Problematika Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam TIndak Pidana Korupsi Melalui ...
PROBLEMATIKA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI GUGATAN PERDATA Singgih Herwibowo Email :
[email protected] Mahasiswa Pascasarjana FH UNS Surakarta Pujiyono dan Supanto Email :
[email protected] Email :
[email protected] Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum UNS Surakarta
Abstract through criminal instrument is not fully able to recover losses to the state. In this research will be discussed state corruption. This study uses empirical jurisdiction with the speaker is Attorney as law enforcement often encounter obstacles such as: the existence of an unknown asset convicted, the accused has died, the accused has been impoverished. Based on these problems the prosecutor's strategy in the future is recovery. In addition, for state attorney attempts to run smoothly, it takes a large budget so that the state's recovery efforts through a civil lawsuit can be done. Keywords: Losses of State, Attorney, Civil Lawsuit Abstrak Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Penegakan hukum tindak pidana korupsi melalui instrument pidana saat ini tidak sepenuhnya dapat memulihkan kerugian keuangan negara. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai penegakan hukum tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata upaya memulihkan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris dengan narasumber adalah Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum yang berwenanga melakukan gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi. Upaya Jaksa Pengacara Negara melakukan gugatan perdata sering mengalami kendala seperti: keberadaan asset terpidana yang tidak diketahui, terpidana sudah meninggal dunia, terpidana telah jatuh miskin. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut strategi kejaksaan di masa yang akan datang adalah optimalisasi bidang intelijen dan bidang penyidikan agar pemulihan keuangan berjalan dengan maksimal. Selain itu agar upaya Jaksa Pengacara Negara dapat berjalan lancar, dibutuhkan anggaran yang besar agar upaya pemulihan keuangan negara melalui gugatan perdata dapat dilakukan. Kata Kunci: Kerugian Negara, Jaksa, Gugatan Perdata
A. Latar Belakang Masalah Tindak Pidana Korupsi merupakan kejahatan yang memiliki dampak buruk bagi perekonomian suatu negara dan menghambat pembangunan nasional. Kejahatan korupsi atau biasa disebut sebagai kejahatan “white Collar Crime”merupakan kejahatan dapat berdampak pada perekonomian suatu negara. Para pelaku kejahatan korupsi biasanya adalah orang-orang yang memiliki kekuasaaan. Dengan kekuasaannya para pelaku korupsi bertindak sewenang-wewenang sehingga menimbulkan kerugian bagi negara Indonesia.
Korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Tidak saja karena modus dan teknik yang sistematis, akibat yang ditimbulkan kejahatan korupsi bersifat pararel dan merusak seluruh sistem kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial-budaya dan bahkan sampai pada kerusakan moral serta mental masyarakat. Korupsi merupakan fenomena yang tak terelakan, dibanyak negara di Asia, termasuk Indonesia. Begitu merajalela sehingga disinyalir tindak pidana ini merambah baik
129
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
disektor public dan swasta, dari tingkat pusat hingga pelosok. (Jawahir T, 2008). Salah satu contoh kasus kasus dugaan korupsi mantan presiden Soeharto, Kejaksaan Agung telah menetapkan status tersangka/ terdakwa, namun persidangannya terhenti karena Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam penetapannya menyatakan menghentikan proses persidangan Soeharto sampai penguasa orde baru tersebut sembuh dari sakit yang dideritanya, maka proses pidana bisa jadi terhenti untuk sementara, namun tidak ada alasan untuk tidak melakukan tuntutan perdata agar kerugian negara akibat perbuatan pak harto di masa lalu kembali kepada negara. Proses hukum di maksudkan untuk memberikan hukuman pidana kepada pelaku namun juga agar uang negara kembali dalam rangka memulihkan perekonomian negara, atas dasar itu Kejaksaan Agung yang bertindak sebagai pengacara negara seharusnya segera mengambil inisiatif untuk melakukan gugatan perdata, tanpa harus menunggu berjalannya proses pidana yang masih harus menunggu pulihnya kesehatan mantan presiden Soeharto, bila tidak segera maka akan semakin susah melacak harta kekayaan Soeharto dan akan semakin mengecil kemungkinan kekayaan negara dapat diambil kembali. Pada tanggal 3 Juni 2013 Jaksa Pengacara Negara telah menerima Surat Pemberitahuan Putusan Kasasi Nomor: 2896K/Pdt/2009 jo Nomor 904/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel yang isinya memberitahukan tentang isi Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 28 Oktober 2010 Nomor: 2898K/Pdt/2009 