Tiap Individu Mesti Peduli dengan Potensi Kebakaran di Sekitarnya UNAIR NEWS – Pelatihan Upaya Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja dilaksanakan di Aula Sumarto Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Senin pagi (14/11). Event yang menurut rencana akan digelar selama dua hari berturut-turut ini merupakan rangkaian kegiatan Dies Natalis UNAIR ke-62. Para peserta dan undangan yang hadir tidak hanya dari internal kampus, ada juga peserta dari perguruan tinggi dan institusi lain, serta masyarakat umum. Pelatihan ini terselenggara atas kerja sama FKM UNAIR dengan Sub Direktorat K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) UNAIR. Hadir sebagai pembicara di hari pertama, Dr. A. Siswanto (pengenalan potensi bahaya kebakaran di tempat kerja), Sho’im Hidayat, dr., M.KKK (analisis risiko bahaya kebakaran), Dr. Setya Haksama drg., M.Kes dan M. Farid Dimyati Lusno, dr., M.KL., (keduanya berbicara tentang manajemen bencana), serta Mulyono S.KM., M.Kes (pengenalan sarana proteksi kebakaran aktif dan pasif). Sedangkan di hari kedua, hadir sebagai pemateri Dr. M. Nurtam., Drs., MM. dan Dani Nasirul Haqi, S.KM., M.KKK. Mereka akan menyampaikan soal tanggap darurat kasus kebakaran serta memandu simulasi penanganan kebakaran. “Dengan pelatihan ini, para peserta akan memiliki wawasan yang baik tentang cara pencegahan, hingga penanganan kebakaran. Yang tak kalah penting, meningkatnya pengetahuan untuk mengidentifikasi potensi bahaya kebakaran,” kata Dr. Setya Haksama, panitia kegiatan ini. Dia menjelaskan, banyak pihak yang masih belum peduli pada potensi kebakaran di tempat dia berada. Khususnya, bila yang bersangkutan tengah ada di dalam sebuah gedung. Semestinya,
dia memiliki kesadaran tentang apa yang akan dilakukannya bila tiba-tiba terjadi kebakaran. “Sehingga, bila bencana itu memang terjadi, kerugian bisa diminimalkan,” ungkap dia. Kesadaran tentang jalur evakuasi, titik kumpul, dan lainnya, masih belum terlampau baik. Maka itu, melalui pelatihan ini, topik ini terus digelorakan. Biar menjadi pemicu kepedulian yang bersifat konstruktif. (*) Penulis: Rio F. Rachman Editor : Dilan Salsabila
Setelah Dokter Turun ke Jalan PEMERINTAH melalui Kementerian Kesehatan dan Kemenristek Dikti telah membuka program studi Dokter Layanan Primer (DLP). Pemerintah berharap DLP ini dapat meningkatkan kemampuan dokter yang berada di layanan primer, sehingga mampu menekan angka rujukan ke rumah sakit, yang kemudian diharapkan berujung pada penekanan biaya pengobatan masyarakat. Namun dalam perjalanannya, program DLP ini mendapat pertentangan dari berbagai pihak, utamanya para dokter yang menjadi subyek dari kebijakan pemerintah. Di mata Ikatan Dokter Indonesia (IDI), DLP ini ibarat menutup asap tanpa mematikan api. Hasilnya akan sia-sia. Mengapa dikatakan siasia? Karena akar permasalah kesehatan di Indonesia bukan terletak pada kemampuan dokter semata, melainkan dari banyak faktor. Ada keganjilan dalam UU No 20 Tahun 2013 karena memasukkan DLP sebagai spesialisasi baru di bidang kedokteran. Dalam UU tertulis program DLP merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter
spesialis. Disisi lain, UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis. Kita tidak mengenal istilah DLP, jadi secara hukum, kewenangan dan area pekerjaan akan rawan tumpang tindih dengan profesi dokter yang sudah ada. Keganjilan kedua, saat ini terdapat 114,602 dokter umum (data KKI, Oktober 2016), sedang yang boleh membuka sekolah DLP hanya Fakultas Kedokteran (FK) yang terakreditasi A, yang saat ini jumlahnya “hanya” 17 dari 75 FK yang ada di Indonesia (belum termasuk FK yang baru berdiri). Bisa diperhitungkan perlu waktu puluhan tahun untuk men-DLP-kan semua dokter umum yang akan bekerja di layanan primer. Itupun belum termasuk 8.000 dokter baru yang terus dihasilkan setiap tahunnya. Meskipun pemerintah menyatakan akan membiayai program DLP ini, hal itu sangat tidak efisien dan malah membebani negara. AKAR MASALAH KESEHATAN Masyarakat perlu tahu bahwa DLP bermula dari tuduhan pemerintah yang menyatakan bahwa tingginya angka rujukan ke rumah sakit disebabkan kompetensi dokter umum yang masih minim. Perlu dicatat bahwa kompetensi dokter memang salah satu faktor yang berperan dalam suatu rujukan, namun itu bukan hal utama yang dihadapi di Indonesia saat ini. Menurut Hendrik L. Blum, Guru Besar Administrasi Kesehatan dari University Of California Berkeley, terdapat empat faktor yang mempengaruhi tingkat kesehatan manusia; yaitu kesehatan lingkungan, perilaku manusia, pelayanan kesehatan, dan genetik. Faktor Pertama, kesehatan lingkungan. Baru-baru ini DPR mendesak pemerintah untuk memperkuat infrastruktur air bersih. Berdasarkan penilaian BPPSPAM, kondisi PDAM yang sehat hanya 50% dari total PDAM yang ada. Sisanya masuk katagori kurang sehat dan sakit. Padahal 60-70% komposisi tubuh manusia adalah
air. Kemudian masalah kesediaan pangan. Dalam laporan FAO (Food and Agriculture Organization/Organisasi Pangan Dunia) pada tahun 2015 ditemukan hampir 37% atau 7,6 juta balita di Indonesia mengalami stunting (kekerdilan) karena terhambat pertumbuhannya akibat kekurangan gizi. Faktanya, Indonesia belum bisa menjadi negara swasembada pangan. Beras, kedelai, gula, dan daging saja kita masih impor. Ini sangat memprihatinkan para dokter. Untuk sekedar mendapatkan air bersih dan makanan yang sehat untuk kehidupan sehari-hari saja masih susah. Lantas dokterkah yang dipersalahkan ketika kondisi ini menyebabkan penyakit kronis yang berujung pada tingginya angka rujukan? Faktor
kedua,
perilaku
manusia.
Tersedianya
sarana
dan
prasarana kesehatan lengkap yang tanpa disertai perubahan perilaku manusia, akan sia-sia. Meningkatnya insiden penyakit metabolik seperti diabetes, stroke, dan penyakit jantung koroner disebabkan karena gaya hidup yang tidak sehat. Gaya hidup seperti makan makanan berlemak, merokok, minum alkohol, jarang berolahraga akan memicu penyakit metabolik kronis yang berujung pada rujukan ke rumah sakit yang memiliki fasilitas terapi penyakit metabolik itu. Faktor ketiga, pelayanan kesehatan. Setinggi apapun kompetensi dokter, tetap tidak akan bisa menangani penyakit yang jadi bidang keahliannya jika fasilitas dan obat tidak tersedia. Sudahkah kita melihat kondisi sarana dan prasarana kesehatan di Puskesmas atau fasilitas kesehatan layanan primer? Apakah alat kesehatan dan obat-obatan sudah tersedia lengkap sehingga dokter tidak perlu merujuk? Fakta menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan belum terdistribusinya dokter di Indonesia secara merata. Masih banyak Puskesmas belum memiliki dokter. Kekosongan Puskesmas ini yang semestinya menjadi prioritas pemerintah. Dibandingkan menyekolahkan dokter umum untuk mengikuti DLP, alangkah baiknya pemerintah memfasilitasi dan menjamin agar kekosongan ini dapat teratasi.
