THE HABIBIE CENTER BOOKLET C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Zamroni Salim Bawono Kumoro Komaidi Notonegoro
Pembangunan Energi Berkelanjutan The Habibie Center Booklet C
The Habibie Center Kebijakan Subsidi BBM dan Pembangunan Energi Berkelanjutan Project Supervisor: Rahimah Abdulrahim (Direktur Eksekutif, The Habibie Center) Hadi Kuntjara (Deputi Direktur Operasional, The Habibie Center) Peneliti: Zamroni Salim Bawono Kumoro Komaidi Notonegoro Desain dan Publikasi: Rahma Simamora Foto : Zamroni Salim
The Habibie Center mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pembangunan, Energi, dan Perubahan Iklim Kerajaan Denmark dan Global Subsidies Initiative untuk dukungan tulus mereka terhadap proyek ini. Seluruh pandangan di dalam publikasi ini merupakan pandangan The Habibie Center dan tidak mencerminkan pandangan Kementerian Pembangunan, Energi, dan Perubahan Iklim Kerajaan Denmark dan Global Subsidies Initiative.
The Habibie Center Building Jl. Kemang Selatan No.98, Jakarta 12560, Indonesia Telp: +62 21 7817211 Fax: +62 21 7817212 e-mail:
[email protected] www.habibiecenter.or.id
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
PEMBANGUNAN ENERGI BERKELANJUTAN
Stok Energi Nasional Hingga saat ini pasokan energi Indonesi sangat tergantung engan migas. Dalam beberapa tahun terakhir porsi migas terhadap bauran energi nasional tidak kurang dari 70%. Porsi energi fosil, termasuk batubara, terhadap pasokan energi Indonesia mencapai lebih dari 90%. Perkembangan bauran energi nasional dalam beberapa tahun terakhir adalah sebagai berikut:
1
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Tabel 1: Perkembangan Bauran Energi Nasional Tahun
Minyak
Batubara
Gas
Tenaga Air
Panas Bumi
BBN
2000
59,64%
12,91%
22,66%
3,47%
1,32%
0,00%
2001
57,20%
15,43%
22,28%
3,80%
1,29%
0,00%
2002
56,62%
15,36%
23,61%
3,13%
1,28%
0,00%
2003
53,16%
19,20%
23,76%
2,67%
1,21%
0,00%
2004
57,08%
17,37%
21,49%
2,79%
1,27%
0,00%
2005
55,07%
19,37%
21,33%
3,02%
1,22%
0,00%
2006
51,29%
22,89%
21,86%
2,70%
1,24%
0,01%
2007
49,56%
27,01%
19,21%
2,98%
1,20%
0,02%
2008
48,81%
22,82%
23,99%
2,95%
1,36%
0,03%
2009
47,62%
23,22%
24,66%
2,82%
1,61%
0,08%
2010
47,08%
24,29%
23,30%
3,79%
1,42%
0,12%
2011
47,79%
27,01%
21,15%
2,53%
1,33%
0,19%
2012
47,60%
27,48%
20,67%
2,57%
1,32%
0,36%
Sumber: Handbook of Energi and Economic Statistic of Indonesia (2013)
Dalam konteks ketahanan energi, ketergantungan Indonesia terhadap pasokan migas dapat menjadi ancaman. Apalagi cadangan minyak dan gas Indonesia relatif tidak besar. Data menunjukkan pada tahun 2012 cadangan minyak Indonesia sebesar 3,70 miliar barel atau sekitar 0,20% terhadap total cadangan dunia. Dengan tingkat produksi sekitar 900 ribu barel per hari, jika tidak ditemukan cadangan baru, cadangan minyak Indonesia akan habis dalam kurun waktu 11 tahun mendatang.
2
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Selama kurun 12 tahun terakhir (2000-2012) posisi cadangan minyak Indonesia cenderung menurun. Data menunjukkan cadangan minyak Indonesia turun dari 5,12 miliar barel pada tahun 2000 menjadi 3,70 miliar barel pada tahun 2012. Kemampuan produksi minyak Indonesia juga terus mengalami penurunan. Produksi minyak Indonesia menurun dari 1,41 juta barel per hari pada tahun 2000 menjadi 918 ribu barel per hari pada tahun 2012. Berikut adalah data posisi dan perkembangan cadangan dan produksi minyak Indonesia: Tabel 2: Posisi Cadangan Minyak Indonesia Peringkat Cadangan
Posisi 2012 (MilIar Barel)
Porsi terhadap Cadangan Dunia
Rasio Cadangan Produksi (Tahun)
Venezuela
1
297,60
17,80%
234,14
Arab Saudi
2
265,90
15,90%
63
Iran
3
157,00
9,40%
88,4
Irak
4
150,00
9,00%
128,08
Kuwait
5
101,50
6,10%
110,88
UEA
6
97,80
5,90%
79,1
Rusia
7
87,20
5,20%
22,4
Libya
8
48,00
2,90%
86,9
Nigeria
9
37,20
2,20%
42,1
Kazakhstan
10
30,00
1,80%
47,4
Indonesia
28
3,70
0,20%
11,1
Negara
Sumber: BP Statistical Review 2013
3
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Tabel 3: Perkembangan Cadangan dan Produksi Minyak Indonesia Tahun
Cadangan Minyak Terbukti (MilIar Barel)
Produksi Minyak (Ribu Barel/Hari)
2000
5,12
1.415
2002
4,72
1.252
2003
4,73
1.147
2004
4,30
1.096
2005
4,19
1.062
2006
4,39
1.006
2007
3,99
954
2008
3,75
977
2009
4,30
949
2010
4,23
945
2011
4,04
902
2012
3,70
918
Sumber: BP Migas dan BP Statistical Review
Meskipun relatif lebih baik dibandingkan minyak, cadangan gas Indonesia juga tidak terlalu signifikan dibandingkan total cadangan gas dunia. Pada tahun 2012, cadangan gas Indonesia sebesar 103,30 Tscf atau 1,60% terhadap total cadangan gas dunia. Jika tidak ditemukan cadangan baru, dengan tingkat produksi saat ini cadangan gas dimiliki Indonesia akan
