orang yang mengatakan bahwa identitas orang Cina di Indonesia ini mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari warga dunia47. Bagi sebagian orang mungkin itu terjadi, bagiku sekarang, bagi Mamah dan Papah, rasanya identifikasi itu terlalu mengawang-awang. Jangankan menjadi warga dunia global, bahasa yang kami pakai ya bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, tempat yang kami tahu, ya tempat kami tinggal selama 30 tahun ini. Mungkin malah kamu yang sekarang bisa merasakan seperti apa menjadi warga dunia itu. Di sisi lain aku juga pernah mencoba ruang lain untuk mengidentifikasikan diri. Ruang ketiga selain Cina dan Jawa. Ruang negosiasi ketika kedua identitas itu tidak berhasil membuatku terintegrasi di dalamnya. Aku pernah mencoba mengidentifikasikan diriku dengan identitas agama. Aku sebagai seorang Katolik. Ketika SMP identitas agama ini menjadi salah satu identitas yang penting, karena jumlahnya sedikit, rasanya menjadi lebih aman bergabung dalam kelompok, dan mengidentifikasikan diri dengan kelompok Katolik itu terasa lebih aman daripada menjadi ―hanya‖ Cina. Aku pernah menuliskan demikan di buku harianku dulu, tertanggal 18 Mei 2000:
47
Wang Gungwu dalam I. Wibowo (2000)
129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
―Kok aku rasanya ngga betah deh di SMP 2, tapi mau gimana lagi aku juga tahu kalau yang lain (orang Cina keturunan/kaum minoritas lainnya) juga ngerasa kaya gini. Kalau sekolah Katolik sih masih mending tapi ini semuanya Islam. Dan aku ngga ngerti kenapa orang-orang mayoritas selalu nindas orang minoritas. Ya ngga semua memang. Kalau cuma dipanggil ‗Ndut‘ aja sih ngga masalah. Walau cukup nyakitin tapi kalau sudah menyinggung keturunan, rasanya kok susah deh. Aku juga menemukan catatan tertanggal 5 Mei tahun 2000, kalau aku menuliskan artikel untuk tugas Bahasa Indonesia yang berjudul Kaum Minoritas,
Kehidupan Kaum Minoritas Di Tengah-Tengah Orang yang Dominan. Aku tidak ingat sama sekali apa isinya, tapi kenapa juga anak 13 tahun sudah menuliskan isu yang seperti itu, sekarang aku malah tidak terbayangkan apa yang aku tulis. Karena ketidaknyamanan menjadi Cina ini, mungkin saat itu aku merasa kalau menjadi Katolik itu lebih aman. Pada suatu ketika, setelah kelulusan dan sebelum aku hijrah ke Yogyakarta, kami semua masih harus beberapa kali kembali ke sekolah untuk mengurus berbagai hal, ijazah, cap tiga jari, dan pesta perpisahan. Saat berada di sekolah aku bertemu dengan Ibu Guru wali kelasku. Beliau kemudian bertanya soal kelanjutan sekolahku. Aku ingat dengan jelas, percakapan ini terjadi di depan ruang kelas 2A. ―Kamu lalu melanjutkan sekolah ke mana?‖ ―Ke Bopkri Bu, Di Yogyakarta.‖ ―Loh kok tidak ke Semarang bersama dengan teman-teman sebangsamu?‖ 130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Aku terdiam sejenak, ―Ngga Bu, inginnya di Jogja, sekalian biar jadi satu dengan Kakak.‖ Percakapan itu menjadi percakapan yang tidak bisa aku lupakan karena istilah yang digunakan ibu guru tersebut, ―teman-teman sebagsamu.‖ Ibu guru tersebut adalah satu dari sedikit guru Katolik di sekolah itu, jadi ada rasa bahwa kami berada di pihak yang sama. Kata ‗sebangsamu‘ yang muncul itu tiba-tiba saja membuatku dan Ibu Guru itu tidak lagi berada di lingkaran yang sama. Kata itu membuat aku terdepak keluar dari keberpihakan yang pernah kurasakan dengan beliau. Jadi aku harus bagaimana? Ternyata identitas yang aku miliki atau mungkin semua orang lain miliki ini tidak setunggal yang kita bayangkan. Aku kesulitan menemukan apa istilah tepatnya. Begini, dalam penggalan tulisan yang aku temukan di atas, aku begitu saja mengkaitkan antara Cina dengan Kristen, mempertentangkan begitu saja antara Cina dengan Islam. Sesuatu yang pada dasarnya bukanlah perbandingan yang setara, istilahnya tidak apel dengan apel. Tetapi, kita sering dengan begitu mudahnya untuk mengkaitkan berbagai variabel itu begitu saja dan seringkali kita anggap itu adalah kebenarannya. Seperti Cina itu Kriten, Cina itu kelas menengah, Cina itu adalah pedagang, Cina itu pintar matematika, Cina itu pemain basker. Ketika ditemukan Cina yang Islam, atau Cina yang miskin, seringkali kepala kita harus menyusun ulang kategorinya untuk memahami itu.
