I
Seminyak, 2004. “Aww!” Tanpa bisa menyeimbangkan diri, tubuhku langsung mendarat di pasir pantai Seminyak pagi itu, ketika sedang melakukan rutinitas pagi sebelum berangkat ke tempat kerja, joging. Aku tidak tahu apakah posisi kakiku yang salah saat berlari atau memang aku yang tidak begitu memperhatikan jalur yang aku lalui, namun yang pasti, pergelangan kakiku benar-benar sakit. Aku segera melepas sepatu, mengurut pelan pergelangan kakiku untuk sedikit mengurangi rasa sakitnya. Sepertinya aku harus ke tempatnya Irna nanti agar dia bisa mengurangi rasa sakit di kakiku ini. Aku meluruskan kakiku, berharap dengan melakukannya rasa sakitnya akan sedikit berkurang. Akan sangat menyiksa jika harus berjalan ke tempat parkir motor dengan kondisi seperti ini.
Perlahan, aku berdiri sambil menahan rasa sakit yang sepertinya berlipat ketika melakukannya. Meskipun begitu, aku memaksa tubuhku untuk berdiri karena tidak mungkin aku hanya duduk diam dan menunggu bantuan datang. Lagipula, siapa yang akan membantuku? Pantai Seminyak pagi ini dipenuhi beberapa orang yang bermain voli, beberapa orang hanya berjalan-jalan, yang berpasangan tidak lupa untuk bergandengan tangan. Beberapa pria muda, yang sepertinya berasal dari Australia kalau mendengar aksen mereka, sedang menenteng surfing board, bersiap untuk menaklukkan ombak pagi yang sepertinya sempurna untuk berselancar. Beberapa orang menyumbat telinga mereka dengan earphones sambil berlari-lari kecil yang membuatku menyesal tidak bisa melanjutkan aktivitas yang sama pagi ini. Then, something unexpected happened. “Aww!” Entah dosa apa yang aku perbuat pagi ini hingga pantas untuk mendapatkan lemparan bola voli tepat mengenai kepalaku. Belum setengah jam kakiku terkilir dan sekarang kepalaku yang terkena lemparan bola voli. Selama beberapa detik, aku berusaha untuk menjaga keseimbangan tubuhku karena pusing yang aku rasakan, sebelum menyadari kehadiran seseorang di hadapanku. “Maaf, aku nggak sengaja tadi. Kamu baik-baik saja?” Jika aku ingin merusak pagiku, mudah saja. Aku tinggal mengeluarkan kata-kata kasar kepadanya dan membiarkan urusan ini jadi lebih panjang. Namun, begitu melihat pria muda yang ada di hadapanku, niat itu tenggelam begitu saja. “Aku baik-baik aja, cuma sedikit pusing.”
2
“Apa perlu kita ke dokter?” Aku menggelengkan kepala. “Nggak usah. Nanti juga baikan.” Senyum bersalah menghiasi wajahnya. “Sekali lagi, maaf ya?” katanya sambil memungut bola volinya dan langsung pergi. Aku menghela napas sebelum melanjutkan jalanku yang tertatih-tatih sambil sedikit merutuki dua kejadian yang mengancam eksistensiku sebagai manusia paling aktif di lingkungan kantor. Pergelangan kakiku yang terkilir jelas akan menghentikan banyak kegiatan favoritku untuk beberapa minggu. No jogging, bahkan, aku akan pikir-pikir untuk sekedar berenang, takut kalau tiba-tiba kram. Otak kreatifku juga terancam untuk tidak berproduksi hari ini. Benturan keras yang baru aku alami mungkin membuat ideide yang bisa saja membuatku dipromosikan, jadi menguap. Itu berarti aku harus menunggu dalam hitungan tahun untuk promosi selanjutnya. Arrrrrrggggggh!!! Baru beberapa menit, tapi otakku sudah melantur kemana-mana. “Keberatan kalau aku bantu?” Langkahku terhenti dan melihat pria yang menghampiriku tadi, sudah ada dibelakangku sambil menyunggingkan senyum, meskipun aku membaca sedikit raut kekhawatiran di balik senyumannya. Sepertinya, dia masih merasa bersalah. “Ada apa?” “Aku akan terus ngerasa bersalah sebelum yakin kamu baik-baik saja. Pasti ada yang bisa aku bantu meskipun sedikit.” Akhirnya aku menyerah. “Kalau kamu nggak keberatan, bisa tolong bantu aku jalan sampai ke parkiran? Soalnya kakiku juga baru terkilir.” 3
“Tentu saja nggak,” jawabnya sambil tersenyum. Dia langsung mendekat dan meraih lenganku dengan tangannya untuk membantuku berjalan, meskipun aku tidak meminta secara spesifik agar dia memapahku. Hal pertama yang mengusik pikiranku adalah, pria ini sama sekali tidak merasa risih melakukannya, meskipun pantai pagi ini tidak sepenuhnya sepi. Tidak mungkin kami lepas dari pandangan mereka. Jarak mereka tidak cukup dekat untuk melihat bahwa aku menahan sakit, hingga aku tidak akan menyalahkan mereka jika punya pikiran lain tentang aku dan pria ini. By the way, kami belum kenalan. “Oh ya, kita belum kenalan,” kataku sambil menatap pria yang sebentar lagi akan bisa aku panggil dengan sebuah nama, bukan hanya sekedar pria itu. “Aku Egar.” Dia tersenyum. “Namaku Kai.” “Terdengar sangat Hawaii buatku.” Kai mengangguk. “Kamu bukan orang pertama yang bilang begitu, meski sebenernya, Kai berasal dari banyak bahasa,” Kai kemudian memamerkan senyumnya. “Nama kamu unik, Egar, apa ada arti khusus dibalik nama itu?” Aku menggeleng. “Menurut Ibu sih nggak ada, tapi kalau aku sendiri selalu berpendapat, Egar adalah kependekan dari Tegar yang berarti aku harus selalu kuat menghadapi apapun yang terjadi dalam hidupku,” jawabku. Sejujurnya aku memang tidak tahu kenapa Ibu menamaiku Egar, jadi Tegar itu murni hasil karanganku saja. “Nama dan arti yang bagus.” Aku tersenyum. “Kenapa ninggalin temen-temen kamu?”
4
“Oh, mereka tahu kok kalau aku ngerasa bersalah sama kamu, jadi, nggak masalah aku ninggalin mereka. Toh juga cuma nganterin kamu cuma sampai sini kan?” Aku mengangguk ketika menyadari bahwa kami sudah berada di area parkir. “Oh, ya nyampe sini aja. Thanks ya?” Kai mengangguk, “Sekali lagi, maaf ya? Aku benerbener nggak sengaja.” Aku hanya mengangguk. Kai pun akhirnya mengantarku dengan selamat sampai di tempat parkir dan kembali menemui temantemannya. Aku masih memandanginya sampai dia benarbenar tidak terlihat, berharap dia akan kembali dan menawarkan dirinya untuk mengantarku sampai ke kos. Hei, Egar! Sudahlah! Aku menggelengkan kepala berusaha untuk mengusir kemungkinan-kemungkinan konyol lainnya. Aku segera menghidupkan motor dan meninggalkan pantai Seminyak pagi itu, meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diriku : Akankah aku bertemu lagi dengan Kai?
5