PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD (STUDENT ACHIEVEMENT DIVISIONS) DAN TGT (TEAM GAME TURNAMENT) TERHADAP SIKAP ILMIAH SISWA DITINJAU DARI KEMAMPUAN INTERPERSONAL SISWA (studi kasus pembelajaran memahami wujud zat dan perubahannya pada Kompetensi dasar massa jenis dalam kehidupan sehari-hari pada Siswa smp negeri 1 wonogiri tahun pelajaran 2009/2010)
TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Sains Minat Utama Fisika
Oleh
Muhammad Irianto Mewal NIM. S831107110
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pemerintah telah berupaya dengan berbagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam rangka menghasilkan lulusan yang berkualitas. Salah satu upaya yang dilakukan adalah usaha peningkatan kompetensi guru melalui penataran-penataran, pelatihan-pelatihan, workshop ataupun kajian-kajian teori pendidikan. Namun kenyataannya menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih jauh dari harapan. Peningkatan kualitas pendidikan perlu didukung oleh sumber daya manusia yang memadai. Tuntutan di masa datang adalah manusia Indonesia yang cerdas, terampil, berke-Tuhanan, serta jujur dan sikapnya tetap menjunjung tinggi moral budaya bangsanya. Belajar merupakan salah satu sarana untuk mencerdaskan manusia. Dari belajar, manusia bertambah pengetahuannya, dari tidak tahu menjadi tahu, semula belum bisa menjadi bisa, dan sikapnyapun berubah, perubahan ini mencerminkan penguasaan pengetahuan yang telah dimilikinya. Oleh karena itu, pendidikan selalu diupayakan dan dikemas dengan baik agar dapat menghasilkan manusiamanusia yang berpengetahuan tinggi serta memiliki sikap yang sesuai dengan tingkat pengetahuannya. Untuk memenuhi harapan itu, pertama-tama guru dituntut untuk meningkatkan kompetensinya, guru diharap selalu terbuka untuk dapat
mengembangkan diri dengan terus belajar untuk mengembangkan praktek mengajarnya sesuai dengan perkembangan jaman. Sebagai agen pembelajaran, guru dituntut untuk dapat menguasai bahan yang diajarkannya, dan agar dapat dijadikan tauladan, guru harus dapat bersikap jujur dan adil terutama dalam hal menetapkan kebijakannya dalam menilai siswa. Guru juga harus dapat membangun komunikasi yang baik dengan siswanya, dengan demikian siswa tidak merasa takut dengan gurunya. Komunikasi yang baik dapat dipercaya sebagai upaya untuk melatih komunikasi antar siswa, sehingga tukar pengalaman diantara siswa dapat membantu meningkatkan pengetahuannya dan sekaligus dapat untuk melatih siswa dalam menentukan sikapnya yang terbaik ditengahtengah pendapat siswa yang lainya. Lewat hubungan yang dekat ini, guru akan lebih mudah membantu siswa untuk belajar Hasil belajar yang dicapai oleh siswa banyak bergantung pada kemampuan siswa dalam berkomunikasi, baik antar siswa, siswa dengan guru, serta model pembelajaran yang dipilih guru. Tukar pendapat (sharing) diantara siswa, siswa dengan guru dapat membantu membangun pengetahuan baru yang sebelumnya belum ada serta dapat mengembangkan dan memodifikasi pengetahuan yang telah ada itu. Kemampuan guru dalam mengembangkan model-model pembelajaran juga sangat menentukan pencapaian hasil belajar siswa. Minimnya pengetahuan guru tentang model-model pembelajaran mengakibatkan minimnya variasi pembelajaran yang dilakukan dikelas. Hendaknya model pembelajaran yang dipilih oleh guru dapat membangun pengetahuan siswa, dapat melatih ketrampilannya, dapat memunculkan tauladan, dapat menerima pendapat orang
lain, aktif memberikan pemikiran serta jujur dalam bertindak sehingga sikapnya mencerminkan manusia yang berpengetahuan serta berbudi pekerti luhur. Kenyataan dilapangan menunjukan bahwa sebagian besar siswa hasil belajar yang dicapainya belum seperti yang diharapkan. Sikap yang muncul tidak sejalan dengan prestasi belajar yang diperoleh. Nilai rapotnya relatif tinggi tetapi siswa belum berani mengemukakan pendapatnya, tidak obyektif, masih saja memanipulasi data hasil pengukuran sehingga kejujurannyapun diragukan, belum dapat menerima pendapat orang lain sehingga rasa egonya masih tinggi, keaktifan dalam kelas atau kelompoknya belum tampak nyata sehingga fungsi dan tugasnya tidak jelas. Untuk mengerti gejala dan peristiwa alam fisis dengan hukum alamnya yang teratur perlu mempelajari fisika. Dalam mempelajari fisika diperlukan ketrampilan proses yang cukup tinggi. Bagi siswa ketrampilan proses ini dipergunakan untuk mengembangkan kecakapan hidup (life skill) dan kecakapan sikap. Selama ini ketrampilan proses masih dikesampingkan yang seharusnya mendapatkan porsi yang selayaknya. Ketrampilan proses merupakan kemampuan untuk merumuskan atau mengembangkan konsep-konsep fisika berdasarkan fenomena-fenomena alam. Selama ini model pembelajaran yang digunakan guru kurang bervariasi, padahal guru paham bahwa untuk menyampaikan konsep tertentu diperlukan metode dan model pembelajaran tertentu. Disadari atau tidak, didalam kelas siswa memerlukan suasana yang menyenangkan dalam proses pembelajarannya.
Kompetensi guru dalam menyampaikan pembelajaran terlihat dari cara guru tersebut mampu tidak mengembangkan model-model pembelajaran yang ada. Sudah semestinya guru menggunakan model pembelajaran sehingga dalam proses pembelajarannya mampu membuat siswa selalu dalam keadaan senang tidak membosankan, dan dalam proses pembelajaran itu juga harus terjadi induksi pengetahuan sebagaimana mestinya dan muncul tauladan yang menjadi sikap yang diharapkan. Kecerdasan siswa dalam kelas atau kelompoknya sangat bervariasi. Ada siswa yang kecerdasan logikanya tinggi tetapi kecerdasan ritmiknya rendah sehingga siswa macam ini sudah semestinya nilai matematikanya tinggi sedangkan nilai menyanyi rendah, demikian pula siswa yang nilai bahasanya lebih tinggi dari matematika sudah semestinya akan lebih unggul dalam berbahasa dari pada ia diminta untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan matematika. Kecerdasan lain yang kurang diperhatikan oleh guru yaitu kecerdasan siswa yang berhubungan dengan kemampuan siswa untuk berhubungan dengan orang-orang disekitarnya, baik hubungan siswa dengan siswa atau hubungan guru dengan siswa. Kecerdasan ini diyakini memberi kontribusi terhadap hasil belajar terutama pada pembentukan sikap (ranah afektif). Kenyataan dilapangan memperlihatkan bahwa produk belajar yang merupakan hasil dari proses belajar tidak muncul dengan kadar yang sama. Prestasi belajar, ketrampilan serta sikap siswa yang kesemuanya merupakan hasil dari proses belajar tidak muncul bersamaan. Ketiganya mempunyai kadar yang
tidak sama dari siswa disebuah kelas. Sebagian besar guru menyadari bahwa kondisi pembelajaran yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar yang maksimal ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dari dalam siswa itu sendiri (faktor internal) dan faktor dari luar siswa (faktor eksternal). Faktor-faktor internal itu antara lain : kesiapan, kemampuan, aspirasi, pengetahuan prasyarat, motivasi, kreatifitas, sikap, bakat dan kecerdasan (intelegensi). Sedangkan faktor-faktor eksternal antara lain : kurikulum, guru, sarana prasarana, lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan sekolah. Di SMP Negeri 1 Wonogiri hal ini terlihat jelas, bahwa prestasi belajar IPA relatif tinggi tetapi prestasi tinggi itu tidak dibarengi dengan sikap ilmiah yang semestinya diharapkan. Untuk memperoleh prestasi tinggi siswa dibimbing untuk menguasai rumus-rumus, konsep-konsep atau bentuk problem tertentu. Langkah ini telah diupayakan dengan berbagai cara sehingga prestasi yang dimaksud dapat dicapai. Walaupun demikian pada akhir pelajaran ternyata sikap ilmiah sebagai konsekwensi dari ciri pembelajaran IPA hasilnya belum sebanding dengan prestasi yang dicapai siswa. Guru belum mampu membentuk sikap ilmiah seperti yang diharapkan walaupun variasi model pembelajaran yang digunakan sudah diterapkan pada kegiatan belajar mengajarnya. Model pembelajaran yang dipilih hanya mampu meningkatkan prestasi belajar siswa sedangkan sikap ilmiah siswa masih rendah. Oleh karena itu guru dituntut untuk dapat memilih metode dan model pembelajarannya agar prestasi belajar yang dihasilkan tinggi dan sikap ilmiah juga muncul.
Lebih dari separuh peserta didik SMP negeri 1 Wonogiri memiliki IQ lumayan tinggi (hasil tes IQ), tetapi guru belum mampu mengidentifikasi bakat dan kecerdasan siswa secara tepat, sehingga persiapan dan tindakan guru dalam kegiatan belajar mengajarnya tidak sesuai dengan karakter siswa, padahal faktor ini memberi andil terhadap hasil belajar siswa. Kenyataannya, anak yang memiliki kecerdasan tinggi, sedang atau rendah memiliki problem yang berbeda dalam menangkap pelajaran. Kurang peduli, tidak jujur serta rasa ego yang berlebihan masih terlihat kental dalam sikapnya sehari-hari. Latar belakang pendidikan dan sosial ekonomi orang tua juga ikut mempengaruhi sikap siswa disekolah. Tanggungjawab pribadi ditengah-tengah siswa kalam kelompoknya belum terbangun. Siswa masih menganggap ia berasal dari orang kaya sehingga bebas berbuat apa saja, sedangkan siswa yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi lebih rendah merasa takut untuk berpendapat. Keberagaman cara mendidik orang tua terhadap putra putrinya dirumah juga mempengaruhi perilaku disekolah. Kebiasaan baik buruk akan tercermin pada tutur kata maupun tingkah lakunya. Sebagian anak memberi salam pada gurunya atau temannya, tetapi sebagian lagi acuh tak acuh pada guru dan temannya. Pembelajaran kooperatif dianggap sangat tepat sebagai solusi untuk mengatasi sikap ilmiah siswa. Pembelajaran kooperatif sebagai model merupakan suatu strategi yang melibatkan pembentukan kelompok yang bertujuan pencapaian hasil belajar, penerimaan keberagaman dan ketrampilan sosial yang tercipta dalam kerja sama anggota didalam kelompok tersebut. Pembelajaran kooperatif ini
dilaksanakan dengan maksud agar siswa dapat lebih membiasakan diri bekerjasama dan belajar berkelompok dalam rangka memecahkan masalah atau mengerjakan tugas. Berdasarkan uraian diatas, maka usaha untuk perbaikan pendidikan yang dilakukan mengarah kepada pembelajaran yang berpusat pada siswa, sehingga pada saatnya prestasinya yang tinggi dimbangi dengan sikap ilmiahnya yang tinggi pula. Model pembelajaran yang cocok untuk membawa siswa bersikap ilmiah sesuai dengan konsekwensi pembelajaran IPA adalah pembelajaran kooperatif tipe STAD
dan TGT. Pembelajaran kooperatif
dipilih karena
pembelajaran ini dapat membantu siswa memahami konsep-konsep IPA yang sulit serta menumbuhkan kemampuan kerja sama, berfikir kritis dan mengembangkan sikap sosial siswa. Kemampuan kerja sama ditunjukan dalam situasi semangat pembelajaran diantaranya menumbuhkan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama dan mengkoordinasikan usahanya untu menyelesaikan tugas. Berfikir kritis ditunjukan dengan kemampuan siswa berani mengeluarkan pendapat, walaupun ia sendiri juga harus belajar menerima pendapat orang lain dan sikap sosial siswa ditunjukan dengan saling bantu dalam menyelesaikan masalah dan saling menghormati pendapat orang lain. Keberhasilan mencapai tujuan pembelajaran tergantung pada strategi pembelajaran yang digunakan. Siswa berinteraksi dengan siswa lain secara langsung dimana salah satu siswa dapat berperan sebagai fasilitator yang membantu mencapai tujuan belajarnya. Usaha yang diupayakan adalah dengan
membuat
lingkungan
belajar
yang
mendukung
siswa
untuk
dapat
mengembangkan sikap yang cenderung untuk berperilaku dan dapat mengambil tindakan pemikiran sesuai dengan metode ilmiah (sikap ilmiah). Penelitian ini didasarkan pada pemikiran bahwa strategi dan model pembelajaran yang tepat serta pengaruh tingkat kecerdasan siswa akan mampu meningkatkan sikap ilmiah siswa. Analisa sementara menunjukan bahwa sikap ilmiah tidak muncul karena siswa kurang aktif dalam mengikuti pembelajaran kelompok, siswa masih belajar secara individu. Model pembelajaran yang diterapkan oleh guru serta tugas yang diberikan tidak mengarah pada kerja kelompok sehingga kesulitan-kesulitan belum sepenuhnya teratasi.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat didentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. 2. Tidak sebanding antara prestasi yang dicapai siswa dengan sikap ilmiah yang diharapkan, hal ini disebabkan sikap ilmiah siswa belum diperhatikan dalam proses belajar mengajar. 3. Belum adanya kesesuaian antara strategi dan model pembelajaran yang diterapkan pada materi pembelajaran IPA sehingga pengaruhnya tidak mampu meningkatkan sikap ilmiah siswa 4. Model pembelajaran yang digunakan oleh banyak guru kurang bervariasi
5. Masih banyak guru menggunakan model pembelajaran konvensional dalam proses kegiatan belajar mengajarnya 6. Kecerdasan interpersonal yaitu kemampuan untuk memahami dan membina hubungan dengan orang lain berbeda-beda antara siswa satu dengan siswa lainnya perbedaan ini belum diperhatikan guru. 7. Sikap bekerja sama dan belajar berkelompok untuk memecahkan masalah masih sangat rendah.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka agar penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik, lebih terfokus dan terarah, maka perlu dibatasi masalah yang akan dikaji. Pembatasan masalah pada penelitian ini sebagai berikut : 1. Produk belajar yang diteliti adalah aspek afektif yaitu sikap ilmiah siswa 2. Model pembelajaran yang digunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Divisions) dan TGT (Team Game Turnament). 3. Variabel lain yang diteliti adalah kemampuan interpersonal 4. Materi pembelajaran yang dipilih adalah massa jenis zat 5. Sikap ilmiah diukur dengan skala Likert
D. Perumusan Masalah 1. Apakah ada pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif melalui tipe STAD dan tipe TGT terhadap sikap ilmiah siswa?