131
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kamu bisa berbahasa Cina? Apakah kamu mau membeli kamus berbahasa Tionghoa? Mengapa ngga kuliah ke Tiongkok? Kamu punya nama Cina? Pertanyaan-pertanyaan yang membuat ingin mengumpat Tidakkah ada yang pernah belajar sejarah? Tidakah ada yang pernah mengenal Orde Baru? Kami bisa ditangkap Polisi hanya karena berbahasa Cina Cina itu Komunis, Cina itu tidak Nasionalis Sejarah kami dipotong, nama kami dirampas Buat apa kami bertahan menjadi Cina jika hanya susah yang ada? Buat apa aku bertahan menjadi Cina jika masa depanku hanya dibatas selebar toko? Tidak bisa menjadi pegawai negeri yang digaji Tidak bisa menjadi Polisi dengan seragam gagahnya Reformasi hanya memutar keadaan tanpa menyelesaikan masalah Tarian naga mulai dikeluarkan dari kotak berdebunya Bahasa Cina mulai berkumandang di mana-mana Bahkan dengan gagahnya
132
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bapak Presiden memerintahkan tidak lagi digunakan kata Cina yang menghina Aku masih sama-sama terjebaknya Tubuh dengan mata sipit ini masih menjebakku Aku tidak ingin merayakan apa yang tidak pernah aku miliki Aku tidak mau belajar bahasa yang tidak pernah ingin aku tau Dan pertanyaan-pertanyaan itu… Tetap datang menyapa tubuh ini.
Kamis, 8 Desember 2016 Terima kasih untuk balasan emailnya yang menghibur dan menyenangkan kemarin. Maaf sudah marah-marah. Pertanyaanmu kemarin membuatku jadi berpikir. Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk mengatasi hal tersebut? Aku jelas tidak dapat mengingkari keadaan lahirku, aku juga tidak dapat melarang orang untuk memperlakukan aku sebagaimana yang mereka pahami. Seperti yang kamu katakan, semua orang juga berdiri di dalam wacana yang sama sebagaimana aku juga berdiri di dalamnya. Aku juga tidak bisa marah-marah terus, tidak bisa juga untuk tidak terima terus dengan ini. Lalu bagaimana ya… Berbicara tentang siapa aku ini pada akhirnya berbicara tentang identitas. Bagaimana aku mendefinisikan diriku. Di sisi mana aku berdiri. Atau jika
133
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seseorang tidak mendefinisikan dirinya sendiri, orang lain yang akan mendefinisikannya. Aku setuju dengan apa yang dikatakan oleh Kath Wetson dalam tulisannya Me, Myself, and I ini.48 Kita tidak bisa benar-benar bisa menghindari ini. Pada akhirnya, pengalaman rasisme yang aku alami, semua hal yang terkait dengan kecinaanku ini membuatku tertarik untuk memahami lebih jauh identitasku.
Siapa
aku.
Aku
kemudian
menemukan
tulisan
mengenai
interseksionalitas dalam identitas. Nina Lykke49 dalam Feminist Studies A Guide
to Intersectional Theory, Methodologies and Writing menjelaskan mengenai kerangka berpikir interseksionalitas yang berasal dari pemikiran dalam kajian feminis atau kajian gender. Dalam kerangka berpikir ini dijelaskan bahwa identitas pemahaman diri seorang manusia akan dirinya itu tidak hanya terbentuk dari satu aspek atau satu kategori sosiokultural saja. Ia mencontohkan bahwa dalam bercerita atau mendefinisikan peran gender seseorang kita tidak dapat terlepas dari kategori psikososial yang lain. Kita akan selalu bertemu dengan kategori yang lain seperti kelas, etnis, ras, agama, usia, pendidikan, dan lain sebagainya. Dan kategori-kategori ini tidak ada dengan setara begitu saja, mereka berinteraksi dan membentuk suatu ketimpangan dalam masyarakat.
