The Power of Bejo Cara Pintar Mendatangkan Nasib Bejo dalam Diri Anda
Penyusun: Octavia Pramono Editor: Putu Fajar Layout: Sadam Husein Cover: Janur Kuning The Power of Bejo © 2013 IN AzNa Books Hak Cipta Dilindungi Undang-undang All right reserved
Cetakan Pertama, Juni 2013 Versi E-book, Jan 2014
ISBN: 978-602-7608-33-7 Ukuran buku: 13,6 x 20,5 cm; 124 hlm
Penerbit: IN AzNa Books Rejokusuman, 04 Tamanan Bantul Yogyakarta E-mail:
[email protected] Hak distribusi e-book: PT Bintang Toedjoe, Jakarta E-book ini boleh didistribusikan ulang secara gratis tanpa mengubah, menambah, atau mengurangi isinya.
Pengantar WOWW..!!! The power of bejo! Kekuatan “si bejo”! Bejo (bahasa Jawa, artinya “beruntung”) bagaimanapun memang bisa dianggap sebagai sebuah power, sebuah kekuatan tersendiri. Anda boleh percaya, boleh tidak, tapi yang jelas wong bejo alias orang super duper beruntung itu jelas sering kali bikin galau orang-orang yang tidak bejo. Apalagi jika kemampuan dan kepintaran orang-orang yang tidak bejo itu sebenarnya justru jauh di atas kemampuan dan kepintaran orang yang bejo tadi. Wahhh, bikin hati gerah….! Saya yakin banyak di antara Anda sekalian yang mengakui bahwa orang
yang bejo itu sungguh tidak bisa diganggu gugat. Orang-orang bejo itu adakalanya telak mengalahkan orangorang pintar yang tidak bejo. Hmmm, sebenarnya sekuat apa sih “si bejo”? Kok bisa-bisanya “si bejo” alias “si beruntung” mengalahkan “orang-orang yang pintar” itu? Kedengarannya dahsyat sekali kekuatan “si bejo” tersebut. Tetapi, betul-betul dahsyat enggak sih sebenarnya? Anda sekalian pasti tidak akan lupa pada iklan dua buah produk obat (atau jamu sih?) untuk mengatasi masuk angin. Ya, begitulah. Ada dua produk serupa yang berbeda merk. Kedua produk tersebut rupanya melakukan “perang dagang” tuuh.
Yang satu punya jargon “orang pintar minum t***k angin”. Yang lainnya memiliki jargon “wong pinter kalah karo wong bejo; wong bejo ngombe bin****toe***masuk angin”. Hmmm, benarkah wong bejo (=orang yang beruntung) itu betul-betul akan mengalahkan wong pinter (=orang yang pintar)? Benarkah wong pinter kalau tidak bejo alias tidak/kurang beruntung ya tetap saja sulit untuk menggenggam sukses? Bahkan kalau “tidak bejo-nya” keterlaluan (maksudnya super duper sial), sama sekali dia tidak dapat sukses sedikit pun. Wahh! Benarkah? Iya, konon begitu adanya. Duh, aduuuh, kalau memang benar seperti itu, malang nian nasib orang-
orang pintar yang tidak bejo itu yaa? Sudah mati-matian belajar supaya pintar, ehh masih saja tidak bejo. Batal sukses deh jadinya. Pahit sepahit-pahitnya kenyataan yang harus mereka hadapi. Kasihan deh loe… (mungkin begitu pikir Anda sekalian). Sudah capek-capek belajar, bekerja keras, banting tulang plus peras otak sedemikian rupa; tahutahu keberhasilan yang diperoleh tak sebesar yang diharapkan. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas sukses yang dicapainya kalah jauh jika dibandingkan dengan kuantitas dan kualitas sukses si orang bejo. Istilahnya, tidak semelejit kesuksesan si orang bejo. Atau, justru tak berhasil sama sekali. Sudahlah. Pendek kata dari kaca mata orang
kebanyakan, apes banget lah si orang pintar yang tak beruntung itu…. Sebaliknya, alangkah mujur yang semujur-mujurnya nasib orang-orang yang beruntung alias wong bejo itu. Orang-orang yang bernasib bejo bisa jadi kemampuannya, kepintarannya, sedikit di bawah orang-orang pintar tapi tak bejo itu. Bahkan, kadang kala kepintarannya justru pas-pasan; kalah jauh dengan orang-orang pintar tadi. Namun, nasib baik tampaknya terlampau berpihak pada golongan orang-orang bejo. Maka tidak mengherankan kalau orang-orang pada umumnya, terutama orang-orang yang merasa diri mereka jauh lebih pintar daripada wong bejo yang sukses tersebut, terpaksa hanya bisa
menelan ludah dengan gundah. Mungkin juga dengan kesal. Mungkin juga sembari mengomel-omel dalam hati. Kok bisa? Kok bisa-bisanya dia berhasil? Mana mungkin dia bisa sukses begitu? Huhh, kalau bukan karena beruntung (bejo), tidak mungkin dia bisa mencapai kesuksesan. Itu pasti soal hoki saja. Hokinya memang bagus. Dan sebagainya. Dan seterusnya komentar (atau omelan?) yang sejenis. Ckckck… nasib orang bejo memang luar biasa banget. Rasanya senantiasa ada seribu satu —bahkan sejuta dua— cara bagi “nasib baik” untuk selalu menghampiri orang-orang bejo (=beruntung) tersebut. Iya, memang kelihatannya demikian itu. Dan
sejujurnya, dari kaca mata orang-orang pintar yang tidak bejo, kondisi tersebut pastinya bikin jengkel dan cemburu. Hehehehe… Jujurlah tentang perasaan Anda yang demikian itu apabila kebetulan Anda merupakan seseorang yang merasa tidak pernah bejo. Perasaan tersebut manusiawi belaka, kok. Hanya saja, ada orang yang membiarkannya berlarut-larut jengkel dan cemburunya sehingga ia justru lupa untuk “memperjuangkan” kesuksesannya. ‘Kan waktunya habis buat nyinyir mencari-cari “kesalahan” si orang bejo? Padahal, orang bejo tidak bersalah sehingga kesalahannya pun tidak akan pernah ditemukan. Konyol toh? Sementara di sisi sebaliknya, ada
orang yang hanya pada “detik pertama” saja jengkel dan cemburunya. Detik berikutnya ia sudah bisa menetralkan diri; menerima kenyataan kekurang-bejoannya secara proporsional. Selanjutnya, ia mulai mengumpulkan semangatnya lagi untuk lebih fokus agar lebih berhasil. Tentu saja sembari lebih banyak berdoa dan lebih khusyuk; juga sambil berharap dengan kuat semoga di waktu berikutnya menjadi ikut bejo. Sudah pasti sikap yang kedua inilah yang benar. Lebih positif. Tidak malah selalu negative thinking terhadap orang- orang bejo. Buang-buang waktu saja. Sudah begitu, masih pula menambah dosa. Namun, apa boleh buat? Kenyataannya masih saja banyak orang
yang lebih memilih terpenjara dalam negative thinking. Haruskah orang-orang yang senantiasa bejo serta-merta kita musuhi? No, no. Big no. Sama sekali salah kalau kita kemudian memusuhi mereka. Mereka memang telah bikin kita cemburu hingga ke ubun-ubun, tetapi kita harus tetap berpikir jernih dong…. Kebejo-an mereka itu ‘kan —bagaimanapun — bukan kehendak mereka semata-mata. Itu ada campur tangan Tuhan. Yeah… bolehlah dikatakan bahwa itu merupakan takdir. Ya, ya. Sebuah takdir yang sungguh menyenangkan bagi mereka. Oleh sebab itu, apakah etis bila kita kemudian memusuhi mereka gara-gara ke-bejo-an mereka tersebut? Jangan lupa, takdir bejo itu dari Tuhan lho yaa.
Bisa jadi ke-bejo-an mereka adalah sebuah pertanda bahwa Tuhan mencintai mereka. Sementara Tuhan mencintai mereka tentu ada alasannya. Iya ‘kan? Tuhan toh Maha Adil dan Maha Bijaksana. Jadi, tidak akan mungkin Tuhan keliru dalam “memberikan suatu bonus” kepada para hamba-Nya. Dengan perkataan lain, orang-orang yang terlihat senantiasa bejo itu sesungguhnya memiliki sebuah —bahkan mungkin beberapa buah— kelebihan jika dibandingkan dengan orang- orang lain pada umumnya. Mungkin mereka rajin bersedekah seberapa pun penghasilan yang mereka peroleh. Mungkin pula mereka selalu siap membantu tetangga dan keluarga (atau siapa saja) yang
membutuhkan tanpa sedikit pun mengharapkan imbalan. Atau, mungkin amalan-amalan lain yang sesuai dengan kehendak Tuhan Sang Pemilik Segala. Nah, lho. Bukankah wajar kalau kemudian Tuhan memberikan bonus berupa “kemudahan- kemudahan” dalam kehidupan mereka? Jadi, begitulah. Nasib bejo mereka sebenarnya merupakan reward dari Tuhan, yang diberikan setelah mereka melakukan sesuatu secara konsisten dan penuh ketulusan hati; bukan cuma- cuma begitu saja diberikan tanpa mereka melakukan sesuatu terlebih dahulu. Iya, Tuhan tahu pasti akan hal itu. Hanya saja kita sebagai sesama manusia justru tidak ngeh. Kita tidak mampu memahami akan
rumusan ke-bejo-an mereka tersebut. Kita yang merasa bernasib apes melulu hanya melihat saat ke-bejo-an itu datang menghampiri mereka; bukan saat mereka “memproses” ke-bejo-an tersebut. Sebagai akibatnya, perasaan cemburu (iri) yang kemudian bersemai subur di hati kita. Oleh karena itu, hendaknya kita janganlah ber-suuzon alias berburuk sangka terlebih dahulu terhadap orangorang bejo. Jangan hanya iri dan sekadar iri dengan nasib orang-orang bejo. Kita mesti meyakini bahwa orang-orang yang mempunyai kadar ke-bejo-an tinggi pastilah merupakan orang-orang yang memiliki suatu kelebihan amalan baik daripada orang-orang yang bernasib
apes alias sial. Ya, kira-kira demikian penjelasan singkatnya. Lalu, apa artinya? Artinya, ke-bejoan tersebut sebetulnya bisa kita pelajari “modus operandi”-nya. Apabila kita mampu mempelajari modus operandinya, maka cepat atau lambat insya Allah kita pun akan menjelma menjadi orang yang senantiasa bernasib bejo. Sekali lagi, sebab Tuhan Maha Adil plus Maha Bijaksana, Dia tidak akan pernah salah dalam memberikan reward kepada hamba-hamba-Nya. Barang siapa melakukan suatu amalan ataupun suatu keburukan tertentu, maka akan dicatat oleh-Nya (sudah pasti dengan bantuan para malaikat kepercayaan-Nya yaa) dengan rapi dan teliti tanpa secuil pun
yang terlewatkan. Intinya adalah: bejo itu merupakan sesuatu yang bisa “dijelaskan”. Karena bisa dijelaskan, berarti bisa “dipelajari” oleh setiap orang yang bersedia mempelajarinya. Berarti pula nasib bejo bisa didatangkan oleh siapa saja yang mau mendatang-kannya. Jadi, apabila Anda ingin bernasib bejo, maka selalu berproseslah untuk mendatangkan kebejo-an tersebut. Percayalah, tanpa proses/perjuangan yang entah berapa lama itu, ke-bejo-an tidak akan pernah mau untuk mendatangi kita.
Daftar Isi
Pengantar Daftar Isi Bab 1: Beberapa Kisah tentang Bejo Bab 2: Definisi Bejo Bab 3: Masak Sih Wong Pinter Kalah dari Wong Bejo? Bab 4: Kronologi Terjadinya Bejo Bab 5: Kalau Begitu, Bagaimana Caranya Menjadi Wong Bejo? Bab 6: Cara Berpikir dan Cara Bekerja Wong Bejo Bab 7: Antara Otak Kanan dan Otak
Kiri, antara Wong Bejo dan Wong Pinter Bab 8: Kunci Jadi Wong Bejo Bab 9: Pancinglah Bejo dengan Pemberian Sumber Tulisan Tentang Penulis
Bab 1 Beberapa Kisah tentang Bejo SEBAGAI pembuka tulisan, saya ingin mengemukakan kepada Anda, para pembaca sekalian, beberapa kisah terkait dengan bejo alias keberuntungan alias hoki alias fortune alias luck alias X factor. Semuanya merupakan kisah nyata, ya. Dan, mungkin saja beberapa kisah yang tersaji di sini mirip (atau bahkan malah sama persis) dengan kisah pengalaman Anda sendiri. Iyaa… siapa tau ‘kaan? Atau, mirip dengan kisah pengalaman para kerabat dan para tetangga Anda.
Kalau ada sebuah kisah yang mirip, bahkan yang sama persis, dengan kisah pengalaman Anda sendiri ataupun kerabat/ tetangga, justru kebetulan sekali. Mengapa begitu? Apa alasannya? Sebab bila ada kisah yang mirip — bahkan sama— yang pernah Anda temui, Anda akan bisa lebih memahami tentang hal-ikhwal ke-bejo-an yang Anda alami atau yang tetangga/kerabat Anda alami itu. Mungkin saja selama ini Anda kerap kali merasa bingung plus heran sendiri, mengapa rasanya kok Anda selalu saja menga-lami keberuntungan. Anda yakin bahwa Anda tidak sedang ke-GR-an. Kenyataannya orang-orang di sekeliling Anda banyak yang mengatakannya
demikian. Misalnya dua hari lalu baru saja Anda memperoleh kiriman parcel sembako komplet dari seseorang, eh, hari ini kok ya ganti mendapatkan doorprize berupa sepeda gunung. Dan sebagainya. Bersyukurlah bila Anda termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung itu. Tetapi, bila Anda merasa tak pernah bejo, janganlah kemudian Anda memelihara rasa sirikdengki-iri-cemburu kepada kerabat/ tetangga Anda yang selalu bernasib bejo. Tahukah Anda? Makin Anda merasa sirik dan iri, makin menjauhlah “si bejo bin keberuntungan itu” dari kehidupan Anda. Jadi, santai saja menghadapi kebejo-an seseorang. Iri hati sedikitsedikit bolehlah. Wajar toh kalau kita
menginginkan sesuatu yang “enak” begitu. Terlebih bila orang yang selalu bejo itu kita anggap (kita kenal) sebagai orang yang agak ngeselin. Baiklah. Segera saja kita simak kisah-kisah tentang keberuntungan berikut ini. Setelahnya nanti, semoga Anda bisa menarik benang merah dari masing-masing kisah sehingga bisa lebih memahami sebab-musabab ke-bejo-an yang terjadi. Sebab nasib bejo, sekalipun kelihatannya muncul sangat tiba-tiba, toh ada hal-hal yang “mendahuluinya”. Ramadan yang Sedikit Menyala Seorang kawan, pada suatu hari di bulan Ramadan jelang Lebaran,
mengalami kisah ini. Rumahnya mulai terbakar tanpa ia sekeluarga mengetahuinya. Ya, api sudah menyala di atap rumah sementara para penghuni rumah tidak menyadari adanya bahaya sama sekali. Bahkan ketika orang-orang di luar berteriak “kebakaran, kebakaran”, mereka tidak segera ngeh bahwa rumah merekalah yang sedang diteriaki. Padahal, mereka sudah terbangun dari tidur dan otomatis sudah mendengar ribut-ribut di luar rumah itu. Untunglah malam itu mereka sekeluarga, yang biasa terlelap saat dini hari, tidur lebih awal daripada biasanya. Untunglah saat listrik di rumahnya padam, si kawan mendadak terbangun. Sebab merasa tak nyaman tidur di
kegelapan total seperti itu, ia coba bangunkan suami untuk mengecek sekring listrik yang terletak di halaman luar. Mungkin karena sedang tertidur pulas dan dalam kondisi lelah, sang suami ogah mengecek sekring. Maka jadilah kawan tersebut tak bisa memejamkan mata lagi. Mungkin pula ia bisa bertahan tidak tidur lagi sebab tidurnya tadi ‘kan memang lebih awal. Begitulah. Ia hanya merasa gelisah dalam gelap. Hendak mengecek sekring listrik sendiri takut ada orang jahat di luar sana. Maklum, hari telah sangat larut malam, sementara sekring listrik berada di luar, melintasi halaman. Kawan tersebut tak bisa benar-benar tidur lagi. Ia senantiasa antara terjaga
dan tertidur ayam. Hingga akhirnya lamat-lamat mulai mendengar keributan di luar. Orang-orang berteriak “kebakaran”. Setelah memastikan bahwa memang ada teriakanteriakan kebakaran, ia pun kemudian membangunkan sang suami. Kali ini sang suami —yang mungkin sudah lumayan cukup tidurnya— bisa langsung terbangun. Sementara sang istri membangunkan kedua anak mereka yang masih tertidur pulas, sang suami mengecek kebenaran teriakan di luar rumah. Untunglah sang suami mau bangun pada saat yang tepat. Untung pula suami dari kawan tersebut —yang berprofesi sebagai wartawan— hari sebelumnya
meminta dibebaskan dari tugas peliputan di Aceh, yang mestinya berangkat pada hari terjadinya kebakaran itu. Bayangkan jika sang suami tetap berangkat peliputan ke Aceh (sang kawan itu tinggal di Jakarta). Sementara penghuni rumah yang mula-mula diberi tahu bahwa rumah mereka kebakaran adalah sang suami. Saat itu sang suami menengok luar, lalu bertanya kepada orang-orang yang berteriak- teriak di luar pagar rumah, dari balik jendela yang masih tetap tertutup. Maklumlah, saat itu ada kekhawatiran bahwa teriakan itu hanya trik dari sekelompok pencuri. Bila penghuni rumah sudah membuka pintu dan lari keluar rumah, maka kawanan pencurilah yang justru gantian masuk
rumah dengan leluasa. Maka merasa beruntunglah si kawan tadi. Coba andaikata suaminya pergi, ia tentu lebih memilih tidak membuka jendela rumah demi keamanan, sehingga tidak akan jelas mendengar apa yang diteriakkan oleh orang-orang. Dan ia akan terkepung kebakaran bersama dengan anak-anaknya di dalam rumah. Untunglah kejadiannya saat bulan Ramadan, di mana para pemuda di kompleks perumahan tersebut punya kebiasaan keliling kompleks untuk membangunkan sahur para warga. Jadi, api yang menyala di atap rumah segera bisa dipergoki. Tidak sampai merembet ke rumah-rumah yang lain; juga tidak membakar rumah si teman tersebut. Ya,
api baru membakar bagian atap rumahnya saja. Untunglah kunci ruang tamu mereka diberi rantai yang lumayan panjang. Jadi, dalam kepanikan hendak segera keluar dari rumah, saat kunci tersebut malah sempat terjatuh dalam kegelapan total, mencarinya jadi lebih mudah. Yeah, ini merupakan satu hal kecil tampaknya. Namun, sebenarnya merupakan keberuntungan tersendiri dari keputusan pemasangan rantai pada kunci pintu itu. Bisa jadi, tujuan pemasangan rantai tersebut memang untuk berjaga-jaga menghadapi situasi seperti ini. Ketika lampu padam, dalam suasana gelap, tentu akan lebih mudah mencari kunci pintu. Terlebih bila kunci tersebut pakai
acara jatuh segala. Untung pula angin sedang tidak berhembus kencang waktu itu sehingga nyala api tidak cepat menjalar. Andaikata angin sedang kencangkencangnya, sudah pasti nyala api di atap cepat membesar. Dan, itu berbahaya sekali. Jarak rumah-rumah di kompleks perumahan tersebut relatif saling berdekatan. Kalau api membesar dengan cepat, wah… bisa-bisa api berkembang menjadi kebakaran hebat di kompleks perumahan tersebut. Syukur tak henti-hentinya diucapkan oleh keluarga kecil tersebut. Mereka merasakan sederet “ke-bejo-an (keberuntung- an)” di malam yang menyala itu. Para tetangga mereka pun
merasakannya demikian. Mereka ikut bersyukur tiada henti sebab kebakaran tidak meluas. Bagaimana bisa ada sederet keberuntungan pada saat yang tepat itu, di malam yang menyala itu? Entahlah, entah apa jawaban pastinya. Tapi mungkin saja penyebabnya adalah beberapa hal baik yang menjadi kebiasaan keluarga kecil tersebut. Keluarga kawan tersebut punya kebiasaan membaca ayat Kursi sebelum tidur. Kedua anaknya pun demikian; kedua anak tersebut selalu dibimbing oleh orang tuanya untuk membaca ayat Kursi sebelum terlelap ke alam mimpi. Salah Alamat yang Membawa
Kesembuhan Ini kisah keberuntungan yang menghampiri seorang anak lelaki dan bapaknya. Kisahnya begini. Sang bapak sudah sekitar lima belas tahun menderita penyakit kencing manis. Karena bertahun-tahun dalam perawatan dokter tak kunjung mengalami kesembuhan yang berarti, sang bapak merasa bosan menjalani perawatan medis. Beliau berniat meneruskan pengobatan dengan cara alternatif nonmedis. Dan memang, niat tersebut dipicu oleh kondisi kadar gula darah beliau yang tak terkendali beberapa minggu terakhir, padahal perawatan medis selalu dijalani secara rutin dan telaten. Alat pengetes kadar gula darah yang selama ini digunakan
menunjukkan kode HI (high). Artinya, kadar gula darah beliau sudah terlalu tinggi sehingga tak terbaca lagi. Biasanya sudah di atas angka 600. Tempat pengobatan alternatif yang dipilih berada di kota S, yaitu sebuah ibukota provinsi. Sementara mereka tinggal di sebuah kota kecil yang letaknya sangat jauh dari kota S tersebut. Iya, sangat jauh karena memang berbeda provinsi. Itulah sebabnya si anak lelaki menemani/mendampingi sang bapak ke kota S. Di kota tersebut mereka berdua tinggal di sebuah penginapan. Maklumlah. Mereka tak punya sanak saudara atau kerabat yang terjauh sekalipun di kota S itu. Hingga satu minggu lebih berada di
kota S dan menjalani pengobatan alternatif, kondisi kesehatan sang bapak tidak mengalami kemajuan yang berarti. Walaupun ramuan herbal yang diberikan sudah rutin dikonsumsi, kondisi sang bapak tidak banyak berubah. Yang terasa nyata justru kondisi si anak lelaki. Si anak lelaki yang mendampingi sang bapak justru mulai terserang demam panas yang tak biasa. Sudah pasti ia menjadi panik sebab khawatir bahwa itu serangan malaria. Di daerah asal mereka, penduduknya sudah biasa terkena malaria sehingga relatif mudah mencari obatnya. Tapi di tempat yang jarang orang terjangkit malaria, obatnya akan sulit dicari karena memang langka. Akhirnya sebelum sakitnya berlarut-
larut, si anak segera memutuskan untuk berobat ke dokter. Asal saja ia minta diantar (oleh seorang tukang becak tua yang mangkal di depan penginapan) ke sembarang dokter yang lokasinya terdekat. Ia bilang minta diantar ke tempat praktek dokter umum. Sesampainya di tempat dokter, eh, ternyata papan namanya menunjukkan dokter spesialis. Tapi entah spesialis apa, si anak lelaki tidak sempat membacanya. Ia keburu ingin segera mendaftar dan diperiksa karena sudah tak kuasa menahan sakit. Kepalang basah, toh dokter spesialis pasti tahu juga penyakit umum. Begitu pikir si anak lelaki yang sakit itu. O la la! Rupanya kendala bahasa antara penumpang dan
tukang becak tua yang tidak paham bahasa Indonesia itulah penyebab kekeliruan tersebut. Akhirnya tiba gilirannya diperiksa. Syukurlah bukan malaria. Hanya demam biasa akibat beberapa kali kehujanan dan kondisi kelelahan. Karena mengetahui asalnya yang dari jauh, sang dokter menanyakan hal-ikhwal keberadaannya di kota S tersebut. Maka berceritalah si anak lelaki tentang tujuan utamanya pergi ke kota S. Subhanallah…. Tak disangka-sangkanya, ternyata dokter spesialis yang memeriksanya barusan adalah seorang dokter spesialis diabetes alias kencing manis. Setelah mendengarkan banyak cerita terkait riwayat pengobatan
kencing manis bapaknya, dokter senior itu pun menyarankan supaya bapaknya dibawa ke situ. Sang dokter akan mencoba memeriksanya secara lebih teliti. Siapa tahu nanti si bapak bisa sembuh dengan metode pemeriksaan dari dokter tersebut. Maka pada malam berikutnya si anak lelaki membawa bapaknya ke tempat dokter yang kemarin. Sang bapak diperiksa detil, kemudian esok harinya dilakukan pemeriksaan lengkap di laboratorium. Sang bapak mendapatkan penanganan langsung dari dokter tersebut. Subhanallah, pada malam hari berikutnya ketika kadar gula darah sang ayah dicek, angkanya menunjukkan 270. Yeah… belum normal memang. Tapi
sejak lima belas tahun yang lalu angka terendah untuk kadar gula darah beliau adalah 350. Ah, andaikata kemarin tukang becaknya tidak salah antar, apa mungkin kondisi sang bapak akan membaik begini? Andaikata si anak lelaki sehatsehat saja selama mendampingi bapaknya, mana mungkin ia akan “terdampar” untuk memerik-sakan diri di tempat dokter senior spesialis diabetes itu? Keberuntungankah itu namanya? Mungkin saja demikian menurut kaca mata pandangan orang pada umumnya. Tapi toh sebenarnya, keberuntungan itu diperoleh setelah belasan tahun ikhtiar dan doa dilakukan. Yang jelas, tukang becak yang salah
antar itu ternyata membawa berkah. Ia rupanya telah dibimbing oleh Tuhan untuk mengantarkan anak lelaki dan bapaknya tersebut ke tempat pengobatan yang dipilih-Nya (dan terbukti cocok buat si ayah). Keduanya pun merasa bejo sebab mendadak mendapatkan solusi jitu buat kemajuan kondisi kesehatan sang bapak. Bisa jadi, ke-bejo-an tersebut merupakan buah dari kesabaran sang bapak selama belasan tahun untuk menyembuhkan diri. Bisa pula merupakan “hadiah” dari Tuhan atas kesetiaan seluruh keluarga dalam memanjatkan doa kesembuhan. Terbelinya Rumah Impian Hidup itu penuh kejutan. Serba tak
terduga. Baik kejutannya berupa sesuatu yang menyenangkan (sebuah keberuntungan) maupun berupa sesuatu yang tidak menyenangkan (sebuah keapesan/kesialan). Yang namanya bejo bisa terasa tiba-tiba saja menghampiri diri kita. Demikian pula sebaliknya, apes pun bisa terasa mendadak datang menghempaskan kita tanpa ampun. Segala macam logika dan hukum sebabakibat bisa terjungkir-balikkan dalam kondisi bejo ataupun apes itu. Salah satu contohnya adalah kisah berikut ini. Mbak X adalah seorang karyawati di perusahaan A. Usianya 22 tahun. Ia setia bekerja di perusahaan A tersebut sejak berusia 19 tahun. Di usianya yang relatif masih sangat muda itu, Mbak X sudah
harus menjadi kepala keluarga bagi ibu dan adik-adiknya sebab bapak dan ibunya bercerai. Iya, betul-betul ia berperan sebagai kepala keluarga. Banting tulang cari nafkah untuk ibu dan adik-adiknya yang kini menjadi tanggungannya. Dengan gajinya yang tak seberapa (maklumlah ia hanya lulusan SMA dan masih belum banyak pengalaman kerja), Mbak X harus putar otak sedemikian rupa agar gajinya bisa mencukupi kehidupan keluarganya tersebut. Selama itu pula ia beserta ibu dan adik-adiknya tinggal di rumah kontrakan. Hingga suatu saat ia tiba pada satu pemikiran bahwa pengeluarannya (biaya hidupnya) akan jauh lebih irit bilamana mereka tidak
lagi mengontrak rumah. Artinya, mereka harus memiliki rumah sendiri. Alasannya sederhana. Uang yang dipakai untuk membayar kontrakan rumah ‘kan lebih baik untuk membayar cicilan rumah. Sama-sama keluar duit rutin untuk bayar rumah, tapi mengambil kreditan rumah lebih menguntungkan. Bila sudah lunas, rumah itu resmi menjadi milik kita. Lain halnya dengan mengontrak toh? Mengingat kondisi finansial yang ada, rasanya sangat mustahil Mbak X bisa membelikan rumah bagi ibu dan adik- adiknya. Apalagi harga rumah sekarang ‘kan mahal-mahal. Duit dari mana untuk membayarinya? Itu pemikiran secara logikanya. Tapi suatu hari, tak disangka-sangka
Mbak X mendapatkan sebuah brosur iklan rumah yang begitu memikat hatinya. Unit rumah yang ditawarkan ukurannya kecil saja. Maka harganya terhitung murah sekali. Hanya 60 juta rupiah. Memang sih Mbak X tetap tidak mampu membelinya tunai. Namun, Mbak X memiliki tabungan yang bisa digunakan untuk membayar uang muka alias DP. Nah… kekurangannya bisa diangsur per bulan. Begitulah. Yang membuat Mbak X mantap untuk membeli satu unit rumah mungil tersebut adalah sebuah tulisan yang tertera di pinggir kiri brosur: “Pinjaman KPR (=Kredit Pemilikan Rumah) BNI”. Terlebih Mbak X adalah salah seorang nasabah setia BNI. Ia pun
merasa yakin seyakin-yakinnya bahwa nanti akan diberi kemudahan dalam mengajukan kredit perumahan. Terlebih dirinya tidak memiliki sangkutan hutang dengan apa pun dan di mana pun. Dia juga tak memiliki tunggakan kartu kredit. Tetapi, apa yang terjadi? Tak disangka-sangka, pengajuan kreditnya ditolak. Bahkan ketika dia mencoba mengajukannya ke dua bank lainnya, hasilnya tetap sama. Ditolak. Alasan yang dikemukakan oleh ketiga bank sama: harga rumah terlalu murah, Mbak X hanya mengajukan pinjaman sebesar 40 juta rupiah, sedangkan bank hanya bisa meluluskan permohonan pinjaman di atas 50 juta rupiah. Mbak X tentu saja mendadak stress.
