BAB III PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA DALAM PERKARA PIDANA 3.1. Kedudukan dan Fungsi Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Pengertian jaksa berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Adapun pengertian jaksa berdasarkan Pasal 1 butir 6a KUHAP adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengertian penuntut umum seperti di atas, berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia maupun KUHAP, adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pengertian yang diberikan oleh kedua undang-undang tersebut di atas mengenai jaksa, memiliki cakupan yang hampir sama. Hanya saja, dalam Undangundang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, terdapat perluasan, yaitu disamping jaksa diberikan wewenang bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, juga diberi wewenang lain berdasarkan undang-undang. Wewenang lain
83
84
dimaksud kiranya dapat disimpulkan dari Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, adalah meliputi : 1. Di bidang kepidanaan, disamping mempunyai kewenangan melakukan penuntutan maupun melaksanakan penetapan dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, juga diberi wewenang : a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat. b. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. c. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3. Di bidang ketertiban dan ketentraman umum, turut menyelenggarakan kegiatan : a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat. b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum. c. Pengamanan peredaran barang cetakan. d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Pengertian-pengertian tersebut di atas secara substansial membedakan antara ”jaksa” dan ”penuntut umum”. Berdasarkan pembatasan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian jaksa berhubungan dengan aspek jabatan, yaitu sebagai pejabat fungsional, sedangkan pengertian penuntut umum berhubungan dengan aspek fungsi, yaitu melaksanakan penuntutan dan melaksanakan penetapan maupun putusan hakim. Dengan demikian, dalam proses pemeriksaan perkara pidana, tugas dan wewenang jaksa dalam fungsinya sebagai penuntut umum meliputi beberapa hal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 KUHAP, yaitu : 1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik. 2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4)
85
KUHAP, yaitu dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. 3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau merubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan ke pengadilan. 4. Membuat surat dakwaan. 5. Melimpahkan perkara ke pengadilan. 6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan. 7. Melakukan penuntutan. 8. Menutup perkara demi kepentingan hukum. 9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini. 10. Melaksanakan penetapan hakim. Berkaitan dengan wewenang penuntutan oleh jaksa dalam fungsinya sebagai penuntut umum di atas, dalam hukum acara pidana di Indonesia, dikenal dua asas penuntutan, yaitu : 1. Asas legalitas, yaitu penuntut umum diwajibkan menuntut semua orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran hukum. 2. Asas oportunitas, yaitu penuntut umum tidak diharuskan menuntut seseorang, meskipun yang bersangkutan sudah jelas melakukan suatu tindak pidana yang dapat dihukum.120 Melihat tugas dan wewenang yang diberikan tersebut, dalam peradilan pidana, eksistensi jaksa dalam upaya penegakan hukum di Indonesia mempunyai posisi penting dan tidak bisa diabaikan. Hal tersebut karena secara normatif lembaga ini telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, yakni untuk mengemban tugas terutama dibidang penuntutan. Tugas jaksa ini bukan hanya bersifat formalitas dalam sistem peradilan pidana, melainkan secara faktual juga diharapkan oleh masyarakat benar-benar dapat turut berperan aktif dalam mewujudkan rasa keadilan maupun 120
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Mengenal Lembaga Kejaksaan Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, h. 29
86
kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga dengan demikian masyarakat dapat memperoleh manfaat dari suatu proses peradilan yang bangun. Kejaksaan sebagai lembaga yang mewadahi tugas-tugas jaksa penuntut umum, merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan. Dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum, secara eksplisit dalam konstitusi Negara Republik Indonesia tidak diatur secara tegas, baik dalam UUD 1945 sebelum perubahan maupun sesudah adanya perubahan. Pengaturan keberadaan kejaksaan dalam UUD 1945 sebelum perubahan, secara implisit termuat dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yaitu ”Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”. Sedangkan dalam UUD 1945 sesudah perubahan juga termuat secara implisit, yaitu dalam Pasal 24 ayat (3) yang menyatakan, bahwa ”Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman diatur dalam undang-undang”. Selain itu secara implisit juga termuat dalam Pasal II Aturan Peralihan, bahwa ”Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Dasar dan belum diadakannya yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”. Diundangkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, memberikan perubahan mendasar bagi lembaga kejaksaan ini. Perubahan mendasar tersebut dapat terlihat dalam konsideran Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menyebutkan, ”Bahwa untuk lebih
87
memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun”. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga penegak hukum berada di lingkungan kekuasaan pemerintah (eksekutif). Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berfungsi melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan disamping melaksanakan fungsi kekuasaan lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Fungsi kejaksaan tersebut dalam kepidanaan mencakup aspek preventif maupun aspek represif, sedangkan dalam keperdataan dan tata usaha negara, kejaksaan berfungsi sebagai Pengacara Negara. Fungsi kejaksaan dalam aspek preventif, sebagaimana terlihat dalam ketentuan Pasal 30 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum secara statistik kriminal. Dalam aspek represif, sebagaimana terlihat dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan berfungsi melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan pelepasan bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang berasal dari Penyidik Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
88
Melalui fungsi seperti itu, dalam proses peradilan pidana, eksistensi kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang strategis dalam suatu negara hukum. Hal itu karena lembaga kejaksaan mengemban tugas dan tanggung jawab dalam proses penyaringan antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan. Dalam posisi yang strategis ini, jaksa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undangundang, harus mampu mengemban tugas dalam rangka penegakan hukum. Fungsi jaksa seperti tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan fungsi jaksa ketika jaman kolonial Hindia Belanda. Jaksa sebagai pengganti istilah officer van justitie menurut Yusril Ihza Mahendra, ketika itu bertugas menuntut seseorang ke pengadilan dalam suatu perkara tindak pidana.121 Istilah ”jaksa” baru secara resmi digunakan di masa pendudukan Jepang untuk menggantikan istilah ”officer van justitie” bagi petugas yang melakukan penuntutan perkara di pengadilan pemerintah militer Jepang.122 Jaksa pada masa pendudukan Jepang diberi kekuasaan untuk tugastugas : 1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran. 2. Menuntut perkara. 3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
121
Yusril Ihza Mahendra, Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung Dalam Sistem Presidensial di Bawah UUD 1945, http://yusril.ihzamahendra.com., Tanggal akses 7 Desember 2010. 122 Ibid.
89
4. Mengurus pekerjaan lain-lain yang wajib dilakukan menurut hukum.123 Fungsi jaksa masa pendudukan Jepang di atas memiliki kemiripan dengan fungsi jaksa menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Mengkaji kedudukan dan fungsi jaksa sebagaimana tersebut di atas dalam kerangka penegakan hukum, penting kiranya mengkaitkannya dengan cita hukum (rechtsidee) yang dianut dalam masyarakat. Karena pada hakikatnya eksistensi jaksa dalam proses penegakan hukum juga untuk mencapai cita hukum. Hal tersebut seperti dikatakan oleh Marwan Effendy, bahwa : Kedudukan dan fungsi kejaksaan dalam proses penegakan hukum sebagaimana tercermin dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan menjadi suatu badan yang berorientasi pada pencapaian tujuan hukum bagi pencari keadilan, baik itu masyarakat maupun pemerintah sendiri, yaitu kepastian hukum, keadilan dan kesejahteraan (manfaat/faedah/hasil guna) bagi masyarakat hukum.124 Berdasarkan hasil seminar yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bulan Mei 1995 di Jakarta, cita hukum mengandung arti bahwa pada hakikatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat yang berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan fikiran dari masyarakat itu sendiri.125 Oleh Bernard Arief Sidharta disimpulkan bahwa cita hukum itu adalah gagasan, karsa, cipta dan 123
R. Tresna, 1957, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, W. Versluys N.V., Amsterdam-Jakarta, h. 40. 124 Marwan Effendy, 2005, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 153. 125 Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, h. 181.
90
hukum, yang dalam intinya terdiri atas tiga unsur, yaitu keadilan, kehasilgunaan (doelmatigheid) dan kepastian hukum.126 Selanjutnya dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan, cita hukum itu akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle), norma kritik (kaidah eveluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan, penerapan hukum) dan perilaku hukum.127 Memperhatikan kedudukan dan fungsi jaksa tersebut di atas dikaitkan dengan cita hukum bangsa Indonesia yang tercermin dalam cita hukum Pancasila sebagai nilai dasar (base values) maupun sebagai nilai tujuan (goal values), berintikan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Ketuhanan Yang Maha Esa. Penghormatan atas martabat manusia. Wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara. Persamaan dan kelayakan. Keadilan sosial. Moral dan budi pekerti yang luhur. Partisipasi dan transparansi dalam proses pengambilan putusan publik.128
Dari hal tersebut, maka jaksa dalam fungsinya sebagai penuntut umum dalam perkara pidana dituntut dapat membawa nilai-nilai manfaat, faedah dan hasil guna bagi masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian, harapan dalam penegakan hukum khususnya dalam peradilan pidana dapat dirasakan secara nyata. 3.2. Dasar Pertimbangan Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali dalam Beberapa Kasus Praktik pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana oleh jaksa di Indonesia telah banyak terjadi. Pada beberapa kasus yang telah ada, terdapat alasan mengapa 126
Ibid. Ibid. 128 Ibid., h. 185. 127
91
jaksa melakukan upaya mengajukan peninjauan kembali dan dasar apa jaksa mengajukan peninjauan kembali tersebut. Beberapa alasan dan dasar jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali dari beberapa kasus antara lain, yaitu : 3.2.1. Kasus terpidana Muchtar Pakpahan. Alasan jaksa mengajukan peninjauan kembali dalam kasus terpidana Muchtar Pakpahan sebagaimana termuat dalam putusan peninjauan kembali Nomor : 55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996, adalah sebagai berikut : Hak jaksa/kejaksaan dalam mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah dalam kapasitasnya sebagai penuntut umum yang mewakili negara dan kepentingan umum dalam proses penyelesaian perkara pidana. Dengan demikian permintaan peninjauan kembali ini bukan karena kepentingan pribadi jaksa atau lembaga kejaksaan, tetapi untuk kepentingan umum/negara. Apa yang dimaksud dengan kepentingan umum, antara lain terdapat dalam penjelasan Pasal 49 Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Belum adanya pengaturan yang tegas dalam KUHAP mengenai hak jaksa mengajukan permintaan peninjauan kembali, memerlukan suatu tindakan hukum untuk memperjelas hak jaksa/kejaksaan mengajukan peninjauan kembali yang tersirat didalam beberapa peraturan perundang-undangan. Selain itu juga terdapat didalam penjelasan Pasal 32 huruf c Undang-undang Nomor 5 tahun 1991 tentang
92
Kejaksaan Agung RI yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan masyarakat luas. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara menjelaskan, bahwa pembangunan materi hukum ialah antara lain pembentukan hukum. Dalam pembentukan hukum tidak hanya membentuk suatu perundang-undangan
yang
baru
tetapi
juga
menciptakan
hukum
melalui
yurisprudensi. Hal ini dipertegas dalam lampiran Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1994 tentang REPELITA VI, dibidang hukum antara lain memberikan peranan yang lebih besar kepada lembaga peradilan dalam menentukan arah perkembangan hukum yang dianggap penting bagi perwujudan keadilan sosial dalam masyarakat melalui putusan hakim (yurisprudensi). Dengan demikian, diterimanya permintaan peninjauan kembali itu merupakan langkah positif dari Mahkamah Agung dalam mengisi kekosongan hukum atau kekurang jelasan dalam peraturan. Hal-hal yang menjadi dasar hukum bagi jaksa mengajukan peninjauan kembali dalam perkara Muchtar Pakpahan, adalah : 1. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, menentukan bahwa apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan undang-undang terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh yang berkepentingan. Siapa yang dimaksudkan sebagai yang berkepentingan dalam proses penyelesaian dalam perkara pidana, yaitu jaksa disatu pihak dan terpidana dipihak lainnya.