48
Wetson (2010: 15)
49
Nina Lykke, (2010). Feminist Studies A Guide to Intersectional Theory, Methodologies and
Writing. New York: Routledge
134
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Suatu ketimpangan yang dapat ditunjukkan akan adanya pihak yang dominan dan subordinat, inklusi/eksklusi, previlege/lack of previlege, mayoritas dan minoritas, dan lain sebagainya.50 Dan kita harus bernegosiasi dengan hal itu, mau tidak mau. Aku melihat bahwa identitasku memang tidak melulu terkait dengan rasku sebagai orang Cina. Cina sendiri sebenarnya sudah membawa wacananya sendiri. Paling tidak, Cina itu selalu dikaitkan dengan kelas menengah ke atas. Orang kaya, pengusaha, pintar dalam bidang ekonomi. Cina juga selalu dikaitkan dengan agama Kristen, yang untuk kasus sekarang ini, sedang banyak dikafirkafirkan. Di luar itu, aku masih merupakan seorang perempuan yang bisa mengenyam pendidikan tinggi, dan berusia awal tigapuluhan. Kalau mau melihat bagaimana relasi kuasa di dalamnya, Cina sendiri tidak menempati posisi yang sama sepanjang kesejarahan Indonesia. Seperti yang pernah aku ceritakan beberapa hari yang lalu, ada masa di mana menjadi Cina itu menempati posisi sosial yang tinggi. Seperti di masa kolonial di mana Cina menempati posisi yang lebih tinggi dari orang-orang pribumi. Sedangkan ketika memasuki era Orde Baru, posisi ini bergeser, dalam berbagai aspek kehidupan selain bidang ekonomi, orang Cina berada dalam posisi minoritas yang ditempatkan sebagai korban.
50
(Lykke, 2010: 50-51)
135
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lalu bagaimana ya, aku melihat posisiku sendiri? Secara ekonomi, atau secara kelas, aku tidak bisa juga mendefinisikan diriku sebagai orang yang berada di kelas bawah. Aku bisa sekolah di luar kota kelahiranku sampai selevel ini, paling tidak aku, keluargaku lebih tepatnya, mampu untuk membiayai ini, walaupun jika dibandingkan dengan bosnya Gudang Garam, atau pemilik hotel di Temanggung yang anaknya sekolah di Amerika, ya apalah aku ini. Paling tidak, secara ekonomi dan secara intelektual, aku berada di kelas menengah. Jika saja aku terlahir dalam keluarga dengan kelas yang berbeda, pasti ceritanya akan berbeda. Temanku pernah bercerita51, dia memiliki sepupu di Jakarta. Sepupunya merupakan seorang yang berada, lalu anak dari sepupunya tersebut baru menyadari bahwa Cina itu banyak mengalami penolakan dalam masyarakat setelah dirinya duduk di bangku SMP. Dia memiliki lingkungan pergaulan yang aman dan eksklusif yang didominasi oleh banyak orang keturunan Cina lainnya. Entah bisa dibilang beruntung atau tidak, yang pasti, saat ini aku tidak menyesali keberadaanku. Kesadaranku ini yang membuatku bertanya dan terus bertanya, dan untukku, di titik ini, menyenangkan. Posisi orang Cina dalam masyarakat yang pernah diterima, pernah ditinggikan, pernah menjadi bagian yang begitu dibenci dan ditolak dari
51
Pembicaraan dengan Ika, 14 November 2016
136
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
masyarakat, membuat posisiku sekarang terasa dilematis. Di satu sisi, aku tidak bisa menyangkal ada saat-saat aku menikmati berada di posisi yang lebih tinggi dari yang mayoritas. Ada masa-masa seperti masalah jual beli di mana penampilan yang Cina ini dirasa lebih menguntungkan, aku dengan sadar akan menampilkan sisi kecinaanku untuk mepermudah urusanku atau dengan harapan mendapatkan potongan harga. Di sisi lain, kondisi yang tidak menyenangkannya jauh lebih banyak. Untukku yang bahkan tidak mengalami banyak diskriminasi atau kekerasan ini saja, rasanya sudah begitu tidak enak menjadi Cina. Aku kemudian memainkan banyak faktor untuk membuat diriku memiliki tempat yang nyaman. Aku mengidentifikasikan diri sebagai orang Katolik di satu waktu, tetapi aku ditendang juga dari dalamnya. Aku membaur sedemikian rupa. Aku belajar berbicara dengan bahasa yang berbeda dengan yang aku gunakan di rumah. Aku belajar menjawab dengan kata dalem agar aku terdengar Jawa. Aku melatihnya berulang-ulang agar kata itu bisa keluar dengan mulus setiap namaku dipanggil. Aku bersahabat dengan matahari agar kulitku bisa terlihat lebih legam. Lebih sama dengan teman-teman bermainku. Sayangnya gagal! Cina itu bukan mengenai dengan bahasa apa kita berbicara. Cina itu bukan mengenai apa yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan, dan dengan siapa kita
