BAB III PELAKSANAAN PERANAN JAKSA DALAM PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pelaksanaan Penyidikan Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi Dasar Hukum Kejaksaan dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi adalah 1. Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 serta Pasal 39 UU No. 30 Tahun 2002 2. Pasal 248 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 3. Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 4. Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983 5. Pasal 44 Keppres No. 31 Tahun 1983, Keppres No.228 Tahun 1967, Inpres No.15 Tahun 1983, Keppres 11 Tahun 2005 6. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1604/K/Pid/1990 tanggal 10 November 1994 dan Fatwa KMA No. KMA/102/III/2005 tanggal 9 Maret 2005 Materi Tindak Pidana Korupsi merupakan bagian dari Hukum Pidana Khusus (Ius Speciale, Ius Singulare / Bijzonder Strafrecht) dan pihak yang berhak melakukan penyidikan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah Pihak Kejaksaan. Yang menjadi dasar bahwa pihak Kejaksaan berhak melakukan penyidikan perkara Tindak Pidana Korupsi didukung argumentasi adalah : 1. Bahwa sebagai bagian dari hukum pidana khusus (Ius Speciale, Ius Singulare / Bijzonder Strafrecht), modus operandi dan aspek pembuktian dari Tindak
Universitas Sumatera Utara
Pidana Korupsi harus ditangani secara lebih spesifik sehingga dibutuhkan keterampilan dan profesionlisme tertentu. 2. Keppres No. 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 tentang pembentukan Tim Pemberantasan yang ditentukan Ketua Timnya adalah Jaksa Agung yang secara yuridis berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “ dalam dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.” Berdasarkan ketentuan Pasal 30 huruf d UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan berdasarkan ketentuan Pasal 17 “Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yang dimungkinkan untuk Tindak Pidana Korupsi disidik dan dituntut oleh Pihak Kejaksaan. 3. Instruksi Presiden RI No. 15 tahun 1983 dan Keppres RI No. 15 Tahun 1991 yang pada pokoknya ditentukan bahwa dalam pedoman pelaksanaan pengawasan, Para Menteri / Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Depertemen / Pimpinan Instansi lainnya yang bersangkutan setelah menerima laporan, melakukan pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus, seperti korupsi. 4. Bahwa dengan bertitik tolak kepada Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Korupsi No. R-124/F/Fpk.1/7/1995 tanggal 24 Juli 1995 dalam angka 2 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1604/K/Pid/1990 tanggal 10 November 1994 dalam perkara Tindak Pidana Korupsi yang telah ditolak
Universitas Sumatera Utara
Majelis Hakim dengan alasan bahwa berkas perkara tidak lengkap, oleh karena perkaranya disidik Penyidik Umum / Polri dan berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI yang terakhir diubah dengan Keppres No. 86 Tahun 1999 pada Bab II Bagian Pertama Pasal 4 angka 6 adanya jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang pada Pasal 22 angka 3 Keppres 86 Tahun 1999 membawahi Direktorat Tindak Pidana Korupsi dan Keputusan Jaksa Agung RI No. KEPJA-035/J.A/3/1992 tanggal 22 Maret 1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, yang kemudian diubah dengan Keputusan Jaksa Agung RI No.KEPJA-115/J.A/10/1999 tanggal 20 Oktober 1999, dan diubah kembali dengan keputusan Jaksa RI No. KEPJA-558/J.A/XII/2003 tanggal 17 Desember 2003 pada Bab XVIII Bagian Pertama Pasal 569 tentang Kejaksaan Negeri yang dalam Pasal 573 angka 6 Susunan Organisasi Kejaksaan Tinggi adalah Asisten Tindak Pidana Khusus yang terdiri dari Seksi Tindak Pidana Korupsi ( Pasal 627 ayat (1) angka 2 ). Untuk tingkat Kejaksaan Negeri yang tergolong Tipe A Pasal 692 ayat (1) angka 5 salah satu bagian adalah Seksi Tindak Pidana Khusus dan berdsarkan Pasal 708 ayat (1) angka 2, salah satu sukseksi Tindak Pidana Korupsi dan pada Kejaksaan Negeri Tipe B berdasarkan Pasal 718 ayat (1) angka 5 adalah Seksi Tindak Pidana Khusus, Perdata dan Tata Usaha Negara. 5. Ketentuan Pasal 26 UU No.31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa : “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang menentukan bahwa : “Dalam menentukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.” Pada ketentuan Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang menentukan bahwa : “Jaksa Agung mengkoordinasi dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.” Yang dimaksud dengan mengkoordinasi yang terdapat dalam Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 adalah kewenangan Jaksa Agung sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU No. 30 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa : “Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa : “Di bidang pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.” Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d menyebutkan :
Universitas Sumatera Utara
“ Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebgaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” 6. Fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia No. KMA/102/III/2005 yang menentukan bahwa Jaksa berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi pasca berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dengan berdasar pada ketentuan Pasal 26, Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 284 ayat (2) Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 dan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 KUHAP, Peyidikan adalah serangkain tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Proses penyidikan yang dilakukan oleh Pihak Kejaksaan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah bahwa Berdasarkan Keputusan jaksa Agung RI No. KEP-518/ A/ J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No.Kep-132/J.A/11/1994 tanggal 7 November 1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana dan kelaziman praktik penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi, modus operandi terungkapnya perkara korupsi dapat karena adanya