2. Apakah ada pengaruh kemampuan interpersonal yang tinggi, sedang dan rendah terhadap sikap ilmiah siswa ? 3. Apakah ada interaksi antara penggunakan model pembelajaran dan kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa ?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1. Pengaruh pembelajaran kooperatif model STAD dan model TGT terhadap sikap ilmiah siswa 2. Pengaruh kemampuan interpersonal siswa terhadap sikap ilmiah siswa 3. Interaksi antara model pembelajaran yang digunakan dengan kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat. Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis : a. Memberi pengetahuan lebih tentang penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT yang lebih sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar mengajar. b. Dapat meningkatkan wawasan bagi para pembelajar tentang penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT.
c. Sebagai acuan untuk penelitian lanjut yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
2. Manfaat Praktis a. Dapat meningkatkan sikap ilmiah siswa dengan cara memilih dan menggunakan model pembelajaran yang tepat dalam pembelajarannya. b. Dapat meningkatkan kegiatan kooperatif dalam kegiatan belajar siswa sehingga sikap ilmiah siswa menjadi lebih baik. c. Dapat meningkatkan kemandirian siswa dalam melakukan kerja ilmiah dan meningkatkan keberanian siswa dalam berpendapat secara ilmiah. d. Member sumbangan yang bermanfaat bagi institusi sekolah dalam rangka perbaikan dan peningkatan proses belajar mengajar.
BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori 1. Pengertian Belajar Banyak definisi yang diberikan tentang belajar. Belajar menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah usaha (berlatih dan sebagainya) supaya mendapat suatu kepandaian (W.J.S. Poerwadarminta, 2003:121). Belajar menurut Gagne dalam Ratna Wilis Dahar (1989 :11) didefinisikan "sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat
pengalaman". Dari definisi ini dapat dikatakan bahwa adanya suatu proses yaitu butuh waktu dalam belajar. Tanda yang kedua yaitu adanya suatu perubahan perilaku artinya adanya perbedaan tingkah laku yang lebih baik dari seseorang, misalnya perubahan perilaku berbicara, mengingat, memecahkan masalah, berpikir dan berbuat kreatif. Ciri ketiga yaitu akibat dari pengalaman belajar merupakan proses yang berlangsung dalam jangka waktu lama melalui latihan dan pengalaman. Belajar melibatkan perolehan kemampuan yang bukan merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir. Belajar bergantung pada pengalaman. Sebagaian pengalaman itu merupakan umpan balik dari lingkungan. Berdasar teori kognitif yang dimaksud belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu tampak sebagai tingkah laku. Tingkah laku seseorang selalu didasari oleh kognisi yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Perkembangan kognitif merupakan proses genetik yaitu perkembangan sistem saraf artinya makin bertambahnya umur seseorang maka semakin kompleks susunan syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Pandangan B.F Skiner tentang belajar dalam Syaiful Sagala (2005 :14) adalah "suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progesif ". Belajar dipahami sebagai suatu perilaku, pada saat orang belajar, maka responya menjadi lebih baik. Sebaliknya bila ia tidak belajar, maka responnya menurun. Jadi belajar ialah suatu perubahan dalam kemungkinan atau peluang terjadinya respon.
Berdasarkan pengertian belajar tersebut di atas maka belajar dapat diartikan sebagai suatu usaha oleh seseorang untuk mendapatkan ilmu yang melalui suatu proses perubahan tingkah laku sebagai buah dari pengalaman yang merupakan hasil interaksi dengan lingkungannya dalam usaha memenuhi kebutuhan dn kelangsungan hidupnya. Seseorang dikatakan belajar jika telah mengalami perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku ini dapat terdiri dari perubahan secara kognitif yang meliputi pengetahuan dan pemahaman, perubahan secara afektif atau perubahan sikap/nilai,
dan perubahan psikomotorik
(ketrampilan).
2. Pengertian Pembelajaran Proses pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses komunikasi antara guru dengan siswa serta komunikasi antar siswa yang menghasilkan perubahan sikap. Secara konseptual maupun operasional konsep-konsep komunikasi dan perubahan sikap selalu melekat pada pembelajaran. Pembelajaran merupakan usaha untuk membelajarkan siswa menggunakan azas pendidikan maupun teori belajar yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau siswa. Pembelajaran memiliki dua karakteristik, yang pertama dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mendengar dan mencatat akan tetapi menghendaki aktivitas siswa
dalam proses berpikir. Kedua, dalam pembelajaran terjadi suasana dialogis dan proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa yang pada gilirannya kemampuan berpikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu usaha yang dilakukan guru dalam membantu siswa mempelajari suatu hal atau nilai yang baru dengan cara interaktif melalui proses yang sistematis. Dari definisi pembelajaran diatas diketahui pula bahwa kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen, oleh Gino dkk. (1999 : 30) yaitu : "Siswa, guru, tujuan, isi pelajaran, metode, media dan evaluasi ". Siswa sebagai penerima , pencari dan penyimpan isi pelajaran yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Guru, sebagai pengelola kegiatan belajar mengajar
dan peran lainnya yang
memungkinkan terjadinya kegiatan belajar mengajar yang efektif. Tujuan, yaitu pernyataan tentang perubahan tingkah laku kognitif, afektif dan psikomotorik. Isi pelajaran, yakni segala informasi yang berupa fakta, prinsip dan konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Metode, yaitu cara yang teratur untuk memberi yang diinginkan terjadi pada siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar, yang meliputi kesempatan kepada siswa untuk mendapat informasi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Media, yakni bahan pengajaran dengan atau tanpa peralatan yang dipakai untuk menyajikan informasi pada siswa agar mencapai tujuan. Evaluasi, yakni cara tertentu yang digunakan untuk menilai suatu proses dan hasilnya.
Gagne berpendapat (Dimyati dan Mujiono, 2006 : 12) bahwa dalam belajar ada tiga tahapan yang meliputi sembilan fase (lihat tabel 2.1). Tahapan itu sebagai berikut : (1) persiapan untuk belajar, fase pertama pada tahap ini adalah mengarahkan perhatian dengan tujuan untuk menarik perhatian siswa untuk memulai pelajaran misalnya guru mengajukan pertanyaan mengapa kapal bisa terapung sedangan batu tidak ?. Fase kedua adalah ekspektasi yaitu memberitahu tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Penulisan tujuan ini hendaknya dituliskan secara jelas dipapan tulis agar dapat dibaca dan untuk mengingatkan kembali tujuan pembelajaran apabila siswa lupa. Dan fase terakhir pada tahap ini adalah retrival yaitu merangsang siswa agar mengingat kembali hasil belajar sebelumnya misalnya untuk menghitung massa jenis maka siswa dipersyaratkan telah mampu menggunakan neraca untuk mengukur massa benda, mampu membaca skala hasil pengukur, jika hal ini masih belum dikuasi siswa maka guru perlu membimbing sekali lagi cara menimbang dan membaca skalanya lagi (2) pemerolehan dan unjuk perbuatan (performasi). (3) retrival dan alih belajar. Adanya tahap dan fase belajar tersebut mempermudah guru untuk melakukan pembelajaran. Dalam rangka pembelajaran maka guru dapat menyusun acara pembelajaran yang cocok dengan tahap dan fase-fase belajar. Pola hubungan antara fase belajar dengan acara-acara pembelajaran dapat dilukiskan seperti pada tabel 2.1: Tabel 2.1 Hubungan antara Fase belajar dan acara pembelajaran Tahapan belajar Persiapan untuk belajar
Fase belajar 1. Mengarahkan perhatian
Acara Pembelajaran Menarik perhatian siswa dengan kejadian yang tidak seperti
2. Ekspektasi
Perolehan dan unjuk perbuatan
Retrival dan alih belajar
3. Retrival (informasi dan ketrampilan yang relevan untuk memori kerja) 4. Persepsi selektif atas sifat stimulus 5. 6. 7. 8.
Sandi semantik Retrival dan respon Penguatan Pengisyaratan
9. Pemberlakuan secara umum
biasanya, pertanyaan atau perubahan stimulus Memberitahu siswa mengenai tujuan belajar Merangsang siswa agar mengingat kembali hasil belajar (apa yang telah dipelajari) sebelumnya Menyajikan stimulus yang jelas sifatnya Memberikan bimbingan belajar Memunculkan perbuatan siswa Memberikan balikan informasi Menilai perbuatan siswa Meningkatkan retensi dan alih belajar
3. Model Pembelajaran Kooperatif Pengertian kooperatif dapat diartikan melakukan sesuatu secara bersamasama dengan saling membantu dan bekerjasama dalam sebuah kelompok. Sedangkan
menurut
Gagne
(1994),
pembelajaran
didefinisikan
sebagai
"seperangkat peristiwa eksternal yang dirancang untuk mendukung terjadinya proses belajar yang sifatnya internal dengan tujuan membantu orang belajar". Dari pendapat tersebut maka pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dapat diartikan sebagai pendekatan pembelajaran pada sekelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan proses belajar untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada dasarnya manusia memiliki derajat, potensi, latar belakang historis, serta harapan masa depan yang berbeda-beda. Karena perbedaan itu, manusia dapat saling asah, asih dan asuh. Pembelajaran kooperatif menciptakan interaksi
yang asah, asih dan asuh sehingga tercipta masyarakat belajar (learning community). a. Tujuan Pembelajaran Kooperatif Menurut Kindsvatter dkk (Paul Suparno : 135), belajar bersama mempunyai tujuan antara lain sebagai berikut : "(1) meningkatkan hasil belajar; (2) alternatif pembelajaran kompetitif; (3) meningkatkan kerja sama antar siswa; (4) memfasilitasi siswa yang berkemampuan interpersonal tinggi". Dari tujuan diatas dapat disimpulkan bahwa kerja sama kelompok diyakini dapat meningkatkan hasil belajar yang ingin dicapai. Belajar dengan model kooperatif merupakan alternatif terhadap pembelajaran kompetitif. Pembelajaran kompetitif sering membuat siswa lemah menjadi minder, sedangkan pembelajaran kooperatif justru membantu siswa yang lemah untuk maju. Dengan belajar bersama dalam kelompok hubungan antar siswa makin akrab dan kerja sama antara siswa akan semakin baik. Bagi siswa yang mempunyai kemampuan interpersonal
tinggi
cara
pembelajaran
kooperatif
sangat
cocok
untuk
memutakhirkan pengetahuannya. Siswa akan lebih mudah mengkonstruksi pengetahuannya lewat bekerja sama dengan teman.
b. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif Terdapat empat prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif (Wina Sanjaya : 246). Keempat prinsip itu dijelaskan sebagai berikut, pertama " Prinsip ketergantungan
Positip
(positive
interdependence)",
dalam
pembelajaran
kooperatif guru menciptakan suasana agar siswa merasa saling membutuhkan.
Hubungan
saling
membutuhkan
inilah
yang
dimaksud
dengan
saling
ketergantungan positip; kedua " Tanggungjawab Perseorangan (individual accountability)", hasil penilaian oleh guru ditunjukan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian secara individual selanjutnya disampaikan kepada kelompok agar semua anggota kelompok mengetahui siapa anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa yang memberi bantuan. Nilai kelompok yang merupakan jumlah rata-rata penguasaan semua anggota kelompok secara individu ini yang dimaksud dengan tanggungjawab perseorangan; prinsip yang ketiga " Interaksi Tatap Muka (Face to Face Promotion Interactive)", interaksi tatap muka akan memaksa siswa saling bertatap muka dalam kelompok sehingga mereka saling berdialog. Interaksi ini sangat penting karena siswa merasa mudah belajar dari sesamanya; serta yang ke empat " Partisipasi dan Komunikasi (participation communication)", ketrampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, berani mempertahankan pikiran, tidak mendominasi orang lain, mandiri dan sikap lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja diajarkan.
c. Pengelolaan (manajemen) Pembelajaran Kooperatif Menurut Slavin (2008:260) " Unsur penting lainnya dalam sebuah sistem manajemen pembelajaran kooperatif yang baik adalah harapan yang jelas". Dalam hal ini guru terlebih dahulu menetapkan tindakan yang perlu dilakukan dikelas agar pembelajaran kooperatif dapat difungsikan.
Beberapa cara yang dapat dilakukan guru dalam mengelola suasana ruang kelas kooperatif antara lain : Sinyal kebisingan-nol. Pada umumnya pada saat pembelajaran kooperatif sedang berjalan suasana kelas menjadi riuh atau bising, ada kalanya juga kebisingan itu disebabkan topik yang dibicarakan pada masing-masing kelompok keluar dari pembicaraan yang semestinya, untuk itu guru perlu mengembalikan suasana sebagaimana mestinya. Untuk keperluan tersebut guru perlu memberi sinyal atau tanda, misalnya dengan cara mengangkat tangan atau membunyikan bel sehingga perhatian siswa kembali kepada kerja kelompok yang telah ditetapkan tugasnya; Pujian Kelompok. Memberikan apresiasi pada kelompok yang bekerja dengan baik dengan cara memberi pujian tanpa harus memberi tambahan nilai kelompok bersangkutan. Pujian itu itu misalnya “inilah kelompok yang patut dicontoh. Buletin Rekognisi Spesial. Buletin Rekognisi merupakan sebuah pengakuan berisi catatan spesial bagi kelompok yang menampakan perubahan tingkah laku atau sikap yang sangat diharapkan. Cara ini sangat membantu siswa dalam satu kelompok untuk bekerja keras dan saling membantu karena ia tahu hasil kelompok yang diperoleh akan di rekognisi. Upacara Rekognisi Spesial. Individu atau tim yang paling baik mencatatkan poin-poin yang ia peroleh dalam diagram rekognisi spesial dan guru mengajak siswa dalam kelas itu untuk memberi penghargaan, misalnya dalam bentuk tepuk tangan.
d. Prosedur Pembelajaran Kooperatif di Kelas Agar pembelajaran kooperatif yang dilakukan dikelas dapat berjalan efektif, maka ada empat tahap yang harus dilakukan oleh guru (Wina Sanjaya 2007 : 248) yaitu : " Penjelasan Materi, Belajar dalam kelompok, Penilaian, dan Pengakuan Tim ". Pada penjelasan materi guru menyampaikan pokok-pokok materi pelajaran yang akan dibahas kepada siswa sebelum siswa dibagi dalam kelompoknya. Dalam tahap penjelasan materi pelajaran yang akan disampaikan guru dapat menggunakan metode ceramah atau metode lain yang dianggap perlu. Setelah gambaran umum materi-materi pokok yang telah disampaikan, maka selanjutnya siswa diminta untuk belajar dalam kelompok yang sebelumnya telah dibentuk. Pembentukan kelompok kelas kooperatif bersifat heterogen, artinya kelompok dibentuk berdasarkan perbedaan-perbedaan setiap anggotanya, baik perbedaan jenis kelamin, etnik, sosial ekonomi, latar belakang agama maupun kemampuan akademiknya. Khusus dalam hal kemampuan akademiknya menurut Anita Lie (Wina Sanjaya 2007 : 248) "biasanya kelompok terdiri dari satu orang berkemampuan tinggi, dua orang berkemampuan sedang dan satu orang lainnya berkemampuan kurang". Dalam pembelajaran kooperatif penilaian dilakukan dengan cara tes atau kuis. Tes atau kuis yang dibuat guru dapat disampaikan secara individu atau kelompok. Tes individu nantinya akan memberikan informasi atas kemampuan setiap siswa, sedang tes yang disampaikan untuk kelompok akan memberikan
informasi atas kemampuan setiap kelompok. Hasil akhir setiap siswa adalah gabungan antara nilai individu dan kelompok dibagi dua. Setiap siswa mempunyai nilai kelompok yang sama karena nilai kelompok merupakan hasil kerja sama antar anggota kelompok. Pengakuan Tim. Dalam pembelajaran kooperatif pengakuan tim perlu dilakukan. Pengukan tim diberikan kepada tim yang dianggap paling berprestasi dan untuk kemudian tim tersebut layak untuk diberi sebuah penghargaan atau hadiah. Penghargaan yang diberikan sebaiknya tidak berupa nilai. Penghargaan yang diberikan merupakan sesuatu yang dapat membangkitkan motivasi kepada individu atau kelompok agar lebih berprestasi lebih tinggi.