137
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bergaul, bukan juga mengenai agama apa yang kita anut. Cina itu mengenai mata yang sipit dan kulit yang putih. Hanya itu. Hanya sebatas itu, tetapi panjang akibat yang dibawanya. Apa yang dibawa oleh tubuh ini bisa sampai berakibat di mana kamu akan tinggal, pekerjaan apa yang bisa kamu pilih, bahkan siapa yang boleh dan tidak boleh kamu nikahi, atau apa kepercayaan yang kamu miliki, sedikit banyak akan terpengaruh oleh warna kulit dan ukuran matamu. Tubuh ini memiliki wacananya sendiri yang tidak bisa aku tolak. Kalau aku pikirkan kembali, dari setiap usaha yang aku lakukan untuk menolak keberadaanku sebagai orang Cina, pada akhirnya aku malah mengambil satu peran stereotipe yang sedikit banyak malah menyelamatkan aku. Berjualan. Suatu usaha pragmatis dan bisa jadi oportunisku dalam memudahkan aku menjalani kehidupan sehari-hari. Kamu ingat waktu SMP ketika aku membawa berbagai jajanan dari rumah dan menjualnya di kelas? Ternyata hal itu adalah kegiatan yang mencairkan komunikasiku dengan teman-teman sekelasku. Dengan berjualan aku bisa berbicara dengan orang-orang yang takut atau tidak ingin aku ajak bicara sebelumnya. Hal yang sama yang masih aku lakukan sekarang, walau dengan alasan dan kesadaran yang berbeda, sekarang untuk menyambung kehidupan. Aku baru menyadari sekarang bahwa 30 tahun hidup di toko dan melihat
138
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bagaimana orangtuaku menjalankannya, walaupun jarang benar-benar terlibat masuk di dalamnya, berdagang menjadi suatu reflek yang sudah menubuh. Suatu strategi yang membuatku bisa menerima bagian kecinaanku. Jadi rasanya, sampai sekarang aku pun tidak menemukan jawaban mengenai kecinaanku ini. Aku malah sekarang jadi mempertanyakan apakah aku ini? Cina yang bagiku sekarang ternyata hanya terkait dengan tubuh dan apa yang orangorang definisikan untukku. Dan terkait dengan tubuh juga, aku tidak mungkin menjadi Jawa. Entahlah... Pertanyaan suk gedhe arep dadi apa, masih belum bisa aku temukan jawabannya. Sudah dulu ya, sudah lewat tengah malam. Besok pagi ada banyak pesanan yang harus aku antarkan. Terima kasih sudah menemani.
139
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bab IV Refleksi Kritis atas Metode Autoetnografi
―Cilik-cilik Cina, suk gedhe arep dadi apa?‖ dengan kalimat itu saya sebagai seorang anak kecil kala itu, dilempar kedalam sebuah kenyataan yang menyatakan bahwa saya berbeda dari orang-orang di sekitar saya. Kenyataan bahwa dunia yang saya tinggali ini adalah dunia yang rasis. Suatu keadaan yang tidak bisa dihindari oleh saya sebagai objek yang dikenai, ataupun oleh orangorang mayoritas di sekitar saya. Kita sama-sama berada dalam pusaran wacana yang sama. Wacana yang menyatakan bahwa orang Cina itu berbeda dari orangorang pribumi, orang Cina itu kaya dan mengambil hak orang-orang pribumi sebagai pemilik rumah, orang Cina yang sipir dan pelit. Orang-orang yang sudah dilayaknya untuk diperas, dihindari, diperkosa, dan disingkirkan dari pandangan. Saya terlahir dan berusaha untuk bertahan hidup dalam situasi saya diliyankan dengan berbagai stereotipe itu dalam kehidupan sehari-hari selama ini. Kondisi yang pada awalnya membuat saya menolak kecinaan saya matimatian karena itu saya identifikasikan dengan stereotipe yang buruk, kesempatan yang terbatas, atau karena saya hanya sekadar berbeda dari kebanyakan orang di sekitar saya. Penelitian skripsi yang saya lakukan pada awalnya, ternyata tidak memberikan saya ruang yang cukup untuk memahami bahwa apa yang saya 140
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
