PROBLEMATIKA PENERJEMAHAN TEKS KEAGAMAAN (Suatu Studi Pengadaptasian Seri Pedoman Penafsiran Alkitab Wahyu Kepada Yohanes Untuk Pembaca Khusus Di Departemen Penerjemahan Lembaga Alkitab Indonesia Bogor)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Linguistik Minat Utama Linguistik Penerjemahan
OLEH : SUJATMIKO S130908013
PROGRAM STUDI LINGUISTIK MINAT UTAMA LINGUISTIK PENERJEMAHAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pekerjaan menerjemahkan merupakan pekerjaan yang tidak mudah dengan adanya berbagai aspek yang harus diperhatikan oleh penerjemah. Penerjemahan merupakan suatu proses yang kompleks. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Larson (1984: 22) bahwa “Translation is a complicated process”. Dengan segala kompleksitasnya dalam aktifitas penerjemahan, maka secara langsung berimbas kepada penerjemah itu sendiri. Penerjemah akan menghadapi berbagai macam masalah–masalah dalam melakukan tugasnya. Dengan adanya masalah-masalah yang muncul dalam menerjemahkan, maka masalah-masalah tersebut menguji kompetensi penerjemahnya. Penerjemah juga berpotensi mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi apabila teks yang diterjemahkan adalah teks–teks yang sifatnya sensitif seperti teks politik, agama, hukum, kedokteran, agama, dll. Salah satu wujud dari jenis teks-teks yang sensitif tersebut adalah teks keagamaan. Wujud nyata dari penerjemahan teks keagamaan yaitu penerjemahan Alkitab. Uraian berikut adalah sekilas masalah-masalah yang dihadapi oleh para penerjemah Alkitab. Penerjemah Alkitab menghadapi masalah dalam hal keaslian dokumen atau naskah Alkitab yang membuat para penerjemahnya kesulitan menentukan manakah naskah yang asli. Mereka hanya mempunyai naskah dalam bentuk fotokopi sehingga kesulitan menentukan fotokopi mana yang benar dan mana yang salah. Berikut kutipannya :
One basic problem inherent in Bible translation is that we do not have the original manuscript of the Bible, but copies of copies of copies... and this causes many problems because translators do not know which of all these copies is correct and which is not, since none of them are identical. (Ilias Chatzitheodorou dalam http:// accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am). Penerjemahan Alkitab merupakan tugas berat bagi penerjemahnya. Hal ini karena Alkitab diterjemahkan dalam berbagai bentuk. Bible is divided represent "a greater variety of literary styles e.g. historical narrative, prophecy, poetry, instructions and exhortation etc. than any other piece of literature in the history of mankind" (Snell-Hornby et al., 1998; 275). This variety of text types makes Bible translation a hard task for the translator. (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am). Alkitab diperuntukkan bagi semua orang dan untuk semua kalangan atau golongan pembaca/pendengarnya, baik itu anak–anak, orang dewasa, teolog, dan lain–lain. Hal ini menuntut penerjemah Alkitab untuk dapat menentukan padanan kata yang tepat dari Bsu ke dalam Bsa untuk semua pembacanya. Another problem that many translators face in Bible translation is that the Bible is addressed to a huge variety of people, e.g. theologians, adults, children, believers and non-believers, etc. Moreover, as Snell-Hornby states, the Bible is written for different uses, i.e., for both readers and listeners. Thus, we could say that it is very difficult for a translator to translate the Bible since she/he must 'reproduce' an equivalent text in the Target Language, which can be 'used' for the same purposes as that of the Source Language.(Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am). Penerjemah Alkitab juga menghadapi masalah pada perbedaan struktur atau sistem Bsu dan Bsa yang menyebabkan tidak adanya persesuaian diantara kedua bahasa tersebut dan berakibat pada tidak tepatnya terjemahan. Terjemahan yang tepat sulit diperoleh karena makna kata dan struktur gramatikal Bsu dan Bsa berbeda. Oleh
karena itu, penerjemah Alkitab harus memilih padanan yang paling tepat dalam setiap situasi. Since no two languages are identical, there can be no absolute correspondence between languages". Hence, there can be no fully exact translations. The total impact of a translation may be reasonably close to the original, but there can be no identity in detail" (cited in Venuti 2000; 127). It is accepted that exact translation is 'impossible' since meanings of words and grammatical structures in any two languages do not generally correspond.. The translator must choose the best equivalent in each situation. (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am). Penerjemah Alkitab seringkali hanya mereproduksi makna dalam bahasa target. Oleh karena itu, penerjemah Alkitab harus mematuhi atau mempertimbangkan kaidah bahasa penerimanya. Frequently the translator must grasp the meaning of the original as best he can and then seek to reproduce that meaning in the Target Language. This, however, can be done if the Bible translator "respects the features of the receptor language and exploits the potentialities of the language to the greatest possible extent. (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am). Penerjemah Alkitab juga menghadapi masalah pemahaman terhadap bahasa kuno tulisan Alkitab. Masalah pemahaman bahasa kuno Alkitab menjadi masalah karena bahasa selalu berkembang setiap saat dan setiap waktu, hal ini tentunya berpengaruh terhadap makna bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, untuk memahami Alkitab, bahasa harus dipelajari di seluruh tempat di mana masyarakatnya mengetahui bahasa itu dalam bentuk tulisan dan di bandingkan dengan dengan kata yang sama dalam bahasa sasaran, sehingga dapat menebak makna kata yang dimaksud. There is the problem of understanding the ancient languages in which the Bible was written. No one who spoke those languages is around to tell us
what they mean. We all know that languages continually change over time. New words are always being added and others take on different or added meaning. However, to understand the Bible, words must be studied in all the places where they occur in available writings and compared with similar words in related languages. Then, we might be able to understand or guess their meaning. (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am). Penerjemah Alkitab menghadapi masalah tentang pemahaman budaya, di mana pengetahuan budaya kuno tidak selalu dapat dipahami oleh penerjemah. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa “There is also the problem of cultural understanding. With an imperfect knowledge of ancient cultures it is not always possible to understand references of various kinds" (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am). Untuk memahami Alkitab, penerjemah Alkitab harus mempunyai semangat rohani yang baik seperti yang dinyatakan dalam I Korintus 2 :14. The most important problem in understanding the Bible is the spiritual problem. "The natural mind does not receive things of the Spirit of God" (1 Cor 2:14). Anyone who knows God has had the experience of reading a Bible passage a hundred times and then suddenly seeing what it means. As we grow in spiritual understanding, the Bible continually reveals its deeper meanings. The Holy Spirit guides us into all truth. (Ilias Chatzitheodorou dalam http:// accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am). Menurut
Nida
(1964)
dalam
Magdy
M.
Zaky
di
http
://www.accurapid.com//translationjournal//17 theory.html/21Juni 2010/10.00 am, menyatakan bahwa salah satu masalah serius yang dihadapi oleh penerjemah adalah menyamakan unsur-unsur stilistika dari dua bahasa yang berbeda.
Sebagai contoh, penerjemah Alkitab sebaiknya tidak memilih tingkat bahasa yang terlalu tinggi agar pesan dapat di pahami oleh pembacanya. Tetapi di sisi yang lain, sebaiknya juga penerjemah Alkitab tidak menggunakan tingkat bahasa yang terlalu rendah, karena akan mengurangi pesannya. According to Nida (1964), one of the most serious problems that face a translator is to properly match the stylistic levels of two different languages. For example, the Bible translator may not select a level of language which is too high for making the message accessible to the people to whom it is addressed. At the same time, the level chosen should not be socially low, because it would then debase the content. Realitas profesi penerjemah Alkitab memang berat dan menguji tingkat kompetensinya sebagai penerjemah dengan begitu banyaknya masalah–masalah yang dihadapinya seperti yang sudah penyusun uraikan sebelumnya. LAI dan Yayasan Kartidaya selaku mitra kerjanya adalah dua lembaga yang bertanggung jawab dalam usaha penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa yang ada di Indonesia berdasarkan fakta bahwa bahasa Indonesia yang secara yuridis formal telah ditetapkan sebagai bahasa nasional Indonesia dan digunakan secara resmi di berbagai lembaga dan perkantoran, namun tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa daerah masih sangat luas digunakan di nusantara. Bahasa daerah digunakan bukan saja karena masih banyak dari masyarakat Indonesia yang tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar, tetapi juga karena bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu cenderung lebih dapat mengungkapkan perasaan, penghayatan dan pemaknaan yang lebih mendalam. Salah satunya adalah perasaan, penghayatan, dan pemaknaan yang berkaitan dengan masalah keagamaan, bahasa iman yang tidak hanya menyentuh kehidupan manusia secara lahiriah, tetapi juga menyentuh secara kedalaman batiniah.
Usaha penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa daerah menghadapi berbagai kesulitan yang kompleks, termasuk menyangkut kelangkaan ketersediaan sumber daya penerjemah yang menguasai dengan baik bahasa daerah setempat dan sekaligus memahami bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, minimnya pengetahuan teologi, rendahnya tingkat pendidikan, minimnya bahan-bahan pendukung, dan masalah-masalah lainnya. Dewasa ini Alkitab dalam bahasa Indonesia sudah tersedia dalam berbagai versi terjemahan, antara lain: Alkitab dalam Terjemahan Baru Edisi I Tahun 1974 (atau yang populer disebut TB-LAI), Alkitab dalam Terjemahan Baru Edisi II Tahun 1997 (disebut TB2-LAI), Alkitab dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini Edisi I Tahun 1985 (BIMK) dan beberapa terjemahan lain. Berbagai versi terjemahan yang ada masih dianggap belum memadai bagi para penerjemah lokal untuk menyusun Alkitab dalam bahasa setempat. Oleh karena itu, LAI bersama Yayasan Kartidaya terus berupaya menyediakan bahan-bahan yang dapat digunakan oleh para penerjemah lokal yang akan membantu mereka dalam membuat Alkitab ke dalam bahasa setempat. Salah satu upaya tersebut ditempuh dengan menyediakan SPPA yang merupakan adaptasi dari THB berbahasa Inggris yang diterbitkan oleh UBS yang dirancang khusus dengan target pembacanya yaitu penerjemah lokal di daerah-daerah. Sudah barang tentu buku-buku SPPA tersebut terbuka untuk dibaca dan dipergunakan oleh siapapun. LAI menyebut para penerjemah SPPA dengan istilah "Adaptor” yang tergabung dalam sebuah tim yang di sebut ”Tim Pengadaptasi”,
bukan disebut sebagai para ‘penerjemah’ (translator) sebagai mana lazimnya. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa para adaptor berperan bukan semata-mata sebagai penerjemah saja, namun sekaligus berperan sebagai pengadaptasi bahanbahan yang berbahasa Inggris untuk konteks pembaca (penerjemah lokal) yang tingkat pendidikannya rendah, pengetahuan teologinya minim, dan tidak menguasai bahasa Inggris. Konteks pembaca sangat penting dalam bidang penerjemahan, termasuk dalam penerjemahan Alkitab dan khususnya pengadaptasian SPPA. Newmark (1988:13) menyarankan bahwa seorang penerjemah harus mengetahui karakteristik pembaca bahasa
sumber,
setelah
itu
melakukan
proses
penerjemahan,
kemudian
memperhatikan dengan baik siapa yang akan menjadi calon pembacanya. Demikian pernyataan Newmark bahwa ”... you attempt to characterize the readership of the original and then of the translation, and to decide how much attention you have to pay to the target language readers”. Sejalan dengan itu, Nababan (2003:22) juga mengatakan bahwa ”penerjemah harus tahu untuk siapa terjemahannya dan bagaimana tingkat kemampuan pembacanya”. Hal ini sangat penting karena setiap orang memiliki kemampuan berbeda dalam memahami isi teks terjemahan. Tugas seorang adaptor adalah menggali arti dari naskah bahasa asli 1(eksegese). Adaptor berperan sebagai 2‘eksegetor’ yang bukan hanya menerjemahkan teks dari satu bahasa ke bahasa lainnya, namun juga berperan untuk menggali makna dari
1
Eksegese :
Proses atau langkah-langkah yang diambil untuk menggali arti/makna sebuah teks (ataupun hasil dari seluruh proses tersebut) 2 Eksegetor : Pelaku eksegese
naskah bahasa asli dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan tetap mempertahankan makna pesan yang terkandung didalamnya dengan tanpa terjadi reduksi dan distorsi. Mengeksegese ayat Alkitab bukanlah hal yang mudah, adaptor harus benarbenar menafsir dan mengetahui makna sebenarnya dibalik kata atau kalimat bahasa sumber. Mengeksegese ayat merupakan salah satu teknik yang di gunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes. Dalam contoh berikut, yang akan dieksegese yaitu Anak Domba. Bsu : I saw a Lamb standing, as though it had been slain: RSV, TEV, and others capitalize Lamb, indicating thereby that it is a title, but it may be better to say “a lamb”. In languages that have two different terms for male and female lambs, here and elsewhere in Revelation the male form should be used, and in certain languages ‘lamb” will be translated as “male child of a sheep”. In culture where sheep exist but don’t have the economic and religious significance that they had in Palestine, it will be helpful to give a detailed description of sheep in a glossary item for the reader. Bsa : Seekor Anak Domba seperti telah disembelih, penulisan Anak Domba dengan huruf besar ini menunjukkan bahwa istilah ini adalah gelar, tetapi bisa juga ditulis dengan huruf kecil “anak domba”. Dalam bahasa dimana domba jantan dan domba betina dibedakan penyebutannya, terjemahannya menjadi “anak domba jantan” . Kalau di Palestina, domba dikenal sebagai binatang kurban dalam upacara keagamaan, dalam kebudayaan lain mungkin tidak demikian halnya. Untuk hal ini penerjemah dapat memberikan keterangan yang terperinci tentang anak domba di dalam catatan kaki atau daftar kata-kata sulit (Kamus Alkitab). Kata Anak Domba disini melambangkan diri Kristus. Disembelih merujuk kepada ”penyaliban”. Dalam contoh di atas, adaptor perlu mengeksegese ayat untuk mengetahui makna Anak Domba yang dalam bahasa sumber masih merujuk kepada makna konotasi yaitu hewan. Hasil dari eksegese ayat tersebut adalah Anak Domba yang telah disembelih merujuk kepada Diri Kristus yang telah disalib sebagai makna sebenarnya yang dimaksud oleh bahasa sumber.
Teknik lain yang juga digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes yaitu dengan penerjemahan deskriptif. Berikut contohnya : Bsu : There was great earthquake: Earthquakes are frequently one of the great events marking the end of the age (see Isa 29.6; Joel 2.10; Hag 2.6; Mark 13.8). They are caused by God as prelude to the Last Judgment. In some languages that have no specific word for earthquake, an explanation of it would help the reader. Bsa : Terjadilah gempa bumi yang dahsyat : Salah satu tanda akhir zaman yang sering disebut dalam Alkitab adalah gempa bumi (Yes 29:6, YL 2:10, Hag, 2:6, Markus 13:8). Allah mengadakan gempa bumi sebagai tanda yang mendahului Hari Kiamat. Dalam bahasa tertentu yang tidak memiliki istilah khusus untuk gempa bumi, terjemahannya dapat menjadi “bumi berguncang dengan dahsyat” atau “tanah berguncang dengan dahsyat” Dalam contoh di atas, adaptor melakukan teknik penerjemahan deskriptif pada kata gempa bumi yang dalam bahasa sumber tidak dijelaskan secara rinci. Adaptor mempertimbangkan untuk memberikan penjelasan tambahan berupa deskripsi dari gempa bumi untuk mengantisipasi jikalau mungkin konsep gempa bumi tidak dikenal dalam bahasa sasaran. Penelitian terhadap proyek penerjemahan buku-buku asing dan novel ke dalam bahasa Indonesia sudah cukup banyak dilakukan. Namun penelitian terhadap proyek penerjemahan (atau ‘pengadaptasian’ sebagaimana istilah yang dipergunakan oleh LAI) buku keagamaan dengan sasaran pembaca tertentu masih merupakan hal yang langka. Oleh karena itu, kajian ini diharapkan menjadi sumbangsih baru yang menyajikan sudut pandang baru dalam seluk beluk dunia penerjemahan teks berbahasa asing, dan khususnya menyangkut teks keagamaan. Berdasarkan uraian tersebut, penyusun tertarik untuk mengkaji problematika penerjemahan teks keagamaan dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan fokus kajian berupa strategi penerjemahan, teknik penerjemahan, jenis
metode penerjemahan, dan prosedur pengujian kualitas SPPA tersebut dalam sebuah penelitian dengan judul "Problematika Penerjemahan Teks Keagamaan (Suatu Studi Pengadaptasian Seri Pedoman Penafsiran Alkitab Wahyu Kepada Yohanes Untuk Pembaca Khusus di Departemen Penerjemahan Lembaga Alkitab Indonesia Bogor) ”.
B. Rumusan Masalah Mencermati latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di bagian sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut: 1. Apa saja problematika penerjemahan yang terdapat dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes? 2. Strategi penerjemahan dan teknik penerjemahan apa yang ditempuh adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes? 3. Kecenderungan jenis metode penerjemahan apakah yang digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes? 4. Bagaimanakah prosedur pengujian kualitas SPPA Wahyu Kepada Yohanes yang dilakukan oleh Departemen Penerjemahan LAI Bogor?
C. Tujuan Penelitian Secara spesifik, tujuan penelitian ini yaitu :
1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan jenis problematika penerjemahan yang terdapat dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes. 2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan strategi penerjemahan dan teknik penerjemahan yang ditempuh adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes. 3. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan kecenderungan jenis metode penerjemahan yang digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes. 4. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan prosedur pengujian kualitas SPPA Wahyu Kepada Yohanes yang dilakukan oleh Departemen Penerjemahan LAI Bogor.
D. Manfaat Penelitian Hasil kajian dalam penelitian ini dapat digunakan untuk : 1. Memecahkan
berbagai
masalah
penerjemahan
Alkitab,
terutama
yang
menyangkut pengadaptasian bahasa untuk pembaca khusus (penerjemah lokal). 2. Memberi masukan untuk mengembangkan dan menyempurnakan upaya–upaya pemahaman Alkitab sesuai dengan tingkat pendidikan dan kekhasan budaya masyarakat penggunanya. 3. Melengkapi hasil–hasil penelitian sejenis yang cukup relevan sebagai sumbangsih baru bagi linguistik terapan khususnya bidang penerjemahan bagi pengembangan ilmu pengetahuan humaniora.
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Definisi Seri Pedoman Penafsiran Alkitab (SPPA) SPPA adalah salah satu edisi studi terbitan LAI yang merupakan seri panduan penerjemahan Alkitab yang menggali makna teks sumber, dan memberikan alternatif terjemahan ke bahasa penerima dengan memperhatikan perbedaan dan kekayaan bahasa dan budaya penerima. Tidak hanya bermanfaat bagi penerjemah, tetapi juga bagi teolog dan awam yang ingin mendalami isi Alkitab (Yayasan LAI, 2008:27).
B. Definisi Penerjemahan Ada beberapa definisi penerjemahan yang telah dikemukan oleh para ahli. Definisi-definisi yang diajukan berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan sudut pandangnya, sehingga definisi ini bisa lemah, kuat atau saling isi (Nababan, 2003). Pada dasarnya penerjemahan adalah pengalihan pesan dari bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa). Diupayakan supaya hasil terjemahan tersebut, bila dibaca oleh pembaca, pembaca tidak menyadari bahwa yang dibaca tersebut adalah hasil terjemahan. Selain itu, dalam terjemahan tersebut tidak ada distorsi makna, inilah yang dikatakan penerjemahan yang tepat dan baik. Untuk mendapatkan hasil terjemahan yang baik, menurut Barnwell, yaitu terjemahan yang accurate, clear, dan natural (1983:15), penerjemah harus memperhatikan beberapa aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek non kebahasaan. Berikutnya Bell (1991:5) melengkapinya bahwa penerjemahan adalah suatu proses penggantian teks Bsu ke dalam teks Bsa dengan memperhatikan aspek
semantik dan gaya (style). Menurut Bell : "Translation is the expression in another language (or target language) of what has been expressed in another, source language, preserving semantic and stylistic equivalences". Dalam hal ini Bell sudah mulai memperhatikan hal yang lebih jelas lagi bahwa dalam menerjemahkan, penerjemah harus memperhatikan unsur linguistik dan gaya. Bassnett (1991:13) memperjelas bahwa dalam pengalihan pesan dari Bsu ke dalam Bsa ada dua unsur yang harus diperhatikan oleh penerjemah, yaitu unsur linguistik dan unsur non linguistik. Menurut Bassnett : “…..that the translation involves the transfer of meaning contained in one set of language signs into another set of dictionary and grammar, the process involves a whole set of extra linguistic criteria also". Penerjemahan adalah suatu upaya untuk mengungkapkan kembali isi pesan dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Oleh karena itu, penerjemahan tidak sekedar upaya untuk menggantikan teks dalam satu bahasa ke dalam teks bahasa lain. "Seorang penerjemah tidak mungkin dapat menggantikan teks bahasa sumber (Bsu) dengan teks bahasa sasaran (Bsa) karena struktur kedua bahasa itu pada umumnya berbeda satu sama lainnya". Materi teks Bsu juga tidak pernah digantikan dengan materi teks Bsa (Nababan, 2003). Catford dalam Rachmadie (1988:12) menyatakan bahwa “Translation is the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL)”. Definisi ini menjelaskan bahwa penerjemahan sebagai kegiatan mengganti materi teks dalam bahasa sumber (Bsu) ke materi teks yang sepadan (equivalent) dalam bahasa sasaran (Bsa). Berdasarkan definisi ini jelas
bahwa penerjemahan merupakan proses kegiatan tulis sehingga produknya juga dalam bentuk tertulis (teks). Nida dan Taber (1974:12) menyatakan bahwa "Translating consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language massage, first in terms of meaning and secondly in terms of style". Dari kutipan itu, dapat dipahami bahwa penerjemahan adalah upaya untuk menghasilkan kembali dalam bahasa sasaran padanan alami yang sedekat mungkin dari pesan dalam bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua dalam hal gaya bahasanya. Dalam hal ini penerjemah adalah sebagai reseptor pesan dalam bahasa sumber (Bsu) dan kemudian pada saat menerjemahkan, maka ia sebagai pengirim pesan atau penulis dalam bahasa sasaran (Bsa). Newmark (1981:7) mengartikan penerjemahan sebagai pengalihbahasaan keseluruhan teks, kalimat demi kalimat dengan mempertimbangkan aspek emosi, gaya dan nuansa budaya dari penulis aslinya. Tujuan pokok menerjemahkan adalah untuk mengalihkan pesan yang tertulis dalam Bsu ke dalam Bsa dengan mengutamakan kesepadanan makna. Tercapainya kesepadanan makna sangatlah ditentukan oleh kompetensi atau kemampuan penerjemah dalam memahami Tsu dan menuangkan pesan makna ke dalam Tsa. Dalam bidang teori penerjemahan, terdapat istilah translation dan interpretation yang digunakan dalam konteks yang berbeda–beda meskipun kedua istilah tersebut terfokus pada pengalihan pesan dari Bsu ke Bsa. Pada umumnya istilah translation mengacu pada pengalihan pesan tertulis dan lisan. Namun, jika kedua istilah tersebut
dibahas secara bersamaan, maka istilah translation menunjuk pada pengalihan pesan tertulis dan istilah interpretation hanya mengacu pada pengalihan pesan lisan. Perlu pula dibedakan antara kata penerjemahan dan terjemahan sebagai padanan dari translation. Kata penerjemahan mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata terjemahan artinya hasil dari suatu penerjemahan (Nababan, 1997:12). Menurut Brislin (1976:1), "Translation is the general term referring to the transfer of thought and ideas from one language to another whether the languages are written form or oral form". Penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada pengalihan pikiran dan gagasan dari bahasa satu ke bahasa yang lain baik dalam bentuk tertulis atau lisan. Nida (1976:15) menjelaskan bahwa menerjemahkan berarti mengalihkan isi pesan yang terdapat dalam Bsu ke dalam Bsa sedemikian rupa sehingga orang yang membaca (atau mendengar) pesan itu dalam Bsa kesannya sama dengan kesan orang yang membaca pesan itu dalam bahasa sumber (bahasa asli). Ahli lain yang membahas tentang pengertian penerjemahan adalah Samiati (1998:1) yang menyatakan bahwa penerjemahan terkait dengan pengalihan isi atau gagasan dari suatu bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Selain itu, ditegaskan bahwa isi pesan atau gagasan tersebut merupakan aspek sentral dalam terjemahan. Dengan demikian, untuk dapat menerjemahkan dengan baik, orang atau penerjemah perlu mengacu pada makna sebagai isu sentral dalam Bsu untuk ditransfer ke dalam Bsa.