Faktor keempat, faktor genetik. Faktor ini paling kecil perannya dibandingkan ketiga faktor lainnya. Namun bisa kita cermati lebih lanjut. Anak yang lahir dari orangtua penderita kanker memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker dibandingkan anak yang lahir dari orang tua bukan penderita kanker. Walau hal in dapat diminimalisasi dengan melakukan pola hidup sehat dan deteksi kanker secara dini. Semakin banyak penduduk memiliki penyakit bawaan akan semakin sulit pula upaya meningkatkan kualitas kesehatan di Indonesia. SOLUSI SELAIN DLP Pemerintah mengatakan, perbedaan dokter umum dan DLP adalah DLP memiliki kompetensi lebih dibandingkan dokter umum, karena nantinya DLP akan dibekali pendidikan tambahan berupa dokter keluarga dan kesehatan masyarakat. Hodgetss dan Cascio membagi dua pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan perorangan, dimana pelayanan kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh ahli kesehatan masyarakat dengan perhatian utama pada upaya memelihara kesehatan rakyat dan mencegah penyakit. Lantas, mengapa kita tidak bekerjasama dengan teman-teman dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) untuk memperkuat layanan primer? Untuk apa pemerintah membuka FKM jika para tenaga kesehatan tidak bersatu memperkuat layanan primer? Dokter dan ahli kesehatan masyarakat serta tenaga kesehatan lain dapat bahu-membahu meningkatkan derajat kesehatan masyarat di level primer. Memperkuat kompetensi dokter di layanan primer adalah keharusan. Pemerintah perlu melihat masalah ini dari hulu hingga hilir. FK sebagai “pabrik” dokter umum ini kondisinya masih belum merata. Hanya 22,6% FK yang terakreditasi A. Sisanya masih B dan C (KKI dan BAN PT 2016). Bukannya malah berupaya meningkatkan kualitas FK yang ada, Kemenristek Dikti malah membuka moratorium dan mendirikan delapan FK baru tahun ini. Pemerintah perlu berkomitmen untuk lebih serius dalam
meningkatkan kualitas, bukannya malah fokus pada kuantitas dalam pengembangan pendidikan kedokteran. Fakultas Kedokteran yang baik tentu akan menghasilkan dokter yang baik dan kompeten pula. IDI membawa usulan lebih realistis. Indonesia ini luas dan sangat beragam, hingga kebutuhan kompetensi dokter juga belum “seragam”. Misalnya DLP yang bekerja di daerah industri membutuhkan keterampilan berbeda dengan yang bekerja di daerah pesisir/pedalaman. Akan lebih realistis bila peningkatan kompetensi dokter yang bekerja di layanan primer menimba keterampilan dengan sistem “shopping” di Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) sesuai kebutuhannya. Disini, jelas penguatan P2KB lebih realistis. Semua solusi sudah tersedia, tinggal menunggu komitmen pemerintah. Ada pepatah yang mengatakan: “Di setengah kehidupan kita mengorbankan kesehatan untuk mendapatkan uang. Di setengah lainnya kita mengorbankan uang untuk mendapatkan kembali kesehatan.” Tentu pembangunan infrastruktur itu penting, tetapi jangan lupa untuk juga membangun manusianya. (*) Editor: Bambang Bes
FKM Gelar Seminar Internasional Bahas Kesehatan dan Lingkungan UNAIR NEWS – Dalam rangka memperingati Dies Natalis Universitas Airlangga ke-62, Fakultas Kesehatan Masyarakat akan mengadakan Seminar Internasional yang bertajuk “1st SEHAT
(Seminar on Environment and Health) Toward SDG’s Achievement 2030: Integration System on Environment and Health Sustainability”. Seminar ini akan digelar pada hari Selasa dan Rabu, 8 – 9 November 2016, di Ruang Kahuripan 300, Kantor Manajemen UNAIR. Selaku Ketua Panitia dan juga salah satu pembicara dalam seminar ini, Dr. R Azizah, SH., M.Kes mengatakan bahwa tujuan utama dari seminar ini yaitu menambah pemahaman masyarakat tentang kesehatan dan lingkungan. Selain itu, seminar ini diharapkan menjadi wadah dalam pertukaran informasi dari beberapa disiplin ilmu yang berkaitan dengan permasalahan kesehatan dan lingkungan. “Tujuan dari seminar ini yang paling penting juga mengenalkan hasil riset perguruan tinggi. Perguruan tinggi kan memiliki hasil riset yang bagus. Kami berharap dari pertemuan di seminar ini, hasil riset tersebut bisa dijadikan rekomendasi untuk kebijakan