Universitas Sumatera Utara
inisiatif penyidik sendiri atau karena laporan/informasi seseorang tentang telah terjadinya Tindak Pidana Korupsi. Dalam praktik laporan / informasi ini mempergunakan bentuk P-1. Pada dasarnya, bentuk penerima laporan berisikan tentang hari, tanggal, tempat, identitas lengkap penerima dan pemberi laporan (Nama, Pangkat, NIP, Jabatan dan Kop Kejaksaan Setempat). Apabila pelapor meminta identitas dirinya dilindungi dalam Tindak Pidana Korupsi, permintaan tersebut dicantumkan di dalamnya. Kemudian, dicatat pula tentang isi yang dilaporkan dan laporan itu dibuat atas dasar sumpah jabatan serta ditandatangani oleh Jaksa penerima laporan dengan administrasi turunan kepada Direktur/Kajati/Kajari/Kacabjari dan Arsip. Atas dasar hal tersebut, Kejaksaan kemudian meng- eliminir, apabila laporan itu bersifat informasi ditangani seksi intelijen dan kalau sudah merupakan laporan terjadinya tindak pidana, langsung ditangani oleh seksi Tindak Pidana Khusus ( Kejaksaan Negeri Tipe A ) atau seksi Tindak Pidana Khusus, Perdata dan Tata Usaha Negara ( Kejaksaan Negeri Tipe B ). Dalam praktik, lazim untuk Tindak Pidana Korupsi bentuk laporan informasi saja yang banyak dilaporkan dan ditemukan. Apabila informasi perkara korupsi tersebut hanya melingkupi salah satu/satu kabupaten saja, akan ditangani oleh Kepala Kejaksaan negeri (Kajari) setempat, sedangkan apabila melingkupi beberapa kabupaten, akan ditangani oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati). Dari Hasil seksi intelijen mendapatkan indikasi bahwa informasi tersebut mengandung kebenaran, hasil tersebut akan dipaparkan (pra-ekspose) dan apabila kemudian ternyata belum lengkap, akan dilengkapi, sedangkan bila telah lengkap lalu dibuat dalam bentuk laporan intelijen khusus bahwa perkara tersebut dapat dilakukan penyelidikan. Kemudian, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) setempat mengeluarkan Surat Perintah Penyelidikan dalam
Universitas Sumatera Utara
bentuk P-2 dengan perintah kepada Jaksa Penyelidik melaksanakan penyelidikan. Secara administrasi, turunan P-2 dibuat rangkap 3 ( tiga ), yaitu untuk yang bersanngkutan, kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajari) apabila penyelidikan dilakukan oleh Kajari/Kacabjari dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jam Pidsus) apabila penyelidikannya dilakukan oleh Direktur dan Arsip. Dengan bertitik tolak Surat Perintah Penyelidikan tersebut, Jaksa Penyelidik membuat Rencana Penyelidikan dengan bentuk P-3 dan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dengan turunan kepada Kasubdit Penyidikan / Ass. Pidsus / Kasi Pidsus kemudian dipergunakan sesuai dengn kebutuhan serta satu lembar turunan untuk arsip. Setelah rencana penyelidikan ini selesai dilakukan, kemudian dilakukan penyelidikan dengan meminta keterangan sesuai P-4 dibuat 3 (tiga) hari sebelum hari pertemuan yang ditentukan dalam surat permintaan keterangan, kemudian melalui bukti surat dan lainlain. Apabila penyelidikan telah selesai, Jaksa Penyelidik kemudian melaporkan hasil penyelidikan tersebut dalam bentuk P-5 dengan berdasarkan pada hasil penyelidikan dan
akhirnya
memberikan
kesimpulan/pendapat
dan
saran,
terhadap
hasil
penyelidikannya. Pada tahap ini sebelum dilakukan penyelidikan, dalam praktik dikenal adanya suatu tahap yang dikenal dengan tahap pra-ekspose/pemaparan kembali perkara, disertai pembuatan Matrik Perkara berupa P-6. Proses pra-ekspose/pemaparan perkara dilakukan oleh Jaksa Penyelidik dibuat turunan/tembusan sesuai kebutuhan dengan titik tolak peserta pemaparan dan pada saat pemaparan suatu perkara biasanya diperlukan alat bantu berupa : a. Chart yang berupa gambar penguraian modus operandi perkara yang bersangkutan, yakni
Universitas Sumatera Utara
-
Uraian tentang perbuatan-perbuatan yang seharusnya dilakukan tersangka/terdakwa berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku;
-
Uraian
modus
operandi/perbuatan
yang
dilakukan
oleh
tersangka/terdakwa -
Pasal yang dilanggar
b. Matrik yang berisikan uraian tentang unsur-unsur pasal yang disangkakan diterapkan dengan uraian
fakta-fakta perbuatan
yang
dilakukan oleh
tersangka/terdakwa serta dukungan alat bukti dan barang bukti lainnya. Apabila dari hasil penyelidikan tersebut terdapat cukup bukti untuk dilakukan penyidikan perkara lalu dikeluarkan bentuk P-7 tentang Surat Perintah Penyidikan yang pada pokoknya memrintahkan Jaksa Penyidik melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi tersebut dan dibuat rangkap 5 (lima) untuk yang bersangkutan, Penuntut Umum (sebagai laporan dimulainya penyidikan), Kemudian Kajati/Kajari (disesuaikan dengan penandatanganan), kepada Kajati apabila penyidikan dilakukan Kajari/Kacabjari atau kepada Jam Pidsus apabila penyidikan dilakukan oleh Direktur, pada berkas perkara dan arsip. Pada tingkat penyidikan ini, dilakukan pemanggilan kepada para saksi/terdakwa sesuai bentuk P-9 dan penyampaian surat panggilan selambat-lambatnya dilakukan 3 (tiga) hari sebelum yang bersangkutan harus menghadap, dapat pula dilakukan permintaan bantuan pemanggilan saksi-saksi/ahli dengan bentuk P-10 atau bentuk P-11. Bagaimana cara teknik dan taktik melakukan penyidikan ini, pada prinsipnya identik dengan cara penanganan perkara pidana pada umumnya.Proses selanjutnya, apabila dalam melakukan penyidikan diperlukan adanya penggeledahan/penyitaan surat-surat, harta benda dan tindakan lain, diperlukan permintaan izin penggeledahan/penyitaan dengan bentuk B-1 dan kemudian dilanjutkan dengan bentuk B-5 tentang Surat