Sesaat sebelumnya dia merasa melambung sebab sudah membayar uang muka pembelian rumah, eh… ternyata langkah selanjutnya justru menghempaskan mimpi indahnya begitu saja. Tidak ada bank yang mau membayari sisa pembayaran rumah tersebut. Semua terbentur pada peraturan minimum jumlah pinjaman. Sepintas solusinya tampak sederhana, ya? Tinggal pinjam saja 50 juta, nanti yang 10 juta bisa dipakai untuk hal yang lain. Eh, tapi ‘kan prosedurnya tidak dapat serta-merta begitu. Nanti ‘kan berkaitan dengan besarnya angsuran tiap bulan. Sementara untuk meminjam pada bank yang sering menawarkan personal loan, gajinya tidak
cukup untuk mengajukan pinjaman sebesar 40 juta rupiah. Bunganya tinggi sekali dan hanya bisa dicicil selama tiga tahun. Tentu saja cicilan per bulannya menjadi besar sekali. Sangat jauh lebih besar jika dibandingkan cicilan KPR yang kurun waktunya hingga mencapai 20 tahun. Hari terus be r jalan. P ihak developer pun sudah mengultimatum, meminta kepastian dalam minggu itu tentang bagaimana sisa pembayaran rumah akan dibayarkan. Tentu saja Mbak X menjadi panik bukan kepalang. Dari mana bisa memperoleh uang puluhan juta dalam waktu singkat? Dalam kesempitan itulah timbul ide di benak Mbak X. Ide yang sebetulnya. tidak disukainya. Tapi
terpaksa dia harus menjalankan ide tersebut. Ya, Mbak X memutuskan untuk meminta bantuan pada para bosnya di kantor. Dia kemudian menghadap Bapak A yang selama ini sikapnya selalu luar biasa baik. Mbak X hampir yakin seratus persen bahwa Bapak A pasti bersedia memberikan pinjaman uang untuk membayar rumah impiannya. Namun, keyakinannya ternyata salah. Bapak A menyatakan tidak bisa memberikan pinjaman. Surat pengajuan permohonan pinjaman Mbak X justru diserahkan beliau kepada Bapak B. Melihat surat permohonannya dioper-oper seperti itu, musnah sudah harapan Mbak X. Detik itu juga dia merasa usahanya kembali sia-
sia. Apalagi dia sangat paham bahwa Bapak B adalah tipe orang yang sangat perhitungan dalam soal keuangan. Apa jawaban Bapak B? Di luar perkiraan dan dugaan, Bapak B setuju untuk memberikan pinjaman. Mbak X sudah pasti merasa sangat lega dan bahagia. Dia merasa sangat beruntung. Terlebih pinjaman yang diberikan adalah pinjaman tanpa bunga. Jelas jauh lebih ringan pembayaran cicilannya. Andaikata salah satu bank yang didatanginya bersedia memberikan pinjaman, sudah pasti dia harus juga membayar bunganya selain membayar cicilan hutangnya. Bahkan, keberuntungan Mbak X tidak hanya sampai di situ. Keberuntungan lain
yang diperolehnya terkait dengan rumah impian tersebut, dia dan keluarga mendapatkan rumah yang lokasinya istimewa, lebih baik daripada rumahrumah lainnya, yaitu berhadapan dengan taman yang hijau segar; bukan berhadapan dengan rumah lainnya (tetangga). Luput dari Bus Maut Lepas Magrib, seorang lelaki terlihat buru-buru memasuki terminal bus di kota S. Bergegas ia menuju deretan bus jurusan kota B. Ya, ia bermaksud pulang ke kota B setelah seharian tadi menyelesaikan sebuah urusan di kota S. Maka ia buru-buru agar tak ketinggalan bus. Ia tidak ingin menginap di terminal
seperti pengalamannya tempo hari ketika ketinggalan bus terakhir ke kota B. Begitulah. Biasanya kalau sudah malam bus yang menuju kota B memang langka adanya. Ketika ia tiba di deretan bus yang menuju kota B, pada detik itu juga dilihatnya sebuah bus sudah siap berangkat. Penumpangnya tampak berjubel. Tapi sang kondektur masih melambaikan tangan ke arahnya sambil berteriak, “Ayo, Pak! Terakhir ini, terakhir… ayoo, cepat naik!” Lelaki itu berdiri bimbang. Bus terakhir? Diliriknya masih ada sebuah bus lain. Dari nama P.O. yang tercantum di badan bus jurusannya ya ke kota B. Tetapi, sang kondektur bilang bus
terakhir? Jangan-jangan memang itu bus terakhir hari ini yang menuju kota B? “Ayo, Pak! Cepat, Pak!” Kondektur yang tadi berteriak-teriak lagi memanggilnya. Hampir saja si lelaki melangkah naik ke dalam bus ketika tiba-tiba seseorang di sampingnya berkata pelan. “Naik bus yang setelah ini, Pak. Itu sudah terlalu penuh. Itu bukan bus terakhir.” Akhirnya si lelaki bernapas lega. Ia pun menatap bus yang mulai keluar terminal itu dengan perasaan tanpa beban. Dia sudah punya kepastian, telah memutuskan untuk naik bus yang berikut. Dan memang, setengah jam kemudian dia sudah duduk nyaman di salah satu kursi bus yang menuju ke kota tempat tinggalnya. Inilah keberuntungan
pertamanya. Andaikata tadi dia nekat naik bus yang sebelumnya, pasti akan berdiri sepanjang perjalanan selama 2,5 jam. Tentu akan menambah rasa capeknya dan yang jelas tidak bisa tidur selama di perjalanan. Namun, ke-bejo-an berikutnya adalah sebuah ke-bejo-an yang dahsyat. Ketika perjalanan sampai di wilayah D, terlihat ada kerumunan dan keributan di tengah jalan. Ada apa? Ternyata bus yang tadi nyaris ditumpanginya, bus yang mengklaim diri sebagai bus terakhir menuju ke kota B, mengalami kecelakaan. Puluhan penumpangnya terluka parah. Bahkan beberapa penumpang yang berdiri di dekat pintu, terlempar keluar bus dan tewas seketika.
Spontan si lelaki mengucap syukur tiada henti kepada Yang Mahakuasa. Dia merasa bejo tidak jadi menaiki bus maut tersebut. Tahukah Anda? Sesungguhnya si lelaki yang luput dari bus maut itu pernah pula mengalami ke-bejo-an serupa jauh sebelumnya. Namun, kebejo-annya yang terdahulu terjadi saat ia mengalami kecelakaan vespa. Waktu itu si lelaki menaiki vespa kesayangannya, sepulang dari kantor tempatnya bekerja. Cuaca panas menerpanya sepanjang perjalanan sejauh 20 kilometer itu. Jalanan aspal pun terlihat memantulkan fatamorgana, berkilauan menyebabkan mata silau. Karena jalanan lurus tidak berkelok-
kelok, vespa melaju mulus agak kencang. Eh, tak disangka-sangka ada sepasang kakek-nenek naik sepeda yang tiba-tiba memotong jalan hendak menyeberang. Kakek-nenek itu memotong jalan tepat di depan vespa. Vespa pun direm mendadak, begitu mendadak sehingga justru ambruk dan si lelaki terkapar di aspal. Tubuhnya sudah pasti menghantam aspal. Kepalanya juga membentur aspal lumayan keras, tepat di samping roda vespa yang masih berputar. Entahlah siapa yang bersalah. Sepasang kakek-nenek yang bersepeda itu sebab menyeberang jalan tanpa melihat kiri-kanan terlebih dulu? Atau, si lelaki yang kurang waspada berkendara? Atau, kedua belah pihak sama-sama
kurang teliti sebab panas matahari membuat jalanan silau? Entahlah. Yang jelas, si lelaki beruntung banget sebab dapat mengerem vespa pada saat yang tepat sehingga tidak menabrak kakeknenek tersebut. Keberuntungannya yang lain, si lelaki mengenakan helm standar dengan mengancingkannya rapi. Tidak asal pakai seperti memakai topi. Jadi saat kepalanya membentur aspal, kepalanya terlindungi helm. Untung pula helmnya rapi terkancing sehingga tidak terlepas dari kepala saat si lelaki terjatuh. Walhasil, si lelaki hanya lecet-lecet sedikit. Padahal, orang- orang yang menyaksikan kecelakaan itu sudah menjerit-jerit histeris, menganggap hal
yang terburuklah yang pasti menimpa si lelaki. Maka semua bernapas lega sekaligus takjub, termasuk si lelaki itu sendiri, demi menyadari semuanya baikbaik saja. Semua orang, termasuk si lelaki itu sendiri, pun sepakat bahwa itu merupakan sebuah keberuntungan yang luar biasa besar. Coba Anda bayangkan seandainya ia serampangan memakai helmnya. Apa yang terjadi? Pasti sesuatu yang memilukan. Keponakan dan Kuis Saya punya banyak keponakan yang berusia remaja dan nyaris lepas remaja. Tapi hanya satu orang yang sungguh selalu bikin saya iri dalam hal ke-bejoan. Betapa saya tidak iri? Hampir semua
barang berharga yang dimilikinya didapat gretongan (gratis) sebagai hadiah kuis di majalah. Ada BB, gitar elektrik, ransel cakep, jam tangan trendy, topi keren, kaca mata mahal…. Belum lagi hadiah kuis yang berupa barangbarang kecil seperti gantungan kunci, pin, dan sejenisnya. Halahh, pokoknya bila dia bepergian tampilannya aduhai “bernilai dan berharga” deh. Padahal, dia sama sekali tidak keluar duit untuk membeli barang- barang bernilainya itu. Sejauh pengamatanku, hanya satu barang berharganya yang bukan merupakan hadiah kuis. Iya, motor agak bututnya itu. Kalau motornya itu sih dibeli dari hasil tabungannya selama tiga tahun kerja jadi teknisi di Astra.
Hmmm. Hoki dia mungkin di kuis ya? Maklum sajalah. Keponakan saya yang satu itu memang hobi banget ikut aneka macam kuis. Apalagi kuis yang berhubungan dengan musik dan selukbeluk peranti per-online-an. Dia tahu banyak tentang dua hal tersebut. Maka baginya mudah saja untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di kuis tersebut. Tapi masalahnya, orang yang mengirimkan jawaban kuis ‘kan banyak. Bahkan karena banyak pula yang menjawab dengan benar, untuk menentukan pemenangnya perlu undian segala. Ehh, lha kok dia selalu menang lagi, menang lagi…. Itu, lho yang bikin saya gemes plus penasaran dengan kebejo-annya di bidang perkuisan.
Kalau ditanya apa resep “kemenangannya”, dia bingung sendiri. Dia hanya bilang, “Ya ikut saja, Mbak (Karena menganggap saya hanya sedikit lebih tua darinya, dia memang tidak memanggil saya Tante ataupun Bulik). Sambil nulis jawaban hingga mengirimkannya via pos, sambil didoakan. Berdoa yang serius gitu, tidak sambil lalu. Apalagi sambil cengengesan. Kalau tidak dari kuis, bagaimana caranya aku punya barangbarang keren begitu, Mbak? Tahu sendiri ‘kan gajiku dikit. Minta Babe? Mana mungkiiinnn? Yang ada Babe malah minta…hahaha…” Hehehe…. Suatu saat dahulu, ketika usia saya masih lebih muda daripadanya,
sesungguhnya pernah pula saya keranjingan mencoba peruntungan semacam itu. Saya rajin mengisi TTS dan mengirimkannya ke redaksi majalah atau koran yang memuatnya. Bayangkan! Sejak usia SD (TTS Majalah Bobo” dan Ananda”) hingga usia SMA saya sering mengirimkan jawaban TTS yang jawabannya saya yakin benar semua (sebab sudah dikoreksi ayah saya), eh, enggak pernah sekalipun menang. Hadiah hiburan sekalipun tidak pernah, lho. Padahal rasanya, saya pun melakukan apa yang dilakukan oleh keponakan saya tadi. Mengisi TTS-nya sambil berdoa, pergi ke kantor posnya juga sambil berdoa, saya pun tidak cengengesan waktu berdoa. Saya serius berdoa untuk
menang waktu itu. Tapi lagi, lagi, dan lagi… saya tak pernah memenangkan hadiah TTS walaupun secuil saja. Akhirnya saya pun menyerah. Kapok tidak pernah lagi mencoba-coba peruntungan dengan cara mengirimkan jawaban TTS. Takut kecewa lagi sebab sudah terlampau lama selalu tidak beruntung. Hehehehe…. Anda bisa membandingkan sendiri ‘kan nasib saya dengan nasib keponakan saya dalam hal memperoleh barang gretongan? Keponakan saya jauuuhhh lebih bejo daripada saya. Saya pun jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati, jangan- jangan penyebabnya karena saya sering memperoleh uang saku yang banyak dari Pak Dhe-Pak Dhe
saya. Dan, uang saku yang banyak itu bisa saya belikan barang-barang apa saja yang saya inginkan. Ohhh, begitulah cara keadilan Tuhan berjalan rupanya. Keponakan saya itu tidak mempunyai Pak Dhe yang memberinya banyak uang saku. Jadi, Tuhan memberinya keberuntungan dari kuis. Dari Cleaning Service Jadi Artis Apakah Anda pernah menonton tayangan acara OVJ (=Opera Van Java)? Itu, lho… sebuah acara komedi di Trans7 yang dibintangi oleh Sule, Aziz Gagap, Nunung, Andre, Desta, dan Parto (sebagai dalang). Saya yakin sebagian besar dari Anda tahu acara komedi tersebut. Nah, bila Anda tergolong
penonton setianya, pasti Anda tahu juga bahwa di setiap episode tayangannya OVJ sering kali menampilkan bintang tamu. Bintang tamu biasanya dari kalangan selebritis. Mungkin penyanyi, artis sinetron, model, presenter, ataupun para atlet berprestasi. Kadang-kadang selain bintang tamu, ada pula “bintang tambahan” untuk memerankan peranperan kecil yang diperlukan cerita. Nah, bintang tambahan itu acap kali diambil dari para penonton di studio atau dari para kru acara OVJ sendiri yang dinilai “sesuai”. Suatu ketika Dede ditampilkan sebagai bintang tambahan. Siapa Dede? Dede adalah salah seorang anggota tim cleaning service di studio tempat syuting
OVJ. Tentu saja dia dipilih sebagai bintang tambahan sebab dianggap “sesuai” dengan “konsep” OVJ. Baik sesuai secara fisik (karakter wajahnya) maupun sesuai dalam hal kemampuan ngocolnya. Faktanya memang demikian. Saat tampil untuk pertama kalinya di layar kaca, Dede terlihat bisa “menyatu” dengan para wayang (sebutan para pemain OVJ bila di panggung). Maka sejak saat itulah Dede sering tampil sebagai wayang OVJ. Pendapatannya kadang kala dobel memang. Pendapatan tetap sebagai cleaning service dan pendapatan “tambahan” bila diajak main sebagai wayang. Tentu saja pendapatan tambahannya justru jauh lebih besar. Beruntungkah Dede? Tentu saja
begitu. Bolehlah dia dibilang mendadak memperoleh durian runtuh. Terlebih seiring dengan berjalannya waktu, rupanya Dede makin sering terlibat syuting. Tak hanya syuting di OVJ, tetapi di luar OVJ juga. Bahkan, Dede pernah ikut syuting film layar lebar juga (film bioskop). Memang sih bukan memegang peran yang penting. Tapi jelas dari segi pendapatan dan karier, itu sebuah “lompatan” dalam kehidupan seorang Dede, si remaja ingusan lulusan SMK, yang sesungguhnya sadar diri dan sadar muka sehingga tak pernah bercita-cita sebagai artis. Sekali lagi, beruntungkah Dede? Jelas. Orang-orang yang sirik dengan nasib baik Dede pasti banyak yang
berkomentar, “Iya lah… orang terkenal itu ‘kan kalau tidak ganteng banget ya hancur banget”. Atau, “Mujur dia jadi tukang sapu di studio OVJ. Ketemu Sule dan yang lain-lain, terus mereka berbaik hati mengajaknya syuting… bla-blabla…”. Yang namanya omongan orang ‘kan bisa apa saja yaa. Tapi wajah “hancur” (maaf Dede…. Hehehehe… :D) toh terbukti bikin hoki buat Dede. Adapun soal ajak-mengajak, mana mungkin Sule dan kawan-kawan akan mengajaknya syuting bila memang tak ada produser yang mau? Dede memang bejo banget. Namun di atas semua itu, ia memang mempunyai sesuatu kok. Percayalah. Apakah keberuntungan Dede akan
berlanjut terus hingga dia bisa menjadi setenar Sule? Kita lihat saja nanti. Berlanjut atau tidaknya tentu akan tergantung pada Dede sendiri. Dia siap mempertahankan ke-bejo-annya itu atau tidak? Kalau bisa, insya Allah dia akan menyamai hoki Sule, mentornya itu. Dan waktu setidaknya telah membuktikan, sejauh ini, Dede makin eksis di dunia perkomedian. Tahukah Anda? Di saat sekarang ini Dede sudah meninggalkan profesi lamanya sebagai cleaning service, lho. Sekarang dia lebih memfokuskan diri di pekerjaan barunya sebagai pemain sinetron/film komedi.