jo. Nomor: 904/Pdt.G/2007/ PN.Jkt.Sel dalam perkara antara Negara Republik Indonesia Cq Presiden Republik Indonesia sebagai Pemohon Kasasi I juga Termohon Kasasi II dahulu Penggugat/Terbanding-Pembanding lawan Yayasan Beasiswa Supersemar sebagai Termohon Kasasi I juga Pemohon Kasasi II dahulu Tergugat II/Pembanding-Terbanding. Amar putusan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa perkara Nomor: 904/ Pdt.G/2007/PN.Jak.Sel tanggal 27 Maret 2008 antara Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia sebagai Penggugat melawan HM. Soeharto sebagai Tergugat I dan Yayasan Beasiswa Supersemar sebagai Tergugat II, telah dimenangkan oleh Penggugat yang dalam hal ini diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara pada Kejaksaan Agung RI. Proses penanganan tindak pidana korupsi mulai dari proses penyidikan, penuntutan sampai dengan pengadilan memerlukan biaya yang tinggi. Seringkali biaya tersebut tidak sebanding dengan
130
nilai kerugian negara yang timbul akibat adanya tindak pidana korupsi. Dapat diatikan bahwa biaya penanganan perkara tindak pidana korupsi nilainya lebih besar dari pada nilai kerugian negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi tidaklah mudah, banyak faktor yang mempengaruhi pemberantasan korupsi seperti dikutip dalam jurnal internasional: The level of corruption in a country with an ineffective legal system may begin to rise in response to, say, an external shock. The political elite may find the increased income from corruption irresistible. Once corrupted, the elite will attempt to reduce the effectiveness of the legal and juridical systems through manipulation of resource allocation and appointments to key positions. Reduced system to combat corruption, thus allowing corruption to spread even more. (Thomas Herzfeld, 2003:19) Faktor kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia, dapat disebabkan beberapa hal sebagai berikut: Pertama, belum adanya dukungan politik secara menyeluruh; kedua, penerapan hukum terhadap pelaku korupsi kurang efektif, ambigu bahkan disinyalir dalam proses peradilan korupsi ketiga, upaya pemberantasan korupsi belum fokus, banyak tekanan, tidak ada prioritas dan tidak didukung oleh struktur birokrasi antar lembaga peradilan yang memadai; keempat, lembaga anti korupsi masih dianggap sebagai organisasi yang tidak masyarakat; kepentingan dengan lembaga pemerintah lainnya, misalnya ijin presiden bagi pelaku korupsi dari kalangan birokrat pemerintah menjadi penghambat penanganan koupsi secara cepat dan efektif.(Achmad Badjuri, 2011:86). Kerugian secara ekonomi dari korupsi, jelas dapat dirasakan oleh masyarakat, tercermin dari tidak optimalnya pembangunan ekonomi yang dijalankan, selain itu hasil yang diperoleh dari menjadi jauh lebih kecil dari yang seharusnya dicapai. Kerugian dalam bidang politik, praktek korupsi menimbulkan diskriminasi pelayanan
Problematika Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam TIndak Pidana Korupsi Melalui ...
publik ataupun diskriminasi penghargaan terhadap hak-hak politik masyarakat. Sedangkan kerugian dalam bidang sosial-budaya dan moral, praktek korupsi telah menimbulkan “penyakit” dalam masyarakat, bahwa perbuatan tersebut seakan dianggap sebagai perbuatan yang halal dan wajar. (Edi Suandi, 1999:5). Barda Arief Nawawi mengkritik strategi pemberantasan korupsi yang hanya difokuskan pada upaya memperbaharui undang-undang korupsi. Strategi demikian lebih bersifat fragmenter, parsial, simptomatik dan represif, karena seolaholah hanya melihat satu faktor kondisi saja sebagai penyebab atau titik lemah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini. Padahal jika dilihat dari sudut kebijakan criminal (crime policy), strategi dasar penanggulangan kejahatan (the basic crime prevention strategy) seyogianya diarahkan pada upaya peniadaan (mengeliminasi) atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kausa-kausa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan korupsi. (Barda Nawawi Arif, 2007:130). Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, maka penulisa dalam karya ilmiah ini hendak mengkaji mengenai pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata dan kendalakendalanya, selain itu penulisa juga akan mengkaji mengenai strategi Kejaksaan dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara di masa mendatang. B. Metode Penelitian Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah yuridis empiris dengan berdasarkan kenyataan sebenarnya yang ada di lapangan dan menitikberatkan pada hukum sebagai kenyataannya (law in action), yaitu merupakan ilmu sosial yang non doktrinal dan bersifat empiris. Objek kajian dalam penelitian adalah Kejaksaan sebagai lembaga yang berwenang mengajukan gugatan perdata untuk memulihkan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1.