Larson (1984:3-4) menerjemahkan berarti (1) mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya dari teks bahasa sumber.(2) menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan
maknanya dan
(3)
mengungkapkan kembali makna yang sama itu dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks budayanya. Dari beberapa pendapat di atas nampaknya definisi "translation" dari waktu ke waktu ada perkembangan dalam artian menjadi lebih jelas dengan apa yang dimaksud dengan penerjemahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hakekat penerjemahan adalah pengalihan pesan dari Bsu ke dalam Bsa dengan memperhatikan unsur linguistik (semantik) maupun unsur non lingustik (budaya). Unsur linguistik yang terkait dengan kata, frase, klausa, kalimat serta teks. Hal ini karena setiap bahasa mempunyai sifat yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Yang terkait dengan budaya yaitu budaya yang ada pada Bsu karena pada dasarnya budaya suatu bahasa akan tercermin dari bahasa itu sendiri. Hal ini diungkapkan oleh Dollerup (1994: 25) bahwa "A part from being a vehicle of communication, language is thus a transmitter and repository of cultural signifiers". Pemahaman tentang linguistik dan non-linguistik tersebut sangat diperlukan untuk menemukan kesepadanan yang sedekat-dekatnya untuk menghasilkan terjemahan yang baik, tepat dan wajar, sehingga dapat dimengerti dengan mudah. Penerjemahan adalah sebuah proses pemindahan pesan baik secara tulis maupun lisan bahasa sumber ke dalam pesan yang sepadan secara tulis maupun lisan dalam bahasa sasaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa “Translation is the process to transfer written or spoken source language (SL) texts to equivalent written or
spoken
target
language
(Http://www.thelanguagetranslation.com/translation
(TL) process,
texts” strategy,
and
methods/html/13 Juni 2010/04.00 pm). Dalam bidang penerjemahan Alkitab, penerjemahan merupakan sebuah pekerjaan yang berhubungan dengan keteologian (berhubungan dengan ilmu keagamaan). Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa “theological factors can influence the decision in translation” (T. David Gordon dalam http://www.bibleresearcher.com/17 Juni 2010/08.00 am). Foster
(1958:1)
dalam
Mahmoud
Ordudari
di
http:
//translationjournal.net/journal/43 theory.html/volume 12 No 1 Januari 2008/ 21 Juni 2010/03.00 pm menyatakan bahwa “translation as the act of transferring through which the content of a text is transferred from the source language into the target language” (penerjemahan merupakan proses mentransfer isi teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran). “Translation is to be understood as the process whereby a message expressed in a specific source language is linguistically transformed in order to be understood by readers
of
the
target
language”(Frederic
Houbert
dalam
http://accurapid.com//translationjournal/5 theory.html/volume 2 nomor 3 Juli 1998/21 Juni 2010/04.00 pm). Berdasarkan kutipan tersebut, penerjemahan dapat dipahami sebagai sebuah proses dimana pesan dalam bahasa sumber secara linguistik di transfer agar dapat dipahami oleh pembaca bahasa sasaran. Salawu,
Ph.D
dalam
http://www
accurapid.com//translationjournal//36
yoruba.html/volume 10 nomor 2 April 2006/21 Juni 2010/02.00 pm menyatakan
bahwa “translation should be seen as an attempt to guess the mind of an author correctly” (penerjemahan harus di lihat sebagai sebuah usaha untuk menebak pikiran penulis bahasa sumber secara tepat). “A good translation should play the same role in the target language as the original did in the source language” (Mahmoud Ordudari dalam http: //translationjournal.net/journal/43 theory.html/volume 12 nomor 1 Januari 2008/21 Juni 2010/03.00 pm). Berdasarkan pernyataan tersebut, penerjemahan yang baik harus memiliki peran yang sama baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran. Sejalan dengan Mahmoud, Salawu Adewuni, Ph.D dalam http://www accurapid.com//translationjournal//36 yoruba.html/volume 10 nomor 2 April 2006/21 Juni 2010/02.00 pm menyatakan bahwa “a perfect translation whereby the translated version may be equivalent to the original text” (penerjemahan yang sempurna adalah terjemahan yang sepadan dengan teks bahasa sumbernya).
C. Strategi Penerjemahan Strategi penerjemahan adalah rencana sadar yang dimiliki oleh penerjemah untuk memecahkan masalah dalam proses penerjemahan yang dituangkan dalam penerjemahan yang sebenarnya. Demikian pernyataan Krings (1986:18) dalam Mahmoud Ordudari di http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am yang menyatakan bahwa “translation strategy as "translator's potentially conscious plans for solving concrete translation problems in the framework of a concrete translation task". Menurut
Seguinot
(1989)
http://translationjournal.net//journal/41
dalam
Mahmoud
culture.html/22
Juni
Ordudari
di
2010/07.00
am
sedikitnya ada 3 strategi umum yang biasanya diterapkan penerjemah yaitu : (1) sedapat mungkin menerjemahkan dengan tanpa mengurangi pesan, (2) mengkoreksi kesalahan yang muncul dalam terjemahan, (3) mengurangi kesalahan stilistik dalam teks untuk revisi selanjutnya. Berikut kutipannya : Seguinot (1989) believes that there are at least three global strategies employed by the translators: (i) translating without interruption for as long as possible; (ii) correcting surface errors immediately; (iii) leaving the monitoring for qualitative or stylistic errors in the text to the revision stage. Lebih
lanjut,
Loescher
(1991:8)
http://translationjournal.net//journal/41
dalam
Mahmoud
culture.html/22
Juni
Ordudari
di
2010/07.00
am
mendefinisikan strategi penerjemahan sebagai prosedur untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam menerjemahkan teks atau segmen dalam teks. Moreover, Loescher (1991:8) defines translation strategy as "a potentially conscious procedure for solving a problem faced in translating a text, or any segment of it." As it is stated in this definition, the notion of consciousness is significant in distinguishing strategies which are used by the learners or translators. In this regard, Cohen (1998:4) asserts that "the element of consciousness is what distinguishes strategies from these processes that are not strategic." Venuti
(1998:240)
dalam
http://translationjournal.net//journal/41
Mahmoud culture.html/22
Ordudari Juni
2010/07.00
di am
menyatakan bahwa strategi penerjemahan melibatkan tugas dasar dalam memilih teks asing untuk diterjemahkan dan menerapkan metode untuk menerjemahkan teks tersebut. Venuti menerapkan konsep idiologi penerjemahan domestikasi dan foreignisasi untuk merujuk konsep strategi penerjemahan. Berikut pernyataan Venuti : Venuti (1998:240) indicates that translation strategies "involve the basic tasks of choosing the foreign text to be translated and developing a method to translate it." He employs the concepts of domesticating and foreignizing
to refer to translation strategies. Merujuk kepada proses dan produk dari penerjemahan, Jaaskelainen (2005) dalam
Mahmoud
Ordudari
di
http://translationjournal.net//journal/41
culture.html/22 Juni 2010/07.00 am membagi strategi penerjemahan menjadi 2 kategori yaitu strategi yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam teks dan strategi yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam proses. Strategi yang berorientasi pada produk seperti yang Jaaskelainen (2005:15) ungkapkan melibatkan tugas pokok dalam memilih teks sumber dan menerapkan metode yang sesuai untuk menerjemahkan teks tersebut. Dan strategi yang berorientasi pada proses merupakan aturan atau prinsip yang dipegang oleh penerjemah untuk meraih tujuan yang ditentukan oleh situasi dalam penerjemahan. Jaaskelainen (2005:16) membaginya menjadi 2 tipe yaitu global dan lokal strategi. Global strategi merujuk kepada prinsip umum dan mode tindakan dan lokal strategi merujuk kepada tindakan yang spesifik yang berhubungan dengan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan oleh penerjemah. Berikut kutipannya : Taking into account the process and product of translation, Jaaskelainen (2005) divides strategies into two major categories: some strategies relate to what happens to texts, while other strategies relate to what happens in the process. Product-related strategies, as Jaaskelainen (2005:15) writes, involves the basic tasks of choosing the SL text and developing a method to translate it. However, she maintains that process-related strategies "are a set of (loosely formulated) rules or principles which a translator uses to reach the goals determined by the translating situation" (p.16). Moreover, Jaaskelainen (2005:16) divides this into two types, namely global strategies and local strategies: "global strategies refer to general principles and modes of action and local strategies refer to specific activities in relation to the translator's problem-solving and decision-making."
D. Metode Penerjemahan Ada beberapa ahli yang mempunyai beragam pandangan mengenai konsep metode penerjemahan. Dalam Macquarie Dictionary (1982):” A method is a way of doing something, especially accordance with a definite plan” (dalam Machali 2000:48). Machali memberikan definisi metode sebagai suatu cara melakukan sesuatu, terutama yang berkenaan dengan rencana tertentu. Molina dan Amparo (2001:507) menyatakan bahwa “Translation method refers to the way a particular translation process is carried out in the term of translator’s objectives. i.e a global option that affects the whole text”. Dari pernyataan tersebut, metode penerjemahan merupakan pilihan cara penerjemahan pada tataran global yang terjadi dalam proses penerjemahan yang mempengaruhi teks secara keseluruhan dan terkait dengan tujuan penerjemah. Dapat dikatakan bahwa metode adalah cara penerjemahan yang terjadi pada tataran makro terkait dengan tujuan penerjemah yang mempengaruhi cara penerjemahannya pada unit mikro. Hoed (2006:55) menyatakan bahwa penerjemahan sering didasari oleh audience design atau need analysis. Dalam praktiknya penerjemah memilih salah satu metode yang sesuai dengan untuk siapa dan untuk tujuan apa penerjemahan dilakukan. Newmark (1988:45) memberikan delapan (8) jenis metode penerjemahan yang diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu empat diantaranya berorientasi pada Bsu (SL emphasis) dan empat lainnya berorientasi pada Bsa (TL emphasis).
Diagram V Newmark menggambarkan hubungan antara metode penerjemahan dan idiologi penerjemahan yang memayungi metode-metode tersebut. Berikut diagram V Newmark : SL emphasis Word for word translation Literal translation Faithful translation Semantic translation
TL emphasis Adaptation Free translation Idiomatic translation Communicative translation
Diagram V tersebut menggambarkan bahwa ke delapan metode penerjemahan pada intinya hanya menganut dua idiologi yaitu beorientasi ke SL (foreignization) dan berorientasi ke TL (domestication). Empat metode berorientasi ke SL cenderung untuk memberikan dan mempertahankan nuansa terjemahan pada produknya. Sebaliknya empat metode yang lain yang berorientasi ke TL akan berusaha menghilangkan nuansa tersebut. Masing-masing metode tersebut memberi pengaruh pada saat penerjemahan, sehingga hasil yang berbeda akan muncul pada produk terjemahannya sesuai dengan idiologi yang dianut penerjemah saat menerjemahkan teks bahasa sumber. Secara singkat, kedelapan metode penerjemahan tersebut diuraikan sebagai berikut : 1. Word for word translation (Penerjemahan kata demi kata) Penerjemahan kata demi kata adalah suatu jenis penerjemahan yang masih terikat pada tataran kata dan struktur Bsu. Nababan (2003:31) menyatakan bahwa dalam menerjemahkan, penerjemah hanya mencari padanan kata Bsu dalam Bsa tanpa mengubah susunan kata dalam terjemahannya. Susunan kata dalam kalimat Bsa sama persis dengan susunan kata dalam kalimat Bsu. Metode ini bisa diterapkan jika kedua bahasa memiliki kaidah yang
sama sehingga tidak menyalahi struktur kalimat bahasa sasaran. Metode ini tidak relevan diterapkan dalam penerjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Karena keduanya memiliki kaidah yang berbeda, misalnya dalam struktur frase nomina. Dengan menggunakan metode penerjemahan kata demi kata, ide atau gagasan suatu teks tidak akan bisa dipahami oleh pembaca. Namun, Newmark (1988:45) mengemukakan metode ini berguna bagi seseorang yang ingin mengerti struktur Bsu atau menguraikan teks yang sulit sebagai salah satu tahap sebelum menerjemahkan. Demikian pernyataan Newmark : “The main use of word-forword translation is either to understand the mechanics of the source language or to construe a difficult text as a pre-translation process.” 2. Literal translation (Penerjemahan harfiah) Literal translation atau lebih dikenal sebagai penerjemahan harfiah disebut juga “pre-translation process”. Mungkin awalnya penerjemah menerjemahkan kata demi kata kemudian menyesuaikan susunan kata dalam kalimat terjemahannya sesuai dengan susunan kata dalam kalimat Bsa. Dengan kata lain penerjemah mengubah struktur kalimat Bsu ke Bsa yang mendekati sepadan.
3. Faithful translation (Penerjemahan setia) Metode penerjemahan ini mencoba untuk setia terhadap maksud penulis teks bahasa sumber. Penerjemahan ini berusaha memproduksi kembali makna
kontekstual teks bahasa sumber dan masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Dengan kata lain penerjemahan dilakukan sebisa mungkin untuk mempertahankan aspek bentuk seperti dalam teks puisi sehingga pembaca masih secara lengkap melihat kesetiaan pada segi bentuknya. Hoed mengatakan bahwa tujuan melakukan penerjemahan dengan metode ini antara lain untuk memperkenalkan metafora asing, untuk memperkenalkan ungkapan dan istilah baru guna mengisi kekosongan ungkapan dan istilah dalam bahasa sasaran. 4. Semantic translation (Penerjemahan semantik) Sebagai salah satu metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber, penerjemahan semantik lebih luwes daripada penerjemahan setia. Newmark (1988: 46) mengatakan bahwa : Semantic translation must take more account of the aesthetic value (that is, the beautiful and natural sound) of the SL text, compromising on ‘meaning’ where appropriate so that no assonance, word play or repetition jars in the finished version. It may translate less important cultural words by culturally functional terms but not by cultural equivalents and it may make other small concessions to the readership. It is more flexible. Dari pernyataan tersebut, penerjemahan semantik harus mempertimbangkan unsur estetika teks bahasa sumber dengan tetap memperhatikan makna. 5. Adaptation Metode adaptasi merupakan metode penerjemahan paling bebas karena latar belakang budaya, konteks sosial dan nama tokoh dari suatu karya sastra disesuaikan dengan keadaan Bsa. Bahkan suatu cerita ditulis ulang sesuai dengan kebudayaan Bsa.
Metode ini lebih menekankan “isi” pesan, sedang bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan pembaca Bsa. Metode ini sering diterapkan dalam menerjemahkan cerita anak dimana pengetahuan mereka sangat terbatas tentang istilah-istilah baru. Hoed (2006:56) menyebutkan binatang rubah diganti dengan kancil meskipun sifat liciknya berbeda. Nama diri seperti Thomas juga bisa diterjemahkan menjadi Tono. Semua itu dilakukan agar pembaca benar-benar mengerti isi pesan teks tersebut tanpa menghiraukan unsur budaya teks bahasa sumber. 6. Free translation (Penerjemahan bebas) “Free translation reproduces the matter without the manner, or the content without the form of the originally” (Newmark, 1988:45). Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa penerjemah mempunyai kebebasan yang terbatas dalam mengungkapkan suatu pesan ke dalam bahasa sasaran, maksudnya ialah penerjemah tidak memiliki kebebasan dalam memodifikasi karya asli. Hoed (2006:57) menyatakan biasanya penerjemahan bebas dilakukan untuk memenuhi permintaan klien yang hanya ingin mengetahui isi pesannya. Metode ini tidak sama halnya dengan adaptasi dimana penerjemah memiliki kebebasan untuk mengubah latar belakang budaya, konteks sosial maupun nama tokoh dari suatu karya sastra. Bahkan Nababan (2003) menyatakan bahwa pencarian padanan dalam penerjemahan bebas cenderung terjadi pada tataran paragraf atau wacana. Penerjemah harus mampu menangkap pesan dalam bahasa sumber pada tataran
paragraf
atau
wacana
secara
utuh
dan
kemudian
mengalihkan
dan
mengungkapkan pesan dalam bahasa sasaran. Karena penerjemahan ini dilakukan untuk mengetahui isi pesan dari Bsu. 7. Idiomatic Translation (Penerjemahan idiomatis) Metode penerjemahan ini, berusaha untuk mengalihkan pesan dari teks asli tetapi nuansa maknanya cenderung sedikit menyimpang. Biasanya hal ini dilakukan melalui penggunaaan kolokasi dan idiom yang tidak ditemukan di dalam teks aslinya (Newmark, 1988: 47). Kemudian Hoed (2006:58) menambahkan bahwa penerjemahan idiomatis mengupayakan penemuan padanan istilah, ungkapan, dan idiom dari apa yang tersedia dalam Bsa. 8. Commmunicative translation (Penerjemahan komunikatif) Terjemahan merupakan alat untuk menyampaikan pesan dari satu bahasa ke bahasa lain. Dengan demikian terjemahan merupakan bagian dari alat komunikasi antar bahasa. Mengacu pada pendapat Newmark dalam Nababan (2003:40) tentang fungsi terjemahan sebagai alat komunikasi yaitu : “…….translation is basically a means of communication or a manner of addressing one or more persons in the speaker presence.” Dari kutipan tersebut terjemahan harus dikembalikan pada fungsi utamanya sebagai alat komunikasi atau menyampaikan gagasan kepada orang lain. Oleh karena itu suatu terjemahan haruslah mempunyai bentuk, makna dan fungsi. Metode penerjemahan ini lebih menekankan efek yang ditimbulkan oleh suatu
terjemahan
kepada
para
pembacanya.
Penerjemahan
ini
sangat
memperhatikan unsur-unsur seperti bahasa sumber dan bahasa sasaran, budaya dan penulis teks asli sehingga tidak menimbulkan kesulitan dalam membaca teks terjemahan. Semua unsur tesebut merupakan ciri-ciri penerjemahan komunikatif yang membedakannya dengan metode yang lain. Newmark (1988:47) menegaskan bahwa “semantic and communicative translations fulfil the two main aims of translation.” Karena kedua metode tersebut mendekati penerjemahan yang bagus. Pertama, semantic translation lebih personal dan individual, nuansa maknanya menyatu dengan pemikiran penulis dan menghadirkan terjemahan yang ringkas sehingga menghasilkan efek pragmatis. Maksudnya ialah penerjemahan semantik tidak begitu memperhatikan aspek bentuk estetik bahasa sumber, yang terpenting adalah ketepatan penyampaian informasi yang terdapat dalam bahasa sasaran. Sedangkan metode penerjemahan komunikatif lebih mengutamakan tersampaikannya pesan secara sederhana, jelas dan lugas serta selalu disampaikan dengan gaya yang alami dan penuh makna. Daud Soesilo (2001: 35-44) menyatakan bahwa terdapat 2 jenis metode penerjemahan yang umumnya diterapkan penerjemah Alkitab. Metode penerjemahan yang dimaksud yaitu metode penerjemahan harfiah dan metode penerjemahan dinamis. Metode penerjemahan harfiah adalah metode yang menekankan pengalihan bentuk bahasa yaitu dari naskah asli dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Tetapi, ada banyak halangan bahasa seperti perbedaan bentuk bahasa, perkataan, istilah, peribahasa dan kiasan, dll yang membuat cara penerjemahan ini tidak membawa hasil yang maksimal. Jika yang diterjemahkan hanya bentuk bahasanya saja, maka arti yang dimaksudkan dapat menyimpang dari makna aslinya.
Contohnya : kata ”Good Friday” tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ”Hari Jumat yang baik”, karena makna yang hendak di sampaikan sebenarnya adalah ”Jumat Agung” untuk memperingati wafatnya Tuhan Yesus. Contoh yang lain : Kejadian 9:16 Alkitab Terjemahan Baru (TB) ”Jika busur itu ada di awan” Arti yang umumnya ditangkap dari pembaca biasa adalah busur untuk memanah, padahal arti yang dimaksud dalam teks Ibrani adalah ”Pelangi”. I Samuel 24:4 ”Masuklah Saul ke dalamnya hendak berselimutkan kakinya” Artinya yang saat ini ditangkap oleh pembaca biasa yaitu ”tidur/istirahat atau kedinginan” padahal ”berselimutkan kaki” adalah ungkapan bahasa Ibrani yang artinya adalah ”membuang hajat/buang air”. Jenis metode yang kedua yaitu metode penerjemahan dinamis fungsional yang lebih menekankan pada pengalihan arti bahasa yang dimaksud dalam naskah asli ke dalam bahasa penerima yang umum dan wajar, yang disesuaikan dengan konteks pembacanya. Dengan demikian, arti yang dimengerti oleh pembaca mula-mula yang hidup di masa lalu, dapat sedekat mungkin dimengerti oleh pembaca terjemahan yang hidup di masa sekarang yang berbeda bahasa dan kebudayaannya. Jadi, unsur yang ditekankan dalam metode ini yaitu : (1) kesetiaan pada arti naskah asli Alkitab dan (2) kesetiaan pada bentuk bahasa penerima yang umum dan wajar. Prosesnya adalah naskah asli di analisis, lalu dialihkan unsur-unsur budaya
dan bahasanya yang penting dari naskah asli tersebut ke dalam bahasa penerima, baru disusun kembali dalam bentuk bahasa penerima yang umum dan wajar. Sependapat dengan Daud, ahli berikutnya yaitu P.G. Katoppo (2001:8-9) juga membagi metode penerjemahan Alkitab menjadi 2 jenis metode yaitu metode penerjemahan harfiah dan metode penerjemahan dinamis. Menurutnya, metode penerjemahan harfiah adalah sebuah metode yang lebih berorientasi kepada bahasa sumber, dalam hal ini adalah bahasa Ibrani, Yunani, dan Aram.
Bentuk dan struktur bahasa sumber sangat diperhatikan dalam
memformulasikan terjemahannya. Alhasil, penganut metode ini biasanya lebih suka mempertahankan bentuk dan struktur serta gaya bahasa yang terdapat dalam bahasa sumber. Padahal, sering terjadi kerangka berpikir bahasa sumber dan bahasa penerima jauh berbeda. Akibatnya, upaya mempertahankan bentuk dan susunan bahasa sumber tak jarang bisa menggangu pemahaman. Metode yang kedua yaitu metode penerjemahan dinamis adalah metode yang mementingkan penekanan pengalihan makna dan bukan bentuk. Memang penekanan pada makna menghadapi masalah bagaimana harus mendamaikan kerumitan komponen-komponen semantik masing-masing bahasa (sumber dan sasaran) demi membuahkan hasil akhir berupa kata-kata dan susunan kalimat yang wajar. Bagaimanapun, hasil terjemahan harus diusahakan mengungkapkan pesan yang terkandung menurut bentuk–bentuk yang lazim dalam bahasa sasaran. Dr. Barclay M. Newman (1987: 7-14) sependapat dengan konsep dua ahli sebelumnya (Daud dan Katoppo) yang juga membagi metode penerjemahan Alkitab menjadi 2 jenis yaitu metode penerjemahan harfiah dan metode penerjemahan
dinamis. Dalam metode penerjemahan harfiah, bentuk bahasa sumber diutamakan dengan tujuan memindahkan sebanyak mungkin segi-segi bentuk bahasa sumber itu ke dalam bahasa penerima. Jenis metode penerjemahan yang kedua yaitu metode penerjemahan dinamis fungsional. Dalam metode ini, ada dua aspek yang diperhatikan yaitu : (1) kesetiaan terhadap arti teks asli itu, dan (2) suatu hasil terjemahan yang paling sesuai dengan bentuk bahasa penerima itu. Dengan menggunakan metode ini, penerjemah akan melalui 3 tahap penerjemahan yaitu : (1) analisis, (2) pemindahan/transfer, (3) penyusunan kembali/restrukturisasi Secara sederhana, perbedaan antara metode penerjemahan harfiah dan metode penerjemahan dinamis fungsional dapat dibandingkan dalam tabel berikut : Tabel 01 : Perbandingan Metode Penerjemahan Alkitab No 1
Item
Metode Penerjemahan Harfiah Bentuk bahasa asli
2
Yang ditekankan Prosedur
3
Penerjemah
Biasanya perseorangan
4
Tingkat bahasa
Umumnya bahasa formal di mana tingkat pembaca dianggap sama
Penerjemahan langsung
Metode Penerjemahan Dinamis Arti dan fungsi bahasa asli serta bentuk bahasa penerima Di analisis, dialihkan, baru disusun kembali Panitia yang terdiri atas 2-3 penerjemah, beberapa peneliti dan penasihat, serta tenaga ahli/konsultan penerjemahan Bahasa sehari-hari yang umum dan wajar, menurut tingkat kebutuhan pembaca. Misalnya : SMP Kelas 1 ke atas (Alkitab BIS), SD Kelas 4-6 (Alkitab anak-anak), SD Kelas 1-4 : Alkitab Pembaca Baru atau Komik Alkitab. Dewasa : Alkitab TB.
5
Prinsip
Persesuaian kata demi kata
Tidak melebihi atau mengurangi arti teks asli.
Latuihamallo, P.D. dengan artikelnya yang berjudul ”Jenis-jenis metode penerjemahan Alkitab” dalam http://www.sabda.org/sejarah/artikel/jenis metode penerjemahan Alkitab.html/13 Juni 2010/03.00 pm membagi jenis metode penerjemahan Alkitab menjadi 5 jenis metode penerjemahan yaitu : 1. Metode Penerjemahan Interlinear Merupakan jenis metode penerjemahan kata-demi-kata, berdasarkan urutan kata dalam bahasa aslinya. Metode ini berguna bila seorang ingin mengetahui bentuk dan susunan kata dalam bahasa aslinya baris-demi-baris tanpa mempelajari lebih dahulu bahasa sumbernya. 2. Metode Penerjemahan Harfiah Metode penerjemahan tradisional yang mengalihbahasakan naskah dalam bahasa sumber tanpa mengindahkan kekhususan bahasa sasaran. Dalam metode ini, penerjemah sangat respek pada bahasa sumber sehingga sedapat mungkin bentuk aslinya dipertahankan, walau sering terasa janggal artinya dalam bahasa sasaran. Oleh karena itu, padanan yang diutamakan adalah dalam bidang leksikal dan sintaksis antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, dengan kata lain titik beratnya masih pada struktur lahir. 3. Metode Penerjemahan Dinamis Fungsional Jenis metode penerjemahan yang mengutamakan arti dan fungsi yang dimaksud dalam teks asli, sekaligus memperhatikan kekhususan bahasa sasaran.