93
2. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan, bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Walaupun di dalam ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas menentukan bahwa jaksa/kejaksaan
berhak
untuk
mengajukan
peninjauan
kembali
kepada
Mahkamah Agung, namun yang jelas ketentuan pasal tersebut tidak melarang jaksa/kejaksaan untuk melaksanakan hal tersebut. Oleh karenanya wajar apabila permintaan peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya dikecualikan tersebut (putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum) adalah menjadi hak jaksa/kejaksaan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagai pihak yang berkepentingan, sepanjang terdapat dasar atau alasan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP. 3. Kalau memang rumusan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adalah untuk terpidana atau ahli warisnya, sebenarnya sudah cukup tertampung oleh ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf c. Jelas nampak bahwa pengaturannya berlebihan. Dengan demikian menjadi pertanyaan, mengapa ketentuan pasal ini dalam ayat tersendiri dan untuk siapa ketentuan pasal ini dibuat/disiapkan pengaturannya. Jawaban yang tepat, tiada lain kecuali untuk jaksa penuntut umum sebagai pihak yang berkepentingan (diluar terpidana atau ahli warisnya). Kesimpulan tersebut diperkuat oleh pendapat Andi Hamzah, bahwa kurang adil apabila dalam
94
keputusan itu jaksa/kejaksaaan tidak diberikan hak dan wewenang mengajukan permintaan peninjauan kembali. Dalam peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum KUHAP) yaitu dalam Reglement op de strafvordering dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1969 serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 terdapat ketentuan bahwa yang harus mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah jaksa agung, terpidana atau pihak yang berkepentingan. Hal itu dapat diyakini bahwa pemikiran yang terkandung dalam perundang-undangan lama tersebut tetap menjadi sumber inspirasi dalam merumuskan ketentuanketentuan KUHAP. Oleh karenanya seyogyanya apabila permintaan peninjauan kembali dapat pula diajukan oleh jaksa/kejaksaan. 3.2.2. Kasus terpidana Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School) Alasan jaksa mengajukan peninjauan kembali dalam kasus terpidana Ram Gulumal alias V. Ram dengan kasus The Gandhi Memorial School sebagaimana termuat dalam putusan peninjauan kembali Nomor : 3 PK/Pid/2001 tanggal 2 Agustus 2001, adalah : 1. Adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata tentang jati diri terdakwa Ram Gulumal alias V. Ram, sebagai berikut : a. Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung yang pertama tertulis bahwa kebangsaan terdakwa adalah kebangsaan Indonesia, padahal kebangsaan terdakwa adalah India. Pencantuman kebangsaan terdakwa Ram Gulumal alias V. Ram dengan kebangsaan Indonesia tersebut telah mengakibatkan tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf b KUHAP. Oleh
95
karenanya, berdasarkan Pasal 197 ayat (2) KUHAP putusan Mahkamah Agung Nomor 2 K/Pid/1995 tanggal 8 Juni 1995 batal demi hukum. Disamping itu telah merupakan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP. b. Perubahan kebangsaan terdakwa dari kebangsaan Indonesia menjadi India dalam putusan kasasi Mahkamah Agung yang kedua adalah tidak sah, karena: 1) Perubahan dilakukan diluar sidang. 2) Perubahan hanya dapat dilakukan sebelum atau pada saat putusan dibacakan. 3) Putusan telah dibacakan dan telah disampaikan oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada para pihak, sehingga tidak mungkin lagi melakukan perubahan terhadap putusan yang telah dibacakan dan telah disampaikan kepada para pihak tersebut. 4) Perubahan hanya dilakukan dengan menghapus kata Indonesia dan mengetik kata India tanpa ada tanda sgh (setuju ganti huruf) dan tidak ada tanda tangan dari yang bertanggungjawab atas perubahan itu. 2. Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 2 K/Pid/1995 tanggal 8 Juni 1995 jelas memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata tentang putusan Pengadilan Tinggi yang dibatalkan dan putusan tentang permohonan banding terdakwa, yaitu : a. Kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata tentang amar putusan yang menyatakan “Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 14 September 1994 Nomor 74/PID/1994/PT.DKI”.
96
Putusan Pengadilan Tinggi dalam perkara terdakwa Ram Gulumal alias V. Ram adalah putusan Nomor 71/Pid/1994/PT.DKI., akan tetapi putusan yang dinyatakan batal adalah putusan Nomor 74/PID/1994/PT.DKI., sehingga putusan Pengadilan Tinggi yang dinyatakan batal adalah putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dalam perkara lain bukan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dalam perkara terdakwa Ram Gulumal alias V. Ram. Dengan demikian, sampai
saat
ini
putusan
Pengadilan
Tinggi
DKI
Jakarta
Nomor
71/Pid/1994/PT.DKI masih tetap berlaku secara sah dan tidak pernah dibatalkan. b. Kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata tentang amar putusan, yaitu dengan amar “Mengadili sendiri, menyatakan permohonan banding terdakwa terhadap dakwaan kedua tidak dapat diterima”. Padahal putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap dakwaan kedua adalah putusan bebas, dan terdakwa Ram Gulumal alias V. Ram tidak pernah mengajukan permohonan banding terhadap putusan dakwaan kedua tersebut. Akan tetapi, ternyata walaupun terdakwa Ram Gulumal alias V. Ram tidak pernah mengajukan banding terhadap putusan dakwaan kedua, Mahkamah Agung telah mengadili sendiri dan menyatakan permohonan banding terdakwa terhadap putusan dakwaan kedua tidak dapat diterima. Tindakan mengadili sendiri permohonan banding yang tidak ada memperlihatkan secara jelas kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, sehingga putusan Mahkamah Agung Nomor 2 K/Pid/1995 tanggal 8 Juni 1995 harus dibatalkan.
97
3. Kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata tentang pertimbangan hakim dalam membebaskan terdakwa, yaitu menyatakan ada surat dari Gopal G.L. yaitu surat tanggal 2 Oktober 1982 (barang bukti), benar surat tersebut diterima terdakwa sendiri dari Gopal G. Lalmalani, tanda tangannya dilakukan didepan terdakwa sendiri dan memang orangnya satu dengan yang menandatangani surat kuasa tahun 1974 yaitu Dr. Gopal G. Lalmalani, tetapi memang Dr. Gopal G. Lalmalani tanda tangannya sering berbeda-beda. Pertimbangan tentang fakta diatas tidak benar, karena dalam perkara tersebut terdapat surat palsu, yaitu dalam surat kuasa tanggal 2 Juni 1974, tanda tangan yang dipalsukan adalah tanda tangan Dr. Gopal G. Lalmalani. Sedangkan pada surat tertanggal 2 Oktober 1982 dari Ketua Komite Sekolah kepada Ny. Sangeeta Ram (istri terdakwa), tanda tangan yang dipalsukan adalah tanda tangan Gopaldas Sawlani (Ketua Komite Sekolah), bukan dari Dr. Gopal G. Lalmalani. Orang bernama Dr. Gopal G. Lalmalani berbeda dengan orang bernama Gopaldas Sawlani. Dalam fakta, orang yang bernama Gopaldas Sawlani telah meninggal, sedangkan orang yang bernama Dr. Gopal G. Lalmalani sampai saat ini masih hidup. 4. Kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam menerapkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Dalam hal ini Majelis Hakim Kasasi sebagai judex juris telah melampaui wewenang sebagaimana ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP, yaitu melakukan penilaian terhadap hasil pembuktian yang menjadi wewenang judex factie, tidak termasuk kewenangan Majelis Hakim Kasasi.
98
5. Kekhilafan Majelis Hakim Kasasi atau kekeliruan yang nyata dalam hal tidak mempertimbangkan alat bukti Paspor atas nama Dr. Gopal Gagandas Lalmalani dan berita acara pemeriksaan laboratoris kriminalistik terhadap tanda tangan Dr. Gopal Gagandas Lalmalani. Majelis Hakim Kasasi hanya mempertimbangkan keterangan saksi Dr. Gopal G. Lalmalani, saksi Arjan G. Lalmalani, saksi Ny. Drupathi dan terdakwa. Berdasarkan alat bukti paspor tersebut terlihat bahwa Dr. Gopal G. Lalmalani berangkat dari Indonesia ke Amerika tanggal 3 Juli 1973 dan datang lagi ke Indonesia tanggal 4 Juni 1975 sebagai turis. Pada tahun 1974 saat pembuatan surat kuasa Dr. Gopal G. Lalmalani tidak berada di Indonesia. Hasil pemeriksaan laboratoris kriminalistik Mabes Polri yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan laboratorik kriminalistik Nomor : 416/DF/1992 tanggal 1 Juli 1992, dalam kesimpulannya menyatakan bahwa tanda tangan Q adalah non identik dengan tanda tangan K, atau dengan kata lain tanda tangan Dr. Gopal G. Lalmalani pada surat Irrevocable Special Power of Attorney tanggal 2 Juni 1974 yang dipersoalkan dan asli tanda tangan Dr. Gopal G. Lalmalani pembanding adalah bukan merupakan produk dari satu orang yang sama. Dengan alat bukti paspor dan keterangan ahli yang dituangkan dalam berita acara hasil pemeriksaan laboratoris kriminalistik tersebut, telah cukup membuktikan bahwa tanda tangan yang tercantum pada surat kuasa tanggal 2 Juni 1974 adalah tanda tangan palsu. 6. Keberatan kasasi dari terdakwa dan penasihat hukum terdakwa yang menyatakan salah satu unsur dari Pasal 266 ayat (1) KUHP yaitu unsur kesengajaan (opzet)
99
tidak terbukti, tetapi yang dipertimbangkan dan dinyatakan tidak terbukti adalah salah satu unsur keterangan palsu bukan unsur opzet. Keberatan terdakwa dan Penasihat Hukum terdakwa dalam putusan kasasi disebutkan, bahwa putusan judex faktie dalam perkara a quo yang menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, meskipun salah satu unsur dari pasal tersebut yaitu kesengajaan (opzet) tidaklah terpenuhi, oleh sebab itu secara hukum terdakwa tidaklah termasuk orang yang memberikan keterangan akte yang menurut keterangan tidak benar itu, oleh karena itu secara hukum terdakwa tidak bisa dipersalahkan. Terkait dengan keberatan tersebut, dalam pertimbangan putusan Majelis Hakim Kasasi disebutkan, bahwa dengan demikian judex factie telah salah mengambil kesimpulan dalam pembuktian untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan pemalsuan, seperti yang disebut dalam dakwaan kesatu primair, karenanya unsur keterangan palsu dalam dakwaan kesatu primair tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Dengan tidak terbuktinya salah satu unsur dari dakwaan ini maka kesalahan terdakwa tidak dapat terbukti dan terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan kesatu primair tersebut. Unsur yang dipertimbangkan Majelis Hakim Kasasi tersebut lain dengan unsur yang dinyatakan tidak terbukti oleh terdakwa dan penasihat hukum terdakwa dalam alasan keberatan kasasi. Dengan demikian, terdapat kekhilafan Majelis Hakim Kasasi dan kekeliruan yang nyata dalam mempertimbangkan alasan keberatan terdakwa dan penasihat hukum terdakwa.
100
7. Kekhilafan Majelis Hakim Kasasi atau kekeliruan yang nyata dalam putusan, yaitu pertimbangan yang satu dengan pertimbangan lainnya bertentangan dalam memeriksa dan mengadili dakwaan kedua primair dan dakwaan kedua subsidair. Pertimbangan putusan Majelis Hakim Kasasi pada halaman 45 menyatakan permohonan kasasi jaksa terhadap putusan bebas dakwaan kedua primair dan dakwaan kedua subsidair tidak dapat diterima. Sedangkan pada halaman 52 Majelis Hakim Kasasi menyatakan, bahwa terhadap dakwaan kedua primair dan dakwaan kedua subsidair sebagaimana telah dipertimbangkan diatas, putusan Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
tanggal
24
Maret
1994
Nomor
:
67/VIII/Pid.B/1993/PN.JKT.PST. telah tepat dan benar. Dalam hal ini Mahkamah Agung memeriksa perkara ini dengan pertimbangan-pertimbangan yang sama dengan putusan pengadilan negeri tersebut. Pertimbangan Majelis Hakim Kasasi tersebut saling bertentangan. Jika Mahkamah Agung konsisten dalam pendapatnya yang menyatakan permohonan kasasi jaksa tidak dapat diterima, maka seharusnya Mahkamah Agung tidak perlu lagi memeriksa dakwaan kedua primair dan dakwaan kedua subsidair, dengan mengambil alih pertimbangan-pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 8. Terdapat kekhilafan Majelis Hakim Kasasi atau kekeliruan yang nyata dalam memeriksa dan mengadili dakwaan kedua, yaitu dengan tindakan Majelis Hakim Kasasi mengambil alih pertimbangan-pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka Majelis Hakim Kasasi telah memeriksa dakwaan kedua primair dan dakwaan kedua subsidair yang mempertimbangkan alat bukti, padahal
101
Mahkamah Agung tidak berwenang untuk itu karena hal tersebut merupakan penilaian hasil pembuktian yang merupakan wewenang judex factie. 9. Terdapat kekhilafan majelis hakim atau kekeliruan yang nyata dalam putusan, Majelis Hakim Kasasi sedikitpun tidak mempertimbangkan penafsiran yang sangat jelas keliru terhadap unsur memiliki/menguasai secara melawan hukum dan juga tidak mempertimbangkan alasan kasasi lainnya. Hal-hal yang menjadi dasar hukum bagi jaksa penuntut umum mengajukan peninjauan kembali dalam perkara Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), adalah : 1. Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP, dihubungkan dengan Pasal 191 KUHAP dan Pasal 193 KUHAP, jaksa penuntut umum berkesimpulan, bahwa berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, putusan yang dapat dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pemidanaan, dan yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Sedangkan berdasarkan Pasal 263 ayat (3) KUHAP, putusan yang dapat dimintakan peninjauan kembali adalah putusan tanpa pemidanaan, dan yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah jaksa penuntut umum (bukan terpidana). Sehubungan dengan hal tersebut, jaksa penuntut umum akan membuktikan bahwa putusan bebas terhadap dakwaan kesatu dan dakwaan kedua perkara a quo adalah putusan bebas tidak murni, dengan alasan sebagai berikut : a. Putusan bebas terhadap dakwaan kesatu primair, subsidair dan lebih subsidair adalah putusan bebas tidak murni, dengan alasan :
102
1) Fakta dipersidangan dapat disimpulkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan sehingga putusan pembebasan yang dijatuhkan Majelis Hakim Kasasi terhadap dakwaan kesatu primair, subsidair dan lebih subsidair adalah putusan bebas tidak murni. 2) Majelis Hakim Kasasi tidak obyektif menerapkan hukum pembuktian. Dalam putusannya dinyatakan bahwa yang menjadi masalah utama ialah apakah surat kuasa yang dipakai terdakwa dari Dr. Gopal G. Lalmalani tanda tangannya palsu atau tidak, namun dalam mempertimbangkan apa yang disebut sebagai masalah utama tersebut sedikitpun tidak ada mempertimbangkan alat bukti paspor atas nama Dr. Gopal G. Lalmalani dan alat bukti hasil pemeriksaan laboratoris kriminalistik. 3) Adanya pertimbangan Majelis Hakim Kasasi dalam putusannya yang bertentangan satu dengan lainnya, yaitu telah membenarkan keberatan terdakwa/penasihat hukum terdakwa yang menyatakan bahwa keterangan saksi Dr. Gopal G. Lalmalani yang diberikan dibawah sumpah dalam berita acara pemeriksaan tidak sah. Akan tetapi, Majelis Hakim Kasasi dalam mempertimbangkan apakah tanda tangan Dr. Gopal G. Lalmalani palsu atau tidak palsu tetap mempertimbangkan keterangan saksi Dr. Gopal G. Lalmalani. 4) Majelis Hakim Kasasi hanya mempertimbangkan keterangan palsu yang bersumber dari
surat
kuasa tanggal
2 Juni
1974, dan tidak
mempertimbangkan keterangan palsu lainnya yang dimasukkan dalam akte otentik Nomor 72 tanggal 25 September 1974.
103
b. Putusan bebas terhadap dakwaan kedua primair dan subsidair adalah putusan bebas tidak murni, dengan alasan : 1) Putusan pembebasan terhadap dakwaan kedua primair Pasal 374 KUHP dan dakwaan kedua subsidair Pasal 372 KUHP didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap unsur memiliki/menguasai secara melawan hukum. 2) Pertimbangan Majelis Hakim Kasasi yang berpendapat, bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan pengalihan kepemilikan pembangunan dan penggelapan sekolah di Blok B Kav.4 B/1 Ancol yang merupakan aset GMS (Gandhi Memorial School) Jalan Pasar Baru Selatan No.10 Jakarta Pusat.
Oleh
karenanya,
merugikan
BMA
(Bombay
Marchants
Association). Perbuatan yang menurut Majelis Hakim Kasasi terbukti tersebut juga merupakan salah satu perbuatan menguasai secara melawan hukum yang didakwakan dalam dakwaan kedua primair Pasal 374 KUHP dan dakwaan kedua subsidair Pasal 372 KUHP. Karena perbuatan menguasai secara melawan hukum terbukti, maka putusan bebas terhadap dakwaan penggelapan adalah putusan bebas tidak murni. 2. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman, memberikan hak kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengertian pihak yang berkepentingan adalah pihak lain selain terpidana yaitu jaksa. Dengan demikian jaksa berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali.
104
3. Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengatur tentang hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Karena hak terpidana atau ahli warisnya dikecualikan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum, maka yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum bukan terpidana atau ahli warisnya, tetapi pihak lain yang berkepentingan yaitu jaksa. 4. Upaya hukum peninjauan kembali dapat diajukan untuk memperbaiki putusan yang bertentangan dengan hukum dan keadilan. Sesuai dengan tujuan peradilan adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan, dan hukum itu tidak statis tetapi berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, hakim tidak hanya bertugas
melaksanakan
undang-undang,
tetapi
hakim
juga
diharuskan
menemukan hukum demi tegaknya hukum dan keadilan. Berdasarkan hal tersebut, jaksa mengajukan permintaan peninjauan kembali dengan alasan karena tidaklah tepat membiarkan putusan yang tidak adil berlanjut terus tanpa ada upaya perbaikan. 5. Selain Pasal 263 ayat (3) KUHAP dan pertimbangan penegakan hukum dan keadilan sebagai dasar jaksa mengajukan permintaan peninjauan kembali, permintaan peninjauan kembali oleh jaksa juga didasarkan pada fatwa Mahkamah Agung yang isinya meminta supaya Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 2 K/Pid/1995 atas nama terdakwa Ram Gulumal alias V. Ram.
105
3.2.3. Kasus terpidana Soetyawati. Alasan jaksa mengajukan peninjauan kembali dalam kasus terpidana Soetyawati sebagaimana termuat dalam putusan peninjauan kembali Nomor : 15 PK/Pid/2006 tanggal 19 Juni 2006, adalah sebagai berikut : 1. Judex juris telah memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, karena tidak mempertimbangkan sama sekali dalam pertimbangan hukumnya tentang memori kasasi dari pemohon kasasi, akan tetapi judex juris langsung menyatakan menolak permohonan kasasi jaksa. 2. Judex juris dalam pertimbangan hukumnya telah memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, yaitu menyatakan bahwa rumah sengketa sudah tidak dipergunakan sejak tahun 1977. Padahal sejak terjadinya sewa menyewa antara saksi korban dengan orang tua terdakwa pada tahun 1965, sebagaimana bukti surat sewa yang telah disita dan diajukan sebagai bukti surat sewa dalam perkara, secara fakta hukum rumah sewa tersebut masih dihuni oleh saksi korban sejak tahun 1965 sampai terjadinya peristiwa pengrusakan pintu kusen rumah tersebut, karena baru ditinggalkan selama kurang lebih 2 (dua) bulan oleh penyewa. Akan tetapi, penguasaan penyewa tetap dan barang-barang perabotan berupa almari dan barang-barang lain milik penyewa tetap ada dalam rumah tersebut dan rumah sewa itu tetap dikunci oleh penyewa (saksi korban). Untuk membuktikan rumah sewa tetap dihuni dan dikuasai oleh penyewa dapat dibuktikan dari novum surat-surat keterangan camat setempat tertanggal 28 Juni 2005 (bukti novum 1).
106
Secara fakta hukum pembayaran sewapun masih terus dilakukan oleh pelapor (saksi korban), akan tetapi terdakwa tidak mau menerimanya, maka saksi korban terpaksa membayar sewa rumah tersebut kepada terdakwa dengan cara konsignasi melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jambi, tetapi terdakwa tetap tidak mau menerima pembayaran uang sewa tersebut (bukti novum 2). 3. Putusan judex juris mengandung unsur kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, yaitu dalam pertimbangannya menyatakan bahwa meskipun terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, akan tetapi perbuatan tersebut bukanlah atau terhapus unsur melawan hukumnya. Oleh karena itu, bukanlah merupakan perbuatan pidana. Dalam amar putusannya Majelis Hakim Kasasi malah membebaskan/melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum, seharusnya putusan bersifat pemidanaan. Sehingga berdasarkan Pasal 263 ayat (3) KUHAP, hal tersebut menjadi salah satu alasan bagi jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali. 4. Putusan kasasi telah dibacakan dan diputus oleh Majelis Hakim Kasasi terdiri dari 3 (tiga) orang hakim kasasi pada tanggal 21 September 2004, akan tetapi putusan kasasi tersebut hanya ditandatangani oleh 2 (dua) orang hakim anggota pada tanggal 4 Desember 2004, dengan alasan karena Ketua Majelis Hakim pada tanggal 4 Desember 2004 telah meninggal dunia. Oleh karenanya putusan kasasi tersebut adalah batal demi hukum. 3.2.4. Kasus terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto. Alasan jaksa mengajukan peninjauan kembali dalam kasus terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto sebagaimana termuat dalam putusan peninjauan
107
kembali Nomor : 109 PK/Pid/2007 tanggal 25 Januari 2008, adalah sebagai berikut : 1. Adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata pada pertimbangan putusan hakim, yaitu : a. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan “bahwa Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusan Nomor : 16/Pid/2006/PT.DKI tanggal 27 Maret 2006 telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst dan dengan mengadili sendiri : -
Menyatakan terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dalam dakwaan kesatu.
-
Membebaskan ia oleh karenanya dari Dakwaan Kesatu tersebut.
-
Menyatakan terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana memper-gunakan surat palsu sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kedua.
-
Menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun.
-
Dan seterusnya.
Pertimbangan Mahkamah Agung tentang putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, telah dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Karena amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut sebenarnya berbunyi sebagai berikut : -
Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa.
108
-
Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 20 Desember 2005 No.1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut.
-
Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan.
-
Dan seterusnya.
b. Mahkamah Agung (Majelis hakim kasasi) selaku judex juris telah salah menerapkan hukum pembuktian, seharusnya dengan pertimbangannya menghasilkan kesimpulan, bahwa putusan judex factie harus dibatalkan, bukan dakwaan tidak terbukti. Kesalahan nyatanya adalah kesimpulan dalam putusan kasasi ditarik tanpa pertimbangan yang jelas melanggar Pasal 25 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa ”Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. c. Judex juris (Majelis hakim kasasi) telah keliru atau telah salah dalam pertimbangannya, sehingga menyatakan judex factie salah dalam menerapkan hukum pembuktian. Pertimbangan judex juris terdapat kekeliruan yang nyata mengenai hukum pembuktian dan fakta kejadian, antara lain : 1) Majelis hakim kasasi sama sekali tidak memperhatikan hal-hal yang menyangkut penggunaan surat palsu, padahal pembunuhan terhadap korban Munir tidak terlepas dari penggunaan surat palsu oleh terpidana
109
Pollycarpus Budihari Priyanto. Bilamana mempergunakan surat palsu tersebut terbukti, seharusnya pembunuhan yang didakwakan terhadap terpidana juga terbukti. 2) Majelis hakim kasasi yang berpendapat bahwa judex factie salah menerapkan hukum pembuktian, menurut pemohon peninjauan kembali adalah suatu pendapat yang berakibat putusan memperlihatkan suatu kekhilafan atau kekeliruan pertimbangan hukum, karena majelis hakim kasasi dalam putusannya melakukan penilaian terhadap fakta hukum yang diterangkan oleh judex factie, dan seharusnya tidak dipertimbangkan dalam putusan kasasi. Pendapat majelis hakim kasasi tersebut jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata karena judex juris telah melakukan penilaian terhadap pembuktian yang merupakan kewenangan judex factie. 2. Ditemukannya keadaan baru (Novum) berdasarkan hasil penyidikan terhadap perkara atas nama Indra Setiawan dan Rochanil Aini berupa keterangan saksi, tersangka dan ahli, yaitu : a. Saksi Joseps Ririmase menerangkan, bahwa tanggal 3 September 2004 saksi selaku Station Manager Garuda Schippol Amsterdam menggantikan Taufik A. Rahman atas perintah Direktur Strategi dan Umum, tanggal 6 September 2004 melakukan perjalanan Jakarta Amsterdam dengan Pesawat Garuda GA 974 dan duduk dikursi Nomor : 2K bersebelahan dengan Asrini Utami Putri yang duduk dikursi Nomor 2J. Ketika pesawat transit, di ruang tunggu Bandara Changi Singapura, saksi bertemu dengan Ongen Latuihamallo,
110
teman saksi di Ambon ketika kecil dan Asrini Utami Putri, selanjutnya saksi mengenalkan Asrini Putri kepada Ongen Latuihamallo. b. Saksi Asrini Utami Putri menerangkan bahwa saksi adalah penumpang Garuda GA 974 yang berangkat dari Jakarta menuju Belanda tanggal 6 September 2004, duduk dikursi 2J bersebelahan dengan tempat duduk Joseps Ririmase. Didalam pesawat tersebut saksi berkenalan dengan Joseph Ririmase. Ketika pesawat transit di Bandara Changi Singapura, saksi ikut turun menuju ke ruang tunggu transit di Bandar Changi dan bertemu dengan Joseph Ririmase, selanjutnya Joseph Ririmase memperkenalkan Ongen Latuihamallo alias Ongen kepada saksi. Ketika di ruang tunggu Bandara Changi Singapura (Room Gate D42 saksi melihat Munir duduk di Coffe Bean menghadap kearah Smoking Room/Money Changer, bersama-sama dengan Pollycarpus dan Ongen. c. Saksi Raymond J.J. Latuihamallo alias Yongen menerangkan bahwa saksi adalah penumpang pesawat Garuda GA 974 berangkat tanggal 6 September 2004, dari Jakarta menuju Amsterdam. Ketika pesawat transit di Bandara Changi Singapura, saksi masuk ke Coffee Bean, saksi melihat Pollycarpus baru dari counter pemesanan minuman sambil membawa 2 gelas minuman. Di Coffee Bean tersebut saksi melihat Munir sedang berbincang-bincang dengan Pollycarpus sambil minum. d. Saksi Raden Mohammad Patma Anwar alias Ucok alias Empe alias Aa, menerangkan bahwa saksi adalah Agen BIN sejak tahun 2000 berkantor yang sama dan satu ruangan dengan Sentot Waluyo dan Murdjono. Saksi kenal
111
dengan Munir sejak tanggal 27 Juli 1996, karena saksi sering mengikuti diskusi di kantor Kontras, membahas masalah dwifungsi ABRI dan Rezim Orde Baru. Pada tanggal 8 atau 9 Juli 2004, saksi didatangi oleh Sentot yang mengatakan kalau saksi dan Sentot dapat tugas dari Bapak E untuk membunuh Munir sebelum Pemilihan Presiden. Saksi pernah mencoba untuk menyantet Munir melalui Ki Dharma di Ratujaya Depok, namun tidak jadi dilakukan, karena saksi tidak yakin dengan Ki Dharma. Saksi bersama-sama Sentot dan Wahyu Saronto juga pernah mengunjungi rumah Ki Gendeng Pamungkas untuk menyantet Munir, namun tidak bertemu. Pada kesempatan lain, Sentot berhasil menemui Ki Gendeng Pamungkas, namun santet tersebut tidak berhasil karena Munir punya keris. Rencana pembunuhan Munir melalui cairan/racun juga tidak jadi dilakukan. Saksi tidak kenal dengan Pollycarpus, namun saksi pernah melihat Pollycarpus di areal parkir kantor BIN, sebelum kematian Munir, dengan menggunakan sedan Volvo warna hitam. Karena sistem operasi BIN menggunakan sistem sel atau sistem jaringan putus, maka saksi tidak tahu yang memberi perintah untuk membunuh Munir. e. Tersangka Indra Setiawan, MBA. menerangkan bahwa tersangka adalah Direktur Utama Garuda Indonesia yang menerbitkan dan menandatangani Surat Nomor: Garuda/DZ-2207/04 tanggal 11 Agustus 2004 perihal Surat Penugasan Pollycarpus Budihari Priyanto sebagai staf Perbantuan di Unit Corporate Security. Surat penugasan tersebut dikeluarkan tersangka atas permintaan tertulis dari As’ad, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara sekitar
112
bulan Juni/Juli 2004, namun surat tersebut hilang bersama-sama dengan tas tersangka ketika mobil tersangka diparkir di Hotel Sahid pada tanggal 31 Desember 2004. f. Ahli Dr. Rer.Nat. I Made Agung Gelgel Wirasuta, Msi.Apt., menerangkan bahwa Korban terdedah oleh Arsen campuran (III) sebanyak 83 % dan As (V) sebanyak 17 % Arsen dalam usus korban belum sempurna terserap. Analisa ratio konsentrasi As (III) dan As (V) di darah korban dan berdasarkan atas simulasi farmakokinetik konstrasi Arsen di darah, dapat diperkirakan waktu “intake“ Arsen terjadi sekitar delapan hingga sembilan jam sebelum korban meninggal. 3.3. Pendapat Mahkamah Agung Terhadap Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Diterimanya beberapa permintaan peninjauan kembali atas perkara pidana yang diajukan jaksa oleh Mahkamah Agung, telah banyak menimbulkan perdebatan diantara para teoritisi maupun praktisi hukum Indonesia. Perbedaan pendapat yang muncul terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang dalam melihat kasus yang terjadi. Satu sisi berpendapat dengan sudut pandang hukum positif dan di sisi yang lain berpendapat dengan sudut pandang pada nilai keadilan. Terhadap permintaan peninjauan kembali beberapa perkara pidana yang diajukan oleh jaksa tersebut, pendapat Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukum sebagaimana termuat dalam putusan-putusan peninjauan kembali yang telah ada, pada intinya hampir terdapat persamaan. Kasus Muchtar Pakpahan sebagai kasus pertama dalam sejarah upaya hukum luar biasa peninjauan kembali di
113
Indonesia yang diajukan oleh jaksa, telah mengundang perhatian dan tidak sedikit mengundang perdebatan. Hal tersebut karena pengajuan permintaan peninjauan kembali atas perkara Muchtar Pakpahan yang diajukan oleh jaksa, dalam KUHAP sebagai pedoman hukum acara proses peradilan pidana, tidak ada ketentuan yang mengatur posisi jaksa dalam ketentuan peninjauan kembali. Putusan peninjauan kembali kasus Muchtar Pakpahan tersebut selanjutnya dijadikan acuan bagi hakim dalam mengadili perkara-perkara peninjauan kembali yang diajukan jaksa berikutnya. Putusan kasus Muchtar Pakpahan dapat dikatakan sebagai pembentukan hukum acara mengenai peninjauan kembali. Hal tersebut sesuai dengan kewenangan yang dimiliki Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dalam penyelesaian suatu perkara, yang oleh Pontang Moerad dikatakan bahwa : Pengadilan mempunyai kedudukan penting dalam sistem hukum kita, karena ia melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum (rechtvorming) dan penemuan hukum (rechtvinding). Dengan kata lain, hakim/pengadilan dalam sistem hukum kita, yang pada dasarnya tertulis itu, mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law). Karena itu walaupun sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum tertulis, tetapi merupakan sistem yang terbuka (open system).129 Berkaitan dengan pendapat diatas, Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, berpendapat bahwa fungsi membentuk hukum (baru) oleh pengadilan/ hakim diatas harus dilakukan olehnya untuk mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum (tertulis) tidak jelas atau
129
H. Pontang Moerad, 2005, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, PT. Alumni, Bandung, h.15-16
114
tidak ada.130 Berikut pendapat Mahkamah Agung dalam beberapa putusan peninjauan kembali. 1. Kasus Muchtar Pakpahan. Pendapat Mahkamah Agung dalam menerima permintaan peninjauan kembali dari jaksa dalam perkara Muchtar Pakpahan adalah sebagai berikut : Hukum terbentuk antara lain melalui putusan-putusan Hakim, seperti halnya dalam masalah permohonan kasasi Pasal 244 KUHAP yang menentukan, ”Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Hal itu menegaskan bahwa permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan kecuali putusan bebas dapat dimintakan kasasi, atau dengan perkataan lain putusan bebas dengan tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Akan tetapi, melalui penafsiran Pasal 244 KUHAP tersebut, hakim menentukan bahwa terdapat dua macam putusan bebas, yakni bebas murni dan bebas tidak murni. Putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, sedangkan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menentukan, ”Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dapat dimintakan PK kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan”. Dalam perkara pidana terdapat dua pihak yang berkepentingan, yakni yang satu adalah terdakwa dan yang lainnya 130
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, PT. Alumni, Bandung, h.99
115
Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili kepentingan umum/negara. Ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut menyebutkan adanya ”pihakpihak yang berkepentingan”. Jadi pihak-pihak yang disebutkan diatas dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali. Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menentukan, ”Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”, berarti bahwa putusan pengadilan yang bukan putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum dapat diajukan permintaan peninjauan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya. Sedangkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tidak dengan tegas ditentukan atau tidak diatur. Dengan perkataan lain, tidak ada larangan untuk dimintakan peninjauan kembali oleh jaksa/penuntut umum. Dengan demikian, Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut adalah ditujukan kepada terpidana atau ahli warisnya. Terhadap Pasal 263 ayat (3) KUHAP yang menentukan, ”Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan permohonan peninjauan kembali, apabila dalam putusan itu sudah dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti suatu pemidanaan”, Mahkamah Agung berpendapat Pasal 263 ayat (3) KUHAP tersebut ditujukan kepada jaksa/penuntut umum. Oleh karena dalam hal ini jaksa/penuntut umum adalah pihak yang paling berkepentingan, yaitu jaksa/penuntut umum telah berhasil membuktikan dakwaannya dimuka sidang dan hakim dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan yang
116
didakwakan kepadanya, akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan dalam putusan hakim sebagaimana ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu jaksa/penuntut umumlah dalam hal ini yang paling berkepentingan agar putusan pengadilan tersebut dirobah. Oleh karenanya, putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tersebut, diikuti dengan pemidanaan atas diri terpidana. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dengan landasan asas legalitas dan dalam rangka menerapkan asas keseimbangan antara hak asasi pihak-pihak peninjauan kembali sebagai perseorangan atau sebagai manusia seutuhnya, berwujud kepentingan perseorangan atau golongan tertentu sebagai satu pihak, dan kepentingan umum, bangsa dan masyarakat termasuk kepentingan ”Pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia” sebagai kepentingan masyarakat Indonesia seluruhnya pada pihak lainnya, yang tidak terpisah dari Kejaksaan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Jaksa Agung. Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali selaku badan peradilan tertinggi mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil. Mengenai dapat tidaknya diajukan permohonan peninjauan kembali perkara ini, masih menjadi masalah hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara a quo ingin menciptakan hukum acara sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang jaksa/penuntut umum tersebut, dengan menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali (jaksa penuntut umum) secara formal dapat diterima. Oleh karenanya dapat diperiksa
117
apakah pihak yang meminta peninjauan kembali dapat membuktikan, bahwa putusan bebas tersebut sudah tepat dan adil. 2. Kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School). Pendapat Mahkamah Agung dalam kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School) sepanjang mempertimbangkan jalan masuk (access) untuk peninjauan kembali, Majelis Hakim kasus ini setuju terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan, sepanjang menyangkut kewenangan/hak peninjauan kembali oleh jaksa. Selanjutnya dalam konteks Pasal 263 KUHAP, pada prinsipnya Mahkamah Agung dalam perkara ini berpendapat sebagai berikut : a. Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum berhak mengajukan peninjauan kembali, sebab logikanya tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya akan mengajukan peninjauan kembali dalam hal vrijspraak (bebas) dan onslag van rechtvervolging (lepas dari segala tuntutan hukum). Dalam hal ini yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan-alasan tersebut pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP. b. Pasal 263 ayat (3) KUHAP juga tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisannya, sebab cenderung akan merugikan yang bersangkutan. oleh karenanya, logis apabila Jaksa/Penuntut Umum diberikan hak untuk peninjauan kembali melalui pasal ini. Hal ini pernah diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) dan Perma Nomor 1 Tahun 1969 serta Perma Nomor 1 tahun 1980, yaitu Jaksa Agung dapat mengajukan peninjauan kembali. Atas dasar kewajiban
Mahkamah
Agung
untuk
memelihara
keseragaman
putusan
118
(consistency in court decision), sekalipun tidak menganut asas ”stare decisis” (The binding force of precendent), maka Mahkamah Agung cenderung untuk mengikuti pendapat Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 55 PK/Pid/1996 (kasus Mukhtar Pakpahan) di atas yang logika hukumnya bisa dipertanggungjawabkan (reasonable). Pendapat tersebut di atas dapat dikatakan merupakan bentuk konsistensi Mahkamah Agung mengenai kewenangan jaksa mengajukan peninjauan kembali. Dengan demikian adalah suatu hal yang sangat wajar jika jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali, karena telah sesuai dengan praktik hukum yang berlaku di Indonesia. 3. Kasus Soetiyawati. Sehubungan dengan permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa terhadap perkara terpidana Soetiyawati, Mahkamah Agung dalam putusan peninjauan kembali perkara ini berpendapat sebagai berikut : a. Ditinjau dari teori dan praktek yurisprudensi, dibenarkan melakukan penafsiran ekstensif dalam bentuk to growth the meaning atau overrule maupun depature. Akan tetapi, ada yang berpendapat penafsiran ekstensif tidak dibenarkan dalam bidang hukum acara. Alasannya, hukum acara (terutama acara pidana) adalah “hukum publik” yang bersifat “imperatif”. Prinsipnya sebagai hukum publik yang bersifat imperatif, berfungsi sebagai the rule of the game, Tidak boleh dikesampingkan melalui penafsiran luas oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, ketentuan hukum acara tidak boleh dikesampingkan melalui tindakan diskresi (discretion)
atau
kebijaksanaan.
Tindakan
yang
seperti
itu
dianggap
119
mengakibatkan terjadinya proses pemeriksaan yang tidak sesuai dengan hukum acara atau undue process. Setiap pemeriksaan yang undue process, merupakan pelanggaran dan perkosaan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, proses penyelesaian perkara yang menyimpang dari hukum acara, dikualifikasikan sebagai unfair trial (peradilan yang tidak jujur). Bertitik tolak dari argumentasi ini, pada prinsipnya tidak boleh melakukan penafsiran atau diskresi yang luas dalam penerapan hukum acara. Setiap tindakan yang mengesampingkan ketentuan acara, dianggap melanggar asas due process dan fair trial. Oleh karena itu, penafsiran luas terhadap hukum acara dapat menjerumuskan penegakan hukum ke arah : where law ends, tyranny begin (ungkapan ini tertulis pada pintu masuk Departement of justice di Washington DC). Sehubungan
dengan
itu,
putusan
Nomor
55
PK/Pid/1996
yang
mengembangkan (to growth) atau menyimpangi (overrule) ketentuan Pasal 263 KUHAP atas alasan kepentingan umum dan keadilan moral, tidak dapat dibenarkan. Hal itu karena melanggar prinsip due process dan fair trial serta sifat imperatif yang menjurus kepada peradilan “tirani”. Akan tetapi, sebaliknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong hukum publik yang berifat imperatif, dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau diskresi, apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi atau disebut according to the principle of justice.
120
Pendapat umum yang berkembang mengatakan, tanpa penafsiran atau diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat penyidik, penuntut, dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan publik memang diakui imperatif, tetapi tidak seluruhnya absolut. Ada ketentuan yang dapat dilenturkan (flexible) dikembangkan (growth) bahkan disingkirkan (overrule) sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep : to improve the quality of justice and to reduce injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan KUHAP, yaitu kasus Natalegawa dalam perkara Nomor 275 K/Pid/1983 (10 Desember 1993). Dalam perkara ini, Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang telah menjadi stare decisis melalui “extensive interpretation”. 1) Dalam kasus ini, walaupun Pasal 244 KUHAP “tidak memberi hak” kepada penuntut umum mengajukan kasasi terhadap “putusan bebas” (Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penunut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas). 2) Akan tetapi, ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperatif yang melekat pada ketentuan ini dilenturkan, bahkan disingkirkan (overrule) dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan, bukan pembebasan murni. Sejak saat itu, kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Berarti penerimaan kasasi
121
yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas, merupakan bentuk penafsiran luas yang jelas-jelas bersifat contra legem atau bertentangan dengan undang-undang (dalam hal ini bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP). Jika pertimbangan yang tertuang dalam putusan perkara ini diperas, intisari atau esensinya to improve the quality of justice and to reduce in justice yang terkandung dalam putusan bebas Natalegawa. Motivasi tersembunyi yang paling dalam meng-contra legem Pasal 244 KUHAP, bertujuan untuk mengoreksi dan meluruskan putusan bebas atau kekeliruan yang terkandung dalam putusan. Dalam hal tersebut akan dianggap sangat tidak adil dan tidak bermoral, apabila pengadilan tidak mampu menghukum orang yang bersalah. Sangat bertentangan dengan keadilan dan kebenaran apabila pembebasan terdakwa didasarkan pada alasan “non yuridis”. Dalam kasus yang seperti itu, sangat beralasan untuk mengoreksinya dalam tingkat kasasi. Oleh karena itu dianggap tidak adil untuk menutup upaya kasasi terhadap putusan bebas, demi terwujudnya penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan semaksimal mungkin. Bertitik tolak pada motivasi yang seperti itulah yang mendorong Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam kasus Muchtar Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan Pasal 263 KUHAP. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada penuntut umum mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara memberi kesempatan kepada penuntut umum membuktikan bahwa
122
pembebasan yang dijatuhkan pengadilan tidak adil (injustice) karena didasarkan ada alasan nonjuridis. b. Pengadilan mempunyai kedudukan penting dalam sistim hukum kita, karena ia melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum (rechtvorming) dan penemuan hukum (rechtvinding). Dengan kata lain, hakim/pengadilan dalam sistem hukum kita, yang pada dasarnya tertulis itu, mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law). Karena itu, walaupun sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum tertulis, tetapi merupakan sistem yang terbuka (open system). Fungsi membentuk hukum (baru) oleh pengadilan/hakim di atas harus dilakukan olehnya untuk mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum (tertulis) tidak jelas atau tidak ada. c. Fungsi, kewajiban dan tugas dari pengadilan/hakim berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1) Pasal 5 ayat (1) menentukan, bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda bedakan orang. Pasal 5 ayat (2) menentukan, bahwa pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. 2) Pasal 16 ayat (1) menentukan, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
123
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 3) Pasal 28 ayat (1) menentukan, bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. d. Sejalan dengan jiwa ketentuan-ketentuan undang-undang tersebut, pendapat Hamaker dalam karangannya Het recht en de maatschappij dan juga Recht, Wet en Rechter, antara lain menyatakan bahwa hakim seyogyanya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Bagi Hymans (dalam karangannya Het recht der werklijkheid), hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan hukum dalam makna sebenarnya (het recht der werkelijkheid). e. Dari putusan Mahkamah Agung Nomor 55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996, Nomor 3 PK/Pid/2001 tanggal 2 Agustus 2001 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 4 PK/Pid/2000 tanggal 28 Nopember 2001, dapat disimpulkan secara global alasan diterimanya secara formal permintaan peninjauan kembali dari Jaksa Penuntut Umum dan Pihak ketiga yang berkepentingan, sebagai berikut : 1) Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, sebab logikanya tidak mungkin terpidana/ahli warisnya akan mengajukan peninjauan kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle rechtsvervolging. Karena dalam
124
konteks ini yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP. 2) Konsekuensi logis aspek demikian, maka Pasal 263 ayat (3) KUHAP yang menentukan, ”Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak dikuti oleh suatu pemidanaan”, juga tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan. Oleh karenanya, dalam hal ini adalah logis apabila hak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali tersebut diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum. 3) Berdasarkan azas legalitas serta penerapan azas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon Peninjauan Kembali) dengan kepentingan umum, bangsa dan negara dilain pihak, disamping perseorangan (terdakwa), atas kepentingan umum yang dimiliki oleh Jaksa Penuntut Umum, dapat pula mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap, yang merupakan putusan bebas dan atau lepas dari segala tuntutan hukum. Alasan ini adalah sesuai dengan model yang tertumpu pada konsep daad-daderstrafrecht yang oleh Muladi disebut model keseimbangan kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana, yaitu kepentingan negara,
125
kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan. Selaras pula dengan tujuan hukum dari pandangan hidup Pancasila, yaitu Pengayoman, dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana, maupun yang menjadi korban tindak pidana. 4) Berdasarkan asas legalitas dan pengawasan horizontal serta ketentuan pasal 79 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, maka Mahkamah Agung berwenang
membuat
peraturan
sebagai
pelengkap
tentang
cara
menyelesaikan suatu soal yang tidak atau belum diatur oleh undang-undang. Untuk mengisi kekosongan atau kekurangan hukum, maka Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menentukan mengenai permohonan Peninjauan Kembali hanya dimungkinkan bagi terpidana atau ahli warisnya, dalam perkara pidana ini dilenturkan berdasarkan kekurangan atau kekosongan hukum sekaligus suatu kebutuhan dalam acara. Oleh karenanya, mencakup juga permintaan peninjauan kembali oleh “Pihak ketiga yang berkepentingan”, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 atau Jaksa Agung atau pihak yang berkepentingan lainnya dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980. 5) Meskipun hukum acara pidana tidak menganut asas stare decisis atau the binding force of precedent, namun untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung (consistency in Court decision), Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam perkara Peninjauan Kembali kasus The Gandhi Memorial School telah cenderung mengikuti putusan peninjauan kembali
126
tanggal 25 Oktober 1996 Nomor 55 PK/Pid/1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan, yang logika hukumnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (reasonable). In casu Mahkamah Agung akan pula mengikuti putusan Mahkamah Agung tanggal 20 November 2001 Nomor 4 PK/Pid/2000. Alasan lain untuk mengikuti putusan-putusan Mahkamah Agung yang sebelumnya tersebut, karena putusan-putusan a quo merupakan “pedoman“ dalam memeriksa dan mengadili perkara yang sama, dan selain itu merupakan pula sumber hukum dan pembentukan hukum. f. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman, disebutkan bahwa ”Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”, maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melenturkan atau mengembangkan atau melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya. In casu khususnya Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa Penuntut Umum, korban tindak pidana dan pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Oleh karenanya, akan ada pergeseran prespektif dari ketentuan hukum
127
pidana yang offender oriented menjadi victim oriented, dan keadilan retributif menjadi keadilan sosiologis atau yang dikenal sebagai keadilan restoratif. g. Berdasarkan kajian teoritik melalui pandangan doktrin dari Arif Gosita dan J.E. Sahetapy, bahwa korban mempunyai hak antara lain menggunakan upaya hukum (recht middelen). Menurut Mahkamah Agung hal itu merupakan perlindungan korban kejahatan dalam ruang lingkup prosedural, yang telah dimiliki pula oleh Jaksa Penuntut Umum, yang pada dasarnya merupakan pihak yang mewakili kepentingan masyarakat secara kolektif maupun secara individual. Bagi korban kejahatan baik secara kolektif maupun secara individual harus dapat diberikan upaya hukum, dan memperhatikan yurisprudensi tersebut diatas, upaya hukum yang dimungkinkan adalah peninjauan kembali. Terkait dengan hubungan permintaan peninjauan kembali tersebut, mengenai tujuan hukum, Mahkamah Agung mengikuti ajaran Gustav Radbruch yang menggunakan “asas prioritas“ dimana prioritas pertama selalu “keadilan“, kemudian “kemanfaatan“, dan terakhir barulah “kepastian“. Karena itu, Mahkamah Agung dalam mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP, dengan cara membentuk hukum acara sendiri demi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum tersebut. Untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil, Mahkamah Agung menerapkan asas hukum “pengayoman“, dan asas dalam “model keseimbangan kepentingan“, yang memberikan perlindungan secara prosedural kepada korban tindak pidana dan mewujudkan keadilan sosiologis atau keadilan restoratif.
128
Memperhatikan
yurisprudensi-yuriprudensi,
doktrin-doktrin
dan
ketentuan
perundang-undangan tersebut diatas, maka Mahkamah Agung melakukan penafsiran ekstensif atas Pasal 263 ayat (1) KUHAP jo Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Oleh karenanya, yang berhak mengajukan peninjauan kembali bukan hanya terpidana atau ahli warisnya saja, tetapi juga Jaksa Penuntut Umum maupun korban tindak pidana. 4. Kasus Pollycarpus Budihari Priyanto. Pendapat Mahkamah Agung sehubungan dengan permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa dalam perkara terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto, mengacu pada pertimbangan yang terdapat dalam yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 Nomor 55 PK/Pid/1996, yang secara formal telah menerima permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan bebas, dan telah diikuti oleh putusan Mahkamah Agung tangggal 02 Agustus 2001 Nomor 3 PK/Pid/2001. Adapun yang menjadi pertimbangan pendapat Mahkamah Agung adalah sebagai berikut : a. Menghadapi problema yuridis hukum acara pidana yang tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara a quo berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang jaksa penuntut umum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali dalam perkara pidana. b. Dalam menyelesaikan problema yuridis hukum acara tersebut, maka Mahkamah Agung meneliti dan menafsir beberapa peraturan perundang-undangan sebagai
129
dasar yuridisnya, yaitu : 1) Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Namun melalui penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, sedangkan putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi, dan penafsiran ini lalu menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung. 2) Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 ditafsirkan bahwa didalam perkara pidana selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan, yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (negara). Oleh karena itu, pihak yang berkepentingan sebagaimana disebut dalam Pasal 21 Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut, ditafsirkan adalah jaksa yang tentunya juga berhak meminta pemeriksaan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. 3) Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Hakim Mahkamah Agung ditujukan kepada jaksa oleh karena jaksa penuntut umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar putusan hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat dirubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa. 4) Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan (termohon PK) disatu pihak dengan kepentingan umum, bangsa dan negara dilain pihak yang diwakili oleh jaksa, maka jaksa dapat pula mengajukan permintaan peninjauan kembali. 5) Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik
130
Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat dan adil. Karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP, dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi adanya kepastian hukum. 6) Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas, maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal permohonan kejaksaan untuk peninjauan kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 395 K/Pid/1995 tanggal 29 September 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung sehingga dapat diperiksa kembali. Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili perkara peninjauan kembali terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto, mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusan tanggal 5 Oktober 1996 Nomor 55 PK/Pid/1996 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Agustus 2001 Nomor 3 PK/Pid/2001, yang secara formal telah mengakui hak/wewenang jaksa penuntut umum untuk mengajukan permintaaan peninjauan kembali. Pendirian Mahkamah Agung tersebut, selain untuk memelihara keseragaman putusan, ternyata dalam putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut, terkandung “penemuan hukum”, selaras dengan jiwa ketentuan perundang-undangan, doktrin dan asas-asas hukum, yang dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, yang menentukan “Terhadap putusan pengadilan yang telah
131
memperoleh kekuatan hukum tetap pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”, tidak menjelaskan tentang “siapa saja yang dimaksud pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” tersebut. Demikian juga Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menentukan, “Apabila terdapat halhal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara pidana atau perdata oleh pihak-pihak yang berkepentingan”, tidak menjelaskan ”tentang siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali”. Terhadap ketidakjelasan tersebut, Putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 Nomor 55 PK/Pid/1996 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 Nomor 3 PK/Pid/2001 telah memberikan jawaban dengan menggunakan penafsiran ekstensif, bahwa yang dimaksud “pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara pidana”, selain terpidana atau ahli warisnya adalah jaksa. b. Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, mengandung hal yang tidak jelas, yaitu : 1) Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas melarang jaksa penuntut umum mengajukan upaya peninjauan kembali, sebab logikanya terpidana/ahli warisnya tidak akan mengajukan peninjauan kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan
132
adalah jaksa penuntut umum atas dasar alasan dalam ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP. 2) Konsekuensi logis dari aspek demikian, maka Pasal 263 ayat (3) KUHAP yang pokoknya menentukan, “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terdapat suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan ini suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”, tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya, sebab akan merugikan yang bersangkutan. Oleh karenanya logis bila kepada penuntut umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali. c. Sehubungan dengan adanya dengan ketidakjelasan dalam Pasal 263 KUHAP tersebut, perlu dikemukakan pendapat-pendapat sebagai berikut : 1) Penganut doktrin sens-clair (la doktrin du sensclair), berpendapat bahwa “penemuan hukum oleh hakim” hanya dibutuhkan jika : a) Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto atau. b) Peraturanya sudah ada tetapi belum jelas. 2) LIE OEN HOCK131 berpendapat apabila kita memperhatikan undang-undang, ternyata bagi kita bahwa undang-undang tidak saja menunjukkan banyak kekurangan-kekurangan, tetapi sering kali juga tidak jelas. Dalam hal demikian undang-undang memberi kuasa kepada hakim untuk memberikan 131
Lie Oen Hock, Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, pidato diucapkan pada peresmian pemangkuan jabatan guru besar luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan tata hukum Indonesia dalam fakultas hukum dan pengetahuan masyarakat dari Universitas Indonesia di Jakarta, pada tanggal 19 September 1959, h.11.
133
sendiri maknanya ketentuan undang-undang itu. Artinya, suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan undang-undang dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan undang-undang secara gramatikal atau historis, baik “rech maupun wetshistoris”. 3) M. Yahya Harahap132 berpendapat, bahwa akan tetapi ada sebaliknya yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong hukum public yang bersifat imperatif, dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau diskresi apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi atau disebut according to the principle of justice. Bahkan berkembang pendapat umum yang mengatakan, bahwa tanpa penafsiran atau diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat penyidik, penuntut umum dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan publik memang diakui imperatif, tetapi tidak seluruhya absolut. Ada ketentuan yang dapat dilenturkan (fleksibel), dikembangkan (growith) bahkan disingkirkan (overrule) sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep to improve the quality of justice and to reduce injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan KUHAP, yaitu kasus Natalegawa dalam perkara Nomor 275 K/Pid/1993 tanggal 10 Desember 1993. Dalam perkara ini Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang telah menjadi stare decisis melalui
132
M. Yahya Harahap, op.cit., h. 642-643
134
“extensive interpretation”. Dalam kasus ini, walaupun Pasal 244 KUHAP “tidak memberi hak” kepada jaksa penuntut umum mengajukan kasasi terhadap “putusan bebas”, terdakwa atau jaksa penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung
kecuali terhadap putusan bebas. Akan tetapi, ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperatif yang melekat kepada ketentuan ini “dilenturkan”, bahkan disingkirkan (overruled) dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan bukan pembebasan murni. Sejak saat itu kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung, berarti penerimaan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas, merupakan bentuk penafsiran luas yang jelas-jelas bersifat contra legem atau “bertentangan dengan undang-undang” (dalam hal ini bertentangan dengan pasal 244 KUHAP). Jika pertimbangan yang bertentangan dalam putusan perkara ini diperas, intisari atau esensinya to improve the quality of justice and reduce injustice yang terkandung dalam putusan bebas Naalegawa. Motivasi tersembunyi dalam meng-contra legem pasal 244 KUHAP, bertujuan untuk mengoreksi dan meluruskan putusan bebas atau kekeliruan yang terkandung dalam putusan dianggap sangat tidak adil dan tidak bermoral. Apabila pengadilan tidak mampu menghukum orang yang bersalah, sangat bertentangan dengan keadilan dan kebenaran apabila pembebasan terdakwa didasarkan pada alasan “non yuridis”. Dalam kasus yang seperti ini sangat beralasan untuk mengoreksinya dalam tingkat kasasi. Oleh karena itu
135
dianggap tidak adil untuk menutup upaya kasasi terhadap putusan bebas demi terwujudnya penegakan hukum, kebenaran dan keadilan semaksimal mungkin. Bertitik tolak pada motivasi yang seperti itulah yang mendorong majelis hakim peninjauan kembali dalam kasus Muchtar Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan pasal 263 KUHAP. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada jaksa penuntut umum mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara memberi kesempatan kepada jaksa penuntut umum membuktikan bahwa pembebasan yang dijatuhkan pengadilan “tidak adil” (in justice) karena didasarkan ada alasan non yuridis. Doktrin-doktrin tersebut di atas sesuai dengan tugas hakim dalam menemukan hukum berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan, bahwa ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan Perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Perlu dikemukakan, bahwa dalam rangka menemukan hukum ini ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 yang menyatakan, bahwa ”Hakim sebagai
136
penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat”, sehingga dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal ini dalam yurisprudensi tersebut dapat disimpulkan antara lain dari pertimbangan hukum yang menyatakan, berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perorangan (termohon peninjauan kembali) dengan kepentingan umum, bangsa dan negara dilain pihak disamping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali. d. Pertimbangan tersebut di atas adalah sesuai dengan model pada konsep “daaddaderstrafrecht” yang oleh Muladi disebut sebagai model keseimbangan kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan. Hal itu selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum pancasila yaitu pengayoman, dimana hukum harus mengayomi semua orang baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana, maupun korban tindak pidana. e. Selain itu pertimbangan hukum tersebut sejalan dengan ajaran “prioritas baku” dari garis Gustav Radbuch, dimana “keadilan” selalu diprioritaskan. Ketika hukum harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus kepada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan dan kepastian hukum, maka pilihan harus kepada kemanfaatan. Ajaran “prioritas
137
baku” tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU KUHP yang disusun oleh panitia penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang berbunyi, “Keadilan dan kepastian sebagai tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam penerapan pada kejadiankejadian nyata. Dengan menyadari hal tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan ditetapkan hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum“. f. Berdasarkan
pedoman
pelaksanaan
KUHAP
yang
dikeluarkan
Menteri
Kehakiman, yang menyebutkan bahwa tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan, guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat disalahkan. KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuanketentuannya. Dalam hal ini khususnya terdapat pada Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan jaksa penuntut umum dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, dan oleh karena permintaan peninjauan kembali tersebut beserta alasan-alasannya telah diajukan dengan cara-
138
cara yang ditentukan undang-undang, maka permintaan peninjauan kembali dari jaksa penuntut umum tersebut, secara formal dapatlah diterima. 3.4. Hak Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali Persyaratan pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana, telah ditentukan dalam beberapa hukum positif yang berlaku saat ini, yaitu antara lain dalam hukum acara pidana (KUHAP) maupun dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dari ketentuan yang ada, baik dalam KUHAP maupun dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak ada yang menyebutkan secara tegas bahwa jaksa sebagai penuntut umum diperbolehkan atau tidak mengajukan peninjauan kembali tersebut. Kedudukan jaksa sebagai pengemban tugas undang-undang yang berwenang melakukan penuntutan, dalam hal ini adalah mewakili kepentingan korban kejahatan atau kepentingan negara. Dilihat dari sudut korban kejahatan, posisi jaksa sebagai wakil korban kejahatan dalam hukum acara pidana seperti telah diuraikan di atas, memiliki posisi yang sangat strategis, yaitu disamping sebagai filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, jaksa juga dapat dikatakan sebagai pembawa amanah kepentingan korban kejahatan itu sendiri. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam sistem peradilan pidana Indonesia, karena secara prosedural korban kejahatan tidak diperkenankan melakukan tindakan penuntutan sendiri dalam proses peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, fungsi penuntutan dilaksanakan oleh jaksa.
139
Sistem seperti di atas merupakan konsekuensi dari teori kontrak sosial (social contract argument) dan teori solidaritas sosial (social solidarity argument). Dalam teori kontrak sosial dinyatakan, bahwa negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan pribadi. Karena itu, bilamana terjadi kejahatan dan membawa korban, negara harus bertanggungjawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut.133 Adapun dalam teori solidaritas sosial dinyatakan, bahwa negara harus menjaga warganegaranya dalam memenuhi kebutuhannya atau apabila warganegaranya mengalami kesukaran, melalui kerjasama dalam masyarakat berdasar atau menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara.134 Beranjak dari teori di atas, sudah seharusnya dalam proses peradilan pidana, korban kejahatan juga diberikan perhatian yang berimbang. Namun, kenyataannya dalam hukum acara pidana (KUHAP), menurut J.E. Sahetapi, bahwa perhatian dan perlindungan korban kejahatan masih dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya, korban belum mendapat perhatian secara proporsional,135 atau dikatakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan yang tidak langsung.136 Perlindungan terhadap korban kejahatan sudah seharusnya mendapat perhatian lebih serius, tidak sekedar penggantian kerugian sebagaimana termuat dalam Pasal 98 KUHAP, karena korban kejahatan secara individual dapat jauh lebih
133
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.83. 134 Ibid. 135 J.E. Sahetapi, 1987, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar, Jakarta, h.39. 136 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Cipta Aditya Bakti, Bandung, selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II, h.58.
140
menderita baik secara fisik maupun psikologis. Bahkan penderitaan itu bisa saja belum berakhir meskipun telah ada penjatuhan hukuman terhadap pelaku kejahatan maupun telah berakhirnya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan. Ditinjau dari kepentingan korban kejahatan tersebut, sistem peradilan pidana hendaknya juga dapat berjalan selaras dengan penderitaan dan kerugian yang diderita oleh korban kejahatan. Kecenderungan dewasa ini telah menyebabkan perubahan penekanan dari tingkat penderitaan yang dialami korban ke arah kepribadian pelaku. Kecenderungan seperti itu juga terjadi dalam sistem hukum pidana di Indonesia yang secara normatif seperti tergambar pada KUHAP yang masih condong pada perlindungan pelaku kejahatan (offender oriented). Pendapat-pendapat di atas sebenarnya menggambarkan tentang betapa perlunya keseimbangan perlakuan dalam peradilan pidana. Hal tersebut dirasa sangat manusiawi, karena pada hekikatnya setiap korban kejahatan berkeinginan membalas atas perbuatan jahat yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan. Namun keinginankeinginan seperti itu sangatlah sulit dapat dilakukan secara langsung oleh korban dalam sistem hukum pidana yang ada sekarang. Dimensi di atas kiranya membawa konsekuensi yang tidak berlebihan apabila jaksa yang dalam sistem peradilan pidana berdiri sebagai pihak yang mewakili korban kejahatan atau mewakili masyarakat umum atau mewakili kepentingan negara untuk membela kepentingan korban kejahatan atau kepentingan masyarakat umum atau kepentingan negara, yaitu melakukan tindakan-tindakan hukum dalam proses peradilan pidana. Demi kepentingan korban kejahatan atau masyarakat umum atau negara tersebut, dalam peradilan pidana, KUHAP maupun Undang-undang
141
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah memberi wewenang kepada jaksa melakukan tindakan penuntutan atas suatu kejahatan. Berkaitan dengan kewenangan yang telah dimiliki jaksa untuk melakukan tindakan penuntutan atas suatu kejahatan, demi kepentingan korban kejahatan atau kepentingan masyarakat umum atau kepentingan negara, apakah dalam hal pengajuan permintaan peninjauan kembali terhadap suatu perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jaksa juga memiliki hak yang sama dengan terpidana atau ahli warisnya. Masalah hal tersebut banyak menarik perhatian khususnya bagi kalangan praktisi maupun akademisi, terutama sejak adanya kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996. Dalam kasus tersebut Mahkamah Agung telah menerima permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa, dan kasus itu ternyata juga telah diikuti oleh Mahkamah Agung dalam kasus-kasus lainnya, seperti kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School) tahun 2001, kasus Soetiyawati tahun 2006 maupun kasus Pollycarpus Budihari Priyanto tahun 2008. Ketentuan yang menjadi dasar pengajuan peninjauan kembali dalam perkara pidana, secara limitatif telah diatur dalam Pasal 263 KUHAP. Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun terdapatnya ketentuan ”kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum” dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut, memberi arti bahwa hak terpidana atau ahli warisnya itu terbatas pada putusan yang mengandung pemidanaan.
142
Memang sangatlah tidak masuk akal apabila terpidana akan mengajukan peninjauan
kembali
terhadap
putusan
yang
telah
membebaskannya
atau
melepaskannya dari segala tuntutan hukum. Lalu sebenarnya untuk maksud apa ketentuan pengecualian itu dicantumkan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Apabila terpidana atau ahli warisnya telah diberi hak pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan yang mengandung pemidanaan, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, jadi terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tersebut ditujukan kepada siapa, atau siapa yang berhak mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum itu, tidak diatur secara jelas. Bertolak dari pemikiran tersebut, mungkinkah yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP itu adalah jaksa. Karena sebagai pihak dalam perkara pidana hanya ada dua, yaitu terdakwa/terpidana dan jaksa. Berkaitan dengan hal itu, Mahkamah Agung dalam putusan peninjauan kembali kasus Muchtar Pakpahan berpendapat, Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menentukan, bahwa ”Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan”, menurut Mahkamah Agung, dalam perkara pidana terdapat dua pihak yang berkepentingan, yaitu yang satu adalah terdakwa dan yang lainnya adalah jaksa yang mewakili kepentingan masyarakat umum/negara. Jadi pihak-pihak tersebut dapat mengajukan peninjauan kembali.
143
Mahkamah Agung dalam putusan peninjauan kembali kasus Muchtar Pakpahan lebih lanjut berpendapat, bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP memberi arti, terhadap putusan pengadilan yang bukan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan permintaan peninjauan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya. Sedangkan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dengan tegas ditentukan atau tidak diatur. Dalam perkataan lain, tidak ada larangan untuk dimintakan peninjauan kembali oleh jaksa. Dengan demikian, Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut adalah tidak hanya ditujukan kepada terpidana atau ahli warisnya. Selanjutnya Pasal 263 ayat (3) KUHAP menentukan, ”Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”, menurut Mahkamah Agung pasal tersebut ditujukan kepada jaksa. Oleh karena, dalam hal ini jaksa yang telah dapat membuktikan dakwaannya dan hakim dalam putusannya menyatakan terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi tidak diikuti oleh pemidanaan dalam putusan pengadilan tersebut. Jadi jaksalah yang dipandang paling berkepentingan agar putusan pengadilan tersebut dapat dirubah. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan berdasarkan asas legalitas serta asas keseimbangan antara hak asasi dari termohon peninjauan kembali sebagai perseorangan atau sebagai manusia seutuhnya berwujud kepentingan perseorangan
144
atau golongan tertentu sebagai satu pihak, dan kepentingan umum, bangsa dan masyarakat luas, termasuk kepentingan pembangunan negara kesatuan Republik Indonesia sebagai kepentingan masyarakat Indonesia seluruhnya pada pihak lainnya, yang dalam perkara tersebut diwakili oleh jaksa, sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh karena mengenai masalah permintaan peninjauan kembali dalam perkara tersebut masih menjadi masalah hukum yang menimbulkan ketidakpastian, maka Mahkamah Agung melalui putusan tersebut ingin menciptakan hukum acara sendiri guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang jaksa penuntut umum tersebut, dengan menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali dari jaksa secara formal dapat diterima. Putusan peninjauan kembali kasus Muchtar Pakpahan yang telah menerima permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa, dalam perkembangannya ternyata telah diikuti oleh beberapa putusan peninjauan kembali yang dimintakan oleh jaksa. Diantaranya permintaan peninjauan kembali kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), kasus Soetiyawati maupun kasus Pollycarpus Budihari Priyanto. Dalam beberapa putusan peninjauan kembali tersebut, argumentasi yang dikemukakan Mahkamah Agung hampir sama dan saling terkait, yaitu antara lain adanya kekosongan atau kekurangan hukum dalam Pasal 263 KUHAP. Untuk mengisi kekosongan atau kekurangan hukum tersebut, Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi penyelenggara peradilan, berdasarkan Pasal 79 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, dengan kewenangan yang ada padanya, Mahkamah Agung membuat pengaturan hukum acara sendiri sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum
145
tadi, yaitu dengan menerima permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa. Bertolak dari pertimbangan-pertimbangan hukum putusan peninjauan kembali tersebut di atas, kiranya dapat dilihat bahwa Pasal 263 ayat (3) KUHAP dapat dikatakan sebagai landasan hukum bagi jaksa dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali perkara pidana. Sesuai ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP tersebut, dapatnya jaksa mengajukan permintaan peninjauan kembali, dengan persyaratan apabila dalam putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu, suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti dengan pemindanaan. Pasal 263 ayat (3) KUHAP tersebut dapat dikatakan sebagai landasan hukum bagi jaksa mengajukan peninjauan kembali. Secara logis juga dapat disimpulkan dari keterkaitan Pasal 263 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Apabila memang Pasal 263 KUHAP hanya diperuntukkan bagi terpidana atau ahli warisnya, lalu ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP diperuntukkan untuk siapa, karena bagi terpidana atau ahli warisnya kiranya sudah tercukupi dari ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Hal lain yang menjadi pertimbangan Mahkamah Agung menerima permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa dalam beberapa putusan peninjauan kembali, yaitu tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki dan manusiawi atau disebut according to the principle of justice. Untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal serta memberi keseimbangan pihak-pihak, harus diberi hak kepada jaksa mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dengan cara
146
memberi kesempatan kepada jaksa membuktikan adanya kesalahan atau kekhilafan hakim dalam putusan tersebut. Pertimbangan Mahkamah Agung di atas sejalan dengan fungsi, kewajiban dan tugas dari pengadilan/hakim berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, maupun Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu : 1. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, bahwa ”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. 2. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, bahwa ”Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”. 3. Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, Pasal 10 ayat (1) Undangundang Nomor 48 Tahun 2009, bahwa ”Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
147
4. Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, Pasal 5 ayat (1) Undangundang Nomor 48 Tahun 2009, bahwa ”Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan (termohon peninjauan kembali) disatu pihak, dengan kepentingan umum, bangsa dan negara dilain pihak yang diwakili oleh jaksa, dalam pengajuan peninjauan kembali telah dibangun dalam putusan-putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung. Penerapan hukum dalam putusan Mahkamah Agung tersebut sesuai dengan model dari sistem peradilan pidana Indonesia, yang bertumpu pada konsep daaddaaderstrafrecht, yang oleh Muladi disebut sebagai model keseimbangan, yaitu model yang realistik memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan. Nilai keseimbangan tersebut ditinjau dari segi hukum, menurut Barda Nawawi Arief, sebagai keseimbangan antara aspek kemanusiaan dan aspek kemasyarakatan, yang mengandung makna antara hak-hak perorangan (individual) disatu pihak dan hak-hak kemasyarakatan (sosial) dilain pihak.137 Sepanjang pertimbangan diterimanya permintaan peninjauan kembali oleh jaksa untuk menemukan kebenaran materiil sebagaimana tujuan hukum acara pidana, yaitu mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,
137
Barda Nawawi Arief III, Op.cit., h. 89
148
yakni kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana, maka cukup beralasan kiranya apabila jaksa juga diberi hak yang sama dengan terpidana atau ahli warisnya untuk dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali dalam perkara pidana.