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi melalui Gugatan Perdata Jaksa Pengacara Negara sebagai aparat penegak hukum memiliki peran dalam pemulihan keuangan negara. Jaksa Pengacara Negara memiliki wewenang
melakukan gugatan perdata terhadap seseorang yang secara melawan hukum menimbulkan kerugian keuangan negara. Bentuk yang seringkali dan berpotensi merugikan keuan gan negara adal ah tindak pidana korupsi. Jaksa pengacara negara memiliki pendekatan tertentu untuk menghadapi perkara dalam pengembalian keuangan negara. Pendekatan yang dimaksud adalah tidak lagi menggunakan pendekatan sebagaimana jaksa berlaku sebagai penuntut umum. Dalam hal menyelesaikan perkara lebih menggunakan jalur non litigasi, dan tidak menggunakan atribut atau seragam kejaksaan. Pendekatan demikian merupakan pendekatan yang selama ini dilakukan oleh para Jaksa Pengacara Negara dan masih dirasakan efektif. Jaksa dalam upaya memulihkan atau mengembalikan keuangan negara dan atau aset negara merupakan tugas dan kewenangan jaksa yang telah diatur secara normatif dalam UU No. 16 Tahun 2004. Tugas kewenangan jaksa dalam hal ini berusaha untuk menciptakan ketertiban dan kesimbangan. Namun hal ini (pemulihan keuangan negara) t idak sert a merta merupakan keberhasilan jaksa semata tetapi optimalisasi jaksa juga meliputi aspek lain yaitu diantaranya : hukum/aturannya, penegak hukum, fasilitas, kesadaran hukum masyarakat dan budaya hukum masyarakat. Pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara dalam UndangUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentag Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan prioritas utama dalam upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi. Seperti kita ketahui tindak pidana korupsi yang berakibat kerugian keuangan negara berdampak pada terhambatnya pertumbuhan perekonomian dan pembangunan nasional dalam suatu negara, oleh karena itu pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara merupakan prioritas utama dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Upaya pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keungan negara dalam tindak pidana korupsi mendasarkan pada UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara dapat dilakukan
131
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
melalui instrumen pidana maupun instrumen perdata. Pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi memerlukan strategi khusus. Dimulai dari proses penyidikan tindak pidana korupsi meliputi tugas dan fungsi intelijen. Penelusuran aset-aset pelaku kejahatan korupsi dan aset-aset pelaku kejahatan korupsi yang diduga hasil dari tindak pidana korupsi. I n s t ru m e n p i d a n a d a l a m u p a ya pengembalian kerugian dan/atau keuangan negara dilakukan sejak proses penyidikan. Didalam proses penyidikan, penelusuran asetaset pelaku kejahatan korupsi yang diduga sebagai hasil tindak pidana korupsi untuk dilakukan sita bertujuan untuk pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Upaya pengembalian kerugian dan/ atau pemulihan keuangan negara juga dapat dilakukan melalui instrumen perdata yaitu melalui gugatan perdata. Gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi tidak selalu dilakukan setelah instrumen pidana. Gugatan perdata dapat dilakukan apabila penyidik belum bisa menemukan alat bukti yang cukup akan tetapi akibat perbuatan pelaku kejahatan korupsi menimbulkan kerugian keuangan negara, sebagaimana dalam pasal 32 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa: 1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berka s p erkara hasi l pen yi dika n tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. 2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Ketentuan pasal 32 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang
132
sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi di tujukan kepada Pelaku dan/atau ahli warisnya apabila pelaku kejahatan korupsi meninggal setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan/atau pada saat penyidikan dan/atau pada saat pemeriksaan di pengadilan. Gugatan perdata terhadap ahli waris pelaku tindak pidana korupsi diatur didalam ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa: Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Selain Pasal 33 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 34 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa: Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Gugatan Perdata terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan/atau ahli waris pelaku tindak pidana korupsi dapat di ajukan ketika muncul aset-aset yang diduga milik pelaku tindak pidana korupsi. Dalam Pasal 38 C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa: ”Apabila setelah putusan pengadilan telah memeperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang disuga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belumn dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan
Problematika Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam TIndak Pidana Korupsi Melalui ...
perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya”. Gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi ditujukan pada ahli waris, yang dimaksud dengan “ahli waris” dalam Pasal ini adalah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Upaya pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata dilakukan berdasarkan hu\ kum acara perdata yang berlaku di Indonesia. Pemulihan keuangan negara melalui gugatan perdata sesuai dengan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : SE – 004/J.A/8/1988 tentang Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti (Pasal 34 Sub c UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971). Point ke-6 (enam) Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE–004/J.A/8/1988 tentang Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti. Pengembalian asset tindak pidana korupsi melalui jalur Keperdataan dapat dilakukan melalui aspek-aspek sebagaimana penjelasan bahwa Gugatan perdata kepada seseorang yang tersangkut perkara korupsi pada ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Alasan kejaksaan dalam mengajukan gugatan perdata terhadap pelaku kejahatan korupsi adalah tunggakan pembayaran uang pengganti. Pengembalian kerugian negara melalui uang pengganti merupakan hal yang sangat penting, karena uang tersebut dapat dipergunakan untuk melanjutkan pembangunan. Pengembalian tersebut tidaklah mudah karena proses peradilan tindak pidana korupsi pada umumnya membutuhkan waktu yang lama, sehingga terpidana mempunyai kesempatan untuk mengalihkan atau menyembunyikan harta bendanya yang berasal dari tindak pidana korupsi. Penyelesaian tunggakan uang pengganti disamping dilakukan dengan penyitaan dan