4. Tipe Pembelajaran Kooperatif Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa model pembelajaran. Model pembelajaran yang banyak dikembangkan saat ini antara lain : STAD (Student Team Achievement Divisions) dan TGT (Team Game Tournament). "Kedua model ini banyak kemiripannya, satu-satunya perbedaan antara keduannya adalah STAD menggunakan kuis-kuis pada akhir pembelajaran, sementara TGT menggunakan game-game akademik" (Salvin 2008 : 143). a. Pembelajaran Kooperatif tipe STAD STAD (Student Team Achievement Divisions), merupakan model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Robert E. Slavin di Universitas John Hopkins, AS.
STAD terdiri dari lima fase kegiatan, yaitu : (1) Presentasi kelas, pada fase ini guru memperkenalkan materi-materi pokok yang akan dibahas lebih lanjut. Pada saat menyampaikan materi-materi pokok, guru dapat melakukannya dengan diskusi kelas atau tanya jawab tetapi bisa juga dengan menggunakan media audiovisual; (2) Tim (kelompok belajar), tim terdiri dari empat atau lima siswa. Setelah guru menyampaikan materi-materi pokok yang akan dibahas siswa diminta untuk mengelompok sesuai dengan kelompok yang sebelumnya telah terbentuk untuk mempelajari materi-materi atau lembar kerja siswa. Guru harus dapat mengendalikan tim agar tim selalu dalam suasana belajar. Tiap anggota tim diarahkan untuk selalu mengerjakan kegiatan secara maksimal dan diingatkan sekali lagi bahwa nilai individu akan memberi kontribusi kepada nilai tim; (3) Kuis. Kuis diberikan kepada siswa secara individual setelah beberapa kali pertemuan. Yang harus dipahami bahwa setiap siswa mengerjakan kuis ini secara mandiri, tidak boleh saling membantu. Materi kuis merupakan materi yang mengukur aspek kognitif, sikap, dan psikomotor; (4) Skor Kemajuan Individual. Fase ini bertujuan untuk membandingkan sikap awal siswa dengan sikap akhir setelah siswa belajar dalam kelas kooperatif; (5) Rekognisi Tim. Apabila sebuah tim mendapatkan nilai atau skor rata-rata mencapai kriteria yang telah ditetapkan, maka tim tersebut diberi penghargaan. b. Pembelajaran Kooperatif tipe TGT Pada umumnya TGT (Team Game Tournament) sama dengan STAD. Dalam pelaksanaannya TGT menggunakan turnamen akademik, kuis-kuis dan sistem skor kemajuan akademik individu, dimana para siswa satu sama lainnya
saling berlomba sebagai wakil tim atau kelompok dengan anggota kelompok lain yang pada awalnya memiliki kemampuan akademik yang setara. TGT juga terdiri dari lima fase kegiatan, yaitu : fase presentasi kelas dan pembentukan kelompok serta fase rekognisi tim sama dengan model pembelajaran menggunakan STAD. Dua fase lain yang diberlakukan pada pembelajaran model TGT adalah sebagai berikut : (1) Game. Konten dari game terdiri dari pertanyaanpertanyaan yang relevan dan dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperolehnya dari presentasi kelas dan pembahasan materi dalam kelompoknya. Tiga orang siswa yang mewakili kelompok yang berbeda memainkan sebuah game dalam satu meja; (2) Turnamen. Turnamen merupakan fase yang dirancang dan dilaksanakan setelah beberapa game dilakukan. Fase ini biasanya dilaksanakan pada akhir unit bahasan atau satu bab materi bahasan berakhir. Pada turnamen pertama, guru menunjuk siswa yang berprestasi tinggi untuk berkumpul dalam meja satu, siswa yang berprestasi dibawahnya berkumpul pada meja dua dan seterusnya. Setelah siswa berkelompok menurut tingkat prestasinya, kemudian lanjutkan pelaksanaan turnamen. Kompetisi ini dianggap adil karena dalam satu kelompok siswa berada dalam tingkat yang sama. Turnamen yang ke dua, siswa bertukar meja, siswa yang memperoleh skor paling tinggi dipindahkan ke meja kerikutnya yang lebih tinggi sedangkan mereka yang memperoleh skor paling rendah diturunkan ke meja dibawahnya dan siswa yang memperoleh skor diantaranya tetap pada mejanya.
5. Teori-teori Belajar
Belajar bukanlah aktivitas reaktif mekanistis belaka, tetapi juga ada pemahaman terhadap perangsang yang datang pada saat seseorang melakukan aktivitas belajar. Belajar tidak berlangsung seketika tetapi berproses pada hal-hal esensial seshingga aktivitas belajar itu akan menimbulkan makna yang berarti. Setiap
individu
mengalami
adaptasi
biologis
dengan
lingkungannya
sehinggamenyebabkan perubahan kualitatif dalam struktur kognitifnya. Informasi yang diperoleh disesuaikan dengan kognitif yang telah dimiliki sebelumnya sehingga terjadi proses asimilasi. Sebaliknya bila struktur kognitif yang dimiliki yang dimodifikasi dengan informasi baru dari luar maka terjadi proses akomodasi. Menurut Lewin dalam Saiful Sagala (2003:46) " belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif ". Perubahan struktur kognitif merupakan hasil dari dua macam kekuatan, yaitu dari struktur medan kognisi itu sendiri dan yang lain dari kebutuhan dan motivasi internal individu. Teori belajar konstruksivisme menurut Slavin (1997 : 269) adalah teori yang berpandangan bahwa "siswa sendiri yang harus menemukan dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru, kemudian membandingkan dengan aturan lama dan merevisi aturan itu apabila tidak sesuai lagi ". Pendekatan pembelajaran yang searah dengan teori belajar konstruksivisme salah satunya adalah pembelajaran kooperatif. Konstruksivisme lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky, keduanya berpandangan bahwa "perubahan kognitif hanya terjadi jika konsep yang telah dimiliki sebelumnya diolah melalui proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi baru". Keduanya juga menekankan adanya hakekat sosial dari belajar dan menyarankan penggunaan
kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan anggotanya yang beragam untuk mengupayakan perubahan koseptual. Teori yang mendasari pembelajaran kooperatif antara lain :
a. Teori Belajar Kognitif Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses dari pada hasil belajarnya. Penganut teori ini berpandangan bahwa belajar tidak hanya sekedar melibatkan antara stimulus dan respon. Dalam Teori belajar kognitif tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi dan pemahaman siswa tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Penganut teori belajar kognitif berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup, ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi dengan melibatkan pengaturan stimulus yang diterima kemudian disesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk dalam pikiran seseorang yang merupakan pemahaman dan pegalaman-pengalaman sebelumnya.
b. Teori Perkembangan Piaget Menurut Piaget, "perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasari atas mekanisme biologis perkembangan sistem
syaraf". Semakin bertambah usia seseorang maka semakin komplek susunan syarafnya dan makin meningkat pula kemampuan kognitifnya. Kecakapan intelektual yang diperoleh seseorang pada dasarnya diperoleh dari proses mencari keseimbangan (adaptasi) antara apa yang dirasakan dan diketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat sebagai fenomena baru sebagai pengalaman. Keseimbangan seseorang tidak akan terganggu jika ia dapat mengatasi situasi atas pengalaman baru yang diperolehnya, tetapi jika tidak maka ia harus melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Pada dasarnya dalam belajar terjadi proses adaptasi. Proses adaptasi mempunyai dua bentuk secara simultan, yang pertama asimilasi yaitu proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif yang ada sekarang. Apabila seseorang menerima informasi baru atau pengalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok dengan struktur kognitif yang telah dipunyainya (proses asimilasi), kedua akomodasi yaitu proses perubahan struktur kognitif. Apabila struktur kognitif yang sudah dimilikinya harus disesuaikan dengan informasi baru yang diterima maka seseorang harus menyesuaikannya (proses akomodasi). Asimilasi dan akmodasi akan terjadi apabila terjadi konflik kognitif. Konflik kognitif terjadi jika tidak ada keseimbangan (ekuilibrasi) antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau dialaminya. Konflik kognitif akan mempengaruh struktur kognitif seseorang. Menurut Piaget, "proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahapan asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi". Proses asimilasi merupakan proses
pengintegrasian informasi baru kedalam struktur kognitifnya. Proses akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitifnya terhadap situasi baru. Dan proses ekuilibrasi merupakan proses penyesusian antara asimilasi dan akomodasi.
c. Teori Belajar Bruner Bruner berpendapat bahwa "dalam proses belajar selalu ada pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang". Proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Menurut Bruner dalam Ratna Willis Dahar (1989:101) bahwa "belajar sebagai proses perkembangan kognitif melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses itu ialah (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi, dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan". Teori ini menjelaskan bahwa informasi yang diperoleh dapat merupakan penghalusan dari informasi sebelumya yang telah dimilikinya. Sementara itu transformasi informasi merupakan cara bagaimana memperlakukan informasi itu apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah menjadi bentuk lain. Selanjutnya kita menguji relevansi dan ketepatan informasi dengan cara menilai apakah dalam memperlakukan pengetahuan itu cocok dengan tugas yang ada. Disisi
lain
Bruner
mengatakan
(Budiningsih
2005:41)
bahwa
perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, (1) tahap enactive, seseorang melakukan aktivitas-
aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motoriknya, misalnya melalui gigitan, sentuhan, dan pegangan. (2) tahap iconic untuk memahami dunianya atau obyek-obyek, seseorang menggunakan gambar-gambar dan visualisasi verbal. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan dan perbandingan. (3) tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun terjadi demikian tidak berarti seseorang tidak lagi menggunakan sistem enactive dan iconic, contohnya masih digunakannya media dalam kegiatan pembelajarannya. Demikian pula model pemahaman konsep dari Bruner (Budiningsih 2005:42) menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu. Dalam pemahaman konsep, konsep-konsep sudah ada sebelumnya. Sedangkan dalam pembentukan konsep terjadi sebaliknya, tindakan untuk membentuk kategori-kategori baru merupakan tindakan penemuan konsep. Dengan kata lain kegiatan mengkategori memiliki dua komponen, yaitu (1) tindakan pembentukan konsep, dan (2) tindakan pemahaman konsep. Artinya,
langkah pertama adalah pembentukan konsep kemudian baru pemahaman konsep. Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep dulu, mencari artinya, kemudian mencari hubungan-hubungan yang kesemuanya melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai pada suatu kesimpulan (discovery learning).
d. Teori Belajar Bermakna Ausubel Menurut Ausubel (Dahar 1989:112) belajar bermakna merupakan suatu proses mengkaitkan informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Pada saat proses belajar dihasilkan perubahan-perubahan dalam sel-sel otak, terutama sel-sel yang telah menyimpan informasi yang mirip dengan informasi yang sedang dipelajari. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa pengetahuan diorganisasi dalam ingatan seseorang dalam struktur hirarkis, ini berarti bahwa pengetahuan yang lebih umum, inklusi dan abstrak membawahi pengetahuan yang lebih spesifik dan kongkrit. Pengetahuan yang lebih umum dan abstrak yang diperoleh lebih dulu akan dapat memudahkan perolehan pengetahuan baru yang lebih rinci. Ausubel juga mengembangkan advence organizers (Dahar 1989 : 44) yang merupakan penerapan konsepsi tentang struktur kognitif di dalam merancang pembelajaran. Penggunaan advence organizers sebagai kerangka isi akan dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam mempelajari informasi baru, karena merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep dasar tentang apa yang dipelajari dan hubungannya dengan materi yang telah ada dalam struktur kognitifnya.
Berdasarkan pada konsepsi organisasi kognitif, dikembangkanlah suatu model yang lebih eksplisit yang disebut skemata. Sebagai struktur organisasional skemata berfungsi untuk mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah atau sebagai tempat untuk mengkaitkan pengetahuan baru. Jadi skemata memiliki fungsi ganda, yaitu (1) sebagai skema yang mengambarkan organisasi pengetahuan, (2) sebagai kerangka atau tempat untuk mengkaitkan atau merangkai pengetahuan baru. Skemata juga memiliki fungsi asimilatif, artinya bahwa skemata berfungsi untuk mengasimilasikan pengetahuan baru kedalam hirarkhi pengetahuan yang lebih rinci dan spesifik dalam struktur kognitif seseorang. Inilah proses belajar yang paling mendasar yaitu mengasimilasikan pengetahuan baru kedalam skemata yang tersusun secara hirarkhis. Skemata yang telah dimiliki seseorangmenjadi penentu utama terhadap pengetahuan apa yang akan dipelajari oleh orang tersebut. Oleh karena itu diperlukan adaya upaya untuk mengorganisasi isi atau materi pelajaran serta penataan kondisi pembelajaran agar dapat memudahkan proses asimilasi pengetahuan baru kedalam struktur kognitif orang yang belajar.
e. Teori Perkembangan Kognitif Piaget memandang perkembangan intelektual berdasarkan struktur kognitif dan setiap anak akan melewati tahapan demi tahapan secara hirarkhi namun perkembangan itu berlangsung dalam kecepatan yang berbeda, tergantung dari seberapa jauh anak dapat berinteraksi dengan lingkungannya.
Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi empat, yaitu (1) tahap sensorimotor (sensory motor stage) usia 0-2 tahun, pada masa ini bayi bisa membedakan dan mengetahui nama-nama benda; (2) tahap pra-operasional (preoperational stage) usia 2-7 tahun, tahap ini terbagi lagi menjadi tahap prakonseptual (preconseptual stage) usia 2-4 tahun masa awal perkembangan bahasa dengan pemikiran yang sederhana dan tahap pemikiran intuitif (intuitif thought) usia 4-7 tahun merupakan masa perpikir khayal. Pada masa ini anak belum bisa berpikir abstrak; (3) tahap operasi kongkrit (concrete operational) usia 7-11 tahun, kemampuan berpikir anak telah lebih tinggi, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang kongkrit, anak sudah menguasi operasi-operasi hitungan seperti menambah, mengurangi, membagi, menyusun dan sampai mengurutkan; (4) tahap operasi formal (formal operational)usia 11 tahun keatas. Pada tahap ini kemampuan berpikir anak telah sempurna ia telah dapat berpiir abstrak, berpikir deduktif, dan induktif, berpikir analitis dan sintesis.
f. Teori Belajar Konstruktivisme Teori belajar yang paling berpengaruh dalam pembelajaran fisika yakni teori belajar konstruktivisme. Teori belajar konstruktivisme merupakan teori belajar kognitif yang dinyatakan oleh Piaget. Teori belajar menurut pandangan konstruktivis, menyatakan bahwa anak tidak menerima begitu saja pengetahuan dari orang lain, tetapi anak secara aktif membangun pengetahuannya, dengan cara terus menerus mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru.
Konstruktivisme
merupakan
teori
perkembangan
kognitif
yang
menekankan peran aktif anak dalam membangun pemahaman mereka tentang dunia nyata yang mereka hadapi. Sedangkan menurut Paul Suparno (1997), prinsip-prinsip teori belajar konstruktivisme adalah sebagai berikut (1) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara individu maupun secara berkelompok; (2) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar dan mengkonstruksi secara terus menerus sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci dan lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah. Dalam hal ini guru hanya sekedar membantu menyediakan sarana dan membuat situasi agar proses konstruksi kognitif berjalan mulus dan bukan merupakan penerimaan informasi yang pasif. 6. Sikap Ilmiah Sikap didefinisikan sebagai keadaan internal seseorang yang berpotensi untuk mempengaruhi pilihan-pilihan atas tindakan pribadi yang dilakukannya (Suhaenah S 2001 :15). Sikap terbentuk dan berubah sejalan dengan perkembangan individu dan potensi penguatan terbentuk dan perubahannya tergantung dari interaksi sosialnya. Sikap juga merupakan produk belajar, seseorang yang mempunyai sikap positip akan lebih positip setelah ia mendapat pembinaan yang baik dan sebaliknya sikapnya akan menjadi negatif jika ia mendapat pembinaan yang jelek. Sikap mempunyai tiga komponen yaitu : (1) Kognitif, yang berhubungan dengan pengetahuan; (2) Afektif, yang berhubungan dengan perasaan; (3)
Psikomotor, yang berhubungan dengan respon atau tindakan (Sears 1988 : 123). Tiga komponen ini saling beriteraksi dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap sesuatu. Sikap yang dikembangkan dalam IPA atau sains adalah sikap ilmiah (scientific attitude). Sikap ilmiah mengandung dua makna (Harlen W, 1985), yaitu : (1) attitude to science, sikap terhadap IPA; (2) attitude of science, sikap yang melekat pada seseorang setelah ia mempelajari IPA. Pada kajian ini akan dibahas scientific attitude yang berkaitan dengan attitude of science. Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individu. respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positifnegatip, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap obyek sikap. Beberapa scientific attitude yang lazim dikembangkan disekolah meliputi ; sikap jujur, sikap terbuka, sikap tekun, sikap logis, sikap kritis, sikap ingin tahu, sikap luwes terhadap gagasan baru, sikap peka atau peduli terhadap lingkungan atau sesamanya. Bagaimanakah cara mengukur sikap ilmiah? Sikap ilmiah termasuk dalam ranah afektif. Salah satu alat ukur aspek afektif adalah Skala Likert (Likert scale), yang bertujuan untuk mengidentifikasi kecenderungan sikap seseorang (Robert dalam Muhibin Syah, 1999 :155). Bentuk skala Likert menampung pendapat yang
mencerminkan sikap sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Sikap ilmiah akan diamati pada saat siswa melakukan percobaan dilaboratorium dan selama siswa presentasi dikelas. 7. Kecerdasan Interpersonal (interpersonal intelligence) Kecerdasan interpersonal berhubungan erat dengan kemampuan seseorang untuk bekerja sama dan berkomunikasi, baik verbal maupun non verbal dengan orang lain. Dalam penelitiannya, Gardner (Asri Budiningsih 2005 : 112) mengidentifikasi ada tujuh kecerdasan manusia dalam memahami dunia nyata. Hasil penelitiannya juga menunjukan bahwa tidak ada satuan kegiatan manusia yang hanya menggunakan satu macam kecerdasan, semua kecerdasan bekerja sama sebagai satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Tujuh kecerdasan manusia itu adalah sebagai berikut : (1) kecerdasan verbal atau berbahasa; (2) kecerdasan logika atau matematika; (3) kecerdasan Visual atau ruang; (4) kecerdasan tubuh atau gerak; (5) kecerdasan ritmik atau musikal; (6) kecerdasan interpersonal; dan (7) kecerdasan intrapersonal. Untuk setiap orang komposisi keterpaduan antara kecerdasan-kecerdasan itu berbeda-beda. Kecerdasan yang paling menonjol akan mengontrol kecerdasankecerdasan lainnya dalam memecahkan masalah. Juga menurut Gardner, (1) manusia mempunyai kemampuan untuk meningkatkan dan memperkuat kecerdasannya; (2) kecerdasan selain dapat berubah dapat pula diajarkan kepada orang lain; (3) kecerdasan merupakan realita majemuk yang muncul dibagianbagian yang berbeda pada sistem otak manusia; (4) pada tingkat tertentu, kecerdasan ini merupakan satu kesatuan yang utuh.
Penelitian ini hanya akan mengkaji kecerdasan interpersonal, yaitu kecerdasan yang berhubungan erat dengan kemampuan seseorang untuk bekerja sama dan berkomunikasi, baik verbal maupun non verbal dengan orang lain, mampu mengenali perbedaan perasaan, temperamen maupun motivasi orang lain. Pada tingkat yang lebih tinggi kecerdasan ini dapat membaca konteks kehidupan orang lain, kecenderunganya dan kemungkinan sikap yang akan diambil. 8. Bahan Belajar Massa Jenis Zat Bahan belajar yang dipilih pada penelitian ini adalah konsep massa jenis. Bahan belajar itu didasarkan pada buku acuan Ilmu Pengetahuan Alam I (BSE) (Depdiknas, 2008 : 63-82). a. Zat dan Wujudnya 1) Wujud Zat Dalam kehidupan sehari-hari banyak benda/zat yang dijumpai, bendabenda itu misalnya meja, batu, tanah, air, es, besi, pohon, udara. Benda-benda tersebut tersusun dari zat yang berbeda, misalnya zat yang menyusun air berbeda dengan zat yang menyusun besi, walaupun zat penyusunya berbeda, semua benda masih mempunyai kesamaan yaitu membutuhkan ruang sebagai tempat keberadaannya. Ruang dibutuhkan karena benda memiliki besaran volume. Kesamaan yang lain yaitu massa. Massa merupakan jumlah zat penyusun benda tersebut dan untuk setiap benda jumlah zat yang dikandung berbeda-beda walaupun bentuk dan ukurannya sama. Dari sekilas uraian itu dapat dikatakan bahwa benda/zat merupakan sesuatu yang memiliki massa dan menempati ruang.
Menurut wujudnya zat dibedakan menjadi tiga yaitu : (1) zat padat, (2) zat cair dan (3) zat dalam wujud gas. Bentuk serta volume benda dalam wujud padat adalah selalu tetap. Apabila balok kayu diletakkan diatas lantai dan kemudian dipindahkan keatas meja akan terlihat bahwa bentuk dan volumenya tidak akan berubah walaupun balok kayu dipindah dari lantai ke atas meja hal ini menggambarkan bahwa perubahan posisi tidak akan merubah wujud zat. Lain halnya dengan zat cair misalnya air, sejumlah air dituangkan dalam gelas maka bentuk air akan sesuai dengan bentuk gelas yang ditempatinya dan apabila air yang sama dipindahkan kedalam gelas yang lain yang bentuknya lain pula maka bentuk air akan menyesuaikan dengan tempat barunya. Sifat zat dalam wujud gas berlainan dengan sifat zat dalam wujud padat dan cair. Sejumlah udara dalam sebuah ban mempunyai bentuk dan volume sesuai dengan volume dan bentuk ban yang ditempatinya. Apabila ban itu bocor maka udara akan keluar dari ban, udara yang mengalir dari dalam keluar ban akan menempati ruang disekitar ban yang bentuknya berubah sesuai dengan bentuk ruang disekitar ban sedangkan volume udara akan mengembang seukuran volume ruang disekitar ban tersebut. 2) Perubahan Wujud Perubahan wujud zat dapat berlangsung apabila zat mendapat pengaruh panas maupun tekanan baik dari luar maupun dari dalam zat itu sendiri.
(a) (b) (c) Gambar 2.1 Air dalam tiga wujud
Untuk merubah wujud zat dibutuhkan sejumlah panas. Dalam keadaan tertentu air dapat berwujud padat (lihat gambar 2.1a ). Jika panas yang diberikan mencukupi maka es batu seluruhnya akan mencair dan apabila panas terus diberikan maka air akan mendidih dan kemudian akan menjadi uap. Perubahan wujud juga dapat terjadi jika zat melepaskan sejumlah panas misalnya uap air melepaskan sejumlah panasnya maka uap air akan berubah wujudnya menjadi embun. Jadi pada saat perubahan wujud, zat memerlukan sejumlah panas atau zat melepaskan panasnya. Perubahan wujud zat secara skematik dapat digambarkan seperti pada gambar 2.2
Gambar 2.2 Skema Perubahan Wujud
Berdasarkan skema perubahan wujud diatas dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) membeku, yaitu perubahan wujud dari wujud cair menjadi wujud pada peristiwa ini proses melepaskan sejumlah panas, (2) mencair, yaitu perubahan wujud dari wujud padat menjadi wujud cair pada peristiwa ini proses membutuhkan sejumlah panas, (3) menguap, yaitu perubahan wujud dari wujud cair menjadi uap pada peristiwa ini proses membutuhkan sejumlah panas, (4) mengembun, yaitu perubahan wujud dari wujud gas menjadi wujud cair pada peristiwa ini proses melepaskan sejumlah panas, (5) mengkristal, yaitu proses
perubahan wujud dari wujud gas menjadi wujud padat pada peristiwa ini proses melepaskan sejumlah panas, (6) menyublim, yaitu perubahan wujud dari wujud padat menjadi wujud gas pada peristiwa ini proses membutuhkan sejumlah panas. 3) Gerak Partikel pada Berbagai wujud Zat melalui Penalaran Kita pernah menjemur pakaian basah diterik matahari setelah beberapa saat pakaian tersebut menjadi kering, kemanakah air dalam pakaian basah tersebut ? Tentunya kita tahu bahwa air dalam pakaian itu menguap. Apakah kita dapat melihat uapnya ? Tentunya tidak hal ini disebabkan uap air tersebut merupakan partikel-partikel yang sangat kecil sehingga tidak tampak oleh mata kita. Partikel-partikel itu selanjutnya disebut molekul. Molekul tersusun oleh partikel yang lebih kecil yang disebut atom. Bisa jadi dua atom yang sama dan berlainan secara kimia dapat bergabung membentuk molekul misalnya air gabungan dari dua atom hidrogen (H) dan satu atom oksigen (O) atau gas oksigen merupakan gabungan antara dua atom oksigen. Teori molekul atau teori atom dapat digunakan untuk menjelaskan perubahan wujud zat. Menurut teori ini zat padat (lihat gambar 2.3) mempunyai bentuk yang tetap hal ini disebabkan molekul-molekul penyusun zat padat saling berdekatan dan teratur, selain itu molekul-molekul zat padat tidak mudah bergerak dengan bebas hal ini disebabkan interaksi gaya diantara molekul sangat kuat. Gerakan molekul zat padat hanya terbatas pada getaran dan gerak rotasi pada tempatnya saja.
Gambar 2.3 Susunan Molekul zat Padat, Zat Cair dan Gas
Pada zat cair interaksi gaya antar molekul relatif kurang kuat sehingga gerakan molekul lebih leluasa. Molekul-molekul zat cair selain bergetar molekul – molekul itu dapat perpindah tempat tetapi masih dalam kelompoknya. Sifat ini yang menyebabkan bentuk zat cair tidak tetap. Zat dalam wujud gas memiliki bentuk dan volume yang berubah-ubah hal ini disebabkan karena molekulmolekul gas relatif dapat bergerak bebas. Jarak antar molekul berjauhan dibanding dengan ukuran molekulnya sehingga interaksi antar molekul sangat lemah. b. Mengukur Besaran Massa dan Volume 1) Mengukur Besaran Massa Besaran massa dapat diukur dengan menggunakan neraca. Ada berbagai macam neraca tetapi yang paling banyak digunakan di berbagai laboratorium sekolah adalah neraca jenis Ohaus (gambar 2.4). Untuk tipe Ohaus 2610 memiliki tiga lengan dapat mengukur massa sampai 2.610 gram dengan ketelitian 0,1 gram sedangkan neraca Ohaus yang lebih teliti adalah tipe 311, tipe ini memiliki empat lengan dapat mengukur massa sampai 310 gram dengan ketelitian 0,01 gram.