4
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
habis untuk 41 tahun mendatang. Perkiraan tersebut dapat lebih cepat jika pemerintah melaksanakan program konversi BBM kepada BBG. Posisi dan perkembangan cadangan gas Indonesia dalam beberapa tahun terakhir adalah sebagai berikut:
Tabel 4: Posisi Cadangan Gas Indonesia Peringkat Cadangan
Posisi 2012 (Tscf)
Porsi terhadap Cadangan Dunia
Rasio Cadangan Produksi (Tahun)
Iran
1
1.187,70
18,00%
213,80
Rusia
2
1.162,50
17,60%
55,60
Qatar
3
885,10
13,43%
216,80
Turkmenistan
4
618,10
9,30%
189,50
Amerika Serikat
6
300,00
4,50%
12,50
Arab Saudi
5
290,80
4,40%
80,01
UEA
7
215,00
3,30%
119,10
Venezuela
8
196,40
3,00%
188,60
Nigeria
9
182,00
2,80%
155,20
Aljazair
10
159,10
2,40%
55,30
Indonesia
12
103,30
1,60%
41,20
Negara
Sumber: BP Statistical Review 2013
5
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Tabel 5: Perkembangan Cadangan Gas Indonesia (Tscf)
Sumber: Statistik Gas Bumi 2013
Berdasarkan sejumlah permasalahan ada kondisi industri minyak dan gas dalam beberapa tahun ke depan diproyeksikan semakin berat. Sejumlah kendala yang tidak kunjung diselesaikan menyebabkan minat investasi eksplorasi migas cukup rendah. Dari identifikasi sejumlah permasalahan yang saat ini dihadapi oleh sektor hulu migas antara lain: (1) Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dimana tidak sejalan dengan substansi kontrak; (2) Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum; (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (4) Koordinasi lintas sektoral lemah; (5) Birokrasi dan perizinan 6
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
investasi panjang dan berbiaya tinggi, dan (6) Kepastian hukum dalam pengusahaan migas rendah. Rendahnya minat investasi eksplorasi hulu migas akan berdampak terhadap minimnya temuan cadangan migas baru. Hal itu tercermin dari data rasio produksi dan penemuan cadangan baru cuma mencapai kisaran 50%. Itu berarti pengusahaan yang dilakukan hanya menemukan setengah dari minyak yang telah diproduksikan. Resiko investasi hulu migas yang tinggi menyebabkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) lebih banyak mengalokasikan investasi hanya untuk sekedar membiayai produksi sumur-sumur sudah beroperasi. Perkembangan alokasi investasi hulu migas nasional dalam beberapa tahun terakhir adalah sebagai berikut: Grafik 1: Perkembangan Alokasi Investasi Hulu Migas
Sumber: Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dan Kementerian ESDM Mei 2014 , Februari 2012
7
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Grafik 2: Alokasi Investasi Hulu Migas Tahun 2012
Sumber: SKK Migas 2013
Kebijakan Pengembangan Energi Alternatif Sejauh ini implementasi kebijakan energi terbarukan masih terbatas pada dokumen-dokumen kebijakan. Perencanaan kebijakan energi terbarukan sebenarnya sudah lama didokumentasikan dalam dokumen kebijakan energi nasional, tetapi hingga kini hasil dan implementasi dari dokumen-dokumen kebijakan tersebut masih minim. Kebijakan pengusahaan energi terbarukan di Indonesia sebenarnya sudah lama dicanangkan. Pada kebijakan umum bidang energi tahun 1981, 1987, 1991, 1998 hingga 8
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
kebijakan energi nasional tahun 2003 kebijakan diversivikasi energi merupakan kebijakan utama di dalam dokumen-dokumen tersebut. Dokumen terkait dengan kebijakan energi terbarukan yang telah diterbitkan oleh pemerintah antara lain Undang-undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang panas bumi, blueprint, dan roadmap pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN), konsep pengembangan desa mandiri energi berbasis BBN, pengembangan kawasan khusus BBN, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/ PMK06/2006 tentang kredit pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan, Peraturan Menteri ESDM Nomor 051 Tahun 2006 tentang prosedur dan tata cara izin usaha tata niaga BBN, Keputusan Dirjen Migas Nomor 13483K/24/DJM/2006 tentang standart dan mutu (spesifikasi) BBN jenis biodiesel sebagai bahan bakar lain yang dipasarkan di dalam negeri, SNI Biodiesel No 04-7182-2006, SNI Bioethanol No DT27-000102006, Peraturan Pemerintah RI No 8 tahun 2007 tentang investasi pemerintah (pembentukan badan layanan umum termasuk untuk BBN), 58 perjanjian dalam bentuk joint agreement pengembangan BBN, dan Peraturan Menteri ESDM No 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga BBN (biofuel) sebagai bahan bakar lain.