BAGAIMANA menurut Anda? Apakah beberapa kisah yang telah Anda baca di atas betul-betul menceritakan tentang ke-bejo-an atau keberuntungan seseorang? Saya yakin bahwa Anda sekalian pasti sependapat dengan saya, bahwa kisah-kisah tersebut memang berkaitan dengan keberuntungan alias kebejo-an seseorang. Ada yang bejo karena rumahnya hanya terbakar sedikit sehingga kerugian dan dampak buruknya pun sedikit; tidak sampai menyebabkan kebakaran yang besar dan meluas (“Ramadhan yang Sedikit Menyala”). Bisa jadi keberuntungan itu disebabkan oleh kebiasaan para pemilik rumah. Mereka memang memiliki kebiasaan yang baik di malam hari. Mereka selalu
berdoa bersama-sama dan membaca ayat Kursi sebelum tidur. Iya, Tuhan memberikan sederet “keberuntungan” pada malam itu sebab keluarga tersebut punya rutinitas menitipkan jiwa sepenuh cinta kepada-Nya sebelum tidur. Sebab mereka selalu meyakini bahwa saat terlelap, pikiran dan jiwa mereka tak terkendali sehingga tidak ada siapa pun yang bisa dititipi segalanya kecuali Dia Yang Maha Kuasa. Ada yang bejo karena setelah belasan tahun berobat tak kunjung mendapatkan kemajuan kesehatan yang berarti, eh, gara-gara kekeliruan si tukang becak tua justru bisa menemukan dokter yang tepat sehingga kondisi kesehatannya membaik secara signifikan
(“Salah Alamat yang Membawa Kesembuhan”). Dalam kasus bapak yang sakit diabetes ini, kelihatannya Tuhan menunggu saat yang tepat untuk “memperbaiki” kondisi kesehatannya. Yup! Tuhan tahu, tapi menunggu. Menunggu hingga konsistensi usaha si bapak untuk mencari kesembuhan tampak nyata. Tapi caranya, memang sedemikian rupa tak terduga: melalui sebuah kekeliruan yang didahului oleh sebuah peristiwa yang tidak mengenakkan, yakni si anak yang mengantar beliau berobat malah mendadak ikut sakit! Ada pula yang bejo sebab terselamatkan dari hutang yang ada ribanya plus berbunga relatif tinggi, sekaligus mendapatkan solusi untuk
melunasi pembayaran rumah impiannya berupa pinjaman tanpa bunga sama sekali (“Terbelinya Rumah Impian”). Sementara yang lainnya bejo melulu sebab menang kuis terus (“Keponakan dan Kuis”). Siapa pun orangnya pasti akan menyetujui bahwa Mbak X dan keponakan saya itu merupakan dua makhluk yang beruntung. Tapi percayalah, keberuntungan mereka berdua tentu bukannya tanpa sebab. Kebejo-an keduanya adalah “hadiah” dari Tuhan. Mbak X adalah seorang karyawati yang baik, seorang anak yang berbakti pada ibunya, dan seorang kakak yang bertanggung jawab penuh terhadap adikadiknya. Mimpinya untuk membelikan
rumah bagi keluarga pun sangat kuat. Brosur iklan perumahan yang didapatkannya ditempelkan di dinding kamar. Setiap hendak tidur di malam hari, Mbak X pasti memandanginya berlama-lama sembari membisikkan harapannya kepada Tuhan, “Tuhan, kalau Engkau perbolehkan, aku meminta sebuah rumah.” Demikian juga saat ia bangun dari tidur. Rutin dia memandangi brosur, berdoa membisiki Tuhan dengan kepasrahan total plus harapan yang membulat, untuk kemudian pergi bekerja penuh semangat - sebagai upaya lahir demi terwujudnya harapan itu. Sementara keponakan yang peruntungannya ada di kuis itu, entahlah, saya sendiri pun sulit menganalisis
“jalan cerita ke-bejo-annya”. Sejauh pengamatan saya sejak sepuluh tahun lalu (sejak saya menjadi adik ipar ayahnya), tampilannya ya tidak berbeda dengan remaja pada umumnya. Waktu itu dia barusan lulus SMA. Anda tahu sendiri ‘kan prototype remaja usia segitu kayak apa? Belum bisa lepas sepenuhnya dari “suasana” masa-masa SMA. Beruntunglah mereka yang bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Setidaknya dalam suasana yang sedikit berbeda, mereka toh masih bisa melanjutkan berhaha-hihi dengan temanteman sebaya di sela-sela padatnya jadwal kuliah. Mereka yang tidak berkesempatan kuliah, hanya punya dua pilihan: kerja
atau menganggur. Saya kira bagi remaja seusia mereka dua pilihan itu kok samasama menyesakkan dada. Dunia kerja jelas lebih keras daripada dunia sekolah yang mengasyikkan. Bagi mereka, bagaimana mungkin dunia kerja bisa mengasyikkan? Gaji/honor/pendapatan bagi mereka tentulah jumlahnya kurang menggiurkan. Ini kita bicara pada umumnya, ya; bukan yang memiliki skill istimewa plus langka. Lapangan kerja yang tersedia bagi lulusan SMA yang tak memiliki skill apa-apa juga sangat terbatas. Lalu, bagaimana dengan pilihan menganggur? Hahh, kedengarannya enak yaaa… tapi tidak bila berlama-lama. Bikin bête dan di rumah bisa diomeli mami sepanjang hari gara-gara hanya
makan-minum-tidur…. Hehehe… Dianggap merugikan, mungkin kira-kira begitu jalan pikiran si mami. Nah, daripada hanya dimarahi mami sepanjang hari, keponakan saya yang hokinya di kuis itu memilih bekerja. Bekerja apa pun, pokoknya menghasilkan duit. Demikian tekatnya. Karena keterbatasan kesempatan yang ada, dia lumayan lama menunggu adanya lowongan kerja yang dirasakannya cocok. Hampir dua tahunan barulah dia menemukannya (hahh, lihatlah betapa dia tidak bejo untuk hal ini). Apa yang dilakukannya selama dua tahun itu? Main-main sajakah sambil sesekali mencari lowongan pekerjaan dan menulis surat lamaran? Tentu saja
tidak. Statusnya sih pengangguran banyak acara. Tapi “acaranya” memang bermanfaat, kok. Di antaranya “melanjutkan karier” sejak dia masih duduk di bangku SMA, yaitu jadi tukang parkir musiman, bantu-bantu di bengkel motor kenalannya (bila bengkel tersebut sedang banyak job), bantu-bantu temannya yang teknisi komputer (pola kerjanya sama dengan yang di bengkel motor itu), dan jadi “kenek” ayahnya yang tukang bangunan bila kebetulan ayahnya sedang tak punya “kenek”. Hmmm, semua acaranya bermanfaat ‘kan? Bermanfaat plus menghasilkan duit walaupun sedikit. Jangan lupa, di sela- sela semua acara tersebut dia tetap rajin cari info lowongan kerja serta rajin beli majalah
dan tabloid yang ada kuisnya, yang dia lalu rutin menjadi peserta kuis, yang dia kemudian sering menjadi pemenangnya, yang dia kemudian berbahagia sebab berhasil memperoleh barang-barang idamannya secara gratis. Nah, lho. Bagaimana menurut Anda? Ke-bejoannya di bidang kuis seimbang dengan sederet usahanya atau tidak? Dalam kisah yang saya beri judul “Luput dari Bus Maut”, si lelaki yang batal menaiki bus yang ternyata pada akhirnya mengalami tabrakan maut itu memang super bejo (maaf, ini tidak sedang menyebutkan nama sebuah band di masa lalu yaa…). Terlebih ditambah “pengalaman” dia sebelumnya yang pernah kecelakaan tunggal vespa. Lolos
dari maut adalah sebuah ke- bejo-an yang luar biasa dahsyat. Bagi siapa pun, tak hanya bagi lelaki tersebut. Secara umum bolehlah kita katakan bahwa belum takdirnya untuk meninggal dunia. Iya, demikianlah adanya. Tuhan masih memberinya amanah berupa tiga orang anak yang masih kecil- kecil. Yang sulung saja masih kelas 6 SD. Tuhan sangat tahu kondisi keluarga si lelaki. Tuhan tahu banget segala keperluan hamba-hamba-Nya. Si lelaki itu masih butuh mendampingi anak-anaknya hingga mereka dewasa sebab istrinya kebetulan bukanlah merupakan istri dan ibu yang baik. Apa jadinya kalau saat itu si lelaki dipanggil menghadap-Nya? Bagaimana kehidupan dan masa depan anak-anak
malang yang beribu “error” tersebut. Di atas semuanya, si lelaki adalah seseorang yang dermawan dan penolong. Buktinya banyak orang yang mengakui hal tersebut, terutama orang-orang yang pernah ditolongnya. Mungkin, itulah kunci ke-bejo-an si lelaki yang luput dari maut itu. Dirinya bejo sebab (mungkin) banyak orang yang mendoakannya panjang umur. Dan, Tuhan sangat mendengar doa yang dipanjatkan oleh orang-orang tersebut untuk si lelaki. Selanjutnya, bagaimana dengan nasib bejo si Dede mantan petugas cleaning service di studio tempat syuting acara OVJ? Sama dengan nasib bejo orangorang lainnya, ke-bejo-an Dede pun dia peroleh karena faktor-faktor tertentu
yang mendahuluinya. Mulanya dia beruntung punya pekerjaan sebagai salah satu petugas cleaning service, sementara kawan-kawan yang senasib dengannya banyak yang menganggur. Iya toh? Beruntungnya lagi, dia yang dikaruniai “wajah unik” dan (ternyata) sedikit bakat melawak jadi cleaning service di studio syuting OVJ. Beruntungnya lagi, para wayang OVJ bukan termasuk golongan selebritis yang suka pilih-pilih teman bergaul. Karena dasarnya mereka pelawak, dalam bergaul pun sering kali mengeluarkan joke-joke. Nah, saat bercanda-canda dengan para karyawan di studio syuting itulah “bakat” Dede mulai ketahuan. Maka suatu ketika di kala salah satu episode OVJ butuh
bintang tambahan, Dede diambil untuk memenuhinya. Mulai dari situlah nasib bejo Dede makin mencuat. Seiring perjalanan waktu, Dede memang terlihat makin bisa melawak sebab rupanya para wayang OVJ, terutama Andre dan Sule, memang tidak pelit menularkan ilmu melawak kepadanya. Lihatlah, Dede memiliki kesempatan belajar melawak dan dia bersedia untuk menjalaninya. Dia tidak menyia-nyiakan keberuntungan yang menghampirinya. Seiring dengan itu, dia mulai memperoleh peran-peran kecil dan figuran di sejumlah film/sinetron dan sesekali juga masih tampil di OVJ. Kegiatan Dede sekarang ya syuting dan
syuting lagi. Meskipun belum pernah memerankan sebagai tokoh utama ataupun tokoh penting, penghasilan Dede sekarang jelas jauh lebih besar. Maka profesi cleaning service pun dilepaskannya. Iya, keberuntungannya terlibat di produksi film/sinetron itu pun boleh dibilang sebab kenal dengan Sule and the gank. Namun, andaikata Dede tidak memiliki keberanian untuk tampil (saat ditawari pertama kali untuk menjadi bintang tambahan OVJ) dan tidak mau belajar dari para “mentor”nya tersebut, kemungkinan besar saat ini dia masih berprofesi sebagai cleaning service. Adapun faktor lain yang sangat mungkin paling mendukung ke-bejo-an Dede adalah doa emaknya. Dede bilang
honor pertamanya sebagai bintang tambahan OVJ diberikan semua kepada emaknya. Waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadan, jadi emaknya merasa sangat gembira sebab seumur-umur menjelang Lebaran baru sekali itu memegang uang dalam jumlah lumayan besar jika dibandingkan dengan yang sudah-sudah. Dan memang, Dede adalah anak yang sesungguhnya sangat berbakti pada emaknya. Tuhan sangat tahu akan hal itu. Maka sebagai hadiah, keberuntungan “dijatuhkan” kepada Dede. Iya, Dede sudah diberi jalan menuju kesuksesan karier di bidang hiburan. Kini saatnya ia bersyukur dengan cara mempertahankan keberuntungannya tersebut. Bagaimana
cara mempertahankan keberuntungan itu? Tentu saja dengan selalu belajar, belajar, dan belajar.
Bab 2 Definisi Bejo PADA bab sebelum ini dikemukakan beberapa kisah tentang ke-bejo-an atau keberuntungan seseorang. Ada yang bejo-nya sebab lolos dari maut akibat kecelakaan. Ada yang memeluk ke- bejoan sebab secara tak terduga-duga mendapatkan solusi untuk kesembuhan penyakitnya yang telah belasan tahun mendera. Ada pula yang menemukan kebejo-an karena tidak disangka- sangka bisa memperoleh pekerjaan baru yang honorariumnya lebih menjanjikan; bukan dengan cara mencari-cari pekerjaan baru tersebut, melainkan justru pekerjaan
barunya itulah yang mendatanginya. Ada lagi yang bernasib bejo sebab tiba- tiba mendapatkan solusi memuaskan untuk mengatasi cicilan pelunasan rumahnya, justru dari pihak yang disangkanya tidak akan mau membantu. Dan aneka macam kisah bejo lainnya. Jadi, berdasarkan kisah-kisah tersebut, Anda sekalian sudah tahu ‘kan tentang arti dari kata bejo? Yup… bejo itu berasal dari bahasa Jawa, yang artinya “beruntung”. Adapun nama lain dari bejo itu banyak. Selain “beruntung”, bejo acap kali pula disebut dengan “mujur” ataupun “hoki”. Mungkin ada banyak definisi bejo atau keberuntungan yang telah dikemukakan oleh banyak orang. Orang-
orangnya pun pintar; bukan orang-orang sembarangan yang asal-asalan menyusun definisi. Hmmm. Walaupun saya belum tergolong sebagai orang-orang pintar itu, saya memiliki juga rumusan definisi tentang bejo tersebut. Rumusan saya terkait definisi istilah bejo begini: bejo itu merupakan sesuatu yang terasa menyenangkan banget bagi orang yang menerimanya (maksudnya bagi orang yang mengalaminya). Baik ke-bejo-annya berupa materi maupun nonmateri, pokoknya terasa menyenangkan. Menyenangkannya bisa karena si penerima bejo merasa sekonyong-konyong mendapatkan rezeki nomplok, mendadak memperoleh solusi jitu untuk masalah yang telah
menderanya selama berhari-hari (bahkan selama bertahun-tahun), tiba-tiba menemukan sebuah kesempatan emas untuk memperbaiki tingkat kehidupannya, dan lain-lain hal yang senada. Intinya, bejo itu nuansanya serba tak terduga serba tak dinyana deh. Sebagai catatan pengingat, kebalikan dari bejo, ada yang namanya “apes” alias “sial”. Nuansanya sih sama-sama serba tak terduga serba tak dinyana. Tapi “jenis rasanya” yang berbeda jauh, sungguh bertolak belakang. Bila orang yang mengalami ke-bejo-an mendadak menerima/mengalami hal-hal yang menyenangkan banget, maka orang yang mengalami “keapesan” atau “kesialan” tertentu akan merasa tiba-tiba menderita
sebab mendadak mengalami hal atau sesuatu yang tidak menye- nangkan sama sekali. Tahukah Anda? Bejo mempunyai banyak nama, lho. Di antaranya “untung, beruntung, mujur, hoki, fortune, lucky”. Demikianlah adanya. Fortune, sebuah kata dalam bahasa Inggris, juga mengacu pada makna “keberuntungan”. Adapun kata fortune sendiri diambil dari nama seorang Dewi Romawi, yaitu “Dewi Fortuna”, yang memberi personifikasi “keberuntungan”. Oleh sebab itu, sering kali bila ada seseorang yang sedang bernasib baik, maka khalayak sertamerta menyatakan, “Wah, dia sedang dinaungi oleh Dewi Fortuna.” Atau, “Hari ini Dewi Fortuna sedang
menyelimutinya.” Hmmm, mungkin dengan semangat agar putri mereka senantiasa dinaungi keberuntungan seperti itulah orang tua Dewi Fortuna Anwar memberikan nama kepada beliau. Hehehe…. Iya, sangat bisa jadi begitu. Yup! Dan, nama adalah doa. Terbukti anak mereka —Dewi Fortuna Anwar— kini berhasil menjadi “seseorang”. Bukankah itu berarti sebuah ke- bejo-an tersendiri? Di atas telah dikatakan bahwa kata atau istilah bejo berasal dari bahasa Jawa yang artinya “untung atau beruntung atau keberuntungan”. Maka wajar bila banyak orang Jawa yang bernama “Bejo”. Atau, memberi nama anaknya dengan nama “Bejo”. Misalnya Bejo
Lelono, Bejo Sucipto, Bambang Bejo Utomo (Ngomong-ngomong, adakah salah satu dari nama “Bejo” tersebut yang merupakan nama teman Anda?) Tentu saja harapan pemberian nama “Bejo” adalah supaya si orang yang bernama “Bejo” tersebut nasibnya benar-benar menjadi bejo; bahagia hidupnya, beruntung hidupnya. Bagaimana? Apakah Anda pernah bertemu dengan seseorang yang bernama “Bejo” dan dia memang betul-betul selalu bejo di sepanjang hidupnya? Atau yang lebih dahsyat, bertemu dengan orang yang bernama “Bejo Fortuna” atau “Bejo Untung Fortuna”? Duuhh, duuhhh… namanya woww sekali yaa? Terasa cetar membahana. Dengan
menyematkan nama “Bejo” saja harapannya sudah jelas, yakni agar si pemilik nama beruntung hidupnya. Eh, kok masih dipanjangkan sebagai “Bejo Fortuna” dan “Bejo Untung Fortuna”? Itu berarti harapannya agar si pemilik nama memperoleh keuntungan yang berlipatlipat. Iya ‘kan? Lagi pula tak ada larangan untuk memberi nama apa pun dan sepanjang apa pun kepada seseorang. Lebih dari itu, tak ada yang salah dengan harapan atas pemberian nama tersebut. Kalaupun ternyata di kemudian hari orang yang bernama “Bejo” tersebut tidak beruntung, malah cenderung sering kali sial, itu perkara lain. Begitulah. Karena anugerah yang
berupa ke-bejo-an sungguh menyenangkan, sangat wajar jikalau banyak orang yang menginginkan dapat memeluk bejo seerat-eratnya Salah satu ikhtiarnya ya pemberian nama “Bejo” tadi. Yeah…. Kalau nama Anda “Bejo” tetapi Anda merasa bahwa tidak pernah sedikit pun meraih keberuntungan, apa boleh buat? Maka bolehlah ini disebut sebagai the wrong name in the wrong person. Mengapa sih Bapak Bejo Untung Fortuna bisa “dilewati saja” oleh nasib bejo? Mengapa yang selalu bernasib bejo justru Pak Joko? Padahal, orang tua Pak Bejo dahulu memberinya nama dahsyat demikian sebagai harapan dan doa agar hidupnya bejo. Pasti ada
sebab-musababnya. Ya, percayalah bahwa pasti ada sebab-musababnya mengapa Pak Bejo Untung Fortuna malah selalu sial. There is something wrong. Kemungkinan besar ada yang salah dengan hidupnya. O, ya. Bejo itu pun sebenarnya bertingkat-tingkat. Maksudnya: ada orang yang bejo banget hidupnya, sebentar- sebentar memperoleh nasib bejo; ada orang yang jarang atau kadangkadang saja bernasib bejo; ada pula yang sesekali saja, bahkan hampir tidak pernah mengalami nasib bejo. Tapi pada akhirnya, kita mungkin harus mengingat satu hal penting. Apakah hal yang dimaksudkan itu? Begini. Orang disebut beruntung atau tidak beruntung, bejo atau
tidak bejo, tergantung pada “perbandingan” antara apa yang mereka peroleh dan apa yang mereka harapkan. Jadi, bagaimana keadaan Anda sekalian? Banyak mengalami “keberuntungan” ataukah banyak mengalami “kebuntungan”?
Bab 3 Masak Sih Wong Pinter Kalah dari Wong Bejo? BENARKAH wong pinter (=orang pintar) kalah dari wong bejo (=orang yang beruntung)? Hhhmmm, bagaimana ya? Kata iklan yang sering kali warawiri di TV sih begitu. Anda sudah mafhum ‘kan dengan iklan yang saya maksudkan? Itu lho, yang menawarkan produk kesehatan berupa obat (entah jamu) untuk mengatasi masuk angin. Yang bintang iklannya Asri Welas, Butet, dan Bob Sadino. Dalam salah satu variannya, iklan
produk tersebut menampilkan Butet yang —seperti biasa dengan gaya khasnya, lucu-lucu nyebelin— mengatakan, “Wong pinter kalah karo wong bejo….” Yang artinya, “orang pintar kalah dari orang yang mujur/ bejo/beruntung”. Waduh, kasihan orang-orang pintar dong kalau memang demikian kenyataannya. Mungkin Anda sekalian juga bertanya-tanya, “Lalu, apa gunanya ada orang pintar? Mengapa Tuhan menciptakan orang pintar kalau hanya untuk dikalahkan oleh orang bejo? Lalu, apa gunanya kita belajar mati-matian supaya pintar? Lalu, mengapa di dunia ini mesti ada segala macam teori belajar untuk menambah kecerdasan dan kepandaian? Dan sebagainya. Dan
seterusnya?” Tenang, tenang. Jangan keburu berhati panas dan buru- buru mencurigai Tuhan seenaknya, ya. Dinginkan kepala sejenak agar kita bisa berpikiran jernih untuk memahami duduk permasalahannya. Baiklah. Mari kita telaah bersamasama. Dalam kehidupan ini, Anda pasti pernah menjumpai kisah keberuntungan orang- orang bejo. Sementara bersamaan dengan itu, di sisi yang berseberangan, Anda menemukan pula orang-orang yang tampak “bersenjata lengkap” untuk memanen suatu kesuksesan, ehh… ternyata masih kalah sukses dari mereka yang tampak “bersenjata seadanya” namun bejo.
Anda tidak dapat menolak fakta yang demikian itu. Oke? Sekalipun bagi Anda kenyataan tersebut mungkin terasa kurang adil. Saya tahu, mungkin Anda menggerutu, “Orang pintar kok dikalahkan oleh orang yang hanya beruntung saja? Kalau begitu, apa gunanya belajar agar pintar? Mendingan kita belajar cara menghadang keberuntungan saja!” Eh, tunggu dulu. Sebaiknya jangan buru-buru skeptis begitu terhadap “keberuntungan” yang notabene merupakan ketentuan dari Tuhan juga. Anda hanya belum paham duduk persoalan yang sebenarnya. Itu saja. Sebelum kita meradang lebih lama, bagaimana kalau kita memahami “hal-
ikhwal orang bejo yang mengalahkan orang pintar” itu dengan sepahampahamnya terlebih dahulu? Agar penjelasannya lebih mudah dipahami, mari kita telaah melalui analisis kisah si A dan si B yang mengikuti tes seleksi menjadi peneliti. BAIKLAH. Mari kita simak terlebih dahulu pengalaman si A dan si B saat mengikuti tes kerja. Hmm, jika ada di antara Anda sekalian yang mempunyai pengalaman mirip dengan kisah berikut ini, bisa jadi ini memang kisah Anda yang sedang saya pinjam sebagai contoh (Terima kasih, ya. Anda sudah menceritakan peristiwa kepada saya). Ada seseorang —kita sebut saja A—
yang ketika lulus kuliah mengantongi IPK tiga koma sekian-sekian, hampir bulat 4, dan durasi kuliahnya 5 tahun. Normalnormal sajalah. Tidak cumlaude (artinya lulusnya tidak terlalu cepat), juga tidak terlampau lambat. Temannya —kita sebut saja B— pun idem ditto. Hanya saja IPK temannya tidak genap 3; hanya dua koma sembilan sekian. Keduanya diwisuda bersamaan. Dari universitas yang sama (kita sebut saja universitas X), fakultas yang sama, dan jurusan yang sama. Yang berbeda hanya spesialisasinya. Yang satu spesialisasi bidang Sastra, yang satu spesialisasi bidang Linguistik. Kemudian keduanya kompak barengan mendaftar ke suatu instansi
pemerintah yang sedang membuka lowongan pekerjaan terkait bidang keilmuan mereka. Karena tujuannya sama, untuk mengurus segala sesuatunya mereka ke mana-mana berdua. Tibalah hari tes kerja tahap pertama. Alhamdulillah keduanya sama-sama lolos untuk lanjut ke tahapan tes yang kedua. Tapi nilai (hasil tes) si A memang jauh lebih tinggi daripada nilai si B. Dari 30 orang pelamar yang lolos ke tahap berikutnya, si A berada di peringkat pertama, sementara si B di peringkat lima. Jumlah nilainya pun terpaut jauh. Fakta demikian ini menyebabkan si A sedikit melambung angan-angannya sekalipun di satu sisi hatinya dia tetap merasakan adanya
sebuah kebimbangan. Hari demi hari berlalu, sebulan telah berjalan. Akhirnya mereka menghadapi tes tahap kedua. Alhamdulillah, keduanya masih sama-sama tersaring untuk melanjutkan ke tahap tes yang ketiga (yang merupakan tes tahapan terakhir). Apa hasil tes tahap kedua? Si A nilainya masih lebih tinggi daripada si B. Sebagaimana hasil tes tahap pertama, si A juga bertengger di peringkat teratas. Mau tidak mau perasaan si A makin melambung bangga meskipun masih digelayuti bimbang. Tapi secara garis besar, si A dan si B termasuk dalam peringkat tinggi daripada para peserta tes yang lainnya. Tidak mengherankan kalau keduanya
sama-sama optimis bisa diterima kerja. Iya, si A bagaimana pun sempat merasakan optimis juga. Di antara si A dan si B tidak terasa adanya persaingan sebab mereka memang berbeda spesialisasi studi. Bulan demi bulan berjalan. Tibalah hari tes tahap terakhir. Kali ini bukan ujian tertulis, melainkan ujian lisan dan wawancara dengan membawa skripsi masing-masing sebagai bukti penelitian yang telah mereka lakukan. Di samping penguji memberikan pertanyaanpertanyaan dari materi lain, materimateri di skripsi mereka juga diujikan. Usai sudah seluruh rangkaian tes kerja di instansi pemerintah tersebut. Tinggal menunggu hasilnya. Si A dan si
B sudah pasti sama-sama merasa harapharap cemas. Hingga akhirnya tibalah hari penentuan itu. Pada hari dan jam yang telah ditentukan keduanya mendatangi kantor instansi di mana mereka melamar kerja. Tarrraa….!!! Apa hasilnya? Si B lolos, dia diterima kerja sebagai peneliti di instansi tersebut. Sementara si A yang ketika di tes tahap pertama dan kedua nilainya mengungguli si B, bahkan selalu nangkring di peringkat tertinggi, ternyata justru gagal total. Ya, begitulah kenyataannya. Si A tidak diterima. Kecewakah si A? Di detik pertama tahu bahwa dia gagal, si A sepintas lalu memang sempat merasakan setitik kecewa. Tapi sebenarnya setelah itu dia
justru lega. Kebimbangan di hatinya seketika sirna. Diam-diam si A telah menemukan jawaban atas kebimbangannya selama mengikuti serangkaian tes kerja tersebut. Namun, orang lain tidak tahu apa yang berkecamuk di pikiran si A. Pada umumnya orang-orang (maksudnya teman- teman sesama peserta tes) meyakini bahwa si A pastilah sangat terguncang dalam kekecewaan. Mengapa? Sebab dialah “oknum” yang hasil tesnya selalu paling tinggi. Si B yang sadar diri bahwa selama ini nilai tesnya selalu di bawah si A, menjadi heran dengan hasil tes penerimaan. Maklumlah, si B ini justru semula mengira bahwa yang akan lolos
keterima kerja adalah si A. Bukan dirinya. Terlebih sebelum- sebelumnya beredar selentingan kabar bahwa peringkat pertama hingga empat biasanya otomatis lolos diterima kerja di instansi itu. Maka diam-diam sambil mengurus segala sesuatu yang harus diurusnya pasca pengumuman penerimaan kerja, si B menggali informasi soal penentuan lolos dan tidak lolosnya seseorang dalam tes kerja yang baru lalu itu. Upayanya pun membuahkan hasil. Usut punya usut, inilah hasil penelusuran si B. Kegagalan si A rupanya bukan disebabkan oleh rendahnya kemampuan akademik dan kurang bermutunya skripsinya. Kalau dari segi akademik, indikasinya jumlah
IPK serta hasil tes tahap pertama dan kedua, si A jelas memadai. Demikian juga kualitas skripsinya. Lumayan detil dan mendalam pembahasannya. Bahkan, ketika tes wawancara kerja berlangsung pun, si A mampu “mempertanggungjawabkan” skripsinya dengan baik. Dan sebenarnya dari spesialisasi Sastra, si A itulah yang berhak mendapat “tiket masuk” sebagai peneliti di instansi tersebut. Jadi, apa “faktor X” yang menyebabkan si A gagal menerima “tiket masuk”-nya ke instansi tersebut? Tentu saja sebab dia tidak beruntung, ora bejo wae… begitu kata orang Jawa. Si A lebih tinggi IPK-nya daripada si B. Hasil (nilai) tes si A di tahapan pertama
dan kedua pun jauh lebih tinggi daripada nilai si B. Sewaktu ujian pendadaran sebagai syarat kelulusan dari universitas dulu, skripsi si A memperoleh nilai A, sedangkan skripsi si B hanya mendapatkan nilai B. Nah ‘kan? Bukankah itu namanya si A tidak bejo, tidak beruntung; sementara si B bejo banget? Saya yakin, sebagian besar dari Anda pun serta-merta akan menyebut si A sedang tidak bejo dan si B sebaliknya, sedang bejo banget. Adapun penjelasan logisnya begini. Ternyata, tepat di tahun si A dan si B mendaftarkan diri sebagai calon peneliti di instansi tersebut, ada kebijakan baru dalam seleksi penerimaan peneliti. Kebijakan baru itu diberlakukan gara-
gara panitia penerimaan calon pegawai (maksudnya calon peneliti) diprotes oleh banyak universitas yang para alumninya tidak pernah lolos jadi peneliti di instansi tersebut. Begini ceritanya. Bertahun-tahun sebelum tahun si A dan si B mendaftar, mereka yang diterima kerja sebagai peneliti di instansi tersebut selalu para alumni universitas X dan universitas Y. Apa boleh buat? Yang memenuhi kelayakan sebagai peneliti selalu — secara kebetulan— para alumni dari kedua universitas tersebut. Tanpa adanya unsur KKN (=Kolusi Korupsi Nepotisme); sebab begitulah hasilnya secara objektif. Sudah barang tentu fakta demikian membuat gemas universitas
yang lain, yang para alumninya tidak pernah sekalipun lolos seleksi. Vulgarnya, universitas-universitas lain itu tidak rela bila para alumni universitas X dan universitas Y mendominasi di instansi tersebut. Apa boleh buat? Sekalipun dominasi tersebut terjadi alami, tidak merupakan hasil dari “KKN”, tapi yang namanya protes tetap protes. Universitas lain menginginkan keadilan dan pemerataan kesempatan kerja. Maklumlah. Sama-sama berstatus sebagai universitas negeri, sama-sama bernaung di fakultas dan jurusan yang sama, mengapa yang berkesempatan bekerja sebagai peneliti hanya para alumni dari universitas X dan universitas Y? Mengapa tidak ada
kebijakan khusus terkait hal tersebut? Kalau pertimbangannya semata-mata kualitas, berdasarkan hasil tes secara objektif, jelaslah kalau universitas X dan universitas Y lebih unggul. Keduanya merupakan universitas yang berlokasi di Jawa, berdirinya pun sudah jauh lebih lama sehingga tradisi keilmuannya tentu saja berbeda dengan universitasuniversitas lain yang melakukan protes tersebut. Protes-protes senada dari tahun ke tahun makin menderas. Hingga akhirnya diputuskan bahwa mulai pada tahun itu, yakni tahun ketika si A dan si B mendaftar/melamar, diadakan sistem pemerataan; kalau mulai tes tahap ketiga ada beberapa alumni dari universitas
lain, maka apa pun hasil tesnya, para alumni dari universitas lain tetaplah wajib mendapatkan jatah dua kursi (sebagai catatan informasi, biasanya yang diterima kerja sebagai peneliti di instansi tersebut adalah empat atau lima orang saja per tahunnya). Itulah yang terjadi pada saat si A dan si B mendaftar kerja. Pendek kata, “tiket peneliti sastra” yang sebenarnya merupakan “jatah” si A, dengan adanya “kebijakan baru” terpaksa diberikan kepada seorang alumnus universitas Z yang berlokasi di wilayah Indonesia timur. Terlebih ada satu fakta yang “bisa” menguatkan alasan untuk tidak meloloskan si A. Apakah fakta yang dimaksudkan?
Inilah faktanya: si A memiliki spesialisasi Sastra, sementara tahun sebelumnya peneliti baru dari spesialisasi Sastra yang diterima juga berasal dari universitas X. Apa arti dari kondisi ini? Berarti “jatah” universitas X pada tahun berikutnya (yakni pada tahun si A melamar kerja) adalah peneliti baru dari spesialisasi Linguistik. Nah, lho. Kondisinya memang klop sekali, bukan? Maksudnya klop bagi si A yang memang “takdirnya” tidak lolos diterima kerja, sekaligus klop bagi si B (alumni universitas X yang memiliki spesialisasi Linguistik) yang sudah jalan hidupnya memang harus meniti karier sebagai seorang peneliti di instansi tersebut.
Sudah merupakan suratan takdir bagi si A. Padahal, andaikata tidak ada kebijakan baru yang lahir dari protesprotes tadi, kemungkinan besar dia tetap akan lolos sebagai peneliti baru dari spesialisasi Sastra walaupun tahun sebelumnya jatah untuk itu sudah terisi dari universitas X, almamaternya. Tahukah Anda apa penyebabnya? Kebetulan sekali pada saat itu yang lolos hingga tes tahap ketiga, yang berasal dari spesialisasi Sastra hanya si A dan alumnus dari universitas Z. Sementara akumulasi nilai tes kerja si A jauh lebih melejit jika dibandingkan dengan alumnus universitas Z itu. Nah, lho. Kalau sistem penerimaannya full objektif, pasti si A yang akan diterima.
Bukan si alumnus dari universitas Z itu. Hmmm, bagaimana menurut Anda sekalian? Luar biasa toh “perjalanan kegagalan” si A? Dan di sisi yang berseberangan, “perjalanan keberhasilan” si alumnus universitas Z? Si A bersenjata lengkap, sedangkan si alumnus universitas Z di Indonesia timur bersenjata pas-pasan saja. Namun, si A gagal diterima jadi peneliti, sementara si alumnus universitas Z berhasil meraih impiannya untuk menjadi peneliti. Sekilas kita bisa langsung mengatakan bahwa si A dari universitas X itu apes yang seapes-apesnya. Sama sekali dia tidak bejo. Sangat jauh dari yang dinamakan keberuntungan. Sebaliknya si alumnus universitas Z,
bolehlah sekilas kita sebut dia memperoleh ke-bejo-an yang se-bejobejo-nya di atas kesialan si A. Hahh…! Mungkinkah ini merupakan sebuah bukti kebenaran bahwa wong bejo sungguhsungguh akan mengalahkan wong pinter??? Hmmm, lagi-lagi sekilas kita bisa membenarkannya. Iya, kenyataannya si A yang IPK dan hasil tes kerjanya konsisten bagus —di titik ini, marilah kita sepakat bahwa IPK tinggi dan hasil tes kerja yang bagus merupakan indikator dari kepintaran si A— toh kalah dari seseorang yang memiliki tingkat kepintaran di bawahnya. Namun, ini yang penting untuk Anda sekalian ingat: ada sesuatu yang terjadi di balik kesuksesan dan ke-bejo-an si
alumnus universitas Z tadi. Memang ada apa di balik ke-bejo- annya tersebut? Begini. Anda mestinya meyakini bahwa dia mendapatkan keberuntungannya lolos seleksi penerimaan peneliti baru “tidak semata-mata” karena adanya pemberlakuan aturan baru. Perlu saya garis bawahi, “tidak semata-mata”. Artinya, tidak mungkin nasib baik (bejo) akan menghampirinya begitu saja tanpa sebab. Baiklah. De facto —secara akademis— dia kalah segalanya dari si A. Tetapi, kalau Tuhan memberinya kebejo-an dalam proses seleksi kerja itu, pasti ada sebab- musababnya yang logis. Nah, ini yang sering kali terlupakan oleh hampir semua orang. Saya sendiri pun tidak tahu sebab- musababnya. Tapi saya
yakin bahwa itu merupakan sesuatu yang baik-baik darinya. Iya, karena orang beruntung selalu melakukan suatu kebaikan terlebih dahulu sebelum menjumpai keberuntungannya. Mari kita analisis sebentar. Si A memang terlihat “bersenjata penuh”. IPK tinggi, hasil tes kerja selalu mengungguli peserta tes yang lainnya; singkat cerita terlihat sangat meyakinkan deh “catatan akademisnya”. Namun ternyata, di balik semua persenjataan lengkapnya ada sesuatu yang kurang. Si A rupanya setengah hati mengikuti tes jadi peneliti itu. Dia tergerak ikut sebab kedua orang tuanya menginginkannya demikian. Sementara dia sendiri ragu-ragu akan kemampuannya sendiri sebagai peneliti.
Mungkin sesungguhnya dia mampu, tetapi yang jelas dia kurang berminat. Dalam bayangannya, menjadi peneliti sangat membosankan. Apalagi nanti pasti ditugaskan di luar pulau. Si A pun sudah sangat jatuh hati pada kota tempat studinya, yang sekaligus merupakan kampung halamannya. Apalagi saat itu, sembari mengikuti rangkaian tes jadi peneliti, yang memakan waktu sampai berbulan-bulan, si A sebenarnya sedang merintis sebuah bisnis dengan seorang teman. Bisnis kecil-kecilan yang sesuai banget dengan hobi mereka berdua. Karena bisnisnya masih baru, belum merupakan sebuah bisnis yang besar dan menjanjikan, maka si A tidak berani menolak permintaan
ayah-ibunya supaya dia ikut tes masuk kerja menjadi peneliti. Sebenarnya sih si A tidak pernah memberitahukan soal adanya lowongan kerja tersebut; juga lowongan kerja yang mana pun sebab dia tidak berminat jadi pegawai. Dia ingin berbisnis saja. Tapi suatu hari si B main ke rumahnya dan berbincang-bincang soal itu dengan ibunya. Apa boleh buat? Demi melegakan hati orang tuanya si A akhirnya mendaftar. Apalagi ayah-ibunya tampak bersemangat sekali mendukungnya. Mereka sudah menyiapkan uang saku untuk bolak-balik tes dari kota tempat tinggal ke ibukota Jakarta. Suasana batin si A sangat jauh berbeda dengan si B, bahkan besar
kemungkinan juga dengan si alumnus universitas Z tadi. Si B pribadi beserta seluruh keluarga besarnya benar-benar menginginkan pekerjaan itu. Si B belajar matian-matian untuk bisa mengerjakan tes di semua tahapan. Di samping itu, dia betul-betul berdoa siang dan malam agar Allah SWT memuluskan jalannya menjadi peneliti. Demikian juga orang tua dan seluruh keluarga besarnya. Soalnya sejak lulus sudah lebih dari setahun menganggur; melamar pekerjaan ke sana kemari tapi belum pernah lolos. Sangat mungkin, demikian juga halnya dengan suasana batin si alumnus universitas Z. Jadi, melalui segala jalan cerita dan logika tadi, di atas segalanya Tuhan sudah tahu hamba- Nya yang
manakah yang paling cocok-paling butuh untuk diberi pekerjaan sebagai peneliti. Maka ketika si B meminta maaf dan bilang kepada si A bahwa dirinya enggak enak kok malah akhirnya dia yang lolos, sedangkan si A gagal; si A menjawab santai tanpa beban, “Itu sudah rezekimu. Kamu ‘kan tidak bersalah.” Lalu, si A berterus terang kepada si B tentang keadaan batinnya yang sebenarnya. Memang sih selintas ada perasaan “duuuhhh... aku gagal nih” di hati si A sesaat setelah pengumuman penerimaan. Tapi ya cuma begitu saja. Dia tidak merasa terpukul atau merasakan kekecewaan yang mendalam. Ahh, tentu saja. Si A bahkan tidak pernah berdoa
agar jalannya untuk menjadi peneliti dimudahkan. Yang dipintakan kemudahan kepada-Nya justru bisnisnya. Dan memang, sesaat setelah keluar dari gedung tempat melihat pengumuman kelolosan, si A mendadak ingat kalau dia harus segera mengambil uang pelunasan orderan barang ke seorang konsumen. Hmmm, pantas saja dia tak merasa begitu kecewa. Selintas rasa kecewa yang sempat menyelinap kiranya hanyalah pengaruh suasana; bagaimana pun saat menjalani rangkaian tes masuk kerja si A merasa optimis sekali bahwa dia pasti akan lolos karena peringkatnya selalu tinggi. Dan saat itu, dia pun sempat berharap untuk lolos. Namun, harapannya itu pun
mungkin gara-gara terbawa situasi persaingan di antara para peserta tes belaka. Sebab jauh di lubuk hati si A justru berkembang kebimbangan bila dia benar-benar diterima kerja di instansi tersebut. Iya, si A bimbang sebab tak ingin pergi dari kota kelahirannya, sedangkan lolos menjadi peneliti berarti siap ditempatkan di luar pulau Jawa. Berdasarkan kisah si A, si B, dan si alumnus universitas Z di atas, apa kesimpulan yang dapat kita tarik? Ya, benar. Ke- bejo-an si B dan si alumnus universitas Z merupakan ujung dari serentetan panjang doa dan harapan yang senantiasa mereka panjatkan ke hadiratNya. Adapun doa dan harapan itu betulbetul “dialirkan” ke seluruh tulang
sumsum mereka. Sementara ketidakberuntungan si A, itu pun terjadi akibat tindakannya sendiri. Dia tidak pernah berdoa agar diterima kerja di situ. Yang ada, di sepanjang waktu dia hanya terbelenggu kebimbangankebimbangan melulu. Lebih dari itu, Tuhan saat itu pasti sudah mempunyai skenario yang lain buat si A. Untuk kasus ini, pada umumnya (bahkan mungkin hampir semua) orang serta-merta bilang bahwa si A betulbetul tidak beruntung. Tapi kebetulan sekali ketidakberuntungan si A di mata orang-orang justru menjadi “berkah” terselubung baginya. Pertama, dia tidak membantah saran kedua orang tuanya untuk melamar kerja jadi peneliti, yang
ini berarti dia tidak menyakiti hati mereka berdua; ketika hasilnya dia gagal, itu merupakan sebuah perkara yang lain, bukan merupakan kesalahan dirinya. Kedua, kegagalannya menjadi peneliti itu justru menjadi alasan kuat baginya untuk kembali menekuni bisnis yang sesuai dengan hobinya; dan tetap tinggal di kota kelahirannya. Mungkin Anda masih mengejar dengan pertanyaan, bagaimana kalau misalnya si A yang “apes” itu dalam kondisi juga menginginkan pekerjaan tersebut? Dia sudah mati-matian belajar, bahkan sudah mati-matian berdoa, ehh… masih gagal juga. Dia pasti akan merasakan kekecewaan yang mendalam. Oh, tentu saja. Pasti itu. Wajarlah.
Namanya manusia, kalau mendapatkan hal yang tidak diinginkannya atau gagal mencapai cita-citanya ‘kan selalu begitu. Merasa marah, menderita kecewa, menganggap dunia tidak adil kepada dirinya, dan lain-lain perasaan yang sejenis. Akan tetapi, satu hal yang mesti Anda ingat: ke-bejo-an dan ketidakbejo-an yang terjadi dalam kisah ini — juga dalam kisah lainnya— tidak asalasalan terjadinya. Tidak asal “menabrak” nasib seseorang. Pasti akan selalu ada sebab-musabab di baliknya. Tengoklah sekali lagi ketidak-bejoan si A. Di mata orang- orang pada umumnya, dia pasti akan dikomentari, “Wah, sungguh sial si A. IPK bagus,
hasil tes bagus, kok gagal diterima masuk kerja? Bejo banget itu saingannya yang sebetulnya kalah pintar dari si A. Betul-betul wong bejo mengalahkan wong pinter.” Anda mungkin juga setuju dengan komentar mereka. Namun, tunggu dulu. Anda masih ingat analisis di atas ‘kan? Memang benar wong bejo mengalahkan wong pinter, tetapi rupanya selalu ada alasan logisnya untuk menjelaskan “kenyataan” tersebut. Maksudnya, pasti ada sebab-sebab yang mendatangkan kebejo- an seseorang. Betapa pun runyamnya isi dunia ini, tapi Sang Maha Kehidupan selalu fair kok.
JADI, Anda tidak usah takut untuk menjadi pintar hanya gara-gara ungkapan dalam bahasa Jawa yang menyatakan bahwa “wong bejo luwih menang ketimbang wong pinter” (artinya: orang yang beruntung lebih menang jika dibandingkan dengan orang yang pintar). Ya, ya. Mengapa harus takut menjadi pintar? Konyol, ah. Bagaimana pun menjadi orang pintar itu wajib. Agama saja menganjurkan agar kita mau belajar hingga ke liang lahat. Artinya, kita wajib berproses menuju pintar di sepanjang hidup kita. Selama hayat masih dikandung badan, kita semua masih punya kewajiban belajar. Tidak hanya selama periode wajib belajar yang
sembilan tahun itu saja. Oke? Memang sih dalam banyak peristiwa orang-orang bejo terlihat mengalahkan orang-orang pintar secara telak. Namun, apakah ada orang beruntung, wong bejo, yang selalu akan beruntung jika dia tidak pintar? Bisa jadi dia sebenarnya memiliki sebuah kepintaran tertentu, tetapi dia sendiri tidak menyadari akan kepintarannya itu. Atau, kalaupun faktanya orang yang bejo tersebut betulbetul pas-pasan banget tingkat kepintarannya, pastilah dia menjadi beruntung karena pandai bersyukur. Yup! Kepandaiannya bersyukur telah membuat Tuhan “jatuh hati” sehingga Dia senantiasa memudahkan segala urusannya dengan sederet ke-bejo-an.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Profesor Wiseman menunjukkan bahwa orang-orang yang dianggap beruntung, baik karena pencapaian prestasinya ataupun pencapaian kekayaannya, ternyata mengembangkan sikap dan perilaku disiplin, senantiasa berpikiran terbuka, mampu mengambil peluang, selalu berpikir positif, memiliki kemauan untuk terus belajar serta bekerja keras dan bekerja cerdas. Dengan demikian sebelum orang-orang itu menjadi beruntung, sebelum memperoleh ke-bejo-an, mereka telah berusaha untuk menjadi “cerdas” terlebih dulu. Nah, terbukti ‘kan bahwa kita tidak sepatutnya takut menjadi pintar hanya gara-gara takut dikalahkan oleh
wong bejo? Kenapa mesti takut menjadi pintar? Justru jika Anda pintar, maka Anda akan tahu banyak cara terbaik yang harus dilakukan agar beruntung. Pada banyak kejadian, mungkin saja tingkat kecerdasan si orang yang beruntung de facto masih tetap di bawah si orang pintar yang tidak beruntung. Namun, orang yang tingkat kecerdasannya pas-pasan itu telah berani “memantaskan diri” di mata Tuhan. Setidaknya dia telah berusaha memintarkan diri. Kira-kira beginilah perkataan mereka kepada Tuhan, “Lihatlah, Tuhanku. Aku pantas memperoleh keberuntungan dalam kehidupanku. Aku telah berusaha keras untuk itu.”
KALAU begitu, rasanya perlu dipertanyakan sekali lagi: benarkah wong pinter kalah dari wong bejo? Iya, benar. Kenyataannya, orang pintar yang kurang beruntung sama saja tidak bisa serta- merta sukses. Sebaliknya, orang beruntung bisa sukses meskipun MUNGKIN bukanlah orang pintar. Hatihati memahami kalimat ini. Bukan orang pintar belum tentu berarti orang bodoh, ya. Yeah… inilah arti yang sebenarnya: bisa jadi kepintarannya kurang cemerlang, tetapi dia mau berjuang keras untuk menambah kepintarannya. Dengan kata lain, orang pintar belum tentu
beruntung, tetapi orang beruntung sudah pasti pintar. Dalam hal ini, orang-orang pintar memiliki segalanya, tetapi mereka perlu mendapatkan keberuntungan untuk mencapai kesuksesan. Berbeda halnya dengan orang-orang yang beruntung. Mereka lebih diuntungkan sebab memperoleh kesempatan sukses lebih besar daripada orang-orang pintar meskipun mereka yang beruntung tersebut bukan tergolong orang-orang yang pintar. Jadi, kita tidak perlu menunggu menjadi pintar untuk melakukan segala sesuatu. Mengapa? Karena pintar saja tidaklah cukup jika ingin mendapatkan hasil terbaik. Masih banyak faktor penentu yang lain selain
pintar. Lagi pula, kepintaran kita bisa ditambah sembari kita berpraktek melakukan sesuatu. Misalnya belajar berbisnis sembari melakukan bisnis itu sendiri. Learning by doing. Sekali lagi perlu ditegaskan, orang pintar memang benar bisa kalah dari orang yang beruntung. Namun, ada sederet detil penjelasan untuk “fakta” itu. Jangan lupa, banyak pula orang pintar yang sekaligus bejo, pintar, dan beruntung; dan justru kepintarannya itulah yang menyebabkannya bejo. Baiklah. Untuk menutup bab ini saya ingin mengutip sekali lagi ungkapan dalam bahasa Jawa sebagai berikut. Wong bodho kalah karo wong pinter, wong pinter kalah karo wong bejo.
Dalam arti harfiahnya, “Orang bodoh kalah dari orang pandai, tapi orang pandai kalah dari orang yang beruntung”. Namun, ungkapan Jawa tersebut mohon jangan dipahami dalam arti yang sempit, seolah- olah orang yang bejo atau beruntung adalah “sekadar” mendapat berkah sehingga ia bisa memperoleh apa yang didambakannya dengan mudah. Sebagai bahan perenungan, cobalah cermati masa lalu Bob Sadino yang lebih suka mengaku sebagai wong bejo daripada sebagai wong pinter. Lihatlah. Apakah dia memang tidak pernah belajar ataupun tidak bekerja keras sama sekali sebelum menjadi sosok yang sesukses sekarang ini? Pasti Om Bob sedang berbohong kalau mengatakan bahwa
dirinya tidak pernah belajar dan tidak pernah bekerja keras.
Bab 4 Kronologi Terjadinya Bejo WOWW? Bejo juga mempunyai kronologi? Begitu mungkin komentar Anda demi membaca judul bab ini. Hehehe…. Macam mana pula itu kronologinya? Oke, mari kita perbincangkan bersama perihal kronologi terjadinya bejo ini. Dalam bab sebelumnya (yaitu bab “Masak Sih Wong Pinter Kalah dari Wong Bejo?”), sudah dijelaskan bahwa ke-bejo-an atau keberuntungan tidak asal-asalan “menabrak” seseorang, lalu memeluknya erat-erat. Selalu ada beberapa penyebab dan alasan-alasan di
balik terjadinya sebuah keberuntungan alias ke- bejo-an. Ya, ya. Anda harus mempercayai bahwa ada “sesuatu”, bahkan mungkin “sesuatu-sesuatu” di balik sebuah kejadian yang bernama bejo. Memang sih ke-bejo-an sering kali terasa menyapa kita demikian mendadak. Seolah-olah tanpa penyebab sama sekali. Tanpa didahului hujan tanpa didahului angin, tiba-tiba begitu saja menyeruak ke dalam kehidupan kita. Apa boleh buat? Selama ini kita pada umumnya memang beranggapan bahwa ke-bejo-an atau keberuntungan merupakan faktor invisible hand. Arti harfiahnya, “disebabkan oleh pertolongan tangan- tangan gaib yang tak
terlihat”, yang begitu dahsyat kesaktiannya sehingga mampu memberikan keberuntungan kepada kita dengan cara tiba-tiba. Maksudnya, keberuntungan itu tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan usaha dan upaya kita untuk meraihnya. Dengan kata lain, keberuntungan itu dianggap sebagai suatu keberkahan semata-mata; bukan merupakan hasil dari sebuah usaha. Hmmm. Kalau memang seperti itu adanya, wuihhh… enak betul manusia yang dihinggapi si bejo. Ibarat kita melemparkan kerikil secara acak dan asal-asalan, lalu yang kena bisa mendapatkan doorprize. Di sisi sebaliknya, ada orang yang serius berusaha dan berupaya malah manyun
saja sebab tak pernah dihinggapi si bejo. Wah, wah. Kalau memang formula bejo seperti itu, Tuhan pasti tidak menyuruh manusia untuk konsisten dan bekerja keras dalam melakukan suatu usaha dong. Tidak pula menyuruh manusia untuk berdoa, memohon sesuatu, terutama sesuatu yang menjadi hajatnya. Untuk apa? Apa gunanya kita bekerja keras dan berdoa dengan khusyuk jika tidak ada jaminan sukses sebagai reward-Nya? Iya ‘kan? Oke. Supaya duduk permasalahan ke-bejo-an ini makin jelas, mari kita lihat ilustrasi berikut. Semoga Anda sekalian makin memahami hal ikhwal dan kronologis terjadinya bejo setelah membacanya.
SUATU ketika, segerombolan anak muda ngumpul-ngumpul di rumah salah seorang teman mereka. Sebagaimana lazimnya anak muda kalau sedang ngumpul, kegiatan mereka pun bermacam- macam dan kadang kala sedikit aneh, lalu di sela-selanya acap kali ada obrolan yang serius tentang sesuatu. Seperti halnya saat itu. Ada yang memainkan gitar sambil bernyanyinyanyi riang sekalipun sumbang. Ada yang sekadar mengobrol ngalor-ngidul. Ada yang tidur-tiduran saja. Ada juga yang bermain game. Nah, mereka yang bermain game inilah yang akan kita
soroti. Sebut saja yang bermain game itu bernama si Upin dan si Ipin. Setelah sekian waktu, akhirnya acara main game tersebut berakhir dengan kemenangan di tangan si Upin. Karena merasa kesal akibat terkalahkan, si Ipin mencari alibi atas kekalahannya. Si Ipin berkata, “Kamu itu menangnya karena beruntung saja. Hanya bejo! Coba kalau tidak bejo. Belum tentu kamu bisa menang melawan aku.” Harus diakui dengan sedih, perkataan si Ipin adalah cermin pola pikir kita pada umumnya. Jika melihat orang lain memperoleh suatu kesuksesan dan kesuksesan itu sebenarnya juga kita inginkan, maka dengan serta-merta kita
selalu tergoda untuk menyatakannya sebagai sebuah ke-bejo-an belaka. Artinya, diam-diam kita tidak rela mengakui fakta bahwa kita memang kalah. Kita terlalu tinggi hati untuk mengakui bahwa keberuntungan orang lain tersebut toh berasal juga dari usahanya untuk beruntung, untuk bejo. Saking umumnya pola pikir yang demikian itu, maka anak- anak muda yang hadir di situ pun tidak mempermasalahkannya lebih jauh. Mereka tidak terlampau memikirkan perkataan si Ipin barusan. Toh banyak orang dalam situasi yang serupa acap kali mengucapkan alibi semacam itu. Tapi, tunggu dulu. Tiba-tiba salah seorang dari mereka, sebut saja dia
bernama Ihsan, berkomentar, “Jangan salah soal bejo atau keberuntungan, lho. Keberuntungan itu terjadi karena adanya kesempatan dan kesiapan.” Komentar tersebut menyebabkan adanya “situasi lain”. Kata-kata Ihsan memaksa teman-temannya berpikir. Perkataan tersebut masuk di logika teman-temannya. Iya, bagaimana mungkin si Upin akan beruntung memenangkan permainan tersebut dari si Ipin apabila dia sendiri tidak siap. Dalam hal ini “siap” yang dimaksudkan adalah Upin bisa atau mampu memainkan game dengan baik. Coba bayangkan seandainya si Upin hanya bisa-bisaan, tidak bisa memainkannya dengan baik. Nah,
kesiapannya itu menjadi ke-bejo-an sebab bertemu dengan “kesempatan”. Iya, dalam hal ini kesempatan yang mana lagi yang dimaksudkan, kalau bukan kesempatan bermain game dengan si Ipin. Coba seandainya si Upin tidak memiliki kesempatan bermain game dengan si Ipin. Bagaimana mungkin punya pengalaman menang bila tidak berkesempatan bermain? Begitulah. Tanpa “kesiapan” dan “kesempatan”, si Upin pasti tidak akan pernah “beruntung” memenangkan game atas si Ipin. Jadi, menurut Anda bagaimana? Apa pendapat Anda terhadap komentar Ihsan? Anda setuju atau tidak? Apakah selama ini Anda juga selalu berpikiran bahwa ke-bejo-an yang diterima oleh seseorang
tidak berkaitan sama sekali dengan faktor kesiapan dan kesempatan, juga dengan faktor usaha dan upaya? Namun Anda mesti tahu, komentar Ihsan itu teramat sangat patut menjadi bahan perenungan bagi kita semua, lho. Yup! Anda yang selama ini menganggap bahwa bejo itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan usaha berarti Anda telah salah besar; besaarrr… sekali…!! Begitulah kenyataannya. Sebab orang tidak akan pernah menemui bejo alias beruntung manakala tangan dan kakinya tidak bergerak; manakala dia juga malas untuk berdoa demi mengiringi ikhtiarnya secara fisik tadi. Jadi, sudah jelas toh kalau kita memang harus melupakan saja anggapan tentang bejo yang berasal dari
invisible hand itu? Jika Anda seorang muslim, maka Anda tentu familiar dengan statemen dalam ayat al-Qur ’an berikut ini, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Q.S.13:11). Berdasarkan pada ayat tersebut kiranya telah jelas ‘kan bahwa Tuhan memberikan kesempatan yang sama kepada kita semua, setiap umat manusia di dunia fana ini tanpa terkecuali, untuk menggenggam sebuah kesuksesan? Adapun kesuksesan yang dimaksud adakalanya terasa sebagai sebuah keberuntungan belaka. Anda sekalian pasti sudah mafhum
bahwa janji Tuhan pasti akan selalu ditepati. Iya, Tuhan tidak pernah sedikit pun ingkar janji. Sebenarnya memang demikian itu. Hanya saja, kita manusia ini yang kerap kali mengkhianati-Nya berkali-kali. Sekalipun kita masih kurang beriman kepada-Nya, toh kesuksesan tetap akan diberikannya kepada kita jika kita sudah memperlihatkan usaha yang sungguh-sungguh untuk meraihnya. Apalagi kalau kita keimanan kita full, tentu akan makin ringan bagi Tuhan untuk mewujudkan kesuksesan-keberuntungan kita tersebut. Pendek kata, barang siapa senantiasa mempersiapkan diri untuk sukses, suatu saat dalam hidupnya tentu akan diberiNya kesempatan untuk merasakan sukses.