Gambar 2.4 Neraca Ohaus
Pembacaan skala pada dua tipe neraca tersebut pada prinsipnya sama yaitu menjumlahkan angka yang terbaca pada tiap lengan. Sebagai contoh misalnya pengukuran menggunakan neraca tipe 311 gram. Posisi anak timbangan pada empat lengan neraca tersebut seperti pada gambar 2.5. Pembacaan skala hasil pengukuran adalah sebagai berikut :
Lengan 1 posisi anak timbangan pada angka 100 gram, lengan 2 pada posisi angka 60 gram, dan lengan 3 pada posisi angka 5 gram serta lengan 4 pada posisi angka 0,6 gram. Hasil akhir pengukuran merupakan jumlah dari angka-
angka yang ditunjuk oleh anak timbangan sehingga hasil akhir pengukurannya adalah : 100 gram + 60 gram + 5 gram + 0,6 gram = 165,6 gram 2) Mengukur Besaran Volume Volume merupakan salah satu besaran turunan yang dapat diukur secara langsung maupun tidak langsung. Besaran volume untuk benda atau zat berwujud cair dapat diukur secara langsung. Salah satu alat ukur yang dapat digunakan adalah gelas ukur (gambar 2.6). Cara ini dianggap yang paling mudah yaitu langsung menuangkan zat cair pada gelas ukur sampai tinggi permukaan zat cair sesuai dengan volume yang dikehendaki.
Agar pengukuran sesuai dengan yang diharapkan dan tidak terjadi kesalahan paralaks maka letakkan gelas ukur itu diatas tempat yang permukaannya rata hal dimaksudkan agar permukaan zat cair nampak jelas menyentuh angka berapa pada skala yang tertera pada dinding gelas ukur. Untuk zat padat pengukuran volume dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pertama jika zat padat yang dimaksud bentuknya tidak teratur misal bentuknya berupa bongkahan. Untuk mengukur volume benda padat yang bentuknya tidak teratur digunakan gelas ukur (gambar 2.7). Misalnya akan diukur
volume sebongkah batu, mula-mula gelas ukur diisi air setinggi 40 ml (gambar 2.7a) kemudian bongkahan batu dimasukan kedalam gelas ukur yang telah berisi air tadi, periksa kembali tinggi permukaan air dalam gelas ukur (gambar 2.7b).
Volume batu sama dengan selisih tinggi permukaan air sesudah dan sebelum batu dimasukan dalam gelas ukur. Sesuai dengan contoh gambar 3.5 maka volume batu adalah : 80 ml – 40 ml = 40 ml.
Benda padat yang bentuknya teratur misalnya balok volumenya dapat dihitung secara tidak langsung ( gambar 2.8). Untuk menghitung volume balok biasanya diukur lebih dahulu panjang masing-masing rusuk dengan sebuah mistar. Setelah diukur panjang rusuknya dan dengan operasi perkalian terhadap tiga rusuknya (p x q x r) diperoleh volume balok (V).
Beberapa bangun benda serta volumenya dapat dilihat pada tabel 2.2 dibawah ini : Tabel 2.2 Bangun benda dan Volumenya
No
Bangun
Gambar
Rumus
1.
Kubus
V=axaxa V : Volume a : Panjang rusuk
2.
Silinder
3.
Bola
V = π x r2 x t V : volume r : jari-jari alas t : tinggi π : 3,14 V = 4/3 π x r3 r : jari-jari alas π : 3,14
4.
Kerucut
V = 1/3 π x r2 x t r : jari-jari alas t : tinggi π : 3,14
c. Massa Jenis Massa jenis (density), merupakan sifat khas sebuah benda, ukuran maupun bentuk tidak berpengaruh terhadap besarnya massa jenis. Besarnya massa jenis ditentukan oleh seberapa besar kepadatan partikel-partikel yang menyusun zat itu. Analisa sementara menunjukan bahwa konsep massa jenis masih belum sepenuhnya dipahami oleh banyak siswa. Siswa masih menganggap massa jenis ternggantung pada ukuran dan bentuk benda. Massa jenis ( Giancoli 2001 : 325) didefinisikan sebagai massa persatuan volume :
m , dimana m adalah massa benda satuannya kg dan V merupakan V
3
volume benda satuannya m , sehingga satuan SI massa jenis adalah
kg . m3
Besaran-besaran temperatur dan tekanan sebenarnya juga ikut mempengaruhi besarnya massa jenis. Karena efeknya dianggap kecil, maka pengaruh temperatur dan tekanan dapat diabaikan. Massa jenis berbagai zat (Giancoli 2001 : 325) dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini : Tabel 2.1 Massa jenis beberapa zat
Zat Padat : Aluminium Besi dan Baja Tembaga Timah Emas Beton Granit Kayu Gelas Es Tulang Cair
: Air (4oC) Darah, plasma Darah, keseluruhan Air laut Air raksa Alkohol, ethyl Bensin Minyak tanah
Gas
:Udara Helium Karbondioksida air (uap 100oC)
Massa Jenis, (kg/m3) 2,70 103 7,8 103 8,9 103 11,3 103 19,3 103 2,3 103 2,7 103 0,3 – 0,9 103 2,4 – 2,8 103 0,917 103 1,7 – 2,0 103 1,00 103 1,03 103 1,05 103 1,025 103 13,6 103 0,79 103 0,68 103 0,8 103 1,29 0,179 1,98 0,598
Untuk menghitung besar massa jenis suatu benda, harus terlebih dahulu menentukan massa benda dan volumenya, kemudian membaginya antara massa dengan volumenya. Dalam penelitian ini penentuan massa jenis difokuskan pada
benda berwujud (fase) padat yang bentuknya teratur maupun tidak teratur, dan benda dalam wujud cair. Untuk menghitung massa jenis ditentukan dengan cara sebagai berikut : (a) Zat padat (Aluminium, Besi, Tembaga, kayu) bentuk teratur : mula-mula pajang rusuk masing-masing zat diukur, kemudian kalikan rusuk-rusuk itu sehingga diperoleh volumenya. Untuk mengukur massanya timbang satu per satu zat-zat itu dengan neraca yang tersedia, isikan variabel hasil pengukuran pada tabel yang telah disediakan, kemudian untuk memperoleh massa jenisnya bagi besaran massa dengan volume hasil pengukuran. (b) Zat padat yang bentuknya tidak teratur : untuk mengukur volume benda padat yang bentuknya tidak teratur dilakukan dengan cara mencelupkan benda yang bersangkutan kedalam gelas ukur yang telah diisi air. Selisih volume air sebelum dan sesudah benda dicelupkan merupakan volume benda tersebut sedangkan massa benda ditimbang dengan neraca yang tersedia. Dan selanjutnya massa jenis dihitung dengan cara membandingkan besaran massa dengan volume hasil perhitungan itu. (3) Zat cair : untuk zat cair bentuknya sesuai dengan bentuk yang ditempainya. Untuk menghitung volume zat cair, zat tersebut langsung dimasukan kedalam gelas ukur, volume zat cair sesuai skala yang tertunjuk dengan tinggi permukaan
B. Penelitian Yang Relevan Penelitian sebelumnya yang relevan dan akan dikaji pada penelitian ini adalah :
1.
Tarono (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “pengaruh penggunaan
metode inkuiri terbimbing dan inkuiri bebas termodifikasi terhadap prestasi belajar fisika ditinjau dari sikap ilmiah siswa”; Dalam penelitiannya Tarono memilih sikap ilmiah siswa sebagai variabel moderator dan diselidiki seberapa besar pengaruhnya terhadap peningkatan prestasi belajar siswa jika dalam pembelajarannya menggunakan metode inkuiri terbimbing dan inkuiri bebas termodifikasi. Untuk meningkatkan prestasi belajar fisika tidak hanya diperlukan kemampuan kognitif belaka tetapi diperlukan pula sikap tertentu untuk lebih memahami dan menyikapi gejala-gejala alam yang ada.
Lain dengan yang
dilakukan Tarono dalam penelitian ini sikap ilmiah diletakan sebagai variabel terikat sedangkan kemampuan interpersonal siswa sebagai variabel moderatornya. Sikap ilmiah dipandang penting karena sikap ilmiah yang merupakan produk belajar perlu dimiliki lebih dahulu oleh siswa. Dalam penelitian ini akan diselidiki pengaruh dua model pembelajaran kooperatif terhadap sikap ilmiah siswa ditinjau dari kemampuan interpersonal. 2.
Sumarsono (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan
pembelajaran kooperatif model STAD (Student Team Achievement Divisions) dan Model JIGSAW terhadap prestasi belajar fisika pada pokok bahasan tegangan dan arus bolak balik ditinjau dari aktivitas belajar siswa”. Dalam penelitian, Sumarsono meneliti pengaruh model STAD dan Jigsaw terhadap prestasi belajar. Hasil penelitian menunjukan bahwa model JIGSAW dengan aktivitas tinggi atau rendah hasilnya masih lebih baik dari pada model STAD. Digambarkan bahwa dalam
pembelajarannya
JIGSAW
menggunakan
simulasi-simulasi
yang
menyenangkan sehingga mampu meningkatkan prestasi belajar sekalipun terhadap siswa yang aktivitas belajarnya rendah. Berbeda dengan yang dilakukan Sumarsono dalam penelitian ini akan dicoba model pembelajaran kooperatif lainnya yaitu model STAD dan TGT apakah ada pengaruhnya terhadap sikap ilmiah siswa. Variabel moderator Sumarsono menggunakan aktivitas belajar siswa kategori tinggi dan rendah sedangkan dalam penelitian ini variabel moderatornya menggunakan kemampuan interpersonal. 3.
Tulus Yunanto (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh
pembelajaran Kooperatif tipe STAD dan TPS terhadap prestasi belajar ditinjau dari sikap ilmiah”, Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa prestasi belajar siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik daripada tipe TPS dan siswa yang mempunyai sikap ilmiah tinggi menghasilkan prestasi belajar lebih tinggi daripada siswa yang memiliki sikap ilmiah rendah. Berbeda dengan penelitian ini model pembelajaran kooperatif tipe STAD akan dibandingkan dengan tipe TGT. Menurut penelitian Tulus Yunanto tipe STAD lebih baik dari tipe TPS tetapi menurut penelitian ini diduga bahwa tipe STAD tidak lebih baik dari tipe TGT. Dalam penelitiannya Tulus Yunanto menduga bahwa ada perbedaan signifikan prestasi belajar siswa yang diajar dengan STAD dan TPS pada siswa yang memiliki sikap ilmiah tinggi atau rendah sedangkan pada tesis ini peneliti menduga ada perbedaan yang signifikan sikap ilmiah siswa yang dalam
pembelajarannya menggunakan model STAD dan TGT pada siswa yang memiliki kemampuan interpersonal tinggi dan rendah.
C. Kerangka Berpikir Teoritis
Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Wonogiri merupakan studi kasus pembelajaran fisika memahami wujud zat dan perubahannya pada kompetensi dasar massa jenis. Input siswa berasal dari beberapa sekolah terbaik disekitar Wonogiri sehingga bagi guru lebih mudah melatih siswa untuk mencapai prestasi belajarnya. Latar belakang sosial ekonomi orang tua relatif cukup memadai sehingga kontribusi terhadap kemajuan pendidikan putra putrinyapun sangat mendukung, dirumah sarana belajar semua serba ada hal ini memicu sikap anak yang kurang peka terhadap lingkungannya, saling tolong menolong diantara siswa rendah. Untuk itu dilakukan penelitian model pembelajaran macam apa yang mungkin mampu meningkatkan prestasi belajar sekaligus mampu meningkatkan sikap ilmiah siswa. Agar penelitian ini lebih terarah hingga bisa sesuai dengan tujuan penelitian, maka diperlukan kerangka pemikiran yang jelas. Kerangka pemikiran yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah : 1. Peranan model pembelajaran tipe TGT dan STAD terhadap peningkatan sikap ilmiah siswa. Inovasi pembelajaran melalui pemilihan model pembelajaran yang tepat perlu dilakukan. Secara eksplisit prosedur pembelajaran kooperatif tipe TGT
maupun STAD telah ditetapkan. Keduanya memiliki ciri-ciri yang hampir sama dalam langkah-langkah pembelajarannya, yang membedakan diantara keduanya yaitu adanya game-game dalam pembelajaran TGT sedangkan pada STAD dalam pembelajarannya terdapat kuis-kuis. Walaupun sedikit terdapat perbedaan keduanya sama-sama mengedepankan kerja sama antar siswa dalam kelompok. Model pembelajaran ini juga menekankan munculnya sikap dan perilaku yang diharapkan yaitu sikap ilmiah siswa. Dugaan sementara mengatakan bahwa model pembelajaran tipe TGT maupun STAD mampu meningkatkan sikap ilmiah siswa, dan diduga pula bahwa siswa yang dalam pembelajaranya menggunakan TGT sikap ilmiahnya muncul lebih kuat dibanding dengan kelompok siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan STAD. 2. Perbedaan sikap ilmiah pada siswa yang memiliki kemampuan interpersonal tinggi dan rendah jika siswa diberi model pembelajaran tipe TGT dan STAD. Kemampuan interpersonal adalah kecerdasan yang berhubungan erat dengan kemampuan seseorang untuk bekerja sama dan berkomunikasi, baik verbal maupun non verbal dengan orang lain. Kemampuan ini dibagi menjadi dua kategori yaitu tinggi dan rendah. Ciri-ciri siswa yang memiliki kemampuan interpersonal tinggi antara lain mudah berteman, ia suka berada disekitar orang lain, ramah sekalipun dengan orang yang baru ia kenal, ia tahu bagaimana menunggu gilirannya, suka berbagi walaupun itu hanya sebuah ide atau gagasan. Diduga bahwa siswa yang kemampuan interpersonalnya tinggi akan mampu menjalankan peranya dalam kelompok belajar sehingga sikap ilmiahnya
akan lebih kuat munculnya dari siswa yang memiliki kemampuan interpersonal rendah. 3. Pengaruh interaksi model pembelajaran tipe TGT dan STAD dengan kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa Dalam pembelajaran dimungkinkan akan terjadi fenomena dimana siswa yang kemampuan interpersonalnya tinggi dalam pembelajarannya menggunakan tipe TGT sikap ilmiahnya akan muncul lebih kuat dari pada dalam pembelajarannya menggunakan tipe STAD. Dugaan kedua bisa terjadi bahwa siswa yang kemampuan interpersonalnya rendah jika dalam pembelajarannya menggunakan tipe STAD sikap ilmiahnya akan muncul lebih kuat dari pada dalam pembelajaranya menggunakan tipe TGT. Jika dua dugaan itu terjadi maka dapat dikatakan bahwa ada interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa.
D. Hipotesis Dari kerangka berpikir yang telah diuraikan, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Ada pengaruh model pembelajaran tipe TGT dan model pembelajaran tipe STAD terhadap sikap ilmiah. 2. Ada pengaruh kemampuan interpersonal tinggi dan kemampuan interpersonal rendah terhadap sikap ilmiah. 3. Ada interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi penelitian adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Wonogiri tahun pelajaran 2009/2010 yang terdiri dari enam kelas dengan jumlah 182 siswa.