Oleh karena itu, bentuk bahasa aslinya boleh diubah asal makna dan tujuan teks asli dipertahankan. Metode penerjemahan ini secara serius mencari padanan yang terdekat dan wajar dalam mengungkapkan arti dan fungsi yang dimuat dalam naskah aslinya. Metode ini memanfaatkan hasil-hasil penemuan linguistik (mengeksplisitkan yang implisit dalam naskah sumber, dan dalam perubahan bentuk menggunakan analisis komponen makna, transformasi balik dalam bahasa sumber, dan konsistensi kontekstual), serta dikembangkan berdasarkan penelitian-penelitian di bidang komunikasi dan sosiosemiotika. Itulah sebabnya metode semacam ini sangat bermanfaat untuk mengetahui arti, berita atau amanat yang tercantum dalam naskah asli Alkitab, khususnya bagi orang awam, mereka yang ingin membaca dan mendalami Alkitab tanpa pendidikan teologi formal. 4. Metode Penerjemahan Adaptasi Merupakan metode penerjemahan bebas yang mementingkan pesan/amanat tetapi diungkapkan dengan kata-kata sendiri. Pengadaptasinya mempunyai anggapan tertentu mengenai apa yang dianggapnya paling penting bagi pembaca/pendengarnya. 5. Metode Penerjemahan Penafsiran Ulang Menurut Kebudayaan Merupakan metode penerjemahan dengan pengungkapan kembali isi teks dalam kata-kata sendiri sesuai dengan konteks kebudayaan penerjemah serta pendengar/pembaca yang menjadi sasaran 'terjemahan' ini. Tafsiran ulang seperti
ini menarik untuk dibaca, tetapi kurang bermanfaat untuk memahami arti dan fungsi teks sesuai dengan latar belakang sejarah dan kebudayaan aslinya.
E. Teknik Penerjemahan Istilah teknik penerjemahan merupakan istilah dengan banyak nama. Artinya, para pakar penerjemahan menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk menyebut konsep yang sama tentang teknik penerjemahan. Newmark (1988) menyebut istilah teknik penerjemahan dengan istilah prosedur penerjemahan, dan Baker (1992) menyebutnya dengan istilah strategi penerjemahan. Perbedaan penyebutan istilahistilah tersebut dapat dimaklumi karena antara prosedur, teknik, dan strategi saling kait mengkait. Apapun sebutannya, teknik penerjemahan dan strategi penerjemahan merupakan dua konsep yang berbeda, meskipun keduanya berkaitan erat. Strategi penerjemahan merupakan suatu cara yang dilakukan penerjemah untuk memecahkan masalah yang muncul dalam penerjemahan.
Sedangkan
teknik penerjemahan
merupakan
perwujudan dari strategi penerjemahan yang dapat diketahui pada produk atau hasil penerjemahan. Hal ini diungkapkan oleh Molina dan Albir (2002): Strategies open the way to finding a suitable solution for a translation unit. The solution will be materialized by using a particular technique. Therefore, strategies and techniques occupay different places in problem solving: strategies are part of the process, techniques affect the result. Menurut Machali (2000:77), terdapat dua hal pokok pada istilah teknik yaitu: 1) teknik adalah hal yang bersifat praktis; 2) teknik diberlakukan terhadap tugas tertentu (dalam hal ini tugas penerjemahan). Lebih lanjut disebutkan bahwa sesuai dengan sifatnya yang praktis, ‘teknik’ secara langsung berkaitan dengan permasalahan
praktis penerjemahan dan pemecahannya daripada dengan norma pedoman penerjemahan tertentu. Teknik penerjemahan lebih banyak berkaitan dengan langkah praktis dan pemecahan masalah. Molina dan Albir (2002) menyatakan bahwa “Translation techniques ... to describe the actual steps taken by the translators in each textual micro-unit and obtain clear data about the general methodological option chosen”. Newmark (1988) berpendapat bahwa “...translation procedures are used for sentences and the smaller units of language”. Dari kedua pernyataan tersebut, ada persamaan antara ‘translation techniques’ yang disebutkan oleh Molina dan Albir dengan ‘translation procedures’ oleh Newmark. Keduanya sama-sama berada pada tataran mikro dari suatu teks. Istilah ‘procedures’ juga digunakan oleh Pozo Y Postigo dalam Molina dan Albir (2002). Dia menyebutkan bahwa “Procedures include the use of simple technique and skills, as well as expert use of strategies.” Oleh karena itu, penyusun menggunakan istilah ‘teknik’ untuk merujuk pada langkah yang dilakukan oleh penerjemah untuk menyelesaikan masalah yang terwujud dalam terjemahan pada tataran mikro teks. Molina dan Albir (2002) juga merumuskan teknik sebagai prosedur untuk menganalisa dan mengklasifikasikan masalah kesepadanan dalam penerjemahan. Mereka juga memberikan lima karakteristik dasar teknik penerjemahan yaitu : a. They affect the result of the translation b. They are classified by comparison with the original c. They affect micro units of text
d. They are by nature discursive and contextual e. They are functional Pada akhirnya, teknik yaitu sebagai penjelasan atas langkah apa saja yang telah dilakukan oleh penerjemah pada saat menghadapi masalah dalam suatu proses penerjemahan, yang validitasnya tergantung dari keseluruhan konteks teks yang diterjemahkan serta tujuan penerjemahan itu sendiri. Beberapa ahli penerjemahan yang menjelaskan konsep tentang teknik penerjemahan diantaranya : Benny Hoed (2006) memberikan 9 teknik penerjemahan yang bisa diterapkan oleh penerjemah. Teknik-teknik penerjemahan tersebut yaitu : 1. Transposisi Dalam teknik transposisi, penerjemah merubah struktur kalimat agar dapat memperoleh terjemahan yang betul. Bsu : He was unconscious when he arrived at the hospital Bsa : Setibanya di rumah sakit, ia sudah dalam keadaan tidak sadar. 2. Modulasi Penerjemah memberikan padanan yang secara semantik berbeda sudut pandang artinya atau cakupan maknanya, tetapi dalam konteks yang bersangkutan memberikan pesan yang sama. Bsu : The laws of Germany govern this Agreement. Bsa : Perjanjian ini diatur oleh hukum Jerman 3. Penerjemahan Deskriptif
Penerjemahan deskriptif ini dilakukan jika suatu konsep dalam Bsu tidak atau belum mempunyai padanan kata dalam Bsa-nya. Suatu konsep akan diterjemahkan dengan bentuk uraian yang berisi makna kata yang bersangkutan. Bsu : licensed software Bsa : perangkat lunak yang dilisensikan 4. Penjelasan Tambahan Agar suatu konsep lebih mudah dipahami (misalnya nama makanan atau minuman yang dianggap asing oleh masyarakat pengguna Bsa), biasanya penerjemah memberikan tambahan kata khusus sebagai penjelasan Bsu : He bought a brandy yesterday Bsa : Dia membeli sebotol minuman brandy kemarin 5. Catatan Kaki Dalam penerjemahan tulis, penerjemah memberikan keterangan dalam bentuk catatan kaki untuk memperjelas makna kata terjemahan yang dimaksud karena tanpa penjelasan tambahan itu kata terjemahan diperkirakan tidak akan dipahami dengan baik oleh pembaca.Bsa. Bsu : All the software in your phone. Bsa : Semua perangkat lunak dalam telepon seluler* Anda. * Ini adalah teks tentang Perjanjian Lisensi yang di dalamnya mengandung pengertian bahwa perangkat lunak itu dimasukan ke dalam telepon seluler dan bukan telepon biasa. 6. Penerjemahan Fonologis
Ketika penerjemah tidak dapat menemukan padanan yang sesuai dalam Bsa ia memutuskan untuk membuat kata baru yang diambil dari bunyi kata dalam Bsu untuk disesuaikan dengan sistem bunyi dan ejaan Bsa. Bsu : cryptographic software Bsa : perangkat lunak kriptografis 7. Penerjemahan Resmi Ada sejumlah istilah, nama, dan ungkapan yang sudah baku atau resmi dalam Bsa sehingga penerjemah bisa langsung menggunakannya sebagai padanan. Bsu : New Zealand Bsa : Selandia Baru 8. Tidak Diberikan Padanan Jika penerjemah tidak dapat menemukan terjemahan suatu konsep dalam Bsa, dia bisa tetap mengutip dari bahasa aslinya. Teknik ini biasanya dilengkapi dengan catatan kaki. Bsu : He celebrated Halloween Day Bsa : Dia merayakan Hari Halloween 9. Padanan Budaya Dalam teknik ini, penerjemah memberikan padanan yang sesuai dengan unsur kebudayaan bahasa sasaran. Bsu : ‘A’ level exam Bsa : Ujian SPMB Melengkapi pendapat Hoed mengenai teknik penerjemahan yang sudah diuraikan sebelumnya, Molina dan Albir (2002) memberikan 18 klasifikasi teknik
yang bisa digunakan oleh seorang penerjemah. 18 teknik penerjemahan yang dimaksud yaitu : 1. Adaptasi (Adaptation) Teknik ini bertujuan untuk mengganti unsur budaya pada Bsu ke dalam budaya Bsa. Bsu : They search for bread Bsa : Mereka mencari makanan Kata bread diterjemahkan menjadi makanan. Ini terjadi jika masyarkat pengguna Bsa tidak mengenal roti. 2. Amplifikasi (Amplification) Cara yang digunakan dalam teknik ini adalah mengungkapkan detail pesan secara eksplisit atau memparafrasekan suatu informasi yang implisit dari Bsu ke dalam Bsa. Contoh: Bsu : There were some Texan attending the conference. Bsa : Beberapa penduduk negara bagian Texas ikut menghadiri konferensi itu. 3. Peminjaman (Borrowing) Borrowing adalah teknik penerjemahan yang memungkinkan penerjemah meminjam kata atau ungkapan dari Bsu, baik sebagai peminjaman murni (pure borrowing) ataupun peminjaman yang sudah dinaturalisasikan (naturalized borrowing) baik dalam bentuk morfologi ataupun pengucapan yang disesuaikan dalam Bsa
- Peminjaman murni (Pure Borrowing) Bsu : hydrangea Bsa : hydrangea - Naturalized Borrowing Bsu : Polyjuice Bsa : Polijus 4. Calque Teknik ini merujuk pada penerjemahan secara literal, baik kata maupun frasa dari Bsu ke dalam Bsa. Bsu : Primary School Bsa : Sekolah Dasar 5. Compensation Melalui teknik ini, penerjemah memperkenalkan unsur-unsur pesan atau informasi teks Bsu yang mengandung unsur stilistika ke dalam teks Bsa. Bsu : Enter, stranger, but take heed Of what awaits the sin of greed Bsa : Masuklah, orang asing, tetapi berhati-hatilah Terhadap dosa yang harus ditanggung orang serakah 6. Description Teknik ini diterapkan untuk mengganti sebuah istilah atau ungkapan dengan deskripsi baik dalam bentuk maupun fungsinya. Bsu : Sandra, mix me up the usual Bsa : Sandra, buatkan aku pewarna rambut yang biasa
7. Discursive Creation Teknik ini dimaksudkan untuk menampilkan kesepadanan sementara yang tidak terduga atau keluar konteks. Teknik ini biasa dipakai untuk menerjemahkan judul buku atau judul film. Bsu : And Then There Were None Bsa : Sepuluh Orang Negro 8. Establihed Equivalent Dalam menggunakan teknik ini, penerjemah akan lebih cenderung untuk menggunakan istilah atau ekspresi yang sudah dikenal baik dalam kamus atau penggunaan bahasa sehari-hari dari Bsa. Bsu : Great Britain Bsa : Britania Raya 9. Generalization Penerapan teknik ini dalam penerjemahan adalah merubah istilah asing yang bersifat khusus menjadi istilah yang lebih dikenal umum dan netral dalam Bsa. Bsu : chalet (sejenis villa di Swedia) Bsa : pondok peristirahatan
10. Linguistic Amplification
Teknik ini digunakan untuk menambah unsur-unsur linguistik dalam teks Bsa agar lebih sesuai dengan kaidah Bsa. Teknik ini biasa digunakan dalam consecutive interpreting atau dubbing (sulih suara). Bsu : ‘Shall we?’ Bsa : ‘Bisa kita berangkat sekarang?’ 11. Linguistic Compression Linguistic Compression merupakan teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara mensintesa unsur-unsur linguistik dalam teks Bsa yang biasanya diterapkan oleh penerjemah dalam pengalihbahasaan secara simultan (simultaneous interpreting) atau dalam penerjemahan teks film (subtitling) Bsu : I want you to understand Bsa : Pahamilah 12. Literal Translation Ketika menggunakan teknik ini, penerjemah akan menerjemahkan sebuah kata atau ekspresi secara kata per kata. Bsu : Ministry of Magic Bsa : Departemen Sihir 13. Modulation Dalam teknik ini, penerjemah mengubah sudut pandang, fokus, atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan Bsu. Bsu : Hagrid’s record is againts him Bsa : Catatan tentang Hagrid sama sekali tidak mendukungnya. 14. Particularization
Teknik ini merupakan kebalikan dari generalization. Penerjemah akan menggunakan istilah yang lebih konkrit atau jelas dalam Bsa bila dalam Bsu hanya diberikan istilah umumnya saja. Bsu : He calls the chief to check the engine. Bsa : Dia memanggil kepala montir untuk memeriksa mesin. 15. Reduction Teknik ini berfokus pada pemadatan teks dari Bsu ke dalam Bsa. Teknik ini biasa disebut sebagai kebalikan dari amplification. Bsu : the month of fasting for Moslem Bsa : Ramadan 16. Substitution Teknik ini dilakukan dengan cara mengubah unsur-unsur linguistik ke dalam paralinguistik
atau
sebaliknya.
Teknik
ini
biasa
digunakan
dalam
pengalihbahasaan. Bsu (paralinguistik) : The both Japanese bows each other Bsa : Kedua orang Jepang itu saling memberikan salam 17. Transposition Dalam teknik ini, penerjemah mengubah kategori grammatikal Bsu ke dalam Bsa yang dianggap lebih sesuai. Bsu : Would you like to come in or are you just passing through? Bsa : Kau mau masuk sebentar? 18. Variation
Cara yang digunakan oleh penerjemah dalam teknik ini adalah mengubah unsurunsur linguistik dan paralinguistik yang mempengaruhi variasi linguistik, perubahan secara tekstual, gaya bahasa, dialek sosial, dan juga dialek geografis. Teknik ini biasa ditemukan dalam penerjemahan teks drama. Bsu : Hi, Love Bsa : Halo, Say Nida dan Taber (dalam Molina dan Albir 2002: 501) memberikan beberapa alternatif teknik penerjemahan ketika tidak ditemukan padanan yang tepat dalam teks bahasa sumber. Teknik penyesuaian (Techniques of adjustment) adalah teknik yang ditawarkan mereka. Dalam teknik ini, di usulkan 3 jenis tipe dalam teknik penyesuaian yaitu : teknik penambahan (additions), teknik pengurangan (substractions), dan teknik pengubahan/ pergantian (alterations). Penambahan (addition) ditujukan untuk mengklarifikasi kalimat/ungkapan eliptis (eliptis berarti bersifat elipsis yang berkaitan dengan penghilangan bagianbagian klausa atau kalimat, penghilangan dapat berupa morfem atau kata), untuk menghindari ambigu bahasa sasaran, untuk merubah kategori struktur gramatikal, untuk menjelaskan elemen-elemen implisit, dan menambah konektor. Contoh : They tell him of her (Mark 1:30) The people there told Jesus about the woman (using addition techniques). Nida dan Taber menyatakan bahwa ada 4 situasi yang mengharuskan penerjemah menggunakan teknik pengurangan (substractions) jika memang bahasa sasaran memerlukannya. 4 situasi tersebut yaitu : pengulangan yang tidak perlu, referensi yang spesifik, konjungsi, dan adverb. Contohnya : kata God muncul 32 kali
dalam 31 versi dalam Kitab Kejadian. Nida menyarankan untuk menggunakan pronoun (kata ganti orang) dari God menjadi Him untuk mengurangi kata God. Pengubahan/pergantian (alterations) dilakukan jika terjadi ketidaksesuaian antara dua bahasa. Ada 3 tipe alterations yaitu : a.
Perubahan/pergantian terkait dengan masalah yang disebabkan oleh transliterasi (penyalinan satu huruf ke huruf yang lain). Ini terjadi ketika sebuah kata baru dikenalkan oleh bahasa sumber. Contoh : Kata Messiah di transliterasikan menjadi Mezaya dalam Bahasa Loma yang berarti death’s hand.
b. Perubahan/pergantian terkait dengan perbedaan struktur Bsu dan Bsa. Misalnya : pada word order, kategori gramatikal, dll. c.
Perubahan/pergantian terkait dengan ketidaksesuaian unsur semantik, terutama terkait dengan ungkapan idiomatik. Salah satu saran untuk memecahkan masalah ini dengan padanan deskriptif. Misalnya padanan objek, peristiwa, dll yang tidak ditemui di bahasa sasaran. Contoh terkait dengan objek yang tidak dikenal dalam bahasa sasaran yaitu : In Maya the house where the law was read for Synagogue (Gereja Kaum Yahudi). Dalam bahasa sasaran tidak dikenal kata Synagogue, maka perlu dijelaskan dengan padanan deskriptif. Vazquez Ayora (1977) dalam Molina & Albir (2002) menambahkan jenis-jenis
teknik penerjemahan yaitu penghilangan (ommision) yang digunakan untuk menghilangkan pengulangan sebagai karakteristik dari bahasa sasaran dan
pemindahan/pembalikan (Displacement and Inversion) yang digunakan ketika ada dua unsur yang berganti posisi. Delisle (1993) dalam Molina & Albir (2002) juga menganjurkan tiga jenis teknik penerjemahan yaitu penambahan dan penghilangan (addition and ommision), parafrase, dan discursive creation. Teknik penambahan dikenalkan untuk ketidaktepatan unsur stilistika yang
dan informasi yang tidak ditemukan dalam
bahasa sumber, sedangkan penghilangan adalah penghilangan unsur-unsur yang tidak tepat dalam bahasa sumber Teknik parafrase serupa dengan parafrase tak logis dan discursive creation merupakan proses kognitif ketika menerjemahkan yang berhubungan dengan padanan non leksikal yang hanya terdapat pada konteks. Dalam penelitian ini, penyusun menggunakan teknik-teknik penerjemahan yang diusulkan oleh Hoed (2006), Molina dan Albir (2002), dan beberapa ahli seperti Nida dan Taber (1964), Vazquez Ayora (1977), dan Delisle (1993) dalam Molina dan Albir (2002).
F. Eksegesis Alkitab Daud Soesilo (2001:101-118) secara rinci dan lengkap menjelaskan eksegesis Alkitab. Eksegesis berasal dari kata Yunani “exegeomai” dan dalam bahasa Inggris “exegesis”, dan dalam bahasa Belanda ‘exegese”) yang artinya menafsir, membuka, menyingkapkan, membongkar, menampakkan, menjelaskan arti yang disampaikan
penulis kepada pembaca/pendengar mula-mula sesuai dengan keadaan waktu itu, dan sesuai dengan tujuan aslinya. Eksegesis merupakan cara yang sistematis bagi penafsir yang berhati-hati untuk memperoleh arti yang sesuai dengan maksud penulis mula-mula, dan mencegah arti yang salah dan tafsiran yang membabi buta. Lawan dari eksegesis adalah eisegesis. Eisegesis adalah memasukkan ke dalam teks arti yang sesuai dengan kemauan sendiri, tanpa peduli apakah sesuai dengan maksud penulis mula-mula atau tidak. Daud lebih lanjut menambahkan bahwa seorang penerjemah Alkitab memerlukan alat bantu penafsir dalam mengeksegesis Alkitab. Alat bantu diperlukan untuk mengetahui latar belakang, sejarah, dan kebudayaan (adat-istiadat, kebiasaan, tradisi, cara berpikir, norma-norma masyarakat, dll). Alat bantu yang biasa dipergunakan oleh para penerjemah Alkitab yaitu kamus Alkitab, ensiklopedia Alkitab, peta Alkitab, buku-buku pengantar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, buku-buku tafsiran Alkitab yang baik dan memakai metode yang dapat dipertanggungjawabkan (yaitu eksegesis : memperhatikan bahasa asli, kebudayaan dan sejarah), Pedoman Penafsiran Alkitab (PPA) terbitan UBS/LAI, dan konkordasi Alkitab. Penyusun
mengutip
definisi
biblestudy.org/beginner/definition
of
eksegese christian
Alkitab
dari
http://www.
terms/exegese.html/13
Juni
2010/04.00 pm bahwa : Exegesis is a theological term used to describe an approach to interpreting a passage in the Bible by critical analysis. Proper exegesis includes using the context around the passage, comparing it with other parts of the Bible, and applying an understanding of the language and customs of the time of the writing, in an attempt to understand clearly what the original writer intended to
convey. In other words, it is trying to "pull out" of the passage the meaning inherent in it. Dari kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa eksegese adalah istilah teologis yang digunakan untuk menggambarkan pendekatan untuk menafsirkan ayat dalam Alkitab dengan analisis kritis. Penafsiran yang tepat termasuk menggunakan konteks di sekitar teks, membandingkannya dengan bagian lain dari Alkitab, dan menerapkan pemahaman tentang bahasa dan kebiasaan saat menulis, dalam upaya untuk memahami dengan jelas apa yang penulis asli dimaksudkan untuk disampaikan. Dengan kata lain, eksegese adalah upaya untuk "menarik keluar" makna yang melekat di dalamnya.
Skema Kerangka Pikir Skema kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut : BSU A HANDBOOK ON THE REVELATION TO JOHN
Adaptor SPPA Wahyu Kepada Yohanes
Problematika Pengadaptasian, Strategi, dan Teknik Penerjemahan
BSA SPPA WAHYU KEPADA YOHANES
Jenis Metode Penerjemahan
Prosedur Pengujian Adaptasi Adaptor
Kualitas Adaptasi Adaptor
Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI
Pembaca Khusus (Specific Readers) / Penerjemah Lokal Gambar 1 : Skema Kerangka Pikir
Dari skema tersebut dapat dijelaskan bahwa data utama dalam penelitian ini yaitu THB ”A Handbook on The Revelation to John” sebagai bahasa sumber yang kemudian diterjemahkan dan diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh para adaptor menjadi SPPA Wahyu Kepada Yohanes sebagai bahasa sasarannya. Dalam proses pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes, dikaji problematika penerjemahan apa yang muncul. Selain mengkaji problematika penerjemahannya, dikaji pula strategi penerjemahan, teknik penerjemahan, dan kecendurangan jenis metode penerjemahan yang digunakan adaptor yang sesuai serta prosedur pengujian kualitas adaptasi adaptor yang dilakukan oleh Departemen Penerjemahan LAI Bogor Prosedur pengujian adaptasi ini melibatkan beberapa pihak. Pihak-pihak tersebut yaitu Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI dan Pembaca Khusus
(Specific Readers) atau dalam hal ini penerjemah lokal sebagai indikator kualitas adaptasi adaptor. Demikian rumitnya proses pengujian adaptasi SPPA Wahyu Kepada Yohanes menunjukkan bahwa bahwa tingkat keakuratan (unsur bahasa, teologi, budaya, makna, dll) adaptasi menjadi prioritas utama dalam pengujian dengan tetap mempertahankan makna dan mempertimbangkan konteks pembacanya yaitu penerjemah lokal.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dasar, dengan pendekatan kualitatif deskriptif dan berbentuk penelitian terpancang untuk kasus tunggal. Penelitian ini disebut penelitian dasar (basic research) atau sering juga disebut penelitian akademik terkait dengan tujuan akhir dari penelitian ini dirancang hanya untuk pemahaman mengenai satu masalah yang mengarah pada manfaat teoretik untuk kepentingan akademis, bukan manfaat praktik (Sutopo, 2006:135-136). Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
kualitatif
deskriptif
karena
dimaksudkan untuk mendeskripsikan keadaan sebenarnya dalam penyajian data dan mengkajinya untuk mencari jawaban atas pertanyaan penelitian. Hal ini sesuai pendapat Sutopo (2006: 40) bahwa pada penelitian dengan pendekatan kualitatif deskriptif maka catatan penelitian ditekankan pada pemberian deskripsi kalimat yang
rinci, lengkap, mendalam, yang menggambarkan situasi sebenarnya untuk mendukung penyajian data. Untuk itu, dalam penelitian ini data yang dikumpulkan akan dideskripsikan dan dikaji secara mendalam agar diperoleh pemahaman yang lebih nyata terkait tujuan penelitian. Selanjutnya, penelitian ini disebut penelitian terpancang (embedded research) karena fokus penelitian telah ditentukan oleh peneliti sebelum peneliti mengambil data ke lapangan. Hal ini sesuai pendapat Yin dalam Sutopo (2006:39) bahwa penelitian kualitatif disebut penelitian terpancang apabila penelitian tersebut telah menentukan fokus penelitian (variabel utama) yang akan dikaji berdasarkan tujuan dan minat penelitinya sebelum peneliti masuk ke lapangan. Kemudian, penelitian ini dirancang hanya untuk satu kasus tunggal karena hanya terarah pada sasaran dengan satu karakteristik untuk mencari hubungan sebab akibat antar variabel dengan simpulan yang diambil bersifat kontekstual bukan generalisasi (Sutopo, 2006:136138). Namun, walaupun fokus telah ditentukan pada teknik penerjemahan yang dilihat pada produk/hasil terjemahan (product oriented), tidak ditutup kajian terhadap aspek lain yang juga berpengaruh terhadap kualitas terjemahan tersebut. Sutopo (2006: 3839) menyatakan penelitian kualitatif memiliki sifat holistik, artinya variabel sebab (independent variable) tidak dapat dipisahkan dari variabel akibat (dependent variable) karena saling mempengaruhi. Kemudian sesuai dengan pandangan Nababan (2007) terdapat hubungan timbal balik antara proses, penerjemah, dan produk penerjemahan. Oleh sebab itu dalam penelitian ini juga akan dikaji tiga faktor yang terlibat, yaitu: latar terjadinya sesuatu
(faktor genetik) dalam konteks penelitian ini penerjemah, kondisi aktual sasaran yang dikaji (faktor objektif) berupa dokumen buku asli dan terjemahannya, kemudian aspek terakhir dampak pengaruh/persepsi/hasil (faktor afektif) yaitu informasi dari informan.