daerah. Maka dari itu, kami juga menggandeng beberapa pemangku kebijakan dari Bappeda, DPRD, dan juga perusahaan swasta,” ujar Azizah. Selain Azizah, Seminar internasional ini nantinya akan diisi oleh beberapa praktisi, antara lain Veronique Mothelin (Direktur Institute Fraincais Indonesia – Surabaya), Prof. Dato’ Dr. Nik Muhammad Nik Abd Majid ( University Putra Malaya), H. Bambang Wahyudi, SKM., MM., M.Kes (Ketua HAKLI), Drs. Bambang Wispriono, Apt., Ph.D (Ketua EHSA), Dr. Ir. H. RB Fattah Jasin, MS (Ketua Bappeda JATIM), Ir. Rizkian Chandra (Direktur PT. Semen Gresik), dr. Agung Mulyono (Ketua Komisi E DPRD JATIM), Dr. –ing. Hendra Wicaksono ( Dosen Karlsruhe Intitute of Technology Germany), Dr. Dr. Tri Edhi B. S, M.Si (Dosen Universitas Indonesia) dan Mr. Sharad Adykary dari World Health Organization (WHO) yang menjadi Keynote Speaker dalam seminar tersebut. Azizah berharap, seminar internasional ini mampu menjembatani stakeholder perusahaan swasta dan organisasi profesional,
untuk bertukar informasi dan juga memungkinkan adanya kerja sama dalam mewujudkan lingkungan yang sehat. Karena perusahaan swasta juga memegang peran penting dalam mewujudkan lingkungan sehat sesuai dengan program CSR di setiap perusahaan. Hari kedua dalam seminar tersebut juga diadakan City Tour. Peserta seminar akan diajak berkeliling Jembatan Suramadu, Tugu Pahlawan, dan Hutan Mangrove. Untuk Informasi lebih lanjut mengenai Seminar Internasional ini bisa menghubungi CP: Marwah 085299654175, Edza website sehat.unair.ac.id
082245433262
Atau kunjungi
Penulis : Faridah Hariyani Editor : Dilan Salsabila
Raih Posisi Kedua Lomba Kewirausahaan di Universitas Sriwijaya UNAIR NEWS – Prestasi membanggakan kembali ditorehkan mahasiswa Universitas Airlangga. Kali ini, tiga mahasiswa UNAIR berhasil meraih juara II dalam kompetisi kewirausahaan yang dilaksanakan di Universitas Sriwijaya, Minggu (30/10). Mereka mengusung produk unggulan berupa tas feminin yang terbuat dari batok kelapa. Ketiga mahasiswa yang mengikuti kompetisi kewirausahaan bertajuk “Business Plan Competition Sriwijaya: Inovasi Pengusaha Muda dalam Mengembangkan Produk Budaya Lokal” tersebut yaitu Heti Kristina (Fakultas Kedokteran Hewan/2013),
Vincentius Chrisma (FKH/2014), dan Ayunda Zilul (Fakultas Kesehatan Masyarakat/2013). Tas batok kelapa bermerek Bag Coco Art dipresentasikan dalam kompetisi kewirausahaan yang diselenggarakan di Universitas Sriwijaya selama lima hari, terhitung sejak tanggal 27 – 31 Oktober 2016. Pada babak penyisihan awal, kompetisi diikuti oleh ratusan peserta. Ketika kompetisi sudah mengerucut ke babak final, dipilih sekitar 12 finalis, salah satunya adalah Heti dan tim. Sebelum mencapai final, setiap peserta diminta untuk mengirimkan proposal bisnis. Proposal yang terpilih dipresentasikan dan direview oleh tim penilai. Dalam kompetisi tersebut, mereka memilih subtema inovasi produk dan kerajinan. Heti bercerita, Bag Coco Art merupakan inovasi yang ia tuangkan dalam proposal Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) tahun 2015. “Bag Coco Art merupakan produksi tas yang kami bina melalui program PMW tahun 2015,” tutur Heti. Selain presentasi proposal bisnis, finalis diberi permasalahan untuk meningkatkan produktivitas ekonomi di suatu desa. Mereka memilih untuk mengelola permasalahan produktivitas sesuai dengan latar keilmuan yang mereka memiliki, yakni di bidang kedokteran hewan. “Bagaimana kita bisa menginovasi daerah agar menjadi lebih produktif. Pada saat business case itu, kita bikin peternakan yang terintegrasi. Judulnya, Integrated Breeding Village untuk Desa Muara Penimbung Ilir di Sumatera Selatan. Untuk business case, kami mengangkat peternakan yang terintegrasi karena basic kami kedokteran hewan,” tutur Heti. Selain business case, mereka juga beradu ketangkasan dan kekompakan dalam lomba cerdas cermat bisnis. Lomba yang dikemas dalam “Sharpening Knowledge” itu merupakan cerdas cermat yang menguji wawasan peserta tentang pengetahuan