Universitas Sumatera Utara
Penitipan Barang Bukti atau dapat dilakukan tindakan berupa permintaan izin khusus untuk membuka, memeriksa dan menyita surat dipergunakan bentuk B-6 permintaan penyerahan surat-surat yang dicurigai dengan alasan kuat mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diperiksa dengan bentuk B-7 atau bentuk-bentuk B-8 tentang pemberitahuan penyitaan barang bukti oleh Kejaksaan dan B-10 tentang label benda sitaan / barang bukti atau dapat pula dimohonkan izin dari Menkeu RI untuk memeriksa keuangan sesuai B-3. Selain itu pula, di dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dapat dilakukan suatu penangkapan, dipergunakan bentuk T-1 atau kalau dilakukan penahanan/pengalihan jenis penahanan (tingkat penyidikan) dengan bentuk T-2 atau permintaan perpanjangan penahanan dengan T-3 dan Surat Perpanjangan Penahanan dengan T-4. Terhadap semua tahap tersebut diatas kemudian dibuat berita Acara Penyidikan yang ditandatangani oleh Penyidik dan saksi/tersangka. Apabila tahap penyidikan telah selesai dilakukan, pemberkasan perkara kemudian dilaporkan kepada Kajari sesuai hierarki guna diteliti lebih lanjut serta dibuat juga Rencana Dakwaan (Rendak). Pada tahap ini, dikenal adanya ekspose/pemaparan perkara ditentukan bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau ditutup demi hukum, penuntutan tersebut dihentikan (Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP) dan dikeluarkan Surat Penetapan Penghentian Penyidikan atau lazim disebut SP 3 dan bila dari ekspose/pemaparan hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, dibuat Berita Acara Pendapat atau Resume sesuai P-24, disempurnakan Rencana Dakwaan (Rendak) menjadi Surat Dakwaan serta pula Surat Pelimpahan Perkara. Dengan surat pelimpahan perkara bersangkutan berkas perkara, surat dakwaan kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri setempat dengan permintaan agar diperiksa dan diadili di depan persidangan Pengadilan Negeri.
Universitas Sumatera Utara
Setelah pemberkasan perkara telah selesai dilakukan maka di buatlah suatu pemberkasan berita acara hasil penyidikan. Teori tentang pemberkasan berita acara telah di utarakan di Bab II yaitu mengenai urutan-urutan pemberkasan berita acara hasil penyidikan baik itu dari penyidik Kepolisian maupun dari Kejaksaan. Dalam praktik berkas perkara tersebut kemudian digandakan dan dijilid apabila nantinya perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (untuk perkara yang disidik oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Tim Tastipikor) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (yang disidik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi) pelimpahan tersebut dikirim berkas aslinya sebagai dasar penyidangan perkara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri/Majelis Hakim Ad-Hoc Tindak Pidana Korupsi tempat pelimphan perkara korupsi tersebut dilakukan. Lalu dibuatlah penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2), ayat (3) butir a dan b jo Pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyerahan berkas perkara oleh Kepolisian, Penyidik Kejaksaan dan Tim Tispikor kepada Penuntut Umum dari Kejaksaan dilakukan dengan cara : 3. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara Penerimaan berkas perkara tahap pertama berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (3), Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 138 KUHAP. Penerimaan berkas perkara dicatat dalam register Penerimaan Berkas perkara tahap pertama (RP-10) dan pelaporannya menggunakan LP-6. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana No. B.401/E/9/93 tanggal 8 September 1993, penelitian berkas perkara tahap pertama difokuskan kepada:
Universitas Sumatera Utara
a. Kelengkapan formal, yakni meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan formalitas/persyaratan, tata cara penyidikan yang harus dilengkapi dengan Surat Perintah, Berita Acara, Izin/Persetujuan Ketua Pengadilan. Disamping penelitian kuantitas kelengkapan syarat formal, perlu diteliti pula segi kualitas kelengkapan tersebut, yakni keabsahan sesuai ketentuan Undang-Undang. b. Kelengkapan material, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang
diperlukan
bagi
kepentingan
pembuktian.
Kriteria
yang
dapat
dipergunakan sebagai tolok ukur kelengkapan material antara lain: -
Apa yang terjadi (tindak pidana beserta kualifikasi dan pasal yang dilanggat).
-
Siapa pelaku, siapa-siapa yang melihat, mendengar, mengalami peristiwa itu (tersangka saksi-saksi/ahli).
-
Bagaimana perbuatan itu dilakukan (modus operandi).
-
Di mana perbuatan dilakukan (locus delicti).
-
Bilamana perbuatan dilakukan (tempus delicti).
-
Akibat apa yang akan ditimbulkannya (ditinjau secara viktimologis).
Kemudian, dalam instruksi Jaksa Agung RI No. INS-006/J.A/4/1995 tanggal 24 April 1995 kelengkapan material ini diformulasikan dengan : a. Adanya fakta perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana dirumuskan dalam pasal pidana yang bersangkutan. b. Adanya fakta kesalahan tersangka baik kesengajaan maupun kealpaan. c. Adanya alat-alat bukti yang tersedia, paling tidak harus memenuhi minimum pembuktian (alat bukti) yang sah.