B. Fokus Penelitian LAI telah menerbitkan Alkitab yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa daerah dan dalam dua bahasa untuk berbagai kelompok umur yaitu dewasa, remaja, dan anak-anak. Selain terbitan Alkitab dalam berbagai versi, LAI juga menerbitkan Edisi Testamen dan bagianbagian Alkitab. Adapun yang menjadi data penelitian yaitu SPPA Wahyu Kepada Yohanes yang merupakan salah satu dari SPPA yang lain sebagai produk edisi studi terbitan LAI. Fokus utama dalam penelitian ini adalah mengkaji SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan menganalisa problematika pengadaptasian yang dihadapi adaptor, strategi penerjemahan, teknik penerjemahan, metode penerjemahan yang diterapkan adaptor, dan prosedur pengujian kualitas adaptasi adaptor yang dilakukan oleh Departemen Penerjemahan LAI Bogor.
C. Data dan Sumber Data Sumber data dalam penelitian kualitatif dapat berupa manusia, peristiwa dan tingkah laku, dokumen, dan arsip, serta berbagai benda yang lain (Sutopo, 2006:58). Dengan demikian, data–data atau informasi yang paling penting untuk dikumpulkan
dan dikaji dalam penelitian ini sebagian besar berupa data kualitatif. Informasi tersebut akan digali dari beragam data dan sumber data. Jenis data dan sumber data dalam penelitian ini meliputi data objektif berupa dokumen LAI yaitu THB berbahasa Inggris dan adaptasinya, kemudian data objektif dilengkapi dengan informasi dari adaptor sebagai sumber data genetik dan informan sebagai sumber data afektif. Berikut diberikan uraian mengenai data dan masingmasing sumber data: 1. Data Penelitian : Dokumen LAI Dokumen utama sebagai data objektif dalam penelitian ini adalah SPPA Wahyu Kepada Yohanes yang merupakan adaptasi dari THB “A Handbook on the Revelation to John” terbitan UBS New York-United States of America Tahun 1993 setebal 352 halaman berbahasa Inggris karya Robert G.Bratcher dan Howard A. Hatton. SPPA Wahyu Kepada Yohanes di terjemahkan dan di adaptasi oleh Tim Pengadaptasi LAI yaitu Kareasi H Tambur, Rosdianingsih Sinambela, Bryan Hinton, Edward A Kotynski, P.G. Katoppo, dan M.K. Sembiring. SPPA Wahyu Kepada Yohanes merupakan hasil kerjasama antara LAI dan Yayasan Kartidaya dan diterbitkan pada tahun 2000. SPPA Wahyu Kepada Yohanes setebal 355 halaman dicetak sebanyak 2000 eksemplar dengan hak cipta adaptasi © LAI 2000. Sebagai sumber data objektif yang merupakan produk terjemahan akan diambil data berupa teknik penerjemahan yang dilakukan oleh adaptor pada
satuan lingual dalam tataran kata, frase, klausa dan kalimat yang terdapat dalam kedua buku tersebut. Berikut contoh data : 1. 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/11:4 Bsu : The two olive trees: the way in which this is stated makes it clear that it refers to Zechariah 4:1-14, where the olive trees, on either side of the lamp stands, are the two men chosen and anointed by God to serve him, the Lord of the whole earth. Where olive trees are unknown, some decisions must be made about how to represent olive trees, olives, and olive oil, all of which appear frequently in the Bible. Because of the importance of the olive tree in the Palestinian cultures, it will be well for the translators in cultures where these trees are unknown to say something like ‘tree named olive” and introduce the picture, and also have a description in a glossary item. Bsa : Kedua pohon zaitun menunjukkan cara penyampaian bagian ini yang memiliki hubungan dengan Zakharia 4:1-14 yang mengatakan bahwa kedua pohon zaitun yang berada di sebelah kanan dan kiri kaki lampu, adalah dua orang yang dipilih oleh Allah untuk melayani-Nya. Di Palestina pohon zaitun sangat penting. Hal ini dinyatakan dengan sering munculnya kata pohon zaitun, buah zaitun, maupun minyak zaitun dalam Alkitab. Oleh karena itu, penerjemah harus mencari ungkapan yang cocok untuk menerjemahkannya. Buah zaitun yang masak kira-kira mengandung 30 % minyak. Itulah sebabnya dalam bahasa Ibrani, pohon zaitun juga disebut dengan pohon minyak atau pohon gemuk, karena pohon zaitun merupakan salah satu sumber minyak orang Palestina. Jadi penerjemah boleh memakai istilah pohon minyak zaitun atau pohon minyak. Dalam bahasa yang tidak mengenal pohon zaitun, hendaknya dicantumkan gambar pohon zaitun di dekat ayat ini dan keterangannya dalam kamus Alkitab. 2. 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/11:4 Bsu : The two olive trees: the way in which this is stated makes it clear that it refers to Zechariah 4:1-14, where the olive trees, on either side of the lamp stands, are the two men chosen and anointed by God to serve him, the Lord of the whole earth. Where olive trees are unknown, some decisions must be made about how to represent olive trees, olives, and olive oil, all of which appear frequently in the Bible. Because of the importance of the olive tree in the Palestinian cultures, it will be well for the translators in cultures where these
trees are unknown to say something like ‘tree named olive” and introduce the picture, and also have a description in a glossary item. Bsa : Kedua pohon zaitun menunjukkan cara penyampaian bagian ini yang memiliki hubungan dengan Zakharia 4:1-14 yang mengatakan bahwa kedua pohon zaitun yang berada di sebelah kanan dan kiri kaki lampu, adalah dua orang yang dipilih oleh Allah untuk melayani-Nya. Di Palestina pohon zaitun sangat penting. Hal ini dinyatakan dengan sering munculnya kata pohon zaitun, buah zaitun, maupun minyak zaitun dalam Alkitab. Oleh karena itu, penerjemah harus mencari ungkapan yang cocok untuk menerjemahkannya. Buah zaitun yang masak kira-kira mengandung 30 % minyak. Itulah sebabnya dalam bahasa Ibrani, pohon zaitun juga disebut dengan pohon minyak atau pohon gemuk, karena pohon zaitun merupakan salah satu sumber minyak orang Palestina. Jadi penerjemah boleh memakai istilah pohon minyak zaitun atau pohon minyak. Dalam bahasa yang tidak mengenal pohon zaitun, hendaknya dicantumkan gambar pohon zaitun di dekat ayat ini dan keterangannya dalam kamus Alkitab. Dan contoh kodifikasi data yang lainnya yaitu : 3.
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/6:12
4.
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/6:13
5.
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Eks/5:6
6.
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/9:17
7.
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/6:13
8.
01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/10:6
9.
01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/6:11
10. 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/1:6 11. 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/TI/6:2 12. 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Simpl/19:18 13. 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/10:9 14. 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/6:11
15. 01/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/1:19 Kodifikasi data diatas digunakan untuk memudahkan proses analisis data dan untuk memudahkan untuk melihat data pada sumber aslinya. Berikut arti dari kode-kode di atas : 01
: Merupakan nomor data
Bsu
: Bahasa sumber
Bsa
: Bahasa sasaran
P. Lek : Problematika leksikal Add
: Addition (penambahan)
Alt
: Alteration (pengubahan)
Omm : Ommision (penghilangan) Gra
: Grafis (penjelasan tambahan bentuk gambar)
N.Gra : Non grafis (penjelasan tambahan bentuk non gambar) Amp
: Amplifikasi
PD
: Penerjemahan deskriptif
UAT
: Usulan alternatif terjemahan
Eks
: Eksegese ayat
Gen
: Generalisasi
PGTB : Problematika gaya dan tata bahasa KP
: Kata penghubung
TI
: Tambahan informasi
Simpl : Simplifikasi Kr.P
: Kronologisasi peristiwa
KP-KA : Kalimat pasif - kalimat aktif 11:4
: Pasal 11 ayat ke 4 dalam Kitab Wahyu Kepada Yohanes (Bsa) dan on the Revelation to John (Bsu)
2. Sumber data : Informan Informan sebagai sumber data afektif dalam penelitian ini melibatkan berbagai pihak. Adapun pihak-pihak tersebut yaitu Kordinator Tim Adaptor LAI, Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI, dan Adaptor LAI sebagai pengadaptasi SPPA Wahyu Kepada Yohanes. Peneliti memperoleh informasi tentang informasi yang relevan dengan pokok persoalan yang diteliti. Informasi-informasi atau data-data yang peneliti peroleh dari berbagai informan yang ada tersebut berfungsi sebagai sumber data genetik. Berikut adalah pihak-pihak yang menjadi informan dalam penelitian ini : Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI : Bpk Pericles G. Katoppo., M.A., L.Th (selanjutnya disebut dengan informan P), Kordinator Tim Adaptor LAI dan Anggota Tim Pengadaptasi SPPA Wahyu Kepada Yohanes : Bpk. Pdt. M.K. Sembiring, M.Th (selanjutnya disebut dengan informan M), dan salah seorang adaptor LAI : Bpk. Ribut Karyono., S.Th., M.Th (selanjutnya disebut dengan informan R).
D. Teknik Pengumpulan Data Goets dan Compte (1984) dalam Sutopo (2006: 66) menjelaskan bahwa strategi pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dapat dikelompokkan ke dalam dua cara yaitu metode interaktif dan metode non–interaktif. Metode interaktif meliputi
wawancara mendalam dan observasi berperan, sedangkan metode non–interaktif meliputi observasi tak berperan, kuesioner dan mencatat dokumen (content analysis). Sesuai dengan jenis penelitian dan sumber data yang telah disebutkan di atas, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengkaji dokumen (content analysis) dan wawancara mendalam (in-depth interviewing). Berikut uraian masing-masing teknik pengumpulan data tersebut: 1. Mengkaji Dokumen (Content Analysis) Dokumen tertulis dan arsip merupakan sumber data yang memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif. Menurut Yin (1987) dalam Sutopo (2006:81), mengkaji dokumen merupakan cara untuk menemukan beragam hal sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian. Dalam melakukan teknik ini, perlu disadari bahwa peneliti bukan sekadar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, tetapi makna tersiratnya. Teknik ini bertujuan
untuk memperoleh gambaran teknik
penerjemahan yang digunakan oleh adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes. Kajian dokumen pada penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan Bsu dan Bsa sumber data penelitian untuk mengidentifikasi problematika penerjemahan, jenis teknik dan metode penerjemahan yang digunakan adaptor dalam
proses
pengadaptasian
SPPA
Wahyu
menganalisisnya.
2. Wawancara Mendalam (in–depth interviewing)
Kepada
Yohanes
dan
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in–depth interviewing). Sutopo (2006:69) menyatakan bahwa wawancara mendalam bersifat lentur dan terbuka, tidak terstruktur ketat, tidak dalam suasana formal, dan bisa dilakukan berulang–ulang pada informan yang bisa dikumpulkan semakin rinci dan mendalam. Pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti dalam pembicaraan biasa serta terfokus, sehingga informasi yang dikumpulkan cukup mendalam. Kelonggaran dan kelenturan cara ini akan mampu mengungkap kejujuran informan untuk memberi informasi yang sebenarnya. Teknik seperti ini oleh Moleong (1989:59) digolongkan
pembicaraan
wawancara
informal
yang
disebut
in–depth
interviewing (Patton, 1983: 600). Peneliti melakukan wawancara mendalam ini dengan para informan untuk mendapatkan data–data yang diperlukan dalam penelitian. Adapun data–data tersebut yaitu problematika yang dihadapi adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes, strategi penerjemahan yang digunakan adaptor, dan prosedur pengujian kualitas adaptasi adaptor dan data-data pendukung yang lainnya. Wawancara dapat dilakukan berulang kepada informan demi kejelasan dan kemantapan masalah yang sedang dikaji. Wawancara dianggap cukup apabila semua data yang dibutuhkan telah terpenuhi. Hasil analisis dokumen dan wawancara tersebut merupakan catatan lapangan. E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan/Validitas Data
Untuk terjaminnya teknik pengumpulan dan kebenaran serta ketepatan data yang diambil, dalam penelitian ini dikembangkan teknik pemeriksaan keabsahan data (validitas data). Karena teknik pengambilan dan keabsahan data merupakan jaminan bagi kemantapan simpulan dan tafsiran makna sebagai hasil penelitian, maka validitas data mutlak diperlukan (Sutopo, 2006: 91-92). Dalam penelitian kualitatif, terdapat beberapa cara yang bisa dipilih untuk pengembangan validitas (keabsahan) data penelitian. Cara-cara tersebut yaitu teknik triangulasi (triangulation technique), review informan kunci (key informan review) dan member check. (Sutopo, 2006:92). Dalam penelitian ini dikembangkan dua teknik triangulasi dari empat triangulasi yang dianjurkan Patton dalam Sutopo (2006:92) yaitu: (1) triangulasi data (triangulasi sumber data), dan (2) triangulasi metode (cara pengambilan data). Pada prinsipnya penerapan berbagai triangulasi ini untuk memperoleh gambaran secara komprehensif dari berbagai perspektif sehingga lebih meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Secara singkat, uraian beberapa teknik untuk pemeriksaan keabsahan/validitas data dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Triangulasi Sumber Data Triangulasi sumber data mengarahkan peneliti agar dalam pengumpulan data, peneliti wajib menggunakan beragam sumber data yang tersedia. Artinya bahwa data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda (Sutopo, 2006: 79). Dalam pelaksanaannya, data digali dari hasil mengkaji dokumen (content analysis) dan wawancara mendalam dengan informan. Wawancara mendalam
dilakukan dengan sumber data yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan data penelitian. Hal ini sesuai anjuran Sutopo bahwa teknik triangulasi sumber data dapat dilakukan dengan informan atau narasumber dari kelompok dan tingkatan yang berbeda (2006:93). Triangulasi sumber data yang memanfaatkan jenis sumber data yang berbedabeda untuk menggali data yang sejenis, disini penekanannya pada perbedaan sumber data, bukan pada teknik pengumpulan data atau yang lain (Sutopo, 2006:93). Dengan cara menggali data dari sumber yang berbeda-beda dan juga teknik pengumpulan data yang berbeda, data sejenis bisa teruji kemantapan dan kebenarannya, dan teknik ini tetap dinyatakan sebagai teknik triangulasi sumber data. (Sutopo, 2006:94). Secara sederhana, teknik triangulasi sumber data bisa digambarkan dalam skema berikut :
Informan 1 Data
Wawancara
Informan 2 Informan 3
Gambar 2 : Skema Triangulasi Sumber Data
2. Triangulasi Metode Berbeda dengan teknik triangulasi sumber data yang menggunakan beragam jenis sumber data, triangulasi metode dilakukan dengan cara mengambil data yang sama dari satu sumber dengan teknik yang berbeda-beda agar data tersebut benarbenar meyakinkan (Sutopo, 2006: 95).
Teknik ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti dengan cara mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda, dan bahkan lebih jelas untuk di usahakan mengarah pada sumber data yang sama untuk menguji kemantapan informasinya (Sutopo, 2006:95). Secara sederhana, teknik triangulasi metode dalam penelitian ini digambarkan dalam skema berikut ini : Content analysis Data T Kordinator
Dokumen /arsip Informan 1
Wawancara
Informan 2 Informan 3
Gambar 3 : Skema Triangulasi Metode
F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data model interaktif menurut Sutopo (2006:113) yaitu melalui tahapan reduksi data, sajian data, penarikan simpulan atau verifikasi. Sesuai dengan metodologi penelitian kualitatif maka analisisnya bersifat induktif jadi tidak bermaksud membuktikan prediksi peneliti. Semua simpulan dan/atau teori yang mungkin dikembangkan, dibentuk dari semua data yang diperoleh di lapangan. Menurut Sutopo (2006: 106-108) analisis yang bersifat induktif ini dilakukan melalui kegiatan: 1) analisis di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data, 2) analisis dalam bentuk interaktif, dan 3) analisis bersifat siklus. Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif ini mengikuti model analisis yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman yaitu model analisis interaktif. Pelaksanaan analisisnya dilakukan melalui tiga komponen, yaitu: 1) reduksi data, 2)
sajian data, dan 3) penarikan simpulan serta verifikasi (Miles & Huberman dalam Sutopo, 2006:113-116). Kegiatan analisis data ini dimulai dari kegiatan pengumpulan data, kemudian komponen analisis data, yaitu sebagai berikut: 1. Reduksi data : Proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi dari semua jenis informasi yang tertulis pada catatan lapangan. Proses ini akan berlangsung secara terus menerus bersamaan dengan pengumpulan data. 2. Sajian data : Proses pengorganisasian informasi dan penyusunan narasi lengkap sehingga memungkinkan diambilnya simpulan penelitian. 3. Penarikan simpulan dan verifikasi : Proses penyimpulan dari berbagai hal yang diperoleh selama pengumpulan data dan dari catatan lapangan. Simpulan ini kemudian diverifikasi kembali dengan catatan lapangan dan data dari informan LAI agar datanya cukup mantap dan dapat dipertanggungjawabkan. Model analisis interaktif di atas tidak dilakukan berurutan setelah semua data terkumpul, tetapi dilakukan secara bersamaan pada saat pengumpulan data. Kemudian masing-masing satuan data yang diperoleh juga dibandingkan sehingga terjadi interaksi antara proses pengumpulan data dan analisis data serta elemenelemen lain seperti pencatatan data, penulisan laporan sementara, dan review pertanyaan penelitian. Secara sederhana, interaksi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Pengumpulan Data (1)
(2)
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan
(3)
Gambar 4 : Proses Analisis Interaktif oleh Miles & Huberman (dalam Sutopo, 2006: 120) Analisis interaktif ini digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh di lapangan. Dalam penelitian ini, langkah-langkah dalam analisis interaktif yang dilakukan oleh penyusun adalah penyusun mengumpulkan data-data awal dari content analysis dan data-data pokok yang diperlukan dari sumber data yaitu informan LAI. Setelah data-data terkumpul, kemudian data langsung dianalisis. Ini berarti bahwa analisis data dimulai pada saat pertama kali data-data di peroleh. Dari data yang di peroleh, penyusun mengolah dan menyusun pengertian singkatnya dengan pemahaman arti segala peristiwanya yang disebut reduksi data. Kemudian, penyusun menyusun sajian data yang berupa data-data utama yang terkait dengan rumusan masalah dalam penelitian ini dan data-data pendukung lainnya. Langkah selanjutnya yaitu penyusun menarik simpulan dengan verifikasinya yang berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian datanya. Bila kesimpulan dianggap kurang mantap, maka peneliti akan menggali lagi catatan lapangan (fieldnote) atau dengan cara pengumpulan data ulang, khusus untuk data yang dianggap kurang memadai atau data yang meragukan.
Pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi akan dilakukan secara bersambung dan berlanjut dan terus dilakukan sampai diperoleh kesimpulan yang matang. Dengan demikian, apabila ternyata data yang diperoleh kurang lengkap, maka sangat dimungkinkan sekali peneliti akan melakukan wawancara ulang guna melengkapi data yang kurang tersebut untuk diverifikasikan atau disimpulkan sehingga datanya menjadi lengkap.
G. Instrumentasi Penelitian Meski berbagai alat pengumpulan data yang biasa dimungkinkan untuk digunakan sebagai kelengkapan penunjang, namun alat penelitian utamanya adalah penelitinya sendiri (human instrument). Berkaitan dengan kedudukan penyusun sebagai instrumen utama, hal ini menjadi semakin kuat karena dalam penelitian kualitatif ada keyakinan bahwa hanya manusia yang mampu menggapai dan menilai makna dari berbagai interaksi (Lincoln dan Guba, 1985 dalam Sutopo 2006: 44-45). Dalam penelitian kualitatif, bentuk semua teknik pengumpulan data dan kualitas pelaksanaan serta hasilnya sangat bergantung pada penelitinya sebagai alat pengumpulan data utamanya. Oleh karena itu, sikap kritis dan terbuka sangat penting, dan teknik pengumpulan data yang digunakan selalu yang bersifat terbuka dengan kelenturan yang luas, seperti misalnya teknik wawancara mendalam, observasi berperan, dan bila diperlukan data awal yang bersifat umum, bisa juga menggunakan kuesioner terbuka, analisis dokumen, dan diskusi kelompok terarah. Posisi peneliti sebagai alat utama pengumpulan data ini menuntut kualitas peneliti yang benar-benar memahami metodologi penelitiannya, didukung dengan
pengalaman yang cukup dalam melakukan penelitian, agar mampu menghasilkan penelitian yang bermutu. (Sutopo, 2006:45). Adapun instrumen-instrumen penelitian yang lain seperti pedoman wawancara, catatan lapangan, alat tulis menulis, kamera, alat perekam, dll dalam penelitian ini posisinya hanya sebagai alat penunjang/kelengkapan dalam pengumpulan data. Alat utamanya yaitu peneliti sendiri.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, data-data yang digunakan adalah kalimat-kalimat yang di terjemahkan dan di adaptasi dengan berbagai macam teknik penerjemahan yang akan penyusun uraikan di bagian selanjutnya dalam bab ini. Adapun teknik-teknik penerjemahan yang di gunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes yaitu addition (penambahan), alteration (pengubahan), dan omission (penghilangan). Ketiga teknik penerjemahan tersebut masih terbagi lagi atas beberapa sub teknik penerjemahan. Kalimat-kalimat yang menjadi data penelitian dikumpulkan dari buku THB on the Revelation to John sebagai bahasa sumber dan terjemahan kalimat-kalimat tersebut diambil dari buku SPPA Wahyu Kepada Yohanes sebagai bahasa sasarannya. Selain itu, data juga penyusun peroleh dari hasil mengkaji dokumen dan wawancara mendalam dengan para informan.
Dari para informan diperoleh data-data mengenai jenis problematika yang dihadapi adaptor, strategi penerjemahan, dan prosedur pengujian kualitas adaptasi adaptor dalam proses pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes melalui teknik wawancara. Datadata mengenai jenis metode penerjemahan dan teknik-teknik penerjemahan yang digunakan adaptor diperoleh penyusun dari mengkaji dokumen (content analysis). Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan jenis problematika penerjemahan teks keagamaan khususnya dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes, mendeskripsikan strategi adaptor dan teknik-teknik penerjemahan yang diterapkan, mendeskripsikan
jenis
metode
penerjemahan
yang
diterapkan
adaptor
serta
mendeskripsikan prosedur pengujian kualitas adaptasi adaptor yang dilakukan oleh Departemen Penerjemahan LAI Bogor. Oleh karena itu, agar hasil penelitian ini mudah dipahami, bab ini disajikan secara sistematis menjadi 3 sub bab, yaitu (a) deskripsi data, (b) analisis hasil penelitian, dan (c) pembahasan. A. Deskripsi Data Dari penelitian, diperoleh data bahwa terdapat dua jenis problematika yang dihadapi adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes yaitu problematika leksikal yang menyangkut kosakata dan problematika gaya dan tata bahasa. Penelitian ini menggunakan purposive sampling. Data yang digunakan secara keseluruhan berjumlah 117 data. Data ini terbagi atas 48 data yang masuk dalam kategori jenis problematika leksikal dan 69 data yang masuk dalam kategori jenis problematika gaya dan tata bahasa. Baik problematika leksikal maupun problematika gaya dan tata bahasa di terjemahkan dengan
menggunakan 3 teknik penerjemahan yaitu addition (penambahan), alteration (pengubahan), dan omission (penghilangan). Dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes, adaptor lebih banyak menggunakan teknik addition dengan jumlah 60 data. Teknik alteration digunakan adaptor dengan 45 data. Teknik omission yang paling jarang digunakan adaptor dengan jumlah 12 data. Dari ketiga jenis teknik-teknik penerjemahan (addition, alteration, dan omission), terbagi-bagi lagi menjadi sub-sub teknik penerjemahan yang digunakan adaptor baik dalam problematika leksikal maupun problematika gaya dan tata bahasa. Bentuk-bentuk dari teknik addition yang masuk kategori problematika leksikal yaitu penjelasan tambahan dalam bentuk gambar (grafis) sejumlah 18 data, amplifikasi sejumlah 5 data, penerjemahan deskriptif sejumlah 4 data, membuat usulan alternatif terjemahan 5 data, dan eksegese ayat sejumlah 2 data. Generalisasi merupakan bentuk dari teknik alteration dengan jumlah 7 data dan bentuk dari teknik omission yaitu dengan tidak menerjemahkan semua unsur-unsur bahasa sumber sejumlah 7 data. Bentuk-bentuk dari teknik addition yang masuk kategori problematika gaya dan tata bahasa adalah membuat usulan alternatif terjemahan sejumlah 5 data, eksegese ayat sejumlah 8 data, penambahan kata penghubung sejumlah 12 data, dan tambahan informasi sejumlah 1 data. Bentuk-bentuk teknik alteration yaitu simplifikasi sejumlah 4 data, kronologisasi peristiwa sejumlah 7 data, dan mengubah kalimat
pasif menjadi kalimat aktif sejumlah 27 data. Materi bahasa sumber tidak semuanya diterjemahkan merupakan bentuk dari teknik omission sejumlah 5 data. Klasifikasi jenis problematika, jenis teknik penerjemahan dan sub-sub tekniknya, serta jumlah data dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk tabel 2 berikut : Tabel 2 : Klasifikasi Persebaran Data Jenis teknik penerjemahan dan sub-sub tekniknya Additions Jml Alterations Jml Omissions Grafis 18 Generalisasi 7 Materi Bsu tidak semua Amplifikasi 5 diterjemahkan Penerjemahan 4 Deskriptif Usulan alternatif 5 Terjemahan Eksegese ayat 2 34 7 Jumlah data problematika leksikal : 34 + 7 + 7 = 48 4 Materi Bsu Gaya dan tata Usulan alternatif 5 Simplifikasi bahasa 7 tidak semua terjemahan Kronologisasi diterjemahkan Eksegese ayat 8 peristiwa 27 Penambahan 12 Mengubah kalimat pasif kata menjadi aktif penghubung 1 Tambahan
N Jenis o problematika 1 Leksikal
2
informasi
26
38
Jml 7
7 5
5
Jumlah data problematika gaya dan tata bahasa : 26 + 38 + 5 = 69 Jumlah total data : 48 + 69 = 117 data
B. Analisis Hasil Penelitian Pada bagian ini diuraikan analisis hasil penelitian. Setelah data dijajarkan antara Bsu dan Bsa, dianalisis jenis-jenis teknik penerjemahan dan sub-sub tekniknya yang digunakan dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes. Secara umum,
teknik-teknik penerjemahan yang digunakan baik dalam problematika leksikal dan problematika gaya dan tata bahasa yaitu addition (penambahan), alteration (pengubahan), dan omission (penghilangan). Teknik-teknik penerjemahan yang digunakan tersebut sesuai dengan teknik yang diusulkan oleh Nida dan Taber dalam Molina & Albir (2002) yang disebut dengan teknik penyesuaian (technique of adjustments). Dalam teknik ini di usulkan 3 jenis tipe teknik penerjemahan yaitu teknik penambahan (additions), teknik pengurangan (substractions), dan teknik pengubahan/ pergantian (alterations). Teknik omission sesuai dengan pendapat Vazquez Ayora (1977) dalam Molina & Albir (2002). Vazquez Ayora menambahkan jenis-jenis teknik penerjemahan yaitu penghilangan (ommision) yang digunakan untuk menghilangkan pengulangan sebagai karakteristik dari bahasa sasaran dan pemindahan/pembalikan (Displacement and Inversion) yang digunakan ketika ada dua unsur yang berganti posisi. Teknik addition dan omission juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Delisle (1993) dalam Molina & Albir (2002). Delisle (1993) menganjurkan tiga jenis teknik penerjemahan yaitu penambahan dan penghilangan (addition and ommision), parafrase, dan discursive creation. Teknik penambahan dikenalkan untuk ketidaktepatan unsur stilistika yang
dan informasi yang tidak ditemukan dalam
bahasa sumber, sedangkan penghilangan adalah penghilangan unsur-unsur yang tidak tepat dalam bahasa sumber.