alami adalah akibat dari konstruksi yang lebih besar yang melingkupi kita semua. Saya tidak memiliki kesempatan untuk merefleksikan apa yang saya alami, sehingga malahan ada kecenderungan diri saya untuk meliyankan kelompok saya sendiri. Saya pernah berpikiran bahwa orang-orang Cina ini layak untuk didiskriminasikan karena eksklusifitas ―mereka‖ sendiri, karena orang-orang Cina juga memandang rendah orang-orang pribumi di sekitar mereka. Ternyata keadaannya tidak sesederhana itu. Ketidaksederhanaan dalam berbagai wacana, pengalaman, perasaan, dan pemahaman yang berjalinkelindan ini sekarang bisa mendapatkan ruangnya dengan metode penelitian autoetnografi ini. Di sini saya mencoba untuk menggambarkan bagaimana pengalaman saya sebagai orang keturunan Cina yang sudah terlingkupi berbagai wacana dan bersentuhan dengan berbagai macam orang ini saya maknai dan saya refleksikan. Dalam metode autoetnografi ini, saya sebagai peneliti, tidak berada dalam posisi orang ketiga yang serba tahu dalam mengisahkan temuan-temuan saya. Di sini saya berada dalam sudut pandang orang pertama yang sama tidak tahunya dengan pembaca mengenai apa yang terjadi selama kisah ini berlangsung. Saya sama bertanya-tanyanya, atau bahkan malah saya yang paling banyak bertanya dan mengajak para pembaca sekalian untuk bertanya bersama saya. Metode penulisan ini juga memungkinkan dan memberikan ruang yang sangat luas dalam
141
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengisahkan bagaimana suatu penelitian akademis memengaruhi peneliti sebagai pribadi, sesuatu yang dihindari dalam penelitian yang lebih tradisional karena dianggap menghilangkan objektifitas. Menggambarkan bagaimana kompleksitas posisi saya ini juga bukanlah sesuatu yang sekali jadi. Membutuhkan beberapa kali percobaan agar tulisan saya ini bisa bertutur dan menggambarkan kompleksitas pengalaman dan wacana yang melingkupi ini dengan jujur dan lengkap, serta agar kisah ini tidak hanya menjadi kisah narsis tentang diri sendiri tanpa ada kontribusi akademis di dalamnya sebagaimana tujuan dari tulisan ini ada. Pada awalnya saya menuliskan kisah hidup saya secara kronologis dari masa kecil sampai saat ini begitu saja. Bercerita secara spontan mengenai pengalaman yang saya rasakan sebagai orang keturunan Cina. Ternyata saya diharapkan bisa memasukkan analisa di dalam kisah tersebut, sehingga analisa menyatu di dalam narasi. Saya kemudian mencoba membaginya secara tematis dan berbicara langsung kepada pembaca yang juga saya rasa masih belum sesuai. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan model surat menyurat. Surat-surat yang tidak benar-benar saya kirimkan, tetapi kawan saya itu adalah salah satu bagian yang nyata dari surat tersebut. Teman yang merupakan seorang Jawa sehingga akan berdiri di sisi yang berbeda dengan posisi saya. Teman yang kebetulan juga sedang menempuh pendidikan tinggi sehingga
142
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berbicara teori dengannya bukanlah sesuatu yang aneh. Dengan surat dan memiliki lawan bicara membuat saya lebih mudah untuk melakukan dialog dengan diri saya sendiri dan membangun plot yang saya harapkan bisa menghidupkan kisah ini dan membantu saya memaknai rasisme yang saya alami. Pemahaman yang kemudian saya dapatkan dengan menuturkan berulang kali apa yang pernah saya alami dan membacanya dengan kacamata teoretis. Dalam penelitian ini, Frantz Fanon membantu saya untuk memberi jarak dari pengalaman saya sendiri. Pengalaman dan kisah rasisme yang dituturkannya menjadi perbandingan akan pengalaman saya sendiri dan membantu saya memahami apa yang saya alami. Bagaimana sejarah Indonesia, wacana kolonial, relasi kekuasaan, perebutan sumber daya ekonomi, bisa berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari saya saat ini. Keadaan yang pada akhirnya membentuk diri saya, menentukan selera pasangan saya, membentuk tabiat saya, dan memengaruhi pilhan-pilihan hidup saya yang lain, hal-hal yang pada awalnya terjadi begitu saja dan saya sadari seiring dengan berjalannya penelitian ini. Proses menulis kisah yang sama berulang kali, menyusunnya kembali, memahaminya dengan berbagai kacamata baru seiring dengan pembacaan teori dan diskusi-diskusi yang saya lakukan ini rupanya menjadi suatu proses terapi bagi diri saya sendiri, Kisah yang pada awalnya membuat saya marah, sedih, dan bahkan putus asa dengan apa yang terjadi, perlahan mulai saya pahami. Sesuatu
143