Universitas Sumatera Utara
d. Alat bukti yang tersedia harus diteliti mengenai keabsahan dan kekuatan alat bukti. e. Hubungan timbal balik/korelasi antara alat bukti dengan perbuatan dan kesalahan tersangka. f. Kejelasan tentang peran pelaku dalam melakukan tindak pidana tersebut (modus operandi). Kemudian, setelah diteliti kelengkapan formil dan materil sesuai instruksi No. INS-006/J.A/4/1995 tanggal 24 April 1995 dan Surat Edaran No. B.401/E/9/93 tanggal 8 September 1993, kemudian Jaksa Peneliti menyerahkan hasil telaah pada hari kelima kepada Kasi Pidum/Kajari, lalu memberitahukan kepada penyidik pada hari ketujuh (Pasal 138 ayat (1) KUHAP), dan bila dari hasil telaah tersebut merupakan Tindak Pidana Khusus, lalu dilimpahkan kepada Pidsus dengan nota dinas untuk ditindaklanjuti. Apabila dari hasil telaah tersebut Penuntut Umum beranggapan bahwa hasil penyidikan sudah dianggap lengkap, penyidik kemudian menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat (3) sub b KUHAP) atau bentuk formulir: P-21 dan Berita Acara-15. Akan tetapi, kalau hasil penyidikan tersebut ternyata belum lengkap, dikeluarkan Surat Hasil Penyidikan Belum Lengkap dalam bentuk : P-18 dan Penuntut Umum mengembalikan berkasa perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dalam bentuk P-19 dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut Umum (Pasal 14 huruf b, Pasal 110 ayat (2), (3) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP). Lazimnya, pengembalian berkas perkara kepada penyidik
Universitas Sumatera Utara
untuk dilengkapi sesuai hasil penelitian disertai petunjuk secara cermat yang menyangkut penerapan hukumnya, jelas dalam artian mudah dimengerti penyidik dan tidak berbelit-belit dan lengkap dalam artian tidak akan ada petunjuk susulan lagi kecuali diperlukan pengembangan lebih petunjuk susulan lagi kecuali diperlukan pengembangan lebih lanjut sesuai ketentuan Pasal 138 ayat (2) jo Pasal 110 ayat (2) dan (3) KUHAP. Apabila dalam waktu sepuluh hari sejak penyidikan tambahan telah dilakukan bentuk formulirnya adalah P-20. Kemudian, setelah penyidikan tambahan tersebut telah dilakukan penyidik, apabila penyidikan dianggap sudah lengkap, Kejaksaan lalu memberitahukan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap dan minta agar tersangka dan barang bukti segera diserahkan dan akan dibuat dan diajukan rendak (Rencana Dakwaan) dengan bentuk P-21 dan RP-11.
4. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum. Pada tahap ini pemeriksaan tersangka (bentuk formulir:BA-15) dimaksudkan untuk menghindari kesalahan orang (error in persona) dituntut dan dihadapkan di depan persidangan. Terhadap penelitian tersangka ini lazim diperhatikan mengenai hal-hal sebagai berikut: a. Penelitian terhadap identitas dan keterangan tersangka. b. Penelitian terhadap sejauh mana kebenaran keterangan yang telah diberikan dihadapan penyidik. c. Penelitian terhadap tindak pidana apa yang disangkakan.
Universitas Sumatera Utara
d. Penelitian tentang apakah tersangka pernah ditahan/dilanjutkan penahanannya. Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum ini dibuat dalam bentuk nota pendapat dengan memperhatikan Surat JAM Pidum No. B.401/E/9/1993 (butir 4) tanggal 8 September 1993 tentang penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti. e. Penelitian terhadap apakah tersangka pernah dihukum atau tidak. Sedangkan penelitian barang bukti, dalam praktik lazim dipergunakan bentuk Berita Acara (BA-18) dimana penanganan barang bukti memperhatikan KEPJA112/JA/10/1989 tentang Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan dan Penataan Barang Bukti, butir 4 Surat JAM Pidum No. B.401/E/9/1993 (butir 4) tanggal 4 September 1993 tentang Pelaksanaan tugas pra Penuntutan dan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M-05-UM.01.06 tahun 1983. Pada penelitian barang bukti, diteliti dan diperhatikan mengenai hal-hal sebagai berikut: a. Penelitian jenis, kelengkapan kondisi, kuaitas dan kuantitas berat dan keadaan barang bukti. b. Penelitian barang bukti disaksikan oeh penyidik dan tersangka serta saksi lain. c. Adanya berita acara penelitian barang bukti/benda sitaan ditandatangani oleh Jaksa peneliti petugas barang bukti, yang
membantu jaksa peneliti,
Penyidik/Polisi yang membawa dan menyerahakan tersangka dan barang bukti/benda sitaan (pemilik barang bukti). d. Penelitian barang bukti berupa logam mulia, permata, narkotika, obat-obatan dan barang bukti lainnya yang bersifat khusus dilakukan dengan bantuan tenaga ahli/laboratorium untuk mengetahui dan memastikan tentang mutu/kadarnya. e. Selesai penelitian dibungkus kembali dan disegel dan dibuatkan berita acara.
Universitas Sumatera Utara
f. Registrasi barang bukti (bentuk formulir: RB-2). g. Memberi label barang bukti (bentuk formulir: B-10). h. Membuat kartu bukti (bentuk formulir: B-11). i.
Melakukan Penyimpanan barang bukti terhadap : -
Surat berharga, uang, logam mulia permata yang nilainya Rp.10.000.000,00 ke atas disimpann di Bank Pemerintah.
-
Terhadap barang bukti yang bernilai Rp.10.000.000,00 ke bawah dititipkan pada bendahara untuk disimpan dalam brankas dengan berita acara penitipan.
-
Terhadap barang bukti narkotika disimpan dengan penanganan khusus.
-
Terhadap barang bukti yang besar seperti kapal atau hewan dapat dititipkan pada tempat yang aman atau dititipkan pada pemiliknya.
-
Terhadap barang bukti kendaraan yang digunakan untuk mencari nafkah dititipkan pada pemiliknya.