Penggunaan Energi Alternatif Seperti disampaikan di bagaian terdahulu data bauran energi nasional
menunjukkan
penggunaan
energi
alternatif
di
9
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Indoensia relatif belum signifikan. Salah satu usaha pemerintah meningkatkan pemanfaatan energi alternatif adalah melalui sektor kelistrikan. Sejumlah usaha dilakukan agar produksi listrik tidak lagi tergantung pada penggunaan energi fosil. Sampai dengan tahun 2014 perkembangan penyediaan tenaga listrik yang menggunakan energi baru dan terbarukan adalah sebagai berikut:
Tabel 6: Penyediaan Tenaga Listrik Berbasis Energi Baru dan Terbarukan 2014 Jenis Energi
Panas Bumi Energi Air Bioenergi Energi Surya Energi Angin Hybrid Total
Kapasitas
Perkiraan Tambahan Kapasitas
Kapasitas
(MW)
sampai Akhir 2014 (MW)
Kumulatif (MW)
1343.5 7572.00 1716.5
62 2.66 55.5
1405.5 7574.7 1772
42.78
1.78
44560
1.33 0.54 10676.65
121.94
1331 0.542 10798.63
Sumber: Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dan Kementerian ESDM Mei 2014
Panas Bumi Berdasarkan data tersedia potensi sumber daya panas bumi Indonesia mencapai 28.170 MW atau setara dengan 40% potensi panas bumi dunia. Potensi panas bumi tersebut bahkan lebih besar dibandingkan dengan kapasitas pembangkit PT PLN (persero) pada tahun 2010 sebesar 26.895 MW. Meskipun 10
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
demikian, meski memiliki potensi yang besar, pengembangan panas bumi nasional masih relatif tertinggal dibandingkan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di negara lain. Berikut ini adalah perbandingan potensi dan status pengembangan panas bumi di beberapa negara hingga periode tahun 2010: Tabel 7: Potensi dan Pengembangan Panas Bumi di Beberapa Negara
Negara
Potensi (MW)
Kapasitas Terpasang 2010 (MW)
Rasio Kapasitas Terpasang terhadap Potensi (%)
Persentase terhadap Produksi Listrik Nasional (%)
1
Amerika Serikat
6.365
3.086
48,48
0,30
2
Filipina
2.600
1.904
73,23
27
3
Indonesia
28.170
1.197
4,25
3,70
4
Meksiko
8.000
958
11,98
3
5
Italia Selandia Baru Islandia
8.952
843
9,42
2
3.600
628
17,44
10
4.255
575
13,51
30
Jepang El Salvador Kenya
1.928
536
27,80
0,10
2.210
204
9,23
14
3.000
167
5,57
11,20
No
6 7 8 9 10
Sumber: Geothermal Energy Association (2010)
Rasio kapasitas terpasang PLTP Indonesia dibandingkan dengan potensi panas bumi yang ada, paling rendah jika dibandingkan dengan negara-negara yang lain. Sampai dengan tahun 2010, 11
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
kapasitas terpasang PLTP Indonesia baru sebesar 1.197 MW atau baru sekitar 4,25% terhadap total potensi sumber daya panas bumi nasional. Dari kapasitas terpasang PLTP tersebut terdistribusi atas 438,75 MW milik PT PLN (persero) dan 781,20 MW milik pengembang listrik swasta. Jika dibandingkan dengan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Filipina yang kapasitas terpasangnya telah mencapai sekitar 73,23% terhadap potensi panas bumi dimiliki. Jadi, pengembangan dan pengusahaan panas bumi Indonesia relatif tertinggal. Berdasarkan indentifikasi kendala-kendala utama yang menghambat pengembangan panas bumi nasional antara lain: (1) Belum ada titik temu dan kesepakatan harga listrik panas bumi antara penjual (pengusaha) dan pembeli (PLN); (2) Izin penggunaan kawasan hutan masih bermasalah (sebagian wilayah kerja panas bumi berada di hutan konservasi, hutan lindung, dan taman nasional); (3) Masih terdapat masalah pada aspek pendanaan, seperti biaya eksplorasi masih tinggi dan belum ada skema alokasi risiko, biaya capex/kw masih tinggi, dan sampai tahun 2010 tidak ada jaminan pemerintah tentang pembelian listrik panas bumi. Yang ada hanya jaminan kelayakan usaha PLN (Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penugasan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas); (4) Jaminan pemerintah tentang pembelian listrik panas bumi berupa Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2011 belum dapat menjadi solusi permasalahan; (5) Kepastian potensi cadangan dan kualitas uap masih menjadi masalah terkait belum adanya eksplorasi 12
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
dan studi kelayakan; (6) Masih relatif terbatas kemampuan dan pengalaman sebagian calon pengembang, dan (7) Masih banyak izin yang dibutuhkan setelah izin usaha pertambangan terbit, seperti rekomendasi analisis dampak lingkungan (AMDAL) dari gubernur, izin penggunaan air tanah dan air permukaan, izin pinjam pakai lahan dari Kementerian Kehutanan, izin masuk kawasan hutan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, dan lain-lain. Bisnis pengusahaan dan pengembangan panas bumi nasional, memiliki prospek yang baik dalam beberapa tahun ke depan. Hal itu didasarkan atas konsumsi dan beban subsidi listrik yang cenderung meningkat setiap tahun. Berdasarkan data pada kurun waktu tahun 2002-2010 produksi listrik nasional mengalami peningkatan rata-rata sebesar 5,78% per tahun. Permintaan atau konsumsi listrik nasional sesungguhnya lebih besar dari pertumbuhan kemampuan produksi listrik tersebut. Akan tetapi, dengan kemampuan produksi masih terbatas tidak semua permintaan tenaga listrik dapat dipenuhi. Program penyediaan listrik 10.000 MW tahap kedua sebagian besar diinstruksikan untuk menggunakan panas bumi. Dalam komposisi total porsi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) mencapai 48,74% terhadap total pembangkit listrik dalam proyek 10.000 MW tahap kedua. Sedangkan dari proyek 10.000 MW tahap 2 yang dikerjakan oleh Independent Power Producers (6.235 MW), porsi PLTP mencapai 72,65%. Ada pun daftar komposisi jenis pembangkit dalam proyek percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW tahap kedua sebagaimana diamanatkan oleh pemerintah dan proyek PLTP yang diusahakan beroperasi sampai dengan tahun 2015 adalah sebagai berikut: 13
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Tabel 8: Daftar Proyek Percepatan Pembangkit 10.000 MW Tahap Kedua Jenis Pembangkit
Kepemilikan PLN
IPP
Total
PLTA
1.269,00
484,00
1.753,00
PLTG
280,00
-
280,00
PLTGB
64,00
-
64,00
PLTP PLTU
340,00 1.804,00
4.530,00 1.221,00
4.870,00 3.025,00
Jumlah
3.757,00
6.235,00
9.992,00
% PLTP
9,05%
72,65%
48,74%
Sumber: Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2011-2020 PT PLN (Persero)
14
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Tabel 9: Daftar Proyek PLTP Diusahakan Beroperasi sampai Tahun 2015 No
Nama Pembangkit
Lokasi
Kapasitas (MW)
NTT
4 x 2,5
Developer PLN-Total Project PLN-Total Project PLN-Total Project PLN (Hulu) PHE (Hilir) PLN (Hulu) PHE (Hilir) PLN (Hulu) PHE (Hilir) PLN (Hulu) PHE (Hilir)
1
Ulumbu 1,2,3, dan 4
2
Tulehu 1 dan 2
Maluku
2 x 10
3
Ulumbu 5 dan 6
NTT
2 x 2,5
4
Lahendong 4
Sulut
1 x 20
5
Ulubelu 1 dan 2
Lampung
2 x 55
6
Hululais 1 dan 2
Sumsel
2 x 55
7
Sungai Penuh 1 dan 2
Jambi
2 x 55
8
Lumut Balai 1 dan 2
Sumsel
2 x 55
PGE
9
Ulubelu 3
Lampung
1 x 55
PGE
10
Lahendong 5 dan 6
Sulut
2 x 20
PGE
11
Karaha Bodas 1
Jabar
1 x 30
PGE
12
Kamojang 5
Jabar
1 x 60
PGE
13
Sarulla 1
Sumut
1 x 110
Kons. Medco
14
Dieng 2
Jateng
1 x 55
Geodipa En
15
Patuha 1
Jabar
1 x 60
Geodipa En
16
Wayang Windu 3
Jabar
1 x 120
Star Energy
17
Tangkuban Perahu 2
Jabar
1 x 30
WSS
Jumlah
1025
Sumber: Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2011-2020 PT PLN (Persero)
15
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Dalam perkembangan saat ini kurang lebih 4.100 MW proyek tengah dalam proses pengembangan dan 860 MW dalam tahap konstruksi fisik. Indonesia menduduki ranking ke dua di dunia untuk kategori jumlah proyek dalam pengembangan dengan 57 proyek dalam bermacam tahap. Meskipun belum akan ada pembangkit baru siap beroperasi tahun ini, tapi apabila seluruh pembangkit bisa diselesaikan tepat waktu Indonesia dapat memiliki hampir 2 GW kapasitas terpasang pada tahun 2018.
Grafik 3: Kapasitas Terpasang (MW) Pembangkit Listrik Panas Bumi di Indonesia
Sumber: Geothermal Energy Association (2013)
16
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Bahan Bakar Nabati (BBN) Pengembangan biofuel di Indonesia yang mulai diwacanakan sejak tahun 2005 hingga saat ini dapat dikatakan belum menunjukkan hasil optimal. Penggunaan biodiesel dan bioetanol pada tahun 2011 berdasarkan roadmap pemanfaatan biofuel nasional masingmasing ditargetkan telah mencapai 15% dan 10% terhadap konsumsi solar dan premium, masih di bawah target. Konsumsi biodiesel dan bioetanol pada 2011 masih di bawah 2% terhadap konsumsi solar dan premium. Pentahapan pengembangan biodiesel dan bioethanol yang direncanakan pemerintah dan tertuang dalam Blueprint Perencanaan Energi Nasional (PEN) tahun 2006-2025 adalah sebagai berikut:
Grafik 4: Milestone Biodiesel Indnesia
Sumber: Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 dan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025
17
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Grafik 5: Milestone Bioethanol Indnesia
Sumber: Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 dan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025
Untuk mengakomodasi ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan target capaian ditetapkan dalam Blueprint Perencanaan Energi Nasional tahun 2006-2025 tersebut diterbitkan beberapa regulasi yang menjadi aturan pelaksana. Salah satu regulasi itu adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Lain. Berdasarkan amanat penggunaan bahan bakar nabati sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008, penggunaan bioethanol pada tahun 2010 harus telah di atas 3% dari konsumsi BBM nasional. Penggunaan bioethanol untuk transportasi (PSO), transportasi (non-PSO), dan industri pada 18
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
tahun 2010 masing-masing diamanatkan telah mencapai 3%, 7%, dan 7% terhadap konsumsi BBM di sektor tersebut. Sedangkan penggunaan biodiesel untuk transportasi (PSO), transportasi (non-PSO), industri dan komersial serta pembangkit listrik pada periode sama masing-masing diamanatkan telah mencapai 2,5%, 3%, 5%, dan 1% terhadap konsumsi BBM di sektor tersebut. Namun, data menunjukkan realisasi konsumi biofuel masih jauh di bawah target sebagaimana ditetapkan. Porsi konsumsi biofuel, baik terhadap total konsumsi energi maupun konsumsi BBM nasional masih jauh lebih rendah dari target ditetapkan dalam Blueprint Perencanaan Energi Nasional tahun 2006-2025 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008. Berikut adalah perkembangan konsumsi energi final nasional dan konsumsi biofuel dalam beberapa tahun terakhir: Tabel 10: Perkembangan Konsumsi Energi dan Konsumsi Biofuel Indonesia Periode
Konsumsi Energi Indonesia (Ribu Barel)
Konsumsi Biofuel Indonesia (Ribu Barel)
Porsi Biofuel (%)
2006
880.153
69
0,01
2007
916.720
294
0,03
2008
906.846
307
0,03
2009
950.077
787
0,08
2010
1.081.428
1.382
0,13
2011
1.178.757*
2.257
0,19
Sumber: Rapat Dengar Pendapat Kementerian ESDM dan PT Pertamina (Persero) *data proyeksi dengan asumsi pertumbuhan konsumsi energi sekitar 1,5 kali pertumbuhan ekonomi
19
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Sementara itu, jika dibandingkan terhadap konsumsi BBM pemanfaatan biofuel pada periode tahun 2006-2011 masih di bawah 1% terhadap total konsumsi BBM. Berikut adalah perkembangan konsumsi BBM dan konsumsi biofuel nasional dalam beberapa tahun terakhir:
Tabel 11: Perkembangan Konsumsi BBM dan Konsumsi Biofuel Indonesia Periode
Konsumsi BBM Indonesia (KL)
Konsumsi Biofuel Indonesia (KL)
Porsi Konsumsi Biofuel (%)
2006
60.221.657
10.934
0,02
2007
61.664.198
46.671
0,08
2008
63.792.494
48.760
0,08
2009
63.565.907
125.203
0,20
2010
66.841.312
219.693
0,33
2011
61.040.000
358.820
0,59
Sumber: Rapat Dengar Pendapat Kementerian ESDM dan PT Pertamina (Persero)
Sampai dengan saat ini hampir 100% serapan konsumsi biofuel dilakukan oleh sektor transportasi. Berikut adalah perkembangan penyerapan biofuel oleh pasar domestik dan penyerapan biofuel oleh sektor transportasi:
20
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Tabel 12: Perkembangan Konsumsi Biopremium dan Biosolar Periode
Konsumsi Nasional (KL)
Konsumsi Sektor Transportasi (KL)
Biopremium
Biosolar
Biopremium
Biosolar
2006
1.624
217.048
1.624
217.048
2007
55.970
877.457
55.970
877.457
2008
44.016
931.179
44.016
931.179
2009
105.816
2.398.234
105.816
2.398.234
2010
0
4.393.861
0
4.393.861
2011
0
0
7.176.405
Sumber: Rapat Dengar Pendapat Kementerian ESDM dan PT Pertamina (Persero)
Aspek Ekonomi Di Indonesia ada cukup banyak jenis tanaman dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku BBN. Berdasarkan penelitian Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) paling tidak terdapat lebih dari 60 jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai bahan baku BBN. Walaupun demikian, cuma beberapa jenis tanaman yang dikembangkan di negara kita untuk kepentingan tersebut, seperti tebu, sawit, jarak pagar, dan ubi kayu atau singkong.