2. Sampel Dari populasi enam kelas, diambil dua kelas sebagai sample dengan menggunakan teknik random sampling.
B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2009 semester gasal tahun pelajaran 2009/2010 bertempat di SMP Negeri 1 Wonogiri.
C. Metode Penelitian Kategori penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian eksperimen yang bertujuan menyelidiki kemungkinan saling hubung sebab akibat antara variabel-variabel bebas dan variabel moderator terhadap variabel terikat. Penilitian ini melibatkan dua kelas eksperimen, pada kelas eksperimen satu dalam pembelajarannya menggunakan model pembelajaran STAD dan kelas eksperimen dua dalam pembelajarannya menggunakan model pembelajaran TGT.
D. Instrumen Penelitian Untuk pengumpulan data diperlukan instrumen penelitian. Instrumen penelitian ini dibagi menjadi dua : 1.
Instrumen pelaksanaan penelitian, Instrumen ini digunakan pada saat pembelajaran yang berupa silabus dan
Rencana Program Pembelajaran (RPP). Silabus yang digunakan merupakan silabus yang sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sedangkan RPP yang disusun dipersiapkan dan disesuaikan dengan rencana tatap muka dengan siswa. 2.
Instrumen pengambilan data Yang termasuk dalam instrumen ini adalah instrumen yang digunakan
untuk tes kemampuan interpersonal siswa yang berupa angket dengan enam indikator. Sedangkan instrumen lain adalah lembar observasi untuk mengamati empat sikap ilmiah siswa.
E. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan kerangka pemikiran diatas, data yang didapat berupa hasil dari tes kemampuan interpersonal sebelum pembelajaran dilaksanakan. Data yang kedua diperoleh dari pengamatan sikap ilmiah pada dua kali tatap muka. 1. Angket kemampuan interpersonal Angket merupakan salah satu teknik pengambilan data, hal ini dilakukan guna mendapatkan informasi tentang kemampuan interpersonal siswa. Bentuk
angket yang dipakai adalah angket langsung tertutup sebanyak 31 butir soal. Setiap item pertanyaan diikuti dengan lima alternatif jawaban yaitu berupa pernyataan : sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Jawaban pernyataan tersebut akan mendapat skor sesuai dengan pernyataan positip dengan bobot yaitu : Sangat setuju = 5, setuju = 4, netral = 3, tidak setuju = 2, dan sangat tidak setuju = 1, skor untuk pernyataan negatif dengan bobot sebaliknya. 2. Lembar observasi sikap ilmiah Lembar observasi dibutuhkan guna untuk mengumpulkan data sikap ilmiah siswa. Dalam lembar ini terdapat enam sikap ilmiah yang harus diamati yaitu : sikap jujur, menerima gagasan baru (terbuka), rasa ingin tahu, teliti, menghargai pendapat orang lain, dan kritis. Agar sikap ilmiah dapat mudah teramati maka masing-masing sikap ilmiah itu ditentukan indikatornya. Setiap item sikap ilmiah diikuti dengan lima alternatif pernyataan yang berkaitan dengan indikator pengamatan, yaitu : sikap yang muncul sangat kuat teramati, sikap yang muncul kuat teramati, sikap yang muncul teramati, sikap yang diharapkan kurang teramati, dan sikap yang diharapkan tidak teramati. Masing-masing sikap yang diamati tersebut tersebut diberi skor sebagai berikut : jika sikap yang muncul sangat kuat teramati = 5, sikap yang muncul kuat teramati = 4, sikap yang muncul teramati = 3, sikap yang diharapkan kurang teramati = 2, dan sikap yang diharapkan tidak teramati = 1.
F. Uji Coba Instrumen Sebelum digunakan untuk mengambil data penelitian angket kemampuan interpersonal diujicobakan disekolah lain untuk mengetahui validitas dan realibilitas dari angket tersebut. 1. Uji Validitas Uji validitas merupakan ukuran yang menunjukan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Instrumen yang valid memiliki validitas yang tinggi dan sebaliknya instrumen yang kurang valid atau tidak valid meliliki validitas yang rendah. Untuk mengetahui validitas instrumen digunakan rumus sebagai berikut : r
=
NΣXY − (ΣX)(ΣY) {NΣX − (ΣX) }{NΣY − (ΣY) } (Suharsimi Arikunto 2006:274)
dengan penjelasan sebagai berikut : X = skor item, Y = skor total, N = bilangan cacah subyek, dan rxy = angka validitas item. Kriteria harga dari rxy adalah sebagai berikut : item tes angket dikatakan valid jika rxy observasi > rxy tabel pada taraf signifikan 5 %. Pada penelitian ini diuji cobakan 30 butir soal angket kemampuan interpersonal siswa. Setelah diolah terdapat 24 soal yang valid dan 6 soal yang tidak valid yaitu soal nomor 1, 3, 16, 21, 23, dan 28. Dua puluh empat butir soal kemampuan interpersonal akan digunakan untuk menentukan kategori tinggi dan rendah kemampuan interpersonal siswa. Diambil 24 butir soal dengan alasan butir-butir soal itu sudah mewakili indikator yang telah ditentukan.
2. Uji Reliabilitas Realibilitas menunjukan pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah cukup baik. Instrumen memiliki keajegan dalam menilai apa yang seharusnya dinilai, artinya kapanpun digunakan akan memberikan hasil yang relatif sama. Untuk mengukur indeks reliabilitas keseluruhan pernyataan dalam angket digunakan rumus Alpha (Suharsimi Arikunto, 2006: 196) r
=
k k−1
1−
Σσ σ
dengan penjelasan sebagai berikut : r11= reliabilitas instrumen, k = banyaknya butir pernyataan atau soal, b2 = jumlah varians butir soal, t2 = varians total. Kriteria reliabilitas adalah sebagai berikut : 0 r11 0,2 : sangat rendah, 0,2 r11 0,39 : rendah, 0,39 r11 0,59 : cukup, 0,59 r11 0,79 : tinggi, 0,79 r11 1,0 : sangat tinggi. Untuk angket kemampuan interpersonal diperoleh indeks reliabilitas 0,8152 (sangat tinggi)
G. Definisi Operasional Variabel 1. Variabel Penelitian Ada dua variabel dalam penelitian ini yaitu : (1) Variabel bebas yang terdiri dari model pembelajaran jenis STAD dan TGT dan kemampuan interpersonal siswa tinggi dan sedang serta rendah; (2) Variabel terikat adalah
sikap ilmiah siswa; (3) sedangkan variabel lain adalah kemampuan interpersonal siswa
2. Definisi operasional Untuk memperjelas variabel tersebut dapat dijelaskan definisi operasional sebagai berikut : a. Model pembelajaran kooperatif Merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran
dimana siswa
secara berkelompok belajar secara bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan lebih dahulu. Kelompok belajar terdiri dari 4-5 orang siswa yang merupakan campuran laki-laki dan perempuan, mempunyai kemampuan akademik yang beragam, dan saling mendiskusikan masalah-masalah yang dibahas serta saling membantu untuk mencapai ketuntasan belajarnya. b. Model pembelajaran STAD Salah satu model pembelajaran kooperatif
yang mempunyai 5 sintak
dalam pembelajarannya. Lima sintak itu adalah Presentasi kelas, Tim, Kuis, Skor kemajuan individual dan Rekognisi tim. c. Model pembelajaran TGT Model pembelajaran kooperatif yang lain, yang dalam pembelajarannya mengikuti lima sintak. Lima sintak itu adalah Presentasi kelas, Tim, Game dan Turnamen serta Rekognisi tim. d. Kemampuan Interpersonal
Kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan untuk bekerja sama dan berkomunikasi baik verbal maupun non verbal. Beberapa indikator kemampuan interpersonal rendah : Tidak suka berbaur, Tidak suka bergiliran, Sangat posesif, Sangat agresif. Sedangkan indikator kemampuan interpersonal tinggi : Berteman dan berkenalan dengan mudah, Suka berada disekitar orang lain, Ramah dengan orang lain, Suka berbagi, Mengetahui bagaimana menunggu gilirannya. e. Sikap Ilmiah Sikap diartikan sebagai kesiapan, kesediaan dan kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek tertentu sebagai hasil dari interaksi sosial. Sikap yang dikembangkan dalam sains adalah sikap ilmiah atau dikenal dengan scientific attitude. Beberapa contoh yang termasuk sikap ilmiah antara lain : teliti, jujur, disiplin, terbuka, luwes, tekun, kritis, kreatif, sikap ingin tahu, dan sikap selalu mendahulukan bukti.
H. Analisis Data 1. Uji Pendahuluan Pada uji pendahuluan digunakan statistik uji t dengan tujuan untuk mengetahui sampel dari dua kelompok eksperimen dalam keadaan seimbang atau tidak (Budiyono : 157). Maka secara statistik apakah terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan antara kedua kelompok eksperimen tersebut. Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai sebikut : a. Menentukan hipotesis
Ho : µ1 = µ2 H1 : µ1 ≠ µ2 b. Dipilih : α = 0,05 c. Statistik Uji-t , adalah : −
=
1
=
(
−
1
− 1)
+ ( − 1) + − 2
X1 : Nilai USBN kelas VII, kelompok eksperimen model pembelajaran STAD. X2 : Nilai USBN kelas VII, kelompok eksperimen model pembelajaran TGT 1
2
2
: variansi kelompok eksperimen model pembelajaran STAD
2
: variansi kelompok eksperimen model pembelajaran TGT
1
: Banyaknya siswa kelompok eksperimen model pembelajaran STAD
2
: Banyaknya siswa kelompok eksperimen model pembelajaran TGT
d. Daerah Kritik Dk :
;
<
<−
;
2. Uji Prasyarat Analisis a. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk memperoleh gambaran apakah populasi terdistribusi normal. Uji normalitas menggunakan uji dengan metode Lilliefors. Langkah-langkahnya sebagai berikut ; 1) Menetapkan hipotesis
a) Ho : sampel berasal dari populasi terdistribusi normal. b) H1 : sampel tidak berasal dari populasi yang terdistribusi normal c) Dipilih : α = 0,05 d) Statistik uji yang digunakan L = Maks │F(Zi) – S(Zi)│ Dengan :
Z berdistribusi N(0,1) F(Zi) = P(Z≤ Zi) S(Zi) = proporsi cacah Z≤ zi terhadap seluruh zi zi =
e) Daerah Kritik (Dk) Dk :
≥
⁄
, dengan n adalah ukuran sampel. Dk dikonsultasikan
dari tabel Lilliefors. 2) Keputusan Uji Ho ditolak jika Dk jatuh didalam daerah kritik, dan Ho tidak ditolak jika Dk jatuh diluar daerah kritik.
b. Uji Homogenitas Uji homogenitas diperlukan untuk mengetahui apakah varians-varians tersebut sama atau tidak. Jika populasi memiliki varians-varians yang sama dikatakan populasi homogen. Uji Homogenitas menggunakan uji Bartllet. Langkah-langkahnya sebagai berikut : 1) Hipotesis Ho : σ12 = σ22 (populasi-populasi homogen)
H1 : tidak semua varians sama atau paling sedikit satu varians berbeda (populasi-populasi tidak homogen) 2) Dipilih : α = 0,05 3) Statistik uji yang digunakan ; ,
χ =
f log RKG − ∑ f log s
dimana : SS = ΣX −
S =
ΣX n
nΣX − (ΣX) n(n − 1)
C=1+
RKG =
1 1 1 Σ − 3(k − 1) f f
ΣSS Σf
4) Daerah kritik Dk = { χ2 │ χ2 > χ2α, k-1}; dimana χ2α, k-1 diperoleh dari daftar distribusi Chi kuadrat dengan taraf signifikan α dan derajat kebebasan (k-1) 5) Keputusan Uji Ho ditolak jika
∈
atau tidak ditolak jika
∉
3. Pengujian Hipotesis Uji hipotesis menggunakan analisis varians dua jalan 2x2 dengan frekwensi tidak sama dengan model data sebagai berikut : Xijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Xijk : data pengamatan ke- k yang dikenai faktor model pembelajaran (A) ke- i dan faktor kemampuan interpersonal (B) ke- j µ
: rerata besar dari seluruh data amatan (pada populasi)
αi
: efek faktor A baris ke- i terhadap Xijk (variabel terikat)
βj
: efek faktor B baris ke- j terhadap Xijk (variabel terikat)
(αβ)ij : kombinasi efek faktor A baris ke- i efek faktor B baris ke- j pada variabel terikat εijk : kesalahan eksperimental berdistribusi normal i = 1,2
1 : model pembelajaran STAD.
2 : model pembelajaran TGT
j = 1,2
1 : interpersonal tinggi
2 : interpersonal rendah
k = 1,2,3, ...,nij = banyaknya data amatan pada sel abij
a. Anava Hipotesis-hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1) Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT terhadap sikap ilmiah siswa HoA :
Tidak ada perbedaan sikap ilmiah siswa pada pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT
H1A :
Ada perbedaan sikap ilmiah siswa pada pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT.
2) Pengaruh kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa HoB :
Tidak ada perbedaan sikap ilmiah siswa yang memiliki kemampuan interpersonal tinggi dan kemampuan interpersonal rendah.
H1B :
Ada perbedaan sikap ilmiah siswa yang memiliki kemampuan interpersonal tinggi dan kemampuan interpersonal rendah.