1. Analisis jenis teknik penerjemahan dan sub-sub teknik yang masuk kategori problematika leksikal Sebagaimana telah disebutkan pada bagian deskripsi data, terdapat 48 data yang masuk dalam kategori problematika leksikal. Ke-48 data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu addition dengan jumlah 34 data, alteration dengan jumlah 7 data dan omission dengan jumlah 7 data. Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu penjelasan tambahan berupa grafis (gambar) sejumlah 18 data, amplifikasi sejumlah 5 data, penerjemahan deskriptif sejumlah 4 data, membuat usulan alternatif terjemahan sejumlah 5 data, dan eksegese ayat sejumlah 2 data. Generalisasi merupakan bentuk dari teknik alteration dengan jumlah 7 data dan materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan merupakan bentuk dari teknik omission dengan jumlah 7 data. Ke-48 data tersebut dapat di bahas menjadi seperti berikut : a. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk penjelasan tambahan berupa grafis (gambar) dalam bahasa sasaran Penjelasan tambahan dalam bentuk gambar (grafis) maupun fungsinya menjadi salah satu teknik penerjemahan yang diusulkan oleh Hoed (2006) dan Molina & Albir (2002) yang keduanya sama-sama menyatakan bahwa penjelasan tambahan diperlukan dalam Bsa agar suatu konsep Bsu lebih mudah dipahami. Penjelasan tambahan dapat berupa grafis (gambar) maupun non grafis (kalimat-kalimat). Bentuk penjelasan tambahan dalam problematika leksikal
yaitu penjelasan tambahan grafis sejumlah 18 data seperti disebutkan dalam deskripsi data. Terjemahan dengan menggunakan teknik penerjemahan addition dalam bentuk penjelasan tambahan grafis (gambar) dalam bahasa sasaran dapat dilihat pada terjemahan berikut : 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/11:4 Bsu : The two olive trees: the way in which this is stated makes it clear that it refers to Zechariah 4:1-14, where the olive trees, on either side of the lamp stands, are the two men chosen and anointed by God to serve him, the Lord of the whole earth. Where olive trees are unknown, some decisions must be made about how to represent olive trees, olives, and olive oil, all of which appear frequently in the Bible. Because of the importance of the olive tree in the Palestinian cultures, it will be well for the translators in cultures where these trees are unknown to say something like ‘tree named olive”. Bsa : Kedua pohon zaitun menunjukkan cara penyampaian bagian ini yang memiliki hubungan dengan Zakharia 4:1-14 yang mengatakan bahwa kedua pohon zaitun yang berada di sebelah kanan dan kiri kaki lampu, adalah dua orang yang dipilih oleh Allah untuk melayani-Nya. Di Palestina pohon zaitun sangat penting. Hal ini dinyatakan dengan sering munculnya kata pohon zaitun, buah zaitun, maupun minyak zaitun dalam Alkitab. Oleh karena itu, penerjemah harus mencari ungkapan yang cocok untuk menerjemahkannya. Buah zaitun yang masak kira-kira mengandung 30 % minyak. Itulah sebabnya dalam bahasa Ibrani, pohon zaitun juga disebut dengan pohon minyak atau pohon gemuk, karena pohon zaitun merupakan salah satu sumber minyak orang Palestina. Jadi penerjemah boleh memakai istilah pohon minyak zaitun atau pohon minyak. Dalam bahasa yang tidak mengenal pohon zaitun, hendaknya dicantumkan gambar pohon zaitun di dekat ayat ini dan keterangannya dalam kamus Alkitab.
Gambar 5 : Pohon Zaitun dan buahnya Dari terjemahan tersebut, secara makna konsep pohon zaitun sudah tersampaikan dalam bahasa sasaran. Namun adaptor menggunakan teknik penjelasan tambahan berupa grafis (gambar) dengan cara memberikan gambar pohon zaitun dalam bahasa sasaran untuk memperjelas konsep pohon zaitun. Pemberian penjelasan tambahan berupa gambar sangat membantu pemahaman pembaca terhadap suatu konsep tertentu. Terjemahan dengan dibantu oleh penjelasan tambahan berupa grafis (gambar) dalam bahasa sasaran sejumlah 18 data dengan nomor kode data sebagai berikut :
Tabel 3 : Penjelasan Tambahan Grafis No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kode 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/11:4 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/1:13 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/1:4-5a 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/4:6b-7 05/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/5:1 06/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/5:8 07/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/6:5 08/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/8:2 09/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/9:3
10 11 12 13 14 15 16 17 18
10/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/9:9 11/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/9:13 12/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/11:1 13/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/11:2 14/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/13:2 15/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/13:3 16/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/14:18 17/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/14:19 18/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/16:13
b. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk amplifikasi Amplifikasi menjadi salah satu teknik penerjemahan yang diusulkan oleh Molina & Albir (2002) dari 18 teknik yang ada dan cara yang digunakan dalam teknik ini adalah mengungkapkan detail pesan secara eksplisit atau memparafrasekan suatu informasi yang implisit dari Bsu ke dalam Bsa. Terjemahan dengan menggunakan teknik addition dalam bentuk amplifikasi dapat dilihat pada contoh berikut : 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/11:4 Bsu : The two olive trees: the way in which this is stated makes it clear that it refers to Zechariah 4:1-14, where the olive trees, on either side of the lamp stands, are the two men chosen and anointed by God to serve him, the Lord of the whole earth. Where olive trees are unknown, some decisions must be made about how to represent olive trees, olives, and olive oil, all of which appear frequently in the Bible. Because of the importance of the olive tree in the Palestinian cultures, it will be well for the translators in cultures where these trees are unknown to say something like ‘tree named olive”. Bsa : Kedua pohon zaitun menunjukkan cara penyampaian bagian ini yang memiliki hubungan dengan Zakharia 4:1-14 yang mengatakan bahwa kedua pohon zaitun yang berada di sebelah kanan dan kiri kaki lampu, adalah dua orang yang dipilih oleh Allah untuk melayani-Nya. Di Palestina pohon zaitun sangat penting. Hal ini dinyatakan dengan sering munculnya kata pohon zaitun, buah zaitun, maupun minyak zaitun dalam Alkitab. Oleh karena itu, penerjemah harus mencari ungkapan yang cocok untuk menerjemahkannya. Buah zaitun yang masak kira-kira mengandung 30 % minyak. Itulah
sebabnya dalam bahasa Ibrani, pohon zaitun juga disebut dengan pohon minyak atau pohon gemuk, karena pohon zaitun merupakan salah satu sumber minyak orang Palestina. Jadi penerjemah boleh memakai istilah pohon minyak zaitun atau pohon minyak. Dari contoh terjemahan tersebut, pohon zaitun dalam bahasa sumber hanya dijelaskan secara implisit. Oleh karena itu, adaptor mengungkapkan secara detail informasi mengenai pohon zaitun secara eksplisit dalam bahasa sasaran. Dalam contoh di atas, kalimat yang dicetak tebal merupakan amplifikasi adaptor yang tidak ada dalam bahasa sumber. Terjemahan dengan teknik addition dalam bentuk amplifikasi sejumlah 5 data dengan nomor kode sebagai berikut : Tabel 4 : Penjelasan Tambahan Non Grafis Bentuk Amplifikasi No 1 2 3 4 5
Kode 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/11:4 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/6:12 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/5:1 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/7: 9 05/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/5:6
c. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk penerjemahan deskriptif Penerjemahan deskriptif menjadi salah satu teknik penerjemahan yang ditawarkan oleh Hoed (2006) yang dapat dilakukan jika suatu konsep dalam Bsu tidak atau belum mempunyai padanan kata dalam Bsa-nya. Suatu konsep akan diterjemahkan dengan bentuk uraian yang berisi makna kata yang bersangkutan. Terjemahan dengan menggunakan teknik penerjemahan deskriptif dapat dilihat pada contoh berikut : 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/6:12
Bsu : There was great earthquake: Earthquakes are frequently one of the great events marking the end of the age (see Isa 29.6; Joel 2.10; Hag 2.6; Mark 13.8). They are caused by God as prelude to the Last Judgment. In some languages that have no specific word for earthquake, an explanation of it would help the reader. Bsa : Terjadilah gempa bumi yang dahsyat : Salah satu tanda akhir zaman yang sering disebut dalam Alkitab adalah gempa bumi (Yes 29:6, YL 2:10, Hag, 2:6, Markus 13:8). Allah mengadakan gempa bumi sebagai tanda yang mendahului Hari Kiamat. Dalam bahasa tertentu yang tidak memiliki istilah khusus untuk gempa bumi, terjemahannya dapat menjadi “bumi berguncang dengan dahsyat” atau “tanah berguncang dengan dahsyat” Dalam contoh di atas, adaptor melakukan teknik penerjemahan deskriptif pada kata gempa bumi yang dalam bahasa sumber tidak dijelaskan secara rinci. Adaptor mempertimbangkan untuk memberikan penjelasan tambahan berupa deskripsi dari gempa bumi untuk mengantisipasi jikalau mungkin konsep gempa bumi tidak dikenal dalam bahasa sasaran. Kalimat yang dicetak tebal dalam bahasa sasaran merupakan penerjemahan deskriptif adaptor. Terjemahan dengan menggunakan teknik penerjemahan deskriptif sejumlah 4 data dengan nomor kode sebagai berikut : Tabel 5 : Penjelasan Tambahan Non Grafis Bentuk Penerjemahan Deskriptif No 1 2 3 4
Kode 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/6:12 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/5:1 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/4:6 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/17:4
d. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk membuat usulan alternatif terjemahan dalam bahasa sasaran
Adaptor membuat usulan alternatif terjemahan pembanding untuk penerjemah lokal agar makna bahasa sumber lebih mudah dipahami. Contoh usulan alternatif terjemahan yang diusulkan adaptor yaitu : 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/6:13 Bsu : The stars of the sky fell to the earth as the fig tree sheds its winter fruit when shaken by a gale: stars falling to the earth is another of the great events marking the end (Mark 13:25). The sky is violently shaken, and the stars fall out of the sky. In some languages, one must indicate where the stars fall from; for example, “the stars fell down from the sky to the earth like…” The stars fall like unripe figs fall from the tree when it is shaken by a strong wind. The figure John uses to explain this great event is that of unripe figs, which grow in the winter and usually fall off in the spring. Bsa : Bintang-bintang dilangit berjatuhan ke atas bumi bagaikan pohon ara menggugurkan buah-buahnya yang mentah, apabila ia diguncang angin yang kencang : Bintang-bintang berjatuhan ke atas bumi merupakan peristiwa besar lainnya yang menandai akhir zaman (Markus 13:25). Langit berguncang dengan dahsyatnya dan bintang berjatuhan dari langit. Dalam bahasa tertentu perlu dijelaskan darimana bintang-bintang itu jatuh, sehingga terjemahannya menjadi ”bintang-bintang berjatuhan dari langit ke bumi...”. Bagaikan pohon ara menggugurkan buah-buahnya yang mentah : Gambaran yang dipakai Yohanes untuk menjelaskan tentang peristiwa besar pada akhir zaman itu adalah buah-buahnya yang mentah, sedangkan jenis buah-buahnya dalam hal ini buah ara, tidaklah penting. Jadi dalam bahasa yang tidak mengenal sama sekali buah ara, terjemahannya dapat menjadi ”buah yang masih hijau (atau yang masih mentah) jatuh dari pohonnya”. Usulan Alternatif Terjemahan dari ayat ini adalah ”bintang-bintang berguguran dari langit seperti buah pohon ara yang masih mentah jatuh dari pohonnya ketika diguncang oleh angin ribut” Adaptor membuat usulan alternatif terjemahan sebagai pembanding terjemahan yang baru bagi para penerjemah lokal agar di dapat pemahaman yang lebih mengenai terjemahan ayat tertentu.
Terdapat 5 data terjemahan dengan cara membuat usulan alternatif terjemahan dalam bahasa sasaran dengan nomor kode sebagai berikut : Tabel 6 : Penjelasan Tambahan Non Grafis Bentuk Usulan Alternatif Terjemahan No 1 2 3 4 5
Kode 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/6:13 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/7: 9 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/11:4 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/5: 6 05/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/5:1
e. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk eksegese ayat Eksegesis berasal dari kata Yunani “exegeomai” dan dalam bahasa Inggris “exegesis”, dan dalam bahasa Belanda ‘exegese”) yang artinya menafsir,
membuka,
menyingkapkan,
membongkar,
menampakkan,
menjelaskan arti yang disampaikan penulis kepada pembaca/pendengar mulamula sesuai dengan keadaan waktu itu, dan sesuai dengan tujuan aslinya. Eksegesis merupakan cara yang sistematis bagi penafsir yang berhatihati untuk memperoleh arti yang sesuai dengan maksud penulis mula-mula, dan mencegah arti yang salah dan tafsiran yang membabi buta. (Daud Soesilo, 2001:101). Terjemahan dengan teknik eksegese ayat dapat dilihat pada contoh berikut : 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Eks/5:6 Bsu : I saw a Lamb standing, as though it had been slain: RSV, TEV, and others capitalize Lamb, indicating thereby that it is a title, but it may be
better to say “a lamb”. In languages that have two different terms for male and female lambs, here and elsewhere in Revelation the male form should be used, and in certain languages ‘lamb” will be translated as “male child of a sheep”. In culture where sheep exist but don’t have the economic and religious significance that they had in Palestine, it will be helpful to give a detailed description of sheep in a glossary item for the reader. Bsa : Seekor Anak Domba seperti telah disembelih, penulisan Anak Domba dengan huruf besar ini menunjukkan bahwa istilah ini adalah gelar, tetapi bisa juga ditulis dengan huruf kecil “anak domba”. Dalam bahasa dimana domba jantan dan domba betina dibedakan penyebutannya, terjemahannya menjadi “anak domba jantan” . Kalau di Palestina, domba dikenal sebagai binatang kurban dalam upacara keagamaan, dalam kebudayaan lain mungkin tidak demikian halnya. Untuk hal ini penerjemah dapat memberikan keterangan yang terperinci tentang anak domba di dalam catatan kaki atau daftar katakata sulit (Kamus Alkitab). Kata Anak Domba disini melambangkan diri Kristus. Disembelih merujuk kepada ”penyaliban”. Mengeksegese ayat bahasa sumber berarti adaptor menggali arti atau makna yang sesungguhnya dibalik makna atau teks yang masih sulit di pahami dalam bahasa sumber. Dalam contoh ayat di atas, kata Anak Domba dalam bahasa sumber tidak dijelaskan makna denotasinya, tetapi yang muncul adalah makna konotasinya, sehingga kalau ayat tersebut tidak di eksegese, maka makna kata Anak Domba akan kabur maknanya dalam bahasa sasaran. Anak domba disini merujuk kepada diri Kristus. Terjemahan dengan penjelasan tambahan dalam bentuk mengeksegese ayat bahasa sumber sejumlah 2 data dengan nomor kode sebagai berikut : Tabel 7 : Penjelasan Tambahan Non Grafis Bentuk Eksegese Ayat No Kode 1 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Eks/5:6 2 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Eks/6:11
f. Teknik penerjemahan alteration dalam bentuk generalisasi Teknik penerjemahan generalisasi merupakan salah satu dari 18 teknik yang di usulkan oleh Molina & Albir (2002) yang dilakukan dengan merubah istilah asing yang bersifat khusus menjadi istilah yang lebih dikenal umum dan netral dalam Bsa. Terjemahan dengan teknik generalisasi dapat dilihat pada contoh berikut : 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/9:17 Bsu : The color of fire and of sapphire and of sulphur: That is red, blue, and yellow (see TEV). The sapphire is a precious stone, usually dark blue. Sulfur is a yellow substance that burns with great heat and produces an unpleasant smell Bsa : Merah api dan biru dan kuning belerang warnanya bisa juga diterjemahkan menjadi ”merah menyala, biru seperti bunga bakung, dan kuning seperti belerang” atau mengikuti BIS. Belerang adalah unsur berwarna kuning yang dibakar pada suhu yang tinggi dan menyebarkan bau yang tidak sedap. Jika dalam bahasa penerima, tidak ada kata belerang, terjemahannya bisa menjadi ”kuning” saja. Tetapi karena belerang khususnya muncul juga pada ayat 18, penjelasan tentang belerang dapat dimasukkan ke dalam Kamus Alkitab. Pada contoh ayat di atas, penekanannya bukan di belerangnya, tetapi warna kuningnya. belerang berwarna kuning, sehingga di pakailah belerang. Jika belerang tidak dikenal dalam bahasa sasaran, cukup warna kuning saja (seperti saran dalam Bsa di atas). Adapun terjemahan dengan teknik alteration dalam bentuk generalisasi sejumlah 7 data dengan nomor kode sebagai berikut : Tabel 8 : Teknik Alteration Bentuk Generalisasi No
Kode
1 2 3 4 5 6 7
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/9:17 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/7: 9 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/6:13 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/14:20 05/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/6:11 06/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/18:21 07/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/6:6
g. Teknik penerjemahan omission dalam bentuk materi bahasa sumber tidak semuanya diterjemahkan dalam bahasa sasaran. Teknik omission sesuai dengan pendapat Vazquez Ayora (1977) dalam Molina & Albir (2002). Vazquez Ayora menyatakan bahwa terdapat 2 jenis teknik penerjemahan yaitu penghilangan (ommision) yang digunakan untuk menghilangkan pengulangan sebagai karakteristik dari bahasa sasaran dan pemindahan/pembalikan (Displacement and Inversion) yang digunakan ketika ada dua unsur yang berganti posisi. Sejalan dengan Vazquez Ayora (1977), Delisle (1993) dalam Molina & Albir (2002) menganjurkan tiga jenis teknik penerjemahan yaitu penambahan dan penghilangan (addition and ommision), parafrase, dan discursive creation. Teknik penambahan dikenalkan untuk ketidaktepatan unsur stilistika yang dan informasi yang tidak ditemukan dalam bahasa sumber, sedangkan penghilangan adalah penghilangan unsur-unsur yang tidak tepat dalam bahasa sumber. Terjemahan
yang
mengandung
unsur
penghilangan
(omission)
mempunyai 2 tujuan yaitu untuk menghilangkan pengulangan sebagai karakteristik dari bahasa sasaran dan penghilangan unsur-unsur yang tidak
tepat dalam bahasa sumber sesuai dengan pendapat kedua ahli tersebut. Terjemahan dengan teknik omission dapat dilihat pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/6:13 Bsu : The stars of the sky fell to the earth as the fig tree sheds its winter fruit when shaken by a gale: stars falling to the earth is another of the great events marking the end (Mark 13:25). The sky is violently shaken, and the stars fall out of the sky. In some languages, one must indicate where the stars fall from; for example, “the stars fell down from the sky to the earth like…” The stars fall like unripe figs fall from the tree when it is shaken by a strong wind. The figure John uses to explain this great event is that of unripe figs, which grow in the winter and usually fall off in the spring. Bsa : Bintang-bintang dilangit berjatuhan ke atas bumi bagaikan pohon ara menggugurkan buah-buahnya yang mentah, apabila ia diguncang angin yang kencang : Bintang-bintang berjatuhan ke atas bumi merupakan peristiwa besar lainnya yang menandai akhir zaman (Markus 13:25). Langit berguncang dengan dahsyatnya dan bintang berjatuhan dari langit. Dalam bahasa tertentu perlu dijelaskan darimana bintang-bintang itu jatuh, sehingga terjemahannya menjadi ”bintang-bintang berjatuhan dari langit ke bumi...”. Terkadang tidak semua informasi dalam bahasa sumber semuanya di terjemahkan adaptor. Dalam contoh ayat di atas, yang di cetak tebal dan miring dalam teks sumber tidak diterjemahkan. Hal ini karena adaptor menyesuiakan dengan konteks musim di bahasa penerima. Teknik omissions dilakukan karena tidak semua informasi dalam teks bahasa sumber relevan untuk diterjemahkan dalam bahasa sasaran. Adapun terjemahan dengan teknik omission sejumlah 7 data dengan nomor kode sebagai berikut :
Tabel 9 : Teknik Ommisions No 1 2 3 4 5 6 7
Kode 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/6:13 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/7:9 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/14:20 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/6:6 05/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/1:12 06/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/2:10 07/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/11:1
2. Analisis jenis teknik penerjemahan dan sub-sub teknik yang masuk kategori problematika gaya dan tata bahasa Sebagaimana telah disebutkan pada bagian deskripsi data, terdapat 69 data yang masuk dalam kategori problematika gaya dan tata bahasa. Ke-69 data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu addition dengan jumlah 26 data, alteration dengan jumlah 38 data dan omission dengan jumlah 5 data. Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu membuat usulan alternatif terjemahan sejumlah 5 data, eksegese ayat sejumlah 8 data, penambahan kata penghubung sejumlah 12 data, dan tambahan informasi sejumlah 1 data. Bentuk-bentuk dari teknik alterations yaitu simplifikasi sejumlah 4 data, kronologisasi peristiwa sejumlah 7 data, dan mengubah kalimat pasif Bsu menjadi kalimat aktif dalam Bsa sejumlah 27 data. Materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan merupakan bentuk dari teknik omission dengan jumlah 5 data. Ke-69 data tersebut dapat di bahas menjadi seperti berikut :
a. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk membuat usulan alternatif terjemahan Adaptor membuat usulan alternatif terjemahan pembanding untuk penerjemah lokal agar makna bahasa sumber lebih mudah dipahami. Contoh usulan alternatif terjemahan yang diusulkan adaptor yaitu : 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/10:6 Bsu : Created heaven...the earth...and the sea: This means the whole universe. The addition in each case of and what is in it (see also 12:12) is meant to emphasize that everything that exists, animate and inanimate, was all created by God (see 14:7) Bsa : Menciptakan langit...bumi...dan laut...maksudnya adalah seluruh dunia. Tambahan dan segala isinya menekankan bahwa segala sesuatu yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa, diciptakan oleh Allah (lihat 12:12 dan 14:7). Usulan Alternatif Terjemahan: Dan ia berkata dengan khidmat memakai nama Allah yang hidup selamanya, yang menciptakan seluruh alam semesta, bahwa ucapannya benar. Katanya, ” Allah tidak akan menunda lagi untuk melaksanakan apa yang telah Ia rencanakan”. Adaptor membuat usulan alternatif terjemahan sebagai terjemahan pembanding untuk memberikan pemahaman yang lebih kepada pembaca dan biasanya dilakukan untuk memperjelas makna suatu konsep dalam bahasa sasaran. Pada contoh ayat di atas, kalimat ”...yang telah menciptakan langit dan segala isinya, dan bumi dan segala isinya, dan laut segala isinya” dalam bahasa sumber di usulkan diganti dengan “….yang menciptakan seluruh alam semesta” dalam bahasa sasaran.