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang pada mulanya sangat sakit untuk diucapkan, seiring waktu menjadi lebih bisa saya terima dan pahami. Di tengah berbagai perdebatan yang melingkupi metode penelitian ini, saya berterima kasih untuk kesempatan yang sudah diberikan oleh Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya sehingga saya bisa menggunakan metode autoetnografi sampai sejauh ini. Suatu proses penelitian yang di satu sisi terlihat mudah karena saya tidak perlu banyak terjun ke lapangan untuk mencari data. Di sisi lain, saya malahan tidak dapat pulang dari lapangan yang ada di dalam kepala saya sendiri. Setiap pengalaman seperti hanya bercakap-cakap dengan teman, bisa saja menjadi data penelitian penting yang membawa saya pada pemahaman baru akan kecinaan yang saya alami. Suatu proses penelitian yang tidak mudah walaupun saya menikmati setiap bagiannya. Tidak mudah bagi saya untuk memaparkan banyak detail kecil dalam kehidupan saya dan keluarga saya. Tidak mudah ketika harus menuliskan bahwa saya merasa berada di level yang lebih tinggi dari orang-orang di sekitar saya, seperti ketika saya merasa terhina dipanggil dengan Mbak oleh sesama orang keturunan Cina. Di satu sisi ada ketakutan bagaimana tanggapan pembaca saat membaca bagian tersebut, di sisi lain saya merasa mengingkari identitas diri saya sendiri sebagai seorang yang anti diskriminasi. Ternyata, saya juga sudah rasis sejak dalam pikiran.
144
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Saya menyadari bahwa dengan mengangkat tema ini juga membawa saya memasuki wacana mengenai kecinaan yang sudah banyak beredar saat ini, baik dalam masyarakat umum, maupun dalam dunia akademis pada khususnya. Wacana yang yang banyak saya temukan berbicara mengenai identitas kecinaan dan keindonesiaan yang masih dipertentangkan atau dicarikan ruang ketiganya ketika menjadi keduanya tidak dimungkinkan. Tulisan ini mencoba memberikan suara yang berbeda mengenai bagaimana menjadi orang kturunan Cina itu dimaknai dan dirasakan. Bagaimana pencarian identitas itu membuat saya menyadari bahwa saya tidak bisa benar-benar menjadi ini atau itu, saya tidak bisa hanya menjadi Indonesia, menjadi Cina, menjadi Jawa, atau menjadi Katolik. Semua identitas itu berkontestasi dalam diri saya dan memunculkan diri pada saat di mana dirinya menjadi relevan dan dibutuhkan. Saya, sebagai individu, sudah menjadi hibrid dengan begitu saja, tetapi terkadang dunia yang mengkotakkan saya berdasarkan penampilan fisik saya. Suatu proses yang saya rasakan membuat saya terus terbentur-bentur, namun dari situ saya jadi memahami bahwa apa yang ada dalam diri saya ini, bukanlah hal yang sudah sewajarnya atau selayaknya terjadi. Saya berbicara dengan banyak orang mengenai kecinaan saya selama penelitian ini berlangsung, dan saya juga menjadi disadarkan, bahwa apa yang saya rasakan biasa saja ternyata adalah hal
145
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang menakutkan. Saya memahami bahwa menerima diperlakukan tidak layak itu adalah sesuatu yang ―sakit‖. Rasisme yang ternyata bekerja dengan merasuk ke dalam pikiran kita dan membuat kita sebagai subjek tidak menyadari bahwa apa yang terjadi pada diri kita itu adalah suatu ketidakadilan dan diskriminasi. Sesuatu yang juga tidak disadari oleh para pelaku yang menyebut kami ini Cina karena mereka samasama berada dalam wacana yang sama yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan dan katakan itu adalah keadaan yang sebenarnya dan sudah selayaknya dilakukan dengan cara demikian. Belum lagi ketika ada legitimasi dari kekuasaan yang lebih besar seperti negara. Di sisi lain, kelumrahan yang terjadi ini membuat pihak yang menjadi korban juga tidak bisa melakukan perlawanan, Jika hal itu lumrah, kenapa harus dilawan, jangan-jangan kami yang terlalu sensitif atau tidak bisa diajak bercanda. Pemikiran itu sempat ada dalam pikiran saya, jangan-jangan diskriminasi ini hanya ada dalam perasaan saya saja, dan saya tidak perlu melawannya. Proses penulisan ini membantu saya untuk bisa menyatakan yang sebaliknya. Sehalus apapun diskriminasi itu terjadi, selumrah apapun itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari, apa yang terjadi tetaplah suatu ketidakadilan. Seperti ketika saya bercerita bagaimana saya belajar berbicara bahasa Jawa, atau ketika saya memutuskan untuk membuang panggilan Kokoh kepada Daniel.