bisnis, pengetahuan umum, dan kesenian daerah. Ditanya soal kiat-kiat meraih kemenangan, mahasiswa tahun akhir di FKH UNAIR itu mengaku, kerja sama dan kekompakan tim menjadi tumpuan bagi mereka. Ia mengakui kompetisi ini menjadi tantangan baginya dan tim yang sama sekali tidak memiliki latar belakang bisnis dan ekonomi. “Kami basic-nya bukan bisnis dan ekonomi. Kiatnya, kerjasama dan kekompakan. Jadi, ini merupakan pertama kalinya bagi kami mengetahui hal di luar ranah kami, misalnya ada business case yang kami tidak memiliki basic tentang itu. Termasuk sharpening, maka itu kami belajar terlebih dulu mengenai bisnis,” aku Heti. (*) Penulis : Defrina Sukma S Editor
: Binti Q. Masruroh
Bulan Peduli Kanker Payudara 2016 Bersama FKM UNAIR Banyuwangi UNAIR NEWS – Our Days Breast Cancer Awardness Day merupakan serangkaian acara dalam peringatan Bulan Peduli Kanker Payudara 2016 yang diselenggarakan oleh mahasiswa bersama dosen program studi kesehatan masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) PDD Universitas Airlangga di Banyuwangi. Kegiatan itu dilaksanakan di Balai Desa Kampung Mandar, Banyuwangi, yang berakhir Sabtu (15/10) lalu. Menurut Rizka Khawari (20), ketua pelaksana kegiatan, ODBCAD ini bertemakan “Peningkatan pengetahuan dan Deteksi Dini
Kanker Payudara Melalui SADARI pada ibu PKK Kampung Mandar”. Tujuannya untuk mengajak masyarakat Banyuwangi agar turut berperan aktif dan peduli terhadap kesehatan payudara untuk meminimalkan prevalensi kanker payudara di Banyuwangi. Hadir pada kegiatan ini antara lain Suciati (40), Ketua PKK Kecamatan Banyuwangi, untuk men-support ibu-ibu PKK setempat. ”Kegiatan ini dikemas dalam bentuk talkshow sederhana dengan narasumber dr. Abdul Hanan Sp.B-Onk, alumni UNAIR tahun 2002 bersama dengan Siti Romlah, survivor penderita kanker payudara yang sudah sembuh, dan ditemani Adi Suraya, suami survivor,” katanya. Faris Mohammad HM (20), wakil ketua pelaksana, menjelaskan, kegiatan ini merupakan bentuk promosi kesehatan kepada masyarakat, utamanya wanita paruh baya. Dalam hal ini 50 orang ibu-ibu PKK Kampung Mandar yang berusia 35 tahun keatas. Dengan demikian mereka diharapkan mengetahui bahaya, gejala, epidemiologi, pengobatan kanker payudara, dan juga deteksi dini kanker payudara melalui praktik SADARI. Adi Suraya, suami Siti Romlah (survivor) berharap kegiatan ini tidak hanya diikuti para ibu-ibu, tetapi juga suaminya. Mengapa? Ketika dirinya mengantar istrinya, banyak diantara ibu-ibu yang hendak menjalani operasi itu merasa iri karena tidak diantar oleh suaminya, jadi merasa seperti tidak didukung suaminya. ”Mengingat kanker payudara itu bahaya, dan pengambil keputusan dalam keluarga itu suami, rasanya miris saya mendengar curhatan ibu-ibu teman istri saya,” kata Adi Suraya. Dijelaskan oleh dr.Abdul Hanan, kanker payudara merupakan penyakit yang berbahaya, gejala awalnya jarang terdeteksi. Untuk tumbuh sebesar 1 Cm saja butuh waktu delapan tahun, namun akan sangat cepat merambat menjadi 10 Cm dalam waktu tiga tahun kemudian. Kanker ini akan bergerak sangat cepat ketika masuk stadium IV dimana sangat kecil kemungkinan pasien
bisa bertahan hidup, katanya. Menurut Mujiati (40), kegiatan ini sangat bermanfaat. Ia jadi mengerti caranya melakukan pemeriksaan payudara sendiri. Selain itu, pengetahuan terkait bahayanya kanker payudara yang begitu cepat, semakin menyadarkan diri akan pentinya deteksi dini. Ia berharap kegiatan ini tak hanya berhenti sampai disini, tetapi dapat diteruskan untuk ibu-ibu di wilayah lainnya agar mereka juga tahu resiko kanker ini. (*)
Penulis: Siti Mufaidah Editor : Bambang Bes
Prestasi Sejak SMA, Indah Lutfiya Lulus Terbaik S-1 FKM UNAIR UNAIR NEWS – Selain disebut sebagai kota metropolitan, Surabaya juga merupakan penyumbang jumlah remaja terbanyak nomor dua di Jawa Timur. Namun dengan fakta tersebut, ternyata upaya promosi kesehatan (Promkes) reproduksi remaja belum dilakukan secara optimal. Kebanyakan Promkes saat ini lebih difokuskan pada balita. Sehingga salah satu dampaknya, sebanyak 46,7% remaja tidak siap dengan menarche (saat pertama menstruasi) dan ini berdampak pada vulva hygiene yang buruk. Topik itulah yang diangkat menjadi skripsi oleh Indah Lutfiya, wisudawan terbaik S-1 Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga. Ia berhasil merampungkan studi dengan meraih IPK 3,88. Perempuan asal Jombang ini mengaku,