21
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Potensi keuntungan ekonomi yang diperoleh dari pengusahaan BBN cukup besar. Untuk memproduksi bioethanol yang digunakan mensubstitusi produk premium dapat menggunakan tanaman tebu dan ubi kayu yang telah banyak dibudidayakan oleh para petani kita. Untuk memproduksi 1 liter bioethanol dibutuhkan 4 kg tebu sebagai bahan baku. Itu berarti jika konsumsi premium nasional tahun 2008 dimana mencapai 19.415.681 KL dikonversi dengan bioethanol membutuhkan 77,66 juta ton tebu. Dengan produktivitas perkebunan tebu nasional sebesar enam ton per hektar, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut dibutuhkan perkebunan tebu seluas 12,94 juta hektar. Jika kebutuhan per hektar perkebunan tebu minimal memperkerjakan lima orang tenaga kerja, maka program konversi premium dengan bioethanol dari bahan baku tebu dapat menyerap tidak kurang 64,71 juta tenaga kerja untuk di perkebunan saja atau sebesar 58% dari total angkatan kerja pada tahun 2008 dimana telah mencapai 110 juta jiwa. Kemudian jika produksi biiethanol mengunakan bahan baku ubi kayu membutuhkan lebih banyak bahan baku. Untuk memproduksi satu liter bioethanol membutuhkan 6,5 kg ubi kayu sebagai bahan baku. Itu berarti jika konsumsi premium nasional sebesar 19,41 juta KL dikonversi dengan bioethanol dari singkong membutuhkan 126,20 juta ton ubi kayu untuk keperluan tersebut. Dengan tingkat produktivitas ubi kayu nasional 18 ton per hektar untuk memproduksi bahan baku tersebut dibutuhkan 7,01 juta hektar lahan. Jika kebutuhan minimal untuk per hektar kebun ubi kayu adalah lima orang tenaga kerja, maka program konversi premium dengan bioethanol dari ubi kayu akan menyerap tenaga kerja
22
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
sebesar 35 juta jiwa atau sebesar 31,89% dari total angkatan kerja nasional pada tahun 2008. Berdasarkan data di Amerika Serikat dan Brasil untuk membuat kilang bioethanol dengan kapasitas 100 KL/hari membutuhkan biaya investasi sebesar Rp 250 miliar. Artinya, jika realisasi subsidi premium tahun 2008 dimana mencapai Rp 41,95 triliun dialokasikan untuk membangun kilang bioethanol, maka paling sedikit kita akan memiliki 167 kilang bioethanol dengan kapasitas 100 KL/hari. Dengan jumlah kilang 167 dan kapasitas 100 KL/ hari, maka bioethanol yang mampu diproduksi adalah 6 juta KL per tahun atau mampu mensubtitusi 32% kebutuhan premium nasional pada tahun 2008. Mengingat pengadaan BBM nasional sebagian masih dipenuhi dari impor, substitusi penggunaan premium dengan bioethanol akan menghemat devisa cukup besar. Dengan mengalokasikan dana subsidi premium untuk membangun kilang bioethanol, kita akan mampu memproduksi bioethanol 6 juta KL per tahun. Dengan harga BBM Rp 4.500 per liter kita akan menghemat devisa sebesar Rp 27,42 trilun dari penggunaan bioethanol sebagai substitusi penggunaan premium. Secara umum penggunaan dan pengadaan BBN akan memberikan berbagai keuntungan untuk menjaga ketahanan energi dan ekonomi nasional di masa depan. Penanganan BBN oleh pemerintah dengan serius dan tegas akan mampu memenuhi permintaan energi dalam jumlah yang cukup dan waktu yang tepat. Sementara itu, dengan produksi BBN negara akan diuntungkan
23
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
dari adanya penyerapan tenaga kerja, kepemilikan aset kilang nasional, peningkatan kesejahteraan petani, dan potensi penghematan devisa cukup besar.
Coal Bed Methane (CBM) Indonesia memiliki sumberdaya coal bed methane (CBM) potensial. Cadangan CBM Indonesia diperkirakan sekitar 450 TCF, besarnya dua kali lipat cadangan terbukti (proven) maupun terduga (probable) gas alam. Walaupun sampai saat ini belum ada proyek CBM di Indonesia beroperasi, tetapi beberapa perusahaan telah memperoleh kontrak production sharing untuk melakukan eksplorasi CBM, seperti Medco Energy, Ephindo, dan Pertamina. Di samping itu, beberapa proyek CBM potensial sedang berada pada tahahap evaluasi bersama atau pengajuan kontrak. Sejak pertengahan tahun 2000 pemerintah Indonesia mempersiakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum bagi pengembangan CBM. Aturan-aturan ini sebagian besar didasarkan pada aturan-aturan sektor migas yang telah berlaku. Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pengusahaan Gas Metana Batubara merupakan aturan dasar yang mengatur bisnis CBM di Indonesia. Salah satu isu kunci dalam pengembangan CBM adalah pengelolaan hak-hak tumpang tindih apabila dalam kawasan yang sama terdapat cadangan atau operasi tambang batubara, migas, dan CBM. Sebelum berlaku Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2008, kontraktor migas dan batubara diberikan hak sama (hak bersama) untuk mengajukan permohonan kontrak CBM apabila wilayah operasi 24
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
mereka tumpang tindih. Akan tetapi, kini prioritas diberikan kepada kontraktor migas. Namun, dalam peraturan yang baru tersebut terdapat provisi untuk periode transisi. Itu berarti permohonan kontrak yang telah diajukan sebelum pemberlakuan Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2008 secara umum akan diproses sebagaimana prosedur berlaku sebelumnya. Pada wilayah terbuka tidak ada hak preferensi yang diberikan dan di wilayah di mana cuma beroperasi kontraktor migas atau batubara, kontraktor telah memegang konsesi memperoleh prioritas. Seperti telah disebutkan di atas, secara struktur aturan-aturan kontrak CBM di Indonesia sangat mirip, termasuk dalam aspek komersial, dengan kontrak pengusahaan migas dimana terdapat hak preferensi bagi pemerintah untuk mengambil 10% produksi sebelum cost recovery, kewajiban memenuhi kebutuhan domestik (domestic market obligation) sebesar 25% dari bagian produksi kontraktor, dan hak pemerintah untuk mengambil keikutsertaan 10% (participating interest). Pemerintah saat ini juga tengah mempertimbangkan untuk memberikan insentif fiskal lain untuk menggalakkan CBM dengan cara membebaskan pajak impor alat dan bahan produksi.