pelelangan harta benda terpidana juga dapat dilakukan melalui tuntutan subsider pidana penjara, atau hukuman badan. Tuntutan subsider pidana penjara diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menegaskan bahwa “Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimal drai pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Dalam penyelesaian tunggakan uang pengganti melalui hukuman subsider permasalahan yang dihadapi dalam praktek adalah terpidana akan memilih melaksanakan hukuman subsider dari pada membayar uang pengganti jika hukuman subsidernya lebih menguntungkan dari pada pembayaran uang penggantinya. Per masal ah an nya pe ng emba li an kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara adalah ketentuan pidana saat ini dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan bahwa terdakwa memilih hukuman badan dan/atau pidana badan daripada harus membayar uang pengganti. Disini jelas jika terdakwa memilih untuk dipenjara otomatis pengembalian kerugian dan/atau keuangan negara tidak terpenuhi. Hasil wawancara penulis dengan informan bahwa, teknis pelaksanan upaya gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi di mulai pasca putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Kemudian terhadap perkara tersebut, Kejaksaan membentuk tim yang terdiri dari KasiPidsus, KasiInteligent, dan KasiDatun. Tim tersebut guna membahas upaya selanjutnya pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara. Iventasisasi terhadap perkara tindak pidana korupsi yang menunggak pembayaran uang pngganti. Tunggakan pembayaran uang pengganti oleh terpidana tindak pidana korupsi merupakan beban bagi keuangan negara oleh karena dampak perbuatan terpidana korupsi menyebabkan perekonomian negara terganggu dan/atau menghambat
133
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
pembangunan nasional. Selain itu tunggakan pembayaran uang pengganti oleh terpidana korupsi juga menjadi beban Kejaksaan dalam rangka pemulihan keuangan negara karena tindak pidana korupsi. Upaya Kejaksaan melakukan pemulihan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi yaitu melalui gugatan perdata terhadap terpidana korupsi dan/atau ahli waris terpidana korupsi. Dalam gugatan tersebut Jaksa Pengacara Negara mewakili Negara Republik Indonesia menggugat bahwa terhadap perkara tindak pidana korupsi terpidana dan/atau ahli waris terpidana tidak menjalankan putusan pemidanaan dari pengadilan tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi merupakan bentuk penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan yang di wakili oleh Jaksa Pengacara Negara. Penegakan hukum merupakan hal yang sangat penting dalam upaya menegakan hukum didalam suatu negara, dikarenakan oleh adanya hukum dan/atau undang-undang yang bagus sekalipun tidak menjamin tegaknya hukum dalam suatu negara. Oleh karena itu diperlukan upaya penegakan hukum dalam suatu negara. Menurut Barda Bawawi: “Penegakan hukum adalah keseluruhan kegiatan dari para pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”.(Barda Nawawi Arif, 2005:8) Hasil wawancara penulis dengan informan bahwa, pelaksana gugatan perdata terhadap terpidana korupsi adalah Jaksa Pengacara Negara dengan Surat Kuasa Khusus. Surat kuasa khusus tersebut ditandatangani oleh Kepala Kejaksaan Negeri sebagai pemberi kuasa dan Jaksa Pengacara Negara yang ditunjuk sebagai penerima kuasa. Tugas dari penerima kuasa tersebut adalah melaksanakan tugasnya sebagai mana tercantum dalam surat kuasa khusus. Dalam surat kuasa khusus hanya memuat 1 (satu) kepentingan dan/atau keperluan yang khusus untuk melakukan gugatan perdata terhadap terpidana korupsi untuk pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara. Surat kuasa khusus adalah pemberian
134
kuasa yang dilakukan hanya untuk satu kepentingan tertentu atau lebih. Dalam surat kuasa khusus, di dalamnya dijelaskan tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa. Jadi, karena ada tindakan-tindakan yang dirinci dalam surat kuasa tersebut, maka surat kuasa tersebut menjadi surat kuasa khusus sebagaimana ketentuan Pasal 1795 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan surat kuasa khusus dari Kepala Kejaksaan Tinggi dan/atau Kepala Kejaksaan Negeri, Jaksa Pengacara Negara merumuskan gugatan perdata terhadap terpidana korupsi dan/atau ahli waris terpidana korupsi atas dasar gugatan perbuatan melawan hukum. Gugatan perbuatan melawan hukum terhadap terpidana korupsi dan/atau ahli waris terpidana korupsi mendasarkan pada putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum yang tetap (inkracht). Dalam putusan pidana korupsi kewajiban pembayaran uang pengganti menjadi kewajiban terpidana korupsi setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Uang pengganti dalam tindak pidana korupsi pada mulanya merupakan cara untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang hilang. Upaya dengan memberikan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dengan harapan dapat memberikan hasil dan/atau pemasukan ke kas negara yang jumlahnya telah ditentukan sebesarnya-besarnya tidak melebihi jumlah kerugian keuangan negara yang timbul karena perbuatan terpidana korupsi. Dalam kenyataannya setelah putusan pemidanaan yang menghukum terpidana untuk membayar u a ng p e n gg a n t i t i da k d il a ks a na ka n sepenuhnya, bahkan tidak dilaksanakan sama sekali. Disini, peran Jaksa Pengacara Negara melakukan gugatan perdata terhadap terpidana korupsi yang bertujuan pemulihan keuangan negara. Upaya pengembalian kerugian dan/ atau pemulihan keuangan negara melalui gugatan perdata sejauh ini bukan tanpa hasil. Upaya pengembalian kerugian dan/ atau pemulihan keuangan negara meskipun sedikit, negara mendapat pemasukan dari kewajiban terpidana membayar uang pengganti. Hukuman tambahan membayar uang pengganti telah diatur sejak UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971, diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
Problematika Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam TIndak Pidana Korupsi Melalui ...