Baik cepat maupun lambat. Kalaupun bentuk kesuksesan yang kita dambakan dan angankan tidak pernah dikabulkanNya, itu pun pasti akan ada gantinya dalam bentuk lain. Tuhan Mahatahu apa yang terbaik bagi kita. Tuhan tahu segalanya. Tuhan tahu, tapi menunggu. Menunggu apa? Tentu saja menunggu kesiapan kita. Bisa jadi pula kesuksesan kita diberikan tidak dalam bentuk yang persis sama dengan keinginan kita sebab keinginan kita itu sesungguhnya tidak cocok, tidak tepat, untuk kita (Hmmm, tapi kita sering kali salah paham akan hal ini, ya? Kita malah buru-buru menuduh Tuhan berlaku tidak adil kepada kita sebab semua keinginan kita rasanya tidak pernah ada yang
dikabulkan-Nya. Sementara kita melihat banyak keinginan orang lain yang dikabulkan-Nya, bahkan sama persis seperti yang orang lain itu inginkan). Karena kesuksesan acap kali datangnya sangat tidak bisa diprediksikan, “situasi dan kondisinya” bisa terasa seperti sebuah ke-bejo-an. Terlebih kesuksesan acap kali pula tidak datang tepat sesaat setelah kita bekerja keras memperjuangkan sesuatu. Kadang kala kita telah habis-habisan berikhtiar secara fisik, sudah mengerahkan segala daya-upaya secara maksimal, dan sudah berdoa segila-gilanya; tapi rasanya belum ada hasil besar yang kita dapatkan. Namun pada saat yang lain, ketika kita melakukan segalanya nothing
to loose, tidak berharap yang mulukmuluk, niat lillahi ta’ala saja, pasrah sepasrah-pasrahnya pada apa pun ketentuan Tuhan, ehh… justru secara tak disangka-sangka kesuksesan besar memeluk kita tanpa ampun. Nah, di titik inilah kita merasakan kesuksesan tersebut lebih sebagai suatu bentuk keberuntungan, ke- bejo-an. Biasalah. Manusia itu ‘kan tempatnya salah dan lupa. Maka tidak mengherankan kalau banyak orang yang telah lupa akan perjuangan kerasnya sendiri sebelum memperoleh kesuksesan yang tengah digenggamnya. Betapa tidak lupa? Mereka ‘kan menganggap “kesuksesan yang tertunda” itu sebagai sebuah keberuntungan? Padahal
sesungguhnya, yang mereka anggap sebagai keberuntungan itu pada hakikatnya merupakan sebentuk reward atas sederet perjuangan dan seuntai panjang doa mereka sendiri di masamasa sebelumnya. Begitulah. Kesuksesan merupakan hasil dari usaha atau kerja yang kita lakukan. Sementara kesuksesan yang merupakan reward dari usaha atau kerja keras kita datangnya bisa terkesan mendadak sehingga acap kali kita salah pahami sebagai sebuah ke-bejo-an dari invisible hand. Kalau rumusannya seperti ini, apa artinya? Artinya, kalau kita ingin bejo, jangan pernah lelah untuk selalu mempersiapkan diri sehingga bila tiba-tiba ada kesempatan mendekat, kita
bisa langsung menyambarnya sehingga kita bisa beruntung, beruntung, dan selalu beruntung. Orang yang selalu beruntung berarti bisa mempertahankan keberuntungannya. Lalu, apa yang menyebabkan ia bisa mempertahankan keberuntungannya tersebut? Tentu saja kepintarannyalah yang bisa membuatnya begitu. Dengan memaksimalkan kepintarannya itulah ia sanggup menghadang keberuntungan di mana pun berada. Nah, lho. Jadi, siapa bilang kalau kepintaran tidak berguna lagi gara-gara si bejo?
O, YA. Bejo itu sama saja atau
terkait erat dengan yang namanya “kebetulan”. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat ilustrasi berikut ini. Si Ucok hobi menggambar karikatur. Hasil karyanya pun lumayan bagus. Lumayan professional. Di tiap waktu luangnya dia rajin menggambar karikatur dengan tema apa saja, sesuai dengan berita yang lagi hangat saat itu. Mulai dari berita politik hingga berita olah raga. Mulai dari berita lokal, nasional, hingga internasional. Pokoknya dia selalu produktif berkarya. Mungkin sama produktifnya dengan karikaturis professional. Terutama bila ada beritaberita yang menghangat. Sayangnya sampai sejauh itu, semua gambar karikatur hasil karyanya hanya disimpan
sebagai dokumentasi pribadi belaka. Kadang kala timbul keinginan dalam hatinya untuk mengirimkan karikaturnya ke koran atau majalah. Tapi dia khawatir, jangan-jangan redaksi koran dan majalah yang dikiriminya tidak menerima gambar karikatur dari luar sebab mereka sudah mempunyai karikaturis sendiri. Di sisi lain, diamdiam dia juga masih belum pede dengan karikatur yang dibuatnya.: sudah bermutu atau belum ya? Kebetulan selama itu dia tidak memiliki akses terhadap komunitas yang berkaitan dengan karikatur sehingga tidak bisa bertanya-tanya detil seputar dunia karikatur. Tak seorang pun di antara teman-temannya yang paham dunia tersebut. Ditambah lagi dengan
kesibukannya kuliah dan menjadi guru les di sebuah lembaga pendidikan, informasi seputar kartun hanya dicarinya sambil lalu saja. Padahal jauh di lubuk hatinya, dia ingin berkarier juga di bidang karikatur. Hingga suatu saat si Ucok membaca sebuah pengumuman/ iklan menarik di sebuah koran lokal. Iya, sungguh menarik bagi si Ucok. Iklan itu menyebutkan bahwa redaksi koran lokal yang bersangkutan sedang mencari seorang kontribur karikatur. Lowongan pendaftaran hanya dibuka dua hari, surat lamaran disertai dengan contoh karya sedikitnya lima gambar. Tentu saja demi membaca iklan tersebut, Ucok sertamerta memutuskan untuk memasukkan
lamaran sebagai kontributor karikatur. Hari itu juga dia segera menyiapkan syarat-syarat yang dibutuhkan. Untuk saja dia produktif berkarya dan teliti mendokumentasikan semua karikatur karyanya. Jadi, dia tinggal memilih saja karikatur yang mana saja yang akan disertakannya di surat lamaran. Yup! Inilah yang disebut sebagai “kesiapan bertemu dengan kesempatan”. Walhasil, si Ucok sukses diterima sebagai kontributor tetap bidang karikatur di koran lokal tersebut. Padahal, tahukah Anda? Dia membaca iklan lowongan tersebut di sebuah warung makan, ketika dia sarapan. Maklum, mahasiswa kos-kosan. Tahukah pula Anda? Si Ucok membaca iklannya
pun tepat di saat hari kedua alias hari terakhir batas waktu pendaftaran. Sebuah kebetulan yang manis. Iseng membuka-buka koran basi (‘kan terbitnya sudah di hari kemarin), eh ketemu iklan lowongan kerja yang sesuai dengan impiannya. Kebetulan pula dia belum telat untuk mendaftar. Masih ada kesempatan mendaftar di hari itu, sekalipun mendadak dia harus mengubah beberapa jadwal kegiatannya pada hari itu karena harus pergi mengantarkan surat lamaran ke kantor redaksi koran lokal yang membuka lowongan tersebut. Kebetulan juga dia memiliki semua hal yang diminta sebagai persyaratan untuk mendaftar. Luar biasa sekali toh sederet kebetulannya? Betul-betul merupakan
sebuah kebetulan yang super duper manis! Maka tidak mengherankan kalau si Ucok disebut wong bejo, orang yang beruntung, oleh teman-temannya. Betapa tidak beruntung? Tiba-tiba saja dia memiliki karier baru sesuai dengan yang dicita-citakannya selama ini. Tiba-tiba saja dia memperoleh sumber pendapatan baru yang bisa untuk menambahi honornya sebagai guru les. Itu berarti dia bisa makin meringankan beban kewajiban orang tuanya yang ada di kampung halamannya sana. Tidak sedikit-sedikit menghubungi orang tuanya bila butuh uang untuk membayar sebuah keperluan. Memang demikianlah adanya. Si Ucok selalu bertekat untuk
hidup mandiri agar tidak tergantung secara keuangan pada orang tuanya yang hidup pas- pasan di kampung. Sebelumnya dengan berhasil menjadi guru les di sebuah lembaga pendidikan, si Ucok sudah sedikit bisa mandiri. Kini, dengan sumber pendapatan tambahan sebagai karikaturis, tentu dia bisa makin mandiri secara keuangan. Apakah menurut Anda, si Ucok betul-betul beruntung? Terlebih jika menengok jalannya memperoleh pekerjaan sebagai kontributor karikatur? Ya, betul jawaban Anda. Si Ucok memang teramat sangat beruntung. Kita samasama sepakat bahwa itu merupakan
sebuah keberuntungan besar baginya. Coba Anda bayangkan. Andaikata si Ucok membaca iklannya itu saat batas pendaftarannya sudah lewat, pasti si Ucok gagal beruntung. Andaikata dia hanya sekadar berangan-angan ingin menjadi seorang karikaturis tanpa pernah berkarya, sudah pasti dia tidak akan siap dengan salah satu persyaratan untuk mendaftar, yaitu persyaratan menyertakan contoh karya sebanyak lima buah. Iya ‘kan? Sekarang lihatlah! Apakah keberuntungan si Ucok datang secara tiba-tiba tanpa sebab? Hati-hati, Anda jangan terkecoh. Anda jangan buru-buru menjawab “ya”. Mengapa? Karena sesungguhnya si Ucok sudah memenuhi
rumusan sebuah kesuksesankeberuntungan. Dia telah bertemu dengan sebuah “kesempatan/peluang” di warung makan langganannya pagi itu. Dia pada akhirnya bisa mengeksekusi kesempatan tersebut dengan baik sebab “memiliki kesiapan”, yakni dia produktif berkarya dan dia rajin mendokumentasikan karyanya sendiri. Maka jelas bahwa kronologi terjadinya ke-bejo-an pada si Ucok adalah: impian yang kuat, ketekunan dan konsistensi berkarya walaupun belum tahu pasti hendak dikemanakan karyanya tersebut, berdoa dengan khusyuk dan ikhlas, mencari peluang, hingga akhirnya bertemu kesempatan, dan…. Terjadilah ke-bejo-annya itu!
Dan, tahukah Anda? Kronologi serupa itu tidak hanya dialami oleh si Ucok. Cobalah amati dan cermati baikbaik. Setiap orang yang beruntung pasti “sebenarnya” telah menjalani kronologi yang serupa itu. Hanya saja, orang yang bersangkutan justru tidak menyadarinya. Nah, terbukti ‘kan bahwa “keberuntungan” sangat ada sangkut pautnya dengan “usaha dan upaya” kita untuk meraihnya? Itulah sebabnya ke-bejo-an alias keberuntungan tidak pernah menghampiri orang-orang yang pasif, yang tidak produktif, yang tidak pernah ngapangapain. Dengan kata lain, orang-orang yang dihampiri nasib bejo atau mereka yang beruntung adalah sosok- sosok
pribadi yang kuat, merupakan para pribadi pejuang yang setia menunggu tibanya saat keberhasilan mereka dengan banyak mengerjakan tindakan nyata; bukan hanya diam terpaku, tidak sekadar pasif menunggu tanpa tindakan apa pun. Anda tahu? Bahkan, tindakan itu pun disebut sebagai sebuah “doa yang lebih nyata”! Oleh sebab itu, tidak ada artinya sama sekali jika Anda hanya rajin berdoa dan berharap tanpa pernah melakukan sebuah tindakan nyata apa pun. Ahh, itu sih sama juga bohong.
KALAU bicara soal keberuntungan, contoh
kronologi paling
mengesankan mungkin yang dialami oleh para penemu (para pencipta) dahulu. Anda sekalian pasti mafhum bahwa mereka, orang-orang hebat yang menemukan berbagai macam alat yang hingga kini bermanfaat bagi kehidupan manusia, adalah orang- orang yang tangguh. Jasa mereka sungguh besar bagi dunia dan kehidupan. Mereka telah bekerja sangat keras untuk menciptakan berbagai inovasi di bidang masingmasing demi terwujudnya sebuah dunia serba modern sebagaimana yang kita tempati dan nikmati sekarang ini. Bertahun-tahun mereka konsisten melakukan penelitian dan inovasi. Bertahun-tahun itu pula mereka sanggup bertahan melawan bosan dan jenuh
dalam berproses. Bahkan tak jarang, hinaan dan celaan mereka terima karena proses sebuah penemuan dan inovasi yang demikian lama. Ada masyarakat yang meragukan, ada pula masyarakat yang menertawakan, bahkan ada yang menganggap mereka gila hingga harus diasingkan. Tapi untunglah (atau hebatnya?), para penemu tersebut lebih fokus pada impian besar masing-masing; sehingga mereka bisa cuek atas omongan-omongan negatif masyarakat. Walhasil, waktu jugalah yang membuktikan bahwa mereka pada akhirnya sampai pada titik “keberuntungan” yang mantap. Begitulah faktanya. Mereka akhirnya
berhasil mewujudkan sesuatu yang besar, yang sebelumnya senantiasa mereka impi- impikan. Ya, ya. Pada akhirnya mereka bisa membungkam orang- orang yang nyinyir mencemooh “kegiatan gila” mereka. Salah satu dari mereka yang dianggap “gila” itu adalah Thomas Alva Edison. Hmmm, tahukah Anda? Edison akhirnya “beruntung” dapat menemukan bohlam lampu setelah ribuan kali gagal. Woww! Catat, ya. Ribuan kali gagal, lho….! Betapa gila segila-gilanya semangat perjuangan Edison. Walaupun telah gagal lebih dari 9 ribu kali untuk mengikuti “keyakinannya”, ia tetap pantang menyerah. Edison betul-betul jatuh berkali-kali tetapi selalu bisa
bangkit lagi. Hingga akhirnya di percobaan yang kesepuluh ribu kali ia baru berhasil mewujudkan impiannya (keyakinannya). Kegagalannya yang ribuan kali itu pun terbayar sudah oleh keberhasilannya. Namu n , ap a ko men tar Ed i s o n s en d i ri so al j u ml ah kegagalannya yang spektakuler hingga ribuan kali itu? Hmmm, dia justru bilang kalau dirinya tidak pernah gagal. Hanya saja dia menemukan 9999 cara yang belum berhasil. Wah! Luar biasa, bukan? Sungguh-sungguh super duper dahsyat semangatnya. Inilah sosok pribadi pejuang yang sesungguhnya. Dan, setelah melewati berbagai bentuk perjuangan itu, Edison pun menjelma jadi inovator
dunia yang sangat sukses dan kaya-raya. Menurut Anda, apa yang terjadi pada Edison? Apakah di percobaannya yang kesepuluh ribu itu sebenarnya Edison sedang “beruntung, bejo” dalam mendapatkan formula yang pas sehingga berhasil? Atau, dia memang telah berada di “titik puncak” yang memungkinkannya untuk mendapatkan formula yang pas itu setelah berkali-kali gagal? Orang-orang yang tahu perjuangan dan kegagalan ribuan kalinya, pasti akan berpikir bahwa dia berhasil sebab telah mendapatkan formula yang pas; setelah sekian ribu kali mendapatkan formula yang tidak pas. Jadi dia bukan sekadar beruntung, melainkan memang telah bekerja keras sehingga berhasil. Namun,
orang yang tidak memahami perjuangan Edison pasti akan menjawab: ia beruntung! Oke, oke. Thomas Alva Edison bolehlah dikatakan beruntung atas penemuannya di titik sepuluh ribu kali. Tapi jangan lupa, keberuntungannya itu datang sebab ia memang pintar dan pantang menyerah walaupun berkali-kali belum berhasil. Lebih dari itu, dia tidak pernah sama sekali terfokus pada kegagalan- kegagalannya. Dia berhasil memberi sugesti pada dirinya sendiri bahwa itu semua bukanlah kegagalan, melainkan hanya sekadar sedikit salah jalan belaka. Maka Edison pantang menyerah. Dia waktu itu sangat yakin bahwa dirinya
pasti akan bisa menemukan sesuatu yang diyakininya. Yang tidak dia ketahui adalah saat pastinya, kapankah kesempatan baik akan berjodoh dengan kerja kerasnya? Itulah sebabnya Edison tidak pernah mau berhenti. Dia setia berproses demi mempersiapkan diri jika suatu saat yang tepat akan bertemu dengan kesempatan yang bisa memberinya “keberuntungan”. Dan akhirnya, keyakinan Edison terbukti. Dia menggenggam keberuntungan di titik sepuluh ribu kali. Lihatlah. Bukankah ada kronologi terjadinya bejo pada kisah Edison tersebut? Begitulah. Anda mau percaya atau tidak, tetapi kenyataannya bejo atau beruntung itu merupakan buah dari suatu
perjuangan. Bahkan, acap kali perjuangannya teramat sangat panjang. Demikianlah adanya. Di dunia ini memang tak ada yang datang hanya secara kebetulan, tanpa ada yang mendasari. Termasuk datangnya keberuntungan, yang sebenarnya pasti ada rentetan peristiwa penuh perjuangan di belakangnya. Jadi agar beruntung, ada banyak “cara dan jalan” yang perlu kita lakukan sehingga kita nanti bisa sampai pada kondisi yang disebut orang sebagai beruntung alias bejo.
Bab 5 Kalau Begitu, Bagaimana Caranya Menjadi Wong Bejo? SUDAH pasti menjadi orang yang beruntung itu selalu sangat menyenangkan. Betapa tidak menyenangkan? Sudah jelas-jelas segalanya terasa menguntungkan baginya toh? Serasa mendapat durian montong runtuh deh. Oleh sebab itu, wajar-wajar belaka jikalau rata-rata orang ingin sekali memperoleh keberuntungan. Jangankan keberuntungan untuk sebuah perkara yang positif - misalnya
keberuntungan dalam hal karier, bisnis, ataupun jodoh—, seorang penjudi togel sekalipun punya keinginan untuk memeluk bejo. Tentu saja seorang penjudi togel menginginkan ke- bejo-an dalam hal putaran nomor yang keluar. Iya, sesederhana itu keinginan ke-bejoan sang penjudi togel. Bila malam ini dia membeli kode buntut dengan nomor 123, maka dia sepanjang malam itu pasti berharap keberuntungan nomor 123 menyertainya. Namanya saja sudah jelas, judi, yakni sesuatu yang sifatnya untung-untungan. Hmmm, tapi ada yang aneh sebetulnya. Judi togel yang jelas merupakan sesuatu yang sifatnya untung-untungan sekalipun “butuh diupayakan” agar tembus bejo-
nya. Coba Anda perhatikan saja para peserta setia alias para pembeli togel tersebut. Sebelum mereka memutuskan membeli nomor (kode buntut) yang mana, mereka pasti akan melakukan semacam prediksi dan analisis terlebih dahulu. Bayangkan! Mereka serius sekali dalam memprediksi dan menganalisis itu. Yang sungguh ajaib adalah: begitu sudah memutuskan untuk membeli satu paket kode buntut tertentu, sambil membeli itu mereka sekalian mengucapkan harapan (yeah, katakanlah semacam doa), “Hmmm, semoga saja tembus, bisa buat bayar hutang. Duh Gusti, tolonglah aku. Tolong tembuskan nomor yang kubeli ini.” Halahh.…
Kontradiktif sekali deh. Judi apa pun bentuknya itu dilarang oleh Tuhan, kok. Eh, malahan minta pertolongan kepada Tuhan agar kode buntutnya tembus. Adaada saja. Bukankah itu berarti sebuah doa yang gila-gilaan? Mungkin kata Tuhan, “Ngarep deh loe….” Hmmm, rasanya untuk hal yang satu ini kita perlu malu kepada para penjudi togel tersebut. Coba Anda sekalian bayangkan. Kalau untuk memperoleh kebejo-an dalam judi togel saja para penjudi itu merasa butuh melakukan suatu upaya dan “doa” (hehehehe…), apalagi kalau kita ingin memperoleh kebejo-an di bidang lain yang lebih mulia daripada sekadar judi togel. Pasti upaya dan doa itu menjadi mutlak adanya.
Sekali lagi jangan lupa, supaya memperoleh ke-bejo-an alias keberuntungan, masing-masing orang mesti konsisten berusaha dan berdoa sebagai suatu bentuk langkah persiapan jika suatu saat nanti menjumpai kesempatan. Sebagai contoh, apabila Anda seorang pemilik warung makan kecil yang bercita-cita ingin mengembangkan warung tersebut menjadi sebuah restoran besar, maka langkah persiapan yang Anda lakukan antara lain: memiliki gambaran detil tentang menu apa saja yang akan disediakan, sudah mulai belajar dan praktek memasak menu-menu yang akan disediakan nanti, memiliki rencana detil tentang sistem pelayanan
yang akan dipergunakan, mulai menabung untuk mempersiapkan biaya pengembangan warung makan kecil menjadi restoran, mulai merancang bentuk desain interiornya, dan lain-lain hal yang terkait. Apa arti persiapan detil jauh-jauh hari sebelumnya itu? Artinya secara mentalitas Anda sudah mengondisikan diri sebagai seorang pemilik restoran besar yang sukses. Pengondisian mentalitas yang demikian sungguh penting, lho. Bila Anda sudah bermental pemilik restoran besar, Anda pasti akan siap lahir-batin kalau tiba-tiba mendapatkan keberuntung-an berupa pinjaman modal untuk mengembangkan warung makan Anda menjadi restoran.
Hidup itu ‘kan serba tidak terduga. Bisa saja terjadi, tiba- tiba muncul seorang kawan lama yang kaya-raya dan berniat meminjami Anda modal uang tanpa bunga sepeser pun untuk mengembangkan usaha warung makan Anda. Atau, tiba-tiba saja ada tawaran pinjaman modal usaha dari sebuah program bisnis yang diperuntukkan bagi usaha kecil-menengah yang ingin melebarkan sayap; tanpa bunga, angsuran ringan, ada bimbingan/panduan dari instansi atau lembaga terkait, tetapi proposal permohonan pinjaman harus dibikin detil sedetil- detilnya dan batas pendaftaran terbatas hanya dua hari. Nah, lho. Bila bertemu dengan kesempatan mendadak semacam itu,
dengan batas pendaftaran yang sangat terbatas pula (dan proposal permohonan pinjaman yang harus dibikin sedetil mungkin), sementara Anda belum memiliki konsep restoran yang Anda cita-citakan secara detil, maka Anda pasti akan kelabakan untuk memenuhi persyaratan tersebut. Ya, Anda pasti akan merasa sangat kecewa sebab tidak memiliki persiapan saat bertemu dengan kesempatan yang sebenarnya sudah lama Anda dambakan. Rugi besar ‘kan jadinya? Kalau enggak mempunyai persiapan sama sekali, bagaimana pula Anda akan melakukan presentasi kepada sang pemilik modal? Pemilik modal tentu tidak mau mempercayakan uangnya untuk dikelola oleh sembarang orang,
apalagi orang yang sedari awal sudah tampak tidak bertanggung jawab. Orang —dalam hal ini sang donatur yang memberi pinjaman secara pribadi — yang hendak meminjamkan modal pun wajib diberitahu secara detil tentang konsep perencanaan usaha yang telah Anda susun. Apalagi sebuah lembaga atau instansi. Bagaimana pun pihak pemberi modal harus diberi tahu konsep detilnya sehingga tahu untuk apa saja uang yang telah digelontorkannya kepada Anda. Apa yang terjadi bila selama ini Anda hanya berangan- angan punya restoran besar tanpa pernah melakukan sesuatu yang nyata untuk mewujudkannya? Apa yang terjadi
kemudian gara-gara tidak adanya persiapan dari diri Anda itu? Ke-bejoan di depan mata pun bisa mendadak sirna bilamana kesempatan datang, sedangkan Anda tidak memiliki persiapan apa-apa. Sayang banget ‘kan? Padahal, kesempatan bagus hampir tidak pernah datang dua kali. Sekali kita melewatkannya, ya sudah… apeslah kita ketinggalan kereta. Kadang kala ada orang yang menjumpai sekali lagi kesempatan bagusnya. Namun, keadaan itu pun teramat sangat langka dan rasanya hanya berlaku untuk orang-orang yang super duper istimewa. Baik istimewa perjuangannya maupun istimewa doanya.
KALAU begitu, bagaimana caranya agar kita bisa termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung alias wong bejo? Tentu saja dengan senantiasa berperilaku dan berpiki sebagaimana layaknya orang yang pantas menerima berkah keberuntungan. Mungkin saat ini Anda belum dihinggapi keberuntungan-kesuksesan dalam bisnis ataupun karier Anda. Akan tetapi, Anda sudah wajib bertindak sebagaimana halnya seorang pengusaha sukses ataupun seorang pemimpin di puncak karier yang memiliki banyak bawahan. Artinya, Anda serius dan sangat bertanggung jawab untuk semua hal yang
mesti Anda kerjakan. Kalau ingin mendapatkan keberuntungan besar dalam bisnis dan karier Anda, maka Anda tidak boleh hanya bersantai- santai dengan beralibi bahwa “sekarang ‘kan belum menjadi pengusaha sukses, jadi nyantai aja lagiii…” atau “sekarang ‘kan belum menjadi bos, belum menduduki jabatan direktur, jadi belum saatnya serius menyelesaikan tugas laporan kantor, nanti sajalah ada masanya tersendiri, kalau sekarang sudah bertindak seriusserius, pas sudah jadi direktur nanti malah tidak serius.” Dan lain-lain alasan yang serupa. Sudah jelas toh alasannya? Ya, betul sekali. Bersantai-santai berarti tidak mempersiapkan diri untuk bertemu
dengan kesempatan. Barulah kalau mendadak menjumpai kesempatan dan tidak siap segalanya… yang ada hanya penyesalan. Jadi, itulah sebabnya kita harus selalu siap berjumpa dengan sesuatu yang disebut kesempatan. Mengapa kita harus senantiasa siap? Sebab kita tidak tahu kapan akan menjumpainya, di mana kita akan menemuinya; juga dengan cara bagaimana kesempatan itu akan hadir di hadapan kita. Semua serba tidak pasti. Yang pasti hanyalah keyakinan kita bahwa kehidupan, Tuhan, akan memberikan reward kepada kita setelah kita memperjuangkan sesuatu secara sungguh-sungguh. Entah reward itu diberikan langsung sesaat setelah kita
berusaha, entah ditunda dahulu pemberiannya. Bahkan dalam beberapa peristiwa, reward kita diberikan dalam bentuk yang tidak sesuai dengan yang kita dambakan. Sekali lagi, bila kita ingin beruntung, maka kita wajib menyiapkan diri untuk beruntung. Sebab keberuntungan tidak akan pernah mau singgah di tempat orang yang tidak menginginkannya. Iya, orang yang tidak siap ‘kan berarti tidak menginginkannya. Singkat kata, jika Anda ingin menjadi wong bejo, termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung, Anda wajib memahami rumusan yang berikut ini. “KESIAPAN” + “KESEMPATAN” = “KEBERUNTUNGAN”
(Adapun keberuntungan ini sebenarnya merupakan sebuah kesuksesan, sebuah reward atas usaha dan upaya yang telah kita perjuangkan. Bukan semata-mata merupakan keberkahan ataupun kesaktian dari tangan-tangan gaib, melainkan buah dari perjuangan kita) Di sisi sebaliknya ada rumusan yang lain, yaitu: “KETIDAKSIAPAN” + “KESEMPATAN” = “KETIDAKBERUNTUNGAN”. (Begitulah kenyataannya. Ketidaksiapan kita senantiasa akan menjadi penyebab terbangnya ke-bejo-an alias keberuntungan kita. Iya, pasti itu. Sudah merupakan hukum alam)
Ada sebuah kata mutiara yang indah: “FORTUNE FAVOURS THE BRAVE”. Artinya, keberuntungan akan berpihak pada orang-orang yang berani. Berani ngapain? Maksudnya berani mengambil peluang, berani berusaha, berani bertindak, berani berpikir positif, serta berani bekerja keras dan cerdas. Dengan kata lain, keberuntungan tidak berpihak pada orang-orang yang tak melakukan apa pun untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik dan lebih sukses. Nah, setelah mengetahui rumusan untuk menjadi orang yang beruntung, apa yang akan Anda lakukan? Detik ini juga mulai bersiap untuk berjumpa dengan kesempatan di suatu saat di suatu waktu di sebuah tempat? Atau, seketika
berinstropeksi diri mengapa selama ini tak pernah beruntung? Atau, ini yang gawat, malah tetap cuek tak peduli sebab merasa tidak butuh sebuah keberuntungan? Hmmm. Kiranya semua terserah pada Anda sekalian. Hidup adalah pilihan kita masing-masing. Akan tetapi, jika Anda, kita, ingin menjadi orangorang yang beruntung, wong bejo, lakukanlah apa yang telah menjadi rumusan terjadinya keberuntungan itu.
SEKALI lagi saya ingin mengutipkan ayat berikut ini: “ Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu
tidak mengubah diri mereka sendiri”. Jadi, seseorang harus berusaha memperjuangkan nasibnya sendiri bila ingin mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Mustahil seseorang bisa memperbaiki kehidupannya sendiri kalau dia seratus persen tergantung pada orang lain. Nah, aksioma tersebut berlaku pula dalam memperoleh keberuntungan. Keberuntungan adalah sesuatu yang hanya bisa diupayakan oleh seseorang yang memang benar-benar ingin beruntung. Apa indikasi dari “benarbenar ingin”? Tentu saja dari usaha dan upaya yang telah seseorang lakukan. Baik usaha dan upaya yang sifatnya fisik (yaitu yang berupa persiapan-persiapan
dan rencana-rencana detil) maupun yang sifatnya nonfisik (yaitu yang berupa doa dan kedekatan dengan Sang Pencipta). Iya, berdoa itu perlu. Dalam kegalauan kita perlu berdoa. Dalam kesedihan kita perlu berdoa. Dalam kesenangan pun kita perlu berdoa. Kita tidak boleh merasa lelah untuk berdoa. Pokoknya di banyak waktu kita harus selalu setia untuk berdoa. Setelah segala daya upaya yang bersifat fisik kita lakukan, kita wajib berdoa untuk melengkapinya. Tentu saja berdoanya yang ikhlas dan khusyuk, ya. Yang benarbenar lahir dari hati. Maka di samping rumusan di atas, agar kita bisa termasuk ke dalam golongan orang-orang yang selalu
beruntung, kita perlu: Memiliki faith atau keimanan yang kuat; Mengaktualisasikan keimanan dalam dimensi kesalehan individual (hubungan insan dengan Sang Khalik yang diwujudkan melalui peribadahan sholat) dan kesalehan sosial (direfleksikan melalui kepedulian kemanusiaan melalui zakat); Membangun moralitas yang kokoh, yakni kemampuan menjaga kehormatan dan melakukan kontrol diri, serta memiliki komitmen kepada janji dan kepercayaan yang diberikan;
Mengedepankan sifat kejujuran karena kejujuran merupakan pangkal dari kemujuran; Memanfaatkan dan memanage waktu dengan bijak dengan cara menghindari aktivitas yang tidak bermanfaat dan tidak memberi nilai tambah untuk meningkatkan kualitas Anda (Q. S. al Mukminuun: 1-11). Baiklah. Jika Anda benar-benar ingin menjadi orang yang beruntung, jangan hanya pasif menunggu keberuntungan datang. Segera mulai bangun karakter pribadi yang beruntung. Mari! Mari kita sama-sama memperjuangkan ke-bejo-an kita masing-
masing. Memperjuangkan, lho. Bukan sekadar mengharapkan ataupun mengangankan. Bila Anda masih nekat mengharapkan belaka keberuntungan itu mendatangi Anda, maka Anda sungguh ketinggalan zaman. Dengar, ya. Zaman sekarang ini yang namanya “keberuntungan” sekalipun butuh usaha yang luar biasa. Adapun usaha seseorang bisa efektif dan efisien bilamana dia pintar. Jadi, syarat wajib kalau Anda ingin menjadi orang beruntung alias wong bejo adalah “pintar”. Ya, ya. Kepintaran itulah yang akan bisa dipakai untuk mempertahankan keberuntungan Anda.
Bab 6 Cara Berpikir dan Cara Bekerja Wong Bejo KONON cara berpikir dan cara bekerja orang-orang yang beruntung, wong bejo, memang berbeda dengan cara berpikir dan cara bekerja orangorang pada umumnya. Apalagi jika dibandingkan dengan cara berpikir dan cara bekerja orang-orang yang hidupnya dipenuhi oleh deretan kesialan. Lalu, faktor apa yang menyebabkannya? Ternyata faktor penyebabnya adalah aktivasi otak kanan dan otak kiri. Konon otak kanan adalah otaknya
orang bejo, orang yang beruntung. Anda masih ingat toh dengan penjelasan di bab- bab terdahulu? Di dalam bab-bab tersebut dijelaskan bahwa keberuntungan sesungguhnya tidak hanya sebuah kebetulan belaka. Namun, keberuntungan itu merupakan sesuatu yang bisa diciptakan oleh setiap orang dalam hidupnya. Keberuntungan itu terjadi bila ada kesempatan yang bertemu dengan kesiapan. Oleh sebab itu, apabila kita ingin memeluk bejo, maka kita mesti senantiasa bersiap diri. Persiapan diri itu sangat perlu sebab sewaktu-waktu, bahkan sekonyong-konyong, kita bisa tiba-tiba berjumpa dengan sebuah kesempatan. Karena kesempatan
datangnya selalu tidak terduga-duga, apa jadinya bila kita tidak senantiasa mempersiapkan diri, tidak memantaskan diri, untuk menerima sebuah keberuntungan? Pasti akan sial deh. Sial dan menyesal karena telah melewatkan sebuah kesempatan emas berlalu begitu saja tepat di depan hidung kita. Agar tidak menyesal seperti itu, lebih baik kita selalu menyusun sebuah perencanaan atas sebuah hal yang menjadi target impian kita. Namun, jangan pula kebanyakan rencana sehingga justru tidak detil perencanaannya. Mengapa? Karena rencana yang banyak tanpa memikirkan detil-detilnya tak akan bisa dikerjakan, apalagi sampai menghasilkan sesuatu
yang memuaskan. Baiklah. Kita kembali ke soal otak kanan yang katanya merupakan otaknya orang-orang yang bejo. Betulkah memang demikian? Kalau memang betul demikian, apa penyebabnya? Apa pula perbedaan antara otak kanan dan otak kiri?
APA sih otak kanan itu? Sesuai dengan namanya, otak kanan adalah otak yang terletak di bagian kanan kepala manusia. Pola pikir atau cara kerja otak kanan merupakan kebalikan dari pola pikir atau cara kerja otak kiri. Jika pola pikir atau cara kerja otak kiri lebih
rasional dan realistis dalam menganalisis atau memperhitungkan suatu hal, maka pola pikir atau cara kerja otak kanan tidak rasional dan tidak realistis. Ya, otak kanan lebih seperti berimajinasi, menyukai seni, bermain, dan lain-lain hal yang kreatif dan menantang. Dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana sih cara melihat perbedaannya? Bagaimana cara mudah untuk mengetahui apakah seseorang lebih menggunakan otak kanannya ataukah otak kirinya? Baiklah. Mari kita simak penjelasannya melalui sebuah ilustrasi berikut ini. Apakah Anda memiliki seorang teman yang tengah ingin berbisnis
sesuatu? Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Cermati saja apa-apa yang dilakukannya dalam merencanakan bisnisnya itu. Cermati baik-baik bagaimana cara dia bersikap. Jika teman Anda lebih dominan menggunakan otak kirinya, maka dalam merencanakan sebuah usaha (bisnis) dia akan lebih menghitung-hitung secara detil terlebih dulu. Detilnya pun sedetildetilnya. Diperhitungkan secara cermat dan teliti berapa untung ruginya. Jika dirasa keuntungannya besar, barulah rencana bisnisnya itu akan dijalankan. Jika dirasa keuntungannya tipis atau malah tidak menguntungkan sama sekali, biasanya orang yang cenderung memakai otak kirinya akan segera menghentikan
ide berbisnisnya. Ya, sudah. Dia terhenti di situ. Dia bahkan tak memikirkan sebuah “cara lain” agar bisnis yang direncanakannya tetap jalan, sekaligus bisa meningkatkan atau mendatangkan keuntungan yang memadai. Padahal, jika dalam memulai suatu usaha dihitung-hitung terus hingga detil tanpa berani ‘nekat” memulai, mungkin hingga sepuluh tahun ke depan baru bisa dibangun/dijalankan usaha tersebut. Lain halnya bila kita lebih ingin mencobanya dulu. Mungkin minggu depan pun bisa langsung dibuka usaha atau bisnis tersebut. Mohon dipahami juga bahwa istilah “mencoba” bukan berarti segala sesuatu tidak dikerjakan secara serius, lho. Ingat ya, walaupun dikatakan
“mencoba”, mengerjakannya tetap serius; tidak coba-coba. Demikianlah. Orang yang condong menggunakan otak kirinya adalah orang yang penuh pertimbangan dalam memutuskan sesuatu. Saking penuh pertimbangannya, kesan yang menguar justru lelet. Di samping lelet, sikap penuh pertimbangannya justru membuatnya tidak berani mengambil resiko. Dia tidak menyukai tantangan. Dia takut “berjuang”. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa efek berpikir yang lebih dominan ke otak kiri adalah lelet, penakut, pemalu, tidak percaya diri, tidak cepat tanggap, malas, dan lain-lain. Adapun efek berpikir yang lebih dominan ke otak
kanan adalah cepat bergerak, cepat tanggap, percaya kepada diri sendiri, pemberani, rajin, dan lain-lain. Itulah sebabnya orang yang dominan menggunakan otak kanannya bisa menjadi orang yang bejo (beruntung). Orang bejo itu ‘kan tipe “pejuang yang tangguh”. Selalu aktif bergerak demi mewujudkan hal yang menjadi impiannya. Dia sibuk mempersiapkan diri, siapa tahu kelak pada suatu saat dan tempat tiba-tiba saja akan berjumpa dengan kesempatan yang akan memperjodohkannya dengan keberuntungan. Hmmm, menilik syaratsyarat menjadi orang bejo yang demikian ini rasanya sulit membayangkan bahwa orang yang lebih cenderung
menggunakan otak kirinya bisa menjadi bejo juga. Ya iyalah. Orang-orang yang kelamaan mikir itu ‘kan buang- buang waktu saja. Ibaratnya dalam perlombaan lari, orang-orang lain sudah berlari, sudah memulai, ehh… dia masih saja berdiri di garis start sambil memikirkan bagaimana caranya berlari dengan cepat agar menang. Nah, lho. Konyol atau tidak? Sudah jelas toh kalau orang yang bertipe demikian itu tidak akan pernah memenangkan perlombaan. Lebih dari itu, karena orang-orang yang berotak kanan pada umumnya senang berkawan, di mana-mana mereka akan banyak memiliki teman. Maklumlah. Orang yang berotak kanan
bange ‘kan disukai oleh banyak orang. Nah, inilah salah satu faktor keberuntungannya. Dengan memiliki banyak link atau pergaulan yang luas itulah orang yang berotak kanan banget mudah mencapai harapannya. Iya, istilahnya akan banyak orang yang akan membantunya dalam mempertemukan kesiapannya dengan kesempatan. Ibarat kata, banyak teman banyak rezeki; banyak teman banyak keberuntungan. Bukankah kalau kita memiliki banyak teman dan kenalan berarti makin banyak pula sumber informasi atau link bisnis yang dapat sampai kepada kita? Adapun informasi itu mahal harganya. Kadang kala dari obrolan ngalor- ngidul saja terselip informasi-informasi yang kita
butuhkan. Bisa jadi informasi yang bersangkutan tidak penting bagi orang lain. Namun bagi kita, informasi tersebut sangat penting, bahkan merupakan sebuah peluang bisnis yang potensial besarnya. Mungkin Anda sekalian mengira bahwa mengedepankan otak kanan untuk berpikir adalah suatu karunia istimewa. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan berpikir dengan otak kanannya. Hmmm, tapi Anda salah kira, lho. Ternyata menjadi orang yang berotak kanan banget bukanlah takdir yang sudah “dituliskan” bagi seseorang. Menjadi orang yang berotak kanan adalah suatu pilihan bagi kita. Iya, betulbetul suatu pilihan. Kita sendiri yang
akan menentukannya, apakah kita akan lebih memilih untuk berpola pikir otak kanan ataukah berpola pikir otak kiri. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan mempelajari, memahaminya, dan mempraktekkannya. Pada awalnya, terlebih bagi kita yang sudah sangat terbiasa mengedepankan pola pikir otak kiri, mungkin relatif agak sulit untuk putar haluan, berbalik arah menjadi lebih mengedepankan berpola pikir otak kanan. Kita pasti akan tergagap-gagap mengikuti ritme kerja otak kanan. Memang begitulah. Orang yang cenderung memakai otak kirinya biasanya kurang cepat pula dalam bergerak. Ibarat kata, sebelum
melakukan sesuatu, pertimbangannya bisa bertahun-tahun. Hahh, benar-benar bisa ketinggalan momentum tuh. Berbeda dengan cara kerja otak kanan yang le bih mementingkan bertindak, lebih mementingkan Go Action! Kalau tidak dicoba dulu, mana kita bisa tahu??!! Kira-kira demikian itulah cara berpikir orang yang lebih dominan ke otak kanannya. Oleh sebab itu, orang yang dominan menggunakan otak kanannya cenderung segera bergerak (bertindak). Mereka tidak betah berlama-lama diam menunggu. Terlebih ketika di benak mereka sudah terkumpul ide-ide plus detil-detilnya. Walaupun detilnya mungkin belum detil banget, mereka pada umumnya memutuskan
segera bertindak. Alasannya, kedetilan yang semendetil-detilnya itu toh dapat dilakukan sembari memulai “gerak”. Apalagi kedetilan termaksud adakalanya akan mengalami dinamika, sesuai dengan perkembangan yang ada. Coba bayangkan andaikata kita hanya terpaku pada detil yang sudah kita bikin sebelumnya, sementara tren sudah berubah total. Ya, begitulah kenyataannya. Orangorang yang lebih men ged ep an kan p en g gu n aan o tak kan an mereka akan cenderung agresif dan antusias. Begitu merencanakan sesuatu, tanpa menunggu berlama-lama lagi mereka akan langsung bertindak mengeksekusinya. Tentu saja setelah melalui serangkaian
pertimbangan tertentu dalam batas durasi yang wajar. Maksudnya tidak kelamaan menimbang-nimbang enggak jelas. Bukannya suka ngawur, bertindak kebat kliwat, asal cepat tapi enggak teliti dan kurang perhitungan; melainkan segera bertindak setelah melakukan serangkaian perencanaan dan perhitungan yang semestinya. Jadi, tidak akan pernah ketinggalan/kehilangan momentum. Itulah sebabnya otak kanan disebutsebut sebagai otaknya orang bejo. Betul juga sih. Orang-orang yang beruntung, wong bejo, itu ‘kan merupakan kalangan yang siap berjuang keras. Mereka tipe orang yang berani mengambil resiko sebesar apa pun. Mereka tidak suka diam menunggu sampai melayu bersama
waktu. Tidak, mereka sama sekali tidak seperti itu. Justru sebaliknya, mereka sangat siap menaklukkan “dunia” demi mempersiapkan diri bertemu dengan kesempatan baik. A nda inga t t oh de ngan rumusan orang be jo a t a u keberuntungan? Ya, betul sekali. KEBERUNTUNGAN adalah “kesiapan” yang bertemu dengan “kesempatan”! Karena orang- orang yang menggunakan otak kanannya cenderung banyak “bergerak”, mereka inilah yang juga akan sering bertemu dengan kesempatan. Mungkin tidak semua kesempatan langsung mendatangkan keberuntungan-kesuksesan spektakuler bagi mereka. Akan tetapi, bukankah dengan seringnya bertemu aneka macam
kesempatan berarti memperbesar peluang untuk menggenggam keberuntungan? Bagaimana menurut pendapat Anda? Apakah Anda sekalian setuju apabila dikatakan bahwa sekarang ini bukan zamannya lagi untuk mengedepankan pola pikir otak kiri? Apakah Anda setuju apabila dikatakan bahwa fungsi otak kanan seharusnya lebih banyak kita terapkan ke dalam kehidupan kita seharihari; dan bukan hanya ketika kita hendak berkesenian atau bersastra? Hendak menolak atau menerimakah Anda bila ada orang yang mengajak Anda untuk lebih mengedepankan pola pikir otak kanan demi meraih kesuksesan atau keberhasilan hidup kita? Hmmm,
kiranya kita kini wajib mempertimbangkan ulang soal pemaksimalan potensi otak kanan dan otak kiri kita. Kalau di masa-masa yang terdahulu kita begitu mengagungkan otak kiri dan “menganaktirikan” otak kanan, marilah kita reformasi cara pikir yang demikian itu. Mengapa kita tidak berlaku adil terhadap kedua belah otak kita? Baik otak kiri maupun otak kanan kita tentu sama- sama baiknya. Spesifikasinya saja yang berbeda. Otak kiri kita dibutuhkan untuk memikirkan hal-hal yang sifatnya terencana, kausal, realistik, analistik, logis, dan hal lain yang sejenisnya. Sementara otak kanan kita lebih untuk memikirkan sesuatu yang sifatnya tak
terencana, impulsif, kualitatif, spesial, emosional terkait, EQ, imajinatif, artistik, dan hal-hal lain yang sejenis. Berdasarkan spesifikasi masingmasing, sesungguhnya pola pikir kedua belahan otak kita bisa saling komplementer. Misalnya sebelum memulai suatu bisnis kita melakukan sebuah analisis terlebih dahulu dengan memanfaatkan fungsi otak bagian kiri. Namun, segera setelah itu, gunakan pola pikir otak kanan. Tak usah kelamaan mikir ataupun menimbang-nimbang banyak hal. Bila sudah cukup memiliki bekal analisis dan perhitungan yang memadai, artinya lumayan detil, langsung saja bertindak. Karena jika terlalu lama berpikir, kita justru akan
lupa untuk bertindak. Padahal dalam hidup, kita harus selalu hidup (bergerak). Boleh-boleh saja sambil cengengesan Anda mengatakan, “Tenang sajalah, tidak usah terlalu tegang. Hidup sudah susah kok dibikin susah. Dipikir slow saja. Siapa tahu dengan berpikir slow dan bekerja santai, tidak terlampau tegang, justru bisa mendapatkan sebuah keberuntungan? Belajar juga tidak perlu terlalu keras. Toh sepintar apa pun kita, kalau tidak bejo, ya tetap akan kalah dari orang-orang yang bejo itu.” Hmmm. Baiklaaahhh. Itu semua adalah pilihan Anda masing - masing. Akan tetapi, mau tidak mau Anda harus mengakui bahwa zaman bergerak
demikian cepat. Jadi, bagaimana pun kita harus ikut bergerak dengan cepat untuk mengimbanginya. Bilamana di tengah hingar-bingarnya gerak zaman ini kita bermalas-malasan saja atau berdiam gara-gara kelamaan mikir dan mempertimbangkan sesuatu, wahhh… lama-lama kita bisa tergilas roda zaman tanpa ampun lagi. Terlebih jika kita masih lebih sering nyantai-nyantai enggak jelas. Tahukah Anda? Bahkan orang-orang bejo zaman sekarang pun tindakannya untuk meraih ke-bejo-an mereka itu sangat gila-gilaan. Ihhh, Anda katrok sekali kalau berpikiran bahwa mereka yang beruntung itu tidak pernah berjuang mengupayakan keberuntungan mereka
sendiri.