Adapun terjemahan dengan menggunakan teknik membuat usulan alternatif terjemahan yang lainnya sejumlah 5 data dengan nomor kode sebagai berikut : Tabel 10 : Penjelasan Tambahan Bentuk Usulan Alternatif Terjemahan No 1 2 3 4 5
Kode 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/10:6 02/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/6:11 03/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/11:2 04/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/9:5 05/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/9:3
b. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk eksegese ayat Eksegesis berasal dari kata Yunani “exegeomai” dan dalam bahasa Inggris “exegesis”, dan dalam bahasa Belanda ‘exegese”) yang artinya menafsir,
membuka,
menyingkapkan,
membongkar,
menampakkan,
menjelaskan arti yang disampaikan penulis kepada pembaca/pendengar mulamula sesuai dengan keadaan waktu itu, dan sesuai dengan tujuan aslinya. Eksegesis merupakan cara yang sistematis bagi penafsir yang berhati-hati untuk memperoleh arti yang sesuai dengan maksud penulis mula-mula, dan mencegah arti yang salah dan tafsiran yang membabi buta. (Daud Soesilo, 2001:101). Terjemahan dengan teknik eksegese ayat dapat dilihat pada contoh berikut : 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/6:11 Bsu : And told: Again the passive form is a way of referring to God or to an angel. In languages that do not use the passive form, one may render these first two clauses as “God or angel gave each of them a white robe and instructed them (told them)…”
Bsa: Kepada mereka dikatakan: Disini juga ungkapan pasif yang menunjukkan Allah atau malaikat sebagai pelakunya. Dalam bahasa yang tidak mengenal bentuk pasif, bagian awal kalimat ini bisa diterjemahkan menjadi “Allah memberikan jubah putih kepada mereka masing-masing dan berkata…” Adaptor perlu mengeksegese ayat ini untuk menentukan lebih lanjut siapa yang menjadi pelaku atau subyek (Allah atau malaikat). Dalam teks sumber juga belum jelas siapa pelaku sebenarnya.
Setelah dilakukan
eksegesis, Allah lah yang menjadi pelakunya. Keterkaitan dengan ayat sebelum dan sesudah ayat tersebbut yang menunjukan Allah sebagai pelakunya. Terjemahan dengan menggunakan teknik eksegese ayat ada 8 data dengan nomor kode sebagai berikut : Tabel 11 : Penjelasan Tambahan Bentuk Eksegese No 1 2 3 4 5 6 7 8 c. Teknik
Kode 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/6:11a 02/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/6:11b 03/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/14:12 04/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/14:20 05/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/2:26 06/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/1:19 07/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/18:14 08/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/9:3
penerjemahan addition
dalam
bentuk penambahan
kata
penghubung Penambahan kata penghubung bisa dikategorikan kedalam salah satu teknik penjelasan tambahan dari Hoed (2006) yang berfungsi menperjelas konsep Bsu dalam Bsa agar mudah dipahami. Terjemahan dalam bentuk penambahan kata penghubung dapat dilihat pada contoh berikut : 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/1:6
Bsu : And made us a kingdom, priests to his God and Father: The literal rendition of RSV makes for an unnatural sentence in English. The meaning is better brought out by TEV “a kingdom of priests. “The kingdom established by God and Christ, in which the followers of Christ serve as priests (see Exo19:6 “and you shall be to me a kingdom of priests and a holy nation”, and in 1 Peter 2:9 “a royal priesthood, a holy nation” reflects the Greek Septuagint translation of Exo 19:6). Bsa : Yesus juga membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imamimam bagi Allah, Bapa-Nya. Kerajaan itu didirikan oleh Allah dan Kristus, dan para pengikut Kristus melayani sebagai imam-imam (lihat Kel 19:6 yaitu ”Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus” dan I Petrus 2:9 ”...imamat yang rajani, bangsa yang kudus”). Terjemahan harfiah seperti TB memang kurang wajar, dalam hal ini terjemahan BIS lebih wajar dan jelas : menjadikan kita suatu bangsa khusus imam-imam yang melayani Allah, Bapa-Nya. Kadangkala dua kata atau ungkapan muncul bersamaan tanpa memakai kata penghubung diantaranya. Dalam kasus seperti ini, kata atau ungkapan pada urutan kedua berfungsi untuk menjelaskan kata atau ungkapan yang pertama. Jadi, ”Membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah”, Mungkin maksudnya ialah ”Membuat kita menjadi suatu kerajaan imam-imam yang melayani Allah”. Adapun terjemahan dengan menggunakan teknik penambahan kata penghubung sejumlah 12 data dengan nomor data sebagai berikut : Tabel 12 : Penambahan Kata Penghubung No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kode 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/1:6 02/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/5:10 03/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/20:6 04/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/10:7 05/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/2:13 06/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/2:14 07/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/10:7 08/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/11:18
9 10 11 12
09/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/13:6 10/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/14:3 11/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/17:17 12/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/20:8
d. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk tambahan informasi Tambahan informasi juga merupakan salah satu teknik addition dalam bentuk penjelasan tambahan yang ditawarkan oleh Hoed (2006) agar konsep Bsu lebih mudah di pahami. Terjemahan dalam bentuk tambahan informasi dapat dilihat pada contoh berikut : 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/TI/6:2 Bsu : The passive was given implies that God, or an angel, gave him the crown of a king. However, since it is not certain who the agent is. In languages that do not have the passive, it will be possible to say “he received a crown” or “…a chief’s hat” Bsa : Kepadanya dikaruniakan sebuah mahkota: Sebagaimana dalam 4:4, 10, mahkota adalah lambang dari wibawa dan kekuasaan. Penunggang kuda itu dimahkotai jadi raja. Bentuk pasif dikaruniakan secara tidak langsung mengatakan bahwa Allah atau malaikat memberi dia mahkota seorang raja. Tetapi karena tidak pasti siapa yang mengaruniakannya, penerjemah tidak perlu menyebutkannya dalam terjemahan. Kalau pernyataan ini harus diterjemahkan dalam bentuk aktif, maka sebaiknya terjemahannya menjadi ”ia menerima sebuah mahkota” atau ”ia menerima topi kepemimpinan”. Adaptor menambahkan informasi mengenai mahkota (4:4, 10) yang dicetak tebal dalam adaptasi yang tidak ada dalam teks sumber untuk memperjelas konsep mahkota. e. Teknik penerjemahan alteration dalam bentuk simplifikasi Simplifikasi bisa dikaitkan dengan salah satu teknik penerjemahan yang di usulkan Molina & Albir (2002) yang disebut dengan teknik reduction. Hal ini karena simplifikasi merupakan penyederhanaan kalimat Bsu dalam Bsa dan
reduction
juga
mempunyai
tujuan
yang
sama
yaitu
memadatkan/menyederhanakan kalimat Bsu dalam Bsa. Terjemahan dengan teknik alteration dalam bentuk simplifikasi dapat dilihat pada contoh berikut : 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Simpl/19:18 Bsu : The flesh of kings….of captains…of mighty men Bsa : Daging semua : Mungkin tidak perlu disebutkan berulang kali dalam terjemahan, cukup misalnya” daging semua raja dan panglima dan…”. Ada banyak ayat dalam bahasa sumber menggunakan pengulangan, sehingga
membosankan
pembacanya.
Adaptor
menggunakan
teknik
penerjemahan simplifikasi dengan cara menyederhanakan kalimat perulangan dalam bahasa sasaran agar kalimatnya lebih sederhana seperti dalam adaptasinya (yang dicetak tebal). Adapun penerjemahan dengan teknik simplifikasi sejumlah 4 data dengan nomor data sebagai berikut : Tabel 13 : Teknik Simplifikasi No 1 2 3 4
Kode 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Simpl/19:18 02/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Simpl/10:6 03/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Simpl/11:5 04/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Simpl/12:9
f. Teknik penerjemahan alteration dalam bentuk kronologisasi peristiwa Kronologisasi peristiwa merupakan teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara membalik susunan peristiwa Bsu dalam Bsa agar mudah dipahami urut-urutan kejadian yang maksud Bsu.
Teknik ini dapat dikategorikan ke dalam teknik pemindahan/pembalikan (displacement and inversion) yang diusulkan oleh Vazquez Ayora (1977) dalam Molina & Albir (2002). Pemindahan/pembalikan dapat dilakukan jika ada dua unsur yang berganti posisi. Kronoligisasi peristiwa merupakan teknik pembalikan (displacement). Terjemahan dengan cara pembalikan susunan peristiwa dapat dilihat pada contoh berikut : 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/10:9 Bsu : It will be bitter to your stomach, but sweet as honey in your mouth: For a similar situation, see Ezek 2.8-3:3. The Greek text uses the verb “to make bitter”, “to embitter” (as in 8:11). This may be represented by “sour” or “acid”. Bsa : Ia akan membuatmu terasa pahit, tetapi di dalam mulutmu, ia akan terasa manis seperti madu : Bandingkan dengan Yeh 2:8-3:3, mengenai keadaan seperti ini. Terasa pahit dalam bahasa Yunaninya secara harfiah berarti ”membuat pahit” atau ”memahitkan” seperti dalam 8:11. Urutan kejadiannya yang benar adalah ”manis seperti madu di dalam mulutmu, tetapi terasa pahit dalam perutmu”, seperti dalam ayat berikutnya (ayat 10) Adaptor perlu berhati-hati menerjemahkan kalimat yang mungkin susunan peristiwanya terbalik, karena hal itu mungkin akan membingungkan pembacanya, sehingga diupayakan untuk menyusun urutan terjadinya persitiwa dalam susunan yang benar dalam adaptasi. Terjemahan dengan teknik kronologisasi peristiwa sejumlah 7 data dengan nomor kode data sebagai berikut : Tabel 14 : Teknik Displacement No 1 2 3 4
Kode 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/10:9 02/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/8:11 03/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/5:2 04/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/5:5
5 6 7
05/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/10:4 06/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/22:14 07/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/22:19
g. Teknik penerjemahan alteration dalam bentuk mengubah kalimat pasif Bsu menjadi kalimat aktif dalam Bsa Mengubah kalimat pasif dalam Bsu menjadi kalimat aktif dalam Bsa juga masuk dalam teknik pemindahan/pembalikan (displacement and inversion) yang diusulkan oleh Vazquez Ayora (1977) dalam Molina & Albir (2002). Pemindahan/pembalikan dapat dilakukan jika ada dua unsur yang berganti posisi. Mengubah kalimat pasif dalam Bsu menjadi kalimat aktif dalam Bsa merupakan teknik pemindahan (inversion). Terjemahan dengan teknik mengubah kalimat pasif Bsu menjadi kalimat aktif dalam Bsa dapat dilihat pada contoh berikut : 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/14:20 Bsu : The wine press was trodden: This means, of course, that the grapes in the wine press were trampled on. Again the passive form of the verb is used. Given the fact that this is a figure of the punishment of the wicked, it would be very difficult to try to identify the ones who were treading on the grapes. But if a subject is required, one may use an unknown subject (agent) and change to the active form. Bsa : Buah-buah anggur itu dikilang: Bentuk pasif dikilang di sini tidak jelas siapa pelakunya; jika dalam bahasa penerima harus disebutkan siapa pelakunya, terjemahannya mungkin menjadi “mereka (malaikat-malaikat) mengilang anggur itu” Bentuk dikilang dalam bahasa sumber di ubah menjadi mengilang dalam bahasa sasaran untuk mengantisipasi tidak dikenalnya bentuk pasif seperti bahasa-bahasa di Indonesia bagian timur.
Pengubahan kalimat pasif menjadi kalimat aktif memunculkan masalah tersendiri karena adaptor perlu mengetahui dengan jelas siapa subyek dan obyeknya (dalam teks bahasa sumber, terkadang tidak jelas siapa subyek dan obyeknya) sehingga cara yang ditempuh adaptor dulu yaitu mengeksege ayat bahasa sumber, baru mengubahnya dari kalimat pasif menjadi kalimat aktif. Terjemahan dengan teknik mengubah kalimat pasif Bsu menjadi kalimat aktif dalam Bsa sejumlah 27 data dengan nomor kode sebagai berikut :
Tabel 15 : Teknik Inversion No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kode 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/6:11 02/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/12:5 03/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/12:9 04/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/14:1 05/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/6:2 06/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/4b 07/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/11 08/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/8:2 09/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/3 10/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/9:1 11/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/11:1 12/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/12:4 13/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/13:5a 14/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/6:8 15/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/9:3 16/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/13:5b 17/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/7b 18/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/13:14 19/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/20:4 20/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/11:2 21/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/6:4a 22/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/7:2 23/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/9:5 24/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/13:7a 25/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/15:8 26/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/16:8
27
27/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/19:8
h. Teknik penerjemahan omission dalam bentuk tidak semua unsur bahasa sumber diterjemahkan Teknik omission sesuai dengan pendapat Vazquez Ayora (1977) dalam Molina & Albir (2002). Vazquez Ayora menyatakan bahwa terdapat 2 jenis teknik penerjemahan yaitu penghilangan (ommision) yang digunakan untuk menghilangkan pengulangan sebagai karakteristik dari bahasa sasaran dan pemindahan/pembalikan (Displacement and Inversion) yang digunakan ketika ada dua unsur yang berganti posisi. Sejalan dengan Vazquez Ayora (1977), Delisle (1993) dalam Molina & Albir (2002) menganjurkan tiga jenis teknik penerjemahan yaitu penambahan dan penghilangan (addition and ommision), parafrase, dan discursive creation. Teknik penambahan dikenalkan untuk ketidaktepatan unsur stilistika yang dan informasi
yang
tidak
ditemukan
dalam
bahasa
sumber,
sedangkan
penghilangan adalah penghilangan unsur-unsur yang tidak tepat dalam bahasa sumber. Terjemahan
yang
mengandung
unsur
penghilangan
(omission)
mempunyai 2 tujuan yaitu untuk menghilangkan pengulangan sebagai karakteristik dari bahasa sasaran dan penghilangan unsur-unsur yang tidak tepat dalam bahasa sumber sesuai dengan pendapat kedua ahli tersebut. Terjemahan dengan teknik omission dapat dilihat pada contoh berikut : 01/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/1:19 Bsu : The command is the same as the one in verse 11, and it will be helpful in certain languages to say “write in the book (record) the things…” or “you
must write in the book the things…” The direct object what you see included everything John will see and then record in the book. The two clauses that follow are not additional items but define explicitly the nature of what John will see: things present and things future, “both that which is happening now as well as that which will happen afterward” (FRCL; similarly SPCL, TEV) NJB shortens and combines the three into two: “Now write down all that you see of present happening and what is still to come”. The auxiliary verb “will” in “that will happen afterward” (TEV) translates a Greek verb that at times seems to express divine authority. The Arndt and Gingrich Lexicon define this use of it as follows “concerning at action that necessarily follows a divine decree, is destined, must, will certainly”. Bsa : Perintah pada ayat ini sama dengan perintah dalam ayat 11. Dalam bahasa tertentu mungkin perintah ini lebih baik diterjemahkan dengan ”bukukanlah semua hal yang....” atau ”engkau harus menuliskan dalam buku, semua hal yang...”. Apa yang telah kau lihat meliputi segala sesuatu yang dilihat oleh Yohanes dan dituliskan dalam buku, yakni hal yang dilihat oleh Yohanes pada saat itu dan juga sesudahnya. Keduanya dapat digabung misalnya menjadi ”Sekarang tuliskanlah semua yang terjadi sekarang dan sesudah ini”. Kata akan dalam ungkapan yang akan terjadi sesudah ini menyatakan sesuatu yang pasti akan terjadi menurut kehendak Allah. Teknik omissions dilakukan karena tidak semua informasi dalam teks bahasa sumber relevan untuk diterjemahkan dalam bahasa sasaran. Pada contoh ayat di atas, berbagai versi Alkitab bahasa Inggris dalam teks bahasa sumber tidak adaptor terjemahkan. Adapun terjemahan dengan menggunakan teknik omissions sejumlah 5 data dengan nomor kode data sebagai berikut : Tabel 16 : Teknik Ommisions No 1 2 3 4 5
Kode 01/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/1:19 02/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/19:18 03/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/14:20 04/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/18:14 05/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/6:11
C. Pembahasan Pembahasan hasil penelitian diarahkan pada penggunaan berbagai jenis teknik dan sub-sub teknik penerjemahan dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada
Yohanes, penggunaan strategi dan metode penerjemahan, serta prosedur pengujian kualitas adaptasi adaptor sesuai dengan rumusan masalah. Dari hasil analisis data di atas dapat diketahui hal-hal seperti berikut sebagai hasil akhir penelitian ini. 1. Klasifikasi penggunaan teknik dan sub teknik penerjemahan yang masuk kategori problematika leksikal Sebagaimana telah disebutkan pada bagian analisis hasil penelitian, terdapat 48 data yang masuk dalam kategori problematika leksikal. Ke empat puluh delapan data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu addition dengan jumlah 34 data atau 70,83 %, alteration dengan jumlah 7 data atau 14,58 % dan omission dengan jumlah 7 data atau 14,58 %. Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu penjelasan tambahan berupa grafis (gambar) yang paling sering digunakan adaptor sejumlah 18 data atau 37,5 %, amplifikasi sejumlah 5 data atau 10,41 %, penerjemahan deskriptif sejumlah 4 data atau 8,33 %, membuat usulan alternatif terjemahan sejumlah 5 data atau 10,41 %, dan eksegese ayat sejumlah 2 data atau 4,16 %. Generalisasi merupakan bentuk dari teknik alteration dengan jumlah 7 data atau 14,58 % dan materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan merupakan bentuk dari teknik omission dengan jumlah 7 data atau 14,58 %. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa teknik additions lebih banyak digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan 34 data atau 70,83 %. Teknik alteration dan omission memiliki kesamaan jumlah data yaitu 7 data atau 14,58 %. Tabel 17 menunjukan klasifikasi penggunaan teknik, sub-sub teknik penerjemahan, dan prosentase dalam problematika leksikal.
Tabel 17 : Jenis teknik, sub-sub teknik penerjemahan, dan prosentase No Jenis Teknik 1 Additions : - Penjelasan tambahan grafis - Amplifikasi - Penerjemahan deskriptif - Membuat usulan alternatif terjemahan - Eksegese ayat bahasa sumber
Jumlah
%
18 5 4 5
15,38 4,27 3,41 8,54
2
8,54
Jumlah : 34 (70,83 %) 2
Alteration : - Generalisasi
7
14,58
Jumlah : 7 (14,58 %) 3
Ommision : - Materi bahasa sumber tidak 7 semuanya diterjemahkan Jumlah : 7 (14,58 %) Jumlah total : 34+ 7 +7 = 48 data (100 %)
14,58
2. Klasifikasi penggunaan teknik dan sub teknik penerjemahan yang masuk kategori problematika gaya dan tata bahasa Sebagaimana telah disebutkan pada bagian analisis hasil penelitian, terdapat 69 data yang masuk dalam kategori problematika gaya dan tata bahasa. Ke-69 data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu addition dengan jumlah 26 data atau 37,68 %, alteration dengan jumlah 38 data atau 55,07 % dan omission dengan jumlah 5 data atau 7,24 %. Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu membuat usulan alternatif terjemahan sejumlah 5 data atau 7,24 %, eksegese ayat sejumlah 8 data atau 11,59 %, penambahan kata penghubung yang paling sering digunakan adaptor dengan
jumlah 12 data atau 17,40 %, dan tambahan informasi yang paling jarang digunakan adaptor dengan jumlah hanya 1 data atau 1,44 %. Bentuk-bentuk dari teknik alteration yaitu simplifikasi yang paling jarang digunakan adaptor dengan jumlah 4 data atau 5,80 %, kronologisasi peristiwa dengan jumlah 7 data atau 10,14 %, dan mengubah kalimat pasif Bsu menjadi kalimat aktif dalam Bsa yang paling sering digunakan adaptor dengan jumlah 27 data atau 39,13 %. Bentuk dari teknik omission yaitu materi bahasa sumber tidak semuanya diterjemahkan sejumlah 5 data atau 7,24 %. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa teknik alteration lebih banyak digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan 38 data atau 55,07 %. Teknik addition di posisi ke 2 dengan jumlah 26 data atau 37,68 % dan teknik omission yang paling jarang digunakan adaptor dengan jumlah 5 data atau 7,24 %. Tabel 18 menunjukan klasifikasi penggunaan teknik, sub-sub teknik penerjemahan, dan prosentase dalam problematika gaya dan tata bahasa.
Tabel 18 : Jenis teknik, sub-sub teknik penerjemahan, dan prosentase No Jenis Teknik 1 Additions : - Membuat usulan alternatif terjemahan - Eksegese ayat bahasa sumber - Penambahan kata penghubung
Jumlah
%
5
7,24
8
11,59
- Tambahan informasi
12 1
17,40 1,44
Jumlah : 26 (37,68 %) 2
Alterations : - Simplifikasi - Kronologisasi peristiwa - Mengubah kalimat pasif menjadi kalimat aktif Bsa
Bsu
4 7 27
5,80 10,14 39,13
Jumlah : 38 (55,07%) 3
Ommision : - Materi bahasa sumber tidak 5 semuanya diterjemahkan Jumlah : 5 (7,24 %) Jumlah total : 26+38 +5 = 69 data (100 %)
7,24
3. Perbandingan klasifikasi penggunaan teknik dan sub teknik penerjemahan yang masuk kategori problematika leksikal dan problematika gaya dan tata bahasa Sebagaimana
telah
disebutkan
sebelumnya
dan
tercermin
dalam
pembahasan, hasil penelitian ini menunjukkan adanya jenis problematika dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dan teknik-teknik penerjemahan yang digunakan. Oleh sebab itu, perlu kiranya dibandingkan antara jenis problematika yang muncul dan teknik-teknik penerjemahan apa saja yang digunakan. Pembandingan tersebut dilakukan untuk mengetahui teknik penerjemahan mana yang lebih dominan di lakukan adaptor. Untuk maksud tersebut, pembandingan dilakukan dalam bentuk tabel karena mudah dilihat dan diketahui. Tabel perbandingan tersebut adalah seperti berikut : Tabel 19 : Perbandingan klasifikasi jenis problematika, teknik dan sub-sub teknik penerjemahan, dan jumlah data
N Jenis o problematika 1 Leksikal
2
Jenis teknik penerjemahan dan sub-sub tekniknya Addition Jml Alteration Jml Omission 7 Materi Bsu Grafis 18 Generalisasi tidak semua Amplifikasi 5 diterjemahkan Penerjemahan 4 Deskriptif Usulan alternatif 5 Terjemahan Eksegese ayat 2 34 7 Jumlah data problematika leksikal : 34 + 7 + 7 = 48 data (41,02 %) Gaya dan tata Usulan alternatif 5 Simplifikasi 4 Materi Bsu bahasa Kronologisasi Terjemahan 7 tidak semua diterjemahkan Eksegese ayat 8 peristiwa Penambahan 12 Mengubah 27 kalimat pasif kata menjadi aktif penghubung Tambahan informasi
Jml 7
7 5
1 26
38
5
Jumlah data problematika gaya dan tata bahasa : 26 + 38 + 5 = 69 data (58,98 %) Jumlah total data : 48 + 69 = 117 data (100 %) Berdasarkan tabel 19 di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes, problematika gaya dan tata bahasa lebih dominan daripada problematika leksikal. Jumlah data dalam problematika leksikal sejumlah 48 data atau 41,02 % dari total data dan jumlah data dalam problematika gaya dan tata bahasa sejumlah 69 data atau 58,98 % dari total data. Tabel 20 : Jenis teknik, sub-sub teknik penerjemahan, dan prosentase No Jenis Teknik 1 Additions : - Penjelasan tambahan grafis - Amplifikasi - Penerjemahan deskriptif - Membuat usulan alternatif terjemahan - Eksegese ayat bahasa sumber
Jumlah
%
18 5 4 10
15,38 4,27 3,41 8,54
- Penambahan kata penghubung - Tambahan informasi
10 12 1 Jumlah : 60 (51,28 %)
2
3
Alterations : 7 - Generalisasi - Simplifikasi 4 - Kronologisasi peristiwa 7 - Mengubah kalimat pasif menjadi 27 kalimat aktif Jumlah : 45 (38,46 %) Ommisions : - Materi bahasa sumber tidak 12 semuanya diterjemahkan Jumlah : 12 (10,25 %) Jumlah total : 60 + 45 + 12 = 117 data (100 %)
8,54 10,25 0,85
5,98 3,41 5,98 23,07
10,25
Dari tabel 20 di atas, dapat diketahui bahwa dari ketiga teknik penerjemahan (additions, alterations, dan ommision), teknik additions menduduki posisi 1 dengan jumlah 60 data atau 51,28 %. Kemudian teknik alterations di posisi ke 2 dengan jumlah 45 data atau 38,46 %, dan teknik ommision di posisi ke 3 dengan jumlah 12 data atau 10,25 %. Dari data tersebut, dapat pula diketahui bahwa adaptor lebih sering menggunakan teknik additions dengan cara memberikan penjelasan tambahan berupa grafis (gambar) dalam bahasa sasaran dengan 18 data (15,38 %) dari total 60 data dan cara penambahan informasi yang paling jarang dilakukan adaptor dengan hanya 1 data (0,85 %). Dalam teknik alterations, adaptor lebih banyak menggunakan cara mengubah kalimat pasif Bsu menjadi kalimat aktif Bsa dengan jumlah 27 data atau 23,07 % dari total 45 data. Cara simplifikasi merupakan cara yang paling jarang dilakukan adaptor
dalam teknik alteration ini dengan jumlah hanya 4 data atau 3,41 % dari total 45 data. Teknik omission lebih banyak dilakukan adaptor dalam problematika leksikal dengan 7 data atau 58,33 % dari total 12 data. Teknik omission dalam problematika gaya dan tata bahasa sejumlah 5 data atau 41,66 % dari total 12 data. 4. Strategi penerjemahan dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes Dengan
adanya
problematika
linguistik
(problematika
leksikal
dan
problematika gaya dan tata bahasa) dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes seperti yang sudah penyusun uraikan, maka adaptor mempunyai berbagai macam strategi penerjemahan yang diterapkan guna mengatasi problematika tersebut. Adapun strategi penerjemahan yang digunakan adaptor dapat dikategorisasikan sebagai berikut : a.
Pemanfaatan alat bantu penerjemahan Dalam
setiap
kegiatan
penerjemahan,
keberadaan
alat
bantu
penerjemahan sangat mutlak diperlukan oleh setiap penerjemah. Demikian pula dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes. Keberadaan alat bantu penerjemahan sangat berperan penting untuk mengatasi setiap problematika yang dijumpai adaptor. Alat bantu penerjemahan bisa menjadi solusi yang bisa dimanfaatkan setiap saat oleh para adaptor. Adapun alat bantu penerjemahan yang dimaksud antara lain : -
Kamus-kamus
Salah satu usaha adaptor dalam mengatasi problematika yang dihadapi adalah dengan cara memanfaatkan keberadaan kamus. Para adaptor menganggap bahwa kamus merupakan salah satu rujukan pokok yang dipakai oleh para adaptor yang akan menerjemahkan. Dalam setiap kamus akan tersedia kosakata yang cukup guna membantu para adaptor melaksanakan pekerjaan menerjemahkan. Para adaptor memerlukan kamus ketika menghadapi permasalahan dalam hal makna kosakata tertentu. Sekalipun dalam kamus terdapat banyak sekali alternatif arti dari sebuah kata, tetapi arti-arti tersebut sangat membantu penerjemah untuk menemukan pilihan kata (diction) yang tepat ketika menemukan kesulitan untuk mengartikan sebuah kata tertentu dari teks bahasa sumber. Di dalam kamus, juga tersedia beberapa alternatif arti beserta contoh kalimat yang menyertainya. Sehingga para adaptor dapat membuat logika yang praktis dan efektif guna memilih arti kata yang tepat. Sebagaimana diketahui bahwa inti dari kegiatan penerjemahan adalah
terletak
pada
menemukan
makna
atau
arti,
kemudian
diterjemahkan ke dalam bentuk bahasa yang lain. Sehingga mau tidak mau, kamus merupakan media yang paling penting yang diperlukan oleh setiap adaptor guna menjembatani adaptor dalam mengalihkan makna tersebut.
Di dalam kamus juga ditemukan tidak hanya satu atau dua arti makna kata, tetapi lebih dari itu. Dengan demikian, walaupun kamus dapat membantu adaptor, tetapi keputusan pilihan ada di tangan adaptor. Memanfaatkan media kamus merupakan salah satu alternatif yang dipakai untuk mengatasi kesulitan kosakata dalam pengalihan makna. Menurutnya, diawali pada tahap analisis teks bahasa sumber yaitu THB, ketika itu pula dia langsung mengecek kamus untuk mencari arti kata yang dimaksud teks sumber. Dalam teks sumber, kosakata yang muncul sangat bervariasi seperti kosakata bahasa Inggris yang terkadang masih sulit untuk dipahami. Kosakata yang sulit yaitu adanya kosakata dalam bahasa Yunani atau Ibrani dalam teks sumber yang mau tidak mau harus langsung di cek artinya dalam kamus khusus bahasa Yunani dan Ibrani. Ada beberapa kamus yang telah disiapkan adaptor sebelum memulai pekerjaan menerjemahkan dengan tujuan bahwa semakin lengkap dan banyak kamus yang disiapkan, maka akan mengikis kemungkinan terjadinya kesulitan kosakata. Keberadaan kamus sangat penting. Tanpa kamus, dia tidak yakin dengan terjemahannya. Jadi, fungsi kamus adalah untuk menjawab dan mengatasi keraguraguan adaptor terhadap makna sebuah arti kata tertentu. Dengan membuka kamus, adaptor merasa lebih yakin untuk mendapatkan makna yang sedekat-dekatnya dari sebuah arti kata tertentu.
Untuk mendapatkan makna yang sedekat-dekatnya, adaptor tidak boleh mengandalkan ilmu ”kira-kira”, tetapi harus mengandalkan dari berbagai sumber agar terjemahannya dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu jalan yang paling baik dan efektif untuk menjawab kesulitan kosakata untuk menemukan arti kata tertentu dengan cara memanfaatkan kamus. Menemukan arti kata yang dimaksud dalam teks sumber dengan memanfaatkan kamus akan sangat mempengaruhi kualitas terjemahan. Kamus memberikan alternatif arti kata yang harus dipilih oleh adaptor sesuai dengan konteks yang menyelimuti teks yang ada tersebut. Dengan konteks yang ada, arti kata dalam kamus tersebut dapat diselaraskan dan di seleksi dengan tepat. Adapun jenis kamus yang dipakai antara lain : kamus-kamus umum (bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Belanda), Bible Dictionary, Bible Commentary, Greek dictionary. Kamus Mari Menerjemahkan Kata Kunci, dll. Dari uraian tersebut, dapat diverifikasi bahwa adaptor memanfaatkan kamus sebagai perwujudan dari cara mereka untuk menyelesaikan masalah kosakata teks bahasa sumber. Memanfaatkan kamus bukanlah satu-satunya cara yang digunakan adaptor untuk mengatasi masalah yang ada. Memanfaatkan kamus yang ada hanyalah salah satu cara untuk mengatasi masalah yang ada, disamping solusi-solusi yang lain. Peranan kamus merupakan keharusan bagi para adaptor. -
Bahan-bahan referensi pendukung
Keberadaan bahan-bahan referensi pendukung dalam mengatasi problematika dalam pengadaptasian SPPA juga merupakan hal yang penting yang diperlukan oleh adaptor. Bahan-bahan referensi pendukung bersifat sebagai pembanding saja. Adapun bahan-bahan referensi pendukung tersebut antara lain : Buku-buku tafsiran Alkitab, versi-versi terjemahan Alkitab yang ada, buku-buku eksegesis Alkitab, buku-buku teori penerjemahan, dll. b. Konsultasi
dengan
Translator’s
Officer
(TO)
atau
Konsultan
Penerjemahan LAI Keberadaan TO atau Konsultan Penerjemahan yang dimiliki oleh Departemen Penerjemahan LAI sangat membantu mengatasi kesulitankesulitan yang dihadapi adaptor dalam proses pengadaptasian SPPA. TO sengaja dibentuk guna membantu para adaptor memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam proses pengadaptasian. Tidak hanya melayani konsultasi dari para adaptor, tetapi TO bertanggungjawab terhadap kegiatan-kegiatan pembimbingan bagi para adaptor. Kegiatan-kegiatan
yang
dimaksud
seperti
seminar
dan
kuliah
penerjemahan, lokakarya adaptor, kunjungan-kunjungan kerja, dll. Kegiatankegiatan tersebut disiapkan Departemen Penerjemahan dengan TO sebagai para pelaksananya untuk menyiapkan tenaga-tenaga adaptor yang siap kerja. Dengan keberadaan TO yang siap setiap saat untuk berdiskusi dengan para adaptor, akan membuka kesempatan yang sangat luas bagi para adaptor untuk selalu berkonsultasi guna memecahkan masalah dalam pengadaptasian.
TO semaksimal mungkin akan memecahkan masalah yang dihadapi adaptor dengan bimbingan-bimbingan dan arahan-arahan serta diskusi baik di dalam atau di luar Kantor Departemen Penerjemahan LAI. Adaptor dapat berkonsultasi dengan para TO Departemen Penerjemahan. Adaptor Kitab Wahyu memiliki begitu banyak problematika, sehingga mengharuskannya untuk berkonsultasi. Konsultasi dilakukan dengan cara yang fleksibel, bisa bertemu langsung bertatap muka, atau dengan media seperti telepon, email, dll. Dengan berkonsultasi dengan para TO, masalahmasalah yang di hadapi satu per satu sudah terjawab. Dengan diterbitkannya SPPA Wahyu Kepada Yohanes yang secara tidak langsung membuktikan bahwa setiap problematika yang ia hadapi sudah terpecahkan, salah satunya dengan cara berkonsultasi dengan para TO Departemen Penerjemahan LAI. c.
Diskusi dengan sesama rekan kerja Cara lain yang ditempuh para adaptor dalam mengatasi permasalahan yang ada dalam pengadaptasian SPPA yaitu dengan cara berdiskusi dengan sesama rekan adaptor. Diskusi merupakan kegiatan ilmiah bagi para adaptor. Seorang adaptor telah terbiasa dengan forum-forum ilmiah termasuk di dalamnya berdiskusi. Dengan berdiskusi, masing-masing anggota dapat mengutarakan pendapat atau alasan yang dimilikinya. Bahkan, tidak jarang terjadi perdebatan untuk mencari jawaban yang paling tepat dari setiap permasalahan yang didiskusikan.
Diskusi dapat dilakukan dengan cara formal maupun non formal. Diskusi yang dilakukan secara formal tentu berbeda dengan diskusi yang dilakukan secara non formal. Diskusi formal biasanya bersifat formalistik, baik dilihat dari bentuk pertemuan, tempat duduk, bahasa, sistem yang dipakai, maupun materi yang dibahas. Dalam diskusi formal, bahasa yang yang digunakan adalah bahasa formal, tempat duduk juga ditata dengan formal. Begitupun dengan materi yang dibahas. Cara berdiskusi juga ditata secara formal, mulai dari pembicara, penulis, moderator, dan lain sebagainya. Lain lagi dengan diskusi non formal yang tidak mensyaratkan berbagai ketentuan seperti dalam diskusi formal. Dimanapun, dalam bahasa apapun, materi apapun, dengan siapapun, orang-orang dapat melakukan diskusi non formal ini. Mereka juga tidak di atur dengan sistem diskusi yang formal. Siapa yang mau bicara dipersilahkan. Biasanya saling bergantian kesempatan atau bersautan antara satu orang dengan orang lain. Bahkan tidak jarang mereka saling berdebat untuk mempertahankan pendapatnya dan menimpali pendapat teman yang lain. Antara satu orang dengan peserta yang lain dapat saja saling berebut untuk berbicara. Biasanya dalam diskusi non formal ini juga tidak ditarik suatu kesimpulan. Masing-masing peserta menarik kesimpulan sendiri-sendiri. Mereka saling memahami antara peserta yang satu dengan peserta yang lain. Mereka juga saling mengetahui bahwa dalam diskusi seperti ini tidak ada
ikatan apapun. Walaupun kalau dilihat esensinya, diskusi ini juga bisa memecahkan suatu persoalan. Berkaitan dengan penelitian ini, diskusi antar adaptor dilakukan dalam setiap pertemuan atau lokakarya. Dalam lokakarya adaptor, adaptor mempunyai kesempatan yang luas untuk sharing atau berdiskusi dengan rekan sesama adaptor mengenai kesulitan-kesulitan dengan bahan-bahan masing-masing dalam penerjemahan. Dari diskusi inilah para adaptor bisa mengungkapkan kesulitan yang ia hadapi dalam proses penerjemahan di hadapan forum atau rekan kerjanya. Dari kesulitan yang ia ungkapkan, forum akan mendiskusikan permasalahan yang dihadapi oleh adaptor tersebut dengan mempertimbangkan berbagai saran, pendapat, masukan-masukan, serta alternatif-alternatif solusi yang ditawarkan forum. Diskusi dengan rekan sesama adaptor merupakan cara yang efektif untuk mengatasi permasalahan dalam penerjemahan. Dimungkinkan bahwa ada potensi kesamaan kesulitan yang dihadapi oleh adaptor, sehingga mereka bisa sharing untuk memberitahu solusi-solusi apa yang bisa ditempuh untuk mengatasi kesulitan tersebut. Sesama adaptor bisa memberikan input yang bermanfaat untuk adaptor yang lain, dimungkinkan bahwa adaptor tersebut pernah mempunyai kesulitan yang serupa sehingga solusi yang pernah ia tempuh bisa ia bagikan kepada adaptor yang lain.
Diskusi yang dilakukan oleh para adaptor dengan rekan sesama adaptor adalah diskusi non formal yang dilakukan dengan sharing pikiran atau mengajak teman sekantor untuk terlibat dengan dirinya dalam sebuah perbincangan umtuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Adaptor langsung mengutarakan masalah yang dihadapi, kemudian teman sesama adaptor memberikan alternatif solusi. Dari beberapa alternatif solusi yang ditawarkan tersebut, akan dipilih solusi yang terbaik dari hasil diskusi. Diskusi semacam ini akan dilakukan jika terdapat permasalahan yang serius dengan masalah yang ia hadapi. Adaptor biasanya melibatkan teman sekantor atau sesama adaptor untuk berbagi rasa memecahkan masalah yang dihadapinya. Dengan cara berdiskusi, adaptor bisa mengajak rekan sesama adaptor untuk masuk ke dalam dunianya dan membantu memecahkan masalah yang dihadapinya. Diskusi dengan rekan sesama adaptor. tidak hanya melibatkan satu adaptor saja, terkadang lebih dari satu adaptor. Dengan melibatkan beberapa adaptor untuk berdiskusi dengannya, akan memberikan banyak sekali alternatif solusi, sehingga akan lebih memudahkan untuk mencari solusi yang terbaik. Memang tidak selamanya diskusi ini bisa berjalan sesuai dengan harapan, bisa saja terjadi adaptor akan menghadapi rekannya yang mungkin tidak sejalan dengan pola pikir yang dimilikinya. Kalau hal ini terjadi, maka yang
diperoleh bukanlah solusi yang diinginkan, tetapi justru menambah masalah yang sudah ada. Namun demikian, tidaklah dikatakan bahwa diskusi bukanlah cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Tetapi, dalam diskusi ini harus dilakukan dengan cara yang fair dan jelas. Rekan sesama adaptor yang di ajak berdiskusi harus betul-betul apriori terhadap yang kita lakukan. Adaptor yang di ajak berdiskusi harus lebih banyak memberikan masukan daripada kritikan yang pedas tanpa disertai argumen yang logis dan kuat. Dengan demikian, diskusi tetap merupakan cara untuk memecahkan masalah, tetapi dengan catatan bahwa diskusi harus dilakukan dengan cara yang hati-hati, jernih, dan jelas. Ketika adaptor menghadapi permasalahan dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes, adaptor menggunakan teknik diskusi dengan rekan sesama adaptor untuk memecahkan masalahnya. Diskusi yang dilakukan adalah diskusi non formal yang biasanya dilakukan di dalam atau di luar Kantor Departemen Penerjemahan LAI. Proses diskusi berjalan secara santai, tetapi serius tanpa meninggalkan esensi berdiskusi, yaitu saling beradu argumen untuk mendapatkan solusi terbaik dari masalah yang dihadapi. Diskusi menjadi salah satu cara lagi yang dilakukan adaptor untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
d. Self problem solver
Yang dimaksud dengan ”self problem solver” adalah memecahkan masalah dengan diri sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa berbagai masalah yang muncul dalam kegiatan pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes bisa diselesaikan dengan cara memanfaatkan alat bantu penerjemahan, konsultasi, berdiskusi dengan rekan sesama adaptor. Namun, dalam penelitian ini, para adaptor juga menggunakan cara self problem solver sebagai alternatif pemecaham masalah yang dihadapinya. Cara ini di lakukan dengan cara memahami permasalahan yang kemudian diselesaikan dengan penyelesaian diri sendiri. Maksud dari penyelesaian masalah dengan diri sendiri adalah merupakan bentuk pilihan. Dimana adaptor telah memperoleh banyak masukan dari rekan sesama adaptor, saran dan masukan dari para TO, dan alternatif solusi dari alat bantu penerjemahan, tetapi terkadang masih tetap saja mengambang. Dalam situasi yang demikian, maka adaptor harus koreksi diri, bagaimanapun juga adaptor adalah pengambil keputusan. Adaptor dihadapkan pada berbagai pilihan dari berbagai altrnatif solusi (diskusi, konsultasi, dan diskusi dengan rekan sesama adaptor). Berbagai pilihan itu membuat adaptor harus berhati-hati dalam menentukan pilihan. Hal ini tiada lain karena hasil penentuan pilihan ini merupakan bentuk atau cara penyelesaian masalah yang dihadapinya. Adaptor sering dihadapkan pada dilema untuk mengambil keputusan. Ketika menghadapi masalah, dan ketiga solusi (diskusi, konsultasi, dan diskusi
dengan
rekan
sesama
adaptor) belum bisa
menjawabnya,
kebimbangan akan menyelimuti pikirannya. Bagaimana ia harus mengambil keputusan? Adaptor merenung, memahami masalah yang ia hadapi, dan akhirnya dia harus menentukan pilihan terhadap masalah yang ia hadapi. Adaptor sebagai pengambil keputusan akhir dari berbagai pilihan alternatif solusi. Suatu keputusan yang diambil oleh dirinya, harus didukung dengan argumen yang logis, kuat, dan bisa dipertanggung jawabkan. Tanpa itu semua, akan sulit untuk megambil keputusan yang tepat. Peran diri sendiri dalam mengatasi suatu masalah menjadi hal yang juga dipertimbangkan oleh adaptor dalam proses pengadaptasian SPPA Wahyu. Pada saat dibutuhkan sebagai pemegang keputusan, dirinya harus berani mengambil keputusan yang tepat. Dengan demikian, dapat diverifikasi bahwa self problem solver juga dapat dikatakan sebagai bentuk atau cara mengatasi masalah yang muncul dalam kegiatan pengadaptasian PPA Wahyu yang dilakukan oleh para adaptornya. 5. Jenis metode penerjemahan dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes Dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes, adaptor Departemen Penerjemahan LAI menerapkan jenis metode penerjemahan adaptasi dan dinamis fungsional. Hoed (2006:55) menyatakan bahwa penerjemahan sering didasari oleh audience design atau need analysis. Dalam praktiknya, penerjemah memilih salah
satu metode yang sesuai dengan untuk siapa dan untuk tujuan apa penerjemahan dilakukan. Sesuai dengan pernyataan di atas, jenis metode penerjemahan adaptasi di pilih adaptor sebagai metode yang digunakan dalam pengadaptasian SPPA mengingat bahwa SPPA dirancang khusus untuk para penerjemah lokal dengan spesifikasi tertentu (minim pengetahuan bahasa, teologia, dan tingkat pendidikan yang rendah). Pemilihan metode penerjemahan adaptasi dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes sesuai dengan salah satu jenis metode penerjemahan diagram V yang ditawarkan oleh Newmark (1988:45) yang menyatakan bahwa metode penerjemahan adaptasi lebih menekankan “isi” pesan, sedang bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan pembaca Bsa. Selain sesuai dengan pernyataan Newmark, adaptor menggunakan metode penerjemahan adaptasi juga sejalan dengan pernyataan Latuihamallo, P.D. dengan artikelnya yang berjudul ”Jenis-jenis metode penerjemahan Alkitab” dalam Http://www.sabda.org/sejarah/artikel/jenis metode penerjemahan Alkitab.html di akses 13 Juni 2010 jam 03.00 pm yang menyatakan bahwa metode penerjemahan bebas yang mementingkan pesan/amanat tetapi diungkapkan dengan kata-kata sendiri. Pengadaptasinya mempunyai anggapan tertentu mengenai apa yang dianggapnya paling penting bagi pembaca/pendengarnya. Selain menggunakan jenis metode penerjemahan adaptasi, adaptor SPPA Wahyu Kepada Yohanes juga menggunakan jenis metode penerjemahan dinamis fungsional. UBS dan LAI sebagai salah satu anggota UBS telah berkomitmen
untuk menggunakan jenis metode penerjemahan dinamis fungsional untuk proyek-proyek penerjemahan dan tidak terkecuali proyek pengadaptasian SPPA di Departemen Penerjemahan LAI. Pemilihan
jenis
metode
penerjemahan
dinamis
fungsional
dalam
pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes sesuai dengan pendapat beberapa ahli seperti berikut: Latuihamallo, P.D. dengan artikelnya yang berjudul ”Jenis-jenis metode penerjemahan Alkitab” dalam Http://www.sabda.org/sejarah/artikel/jenis metode penerjemahan Alkitab.html di akses 13 Juni 2010 jam 03.00 pm yang menyatakan bahwa metode penerjemahan dinamis mengutamakan arti dan fungsi yang dimaksud dalam teks asli, sekaligus memperhatikan kekhususan bahasa sasaran. Oleh karena itu, bentuk bahasa aslinya boleh diubah asal makna dan tujuan teks asli dipertahankan. Metode penerjemahan ini secara serius mencari padanan yang terdekat dan wajar dalam mengungkapkan arti dan fungsi yang dimuat dalam naskah aslinya. Metode ini memanfaatkan hasil-hasil penemuan linguistik (mengeksplisitkan yang implisit dalam naskah sumber, dan dalam perubahan bentuk menggunakan analisis komponen makna, transformasi balik dalam bahasa sumber, dan konsistensi kontekstual), serta dikembangkan berdasarkan penelitian-penelitian di bidang komunikasi dan sosiosemiotika. Itulah sebabnya metode semacam ini sangat bermanfaat untuk mengetahui arti, berita atau amanat yang tercantum dalam naskah asli Alkitab, khususnya
bagi orang awam, mereka yang ingin membaca dan mendalami Alkitab tanpa pendidikan teologi formal. Daud Soesilo (2001: 35-44) menyatakan bahwa metode penerjemahan dinamis fungsional lebih menekankan pada pengalihan arti bahasa yang dimaksud dalam naskah asli ke dalam bahasa penerima yang umum dan wajar, yang disesuaikan dengan konteks pembacanya. Dengan demikian, arti yang dimengerti oleh pembaca mula-mula yang hidup di masa lalu, dapat sedekat mungkin dimengerti oleh pembaca terjemahan yang hidup di masa sekarang yang berbeda bahasa dan kebudayaannya. Jadi, unsur yang ditekankan dalam metode ini yaitu : (1) kesetiaan pada arti naskah asli Alkitab dan (2) kesetiaan pada bentuk bahasa penerima yang umum dan wajar. Prosesnya adalah naskah asli di analisis, lalu dialihkan unsur-unsur budaya dan bahasanya yang penting dari naskah asli tersebut ke dalam bahasa penerima, baru disusun kembali dalam bentuk bahasa penerima yang umum dan wajar. P.G. Katoppo (2001:8-9) menyatakan bahwa metode penerjemahan dinamis adalah metode yang mementingkan penekanan pengalihan makna dan bukan bentuk. Memang penekanan pada makna menghadapi masalah bagaimana harus mendamaikan kerumitan komponen-komponen semantik masing-masing bahasa (sumber dan sasaran) demi membuahkan hasil akhir berupa kata-kata dan susunan kalimat yang wajar. Bagaimanapun, hasil terjemahan harus diusahakan mengungkapkan pesan yang terkandung menurut bentuk–bentuk yang lazim dalam bahasa sasaran.
Dr. Barclay M. Newman (1987: 7-14) menyatakan bahwa metode penerjemahan dinamis fungsional. Dalam metode ini, ada dua aspek yang diperhatikan yaitu : (1) kesetiaan terhadap arti teks asli itu, dan (2) suatu hasil terjemahan yang paling sesuai dengan bentuk bahasa penerima itu. Dengan menggunakan metode ini, penerjemah akan melalui 3 tahap penerjemahan yaitu : (1) analisis, (2) pemindahan/transfer, (3) penyusunan kembali/restrukturisasi. Uraian di atas adalah jenis metode penerjemahan yang digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes yang di sesuaikan dengan kajian teori yang ada. Adaptor menggunakan jenis metode penerjemahan adaptasi dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan alasan bahwa target utama dari buku-buku SPPA adalah para penerjemah lokal di daerah-daerah yang akan menyusun Alkitab dalam bahasa daerah setempat. Para penerjemah lokal tersebut memiliki kompetensi yang sangat terbatas dalam hal penguasaan bahasa, penguasaan teologia, dan latar belakang pendidikan yang rendah. Dengan mempertimbangkan karakteristik target pembaca, adaptor tidaklah cukup hanya dengan menerjemahkan THB menjadi SPPA, tetapi menerjemahkan dan sekaligus mengadaptasi (menerapkan langsung metode penerjemahan adaptasi) yang disesuaikan dengan kebutuhan penerjemah lokal. Metode penerjemahan adaptasi dilakukan pada tataran makro (keseluruhan teks) berupa unsur-unsur budaya, kosakata, gaya dan tata bahasa, dll. Jenis metode penerjemahan yang kedua yang dilakukan adaptor SPPA Wahyu Kepada Yohanes yaitu metode penerjemahan dinamis fungsional. Alasan
adaptor menggunakan jenis metode ini karena (1) metode dinamis fungsional lebih mementingkan pengalihan arti atau makna daripada pengalihan bentuk dalam bahasa yang umum dan wajar dalam bahasa sasaran yang disesuaikan dengan konteks pembacanya, (2) prosedur yang harus dilakukan adaptor yaitu analisis, transfer, dan restrukturisasi/penyusunan kembali yang sesuai dengan teori penerjemahan, (3) jumlah tenaga adaptor yang lebih dari 1 dalam proses pengadaptasian (biasanya 2-3 adaptor) dan didukung oleh tenaga ahli konsultan penerjemahan yang sangat membantu dalam proses pengadaptasian Dalam metode penerjemahan harfiah, dilakukan oleh perseorangan (1 adaptor), (4) tingkat bahasa dalam metode penerjemahan dinamis fungsional yang digunakan adalah bahasa sehari-hari yang umum dan wajar yang disesuaikan menurut kebutuhan pembacanya, dan (5) prinsip dalam metode penerjemahan dinamis fungsional yaitu tidak melebihi atau mengurangi arti teks asli. Penerapan jenis metode penerjemahan dinamis fungsional juga berada pada tataran makro (keseluruhan teks). Penerapan metode-metode penerjemahan yang beraneka ragam tersebut dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pembaca (penerjemah lokal) yang beraneka ragam karakteristiknya. Dengan berbagai metode penerjemahan yang menghasilkan berbagai terjemahan dalam berbagai versi, diharapkan setiap segmen masyarakat dapat dicapai oleh Firman Allah yang memberi harapan bagi semua orang.
6. Prosedur pengujian kualitas pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes
Terkait dengan prosedur pengujian kualitas SPPA Wahyu Kepada Yohanes pada umumnya secara prinsip dan prosedur tidak ada yang berbeda dengan prosedur pengujian adaptasi SPPA yang lain. LAI dalam hal ini Departemen Penerjemahan telah mempunyai prosedur yang tetap untuk menguji kualitas adaptasi SPPA. Adapun yang menjadi pelaksana pengujian adaptasi adalah para TO atau Konsultan Penerjemahan dengan mekanisme tersendiri. Mekanisme pengujian kualitas adaptasi berlaku untuk semua SPPA yang ada, tidak terkecuali SPPA Wahyu Kepada Yohanes. Adapun mekanisme prosedur pengujian kualitas SPPA secara sederhana dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut : THB Bahasa Inggris
Penerjemah Lokal
Adaptor 1
SPPA
Adaptor 2
Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI
Gambar 6 : Prosedur Pengujian Kualitas SPPA Berdasarkan skema tersebut, prosedur pengujian kualitas SPPA dapat diuraikan sebagai berikut ; materi asalnya adalah THB berbahasa Inggris. Kemudian, adaptor 1 menerjemahkan dan mengadaptasinya menjadi konsep/draft adaptasi awal. Lalu, adaptor 1 memberikan adaptasinya kepada adaptor 2 untuk di cek. Apabila adaptor 2 menemukan bahwa adaptasi adaptor 1 ada hal-hal yang perlu
diperbaiki, maka adaptor 2 akan menyerahkan kembali adaptasi awal tersebut kepada adaptor 1 untuk direvisi kembali. Tetapi jika adaptor 2 tidak menemukan hal-hal yang harus direvisi lagi oleh adaptor 1, maka draft bisa di uji ke tahap selanjutnya yaitu draft masuk ke Konsultan Penerjemahan LAI. Tingkat kemampuan (dari segi latar belakang pendidikan, pengetahuan teologi, pengetahuan budaya, penguasaan bahasa, dll) adaptor 1 dan adaptor 2 berbeda, sehingga adaptor 1 memberikan draft adaptasinya kepada adaptor 2. Hal ini karena adaptor 2 memiliki tingkat kemampuan yang lebih daripada adaptor 1. Adapun kemampuan lebih yang dimiliki oleh adaptor 2 antara lain : a.
Latar belakang pendidikan adaptor 2 adalah S2 atau S3 lulusan luar negeri (Amerika, Inggris, Belanda, dll) dengan Jurusan Biblika atau Linguistik yang notabene sudah pernah tinggal lama di luar negeri. Tingkat penguasaan bahasa Inggris dan pengetahuan teologinya tentu tidak diragukan lagi.
b.
Pengalaman menjadi adaptor THB sudah berpuluh–puluh tahun lamanya.
c.
Adaptor 2 memiliki tingkat pengetahuan yang cukup tentang bahasa-bahasa daerah. Apabila adaptor 2 selesai melaksanakan tugasnya untuk merevisi draft
adaptasi adaptor 1, prosedur selanjutnya yaitu adaptor 2 menyerahkan draft adaptasi tersebut kepada Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI. Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI merupakan suatu tim khusus yang dibentuk oleh LAI untuk menguji adaptasi para adaptor. Tim ini beranggotakan orang–orang yang tidak sembarangan. Untuk menjadi anggota tim
ini harus memiliki keahlian multi bahasa (ahli bahasa Inggris, ahli bahasa Ibrani, ahli bahasa Yunani, ahli bahasa Aram). Selain menguasai berbagai bahasa, anggota tim juga harus ahli dalam bidang teologi dan ilmu Biblika. Latar belakang pendidikan anggota tim ini juga minimal S2 dalam kajian Ilmu Biblika dan Linguistik. Saat ini, ada 3 orang yang menjadi Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI yang berkantor di Departemen Penerjemahan LAI Bogor. Tim Konsultan Penerjemahan LAI atau yang lebih akrab disingkat menjadi Tim TO memeriksa konsep draft adaptasi adaptor sebelum diserahkan ke penerjemah lokal di lapangan untuk proses yang disebut dengan Field Test (uji naskah di lapangan). Dari hasil field test inilah, akan di ketahui kualitas draft SPPA. Jika masih ada komplain dari penerjemah lokal, berarti draft SPPA belum berkualitas dan proses pengujian akan di ulang kembali adaptor 1. Dalam Tim TO, akan diputuskan adaptasi final draft SPPA atau yang disebut dengan final test (uji draft final) yaitu suatu draft hasil keputusan Tim TO setelah mendapat input atau masukan-masukan dari penerjemah lokal dan misionaris (penasehat linguistik) yang mendampingi penerjemah lokal. Peran misionaris yaitu memberikan input atau masukan terkait dengan unsur linguistik dan kebahasaan untuk penerjemah lokal. Draft final test diberikan kepada penerjemah lokal untuk dikomentari lagi untuk mengecek kualitasnya (dilihat dari unsur keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan teks).
Masing-masing ahli dalam Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI berjuang keras mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk menguji kualitas SPPA para adaptor. Draft final test adaptasi yang lolos seleksi atau lolos uji dari Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI akan dicetak dan dipublikasikan untuk penerjemah lokal dan umum yang kemudian disebut dengan SPPA. Penerjemah lokal (specific readers) menggunakan SPPA sebagai acuan utama untuk membuat Alkitab dalam bahasa daerah-bahasa daerah tertentu. Penerjemah lokal menjadi salah satu penentu kualitas adaptasi adaptor (disamping peran Tim TO). Ada misionaris atau ahli linguistik yang mendampingi dan membantu para penerjemah lokal untuk menyusun Alkitab berbahasa daerah. Apabila ada hal yang tidak di mengerti dalam SPPA oleh penerjemah lokal dan misionaris tidak cukup bisa membantu memecahkan masalahnya, maka penerjemah lokal akan segera mengembalikan SPPA ke Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI. Kemudian, tim akan kembali melakukan tugasnya untuk merevisi SPPA tersebut. Salah satu indikator bahwa kualitas terjemahan SPPA bagus adalah tidak adanya komplain dari penerjemah lokal. Ini merupakan proses pengujian SPPA yang cukup rumit. Tim TO dan penerjemah lokal berjuang keras semaksimal mungkin untuk menghasilkan suatu karya terjemahan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu dan iman agar Firman Tuhan dapat tersampaikan dengan benar dan tepat untuk seluruh masyarakat di seluruh pelosok tanah air.
Pendek kata, SPPA merupakan karya bersama antara Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI, dan penerjemah lokal, tanpa melupakan peran penting adaptor dan misionaris (penasehat linguistik). Demikian ketatnya proses pengujian adaptasi adaptor untuk sampai menjadi SPPA sebagai bukti bahwa tingkat keakuratan, tingkat keberterimaan, dan tingkat keterbacaan (unsur bahasa, teologi, budaya, makna, dll) adaptasi menjadi prioritas utama dengan tetap mempertahankan makna dan mempertimbangkan konteks pembacanya yaitu penerjemah lokal.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya dapat ditarik simpulan sebagai berikut : 1. Terdapat 2 jenis problematika yang ada dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes yaitu problematika leksikal dan problematika gaya dan tata bahasa. Problematika leksikal yang menyangkut kosakata Alkitab tercermin dari begitu banyaknya kosakata dalam teks bahasa sumber yang terkadang sangat sulit dicari padanannya dalam bahasa sasaran.
Problematika gaya dan tata bahasa meliputi pengulangan, penggunaan kalimat pasif, kata ganti orang ketiga jamak ”mereka”, kata penghubung ”dan” yang berfungsi memperjelas, perubahan kala, kekurangan kata penghubung, perintah atau peringatan yang tiba-tiba, dan pembalikan susunan peristiwa. 2. Adaptor menggunakan beberapa strategi penerjemahan yang digunakan untuk mengatasi problematika yang ada dengan cara pemanfaatan alat bantu penerjemahan
(memanfaatkan
kamus-kamus
dan
bahan-bahan
referensi
pendukung), diskusi dengan sesama rekan adaptor, konsultasi dengan TO atau Konsultan Penerjemahan Departemen Penerjemahan LAI, dan self problem solver. 3. Secara umum ada 3 jenis teknik penerjemahan yang digunakan baik dalam problematika leksikal maupun problematika gaya dan tata bahasa. Ketiga 3 jenis teknik penerjemahan tersebut yaitu additions (penambahan), alterations (pengubahan), dan omissions (penghilangan). Ketiga jenis teknik penerjemahan tersebut masih terbagi-bagi lagi menjadi subsub teknik (bentuk). Teknik additions berupa penjelasan tambahan grafis (gambar) dan non grafis (non gambar). Bentuk penjelasan tambahan non gambar dalam teknik addition yaitu amplifikasi, penerjemahan deskriptif, membuat usulan alternatif terjemahan, eksegese ayat bahasa sumber, penambahan kata penghubung, dan tambahan informasi. Teknik alterations (penghilangan) berupa generalisasi, simplifikasi, menyusun terjadinya peristiwa (kronologisasi peristiwa), dan mengubah kalimat pasif bahasa
sumber menjadi kalimat aktif dalam bahasa sasaran. Teknik omissions (penghilangan) berupa materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan. 4. Terdapat 48 data yang masuk dalam kategori problematika leksikal. Ke empat puluh delapan data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu addition dengan jumlah 34 data atau 70,83 %, alteration dengan jumlah 7 data atau 14,58 % dan omission dengan jumlah 7 data atau 14,58 %. Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu penjelasan tambahan berupa grafis (gambar) yang paling sering digunakan adaptor sejumlah 18 data atau 37,5 %, amplifikasi sejumlah 5 data atau 10,41 %, penerjemahan deskriptif sejumlah 4 data atau 8,33 %, membuat usulan alternatif terjemahan sejumlah 5 data atau 10,41 %, dan eksegese ayat sejumlah 2 data atau 4,16 %. Generalisasi merupakan bentuk dari teknik alteration dengan jumlah 7 data atau 14,58 % dan materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan merupakan bentuk dari teknik omission dengan jumlah 7 data atau 14,58 %. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa teknik addition lebih banyak digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan 34 data atau 70,83 %. Teknik alteration dan omission memiliki kesamaan jumlah data yaitu 7 data atau 14,58 %. 5. Terdapat 69 data yang masuk dalam kategori problematika gaya dan tata bahasa. Ke-69 data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu addition dengan jumlah 26 data atau 37,68 %, alteration dengan jumlah 38 data atau 55,07 % dan omission dengan jumlah 5 data atau 7,24 %.
Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu membuat usulan alternatif terjemahan sejumlah 5 data atau 7,24 %, eksegese ayat sejumlah 8 data atau 11,59 %, penambahan kata penghubung yang paling sering digunakan adaptor dengan jumlah 12 data atau 17,40 %, dan tambahan informasi yang paling jarang digunakan adaptor dengan jumlah hanya 1 data atau 1,44 %. Bentuk-bentuk dari teknik alteration yaitu simplifikasi yang paling jarang digunakan adaptor dengan jumlah 4 data atau 5,80 %, kronologisasi peristiwa dengan jumlah 7 data atau 10,14 %, dan mengubah kalimat pasif Bsu menjadi kalimat aktif dalam Bsa yang paling sering digunakan adaptor dengan jumlah 27 data atau 39,13 %. Bentuk dari teknik omission yaitu materi bahasa sumber tidak semuanya diterjemahkan sejumlah 5 data atau 7,24 %. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa teknik alteration lebih banyak digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan 38 data atau 55,07 %. Teknik addition di posisi ke 2 dengan jumlah 26 data atau 37,68 % dan teknik omission yang paling jarang digunakan adaptor dengan jumlah 5 data atau 7,24 %. 6. Dapat diketahui bahwa dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes, problematika gaya dan tata bahasa lebih dominan daripada problematika leksikal. Jumlah data dalam problematika leksikal sejumlah 48 data atau 41,02 % dari total data dan jumlah data dalam problematika gaya dan tata bahasa sejumlah 69 data atau 58,98 % dari total data.
7. Dapat diketahui bahwa dari ketiga teknik penerjemahan (additions, alterations, dan ommisions) baik dalam problematika leksikal maupun problematika gaya dan tata bahasa, teknik additions menduduki posisi 1 dengan jumlah 60 data atau 51,28 %. Kemudian teknik alterations di posisi ke 2 dengan jumlah 45 data atau 38,46 %, dan teknik ommisions di posisi ke 3 dengan jumlah 12 data atau 10,25 %. Dari data tersebut, dapat pula diketahui bahwa adaptor lebih sering menggunakan teknik addition dengan cara memberikan penjelasan tambahan berupa grafis (gambar) dalam bahasa sasaran dengan 18 data (15,38 %) dari total 60 data dan cara penambahan informasi yang paling jarang dilakukan adaptor dengan hanya 1 data (0,85 %). Dalam teknik alteration, adaptor lebih banyak menggunakan cara mengubah kalimat pasif Bsu menjadi kalimat aktif Bsa dengan jumlah 27 data atau 23,07 % dari total 45 data. Cara simplifikasi merupakan cara yang paling jarang dilakukan adaptor dalam teknik alteration ini dengan jumlah hanya 4 data atau 3,41 % dari total 45 data. Teknik omission lebih banyak dilakukan adaptor dalam problematika leksikal dengan 7 data atau 58,33 % dari total 12 data. Teknik omission dalam problematika gaya dan tata bahasa sejumlah 5 data atau 41,66 % dari total 12 data. 8. Jenis metode penerjemahan yang digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes yaitu metode penerjemahan dinamis fungsional dan metode penerjemahan adaptasi yang sama-sama mempertimbangkan konteks
pembacanya dengan cara mengadaptasi teks dan adaptor melalui 3 tahap dalam proses penerjemahan yaitu analisis, transfer, dan penyusunan kembali. 9. Prosedur pengujian kualitas adaptasi adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes ditangani oleh Departemen Penerjemahan LAI dengan TO atau Konsultan Penerjemahan sebagai pelaksana utamanya dengan melibatkan berbagai pihak dalam pengujiannya. Pihak-pihak yang terlibat di dalamnya yaitu adaptor dan penerjemah lokal (specific readers). B. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti berusaha secara maksimal dalam pengumpulan data maupun dalam analisis data. Kegiatan wawancara mendalam telah dilakukan sebaik-baiknya guna mendapatkan data yang lengkap. Demikian pula dalam pencatatan dan perekaman berbagai dokumen yang diperlukan telah dilacak keasliannya serta kelengkapan dokumen tersebut. Proses analisis data telah dilakukan secara interaktif antar komponennya, sehingga disamping diadakan reduksi data, maka sekaligus dilakukan triangulasi sebagai usaha untuk meningkatkan validitas data. Namun demikian, masih disadari adanya keterbatasan dalam penelitian ini, misalnya : •
Dalam wawancara mendalam, informan dapat menyembunyikan sesuatu untuk tidak disampaikan kepada peneliti, jika menurut perkiraannya dapat berdampak negatif pada dirinya.
•
Faktor jarak peneliti dengan sumber data yang terkadang menghambat intensitas pertemuan dan komunikasi antara peneliti dengan sumber data (informan).
•
Faktor kesibukan informan dalam pekerjaannya yang terkadang tidak selalu bisa membantu peneliti dalam usaha pengumpulan data
•
Faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi jalannya penelitian, misalnya tertundanya wawancara, kesulitan dalam menentukan jadwal wawancara, dan faktor-faktor teknis yang lainnya. Namun demikian, secara umum penelitian ini berjalan lancar sesuai dengan
rencana dan peneliti sudah bisa mendapatkan data-data yang diperlukan atas bantuan dan kerjasama semua pihak yang berkaitan dalam penelitian ini. C. Saran-saran Sesuai dengan kesimpulan yang dapat dirumuskan pada bagian sebelumnya beserta berbagai arti yang terkandung di dalamnya, peneliti dapat mengemukakan beberapa saran sebagai berikut : 1. Bagi Departemen Penerjemahan •
Alangkah baiknya apabila Departemen Penerjemahan sering mengadakan pelatihan-pelatihan penerjemahan, seminar-seminar penerjemahan, dan lokakarya-lokakarya adaptor, guna meningkatkan kualitas para adaptornya. Usaha-usaha tersebut sebaiknya dilakukan minimal 1 bulan sekali.
•
Perekrutan calon tenaga adaptor dan konsultan penerjemahan sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan syarat-syarat yang sudah ditentukan dengan harapan bahwa input calon tenaga adaptor dan konsultan penerjemahan yang bagus, maka akan menghasilkan suatu karya yang bagus pula.
•
Departemen Penerjemahan sebaiknya merekrut tenaga-tenaga adaptor dan konsultan penerjemahan yang bisa bekerja penuh di Departemen Penerjemahan sehingga masalah status kepegawaian yang masih freelance bisa segera dikurangi, mengingat dengan status freelance, akan sangat berpengaruh terhadap kinerja pegawai dan keberlangsungan proyek-proyek penerjemahan.
•
Terpenuhinya sarana dan prasarana pendukung penerjemahan yang lengkap akan sangat membantu kinerja para adaptor dan konsultan penerjemahan. Sarana dan prasarana yang minim akan sangat berpengaruh terhadap kinerja para adaptor dan konsultan penerjemahan.
•
Terjalinnya komunikasi yang lebih akrab dan menjalin kerjasama dengan semua pihak baik gereja-gereja, yayasan-yayasan kristiani, warga jemaat, dan masyarakat luas perlu terus ditingkatkan guna menyukseskan proyekproyek penerjemahan.
•
Departemen Penerjemahan sebaiknya segera merekrut calon tenaga adaptor dan konsultan penerjemahan agar bisa mengatasi masalah kelangkaan SDM di lingkungan Departemen Penerjemahan supaya pekerjaan proyek penerjemahan tidak terhambat.
•
Departemen
Penerjemahan
sebaiknya
menghadirkan
pakar-pakar
penerjemahan dalam rangka kuliah atau seminar-seminar penerjemahan di lingkungan departemen. Sekalipun hal ini sudah ditangani oleh para Konsultan Penerjemahan, tetapi kehadiran para pakar-pakar penerjemahan
akan sangat membantu pemahaman tentang teori-teori penerjemahan bagi para adaptor. •
Usaha-usaha untuk menggalang dana yang termuat dalam Buku Program Khusus (BPK) guna menunjang pendanaan proyek-proyek penerjemahan sebaiknya terus ditingkatkan oleh Departemen Penerjemahan agar masalah pendanaan proyek penerjemahan, tidak sepenuhnya tergantung kepada sumber dana yang ada.
•
Departemen Penerjemahan perlu lebih giat lagi mensosialisasikan proyekproyek penerjemahan apa yang belum dan akan dilakukan. Sosialisasi bisa dilakukan dengan cara melibatkan Gereja-Gereja, Yayasan-Yayasan Kristiani, warga jemaat, dll. Dengan sosialisasi, usaha untuk menggalang dukungan, partisipasi, dan penggalangan dana akan meningkat.
•
Departemen Penerjemahan lebih meningkatkan lagi kerjasama dan komunikasi dengan
pihak-pihak
terkait
agar dapat menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi Departemen Penerjemahan selama ini. 2. Bagi Konsultan Penerjemahan LAI • Konsultan Penerjemahan (atau TO) sebaiknya lebih sering mengadakan bimbingan-bimbingan dan pelatihan-pelatihan pengadaptasian bagi para adaptor. Bimbingan dan pelatihan tidak hanya dilakukan jika ada adaptor yang berkonsultasi saja, melainkan sebaiknya dijadwal misalnya minimal 1 minggu sekali untuk lebih meningkatkan kualitas adaptor.
• Alangkah baiknya TO lebih meningkatkan pengetahuan dan wawasannya dalam bidang teori dan praktik penerjemahan. Mengingat TO yang ada, latar belakang pendidikannya yaitu Kajian Ilmu Biblika atau Teologia. Memang kemampuan dan penguasaan pengetahuan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari latar belakang pendidikannya saja, tetapi lebih meningkatkan penguasaan teori penerjemahan dan praktik-praktiknya, akan sangat membantu TO dalam pekerjaannya. • TO sebaiknya lebih sering mengontrol dan mengunjungi para penerjemah lokal dan adaptor di lapangan untuk lebih mengetahui kesulitan-kesulitan mereka di lapangan. Pembimbingan kuranglah efektif kalau hanya saling menunggu, apalagi kalau menunggu para adaptor atau penerjemah lokal datang ke kantor TO. Sikap pro aktif dari para TO akan sangat memotivasi dan mendorong kinerja para adaptor dan penerjemah lokal. 3. Bagi Adaptor • Alangkah baiknya jika para adaptor selalu mengikuti bimbingan-bimbingan, kuliah penerjemahan, seminar-seminar penerjemahan, dan lokakarya-lokakarya adaptor demi meningkatkan kompetensinya sebagai adaptor. Karena status adaptor yang masih freelance di Departemen Penerjemahan dan adaptor mempunyai kesibukan tersendiri dengan pekerjaannya masing-masing, sehingga keberadaan kegiatan-kegiatan seperti di atas, terkadang kurang mendapat perhatian yang serius dari adaptor. • Sebaiknya adaptor lebih rajin berkonsultasi dengan para TO, berdiskusi dengan sesama rekan adaptor atau memanfaatkan alat bantu penerjemahan yang
dimilikinya untuk memecahkan permasalahan
yang muncul dalam
pengadaptasian. • Mengingat latar belakang pendidikan para adaptor bukanlah dari bidang penerjemahan, sehingga meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang teori dan praktik serta seluk beluk dunia penerjemhan perlu terus ditingkatkan dengan cara belajar sendiri dengan banyak berlatih menerjemahkan, membaca buku-buku teori penerjemahan, dan atau sharing dengan TO.
DAFTAR PUSTAKA
Adewuni, Salawi. “Narrowing the Gap between Theory and Practice of Translation” dalam http://www.accurapid.com//translationjournal//36 yoruba.html/volume 10 nomor 2 April 2006/21 Juni 2010/02.00 pm.
Baker, Mona. 1992. In Other Words; A Course Book on Translation. London: Routledge.
Barnwell, Katherine G.L. 1984. Introduction to Semantic and Translation. England : Summer Institute of Linguistics. Bell. T. Roger. 1991. Translation and Translating : Theory and Practice. New York : Longman. Brislin, Richard, W. 1976. Translation : Application and Research. New York.
Chatzitheodorou, Illias. ”Problems of Bible translation” dalam http:// accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am.
Dollerup, Cay and Lindegard, Annete.1994. Teaching Translation and Interpreting 2. Philadelphia : John Benjamin Publishing Company.
Gordon, David. T. 1985. “Translation Theory” dalam http://www.bible-researcher.com//html.13 Juni 2010, 04.00 pm.
Hoed, Benny. H. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Houbert,
Frederic. ”Translation as a Communication Process” dalam http://accurapid.com//translationjournal/5 theory.html/volume 2 nomor 3 Juli 1998/21 Juni 2010/04.00 pm.
Http ://www.biblestudy.org/beginner/definition of christian terms/exegese/html. 13 Juni 2010, 04.00 pm.
Http ://www.thelanguagetranslation.com//translation process, strategy, and methods//html.13 Juni 2010, 04.00 pm.
Katoppo, P.G. 2001. Alkitab dan Komunikasi. Jakarta : Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia.
Latuihamallo. P.D. ”Jenis-Jenis Metode Penerjemahan Alkitab” dalam http://www.sabda.org//sejarah/artikel/jenis metode penerjemahan Alkitab/13 Juni 2010, 03.00 pm Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia
Martinez Meliz, N. & Amparo Hurtado Albir. 2001. ”Assestments in Translation Studies : Research Needs” dalam Meta, journal des traducteurs/Meta : Translation’s Journal XLVI, 2. Hal 272-287
Mc. Guire, dan Susan Bassnet. 1991. Translation Studies. London : British Library. Mildred, Larson.L.1984. Meaning-Based Translation. Boston : University Press of America. Moleong, Lexy J.Dr. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya
Molina, Lucia and Albir, Amparo Hurtado. 2002. Translation Techniques Revisited : A Dynamic and Functionalist Approach. Dalam META Journal Des Tradacteurs/Meta: Translator’s Journals. XLVII, No 4 hal 498-512 Nababan, M.R. 1997. Aspek Teori Penerjemahan dan Pengalihbahasaan. Surakarta : UNS Press. Nababan, M.R. 2003. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Nababan, M.R. 2007. Aspek Genetik, Objektif, dan Afektif Dalam Penelitian Penerjemahan dalam Linguistika. Vol 14, No.26, hal 15-23.
Newman. M. Barclay. 1987. Pedoman Singkat Menterjemahkan Alkitab. Jakarta : Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press. Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. London : Prentice Hall Nida, Eugene A. 1976. Language Structure and Translation. California : Stanford University Press. Odudari,
Mahmoud. “Good Translation: Art, Craft, or Science?” dalam http: //translationjournal.net/journal/43theory.html/volume 12 No 1 Januari 2008/ 21 Juni 2010/03.00 pm.
Odudari,
Mahmoud. “Translation Procedures, Strategies, and Methods” dalam http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am.
Rachmadie, Sabrony., Zuchridin Suryawinata, Ahmad Effendi. 1988. Materi Pokok Translation. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka.
Soesilo Daud. 2001. Mengenal Alkitab Anda Edisi Ke 4. Lembaga Alkitab Indonesia : Jakarta : Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia
Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif ; Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian Edisi Kedua. UNS Press. Surakarta. Tarjana, Samiati. 1998. Masalah Makna dan Pencarian Padanan dalam Penerjemahan. Surakarta : Makalah dalam Seminar Regional.
Tim Lembaga Alkitab Indonesia. 2008. Mengenal Yayasan Lembaga Alkitab Indonesia. Jakarta : Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia.
Zaky,
M. Magdy. “Translation and Language Varieties” dalam http: //www.accurapid.com//translationjournal//17theory.html/21Juni 2010/10.00 am.