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jaksa Pengacara Negara dalam upaya pemulihan keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi ditempuh melalui litigasi maupun non litigasi. Upaya non litigasi lebih diutamakan dari pada litigasi, bentuk dari upaya non litigasi adalah negosiasi, jika negosiasi gagal maka diteruskan dengan upaya litigasi. Akan tetapi upaya negosiasi ini tidak berhenti meskipun melalui upaya litigasi sudah berjalan. Berdasarkan data pemulihan keuangan negara oleh Kejaksaan, tahapan pemulihan keuangan negara ditempuh melalui negosiasi, melalui upaya ini menghasilkan kesepakan dengan terpidana dan terpidana bersedia untuk mencicil pembayaran uang pengganti. Gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi sebagai upaya pengembalian kerugian keuangan negara dapat dilakukan dengan alasan : a. Terpidana tindak pidana korupsi tidak membayar uang pengganti b. Asset dan harta kekayaan terpidana hasil tindak pidana korupsi yang muncul pasca putusan pengadilan yang telah inkracht untuk dirampas dengan mengajukan gugata perdata. c. Penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. d. Tersangka meninggal dunia pada saat proses penyidikan sedangkan secara nyata telah ada kerugian keungan negara. e. Terdakwa meninggal dunia pada saat proses pemeriksaan di pengadilan sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan pada umunya didomiasi gugatan dengan alasan tunggakan uang pengganti. Tunggakan uang pengganti disini pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1971 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. Sampai saat ini tunggakan uang pengganti pada saat berlakunya UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum dapat terselesaikan. Salah satu contoh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, tunggakan uang pengganti Kejaksaan Negeri di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah mencapai Rp. 26.020.141.369,53,- (dua puluh enam milyar dua puluh juta seratus empat puluh satu ribu tiga enam puluh Sembilan lima puluh tiga rupiah). Jumlah tersebut sudah termasuk tunggakan uang pengganti yang dicicil oleh terpidana tindak pidana korupsi. Mekanisme pengembalian kerugian keuangan negara melalui gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia. Gugatan perdata sebagai upaya pemulihan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara saat ini seperti hanya menang di atas kertas. Gugatan perdata pembayaran uang pengganti oleh Jaksa Pengacara Negara pada umumnya dimenangkan olek Kejaksaan, akan tetapi dalam prakteknya ketika putusan perdata telah inkracht dan akan dieksekusi mengalami kendala dalam pelaksanaan eksekusi. Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-020/A/ JA/07/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Pengganti Yang Diputus Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa upaya gugatan perdata (litigasi) ditempuh oleh Jaksa Pengacara Negara apabila negosiasi (non litigasi) dengan terpidana korupsi tidak membuahkan hasil. Upaya Ja ksa Pe ngacara Nega ra dalam mengembalikan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi dengan mempersiapkan bukti formil dan dalil-dalil, sebagaimana Pasal 163 HIR dikenal sebagai beban pembuktian, guna mencapai tujuan pengembalian kerugian keuangan negara maka Jaksa Pengacara Negara harus membuktikan bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka, terdakwa atau terpidana, adanya harta benda milik tersangka, terdakwa, terpidana yang digunakan untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Jaksa Pengacara Negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya sangat dipengaruhi oleh faktor substansi, prosedur hukum, Sarana prasarana dan
135
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
koordinasi /kerjasama yang dilakukan secara internal maupun eksternal dalam upaya mengembalikan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Secara substansi, keberadaan Jaksa Pengacara Negara secara eksplisit ada dalam pada Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34 UUPTPK. Gugatan perdata yang dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara sebagai bentuk upaya pengembalian kerugian dan/ atau pemulihan keuangan negara saat ini didominasi oleh gugatan perdata uang pengganti terhadap perkara tindak pidana korupsi yang di putus menggunakan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Selain itu Jaksa Pengacara Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat melakukan gugatan perdata apabila tersangka meninggal pada saat penyelidikan, penyidikan dan/atau terdakwa meninggal pada saat pemeriksaan pada sidang pengadilan tindak pidana korupsi. Selanjutnya gugatan perdata juga dapat di ajukan apabila di kemudian hari setelah adanya putusan pengadilan tindak pidana korupsi muncul asset/harta kekayaan terpidana hasil tindak pidana korupsi maka dapat dilakukan gugatan perdata agar asset/ harta kekayaan tersebut di sita oleh kejaksaan sebagai bentuk pemulihan keuangan negara. 2.
136
Kendala Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi melalui Gugatan Perdata Gugatan perdata terhadap terpidana maupun mantan terpidana tindak pidana korupsi yang belum dan/atau tidak membayar uang pengganti merupakan upaya kejaksaan untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara. Akan tetapi upaya Kejaksaan melakukan pemulihan keuangan negara tidak semudah seperti yang dibayangkan. Banyak hal-hal yang menjadi kendala pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara. Pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata saat ini belum sepenuhnya dapat memulihkan keuangan negara karena tindak pidana korupsi. Berbagai persolan menjadi hambatan bagi Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan gugatan perdata. Kendala-kendala yang muncul dalam upaya ini sebagai berikut :
a. b.
c. d. e.