COBA Anda sekalian dengarkan perkataan bijak Albert Einstein, yang kata-katanya kurang lebih begini: Hidup itu seperti naik sepeda. Agar tetap seimbang, kau harus terus bergerak! Nah, lho. Anda pasti bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila Anda tetap duduk di atas sadel sepeda sementara Anda sudah menghentikan kayuhan Anda. Pasti lamakelamaan sepeda akan berhenti bergerak, sebentar kemudian oleng, dan taarrraaa…. Anda terjatuh! Iya, sih. Kemungkinan besar jatuhnya pelan-pelan
saja. Tidak akan terasa begitu sakit. Paling-paling hanya lecet sedikit kalaupun terjadi luka. Kecuali Anda terjatuh pelan tepat di atas gundukan pecahan beling yang tajam. ‘Kan sepeda yang tidak dikayuh lagi makin lama makin pelan laju rodanya? Berbeda jika Anda terjatuh saat sepeda terkayuh cepat. Tapi ingat, titik perbincangan kita kali ini adalah soal “keseimbangan”. Jadi, mau sepedanya dikayuh cepat ataupun dikayuh lambat, yang penting sepeda itu dikayuh agar tidak jatuh. Apabila sepeda berhenti bergerak sementara Anda tetap nekat nyantai duduk di sadel, maka kondisinya jelas menjadi tidak seimbang. Hanya bisa
bertahan sebentar saja, lalu akhirnya jatuh. Tapi ngomong-ngomong, mengapa sih Albert Einsten sang ilmuwan dan guru besar itu sampai “iseng” ngomongin soal keseimbangan mengendarai sepeda? Sedang memberikan tips belajar naik sepedakah dia? Hmmm, tentu saja tidak. Dia hanya sedang mengajarkan pengetahuannya melalui kata-kata bijaknya dan rumus-rumus kehidupan. Sadarkah Anda? Jika kita menelaah apa yang disampaikan oleh Albert Einstein di atas, maka secara tidak langsung ia mengatakan bahwa, “Hidup itu harus lebih dominan ke otak kanan (Bergerak).” Waaahhh, luar biasa. Seorang Albert
Einstein menganjurkan agar kita menjalani hidup dengan lebih mengedepankan pola pikir otak kanan. Padahal, selama ini orang-orang mungkin berpikir —tentu saja demikian — bahwa Einstein pasti tidak pernah mempergunakan otak bagian kanannya. Bukankah dia seorang ilmuwan eksakta? Namun, itulah kenyataannya. Einstein menganjurkan kita untuk memaksimalkan potensi otak kanan. Sebab dalam bekerja, orang yang lebih dominan ke otak kanannya akan lebih suka bergerak cepat daripada berlama-lama berpikir dalam diam. Kira-kira apa ya yang menyebabkan Albert Einstein sampai pada pemikiran yang demikian itu? Bahkan menganjurkan
supaya kita lebih cenderung menggunakan pola pikir otak kanan daripada otak bagian kiri? Mungkin begini penjelasannya. Albert Einstein berpendapat seperti itu berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri. Bahwa ternyata, dalam mempelajari sesuatu, orang yang lebih dominan ke otak kanannya relatif akan lebih cepat tanggap, cepat menyerap ilmu yang dipelajarinya itu, dan cepat menguasainya. Lebih dari itu, mereka yang termasuk ke dalam golongan otak kanan ini bisa dikatakan sebagai tipe orang-orang yang learning by doing. Tidak terlalu mementingkan teori dan prediksi sebelum eksekusi, tetapi lebih suka langsung terjun ke lapangan untuk
“belajar sembari mengalami sendiri”. Orang-orang dengan dominasi otak kanannya tidak akan pernah membiarkan semangat bergeraknya “terkotori” oleh ketakutan-ketakutan tak beralasan yang timbul dari keliaran pikiran mereka sendiri. Adapun pikiran-pikiran liar yang menakutkan bisa muncul ketika kita kebanyakan mikir, mikir, mikir, dan mikir tanpa segera Go Action. Dan, pada akhirnya hal itu menjadi racun bagi pikiran kita. Percayalah, sering kali kenyataan tidaklah seburuk yang kita bayangkan atau yang kita pikirkan. Sejauh pengalaman saya sendiri selama ini, pikiran-pikiran liar tersebut rasanya memang sungguh menikam. Misalnya
saja ketika kita belajar menaiki sepeda motor. Sungguh mengerikan bila saat belajar sepeda motor seseorang terlebih dulu dijelaskan secara detil sedetildetilnya perihal fungsi kopling, fungsi gigi-gigi motor, fungsi mesin, dan fungsifungsi lainnya; kalau tidak begini maka akan begini, kalau tidak begini maka akan jatuh, kalau begitu maka jatuhnya akan begini, kalau begini jatuhnya akan begitu, dan sebagainya. Sungguh, rentetan penjelasan detil itu akan membingung- kan bagi si orang yang hendak belajar motor. Apalagi penjelasan yang bagian jatuh-jatuh. Wah, itu akan sedikit terasa mencekam baginya. Walhasil, sembari belajar dia pun akan sembari berpikir untuk sangat
berhati-hati agar tidak jatuh. Dia akan merasa tegang. Akibatnya, ketegangan itu justru membuatnya lambat belajar. Bahkan kalau tidak beruntung (nah, lho!) akan terjatuh beneran… iya, dia ‘kan selalu memikirkan kemungkinan jatuh. Apa-apa yang sering dipikirkannya, itulah yang —sedihnya— malah terjadi. Padahal sebenarnya dia memikirkan jatuh bukan sebab ingin jatuh. Iya ‘kan? Dia kebanyakan mikir sebab saat itu otak bagian kirinyalah yang sedang aktif. Mikirnya bukan bagaimana cara menjalankan motor dengan aman dan nyaman, melainkan mikir-mikir dengan penuh kebimbangan dan ketakutan yang akhirnya justru membuyarkan konsentrasinya dalam berkendara.
Berbeda halnya jika orang yang hendak belajar naik motor diberi penjelasan seperlunya saja perihal fungsi-fungsi alat yang dibutuhkan saat mengendarai sepeda motor. Langsung saja dia diajak praktek mengendarai motor di jalan desa atau di lapangan sepak bola. Kita jelaskan saja seperlunya dulu apa-apa yang mesti dilakukannya untuk menjalankan dan menghentikan laju sepeda motor. Tanpa kita terangkan secara detil mengenai fungsi kopling, ketika ia mencobanya ia akan tahu sendiri! Oh kopling itu harus begini, oh kalau gasnya segini dan koplingnya segini tidak jalan, oh kalau mengerem mendadak itu akibatnya begini, bila memakai rem tangan bisa
begitu, bila rem kaki demikian, dan seterusnya. Yup! Dia akan learning by doing. Apa-apa yang dia belum tahu akan ditanyakannya dengan kesadaran sendiri. Dengan demikian, dia akan menjadi seorang pembelajar yang super duper aktif dan yang terpenting… cepat bisa! Kita kembali ke Albert Einstein. Kalau seorang Albert Einstein saja memotivasi orang untuk menggunakan otak kanannya, berarti alangkah naïf dan salah kaprahnya kita selama ini? Bukankah kita entah sudah berapa lama, terlampau mengagungkan otak kiri dan sering sekali mengabaikan fungsi dari otak bagian kanan? Padahal jika orangorang tahu dan memahami fungsi otak
kanan yang sebenarnya, maka kemungkinan besar mereka akan lebih menggunakan otak kanan sebagai pola pikir mereka. Iya, Anda harus mempercayai statemen ini. Bukankah banyak orang yang ingin menggenggam keberuntungan? Sementara bila pola pikir otak kanan kita yang lebih dominan, maka kesempatan kita untuk memperoleh keberuntungan akan makin terbuka lebar. Alasannya, kita akan lebih aktif dan kreatif dalam perjuangan menggapai sukses; juga akan main giat mempelajari apa saja demi memintarkan diri sehingga apabila bertemu kesempatan bisa memperoleh ke-bejo-an. Akan tetapi, apa boleh buat? Salah kaprah sudah sangat parah. Perhatikan
saja lembaga pendidikan, sekolah, dan perguruan ting gi yang ada di negeri kita ini. Rata-rata, pada umumnya, lembaga pendidikan dan sekolah tersebut mengajarkan pemaksimalan otak kiri belaka. Sangat jarang, bahkan hampir tidak ada, lembaga pendidikan atau sekolah- sekolah yang mengajarkan betapa pentingnya fungsi otak kanan kita. Jikalau ada, kadang kala hanya di perguruan tinggi atau universitas saja. Yang memprihatinkan, kadang-kadang pula di universitas hanya diajarkan di jurusan Psikologi. Hmmm, apa boleh buat? Syukurlah belakangan banyak bermunculan kaum muda yang berani out of the box. Mereka menularkan virus-
virus entrepreneurship sekaligus mengajak orang untuk mengaktifkan pola pikir otak kanannya. Mereka tidak sekadar bicara teori. Mereka sudah mempraktekkan sendiri segala macam teori (kalau boleh disebut teori) yang mereka bicarakan itu. Hasilnya pun nyata. Iya, mereka telah berpraktek dan berhasil, baru kemudian berbicara demi mengajak khalayak luas agar berani banyak bertindak, tidak melulu terjebak pada pikiran-pikiran dan teori-teori. Jadi, inginkah Anda menjadi orang bejo? Kalau mau, segeralah bertindak setelah berpikir dan berencana detil secukupnya. Yakinlah bahwa sembari berproses dalam sebuah tindakan nyata, Anda akan makin bisa menemukan detil-
detil yang memang Anda perlukan untuk menjemput keberuntungan Anda. Mulai sekarang Anda tidak usah lagi melakukan “pelecehan” terhadap si otak kanan. Sebab sesungguhnya otak kiri dan otak kanan itu bersaudara. Hehehe… Tentu saja demikian; keduanya memang bersaudara. Bahkan sebenarnya, saling melengkapi. Tanpa otak kiri, dunia tenggelam dalam bencana; sedangkan tanpa otak kanan, dunia tenggelam dalam rincian membosankan.
DALAM kehidupan bermasyarakat pada umumnya, soal otak bagian kanan dan otak bagian kiri mungkin tidak
terlalu diperhatikan yaa…. Pokoknya bila ada orang yang sangat pandai matematika dan eksakta, dia disebut memiliki otak kiri yang lebih aktif. Demikian juga sebaliknya, bila ada orang yang sangat pandai melukis, menari, mendongeng, ataupun menyanyi, dia disebut lebih mengedepankan otak bagian kanannya. Tapi ngomongngomong, adakah yang tahu (maksudnya di masyarakat awam secara umum) bahwa sebenarnya otak kanan itu terkait erat dengan soal ke-bejo-an alias keberuntungan seseorang? Mungkin saja masyarakat pada umumnya kurang atau bahkan tidak menyadari sama sekali adanya potensi otak kanan ini untuk mencapai
keberuntungan. Andaikata mereka banyak yang sadar, pasti akan banyak orang yang bersedia mengasah kemampuan otak kanan mereka demi bertemu dengan yang namanya bejo. Andaikata kalangan masyarakat luas banyak yang dominan mengoptimalkan otak kanannya, tentu deretan para pencari (pelamar) kerja tidak akan mengular. Para lulusan universitas dan perguruan tinggi pasti banyak yang lebih memilih jadi wirausahawan daripada melamar pekerjaan. Lalu, para orang tua yang anaknya barusan lulus TK pun tidak berlombalomba memasukkan anak-anak mereka ke sekolah dasar yang —menurut mereka— bermutu hanya karena di sekolah tersebut
mulai kelas 1 sudah diadakan les bidang studi selepas jam sekolah; atau karena di sekolah tersebut tiap hari siswanya diberi seabrek PR matematika agar mereka memiliki nilai akreditasi yang tinggi. Ck…ck…ck… !! Lihatlah betapa masyarakat sudah sangat terbelenggu dengan fungsi otak kiri. Ini jelas bukan kondisi yang kondusif. Kasihan anakanak itu. Hidup toh bukan hanya soal angka-angka matematika. Bukan melulu soal nilai-nilai rapor yang tinggi. Bukan hanya diisi dengan les- les mata pelajaran. Tahukah Anda? Betapa runyamnya kehidupan ini bila fungsi otak kiri selalu lebih dikedepankan. Mungkin kalau kaitannya dengan dunia sekolah atau
dunia kerja, hal tersebut tidak begitu terasa. Namun, bila dalam kehidupan sehari-hari untuk soal yang sepele saja otak kiri terlalu mendominasi, wahh… itu amat menyebalkan. Sebagai contoh, kita hendak menyuruh seorang keponakan laki-laki untuk berbelanja sesuatu di pasar. Bila si keponakan merupakan seorang anak yang lebih dominan ke otak kiri, biasanya dia akan berpikir-pikir dulu, dan kadang kala pikirannya akan ngawur ke mana-mana. Misalnya dia takut atau malu jika ada teman atau pacarnya yang melihat dia. Dia membayangkan pasti akan diolok-olok sebab ketahuan belanja di pasar. Padahal, dia ‘kan seorang cowok. Masak sih belanja-belanja…???
Dan akhirnya ia akan berpikir lagi, namun kali ini ia berpikir untuk mencari alasan yang tepat demi menolak perintah kita. Lebay banget ‘kan? Jika dibiasakan seperti ini, maka besar kemungkinan si anak (si keponakan) akan menjadi pemalas. Berbeda dengan anak yang cara berpikirnya lebih dominan ke otak kanannya. Ia tidak pernah memikirkan hal yang belum pasti terjadi. Begitu disuruh, ia akan langsung pergi, tanpa membayangkan yang aneh-aneh yang belum tentu terjadi sungguhan.
Bab 7 Antara Otak Kanan dan Otak Kiri, antara Wong Bejo dan Wong Pinter ADA apa dengan otak kanan dan otak kiri, serta wong bejo (=orang yang beruntung) dan wong pinter (=orang yang pintar)?? Begini. Pada salah satu bab di buku ini telah dijelaskan tentang orangorang beruntung, bejo, yang acap kali “mengalahkan secara telak” orang-orang pintar yang tidak beruntung. Dijelaskan bahwa memang benar orang pintar bisa kalah dari orang bejo ketika dia sematamata hanya mengandalkan kepintarannya.
Telah pula dijelaskan bahwa orangorang yang selalu beruntung lebih mengoptimalkan penggunaan otak bagian kanannya. Sementara orang yang sematamata pintar, yang lebih mendominasi adalah pola pikir otak bagian kiri. Bolehlah kita sebutkan bahwa otak bagian kanan mewakili karakteristik orang yang beruntung, sedangkan otak bagian kiri mewakili karakteristik orang yang pintar. Oleh sebab itu, orang pintar yang juga ingin beruntung, ingin bejo, perlu melakukan suatu terobosan tertentu selain mengandalkan kepintarannya. Kalau selama ini dia mungkin hanya terbelenggu pada dominasi pola pikir otak kirinya, masih kebanyakan mikir
dan menimbang-nimbang tiada ujung, maka dia sekarang harus memutuskan untuk langsung bergerak mengeksekusi target impiannya. Dia sudah memiliki cukup modal kepintaran, sederet perencanaan yang lumayan detil, hanya tinggal bergerak agar menuai keberuntungan. Sementara di sisi sebaliknya, si orang yang dominan pola pikir otak bagian kanannya, wajib pula memintarkan diri supaya keberuntungan yang diperolehnya bisa bertahan lama di dalam genggamannya. Sebetulnya sih orang yang beruntung itu sudah lumayan pintar. Hanya saja untuk mempertahankan kemujurannya alias keberuntungannya, dia mesti menambah
tingkat kepandaiannya. Ya, ya. Sesungguhnya orang mendapatkan keberuntungan pun karena dia pintar. Begitulah. Orang pintar belum tentu beruntung, sementara orang beruntung sudah pasti pintar. Hanya saja, kebanyakan orang pintar terpenjara oleh pola pikir otak kirinya sehingga enggan bergerak. Entah karena takut, entah karena malu dianggap agresif, entah karena merasa tidak percaya diri, entah karena merasa kurang pintar. Nah, kondisi-kondisi orang pintar yang demikian inilah yang sering kali membuat orang pintar lalu terkalahkan oleh orang yang beruntung. Secara sederhana, mari kita analisis bersama peristiwa berikut ini. Seorang
ibu, katakanlah dia bernama Bu Tiyah, ingin mencari penghasilan untuk tambahtambah belanja rumah tangga. Sebetulnya dia sudah memiliki semacam rencana di benaknya. Dalam benaknya itu sudah tercantum catatan bahwa dia akan berjualan gorengan dan aneka makanan kecil seperti bakmi, pecel, dan cap cay. Jualannya siang hari menjelang ashar, saat-saat orang biasa minum teh sore dan saat-saat para tetangganya suka ngumpulngumpul di dekat pos ronda sebelah rumahnya. Dalam benaknya pula dia sudah memutuskan untuk berjualan di teras rumahnya saja, dengan memasang meja kecil. Sayangnya rencana itu terbengkelai saja sekian lama. Alasannya, dia masih
belum mendapatkan modal untuk berjualan. Ketika meminta uang kepada suaminya untuk modal jualan, suaminya bilang tidak punya uang lebih buat modal. Ketika berbincang-bincang apa perlu berhutang dulu sebagai modal berjualan, suminya bilang tidak usah. Alasannya, nanti kalau jualannya tidak laku malah menambahi beban keuangan rumah tangga. Semula tidak punya hutang tapi gara-gara niat berjualan (dan enggak laku) malah jadi punya hutang. Suaminya tidak mau menanggung resiko itu. Entah mengapa pula Bu Tiyah menyetujuinya saja. Mungkin mereka memang betulbetul jodoh luar-dalam, ya? Sama-sama tidak berani berspekulasi untuk memulai sebuah bisnis kecil-kecilan saja.
Perbincangan soal niat berjualan Bu Tiyah pun berhenti, stop di hari itu. Tak ada lagi idenya untuk berbisnis yang lain. Maklumlah. Bu Tiyah kebisaannya sih memasak (Kalau lagi musim orang punya hajatan, dia adalah koki profesionalnya. Dia memperoleh honor lumayan untuk tugasnya sebagai koki professional di tempat orang hajatan seperti itu. Apalagi masakannya pun terkenal enak. Tapi sayangnya, orang hajatan ‘kan tidak tiap hari). Lagi pula menurut perhitungannya, yang paling kecil modalnya ya jualan gorengan seperti rancangannya itu. Yang paling mudah pula menjualnya. Tinggal buka lapak sederhana di depan rumah sudah beres, harga pun terjangkau. Akan tetapi,
ketidakpunyaan modal telah menghentikan rencananya berjualan. Hingga di suatu siang, Yu Darmi tetangga depan rumahnya terlihat sibuk mengatur meja kecil di depan rumah. O la la! Rupanya siang itu Yu Darmi mulai berjualan kecil-kecilan. Ada es dawet, es jeruk, aneka gorengan, dan makanan ringan; tepat persis seperti yang direncanakan oleh Bu Tiyah dahulu. Rupanya pula tepat persis seperti yang dibayangkan oleh Bu Tiyah dulu, jualannya itu laris manis. Jauh sebelum Magrib tiba sudah habis. Pembelinya ya hanya warga setempat. Maklumlah tempat jualannya strategis. Di dekat pos ronda, tempat mangkalnya para warga kampung situ. Iya, pos ronda itu memang
selalu ramai. Yang meramaikan kalau enggak ibu-ibu, kaum muda-mudi, atau bapak-bapak, bahkan anak-anak. Begitu ngumpul-ngumpul di pos ronda dan ada yang jualan makanan ‘kan tambah asyik tuh. Maka wajar kalau jualan Yu Darmi laku keras. Yang tidak ikut mangkal di pos ronda saja sengaja pergi ke tempat Yu Darmi untuk jajan. Sebenarnya sih, masakan Yu Darmi kalah enak dari masakan Bu Tiyah. Itu penilaian secara objektif. Tapi Yu Darmi berani memainkan otak kanannya. Dia tanpa pikir macam-macam langsung saja memutuskan berjualan. Asalkan rasa masakannya tidak terlalu error, normalnormal saja, pasti tak masalah. Pikirnya dengan penuh keyakinan. Yang penting
jualannya halal dan bersih. Makin hari dagangan Yu Darmi makin bertambah variasinya. Tapi tiap hari menunya dibikin berganti-ganti. Sengaja diupayakan begitu agar para pembeli tidak bosan. Wuihh, rupanya punya strategi berjualan juga dia. Apa boleh buat? Tinggallah Bu Tiyah memendam kecewa diam-diam melihat kemajuan usaha kecil tetangga depan rumahnya itu. Bu Tiyah bilang, Yu Darmi bejo banget. Iya… Menurut Anda bagaimana? Yu Darmi memang bejo kan yaa? Namun, ke-bejo-annya itu bukan semata-mata tanpa usaha, lho. Yu Darmi punya ide, merencanakan dengan detil seperlunya, kemudian langsung mengeksekusi idenya berjualan itu. Dan,
berhasil. Bu Tiyah pun makin kecewa, menyesal, campur iri setelah tahu bahwa Yu Darmi memperoleh modal jualan dari berhutang pada Bu Dusun. Karena jualannya laris, Yu Darmi kini sudah bisa melunasi hutangnya pada Bu Dusun. Nah, lho! Tanpa kepandaian memasak yang unggul, pas-pasan saja, tapi dengan keberanian bergerak, Yu Darmi kini makin mantap membesarkan usahanya yang semula sangat kecil menjadi lumayan sedang. Enam bulan telah berlalu sejak Yu Darmi berjualan, sekarang telah mulai kelihatan ekonomi keluarganya beranjak normal (semula sangat kekurangan). Bagaimana menurut Anda? Bukankah
kisah Yu Darmi dan Bu Tiyah di atas merupakan sebuah bukti tersendiri dari ungkapan “wong pinter kalah karo wong bejo”? Sungguh, itulah contoh bahwa orang pintar (dalam hal ini Bu Tiyah yang pandai memasak) ternyata dikalahkan oleh wong bejo, orang yang beruntung (yaitu Yu Darmi) hanya garagara si orang pintar kebanyakan mikir!
SEBAGAI pelengkap sekaligus sebagai pembanding, marilah kita simak penuturan seseorang melalui blog pribadinya terkait soal wong bejo yang mengalahkan orang pintar tersebut. Semoga Anda sekalian makin paham maksud dari ungkapan tersebut melalui
kisah berikut ini. Jadi, tidak protesprotes melulu. Oke? WONG PINTER KALAH KARO WONG BEJO Orang pintar kalah dari orang beruntung. Saya mendengar lagi kalimat bijak dari Jawa ini dua malam lalu. Uniknya, saya mendengar dari dua orang bukan Jawa yang sedang berbincang. Mereka sedang menganalisis cara memandang hidup ala budaya Jawa. Kejadiannya di warung tenda ayam taliwang, seberang Taman Makam Pahlawan Kalibata. Saya sedang duduk sendirian menunggu menu pesanan. Mereka berdua datang belakangan, duduk di meja sebelah.
Segera angan saya melayang ke masa SMA, dua puluh tahun silam. Saya bersekolah di Magelang, orang tua saya tinggal di Purwokerto. Tahun 1990 telepon seluler belum menjadi konsumsi umum. Rumah kami jauh di desa, belum terjangkau sambungan telepon milik Telkom. (Bahkan sampai hari ini!) Alat komunikasi saya dengan orang tua adalah surat. (Sesuatu yang aneh untuk anak SMA jaman sekarang, yang sudah terbiasa dengan telepon seluler, SMS, dan BBM). Seperti biasa saya ingin membuat Bapak dan Ibu bangga dengan kondisi anaknya di rantau. Isi surat selalu mengabarkan kondisi di asrama baikbaik saja. Everything is fine and under
control. Singkatnya begitu. Dan Bapak akan membalas dengan tulisan tangannya yang rapi. Isinya nasehat. Entah surat keberapa, saya mulai menulis cerita tentang kisah sukses di SMA. Dapat nilai lumayan bagus. Aktif di OSIS. Banyak kegiatan ekstra kurikuler. Dan seterusnya. Selain untuk membuat orang tua senang membacanya, ini adalah penerapan prinsip akuntabilitas alias keterbukaan. :) Seperti biasa Bapak membalas surat penuh dengan nasehat. Salah satunya dengan mengutip petuah di atas: bahwa orang pintar kalah dari orang beruntung. Wong pinter kalah karo wong bejo. Bolehlah kau, Nak, menjadi orang pintar. Tapi orang pintar masih kalah sama
orang beruntung. Membacanya saya mengernyitkan dahi. Bagaimana mungkin orang yang hanya karena beruntung lebih tinggi derajatnya dari orang pintar? Lalu apa gunanya saya belajar keras agar menjadi pintar atau —setidaknya— dianggap pintar? Jika ternyata kepintaran itu akan kalah oleh keberuntungan. Protes itu lama saya pendam. Berdebat dengan orang tua bukan adat yang baik jaman itu. Jadi saya mencoba mencari jawaban sendiri. Benarkah orang pintar kalah dari orang beruntung? Setamat SMA saya menemukan jawabannya. Dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, orang tua saya tidak akan mampu membiayai kuliah.
Sementara saya ingin kuliah di UGM, universitas impian sejak kecil. Saya tidak ingin bergabung dengan kawankawan yang memilih melanjutkan studi ke lembaga pendidikan kedinasan yang gratis. Saya ingin kuliah di UGM, tanpa bisa membayangkan bagaimana membiayai impian tersebut. Ternyata Tuhan memberi kan jal an. Sebuah BUMN membuka kompetisi beasiswa, dan saya berhasil lolos sebagai penerima beasiswa. Saya juga diterima di UGM. Namun, seorang dermawan menawarkan pilihan lain. Beliau, seorang purnawirawan panglima tinggi, menawarkan untuk membiaya kuliah saya. Jika dibiayai BUMN itu, kamu harus bekerja sebagai pegawainya.
Jika mau menerima tawaran saya, kamu bebas bekerja di mana saja. Demikian pesan Bapak yang dermawan ini. Setelah berkonsultasi dengan orang tua, akhirnya saya putuskan untuk menerima tawaran Bapak yang dermawan tersebut. Sebagai informasi, beliau adalah ketua yayasan yang menaungi SMA tempat saya bersekolah. Dalam kapasitas sebagai ketua yayasan, beliau telah mendapatkan informasi tentang saya selama duduk di SMA. Wah, Anda beruntung. Begitu komentar orang-orang, mendengar Bapak yang dermawan itu membiaya kuliah saya. Memang, saya merasa beruntung. Dan saat itu saya teringat nasehat Bapak. Ternyata keberuntungan tidak datang
begitu saja. Bapak yang dermawan itu membiayai kuliah saya karena menganggap saya pintar. Sebagai ketua yayasan, beliau aktif mengamati perkembangan di SMA saya. (Mungkin saya GR, tapi setidaknya itulah informasi yang saya terima). Begitulah. Protes saya terhadap surat Bapak terjawab sudah. Orang pintar kalah dari orang beruntung. Tapi untuk menjadi “beruntung”, kita harus terlebih dahulu menjadi “pintar.” Terima kasih, Bapak. Terima kasih, Bapak angkatku yang dermawan.
Setelah membaca kutipan blog di atas Anda makin paham, bukan? Yup! Anda pasti sepakat dengan saya, juga dengan penulis blog tersebut, bahwa agar beruntung kita harus pintar terlebih dahulu. Dan, memang demikian itulah adanya. Untuk menjemput keberuntungan harus didahului dengan usaha dan atau kepintaran terlebih dahulu. Maka Anda harus pintar dan berprestasi kalau mau memperoleh ke-bejo-an alias keberuntungan sebagaimana halnya si penulis blog. Setuju?