146
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bapak St. Sunardi dalam suatu sesi konsultasi, mengomentarinya sebagai suatu hal yang ternyata begitu besar, katanya, saya membuang kebiasaan baik dalam keluarga, saya ―mengorbankan‖ keluarga saya. Saya tidak menyadari hal itu. Sama seperti teman-teman saya yang dengan biasa saja berbicara mengenai kecinaan. Bukan saya yang terlalu sensitif ketika tersinggung dengan semua kata Cina yang diungkapkan kepada saya sehingga saya merasa marah dan terhina. Bukan salah mereka juga yang merasa biasa saja membahas hal terebut. Kami hanya berada dalam dua sisi wacana yang berbeda. Mereka tumbuh dengan berlajar Cina adalah Liyan dengan berbagai stereotipe yang mengikutinya, sedangkan saya tumbuh dan belajar bahwa saya adalah Liyannya dengan stereotipe yang sama. Stereotipe tandingan yang berasal dari kelompok Cina sendiri, tidak bisa berpengaruh banyak karena relasi kuasa mayoritas-minoritas. Ke depannya, saya ingin mencoba menggali dari sisi yang lain, dari sisi masyarakat mayoritas. Bagaimana pandangan mereka mengenai orang keturunan Cina di sekitar mereka. Ketidaksadaran apa yang ada di dalam pikiran banyak orang mengenai orang keturunan Cina. Suatu penggalian yang saya rencanakan menggunakan metode representasi sosial. Saya berharap, jika apa yang tidak disadari mengenai kelompok minoritas ini bisa dimunculkan, maka pandangan itu seiring dengan waktu akan bisa diubah menjadi sesuatu yang tidak menimbulkan perpecahan dan penyerangan. Itu yang saya harapkan.
147
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pada akhirnya, saya merasa tidak lagi bisa mendefiniskan diri saya sebagai Cina, selain dari tubuh saya, tetapi saya juga tidak bisa mendefinisikan diri saya sebagai yang lain. Saya hanya ingin berkata, bahwa, marginalisasi, penyingkiran, baik itu berdasarkan ras, agama, kelas, atau kategori sosial apapun, itu sakit, tetapi entah bagaimana, sulit untuk dihindari. Mengutip Frantz Fanon dalam akhir bukunya, ―O my body, always make me
a man (woman) who questions!‖
148
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Daftar Pustaka
Adams, Tony E., Stacy Holman Jones and Carolyn Ellis (2015). Autoethography
Understanding Qualitative Research. New York, Oxford University Press. Anderson, Leon (2006). "Analytic Autoethnography." Jounal of Contemporary
Ethnography Volume 35 Number 4: 373-395. Ang, Ien (2001). On Not Speaking Chinese, Living between Asia and the West . New York, Routledge. Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths and Helen Tiffin (1998). Key Concepts in Post-
Colonial Studies. London, Routledge. Bhabha, Homi K. (1986). Foreword To the 1986 Edition, Remembering Fanon: Self, Psyche and the Colonial Condition. Black Skin White Mask. London, Pluto Press: xxi-xxxvi. Chang, Heewon (2008). Autoethnograpy as Method. California, Left Coast Press, Inc. Daradjadi (2013). Geger Pacinan 1740-1743, Persekutuan Tionghoa-Jawa
Melawan VOC. Jakarta, Penerbit Buku Kompas. Darmawan, Darwin (2014). Identitas Hibrid Orang Cina. Yogyakarta, Gading Publishing. Delamont, Sara (2007). Arguments againts Auto-Ethnography. Quality: 2-4. Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln (2009). Handbook of Qualitative
Research Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Ellis, Carolyn (2004). The Ethnographic I A Methodological Novel About
Autoethnography. United States of America, AltaMira Press.
149
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ellis, Carolyn and Arthur P. Bochner (2000). Autoethnography, Personal Narrative, Reflexivity. Handbook of Qualitative Research 2nd Edition. N. K. Denzin and Y. S. Lincoln. California, Sage Publication. Fanon, Frantz (1952). Black Skin White Masks. New York, Grove Press. Fanon, Frantz (2016). White Skin, Black Masks Kolonialisme, Rasisme, dan
Psikologi Kulit Hitam. Yogyakarta, Jalasutra. Furnivall, J. S. (2009). Hindia Belanda Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta, Freedom Institute. Gordon, Lewis R. (2015). What Fanon Said. New York, Fordham University Press. Gungwu, Wang (2000). Orang Etnis Cina Mencari Sejarah. Harga yang Harus
Dibayar, Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia I. Wibowo. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. Hayano, David (1979). "Auto-Ethnography: Paradigms, Problems, and Prospects."
Human Organization Vol. 38, no. 1: 99-104. Hemmingson, Michael (2008). Zona Norte: The Post-Structural Body of Erotic
Dancers and Sex Workers in Tijuana, San Diego and Los Angeles: an Auto/ethnography of Desire and Addiction. Cambridge, Cambridge Scholar Publishing. Hoon, Chang-Yau (2012). Identitas Tionghoa Pasca-Suharto; Budaya, Politik, dan
Media. Jakarta, Yayasan Nabil dan LP3ES. Hui, Audrey Yu Jia (2014). Mellow Yellow Drama. Yogyakarta, Bentang Pustaka. Johnson, Amber L. (2014). Negotiating More, (Mis) labeling the Body: A tale of Intersectionality. Critical Autoethnography. California, Left Coast Press, Inc: 81-95. Kwartanada, Didi (2013). Bukan Incorrigible Opportunists, Melainkan Kawan Seperjuangan! Mengambil Hikmah dari Aliansi Tionghoa-Jawa Vs Kompeni (1741-1743). Geger Pacinan. Jakarta, Penerbit Buku Kompas. 150
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kwartanada, Didi (2015). Perang Jawa (1825-1830) dan Implikasinya pada Hubungan Tionghoa-Jawa Orang Cina, Bandar Tol. Candu, & Perang Jawa,
Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825. Jakarta, Komunitas Bambu. Lincoln, Yvonna S. and Norman K. Denzin (2003). Turning points in qualitative
research: tying knots in hankerchief. Walnut Creek, CA, Alta Mira Press. Lombard, Denys (1996b). Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. Loomba, Ania (2003). Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta, Bentang Pustaka. Lykke, Nina (2010). Feminist Studies A Guide to Intersectional Theory,
Methodology and Writing. New York, Routledge. Marzali, Amri (2007). Apakah Etnografi? (kata pengantar). Metode Etnografi. Yogyakarta, Tiara Wacana. Onghokham (2005). Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta, Komunitas Bambu. Onghokham (2008). Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina. Sejarah Etnis
Cina di Indonesia. Jakarta, Komunitas Bambu. Pattiradjawane, Rene L. (2000). Peristiwa Mei 1998 di Jakarta: Titik terendah Sejarah orang Etnis Cina di Indonesia. Harga yang Harus Dibayar, Sketsa
Pergulatan Etnis Cina di Indonesia. I. Wibowo. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama: 213-252. Prakasa, Ernest (2015). Ngenest, Starvision. Purdey, Jemma (2006). Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1998. Singapore, Singapore University Press. Satria, Jeffrey, Ade Sulaeman, Feny Christine, Novani Nugrahani and Eka An Aqimuddin (2012). Mencari Jati Diri Peranakan Tionghoa. Intisari. Jakarta, Kompas Gramedia No.589 162-175.
151
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Saukko, Paula (2003). Doing Research in Cultural Studies, An Introduction to
Classical and New Methodological Approach. London, Sage Publication. Saukko, Paula (2008). The Anorexic Self, A Personal, Political Analysis of
Diagnostic Discourse. Albany, State University of New York Press. Somekh, Bridget, Erica Burman, Sara Delamont, Julienne Meyer, Malcolm Payne and Richard Thorpe (2005). Research Communities in the Social Sciences.
Research Method in the Social Sciences. B. Somekh and C. Lewin. London, Sage Publication Ltd. Vidich, Arthur J. and Stanford M. Lyman (2009). Metode Kualitatif, Sejarahnya dalam Sosiologi dan Antropologi. Handbook of Qualitative Research. N. K. Denzin and Y. S. Lincoln. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Wall, Sarah (2008). "Easier Said than Done: Writing an Autoethnography."
International Journal of Qualitative Methods: 38-53. Wetson, Kath (2010). Me, Myself, and I. Theorizing Intersectionality and
Sexuality. Y. Taylor, S. Hines and M. E. Casey. Hampshire, England, Palgrave Macmillan. Wibowo, I. and Thung Ju Lan (ed.) (2010). Setelah Air Mata Kering, Masyarakat
Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998. Jakarta, Penerbit Buku Kompas.
152