Asset dan/atau harta kekayaan terpidana tidak diketahui Terpidana sudah tidak memiliki asset yang dapat disita oleh kejaksaan, jika ada; Terbatasanya anggaran untuk eksekusi/ lelang asset terpidana Asset yang telah di eksekusi tidak ada peminatnya Asset yang telah di eksekusi nilainya tidak mencukupi dengan kerugian keuangan negara
Upaya Kejaksaan untuk penelusuran asset terpidana korupsi terus dilakukan, upaya ini melibatkan Unit Pidana Khusus dan Unit Intelijen Kejaksaan. Akan tetapi terhadap asset terpidana yang masih belum membayar uang pengganti belum dapat ditemukan. Dalam hal ini sulitnya menemukan asset terpidana dikarenakan asset telah habis dan/ atau asset terpidana telah dipindahtangankan atau dijual. Permasalahan ini menjadi tunggakan Kejaksaan untuk melakukan pemulihan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Persoalan ini merupakan kendala Kej aksaan untuk pemulihan keuangan negara, karena persoalan ini muncul pertanyaan: Apakah perlu dilakukan gugatan perdata, jika tidak ada asset yang dapat disita yang nantinya akan di eksekusi guna pemulihan keuangan negara. Sejauh ini gugatan perdata uang pengganti terhadap terpidana tindak pidana korupsi tetap dilakukan oleh Kejaksaan meskipun dalam rangka pemulihan keuangan negara terhenti pada saat eksekusi. Hasil wawancara penulis dengan informan bahwa sksekusi terhadap asset terpidana korupsi juga memerlukan biaya tidak sedikit. Sedangkan anggaran Kejaksaan untuk melakukan gugatan perdata sangat terbatas, apalagi untuk melanjutkan tahap eksekusi. Pasca putusan perdata telah “inkracht” jika terdapat sita, terutama terhadap asset terpidana seperti: tanah dan/atau rumah dan kendaraan pribadi untuk dapat dijadikan pembayaran tunggakan uang pengganti maka terhadap asset terpidana tersebut harus di lelang dan hasil disetorkan ke kas negara sebagai pemulihan keuangan negara. Proses lelang asset terpidana juga memerlukan biaya dan waktu yang lama. Sejak proses penetuan nilai objek yang akan di lelang sampai dengan hari pada saat lelang di lakukan membutuhkan waktu yang lama. Persoalan
Problematika Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam TIndak Pidana Korupsi Melalui ...
yang muncul mengenai objek yang dilelang adalah tidak ada peminat dan/atau menjadi peserta lelang dengan alasan sebagai berikut: a. Nilai limit atau panjer peserta lelang terlalu tinggi b. Lokasi asset yang di lelang tidak strategis Persoalan tersebut jelas membebani Kejaksaan untuk melakukan gugatan perdata pemulihan keuangan negara. Alasan yang pertama. Nilai limit atau panjer terhadap objek yang akan dilelang terlalu tinggi masih dapat ditoleril karena pada lelang berikutnya nilai limit dapat diturunkan. Akan tetapi alasan yang kedua, lokasi asset yang di lelang tidak strategis biasanya lokasi tersebut jauh dari keramaian tidak memeliki nilai jual yang tinggi, akses jalan lokasi objek yang dilelang jauh atau didaerah pengunugan. Untuk mencari peserta lelang yang mau dengan lokasi objek yang seperti itu sangat sulit. Persoalan berikutnya adalah terbatasnya anggaran Kejaksaan, setiap tahap yang dilakukan Jaksa Pengacara Negara dalam melakukan gugatan perdata memerlukan biaya seperti: a. Pendaftaran Kuasa b. Pendaftaran gugatan c. Pemanggilan saksi d. Sita jaminan e. Sita eksekusi f. Eksekusi Lelang g. Pemeriksaan setempat Pengeluaran-pengeluaran tersebut merupakan pengeluaran wajib Kejaksaan jika melakukan upaya gugatan perdata untuk pemulihan keuangan negara. Terbatasnya anggaran Kejaksaan untuk melakukan upaya perdata dalam tindak pidana korupsi, sedangkan melalui upaya gugatan perdata merupakan bentuk optimalisasi pemulihan keuangan negara oleh Kejaksaan. Berdasarkan data pemulihan keuangan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, upaya pengembalian kerugian keuangan negara melalui gugatan perdata terkendala dalam pelaksanaan eksekusi. Pada umumnya, Kejaksaan dalam melakukan gugatan perdata uang pengganti pasti menang, akan tetapi hanya menang di atas kertas. Pemahaman menang di atas kertas adalah terhadap perkara gugatan perdata tersebut tidak bisa di eksekusi. Kendala pelaksanaan eksekusi inilah yang menjadi hambatan kejaksaan untuk pemulihan keuangan negara.