Bab 8 Kunci Jadi Wong Bejo DIKATAKAN bahwa untuk menjadi orang yang beruntung, kita harus pintar terlebih dahulu. Namun, kita tidak perlu menunggu menjadi pintar banget untuk melakukan segala sesuatu. Karena pintar saja tidaklah cukup, jika kita ingin mendapatkan hasil terbaik. Simaklah kisah singkat berikut sebagai ilustrasi pendahuluan. Kisah ini saya kutip pula dari sebuah blog. Paijo adalah pemuda kampung yang hanya lulusan SD. Dia pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib. Karena keberuntungan yang hinggap bersamanya,
kini dia menjadi salah satu orang terkaya di kampungnya. Maka tanggapan orangorang di sekitarnya seperti ini, “Bejo tenan si Paijo, ngadu nasib ning Jakarta, saiki dadi sukses!” Ada lagi Marwoto, merupakan salah seorang teman Paijo yang dikuliahkan hingga memperoleh gelar sarjana di salah satu universitas swasta di DIY, tetapi hingga saat ini dia belum juga mendapatkan pekerjaan (alias masih menjadi pengangguran). Maka tanggapan terhadapnya pun berbeda. “Halah, si Marwoto uripe gur ngentekno donyane wong tuwo, nganti saiki iseh nganggur ora jelas.” Nah, apa tanggapan Anda terhadap kisah singkat di atas? Ya, ya. Dalam
kisah tersebut Paijo membuktikan bahwa kepintaran saja belumlah cukup untuk menjadikan diri kita sukses. Apalagi hanya sekadar gelar akademik, tanpa adanya sebuah prestasi nyata yang memadai. Di samping kepintaran, orang masih butuh kerja keras dan keberuntungan untuk mencapai sukses. Lalu, apa yang kurang dari diri Marwoto yang sarjana? Ohh, tentu saja dia kurang bekerja keras. Kurang ndusel. Bagaimana mungkin dia akan beruntung bila tidak bekerja keras dan tidak ndusel? Ya, ya. Cara menjadi orang yang beruntung, menurut Mario Teguh dalam “The Golden Ways” adalah dengan NDUSEL (bahasa Jawa) Kata tersebut
dapat dimaknai “lebih GIAT atau lebih berSEMANGAT” daripada orang yang lain, ingin “lebih CEPAT” daripada orang yang lain, rela bekerja “lebih KERAS” daripada orang yang lain, dan “lebih rajin mencari PELUANG” daripada mencari aman. Demikianlah menurut Mario Teguh, kata kunci agar seseorang bisa memeluk bejo adalah NDUSEL. Akan halnya Paijo yang hanya lulusan sekolah dasar, dia bisa sukses dan kaya-raya sebab mau belajar dan mau berusaha keras untuk menjemput keberuntungan yang dia yakini akan dijumpainya di suatu kesempatan. Inilah yang dimaksudkan sebagai ndusel. Dengan kepintaran yang relatif pas-
pasan ia selalu bergerak ke arah perubahan yang lebih baik, selangkah lebih maju daripada orang-orang lain. Kenyataannya, Paijo mempersiapkan diri sepanjang waktu dengan konsisten belajar dan berusaha keras. Walhasil, keberuntungan pun direngkuhnya kini.
SEJAUH halaman buku ini, kalau Anda masih berpikiran dan menyangka bahwa keberuntungan adalah sebuah kekuatan mistis yang dipengaruhi oleh ritual takhayul, Anda sungguh-sungguh keterlaluan. Keberuntungan itu sesuatu yang ilmiah, lho. Polanya dapat dipelajari oleh siapa saja. Jadi, kalau Anda ingin menjadi orang yang
beruntung, Anda bisa mempelajarinya. Hal ini pun sudah dibuktikan. Profesor Richard Wiseman, dari University of Hertfordshire Inggris, mencoba meneliti hal-hal yang membedakan orang-orang beruntung dengan orang-orang yang sial. Wiseman merekrut sekelompok orang yang merasa hidupnya selalu beruntung dan sekelompok lain yang hidupnya selalu sial dan bermasalah. Voila! Ternyata orang-orang yang merasa selalu beruntung senantiasa bertindak berbeda dengan mereka yang hidupnya selalu sial. Berdasarkan hasil penelitian yang diklaimnya ilmiah ini, Wiseman menemukan empat faktor yang
membedakan mereka yang selalu beruntung dari mereka yang selalu sial. Keempat faktor tersebut adalah: 1.
Sikap terhadap peluang Orang yang sering kali beruntung ternyata memang lebih terbuka terhadap peluang. Mereka lebih peka terhadap adanya peluang, pandai menciptakan peluang, dan bertindak ketika peluang datang. Bagaimana hal ini dimungkinkan? Ternyata orangorang yang beruntung memiliki sikap yang lebih rileks dan terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru. Mereka lebih terbuka terhadap interaksi dengan orang-
orang yang baru dikenal, dan selalu menciptakan jaringan-jaringan sosial baru. Sebaliknya, kelompok orang-orang yang selalu sial memiliki perasaan dan sikap yang lebih tegang sehingga tertutup terhadap kemungkinankemungkinan baru. Mereka yang sering kali mengalami kesialan ini “terlalu formil dan kaku” dalam bersikap. Maka tidak mengherankan kalau situasi batin mereka senantiasa tegang, tidak nyantai. Akibatnya, peluang-peluang yang datang justru tidak mampu mereka lihat. 2. Orang yang beruntung ternyata lebih mengandalkan intuisi
daripada logika Keputusan-keputusan penting yang dilakukan oleh orang beruntung ternyata sebagian besar dilakukan atas dasar bisikan “hati nurani” (intuisi) daripada hasil otak-atik angka yang rumit dan canggih. Angka-angka akan sangat membantu, tapi final decision umumnya berasal dari good feeling. Yang barangkali sulit bagi kelompok orang yang selalu sial adalah, bisikan hati nurani tadi akan sulit mereka dengar sebab otak mereka pusing dengan penalaran yang tak berkesudahan. Maka orang beruntung umumnya memiliki metode untuk
mempertajam intuisi mereka, misalnya melalui meditasi yang teratur. Pada kondisi mental yang tenang dan pikiran yang jernih, intuisi akan lebih mudah diakses. Dan makin sering digunakan, intuisi kita juga akan makin tajam. Sebaliknya, makin tidak pernah digunakan, akan makin tumpul dan bebal. 3. Selalu berharap kebaikan akan datang Orang yang beruntung ternyata selalu bersikap positif terhadap kehidupan. Berprasangka dengan optimis bahwa kebaikan akan datang kepadanya. Dengan sikap mental yang demikian, mereka lebih
tahan terhadap segala macam ujian yang datang menimpa mereka, dan akan lebih positif dalam berinteraksi dengan orang lain. 4. Mengubah hal yang buruk menjadi baik Orang-orang yang kerap kali merasa beruntung sangat pandai menghadapi situasi buruk dan mengubahnya menjadi kebaikan. Bagi mereka setiap situasi selalu ada sisi baiknya. Dalam salah satu tesnya Profesor Wiseman meminta para peserta yang diteliti untuk membayangkan sedang pergi ke bank dan tiba-tiba bank tersebut diserbu kawanan perampok bersenjata. Peserta kemudian
diminta mengutarakan reaksi mereka masing-masing. Reaksi orang dari kelompok sial pada umumnya adalah: “Wah sial bener ada di tengah-tengah perampokan begitu”. Sementara reaksi orang yang selalu merasa beruntung, salah satunya, adalah: “Untung saya ada di sana, saya bisa menuliskan pengalaman saya untuk media dan mendapatkan duit”. Ternyata apa pun situasinya orang yang sering kali beruntung tetap saja bersikap optimis, bahkan selalu merasa beruntung terus, padahal di mata orang lain situasi yang dia hadapi sama sekali bukanlah merupakan sebuah
keberuntungan. Mereka dengan cepat mampu beradaptasi dengan situasi buruk dan mengubahnya menjadi sebuah keberuntungan.
JADI, menurut Profesor Richard Wiseman, rahasia orang yang selalu merasa beruntung adalah sangat sederhana. Ya, tinggal “mengelola” perasaan kita saja. Maka dikatakannya bahwa hampir semua orang normal sesungguhnya juga bisa selalu mendapatkan keberuntungan. Termasuk Anda, juga saya. Begitulah kenyataannya.
Keberuntungan adalah tentang pola pikir: cara kita berpikir dan berperilaku. Artinya, keberuntungan bisa ditarik dalam hidup kita jika kita memiliki pola pikir beruntung. Maka untuk meningkatkan keberuntungan bisa dilakukan dengan melatih pola pikir kita. Wiseman menyarankan beberapa latihan sederhana untuk melatih pola pikir beruntung dan meningkatkan keberuntungan seseorang: Pertama, deklarasikan bahwa diri Anda adalah orang yang beruntung. “ Saya adalah orang yang beruntung. Setiap hari keberuntungan menghampiri saya. Dan untuk itu saya siap mengubah cara berpikir dan berperilaku saya.”
Kedua, praktekkan perilaku beruntung dalam keseharian Anda. Terbuka dengan hal-hal baru (pertemanan, kesempatan, pengalaman); Dengarkan dan latih intuisi Anda; Harapkan hal-hal baik dalam segala yang Anda lakukan; Temukan berkah (hal-hal positif) dalam “kemalangan” yang Anda alami. Ketiga, miliki jurnal keberuntungan dan catat keberuntungan- keberuntungan yang menimpa Anda setiap hari. Lakukan tiga hal sederhana di atas setiap hari, dan temukan bagaimana
keberuntungan akan menghampiri Anda hari demi hari.
DALAM buku yang ditulis oleh Profesor Richard Wiseman, yaitu buku yang berjudul The Luck Factor, disimpulkan adanya empat langkah praktis untuk menjadi orang yang lebih mujur dan lebih beruntung. Apa saja langkah-langkah yang dimaksudkan itu? Berikut adalah penjelasannya. Langkah pertama, memperbanyak kemungkinan untuk menjerat peluang. Misalnya profesi Anda adalah pedagang intan dan batu permata. Supaya barang dagangan Anda itu laris manis, Anda
harus bergaul dengan kalangan yang hobinya mengoleksi serta membeli intan dan batu permata. Bukan cuma sebagai hobi, kalangan tersebut juga harus mempunyai banyak duit. Artinya, kalau Anda mau mendapat ikan yang banyak, maka memancinglah di kolam yang benar. Langkah kedua, menurut Profesor Wiseman, percayalah kepada insting kemujuran dan keberuntungan kita. Kemujuran dan keberuntungan biasanya mempunyai pola tertentu. Kalau pola kemujuran dan keberuntungan itu sudah Anda pahami, sebaiknya Anda menghafal pola tersebut sehingga bila kelak pola itu mengeluarkan sinyal-
sinyal awal, Anda bisa langsung mengenalinya. Langkah ketiga, sikap dan mental Anda harus positif, optimistis mengarah pada kemujuran dan keberuntungan. Kalau kepala kita dipenuhi emosi kegagalan dan kesialan, maka biasanya kita juga cenderung terpuruk pada kesialan dan akhirnya benar- benar tidak beruntung. Langkah terakhir, sama seperti filosofi Cina, di mana ada krisis selalu akan ada peluang. Menurut Profesor Wiseman, empat langkah di atas seperti layaknya sebuah olah raga. Harus dipraktekkan dan terusmenerus dilatih supaya makin terbiasa dan kuat. Makin sering berlatih, Anda
akan makin mahir.
SEMENTARA itu, Max Gunther dalam buku yang juga berjudul The Luck Factor berpendapat bahwa beruntung adalah sebuah kejadian mendadak, yang mampu mengubah hidup kita menjadi lebih baik, dengan cara-cara yang tidak masuk akal. Misalnya menabrak cowok ganteng yang akhirnya menjadi suami yang baik hati; ditabrak oleh seorang bos yang kemudian justru memberikan pekerjaan kepada kita sebagai tanda permohonan maaf. Senada dengan Wiseman, Max juga menemukan fakta bahwa memang ada
perbedaan karakter antara orang-orang yang beruntung dengan orang-orang yang tidak beruntung. Menurut Marx, orang-orang yang beruntung itu memiliki karakter sebagai berikut: Rajin; pokoknya bekerja, berkarya, do everything demi kepuasan batin, tidak semata-mata demi uang (harta). Suka menolong dan punya fokus besar terhadap kehidupan di sekelilingnya (di sekitarnya). Selalu berpikiran positif. Selalu penuh semangat, tidak mudah berputus asa, dan pantang menyerah.
Mempunyai idealisme, tidak plin-plan, senantiasa mantap dengan keputusannya. Penuh rasa percaya diri. Sabar; tahu betul bahwa segala sesuatunya ada prosesnya, bahwa ada tahap-tahap tertentu untuk meraih sesuatu, bahwa tidak semua hal dapat dipersingkat prosesnya. Sementara karakter orang yang kurang beruntung adalah: Suka menyepelekan sesuatu/seseorang/sekelompok orang. Hanya mau bekerja bila ada imbalannya, cenderung menghindari pekerjaan tanpa bayaran.
Terlalu mementingkan diri sendiri, enggan berfokus pada orang lain. Negative thinking atau malah terlalu positive thinking. Bingung dalam memutuskan sesuatu, cenderung lebih percaya pada pendapat orang lain daripada pendapatnya sendiri. Mudah putus asa atau malah terlalu pede alias nekat. Tidak sabaran, ingin serba instan, tidak paham bahwa segalanya butuh proses.
BERDASARKAN hasil penelitian Wiseman dan Marx, maka dapat kita ambil intinya, yakni bahwa keberuntungan demi keberuntungan bisa kita dekati dengan pembiasaan mengikuti karakter orang-orang yang kita anggap selalu bejo, orang yang senantiasa beruntung seperti Paman Untung di komik Donald Bebek. Mungkin Anda keukeuh berpendapat bahwa keberuntungan tidak bisa diciptakan, hanya mendekati orang-orang yang memang dari “sono”-nya beruntung. Tidak mungkin kita upayakan. Hmmm, silahkan saja berpendapat demikian. Tapi mohon dicatat baik-baik, ya. Tuhan itu sungguh Maha Adil.
Manusia hanya akan diberi-Nya sesuatu sesuai dengan apa-apa yang telah dikerjakannya atau diupayakannya. Demikian pula, apa yang berlebihan pada kita akan diambil-Nya supaya pas sesuai dengan takaran kita. Jadi, andaikata Anda merasakan selalu menemui kesialan, bisa jadi Anda masih memiliki “hutang kebaikan pada kehidupan”. Maka kesialan itu merupakan suatu cara Tuhan menagih pelunasannya kepada Anda. Kalau Anda marah karenanya yaa…. Keterlaluan deh Anda. Berhutang, giliran ditagih kok malah marah-marah.
Bab 9 Pancinglah Bejo dengan Pemberian APAKAH selama ini Anda merasakan bahwa hari-hari Anda senantiasa diliputi oleh keapesan alias kesialan? Sementara dengan mata kepala Anda sendiri, tepat di depan hidung Anda, seseorang terlihat demikian mudahnya memanen satu keberuntungan demi keberuntungan dengan muka berseri-seri memancarkan kebahagiaan? Heeeiii, ada apa ini? Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Adilkah kehidupan ini? Apa penyebabnya?
Mengapa orang lain selalu beruntung dan mengapa aku selalu buntung? Begitu mungkin protes Anda diam-diam kepada Tuhan. Di dunia ini memang selalu ada dua kutub yang berlawanan. Termasuk dalam hal keberuntungan dan keapesan alias kesialan. Ada orang yang terlihat bejo se-bejo-bejo-nya mulai dari puncak ubun-ubun hingga ujung kuku kaki, full beruntungnya; sedangkan di sisi sebaliknya ada orang yang tampak sial sesial-sialnya, full penderitaannya. Yeah… itulah kenyataan yang ada di dunia kita yang fana ini. Sebagian orang merasakan kepahitan yang sepahit-pahitnya. Sebagian orang yang lain mencecap rasa manis yang
semanis- manisnya. Apa boleh buat? Jika kita kebetulan berada di dalam kelompok yang merasakan pahitnya penderitaan (maaf, mungkin ini sedikit lebay), pasti rasanya galau tiada tara. Iya, betul. Mana enak menjadi orang yang selalu sial sesial- sialnya itu? Masak sih keberuntungan sama sekali tidak tertarik untuk menghampiri kita? Duh, aduhh, makin galau saja deh rasanya. Galau tanpa ampun! Sementara Anda sendiri sedang sangat membutuhkan sebuah keberuntungan, ehh… tahu- tahunya hanya menjadi penonton orang lain yang mengalami keberuntungan. Teramat sangat menyesakkan dada, bukan? Tenang, tenang. Keberuntungan
kelihatannya memang merupakan suatu faktor yang tidak bisa diperhitungkan dan tidak dapat diperkirakan kedatangannya. Datangnya kapan saja tanpa permisi, idem ditto dengan kesialan. Namun sebenarnya, keberuntungan dan kesialan tersebut ada polanya. Tidak asal serang orang. Kalau datangnya terasa tiba-tiba, memang itulah uniknya. Cara Tuhan memberikan sesuatu kepada hambahamba- Nya memang sangat kreatif. Sekali lagi, percayalah bahwa keberuntungan dan kesialan memang ada polanya tersendiri. Memang demikian itulah kenyataannya. Apalagi kalau kita mengaku sebagai orang yang memiliki Tuhan; mestinya kita yakin bahwa segala sesuatunya pasti telah ada yang
mengatur. Jadi, bila Anda merasa belum pernah beruntung, ingat-ingat terlebih dahulu deh. Siapa tahu sudah pernah, tetapi lupa? Baiklah. Pada bab sebelum ini kita sudah memperbin- cangkan tentang “Kunci jadi Wong Bejo”. Nah, di bab ini kita akan membahas satu hal yang sesungguhnya juga merupakan kunci lain untuk menjadi wong bejo, orang yang beruntung. Hmmm, kunci lain yang manakah itu? Maksudnya adalah kunci yang berupa “pemberian”. Yup! Sesuai dengan judul bab ini, “pancinglah keberuntungan, si bejo itu, dengan pemberian”. Hmmm, apa nih maksudnya? Artinya sudah jelas toh? Begini. Kalau kita ingin memperoleh
sebuah keberuntungan, mestinya kita sudah terlebih dahulu “memberi keberuntungan” kepada orang lain. Percayalah, Tuhan itu Maha Adil dan Maha Tahu. Bila Anda sudah memberikan banyak keberuntungan kepada orang lain, maka tidak akan mungkin Anda tidak beruntung. Yakinlah. Suatu saat yang tepat Anda pasti akan beruntung. Mungkin sekarang keberuntungan belum menjadi milik Anda. Tapi nanti, suatu hari nanti, yakinlah Anda pasti akan menemui keberuntungan Anda. Jika masanya tiba, maka Tuhan tidak akan tinggal diam. Terlebih jika Anda sudah berlaku adil terhadap kehidupan, sudah memberikan keuntungan pada banyak
orang; di samping sudah konsisten memperjuangkan hal-hal yang semestinya diperjuangkan untuk memperoleh keberuntungan. Tidak mungkin tak ada reward bagi Anda. “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku.” Demikian firman Allah SWT dalam al Qur ’an. Apa yang kita pikirkan itulah yang akan menjadi kenyataan. Apabila kita meyakini bahwa Dia akan menjadikan kita sebagai salah satu manusia yang beruntung, sudah pasti Dia pun akan menjadikan kita orang yang beruntung. Demikian juga halnya jika kita merasa ragu-ragu melulu dengan janji Tuhan. Adapun dalam hal keberuntungan ini, hanya Allah SWT yang berhak untuk
menjadikan seseorang beruntung. Sementara keberuntungan tersebut dapat terjadi juga —selain dari doa—, dari restu dan amal baik kedua orang tua yang sejak dulu selalu diniatkan agar sang anak selalu beruntung dan dipermudah urusannya oleh Allah SWT.
WALAUPUN tadi dikatakan hanya Allah yang berhak untuk menjadikan seseorang beruntung, kita tetap diberi hak oleh- Nya untuk menghindarkan kesialan dan mendekatkan keberuntungan. Ya, ya. Sesungguhnya keberuntungan bisa dibuat sebab hidup kita ini sebenarnya selalu by design or
by accident. Jadi, rancang hidup kita untuk beruntung atau ubah mind set kita lebih dahulu agar selalu positive thinking dan selalu dipenuhi rasa syukur; apa pun yang terjadi, yakinlah itu yang terbaik bagi kita… kita yang di detik itu mungkin merasa enggak bejo, tapi mungkin ketidaksukaan kita justru merupakan cara Tuhan memujurkan/menyelamatkan kita. Atau, bisa jadi ketidakberuntungan kita itu sebab masih ada sesuatu yang belum kita tunaikan. Misalnya kita belum berzakat, lupa bersedekah, atau terlalu pelit terhadap sesama. Oleh sebab itu, mulai sekarang ubahlah watak pelit Anda. Berhemat itu perlu, tapi tidak berarti harus pelit. Oke?
Berapa pun Anda sanggup memberi, berikanlah. Selagi musim memberi belum lewat bagimu, demikian kata Kahlil Gibran. Oleh sebab itu, tidak usah menunggu kaya dahulu baru bersedekah. Tahukah Anda? Justru sebenarnya yang wajib memberi adalah orang-orang miskin dan pas-pasan agar mereka segera menjadi golongan yang berpunya. Bukan malah menjadi orang-orang miskin yang berjiwa miskin. Baiklah. Sekali lagi saya tegaskan, bila ingin segera dipeluk oleh keberuntungan, jangan pelit untuk memberikan keun- tungan terlebih dahulu pada kehidupan. Makin besar Anda memberi, maka akan makin besar pula keberuntungan yang akan Anda dapatkan.
Percayalah, Anda tidak akan jatuh miskin hanya karena banyak berzakat, bersedekah, dan memberikan hadiahhadiah kepada orang yang Anda cintai. Nah, bila selama ini Anda merasakan bahwa kesialan selalu menguntit Anda pergi ke mana-mana, ayo segeralah banyak memberi. Jangan lupa untuk memberi, memberi, dan memberi. Ya, betapa pun keberuntungan itu akan bisa Anda peroleh bila Anda konsisten memberikan keberuntungan kepada kehidupan. Anda memberikan satu, kehidupan (yakni Tuhan) akan menggantinya sebanyak sepuluh kali lipat. Maka tunggu apa lagi? Ayolah pancing keberuntungan dengan
pemberian Anda. Berapa pun jumlahnya. Apa pun bentuknya. Yang penting ikhlas dan tanpa pamrih. Oke?
KEBERUNTUNGAN atau ke-bejoan adalah sebuah misteri bagi kita, manusia; tapi tentu tidak bagi Tuhan. Tentu saja. Bukankah Tuhan itu Maha Tahu segalanya? Karena masih menjadi misteri itulah, kita yang ingin memperoleh keberuntungan disarankan selalu siap . Artinya, siap -siap memantaskan d i ri u ntu k beruntung, bilamana mendadak berjumpa dengan yang namanya kesempatan baik. Siapsiap itu sendiri berarti rajin
meningkatkan kualitas diri, rajin berbuat kebaikan, dan konsisten berjuang untuk meraih sesuatu yang kita targetkan menjadi keberuntungan kita. Anda adalah apa yang Anda pikirkan! Ketika Anda berpikir bahwa Anda bejo, maka bejo-lah Anda. Bejo itu ‘kan tergantung pada cara pandang kita sendiri. Bahkan sejak bayi kita sudah beruntung dilahirkan, lalu dipelihara orang tua dengan penuh kasih sayang, sementara banyak bayi yang digugurkan dan dibuang oleh orang tuanya.
Sumber Tulisan Nadia, Asma dkk. 2012. Catatan Hati di Setiap Doaku. Jakarta: AsmaNadia Publishing House. Nadjib, Emha Ainun. 2007. Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Jakarta: Buku Kompas Surya, Prof. Yohanes. Ph.D. 2006. Mestakung: Rahasia Sukses Juara Dunia Olimpiade Fisika. Jakarta: Hikmah. http://edukasi.kompasiana.com/ http://endro.staff.umy.ac.id/ http://v-sualisasi.blogspot.com/
Tentang Penulis Sejak di bangku Sekolah Menengah Pertama, Octavia Pramono melakukan pekerjaan tulis-menulisnya sebagai sebuah hobi belaka. Sekadar sebagai hobi yang bisa menambah uang saku. Waktu itu yang biasa ia tulis adalah cerita anak, cerpen, dan puisi. Namun seiring dengan berjalannya waktu, Alumnus UGM ini mulia serius menekuni dunia tulis-menulis . Ragam tulisan yang dibuatnya pun bertambah. Tidak hanya berupa fiksi, tetapi merambah nonfiksi. Bahkan, sejak dua tahun lalu, ia memfokuskan diri pada penulisan buku-buku populer. Perempuan kelahiran Pati, Jawa
tengah ini, selain aktif sebagai member d’BC Network, sampai sekarang ia masih selalu menimba ilmu kepenulisan. Terutama melalui grup IIDN (= IstriIstri Doyan Nulis), yakni sebuah grup kepenulisan di jejaring social facebook, yang didirikan dan dibina oleh Indari Mastuti, pemilik agensi naskah Indscript Creative. Adapun beberapa naskahnya yang telah terbit di tahun 2013 antara lain: Buku Pintar Membaca Pikiran, Watak & IQ Manusia; Ya Allah, Jangan Biarkan Suamiku Poligami; Leadership ½ Malaikat; The Magic of Aura; The Power of Bejo; dan lain-lain.
Buku The Power of Bejo ditulis oleh Penulis, sebelum ia berkenalan dengan PT Bintang Toedjoe sebagai produsen Obat Masuk Angin yang juga mengusung slogan Bejo. Faktor ke-Bejo-an juga yang mempertemukan kedua belah pihak sehingga bisa bekerja sama mewujudkan versi e-book gratis, dengan harapan menjadi inspirasi dan ke-Bejo-an bagi seluruh masyarakat Indonesia.