TESIS FUNGSI JAKSA MENUNTUT TERDAKWA KORUPSI UNTUK PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA)
NI WAYAN SINARYATI
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
TESIS FUNGSI JAKSA MENUNTUT TERDAKWA KORUPSI UNTUK PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA)
NI WAYAN SINARYATI NIM : 1290561027
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
FUNGSI JAKSA MENUNTUT TERDAKWA KORUPSI UNTUK PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA)
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI WAYAN SINARYATI NIM : 1290561027
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
iii
TESIS INI TELAH DIUJI
Pada Tanggal : 10 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 866/UN.14.4/HK/2015 Tanggal 9 April 2015
Ketua
: Dr. I Gede Artha, SH., MH.
Sekretaris
: Dr. I Dewa Made Suartha, SH., MH.
Anggota
: 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS. 2. Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH. 3. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M.Hum., L.LM.
iv
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat dan karuniaNya sehingga penulisan Tesis yang berjudul “Fungsi Jaksa Menuntut Terdakwa Korupsi Untuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara (Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia)” kiranya dapat penulis selesaikan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Dalam
penyusunan
tesis
ini,
berbagai
pihak
telah
banyak
memberikan dorongan, bantuan serta masukan sehingga dalam kesimpulan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : 1. Bapak Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum di Universitas Udayana. 2. Ibu Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan
kepada
penulis
untuk
mengikuti
dan
menyelesaikan
pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. 3. Ibu Ketua Program Studi Pascasarjana Universitas Udayana Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., L.LM dan sekaligus selaku Anggota Penguji III, atas kesempatan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Program Pascasarjana Universitas Udayana serta
vi
yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran serta ilmu kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. 4. Bapak Sekretaris Program Studi Pascasarjana Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.H atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Program Pascasarjana Universitas Udayana. 5. Bapak Dr. I Gede Artha, SH., MH., selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran serta ilmu yang penulis terima baik selama mengikuti perkuliahan maupun selama bimbingan. 6. Bapak Dr. I Dewa Made Suartha, SH., MH., selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran serta ilmu yang penulis terima baik selama mengikuti perkuliahan maupun selama bimbingan. 7. Bapak Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS., selaku Anggota Penguji I yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran serta ilmu kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. 8. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH., selaku Anggota Penguji II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran serta ilmu kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. 9. Para Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan arahan serta ilmu yang penulis terima selama mengikuti perkuliahan,
vii
10. Seluruh karyawan/karyawati pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana yang telah banyak membantu dan memberikan kemudahan serta kelancaran pelayanan administrasi baik selama penulis mengikuti perkuliahan maupun sampai dengan penyelesaian tesis ini. 11. Atasan langsung dan tidak langsung di Kejaksaan Tinggi Bali yang telah berbaik hati memberikan ijin kepada Penulis untuk menempuh Studi Magister Ilmu Hukum di Program Studi Pascasarjana Universitas Udayana. 12. Segenap kolega seprofesi di Kejaksaan Tinggi Bali yang telah memberikan dorongan moril sehingga penulis berhasil melakukan penelitian dan mengakhiri masa studi yang dapat dilalui tanpa hambatan yang berarti. 13. Segenap informan yang telah memberikan masukan data atau bahan hukum sehingga penelitian tesis dapat tersusun dan terselesaikan. 14. Bapak (Almarhum), Ibu, Mertua, Suami serta anak-anak tercinta (Delia, Kadek Devia) yang dengan tekun memberi doa dan dorongan sehingga tesis ini bisa terselesaikan 15. Bapak dan Ibu serta saudara-saudara handai taulan, yang telah memberikan dukungan serta doa dalam penyelesaian tesis ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan baik mengenai isi maupun dari segi teknis penulisannya,
viii
sebagaimana pepatah mengatakan
Tiada Gading
Yang Tak Retak.
Oleh karenanya penulis dengan kerendahan hati sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian Tesis ini
dapat
bermanfaat
bagi
penulis
ini
dan
semoga
pada khususnya dan pembaca
pecinta hukum pada umumnya.
Denpasar, 23 Maret 2015 Hormat
Penulis
ix
tesis
ABSTRAK
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah begitu parah dan meluas dalam masyarakat dan sangat memprihatinkan, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari segi kuantitas, kualitas serta jumlah kerugian keuangan negara. Tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya memasuki seluruh aspek kehidupan baik tingkat bawah dengan pelakunya dominan dari pejabat negara dan atau penegak hukum. Adapun kendala fungsi jaksa dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait pengembalian kerugian keuangan negara adalah harta atau aset terpidana yang telah berpindah tangan atau telah habis, serta, sehingga eksekusi tidak dapat dilaksanakan. Sehingga muncul masalah 1.Bagaimana pengaturan dalam perundang-undangan pidana Indonesia ketika jaksa mengeksekusi aset koruptor telah habis?, 2.Apa bentuk tindakan hukum yang dapat dilakukan jaksa dalam mengeksekusi aset koruptor untuk pengembalian kerugian negara secara optimal? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan bahan hukum primer dan subsidair serta tersier. Pendekatan yang digunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan perbandingan. Dasar perundang-undangan korupsi yang dikaji adalah UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, UU No. 16 Tahun 2004 dan UU No. 8 Tahun 1981. Tesis ini menyangkut mengenai fungsi Jaksa selaku Penuntut Umum dalam mengeksekusi aset-aset terpidana korupsi, untuk pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi. Dengan tidak adanya norma hukum yang mengatur pada hukum positif Indonesia bagi jaksa dalam mengeksekusi aset koruptor yang telah habis, maka kedepan legislatif perlu memformulasi aturan untuk itu agar jaksa dapat menjalankan fungsinya mengeksekusi secara optimal.
Kata Kunci :
Fungsi Jaksa, Pengembalain Negara, Korupsi
x
Kerugian
Keuangan
ABSTRACT
Corruption in Indonesia has been so severed and widespread in the community and very alarming, its development continues to increase from year to year, both in number of cases and the amonut of state financial losses and in terms of quality. These cirminal offenses commit more systematic and scope into all aspects of life. Starting from lower level of the dominant and state officials or law enforcement. The constraints in the implementation of the court decision related to the return of states losses, is convicted assets and property that has been transfered, multiple population administration and duration of the judicial proceses of implementation is not effective.the problems : 1. How to setup the Indonesian regulations criminal laws when executing assets by prosec utor convicted of corruption are found not to be? , 2. What forms of legal actions that can be performed by a prosecutor in the executing assets to returned convictedof corruption for the optimal state of financial losses? The method used in this research is the method of normative juridical legal research of the research using primary and secondary data sources by document. This approact to use the statute approach, the analifical and conseptual approach, case approach and comparative approach legal, basic of corruption in the judicial process is ussed act No. 8 of 1981 (KUHAP), Act No. 31 of 1999, Act No. 20 of 2001 and Act No. 16 of 2004. This thesis of prosecutor function in the implementation of the court decision related to return of financial loss caused by corruption.In the absence of the legal norms goverment in Indonesian positive laws for prosecutor in the executing assets criminals corrupt who have to run out of the assets to future of legislative bodies it’s need to formulated rules of it. So that prosecutor can be to function of optimally in the to returned of the countries funancial assets losess through the action execution
Keywords : Prosecutor Function, To Return Financial Loss, Corruption
xi
RINGKASAN
Tesis ini berjudul “Fungsi Jaksa Menuntut Terdakwa Korupsi Untuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara (Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia)”. Penulis rangkai dalam 5 bab, dengan paparan seperti berikut : BAB I : Pendahuluan meliputi uraian tentang : Latar Belakang Masalah, bahwa Jaksa sebagai salah satu institusi penegak hukum memiliki fungsi yang diberikan oleh UU untuk Kejaksaan RI, juga dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur tentang apa tindakan Jaksa Penuntut umum yang dapat dilakukan ketika mengeksekusi aset terpidana korupsi yang telah habis atau berpindah tangan, sedangkan negara sangat dirugikan oleh adanya tindak pidana korupsi tersebut. Korupsi terjadi semakin meningkat dan terus merambah segala segi sektor kehidupan dengan pelakunya melibatkan pejabat negara, penegak hukum dan sektor swasta. Sehingga terumus permasalahan : 1. Bagaimana pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan
pidana
Indonesia
ketika
jaksa
mengeksekusi aset terpidana korupsi ternyata telah habis?, 2. Apakah bentuk-bentuk
tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh jaksa dalam
mengeksekusi aset terpidana korupsi keuangan negara yang optimal ?.
untuk pengembalian kerugian
Ruang lingkup masalah menyangkut
mengenai keberadaan dasar hukum pengaturan dan tindakan yang mesti dapat dilakukan Jaksa Penuntut Umum dalam pengembalian kerugian keuangan negara. Tujuan penelitian ini secara umum untuk pengembangan ilmu hukum acara pidana bagi Jaksa Penuntut Umum menyangkut pengembalian kerugian keuangan negara, serta secara khusus untuk mengetahui serta mengkaji terhadap permasalahan yang disajikan. Manfaat penelitian secara teoritis untuk menambah wawasan pengetahuan dalam penegakan hukum di bidang peradilan korupsi, untuk disumbangkan p ada kegunaan pengetahuan pada penulis dan pembaca. Landasan teoritis yang
xii
dipakai mengkaji permasalahan adalah menyangkut asas-asas hukum, konsep hukum, doktrin, yurisprudensi serta teori – teori hukum seperti teori pembuktian, teori fungsional dan teori kebijakan hukum pidana. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan meneliti UU (KUHAP, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang PTPK). Dalam UU tersebut diatas tidak ada dasar pengaturan (norma kosong / facum of norm) soal fungsi Jaksa Penuntut Umum tentang ketika aset terpidana korupsi tidak dapat dieksekusi. Pendekatan yang dipakai adalah the statue approach (perundang-undangan), the analitical and conseptual approach (analisis konsep hukum), the cases approach (pendekatan kasus) dan comparatif approach (perbandingan) dengan beberapa negara asing, sumber bahan hukum primer yang dirujuk adalah KUHAP, UU Kejaksaan RI dan UU PTP Korupsi (UU No. 8 Tahun 1981, UU No. 16 Tah un 2004 dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang PTP Korupsi). Bahan hukum sekunder berupa RUU, hasil karya ilmiah dan hasil penelitian, serta badan penegak hukum seperti jaksa dan hakim. Dalam menganalisis bahan hukum tersebut, digunakan teknik deskripsi (uraian apa adanya terhadap kondisi yang diteliti), teknik argumentasi (penalaran hukum), teknik evaluasi (penilaian terhadap obyek yang diteliti), teknik interpretasi (penafsiran) Bab II, dijelaskan mengenai pengertian dan makna dari variabel – variabel yang terdapat dalam judul seperti fungsi berarti jabatan atau pekerjaan, jaksa berarti pejabat diberi wewenang oleh UU untuk bertindak, Penuntut Umum yakni jaksa karena fungsinya untuk menuntut arti menuntut berarti meminta, penuntutan sesuai Pasal 1 angka 7 KUHAP adalah
tindakan
Penuntut
Umum
untuk
melimpahkan
perkara
ke
pengadilan negeri yang berwenang. Pengertian terdakwa seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 15 KUHAP). Sedangkan terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
xiii
Pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana (Wirjono Prodjodikoro). Terkait dengan korupsi dipaparkan mengenai tipe – tipe keuangan negara, Tipe TPK Suap, Tipe TPK Pemerasan, Tipe TPK Penyerobotan, Tipe TPK Gratifikasi, Tipe TPK Percobaan, Pembantuan dan Permufakatan dan Tipe Tindak Pidana Korupsi lainnya. Sub berikutnya diuraikan tentang arti dan makna keuangan negara, yakni semua hak atau kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang atau barang sebagai milik negara. Sub bab berikut diuraikan tentang fungsi dan wewenang Jaksa Penuntut Umum terkait usaha pengembalian kerugian keuangan negara sehubungan tindak pidana korupsi perspektif SPP Indonesia, jaksa selaku Penuntut Umum dan sub unsur struktur dalam SPP memiliki kewenangan atributif yang diberikan UU seperti KUHAP dan UU Kejaksaan RI dalam menuntut terdakwa korupsi untuk pengembalian kerugian keuangan negara. Bab III, dipaparkan tentang ketentuan pengaturan sanksi pidana dengan unsur kerugian keuangan negara dengan Unsur Rumusan Delik Tindak Pidana Korupsi Dalam Hukum Positif Indonesia (ius constitutum), dengan inti-inti pada sub-sub seperti : landasan pengaturan sanksi pidana tindak pidana korupsi dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti: KUHP (Kelompok Tindak Pidana Penyuapan, Penggelapan, Pemerasan), Peraturan Penguasa Militer No. : Prt/PM/06/1957 Tanggal 9 April 1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat AD Tahun 1958, Perpu No. 24 Tahun 1960 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang PTPK dianut sifat melawan hukum yang formil, disamping ajaran sifat melawan hukum materiil. Sub-sub berikut dipaparkan beberapa perbandingan dengan negara asing tentang penyitaan aset koruptor (seperti Amerika Serikat, Swiss, Filipina dan Kolumbia). Negara-negara tersebut menonjolkan perampasan aset bagi koruptornya tanpa tuntutan pidana, berarti menonjolkan pengembalian kerugian secara hukum perdata, hanya
xiv
negara Kolumbia menerapkan sistem yang sama seperti di Indonesia dengan menempuh prosedur pidana terlebih dahulu baru selanjutnya menggugat secara perdata sehingga prosesnya akan lebih lama. Pada bagian akhir Bab III ini dikritisi permasalahan sebagai kajian melalui teori-teori hukum dengan memakai teori keadilan korektif (Aristoteles) bahwa terdakwa korupsi harus
dipidana yang setimpal
dengan perbuatannya karena sangat merugikan negara, serta teori pemidanaan bagi koruptor perlu diberikan sanksi yang berat / pemidanaan absolut / mutlak) agar mereka jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Teori kewenangan adalah tepat bagi jaksa untuk mendakwa dan menuntut secara atributif yang dijamin oleh UU, agar koruptor mengembalikan kerugian keuangan negara yang dikorup. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum tersebut bersinergi dengan inti teori fungsional agar hasil pengembalian kerugian keuangan negara ada manfaat atau berguna bagi masyarakat luas, fungsi Jaksa Penuntut Umum selaku eksekutor agar bermanfaat bagi proses hukum dalam SPP serta sesuai dengan esensi teori dalam SPP tersebut, juga sesuai dengan pidana sehingga
esensi teori kebijakan hukum
ke depan perlu dirumuskan pengaturan aturan hukum
agar Jaksa Penuntut Umum dapat selalu mengeksekusi aset-aset terpidana koruptor. Bab IV : diuraikan dan dikaji tentang fungsi jaksa selaku penuntut umum dan tindakan hukum yang dilakukan terkait pengembalian kerugian keuangan negara dengan memerankan fungsi melalui : menyita asset dalam tingkat penyidikan dan jaksa harus sudah mengetahui saat penuntutan besarnya uang pengganti yang akan dituntut jumlahnya sama dengan asset yang di sita, akurat surat dakwaannya,
mengoptimalkan perumusan serta
bentuk
memasang tuntutan yang optimal dan tepat,
cermat, jelas dan lengkap sehingga terdakwa tidak mudah lepas, bebas, atau dipidana ringan oleh hakim. Untuk pengembalian kerugian keuangan negara oleh koruptor Jaksa Penuntut Umum mengantisipasi melalui beberapa langkah tindakan hukum berupa : pengajuan upaya hukum (biasa
xv
dan luar biasa), menggugat terpidana yang melalui upaya perdata yakni jaksa selaku pengacara negara, juga tindakan jaksa untuk menyita atau merampas aset-aset terpidana negara, serta pula dilakukan kerjasama secara sistematik dengan institusi terkait (KPK, BPKP, PPATK) dalam penghitungan nilai kerugian negara. Bab V : memuat simpulan dan saran, simpulan : 1. Tidak ada dasar hukum pengaturan tentang fungsi jaksa selaku eksekutor ketika Jaksa Penuntut Umum
mengeksekusi putusan Hakim terhadap aset – aset
terpidana korupsi yang ternyata telah habis / berpindah pada pihak lain. Baik KUHAP, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kajaksaan RI, serta UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum / tidak ada mengatur tentang hal -hal dimaksud alias terjadi norma kosong (vacuum of norm / leemeten van normen). 2. Tindakan hukum sebagai upaya antisifatif Jaksa Penuntut Umum ke depan agar dapat menyelamatkan dan untuk pengembalian kerugian keuangan negara adalah sejak awal mendakwa terdakwa korupsi secara cermat, jelas dan lengkap. Jaksa sudah menyita aset tersangka pada tahap penyidikan dan sudah diketahui besarnya uang pengganti yang akan dituntut sama besarnya dengan jumlah aset yang telah disita, menuntut terdakwa melalui surat tuntutan (requisitoir) yang optimal dan maksimal, mengajukan upaya hukum biasa dan luar biasa terhadap putusan hakim yang kurang adil / putusan yang tidak memuaskan Jaksa Penuntut Umum, Kejaksaan Agung mengoptimalkan kasasi demi kepentingan hukum, jaksa selaku pengacara negara menggugat terpidana korupsi melalui jalur perdata, meningkatkan kerjasama dengan institusi lain (seperti KPK, PPATK, BPK), jaksa selalu menggelar perkara korupsi dengan penegak hukum terkait sebelum perkara dinyatakan lengkap untuk adanya kesatuan pandangan terhadap kasus yang dihadapi. Saran Penulis : 1. Agar pihak legislatif bersama eksekutif untuk menformulasikan ketentuan
pengaturan bagi Jaksa untuk selalu dapat
mengeksekusi aset-aset terpidana yang telah habis tersebut. 2. Agar jaksa sejak tahap penyidikan sudah melakukan penyitaan aset tersangka korupsi
xvi
sehingga dalam penuntutan sudah mengetahui jumlah besarnya uang pengganti yang akan dituntut sama dengan besarnya aset yang disita dan hakim (pengadilan) selalu memutus sinkron dengan tuntutan jaksa.
xvii
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DEPAN .........................................................................
i
HALAMAN PRASYARAT GELAR ..............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ...............................
iii
HALAMAN PERNYATAAN TELAH DIUJI .................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .................................
v
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ......................................
vi
ABSTRAK ....................................................................................
x
ABSTRACT .................................................................................
xi
RINGKASAN ..............................................................................
xii
DAFTAR ISI.................................................................................
xix
DAFTAR TABEL ........................................................................
xxvi
BAB I
PENDAHULUAN .........................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................
1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................
21
1.3 Ruang Lingkup Masalah ..........................................
22
1.4 Tujuan Penelitian.....................................................
22
1.4.1 Tujuan Umum ................................................
22
1.4.2 Tujuan Khusus ...............................................
23
1.5 Manfaat Penelitian ...................................................
23
1.5.1 Manfaat Teoritis ............................................
23
1.5.2 Manfaat Praktis ..............................................
24
1.6 Orisinalitas Penelitian ..............................................
24
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir .................
27
1.7.1 Landasan Teoritis...........................................
27
xviii
BAB II
1.7.2 Kerangka Berpikir..........................................
44
1.8 Metode Penelitian ....................................................
45
1.8.1 Jenis Penelitian ..............................................
45
1.8.2 Jenis Pendekatan ............................................
46
1.8.3 Sumber Bahan Hukum....................................
46
1.8.4 Data Penunjang ..............................................
49
1.8.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ...............
49
1.8.6 Teknik Analisis Bahan Hukum .......................
50
TINJAUAN UMUM TERHADAP ARTI, MAKNA BEBERAPA ISTILAH HUKUM TERKAIT FUNGSI JAKSA PENUNTUT UMUM PADA PERADILAN TINDAK
PIDANA
PENGEMBALIAN
KORUPSI
KERUGIAN
GUNA KEUANGAN
NEGARA DALAM KONTEKS SISTEM PERADILAN PIDANA ......................................................................
51
2.1. Pengertian dan Makna Fungsi Jaksa / Penuntut Umum, Menuntut
/
Penuntutan, Terdakwa /
Terpidana ............................................................ 2.1.1 Pengertian
Fungsi,
Jaksa
dan
/
51
atau
Penuntut Umum .........................................
51
2.1.2. Makna Menuntut dan Penuntutan Bagi Terdakwa ..................................................
53
2.2. Istilah / Makna Tindak Pidana Terkait Dengan Tindak Pidana Korupsi ........................................
55
2.2.1. Arti Tindak Pidana dan Makna Tindak Pidana Korupsi ..........................................
55
2.2.2. Tipologi Tindak Pidana Korupsi ................
59
xix
2.3. Tugas, Fungsi, Wewenang, Jaksa Penuntut Umum Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Konteks Sistem Peradilan Pidana ..............
65
2.3.1. Esensi dan Makna Pengembalian Kerugian Keuangan
Negara
Bagi
Terdakwa
/
Terpidana Koruptor ................................... 2.3.2. Tugas /
65
Fungsi dan Wewenang Jaksa
Penuntut Umum Terkait Dengan Usaha Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia ............. BAB III
KETENTUAN
PENGATURAN
SANKSI
75
PIDANA
DAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SERTA TINDAK
UNSUR
RUMUSAN
PIDANA
KORUPSI
DELIK
DALAM
PERSPEKTIF
IUS
CONSTITUTUM ......................................................... 3.1. Landasan
Yuridis
Pengaturan
Sanksi
107
Pidana
Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Beberapa Perundang-Undangan Pidana Indonesia ................ 3.1.1 Kitab
Undang-Undang
Hukum
107
Pidana
(KUHP) .....................................................
110
3.1.2. Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt / PM – 06 / 1957 tanggal 9 April 1957 .........
112
3.1.3. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor : PRt / Peperpu / 013 / 1958, Tentang
Pengusutan,
Peuntutan
dan
Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda (BN : Nomor 40 Tahun 1958) .............................................. 3.1.4. Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor : 24 Prp. Tahun 1960
xx
114
Tentang
Pengusutan
Penuntutan
dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN : Nomor : 72 Tahun 1960) ............................
115
3.1.5. Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1971 Tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi .....................................................
117
3.1.6. Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi jo Undang – Undang Nomor 20 Tahun
2001
Tentang
Perubahan
Atas
Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi .....................................................
119
3.2. Esensi Unsur Kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara Dengan Delik Formil dan Delik Materiil Dalam Tindak Pidana Korupsi .......
148
3.3. Sifat Unsur Delik Melawan Hukum Sebagai Unsur Mutlak Dalam Tindak Pidana Korupsi .................. 3.4. Komparasi
Dengan
Beberapa
Negara
157
Asing
Menyangkut Perampasan/ Penyitaan Aset Hasil Tindak Pidana oleh Aparat Penegak Hukum .........
162
3.5. Keterkaitan Fungsi Jaksa Penuntut Umum Selaku Eksekutor Dikaji Dari Aspek Teori Hukum Dalam Pengembalian
Kerugian
Kerugian
Keuangan
Negara ................................................................. BAB IV
FUNGSI HUKUM
PENUNTUT YANG
PENGEMBALIAN
UMUM
DAN
DILAKUKANNYA KERUGIAN
167
TINDAKAN TERKAIT KEUANGAN
NEGARA DALAM PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ....................................................................
xxi
175
4.1. Tindakan Hukum Oleh Penuntut Umum Melalui Surat Dakwaan Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi ............................................................... 4.1.1.
175
Peranan Surat Dakwaan Dalam Proses Pidana .....................................................
175
4.1.2.
Tujuan dan Fungsi Surat Dakwaan ...........
182
4.1.3.
Bentuk – Bentuk Surat Dakwaan ..............
187
4.2. Tindakan Hukum Oleh Penuntut Umum Melalui Surat
Tuntutan
(Requisitoir)
Dalam
Proses
Peradilan Tindak Pidana Korupsi .........................
191
4.2.1.
Maksud Surat Tuntutan (Requisitoir) .......
191
4.2.2.
Maksud dan Isi Surat Tuntutan Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Korupsi ......
4.3. Tindakan
Hukum
Penuntut
Umum
194
Melalui
Pengajuan Upaya Hukum Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi ....................................................
200
4.3.1 Pengajuan Upaya Hukum Biasa (Banding dan / atau Kasasi) ...................................... 4.3.2. Pengajuan
Upaya
Hukum
Luar
200
Biasa
(Kasasi Demi Kepentingan Hukum) ...........
201
4.4. Tindakan Hukum Penuntut Umum Melalui Fungsi Jaksa Sebagai Pengacara Negara .......................... 4.5. Tindakan
Hukum
Penuntut
Umum
203
Dengan
Melakukan Perampasan Barang – Barang Tertentu / Tindakan Penyitaan ...........................................
205
4.5.1 Makna Perampasan Barang / Penyitaan ......
205
4.5.2. Maksud dan Tujuan Perampasan Barang / Penyitaan .................................................. 4.6. Koordinasi Penuntut Terkait
Dalam
Umum Dengan
Penanganan
xxii
Institusi
Penghitungan
207
Pengembalian
Kerugian
Keuangan
Negara
Terhadap Aset Koruptor ....................................... 4.6.1 Peran
Pemberantasan
Korupsi
(KPK) .......................................................
209
4.6.2. Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ...
212
4.6.3. Peran
BAB V
Komisi
209
Pusat
Pelaporan
dan
Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) ...................
215
PENUTUP ...................................................................
222
5.1. Simpulan .............................................................
222
5.2. Saran ...................................................................
224
DAFTAR PUSTAKA
xxiii
DAFTAR TABEL
Tabel I
Kasus Tindak Pidana Korupsi Diputus Bebas Di Pengadilan Negeri, Jaksa Kasasi Ke Mahkamah Agung (MA) ……………………………………….......
Tabel II
9
Kasus Tindak Pidana Korupsi Menurut Pekerjaan Pelaku ….............................................................
14
Tabel III
Kerugian Keuangan Negara Dan Pengembaliannya..
15
Tabel IV
Kerugian Negara Tak Kembali Karena Terpidana Kabur / Meninggal Dunia …………........................
Tabel V
Kasus Tindak Pidana Korupsi Yang Ditangani KPK (Tahun 2004 – 2013)............................................
Tabel VI
102
Perkara Korupsi Di Pengadilan Negeri Denpasar / Pengadilan Tipikor Denpasar Tahun 2012 ………..
Tabel VIII
17
Kedudukan Dan Fungsi Penegak Hukum Dalam SPP Indonesia …….....................................................
Tabel VII
16
139
Perkara Korupsi Di Pengadilan Negeri Denpasar / Pengadilan Tipikor Denpasar Tahun 2013 ………..
xxiv
140
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai konsekuensi logis bahwa Indonesia berlandaskan atas hukum (rechtstaat) maka hukum mesti tetap ditegakkan. Salah satu bidang hukum yang menjadi skala prioritas pemerintah rezim reformasi dalam penegakan hukumnya adalah konsen mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Bagi Indonesia fenomena dan fakta korupsi telah meningkat dan meluas terus merambah hampir ke semua sektor kehidupan. Modus operandi tindak pidana korupsi semakin hari kian sulit dan rumit untuk diungkap. Berbagai kualifikasi tindak pidana korupsi telah diberikan seperti tindak pidana korupsi telah digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa
(extra
ordinary
crimes),
kejahatan
lintas
batas
teritorial
(transnational crimes), kejahatan terselubung (hidden crimes), kejahatan kerah putih (white collar crimes), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Kualifikasi
tindak
pidana
korupsi
seperti
di
atas
dalam
penanganannya mesti pula dihadapi dengan cara-cara yang luar biasa pula (extra ordinary power).
Korupsi telah merambah berbagai sektor
kehidupan, dan bahkan pelaku-pelakunya dominan dilakukan kalangan eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta melibatkan jajaran Kementer ian tingkat tinggi hingga struktur pemerintahan terbawah seperti aparatur
1
2
Kelurahan. Alias korupsi di Indonesia pelakunya dominan dilakukan oleh pejabat penyelenggara negara, para penegak hukum serta melibatkan orang lain terkait sesuai kasus yang terjadi dibidangnya. Dengan fenomena korupsi seperti itu dalam penanganannya berupa pencegahan dan pemberantasannya tidak dapat hanya dilakukan oleh satu organ institusi. Penanganan korupsi di Indonesia ini mesti dilakukan secara terpadu, sistemik dan berkelanjutan. Dampak tindak pidana korupsi sudah dirasakan dan dinyatakan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan m akmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum internal yang berkuasa merancang anggaran untuk pembangunannya justru dikorup. Sehingga kualitas pembangunan menjadi rendah, negara menjadi amat dirugikan karena sebagian anggarannya dinikmati oleh para koruptor yang nota bene banyak pelakunya penyelenggara negara, penegak hukum serta kroni swasta rekanan bisnisnya yang ikut terkait di dalamnya. Usaha penegakan hukum melalui proses yang adil (due process of law) di bidang korupsi sekarang telah melibatkan berbagai elemen berupa lembaga penegak hukum dan lembaga di luar struktur kenegaraan seperti lembaga independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta berbagai
3
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) dan lain-lain. Namun justru tindak pidana korupsi yang muncul semakin meningkat secara kuantitas dan kualitasnya. Perspektif struktur subsistem peradilan pidana yang salah satunya adalah melibatkan institusi Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi. Lembaga Kejaksaan sebagai penegak hukum dan lembaga negara juga sebagai lembaga hukum publik sebagai wakil negara memiliki tugas dan wewenang strategis dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Lembaga Kejaksaan dalam memerankan tugas dan kewenangannya dilandasi oleh undang-undang operasional yakni Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) serta Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Institusi Kejaksaan diperankan oleh pejabat struktural Jaksa dan difungsikan perannya dalam penuntutan oleh Penuntut Umum. Menurut ketentuan Pasal 13 KUHAP, Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini (baca KUHAP) untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Secara inti tugas penuntut umum/Kejaksaan ada dua hal yakni : a) penuntutan, b) melaksanakan penetapan hakim. 1 Tugas dan wewenang Jaksa adalah mengemban penegakan hukum mewakili negara atau lembaga publik dalam memperjuangkan hak-hak negara dan atau individu-individu ketika hak-haknya dilanggar untuk dipulihkan melalui proses hukum mulai mendakwa, menuntut penyampaian tuntutan hukum (requissitoir) serta melaksanakan penetapan hakim dan mengeksekusi putusan hakim. Secara keilmuan kejaksaan memerankan dua buah asas penting dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya yakni menjalankan asas oportunitas dan asas legalitas. 2 Asas oportunitas ialah asas yang memberi wewenang penuntut umum untuk tidak melakukan dakwaan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana dengan jalan mengkesampingkan 1
Djisman Samosir, 2013, Hukum Acara Pidana, Nuansa Mulia, Bandung, hlm :
2
Ibid, hal. 17
91
4
perkara yang sudah terang pembuktiannya dengan tujuan untuk kepentingan negara dan atau umum; sedangkan asas legalitas ialah asas yang mewajibkan penuntut umum melakukan dakwaan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana, asas ini merupakan penjelmaan dari asas equality before the law 3 Kewenangan jaksa selaku penuntut umum demikian luas, seperti tersurat dalam Pasal 14 KUHAP, Penuntut Umum mempunyai wewenang : a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 100 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke pengadilan; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan ......dstnya; g. melakukan penuntutan; h. menutup perkara demi kepentingan hukum; i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j. melaksanakan penetapan hakim.
Sejalan dengan ketentuan di atas tugas dan wewenang Kejaksaan seperti tersurat dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No: 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Kejaksaan di bidang pidana mempunyai tugas dan wewenang: a. melakukan penuntutan; b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 3
Ibid, hlm. 18
5
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. melengkapi berkas perkara dst.nya ... ..sampai ayat (2) dan ayat (3) huruf a sampai f.
Tugas dan wewenang Kejaksaan cukup luas, karena mewakili negara dalam memulihkan hak publik bila terjadi pelanggaran hukum. Khusus dalam penelitian tesis ini hanya mengkaji peran Jaksa selaku Penuntut Umum dalam perannya untuk menuntut terdakwa pelaku tind ak pidana korupsi sehubungan kerugian negara yang ditimbulkan agar kerugian keuangan/aset negara dapat dikembalikan oleh koruptor. Dalam ketentuan KUHAP, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, juga dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan TIPIKOR) tidak ada ketentuan mengatur adanya keharusan bagi Jaksa selaku Penuntut
Umum
(requisitoir)
untuk
berupa
menyampaikan tuntutan
kepada
atau
menyertakan
terdakwa
tuntutan
korupsi
agar
mengembalikan kerugian keuangan negara sesuai besarnya nilai nominal yang telah dikorup oleh terdakwa. Terhadap ketentuan keharusan bagi Jaksa Penuntut Umum dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan keharusan melakukan penuntutan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara di atas belum diatur, alias terjadi kekosongan norma hukum. Juga
6
tampak belum adanya pengaturan baik di dalam KUHAP, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dan UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengenai apa bentuk tindakan hukum yang dapat dilakukan. Jaksa selaku eksekutor putusan hakim bagi terpidana korupsi ketika mengeksekusi putusan hakim bagi terpidana tidak dapat dilakukan karena aset – aset terpidana ternyata telah habis atau telah berpindah tangan kepada pihak lain. Fungsi jaksa selaku eksekutor tidak akan berhasil untuk memulihk an aset negara. Sehubungan dengan fenomena seperti itu dalam perundangundangan pidana Indonesia terkait,
masih terjadi norma kosong atau
vacum of norm / leemeten van normen. Memang terkait dengan jenis pidana tambahan di luar KUHP, Pasal 18 Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 mengatur : (1) Selain pidana tambahan yang dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan adalah : a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut. b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. c. penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat
7
(1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan karenanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Namun bila dicermati ketentuan Pasal 18 di atas, tidak ada ketentuan yang mengharuskan jaksa harus melakukan tuntutan terhadap setiap kasus tindak pidana korupsi agar terdakwanya mengembalikan kerugian keuangan negara sebagai bentuk tuntutan pidana tambahan, jadi sifatnya pidana tambahan tersebut adalah fakultatif. Begitu juga patokan sebagai ukuran atau kriteria yang menetapkan batas nilai nominal minimum atau maksimum bagi kerugian negara yang timbul mesti Jaksa Penuntut Umum untuk menuntut dalam requisitoir nya agar
terdakwa
korupsi
mengembalikan
kerugian
keuangan
negara
(recovery) yang telah dikorup juga tidak ada hal mengatur seperti dimaksud. Alias dalam ketentuan hukum positif tersebut di atas belum diatur atau terjadi kekosongan norma hukum. Bahwa disinyalir atau diprediksi
kerugian
disebabkan ulah
keuangan
negara
perbuatan para koruptor
dicuci/money laundering, dan
atau
perekonomian
dimana
negara
uang negara raib/
para koruptor setelah divonis pengadilan
banyak yang tidak mampu membayar denda, tidak mampu mengembalikan kerugian keuangan negara karena berbagai sebab seperti terpidana korupsi meninggal dunia, terpidana korupsi kabur keluar negeri yang sulit dilacak dan dideteksi, aset koruptor telah habis atau berpindah tangan pada pihak ketiga, bahkan hasil korupsi dicuci/dikaburkan/money laundering dengan berbagai modus operandi yang sulit untuk diungkap.
8
Ada beberapa temuan penelitian penulis tentang kasus – kasus tindak pidana korupsi, dimana putusan hakimnya tidak dapat dieksekusi oleh jaksa karena jaksa selaku eksekutor tidak mendapatkan atau menemukan lagi aset – aset atau barang – barang milik terpidana karena telah habis atau telah berpindah tangan pada pihak lain atau orang lain. Apalagi bila putusan hakim yang memidana terpidana, hanya dijatuhi dengan pidana pokok denda saja, tanpa disertai jenis pidana pokok lain seperti pidana penjara, pidana kurungan ataupun dengan jenis pidana pengganti berupa pidana tambahan pengembalian kerugian keuangan negara kepada siterpidananya. Lebih memprihatinkan lagi bagi penegakan hukum di bidang korupsi,
bila
putusan
hakim
memidana
bebas
bagi
terdakwanya
(vrijspraak). Atau pidana yang dijatuhkan pidana tergolong ringan, jauh dari tuntutan jaksa. Fenomena dan fakta seperti itu akan mencederai peradilan dengan sorotan publik terjadi rekayasa, mafia peradilan, jual beli perkara terhadap praktek peradilan khususnya hakim. Terhadap fenomena di atas tidak jarang jaksa penuntut umum akan mengajukan upaya hukum banding ataupun upaya hukum kasasi, demi memperoleh keadilan atas putusan hakim yang dipandang tidak adil. Berikut disajikan beberapa putusan hakim yang dimintakan banding atau kasasi oleh jaksa penuntut umum atas kasus – kasus tindak pidana korupsi yang dipandang sangat merugikan keuangan negara dan tidak
9
sesuai dengan tuntutan (requisitoir) Jaksa Penuntut Umum, hal dimaksud menyangkut putusan – putusan seperti berikut : TABEL: I Kasus Tindak Pidana Korupsi Diputus Bebas di Pengadilan Negeri, Jaksa Kasasi ke Mahkamah Agung (MA). No. 1
Identitas Putusan
Tuduhan PS TP
Nama
Hakim
Korupsi
Terdakwa
Pemutus
Vonis PN / MA
PN Negara – Bali
TP Korupsi APBD Tk.
Ida Bagus
Wuslawa, SH
PN : Bebas
No. 110 / Pid.B/2002 /
II Jembrana
Indugosa, SH
PN Ngr tanggal 3
Ps 1 (1) a jo UU 28 jo
Made Tara
MA : Kasasi JPU
Maret 2003
34c UU 3/1971 jo Ps 3
dikabulkan
JPU – Kasasi ke MA
jo Ps 43a UU 31/99 jo
dipidana 1 tahun
Put MA No. 60 K / Pid.
UU 20/2001 jo Ps 55
dan denda 30 juta
Sus / 2008, tanggal 30
(1) ke I KUHP
apabila tidak
April 2008
dibayar diganti pidana kurungan 6 bulan, membayar uang pengganti Rp.1.395.379.000,-
2
PN Pandeglang –
TP Korupsi,rimer Ps 1
H. TB.
M. Mayun
(Primer)
Banten
(1) sub b jo Ps 28 UU
Maladi Bin
Bebas
No. 47 / Pid. B / 2005 /
31 / 1971, jo Ps 64 (1)
H. TB.
Subsidair dipidana
PN. Pdg tanggal 10
KUHP subsidair –
Sugriba
7 bulan + denda 5
Oktober 2005
Perbtn berlanjut
juta
JPU Kasasi – MA No.
Bebas
296 K / Pid. Sus / 2008 / tanggal 22 September 2008
3
PN Serang – Banten
TP Korupsi
No. 211 / Pid. B / 2005
(memperkaya orang
/ PN Srg tanggal 16
Ahmad Rivai
Maenong, SH
PN: Bebas
lain)
H. Mansyur
MA: Kasasi JPU
September 2005
Ps 2 (1) jo Ps 18 UU
Kartayasa
dikabulkan MA
JPU – Kasasi – MA
No. 31 / 99 jo UU No.
dan menghukum
No. 2317K/Pid/2005
20 / 2011
terdakwa dengan 1
tanggal 30 Desember
tahun + denda 300
2006
juta
10
No.
4
Identitas Putusan
Tuduhan PS TP
Nama
Hakim
Korupsi
Terdakwa
Pemutus
Put PN Manna –
TP Korupsi
Syamhardi
Anser
Bengkulu
Ps 2 (1) jo Ps 18 (1) hrf
Saleh Bin
Simanjuntak
No. 69 / Pid.B / 2005 /
b (2) dan (3) UU No.
HM Saleh
PN. M tanggal 7
31 / 1999 jo UU 20 /
H. Mansyur
Oktober 2005
2001
Kartayasa,
JPU Kasasi ke MA No.
Vonis PN / MA
PN: Bebas
MA Mengabulkan kasasi (PN)
SH.MH
2359K / Pid / 2006 tanggal 13 Pebruari 2007
5
PN Singaraja – Bali
TP. Korupsi
Drs. Nyoman
I Gst. Ngurah
PN:Bebas
No. 106 / Pid.B/2006 /
Sudarmaja
Artha Naya,
MA: pidana
PN Sgr tanggal 6
Duniaji, dkk
SH., MH.
penjara masing-
Pebruari 2007
masing 6 bulan
JPU – Kasasi ke MA
Prof. Dr.
percobaan 2 tahun,
dengan No.
Mieke
denda 50 juta
357K/Pid.Sus / 2007,
Komar, SH.,
sub.6 bulan, uang
tanggal 30 April 2008
MCL
pengganti Rp.733.697.164,-
6
PN Tebung Tinggi Deli
TP Korupsi
H.
Parulian
No. 567 / Pid.B/2007 /
Ps 3 jo Ps 18 UU
Muhammad
Saragih
PN.TTD, tanggal 29
31/1999 jo UU 20/2001
Syafri Chap
Juli 2008
jo Ps 55 (1) ke 1 KUHP
Bebas (PN)
JPU – Kasasi ke MA
R. Imam
Mengabulkan
No. 1213 K / Pid.
Haryadi,
kasasi JPU sebagai
Sus/2009
SH.MH
primer bebas
Tanggal 18 Agustus
subsidair
2010
7
PN Pamekasan –
TP Korupsi
Drs. Ec.
Nursyam
Lepas (dakwaan
Madura
Primer :
Efendi
primer)
No. 83 / Pid. B/2009 /
Ps 2 (1) jo Ps 18 UU 31
Sutrisnno,
Bebas (dak sub)
PN Pks tanggal 8 Juni
/ 99jo UU 20 / 2001
MM
Mengabulkan
2009
Jo Ps 55 (1) ke 1
JPU Kasasi ke MA
KUHP jo Ps 64 (1)
HM.
vonis 2 tahun
dengan No. 1853K /
KUHP
Zaliaruddin
penjara + denda
Pid.Sus / 2009, tanggal
Subsidair :
Utama,
100 jt, sub 1 tahun
kasasi JPU dengan
11
No.
Identitas Putusan 17 Maret 2010
Tuduhan PS TP
Nama
Hakim
Korupsi
Terdakwa
Pemutus
Ps 3 jo Ps 18 (1) UU 31
Vonis PN / MA
SH.MH
kurungan
Rahman Bin
Anser
Bebas (PN)
Mahmud
Simanjutak
/ 99 jo UU No. 20 / 2001 jo Ps 55 (1) Ke I jo Ps 64 (1) KUHP
8
PN Sekayu – Sumsel
Korupsi Dana BLT
No. 800 / Pid.B/PN Sky tanggal 1 Pebruari 2010 JPU Kasasi – MA No.
Altijo
Dikabulkan Kasasi
1022/K/Pul.Sus/2010,
Alkostar
JPU
tanggal 19 Agustus 2010
Sumber : Beberapa Pengadilan Negeri di Indonesia dan Pusat Dokumentasi
Sampel kasus tindak pidana korupsi tersebut di atas, menunjukkan beberapa kasus diputus bebas atau ringan oleh pengadilan negeri, jaksa penuntut umum tidak puas dan atau / tidak dapat mengeksekusi karena tidak disertai putusan hakim dengan penjatuhan sanksi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Maka jaksa penuntut umum pada umumnya mengajukan keberatan dengan mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Atas putusan dan penilaian Mahkamah Agung kasus korupsi yang dimohonkan kasasi atau peninjauan kembali (PK) dari Jaksa dikabulkan oleh Mahkamah Agung terutama dikabulkannya tuntutan pengembalian kerugian keuangan negara dengan mewajibkan terpidana mengembalikan kerugian keuangan negara. Fenomena tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi sorotan, kajian, cemohan bahkan penghinaan, karena korupsi yang
12
terjadi mulai tampak dan terungkap dilakukan oleh para pejabat penyelenggara negara dan penegak hukum. Sebenarnya secara jujur kita telah memahami bahwa di Indonesia masalah korupsi telah sejak lama mewarnai berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Selama beberapa dasawarsa fenomena ini telah menjadi persoalan nasional yang amat sangat sukar ditanggulangi. Bahkan secara sinis ada komentar di sebuah jurnal asing yang mengulas kondisi korupsi di Indonesia dengan mengatakan bahwa "corruption is way of life in Indonesia" yang berarti bahwa korupsi telah menjadi pandangan dan jalan kehidupan bangsa Indonesia. 4 Penilaian seperti ini tentunya sangat menyakitkan rasa kebangsaan dan tidak dapat diterima begitu saja, namun demikian jauh sebelumnya
Muhammad
Hatta,
salah
seorang
tokoh
proklamator
kemerdekaan Indonesia pernah melontarkan penilaian yang sama, dengan mengatakan bahwa korupsi cenderung sudah membudaya, atau sudah menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. 5 Apa yang dikhawatirkan oleh Bung Hatta pada sekitar akhir tahun 60-an itu, sampai dewasa ini telah semakin menjadi sebuah fakta yang amat sulit dibantah. Skala korupsi yang terjadi telah menjadi semakin "menggurita". Korupsi di Indonesia tidak saja telah membudaya namun juga telah melembaga. Perilaku menyimpang itu telah mengalami proses institusionalisasi, sehingga hampir tidak ada lembaga negara yang steril 4
Amin Rais, 1999, Pengantar dalam Edy Suandi dan Muhammad Sayuti (ed.) Menyikapi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, hlm : IX. 5 Mubyarto, 1995, Ekonomi dan Keadilan Sosial, Aditya Media, Yogyakarta, hlm : 86.
13
dari
perilaku
menyimpang
tersebut. 6
Bahkan
betapa
terkejutnya
masyarakat Indonesia ketika M. Akil Mochtar Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ditangkap oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 2 Oktober 2013 di rumah dinasnya karena tersangkut kasus korupsi sehingga KPK pada tanggal 3 Oktober 2013 menetapkan M. Akil Mochtar sebagai tersangka penerima suap dalam penanganan perkara sengketa pemilihan Kepala Daerah Lebak (Banten) dan Gunung Mas (Kalimantan Tengah) di Mahkamah Konstitusi. 7 Muhamad Yusuf 8 Ketua PPATK mengatakan korupsi di Indonesia sudah sampai pada titik nadir. Korupsi di negeri ini begitu parah, mengakar bahkan sudah membudaya. Praktik korupsi terjadi hampir di setiap lapisan masyarakat dan birokrasi, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif serta telah pula menjalar ke dunia usaha. Ibarat penyakit, korupsi merupakan penyakit yang sudah kronis, sehingga sangat sulit untuk mengobatinya. Korupsi tidak saja akan merongrong struktur kenegaraan secara perlahan akan tetapi menghancurkan segenap sendi-sendi penting yang terdapat dalam negara. Dapat disajikan bahwa pelaku korupsi berdasarkan pelakunya terdiri dari berbagai kalangan serta jabatan dan profesi, selama tahun 2004-2013 terurai seperti berikut:
6
Elwi Danil, 2012, Korupsi, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Edisi I, Get. 2, Rajawali Pers, Jakarta, hlm : 65. 7 http://www.antaranews.com/berita/403114/akil-mochtar-diberhentikan-tidakdengan-hormat. diunduh pada tanggal 1 Nopember 2013, Jam. 21.34 Wita. 8 Muhamad Yusuf, 2013, Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 1.
14
TABEL II : Kasus TP Korupsi Menurut Pekerjaan Pelaku Jabatan
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Jml
Anggota DPR dan DPRD
0
0
0
2
7
8
27
5
16
7
72
Kepala Lembaga/ Kementerian
0
1
1
0
1
1
2
0
1
2
9
Duta Besar
0
0
0
2
1
0
1
0
0
4
Komisioner
0
3
2
1
1
0
0
0
0
0
7
Gubernur
1
0
2
0
2
2
1
0
0
1
9
Walikota/Bupati dan Wakil
0
0
3
7
5
5
4
4
4
2
34
Eselon I, II dan III
2
9
15
10
22
14
12
15
5
7
114
Hakim
0
0
0
0
0
0
1
2
2
3
8
Swasta
1
4
5
3
12
11
8
10
16
17
87
Lainnya
0
6
1
2
4
4
9
3
3
9
41
Jumlah Keseluruhan
4
23
29
27
55
45
65
39
50
48
385
Sumber bahan : http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindakpidana-korupsi-berdasarkan-tingkat-jabatan, diunduh tanggal 2 Nopember 2013, Jam 01.25 Wita.
Badan
Pemeriksa
Keuangan
dan
Pembangunan
(BPKP) 9
mencatat kerugian keuangan negara terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yakni periode 1987 hingga 1996 tercatat kerugian negara sebesar Rp. 531 miliar, pada tahun 1997 - 1998 tercatat Rp. 6 triliun; tahun 1999 - 2000 tercatat Rp. 165,85 triliun dan periode tahun 2001 2004 tercatat Rp. 167 triliun. POLRI sebagai salah satu lembaga yang berkewenangan untuk melakukan
9
penyidikan
terhadap
kasus
korupsi,
telah
berhasil
Fahmi Idris, 2012, Selamatkan Uang Negara Dengan Tata Kelola Keuangan Negara Yang Benar, Get. 1, Ekpose, Jakarta, hlm : 2-3.
15
menyelamatkan uang negara sebagaimana tersaji dalam ringkasan temuan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Bareskrim Polri seperti berikut: Tabel III : Kerugian Keuangan Negara Dan Pengembaliannya No Tahun
Jumlah Proses Kerugian Keuangan Yang Dikembalikan Laporan SIDIK Negara (Rp) (Rp)
1
2004
582
311
5.006.689.304.896,-
16.178.126.148,-
2
2005
409
215
3.214.976.725.132,-
780.725.931.065,-
3
2006
332
225
1.408.810.517.642,-
2.955.094.842,-
4
2007
343
110
424.532.845.766,-
12.414.383.608,-
5
2008
359
180
512.388.696.382,-
81.785.339.093,-
6
2009
455
265
455.753.777.260,-
195.671.252.605,-
7
2010
283
176
560.348.259.862,-
339.720.546.059,-
8
2011
766
432
2.007.342.317.820,-
260.953.824.790,-
Sumber Bahan : Bahan hukum sekunder, diolah penulis. Berdasarkan temuan di atas terlihat bahwa jumlah kasus korupsi yang dilaporkan masyarakat kepada pihak kepolisian menunjukkan tren yang meningkat, sedangkan kasus yang diproses lebih lanjut jumlahnya tidak mencapai 3/4 dari jumlah kasus yang dilaporkan tersebut. Demikian juga bila dilihat dari jumlah kerugian keuangan negara akibat kasus korupsi
lebih
besar
dari
pada
jumlah
uang
negara
yang
dapat
diselamatkan, apalagi bila tersangkanya melarikan diri atau meninggal seperti terlihat pada temuan Mabes Polri menyangkut kerugian negara akibat tersangka, terdakwa, terpidana melarikan diri seperti berikut:
16
Tabel IV : Kerugian Negara Tak Kembali Karena Terpidana Kabur/Meninggal Dunia No
Nama Tersangka
1
Iwan Oktiawan
2
Hendrawan
3
Salmadi
Kasus Korupsi PT Pertamina UMPS IH Tanjung Priuk Jakarta Korupsi Dana Usaha Mandiri Tahun 2009
Korupsi Dana Pinjaman Pupuk Subsidi dari APBN Tahun 2008 4 Suparman Korupsi Dana Kelompok Tani Tunas Karya Tahun 2009 5 Pauline Maria Tahun 2002-2003 Lumowa Kerjasama dengan BN1 dan 8 Perusahaan Eksport menggunakan dokumen palsu sehingga mendapat dana dari BNI 6 Amri Irawan Korupsi di Bank Mandiri 7 Ir. Ede Utoyo Korupsi diPTJIEP 8 Harry Korupsi di PT Devi Matalata Pooja Kumari Sumber Bahan : Bahan hukum sekunder, diolah
Kerugian Negara (Rp)
Penyidik
12.200.000.000,00 Dittidkor Bareskrim Polri 205.000.000,00 Pokes Klungkung Bali 20.000.000,00 Polres Barito Kuala Kalsel 20.000.000,00
Polres Tanah Laut Kalsel
1.200.000.000.00
Mabes Polri
1.500.000.000,00 500.000.000,00 1.500.000.000,00
Mabes Polri Mabes Polri Mabes Polri
penulis.
Berpedoman atas sajian bahan pada hasil penelitian di atas, menunjukkan bahwa kerugian negara yang tidak dapat diselamatkan akibat tersangka meninggal atau melarikan diri sangat besar jumlahnya, sedangkan sampai saat ini belum mampu instrument hukum positif yang dapat digunakan untuk melakukan penyitaan aset koruptor secara tuntas. Kondisi seperti ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus berlangsung tetapi harus dicarikan solusi pemecahannya dengan upaya pembaruan maupun
17
pembentukan regulasi demi mengatasi kevakuman norma atau kekosongan norma tersebut. Sejak dibentuk pada tahun 2003, KPK sebagai lembaga negara dengan tugas khusus untuk memberantas TIPIKOR telah menangani banyak kasus korupsi dan membawa banyak koruptor untuk diproses di lembaga peradilan guna mempertanggungjawabkan perbuatannya yang telah menimbulkan kerugian keuangan negara. Kinerja KPK dalam menangani kasus korupsi dapat dilihat pada temuannya selama kurun waktu tahun 2004-2013 terangkum seperti berikut: Tabel V : Kasus TP Korupsi Yang Ditangani KPK (Th 2004-2013) Penindakan
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jml
Penyelidikan
0
0
0
2
7
8
27
5
16
7
72
Penyidikan
0
1
1
0
1
1
2
0
1
2
9
Penuntutan
0
0
0
2
1
0
1
0
0
0
4
Inkracht
0
3
2
1
1
0
0
0
0
0
7
Eksekusi
1
0
2
0
2
2
1
0
0
1
9
Sumbder Bahan : http://acch.kpk.go.id/statistik-penanganan-tindakpidana- korupsi-berdasarkan-tingkat-jabatan, diunduh tanggal 2 Nopember 2013, Jam 02.10 Wita. Berdasarkan fenomena korupsi serta fakta hukum yang terjadi menimbulkan kerugian keuangan negara yang demikian besar. Sehingga berdampak negatif bagi kelangsungan pembangunan bangsa. Maka peran Jaksa Penuntut Umum selaku wakil negara dan penegak hukum tugas dan fungsi serta kewenangannya sesuai subsistem struktur dalam peradilan pidana mesti ikut ambil bagian menyelamatkan kerugian negara. Melalui
18
tuntutannya dalam proses peradilan agar menuntut terdakwa korup si melalui surat tuntutan requissitoir, agar terdakwa korupsi mengembalikan kerugian keuangan negara yang telah dikorup. Melalui permintaan vonis hakim agar menjatuhkan sanksi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara di samping jenis pemidanaan pokok lainnya. Fenomena dan fakta yang berkembang sekarang ini bahwa sudah mulai hakim dalam putusan kasus-kasus korupsi memidana berat pelaku korupsi. Hakim dalam putusannya di samping menjatuhkan pidana penjara dan atau pidana denda, juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Seperti salah satu contoh kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Bali menyangkut retribusi parkir Bandara Ngurah Rai dalam kasus korupsi dengan terpidana Chris Wisnu Sridana, Direktur Utama PT. Penata Sarana Bali, yang divonis Hakim Hasoloan Sianturi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar pada Selasa, 6 Mei 2014 dengan vonis hakim 15 tahun penjara, serta denda 1 milyar rupiah subsidair 3 bulan k urungan, juga dengan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara sebesar 28 milyar rupiah, bila tidak mampu membayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 tahun. Jaksa akan mengalami kesulitan ketika memerankan fungsi untuk mengeksekusi putusan hakim dalam menagih kerugian keuangan negara dari terpidana. Seperti misalnya terpidananya tidak mampu membayar karena asetnya sudah habis, asetnya beralih pada pihak ketiga atau asetnya
19
dicuci dan ditaruh di lain negara yang sulit untuk ditelusuri apalagi untuk menariknya.
Ketentuan
norma
yang
mengatur
cara
jaksa
dalam
memerankan fungsinya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dalam
peraturan
perundang-undangan
Indonesia
belum
ada
yang
mengaturnya, alias terjadi kekosongan norma bagi jaksa untuk bertindak. Kesulitan ini akan mengakibatkan negara tetap dirugikan karena aset -aset yang dikorup oleh koruptor sangat sulit untuk diproses dan ditindaklanjuti secara hukum. Terobosan hukum ketika eksekusi gagal dilakukan oleh jaksa karena aset terpidana telah habis dapat dirintis tindakan-tindakan hukum seperti : 1.
Menciptakan formulasi pengaturan
dalam Tindak Pidana Korupsi
kedepan berskala intenasional sebagaimana prinsip utama yang digariskan oleh konvensi PBB Anti Korupsi 2003 ( United Nations Convention Against Corruption atau UNCAC 2003) sebagai tindakan pencegahan berupa kebijakan legislasi bahwa pihak keluarga terpidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung terlibat dengan kasus terpidana sepanjang masih ada hubungan keluarga vertikal dan horizontal dalam derajat tertentu, untuk wajib ikut menanggung kerugian negara. 2.
Pengembalian kerugian keuangan negara mesti lebih menonjolkan aspek perdata, dibanding aspek pidana karena akan memakan proses waktu lebih panjang. Tindakan retributif dan represif selama ini
20
diterapkan pada pelaku tindak pidana khususnya koruptor dirasa sudah tidak mempan lagi. 3.
Lebih mengutamakan tindakan perampasan terhadap aset milik tersangka/terdakwa/terpidana korupsi, dibanding tindakan hukum penyitaan. Kedepan Jaksa diberi wewenang untuk merampas aset terdakwa korupsi, bukan hanya sekedar menyita, sejak berita acara perkara dilimpahkan ke penuntutan dan mengoptimalkan lembaga pusat pemulihan aset yang telah di bentuk oleh Kejaksaan Agung RI .
4.
Secara preemtif dan preventif perlu terobosan mereformulasi ketentuan Pasal 2 (2) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo UndangUndang No 20 Tahun 2001 tentang PTPK menyangkut hukuman mati agar frase kata-kata “dapat”, negara dalam keadaan bahaya/bencana alam, ekonomi negara terpuruk, dihilangkan redaksionalnya, agar hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi koruptor secara leluasa. Juga bagi koruptor akan berfikir lebih jauh untuk berbuat tindak pidana korupsi (sebagai usaha prevensi khusus dan prevensi umum).
5.
Secara represif jaksa, kepolisian, KPK, BPK, PPATK, ICW serta LSM membentuk organisasi atau kelembagaan independen dibidang pemantauan, penelusuran, penyitaan dan perampasan akan aset-aset yang diduga terkait langsung ataupun tidak langsung dengan tindak pidana korupsi atau tindak pidana pencucian uang, atas temuannya ini dapat ditindaklanjuti sebagai barang bukti guna pengembalian kerugian
keuangan
negara
sebagai
wujud
dalam
penanganan
21
kejahatan dilakukan secara terpadu (Integrated Criminal Justice System). 6. Menstigmatisasi mantan narapidana korupsi sehabis menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan bagi yang tidak dapat mengembalikan kerugian keuangan negara dan telah pula dijatuhi pidana pengganti denda/ pengganti kurungan/ pidana tambahan untuk diisolir ditempatkan pada suatu kawasan atau pulau terpencil, sebagai wujud membangun legislasi penegakan hukum tindak pidana korupsi yang berpijak pada nilai kearifan lokal seperti di Bali dikenal sanksi adat “kasepekang”, hal ini sebagai bentuk sanksi sosial dari masyarakat terhadap pelaku tindak pidana seperti salah satunya koruptor tersebut. Maka sehubungan dengan fenomena dan fakta terurai di atas penulis tertarik akan melakukan penelitian dan kajian atas topik yang disajikan melalui tesis dengan judul : "FUNGSI JAKSA MENUNTUT TERDAKWA
KORUPSI
UNTUK
PENGEMBALIAN
KERUGIAN
KEUANGAN NEGARA ( PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA ) ".
1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaturan dalam peraturan perundang – undangan pidana Indonesia ketika jaksa mengeksekusi aset terpidana korupsi ternyata telah habis ?
22
2. Apakah bentuk – bentuk tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh jaksa dalam mengeksekusi aset terpidana korupsi untuk pengembalian kerugian keuangan negara yang optimal ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Dalam penelitian dan penulisan tesis ini penulis batasi ruang lingkup batasannya pertama terkait dengan rumusan masalah kesatu terfokus pada penelusuran dan kajian terhadap keberadaan dasar hukum pengaturan dalam undang-undang terkait menyangkut ada tidaknya dasar pengaturan
bagi
jaksa
penuntut
umum
selaku
eksekutor,
ketika
mengeksekusi aset terpidana korupsi barang – barang milik terdakwa / terpidananya telah habis atau telah dicuci / berada pada pihak ketiga. Kedua menyangkut tentang pembahasan dan kajian tentang tindakan hukum
yang dapat
dilakukan
oleh
Jaksa Penuntut
Umum
untuk
mengoptimalkan fungsi dan wewenangnya dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara oleh terpidana tindak pidana korupsi.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum 1. Penelitian ini bertujuan dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya, khususnya di bidang Hukum Pidana Formal atau Hukum Acara Pidana dalam substansi peran jaksa selaku penuntut umum pada
23
penyampaian tuntutan menyangkut pengembalian kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi. 2. Untuk memberi solusi bagi jaksa dalam rangka pengembalian keuangan negara oleh koruptor.
1.4.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mendeskripsikan serta memberikan analisis secara lebih mendalam terhadap pengaturan yang ada dalam perundang – undangan pidana terutama sebagai eksekutor menyangkut tugas jaksa dalam pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi . 2. Untuk mengetahui dan mengkaji serta memberi solusi hukumnya terhadap tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh jaksa di depan persidangan
sehubungan
dengan
usaha
pengembalian
kerugian
keuangan negara.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Secara keilmuan dalam dunia teoritis atau akademisi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, yang secara substansial lebih terfokus menyangkut bidang studi hukum acara pidana pada tataran proses peradilan yang diperankan oleh jaksa penuntut umum menyangkut dasar pengaturan dalam peraturan perundang-undangan mengenai fungsi jaksa selaku eksekutor dalam pengembalian kerugian keuangan negara oleh koruptor.
24
1.5.2 Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis adalah memberikan konsep pemikiran tentang peran dan kewajiban bagi jaksa penuntut umum dalam mengajukan tuntutan (requisitoir) pengembalian kerugian keuangan negara yang telah dikorup oleh terdakwa / terpidana korupsi dan ada kepastian hukum ke depannya dasar hukum yang mengatur adanya kewajiban bagi jaksa untuk selalu memuat dalam tuntutannya pengembalian kerugian keuangan negara bagi terpidana korupsi.
1.6 Orisinalitas Penelitian Menyangkut orisinalitas penelitian dari penelitian tesis ini, setelah dilakukan penelitian terhadap kesamaan ataupun keterkaitan menyangkut judul ataupun masalah hukumnya ataupun beberapa tesis yang ditulis dibeberapa perguruan tinggi terkemuka yang ada di Indonesia, bahwa dapat dinyatakan dari judul ataupun masalah yang ada belum ada ditemukan kesamaan dari beberapa tesis tersebut. Memang dari topik tesis yang ditelusuri memang ada yang menyangkut substansi tindak pidana korupsi, namun tidak ada secara prinsip mengungkap tentang fungsi jaksa penuntut umum dalam tuntutan (requissitoirnya)
agar
terdakwa
mengembalikan
kerugian
keuangan
negara yang telah dikorup oleh terdakwa, serta permasalahan hukumnya menyangkut dasar pengaturan tentang tugas serta fungsi jaksa penuntut umum di bidang eksekusi putusan hakim terkait
pembayaran uang
25
pengganti oleh terpidana yang tidak dapat dijalankan karena aset – aset terpidana telah habis atau telah berpindah tangan. Tesis yang ditemukan tampak menyiratkan makna bahwa, kasuskasus korupsi hanya dituntut penuntut umum dengan pidana penjara dan/atau denda tanpa disertai dengan tuntutan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara yang diperjuangkan melalui surat tuntutannya (requissitoir) di depan persidangan. Adapun tesis yang penulis temukan diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Tesis dengan judul "Peranan dan Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Pemberantasan TIPIKOR di Indonesia", yang ditulis oleh Marwan Effendi tahun 1998 menjelaskan tentang kewenangan lembaga kejaksaan sebagai penuntut umum yang memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap kasus-kasus korupsi. Sampai dengan saat ini lembaga ini belum melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang secara optimal sehingga kasus-kasus korupsi di Indonesia tetap berkembang tanpa hambatan. 2. Penyalahgunaan
Wewenang
dan
TIPIKOR
Dalam
Pengelolaan
Keuangan Daerah, adalah tesis yang ditulis oleh Nur Basuki Winarno alumni Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya tahun 2006, yang mengkaji tentang konsep penyalahgunaan wewenang dalam TIPIKOR yang terkait pengelolaan keuangan daerah,
26
dan
juga
tentang
penyalahgunaan
parameter,
wewenang
dan
bentuk-bentuk TIPIKOR
maupun
serta
kendala
trik-trik dalam
pengelolaan keuangan daerah. 3. Tesis dengan judul
"Pengembalian Beban Pembuktian TIPIKOR"
ditulis oleh Mulyono alumni Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Bandung tahun 2007, mengkaji tentang asas pembalikan beban pembuktian dalam TIPIKOR yang selalu menjadi bahan perdebatan panjang baik dikalangan teoritisi, praktisi maupun dikalangan masyarakat umum. 4. Tesis dengan judul "Kewenangan dan Fungsi Komisi Pemberantasan TIPIKOR Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Suatu Studi Kasus Putusan Pengadilan Tipikor
Nomor
:
20/Pid.B/Tpk/2010/PN.Jkt.Pst.
dan
Putusan
Pengadilan Tipikor Nomor : 32/Pid.B/Tpk/2010/PN.Jkt.Pst.)", yang ditulis oleh Syaiful Ahmad Dinar alumni Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Jakarta tahun 2011, yang pada intinya merupakan telaah atas kewenangan dan fungsi Komisi Pemberantasan TIPIKOR guna dipahami kompetensi dan implementasinya terkait pemberantasan TIPIKOR di Indonesia terhadap kedua kasus tersebut. 5. Tesis dengan judul "Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia" yang ditulis oleh Muhammad Yusuf, alumni Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Bandung, 2012, membahas dua masalah pokok yaitu : (1) Apakah konsep
27
perampasan aset berdasarkan Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TIPIKOR sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20
Tahun
2011,
telah
secara
optimal
mengembalikan kerugian keuangan negara?; dan (2) Bagaimana kebijakan hukum perampasan aset tanpa tuntutan pidana berdasarkan konvensi PBB anti korupsi dapat secara efektif mengembalikan kerugian keuangan negara?
Berdasarkan hasil penelusuran dan pengkajian penulis terhadap judul, rumusan masalah, isi serta simpulan dari masing-masing penelitian tersebut
di
atas,
diketahui
bahwa
penelitian
dengan
judul
dan
permasalahan seperti yang akan diteliti penulis belum dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut, dan oleh karena itu penulis berpendapat bahwa penelitian yang akan penulis lakukan memenuhi syarat dari segi orisinalitasnya.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.7.1 Landasan Teoritis Dalam penelitian ini akan diperkuat dengan landasan teoritik keilmuan berupa asas-asas hukum, konsep-konsep, doktrin, yurisprudensi dan hasil penelitian terdahulu serta teori-teori hukum khususnya sebagai pisau analisis dalam mengkaji dan membahas permasalahan yang disajikan.
28
Adapun asas-asas hukum yang terkait dengan variabel judul di atas adalah menyangkut: 1. Asas legalitas (the legal of principle) 2. Asas kesalahan (genstraaf zander shuld) 3. Asas oportunitas 4. Asas manfaat 5. Asas ganti rugi Konsep-konsep yang membangun dan melandasi variabel-variabel judul yang disajikan akan menyangkut pengertian, makna dan wewenang jaksa penuntut umum serta pengertian dan fungsi tuntutan (requissitoir) dan esensi dari kerugian keuangan negara, dan tindak pidana, juga pengertian, esensi serta pengaturan korupsi dan segala dampak yang ditimbulkannya. Suatu yurisprudensi dimaksudkan sehubungan penelitian yang akan dilakukan adalah berupa putusan-putusan pengadilan menyangkut tindak pidana korupsi dengan putusan pidana tambahan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde). Putusan-putusan dimaksud sebagai penunjang dan untuk memperkuat bahasan dan kajian dari permasalahan yang dibahas. Hasil-hasil penelitian terdahulu juga dimaksudkan pula sebagai bahan penunjang guna menambah keakurasian kajian yang dilakukan dalam mengkaji dan menganalisis permasalahan yang disajikan dalam penelitian usulan tesis ini.
29
Teori-teori yang relevan dan berhubungan serta cocok untuk dipakai membahas dan mengkaji permasalahan yang disajikan menurut persepsi penulis adalah : 1. Teori Keadilan 2. Teori Pemidanaan 3. Teori Hukum Pembuktian 4. Teori Kewenangan 5. Teori Fungsional 6. Teori Kebijakan Hukum Pidana Adapun penjabaran ringkas teori-teori hukum tersebut di atas terurai seperti berikut: 1. Teori Keadilan (Justice Theory) Menurut
pendapat
Ahmad
Ali,
bahwa
tujuan
hukum
dititikberatkan pada segi "keadilan". 10 Sehubungan dengan anasir keadilan menurut Gustav Radbruch (filosof Jerman) mengkonsepsi salah satu tujuan hukum atau cita hukum adalah "keadilan", di sampi ng kemanfaatan, dan kepastian. 11 Maka dalam mengkaji rumusan masalah yang disajikan, sebelum masuk pada ranah teori hukum yang aplikatif seperti teori -teori hukum lainnya, lebih awal dipaparkan teori keadilan dengan beberapa jenis
10
Achmad AH, 2002, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofls Sosiologis, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, hlm : 72. 11 Ibid. hlm. 83
30
penggolongannya yang relevan dengan topik bahasan dalam judul dan permasalahan penelitian ini. Filosof Aristoteles memperkenalkan teori etis dalam bukunya yang berjudul "Retorica dan "Ethicanikomachea. Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Keadilan di sini adalah ins suum quique tribuere, yang artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya. 12 Selain model keadilan yang berbasis kesamaan, Aristoteles juga mengajukan model keadilan lain, yakni keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif identik dengan keadilan atas dasar kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan korektif atau remidial, berfokus pada "pembetulan pada sesuatu yang salah". Jika sesuatu dilanggar, atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berupaya memberi kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan. Jika suatu kejahatan dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan pada si pelaku. Singkatnya, keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan. Keadilan korektif merupakan standar umum untuk memperbaiki setiap akibat dari perbuatan, tanpa memandang siapa pelakunya. Prinsip-prinsip itu adalah hukuman harus memperbaiki kejahatan, ganti rugi harus memperbaiki kerugian dan memulihkan keuntungan yang tidak sah. Konsep Themis, Sang Dewi Keadilan melandasi keadilan jenis ini yang bertugas menyeimbangkan prinsip prinsip tersebut tanpa memandang siapa pelakunya. 13 12
Dudu Duswara Machmudin, 2001, Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm : 23. 13 Ibid, hlm. 53 – 54
31
Sumber lain juga menyatakan bahwa Aristoteles menempatkan keadilan sebagai nilai yang paling utama, bahkan menyebut keadilan sebagai nilai yang paling sempurna atau lengkap. Alasannya keadilan dasarnya terarah baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Bertindak adil berarti bertindak dengan memperhitungkan orang lain. Karena itu, hukum yang adil bagi Aristoteles berarti hukum harus memihak pada kepentingan semua orang. Hukum harus membela kepentingan atau kebaikan bersama (common good). 14 Sehubungan
dengan
esensi
teori
keadilan
John
Rawls
menyangkut peran jaksa penuntut umum, maka merupakan prinsip kesamaan bagi semua pihak yang ada dalam proses peradilan pidana untuk dapat kewenangan dalam menuntut pengembalian kerugian keuangan negara oleh koruptor.
2. Teori Pemidanaan Munculnya teori-teori mengenai pemidanaan sebagai landasan untuk menjustifikasi pelaku suatu tindak pidana dibenarkan untuk dijatuhi pidana oleh pengadilan, tidak terlepas dari adanya tujuan pidana itu sendiri yang terus mengalami perkembangan. Menurut para ahli hukum pidana ada 3 (tiga) golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yakni: 1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorieri). 2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doeltheorieri). 3. Teori Gabungan (Verenigings Theorieri). 15
14
Andre Ata Ujan, 2009, Fihafat Hukum Membangun Hukum dan Membela Keadilan, Kanisius, Yogyakarta, hlm : 48. 15 Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan dari Retribusi ke Reformasi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hlm : 17.
32
Secara pokok masing-masing teori di atas menggariskan prinsipprinsip sebagai berikut: 1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan Teori Pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan, tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat penjatuhan pidana setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkannya pidana kepada pelaku. Oleh karena itulah maka teori ini disebut Teori Absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan hakikat suatu pidana adalah pembalasan. 16
2. Teori Tujuan atau Teori Relatif/ Teori Perbaikan Teori tujuan pemidanaan berdasarkan atau bergantung kepada tujuan pemidanaan berdasarkan atau bergantung kepada tujuan pemidanaan yang meliputi dua hal : (1) untuk perlindungan masyarakat dan (2) untuk pencegahan terjadinya kejahatan. Yang dalam teori tujuan atau relatif dibedakan lagi dalam 2 (dua) bagian : a. Prevensi Umum, berupa menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat yang bersangkutan agar orang pada umumnya tidak melakukan delik. b. Prevensi Khusus, berupa mencegah niat buruk pelaku (dader), mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah
16
Ibid, hlm. 18
33
bakal
pelanggar
melaksanakan
perbuatan
jahat
yang
direncanakannya. 3. Teori Gabungan Teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan
dalam
pembalasan,
tetapi
yang
berguna
bagi
masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Menurut teori gabungan tersebut sebagai penjabaran dan tujuan pidana itu sendiri yang pada masa sekarang banyak mewarnai pemikiran para pakar hukum pidana, seperti di antaranya Muladi menyebutnya sebagai tujuan pidana yang integratif yaitu : a. Tujuan pidana adalah pencegahan (umum dan khusus). b. Tujuan pidana adalah perlindungan masyarakat. c. Tujuan pidana adalah memelihara solidaritas masyarakat. d. Tujuan pidana adalah pengimbalan / pengimbangan. 17 Ahli hukum asing Herbert L. Packer berpendapat pula bahwa teori gabungan sangat menjiwai tujuan pidana, seperti dinyatakan "In my view, there are two and only two ultimate purpose to be served by criminal punishment: the served infliction if suffering on evildoers and prevention of crime", 18
17
jadi pidana
mempunyai
Muhari Agus Santosa, 2002, Paradigma Barn Hukum Pidana, Averroes Press, Malaysia, hlm : 8. 18 Herbert L. Packer, 1969, The Limits of Criminal Sanction, Stanford University Press, USA Californian, hlm : 12.
34
tujuan pokok, yaitu pengenaan dan penderitaan yang layak serta untuk mencegah terjadinya kejahatan. Antara teori-teori pemidanaan dan tujuan pemidanaan secara substansial mengandung esensi yang hampir sama, sulit untuk dibedakan, karena falsafah pemidanaan yang tertuang dalam teori pemidanaan merupakan esensi dan tujuan akhir pemidanaan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut Sue Titus Reid menyatakan dalam pendapatnya bahwa, "Merinci ada 4 (empat) hal filsafat pemidanaan yang digunakan untuk membenarkan atau menjustifikasi pemidanaan yaitu, rehabilitasi, inkapasitasi, pencegahan dan retribusi yang dalam pernyataanya mengatakan,'your basic punishment philosophies are used to justify sentencing rehabilitation, incapacitation, deterrence and retribution" 19
3. Teori Hukum Pembuktian Pembuktian
tentang
benar
tidaknya
terdakwa
melakukan
perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam proses Hukum Acara Pidana. Akan berakibat fatal jika seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana namun setelah dibuktikan melalui proses pembuktian di persidangan, ia tidak terbukti bersalah. Untuk menghindari hal seperti itu Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari dan menemukan atau paling tidak agar mendekati kebenaran materiil.
19
Sue Titus Reid, 1987, Criminal Justice Procedurs and Issues, West Publishing, USA, hlm : 347.
35
Sebagai dasar dan pemeriksaan sidang adalah surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa. Di depan sidang pengadilan inilah dakwaan akan dibuktikan kesalahan terdakwa, dan Hakim akan menentukan salah tidaknya terdakwa melalui proses pembuktian. Diakui memang oleh praktisi hukum Ansorie Sabuan bahwa pembuktian ini adalah merupakan masalah yang pelik (ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian menempati titik sentral dalam Hukum Acara Pidana. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, dan bukan untuk mencari kesalahan seseorang. 20 Sejalan dengan maksud dan tujuan pembuktian untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil tersebut adalah sama pula dengan salah satu tujuan dalam fungsi Hukum Acara Pidana seperti dinyatakan oleh Van Bemmelen yakni mencari dan menemukan kebenaran. 21 Dalam teori pembuktian dikenal adanya 4 (empat) sistem pembuktian sebagai berikut: 1. Teori pembuktian atas keyakinan belaka (Conviction in time). 2. Teori pembuktian atas alasan yang logis (Conviction Raisonee) atau Teori Pembuktian Bebas. 3. Teori
Pembuktian berdasarkan
Undang-Undang
secara positif
(Positive Wettelijke Bewijstheorie). 20
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Fetanase, Ruben Ahmad, 1990, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, hlm : 185. 21 Andi Hamzah, 1985, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia Dari Retribusi Ke Reformasi, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm : 85.
36
4. Teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewjstheorie). 22 Sejarah perkembangan Hukum Acara Pidana menunjukkan bahwa adanya 4 (empat) sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, dan berperan bagi hakim untuk menilai alat bukti yang diajukan tersebut guna menentukan salah tidaknya terdakwa. 4. Teori Kewenangan Guna menjustifikasi tindakan hukum yang dilakukan seseorang atau oleh kelembagaan karena jabatannya maka dilakukanlah melalui tindakan
yang
namanya
"wewenang".
Secara
keilmuan
hukum
wewenang merupakan konsep inti dalam ranah hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Wewenang yang dalam konsep keilmuan hukum telah pula diakui menjadi sebuah teori yang lazimnya disebut dengan "teori kewenangan". Secara etimologi kewenangan berasal dari kata wenang, dengan variasi imbuhan yang menjadi wewenang, kewenangan, berwenang dan sebagainya. Wewenang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak. Kewenangan
22
186.
berarti
hak
dan
kekuasaan
yang
dipunyai
untuk
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Fetanase, Ruben Ahmad, 2000, Op. Cit, hlm :
37
melakukan sesuatu, berwenang artinya mempunyai/mendapat hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. 23 Kalangan doktrinal memberikan pengertian sebagai perumusan makna wewenang tersebut. Para ilmuan hukum di bidangnya seperti: 1. H.D. Stout, wewenang adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subyek hukum publik dalam hubungan hukum publik. 2. FPCL. Tonnaer, kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara. 24 3. Indoharto, wewenang sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang sah. 25 4. Bagir Manan, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban. 26 Kalau dicermati dari beberapa pendapat dan rumusan pengertian dari wewenang tersebut, maka mengandung unsur-unsur seperti: 1. Adanya tindakan hukum yang sifatnya hukum publik. 2. Dilakukan oleh subyek hukum publik. 3. Adanya kemampuan bertindak. 4. Untuk melakukan hubungan-hubungan hukum publik. 5. Diberikan oleh undang-undang.
23
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm : 1128. 24 Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia, Program Pasca Unibraw, Malang, hlm : 52 25 Indoharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm : 94. 26 Bagir Manan, 2007, (Dalam Sadjijono : Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara), Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hlm : 51.
38
6. Mengandung hak dan kewajiban. 7. Menumbuhkan akibat hukum yang sah. Wewenang dengan unsur-unsur di atas, tidak secara otomatis diperoleh atau melekat setiap pejabat pemerintahan. Secara teori terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang pemerintah seperti yang dikemukakan oleh HD Van Wijk/Willem Konijnembelt melalui cara atributif, delegatie dan mandat. Yang masing-masing dimaknai sebagai berikut : Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan, delegasi adalah
pelimpahan
wewenang
pemerintahan
dari
satu
organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, mandat adalah terjadi
ketika
organ
pemerintahan
mengijinkan
wewenangnya
dijalankan oleh organ lain atas namanya. 27 Kewenangan (atribusi)
secara
yang jelas
bersumber dinyatakan
dari
perundang-undangan
diberikan
kepada
organ
pemerintahan. Dalam SPP salah satu sub sistem struktur yang tergolong ke dalam aparat penegak hukum termasuk pula organ pemerintahan dalam hukum publik adalah jaksa. Peran jaksa adalah sebagai pejabat hukum publik selaku penuntut umum guna mengemban misi due process of law. Jaksa penuntut umum sebagai pejabat negara sekaligus wakil publik dan aparat penegak hukum (Pasal 1 ayat (1) UU No. 15 Tahun 27
HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 2008, Dalam : Sadjijono; Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hlm : 58.
39
1961 jo UU No. 5 Tahun 1991 jo UU No. 16 Tahun 2004, tentang Kejaksanaan RI) yang mengemban tugas penuntutan dan eksekusi. Landasan tugas dan wewenang bagi Jaksa Penuntut Umum tersebut mulai dari amanat konstitusi berupa UUD Negara RI Tahun 1945, UU Kekuasaan Kehakiman, dan UU Kejaksaan RI.
5. Teori Fungsional/Teori Fungsi/Manfaat Hukum. Pencetus teori fungsional atau teori fungsi ini adalah ahli hukum di Rotterdam-Belanda bernama J. Ter Heide. Esensi ajaran dari teori fungsi ini terkait dengan hukum bahwa "berfungsinya hukum dapat
dipahami
hubungan
sebagai
yang ajeg di
pengartikulasian antara
(produksi/hasil)
sejumlah variabel.
Ter
suatu Heide
merumuskan hubungan yang ajeg itu dengan rumus : B: FPE artinya perilaku yuris, hakim, dan pembentuk undang-undang (B) berada dalam suatu hubungan yang ajeg (F) terhadap sesuatu pihak berbagai kaidah hukum (P) dalam pihak di lingkungan kongkret (E). Maka inti teori fungsi ini terkait dengan hukum, dilihat dari aspek fungsi hukum atau kegunaan hukum tersebut maka para yuris, hakim, pembentuk undang-undang dalam menjalankan fungsi atau perannya masingmasing harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat banyak". 28
28
Salim, HS., 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers,Jakarta, hlm : 73
40
Bahwa di sini hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Hukum bertugas mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada berfungsi sebagai sarana untuk melakukan perubahan – perubahaan dalam masyarakat. Dalam Sistem Peradilan Pidana salah satu sub unsur struktur (structure) termasuk sebagai penegak hukum sekaligus berlatar belakang pendidikan tinggi hukum atau juris adalah jaksa selaku penuntut umum. Fungsi jaksa salah satunya adalah melakukan penuntutan yang diberikan kewenangan secara atributif oleh undang undang. Kewenangan atributif ini sebagai bentuk pelaksanaan kongkrit dari asas legalitas (formal) dalam tugas yang diberikan oleh hukum acara pidana. Jaksa dalam menjalankan fungsi penuntutan tersebut mengemban misi penegak hukum, juga wakil badan hukum publik atau mewakili negara seperti diamanatkan oleh KUHAP maupun UndangUndang Nomor : 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Fungsi jaksa sebagai penuntut umum secara prinsif adalah diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menuntut setiap orang yang diduga melakukan suatu tindak pidana. Tidak terkecuali termasuk pula untuk menuntut seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Dengan tujuan pula guna menegakkan keadilan, kemanfaatan serta kepastian atas terjadinya suatu tindak pidana termasuk salah satunya berupa tindak pidana korupsi, yang di
41
dalamnya mengandung dan mengakibatkan kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara, maka menjadi keharusan karena kewenangan dari jaksa untuk memulihkan penegakan hukumnya melalui upaya pengembalian kerugian keuangan negara tersebut melalui tindakan hukum berupa penuntutan di depan proses peradilan. Sesuai dengan esensi teori fungsi hukum tersebut agar hukum itu dapat bermanfaat atau berguna untuk kepentingan hukum itu sendiri. Dalam mencapai kegunaan atau manfaat dari fungsi hukum khususnya dalam pengembalian kerugian keuangan negara dari akibat adanya tindak pidana korupsi oleh koruptor, maka melalui fungsi jaksa dalam penuntutan itulah diharapkan peran optimalnya difungsikan kewenangan atributif yang dimiliki jaksa untuk menuntut setiap koruptor
di
depan
sidang
(proses
penegakan
hukum)
agar
mengembalikan kerugian keuangan negara yang sempat diambil atau dinikmatinya.
6. Teori Kebijakan Hukum Pidana Suatu usaha di dalam mewujudkan tercapainya tujuan negara yaitu negara yang makmur serta adil dan sejahtera maka diperlukan suasana yang kondusif dalam segala aspek termasuk aspek hukum. Menurut
Barda
Nawawi
Arief,
sekiranya
dalam
kebijakan
penanggulangan kejahatan atau politik kriminal digunakan upaya atau sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus
42
diarahkan pada tujuan
dari kebijakan sosial (Social Policy) yang
terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (sosial welfare policy) dan
kebijakan atau upaya-upaya untuk
perlindungan masyarakat (sosial defernce policy). 29 Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Penggunaan hukum pidana sebagai suatu upaya untuk mengatasi masalah sosial (kejahatan) termasuk dalam bidang penegak hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement). Esensi teori kebijakan pidana yang dipelopori oleh Mare Ancel, A. Mulder serta diikuti Sudarto menunjukkan bahwa betapa luasnya ruang lingkup dan kebudayaan politik hukum pidana (Penal policy), secara sistematis dapat dirangkum meliputi tahapan seperti : 1. Kebijakan Legislatif (formulasi) 2. Kebijakan Yudikatif (aplikasi) 3. Kebijakan eksekutif (eksekusi)
30
Terkait dengan kebijakan legislatif atau tahap formulasi secara teoritik tersebut, maka sehubungan dengan adanya kekosongan hukum dalam KUHAP, UU Kejaksaan, RI serta UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang ketiadaan pengaturan bagi 29
Jaksa Penuntut
Barda Nawawi Arief (I), 2001, Masalah Penegak Hukum Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 73-74 30 Ibid,hlm : 75
dan
Kebijakan
43
Umum
untuk
melakukan
tindakan
hukum
ketika
tidak
dapat
melakukan eksekusi terhadap aset-aset koruptor terpidana korupsi, maka langkah tepat ke depan bagi pihak legislatif untuk menciptakan aturan sebagai acuan dasar bagi Jaksa Penuntut Umum dalam perundang-undangan
pidana
terkait diatur dan dirumuskan aturan
sebagai landasan hukum bagi Jaksa Penuntut Umum untuk dapat melakukan tindakan hukum dalam mengeksekusi putusan hakim. Jaksa
Penuntut
mengeksekusi putusan
Umum
selaku
aparat
eksekusi
dalam
hakim bagi terpidana korupsi melalui
pengembalian kerugian keuangan negara untuk dapat dijamin oleh landasan hukum yang pasti. Terutama menyangkut aset -aset terpidana yang telah habis atau berpindah tangan pada penguasaaan orang lain hal tersebut bermaksud agar negara tidak dirugikan serta uang negara dapat kembali dan dimanfaatkan guna kesejahteraan masyarakat luas. Kebijakan pidana dalam bentuk kebijakan formulasi untuk mengisi kekosongan norma hukum yang selama ini belum ada mengatur. Sudah tentu menyulitkan bagi penegak hukum khususnya bagi Jaksa Penuntut Umum dalam melaksanakan eksekusi selaku aparat eksekutor.
44
1.7.2. Kerangka Berpikir Judul FUNGSI JAKSA MENUNTUT TERDAKWA KORUPSI UNTUK PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA) )
Latar Belakang Masalah Pungsi JPU sebagai wakil negara/badan hukum publik, Pen. Hk-hak menegakkan hukum demi keadilan. KUHAP/UU kejaksaanRI/UU TPK tidak mengatur tentang eksekusi bila aset terpidananya habis Terjadi norma kosong solusinya pihak legislatif melakukan penormaan tentang hal dimaksud. Jaksa perlu melakukan tindakantindakan hukum untuk melakukan fungsi dalam mengeksekusi aset terpidana korupsi untuk kembalinya kerugian negara.
PEMECAHAN PENELITIAN HUKUM NORMATIF Kekosongan norma hukum – penelitian hukum normatif KUHAP dan UU Kejaksaan RI, UU TP Korupsi dan UU KPK (UU No. 8/1981 / UU No. 16/2004 / UU No. 31 / 1999 jo UU No. 20 / 2001 / UU No. 30 / 2002, UU No. 20 / 2001.
PENDEKATAN PENELITIAN Pendekatan Perundang-undangan (Conseptual Approach) Pendekatan Kasus (Cases Approach) Pendekatan Perbandingan (Comparatif Approach)
TEKNIK ANALISIS Deskriptif Interpretasi : Futuristik/Antisivatif/Evolutif Dinamikal Evaluasi Argumentasi Sistematisasi Futuristik/Antisivatif/Evolutif Dinamikal
Rumusan Masalah 1.
Bagaimana pengaturan dalam peraturan perundang – undangan pidana Indonesia ketika Jaksa mengeksekusi aset terpidana korupsi ternyata telah habis? 1. Apa bentuk tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh Jaksa dalam mengeksekusi aset terpidana korupsi untuk pengembalian kerugian keuangan negara yang optimal?
Landasan Teoritis Asas-Asas Hukum Konsep Hukum Doktrin Yurisprudensi Hasil Penelitian Terdahulu Teori-Teori
Teori Teori Teori Teori Teori Teori
Keadilan Pemidanaan Kewenangan Hukum Pembuktian Fungsional /Fungsi Kebijakan Hukum Pidana
SASARAN ATAU PENCAPAIAN PENELITIAN SIMPULAN DAN SARAN
45
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Dalam rencana penelitian tesis ini tergolong ke dalam jenis penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal, karena penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (library research) yang terdiri dari bahan hukum dan ditunjang oleh bahan hukum sekunder. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup : 1. Penelitian terhadap asas-asas hukum 2. Penelitian terhadap sistematik hukum 3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal 4. Perbandingan hukum 5. Sejarah hukum 31 Sehubungan dengan klasifikasi tersebut di atas maka penelitian hukum normatif ini menyangkut penelitian taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal. Suatu peraturan perundang-undangan yang tergolong dalam bahan hukum primer dengan meneliti beberapa undang-undang.
31
Soerjono Soekanto, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke 6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm : 14.
46
1.8.2 Jenis Pendekatan Sesuai
dengan
karakteristik
dan
sifat
penelitian
normatif
(kepustakaan), maka dalam penelitian ini akan memakai beb erapa metode pendekatan, diantaranya: 1. The Statute Approach pendekatan perundang-undangan yakni beberapa penelusuran
terhadap
beberapa
peraturan
perundang-undangan
dibidang kehakiman, seperti KUHAP, Undang-Undang Kejaksaan, dan Undang-Undang di bidang Pemberantasan Korupsi. 2. The Analitical and Conseptual Approach (pendekatan analisis konsep hukum) yakni berupa menelusuri tentang keberadaan hubungan yang kontekstual antara peraturan perundang-undangan terkait antara yang satu dengan yang lainnya dalam hal menyangkut kewenangan jaksa dan pemberantasan korupsi. 3. Pendekatan Kasus (The Cases Approach), menyangkut kasus-kasus tindak pidana korupsi yang diputus oleh pengadilan menyangkut pidana tambahan pengembalian kerugian keuangan negara. 4. Pendekatan Perbandingan,
yakni meninjau keberadaan jaksa di
beberapa negara asing, dalam perannya menuntut terdakwa korupsi terkait pengembalian kerugian keuangan negara.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian hukum yang bersifat normatif maka jenis bahan hukum yang lazim dipergunakan adalah :
47
a. Bahan-bahan Hukum Primer 1. Norma Dasar Pancasila 2. Peraturan Dasar, Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 3. Peraturan perundang-undangan b. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan
bahan-bahan
primer
dapat
membantu menganalisis
dan
memahami bahan hukum primer adalah : 1. Rancangan Peraturan Perundang-undangan 2. Hasil Karya Ilmiah Para Sarjana 3. Hasil-hasil Penelitian c. Bahan-bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang
bahan
hukum
primer
dan
bahan
hukum
sekunder meliputi bibliografi.30 32 Dalam hubungan dengan penelitian hukum normatif maka memakai sumber bahan hukum dari: 1. Bahan hukum primer, berupa beberapa peraturan perundang-undangan terkait dengan peranan jaksa penuntut umum dalam proses peradilan pidana dalam komponen sistem peradilan pidana terpadu seperti : -
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
-
Undang-Undang
No.
48
Tahun
2009
tentang
Kekuasaan
Kehakiman. 32
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm : 164.
48
-
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
-
Undang-Undang
No.
30
Tahun
2012
tentang
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). -
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
-
Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
-
Beberapa yurispradensi menyangkut korupsi.
2. Bahan hukum sekunder, yakni memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer (dalam hubungan dengan penelitian ini) seperti menyangkut penggunaan buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum karya tulis atau pandangan para ahli hukum yang dimuat dalam media massa sepanjang menyangkut dan berhubungan dengan materi peran jaksa penuntut umum dan surat tuntutan (requissitoir) dan sebagai aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana berdasarkan KUHAP. Kegunaan dari bahan-bahan hukum sekunder itu antara lain adalah sebagai berikut: a. Untuk dirujuk pertama-tama sebagai sumber materiil. b. Untuk meningkatkan mutu interpretasi atas hukum positif yan g berlaku.
49
c. Untuk mengembangkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang komprehensif dan tuntas, baik dalam maknanya yang formal maupun dalam maknanya yang materiil. 33 3. Bahan hukum tersier, dalam hubungan penelitian ini menyangkut seperti kamus atau ensiklopedi yang memberi batasan pengertian secara etimologi/arti kata atau secara gramatikal untuk istilah -istilah tertentu terutama yang berkaitan dengan komponen variabel judul.
1.8.4 Data Penunjang Dalam
hubungan
penelitian
ini
mencari
data
berupa
hasil
wawancara dengan informan seperti jaksa dan hakim. Jaksa sebagai aparat penegak hukum dalam fungsinya memperjuangkan kepentingan pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan. Hakim sebagai pemutus perkara khususnya dalam memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Jaksa penuntut umum sebagai pejabat publik wakil negara akan memberi andil besar dalam rangka usaha pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara oleh para koruptor melalui proses peradilan.
1.8.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian ini untuk pengumpulan bahan hukum memakai metode sistematis, yakni berupa pengumpulan bahan peraturan perundang undangan yang menyangkut substansi tuntutan (requissitoir) jaksa dan
33
Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hlm : 42.
50
pengaturan sanksi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara.
1.8.6 Teknik Analisis Bahan Hukum Untuk menganalisis bahan hukum yang telah terkumpul dalam penelitian menggunakan beberapa teknik analisis seperti: 1. Teknik deskripsi, berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi (sistem peradilan pidana terpadu) atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. 2. Teknik argumentasi, tidak terlepas dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. 3. Teknik sistematisasi, adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundangundangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat. 4. Teknik evaluasi, adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, adil atau tidak adil, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma baik tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder. 5. Teknik interpretasi, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatika, historis, sistematis, teleologis, kontektual, evolutif dinamikal, fururistik dan lain-lain. 34
Demikian beberapa
teknik
analisis
yang dikenal
dan
yang
digunakan penulis dalam mengkaji bahan hukum yang diperoleh memakai teknik yang diperlukan sehubungan dengan masalah yang disajikan.
34
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, 2013, Universitas Udayana, Denpasar, hlm : 34-35.
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP ARTI, MAKNA BEBERAPA ISTILAH HUKUM TERKAIT FUNGSI JAKSA PENUNTUT UMUM PADA PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI GUNA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM KONTEKS SISTEM PERADILAN PIDANA
2.1. Pengertian
dan
Makna
Fungsi,
Jaksa,
Penuntut
Umum,
Menuntut, Tuntutan, Terdakwa, Terpidana 2.1.1. Pengertian Fungsi, Jaksa dan / atau Penuntut Umum Secara arti kata (etimologi) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa "fungsi berarti jabatan (pekerjaan) yang dilakukan, menjalankan tugasnya sebagai........". 35 Dengan
arti
fungsi
sebagai
jabatan
atau
pekerjaan
dalam
menjalankan tugasnya, jelas di sini ada subyek yang menjalankan tugasnya atau suatu fungsi diemban oleh subyek dalam hal ini jaksa selaku jabatan yang diberikan oleh undang-undang. Jaksa karena fungsinya mengemban tugas seperti menuntut, mendakwa, mengeksekusi serta melaksanakan penetapan hakim. Jaksa selaku badan hukum publik dalam mewakili negara, dan selaku penegak hukum mengemban fungsi untuk melakukan proses hukum
35
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hlm: 281.
51
52
dalam peradilan pidana bersama penegak hukum lainnya yang ada sesuai komponen sub-sub unsur struktur dalam sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia (Integrated Criminal Justice System) atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Istilah jaksa sering disamakan dengan penuntut umum. Secara fungsional dan struktural memiliki arti dan peranan yang berbeda. Kedua istilah tersebut akan tampak tugas dan fungsinya ketika masing-masing menjalankan tataran proses dalam peradilan pidana. Kedua istilah tersebut dibedakan fungsi dan perannya seperti tersurat ketentuannya dalam Pasal 1 angka 6 huruf a dan b KUHAP yakni : a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Tampak dalam pengertian di atas bahwa istilah jaksa mengandung makna karena mengemban jabatan yang diberikan oleh undang-undang secara atributif sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van geweijsde). Sedangkan istilah dan makna penuntut umum karena fungsi yang diberikan undang-undang sehingga memiliki wewenang secara atributif untuk melakukan penuntutan terhadap suatu perkara pidana (sebagai wujud penerapan asas legalitas formal) dan melaksanakan penetapan hakim. Jadi jaksa tersebut seseorang yang diberi wewenang
53
oleh undang-undang dalam hal ini KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 untuk melaksanakan fungsinya.
2.1.2. Makna Menuntut dan Penuntutan Bagi Terdakwa Kata "menuntut" berasal dari asal kata "tuntut", secara arti bahasa (etimologi)
berarti
meminta dengan
keras
(setengah mengharuskan
supaya dipenuhi, berusaha keras untuk mendapat hak sesuatu, meminta agar terdakwa dihukum, menuntut supaya dijatuhi hukuman penjara, .... . dan sebagainya. 36 Dalam hubungan dengan proses peradilan pidana menuntut
merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang
(KUHAP, Undang-Undang Kejaksaan RI) kepada jaksa dalam fungsinya sebagai pejabat negara dan penegak hukum kepada terdakwa.
Atau jaksa
untuk melakukan tuntutan
melakukan tindakan hukum berupa
penuntutan kepada setiap orang yang diduga
melakukan pelanggaran
hukum atau perbuatan pidana. Fungsi jaksa untuk menuntut seseorang terdakwa sebagai bentuk pelaksanaan asas legalitas terhadap setiap orang yang diduga melanggar hukum (asas equality before the law). Secara operasional atau praktek penegakan hukum kata menuntut secara aktif, dan kata penuntutan secara pasif atas dasar teori kata penuntutan menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP dirumuskan pengertiannya adalah bahwa : penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam
36
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit, hlm: 1087.
54
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dalam tahapan proses peradilan pidana status seseorang selaku pelaku atau pembuat delik atau "dader" dalam tindak pidana secara teori diberi sebutan atau istilah yang berbeda-beda. Hukum Acara Pidana membedakan predikat seseorang ketika berhadapan dengan proses hukum seperti tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana atau warga binaan. Dalam hubungan dengan topik tesis ini hanya ditelusuri arti dan makna dari istilah "terdakwa" dan “terpidana”. Menurut pengaturan dalam KUHAP atau Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 melalui Pasal 1 angka 15, diberikan batasan pengertian tentang terdakwa, dirumuskan bahwa : "terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan". Terdakwa dalam hubungan penelitian tesis ini terkait dengan seseorang yang diduga, diperiksa serta diputus oleh hakim dalam kasus tindak pidana yakni "korupsi". Sehingga pelaku atau dader atau subyek hukumnya yang menjadi subyek pesakitannya diberi sebutan koruptor ata u pelaku tindak pidana korupsi atau terdakwa korupsi. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 32 KUHAP terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Istilah terpidana dalam tesis ini adalah bagi terdakwa korupsi yang telah diputus oleh pengadilan karena terbukti di persidangan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
55
2.2. Istilah dan Makna Tindak Pidana Terkait Dengan Tindak Pidana Korupsi 2.2.1. Arti Tindak Pidana dan Makna Tindak Pidana Korupsi Istilah tindak pidana berasal dari istilah Belanda yaitu "strafbaar feit ". Strafbaar feit terdiri atas 3 kata yaitu "straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Kata "baar" diterjemahkan dengan dapat atau boleh. Sedangkan "feit"
diterjemahkan dengan tindak,
peristiwa,
pelanggaran, dan perbuatan. Secara literlijk kata "strqf' berarti pidana, kata "baar" artinya dapat atau boleh, dan "feit" berarti perbuatan. 37 Terhadap pengertian tindak pidana, terdapat dua aliran yang berkembang yaitu aliran monistis dan aliran dualistis. Pandangan monistis melihat bahwa keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. memisahkan dengan
antara
Sedangkan
pandangan
dualistis
pengertian "perbuatan pidana" (criminal act)
"pertanggungjawaban
pidana"
(criminal
responsibility
atau
criminal liability). Berikut pengertian strafbaar feit menurut pendapat para sarjana menganut pandangan monistis antara lain : 1. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidan a 38
37
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Cet. I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm : 69. 38 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta, hlm : 50.
56
2. Simons, merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum. 39 Sedangkan pengertian strafbaar feit menurut para sarjana yang menganut pandangan dualistis antara lain : 1. Moeljatno
yang
menggunakan
istilah
perbuatan
pidana
yang
didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 40 2. Pompe yang merumuskan strqfbaar feit adalah suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 3. Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan. 4. R. Tresna memberikan definisi peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan
perundang-undangan
lainnya,
terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. 41
39
Simons, 1992, Kitab Pelajaran Hukum Pidana, terjemahan P.A.F. Lamintang, Pioner Jaya, Bandung, hlm : 127. 40 Moeljatno, 1983, Azas-Azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, hlm : 55. 41 Adami Chazawi, Op. Cit, hlm : 72.
57
Mengenai unsur-unsur tindak pidana, penulis akan membandingkan pendapat dari Simons sebagai penganut aliran monistis dengan pendapat dari Moeljatno yang menganut pandangan dualistis. Dari pendapat Simons mengenai pengertian strafbaar feit dapat ditarik unsur-unsur dari strafbaar feit yang dapat digolongkan menjadi unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif antara lain: a. orang yang mampu bertanggung jawab; b. adanya kesalahan (dolus atau culpa).
Perbuatan harus dilakukan
dengan "kesalahan" yang berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan saat mana perbuatan dilakukan. Unsur objektif antara lain : a. perbuatan orang; b. akibat yang kelihatan dari perbuatan itu; c. mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu. Sedangkan
penganut
pandangan
dualistis
adalah
Moeljatno
yang memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukan perbuatan. Adapun unsur-unsur perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah : a. perbuatan manusia; b. memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); c. bersifat melawan hukum (syarat materiil).
58
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa penganut monistis tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Unsur mengenai diri orangnya bagi penganut dualistis yakni kesalahan dan adanya pertanggungjawaban pidana sebagai bukan unsur tindak pidana melainkan syarat untuk dapat dipidananya, sedangkan menurut pandangan monistis syarat dipidannya itu juga termasuk dalam dan menjadi unsur tindak pidana. Antara kedua pandangan tersebut menurut Soedarto adalah sama benarnya
dan
tidak
perlu
dipertentangkan. 42
Pandangan
tersebut
dikarenakan adanya sudut pandang yang berbeda. Pandangan dualistis barangkat dari sudut abstrak, yaitu memandang tindak pidana semata-mata pada perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu terjadi (konkrit), baru melihat pada orangnya. Bila orang itu mempunyai kemampuan bertanggung jawab dan
karena
perbuatannya itu dapat dipersalahkan kepadanya, dengan demikian maka kepadanya dijatuhi pidana. Sedangkan aliran monistis memandang dari sudut pandang konkrit, bahwa strafbaar feit tidak bisa dipisahkan dengan orangnya. Dalam strafbaar feit selalu ada si pembuat (orangnya) yang dipidana. Oleh karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak pidana. Berikut baru
42
hlm : 69.
Andi Hamzah (II), 1991, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,
59
dikaitkan antara tindak pidana dan korupsi tersebut, seperti terurai dalam uraian selanjutnya.
2.2.2. Tipologi Tindak Pidana Korupsi Secara
terminologis,
korupsi
berasal
dari kata
"corruptio”
atau “corruptus” dalam bahasa Latin yang berarti kerusakan atau kebobrokan dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaan atau perbuatan yang busuk. 43 Disebutkan pula bahwa corruption berasal pula dari asal kata corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Selanjutkan dari bahasa Latin itu turun kebanyak bahasa Eropa seperti corruption, corrupt; (Inggris), corruption (Perancis), dan Belanda yaitu corruptie (korruptie). Bahasa Belanda inilah yang turun ke dalam bahasa Indonesia yaitu "korupsi". 44 Istilah kecurangan
korupsi
sering
dikaitkan
dengan
seseorang
dalam
bidang
keuangan.
ketidakjujuran Dengan
atau
demikian,
melakukan korupsi berarti melakukan kecurangan atau penyimpangan menyangkut
keuangan
negara.
Menurut
Henry
Campell
Black,
mengartikan korupsi sebagai ""an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of others" (terjemahan bebasnya : sesuatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban
43
Fockema Andrea, 1983, Kamus Hukum (Terjemahan), Bina Cipta, Bandung,
hlm : 73. 44
Andi Hamzah, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Ed. Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm : 4.
60
resmi
dan
hak-hak
dari
pihak
lain).
Termasuk
juga
pengertain
"corruption" menurut Black adalah perbuatan seorang pejabat yang secara melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatu keuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya. 45 Dalam Webster's New American Dictionary, kata "corruption" diartikan sebagai "decay" (lapuk), "contamination" (kemasukan sesuatu yang merusak", dan "impurity" (tidak murni). Sedangkan kata "corrupt" dijelaskan sebagai "to became rotten or putrid" (menjadi busuk, lapuk, dan buruk), juga "to induce decay in something originally clean and sound" (memasukkan sesuatu yang busuk, atau yang lapuk ke dalam sesuatu yang semula bersih dan bagus). 46 Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata korupsi diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogokan, dan sebagainya. 47 Sedangkan menurut Sudarto, istilah korupsi berasal dari kata "corruption", yang berarti kerusakan. Brooks, sebagaimana dikutip oleh Alatas memberikan perumusan korupsi yaitu dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kekuasaan
kewajiban,
atau tanpa hak menggunakan
dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak
bersifat pribadi. 45
Septa Candra, 2012, "Hukum Pidana dalam Perspektif dalam Agustinus Pohan dkk (ed); Tindak Pidana Korupsi: Upaya Pencegahan dan Pemberantasan, Pustaka Larasan, Jakarta, hlm : 106. 46 A. Mariam Webster, 1985, New International Dictionary, G & C Marriam Co. Publishers Springfield Mass, USA, hlm : 79. 47 W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm: 128.
61
Adapun mengenai ciri-ciri korupsi adalah sebagai berikut: a. Suatu penghianatan terhadap kepercayaan. b. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umum. c. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus. d. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan dimana orang-orang yang berkuasa atau bawahannya menganggap tidak perlu. e. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak. f. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain g. Terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya. h. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentukbentuk pengesahan hukum. i. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi. 48
Dari segi tipologi menurut Alatas, korupsi dapat dibagi dalam tujuh jenis yang berlainan antara lain : 1. Korupsi transaktif (transactive corruption). Disini menunjukkan kepada adanya kesepakatan timbal balik antara pemberi dan penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya. 2. Korupsi yang memeras (extortive corruption) adalah dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingan dirinya, atau orang-orang, dan hal-hal yang dihargainya. 3. Korupsi investif (investive corruption) adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri, seperti pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang. 4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
48
Septa Candra, Op. Cit, hlm : 5.
62
5. Korupsi defensif (defensive corruption) di sini pemberi tidak bersalah tetapi si penerima yang bersalah. Misalnya, seorang penguasa yang kejam menginginkan hak milik seseorang. 6. Korupsi otogenik (autogenic corruption) suatu bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri. 7. Korupsi dukungan (supportive corruption) di sini tidak langsung menyangkut uang atau imbalan dalam bentuk lain. Tindakan -tindakan yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada. 49
Sedangkan tipologi tindak pidana korupsi berdasarkan UndangUndang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirumuskan tindak pidana korupsi ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk atau jenis tindak pidana korupsi, yang telah berkembang menjadi 7 (tujuh) tipe atau kelompok sebagai berikut: 1. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Murni Merugikan Keuangan Negara" Merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, pegawai negeri sipil, dan penyelengara negara yang secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Yang termasuk tindak pidana korupsi ini diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf c, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 1 huruf (i), Pasal 12 A, dan Pasal 17. 49
Septa Candra, Loc. Cit.
63
2. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Suap" Tipe tindak pidana korupsi suap tidak berakibat langsung pada kerugian keuangan negara ataupun perekonomian negara, karena sejumlah uang ataupun benda berharga yang diterima oleh pegawai negeri sipil atau penyelenggara perbuatan
melawan
negara
sebagai
hasil
dari
hukum, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi bukan berasal dari uang negara atau aset negara, melainkan dari uang atau aset orang yang melakukan penyuapan. Dalam tindak pidana korupsi suap selalu melibatkan peran aktif antara orang yang melakukan penyuapan dengan pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara sebagai penerima suap, yang disertai dengan kesepakatan mengenai besaran atau nilai penyuapan dan cara penyerahannya. Ketentuan yang mengatur tindak pidana korupsi ini adalah Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d, Pasal 12A, Pasal 17. 3. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Pemerasan" Pada tindak pidana ini, terdapat peran aktif dari pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara yang meminta bahkan cenderung melakukan pemerasan kepada masyarakat yang memerlukan pelayanan ataupun bantuan. Hal ini dikarenakan adanya faktor ketidakmampuan secara materiil dari masyarakat yang memerlukan bantuan atau
64
pelayanan tersebut. Tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Pasal 12 huruf e, huruf f, huruf g, Pasal 12A, Pasal 17. 4. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Penyerobotan" Pada tindak pidana ini terdapat peran aktif dari pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang ada di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tindak pidana korupsi ini diancam dengan ketentuan Pasal 12 huruf h dan Pasal 17. 5. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Gratifikasi" Dalam tindak pidana korupsi "gratifikasi" pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara bersifat pasif, sedangkan yang bersifat aktif adalah pemberi gratifikasi. Selain itu, dalam tipe tindak pidana korupsi ini tidak ada kesepakatan antara pemberi gratifikasi dengan pegawai negeri ataupun penyelenggara negara. Tindak pidana ini dijerat dengan Pasal 12 B jo. Pasal 12 C, Pasal 13, dan Pasal 17. 6. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Percobaan,
Pembantuan,
dan
pembantuan,
dan
Permufakatan" Tindak
pidana
korupsi
percobaan,
permufakatan yang dilakukan masih atau hanya sebatas percobaan, pembantuan, dan permufakatan untuk melakukan tindak pidana
65
korupsi. Pada tindak pidana ini sanksi pidananya dikurangi 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidananya, Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dan d, Pasal 8, Pasal 10 huruf b, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17. 7. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Lainnya" Tipe tindak pidana ini adalah peristiwa atau perbuatan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu perbuatan yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara tidak langsung penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di
pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun perkara pidana.
saksi
sidang dalam
Tindak pidana ini dijerat dengan ketentuan Pasal
21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24. 50
2.3.
Tugas, Fungsi, Wewenang Jaksa Penuntut Umum Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Konteks SPP
2.3.1. Esensi dan Makna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Bagi Terdakwa Terpidana Korupsi Sebelum meninjau makna dan arti pengembalian kerugian keuangan negara menurut batasan pengertian perundang-undangan, lebih dahulu perlu disimak arti "pengembalian", kata pengembalian berasal dari kata (leksikal) akar kata "kembali" yang artinya adalah "balik ke tempat atau keadaan semula, kembali pada asalnya semula, memulihkan kepada 50
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami untuk Membasmi-Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, hlm : 3-4.
66
keadaan semula", kata "pengembalian" berarti "proses, cara, perbuatan mengembalikan, pemulihan". 51 Kata "pengembalian" dirangkaikan dengan kata-kata kerugian keuangan negara, dapat diketemukan makna dan artinya menurut pengaturan dalam perundang-undangan seperti berikut: a. Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), diatur dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 15 dirumuskan "Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata, dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai". b. Menurut Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI No.01 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, dalam Pasal 1 angka 2 dirumuskan ketentuannya bahwa "Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut". Bila dirangkaikan kata "pengembalian" dengan kata-kata kerugian keuangan negara tersebut maka mengandung makna bahwa adanya suatu kewajiban bagi jaksa karena kewenangan yang diberikan undang-undang untuk melakukan suatu perbuatan hukum berupa proses, cara melalui usaha untuk pengembalian kerugian keuangan negara yang telah diambil secara melawan hukum oleh seseorang secara sengaja maupun karena
51
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit, him : 473.
67
lalai, untuk dipulihkan, dikembalikan pada keadaan semula. Pelaku pembuat kerugian dalam hal ini adalah koruptor, dengan perbuatan yang tergolong pada tindakan korupsi dalam bentuk uang ataupun barang atau bentuk lainnya yang dilakukan secara melawan hukum sesuai kualifikasi delik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (sekarang berlaku UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor : 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, merumuskan pengertian Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 52 Dalam arti sempit, keuangan negara meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya. Perumusan keuangan negara menggunakan beberapa pendekatan, yaitu : 1.
Pendekatan dari sisi objek Keuangan negara meliputi seluruh hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, di dalamnya termasuk berbagai kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang fiskal, moneter dan/atau pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu, segala sesuatu dapat berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
52
Jawade Hafidz Arsyad H., 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara), Sinar Grafika, Jakarta, hlm : 164.
68
2.
3.
4.
Pendekatan dari sisi subjek Keuangan negara meliputi negara dan/atau pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara atau daerah, dan badan lai n yang ada ada kaitannya dengan keuangan negara. Pendekatan dari sisi proses Seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek di atas mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggung jawaban. Pendekatan dari sisi tujuan Keuangan negara meliputi kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. 53
Menurut M. Ichwan keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya 1 tahun mendatang. 54 Geodhart mendefinisikan keuangan negara merupakan keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut. 55
Adapun unsur-unsur keuangan negara
yang dipaparkan oleh Geodhart antara lain : a. Periodik b. Pemerintah sebagai pelaksana anggaran c. Pelaksanaan anggaran mencakup dua wewenang, yaitu wewenang pengeluaran dan wewenang untuk menggali sumber-sumber pembiayaan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran yang bersangkutan, dan d. Bentuk anggaran negara adalah berupa suatu undang-undang. 56 53 54 55 56
Ibid, hlm : 164 Ibid, hlm : 165 Ibid Ibid
69
Ruang lingkup keuangan negara meliputi: a. b. c. d. e. f. g.
h.
i. j.
Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; Penerimaan negara; Pengeluaran negara; Penerimaan daerah; Pengeluaran daerah; Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak -hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah; dan Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah. 57
Dalam penjelasan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
57
Ahmad, 2013, Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara, http://rakaraki.blogspot.com/2013/04/pengertian-dan-ruang-lingkup-keuangan.html, diakses tanggal 24 Desember 2013.
70
b. Berada dalam penguasaan,
pengurusan,
dan
pertanggungjawaban
Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD), yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan
yang menyertakan
modal
pihak
ketiga
berdasarkan
perjanjian dengan negara. Dengan mengetahui beberapa pengertian keuangan negara tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keuangan negara tidak hanya sebatas uang semata. namun termasuk juga semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta semua yang dapat dijadikan milik negara baik yang berada dalam penguasaan pemerintah maupun penguasaan pihak lain di luar pemerintah. Pengertian keuangan negara tidak hanya berbentuk uang tetapi segala bentuk dalam wujud apapun yang dapat diukur dengan nilai uang. Dengan merujuk kepada rincian pasal dan pengertian batasan kerugian, serta keuangan negara di atas, dapat dirumuskan arti kerugian negara sebagai
berkurangnya
kekayaan
negara
yang
disebabkan
oleh
penyalahgunaan wewenang atau kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan dan kedudukannya. 58 Definisi kerugian negara dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara Pasal 1 ayat (22) "Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan
58
Ibid, hlm : 164
71
hukum baik sengaja maupun lalai". Oleh karena itu kerugian negara itu harus pasti, tidak menerka-nerka dan harus dilakukan penghitungan kerugian negara. 59 Kerugian keuangan negara akibat korupsi dapat diperoleh kembali dengan upaya penjatuhan sanksi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Pengembalian kerugian keuangan negara merupakan tujuan penting dari upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Dengan adanya ancaman sanksi pidana berupa pengembalian kerugian keuangan negara, maka akan lebih mudah untuk memperoleh kembali kerugian keuangan negara akibat korupsi. Pada
hakikatnya,
pengembalian
kerugian
keuangan
negara
dimaksudkan guna memperoleh kembali sejumlah uang yang telah dikaburkan oleh pelaku tindak pidana korupsi. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ancaman sanksi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara telah dicantumkan dalam Pasal 18, tetapi tidak ada kewenangan bagi jaksa untuk harus menuntut terdakwa korupsi dengan beban berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Menurut pendapat R. Wiyono dalam memahami esensi kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dengan mengkritisi Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999, memberikan pendapat bahwa yang dimaksud dengan "merugikan" adalah sama artinya dengan menjadi rugi 59
Musri Nauli, 2014, Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, http://hukum.kompasiana.com/2014/10/08/kerugian-negara-dalam-tindakpidana-korupsi-598568.html, diakses tanggal 24 April 2014.
72
atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur "merugikan keuangan negara" adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara. Adapun apa yang dimaksud dengan "keuangan negara", di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat Pusat maupun di Daerah; b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan perusahaan
yang menyertakan modal negara, atau
yang menyertakan
modal
pihak
ketiga
berdasarkan
perjanjian dengan negara. Apabila tetap berpegangan pada arti kata "merugikan" yang sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, maka apa yang dimaksud dengan unsur "merugikan perekonomian negara" adalah sama artinya dengan perekonomian negara menjadi rugi atau perekonomian negara menjadi kurang berjalan. Penjelasan
Umum
Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah
73
kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang
bertujuan
memberikan
manfaat,
kemakmuran,
dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Ditinjau dari sudut pengertian dalam ilmu hukum, apa yang dimaksud dengan "perekonomian negara" seperti yang disebutkan di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah sangat kabur. Akibatnya, sangat sulit untuk menentukan apa yang dimaksud dengan unsur "merugikan perekonomian negara" di dalam perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1). Oleh sebab itu, untuk dapat membuktikan adanya unsur merugikan "keuangan negara" tidak terlalu sulit, karena apa yang dimaksud dengan "keuangan negara" pengertiannya sudah jelas, tetapi sebaliknya untuk dapat membuktikan adanya unsur "merugikan perekonomian negara" sangat sulit. Maka tidak mengherankan jika tidak begitu banyak atau langka adanya putusan pengadilan yang di dalam pertimbangan hukumnya
74
memuat dengan jelas pembuktian adanya unsur "merugikan perekonomian negara". 60 Salah satu putusan pengadilan yang di dalam pertimbangan hukumnya memuat dengan jelas pembuktian adanya unsur "merugikan perekonomian negara" adalah Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 31 Oktober 1986 Nomor 1164 K/Pid/1985 61 dengan terdakwa Tony Gozal alias Go Tiong Kien, Direktur CV Cipta Nusa yang pertimbangan hukumnya antara lain berbunyi sebagai berikut: "Bahwa perbuatan terdakwa tersebut adalah melawan hukum, karena ia membangun di atasnya tanpa hak/tanpa izin yang berwajib dan sebagai akibat dari perbuatannya tersebut sebagian dari wilayah perairan pelabuhan Ujung Pandang tidak dapat digunakan lagi untuk kepentingan umum". "Bahwa wilayah perairan tersebut adalah milik negara, sehingga penggunaan dari padanya oleh terdakwa jelas merugikan perekonomian negara". Terhadap pertimbangan hukum tersebut, H. Baharuddin Lopa Moh. Yamin 62 telah menarik kesimpulan bahwa timbulnya kerugian perekonomian
negara
karena
terdakwa
telah
melanggar
ketentuan
perizinan mengenai penggunaan wilayah perairan dan objek perbuatan
60
Baharuddin Lopa dan Moh. Yamin, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kipas Putih Aksara, Jakarta, hlm : 19. 61 Ibid 62 Ibid. hlm. 20
75
terdakwa menyangkut suatu milik negara yang oleh negara dimanfaatkan untuk melayani kepentingan umum dalam bidang perekonomian.
2.3.2. Tugas, Fungsi dan Wewenang Jaksa Penuntut Umum Terkait Usaha Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia Sebelum membahas keterkaitan antara proses hukum yang adil dengan konsepsi Sistem Peradilan Pidana (SPP) di Indonesia atas landasan operasional KUHAP, terlebih awal perlu paparan tentang hubungan dan makna antara : sistem, sistem hukum dan sistem peradilan pidana tersebut. Dalam memahami pengertian Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau Criminal Justice System, secara etimologi (arti kata) tersusun oleh dua suku kata yakni kata "sistem" dan kata "Peradilan Pidana" yang barulah nanti terangkai menjadi "Sistem Peradilan Pidana". Terlebih dahulu perlu diberikan pengertian dari arti kata "Sistem" tersebut,
baik
secara
penelusuran
arti
kata,
maupun
beberapa
pendapat/doktrin. Istilah sistem berasal dari bahasa latin "systema" yang mengandung arti keseluruhan atau kombinasi keseluruhan. 63 Guna memahami pengertian sistem sebelum mengkaitkan dengan hukum dan/atau peradilan pidana ada beberapa definisi tentang sistem
63
Andi Hamzah (I), 1986, Kamus Hukum, PT Gramedia, Jakarta, him : 583.
76
yang diberikan oleh para ahli maupun dari ensiklopedia dan Kamus Bahasa Indonesia seperti : 1. Tatang M. Amirin menyatakan sistem adalah keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian, berarti pula hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur. Lebih lanjut sistem dipergunakan untuk menunjukkan banyak hal, diantarannya untuk menunjukkan suatu himpunan, bagian yang saling berkaitan, keseluruhan organ-organ tubuh tertentu, sehimpunan ide-ide, prinsip-prinsip, dan sebagainya, hipotesis atau teori, metode atau tata cara (prosedur), skema atau metode pengaturan susunan sesuatu. Menurut Tatang M. Amirin ciri-ciri sistem yaitu : 1. Setiap sistem mempunyai tujuan 2. Setiap sistem mempunyai batas yang memisahkannya dari lingkungannya 3. Walau sistem mempunyai batas tetapi bersifat terbuka 4. Sistem terdiri dari beberapa subsistem atau unsur 5. Sistem mempunyai sifat holistik atau utuh menyeluruh 6. Saling berhubungan dan saling bergantung baik inheren atau eksteren 7. Sistem melakukan proses transformasi 8. Sistem memiliki mekanisme kontrol dengan pemanfaat an umpan balik 9. Memiliki kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan menyesuaikan diri. 64 2. Ludwig Van Bertalanffi memberikan arti sistem : "System are complexes of elements in ientercation, to which certain law can be applied" (Sistem adalah himpunan unsur yang saling mempengaruhi untuk mana hukum tertentu menjadi berlaku). 65 Lebih lanjut teori sistem merupakan sejarah penjelajahan inteketnalitas manusia dalam menemukan cara yang paling tepat untuk mempelajari suatu kesatuan yang kompleks. Menurut Bertalanffi yang dikutip Anthon F. Susanto teori sistem umum memiliki 4 ciri yakni: 1. Mampu memenuhi kritiknya terhadap metodologi analitis 2. Mampu melukiskan kekhususan yang disebut sistem itu
64
Tatang M. Amirin, 2001, Pokok-Pokok Teori Sistem, PT Raja Grafmdo Persada, Jakarta, hlm : 15. 65 Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditama, Bandung, hlm: 14.
77
3. Mampu menjelaskan kekaburan hal-hal yang termasuk dalam suatu sistem 4. Merupakan teori saintifik. 66 3. H. Thierry seperti dikutip Anthon F. Susanto memberikan definisi sistem : "Een System is een gekeel van elkaar wederzijds beinvloedende componenten, die volgens een plan georden zijn, tereonde eer beepald doel te bereiken' (Sistem adalah keseluruhan bagian yang saling mempengaruhi satu sama lainnya menurut suatu rencana yang telah ditentukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu). Juga dikutip oleh Anthon F. Susanto, pengertian sistem menurut William A. Shorde dan Dan Voich Jr., sistem adalah "A independently and faintly, in persuit of command objectives of the whole within a complex environtment " (Sebuah sistem adalah seperangkat bagian yang saling berhubungan, bekerja sedikit bebas, dalam mengejar keseluruhan tujuan dengan kesatuan lingkungan). 67 Menurut William A. Shorde dan Dan Voich ciri-ciri sistem yaitu : 1. Sistem mempunyai tujuan sehingga perilaku kegiatannya mengarah pada tujuan tersebut. 2. Sistem merupakan suatu keseluruhan yang bulat dan utuh 3. Sistem memiliki sifat yang terbuka 4. Sistem melakukan kegiatan transformasi 5. Sistem saling berkaitan 6. Dalam sistem ada semacam mekanisme kontrol. 68 4. J. S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain mengartikan sistem : a. Susunan kesatuan-kesatuan yang masing-masing tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi berfungsi membentuk kesatuan secara keseluruhan. b. Susunan yang teratur dari suatu teori, asas suatu mekanisme contoh pemerintahan, jalannya suatu organisasi. c. Cara, metode. 69 5. Menurut W.J.S. Poerwadarminta sistem adalah : a. Sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud
66
Anthon F. Susanto (I), 2004, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT Refika Aditama, Bandung, him : 86. 67 Ibid 68 Bachsan Mustafa, Loc. Cit. 69 J.S. Badudu dan Mohammad Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, him : 1337.
78
b. Sekelompok dan pendapat, peristiwa, kepercayaan yang disusun dan diatur baik-baik. c. Cara yang teratur untuk melakukan sesuatu. 70
6. Ananda Santoso dan A.R. Al-Hanif, "Sistem adalah peraturan, cara jalan, susunan yang teratur dan pandangan, teori, asas, seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu keseluruhan". 71 7. Menurut Pamudji "Sistem sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan halhal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks atau utuh". 72 8. Menurut Prajudi A. "Sistem adalah suatu jaringan dari prosedurprosedur yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk menggerakkan suatu fungsi yang utama dari suatu usaha atau urusan". 73 9. Menurut Sri Sumanti "Sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud". 74
70
W.J.S. Poerwadarminta, 1993, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, him : 955. 71 Ananda Santoso dan A.R. Al-Hanif, 1975, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Alumni, Surabaya, him: 348. 72 Pamudji, 1981, Teori Sistem dan Pengertiannya Dalam Manajemen, Ikhtiar, Jakarta, him: 4-7. 73 H.S. Prajudi, 1973, Dasar-Dasar Office Management, Ghalia, Jakarta, him : 995. 74 Sri Sumanti, 1976, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara, Transito, Bandung, him: 17.
79
10. Menurut Musanef "Sistem adalah suatu sarana yang menguasai keadaan dan pekerjaan agar dalam menjalankannya tugas dapat teratur". 75 11. Menurut Webster's New Collegeate Dictionary "System is a complex of ideas, principles etc. forming a coherent whole as the American System of Government" (Artinya adalah suatu kumpulan pendapat-pendapat, prinsip-prinsip dan lain-lain yang membentuk suatu kesatuan yang berhubung-hubungan satu sama lain seperti pemerintahan. 76 12. Menurut Soerjono Soekanto "Sistem adalah perangkat elemen-elemen yang saling berhubungan atau perangkat variabel-variabel mandiri". 77 13. Menurut YB. Suparlan, et. al, "Sistem adalah cara yang teratur dalam melaksanakan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan". 78 14. Menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia "Sistem adalah suatu susunan yang terdiri atas pilahan berdasarkan fungsinya, individu individu pendukung yang membentuk kesatuan utuh, tiap individu di dalam sistem saling bergantung dan saling menentukan". 79
75
Musanef, 1989, Sistem Pemerintahan di Indonesia, CV. Haji Masaung, Jakarta, hlm : 7. 76 Arifm Rahman, Sistem Politik Indonesia Dalam Perspektif Stmktural Fungsional, PT. Six, Surabaya, hlm : 1. 77 Soerjono Soekanto (I), 1985, Kamus Sosiologi Edisi Bam, PT. Raja Grafmdo Persada, Jakarta, hlm : 434. 78 YB. Suparlan, 1990, Kamus Istilah Kependudukan dan Keluarga Berencana, K.an is i us, Yogyakarta, hlm : 233. 79 Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1996, PT. Citra Adi Pustaka, Jakarta, hlm : 93.
80
15. Menurut Kamus Istilah Peraturan Perundang-undangan "Sistem adalah suatu tatanan dari hal-hal yang saling berkaitan dan berhubungan saling membentuk satu kesatuan dan satu keseluruhan". 80 16. Menurut Ensiklopedi Administrasi "Sistem (dari bahasa Inggris System) artinya suatu rangkaian prosedur yang telah merupakan suatu kebulatan (kesatuan) untuk melaksanakan suatu fungsi". 81 Berdasarkan pengertian sistem di atas dapat dirangkum unsur-unsur dari suatu sistem yakni: a. Kelakuan berdasarkan tujuan tertentu Sistem tersebut terorientasi kepada sasaran tertentu. b. Keseluruhan Keseluruhan melebihi jumlah dari semua bagian-bagiannya. c. Keterbukaan Sistem tersebut saling berhubungan dengan sebuah sistem yang lebih besar yaitu lingkungannya. d. Transformasi Bagian-bagian yang bekerja, menciptakan sesuatu yang mempunyai nilai. e. Antar Hubungan Berbagai macam bagian harus cocok satu sama lain, f. Mekanisme Kontrol Terdapat adanya kekuatan yang mempersatukan dan mempertahankan sistem yang bersangkutan. 82
Kemudian kata "sistem" dirangkaikan dengan obyek ilmunya yang menjadi kajian substansinya yakni "hukum". Bila "sistem" dihubungkan dengan "hukum" sehingga menjadi sistem hukum seperti yang dikemukakan oleh Riduan Syahrani, bahwa
80
Tim Redaksi Tata Nusa, Perundang-Undangan Republik Indonesia 563. 81 The Liang Gie (et. al), 1981, Jakarta, him : 328-329 82 Bachsan Mustafa, Op. Cit, hlm :
1999, Kamus Istilah Menurut Peraturan 1945-1998, PT. Tata Nusa, Jakarta, hlm : Ensiklopedi Administrasi, Gunung Agung, 5.
81
peraturan-peraturan hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi mempunyai hubungan satu sama lain, sebagai konsekuensi adanya keterkaitan antara aspek-aspek kehidupan dalam masyarakat, malahan keseluruhan peraturan hukum dalam sistem masyarakat merupakan suatu sistem hukum. 83 Ada beberapa pendapat para ahli yang mendefinisikan sistem hukum, yaitu: 1. Bellefroid Menyatakan "Sistem hukum sebagai suatu rangkaian kesatuan peraruran-peraturan hukum yang disusun secara tertib menurut asas-asasnya". 84 2. Subekti mendefinisikan "Sistem hukum sebagai suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian -bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran, untuk mencapai suatu tujuan". 85 3. Sudikno Mertokusumo menyebut "Sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut". 86 4. Menurt Ronald Dworkin sistem hukum memiliki 4 karakteristik, yaitu : a.
Element,elemen dalam hukum yaitu merupakan pertimbangan moral tentang apa yang benar dan apa yang buruk. Di dalam elemen terdapat prinsip-prinsip yakni: Prinsip mengenai apa yang disebutnya dengan political morality dan political organization yang membenarkan pengaturan secara konstitusional.
83
Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm : 169. 84 Ibid. 85 Ibid, hlm : 170 86 Ibid, hlm : 169 – 170
82
Prinsip yang membenarkan metode melakukan penafsiran menurut Undang-undang. b. Prinsip tentang hak asasi manusia yang substansif untuk membenarkan isi dari keputusan pengadilan. c. Relation, prinsip ini dihubungkan dengan satu sama lain oleh apa yang disebutnya intese intersection dan interdependencies di dalam suatu yang bersifat utuh sistematis. d. Penyatuan adalah kesatuan yang utuh yang tidak harus dilihat sebagai pendapat semata-mata tetapi juga sebagai sesuatu yang terus-menerus harus dikembangkan dan dibenahi. 87
5. Menurut
Anthony
Allots
hukum
sebagai
suatu
sistem
secara
konvensional terdapat alasan-alasan, yakni: a. Hukum sebagai sistem aturan yang selalu berkaitan dengan manusia. b. Aturan tersebut merupakan patokan atau pembatasan terhadap perilaku. c. Tingkah laku berarti tingkah laku seseorang dalam masyarakat. d. Hanya aturan yang disebut oleh otoritas yang berwenang dan kompeten dalam masyarakatlah yang dapat disebut sebagai aturan hukum. 88 6. Menurut Scholten yang dikutip oleh Utrecht dengan mengatakan bahwa "Sistem hukum merupakan kesatuan, di dalam sistem hukum tidak ada peraturan hukum yang bertentangan dengan peraturan-peraturan hukum lain dari sistem itu". 89 7. Kees Schuit dalam pendapatnya yang dikutip oleh JJ.H. Bruggink (Alih bahasa dari Arief Sidharta) menyatakan bahwa : Sebuah sistem hukum terdiri atas tiga unsur yang memiliki kemandirian tertentu (memiliki identitas dengan batas-batas yang relatif jelas) yang saling berkaitan dan masing-masing dapat dijabarkan lebih lanjut, unsur-unsur yang mewujudkan sistem hukum itu adalah : 1. Unsur idiil, unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri atas aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. 87
H.R. Otje Salman, Anthoni F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, hlm : 93-94 88 .Ibid 89 Utrecht, 1999, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ikhtiar, Jakarta, hlm : 207.
83
2. Unsur operasional, unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasiorganisasi dan lembaga-lembaga yang didirikan dalam suatu sistem hukum yang termasuk ke dalamnya adalah juga para pengemban jabatan yang berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga. 3. Unsur aktual, unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-perbuatan kongkrit yang berkaitan dengan sistem makna dan hukum, baik dari para pengemban jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum itu. 90
Dalam hubungan ini menurut Lawrence M . Friedman adalah tiga komponen terpenting dalam sebuah sistem hukum yang beroperasi: 1. Struktur, yaitu bagian-bagian yang bergerak dalam suatu mekanisme. Komponen struktur dikaitkan dengan sistem peradilan pidana Indonesia, maka termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. 2. Substansi, yaitu hasil-hasil yang diterbitkan oleh sistem hukum berupa aturan-aturan hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. 3. Budaya hukum, adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Jadi dengan kata lain kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. 91
Berdasarkan teori dari Lawrence M. Friedman di atas terkait dengan sistem peradilan pidana, maka komponen sistem yang lebih banyak relevansinya adalah komponen struktur dan substansi. Lebih lanjut Parsons mengatakan fungsi utama suatu sistem hukum itu bersifat integrative, artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik
90
JJ. H. Bruggink (Alih Bahasa Arief Sidharta), 1996, Refleksi Tentang Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm : 140. 91 . Anthon F. Susanto (I), Op. Cit, hlm : 11.
84
yang potensial yang ada di dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Kalau dicermati pengertian sistem peradilan pidana yang diberikan oleh para ahli di atas, penulis dapat mengambil unsur-unsur penting dalam lingkup pengertian sistem peradilan pidana, yaitu : -
Penggunaan pendekatan sistem, melalui pendekatan ini, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, LAPAS dan advokat tidak lagi merupakan instansi yang berdiri sendiri, melainkan masing-masing merupakan unsur penting dan berkaitan erat satu sama lain.
-
Terhadap mekanisme administrasi sistem peradilan pidana.
-
Merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Bertujuan mengendalikan kejahatan.
-
Adanya suatu tindakan interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Secara historis sistem peradilan pidana untuk pertama kali
diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam ""Criminal Justice System'" di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah "hukum dan ketertiban"
85
(law and order approach) dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut dikenal dengan istilah "law enforcement 1 ". Istilah tersebut menunjukkan bahwa aspek hukum dalam penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan kepolisian sebagai pendukung utama. Namun karena pendekatan law and order ini tidak berhasil memberantas kejahatan, maka model pendekatan ini ditinggalkan. Penggagas model pendekatan "sistem", ini diperkenalkan pertama kali oleh Frank Remington di Amerika Serikat dengan memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem (system approach).
Gagasan
mengenai
sistem
ini
diperkenalkan
dan
disebarluaskan oleh "The President's Crime Commision". Dalam kurun waktu akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970, criminal justice sebagai disiplin
studi
tersendiri
telah
muncul
menggantikan
istilah
"law
enforcement" atau "police studies". Perkembangan sistem ini di Amerika Serikat dan di beberapa negara Eropa menjadi model yang dominan dengan menitikberatkan pada "the Administration of Justice" serta memberikan perhatian yang sama terhadap komponen dalam penegakan hukum. 92 Sehubungan dengan pendekatan "sistem", Indonesia mengkonsepsi dengan "Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice
92
Romli Atmasasmita (I), 1996, Sistem Peradilan Pidana Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Jakarta, hlm : 7-8.
Perspektif
86
System)". Hal tersebut seperti dinyatakan Harkristuti Harkrisnowo : "Konsep Integrated Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia baru mendapat perhatian pada dasa warsa terakhir ini ...... dan seterusnya ...... dalam sistem ini tercakup beberapa subsistem dengan tugas masing-masing dalam proses peradilan kepolisian,
kejaksaan,
pengadilan,
pidana
yaitu
:
lembaga pemasyarakatan, dan
pengacara. Di Indonesia masing-masing subsistem ini sudah diatur kewenangan dan fungsinya dalam undang-undang tersendiri. Dalam menjalankan proses peradilan pidana, aturan yang mendasari kerja masingmasing subsistem mengacu pada KUHAP yang diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 1981". 93 Penyelenggaraan peradilan pidana dengan tujuan akhir adalah tercapainya keadilan bagi semua pihak. Dalam operasionalnya peradilan pidana semua tahapan mekanismenya harus melalui proses hukum yang adil (due process of law). Bekerjanya peradilan pidana berarti mulai bekerjanya subsistem struktur SPP atau penegak hukum, mulai tindakan penyelidikan oleh kepolisian dan tindakan upaya paksa lain seperti penangkapan, penggeledahan, penahanan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Dilanjutkan oleh kinerja kejaksaan mendakwa dan menuntut, pengadilan atau hakim memeriksa dan memutus perkara. Yang kemudian
93
Harkristuti Harkrisnowo, 2002, Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), Dalam News Latter, KHN, Jakarta, hlm : 10-11.
87
narapidana dibina oleh lembaga pemasyarakatan. Berprosesnya hukum acara pidana ini, demi untuk mencapai tujuan dari peradilan. Guna mencapai tujuan peradilan pidana tersebut masing-masing penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim, lapas dan advokat walaupun tugas dan fungsinya berbeda-beda tetapi harus bekerja dalam satu kesatuan sistem dalam artinya kinerja masing-masing penegak
hukum tersebut
harus berhubungan secara fungsional. Karena penyelenggaraan peradilan tersebut adalah merupakan suatu sistem, yaitu suatu keseluruhan dan terangkai yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan secara fungsional. Dalam hubungan ini peradilan pidana dipandang sebagai suatu sistem. Karena dalam peradilan pidana tersebut, terdapat beberapa lembaga yang masing-masing mempunyai wewenang dan tugas sesuai dengan bidangnya serta peraturan yang berlaku. Sehubungan dengan peran dan fungsinya tersebut, peradilan pidana memiliki tujuan. Mengenai tujuan sistem peradilan pidana dalam tataran teori beberapa kalangan ahli hukum menggariskan sebagai berikut: 1. Malcolm
Davies,
Hazel
Croall
and
Jane
Tyrer
menyatakan
dalam penyelenggaraan peradilan pidana fungsi/tugas yang harus dijalankan sebagai tujuan sistem peradilan pidana bertujuan sebagai berikut:
88
1. Protecting the public by preventing and deterring crime, by rehabilitating offenders and incapacitating others who constitute a persistent thereat to community. 2. Upholding and promoting the rule of law and respect for the law, by ensuring due process and proper treatment of suspects, arrestees, defandants, and those held in custody, successfully prosecuting criminals and acquitting innocent people accustedofa crime. 3. Maintaining law and order. 4. Punishing criminals with regard to the principles of just deserts. 5. Registering social disapproval of censured behavior by finishing criminals. 6. Aiding and advising the victims of crime? 94 Terhadap pendapat di atas mengenai tujuan sistem peradilan pidana diartikan antara lain adalah : 1. Melindungi masyarakat melalui upaya penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, dan melakukan upaya inkapasitasi
terhadap
orang
yang
merupakan
ancaman
terhadap masyarakat. 2. Menegakkan dan memajukan the rule of law dan penghormatan pada hukum, dengan menjamin adanya due proses dan perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa dan terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan. 3. Menjaga hukum dan ketertiban. 4. Menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan falsafah pemidanaan yang dianut.
94
Malcolm Davies, Hazel Croal and Jane Tyrer, 1995, Criminal Justice An Introduction to The Criminal Justice System in England and Wales, Longman Group Limeted, New York, page : 4.
89
5. Masyarakat diharap tidak mencela perilaku kehidupan setelah penjahat mengalami hukuman. 6. Membantu dan memberi nasehat pada korban kejahatan. 2. Harkristuti Harkrisnowo, menyatakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana terpadu adalah untuk memerangi kejahatan 95 3. Mardjono
Reksodiputro,
bahwa
tugas
sistem
peradilan
pidana
bertujuan : a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat menjadi puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan pelaku kejahatan telah dipindana, dan c. Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan itu tidak mengulangi perbuatannya lagi. 96 4. Muladi menyatakan bahwa "pada tataran ideal paling tidak ada 3 (tiga) indeks keberhasilan sistem peradilan pidana yang bertujuan menciptakan rehabilitasi dan resosialisasi bagi terpidana, .......... untuk mencegah terjadinya kejahatan, dan keberhasilan sistem peradilan pidana untuk menciptakan kesejahteraan sosial". 97
Lebih
rinci
menurut
Muladi
tujuan
sistem
peradilan
pidana
dapat dikategorikan sebagai: 1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana. 2. Dikategorisasikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (criminal policy). 3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare). 98 95
Harkristuti Harkrisnowo, Loc. Cit. Mardjono Reksodiputro (I), 1993, Sistem Peradilan Indonesia Melihat Pada Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi, UI, Jakarta, hlm : 85. 97 Muladi (II), 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, hlm: 11. 98 Muladi (Dalam : Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir), Op. Cit, hlm: 54. 96
90
5. Frans Hendra Winarta menyatakan .... bahwa tujuan sistem peradilan pidana (criminal justice system) tidak terkecuali di Indonesia subsistem polisi, jaksa, pengadilan, pekerja lembaga pemasyarakatan dan advokat harus dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama mereka yaitu, antara lain mencegah kejahatan, mencegah pengulangan kejahatan dan merehabilitasi pelaku kejahatan serta mengembalikan mereka ke masyarakat. 99
6. Petrus Irwan Panjaitan dan Pendapotan Simorangkir, menyatakan "... peran serta tujuan
Lembaga
Pemasyarakatan
(LP)
dalam
mewujudkan
sistem peradilan pidana yaitu resosialisasi dan rehabilitasi
pelaku tindak pidana. 100 7. Romli Atmasasmita, mengemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan : (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (b) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan (c) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 101
8. Hiroshi Ishikawa, mengemukakan sehubungan dengan sistem peradilan pidana yang harus mempunyai satu tujuan dan persepsi yang sama : Yang dikenal dengan konsep ""integrated approach", bahwa komponen-komponen fungsi itu walaupun fungsinya berbeda-beda dan berdiri sendiri (diversity) tetapi harus mempunyai satu tujuan dan persepsi yang sama sehingga merupakan suatu kekuatan yang utuh (unity) yang saling mengikat erat seperti polisi, jaksa, hakim dan petugas pemasyarakatan seperti dikatakan olehnya bahwa : "Criminal justice agencies including the police, prosecution, judiciary, institutional and non institutional correction should he compared with
99
Frans Hendra Winarta (I), 2000, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Kelompok Gramedia, Jakarta, hlm : xi. 100 Petrus Irwan Panjaitan, Pandopatan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm : 5. 101 Romli Atmasasmita (II), 1983, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Binacipta. Bandung, hlm : 15
91
a chaim of gears, and each of them should he precise and tenacious in maintaining good combination with each other. 102
9. Barda Nawawi Arif, menyatakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai hukum pidana atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) itu pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial tersebut adalah : 1. Pemeliharaan tertib masyarakat. 2. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain. 3. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum. 4. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu. 103
10. Yesmil Anwar menyatakan : "walaupun dalam peradilan pidana itu terdapat berbagai kompromi, akan tetapi sasaran semua lembaga tersebut bertujuan menanggulangi kejahatan (over coming of crime) dan pencegahan kejahatan (prevention of crime)". 104 Sehubungan dengan pendapat para ahli hukum di atas menyangkut tujuan sistem peradilan pidana tampak begitu luas akan tujuan yan g mesti dicari atau dituju mulai dari upaya pencegahan timbulnya tindak pidana sebagai upaya melindungi masyarakat dan korban kejahatan, kemudian menghukum 102
pelakunya
sesuai
ketentuan
hukum
yang
tersedia,
Hiroshi Ishikawa, 1991, An Integrated Approach to More Effective Administration of Criminal Justice (Dalam M. Faal : Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm: 26. 103 Barda Nawawi Arief (II), 1986, Penetapan Pidana Penjara Dalam Perundang-Undangan Dalam Rangka Usaha Penanggulangan Kejahatan, UNPAD, Bandung, hlm : 70. 104 Yesmil Anwar, 2009, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen dan Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, hlm : 28.
92
merehabilitasi pelaku serta mengupayakan bekas pelan ggar hukum agar tidak mengulangi perbuatannya kembali, yang secara lebih luas untuk terciptanya kesejahteraan masyarakat. Guna mencapai maksud tersebut aparat penegak hukum yang terlibat di dalamnya seperti polisi, kejaksaan, pcngadilan serta lembaga pemasyarakatan mengemban misi yang semestinya sama atau satu tujuan. KUHAP selaku aturan payung peradilan pidana Indonesia tidak menggariskan tujuan sistem peradilan pidana, sehingga tidak tampak apa masing-masing misi dari setiap sub unsur sistem peradilan pidana Indonesia seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan tersebut. Begitu pula pada masing-masing aturan yang mengayomi tiap sub sistem unsur peradilan tidak pula menggariskan tujuan serta arah bagi tugas-tugas mereka. Kondisi di atas semestinya secara jelas adanya kesatuan tujuan yang seragam dan yang hendak dicari oleh setiap sub sistem unsur sistem peradilan pidana seperti yang dinyatakan oleh Kenneth J. Peak sebagai berikut: "What is it that justice administrator police, court, and corrections administrator actually administer ? Obviosly, these administrators do not provide leadership over a system that has succeded in accomplishing its mission. But do individuals within, the system work ambibaly and communicate well with one another ? Do they all share the same goals ? ... etc" 105
105
Kenneth, J. Peak, 1995, Justice Administration, Police, Courts, and Corrections Management, Prentice-Hall Inc, New Jersey, page : 5.
93
(Apa sesungguhnya itu para penyelenggara peradilan, dalam hal ini meliputi polisi, pengadilan dan pemasyarakatan. Para penyelenggara peradilan dalam menjalankan perannya akan berhasil baik bisa dalam jaringan kerjanya selalu berhubungan timbal balik diantara mereka dalam mencapai tujuan bersama. Sudahkah diantara bagian-bagian komponen penyelenggara peradilan memiliki tujuan yang sama? ... dan seterusnya.
Peradilan pidana kalau berbicara proses atau mekanisme hukumnya dengan penggunaan sistem atau apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem atau system approach, maka terdapat komponen-komponen fungsi (lembaga) atau sub sistem. Menurut Alan Coffey sub sistem dalam sistem peradilan pidana disebutnya dengan segmen, dimana masing-masing fungsi itu harus saling berhubungan dan bekerja sama, seperti dikatakannya bahwa : Criminal justice can function systematically only to the degres that each segment of the system takes into account all other segments. In order words, the system is no more systematic than the relation ships between police and prosecution, police and court, prosecution and corrections, corrections and law, and so forth. In the absence of functional relationships between segments, the criminal justice system is vulnerable to fragmentation and in effectiveness. 106
Menurut pernyataan Alan Coffey di atas tampak adanya komponenkomponen atau sub sistem dalam sistem peradilan pidana pada tataran proses
seperti
kepolisian,
kejaksaan,
pengadilan
dan
Lembaga
Pemasyarakatan. Berikut ini beberapa kalangan ahli hukum yang menyatakan bahwa dalam sub unsur sistem peradilan pidana yang menyatakan keterlibatan 106
Alan Coffey, 1983, An Introduction to the Criminal Justice and Process, Pusat Dokumentasi Hukum UI, Jakarta, hlm : 82.
94
polisi, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai komponen-komponen utama dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana,
bahkan
ada
beberapa
pendapat
yang
memperluas
adanya
keterlibatan peran dan sub unsur peradilan pidana di luar komponen inti tadi sebagai perluasan akan fungsi mereka dalam tataran praktek sistem peradilan
pidana.
Adapun
pandangan
para
ahli
dimaksud
seperti
diantaranya : 1. Sue Titus Reid, yang menyatakan bahwa dalam sistem peradilan pidana terdapat empat institusi pokok seperti polisi, lembaga penuntut, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan, bahkan lebih jauh diakuinya di antara institusi ini masing-masing tidak selalu berjalan searah bahkan sering terjadi ketumpangtindihan. Hal tersebut seperti dinyatakan : "The system of criminal justice consist of four basic institutions police, prosecution and defence, courts and correction. The functions of these institutions are not always separable; they overlap considerably". 107 2. Romli Atmasasmita, dalam pernyataannya bahwa, "komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam lingkup praktek penegakan hukum, terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Namun demikian apabila sistem peradilan pidana dilihat dari sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan kriminal, maka unsur yang terkandung di dalamnya termasuk juga pembuat undang-undang... dan seterusnya. 108
107 108
Sue Titus Reid, op. Cit, him : 3. Romli Atmasasmita (II), Op. Cit, him : 24.
95
3. M. Yahya Harahap, mengatakan bahwa criminal justice system merupakan "fungsi gabungan (collection of function) dan legislator, polisi, jaksa, pengadilan dan penjara serta badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luarnya. Tujuan pokok gabungan fungsi dalam kerangka criminal justice system untuk menegakkan, melaksanakan (menjalankan) dan memutuskan hukum pidana. Dengan demikian kegiatan system peradilan pidana didukung dan dilaksanakan empat fungsi utama : 1. Fungsi pembuatan undang-undang (law making function), fungsi ini dilakukan oleh DPR dan pemerintah atau badan lain berdasar delegated legislation. 2. Fungsi penegakan hukum (law enforcement function), tujuan obyektif fungsi ini ditinjau dari pendekatan tata tertib sosial (social order): a. Penegakan hukum secara aktual (the actual enfurcement law) meliputi tindakan: penyelidikan-penyelidikan (investigation), penangkapan (arrest), penahanan (detention), persidangan pengadilan (trial), dan pemidanaan (punishment), pemenjaraan guna memperbaiki tingkah laku individu terpidana (correcting the behaviour of individual offender). b. Efek preventif (preventive effect). 3. Fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan (function of adjudication), fungsi ini merupakan sub fungsi dari kerangka penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan hakim serta pejabat pengadilan yang terkait. 4. Fungsi memperbaiki terpidana (the function of correction), fungsi ini meliputi aktivitas Lembaga Pemasyarakatan, pelayanan sosial terkait dan lembaga kesehatan mental. 109
5. Sidik Sunaryo, menyatakan bahwa dalam sistem peradilan pidana yang lazim, selalu melibatkan dan mencakup sub sistem dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana sebagai berikut: a. Kepolisian dengan tugas utama menerima laporan dan pengaduan dari publik manakala terjadi tindak pidana, melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana,... dan seterusnya.
109
R. Achmad S. Soema Dipradja, Romli Atmasasmita, 1998, Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, him : 24.
96
b. Kejaksaan, dengan tugas pokok, menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke pengadilan, mempersiapkan berkas penuntutan, melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan. c. Pengadilan, yang berkewajiban untuk menegakkan hukum dan keadilan, melindungi hak-hak terdakwa .... dan seterusnya. d. Lembaga Pemasyarakatan, yang berfungsi untuk menjalankan putusan pengadilan yang merupakan pemenjaraan .... dan seterusnya. e. Pengacara, dengan fungsi melakukan pembelaan bagi klien, dan menjaga hak-hak klien dipenuhi dalam proses peradilan pidana. 110
Beberapa pernyataan para ahli hukum tersebut di atas yang menggolongkan instansi atau pejabat hukum sebagai sub -sub unsur selaku komponen dalam sistem peradilan pidana adalah tampak seperti lemb aga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan. Keempat lembaga ini adalah yang merupakan komponen inti dalam lingkup praktek penegakan hukum (law enforcement). Dianutnya sistem peradilan pidana terpadu dalam teori dan pelaksanaan peradilan pidana Indonesia tersebut oleh KUHAP, apabila ditelaah secara seksama isi ketentuan yang tersurat dan tersirat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, maka dalam mekanismenya itu akan melibatkan beberapa komponen atau subsistem dalam peradilan pidana, hal tersebut seperti dikemukakan oleh beberapa pendapat ahli seperti diantaranya : Romli Atmasasmita menyatakan: ...... criminal justice system di kepolisian, kejaksaan, pengadilan sebagai aparat penegak hukum. hubungan yang sangat erat satu 110
Indonesia terdiri atas komponen negeri dan lembaga pemasyarakatan Keempat aparat tersebut memiliki sama lain. Bahkan dapat dikatakan
Sidik Sunaryo, Op. Cit, him : 220.
97
saling menentukan. Pelaksanaan penegakan hukum berdasarkan Undang-Undang No : 8 Tahun 1981 (seharusnya) merupakan suatu usaha yang sistematis. 111
Muladi menyatakan : Sistem peradilan pidana terpadu .... berdimensi internal apabila perhatian ditujukan kepada keterpaduan subsistem peradilan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan .... Karakter sistem peradilan yang bersifat khusus akan tetap mengikuti karakter sistem yang bersifat umum, yaitu kerjasama secara terpadu antara pelbagai subsistem untuk mencapai tujuan yang sama. 112
Harkristuti Harkrisnowo, menyatakan : Konsep Integrated Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia baru mendapat perhatian pada dasawarsa terakhir ini.... Dalam sistem ini tercakup beberapa subsistem dengan tugas masing masing dalam proses peradilan pidana yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Pengacara .... Dalam menjalankan proses peradilan pidana aturan yang mendasari kerja masing-masing subsistem mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diberlakukan melalui Undang-Undang No. 8 Tahunl981. 113
Menurut J.W. La Patra : Sesungguhnya dari sistem peradilan pidana itu ada empat komponen fungsi yang satu dengan lainnya selalu berhubungan dan berkoordinasi. Fungsi-fungsi itu memiliki satu kesatuan persepsi dan satu tujuan yang sama yaitu usaha untuk menanggulangi kejahatan. Masing-masing fungsi ini adalah fungsi penyidikan, penuntutan peradilan dan fungsi pemasyarakatan, yang masing-masing dilakukan oleh petugas penegak hukum, polisi, jaksa, hakim dan petugas pemasyarakatan. 114
111
Romli Atmasasmita (II), Op. Cit, hlm : 32. Muladi (I), 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, hlm : 47. 113 Harkristuti Harkrisnowo, Loc. Cit. 114 J.W. La Patra (Dalam : M. Faal), 1990, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita, Jakarta, hlm : 2. 112
98
Pernyataan
senada
dalam
memasukkan
komponen
subsistem
peradilan pidana diberikan pula oleh Petrus Irwan Panjaitan dan Pandepotan Simorangkir yang menyatakan bahwa: Di Indonesia sistem peradilan pidana setelah berlakunya UndangUndang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mempunyai empat komponen (empat subsistem), yaitu sub sistem Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan... Sebagai suatu sistem maka di dalam mekanismenya mensyaratkan adanya kerjasama diantara subsistem. Apabila salah satu subsistem itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem ini secara keseluruhan. Oleh karena itu keempat subsistem ini memiliki hubungan yang erat satu dengan lainnya dimana tujuannya adalah satu tapi tugasnya berbeda-beda. 115
Pendapat serupa juga dinyatakan oleh Marjono Reksodiputro bahwa : Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana mempunyai komponen komponen penyelenggara antara lain Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang kesemuanya akan saling terkait dan diharapkan adanya suatu kerjasama yang terintegrasi. Jika terdapat kelemahan pada satu sistem kerja komponennya, akan mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang terintegrasi itu. Empat komponen ini (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) dikenal dengan nama suatu integrated criminal justice system. 116
Seorang praktisi hukum yang kariernya sebagai Hakim Agung yakni M. Yahya Harahap sehubungan dengan komponen subsistem peradilan pidana menyatakan: Berdasarkan
kerangka
landasan
Integrated
Criminal
Justice
System aktivitas pelaksanaan Criminal Justice System merupakan fungsi
115 116
Petrus Irwan Panjaitan, Pendapotan Simorangkir, Op. Cit, hlm : 56. Mardjono Reksodiputro (I), Op. Cit, hlm : 85.
99
gabungan (Collection of Function dari : legislator, polisi, jaksa, pengadilan dan penjara, serta.... dan seterusnya. 117 Namun ada juga pendapat yang bervariasi dengan memasukkan seperti pembuat undang-undang (sebagai instrumen atau pendukung dalam kebijakan kriminal) khususnya dalam pengembangan dan penegakan sistem peradilan pidana. Perkembangan terakhir keberadaan dunia advokat dalam perannya untuk proses peradilan pidana mulai diakui. Bagi Indonesia sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat. Bahwa status advokat diakui sebagai penegak hukum oleh ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Istilah advokat dalam KUHAP belum dikenal, bagi pemberi jasa bantuan hukum oleh KUHAP memakai sebutan penasehat hukum. Sehubungan dengan komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui dan dikenal baik dalam tataran teori maupun dalam kalangan praktek penegakan hukum, maka dikenal ada 4 (empat) komponen sub unsur aparat penegak hukum atau institusi yakni : 1. Kepolisian 2. Kejaksaan 3. Pengadilan 4. Lembaga Pemasyarakatan
117
M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hlm: 276.
100
Keempat komponen sistem peradilan pidana itu dapat ditemukan perumusan pengertian atau definisinya, seperti masing-masing digariskan dalam peraturan perundangannya seperti berikut: 1. Kepolisian Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menggariskan bahwa yang dimaksud dengan kepolisian adalah "segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundangundangan".
2. Kejaksaan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menggariskan bahwa yang dimaksud dengan Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undangundang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
3. Pengadilan sebagai institusi penyelenggaraan di bidang peradilan sesuai ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman digariskan bahwa : "Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum .... dan seterusnya. Pasal 1, digariskan "kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dan terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
4. Lembaga Pemasyarakatan, dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menggariskan bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya
101
disebut
LAPAS
adalah tempat
untuk
melaksanakan
pembinaan
narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Perkembangan
kebutuhan
akan
bantuan
hukum,
pemerintah
Indonesia melalui pembentuk undang-undang sejak tahun 2003 demi adanya kepastian hukum akan keberadaan organisasi atau lembaga jasa pemberi bantuan hukum mengeluarkan dan menetapkan undang-undang tentang advokat. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat tersebut diatur dan diakui secara jelas bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) nya advokat berstatus sebagai penegak hukum, seperti digariskan : "(1) advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan advokat, seperti tersurat dalam Bab I tentang ketentuan umum, Pasal 1 butir 1 yang dimaksud dengan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini. Maka komponen sistem peradilan pidana dari unsur struktur (yang menyangkut institusi-institusi penegakan hukum) pada awalnya oleh kalangan teoritisi dikenal ada 4 (empat) komponen yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Tuntutan
perkembangan
akan
kebutuhan
hukum
selanjutnya
keberadaan kalangan pemberi jasa bantuan hukum yang dikenal dengan
102
sebutan advokat mulai mendapat tempat dan masuk dalam lingkaran sistem peradilan. Sehingga secara yuridis normatif komponen sistem peradilan pidana menyangkut institusi-institusi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan advokat. Dapat digambarkan bahwa kedudukan dan fungsi dari penegak hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia dalam proses hukum yang adil (due process of law), seperti berikut: Secara global bahwa fungsi dan kedudukan penegak hukum khusus jaksa penuntut umum dalam proses hukum atau peradilan pidana, dapat dipahami melalui ilustrasi matrik berikut ini :
Tabel VI : Kedudukan Dan Fungsi Penegak Hukum Dalam SPP Indonesia Institusi (Struktur) Polisi (Police)
Posisi (Kedudukan) Obyektifke subyektif
-
Sasaran (Tujuan) Factual guilt Upaya paksa Pemberkasan BAP
-
Jaksa (Prosecutor)
Subyektifke obyektif*
Legal (dakwaan tuntutan)
guilt + -
Fungsi (Peranan/Tugas) Interogationinvestigation dengan pola scientific crime investigation Tahap preajudication Menuntut asas legalitas formal Eksekutor Asas oportunitas Tahap preajudication
103
Institusi (Struktur) Court Hakim (Judges)
Posisi (Kedudukan) Obyektifke obyektif*
-
-
Lapas/Penjara (Correction)
Subyektifke subyektif
-
-
Advocate (Advokat/PH)
Obyektifke subyektif
-
Sasaran Fungsi (Tujuan) (Peranan/Tugas) Legal justice - Memeriksa, (punishment and memutus reward) (mengadili), Mencari + menemukan dan menemukan menciptakan kebenaran hukum (legal materiil rectsvinding) - Tahap ajudication Memerangi kejahatan (prevensi general) Napi agar bertobat Mencegah residivis
-
Rehabilitation Resosialization Reintegrasi sosial Tahap post ajudication
Justice for all Meluruskan hukum Equality before the law Bantuan hukum (legal aid) seluas-luasnya bagi justisiabellen
-
Legal aid (EH) Access to legal councel (mendampingi) Profesi mulia (officium mobille) Pro bono publico (non profit oriented) Profit-oriented Legal consultant Legal service Legal adviser Legal enforcer
-
-
Antara proses hukum yang adil (due process of law) dan sistem peradilan pidana tidak mungkin dapat dipisahkan. Karena tidak mungkin orang membicarakan proses hukum yang adil tanpa menyinggung peranan dan fungsi sistem peradilan pidana, demikian pula sebaliknya. Sistem peradilan pidana merupakan wadah dari proses hukum yang adil,
104
sedangkan proses hukum yang adil pada hakikatnya merupakan roh 118 dari sistim peradilan pidana. Hal tersebut ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa, termasuk terpidana. Secara yuridis formal hak-hak dimaksud sudah diatur di dalam KUHAP. Namun pengaturan
dan
pelaksanaannya
belum
sepenuhnya
tertuang
dan
terlaksana. Proses hukum yang adil akan dapat dicapai apabila sistem peradilan pidananya berfungsi dengan baik. Bekerjanya sistem peradilan pidana mengemban fungsi-fungsi seperti dinyatakan Malcolm Davis CS, yakni: 1. Protecting the public by preventing and deterring crime, by rehabilitating offenders and incapacitating others who constitute a persistent thereat to community. 2. Upholding and promoting the rule of law and respect for the law, by encuring due process and proper treatment of suspects, arrestees defendants, and those held in custody, succes fully procecuting criminals and acquiting innocent people accusted of a crime. 3. Maintaining law and order. 4. Punishing criminals with regard to the principles of just deserts. 5. Registering social disapproval of censured behavior by finishing criminals. 6. Aiding and advising the victims of crime. 119 Fungsi sistem peradilan pidana menurut Malcolm Davis CS tersebut di atas dapat diartikan mengandung makna seperti: 1. Melindungi masyarakat melalui upaya penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi upaya
pelaku
kejahatan,
dan
melakukan
mengkapasitasi terhadap orang yang merupakan ancaman
terhadap masyarakat. 118
Heri Tahir, 2010, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hlm : 5 119 . Malcolm Davies, Hazel Croall and Jane Tyrer, Loc. Cit.
105
2. Menegakkan dan memajukan tegaknya hukum dan penghormatan pada hukum, dengan menjamin adanya penegakan proses hukum yang adil, dan perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa dan terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan. 3. Menjaga hukum dan ketertiban. 4. Menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan falsafah pemidanaan yang dianut. 5. Masyarakat diharap tidak mencela perilaku kehidupan setelah penjahat menjalani hukuman. 6. Membantu dan memberi perlindungan pada korban kejahatan. Guna mencapai sasaran fungsi-fungsi tersebut penegak hukum dalam sistem peradilan pidana terlebih dahulu memahami dan menerapkan unsur-unsur due process of law. Adapun unsur-unsur dalam proses hukum yang adil seperti dinyatakan oleh Tobias dan Petersen yang dikutif Frans Hendra
Winartha
bahwa
''''due
process
of
law
is
constitutional
guarantee... that no person will be deprived of life, liberty of property for reasons that are arbitrary... protect the zitizen against arbitrary actions of the government,
....... hearing, councel defense, evidence,
and impartial court" 120 (penegakan hukum
yang
and fair
adil merupakan hak
bagi warga negara yang mesti dilindungi oleh konstitusi berupa hak -hak dasar seperti hak untuk hidup, hak milik, hak kebebasan berpendapat yang
120
Frans Hendra Winarta (I), Op. Cit, hlm : xi.
106
mesti dilindungi oleh pemerintah, yang dalam unsur-unsur proses hukum yang adil berupa mendengar keterangan tersangka/terdakwa, pemberian jasa bantuan hukum atau pembelaan, perlindungan hak-hak tersangka, terdakwa, terpidana, serta pembuktian yang dilakukan secara sah, termasuk diperolehnya alat bukti dengan sah, dan peradilan dilakukan dengan terbuka tanpa memihak. Proses hukum yang adil (due process of law) akan dapat dicapai, apabila semua komponen sistem dalam sistem peradilan pidana bekerja pada satu tujuan yang sama. Kebulatan tujuan dan kesatuan sistem d ari sub unsur sistem seperti substansi, struktur dan budaya hukum bekerja secara bulat dan utuh.
BAB III KETENTUAN PENGATURAN SANKSI PIDANA DAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SERTA UNSUR RUMUSAN DELIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PERSPEKTIF IUS CONSTITUTUM
3.1
Landasan Yuridis Pengaturan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Beberapa Perundang-Undangan Pidana Indonesia Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP merumuskan bahwa
setiap penentuan tindak pidana hanyalah berdasarkan pada suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Pedoman asas legalitas untuk menentukan suatu tindak pidana adalah hal yang mutlak, sehingga dapat menghindari penyimpangan-penyimpangan dalam hal penerapan suatu sanksi hukum. Suatu perbuatan disebut sebagai tindak pidana karena di dalamnya berisi rumusan tentang perbuatan yang dilarang serta adanya ancaman pidana terhadap orang yang melanggar perbuatan tersebut. Rumusan tentang dilarangnya suatu perbuatan dan ancaman pidana bagi pembuatnya tunduk pada asas legalitas, sehingga keduanya mesti ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pembagian hukum pidana berdasarkan atas sumbernya dibedakan menjadi 2 yaitu hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah semua ketentuan pidana yang terdapat atau
107
108
bersumber pada kodifikasi (KUHP). Hukum pidana khusus yaitu hukum pidana yang bersumber pada ketentuan KUHP. Dalam
sumber hukum
perundang-undangan
di luar
pidana khusus ini dibedakan atas 2
kelompok yaitu : 1. Kelompok peraturan perundang-undangan hukum pidana (ketentuan atau isi peraturan perundang-undangan ini hanya mengatur satu bidang hukum pidana) contohnya seperti Undang-Undang Korupsi, Narkotika, Terorisme, dan lain-lain. 2. Kelompok peraturan perundang-undangan bukan dalam bidang hukum pidana, tetapi di dalamnya terdapat ketentuan pidana, seperti undangundang lingkungan hidup, pasar modal, hak cipta, dan lain-lain. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan "dengan biasa" tetapi harus dengan cara-cara yang luar biasa. 121 Tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan sebagai kejahatan
luar
biasa
atau
extra
ordinary
crime,
menurut
Romli
Atmasasmita dikarenakan : 1. Korupsi di Indonesia sudah berurat akar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan ternyata salah satu program Kabinet Gotong Royong adalah penegakan hukum secara konsisten dalam pemberantasan KKN. 121
Ermansjah Djaja, Op. Cit., hlm : 28.
109
2. Korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya merupakan masalah hukum semata-mata melainkan sesungguhnya merupakan pelanggaran atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia. 3. Kebocoran APBN selama 4 Pelita sebesar 30% telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat karena sebagian besar rakyat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya ia peroleh sehingga melemahkan ketahanan sosial bangsa dan negara. 4. Penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya telah diberlakukan secara diskrimintaif baik berdasarkan status sosial maupun berdasarkan latar belakang politik seseorang tersangka atau terdakwa 5. Korupsi di Indonesia sudah merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor publik dan sektor swasta yang justru merupakan jenis korupsi yang tersulit dibandingkan dengan korupsi yang hanya terjadi di sektor publik. 122
Jika ditelaah dari sudut pandang doktrina, Romli Atmasasmita berpendapat: "Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes). Selanjutnya, jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia". 123
Ketentuan hukum pidana dapat dibedakan menjadi tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Ketentuan dalam hukum pidana umum berlaku secara umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan ketentuan hukum pidana khusus lebih
122 123
Ibid, hlm : 29 – 30 Ibid, hlm : 30
110
mengatur mengenai kekhususan subjek serta perbuatan yang khusus dalam hukum pidana. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam peraturan perundangundangan
Indonesia
sebenarnya
sudah
ada
sejak
lama.
Adapun
perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia antara lain :
3.1.1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam perkembangannya ancaman sanksi pidana terkait tindak pidana korupsi telah ada sejak dulu. Sebagai suatu tindak pidana yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, tindak pidana korupsi telah diatur dalam KUHP. Dalam KUHP terdapat 13 pasal yang mengatur tentang tindak pidana umum yang termasuk tindak pidana korupsi yaitu : a. Kelompok tindak pidana penyuapan yang terdiri dari Pasal 209, 210, 418, 419, dan Pasal 420 KUHP. b. Kelompok tindak pidana penggelapan yang terdiri dari Pasal 415,416, dan Pasal 417 KUHP. c. Kelompok tindak pidana kerakusan yang terdiri dari Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP. d. Kelompok tindak pidana
yang berkaitan
dengan pemborongan,
leveransir dan rekanan yang terdiri dari Pasal 387, 388, dan Pasal 435 KUHP. 124
124
Elwi Daniel, Op. Cit., hlm : 26 – 27
111
Adapun ancaman pidana yang tercantum dalam ketentuan beberapa pasal dalam KUHP yang tergolong dalam tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: -
Pasal 209 : ancaman pidananya paling lama adalah dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
-
Pasal 210 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
-
Pasal 387 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
-
Pasal 388 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
-
Pasal 415 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
-
Pasal 416 : ancaman pidananya paling lama adalah empat tahun.
-
Pasal 417 : ancaman pidananya paling lama adalah lima tahun enam bulan.
-
Pasal 418 : ancaman pidananya paling lama adalah enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
-
Pasal 419 : ancaman pidananya paling lama adalah lima tahun.
-
Pasal 420 : ancaman pidananya paling lama adalah sembilan tahun
-
Pasal 423 : ancaman pidananya paling lama adalah enam tahun.
-
Pasal 425 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
-
Pasal 435 : ancaman pidananya paling lama adalah sembilan bulan atau pidana denda paling banyak delapan belas ribu rupiah.
112
Seperti adanya pengaturan menyangkut tindak pidana korupsi dalam KUHP sebenarnya tidak diperlukan lagi peraturan perundang-undangan mengenai korupsi, namun seiring dengan perkembangan masyarakat, ketentuan tindak pidana korupsi dalam KUHP dirasa tidak mampu mewadahi perilaku masyarakat yang kian koruptif sehingga perlu dibentuk hukum pidana yang progresif dan dinamis mewadahi secara khusus tindak pidana korupsi.
3.1.2. Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957 Dalam
konsiderannya
menyatakan
bahwa
maksud
dan
tujuan dibentuknya Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM -06/1957, tanggal 9 April 1957 adalah kebutuhan yang mendesak untuk memperbaiki peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi dan pejabat serta aparat pelaksana pemerintah. Peraturan Penguasa Militer ini merupakan awal mula peraturan perundang-undangan pidana khusus menyangkut pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Rumusan mengenai korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-06/1957 dikelompokkan menjadi 2 yaitu : 1) Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung ataupun tidak langsung menyebabkan kerugian negara atau perekonomian negara.
113
2) Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan keuangan dari negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh pejabat langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya. Peraturan penguasa militer ini ternyata dirasa kurang efektif yang kemudian dibentuk Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957 yang mengatur lebih lanjut tentang penilikan harta benda yang dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dalam rangka pemberantasan korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan dalam daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan. 125 Oleh karena itu, sebagai dasar hukum bagi penguasa militer melakukan penyitaan terhadap harta benda yang asal mula diperoleh secara mendadak dan mencurigakan, maka dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-011/1957 pada tanggal 1 Juli 1957. Kemudian dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya maka ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat.
125
Op Cit, hlm : 29
114
3.1.3 Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor : Prt/Peperpu/013/1958, tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda (BN Nomor 40 Tahun 1958). Dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor : Prt/Peperpu/013/1958 tidak menjelaskan mengenai pengertian istilah korupsi serta tindak pidana korupsi, namum membedakan antara perbuatan korupsi pidana dengan perbuatan korupsi lainnya. 1) Perbuatan korupsi pidana, yang dimaksud dengan perbuatan korupsi pidana adalah : a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan d ari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggoran dari masyarakat. b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
115
c. Kejahatan-kejahatan
tercantum
dalam
Pasal
41
samapai
50
Peraturan Penguasa Perang ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 2) Perbuatan korupsi lainnya, yang disebut perbuatan korupsi lainnya adalah : a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggarankelonggaran dari masyarakat. b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. Peraturan
Penguasa
Perang
Pusat
Angkatan
Darat
Nomor
: Prt/Peperpu/013/1958 hanya berlaku di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Darat, sedangkan daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut dibentuk Peraturan Penguasa Perang Militer Angkatan Laut Nomor : Prt/zl/17 tanggal
17 April 1958 yang perumusannya sama dengan
peraturan penguasa perang sebelumnya. 126
126
Op Cit, hlm : 31
116
3.1.4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN Nomor : 72 Tahun 1960) Istilah tindak pidana korupsi untuk pertama kalinya dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia adalah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dalam konsideran peraturan ini pada butir a disebutkan : "Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat misalnya bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi".
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 disahkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961. Adapun hal-hal yang baru diatur dalam undang-undang ini adalah menyangkut beberapa hal yang sebelumnya belum diatur dalam undangundang korupsi sebelumnya, diantaranya adalah : 1) Delik percobaan dan delik permufakatan. 2) Delik pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri. 3) Kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji. 4) Pengertian pegawai negeri lebih diperluas. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 terdapat beberapa perubahan pada unsur "karena melakukan
117
perbuatan melawan hukum" diganti dengan unsur "melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran" serta perubahan kata "perbuatan" menjadi "tindakan". Dalam pelaksanaannya upaya pemberantasan korupsi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tidak menunjukkan efektivitas yang diharapkan. Salah satunya adalah karena masih sulit untuk membuktikan suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai kejahatan atau pelanggaran. Akibatnya banyak perbuatan yang merugikan keuangan negara sulit dipidana berdasarkan undang-undang ini. Atas dasar alasan tersebut di atas serta perkembangan nilai keadilan dalam
masyarakat,
maka
pemerintah
memandang
perlu
adanya
pembaharuan terhadap hukum pidana untuk mengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960.
3.1.5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Konsideran undang-undang ini memaparkan bahwa latar belakang pembentukan undang-undang ini adalah untuk menanggulangi masalah korupsi. Perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara dan menghambat
pembangunan
nasional,
sementara
undang-undang
sebelumnya kurang memadai untuk memberantas tindak pidana korupsi. Maka
dari
itu
perlu
adanya
pembaharuan
hukum
pidana
terkait
pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni melalui pembentukan
118
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan sebagaimana tersebut di atas, mensyaratkan bentuk kesalahan pro parte dolus pro parte culpa, artinya bentuk kesalahan di sini tidak hanya disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan
berupa
patut
disangka
dapat
merugikan
keuangan
atau
perekonomian negara, sudah dapat menjerat pelaku. 127 Sebagai suatu undang-undang yang menjadi landasan dalam penegakan hukum pidana terkait tindak pidana korupsi, tidak dapat dipungkiri
bahwa
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi masih memiliki kelemahan serta kekurangan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Adapun beberapa yang dianggap sebagai kelemahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut: 1. Tidak adanya ketegasan mengenai rumusan delik tindak pidana sebagai delik formal. 2. Tidak adanya ketentuan yang mengatur mengenai ancaman pidana yang dapat diterapkan terhadap suatu korporasi sebagai subjek tindak pidana.
127
Op Cit hlm : 38
119
3. Terkait sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (dua
puluh
tahun)
dan
minimum
umum
(satu
hari)
sehingga
menimbulkan ketidakleluasaan bagi jaksa dalam penuntutan. 128 Sebagai upaya untuk menyempurnakan landasan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi diperlukan adanya pembaharuan hukum pidana terkait tindak pidana korupsi yakni dengan membentuk undang-undang
yang
lebih
baik
dari
undang-undang
sebelumnya.
Kehadiran undang-undang korupsi yang baru bukan saja sebagai landasan dalam penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi agar menimbulkan efek jera tetapi dapat juga sebagai upaya pencegahan. Atas dasar hal tersebut, dibentuklah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140.
3.1.6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagai dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku hingga saat ini telah banyak mengalami penyempurnaan dari undang-undang yang pernah berlaku di Indonesia.
128
Op Cit, hlm : 396
120
Tujuan pemerintah dari pembuat undang-undang melakukan revisi atau mengganti produk legislatif tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau
berbagai
modus
operandi
tindak
pidana
korupsi
dan
meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk dapat melepaskan dirinya dari jeratan hukum. 129 Adapun beberapa hal penting yang merupakan pembaharuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu antara lain : 1. Dirumuskannya secara eksplisit tindak pidana korupsi sebagai delik formal, sehingga dengan demikian setiap pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadap terdakwa. 2. Diterapkannya konsep ajaran melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid) dalam fungsinya secara positif. 3. Adanya pengaturan tentang korporasi sebagai subjek hukum di samping perseorangan. 4. Adanya penambahan dalam pidana tambahan terkait uang pengganti.
129
Chaerudin, dkk, Op. Cit, hlm : 5
121
5. Adanya pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi kriminal yang dapat diberlakukan keluar batas teretorial Indonesia. 6. Adanya pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang atau "balanced burden of proof “ dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. 7. Adanya pengaturan tentang ancaman pidana dengan sistem minimum khusus di samping ancaman maksimum. 8. Diintroduksinya ancaman pidana mati sebagai unsur pemberatan. 9. Adanya pengaturan tentang penyidikan gabungan (joint investigation teams) dalam perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi Jaksa Agung. 10. Adanya pengaturan tentang penyidikan ke dalam rahasia bank yang lebih
luas
yang
diawali
dengan
pembekuan
rekening
tersangka/terdakwa yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan. 11. Adanya pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai sarana kontrol sosial yang dipertegas dan diperluas, sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelapor lebih optimal dan efektif. 12. Adanya pengaturan yang mengamanatkan kepada pembuat undangundang untuk membentuk sebuah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat indipenden. 13. Adanya pengakuan yang secara eksplisit menyebutkan korupsi sebagai "extra ordinary crime" yakni kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
122
14. Dirumuskannya gratifikasi sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi. 15. Penganutan sistem pembalikan beban pembuktian (omkering van de bewijslast) secara terbatas. 16. Perluasan sumber alat bukti petunjuk yang dapat diperoleh dari informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik.
Tinjauan segi yuridis, pembaharuan terhadap ketentuan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah
mencerminkan
adanya
tindakan
pemerintah
dalam
usaha
memberantas perkembangan tindak pidan korupsi. Selain pembaharuan terhadap dasar hukum utama untuk memberantas tindak pidana korupsi, pemerintah juga telah membentuk beberapa peraturan sebagai pendamping Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yaitu : A. TAPMPR: 1. TAP MPR Nomor : XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. B. Undang-Undang : 1. Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2002
Tentang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
123
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 6. Undang-Undang Nomor
7
Tahun
2006
Tentang
Pengesahan
United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi-2003). Banyaknya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Tindak Pidana Korupsi mencerminkan betapa seriusnya kasus korupsi di Indonesia. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi agenda utama pemerintah di samping kasus lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 1997 Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam Lokakarya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia telah merumuskan 3 strategi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara nasional yaitu : a. Strategi persuasif, merupakan upaya untuk menghilangkan penyebab korupsi, menghilangkan melakukan korupsi dan semaksimal mungkin mencegah terjadinya korupsi. b. Strategi detektif, merupakan upaya untuk menampilkan suatu informasi apabila korupsi sudah terjadi dan semaksimal mungkin dapat diidentifikasikan dalam waktu yang sesingkat mungkin. c. Strategi represif, merupakan upaya semaksimal mungkin memproses korupsi yang sudah diidentifikasi menurut ketentuan hukum secara cepat, tepat, dan tingkat kepastian hukum yang tinggi meliputi proses
124
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan/putusan pengadilan. 130
dan
pemeriksaan
di
Segala upaya telah dilakukan pemerintah guna mencegah serta memberantas tindak pidana korupsi baik dengan pembentukan maupun pembaharuan undang-undang dari segala aspek, melakukan kerjasama serta koordinasi dengan lembaga negara lainnya untuk secara bersamasama memberantas korupsi yang berdampak luas bagi keamanan serta ketentraman masyarakat. Sebagai upaya pemerintah mewujudkan keseriusannya dalam upaya pemberantasan
tindak
pidana
korupsi
telah
dikeluarkan
berbagai
kebijakan. Salah satunya adalah Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus kepada Jaksa Agung dan Kapolri: 1. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan/penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara. 2. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh jaksa (penuntut umum) anggota Polri dalam rangka penegakan hukum. 3. Meningkatkan kerjasama antara Kejaksaan dengan Kepolisian Negara RI, selain dengan BPKP, PPATK, dan Institusi Negara yang terkait
130
Chaerudin, Op. Cit., hlm : 12 – 13
125
dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Kebijakan selanjutnya diambil oleh pemerintah adalah dengan menetapkan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009, mengingat penanganan korupsi memerlukan pendekatan penanganan yang sistematis, yaitu melalui langkah-langkah pencegahan dan penindakan. Langkah-langkah pencegahan dalam RAN-PK 2004-2009 diprioritaskan pada : 1. Mendesain ulang pelayanan publik, terutama pada bidang-bidang yang berhubungan langsung dengan kegiatan pelayanan kepada masyarakat sehari-hari. 2. Memperkuat transparansi, pengawasan dan sanksi pada kegiatankegiatan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber daya manusia. 3. Meningkatkan pemberdayaan perangkat-perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi. Berdasarkan hal tersebut, langkah penindakan yang dimaksudkan dalam RAN-PK 2004-2009 diutamakan adalah pada percepatan penegakan dan kepastian hukum dalam penanganan perkara korupsi yang besar dan menarik perhatian masyarakat dan pengembalian hasil korupsi kepada negara, yang meliputi:
126
1. Percepatan penanganan dan eksekusi perkara tindak pidana korupsi dengan fokus pada 5 sektor prioritas yaitu 5 besar lembaga pemerintah dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbesar. 2. Peningkatan dukungan terhadap lembaga penegak hukum. 3. Peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum. 4. Pengembangan sistem pengawasan lembaga penegak hukum. Untuk lebih meningkatkan lagi upaya pemberantasan korupsi, dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tanggal 2 Mei 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk lebih
meningkatkan
kerjasama
dan
koordinasi
antara
Kepolisian,
Kejaksaan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dengan tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: 1. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi. 2. Mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi serta menelusuri dan mengamankan seluruh aset asetnya dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara secara optimal. Penegakan
hukum
dalam
menangani
tindak
pidana
korupsi
memerlukan kerjasama dan koordinasi di antara aparat penegak hukum guna dapat semaksimal mungkin mencegah serta memberantas korupsi yang kian berkembang di masyarakat. Dengan adanya payung hukum yang
127
jelas untuk menyelesaikan kasus korupsi adalah langkah awal yang baik dalam penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi. Segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas korupsi baik dalam hal pembaharuan peraturan perundang-undangan maupun kebijakan-kebijakan lain adalah tindakan yang sangat tepat karena perkembangan korupsi yang sangat pesat bahkan kini dapat dikatagorikan sebagai extra ordinary crime yang memerlukan penanganan yang luar biasa pula. Berdasarkan beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut di atas dapat diketahui bahwa upaya pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas pemerintah. Selain itu, pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi merupakan tujuan yang hendak dicapai pemerintah karena kerugian negara akibat tindak pidana korupsi tersebut sangat besar. Berorientasi dari esensi teori bekerjanya hukum menurut Robert B. Seidman, untuk melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari 3 elemen yaitu : lembaga pembuat peraturan, lembaga pelaksana peraturan, dan pemangku peraturan. Proposisi yang dikemukakan oleh Robert B. Seidman, yaitu menyangkut 4 hal yang bila diimplementasikan untuk melihat bekerjanya hukum dalam tindak pidana korupsi adalah dengan melihat apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dapat menjadi sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi termasuk pula ancaman pidana yang tercantum di dalamnya. Oleh karena
128
masyarakat sebagai subyek hukum yang dinamis, maka harus ada pembaharuan hukum yang menuju ke arah lebih baik serta meningkatkan peran pelaksana peraturan perundang-undangan dalam menerapkan aturan hukum yang ada. Sebagai dasar penjatuhan pidana terkait pengembalian kerugian keuangan negara telah tercantum dalam ketentuan BAB II Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Adapun pasal yang mengatur mengenai penjatuhan pidana terhadap terdakwa terkait tindak pidana korupsi yakni: Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
129
Pasal 5 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 7 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
130
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 9 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus
131
atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. Pasal 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (saru) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12 Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
132
b.
c.
d.
e.
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan; atau i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:
133
Pasal 12 A (1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (limajutarupiah). (2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 B (1) Setiap gratiflkasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratiflkasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratiflkasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratiflkasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut urnum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seurnur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milia r rupiah). Pasal 13 Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 14 Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang
134
tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 15 Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Pasal 16 Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tinda k pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Pasal 17 Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimakjsud dalam Pasal 18.
Dalam
ketentuan
Pasal
4
Undang-Undang
tersebut
di
atas
menyatakan bahwa "Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana". Sehingga, dengan kata lain apabila seorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi yang berakibat merugikan keuangan negara mengembalikan seluruh kerugian yang ia timbulkan, tidak dapat menghapus pidananya namun hanya bersifat meringankan pidana. Hal tersebut sesuai dengan esensi teori ganjaran (dessert theory) yang memaparkan bahwa antara perbuatan yang ditimbulkan oleh seorang pelaku harus dipidana sesuai dengan perbuatannya, ada keseimbangan
135
antara akibat perbuatan dengan nilai kerugian yang timbul serta sanksi/ganjaran yang setimpal pada pelakunya. Selain pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa, pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara melalui pembayaran uang pengganti yang telah diatur berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal 18 (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
136
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 tersebut, telah mencerminkan adanya suatu kepastian hukum terkait penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa tindak pidana korupsi. Bukan saja pidana penjara serta pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa, namun esensi penting dalam penerapan sanksi pidana tersebut adalah pengembalian kerugian keuangan negara sebagai akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan koruptor selaku terpidana. Namun, bagi jaksa dan hakim tidak ada keharusan untuk menuntut dan/atau memutus dengan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga telah mengatur secara jelas konsekuensi apabila salah satu unsur ti ndak pidana korupsi tidak cukup bukti namun secara nyata merugikan keuangan negara dan konsekuensi apabila seorang terdakwa meninggal dunia saat proses peradilan sedang berjalan. Hal tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34, yang menyatakan :
Pasal 32 (1) Dalam hal penyidikan menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikian tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. (2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Pasal 33 Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka
137
penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Pasal 34 Dalam hal terdakwa meninggal dunia sidang pengadilan, sedangkan secara negara, maka penuntut umum segera acara sidang tersebut kepada Jaksa kepada instansi yang dirugikan untuk ahli warisnya.
pada saat dilakukan pemeriksaan di nyata telah ada kerugian ke uangan menyerahkan salinan berkas berita Pengacara Negara atau diserahkan dilakukan gugatan perdata terhadap
Penjatuhan sanksi pidana tambahan berupa pidana pengembalian kerugian
keuangan
negara
dengan
uang
pengganti
merupakan
implementasi dari teori pemidanaan yakni lebih mengarah kepada teori gabungan yang berusaha menggabungkan tujuan pemidanaan guna membalas perbuatan pelaku dengan jalan pidana penjara (perampasan kemerdekaan) juga dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki serta nantinya dapat hidup kembali ke masyarakat. Untuk memberikan efek jera serta sebagai usaha preventif, penjatuhan pidana pengembalian kerugian keuangan negara melalui uang pengganti adalah salah satu upaya yang tepat. Bukan saja untuk kepentingan perekonomian negara namun juga memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana korupsi. Semakin maraknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar, penulis pakai sampel acuan sebagai bahan hukum membuktikan bahwa penanganan kasus korupsi harus lebih intensif. Pengadilan Negeri Denpasar adalah Pengadilan Kelas IA yang mewilayahi Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
138
Temuan data sebagai bahan hukum dalam penelitian hukum normatif, yang diperoleh dari Bagian Pidana Pengadilan Negeri Denpasar didapat data perkara korupsi dari seluruh Kabupaten dan Kota di Bali yang masuk ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dari tahun 2013 sebagai berikut:
139 TABEL VII PERKARA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR/ PENGADILAN TIPIKOR DENPASASR TAHUN 2012 Tuntutan Pidana Tambahan 1. l/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps Desak Putu Ari Padmini 290.998.750 2. 2/Pid. Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps I Made Widarma 3. 3/Pid.Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps I Wayan Gunawan 4. 4/Pid.Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps H.Asmuni Turyadi 5. 5/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps I Wayan Armawa 6. 6/Pid.Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps Bambang Subagyo 7. 7/Pid.Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps Dra. Tety Gemeniawati 8. 8/Pid.Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps I Made Budiarta 9. 9/Pid. Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps Ni Nyoman Rusmini 10. 1 0/Pid. Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps I Gede Putu Sunarta 11. 1 l/Pid.Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps Priat Eko Purwo 12. 12/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps Rudi Hartono 13. 1 3/Pid.SusATPK/20 1 2/PN.Dps I Nengah Arnawa, dk 1.395.000.000 14. 14/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps I Nyoman Oka Dhiputra 15. 1 5/Pid. Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps I Nengah Sugita 16. 16/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps Nyoman Pastika 29.921.753 17. 1 7/Pid.Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps I Wayan Kari Bagas Pramanta 625.670.000 18. 1 8/Pid.SusATPK/201 2/PN.Dps Ida Ayu Sri Astuti 19. 1 9/Pid. Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps Putu Bagiada 574.709326 20. 20/Pid. Sus/TPK/20 1 2/PN.Dps I Wayan Gobang Edy Sucipto Sumber: Buku Register Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahun 2012 PN.Dps
NO
NO. PERKARA
TERDAKWA
Pidana Tambahan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara 290.998.750 (inkracht) Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Bebas 1. 395.000.000 (PK) Tidak ada Bebas 29.92 1.753 (Banding) 625.670.000 (Banding) Tidak ada 574.709.326 (Kasasi) Tidak Ada
140 TABEL VIII PERKARA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR/PENGADILAN TIPIKOR DENPASAR TAHUN 2013 Tuntutan Pidana Pidana Pengembalian Kerugian NO. NO. PERKARA\ TERDAKWA Tambahan Negara 1. l/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Wayan Sukaja 455.000.000 431. 000.000 (Kasasi) 2. 2/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps I Made Wardana Tidak Ada 3. 3/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps I Ketut Rana Tidak Ada 4. 4/Pid.Sus/TPK/201 3/PN.Dps Nengah Londen Tidak Ada 5. 5/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps I Made Yasa Bebas 6. 6/Pld.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps Nengah Artabawa Tidak Ada 7. 7/Pid.Sus/TPK/201 3/PN.Dps I Dewa Gede Ramayana 63.820.000 62.745.000 (inkracht) 8. 8/Pid.Sus/TPK/201 3/PN.Dps Putu Santika 85.567.500 Bebas 9. 9/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps Gede Budiasa 1.863.126.650 1.863. 126.650 (inkracht) 10. 10/Pid.SusATPK/2013/PN.Dps I Made Kangen Tidak ada 11. ll/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Wayan Budiarsa 91.510.000 102.890.000 (inkracht) 12. 1 2/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps I Wayan Ranuh 135.000.000 135.000.000 (Kasasi) 13. 13/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps I Ketut Rustiani 25.200.000 25.200.000 (Inkracht) 14. 1 4/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps I Dewa Putu Djati Bebas 15. 1 5/Pid.SusATPK/201 3/PN.Dps I Dewa Nyoman Putra, dk Bebas 16. 16/Pid.SusATPK/20 1 3/PN.Dps I Nyoman Mudjarta Bebas 17. 1 7/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps I Ketut Suardi 100.000.000 Tidak Ada 18. 1 8/Pid.Sus/TPK/201 3/PN.Dps I Ketut Tamtam 2.693.489,92 Tidak Ada 19. 1 9/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps I Nengah Wijaya 200.000.000 200.000.000 (inkracht) 20. 20/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps Ida Bagus Dedi Mahendra 65.200.500 65.200.500 (inkracht) 21. 2 1 /Pid. SusATPK/20 1 3/PN.Dps Ida Bagus Putu Sutika 10.000.000 Tidak ada 22. 22/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Wayan Budra Tidak ada 23. 23/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps [nderapura Barnoza Tidak ada 24. 24/Pid.SusATPK/201 3/PN.Dps Mikhael Maksi Tidak ada 25. 25/Pid.Sus/TPK/20 1 3/PN.Dps Rudi Jhonson Sitorus Tidak ada Sumber: Buku Register Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahun 2013 PN.Dps
141
Sebagai salah satu upaya memberantas serta menangani kasus korupsi di Bali yang kian mengkhawatirkan, pada tahun 2012 dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar yang berada di bawah kewenangan Pengadilan Negeri Denpasar. Dengan adanya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, diharapkan penanganan kasus korupsi menjadi lebih cepat dan terfokus karena telah ditangani tersendiri oleh hakim hakim Ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang tetap dibantu oleh Hakim Pengadilan Negeri Denpasar. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar diresmikan pada tanggal 14 Pebruari 2012 tersebut dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan jadwal persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar. Pada saat ini Pengadilan Tipikor Denpasar memiliki 4 hakim ad hoc yaitu Miptahul Halis, Guntur, Nurbaya Lumban Gaol dan Sumali. Banyaknya kasus korupsi yang ditangani oleh Hakim Pengadilan Tipikor Denpasar mencerminkan bahwa korupsi bukan lagi sebagai tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang memangku jabatan tinggi namun kini telah memasuki seluruh lapisan masyarakat hingga ke pedesaan. Hal ini dapat kita lihat dari terdakwa kasus korupsi yang tercatat dalam Register Perkara Pidana di Pengadilan Nege ri Denpasar berasal dari berbagai macam pekerjaan baik swasta, pejabat pemerintah baik mantan bupati hingga pejabat desa serta Pegawai Negeri Sipil.
142
Sebagai upaya untuk memberantas serta mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, segala upaya telah dilakukan pemerintah mulai dari melakukan pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan hingga membangun sarana dan prasarana guna mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi. Penjatuhan sanksi pidana terhadap koruptor merupakan tindakan yang tepat untuk menimbulkan efek jera bukan saja kepada si pelaku namun juga bagi masyarakat. Sehingga nantinya penjatuhan sanksi pidana tersebut dapat menekan jumlah tindak pidana yang terjadi. Terkait dengan hal pemidanaan, penjatuhan sanksi pidana penjara bukanlah tujuan utama dalam memidana seorang koruptor. Karena selain untuk memberikan sanksi yang setimpal terhadap perbuatannya, upaya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh koruptor adalah menjadi tujuan penting dalam hal pemidanaan. Berdasarkan data perkara korupsi 2012 di Pengadilan Negeri Denpasar, dari 20 kasus korupsi yang diperiksa di Pengadilan Tipikor Denpasar terdapat 5 kasus yang dalam amar putusannya berisi selain pidana penjara dan pidana denda juga berisi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan . Sedangkan pada tahun 2013 dari 25 kasus yang terdaftar, baru 20 perkara korupsi yang sudah sampai pada tahap putusan, terdapat 6 perkara yang amarnya mencamtumkan pidana pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti selain pidana penjara dan pidana denda.
143
Jika dilihat dari amar putusan menyangkut pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar dari tahun 2012-2013 adalah sebesar Rp. 5.801.461.979,- (lima milyar delapan ratus satu juta empat ratus enam puluh satu ribu sembilan ratus rujuh puluh sembilan rupiah). Oleh karena masih ada perkara yang dalam proses upaya hukum, pengembalian kerugian keuangan negara perkara korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) dan sepatutnya telah dapat dieksekusi adalah Rp. 2.610.160.900,- (dua milyar enam ratus sepuluh juta seratus enam puluh ribu sembilan ratus rupiah). Melalui wawancara dengan Bapak Hasoloan Sianturi pada tanggal 28 Februari 2014, sebagai salah satu hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Denpasar sekaligus bertugas sebagai Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara korupsi yang masuk di Pengadilan Negeri Denpasar, mengemukakan bahwa tugas seorang hakim adalah untuk mengadili. Mengadili yang dimaksud dalam ketentuan KUHAP Pasal 1 angka 9 adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini. Hal ini berkaitan dengan pandangan masyarakat, bahwa hakim adalah bertugas untuk menghukum. Sedangkan untuk menghukum atau menyatakan seseorang bersalah sehingga patut untuk dipidana harus merujuk pada proses persidangan. Hal mana untuk dapat
144
menjatuhkan pidana syarat utamanya adalah terpenuhinya Pasal 183 KUHAP yakni menyangkut hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukankannya. Oleh sebab tersebut, menurutnya setiap orang yang menjadi terdakwa belum tentu orang yang bersalah melakukan suatu tindak pidana, banyak proses dalam persidangan yang nantinya dapat menerangkan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak. Bagitu pula dalam perkara korupsi, tidak semua terdakwa kasus korupsi terbukti bersalah, sehingga dalam putusannya adalah bebas dari segala tuntutan . Oleh karena saat ini kasus korupsi sedang menjadi sorotan masyarakat dan sedang menjadi opini publik, terkadang masyarakat tidak memahami proses persidangan sehingga hanya memperhatikan putusan akhir tanpa mengikuti proses persidangan. Terkait dengan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara, selain pidana penjara dan denda dalam kasus korupsi yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa
yang terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi, bagi Hakim Ketua Majelis yang memutus bebas Mantan Dirut Utama PDAM Gianyar ini adalah esensi penting dalam penegakan hukum terkait Tindak Pidana Korupsi. Namun, hal tersebut kembali harus dibuktikan di depan persidangan. Berpedoman pada ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang
145
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu terkai t apakah perbuatan korupsi yang terdakwa lakukan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi. Karena saat ini tidak jarang tindak pidana korupsi dilakukan secara bersama-sama sedangkan yang menikmati hanya sebagian orang. Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan mengapa dalam putusan tidak semua terdakwa yang terbukti melakuk an tindak pidana korupsi dijatuhi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara selain juga tetap mempertimbangkan apa yang didakwakan serta dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum. Penerapan ancaman sanksi pidana guna pengembalian kerugian keuangan negara melalui uang pengganti dalam perkara Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Denpasar sangat tergantung pada proses persidangan. Dalam proses pemeriksaan perkara di muka persidangan hakim
dapat
mengetahui
apakah
seorang
terdakwa
telah
terbukti
melakukan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan negara serta menikmati sendiri hasil kejahatannya, hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim dapat menjatuhkan pidana pengembalian kerugian keuangan negara sebagai pidana tambahan disamping pidana pokok yakni pidana penjara dan pidana denda. Sehingga dengan
demikian
pengembalian
kerugian
keuangan
negara
yang
146
merupakan esensi penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya di wilayah hukurn Pengadilan Negeri Denpasar dapat tercapai. Untuk mengoptimalkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi serta pengembalian kerugian keuangan yang ditimbulkan, buk an saja tergantung pada Putusan Pengadilan yang dibuat oleh Hakim, namun juga sangat dipengaruhi oleh dakwaan serta tuntutan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai pertimbangan hakim memutus suatu perkara. Jika dilihat dari data tersebut di atas menunjukkan masih adanya perkara korupsi yang dalam tuntutannya tidak tercantum pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Selain itu jumlah perkara korupsi pada tahun 2012-2013 yang diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar yang tercatat dalam Buku Register Perkara Pidana Pengadilan Negeri Denpasar telah mengalami peningkatan. Penerapan ancaman sanksi pidana guna pengembalian kerugian keuangan negara belum efektif dalam hal pengembalian kerugian keuangan negara. Hal ini berdasarkan data pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti pada tahun 2012 yang tercatat di Kejaksaan Negeri Denpasar, yaitu : 1. RR Endah, pidana uang pengganti sebesar : Rp. 142.385.454 2. Drs. Gede Nurjaya, pidana uang pengganti sebesar : Rp. 48.87 0.852 Sedangkan pada tahun 2013, terdapat 3 orang terpidana yang membayar
uang
pengganti
keuangan negara, diantaranya :
sebagai
pidana
pengembalian
kerugian
147
1. Rudi Hastono, pidana uang pengganti sebesar : Rp. 640.920.000 2. Teguh Purwanto, pidana uang pengganti sebesar : Rp. 27.020.748 3. Tatik Gerhaningsing, pidana uang pengganti sebesar : Rp. 12.076.138 Total uang pengganti yang disetorkan oleh Kejaksaan Negeri Denpasar ke Kas Negara pada tahun 2012-2013 adalah sebesar Rp. 871.273.192,-. Kelima terpidana yang membayar uang pengganti tersebut adalah terpidana yang perkaranya dimulai sejak tahun 2009 hingga 2011. Sedangkan untuk perkara dari tahun 2012-2013,------Terhadap perkara yang
belum ada satupun yang membayar ataupun dapat dilakukan
eksekusi uang pengganti sebagai pidana tambahan pengembalian kerugian keuangan negara. Hal ini membuktikan bahwa diperlukan waktu yang sangat panjang guna memperoleh pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti dari para terpidana. Selain itu, penjatuhan pidana baik berupa pidana penjara, denda serta pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak dapat menekan jumlah tindak pidana korupsi di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar. Jaksa penuntut umum dalam prakteknya ketika gagal mengeksekusi aset terpidana karena telah habis maka tindakan yang dilakukan dengan menggelar
operasi
intelijen
yustisial
untuk
pelaksanaan
kegiatan
pelacakan aset / penelusuran aset terpidana secara langsung berkoordinasi dengan
aparat terkait mulai dari perangkat desa seperti Kepala
148
Lingkungan, Kepala Desa, Camat dan instansi terkait yakni
Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Serta pihak bank untuk menelusuri / pelacakan aset terpidana yang kemungkinan masih ada atau dimungkinkan untuk disita serta dilelang untuk pemulihan pengembalian kerugian keuangan
negara.
Namun
usaha
tersebut
tidak
pernah
berhasil
mengembalikan kerugian Negara karena memang aset terpidananya sudah habis sama sekali, sehingga eksekusi jaksa penuntut umum mengalami kegagalan atau kerugian keuangan negara tidak dapat dikembalikan.
3.2
Esensi Unsur Kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara dengan Delik Formil dan Delik Materiil dalam Tindak Pidana Korupsi Salah satu unsur delik dalam tindak pidana korupsi adalah
merugikan
keuangan
negara,
ini
harus
dibuktikan
dalam
proses
pembuktian. Bila terbukti ada unsur merugikan keuangan negara, maka harus dikembalikan oleh terpidana kepada negara. Kerugian keuangan negara tersurat dan tersirat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seperti berikut: Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
149
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Terhadap rumusan delik menyangkut unsur kerugian negara dalam Tindak Pidana Korupsi R. Wiyono berpendapat bahwa : 1. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menerangkan : "Dalam ketentuan ini kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya
tindak
pidana
korupsi,
cukup
dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat". Bahwa ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam Pasal 2 ayat (1) memang merupakan delik formil, juga ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menerangkan : "Dalam undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana". Berpatokan pada dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai delik formil, maka adanya kerugian keuangan negara atau kerugian keuangan negara tidak harus sudah terjadi, karena yang dimaksud dengan delik formil adalah delik
150
yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. 131 Dalam arti, agar seseorang dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1), tidak perlu adanya alat-alat bukti untuk membuktikan bahwa memang telah terjadi kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara. Dibandingkan ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dengan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dapat diketahui bahwa ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan delik formil, sedangkan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 merupakan delik materiil,
yaitu
delik
yang
dianggap
telah
terbukti
dengan
ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. 132 Menurut P.A.F. Lamintang pada waktu membahas unsur "dapat menimbulkan suatu kerugian" dari Pasal 263 ayat (1) KUHP, dengan mengikuti pendapat dari putusan Hoge Raad tanggal 22 April 2007 dan tanggal 8 Juni 1997, mengemukakan pembentuk undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya kerugian yang timbul, melainkan hanya kemungkinan timbulnya kerugian seperti itu, bahkan pelaku tidak perlu harus dapat membayangkan tentang kemungkinan timbulnya kerugian tersebut. 133 131
P.A.F. Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm: 202. 132 Ibid 133 P.A.F. Lamintang, 1991, Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum Terhadap Surat-Surat, Alat-Alat Pembayaran, Alat-Alat Bukti dan Peradilan.Cetakan ke-1, Mandar Maju, Bandung, hlm : 34.
151
Berpedoman pada apa yang telah dikemukakan oleh P.A.F. Lamintang seperti tersebut di atas, maka agar seorang dapat dinyatakan bersalah
telah
melakukan
tindak
pidana
korupsi
seperti
yang
ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1), sudah cukup jika terdapat alat -alat bukti yang dapat membuktikan kemungkinan terjadinya kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, bahkan pelaku tidak perlu harus dapat membayangkan tentang kemungkinan terjadinya kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara tersebut. Perlu dipahami bahwa pada waktu ada permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dengan alasan unsur "dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara" dalam Pasal 2 ayat (1) bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI 1945, Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan putusannya dengan putusan tanggal 24 Juli 2006 Nomor 003/PUU-IV/2006 yang dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan: Menimbang bahwa dengan memperhatikan seluruh argumen yang disampaikan oleh semua pihak sebagaimana tersebut di atas dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, maka persoalan pokok yang harus dijawab adalah: 1. Apakah pengertian kata "dapat" dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yang pengertiannya dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) bahwa dengan penamhahan kata "dapat" tersebut menjadikan tindak
152
pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) a quo menjadi rumusan delik formil; 2. Apakah dengan pengertian sebagaimana dijelaskan pada Butir 1 tersebut di atas, frasa "dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara", yang diartikan baik kerugian yang nyata (actual loss) maupun hanya yang bersifat potential atau berupa kemungkinan kerugian (potential loss), merupakan unsur yang tidak perlu dibuktikan atau harus dibuktikan; Menimbang bahwa kedua pertanyaan tersebut akan dijawab dengan pemahaman bahwa kata "dapat" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan,
bukan
saja
karena
perbuatan
tersebut
"merugikan
Keuangan Negara atau Perekonomian Negara secara nyata", akan tetapi hanya "dapat" menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Kata "dapat" tersebut harus dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata "dapat" tersebut sebelum frasa "merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara",
menunjukkan
bahwa
tindak
pidana
korupsi
tersebut
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah Konstitusi dapat menerima
153
penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang menyangkut kata "dapat" sebelum frasa "merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara". Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga dianggap mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbua tan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum (wederrechtelijk) telah terbukti. Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materiil, yang mensyaratkan "akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata "dapat" sebelum
154
frasa "merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara", dapat dilihat dalam arti yang sama dengan kata "dapat" yang mendahului frasa "membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang", sebagaimana termuat dalam Pasal 387 ayat (1) KUHP. Delik demikian dipandang terbukti, kalau unsur perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah nyata terjadi. Menimbang bahwa menurut Mahkamah Konstitusi hal demikian tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang bertentangan dengan konstitusi sebagaimana yang didalilkan pemohon. Karena, keberadaan kata "dapat" sama sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya kepastian hukum yang menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana korupsi atau sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi pidana. Menimbang
bahwa
dengan
asas
kepastian
hukum
(rechtszekerheid) dalam melindungi hak seseorang, hubungan kata "dapat" dengan "merugikan Keuangan Negara" tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim: (1) nyata-nyata merugikan keuangan negara atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian. Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil. Di antara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan yang "belum nyata terjadi", tetapi
155
dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret di sekitar peristiwa yang terjadi, secara logis dapat disimpulkan bahwa suatu akibat yaitu kerugian negara akan terjadi. Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah
dilakukan
oleh
para
ahli
dalam
keuangan
negara,
perekonomian negara serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian. Menimbang bahwa adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata
"dapat" sebelum frasa
"merugikan keuangan
negara
atau
perekonomian negara", kemudian mengkualifikasikannya sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian Negara atau perekonomian negara tidak
merupakan
akibat
yang
harus
nyata
terjadi.
Mahkamah
berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya. Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 4, bahwa pengembalian kerugi an negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata "dapat" dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam
156
praktik
oleh
aparat
penegak
hukum,
dan
bukan
menyangkut
konstitusionalitas norma. Menimbang dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara RI 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally constitutional). Menimbang bahwa oleh karena kata "dapat" sebagaimana uraian pertimbangan yang dikemukakan di atas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD Negara RI 1945, dan justru diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka permohonan pemohon tentang hal itu tidak beralasan dan tidak dapat dikabulkan. Atas pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dapat pula diketahui bahwa untuk dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1), keuangan negara atau perekonomian negara tidak perlu benar-benar telah menderita kerugian. 2. Sebagai pelaku dari tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditentukan "setiap orang". Dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut tidak ditentukan adanya suatu syarat, misalnya syarat Pegawai Negeri yang harus menyertai "setiap orang" yang melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud.
157
Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang dimaksud dengan "setiap orang" dalam Pasal 1 angka 3, menurut hemat penulis pelaku tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dapat terdiri atas : a. orang perseorangan, dan/atau b. korporasi. 3.3
Sifat Unsur Delik Melawan
Hukum
Sebagai Unsur Mutlak
dalam Tindak Pidana Korupsi Jika diteliti ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1), akan ditemui beberapa unsur sebagai berikut: A. secara melawan hukum; B. memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; C. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. ad. A Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "secara melawan hukum" mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil "maupun" dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
158
Adanya kata "maupun" dalam penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti 2 (dua) ajaran sifat melawan hukum secara alternatif, yaitu : a. ajaran sifat melawan hukum formil, atau b. ajaran sifat melawan hukum materiil. Roeslan Saleh mengemukakan: "Menurut ajaran melawan hukum, yang disebut melawan hukum materiil tidaklah hanya sekadar bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Sebaliknya, ajaran melawan hukum formil berpendapat bahwa melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum tertulis saja. Jadi menurut ajaran materiil, di samping memenuhi syarat syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai tidak boleh atau tidak patut". 134
Dalam kepustakaan hukum pidana, terdapat 2 (dua) fungsi dari ajaran sifat melawan hukum materiil, yaitu : a. ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yan g positif, yaitu suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum; b. ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yaitu suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundangundangan merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum. 135
134
Roeslan Saleh, 1987, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, hlm : 7. 135 Lihat misalnya pada Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, hlm : 133; Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, hlm : 18-19; E. Utrecht, Hukum Pidana I, hlm : 273; Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, hlm : 131-193.
159
Oleh karena penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "secara melawan hukum" dalam Pasal 2 ayat (1) mencakup perbuatan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma norma kehidupan sosial dalam masyarakat, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka dapat diketahui bahwa ajaran sifat melawan hukum materiil yang diikuti oleh UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 adalah ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif. Apa sebab Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti ajaran melawan hukum materiil? , Oleh penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan agar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara dan perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit. Sebagai contoh dari penerapan ajaran sifat melawan
hukum
materiil
dalam
fungsinya
yang
positif,
dapat
dikemukakan putusan Mahkamah Agung RI sewaktu masih berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, yaitu Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 29 Desember 1983 Nomor 275 K/Pid/1983 dengan terdakwa R. Sonson Nata Legawa, 136 Direktur Bank Bumi Daya, yang di dalam pertimbangan hukumnya antara lain menyebutkan: "Menimbang bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan "melawan hukum" tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak 136
Andi Hamzah, 1986, Komentar Tehadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Terbaru Mengenai Korupsi, Indo Hill Co., Jakarta, hlm : 37.
160
melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat". "Menimbang
bahwa
menurut
kepatutan
dalam
masyarakat,
khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang Pegawai Negeri menerima fasilitas yang berkelebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar Pegawai Negeri itu menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya serta menyimpang, hal itu sudah merupakan "perbuatan yang melawan hukum", karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat". Menurut Indriyanto Seno Adji, penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif memerlukan syarat, alasan dan kriteria yang tegas serta dengan segala pertimbangan kondisi yang situasional dan kasuistis. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa kriteria yang menentukan alasan-alasan yang mendasari diimplementasikannya ajaran perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positif antara lain sebagai berikut: a. Perbuatan pelaku yang tidak termasuk atau tidak memenuhi rumusan delik, dipandang dengan kepentingan hukum, ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat atau negara, dibandingkan dengan keuntungan yang disebabkan oleh perbuatannya yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. b. Menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara apabila seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara, meskipun tidak melakukan pelanggaran peraturan yang ada sanksi pidananya, tetapi menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seseorang (korporasi/badan hukum) dengan maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara negara itu
161
menggunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara berlebihan atau menyimpang. 137
Sebagai perbandingan antara kedua penerapan ajaran si fat melawan hukum materiil tersebut, dapat dikemukakan contoh putusan Mahkamah Agung RI mengenai penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif sebagai berikut. a. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 8 Januari 1966 Nomor 42 K/Kr/1965 dengan terdakwa Machroes Effendi, Patih pada Kantor Bupati/Kepala Daerah Tingkat I Sambas yang perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur dari ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 372 jo. Pasal 52 jo. Pasal 64 ay at (l)KUHP. 138 b. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 30 Maret 1977 Nomor 81 K/Kr/1973
dengan
terdakwa
Ir.
Moch
Otjo
Danaatmadja
bin
Danaatmadja, Kepala Kesatuan Pemangkasan Hutan Kabupaten Garut, yang perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur dari ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 415 jo. Pasal 64 jo. Pasal 1 sub c UndangUndang Nomor 24 prp I960. 139 Meskipun kedua terdakwa tersebut perbuatannya telah memenuhi ketentuan pidana yang terdapat di dalam surat dakwaan, tetapi ternyata terdakwa dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum, karena terdap at
137
Indriyanto Seno Adji, 2002, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum "Prof. Oeman Seno Adji, SH & Rekan", Jakarta, hlm : 320. 138 Chidir Ali, 1979, Yurisprudensi Indonesia Tentang Hukum Pidana Korupsi, Bina Cipta, Bandung, hlm : 15. 139 Ibid, hlm: 579-583.
162
faktor yang menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa, yaitu berupa : a. Kepentingan umum yang dikerjakan atau dilayani oleh terdakwa, b. Kepentingan pribadi yang tidak diperbolehkan oleh terdakwa, dan c. Kerugian yang tidak diderita oleh negara atau masyarakat
3.4. Komparasi
Dengan
Beberapa
Negara
Asing
Menyangkut
Perampasan / Penyitaan Aset Hasil Tindak Pidana Oleh Aparat Penegak Hukum 3.4.1. Amerika Serikat Negara Amerika Serikat mengenal dan menerapkan perampasan aset tanpa tuntutan pidana (Non Confiction Based asset forfeiture / NCB). 140 NCB Asset forfeiture digunakan untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana. Pada awalnya di Amrika NCB asset forfeiture diterapkan dalam skala domestik yaitu dengan mengajukan gugatan perdata untuk menyita atau mengambil alih aset – aset hasil kejahatan yang berada dalam negeri. Apabila aset – aset hasil kejahatannya berada di luar negeri maka digunakan pula cara dan mekanisme
NCB asset foreuture lintas
teritorialitas. Dalam prakteknya diterapkan pada hukum perkapalan, pengadilan maritim lebih memilih cara dengan melakukan gugatan terhadap aset barang (in rem) atas kapal dibandingkan memilih cara menggugat 140
hlm : 126
Muhammad Yusuf , 2013, Merampas Aset Koruptor, Buku Kompas, Jakarta,
163
orangnya (in personan) atas pemilik kapal, kapal yang tidak bersalah bisa ditahan dan diambil atas nama pemerintah, dan hukum memberlakukan kapal seolah – olah orang yang bersalah. Karena meningkatnya organized crime ditahun 1970-an di Amerika Serikat, hal ini sebagai salah satu faktor menyebabkan berkembangnya cara NCB asset forutire sering digunakan oleh pemerintah Federral Amerika Serikat untuk menyita aset – aset yang berhubungan dengan organized crime untuk memutus jalur uang dan finansial support dari setiap bentuk kejahatan terorganisir tersebut seperti obat – obatan terlarang dan korupsi.
3.4.2. Swiss Dalam hukum Swiss mengenal sistem perampasan aset tanpa tuntutan pidana (NCB) maupun perampasan aset dengan pemidanaan. Ketentutannya diatur dalam Pasal 70 – 72 The Criminal Code of Switzerland. 141
Prosedur
hukum
yang
digunakannya
sama
dalam
perampasan aset baik secara pidana maupun perdata. Dalam Pasal 70 ayat (1) The Criminal Code of Switzerland tersebut mengatur bahwa hakim akan memerintahkan perampasan aset yang dihasilkan dari tindak pidana dengan ketentuan hukum bahwa harta yang dirampas tersebut tidak harus dikembalikan kepada pihak yang dirugikan dalam rangka memulihkan
141
Ibid, hlm : 139
164
hak-haknya.
Dengan
demikian
perampasan
terjadi
tanpa
adanya
pemidanaan, atau melalui perampasan secara perdata. Sebelum dilakukan perampasan aset, proses penuntutan harus dilakukan terlebih dahulu bahwa hasilnya menunjukkan telah terjadi tindak pidana dan aset – aset tersebut merupakan hasil tindak pidana. Dalam hal ini aset diartikan secara luas, dapat berupa kenaikan aset ataupun penurunan hutang. Seluruh aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana asalkan diatur dalam The Criminal Code of Switzerland dan perundang-undangan
lainnya
dapat
dirampas.
Aset
tersebut
harus
merupakan hasil langsung dari tindak pidana atau aset yang telah dibe li dari hasil tidak pidana. Untuk dapat dilakukannya tindakan perampasan (baca : penyitaan) maka harus memiliki kewenangan atas yuridiksi dalam menuntut suatu tindak pidana yang terkait dengan tindakan perampasan (penyitaan) aset tersebut.
3.4.3. Filipina Bagi negara Filipina dalam memburu dan merampas aset hasil kejahatan dengan metode NCB Asset Forfeiture merupakan cara baru baginya. Walaupun metode ini tergolong baru, namun dalam penerapan prakteknya diterima baik dan dipandangnya sebagai salah satu instrumen hukum yang penting dan bermanfaat dalam memerangi korupsi dan pencucian uang. 142
142
Ibid, hlm. : 150
165
Dalam prakteknya bahwa secara umum pengadilan dapat diminta melalui prosedur perdata in rem (tuntutan aset barang) untuk menentukan asal – usul dari suatu kepemilikan atas aset. Apabila atas dasar kaidah perdata ditentukan dan dinyatakan bahwa aset tersebut diperoleh dari hasil kejahatan, maka pengadilan bisa menjatuhkan perintah forfeiture. Dijamin pula bahwa bagi pihak ketiga yang merasa punya kepentingan kepemilikan secara legal atas aset dimaksud akan dilindungi haknya oleh undang – undang. Dikenal adanya tiga syarat yang harus terpenuhi dalam mengajukan NCB Asset Forfeiture. Pertama : uang atau dana harus dibekukan oleh pengadilan banding (court of appeals). Kedua : harus disampaikan laporan convered transaction sebesar minimal 9,200 dollar AS. Konsekuensinya apabila institusi keuangan (kalau di Indonesia sejenis BPK dan PPATK), gagal dalam menyampaikan / membuktikan analis keuangannya atau laporan keuangannya, bahkan dalam kasus pencucian uang ternyata jelas dan pasti, maka persyaratan untuk mengajukan civil forfeiture tidak dapat dipenuhi. Ketiga : NCB Asset Forfeiture hanya bisa dilakukan dalam kasus pencucian uang dengan institusi keuangan intermediaery. Apabila Anti Money
Laundering
Commision
(AMLC)
Filipina
berhasil
dalam
perjuangan kasus – kasus NCB Asset Forfeiture, maka mereka akan memotivasi para pencuci uang untuk memiliki aset – aset bentuk lain (selain uang), seperti emas batangan, perhiasan dan yang lain yang tidak memerlukan financial intermediary. Karena di Filipina han ya alat bentuk
166
uang (money financial) yang bisa menjadi NCB Asset Forteiture hanya aset dalam bentuk
uang yang dapat dilakukan tindakan perampasan /
penyitaan milik atau atas penguasaan dari penguasaan aset.
3.4.4. Kolumbia Pengaturan perampasan aset di negara Kolumbia sudah dikenal sejak tahun 1930. Hukum negara ini memberikan kewenangan kepada para penegak hukumnya dengan menganut dan menerapkan dua macam sistem terkait asset confiction yaitu, dengan cara conviction – based (tuntutan pidana terlebih dahulu) dan ataupun dengan non conviction baset asset forfeiture (perampasan aset tuntutan pidana). 143 Pengaturan seperti itu menampakkan cara atau metode yang dianut sehubungan
usaha
penegak
hukum
melakukan
perampasan
asset
menerapkan cara lebih luas yang diatur dalam undang – undang. Perbaikan pengaturan tentang perampasan aset yang telah ada sejak 1930 sering diperbaharui, tahun 1996 Kolumbia merevisi lagi dengan memberlakukan Undang – Undang No. 333 Tahun 1996 tentang perampasan yang memungkinkan para penegak hukum untuk dapat merampas atas kepemilikan aset yang terhubung oleh suatu kegiatan kriminal. Namun di Kolumbia kegiatan pelaksanaan NCB Asset Forfiture merupakan langkah prosedural secara hukum administratif, sehingga penerapannya berpariatif dalam arti beberapa langkah prosedural hukum
143
Ibid, hlm : 152
167
yang mesti dilakukan, sehingga rumit dan prosesnya panjang. Di sisi lain pula harus menempuh jalur formal pengadilan Mencermati dan mengkritisi tentang pengaturan perampasan aset aset dari hasil tindak pidana dalam beberapa negara asing tersurat diatas, maka bagi Indonesia aturan pengaturan tentang perampasan atau penyitaan aset – aset dari hasil kejahatan, khususnya tindak pidana korupsi, bagi penegak hukum khususnya jaksa ketentuan tentang penyitaan akan aset koruptor hampir mirip dengan pengaturan perampasan aset (NCB Asset Forfeiture) seperti diatur dan diterapkan oleh negara Kolumbia. Pada intinya dalam perampasan aset (baca penyitaan aset) dari hasil kejahatan mesti menempuh proses pengadilan. Dengan terlebih dahulu menempuh peradilan pidana, setelah ada putusan pidana baru mengingat secara perdata oleh jaksa pengacara negara atau pihak lain yang berkepentingan sehubungan dengan aset-aset sebagai obyek perampasan atau barangbarang obyek penyitaan. Begitu pula disertai gugatan administratif melalui peradilan tata usaha negara sepanjang diperlukan dan terkait dengan aset aset milik atau dibawah penguasaan koruptor atau pihak ketiga lainnya.
3.5. Keterkaitan Fungsi Jaksa Penuntut Umum Selaku Eksekutor Dikaji Dari Aspek Teori Hukum Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Terhadap permasalahan pertama yang disajikan dalam tesis ini menyangkut ketiadaan pengaturan. Atau tidak terdapat dasar hukum
168
pengaturan yang mengatur dalam perundang-undangan pidana terkait usaha jaksa penuntut umum dalam mengeksekusi aset terpidana koruptor, yang telah habis atau dicuci / berada pada tangan pihak lain. Maka berdasarkan teori – teori hukum yang dipakai mengkaji dan menganalisis guna solusi pemecahan atas masalah dimaksud dapat penulis urai kan halhal seperti berikut : a. Sesuai esensi jenis keadilan korektif menurut Aristoteles, bahwa keadilan
korektif
perselisihan
dan
dijalankan memberikan
oleh
hakim
hukuman
dalam terhadap
menyelesaikan para
pelaku
kejahatan. 144 Sehubungan dengan terpidana koruptor adalah patut dan wajar diberi sanksi pidana dan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Namun ketika putusan hakim tidak dapat dijalankan oleh jaksa penuntut umum perlu tindakan korektif dari jaksa berupa
tindakan-tindakan
hukum
yang
mesti
ditempuh
seperti
mengajukan upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa (banding, kasasi, kasasi demi kepenetingan hukum) demi terciptanya keadilan substantif atas perbuatan yang dilakukan koruptor dengan dampak yang luas dari tindak pidana korupsi yang telah ia perbuat dengan pidana atau hukuman yang mesti ia rasakan. Karena esensi keadilan secara umum adalah kesejahteraan dan pemberlakuan bagi semua orang (justice for all). 145 Maka untuk terpidana korupsi perlu
144
H. Salim, HS. Erlies Septiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm : 27 145 Ibid, hlm : 28
169
menerima sanksi pidana yang setimpal dengan perbuatannya yang sangat membawa dampak negatif b. Bahwa
prinsip
teori
pemidanaan
absolut
adalah
merupakan
pengimbangan atau pembalasan bagi pembuat delik atau tindak pidana. Bagi terpidana tindak pidana korupsi layak serta patut diberikan pemidanaan yang berat untuk memberikan efek jera bagi pelakunya, serta merupakan usaha pencegah secara umum (general prevention) bagi masyarakat agar jangan meniru atau mengikuti perbuatan pelaku tindak pidana sebelumnya. Untuk terdakwa atau terpidana korupsi teori pemidanaan absolut ini dirasa sangat
patut, wajar
serta dapat
diberikan oleh hakim. Disamping putusan juga dakwaan serta tuntutan oleh jaksa penuntut umum yang sangat berat, tepat dan pantas pula diberikan sebagai upaya pencegahan serta pengimbalan yang mesti di dapat dari pelaku-pelaku tindak pidana korupsi tersebut. c. Teori kewenangan berkaitan
dengan tugas, fungsi serta wewenang
yang diberikan oleh undang-undang secara atributif kepada jaksa penuntut umum sebagai pejabat publik, penegak hukum, wakil negara dalam memerankan fungsinya seperti penyidik dalam tindak pidana korupsi, menuntut serta melaksanakan penetapan putusan ( vonis) hakim atau mengeksekusi putusan hakim. Selaku pejabat eksekutor putusan hakim dalam perkara tindak pidana korupsi jaksa penuntut umum memiliki fungsi absah untuk menuntut terdakwa disamping dengan pidana pokok sesuai Pasal 10 KUHP, juga dengan tuntutan
170
jenis pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara sesuai esensi Pasal 10 huruf b KUHP dan esensi Pasal 18 huruf a dan b Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kewenangan atributif tersebut dijamin oleh KUHAP serta Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Dan sejalan pula dengan esensi ajaran / teori kewenangan dari HD Van Wijk / Willem Konijnbelt, dalam hubungan esensinya bahwa jaksa penuntut umum dalam memerankan fungsinya dijamin oleh undang-undang d. Sesuai dengan tujuan hukum acara pidana dan sasaran proses peradilan pidana (due process of law) atau proses peradilan yang adil yakni mencari dan menemukan kebenaran materiil, maka semua komponen penegak hukum, termasuk salah satunya jaksa penuntut umum dalam memerankan fungsinya juga
mengikuti proses pembuktian terhadap
dakwaan terdakwanya. Dalam proses pembuktian inilah akan diuji kebenaran dari dakwaan jaksa penuntut umum atas kesalahan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Pembuktian akan menentukan nasib terdakwanya, akan bebas, lepas atau dipidana oleh hakim. Sesuai dengan teori pembuktian yang dianut dan diterapkan dalam peradilan pidana adalah teori pembuktian atas dasar undang-undang secara negatif (negative wettelijke bewijs theorie). Dalam proses pembuktian semua sub unsur struktur peradilan pid ana termasuk jaksa terikat dan berpedoman pada jenis alat bukti yang
171
diakui sah menurut undang-undang seperti tersurat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa). Jenis alat bukti yang dipasang / didapat jaksa dalam surat dakwaan akan dibuktikan dalam proses pembuktian di depan sidang pengadilan. Semua rangkaian proses pembuktian akan dinilai oleh hakim sebagai dasar memutus sesuai pedoman esensi Pasal 183 KUHAP. Bahwa putusan hakim mengikuti prinsip berdasar atas minimal 2 (dua) alat bukti yang diakui sah oleh undang – undang, ditambah keyakinan dari hakim bahwa ialah (terdakwanya) yang berbuat dan terbukti bersalah melakukan sesuai dengan apa yang didakwakan jaksa penuntut umum dalam dakwaannya. Bagi terdakwa tindak pidana korupsi yang didakwa dan dituntut oleh jaksa penuntut umum
dalam
formulasi
surat
dakwaan
dan
surat
tuntutannya
(requisitoir) mengacu pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP serta berorientasi pada ajaran / teori pembuktian negatif wettelijke bewijs theorie seperti esensi Pasal 183 KUHAP. e. Esensi teori fungsional / teori fungsi / Manfaat hukum bahwa secara umum berintikan bahwa fungsi atau kegunaan tindakan apapun / tertentu agar berguna bagi masyarakat untuk kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. 146 Teori ini bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif) . Hukum bertugas mempertahankan
146
Ibid, hlm. : 75
172
ketertiban atau pola kehidupan yang ada dan berfungsi sebagai sarana untuk melakukan perubahan – perubahan dalam masyarakat. Terkait esensi teori fungsional dengan fungsi jaksa penuntut umum dalam wewenang atributifnya selaku penuntut umum dan eksekutor memiliki fungsi strategis dalam pengembalian kerugian keuangan negara. Kerugian keuangan negara dari adanya korupsi oleh terpidana korupsi mestinya kembali secara utuh kepada negara guna kepentingan pembangunan masyarakat. Maka inti teori fungsi mengkaitkan hukum dilihat dari aspek fungsi atau kegunaannya, pencetus teori fungsi J. Ter Heide menyatakan bahwa para yuris, hakim, pembentuk undang-undang, ....... dstnya, termasuk menurut penulis jaksa penuntut umum dalam menjalankan fungsi atau peran masing-masing harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat banyak. 147 Fungsi jaksa penuntut umum dalam melaksanakan penetapan hakim atau menjalankan putusan hakim untuk mengeksekusi putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van geveijsde) terhadap jenis pidana tambahan seperti pengembalian kerugian keuangan negara dari terpidana korupsi dijamin oleh Pasal 14 huruf j KUHAP (melaksanakan penetapan hakim), dan Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang – Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Maka eksistensi wewenang jaksa penuntut umum dalam
147
H. Salim, 2012, Loc. Cit
173
fungsi mengeksekusi terpidana korupsi untuk pengembalian kerugian keuangan negara bersesuaian dengan inti serta esensi teori fungsional atau teori fungsi secara teori wewenang atributif jelas dan pasti diatur dalam perundang-undangan seperti tersebut diatas. Serta kemanfaatan atau kegunaan tindakan hukum yang dilakukan jaksa penuntut umum selaku aparat eksekutor untuk
kegunaan masyarakat, bangsa dan
negara demi utuhnya aset – aset negara yang mesti kembali lagi kepada negara, dan dapat dinikmati bagi masyarakat luas. f. Esensi teori kebijakan hukum pidana dari teorinya Marc Ancel dan Mulder yang diartikan lebih kongkrit dari pendapatnya Sudarto menyatakan bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat diartikan sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang – undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa – masa yang akan datang. 148 Sehubungan dengan kemungkinan ada peluang untuk melakukan tindakan kebijakan pidana dalam mengisi kekosongan hukum, maka terkait belum adanya dasar hukum pengaturan ketika jaksa penuntut umum tidak dapat melakukan eksekusi karena aset – aset terpidana korupsi telah habis atau dicuci dan / atau berpindah tangan pada pihak lain, maka untuk mengisi kekosongan hukum tersebut atau tidak adanya dasar hukum bagi jaksa penuntut umum untuk melakukan tindakan hukum lagi, maka kedepan pihak legislatif atau pembentuk undang-undang perlu melakukan 148
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. : 3
174
tindakan upaya (kebijakan pidana) serta merintis melalui perumusan untuk memformulasikan ketentuan pasal dalam KUHAP, Undang – Undang Kejaksaan Republik Indonesia, serta Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi atau mengusulkan perundang- undngan yang baru yang akan bias mengadopsi kegagalan
jaksa penuntut umum di dalam
mengeksekusi aset agar selalu dapat menjalankan fungsi eksekutornya yakni mengeksekusi aset – aset terpidana tindak pidana korupsi. Tindakan tersebut agar aset – aset negara selalu dapat diselamatkan dan dikembalikan kepada negara. Agar pula negara jangan sampai dirugikan oleh tangan-tangan para terpidana korupsi. Usaha formulasi dari legislator merupakan tugas dan kewajibannya sebagai badan dan pelaksana fungsi negara di bidang
legislatif dalam menciptakan,
membenahi, merevisi aturan perundang-undangan
guna mengisi
kekosongan hukum. Beberapa teori – teori hukum yang dipakai penulis dalam mengkaji dan mengkritisi permasalahan yang disajikan, antara teori hukum yang satu dengan teori yang lainnya, saling berkaitan dalam memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut.
BAB IV FUNGSI PENUNTUT UMUM DAN TINDAKAN HUKUM YANG DILAKUKANNYA TERKAIT PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI
4.1. Tindakan Hukum Oleh Penuntut Umum Melalui Surat Dakwaan Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi 4.1.1. Peran Surat Dakwaan Dalam Proses Pidana Bagi
terdakwa
tindak
pidana
korupsi
surat
dakwaan
akan
menentukan dapat atau tidaknya dinyatakan bersalah oleh hakim. Proses peradilan pidana diawali dari hasil penyidikan yang terurai dalam berita acara pemeriksaan (BAP) perkara yang dibuat penyidik. Setelah penyidik melimpahkan hasil penyidikannya kepada kejaksaan, maka kejaksaan diberikan
kewenangan
pula
bila
diperlukan
untuk
mengadakan
prapenuntutan dalam arti melakukan penelitian terhadap berkas perkara yang diterimanya dari penyidik serta memberikan petunjuk – petunjuk kepada penyidik. Dengan kata lain hasil penyidikan adalah dasar dalam pembuatan surat dakwaan Jaksa dalam fungsinya selaku penuntut umum oleh undang – undang diberikan kewenangan yang cukup luas sebagai aparat penegak hukum untuk menuntut, mengeksekusi putusan hakim serta sebagai penyidik dalam tindak pidana khusus, salah satunya tindak pidana korupsi.
175
176
Rangkaian fungsi jaksa tersebut diatas, dalam peradilan pidana awal bekerjanya terletak pada awal permulaan sidang di pengadilan. Berbeda halnya dengan penanganan tindak pidana khusus, dimana kejaksaan dan atau jaksa di dalam menangani tindak pidana korupsi dapat melakukan kegiatan sejak dimulai dari tahap penyelidikan oleh jajaran intelijen kejaksaan (Jamintel), kemudian penyidikan dan penuntutan serta eksekusi dan eksaminasi oleh jajaran bidang tindak pidana khusus (Jampidsus). Dalam hal terdapat kesulitan di dalam menempuh jalur hukum pidana, maka peran Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) dapat digunakan untuk menggunakan instrumen perdata di dalam menyelamatkan harta hasil korupsi. 149 Tindakan seperti itu pernah dilakukan dalam penanganan kasus korupsi mantan Presiden Soeharto dimana Mahkamah Agung berpendapat Kejaksaan harus menyembuhkan dulu terdakwa, padahal saat itu sulit untuk memulihkan kesehatan orang sudah lanjut (uzur), sehingga diupayakan cara lainnya seperti upaya perdata. Tugas dan wewenang kejaksaan dalam menangani tindak pidana korupsi didasarkan pada ketentuan Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang – Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dengan mengatur “melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan Undang – Undang”. Pengaturan ini sebagai wujud aplikatif teori kewenangan secara 149
Fachmi, 2011, Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia Publishing, Jakarta, hlm. 81
177
atributif
diberikan
kepada
jaksa
oleh
Undang
–
Undang
dalam
memerankan fungsinya sebagai penegak hukum dan badan hukum publik sebagai wakil negara yang berfungsi dalam penegakan hukum di bidang peradilan tindak pidana korupsi. Peran jaksa ini juga sesuai dengan teori fungsi bahwa penegak hukum khususnya jaksa disini menjalankan fungsinya
dalam
menyidik,
menuntut
serta
melaksanakan
putusan
pengadilan / eksekusi putusan hakim agar ada manfaatnya bagi masyarakat luas dalam kaitan ini hasil yang diharapkan dapat berfungsi secara optimial dalam pengembalian kerugian keuangan negara melalui tindakan hukum yang dapat dilakukan seperti mulai merumuskan surat dakwaan yang cermat, jelas dan lengkap, kemudian berubah dalam tuntutan (requisitoir) di persidangan. Ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP mengatur pula hal kewenangan serta fungsi bagi jaksa seperti dimaksud diatas, seperti tersurat dan tersirat “bahwa dalam waktu dua tahun setelah undang – undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang – undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang – undang tertentu sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Lebih lanjut dalam Pasal 284 ayat (2) huruf b (penjelasan) tersurat bahwa yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang – undang tertentu” ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada antara lain pertama :
178
Undang – Undang tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UU No. 7 Drt Tahun 1955). Kedua : Undang – Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 3 Tahun 1971) yang kini sudah dicabut dan diganti. Dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang – undang tertentu akan ditinjau kembali diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Eksistensi tugas, fungsi dan kewenangan kejaksaan tersebut dengan adanya catatan pada penjelasan Pasal 284 ayat (2) huruf b KUHAP, sampai waktu saat ini tidak tergoyahkan atau tetap eksis penerapan dan perlakuannya. Argumentasinya bahwa sejak saat diundangkannya KUHAP hingga terbentuknya KPK dengan Undang – Undang No. 30 tahun 2002 Kejaksaan masih tetap berfungsi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi baik menyidik maupun menuntut tindak pidana korupsi dal am proses
peradilan.
Hal
demikian
membuktikan
pula
fungsi
serta
kewenangan jaksa selaku penyidik dan penuntut serta mengeksekusi putusan hakim
secara atributif diberikan oleh undang
–
undang
kewenangan jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi khususnya melalui peran (fungsi) mendakwa terdakwanya lewat surat dakwaan dan menuntut (merequisitoir) terdakwa dipersidangan merupakan fungsi yang sangat strategis dan menentukan jalannya proses peradilan tindak pidana korupsi.
179
Begitu pula halnya berdasarkan peraturan pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1983 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP, yaitu Pasal 17 menyatakan bahwa “penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang – undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik. Dalam hal dimaksud menurut penulis adalah bgdilakukan oleh penyidik pihak kejaksaan atau jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya, berdasarkan peraturan perundang – undangan. Undang – undang No. 20 Tahun 2001 Jo Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 juga memberikan landasan yang cukup dan pasti bahwa jaksa dan atau kejaksaan sebagai aparat penegak hukum diberikan fungsi dan wewenang dalam menangani seperti menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi. Secara tidak langsung fungsi dan wewenang atributif yang dimiliki jaksa selaku penuntut umum berkewajiban secara moral dan hukum untuk menuntut terdakwa korupsi dengan tuntutan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara bagi koruptor melalui proses sidang dalam tuntutan pidana berupa pembayaran uang pengganti oleh terdakwa korupsi sebagai wujud penerapan Pasal 18 huruf b Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantaran Tindak Pidana Korupsi. Walaupun secara implisit tidak ada keharusan bagi jaksa selak u penuntut umum untuk selalu menyertakan tuntutannya agar menuntut pembayaran uang pengganti bagi setiap terdakwa yang disidangkan dalam kasus korupsi.
180
Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 juga memberi landasan yang cukup kuat bagi jaksa (sebagai bentuk pemberian wewenang atributif oleh UU dalam fungsi menyidik dan menuntut dalam perkara korupsi). Walaupun sebelumnya dinyatakan bahwa Jaksa Agung dapat mengkoordinasikan tindak pidana tertentu yang sulit pembuktiannya. Implementasi dari ketentuan dimaksud, maka pada tahun 2000, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Untuk kategori tindak pidana yang sulit pembuktiannya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) PP diatas antara lain di bidang perbankan, keuangan dan lain – lain dilakukan oleh tersangka atau terdakwa berstatus sebagai penyelenggara negara sebagaimana ditentukan dalam Undang – Undang No. 29 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Koordinasi dan tanggung jawab TGTPK berkoordinasi dengan Jaksa Agung (baca : Jaksa / Kejaksaan). Kejaksaan dalam posisi dan fungsi sebagai penuntut umum dalam proses peradilan pidana menjalankan proses peradilan tahap kedua untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap
berkas perkara (BAP), yang
diajukan oleh penyidik. Kewenangan yang diberikan oleh undang – undang terhadap kejaksaan yaitu untuk mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 14 sub (b) UU No. 8 tahun 1981 yaitu penuntut umum mempunyai wewenang
181
mengadakan tindakan pra penuntutan, apabila dipandang oleh jaksa ada kekurangan pada hasil penyidikan yang diberkas
dalam BAP, dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan hasil penyidikan. Akan berbeda halnya apabila penyidikan dilakukan pihak kejaksaan sendiri dalam tindak pidana korupsi, karena tergolong sebagai tindak pidana khusus maka penyidikannya dilakukan sendiri oleh kejaksaan yang dimulai dari tindakan penyelidikan oleh bidang intelijen Kejaksaan dan apabila sudah ada bukti awal yang cukup maka perkara dilimpahkan ke bidang pidana khusus untuk dilakukan penyidikan, apabila kekurangan alat – alat bukti, maka pihak kejaksaan menemukan dan mencari sendiri bahan untuk menyempurnakannya.
Jaksa
selaku
penuntut
umum
yang
ditunjuk
menangani perkaranya karena tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya berperan untuk menuntaskan hasil penyidikannya. Bila berkas perkara
telah dipandang cukup
memenuhi syarat formil dan materiil
maka berkas perkara dinyatakan lengkap (P-2I), maka proses selanjutnya adalah hasil BAP penyidik sebagai bahan untuk merumuskan / menyusun surat dakwaan . Peran serta keaktifan jaksa selaku penuntut umum dalam proses peradilan pidana dijamin oleh landasan hukum formal secara hukum positif yang berlaku seperti KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Kejaksaan RI yang tertuang dalam UU No. 16 Tahun 2004 .
182
Selain hukum positif Indonesia sebagai ius constitutumnya dalam penegakan hukum di bidang korupsi, juga terdapat ketentuan pengaturan terhadap peran atau fungsi jaksa berdasarkan hasil kongres Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) ke – 8 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap orang yang bersalah di Havana – Cuba pada tanggal 27 Agustus sampai 7 September 1990, salah satu butir kesepakatannya menyatakan bahwa jaksa memiliki peranan sebagai berikut : “Jaksa harus menjalankan peran aktif dalam proses persidangan pidana, termasuk lembaga kejaksaan dan apabila diberi wewenang oleh hukum atau sesuai dengan kebiasaan setempat, dalam menyelidiki kejahatan, pengawasan atas legalitas dari penyelidikan ini, penyelidikan atas pelaksanaan keputusan pengadilan serta pelaksanaan fungsi – fungsi lain sebagai wakil dari kepentingan umum”. Oleh karena itu, kejaksaan berdasarkan Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 memberikan fungsi yang luas yakni kejaksaan selain bertugas sebagai lembaga penuntut, juga sebagai lembaga penyidik (tindak pidana khusus), dan wewenang lain yang diatur oleh undang – undang. Namun fungsi pokok dan wewenang atributif
inti adalah
membuat surat dakwaan dan menuntut terdakwa dalam proses peradilan di persidangan.
4.1.2. Tujuan dan Fungsi Surat Dakwaan Tataran proses tahap pemeriksaan kedua dalam peradilan pidana adalah tahap rangkaian penuntutan oleh kejaksaan. Kejaksaan melalui
183
jaksa karena jabatannya dan atau penutut umum karena fungsinya yang diberikan undang – undang secara kewenangan atributif pada penuntut umum sesuai dengan pengaturan Pasal 14 huruf d dan huruf g KUHAP Penuntut umum mempunyai kewenangan membuat surat dakwaan (huruf d) dan melakukan penuntutan (huruf g) KUHAP lebih lanjut dalam UU No. 16 Tahun 2004 Pasal 30 ayat (1) huruf a, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : “Melakukan penuntutan”, huruf d, menyatakan : melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”. Sesuai fungsi penuntut umum bertugas membuat surat dakwaan. Tujuan adanya surat dakwaan sebagai dasar atau acuan pemeriksaan perkara persidangan. Menurut Leden Marpaung bahwa surat dakwaan sebagai titik sentral dalam perkara pidana. 150 Pada jaman penerapan HIR / RIB surat dakwaan atau surat tuduhan dibuat ketua pengadilan negeri, yang
dirumuskan
dalam
“akte
van
verwijziny”
yakni
akta
yang
menyerahkan perkara ke persidangan dan memuat perbuatan – perbuatan yang dituduhkan. Dalam bahasa Inggris disebut bill of indictment. Jadi surat tuduhan atau acte van verwijzing atau bill of indictment atau surat dakwaan adalah akta yang menjadi dasar bagi pemeriksaan pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung 151 Seperti pendapat doktrin di atas yang mengatakan bahwa tujuan dari adanya surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan perkara pidana, 150
Leden Marpaung, 1992, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 300 151 Ibid
184
maka jaksa penuntut umum dalam menyusun dakwaannya sesuai syarat formal dan materiil dalam hukum acara pidana. Syarat formalnya yaitu harus memenuhi syarat KUHAP dalam Pasal 143 ayat (2) seperti : surat dakwaan harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umu m, berisikan identitas terdakwa yaitu : a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa, sedangkan syarat materiil bahwa surat dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan oleh terdakwa sebagaimana pada huruf b. Sehubungan dengan syarat materiil perlu dinyatakan kembali adanya ketentuan KUHAP Pasal 143 ayat (3) yang tersurat : “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. Dengan persyaratan ketentuan syarat materiil ini terhadap rumusan surat dakwaan, maka penuntut umum diharapkan
ketelitian,
kecermatan,
keprofesionalan
serta
pertanggungjawaban yuridis yang optimal dalam menyusun surat dakwaan. Kekurang
cermatan,
ketidak
jelasan,
serta
kekuranglengkapan
memformulasikan unsur – unsur tindak pidana dalam suatu kasus akan berakibat fatal bagi kelangsungan surat dakwaan tersebut. Terlebih dalam perkara tindak pidana korupsi dengan ciri- ciri khusus seperti kejahatan tergolong luar biasa (extra ordinary crimes) kejahatan terselubung (hidden crimes), kejahatan lintas batas negara (transnational crimes), kejahatan
185
terorganisir (organized crimes), serta kejahatan melibatkan pelakunya lebih dari satu dan bersifat rahasia serta modus operandinya dilakukan secara sistemik. Bagi penuntut umum surat dakwaan yang dibuatnya dalam penanganan kasus korupsi juga disinergikan dengan tindak pidana lain yang terkait serta diatur pula oleh undang – undang secara khusus, seperti dihubungkan dengan tindak pidana pencucian uang, perbankan, cyber crimes, serta pemanfaatan teknologi canggih di bidang informasi dan teknologi. Surat dakwaan dinyatakan sebagai titik sentral dalam perkara pidana dengan memegang peranan yang cukup komplek. Sehingga menurut pendapat Leden Marpaung bahwa surat dakwaan memiliki peranan : 1. Dasar pemeriksaan di sidang pengadilan negeri 2. Dasar tuntutan pidana (requisitoir) 3. Dasar pembelaan terdakwa dan atau pembela 4. Dasar bagi hakim untuk menyatakan putusan 5. Dasar pemeriksaan peradilan selanjutnya (banding, kasasi, PK, bahkan kasasi demi kepentingan hukum). 152 Mengingat begitu pentingnya peranan surat dakwaan dalam proses perkara pidana dihubungkan
sebagai dasar acuan proses peradilan,
apabila
dengan dakwaan terhadap terdakwa dalam kasus tindak
pidana korupsi yang sangat komplek sifat substansi serta sangat rumit
152
Ibid, hlm. 301
186
dalam membedah kasusnya, maka surat dakwaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus disusun dan dirumuskan secara profesional, tidak bisa menyimpang dengan syarat formal dan materiil sep erti diisyaratkan oleh KUHAP, juga penuntut umum dituntut kemampuan profesi yang andal dan berpengalaman dalam menangani kasus – kasus korupsi sebelumnya.
Keharusan
akan
kecermatan
dan
ketelitian
untuk
memformulasikan surat dakwaan dengan memperhatikan teknis pembuatan surat dakwaan seperti memasang dakwaan alternatif, berlapis , komulatif dengan
memasang
pasal
dakwaan
lebih
dari
satu
pasal
atau
menghubungkan dengan pasal lain dalam satu undang – undang atau undang – undang terkait lainnya. Dengan maksud surat dakwaan agar tetap dapat dibuktikan dipersidangan. Disamping itu dibebankan pula pada penuntut
umum
sejak
awal
merumuskan
surat
dakwaan
dapat
mengakomodir esensi dan jenis pidana yang mesti dipasang dalam dakwaan baik berupa jenis pidana pokok dan pidana tambahan untuk didakwakan tersurat dan tersirat tersusun dalam surat dakwaan seperti misalnya esensi pidana penjara, pidana mati, pidana denda sebagai pidana pokok seperti terumus dalam Pasal 10 KUHP, dan pidana tambahan yang mesti
dibebankan
kepada
terdakwa
khususnya
koruptor
terkait
pengembalian kerugian keuangan negara, sejak awal dan sedini mungkin dipikirkan, dituangkan ide dan aplikatif fungsinya selaku penutut umum dalam formulasi dakwaannya untuk terdakwa korupsi.
187
Langkah awal tindakan hukum bagi penuntut umum selaku pengemban fungsi penuntut perkara (korupsi) adalah melalui bentuk dokumen hukum tertulis surat dakwaan. Karena surat dakwaan bagi jaksa merupakan senjata ampuh dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum untuk memerangi kejahatan. Khususnya dalam tindak pidana korupsi kelemahan surat dakwaan akan berdampak terhadap
proses
peradilan berikutnya seperti ketika bebasnya terdakwa sebagai ulah kekurang telitian jaksa penuntut umum memformulasi surat dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa . Dalam praktek peradilan sering muncul putusan hakim yang alternatif yaitu terdakwanya dibebaskan dari dakwaan (vrijspraak), terdakwanya lepas dari tuntutan (ontslaag van alle rechts vervolging) atau terdakwanya
dipidana ringan (veroordeling), karena
pasal yang didakwakan kurang tepat (tidak current) atau sebelum proses sidang berlanjut dakwaannya dinyatakan tidak dapat diterima atau dakwaan kabur (obscuurlibel) sehingga menyebabkan batal demi hukum.
4.1.3. Bentuk – Bentuk Surat Dakwaan Menurut bentuknya surat dakwaan dapat disusun seperti bentuk – bentuk sebagai berikut : a. Surat dakwaan tunggal b. Surat dakwaan kumulatif (bersusun) c. Surat dakwaan alternatif (pilihan) d. Surat dakwaan primair / subsidair (berlapis)
188
e. Surat dakwaan kombinasi. 153 Dari bentuk – bentuk surat dakwaan yang ada menurut teori hukum acara pidana, dapat diuraikan secara garis besar masing-masing seperti berikut : a. Surat Dakwaan Tunggal Surat dakwaan ini dibuat jika penuntut umum yakin atas perbuatan seorang terdakwa atau beberapa orang terdakwa hanya melakukan satu jenis atau satu macam perbuatan
pidana sehingga
penuntut umum hanya memasang dakwaan pasal satu buah saja. b. Surat dakwaan kumulatif Surat dakwaan ini dibuat apabila tindak pidana yang akan didakwakan pada terdakwa dengan satu perbuatan dapat melanggar beberapa perbuatan pidana , dalam dakwaan kumulatif surat dakwaan itu memuat beberapa dakwaan, tergantung pada banyaknya kejahatan /pelanggaran yang dilakukan terdakwa ( dalam hal ini dapat terjadi penggabungan perbuatan pidana dan ditambah dengan pemb eratannya). c. Surat dakwaan alternatif Surat dakwaan ini dibuat dimana dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum ada dua surat dakwaan, namun antara rumusan surat dakwaan yang satu dengan surat dakwaan yang satu kwalifikasi deliknya tidak sejenis malahan saling mengecualikan . Biasanya bentuk surat dakwaan alternatif disusun oleh Jaksa Penuntut Umum karena ada
153
Ibid, hlm. 328
189
keragu – raguan dakwaan mana yang paling tepat didakwakan terhadap terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukannya. d. Surat dakwaan Primair / Subsidair Dalam surat dakwaan Primair / Subsidair disusun oleh jaksa penuntut umum pada saat merumuskan masih ragu- ragu perbuatan mana yang paling tepat didakwakan kepada terdakwa , untuk menjaring terdakwa agar tidak lepas dari pertanggungjawaban atas perbuatannya maka penuntut umum menyusun surat dakwaannya dalam bentuk subsidair atau
dakwaan pengganti namun diantara perbuatan yang
didakwakan diadakan suatu urutan dari dakwaan yang ancaman pidananya paling terberat sampai kepada ancaman pidana yang paling ringan . Bilamana dakwaan primair sudah terbukti maka dakwaan selanjutnya tidak perlu dibuktikan lagi, tetapi yang dipermasalahkan adalah kualifikasi dari tindak pidana yang akan didakwakan, apakah tindak pidana tersebut termasuk kualifikasi berat atau kualifikasi ringan. Maka dakwaan disusun dalam urutan primer, subsidair dan lebih subsidair dan seterusnya. e. Surat dakwaan kombinasi Bentuk dakwaan kombinasi ini berkembang dalam praktek yang merupakan gabungan bentuk surat dakwaan komulatif dengan alternatif atau gabungan bentuk dakwaan komulatif dengan subsidair. Bentuk ini
190
disusun atau dibuat untuk menghindari bebas atau lepasnya terdakwa dari dakwaan. 154 Mencermati adanya bentuk – bentuk surat dakwaan seperti terurai diatas, maka jaksa selaku penuntut umum dalam kasus tindak pidana korupsi khususnya dalam memasang dan memilih bentuk dakwaan yang mesti dipasang guna mendakwa terdakwa korupsi harus jeli, teliti, cermat, jelas dan lengkap serta profesional agar tidak gampang dakwaannya lepas, bebas, atau batal demi hukum. Karena secara prinsip bahwa penutut umum memikul beban tanggung jawab negara untuk selalu dapat membuktikan kesalahan terdakwa melalui dakwaannya dipersidangan. Unsur syarat materiil pembuatan surat dakwaan benar – benar memenuhi syarat, seperti cermat, jelas dan lengkap dengan memuat waktu dan tempat
(tempus
delicty dan locus delicti) yang jelas dan tepat. Bentuk dakwaan untuk terdakwa tindak pidana korupsi menurut penulis paling tepat memakai bentuk dakwaan kombinasi atau bentuk gabungan dari jenis atau bentuk dakwaan yang ada lainnya, guna terhindar dari bebas atau lepasnya terdakwa dari putusan hakim, atau pula menghindari lemahnya dakwaan yang akan berkaitan
dengan lemahnya
putusan hakim yang akan diberikan oleh hakim kepada terdakwanya, apalagi bagi pelaku atau terdakwa tindak pidana korupsi. Bersinergi pu la dengan aspek pidana bagi
koruptor sesuai dengan teori pemidanaan,
bahwa bagi koruptor perlu dipidana setimpal dengan perbuatannya yang 154
Hari Sasongko, Tjuk Suharjanto, 1988, Penuntutan dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hlm. 103 – 107
191
sudah dipandang sangat merugikan keuangan negara, dengan fenomena seperti itu bagi penuntut umum sejak awal dakwaan sebagai tindakan hukum proses penegakan hukum awal fungsinya perlu mendakwa secara maksimal agar pula terdakwa bisa atau dapat terjaring dengan jenis pidana pokok ganda dan jenis pidana tambahan seperti pengembalian kerugian keuangan negara yang telah sempat dikorup. Fungsi penuntut umum ini selaku wakil negara agar berperan optimal berfungsi mengembalikan aset negara atas kerugian ulah koruptor. Sejalan dengan teori fungsional bahwa penuntut umum berperan aktif serta bermanfaat bagi negara melalui fungsi serta wewenang yang dimiliki dalam menuntut setiap orang ya ng diduga melakukan suatu tindak pidana (asas legalitas formal), hal ini sebagai wujud wewenang atributif yang diberikan oleh Undang – Undang Kejaksaan RI serta KUHAP kepada jaksa selaku penutut umum dalam proses peradilan korupsi, sesuai dengan peran dan tugasnya menurut sistem peradilan pidana Indonesia bahwa jaksa selaku penutut umum sebagai penegak hukum dan sub unsur struktur peradilan pidana.
4.2. Tindakan Hukum Oleh Penuntut Umum Melalui Surat Tuntutan (Requisitoir) Dalam Proses Peradilan Tindak Pidana Korupsi 4.2.1. Maksud Surat Tuntutan (Requisitoir) Dalam proses persidangan setelah selesai tahap pembuktian tiba giliran penuntut umum untuk menyampaikan hasil pengamatan dan penilaian terhadap jalannya proses pembuktian selama persidangan
192
berlangsung. Boleh dibilang merupakan hasil kesimpulan penuntut umum terhadap proses sidang sejak dibacakannya surat dakwaan. Berlanjut dengan pemeriksaan saksi – saksi dan barang bukti atau alat bukti serta pemeriksaan terdakwa melalui keterangan yang diberikannya dalam persidangan. Maksud surat tuntutan yang disampaikan oleh penuntut umum adalah sebagai kehendak agar terdakwanya diberikan sanksi oleh hakim atas perbuatan yang telah ia dilakukan sesuai dengan fakta – fakta hukum yang terungkap dalam pembuktian. Sanksi yang dimaksud sesuai dengan rumusan delik atas pasal yang didakwakan dalam surat dakwaan. Secara teoritis bahwa penuntut umum dalam melakukan penuntutan ini sebagai wujud implementasi praktek penerapan asas legalitas yang mewajibkan penuntut umum melakukan dakwaan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana, asas ini merupakan penjelmaan dari asas equality berfore the law. 155 Kalau dihubungkan dengan KUHAP asas legalitas formal ini tertuang dalam Pasal 137 seperti dirumuskan “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili”. Dalam surat tuntutan penuntut umum ini akan memuat secara runtun dan terakomulasi hal – hal secara garis besar seperti : 155
Martiman, Prodjohamidjojo, 1984, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 18
193
1. Pendahuluan, sebagai materi pengantar atau pembuka atas kasus yang telah berjalan sebelumnya sesuai penetapan majelis hakim. Kemudian disertai pemuatan identitas
terdakwaannya / para terdakwanya,
diulangi pula dengan dakwaan seperti sebelumnya. 2. Uraian fakta – fakta hukum, dengan memuat keterangan para saksi, keterangan terdakwa, petunjuk – petunjuk. 3. Analisa terhadap fakta – fakta hukum, disini diuraikan proses kasus menyangkut locus delicti, tempus delicti (tempat dan waktu) kejadian perkara, pelakunya berapa orang, akibat perbuatan pelaku, korbannya, hasil kejahatannya, kondisi korban serta dampak perbuatan terhadap pihak lain. 4. Analisa hukum atau uraian yuridis, memuat unsur – unsur tindak pidana
yang
didakwakan
dihubungkan
dengan
fakta
–
fakta
dipersidangan sesuai dakwaan yang dipasangnya. 5. Isi tuntutan, memuat uraian perbuatan yang didakwakan disertai permohonan agar terdakwa dipidana / diberi sanksi oleh hakim sesuai keinginan penutut umum, juga disertai agar barang bukti dikembal ikan pada yang berhak, penetapan terdakwa membayar biaya perkara, status penahanan terdakwa.
194
4.2.2. Maksud dan Isi Surat Tuntutan Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Korupsi Adapun maksud surat tuntutan penuntut umum pada umumnya adalah merupakan cerminan hasil kesimpulan atau resume hasil sidang – sidang atau proses pembuktian dari awal sidang sejak pembacaan surat dakwaan hingga berakhir pemeriksaan saksi- saksi ditambah barang – barang bukti serta keterangan terdakwa. Kemudian penuntut umum pada akhir persidangan menyimpulkan berdasarkan alat bukti yang diperoleh di depan persidangan baik keterangan para saksi, surat, keterangan terdakwa dan fakta – fakta hukum yang terungkap selama proses pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dengan tujuan akhir permohonan atau permintaan penjatuhan sanksi berupa pemidanaan sesuai dengan perbuatan pelaku yang terumus dalam surat dakwaan dan surat tuntutan pidana. Permohonan sanksi berupa pidana sesuai acuan sebagai pedoman seperti termuat dalam KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana), yakni Pasal 10 KUHP berupa jenis pidana dan / atau pidana tambahan. Dalam Pasal 10 KUHP, pidana terdiri atas : a. Pidana Pokok 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Denda b. Pidana Tambahan 1. Pencabutan hak – hak tertentu 2. Perampasan barang – barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim. 156 156
Meoljatno, 1978, KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana), UGM, Yogyakarta, hlm. 35
195
Penuntut umum dalam menyusun tuntutan pidana bagi koruptor yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi pertama jelas akan berpedoman pada aturan jenis pidana yang ada dalam Pasal 10 KUHP, berupa memasang tuntutan pidana pokok, apakah pidana mati, penjara, kurungan atau denda. Dapat pula penuntut umum menuntut satu atau lebih jenis pidana pokok sekaligus ditambah pula jenis pidana tambahan lainnya. Karena tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus, dan dalam praktek peradilan sudah terbiasa terdakwa korupsi dituntut dua jenis secara akumulasi pidana pokok ditambah pidana tambahan. Pengaturan pidana pokok dalam KUHP seperti tersurat melalui Pasal 10 setelah tahun 1946 dengan Undang – Undang No. 20 tahun 1994 mengalami perkembangan. Adanya penyisipan ketentuan pidana pokok baru berupa pidana tutupan. Jenis pidana tutupan diberikan kepada seseorang pelaku kejahatan dengan motivasi yang perlu dihormati seperti pelaku kejahatan dengan motivasi yang perlu dihormati, seperti pelaku kejahatan politik. Pidana tutupan ini merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana penjara. 157 Terhadap jenis pidana tambahan berupa perampasan barang – barang tertentu, mengandung implikasi bahwa yang dimaksud perampasan dalam arti lebih luas termasuk akan tindakan penyitaan terhadap alat atau barang yang dilakukan pelaku tindak pidana, juga barang sebagai hasil dari tindak pidana termasuk seperti barang hasil yang diperoleh atau patut 157
Eddy O.S., Hiariej, 2014, Prinsip – Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pusaka, Jakarta, hlm. 406
196
diduga ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi. Juga pengertian perampasan dalam arti penyitaan terhadap obyek yang berhubungan dengan tidak pidana seperti dalam tidak pidana korupsi aset – aset terdakwa berada pada pihak ketiga. Rumusan
delik
dalam
UU
No.
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur tentang alternatif jenis pidana bagi terdakwa korupsi dapat dijatuhkan oleh hakim seperti terurai mulai Pasal 2 sampai Pasal 19. Acuan ketentuan ini dapat dipakai pedoman dan rujukan bagi penuntut umum untuk memformulasikan dalam menyusun atau memasang surat tuntutan bagi terdakwa tindak pidana korupsi. Kalau dicermati rangkaian ketentuan jenis pidana dalam tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 sampai Pasal 19 UU No. 31 Tahun 1999 diatas jenis pidana yang dipasang terutama jenis pidana pokoknya sama dengan pengaturan Pasal 10 KUHP. Hanya ada perbedaan ketentuan lebih progresif dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi mengatur tentang pidana tambahan, yang secara khusus mengatur seperti tersurat dalam Pasal 18, sebagai berikut : (1) Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitupun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut. b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak banyaknya dengan harga benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
197
c. Penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak – hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. Mencermati dan mengkaji jenis pidana tambahan yang tersurat dan tersirat dalam Pasal 18 huruf b UU No. 31 Tahun 1999 tersebut diatas, maka terbuka peluang bagi penuntut umum dalam menuntut terdakwa korupsi
melalui
surat
tuntutannya
dipersidangan
untuk
dapat
mengembalikan kerugian keuangan negara oleh terdakwa korupsi. Melalui surat tuntutan tersebut kelihatan fungsi dan wewenang penuntut umum sebagai penegak hukum fublik dan wakil pemerintah dapat memerankan fungsinya secara legal dan optimal dijamin oleh undang - undang, memperjuangkan kepentingan masyarakat luas guna pulihnya aset negara yang sempat dinikmati perorangan atau kelompok melalui tindakan korupsi yang jelas – jelas sangat merugikan keuangan atau perekonomian bangsa dan negara. Mengingat dampak kerugian yang dialami dan dirasakan negara serta masyarakat dari korupsi tersebut, penuntut umum secara optimal dijamin oleh undang – undang sebagai wujud aplikasi kewenangan atributif untuk menuntut pembayaran uang pengganti kerugian negara dari setiap kasus korupsi sesuai dengan besarnya kerugian negara yang ditimbulkan. Pasal 18 huruf b UU No. 31 Tahun 1999 sebagai dasar pijakan yuridis – ekonomis guna menyelematkan aset negara. Penuntut umum demi keadilan dan kemanfaatan kesejahteraan masyarakat luas
198
karena fungsinya sebagai aparat penegak hukum dan badan hukum publik dapat memanfaatkan forum kesempatan menuntut setiap terdakwa tindak pidana korupsi dengan pidana pokok tunggal atau komulatif disertai tuntutan jenis pidana tambahan salah satunya adalah berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Tindakan hukum penuntut umum ini legal, formal serta mengandung makna dan misi suci guna kemanfaatan masyarakat luas sesuai esensi teori fungsional / teori fungsi yang ada dalam tataran teori hukum. Sejalan dengan makna dan esensi teori pemidanaan absolut bahwa intinya adalah pembalasan maka bagi terdakwa korupsi ajaran teori pembalasan absolut atau mutlak perlu diterapkan dan dituntut pada terdakwa korupsi. Karena terdakwa tindak pidana korupsi perlu terapi efek penjeraan berupa pidana setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan dari dampak korupsi tersebut sehingga dari esensi teori keadilan distributif Aristoeles adalah tepat pula diberikan imbalan sanksi berat bagi terdakwa korupsi. Juga pandangan John Rawls tentang keadilan memandang perlu pendistribusian hak dan kewajiban secara merata. Dalam hubungan tindak pidana korupsi bagi terdakwa diberi kewajiban tanggung jawab atas perbuatan yang ia telah lakukan. Bagi jaksa penuntut umum diberi hak menjalankan fungsi wewenangnya salah satunya menuntut terdakwa tindak pidana korupsi berupa jenis pidana pokok yang pantas dan wajar disertai jenis pidana tambahan dalam tuntutannya berupa pengembalian kerugian
199
keuangan negara sesuai Pasal 18 huruf b UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Esensi ajaran teori hukum pembuktian bahwa yang dianut dalam proses peradilan pidana adalah teori hukum pembuktian negatif wettelijke beweijs theori (pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif). Dianutnya sistem pembuktian negatif ini adalah sebagai konsekuensi logis senada dengan tujuan hukum acara pidana bahwa dalam proses peradilan bertujuan mencari dan menemukan kebenaran materiil. Maka fungsi penuntut
umum
sebagai
penegak
hukum
berkewajiban
pula
ikut
menegakkan kebenaran. Melalui tuntutannya secara profesional dan proforsional menggali fakta – fakta selama proses pembuktian. Kemudian dijadikan dasar tuntutan menuntut terdakwa dalam pembuktian dicari kebenaran
alat
–
alat
bukti
serta
memenuhi
persyaratan
bukti
minimumnya. Sehingga nanti hakim dalam memutus terdakwanya sesuai dengan syarat bukti minimum sesuai harapan ketentuan Pasal 183 KUHAP dengan dasar berpedoman pada alat bukti yang diakui sah menurut undang – undang, sehingga hakim yakin akan kesalahan yang didakwakan oleh penuntut umum. Antara surat dakwaan dengan surat tuntutan begitu pula dengan putusan hakim mesti adanya kesinkronan pandangan, sehingga tercipta putusan hakim yang berkeadilan substantif.
200
4.3.
Tindakan Hukum Penuntut Umum Melalui Pengajuan Upaya Hukum Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi
4.3.1. Pengajuan Upaya Hukum Biasa (Banding dan / atau Kasasi) Penuntut umum apabila tidak puas atas putusan hakim dalam perkara korupsi dapat pula menempuh keberatan melalui jalur hukum dalam proses lebih lanjut. Upaya hukum yang tersedia berupa upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa mulai dari banding seperti diatur dalam Pasal 67 Jo Pasal 233 KUHAP. Dan upaya hukum kasasi diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Pada intinya kedua pasal diatas memberikan hak pada penuntut umum untuk mengajukan upaya hukum bila keberatan atau tidak puas atau tidak menerima putusan hakim terhadap terdakwanya yang didakwa dan dituntut atas kasus yang ditanganinya Keberatan akan putusan hakim atas vonis terdakwa, penuntut umum diberikan kewenangan atributif oleh undang – undang seperti KUHAP dan Undang – Undang Kejaksanaan dalam menjalankan fungsinya sebagai aparat penegak hukum. Disamping menjalankan fungsi penegak hukum, juga mengemban fungsi selaku wakil negara guna memperjuangkan kepentingan masyarakat luas dalam wujud kongkrit berupa pemulihan aset negara dari koruptor guna kepentingan kesejahteraan masyarakat. Teori fungsional bersinergi dengan teori kewenangan bagi penuntut umum dalam menuntut kembalinya kerugian keuangan negara melalui sarana
201
tindakan hukum menempuh jalur proses hukum berupa upaya hukum biasa seperti banding dan kasasi.
4.3.2. Pengajuan
Upaya
Hukum
Luar
Biasa
(Kasasi
Demi
Kepentingan Hukum) Jaksa dan atau penuntut umum karena merupakan kesatuan yang tidak
terpisahkan
dengan
eksistensi
Jaksa
Agung,
dalam
upaya
pengembalian atau pemulihan aset kerugian negara dari terpidana korupsi masih ada peluang lain yang dapat dilakukan oleh kejaksaan berupa menempuh upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum seperti diatur dalam Pasal 259 KUHAP yakni : (1) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung. (2) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. Mengkritisi keberadaan Pasal 259 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut bahwa karena kejaksaan merupakan satu kesatuan dengan Jaksa Agung yang ada didalamnya, maka upaya hukum luar biasa ini merupakan peluang bagi institusi kejaksaan untuk diberdayakan ketika ada putusan pengadilan menyangkut tindak pidana korupsi yang tidak mencerminkan keadilan dan merugikan masyarakat luas seperti negara sangat dirugikan
202
dan putusan hakim tidak disertai pemulihan ganti rugi atau kewajiban terpidana tanpa disertai pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Berkembang dalam praktek atau antisipatif
ke depan
ketika putusan hakim hanya menjatuhkan pidana pokok ganti rugi tanpa jenis pidana pokok lainnya, namun ketika penuntut umum akan mengeksekusi putusan
hakim ternyata
aset – aset terpidananya sudah
habis atau terlebih dahulu telah dicuci atau telah dialihkan atau berpindah tangan pada pihak lain. Pengaturan
fenomena
seperti
itu
belum
ada
diatur
dalam
perundang-undangan pidana Indonesia baik dalam KUHAP, UU Kejaksaan maupun dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi. Secara teori keilmuan hukum terjadi kekosongan terhadap fenomena dan substansi seperti dimaksud. Kewenangan kejaksaan untuk dapat mengajukan kasasi demi kepentingan hukum (baca Jaksa Agung) dijamin pula oleh pengaturan Pasal 35 huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI seperti tersurat “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara”. Maka dalam hubungan dengan tindak pidana korupsi apabila negara sangat dirugikan terbukti dari pemeriksaan dipersidangan melalui proses panjang pembuktian maka wewenang atributif yang dimiliki oleh kejaksaan c/q Jaksa Agung c/q Penuntut Umum
sebagai lembaga
203
pemerintah wakil negara atas kepentingan kesejahteraan rakyatnya menurut analisis dan perspektif sosio – yuridis ekonomis layak dan tepat dalam pemulihan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana k orupsi dari
terpidananya,
lembaga
kejaksaan
melalui
penuntut
umum
memforsikan kewenangan menempuh jalur upaya hukum luar biasa berupa pengajuan kasasi demi kepentingan hukum. Karena negara, rakyat atau masyarakat penuntut umum berkepentingan untuk itu. Sesuai rumusan Pasal 259 ayat (2) KUHAP tanpa penjelasan siapa yang dimaksud pihak yang berkepentingan yang tidak boleh dirugikan. Pengaturan ayat (2) tersebut mengandung kekaburan norma, sehingga dapat diinterpretasikan Jaksa Agung atau Kejaksaan atau penuntut umum pun berkepentingan untuk pengajuan upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum, keadilan dan kemanfaatan sebagai pencari keadilan.
4.4. Tindakan Hukum Penuntut Umum Melalui Jaksa Sebagai Pengacara Negara Guna pemulihan kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi, jaksa selaku badan pemerintah sekalipun institusi hukum publik, namun terhadap perkara korupsi guna pemulihan aset negara dapat pula ditempuh melalui cara diluar pidana, berupa menempuh jalur perdata, dalam perkembangan praktek peradilan korupsi tidak sedikit penuntut umum telah berupaya keras memulihkan dan mengembalikan aset negara dari para koruptor. Karena ada dasar dan landasan hukum yang formal dan
204
kuat seperti diatur dalam Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, tersurat : “Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Bahasa praktek sebutan wakil negara atau pemerintah dalam hal ini diwakili oleh jaksa dalam menggugat aset koruptor diberi sebutan Jaksa Pengacara Negara.
158
Dalam proses perdata beban pembuktian merupakan
kewajiban penggugat. Beban pembuktian ada pada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan sebagai penggugat. Dalam hubungan ini penggugat berkewajiban membuktikan antara lain : a. Bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara b. Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka, terdakwa, atau terpidana dan c. Adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara 159
Sebagai akibat dari segala resiko dan hambatannya jaksa sebagai pengacara
negara
tidak
mesti
berkecil
hati
atau
pesimis
dalam
memperjuangkan kepentingan publik. Walaupun ada kendala sebagai hambatan proses seperti penanganan kasus secara perdata memakan waktu dan proses yang panjang, terkadang menunggu putusan hakim hingga memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van geveijsde). Hambatan lain secara keilmuan hukum bahwa beracara perdata dalam gugatan perkara korupsi tunduk pada prosedural hukum acara perdata umum (biasa), 158
Muhammad Yusuf, 2013, Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Penerbit Kompas, Media Nusantara, Jakarta, hlm. 8 159 Ibid
205
dengan mengacu asas pembuktian formal. Korupsi memakai pembuktian materiil. Dalam tindak pidana korupsi khususnya disamping penuntut umum wajib membuktikan kesalahan terdakwa, terdakwa juga dibebani pembuktian untuk menerangkan asal – usul perolehan harta kekayaannya. Tidak jarang terdakwanya berusaha mencarikan dasar pembenar akan asal usul harta benda yang diperoleh bukan karena korupsi. Beban pembuktian pada terdakwa korupsi ini disebut “Pembuktian terbalik terbatas”. Namun bagi penuntut umum masih tetap harus membuktikan melalui dakwaan berlanjut berimbas pada tuntutan (requisitoir) bahwa terdakwa
telah
melakukan
perbuatan
seperti
awal
dakwaan
yang
diformulasikannya.
4.5.
Tindakan
Hukum
Penuntut
Umum
Dengan
Melakukan
Perampasan Barang – Barang Tertentu / Tindakan Penyitaan 4.5.1. Makna Perampasan Barang / Penyitaan Penuntut Umum dipandang perlu dan penting memperhatikan salah satu jenis pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 10 KUHP angka 2 berupa “perampasan barang – barang tertentu”. Dalam surat tuntutannya sangat urgen untuk disertakan apabila akan menuntut berupa pengembalian aset terdakwa koruptor. Kata “perampasan” jangan diartikan sempit, yang selama ini sering diartikan diambil alih dan dikuasai guna diperuntukkan oleh negara.
206
Perampasan dalam hubungan jenis pidana tambahan yang sampai kini masih eksis dan tetap diakui serta dipraktekkan dal am dunia peradilan. Perampasan lebih diartikan akan tindakan dalam arti tindakan bagi jaksa selaku penyidik tindak pidana khusus salah satunya dalam tindak pidana korupsi memiliki wewenang yang sah untuk melakukan tindakan hukum berupa penyitaan terhadap barang – barang milik terdakwa atau barang – barang yang diduga baik langsung maupun tidak langsung terkait dengan tindak pidana korupsi. Jaksa selaku penyidik dan penuntut dalam tindak pidana korupsi berdasarkan KUHAP dan Undang – Undang No. 16 Tahun 2004 memiliki kewenangan atributif diberikan Undang – Undang dalam melakukan tindakan upaya paksa salah satunya penyitaan.
Dalam konteks teori secara umum perampasan terhadap barang – barang tertentu adalah sebagai berikut : Pertama, perampasan dalam pengertian penyitaan terhadap barang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana atau instumentum sceleris. Kedua, perampasan dalam pengertian penyitaan terhadap obyek yang berhubungan dengan perbuatan pidana atau objectum sceleris. Sedangkan yang ketiga, adalah perampasan dalam pengertian penyitaan terhadap hasil perbuatan pidana atau fructum sceleris. 160 Bagi Indonesia terhadap ketiga jenis perampasan ini perlu diartikan sebagai tindakan penyitaan terhadap barang – barang milik terdakwa guna kepentingan negara atau masyarakat luas. Sehingga bagi jaksa selaku penuntut umum dan selaku penyidik dalam perkara tindak pidana dalam tuntutannya disamping berorientasi kepada jenis pidana tambahan seperti 160
Eddy O.S, Hiariej. Op Cit, hlm. 403
207
diatur dalam Pasal 10 KUHP huruf b angka 2 juga berkaitan dengan kemungkinan bagi penuntut umum melaksanakan amanat pengaturan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a yang pada intinya untuk dapat melakukan perampasan terhadap barang berwujud atau tak berwujud, barang bergerak atau tak bergerak yang digunakan atau sebagai has il dari tindak pidana korupsi, dalam arti secara interpretasi gramatikal kata perampasan disamakan artinya dengan penyitaan (dalam arti luas). Maka wewenang atributif penuntut umum dan selaku penyidik dalam tindak pidana korupsi bagi institusi kejaksaan atau jaksa dalam melakukan tindakan upaya paksa berupa penyitaan terhadap hasil kejahatan dari para koruptor adalah tepat, wajar dan legal demi kemanfaatan kesejahteraan masyarakat luas sesuai esensi dan makna teori fungsi, agar tindakan hukum oleh penegak
hukum berguna bagi
masyarakat luas, khususnya kerugian keuangan negara yang dikuasai terdakwa atau terpidana korupsi dapat kembali kepangkuan negara atau warga masyarakat untuk kepentingan pembangunan sosial ekonomi bangsa.
4.5.2. Maksud dan Tujuan Perampasan Barang / Penyitaan Tindakan hukum berupa perampasan barang – barang tertentu atau tindakan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa selaku penuntut umum dalam tindak pidana korupsi bermaksud untuk mengambil alih barang – barang milik terdakwa dalam penguasaan penyidik dalam kurun sementara
208
waktu. Waktu sementara dalam arti selama keperluan pembuktian di persidangan. Setelah selesai proses pembuktian atau persidangan bila barang – barang tidak terpakai lagi atau tidak ada hubungan dengan kasus yang terjadi barang – barang tersebut, dikembalikan pada pemiliknya atau pada pihak
yang paling berhak. Bahkan barang
– barang yang
membahayakan dimusnahkan oleh negara. Menurut Pasal 38 ayat (1) KUHAP tindakan penyitaan oleh penyidik diisyaratkan dengan surat ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Namun dalam perkara tindak pidana korupsi seperti diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa ijin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya. Ketentuan pengaturan penyimpangan dan sifatnya khusus tersebut dengan maksud agar proses penanganan perkara korupsi berlangsung cepat, efisien serta birokratisasinya tidak panjang, sehingga tidak menghambat proses perkara selanjutnya. Adapun sebagai tujuan yang penting dari tindakan perampasan barang – barang milik atau yang berada dibawah penguasaan terdakwa / pihak lain dalam kasus korupsi atau tindakan yang dilakukan penyidik secara bahasa praktek kongkritnya disebut tindakan penyitaan, dengan tujuan seperti : 1. Guna kepentingan proses hukum barang – barang tersebut dipakai alat bukti dalam proses pembuktian di persidangan
209
2. Guna melengkapi atau menunjang jenis barang / alat bukti lainnya untuk menghindari esensi makna asas unus testis mullus testis 3. Agar barang – barang bukti tidak berpindah tangan pada pihak lain atau orang lain 4. Agar barang – barang (terutama aset dari korupsi) tidak dicuci, sehingga penyidik sulit melakukan penemuan atau pelacakannya 5. Agar barang – barang bukti yang dapat dijadikan alat bukti dalam proses hukum tidak dimusnahkan / dihilangkan 6. Agar nantinya setelah perkaranya diputus, penuntut umum mudah melakukan eksekusi, dapat atau berhasil mengeksekusi barang – barang milik terpidana sehingga aset negara diselamatkan 7. Dengan berhasilnya jaksa mengeksekusi barang – barang milik terpidana, negara tidak akan rugi, putusan hakim dapat dijalankan sesuai dengan amar putusannya oleh jaksa, sehingga pengembalian kerugian keuangan negera dapat masuk pada kas negara untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat luas.
4.6.
Koordinasi Kinerja Penuntut Umum Dengan Institusi Terkait Dalam
Penanganan
Penghitungan
Untuk
Pengembalian
Kerugian Keuangan Negara Terhadap Aset Koruptor 4.6.1. Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sesuai pengaturan tugas, wewenang dan kewajiban KPK yang diatur dalam Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tersurat bahwa KPK mempunyai tugas :
210
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi d. Dan e... dan seterusnya
Mencermati tugas KPK pada huruf a bertugas untuk koordinasi dengan instansi yang berwenang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, instansi berwenang disini terkait dengan tugas dan wewenang serta fungsi jaksa penuntut umum dalam melakukan fungsi penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Khusus lebih terfokus lagi dalam rangka menuntut besar kecilnya jumlah kerugian keuangan negara yang dikorupsi terdakwa untuk dituntut di depan proses persidangan. Terkait dengan tugas KPK di bidang pengembalian kerugian keuangan negara oleh koruptor bersinergi dengan kepentingan tugas kejaksaan selaku penuntut umum dalam kasus tindak pidana secara lebih teknis KPK diberikan wewenang secara atributif oleh UU KPK seperti tersurat dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c bahwa “KPK berwenang meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa”, lebih lanjut dalam Pasal 12 ayat (1) huruf f diatur pula bahwa KPK berwenang meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait. Hasil kinerja KPK terkait dengan tugasnya seperti diemban dalam Pasal 6 UU No. 30 tahun 2002 tersebut diatas, menyangkut penelusuran
211
aset tersangka / terdakwa tindak pidana korupsi akan diberikan kepada jaksa penuntut umum sebagai dasar tuntutan pidana dalam tindak pidana korupsi akan sangat bermanfaat bagi penuntut umum dan hakim dalam proses persidangan perkara tindak pidana korupsi. Bagi jaksa jumlah kerugian keuangan negara akan dituntut dalam formulasi surat tuntutan (requisitoir). Bagi hakim dengan adanya ketentuan jumlah kerugian yang ditetapkan dalam tuntutan akan menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan jenis pidana pokok berupa ganti rugi dan / atau jenis pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara yang mesti dipenuhi oleh terpidana korupsi. Lembaga kejaksaan dalam tugas penyidikan dan penuntutan tindak pidana
korupsi
melibatkan
peran
serta
KPK
seperti
tugas
dan
wewenangnya dalam menghitung dan memburu aset – aset koruptor adalah merupakan wujud implementasi UU KPK yang dalam penjelasan umum angka 1 disebutkan KPK dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “ counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Adanya kebersamaan yang dibangun antara kejaksaan denga KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi seperti diatas merupakan bentuk kongkret
bahwa
penegak
hukum
dalam
hal
ini
kejaksaan
telah
menjalankan prinsip keilmuan hukum acara pidana dan sistem peradilan pidana bahwa dalam penanganan kejahatan tidak dapat dilakukan sendiri
212
tanpa keterkaitan diantara penegak hukum lain bersama – sama dalam proses penegakan hukum secara terpadu (integrated criminal justice system). Disamping ditangani lintas antar penegak hukum yang ada, juga dengan institusi atau kelembagaan non yudisial yang sifatnya independen seperti diantaranya KPK tersebut.
4.6.2. Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diatur atau dimuat dalam Undang – Undang Dasar Negara RI Tahun 1995 Bab : VIII A Pasal 23E menyebutkan
kewenangannya
secara
atributif
pengaturan
legalitas
konstitusional mengatur bahwa : 1. Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri 2. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai kewenangannya 3. Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan / atau badan sesuai dengan Undang – Undang
Lebih lanjut pengaturan UU No. 15 Tahun 2004
tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Pasal 13 dan Pasal 14 menyebutkan “Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara (daerah) dan atau unsur pidana dan apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera meleporkannya hal tersebut kepada instansi yang berwenang secara rinci ketiga unsur disebutkan sebagai berikut :
213
1. Pemeriksa
dapat
melaksanakan
pemeriksaan
investigatif
guna
mengungkap adanya indikasi kerugian negara / daerah / dan / atau unsur pidana 2. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan 3. Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur bersama oleh BPK dan pemerintah Ketentuan pengaturan dalam UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan melalui Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 10 dan Pasal 11 berkait dengan unsur pidana dan kerugian negara, menyebutkan seperti berikut : 1. Pasal 8 ayat (3) mengatur “apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Ayat (4) laporan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang – undangan 2. Pasal 10 ayat (1) mengatur BPK menilai dan / atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan
melawan hukum
baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara pengelola BUMN / BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan
214
pengelolaan keuangan negara. Ayat (2) penilaian kerugian keuangan negara dan / atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK 3. Pasal 11 (c) mengatur “BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara / daerah”. Mengkaji dan mengkritisi ketentuan pengaturan diatas baik dalam UUD Negara RI, pengaturan UU No. 15 Tahun 2004 tampak bahwa kewenangan atribusi BPK dalam menentukan kerugian negara adalah sangat penting serta menentukan proses hukum yang diperlukan oleh kejaksaan khususnya dalam posisi dan fungsinya menuntut terdakwa korupsi terkait penentuan dan penghitungan jumlah kerugian keuangan negara yang dilakukan bagi terdakwa tindak pidana korupsi. BPK secara tidak langsung sangat membantu
proses peradilan
tindak pidana korupsi. Jaksa penuntut umum sebelum mendapatkan hasil penghitungan kerugian negara yang dihitung, dirinci dari aset – aset tersangka / terdakwanya penuntut umum belum dapat mendakwa dalam surat dakwaannya serta menuntut dalam reguisitoirnya bagi terdakwa korupsi di depan sidang pengadilan, fenomena demikian akan sedikit memperlambat proses tahapan peradilan. Karena masih harus menunggu hasil audit / pemeriksaan penghitungan pihak BPK berapa besarnya jumlah kerugian yang diderita negara oleh ulah tersangka / terdakwa tindak pidana korupsi.
215
Sudah merupakan konsekuensi logis dalam penegakan hukum dengan sasaran proses hukum yang adil (due process of law) yang dilakukan secara terpadu oleh penegak hukum dan institusi terkait mesti dilakukan secara teliti, hati – hati, cermat dan profesional untuk menghindari adanya kesalahan prosedural yang berakibat fatal bagi penegakan hukum. Penanganan tindak pidana korupsi peradilan secara terpadu (integrated criminal justice system) oleh kejaksaan bersama pihak – pihak lainnya di dalam dan di luar institusi yudisial merupakan keharusan demi cepatnya proses dalam pemidanaan para tersangka / terdakwanya didepan pengadilan.
4.6.3. Peranan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) PPATK
merupakan
lembaga
independen
dalam
fungsi
dan
wewenangnya dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) diatur dalam Undang – Undang No. 15 Tahun 2002 dan telah dirubah dan diperbaiki dengan Undang – Undang No. 25 Tahun 2003 Sebenarnya TPPU merupakan kejahatan yang timbul belakangan setelah terlebih dahulu ada kejahatan atau tindak pidana pokok. Jadi TPPU merupakan hasil tindak pidana berupa harta kekayaan yang berjumlah Rp. 500.000.000,-- (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan :
216
korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, ... dan seterusnya, sampai berjumlah 15 (lima belas) jenis kejahatan seperti tersurat dalam Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002 tentang TPPU. Salah satu jenis tindak pidana asal atau pokok di sini yang dibahas adalah tindak pidana korupsi, sebagai hasil yang diperoleh dari terdakwa tindak pidana korupsi yang kemudian dicuci dalam arti secara kongkrit bentuk perbuatan berupa dapat diduga dari hasil tindak pidana kemudian harta kekayaannya dipindahkan ke dalam penyedia jasa keuangan atas namanya sendiri atau orang lain. Bentuk perbuatan yang dapat dilakukan pelaku TPPU seperti menstransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menitipkan harga
kekayaan,
membawa
keluar
negeri
kekayaan,
menukarkan,
menyembunyikan atau menyamarkan asal – usul harta kekayaan dan lain – lain seperti yang dirinci perumusannya dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a sampai huruf h UU No. 15 Tahun 2002 tentang TPPU. Beragam tindak pidana yang dapat dilakukan oleh pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana dan dapat menghasilkan uang atau harta kekayaan, baik dalam bentuk uang atau barang bergerak maupun barang tidak bergerak atau berwujud atau tidak berwujud semua bentuk kegiatan aktivitas manusia dan dapat menghasilkan berupa harta kekayaan yang langsung atau tidak langsung merupakan hasil dari tindak pidana itulah tergolong ke dalam tindak pidana pencucian uang (money laundering).
217
Tindak pidana apapun jenisnya seperti telah tersurat dalam Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002 tersebut merupakan penggolongan kualifikasi delik yang dapat dipidana bagi pelakunya. Istilah pencucian (uang) mengandung makna serta arti adanya usaha untuk menyamarkan, mengaburkan, mengalihkan atau cara lain dari pelaku dengan maksud mengelabui, menutupi, ataupun meghilangkan jejak sebagai modus operandi pelaku agar sulit dilacak, ditelusuri, diungkap oleh pihak lain yang berkepentingan dalam usaha untuk mengetahui asal – usul harta kekayaan yang dimaksud. Pemerintah dalam upaya mencegah dan memberantas modus baru tindak pidana ini telah menciptakan kebijakan penal (penal policy) dengan merintis bentuk antisipatif dari kejahatan model baru ini dengan istilah tindak pidana pencucian uang (money laundering). Padahal tindak pidana jenis baru ini induk pokok tindak pidananya sangat luas dan beragam. Untuk mencegah dan memberantasnya pemerintah menciptakan dan menempatkan lembaga khusus berupa PPATK yang dasar legal kiprahnya diatur dalam UU TPPU sendiri. Dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 15 Tahun 2002 Jo UU No. 25 Tahun 2003 PPATK dirumuskan : “Adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencu cian uang. Dalam usaha mencegah dan memberantas TPPU ini dapat mengikat kerjasama dengan berbagai pihak termasuk penegak hukum. Salah satunya PPATK dapat mengadakan kerjasama dalam penegakan hukum di bidang
218
pencegahan dan pemberantasan TPPU dengan pihak Kejaksaan RI. Kerjasama ini dilandasi payung hukum oleh Keputusan Presiden RI Nomor 82 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan PPATK. Melalui pengaturan Pasal 11 Keputusan Presiden tersebut tersurat (1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
TPPU, PPATK
melakukan kerjasama dengan Kejaksaan RI, (2) Kerjasama antara PPATK dengan Kejaksaan RI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup : a. Permintaan informasi dalam rangka analisis terhadap laporan – laporan transaksi keuangan yang diterima oleh PPATK b. Pemberian dan permintaan informasi dalam rangka penuntutan c. Pemberian dan permintaan informasi mengenai eksekusi putusan pengadilan atas perkara tindak pidana pencucian uang d. Pendidikan dan pelatihan dan e. Hal – hal lain yang akan ditentukan bersama oleh PPATK dengan Kejaksaan Republik Indonesia. Mencermati dan mengkaji konsep kerjasama yang tertuang dalam ketentuan Peraturan Presiden (Perpres) di atas antara PPATK dengan Kejaksaan RI dalam rangka penegakan hukum, jelas tampak tersurat dan tersirat bagi pihak kejaksaan terkait dan tersangkut langsung tugas, fungsi serta wewenang kejaksaan selaku penuntut umum sangat mungkin kinerja atau fungsinya memerlukan bantuan serta dukungan PPATK dalam proses hukum jaksa selaku penyidik dalam tindak pidana korupsi terkait usaha tindakan hukum penyitaan, juga terkait dengan bidang penuntutan dalam
219
proses pembuktian di persidangan seperti tindakan hukum penting berupa penghitungan aset – aset koruptor yang perlu dikembalikan pada negara untuk pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Keterpaduan kinerja antara kejaksaan dengan PPATK dalam usaha mengungkap aset negara yang dicuci oleh pihak terdakwa atau terpidana akan berkaitan
pula dengan keberhasilan fungsi dan wewenang jaksa
selaku eksekutor dalam mengeksekusi putusan hakim apabila ada aset – aset koruptor sebagai posisi terpidana bila sebelumnya ada kecermatan penghitungan aset terdakwa sebagai hasil tindak pidana korupsi oleh PPATK, maka akan memudahkan bagi jaksa untuk menuntut dan memformulasikan melalui surat dakwaan dan surat tuntutan (requisitoir) di persidangan. Begitu pula halnya keuntungan bagi hakim akan lebih mudah menyiapkan putusan yang akan dijatuhkan pada terdakwanya. Baik hakim akan menjatuhkan jenis pidana pokok ataupun ganda, dan / atau disertai dengan jenis pidana tambahan lain berupa pengembalian kerugian keuangan negara, sehingga bagi terpidana korupsi terbebani kewajiban yuridis – ekonomis sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada hukum dan negara. Adanya kebijakan non penal berupa rintisan mengikat kerjasama diantara institusi terkait di bidang penegakan hukum khsususnya dalam penghitungan jumlah kerugian keuangan negara oleh beberapa institusi seperti BPK, KPK, PPATK dan yang lainnya dipantau oleh DPR, ICW
220
serta LSM. Walaupun sedikit berdampak agak lambatnya proses peradilan pidana tindak pidana korupsi, karena menunggu hasil audit lembaga tersebut dalam usaha kinerja masing-masing untuk menghitung kerugian keuangan negara akibat dari tindak pidana korupsi yang memerlukan kecermatan, ketelitian, kehati-hatian dan keprofesionalan setiap lembaga / petugas audit (auditor). Kelambatan proses seperti masih berjalannya proses ditangan auditor terhadap penghitungan kerugian negara, sering dianggap oleh masyarakat / publik awam bahwa proses hukum pemeriksaan kasus korupsi tertentu dianggap lamban, dianggap penegak hukum tidak atau kurang profesional atau penegak hukum yang menangani dianggap tebang pilih kasus, pilih kasih, ada kolusi dan macam – macam tendensi miring yang dilontarkan publik kepada penegak hukum. Padahal penegak hukum sudah bahu membahu, bekerjasama konsen dengan tugas serta fungsi dan wewenangnya masing-masing memerankan misi yang diembannya. Konsekuensi hukum yang muncul apabila pihak auditor seperti PPATK atau BPK tidak atau kurang cermat dalam menghitung kerugian negara yang dikorup koruptor akan berdampak besar timbulnya keru gian negara yang tidak dapat diselamatkan. Tugas dan fungsi institusi audit negara masing-masing telah mengemban fungsi atributif yang dilindungi oleh undang – undang. Khusus bagi kejaksaan atau jaksa selaku penuntut umum, badan hukum publik, wakil pemerintah dan individu selaku warga negara, kewenangan
221
atributif yang diemban dilindungi oleh KUHAP, UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 serta berbagai peraturan pemerintah (PP) sebagai operasional kerja penegakan hukum di bidang penyidikan (tindak pidana khusus) dan penuntutan setiap perkara sebagai wujud penerapan asas legalitas formal, serta aparatur eksekutor dalam mengeksekusi putusan hakim, khususnya aset – aset negara yang sempat dikuasai terpidana korupsi.
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan Setelah penulis melakukan penelitian dengan hasil temuan seperti terurai dalam uraian – uraian di depan, berlanjut dengan pengkajian dan analisis terhadap permasalahan yang disajikan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 5.1.1. Bahwa
tidak ada dasar hukum pengaturan yang ditemukan atau
mengatur tentang fungsi jaksa selaku aparat eksekutor ketika gagal atau tidak dapat menjalankan fungsinya untuk mengeksekusi aset – aset atau barang milik / penguasaan terpidana tindak pidana korupsi yang ternyata telah habis, atau tidak ada lagi dibawah kepemilikannya. Dalam
hal ini baik KUHAP ( Undang- Undang
No.8 tahun 1981 ),, Undang – Undang Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004) maupun UU No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terdapat adanya ketentuan pengaturan tentang hal dimaksud, atau terjadi kekosongan norma hukum (vacum of norm / leemeten van normen). Sehingga jaksa dalam menjalankan fungsinya tidak akan berhasil atau tidak dapat menjalankan eksekusi putusan hakim berupa mengembalikan kerugian keuangan negara dari aset – aset terpidana tindak pidana korupsi, padahal
222
223
dalam praktek hakim sering memutus terdakwa korupsi dengan satu jenis pidana pokok dengan pidana ganti rugi saja tanpa pidana pokok jenis lainnya seperti tersurat dalam Pasal 10 huruf a KUHP atau dengan pidana kurungan sebagai pengganti. Begitu pula halnya tanpa penjatuhan pidana tambahan seperti tersurat dalam Pasal 10 huruf b angka 2 (berupa perampasan barang – barang tertentu), juga hakim tanpa menjatuhkan sanksi pidana tambahan seperti diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a (berupa perampasan barang – barang milik terpidana) dan huruf b (berupa pembayaran uang pengganti) UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 5.1.2. Adapun bentuk – bentuk tindakan hukum sebagai upaya antisipasi dilakukan oleh Jaksa selaku penyidik dan eksekutor dalam memerankan fungsinya untuk pengembalian kerugian keuangan negara dari terdakwa / terpidana tindak pidana korupsi diantaranya adalah melakukan hal-hal berupa : Pada tingkat penyidikan harus sudah diketahui jumlah aset dan harus sudah disita sehingga saat penuntutan uang pengganti yang akan dituntut jumlahnya sama dengan aset yang disita . Mendakwa terdakwa korupsi dalam surat dakwaan secara cermat, jelas dan lengkap dengan bentuk dakwaan berlapis/ kombinasi/ primair/subsidair, menuntut terdakwa dalam tuntutan(requissitoir) dengan pidana pokok ganda dan disertai tuntutan pengembalian
224
kerugian keuangan negara sebagai pidana tambahan. Jaksa tetap menahan
tersangka/terdakwa
tanpa
memberikan
penangguhan
penahanan, untuk menghindari hilangnya barang bukti. Bila putusan hakim kurang memuaskan, jaksa mesti mengajukan upaya hukum pada tiap tingkat peradilan. Jaksa berkoordinasi dengan pihak terkait seperti KPK, BPK, PPATK serta LSM dalam menghitung aset kerugian negara oleh koruptor sebagai bahan tuntutan bagi jaksa untuk menuntut terdakwa serta pula jaksa mengoptimalkan fungsinya sebagai pengacara negara dalam menggugat secara perdata aset koruptor dalam sidang perdata di pengadilan. Atas nama
negara
jaksa
bisa
menggugat
harta-harta
lain
yang
kemungkinan timbul dikemudian hari dari kegiatan terpidana yang langsung maupun tidak langsung menambah kekayaan
terpidana
atau keluargannya. Upaya langkah teknis peradilan bagi jaksa yaitu sebelum perkara dinyatakan lengkap selalu mengadakan gelar perkara dengan kepolisian dan pengadilan dalam menangani kasus korupsi demi adanya kesatuan pandangan dalam proses peradilan bagi terdakwa korupsi untuk pemberian sanksi pidana yang tepat, benar, dan adil.
5.2. Saran 5.2.1. Agar pihak legislatif bersama eksekutif untuk memformulasikan ketentuan pengaturan bagi jaksa dalam menjalankan fungsinya
225
ketika gagal mengeksekusi barang- barang atau aset terpidana tidak dapat dieksekusi lagi, karena telah habis terlebih dahulu, dipakai / dinikmati / dipindahtangankan / dicuci (money laundering) oleh terpidana korupsi, baik dalam KUHAP, UU Kejaksaan RI, maupun UU Tindak Pidana Korupsi, untuk mengisi kekosongan norma hukum selama ini . 5.2.2. Agar setiap penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi sejak tahap penyidikan jaksa sudah menyita aset tersangka, sehingga dalam penuntutan jaksa sudah mengetahui
besarnya jumlah
uang
pengganti yang akan dituntut sama jumlahnya dengan aset yang telah disita. Dan agar
jenis pidana tambahan pengganti berupa
pengembalian keuangan negara untuk masa waktu ke depan diformulasikan
menjadi jenis pidana pokok yang wajib dituntut
oleh jaksa penuntut umum, dan wajib pula untuk dijatuhkan putusan oleh hakim bagi setiap terdakwa dalam perkara Tindak Pidana Korupsi sesuai esensi pasal 18 UU No.20 tahun 2001 tentan g Pemberantasan Tindak Pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Adami Chawawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta Alan Coffey, 1983, An Introduction to the Criminal Justice and Process, Pusat Dokumentasi Hukum Universitas Indonesia, Jakarta Ali Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum, Kajian Filosofis, Sosiologis, Gunung Agung Tbk, Jakarta.
Amin Rais, 1999, Pengantar Dalam Eys Sunandi dan Muhammad Sayuti, (ed), Menyikapi KKN di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta Anthon F. Susanto (I), 2004, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan Mekanisme Kontrol dan Akuntanbilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama, Bandung Andre Ata Ujan, 2009, Filsafat Hukum Membangun Hukum dan Membela Keadilan, Kanisius, Yogyakarta Ansorie Sabuan, Syarifuddin Fetanase, Ruben Ahmad, 1990, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung.
Arifin Rahman, 1988, Sistem Politik Indonesia Dalam Perspektif Struktural Fungsional, PT. SIX, Surabaya Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditama, Bandung Bagir Manan, 2007, (Dalam Sadjijono : Memahami Beberapa Bagian Pokok Hukum Administrasi Negara), Laks Bang Pressindo, Yogyakarta Baharuddin Lopa dan Moh. Yamin, 1977, Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kipas Putih, Jakarta Barda Nawawi Arief (I), 1986, Penetapan Pidana Penjara Dalam Perundang-Undangan Dalam Rangka Usaha Penanggulangan Kejahatan, Unpad – Bandung
……………, (II), 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hkum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung ……………, (III), 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung Bruggink, JJH (Alih Bahasa Arief Sidharta) 1996, Refleksi Tentang Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta Chaeruddin, dkk, 2008, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung. Chindir Ali, 1979, Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Pidana Korupsi, Bina Cipta, Bandung Djisman Samosir, 2013, Hukum Acara Pidana, Nuansa Mulia, Bandung. Dudu Duswara, Machmudni, 2001, Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung Eddy OS Hiariej, 2014, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pusaka, Jakarta.
Elwi
Danil H., 2012, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana Pemberantasannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
dan
Ermansyah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta.
Fahmi, 2011, Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta Fahmi Idris, 2012, Selamatkan Uang Negara Dengan Tata Kelola Keuangan Negara Yang Benar, Expose, Jakarta Frans Hendra Winarta, 2000, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Kelompok Gramedia, Jakarta Hamzah Andi, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia Dari Retribusi he Reformasi, Pradnya Paramita, Jakarta.
............(II), 1986, Komentar Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Terbaru Mengenai Korupsi, Indo – Hill Co, Jakarta ………… (III), 1991, Asas – Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta ………. , (IV), 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta Hari Sasongko, Tjuk Suharjanto, 1988, Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, Pustaka Tinta Mas, Surabaya Harkristuti Harkrisnowo, 2002, Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), Dalam News Letter-KHN, Jakarta Herbert L. Packer, 1969, The Limits of Criminal Sanction Stanford, Universtity Press, USA California Heri Tahir, 2010, Proses Hukum Yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Laks Bang Pressindo, Yogyakarta Hiroshi Ishikawa, 1991, An Integrated Approach to More Effektive Administration of Criminal Justice ( Dalam : M. Faal : Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi), Pradnya Paramitha, Jakarta Indoharto, 2000, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan TUN, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Jowade Hafids Arsyad, H., 2013, Justice Administration Police Court, and Correction Management, Prentice – Hall Inc., New Jersey Komisi Pemberantarasan Korupsi (KPK) 2006, Memahami Untuk Membasmi – Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, KPK, Jakarta Lamintang, PAF, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru Bandung. Leden Marpaung, 1992, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta
Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Brawijaya, Malang Malcom Davies, Hazel Croal and Jane Tyer, 1995, Criminal Justice An Introduction to The Criminal Justice System in England and Wales, Longman Group Limited, New York Mardjono Reksodiputro, 1993, Sistem Peradilan Indonesia Melihat pada Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi, Universitas Indonesia, Jakarta Martiman Pradjohamidjojo, 1984, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta. Moeljatno (I), 1978, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Universitas Gajah Mada, Yogyakarta ............, (II), 1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta Mubyarto, 1995, Ekonomi dan Keadilan Sosial, Aditya Media, Yogyakarta Muladi (I), 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung. ............, (II), 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang. Muhari Agus Santoso, 2002, Paradigma Baru, Hukum Pidana, A Verroes Press, Malaysia Musanef, 1989, Sistem Pemerintahan di Indonesia, Ev Haji Masaung, Jakarta Otje Salman, HR., Anthon F Susanto, 2007, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung Pamudji, 1981, Teori Sistem dan Pengertiannya Dalam Manajemen Iktiar, Jakarta. Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Petrus Irwan Panjaitan, Pandapotan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Prajudi, HS., 1973, Dasar-Dasar Office Manajemen, Graha, Jakarta Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung Romli Atmasasmita (I), 1983, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bina Cipta, Bandung ............ (II), 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Jakarta Roeslan Saleh, 1987, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta Salim H., HS., 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta Salim H., HS., Erlies Septiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta Septa Candra, 2012, Tindak Pidana Korupsi : Upaya Pencegahan dan Pemberantasan, Pustaka Larasati, Jakarta Simons, 1992, Kitab Pelajaran Hukum Pidana, Pionirjaya, Bandung Soejono Soekanto, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta Sue Titus Reid, 1987, Criminal Justice Procedures and Issues, West Publishing Company, USA. Sri Sumantri, 1976, Sistem Pemerintahan Negara, Transito, Bandung Tatang M. Amirin, 2001, Pokok-Pokok Teori Sistem, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Utrecht, 1999, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Iktiar, Jakarta
Wijk Van, HD, Willen, Kunejnenbelt, 2008, (Dalam Sadjiyono Memahami Beberapa Bagian Pokok Hukum Administrasi Negara), Laks Bang, Surabaya Wirjono Projodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta Yahya Harahap M., 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan I KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta. Yesmil Anwar, 2009, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen dan Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Pajajaran, Bandung
Yusuf
Muhammad, 2013, Merampas Aset Koruptor-Solusi Pemberantasan \ Korupsi di Indonesia, Buku Kompas, Jakarta
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU RI No. 8 Tahun 1981 lentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara RI Tahun 1981 No. 76 Tambahan Lembaran Negara RI No. 3209 UU RI No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2004, LN No. 67 TLN RI No. 4401 UU RI No. 25 Tahun 2003, Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002, Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (LN RI Th. 2002 No. 30 TLNRI No. 4191) UU RI No. 31 Tahun 1999 (Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 140 Tambahan Lembaran NegaraRI No. 3874) sebagaimana diubah dan ditambah UU RI No. 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara RI Tahun 2001 No. 134 Tambahan Lembaran Negara RI No 4150) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UN Convention Against Corruptionf UNCAC yang diratifikasi dalam UU RI No. 7 Tahun 2006 (Lembaran Negara RI Tahun 2006 No. 32 Tambahan Lembaran Negara RI No. 4620) tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 ( Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa anti Korupsi, 2003) UN Convention Against Transnational Organized Crims/UNCATOC yang diratifikasi dalam UU RI No 5 tahun 2009 (Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 5 Tambahan Lembaran Negara RI No. 4960)
tentang Pengesahan United Nation Convention Against Transnational Organized Crime, 2000 ( Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) Kep. Pres RI No. 82 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Pelaksanan Kewenangan PPATK Perpres No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Peucegahan Pemberantasan Korupi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 (Lembaran Negara RI Tahun 2012 No. 122 ) C. KAMUS / ENSIKLOPEDIA Ananda Santoso dan Ar. Al Hanif, 1975, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Alumni, Surabaya Badudu, J. S., dan Mohammad Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1996, PT. Citra Adi Pustaka, Jakarta Fockema Andrea, 1983, Kamus Hukum (Terjemahan), Bina Cipta, Bandung Hamzah Andi, 1986, Kamus Hukum, PT. Gramedia, Jakarta. Mariam Webster A., 1985, New International Dictionary, G & C Marriam Co Publisher Spring Field Mass, USA Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis 2013 Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar Poerwadarminta. WJS., 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PB, Jakarta Suparlan, Y. B., 1990, Kamus Istilah Kependudukan dan Keluarga Berencana, Kanisius, Yogyakarta Soejono Soekanto (I), 1985, Kamus Sosiologi Edisi Baru, Raja Grafindo Persada, Jakarta
The Liang Gie (et al), 1981, Ensiklopedia Administration, Gunung Agung, Jakarta Tim Redaksi Tata Nusa, 1999, Kamus Istilah Menurut Peraturan Perundang-Undangan RI 1945 – 1998, PT. Tata Nusa, JakartaD
D. INTERNET http
://www.antaranews.com/berita/403114/akil-moctar-diberhentikantidak dengan hormat, diunduh pada tanggal 1 Nopember 2013, jam 21.34 WITA
Ahmad,
2013,Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara, http://rakaraki.blogspot.com/2013/04/pengertian-dan-ruanglingkup-keuangan-html,diakses tanggal 24 Desember 2013
Mensri Nauli, 2014, Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, http://hukum.kompasiana.com/2014/10/08/kerugian-negara-dalamtindak-pidana-korupsi-598568, html, diakses tanggal 24 April 2014