Pemulihan keuangan negara melalui gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara tidak sepenuhnya dapat menutup kerugian keuangan negara yang timbul karena tindak pidana korupsi. Pasca lelang asset terpidana, hasil dari lelang asset terpidana belum tentu menutup kerugian keuangan negara. Hal ini menyebabkan Kejaksaan tetap memiliki tunggakan uang pengganti yang harus dipulihkan. 3.
Strategi Kejaksaan dalam Upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara di Masa Yang Akan Datang Gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi merupakan upaya pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara. Realisasi gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi mengalami banyak kendala. Berdasarkan Kendal-kendala yang dialami oleh kejaksaan dalam upaya pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara, maka diperlukan strategi optimalisasi pemulihan keuangan negara melalui gugatan perdata yaitu: a. Penyitaan pada saat penyidikan terhadap asset-aset tersangka tindak pidana korupsi yang merupakan hasil tindak pidana maupun bukan dari hasil tindak pidana. b. Penyidik bekerja sama dengan intelijen untuk menelusuri asset dan/atau harta milik tersangka tindak pidana korupsi, penelusuran ini dilakukan sejak proses penyelidikan dimulai. c. Pada saat penyidikan, kejaksaan melakukan pemblokiran t erhadap asset dan/atau harta milik tersangka. Pemblokiran yang dilakukan oleh kejaksaan bekerja sama dengan : Kantor Badan Pertanahan Nasional, Kantor Samsat, Kantor Bank Indonesia, Kantor Kelurahan dan/atau Kantor Desa. d. Menghimbau kepada pelaku tindak pidana korupsi untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dan/atau harta kekayaan yang didapat dari hasil tindak pidana korupsi. e. Kejaksaan mengejar pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara sampai ke ahli waris terpidana tindak pidana korupsi. Penyitaan terhadap harta kekayaan tersangka dan/atau terpidana tindak pidana korupsi bertujuan guna pemulihan keuangan negara karena tindak pidana korupsi.
137
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016
Penyitaan ini dilakukan terhadap harta kekayaan milik tersangka korupsi maupun harta kekayaan yang didapat dari tindak pidana korupsi. Hasil penyitaan dari tersangka tindak pidana korupsi nanti akan lelang untuk pengembalian kerugian keuangan negara. Proses penyitaan terhadap harta kekayaan terpidana didahului oleh proses inventarisir asset dan/atau harta kekayaan terpidana korupsi. Proses ini membutuhkan kordinasi antara Bidang Pidana Khusus Kejaksaan dan Bidang Intelijen. Fungsi intelijen disini guna mencari atau menelusuri aset-aset dan/atau harta kekayaan terpidana. Target dari intelijen kejaksaan adalah harta kekayaan tersangka yang didapat dari tindak pidana korupsi maupun harta kekayaan yang bukan hasil tindak pidana korupsi. Untuk jumlah harta kekayaan yang disita oleh kejaksaan tidak terbatas melainkan sebanyak-banyaknya dengan harapan hasil sitaan dari Kejaksaan dapat menutup kerugian keuangan negara yang terjadi karena tindak pidana korupsi. Selanjutnya pasca dilakukan penyitaan oleh oleh kejaksaan, kejaksaan juga melakukan blokir terhadap harta kekayaan milik terpidana korupsi. Dalam melakukan blokir asset-aset terpidana kejaksaan bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional, Kantor Samsat, Kantor Bank Indonesia dan Kantor Kelurahan atau Kantor Desa. Mekanisme blokir harta kekayaan terpidana korupsi dilakukan setelah intelijen kejaksaan mendapat informasi terkait asset-aset terpidana korupsi dengan tujuan agar assetasset terpidana tidak dipindahtangankan. Penelusuran asset-aset dan/atau harta kekayaan tersangka tindak pidana korupsi dilakukan sejak proses penyelidikan dimulai. Sejak proses penyelidikan juga pemblokiran asset terpidana juga dilakukan. Tujuan dari upaya ini agar tidak berlarut-larut yang menyebabkan tersangka menyembunyikan dan/atau menghilangkan harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi. Optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara melalui gugatan perdata diperlukan sebagai upaya untuk mengejar harta kekayaan tersangka korupsi yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi. Hasil penyidikan dan informasi dari intelijen sangat diperlukan untuk dilakukannya penyitaan dan blokir terhadap asset dan/atau harta kekayaan seseorang yang didapat dari hasil tindak pidana korupsi maupun buka hasil
138