-
Barang bukti yang lekas rusak, berbahaya serta biaya penyimpanan tinggi sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka dapat digunakan ketentuan Pasal 45 KUHAP.
Istilah hasil penyidikan dipergunakan antara lain dalam Pasal 110 dan 138 KUHAP. Istilah hasil penyidikan telah dipergunakan dalam KUHAP, namun KUHAP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan hasil penyidikan tersebut. Apabila hasil penyidikan dalam Pasal 110 ayat (2) kita kaitkan dengan ketentuan Pasal 8 KUHAP, maka nampaknya pembentuk undang-undang mengartikan istilah hasil penyidikan itu adalah berkas perkara. Hal ini tertangkap dari redaksi Pasal 110 ayat (1) KUHAP yang
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. 21 Mengenai berakhirnya penyidikan, bahwa penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti dilaksanakan oleh penyidik setelah penyidikan dianggap selesai. Penyidikan baru dianggap selesai apabila dalam batas waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara, atau sebelum berakhirnya batas waktu tersebut tidak ada pemberitahuan dari penuntut umum kepada penyidik bahwa hasil penyidikan sudah lengkap atau belum. Dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di lingkungan Kejaksaan Negeri Medan, jaksa selaku penyidik juga mendapat kendala dalam melakukan penyidikan tersebut. Hasil penelitian yang sudah saya lakukan di lingkungan Kejaksaan Negeri Medan sudah membahas sedikit banyaknya kendala jaksa dalam melakukan penyidikan. Yang utama dari kendala atas penyidikan tersebut terletak pada alat bukti, saksi dan terdakwa kasus tindak pidana korupsi. Dalam hal alat bukti yang menjadi kendala adalah bahwa alat bukti tersebut sering ditemukan hilang oleh jaksa untuk membantu proses penyidikan baik itu alat bukti yang sengaja dihilangkan oleh terdakwa maupun alat bukti yang sudah habis atau tidak sepenuhnya habis dipakai oleh terdakwa, sehingga untuk mendapatkan keterangan alat bukti tersebut jaksa melakukan upaya paksa terhadap saksi yang berkaitan terhadap alat bukti tersebut untuk menggantikan keterangan-keterangan yang membantu proses penyidikan. Mengenai saksi yang menjadi kendala dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi adalah bahwa saksi sering memberikan keterangan yang berbelit-belit dan apabila saksi merupakan orang yang sudah tua atau lanjut usia sering memberikan data yang tidak sempurna karena 21
Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 197
Universitas Sumatera Utara
faktor usia tersebut, sehingga jaksa melakukan upaya yang secara terus menerus menanyakan kepada saksi tentang kasus korupsi tersebut sampai mendapat data-data yang betul-betul tidak mengandung unsur kebohongan. Kendala lain yaitu mengenai terdakwa yang sering juga memberika data yang berbelit-belit, terdakwa sering dalam keadaan sakit apabila dilakukan penyidikan terhadap dia sehingga memperlambat proses penyidikannya dan terdakwa sering melarikan diri apabila dilakukan penyidikan terhadap dia. Sehingga jaksa melakukan upaya yaitu jaksa melakukan pembantaran terhadap terdakwa yang sakit untuk di rawat dirumah sakit tetapi tidak mengurangi masa tahanannya dan melakukan pengejaran untuk menangkap terdakwa yang melarikan diri dengan melakukan kerja sama dengan pihak kepolisian. Ketentuan dalam Pasal 33 UU No. 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan sera badan negara atau instansi lainnya”. Adalah menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu. Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui koordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. Kerja sama antara Kejaksaan dengan instansi penegak hukum lainnya dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara 22. Menurut ketentuan hukum positifnya di Indonesia, ada beberapa instansi atau lembaga lain untuk 22
Penjelasan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Universitas Sumatera Utara
melakukan koordinasi dengan Kejaksaan yaitu pihak kepolisian, tim koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi (Tim Tastipikor), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum. Tetapi ada lembaga lain bisa ikut membantu pihak Kejaksaan dalam melakukan penyidikan yaitu Pihak Bank misalnya pemblokiran rekening tersangka mengenai penyitaan barang bukti. Begitu juga halnya di lingkungan Kejaksaan Negeri Medan, jaksa melakukan koordinasi dengan instansi lain. Keterpaduan atau kebersamaan hubungan koordinasi antara Kejaksaan
dan
instansi penegak hukum lainnya tercermin dalam sebuah kelompok MAHKEJAPOL (Mahkamah Agung-Kehakiman-Kejaksaan-Kepolisian), yang merupakan wadah bagi pimpinan masing-masing lembaga yang mempunyai kaitan dengan penegakan hukum di Indonesia, untuk saling bertukar informasi, berdiskusi memecahkan masalah-masalah yang memerlukan penanganan bersama 23, termasuk dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi. Pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh jaksa penyidik di lingkungan Kejaksaan Negeri Medan pada Tahun 2010.
No. Register 1.Print-01/N.2.10/ Fd.1/01/2010
23
Sumber Kejaksaan Negeri Medan
Nama terdakwa Koesman wisoehoedino,Tuban,58 Tahun/31 Mei 1952/ Laki-laki/Jl.Citra Karya No.16 Medan/Islam/
Kasus terdakwa Dugaan TPK proyek pembangunan gedung Pendidikan
Ismail Salch, Ketertiban dan Pengawasan, Penerbit Haji Masagung, Jakarata, 1988, halaman 7.