Shale Gas Indonesia diperkirakan memiliki cadangan shale gas sebesar 574 Tscf di Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Jawa. Berdasarkan studi Energy Information Administration tahun 2013, Indonesia 25
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
diperkirakan memiliki sekitar 46 Tscf TRR shale gas dari sekitar 303 Tscf risked shale gas in place dengan cadangan berada di Sumatera Tengah, Kutai, dan Bintuni. Dikabarkan beberapa perusahaan telah melaporkan evaluasi tahap awal potensi shale gas di Sumatera, tapi sampai saat ini belum ada kontrak pengusahaan shale gas dikeluarkan maupun laporan mengenai kegiatan pemboran terkait shale gas. Beberapa perusahaan migas –Bukit Energy Inc., AWE Limited, dan New Zealand Oil and Gas– dikabarkan telah melakukan evaluasi potensi cadangan shale gas terhadap area seluas 5,000 km2 di cekungan Sumatera Tengah.
Gambar 1: Peta Potensi Shale gas di Indonesia
Sumber: EIA/ARI (2013) 26
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Pada Mei 2013, Pertamina memperoleh hak pengelolaan proyek shale gas pertama di Indonesia. Blok Sumbagut di Sumatera Utara dieprkirakan memiliki cadangan shale gas sebesar 18.56 Tscf. Pertamina berencana menyediakan dana sebesar USD 7,8 miliar untuk kepentingan eksplorasi blok tersebut. Pemerintah Indonesia juga berharap dapat menarik investor asing, terutama dari Amerika Serikat, untuk menanamkan modal dalam proyekproyek shale gas di Indonesia. Namun ada beberapa kendala yang mungkin menjadi hambatan dalam menarik minat investor, seperti infrastruktur kurang memadai dan aturan yang kompleks. Dari segi finansial pemerintah belum menyediakan insentif atau skema pembiayaan yang mendorong pengembangan shale gas. Infrastruktur kurang memadai menjadi hambatan utama pengembangan energi gas di Indonesia, tidak terbatas shale gas. Saat ini panjang total panjang jaringan pipa gas yang dikuasai oleh Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sekitar 5.000 km (3.100 mil). Sebagai perbandingan, panjang total jaringan pipa gas di Amerika Serikat lebih dari 4 juta km (2,5 juta mil). Biaya pemboran satu sumur shale gas di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar USD 8 juta, sementara di Amerika Utara biaya rata-rata pemboran berkisar pada USD 2 juta sampai USD 3 juta per sumur. Dengan kondisi seperti itu, meskipun Indonesia memiliki potensi besar, diperlukan waktu lama sebelum shale gas benar-benar dapat berkembang.
27
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Roadmap Energi Nasional Pengembangan infrastruktur migas juga sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Sektor Energ. Dalam hal ini RPJM yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM untuk jangka waktu 2015-2019 adalah sebagai berikut: Tabel 13: Roadmap Sektor Energi Nasional No
Sasaran
Realisasi 2014
Satuan Ribu BOEPD
Minyak Bumi
Ribu BPD
Gas Bumi
Ribu BOEPD MMSCFD
Produksi/ Energi Fosil 1
Batubara
Juta Ton
Target RPJMN 2015
2019
7.018
6.907
6.595
794
849
700
6.793
6.552
7.252
1.221
1.170
1.295
435
425
400
Pemanfaatan Energi Domestik 2 3 4
Gas Bumi
%
52
59
64
Batubara
%
17
24
60
Unit
2
Km
0
13.105
18.322
%
84
85
96,61
GW
53
42 GW/5 tahun
Lokasi
48
SR
188.124
Tambahan FSRU/ LNG Terminal Panjang Pipa Transmisi Gas
5
Rasio Elektrifikasi
6
Kapasitas Terpasang Pembangkit
7
Jaringan Gas Kota
8
Pembangunan SPBG
Unit
69 SPBG & 10 MRU
210 lokasi dan 1,1 sambungan rumah/5 tahun 210 lokasi/5 tahun
9
Kilang Baru
Unit
0
1 Unit/tahun
Sumber: Berbagai sumber, diolah
28
7 Unit/5 tahun
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Meski telah relatif terdapat perbaikan, perkembangan pengelolaan energi baru dan terbarukan belum sesuai dengan ekspektasi. Salah satunya tercermin dari serapan anggaran dari instansi/ lembaga yang membawahinnya. Secara keseluruhan penyerapan anggaran di Kementerian ESDM untuk tahun 2014 adalah sebesar 51,19 % dari target yang ditetapkan. Pagu anggaran sektor ESDM pada tahun 2014 ditetapkan terdistribusi atas belanja modal 57 %, belanja barang 36 %, dan belanja pegawai sebesar 7 %. Penyerapan anggaran yang terkait dengan pengembangan energi baru dan terbarukan (Ditjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, 2015) pada tahun anggaran 2014 hanya 49,63 % dari pagu yang ditetapkan. Dari rencana anggaran yang ditetapkan sebesar Rp 1,29 triliun, hanya terealisasi sebesar Rp 641 miliar. Penyerapan anggaran Ditjen Energi Baru dan Terbarukan tersebut lebih rendah dibandingkan realisasi penyerapan anggaran Kementerian ESDM secara keseluruhan. Rendahnya penyerapan anggaran mengindikasikan sebagian besar rencana kerja tidak dapat direalisasikan. Berdasarkan informasi terdapat beberapa kendala sebagai penyebab penyerapan anggaran relatif rendah yang diantaranya: (1) terlambatnya buka blokir; (2) gagal lelang; (3) payung hukum yang belum memadai; dan (4) adanya kegiatan tahun jamak. Beberapa langkah yang akan dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah rendahnya penyerapan anggaran di Kementerian ESDM diantaranya: (1) penguatan koordinasi (PPK, ULP, Unit-unit) khususnya bagi pagu anggaran besar dan bersifat strategis; (2) mempercepat proses lelang; (3) menetapkan target penyerapan 29
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