tindak pidana korupsi. Selama proses penyelidikan, penyidikan, pen untu tua n hi ngga pemeriksaan di pengadilan tindak pidana korupsi dan nyata telah timbul kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Kejaksaan menghimbau kepada pelaku tindak pidana korupsi untuk mengembalikan asset,uang, dan/atau harta kekayaan yang didapat dari hasil korupsi sesuai dengan jumlah kerugian yang timbul karena perbuatannya melakukan tindak pidana korupsi. Apabila tersangka memiliki itikad baik mengembalikan uang hasil tindak pidana korupsinya maka akan dipertimbangkan berat atau ringannya dalam tuntutan jaksa dan putusan hakim pengadilan tindak pidana korupsi. Upaya pengembalian kerugian keuangan negara yang dilakukan kejaksaan terus dilakukan hingga mengejar sampai ahli waris terpidana tindak pidana korupsi. Sehingga penelusuran asset dan harta kekayaan ahli waris terpidana untuk dilakukan gugatan perdata. Dalam rangka pemulihan keuangan negara. Strategi pengembalian kerugian dan/ atau keuangan negara terhadap tunggakan uang pengganti hendakya tidak pada upaya pemidaaan dan pengembalian kerugian keuangan negara saja, akan tetapi perlu strategi bagaimana penyelesaian tunggakan uang pengganti oleh Kejaksaan. Berdasarkan Kendal-kendala pengembalian kerugaian keuangan negara melalui gugatan perdata, aspek perekonomian terpidana korupsi juga perlu dipertimbangkan didalam upaya penyelesaian tunggakan uang pengganti oleh Kejaksaan. Dalam hal terpidana korupsi sudah tidak memiliki asset dan Kejaksaan tidak bisa melakukan sita terhadap asset terpidana dikarenakan terpidana sudah jatuh miskin dan/atau tidak punya apa-apa akan tetapi masih memiliki kewajiban untuk membayar uang pengganti. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan penghapusan tunggakan uang pengganti dengan catatan terpidana memang sudah jatuh miskin dan/ atau tidak memilik asset apapun yang dapat disita oleh Kejaksaan untuk pemulihan keuangan negara. D. Simpulan Pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata (litigasi) merupakan upaya lanjutan
Problematika Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam TIndak Pidana Korupsi Melalui ...
setelah negosiasi (non litigasi) dengan terpidana korupsi untuk membayar tunggakan uang pengganti tidak berhasil. Upaya gugatan perdata Jaksa Pengacara Negara terhadap terpidana korupsi untuk membayar tunggakan uang pengganti bukan jaminan dapat memulihkan keuangan negara karena tindak pidana korupsi. Permasalahan yang muncul dalam upaya gugatan perdata (litigasi) seperti: terpidana tidak diketahui keberadaannya, tidak diketahui keberadaan asset terpidana, tidak ada asset yang dapat di sita, dan terhadap asset yang telah di sita terkendalam dalam proses eksekusi. Eksekusi asset terpidana melalui mekanisme lelang terkendala: nilai limit atau nilai panjer asset terpidana yang akan di lelang terlalui tinggi sehingga tidak ada peminantnya. Selanjutnya kendala lelang asset terpidana korupsi untuk pemulihan keuangan negara adalah tidak ada peminat untuk mengikuti lelang tersebut dengan alasan lokasi objek yang akan di lelang tidak strategis. Problematika pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata salah satunya dan paling mendasar adalah terbatasnya anggaran Kejaksaan khususnya Unit Perdata dan Tata Usaha Negara
untuk melakukan gugatan perdata. Permasalahan berikutnya, penyelesaian tunggakan uang pengganti mau tidak mau harus ditempuh melalui upaya litigasi meskipun upaya litigasi tidak dapat memenuhi kerugian keuangan negara. Strategi Kejaksaan dalam upaya pengembalian kerugian dan/atau pemulihan keuangan negara berdarsarkan problematika tersebut adalah optimalisasi tugas dan fungsi unit penyidikan, unit intelijen dan unit perdata dan tata usaha negara. Bentuk dari optimalisasi tersebut adalah penelusuran asset terpidana sebanyak-banyak untuk di sita sebagai jaminan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. E.
Saran
Upaya jaksa pengacara negara melakukan gugatan perdata pemulihan kerugian keuangan negara memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu kejaksaan membutuhkan dukungan anggaran yang lebih dari pemerintah pusat untuk biaya gugatan perdata pemulihan kerugian keuangan negara.
Daftar Pustaka
Edi Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (penyunting).1999.Menyingkap Korupsi, Kolusi, Nepotisme di Indonesia.Yogyakarta: Aditya Media. Hamzah, Andi. 2009. Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUH. Hartono. 2010. Penyidikan dan Penagakan Hukum Pidana Nawawi Barda Arif. 2005. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bhakti. Praja, Juhaya S. 2011. Teori Hukum dan Aplikasinya. Bandung: Pustaka Setia. Prinst Darwan. 2002. Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Sutiyoso, Bambang. 2010. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia: Yogyakarta. UII Press Yogyakarta. Achmad Badjuri. “Peranan KPK Sebagai Lembaga Anti Korupsi di Indonesia”, Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE) Vol. 18, No. 1 Maret 2011, Purwokerto: FE UNSOED. Thontowi Jawahir. “Prospek Pemberantasan Korupsi: Perimbangan Kewenangan KPK dengan Institusi Penegak Hukum”, Jurnal Pemerintahan. Jilid 1 No 2 Tahun 2008. Yogyakarta: Fisipol UMY. Thomas Herzfeld. Corruption and legal (in)effectiveness: an empirical investigation, European Journal of Political Economy Vol. 19, 2003.
139