keberhasilannya menjadi wisudawan terbaik ini tak lepas dari sikap disiplin yang ia lakukan dalam menjalani rangkaian kegiatan perkuliahan. “Kunci utama yang harus dilakukan dalam mencetak keberhasilan ini yaitu harus membuat timeline kegiatan dan membuat rencana target dalam hidup. Selain itu kita harus fokus dan konsisten dengan timeline yang sudah kita buat. Kalaupun di tengah jalan rencana itu tidak tercapai, kita harus memikirkan planning lain, sehingga tidak stagnan di tengah jalan,” katanya. Baginya, kenikmatan hidup yang diberikan oleh Tuhan senantiasa menjadikannya sebagai pribadi yang pandai bersyukur. Bersama Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) MAPANZA dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKM, Indah belajar bahwa sebagai seorang terpelajar sebisa mungkin bisa memberikan manfaat bagi orang lain. “Never stop to learn and share your life by giving to each other” begitu motto Indah saat terjun di masyarakat. Selama menjadi mahasiswa, ia tak merasa canggung untuk membaur dan sharing dengan komunitas ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), berdiskusi dengan waria atau gay, menelisik panti rehabilitasi NAPZA, dan berbincang dengan anak jalanan yang tergabung dalam komunitas Save Street Children (SSC). Beragam kegiatan itu menjadi memori manis dalam catatan Indah saat di bangku kuliah. Padatnya kegiatannya juga tak menyurutkan semangatnya dalam berkarya. Dibalik sukses itu, ternyata saat menempuh sekolah di SMA dulu, Indah juga sering meraih prestasi. Diantaranya pernah memperoleh Juara II Kelas Paralel se-SMAN III Jombang, Juara II Cerdas Cermat lomba UKS se-Kabupaten Jombang tahun 2010. Tahun 2014 lolos Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) yang membahas tentang kusta yang didanai DIKTI. (*) Penulis: Disih Sugianti
Editor: Binti Q. Masruroh
Berkat Semangat Orang Tua, Ika Meylan Wisudawan Terbaik S2 FKM UNAIR NEWS – Mengukur kondisi bahaya di lingkungan kerja yang berasal dari faktor fisik dan kelelahan dari para pekerja, menjadi fokus penelitian tesis Wisudawan Terbaik S-2 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Ika Meylan Christina Harahap. Ia sukses menyelesaikan studi dengan memperoleh IPK nyaris sempurna, yaitu 3.98. Penelitian yang dilakukan fokus pada faktor fisik dan kelelahan berdasarkan dua indikator, yaitu sensitivitas dan spesifisitas. Dengan tesisnya itu, ia memberikan gambaran umum jenis pekerjaan dan alat ukur asam laktat apa yang cocok bagi pekerja. Tesis dengan judul “Pengaruh Paparan Faktor Fisik Terhadap Kelelahan pada Para Pekerja di Bagian Weaving dan Office PT. X Surakarta” ini akhirnya mengantarkan Ika menjadi wisudawan terbaik September 2016. “Semuanya itu tidak ada yang sempurna. Tapi saya selalu berusaha melakukan apapun dengan cara sesempurna mungkin,” sebuah prinsip yang selalu Ika pegang selama menjalani studi sejak masih menempuh studi Sekolah Menengah Atas sampai dengan perolehan gelar magister. Mahasiswa kelahiran 18 Mei ini mengaku, kuliah itu tidak lain merupakan ‘seni’ menguji kesabaran dan keuletan mahasiswa. Berdasarkan pengalaman yang ia peroleh dari mengikuti profesional penggerak K3 bernama Health Safety Environment
(HSE) Indonesia wilayah Jawa Timur, mengajarkan Ika cara belajar bernegoisasi dan melakukan pendekatan ke perusahaan. Selain memunculkan motivasi dari diri sendiri, dukungan orangtua merupakan motivasi terbesar yang sangat berpengaruh baginya. Mahasiswa yang pernah mendapatkan pendanaan dari Kopertis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) saat masih studi S-1 tersebut, sekarang tergabung dalam Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PJK3) Surabaya. “Yang sangat memotivasi saya selama ini tidak lain adalah orang tua. Ibaratnya kita diberi gaji secara cuma-cuma tiap bulan dan tugas kita hanya untuk belajar. Hanya dengan cara seperti ini saya dapat membalas dengan menjadi putri kebanggaan orang tua saya,” ucapnya. (*) Penulis: Disih Sugianti Editor: Binti Q Masruroh.
Angka Bebas Jentik Rendah? Geliti-in Aja! UNAIR NEWS – Dalam rangka mengaplikasikan teori-teori perkuliahan di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UNAIR kembali mengadakan kegiatan Praktik kerja Lapangan (PKL). Tahun ini Kabupaten Bojonegoro terpilih sebagai wilayah yang akan dijadikan sasaran intervensi. Salah satu desa yang menjadi wilayah kerja mahasiswa PKL adalah Desa Payaman. Berdasarkan pengumpulan dan analisis data ditemukan salah satu permasalahan yang urgent untuk segera ditangani adalah Angka Bebas Jentik (ABJ) yang masih rendah. Mengingat Desa Payaman merupakan salah satu
daerah endemis DBD (Demam Berdarah Dengue) dan cikungunya dengan kondisi lingkungan sebagian besar adalah hutan jati dan rawa. Beragam pencegahan pun dilakukan, karena selama ini upaya fogging setiap tahunnya belum mampu melindungi masyarakat dari ancaman DBD dan Chikungunya, mahasiswa yang tergabung dalam tim PKL Desa Payaman Kelompok lima membentuk sebuah program pencegahan dengan nama GELITIK (Gerakan Libas Jentik-Jentik). Program ini bertujuan untuk meningkatkan angka bebas jentik dimasyarakat yang masih rendah yaitu 41% dengan cara sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat. Sosialisasi pun dilakukan di salah satu rumah kader saat kegiatan Posyandu balita dan lansia, sementara pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menempelkan kartu pemeriksaan jentik di rumah-rumah masyarakat dan memilih salah satu anggota keluarga untuk menjadi Jumantik (Juru Pemantau Jentik) yang bertanggung jawab mengecek tempat penampungan air dan mengisi kartu pemeriksaan jentik setiap minggunya. Selain itu gerakan ini juga memberdayakan siswa-siswi SDN Payaman dan MI Matholi’ul Falah untuk menjadi jumantik (Juru Pemantau Jentik). Hal ini dilakukan karena sekolah berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk, pasalnya anak-anak mengahabiskan sebagian waktunya belajar dan bermain. Wakil Kepala Sekolah SDN Payaman I, Rahman menyambut kegiatan ini dengan baik. “Saya senang sekali adik-adik mahasiswa UNAIR mengadakan kegiatan di sekolah kami, anak-anak perlu untuk diajarkan tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat sedini mungkin, terutama tentang pemantauan jentik nyamuk di sekolah, ini adalah program yang bermanfaat,” ungkapnya. Pendekatan dengan berbagai pihak telah dilakukan demi suksesnya program ini. Tidak terlewatkan sosialisasi ke pemuda Desa Payaman yang cukup berperan aktif dalam berbagai
kegiatan desa. Integrasipun dilakukan dengan pihak PONKESDES beserta kader yang perannya sangat penting dalam pemantauan dan kesinambungan program. Kerjasama juga dilakukan dengan puskesmas untuk penyediaan bubuk abate bagi rumah-rumah yang berpotensi menjadi sarang perkembangbiakan nyamuk. Perangkat desa, melalui Lurah Desa Payaman juga menyampaikan dukungannya terhadap program GELITIK ini, menurutnya program ini sudah tepat sasaran dan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Dari pihak kesehatan, Harry Niken K, Amd., Keb., selaku Bidan PONKESDES Payaman menyampaikan sangat terbantu dengan ada program ini. “Kegiatan ini sangat membantu program kesehatan di PONKESDES khusunya masalah PSN. Karena desa ini tergolong daerah Endemik. Setiap tahun selalu ada kejadian DBD, jadi kegitan ini sangat bermanfaat dan saya berharap semua pihak bisa membantu keberlanjutan program ini”, tegasnya. Menurut Ketua PKL Kelompok 5, Nova Mega kegiatan ini mendapat respon yang sangat baik. “Kami membuat program ini agar masyarakat lebih sehat dan peduli terhadap lingkungan rumahnya supaya tidak menjadi tempat sarang perkembangbiakan nyamuk. Alhamdulillah direspon baik oleh masyarakat, PONKESDES, Perangkat dan adik-adik SD dan MI yang mengikuti kegiatan dengan semangat,” paparnya. Melihat Antusias dari masyarakat kami Optimis bahwa jika program ini terus dilanjutkan maka target pencapaian Angka bebas Jentik yakni 95% akan tercapai. Maka, jika angka bebas jentik rendah ? GELITIK-in aja. (*) Penulis: Nelsa Kurnia, Masyarakat UNAIR Editor: Nuri Hermawan
Mahasiswa
Fakultas
Kesehatan
Lakukan Inovasi dan Kreasi, Raih Predikat Perawat Teladan Nasional UNAIR NEWS – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengadakan sebuah rangkaian acara Penganugerahan Tenaga Kesehatan Teladan di Puskesmas Tingkat Nasional 2016 di Jakarta pada tanggal 14-21 Agustus. Pemberian penghargaan oleh Kemenkes tersebut sebagai bentuk apresiasi kepada tenaga kesehatan yang dinilai berprestasi dan dapat berinovasi dalam menyelesaikan permasalahan keperawatan yang ditemui. Dalam acara yang bertajuk “Tenaga Kesehatan Teladan Penggerak Pembangunan Kesehatan Masyarakat” tersebut, Wina Methania, S.Kep., Ners, mendapat anugerah sebagai Perawat Teladan Puskesmas Tingkat Nasional perwakilan Provinsi Kalimantan Timur. Tentu, ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi alumnus Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga tahun 2007 ini. “Untuk dapat menjadi perawat teladan tingkat nasional, tenaga kesehatan di puskesmas menjalani seleksi penilaian kelayakan dengan melakukan pemaparan inovasi yang dikembangkan dalam menjalankan tugasnya,” ujar Wina dalam kesempatan wawancara via telepon dengan UNAIR NEWS pada Selasa, (30/8). Sebelumnya, pada 2013, perempuan kelahiran Malang 22 Maret 1985 ini mendapat anugerah sebagai perawat teladan dalam rangka Hari Kesehatan Nasional tingkat Kota Bontang. Wina kembali mendapatkan penghargaan serupa pada tahun 2016, yang kemudian menjadikannya perawat teladan di puskesmas tingkat nasional perwakilan Provinsi Kalimantan Timur.
“Prosesnya saya mengikuti penilaian tingkat kota. Bentuknya adalah presentasi dan tanya jawab dengan dewan juri. Karena meraih juara I, maka langsung mengikuti penilaian tingkat provinsi. Di provinsi juga melalui proses presentasi dan tanya jawab,” ujar Wina yang berdinas di Puskesmas Bontang Utara I, Kota Bontang, Kalimantan Timur ini. Wina mengaku, sebagai koordinator SP2TP dan koordinator perawat, dirinya berinovasi untuk dapat meningkatkan kinerja perawat sesuai dengan Undang-undang No. 38 tentang Keperawatan. Sesuai UU tersebut, ia membuat Asuhan Keperawatan Rawat Jalan (ASKERAJA). “Sebagai koordinator 34 posyandu balita di wilayah, saya berinovasi (eksternal) dengan mengembangkan posyandu balita berbasis “DOOR”. Yakni Database, Open Mind, Organization, dan Revitalization. Inovasi ini dalam rangka penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi,” ujarnya bercerita. Melalui penghargaan tersebut, tenaga kesehatan di puskesmas, diharapkan tidak hanya melakukan kegiatan yang sudah rutin, namun juga terus melakukan inovasi dan kreasi yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal kesehatan. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor : Dilan Salsabila
FKM UNAIR ke-100
Luluskan
Doktor
UNAIR NEWS – Program studi Doktor Ilmu Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga meluluskan doktor ke-100 pada Ujian Doktor Terbuka, Selasa (30/8). Lulusan
doktor ke-100 atas nama Yessy Dessy Arna melakukan penelitian tentang model asuhan keperawatan komunitas untuk korban pelecehan seksual anak. “Model asuhan keperawatan komunitas yang saya teliti adalah Nir Ketaton berbasis FCN (Family Centered Nursing), HCS (Health Care System) dan Atraumatic Care. Nir Ketaton merupakan pendekatan asuhan keperawatan secara spiritual. FCN merupakan asuhan keperawatan berbasis pendekatan keluarga, HCS merupakan konsep penekanan penurunan stres dengan memperkuat pertahanan diri. Asuhan keperawatan komunitas Nir Ketaton ini terbukti menurunkan stres pada anak korban kekerasan seksual,” jelas Yessy. Prodi S-3 Ilmu Kesehatan sendiri berdiri sejak tahun 2008. Saat ini prodi tersebut diketuai Dr. Nyoman Anita Damayanti, drg., M.S. Daya tampung prodi S-3 Ilmu Kesehatan sebesar 30 mahasiswa pada setiap semesternya, sehingga sampai saat ini telah meluluskan 100 mahasiswa. “Lulusan keseratus ini merupakan hasil kerjasama yang indah semua sivitas akademika di lingkungan di FKM. Dan hal ini tandai dengan syukuran tumpengan sederhana,” jelas Nyoman. Lulusan prodi Ilmu Kesehatan diharapkan mampu menghasilkan temuan ilmiah baru dan berperan aktif dalam pengembangan ilmu kesehatan. Beban studi satuan kredit semester yang harus ditempuh untuk mahasiswa yang bidang ilmunya linier adalah 48 sks, sedangkan yang non-linier 56 sks. (*) Penulis: Humas FKM Editor: Defrina Sukma S.