3) Interaksi antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT dengan kemampuan interpersonal siswa HoAB : Tidak ada interaksi antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT dengan kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa. H1AB : Ada interaksi antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT dengan kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa.
b. Komputasi 1) Data sel Rancangan anava dua jalan isi sel tidak sama adalah B
B1
B2
A1
A1B1
A1B2
A2
A2B1
A2B2
A
Keterangan : A : Kemampuan interpersonal siswa A1 : Kemampuan interpersonal Tinggi A2 : Kemampuan interpersonal Rendah B : model pembelajaran Kooperatif B1 : model pembelajaran kooperatif tipe STAD
B2 : Model pembelajaran kooperatif tipe TGT
2) Komponen Jumlah Kuadrat ( Budiyono : 229) (1) =
G G = npq N
(2) =
SS ,
(3) =
A q
(4) =
B p
(5) =
AB n
,
3) Jumlah Kuadrat (sum square) (Budiyono : 229) n =
pq 1 ∑ n
JK = N {(3) − (1)} JK = N {(4) − (1)} JK
= N {(1) + (5) − (3) − (4)}
JK = (2)
4) Derajat Kebeasan (Degree of Freedom) (Budiyono : 229) dk = p − 1 dk = q − 1 dk
= (p − 1)(q − 1)
dk = N − pq
5) Rataan kuadrat (Mean square) (Budiyono : 230) RK =
JK dk
RK =
JK dk
RK
=
RK =
JK dk
6) Statistik Uji (Budiyono : 230) F =
RK RK
F =
RK RK
F
=
RK RK
7) Daerah Kritik (Budiyono : 230) DK = F |F > Fα;
;
DK = F |F > Fα;
;
DK
= F
|F
> Fα;(
)(
HoA ditolak jika F
≥ Fα;
;
HoB ditolak jika F
≥ Fα;
;
);
8) Keputusan Uji
HoAB ditolak jika F
≥ Fα;(
)(
);
9) Rangkuman Analisis Sumber Variansi Efek Utama :
JK
dk
RK
Fhitung
Ftabel
A (baris)
JKA
p-1
RKA
FA
Fα;p-1;N-pq
B (kolom)
JKB
q-1
RKB
FB
Fα;q-1;N-pq
JKAB
(p-1)(q-1)
RKAB
FAB
Fα;(p-1)(q-1);N-pq
Interaksi : AB
c. Uji Lanjut Anava Uji lanjut anava merupakan tindak lanjut dari analisis variansi apabila hasil analisis variansi menunjukan bahwa hipotesis nol ditolak. Tujuan dari uji lanjut anava ini adalah untuk melakukan pengacakan terhadap rerata setiap kolom, baris dan pasangan sel sehingga diketahui pada bagian mana sajakah terdapat rerata yang berbeda. Dalam penelitian ini uji lanjut anava menggunakan metode Komparasi Ganda dengan Uji Scheffe. Langkah-langkahnya sebagai berikut ( Budiyono, 2004:201) : a) Identifikasikan semua pasangan komparasi rataan yang ada, jika terdapat k perlakuan, maka ada
k (k-1) 2
pasangan rataan
b) Merumuskan hipotesis yang sesuai dengan komparasi tersebut c) Menentukan tingkat signifikan d) Mencari nilai statistik uji F dengan menggunakan formula :
1). F
=
komparasi rataan antar baris
2). F
=
komparasi rataan antar kolom
3). F
=
komparasi antar sel pada kolom yang sama
4). F
=
komparasi antar sel pada baris yang sama
e) Menentukan daerah kritik dengan rumus sebagai berikut : 1). Komparasi rataan antar baris DK
= F
F > (p − 1)Fα;(
);(
)
);(
)
2). Komparasi rataan antar kolom DK
= F
F > (q − 1)Fα;(
3). Komparasi rataan antar sel pada kolom yang sama (sel ij dan sel kj) DK
= F
F > (pq − 1)Fα;(
);(
)
4). Komparasi rataan antar sel pada baris yang sama ( sel ij dan sel ik) DK
= F
F > (pq − 1)Fα;(
);(
)
f) Menentukan keputusan uji g) Menentukan kesimpulan dari keputusan uji yang ada
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri atas data kemampuan interpersonal siswa dan sikap ilmiah siswa. Sikap ilmiah diamati pada saat siswa mengikuti pembelajaran pada standar kompetensi memahami wujud dan perubahannya serta pada kompetensi dasar mendiskripsikan konsep massa jenis dalam kehidupan sehari-hari. 1. Data Kemampuan Interpersonal Dalam penelitian ini kemampuan interpersonal diperoleh dari pemberian angket kemampuan interpersonal kepada responden. Kemampuan interpersonal dibagi dua menjadi kategori yaitu kemampuan interpersonal tinggi dan kemampuan interpersonal rendah. Penggolongan kategori didasarkan pada ± standar deviasi. Deskripsi kemampuan interpersonal dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Deskripsi data Kemampuan Interpersonal Kelompok
Jumlah Data
Nilai Tertinggi
Nilai terendah
Rata-rata
Standar Deviasi
TGT
23
109
81
95,17
6,05
STAD
23
102
77
92,26
5,83
Berdasarkan tabel 4.1 diatas terlihat bahwa untuk kelompok STAD nilai tertinggi untuk kemampuan interpersonal siswa adalah 102 dan nilai terendahnya 77 sedangkan standar deviasinya 5,83. Untuk kelompok TGT nilai tertinggi untuk kemampuan interpersonal siswa adalah 109, nilai terendahnya 81 dengan standar deviasi 6,05. Data diatas menggambarkan bahwa kelompok
TGT memiliki
kemampuan interpersonal lebih baik dari kelompok STAD walaupun standar deviasinya lebih besar. Sebaran distribusi frekwensi untuk kemampuan interpersonal pada kelompok STAD diperlihatkan pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Distribusi Frekwensi Kemampuan interpersonal kelompok STAD Interval
Frekwensi
Prosentasi
Prosentase Kumulatif
77 – 82 83 – 88 89 – 94 95 – 100 101 – 106 107 – 112
1 3 11 7 1 0 23
4,35 13,04 47,83 30,43 4,35 0,00 100,00
4,35 17,39 65,22 95,65 100,00 100,00
Pada tabel 4.2 terlihat bahwa frekwensi terbesar jatuh pada interval 89-94, ini berarti siswa yang memperoleh skor kemampuan interpersonal paling banyak berada pada interval 89-94. Untuk memperjelas distribusi frekwensi kemampuan interpersonal kelomppok STAD perhatikan histogram pada gambar 4.1. 12 FREKWENSI
10 8 6 4 2 0 77-82
83-88
89-94
95-100
101-106 107-112
INTERVAL
Gambar 4.1 Histogram Kemampuan Interpersonal Kelompok STAD
Dari gambar 4.1 sekaligus juga terlihat bahwa histogramnya berbentuk kurva normal dengan frekwensi terbanyak pada interval 89-94. Pada interval itu prosentasenya 47,83 %. Sedangkan pada interval 107-112 nol artinya tidak ada siswa yang kemampuan interpersonalnya didaerah itu dibanding dengan siswa kelompok TGT
Distribusi
frekwensi
kemampuan
interpersonal
kelompok
TGT
diperlihatkan pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Distribusi Frekwensi Kemampuan Interpersonal Kelompok TGT Interval
Frekwensi
Prosentasi
Prosentase Kumulatif
77-82 83-88 89-94 95-100 101-106 107-112
1 1 9 7 4 1 23
4,35 4,35 39,13 30,43 17,39 4,35 100
4,35 8,70 47,83 78,26 95,65 100,00
Dari tabel 4.3 terlihat bahwa frekwensi terbanyak terletak pada interval 89-94. Untuk memperjelas distribusi frekwensi kemampuan interpersonal kelompok TGT tersebut diperlihatkan pada gambar 4.2. 12 FREKWENSI
10 8 6 4 2 0 77-82
83-88
89-94
95-100
101-106 107-112
INTERVAL
Gambar 4.2 Histogram Kemampuan Interpersonal Kelompok TGT
Berdasarkan gambar 4.2 bentuk kurvanya tidak sebaik kurva kelompok STAD (gambar 4.1) tetapi pada kelompok TGT kemampuan interpersonalnya masil lebih baik (kurva condong kekiri) dengan frekwensi terbanyak pada interval
89-94. Kemampuan tertinggi pada kelompok ini berada pada interval 107-112 sebanyak satu siswa.
2. Uji Pendahuluan Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui apakah sampel dari dua kelompok dalam keadaan seimbang atau tidak. Pada uji ini digunakan statistik Uji-t (Budiyono : 157). Data yang digunakan adalah nilai USBN siswa. Dari perhitungan diperoleh : Tabel 4.4 Data Sampel Kelompok Sampel
n
Rata-rata
Variansi
TGT
23
26,69
1,3615
STAD
23
25,74
1,4533
Hipotesis Ho menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kemampuan awal siswa kelompok TGT dan kelompok STAD. Dengan taraf signifikan 5% dan derajat kebebasan 44, maka nilai yang sesuai dengan daerah kritik nya adalah 2,02. Dari hasil perhitungan menggunakan statistik Uji-t diperoleh hasil thitung = 2,35, sehingga keputusan ujinya Ho diterima, artinya kemampuan awal siswa kelompok TGT sama dengan kemampuan awal kelompok STAD.
B. Uji Prasyarat Analisis 1. Uji Normalitas
Untuk mengetahui apakah suatu populasi terdistribusi normal atau tidak , maka dilakukan uji normalitas. Dalam hal ini uji normalitas dilakukan dengan menggunakan model lilliefors. Uji normalitas dilakukan baik pada populasi kelompok TGT maupun kelompok STAD . Uji normalitas diperoleh dengan menggunakan statistik uji Lobs = max |F(Zi) – S(Zi)| . Untuk kelompok TGT dengan taraf signifikan 0,05 dan sampel yang dipilih sebanyak 23 siswa diperoleh Lobs sebesar 0,104. Daerah kritik untuk uji ini adalah DK = {L|L > L0,05;23 = 0,173}, jika Lobs < Ltabel, maka Ho diterima, karena lobs = 0,104 < L0,05;23 = 0,173 , maka kesimpulannya kelompok TGT memang terdistribusi normal. Demikian pula untuk kelompok STAD, pada taraf signifikan 0,05 dan sampel yang dipilih juga 23 siswa diperoleh Lobs lebih besar dari kelompok TGT yaitu 0,126, tetapi hasil ini juga belum masuk dalam daerah kritik, sehingga hipotesis nol untuk kelompok STAD juga diterima, artinya populasi kelompok TGT juga terdistribusi normal.
2. Uji Homogenitas Variansi Populasi
Uji homogenitas diperlukan, karena dalam analisis variansi yang di persyaratkan agar populasi-populasi yang diperbandingkan harus mempunyai variansi-variansi yang sama. Data yang digunakan pada uji normalitas adalah data kemampuan interpersonal siswa dari kelompok TGT maupun data kemampuan interpersonal dari kelompok STAD. Dalam hal ini Statistik Uji yang digunakan adalah menggunakan Uji Bartlett χ =
,
f log RKG − ∑ f log s .
Hipotesisi nol yang diuji adalah Ho : 12 = 22, artinya dua variansi yaitu variansi kelompok TGT dan STAD mempunyai variansi yang sama. Perhitungan dimulai dari menghitung variansi dari masing-masing kelompok TGT dan STAD diperoleh hasil s12 = 36,210 dan s22 = 34,950. Kemudian menghitung nilai c yang hasilnya 1,023, sedangkan rataan kuadrat galat yang diperoleh adalah 35,579, selanjutnya menghitung 2 dan diperoleh hasil 2hitung = 0,0057. Dengan taraf signifikan 5 % dan ukuran sampel (n-1) diperoleh 2 pada tabel 3,84, sedangkan 2 hitung besarnya adalah 0,057. Daerah Kritik untuk uji ini adalah DK = ( χ | χ > χ
,
= 3,84), sehingga 2hitung = 0,0057 DK.
;
Karena 2 hitung tidak masuk pada daerah kritik, maka keputusan ujinya Ho diterima, artinya variansi-variansi dari dua populasi TGT dan STAD adalah sama atau homogen.
C. Hasil Pengujian Hipotesis
1. Analisa Variansi Dua Jalan Data diperoleh dari hasil penelitian berupa skor sikap ilmiah yang ditinjau dari kemampuan interpersonal dengan kategori tinggi dan rendah. Pengambilan data
dilakukan
pada
saat
pembelajaran
dilakukan.
Satu
kelas
dalam
pembelajarannya menggunakan model STAD sedangkan kelas yang lain menggunakan model TGT.
Dari dua kali tatap muka pada setiap kelasnya
diperoleh data amatan berupa sikap ilmiah siswa antara lain kejujuran, keterbukaan, obyektif, dan menghargai pendapat orang lain, Data-data yang
diperoleh dianalisa menggunakan analisis variansi dua jalan sel tak sama. Data amatan, rataan dan jumlah kuadrat deviasinya dapat dilihat pada tabel 4.5 sebagai berikut : Tabel 4.5 Data amatan, rataan dan jumlah kuadrat deviasi Model B1 B2 Kategori
Tinggi
n ΣX
14 45,89 3,28 151,12 150,41 0,70 9 28,39 3,15 90,04 89,55 0,49
Rendah
ΣX2 C SS n ΣX ΣX2 C SS
12 44,75 3,73 167,31 166,88 0,43 11 36,58 3,33 122,52 121,65 0,87
Hasil dari anava antara model pembelajaran dan kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa diperoleh harga-harga seperti yang terangkum pada tabel 4.6. Tabel 4.6. Rangkuman Analisis Variansi dua jalan Sumber Variansi
JK
dk
RK
Fhitung
Ftabel
Keputusan
0,787
1
0,787
14,18
4,08
Ho ditolak
1,112
1
1,112
20,03
4,08
Ho ditolak
Interaksi (A)(B)
0,204
1
0,204
3,68
4,08
Ho diterima
Galat
2,499
42
0,056
-
-
-
Total
4,602
45
-
-
-
-
Kemampuan Interpersonal (A) Model Pembelajaran (B)
Berdasarkan tabel 4.Anava dua jalan dengan sel tidak sama didapatkan hasil sebagai berikut : (a) Hipotesis 1, FB(hitung) = 20,03 dan FB(tabel) = 4,08, tampak
bahwa FB(hitung) > FB(tabel) , maka Ho ditolak. (b) Hipotesis 2, FA(hitung) = 14,18 dan FA(tabel) = 4,08, tampak bahwa FA(hitung) > FA(tabel) , maka Ho ditolak. (c) Hipotesis 3, FAB(hitung) = 0,204 dan FAB(tabel) = 4,08 tampak bahwa FAB(hitung) < FAB(tabel), maka Ho diterima. Hasil perhitungan anava meng hasilkan dua efek utama, yaitu efek model pembelajaran terhadap sikap ilmiah dan efek kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah serta interaksi antara keduanya terhadap sikap ilmiah siswa. (1) efek utama, efek utama yang berupa kemampuan interpersonal setelah dilakukan perhitungan diperoleh harga statistik uji FA = 14,18 melampaui harga tabel Ftabel = 4,08 pada taraf signifikan 5 % yang berarti bahwa faktor A (kemampuan Interpersonal) mempunyai pengaruh terhadap sikap ilmiah siswa pada kompetensi dasar mendiskripsikan konsep massa jenis dalam kehidupan sehari-hari. Efek utama lain adalah model pembelajaran kooperatif, setelah dilakukan perhitungan menghasilkan harga statistik uji FB = 20,03 melampaui harga tabel Ftabel = 4,08 pada taraf signifikan 5 % yang berarti bahwa faktor B (model pembelajaran kooperatif) mempunyai pengaruh terhadap sikap ilmiah siswa juga pada kompetensi dasar mendiskripsikan konsep massa jenis dalam kehidupan sehari-hari. (2) Interaksi, berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukan dengan harga statistik uji FAB = 3,68 tidak melampaui harga tabel Ftabel = 4,08 pada taraf signifikan 5 % yang berarti bahwa tidak ada interaksi antara faktor A dan faktor B sehingga mempengaruhi sikap ilmiah siswa. Berdasarkan hasil uji hipotesis diatas, dapat dikemukakan bahwa : (a) ada perbedaan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan tipe TGT
terhadap sikap ilmiah siswa; (b) ada perbedaan kemampuan interpersonal tinggi dan rendah terhadap sikap ilmiah siswa; (c) tidak ada interaksi model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT sehingga interaksinya berpengaruh terhadap sikap ilmiah siswa .