Universitas Sumatera Utara
PNS/Pasca Sarjana_UI/ 2.Print-02/N.2.10/ Fd.1/01/2010
Kejaksaan Negeri Medan
Ir.Daulat,Aceh,49 Thn/ 04 juni 1961/Jl.Binjai km 10,3 gg. Jadi No.82 Sunggal/Kristen/swasta/ S.Teknik
3.Print-03/N.2.10/ Fd.1/01/2010
Kejaksaan Negeri Medan
Young aye nehe,p.tello/ 47 thn/26 desember 1911/desa pariondet/kab.samosir/ Kristen protestan/wakil direktur PT.Care Indo
4.Print-04/N.2.10/ Fd.1/03/2010
Laporan LBH Hairini, Medan,43 thn.23 Medan november 1966/ Jl.mawar 8 No.134 blok XI/islam/sarjana
5.Print-05/N.2.10/ Fd.1/04/2010/
Kejaksaan Negeri Medan
6.Prin-06/N.2.10/ Fd.1/05/2010
BPK RI H.Syariffuddin,SH/Tebing prov.sumut tinggi,55 thn/01-51954/jl.Pasar II barat No.53 setia budi Medan/islam/PNS pada Pemko Medan/Mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan pariwisata Kota Medn BPK RI Drs.Ramlan,SH,Msi prov.sumut 56 thn/29-10-1954/jl.selindit No.347 Perumnas
7.Print-07/N.2.10/ Fd.1/05/2010
Fairuddin majrul,SH,40 thn,31 juli 1970/jl.seroja 6 no.16 prumnas Helvetia/PNS
Tenaga Kesehatan Poltekes. Dugaan TPK proyek pembangunan gedung pendidikan tenaga kesehatan poltekes. Dugaan TPK Proyek pembangunan gedung pendidikan tenaga kesehatan poltekes. Dugaan adanya penyelewengan dana APBN 2009 yang diperuntukan bagi Panwas Kota kecamatan sebesar 530 juta. Dugaan TPK dalam hal penggunaan anggran belanja tambahan pengurus kecamatan pd panwaslu kota medan thn 2009 Adanya Laporan terjadinya TPK dalam hal pengelolaan keuangan pada dinas kebudayaan dan pariwisata. Adanya Laporan terjadinya TPK dalam hal
Universitas Sumatera Utara
mandala/islam/PNS/Pasca sarjana-USU
8.Print-08/N.2.10/ Fd.1/06/2010
Kejaksaan Negeri Medan
9.Print-09/N.2.10/ Fd.1/06/2010
Kejaksaan Negeri Medan
10.PrintPenyelidikan 10/N.2.10/Fd.1/07/ dari Intelijen 2010
pengelolaan keuangan pada dinas kebudayaan dan pariwisata. Ir.Jeremias Sinaga,MAP/ Adanya tipikor Komp.Sei martubung/55 dalam hal proyek thn/28 juni 1954/jl.matahari I pembangunan No.12 Helvetia Medan/Kristen pendidikan tenaga Katolik/PNS kesehatan poltekes Ferry Marpaung Adanya tipikor dalam hal proyek pembangunan pendidikan tenaga kesehatan poltekes Adanya laporan tentang telah terjadinya TPK dalam hal pemungutan dan penyetoran retribusi sampah pada dinas kesehatan kota medan
B. Pelaksanaan Penuntutan Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi Di samping Jaksa mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan, jaksa juga mempunyai wewenang untuk melakukan penuntutan perkara tindak pidana korupsi (Pasal 27 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 jo. Pasal 14 huruf e dan g KUHAP) atau Jaksa Penuntut Umum (Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002).
Universitas Sumatera Utara
Sebelum dilakukannya proses penuntutan, Jaksa Penuntut Umum hak untuk melakukan prapenuntutan yang merupakan salah satu wewenang dari Jaksa Penuntut Umum apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan melakukan tindakan pengembalian berkas perkara yang dilakukan oleh penuntut umum disertai dengan petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan oleh penyidik guna melengkapi hasil penyidikannya. Proses terjadinya prapenuntutan harus menghubungkan Pasal 8 ayat 3, Pasal 14, Pasal 110 dan Pasal 138 KUHAP sehingga akan terlihat suatu rangkain yang berupa : 1. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; 2. Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih belum/kurang lengkap, Penuntut Umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk-petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan; 3. Penyidikan dianggap selesai apabila dalam batas waktu 14 hari Penuntut Umum tidak mengembalikan berkas perkara, atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik; 4. Penuntut umum setelah menerima berkas perkara segera mempelajari dan meneliti berkas perkara dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum; 5. Apakah hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara dengan petunjuk tentang hal yang harus dilengkapi dan dalam batas waktu 14 hari sejak penerimaan kembali berkas perkara, penyidik harus sudah menyampaikan berkas perkara itu kepada Penuntut Umum.
Universitas Sumatera Utara
Dengan kata lain, apabila hasil penyidikan tersebut telah lengkap, maka Penuntut Umum memberitahukan hal itu kepada penyidik dan meminta agar tersangka dan barang bukti segera diserahkan kepadanya. Sebaliknya apabila penelitian itu ternyata hasil belum lengkap, maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik guna melengkapi hasil penyidikan tersebut. Untuk selanjutnya apabila hasil penyidikan sudah lengkap, Jaksa Penuntut Umum melakukan penelitian dengan dua tahap, yaitu 1. Penelitian berkas perkara Penelitian terhadap daftar syarat formil dan materil yang harus dilengkapi oleh suatu berkas perkara. Syarat formil merupakan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan tindakan-tindakan dalam penyidikan. Syarat ini berupa prosedur dan tata cara yang harus dipenuhi untuk keabsahan penyidik. Sedangkan kelengkapan syarat materilnya berupa : a. Adanya perbuatan yang melawan hukum, sesuai dengan pengertian perbuatan dan pengertian melawan hukum dengan mempedomani unsurunsur delik yang bersangkutan; b. Adanya kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun berupa kelalaian; c. Adanya minimal dua alat bukti yang sah yang dapat mendukung atau membuktikan perbuatan dan kesalahan tersangka; d. Adanya alat bukti yang menunjukkan tempus delicti, sehingga dapat diketahui daluarsa atau tidaknya hak untuk melakukan penuntutan; e. Kejelasan
tentang
peran
pelaksanaan/penyelesaian
pelaku delik
dan
sehingga
kejelasan jelas
tentang
tingkat
pertanggungjawaban
tersangka.