yang realistis; dan (4) menyediakan sistem aplikasi monitoring penyerapan anggaran yang memadai dan terintegrasi. Berdasarkan program Kementerian ESDM 2015 yang telah disetujui melalui APBN-P 2015, terdapat beberapa infrastruktur energi baru dan terbarukan yang akan dibangun oleh pemerintah. Beberapa infrastruktur energi baru dan terbarukan yang direncanakan akan dibangun pada tahun 2015 beserta anggaran yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: Tabel 14: Anggaran Program Pengelolaan Energi Baru dan Terbarukan Rincian Program
Alokasi APBN 2015 (Rp Miliar)
Tambahan Anggaran (Rp Miliar)
APBN-P 2015 (Rp Miliar)
Program Pengelolaan Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi
1.019,64
280,88
1.300,52
Pembangunan PLTMH (4 Unit)
83,38
Pembangunan PLT-Bayu (2 Unit)
40,00
Pembangunan PLTS Terpusat (11 Unit)
73,00
Pilot Unit Pengolahan BBM Sintetis (1 Unit)
15,00
Pembangunan Biogas Komunal pada Pesantreb (15 Unit)
22,50
Implementasi Fuel Blending untuk Biodiesel dan Bioethanol (13 Unit, 3 lokasi)
47,00
Sumber: Kementerian ESDM, 2015 30
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Rencana pengembangan energi baru dan terbarukan juga tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), termasuk untuk sektor energi. Rencana tersebut dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019. Tema yang ditetapkan pemerintah dalam RPJMN untuk sektor energi adalah mewujudkan kedaulatan energi. Untuk mencapai kedaulatan energi, dalam RPJMN 20152019 pemerintah akan melakukan berbagai langkah kebijakan, diantaranya adalah rencana: 1. Pembangunan kilang migas. 2. Percepatan pembangunan pembangkit listrik dengan penggunaan batu bara dan gas untuk produksi listrik. 3. Realokasi subsidi BBM ke biofuel. 4. Melakukan pengembangan energi baru dan terbarukan. 5. Pengalihan transportasi berbasis gas, dengan cara, salah satunya, percepatan pembangunan SPBG. Berdasarkan langkah-langkah kebijakan yang akan diambil tersebut, arah kebijakan pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan energi diantaranya adalah meningkatkan: 1. Produksi energi primer (minyak, gas dan batubara): lapangan baru, IOR/EOR, dan pengembangan gas non konvensional (shale gas dan CBM). 2. Peranan energi baru terbarukan dalam bauran energi melalui: (i) insentif dan harga yang tepat; dan (ii) pemanfaatan bahan
31
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
bakar nabati. 3. Aksesibilitas energy diantarnya dengan melakukan konversi BBM ke BBG. 4. Pengelolaan subsidi BBM yang lebih transparan dan tepat sasaran. 5. Pemanfaat potensi sumber daya air untuk listrik melalui pembangunan dan pengembangan PLTA. Mengacu pada langkah dan arah kebijakan pemerintah tersebut, sektor energi fosil terutama sektor migas, tetap memiliki peran penting dan menjadi andalan dalam upaya mewujudkan kedaulatan energi. Peningkatan produksi energi primer kemungkinan besar akan bergantung pada minyak, gas, dan batubara. Pengembangan energi baru dan terbarukan kemungkinan akan dilakukan secara paralel oleh pemerintah. Akan tetapi, berdasarkan perkembangan dan ketersediaan infrastruktur yang ada saat ini, peran energi baru dan terbarukan selama kurun 2015-2019 kemungkinan belum akan cukup signifikan. Upaya penigkatan kedaulatan energi yang kemungkinan akan bertumpu pada sektor minyak dan gas, berpotensi memberikan tambahan target bagi masing-masing KKKS Migas. Tambahan target produksi kemungkinan akan dibebankan baik untuk lapangan baru maupun untuk lapangan yang telah lama berproduksi. Pengembangan gas konvensional seperti shale gas dan CBM untuk periode 2015-2019 kemungkinan akan lebih diintensifkan. Dalam upaya peningkatan produksi migas, pemerintah telah berencana melakukan penawaran WK Migas. Pada tahun 2015
32
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
beberapa WK Migas Konvensional yang akan ditawarkan langsung diantaranya: (1) Rupat Offshore Riau dan Sumatera Utara; (2) North Jabung, Onshore Riau dan Jambi; (3) Southwest Bengara, Onshore Kalimantan Timur; dan (4). West Berau, Offshore Papua Barat. Sedangkan beberapa WK Migas yang akan dilakukan lelang reguler diantaranya: (1) West Asri, Offshore Lampung; (2) Oti, Offshore Kalimantan Timur; (3) North Adang, Offshore Sulawesi Barat; dan (4) Kasuri II, Onshore Papua. Sedangkan untuk sub sektor EBTKE pemerintah menetapkan pembangunan infrastruktur EBTKE untuk wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar. Selain itu, pemerintah juga menetapkan kebijakan mandatori Bahan Bakar Nabati (BBN) Biodiesel 10 % dan Bioethanol 1 %. Kebijakan Pengembangan Energi Baru Terbarukan Pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia masih menemui banyak kendala terkait dengan perilaku konsumsi masyarakat yang masih tergantung penuh pada energi berbahan fosil, masih belum kompetitifnya energi terbarukan dibanding yang berbahasis fosil, dan tantantangan dalam industri energi terbarukan. Adanya road map energi terbarukan hendaknya bisa menjadi acuan pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia. Kita sebenarnya mempunyai begitu banya peraturan dalam upaya membangun industri energi baru terbarukan. Banyak peraturan/ regulasi terkait energi, beberapa diantaranya adalah:
33
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
Tabel 15: Peraturan Terkait Pengembangan Energi dan Energi Terbarukan di Indonesia Peraturan
Tentang/Isi
UNDANG-UNDANG No. 27 Tahun 2003
Panas Bumi
UNDANG-UNDANG No. 30 Tahun 2007
Energi
UNDANG-UNDANG No. 30 Tahun 2009
Ketenagalistrikan
PERATURAN PEMERINTAH No. 70 Tahun 2009
Konservasi Energi
PERATURAN PRESIDEN No. 5 Tahun 2006
Kebijakan Energi Nasional
INSTRUKSI PRESIDEN No. 1 Tahun 2006
Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain
INSTRUKSI PRESIDEN No. 2 Tahun 2006
Penyediaan dan Pemanfaatan Batubara yang dicairkan (liquefied coal) sebagai Bahan Bakar Lain
INSTRUKSI PRESIDEN No. 13 Tahun 2011
Penghematan Energi dan Air
PERATURAN MENTERI ESDM No. 32 Tahun 2008
Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain
Sebagai industri yang baru dan bisa dikatakan sebagai infant industry, industri energi baru dan terbarukan di Indonesia layak memperoleh bantuan dan perlindungan dari pemerintah melalui berbagai skema bantuan seperti perlindungan dari kompetisi
34
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
langsung dengan energi berbahan fosil. Pemerintah harus bisa menggandeng swasta melalui public private partnership bagi pengembangan energi baru dan terbarukan. Langkah yang bisa dilakukan salah satunya adalah pemberian insentif bagi dunia usaha yang bergerak di industry energi baru dan terbarukan baik berupa keringanan pajak, tax holiday, dan lainnya. Penetapan harga BBM berbasis fosil sesuai harga keekonomian (mekanisme harga pasar) dengan mengurangi subsidi secara bertahap adalah pilihan yang tepat. Pemilihan teknologi yang tepat untuk menghasilkan energi terbarukan akan sangat penting agar mampu melibatkan sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan energi nasional memerlukan dukungan dan keterlibatan dan kerjasama dengan pemerintah daerah. Luasnya wilayah dengan kondisi geografi yang berbeda-beda merupakan tantangan tersendiri dalam rangka menghasilkan bahan baku produksi energi terbarukan secara optimal sesuai dengan potensi daerah yang berbeda-beda pula. Dalam hal konsumsi oleh masyarakat maupun industri, pemerintah harus mengawal bahwa regulasi turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 bisa berjalan dengan baik dan terukur hasilnya. Hal yang juga penting adalah mengingat selama ini kita lemah dalam implementasi kebijakan dan law enforcement-nya. Upaya lain terkait dengan konsumsi masyarakat, cara untuk membuat masyarakat beralih dari premium ke jenis yang lainnya atau bahkan beralih ke bahan bakar alternatif adalah dengan
35
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
menurunkan kualitas premium hingga ron 86 (lebih rendah dari 88) (CORE Indonesia, 2015). Dengan kualitas yang lebih rendah dari premium, maka masyarakat akan berfikir ulang sebelum menjatuhkan pada premium dengan RON lebih rendah dengan resiko pada mesin motor/mobil yang digunakannya. Dalam upaya mengembangkan energi baru dan terbarukan bisa menggunakan beberapa strategi sebagai berikut:1 Mengembangkan energi terbarukan dengan melihat Best practices yang diterapkan oleh negara lain dengan memperhatikan energi terbarukan yang sesuai dengan Indonesia. Kesesuaian ini bisa dilihat dari ketersediaan sumber daya alam yang diperlukan, tingkat teknologi yang digunakan dan juga biaya investasi yang diperlukan untuk memproduksinya secara masal. Yang perlu diingat dalam investasi pengembangan energi terbarukan adalah bahwa investasi pada pengembangan energi ini harus dilihat sebagai investasi jangka panjang. Pemerintah perlu mencontoh apa yang dilakukan Rusia dan Kanada sebagai penghasil minyak yang besar tetapi mereka tidak menggunakan untuk di konsumsi di dalam negeri. Rusia menggunakan hydrotermal, pembangkit listrik tenaga air, dan tenaga nuklir sebagai sumber energi terbesar. Melakukan Pilot Project Championship. Pilot project ini dilakukan untuk menggugah masyarakat dan juga pemerintah untuk menggunakan dan mengembangkan energi terbarukan. Dalam Pilot project ini bisa dikembangkan energi terbarukan tertentu di daerah tertentu sesuai dengan energi yang tersedia. Kemudian 1 Berdasarkan masukan dalam Diskusi Kelompk yang diadakan oleh the Habibie Center dalam rangkaian acara Seminar Bersama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). 36
Booklet C Pembangunan Energi Berkelanjutan
dari pilot project tersebut bisa dikembangkan dalam skala yang lebih besar. Kisah sukses yang dari pilot project tersebut bisa disebarluaskan ke daerah dan masyarakat lain baik oleh pemerintah pusat/daerah juga masyarakat. Langkah lain yang bisa dilakukan dengan skala yang lebih kecil dan menyentuh pengguna energi terbarukan adalah dengan mendekati pengembang perumahan/rumah susun/developer untuk mendaur ulang limbah menjadi energi. Hal ini perlu kebijakan dari kementerian terkait untuk mendukung pelaksanaannya termasuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Program penggunaan energi surya (solar cell) juga bisa dimulai dari perumahan atau rumah susun dengan memberikan edukasi kepada pengguna/masyarakat yang tinggal akan murah dan amannya energi terbarukan yang dipakai. Langkah lain adalah dengan mendorong social engineering. Membentuk kelompok masyarakat atau komunitas energi terbarukan dengan difasilitasi oleh pemerintah/pemerintah daerah atau organisasi non-pemerintah yang peduli pada energi terbarukan menularkan energi terbarukan dengan memanfaatkan potensi lokal. Sebagai contoh di Sragen melalui kotoran sapi dan kerbau. Selain panas bumi, bio-energi berbahan tumbuhan, tenaga ombak atau angin juga bisa sebetulnya dimanfaatkan energi alternatif. Rekayasa sosial untuk menghemat energi selain menciptakan energi terbarukan.
37
The Habibie Center Jl. Kemang Selatan No. 98, Jakarta 12560, Indonesia Telp: +62 21 7817211 Fax: +62 21 7817212 e-mail:
[email protected] www.habibiecenter.or.id