2. Uji Pasca Anava Karena hipotesis nol ditolak pada uji anava, maka perlu dilakukan uji pasca anava untuk menguji komparasi rataan antar sel. Dengan menggunakan model Scheffe hasil uji pasca anava adalah sebagai berikut: a) Untuk sel a1b1- a1b2, Fhitung =23,3654 DK; berarti sikap ilmiah siswa yang berkemampuan interpersonal tinggi menggunakan STAD berbeda dengan siswa berkemampuan interpersonal tinggi menggunakan TGT tetapi siswa yang menggunakan TGT masih lebih baik dari siswa yang menggunakan STAD. b) Untuk sel a1b1-a2b1, Fhitung =1,6533 DK; berarti sikap ilmiah siswa yang berkemampuan interpersonal tinggi atau rendah tidak berbeda jika pembelajarannya menggunakan STAD c) Untuk sel a1b1-a2b2, Fhitung =1,6533 DK; berarti sikap ilmiah siswa yang kemampuan interpersonalnya tinggi menggunakan STAD tidak berbeda dengan siswa yang kemampuan interpersonal rendah menggunakan TGT. d) Untuk sel a1b2-a2b1, Fhitung =30,8939 DK; berarti sikap ilmiah siswa yang berkemampuan interpersonal tinggi menggunakan TGT berbeda dengan siswa berkemampuan interpersonal rendah menggunakan STAD tetapi diantara
keduanya yang masih lebih baik adalah siswa berkemampuan interpersonal tinggi dengan TGT. e) Untuk sel a1b2-a2b2, Fhitung = 16,3975 DK; berarti sikap ilmiah siswa yang berkemampuan interpersonal tinggi menggunakan TGT berbeda dengan siswa berkemampuan interpersonal rendah menggunakan TGT tetapi siswa yang berkemampuan interpersonal tinggi masih lebih baik dari siswa yang berkemampuan interpersonal rendah. f) Untuk sel a2b1-a2b2, Fhitung =2,8639 DK; berarti sikap ilmiah siswa yang berkemampuan interpersonal rendah menggunakan STAD tidak berbeda dengan siswa yang berkemampuan interpersonal rendah menggunakan TGT
D. Pembahasan Hasil Anava
1. Hipotesis Pertama Harga FB = 20,03 lebih besar dari Ftabel = 4,08 sehingga hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima, maka terdapat perbedaan pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan tipe TGT terhadap sikap ilmiah siswa. Melihat rataan kelompok TGT lebih tinggi dari rataan kelompok STAD, maka ini berarti sikap ilmiah siswa lebih kuat muncul jika dalam pembelajarannya menggunakan model pembelajaran tipe TGT dari pada menggunakan model pembelajaran tipe STAD, hal ini disebabkan dalam TGT siswa lebih banyak belajar dalam suasana bermain yang penuh dengan tantangan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Dalam TGT siswa dituntut
lebih untuk saling bekerja sama dalam kelompok dan didalam turnamen, dituntut lebih berani dalam mengemukan pendapat dalam presentasi kelompok dan presentasi kelas sehingga tanpa disadarinya sikap ilmiah dengan sendirinya akan muncul.
2. Hipotesis Kedua Harga FA = 14,18 lebih besar dari Ftabel = 4,08 sehingga hipotesis nol ditolak, hal ini berarti ada perbedaan pengaruh kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa. Pada kelompok siswa yang kemampuan interpersonalnya tinggi rataan sikap ilmiah yang diperoleh masih lebih tinggi dari kelompok siswa yang kemampuan interpersonalnya rendah. Siswa yang mempunyai kemampuan interpersonal tinggi lebih mudah berteman, suka berkumpul (berkelompok), ramah dan mudah bergaul, tahu bagaimana menunggu gilirannya sehingga dalam pembelajaran sikap ilmiah mudah berkembang sehingga sikap ilmiah itu segera muncul.
3. Hipotesis Ketiga Berdasarkan analisis variansi dua jalan diperoleh harga statistik FAB = 3,68 lebih kecil dari Ftabel = 4,08 sehingga hipotesis nol diterima, ini berarti tidak ada interaksi antara kemampuan interpersonal dengan model pembelajaran yang digunakan. Ini berarti, jika dilihat dari masing-masing kemampuan interpersonal tinggi atau rendah, kelompok siswa yang diajar dengan model TGT munculnya sikap ilmiah lebih kuat dari pada kelompok siswa yang diajar dengan model
pembelajaran STAD. Demikian pula sebaliknya, kalau dilihat dari model pembelajaran yang diberikan, kelompok siswa yang berkemampuan interpersonal tinggi sikap ilmiahnya mudah muncul dari pada kelompok siswa yang berkemampuan interpersonal rendah.
E. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian yang telah dilakukan, peneliti telah berusaha semaksimal mungkin. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa hasil yang didapat mungkin tidak sesuai dengan harapan. Beberapa faktor yang mempengaruhi atau membatasi hasil penelitian ini diantaranya : 1. pelaksanaan penelitian yang dilakukan sebanyak dua kali pertemuan dirasa sangat kurang sehingga ada kemungkinan pengaruh perlakuan belum tampak jelas; 2. Hasil belajar berupa sikap ilmiah hanya didasarkan pada faktor model pembelajaran kooperatif dan kemampuan interpersonal saja, sedangkan faktor lain dianggap sudah terkontrol. Hal ini dilakukan karena keterbatasan waktu, biaya dan banyaknya variabel yang diabaikan; 3. Kemampuan interpersonal hanya dibagi menjadi dua kategori saja yaitu kategori tinggi dan rendah, kemampuan interpersonal kategori sedang tidak dipasang, hal ini menyebabkan pengelompokan terlalu ekstrim (kurang halus); 4. Faktor miskonsepsi yang terjadi dikalangan siswa tidak dilacak penyebabnya.
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan Hasil
penelitian
ini
menunjukan
bahwa
pada
pembelajaran
mendiskripsikan konsep massa jenis dalam kehidupan sehari-hari dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT mampu meningkatkan sikap ilmiah siswa. Konsep pembelajaran yang dipilih dalam penelitian ini sangat sederhana sesuai dengan kemampuan perkembangan siswa SMP. Walaupun anggota kelompok berasal dari latar belakang yang heterogen pembelajaran kooperatif ini mampu menambah semangat dalam bekerja sama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari hasil analisis data yang telah dikemukakan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Terdapat perbedaan yang signifikan pada sikap ilmiah siswa antara siswa yang diberi pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran tipe STAD dengan TGT. Siswa yang mendapat pembelajaran dengan model pembelajaran tipe TGT sikap ilmiahnya lebih kuat terlihat dibanding dengan siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
2. Terdapat perbedaan yang signifikan pula pada sikap ilmiah antara kelompok siswa yang mempunyai kategori kemampuan interpersonal tinggi dengan kelompok siswa yang mempunyai kategori kemampuan interpersonal rendah. Sikap ilmiah dari siswa yang mempunyai kemampuan interpersonal tinggi
lebih kuat dan mudah munculnya dari pada kelompok siswa yang kemampuan interpersonalnya rendah. 3. Tidak ada interaksi antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT dengan kemampuan interpersonal terhadap sikap ilmiah siswa. Dengan menggunakan model apapun juga sikap ilmiah akan lebih mudah muncul pada siswa yang mempunyai kemampuan interpersonal tinggi. Demikian pula sikap ilmiah akan mudah muncul pada siswa yang dalam pembelajaranya menggunakan model TGT dari pada siswa yang dalam pembelajaranya menggunakan model STAD walaupun ketegori kemampuan interpersonalnya tinggi atau rendah.
B. Implikasi Hasil Penelitian
Implikasi teoritik penelitian ini yaitu bahwa siswa dengan kemampuan interpersonal yang tinggi mempunyai sikap ilmiah yang lebih baik, masih lebih jujur, terbuka, obyektif, teliti, kritis dan bisa menghargai pendapat orang lain. Hal ini kurang tampak pada siswa yang memiliki kemampuan interpersonal rendah, cederung tidak jujur menyontek sana sini, malu mengemukan pendapatnya, hasil pratikum selalu dibuat-buat, tidak kritis dan sukar menerima pendapat orang lain sehingga menimbulkan perdebatan yang tidak ada ujungnya. Penggunaan
model pembelajaran
tipe
STAD
dan
TGT
banyak
berpengaruh terhadap munculnya sikap ilmiah yang diharapkan walaupun dalam hal ini model TGT masih lebih baik dibanding dengan model STAD tetapi keduanya cocok dan telah mampu meningkatkan sikap ilmiah siswa yang selalu dituntut pada pembelajaran IPA.
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang berjudul Model Pembelajaran STAD dan Model Pembelajaran TGT terhadap Sikap Ilmiah Siswa ditinjau dari Kemampuan Interpersonal Siswa sebagai implikasi praktisnya adalah kemampuan interpersonal dan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT berpengaruh terhadap sikap ilmiah siswa. Siswa yang mempunyai kemampuan interpersonal tinggi diberi perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TGT akan memiliki sikap ilmiah lebih baik dari pada siswa yang mempunyai kemampuan interpersonal rendah.
C. Saran Pada
umumnya
pada
setiap
pembelajaran,
guru
dituntut
untuk
menggunakan strategi jitu agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan efektif. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah ia harus dapat menguasai beberapa model pembelajaran. Model pembelajaran yang paling efektif dan sesuai dengan mata pelajaran IPA adalah model pembelajaran kooperatif. Berdasarkan kesimpulan dan implikasi yang telah dikemukakan, maka penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut : 1. Kepada Para Guru a. Hendaknya guru menggunakan model pembelajaran kooperatif jika ingin mengungkap sikap ilmiah dalam pembelajarannya. b. Apabila guru menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD atau TGT dalam proses pembelajarannya, maka guru perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain : pada materi yang benar-benar sesuai, RPP yang
digunakan
harus serinci mungkin
sehingga dalam proses
pembelajarannya tetap dalam kaidah kooperatif STAD atau TGT, guru harus dapat menjamin bahwa interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru berjalan dengan baik. c. Proses pembelajaran perlu dirancang untuk dapat mengembangkan sikap ilmiah siswa, misalnya sikap jujur, teliti, kritis, terbuka, menghargai pendapat orang lain. Indikator sikap ilmiah dapat dengan mudah teramati sehingga dapat diberi skor sesuai dengan skala sikap yang sudah ditetapkan. 2. Kepada Peneliti a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian yang sejenis dengan materi atau topik bahasan lain yang sesuai b. Penelitian ini dapat dikembangkan dengan menambah variabel atribut lain, misalnya kemampuan awal, gaya belajar dan kreatifitas 3. Kepada Lembaga Pendidikan Sekolah merupakan salah satu tempat siswa belajar, disekolah sebagai sumber ilmu dan ilmu tersebut akan diserap oleh siswa. Proses belajar mengajar merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari untuk menghasilkan lulusan yang berkompetensi, berkualitas dan berbudi pekerti luhur. Pembelajaran kooperatif merupakan sarana untuk melatih siswa agar bersikap dan berperilaku yang diharapkan. Oleh karena itu dipandang perlu bahwa sekolah berkewajiban meningkatkan kompetensi gurunya melalui pelatihan-pelatihan dan workshop.
DAFTAR PUSTAKA
Anita lie. 2002. Cooperative Learning, Jakarta : Grasindo Arend, Richard. 1997. Classroom intruction and Management, Central Connecticut State University : The McGraw Hill Companies Inc. Asri Budiningsih. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta Budiyono. 2004. Statistik Untuk Penelitian. Surakarta : Sebelas Maret University Press. Carl J. Wenning, Scientific epistemology : How scientist know what they know. Journal Of Physics Teacher Education, Vol. 5 No 2 Autumn 2009. http\\www.phy.ilstu.edu/jpteo Depdiknas. 2004. Model-model Pengajaran dalam Pembelajaran Sains. Bandung : Dimenum Pusat Pengembangan Penataran Guru IPA. Deborah L. Hanuscin. 2007. Collaborative action research to improve classroom assessment in an introductory physics course for
teachers. Journal Of Physics Teacher Education, Vol.4 No.2, Winter 2007. http\\www.phy.ilstu.edu/jpteo Dimyati, Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Elliot, Stephen, N. 1999. Educational Psychology. Madison Brown & Benchmark Publisher. Giancoli, Doglas C. 2001. Fisika, edisi kelima, jilid 1. Jakarta : Erlangga Hisyam Zaini. 2007. Startegi Pembelajaran Aktif. Jogyakarta : CTSD May
Lwin,
Adam
Khoo,
Keneth
Lyen,
Caroline
Sim.
2008.
Cara
Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan. Jogyakarta : Penerbit PT. Indeks Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya -----------------------------------. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya. Nana Sudjana. 2008. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya. Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jogyakarta : Penerbit Kanisius. -----------------.2006. Metodologi Pembelajaran Fisika. Jogyakarta : Penerbit Kanisius. Renata Holubova,. The Motivation and Recruitment of Physics and Teachers. Journal Of Physics Teacher Education, Vol4 No.3, Summer 2007. http\\www.phy.ilstu.edu/jpteo Ratna Wilis Dahar, 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta : Penerbit Erlangga. Slavin, Robert E. 2008. Cooperative Learning. Bandung : Penerbit Nusa Media
Samson Madera Nashon. 2006. A proposed model for planning and implementing high school physics instruction. Journal Of Physics Teacher
Education
Vol.
4
No.
1,
Autumn
2006.
http\\www.phy.ilstu.edu/jpteo Saifuddin Azwar. 2005. Sikap manusia Teori dan Pengukurannya. Jogyakarta : Pustaka Pelajar. Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Sudjana. 1996. Metoda Statistika. Bandung : Tarsito William Crain. 2007. Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi. Jogyakarta : Pustaka Pelajar. Wina Sanjaya. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana.