17
PERANAN JAKSA DALAM PELAKSANAAN PERADILAN PIDANA DI INDONESIA (SUATU TANGGAPAN TERHADAP RUU KEJAKSAAN) Oleh: Rudi Satriyo Menurut sistern hukwn yang kita anut, yaitu sistern hukwn Eropa KontentaI, aparat kejaksaan berwenang untuk ikut dalam penyidikan. Hal ini berlaku pada masa hukwn secara pidana kita didasarkan pada HIRJRm. Setelah berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981, aparat kejaksaan tidak lagi berwenang untuk ikut dalam bidang penyidikan, kecuali dalam hal tindak pidana khusus. Dengan demikian sistem hukwn yang kita anut telah berpindah dari sistern Eropa Kontinental ke sistem Commonwealth atau Anglo Saxon. Sehingga hal ini kurang menggambarkan cara kerja dari total sistern ditinjau dari sudut kerja aparat kejaksaan dilibatkan kernbali dalam proses penyidikan dan dengan ini diharapkan cara kerja yang total sistern akan tercapai.
PENDAHULUAN Seeara skematis dalam tata hukum dapatJah dibedakan 3 (liga) sistem hukum yaitu sistem penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum tata usaha negara dan sistim penegakan hukum pidana: Ketiga sistem penegakan hukum tersebut didukung dan dilaksanakan baik oleh peraturan perundang-undangan' dan juga aparat penegak hukum yang terkait dengan masing-masing sistem penegakan hukum. Dalam kesempatan ini penulis hanya akan membiearakan masalah yang ada di dalam sistem penegakan hukum pidana, dan itupun hanya bagian yang kecil dari keseluruhan 'masalah yang ada dalam sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana yang bisa disebut juga Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai terjemahan dari "Criminal Justice System", dan disebut pula sebagai Sistem Penyelenggaraan Hukum Pidana sebagai terFebruari 1991
18
Hukum dan Pembangunan
jemahan dari "Strajrechtelijk System ": . . Disamping itu terdapat pula istilah Administrasi Peradilan Pidana sebagai terjemahan_'''Administration Of Crime". Pelaksanaan hukum pidana atau peradilan pidana adalab merupak'an suatu sistem. Jika sistem didefinisikan sebagai "sesuatu yang' terdiri dari bagian-bagian (sub-sub sistem) yang saling berhtitJungan sedemikian nipa sehingga membentuk satu kesatuan dan satu keseillruhan". Dalam sistem peradilan pidana, maka yang menjadi sub-sub sistemnya adalah : sub sistem kepolisian, sub sistem kejaksaan, sub sistem Kehakiman dan sub sistem Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan penasehat hukum yang serna kin ' diakui keberadaannya dalam pelaksanaan sistem peradilan pi dana menempati sebagai "quasi sub sistem ll
•
1
l..i;:1.. 1. a L
I 2
{l
3
{4
t 1
5
t
J I I I
I. Masyarakat. 1. a Anggota masyarakat tersangka pelaku tindak pidana. 2. Kepolisian. 3. Kejaksaan. 4. Kehakiman. 5. Lembaga Pemasyarakatan.
Skema Sistem Peradilan Pidana Hal yang sangat perlu untuk disadari dan dimengerti, karena masalah penegakan hukum pidana itu merupakan suatu sistem aksi, maka dalam pelaksanaan cara kerja sistem tersebut harus merupakan suatu total sistem. Yang artinya bahwa baik peraturan perundang-undangan maupun aparat penegak hukum yang terkait dengan masalah penegakan hukum pidana adalah merupakan satu kesatuan proses yang hams bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif yang dilandasi dengan hukum positif tertulis yang 'ada, agar dapat mencapai efisiensi dan efektifitas yang maksimal, dengan satu tujuan bersama dalam hal ini adalah penanggulangan kejahatan secara preventif maupun represif. Tujuan dari cara kerja tolal sistem dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana (SPP) adalah : I. agar aparat penegak hukum yang terkait dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana (SPP) dalam bekerjanya,mempunyai satu tujuah bersarna yaitu penanggulangan kejahatan ; 2. agar aparat penegak hukum yang terkait dengan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana (SPP) dalam bekerjanya berpandangan jauh ke depan,
19
Peranan laksa
yang artinya dalam dirinya terpatri suatu pedoman kerja bahwa baik buruknya hasil kerja yang rnerupakan porsinya mempengaruhi juga hasil kerja bagian yang lainnya, yang pada akhirnya mempengaruhi hasil jawab; 2. di ·dalam masyarakat timbul kegelisahan karena angka kejahatan yang meningkat terus. akhir dari kerja sistem tersebut; 3. agar aparat penegak hukum yang terkait dengan pelaksanaan Sisteni. Peradilan Pidana (SPP) dalam bekerjanya memiliki rasa tanggung jawab yang besar baik atas porsi kerjanya, rnaupun porsi kerja bagian yang lain dan tak kalah pentingnya adalah kerja dari sistem terse but. Sebagai akibat dari tidak diterapkannya cara kerja total sislem dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana, adalah : I. aparat penegak bu kum yang terkait dengan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana akan bekerja seenaknya lanpa adanya rasa tanggung-
PERMASALAHAN Berkaitan dengan telah disampaikannya RUU Kejaksaan oleh pemerinlah yang dalam hal ini diwakili oleb Mentri Kebakiman RI Ismail Saleh ke DPR pada tanggal 17 November 1990, melalui amanat Presiden No. R. 07/ PU / IXlI99O, yang kernudian lelah menimbulkan pro dan kontra (Komp~ , Jurnat 23 November 1990) sehubungan dengan isipasal29 dan 30 (l) b yang pada pokoknya isinya mengenai babwa Kejaksaan selain berwenang melakukan penuntutan juga berwenang melakukan penyelidikan, penyidijcan dan wewenang lain berdasarkan undang-undang tertentu. Kemudian timbul masalah : I. bagaimana hubungan antara Undang-undang Nomor 15 tabun 1961 dengan Undang-undang Nomor 8 Tabun 1981 dan RUU Kejaksaan ? 2. Apakab Jaksa dalam menjalankan perannya daJam pclaksanaan sistem peradilan pidana sudah bekerja dengan cara tOlal sistem ? 3. Apakah Jaksa masih dilperlukan dalam lahap pra ajudikasi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan ? 4. Apakah hanya di bidang penyidikan dan penuntutan saja Jaksa diberi wewenang (komentar atas isi pasal 29 RUU Kejaksaan).
PEMBAHASAN PERMASALAHAN Sebagai acuan untuk mernbahas masalah yang pertama, yaitu bagaimana hubungan antara RUU Kejaksaan dengan Undang-undang Nomor I tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka mau tidak mau kita haius melihat pada bagian memutuskan dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pi dana yang berbunyi-sebagai berikut : Memutuskan
..
Februar; /99/
HlIkul11 dan Pembangul1Ctn
20
r.. r'Dengan mencabut , '. .' !. 2. Ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain dengan ketentuan bahwa yang tersebut dalam angka 2, sepanjang hal itu • mengenai hukum ac.ara pidana. Dari hal tersebut di atas ingin ditunjukkan oleh para'pembuat undangundang tersebut, bahwa segala peraturan perundang-undangan yang dibuat sebelum diunda!)gk~nnya Undang-unpang Nomor 8 Tahun 1981, yaitu sebelum ,tanggal31 Desember 1981,.yang isi di dalamnya memuat mengenai hukum acara pidana dinyatakan dicabut. Ketentuan ini berlaku mis~lnya bagi'Undang-undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian, UiJdang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan, sekali lagi sepanjang mengenai ketentuan hukum acara pidananya. Akan tetapi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut tidak berlaku bagi peraturan perundang-undangan yang diundangkan setelah 31 Ji)esember 1981, misalnya terhadap Undang-undang Kejaksaan yang baru Uika berhasil diundangkan tentunya), Tapi justru ketentuan yang diatur dalam Undanguiidang Kejaksaan yang bannah Uika berhasil dindangkan tentunya) yang berlaku bagi Unilang-undang Nomor 8 tahun 1981 . Hal ini sesu'!oi dengan apa yang dinyatakan oleh almarhum Koesoemadi Poedjosewojo: "Ini dalam hal undang-undang yang baru itu memuat ketentuan-ketentuan yang berlainan daripada undang-undang yang lama; undang-undang lama menjadi hapus • sekadar bertentangan dengan undang-undang baru ". Jadi kesimpulannya kita tinggal menunggu apakah yang diatur dalam undang-undang Kejaksaan yang baru nantinya ada ketentuan-ketentuan yang bertentangan atau tidak dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 198!. Masalah kedua dan ketiga akan penulis bahas sekaligus, karena keduanya saling berkaitan satu sarna lain , Sejarah hukum acara pidana di Indonesia daIam arti Indonesia setelah merdeka, dapat· dibagi dalam dua (dua) masa : 1. Masa hukum acara pidana yang diatur dalam HIR/ RIB (staatsblad No. 44 Tahun 1941) (1941- '31 Desember 1981); 2. Masa hukum acara pidana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (LNRI No. 76 Tahun 1981 dan TLNRI No. 3209) tentang Hukum Acara Pidana yang 'kodifikasinya dis~but KUHAP (31 Desember 1981). . Kemudian penulis akan mencoba untuk mengetahui tentang bagaimana tentang gambaran ,ara kerja dari aparat penegak hukum kejaksaan pada kedua masa tersebu!. Untuk mengetahui hal tersebut, maka dalam hal ini harus dikaitkan dengan aparat penegak hukum Kepolisian l Hal tersebU't dilakukan karena dengan aparat penegak hukum tersebutlah sering . timbul
.
Peranan laksa
21
masalah terutama yang berkaitan dengan tugas penyidikan (penyelidikan). I. Masa hukum acara pidana yang diatur dalam HIR/RIB. " Oalam hal ini cara untuk mengetahui hal yang paling mudah adalah dengan melihat bagaimana isi dari peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah hukum acara pidana yang berhubungan dengan aparat penegak hukum Kejaksaan dan'Kepolisian. Pertama adalah yang diatur dalam bab kedua bagian pertama Pasal 38 sampai pasal 45 HIR/RIB. Kedua adalah Undang-undang Pokok Kejaksaan (Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 LNRI No.254 tahun 1961 TLNRI No. 2298) tewtama isi dari pasal 2 (2). Ketiga adalah Undang-umndang Pokok Kepolisian (Undang-undang No.13 Tahun 1961 LNRI No. 245 Tahun 1961 TLNRI No. 2289) terutama dari isi pasal 2 (2) dan pasal 15. Oari isi pasal-pasal ketiga peraturan perundang-undangan tersebut dapat disimpulkan : I. Aparat Kejaksaan pada tahap pra-ajudikasi diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk melakukan penyidikan, penyelidikan lanjutandan koordinasi alat-alat penyelidik (termasuk polisi kehakiman dalam hal ini) ; 2. Aparat Kejaksaan pada tahap ajudikasi diberi kewenangan untuk mengadakan penuntutan ; 3. Aparat Kejaksaan pada tahap pasca ajudikasi diberi kewenangan untuk menjalankan keputusan dan penetapan hakim. Oari ketiga kesimpulan terse but diatas dapatlah penulis katakan bahwa : I. Cara kerja dari aparat penegak hukum kejaksaan dalam hubungannya dengan penegakan hukum pidana, sudah mernperlihatkan cara kerja suatu total sistem; 2. Akan tetapi jika dilihat dari sudut perundang-undangannya (ingat pelaksanaan dari Sistem Peradilan Pidana didukung dan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan sistem peradilan pidana) tampak belum merupakan cara kerja suatu total sistem. ,Hal ini disebabkan belum adanya kodifikasi dan unifikasi dalam peraturan perundang-undangan hukum acara pidana. Mengenai keikutsertaan 'aparat Kejaksaaan dalam bidang penyidikan, hal 'ini sesuai dengan sistem hukum yang kita anut, yaitu sistem Eropa Kontinental-lihat UNAFEI Newsletter Nomar 43 November 1980.' '. "Oi beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, India Pakistan, dan Banglades dianut suatu sistem dim ana Jaksa itu melulu bergerak dalam aktivitas peradilan (sistem Common~ealth = Anglo Saxon), sedangkan negara-negarll. seperti Jepang, Korea Selatan, Philipina dan Indonesia ~1980) memandang Jaksa bertanggungjawab pula terhadap penyidikan dan lembaga penuntutan sebagai adisi kegiatan peradilan (sistem Eropa Kontinental)" .. 2 . . Masa hukum acara pidana yang diatur dalam undang-undang Nomor 8 Februari 1991
22
Hukum dan Pemban glilloll
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa mulai pacta tanggal 31 Desember 1981, hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia bukan lagi yang diatur dalam HIRIRIB maupun peraturan perundang-undangan yang lainnya, tapi yang berlaku adalah hukum acara pidana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981. Hukum acara pidana yang diatur di dalam Undang-undang tersebut jika dibandingkan dengan yang diatur dalam HIRiRIB maupun peraturan perundang-undangan lainnya, rnaka telah terdapat perubahan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah yang menyangkut masalah kewenangan Jaksa dalam bidang penyidikan. Dalam bidang penyidikan ternyata menu rut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 kewenangan Kejaksaan telah dikurangi dan tinggal : I. Mempunyai wewenang untuk mengembalikan berkas perkara pada penyidik (Kepolisian) jika hasil penyidikan dirasa oleh J aksa belum lengkap. Dikenal dengan istilah pra penuntutan (pasal 138 (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981); 2. Menyidik tindak pidana ekonomi (UU Nomor 7 Drt Tahun 1955) dan tindak pidana korupsi (UU Nomor 3 Tahun 1971) dan tindak pi dana subversi (UU Nomor ll/PNPS/1963) sebagaimana diatur dalam pasal transitoir pasal 284 (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981. Jika pasal transitoir ini dicabut pada masa yang akan datang, maka atas tindak-tindak pidana tersebut Jaksa tidak lagi memiliki wewenang untuk menyidik. Dengan demikian dapat disimpulkan, .bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, maka : I. Kewenangan Jaksa dibidang penyidikan telah dikurangi dan oleh para pembentuk undang-undang ini dialihkan kepada ·Kepolisian. 2. Negara IOta di bidang hukum acara pidana telah berpindah sistem dari sistem Eropa Kontinental ke sistem Commonwealth atau Anglo Saxon. Dari kesimpulan yang pertama jika IOta kaji dari cara kerja total sistem, maka : 1. Dari sudut peraturan perundang-undangan sudah hampir memenuhi cara kerja total sistem. Hal ini disebabkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 oleh para pembuatnya diharapkan merupakan merupakan kodifikasi dan unifikasi dari peraturan-peraturan yang isinya mengatur hukum acara pidana. Hampir memenuhi karena sampai saat sekarang pasal peralihan pasal 284 (2) masih berlaku. 2. Akan tetapi dari sudut cara kerja aparat Kejaksaan menurut penulis kurang atau bahkan mungkin tidak memggambarkan cara kerja total sistem. Hal ini disebabkan oleh para pembentuk undang-undang tersebut kepolisian dijadikan sebagai satu-satunya aparat penegak hilkum yang merniliki wewenang melakukan penyidikan. Tepatkah untuk meniadakan campur tangan pihak Kejaksaan di bidang
Peranan Jaksa
23
penyidikan (penyelidikan)? Tidak dapat dipungkiri bahwa berhasilnnya kerja dari Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan terhadap terdakwa pelaku tindak pidana di persidangan, sangat bergantung pada ke "tahu" an atau penguasaan si Jaksa Penuntut Umum atas kasus tersebut yang hal itu hanya dapat dicapai jika si Jaksa telah ikut serta dalam proses pemeriksaan pendahuluan (penyidikan). Apabila ia tidak diikutsertakan dalam proses penyidikan akan mampukah ia melakukan penuntutan yang effektif. Tepatlah apa yang· dikatakan oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh (Kompas, 17 November 1990) : "Kurangnya peranan itu (pen. penyidikan) membuat kejaksaan sempit dalam spektrum penanggulangan tindak pidana secara preventif dan represif. Hal tersebut rnenurut Menkeh, acapkali menempatkan Jaksa penuntut umum dalam posisi lemah atau tidak meyakinkan dalam sidang pengadilan" . Membahas masalah yang keempat, maka teJlebih dahulu penulis akan mengutip isi pasal29 RUU Kejaksaan (Kompas, Jumat 23 November 1990) sebagai berikut "Selain melaksanakan kekuasaan negara di bidang pen untutan sebagairnana dimaksud dalam undang-undang ini, Kejaksaan juga melaksanakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan wewenang lainnya berdasarkan undang-undang tertentu." Penulis rasa ada hal penting yang tertinggal dari isi pasal tersebut yaitu menyangkut kewenangan J aksa untuk bertindak sebagai yang mempunyai tugas menjalailkan putusan dan penetapan hakim pidana. Dan kalau oleh para pembuat RUU tersebut sudah termasuk dalam kata-kata "dan wewenang lainnya berdasarkan undang-undang tertentu" menurut penulis hal tersebut kurang tepat, lebih baik ditulis saja wewenang tersebut yaitu Jaks"a mempunyai tugas menjalankan putusan dan penetapan hakim pidana. Hal ini untuk menghindarkan timbulnya penafsiran yang bermacam-macam atas kata-kata tersebul.
KESIMPULAN I.
Secara skernatis dalam tata hukum dibedakan tiga (tiga) sistem penegakan hukum, yaitu sistem penegakan hukum perdata, tata usaha negara dan pidana; 2. Sistem penegakan hukum pid~na yang disebut juga sistem peradilan pidana (SPP) didukung dan dililksanakan oleh peraturan perundangundangan dan aparat penegak hukum yang. terkait dengannya ; 3. "Karena penegakan hukum pjdana atau peradilan pidana merupakan suatu sistem, maka ia terdir\ atas sub-~ull sistem. Sub-sub sistem tersebut ialah sub sistem Kepolisian, sub sistem Kejaksaan, sub sistem perapilan danm sub sistem Lembaga Pemasyarakatan. Penasehat hukum sebagai "quasi sub si~tem"; 4. Cara kerja yang diharapkan dari pelaksanaan penegakan hukum pidana Februari /99/
24
Hukum dan Pembal1glll1al1
atau SIStun peradilan pidana adalah total sistem dengan satu tujuan bersama penanggulangan kejahatan ; 5. Dalam masa hukum acara pidana diatur dalam HIR/RIB . maka aparat penegak hukum telah bekerja dengan cara kerja total sistem. akan tetapi peraturan perundang-undangan hukum acara pidana belum mampu mendukung cara kerja demikian. Dalam masa hukum acara pidana yang diatur dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981. aparat kejaksaan tidak atau belum bekerja seeara total sistem. Akan tetapi peraturan perundang-undangannya yang mendukungnya hampir mampu mendukung cara kerja demikian ; 6. Agar tercapai penuntutan yang efektif, maka Jaksa harus dilibat kan dalam proses penyidikan (penyelidikan).
SARAN Agar pelaksanaan sistem penegakan hukum pidana atau sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan cara kerja yang total sistem. maka peranan kejaksaan dalam bidang penyidikan harus tetap dipertahankan demi efektifnya penuntutan dan penanggulangan kejahatan.
DAFTAR PUSTAKA Adji. Oernar Seno. KUHAP Sekarang_ Jakarta: Erlangga. 1985. Packer. Herbert L. The Limits of Criminal Sanction. Stanford California: Stanford University Press. Sudarto. Dampak Putusan Hakim Pidana Bagi Masyakarat. Kertas KeIja pada Seminar "Sistem Administrasi Peradilan Pidana yang Ideal" Pekan Ihruah D,es Natalies ke 28 Universitas Diponegoro. 3 November 1984. Pujosewoyo. Kusumadi . Tala Hukum Indonesia. Jakarta: Aksara Baru. 1976.
All punishment is mischief; all punishment in itself is evil. Semua hukuman adalah kejahatan; semua hukuman pada dasarnya adalah jahat. (Eremy Bentham)