Universitas Sumatera Utara
Apabila dari hasil penelitian tersebut ternyata berkas perkara tersebut telah mencakupi segala persyaratan yang diperlukan guna melakukan penuntutan, maka Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa hasil penyidikan perkara yang bersangkutan sudah lengkap dengan menerbitkan pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap. Kemudian berkas perkara yang dinyatakan belum lengkap itu disertai dengan petunjuk-petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan, dengan menerbitkan Pegembalian Berkas Perkara. Sesuai ketentuan Pasal 110 ayat 3 jo Pasal 138 ayat (2) KUHAP, dalam hal demikian wajib melaksanakan pemeriksaan tambahan dan menyampaikan kembali berkas perkara yang telah dilengkapi dengan hasil pemeriksaan tambahan itu kepada Penuntut Umum dalam batas waktu 14 hari setelah diterimanya pengembalian berkas perkara dari Penuntut Umum. Dengan demikian Undang-undang telah memberikan
waktu
yang
sama
baik
mempelajari/meneliti
hasil
penyidikan,
bagi
Penuntut
maupun
bagi
Umum
untuk
penyidik
untuk
melaksanakan tambahan yakni dalam batas waktu 14 hari. 2. Penelitian atas tersangka dan barang bukti Pada penyerahan tahap kedua yaitu penyerahan tersangka dan barang bukti, sekali lagi penuntut umum melakukan penelitian. Hal-hal yang diteliti pada penyerahan tahap kedua ini meliputi : a. Identitas tersangka, maksudnya guna mendapat kepastian apakah tersangka yang diserahkan itu ada benar-benar tersangka dalam kasus tindak Pidana Korupsi. b. Penelitian sejauh mana kebenaran keterangan tersangka sebagaimana diuraikan dalam berita acara pemeriksaan tersangka.
Universitas Sumatera Utara
c. Penelitian barang bukti dilakukan dengan cara meneliti secara fisik barang bukti yang bersangkutan dan melakukan pencatatan data barang bukti tersebut dalam Berita Acara Penelitian Benda Sitaan (B-1). Secara jelas sudah ditentukan pada Pasal 26 A Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai alat bukti yang sah. Menurut penelitian yang sudah saya lakukan di Kejaksaan Negeri Medan, prosedur penyitaan barang bukti dalam kasus Tindak Pidana Korupsi adalah melakukan Surat Perintah Penyitaan, mengamankan barang-barang yang terkait dengan Tindak Pidana Korupsi, penyitaan dilakukan dengan adanya saksi, dibuat berita acara penyitaan, dan adanya persetujuan atau izin penyitaan dari pengadilan. Dan kemudian tindakan selanjutnya terhadap barang bukti setelah dilakukan penyitaan adalah tergantung barang bukti yang disita. Jika barang bukti dalam bentuk dokumen atau benda yang susah rusak maka benda tersebut disimpan di Kejaksaan sedangkan dalam hal barang bukti dalam bentuk uang maka uang tersebut disimpan dalam rekening khusus. Rekening khusus ini sudah mendapat izin dari Menteri keuangan. Dengan terlaksananya penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum, maka tanggung jawab yuridis atas tersangka dan barang bukti tersebut, beralih kepada Penuntut Umum. Maka pada saat itulah pelaksanaan tugas penyidikan suatu perkara benar-benar telah tuntas dan beralih ke tahap penuntutan. Kemudian setelah dilakukannya penelitian terhadap hasil dari penyidikan tersebut dan sudah dinyatakan tuntas penyidikannya maka dilanjutkan pada proses
Universitas Sumatera Utara
penuntutan yang diawali dengan dibuatnya surat dakwaan (P-29). Secara jelas sudah dijelaskan pad Bab sebelumnya mengenai seluruhnya tentang surat dakwaan ini. Mengenai bentuk-bentuk surat dakwaan, dalam praktik peradilan yang dilakukan oleh Jaksa penuntut Umum ada bentuk dakwaan tunggal, dakwaan kumulatif, dakwaan subsidair dan ada dakwaan campuran. Dalam melakukan penuntutan di lingkungan Kejaksaan Negeri Medan, Jaksa Penuntut Umum sering menggunakan Dakwaan Primair ( yang bertumpu pada Pasal 2 UU No. 20 Tahun 2001) dan Dakwaan Subsidair ( yang bertumpu pada Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001). Setelah kita bahas mengenai penuntutan maka di adakanlah suatu persiapan untuk melimpahkan perkara ke pengadilan. Yang dimulai dari surat dakwaan tersusun dan sebelum perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan, penuntut umum masih perlu meneliti seluruh kelengkapan berkas perkara tersebut. Penelitan itu, meliputi segi teknis administrative maupun segi teknis yustisial yang berkaitan dengan pelimpahan perkara tersebut. Dan setelah penuntut umum mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelimpahan perkara ke Pengadilan, tindak selanjutnya ialah melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan negeri yang berwenang. Berdasarkan Pasal 1 angka 7 jo Pasal 137 KUHAP, tindakan penuntut umum melimpahkan perkara tindak pidana korupsi ini ke pengadilan yang berwenang, dengan permintaan agar perkara tersebut diperiksa dan diputuskan di siding pengadilan, disebut penuntutan serta Pasal 143 (1) KUHAP menentukan, penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.Berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No. KEP-518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 pelimpahan perkara tersebut berisikan hal-hal sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Bahwa Penuntut Umum dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan dan pemeriksaan selanjutnya ternasuk wewenang Pengadilan Negeri tempat penyidikan perkara; 2. Bahwa Kepala Kejaksaan Negeri Medan lalu melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan Acara Pemeriksaan Biasa (P-31) atau Singkat (P-32); 3. Pelimpahan perkara tersebut disertai dengan adanya surat dakwaan(P-29) atau catatan dakwaan (P-30); 4. Dengan permintaan agar Ketua Pengadilan Negeri tempat pelimpahan perkara menetapkan hari persidangan untuk mengadili perkara dan menetapkan pemanggilan terdakwa serta saksi-saksi. Pada waktu pelimpahan perkara, penuntut umum memberikan turunan surat pelimpahan berkas perkara beserta surat dakwaan (Pasal 143 ayat (4) KUHAP) kepada tersangka atau penasihat hukumnya, turunan surat pelimpahan berkas perkara disampaikan kepada penyidik, dan penyampaian turunan surat pelimpahan berkas perkara kepada tersangka dan penyidik dilakukan penuntut umum bersamaan waktunya dengan penyampaian berkas perkara pengadilan. Setelah kejaksaan melimpahkan perkara Tindak Pidana Korupsi pada umumnya ke Pengadilan Negeri setempat, berkas perkara tersebut diterima lengkap dengan surat dakwaannya dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut. Kemudian, berkas perkara yang telah diterima dilengkapi dengan Formulir Penetapan Majelis Hakim disampaikan kepada wakil panitera. Apabila perkara tersebut sudah ditetapkan Majelis hakim lalu diserahkan kepada Majelis Hakim yang ditunjuk dengan dilengkapi formulir penetapan hari sidang dan dicatat pembagian perkara tersebut secara tertib. Proses selanjutnya, bahwa setiap penentuan sidang pertama, penundaan tanggal persidangan beserta alasan penundaan,
Universitas Sumatera Utara
yang diterima dari Panitera Pengganti, setelah proses persidangan harus diterima di dalam buku register secara tertib, sampai perkara bersangkutan diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. C. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi Pada dasarnya, pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam Bab XIX Pasal 270 sampai dengan Pasal 276 KUHAP. Putusan pengadilan yang dieksekusi merupakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde). Menurut teoritik dan praktik suatu putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap apabila terdakwa dan penuntut umum telah menerima putusan sebagaimana dinyatakan dalam “surat pernyataan menerima putusan” jika upaya tidak dipergunakan sehingga tenggang waktunya terlampaui, apabila diajukan permohonan banding kemudian dicabut kembali dan adanya permohonan grasi yang diajukan disertai permohonan penangguhan eksekusi. Selanjutnya, procedural pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dilaksanakan oleh Jaksa (Pasal 270 KUHAP, Pasal 33 ayat (1) UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004, Pasal 27 ayat (1) huruf b undang-undang Nomor 16 Tahun 2004) dengan mempergunakan sarana administrasi berupa surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan (P-48), Berita Acara pelaksanaan putusan pengadilan (BA-8), butir 14 Kepmenkeh No. M-14.PW.07.03 Tahun 1983 dan Surat Jam Pidum No. B-235/E/3/1994 tanggal 4 Maret 1994 Perihal Eksekusi Putusan Pengadilan. Pada kasus Tindak Pidana Korupsi ini, tata cara pelaksanaan putusan pengadilan yang paling tepat yaitu berada pada Pasal 273 dan 274 KUHAP sebab berintikan pada
Universitas Sumatera Utara
kerugian Negara yang harus diganti oleh terdakwa kasus tindak Pidana korupsi. Pada Pasal 273 ayat (1) dan (2) KUHAP terpidana dijatuhi pidana denda, cara pelaksanaannya dilakukan terpidana diberi jangka waktu membayar denda tersebut selama satu bulan, kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat pidana denda harus segera dibayar. Apabila ada alasan yang kuat sehingga denda belum dibayar, jangka waktu satu bulan tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan. Untuk kasus tindak pidana korupsi ini juga mengenal pidana penjara dan pidana denda yang secara jelas ditentukan pada Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada Pasal 2 ayat (1) juga dijelaskan bahwa dalam hal untuk tindak pidana korupsi pidana mati juga dapat dijatuhkan. Ini sesuai dengan putusan pengadilan pelaksanaan pidana mati ( Pasal 271 KUHAP). Pada kasus Tindak Pidana Korupsi ini juga mengenal uang pengganti yang terdapat pada Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang –Undang Nomor 20 Tahun 2001 bahwa setiap orang yang menjadi terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi ini selain mendapat pidana kurungan dan pidana denda juga harus ada uang penggantinya sebagai ganti kerugian Negara atas kekayaan Negara yang yang telah habis dipakai oleh terdakwa. Sama halnya dengan pidana denda,terpidana diberi tenggang waktu untuk membayar uang pengganti seperti yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001 yaitu paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap tenggang waktu, jaksa sebagai pelaksana dari putusan pengadilan (Pasal 270 KUHAP), tidak dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran uang pengganti, tidak seperti halnya jaksa dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran denda, yaitu yang ditentukan dalam Pasal 273 ayat (2) KUHAP, karena pembayaran uang pengganti berbeda dengan pembayaran denda. Pembayaran
Universitas Sumatera Utara
uang pengganti merupakan pidana tambahan, sedangkan denda merupakan pidana pokok. Di lingkungan Kejaksaan Negeri Medan, pada Tahun 2010 sering menggunakan uang pengganti selain dari pidana dendanya. Pada tahun 2010 ada 4 kasus tindak pidana korupsi yang semuanya terdapat uang penggantinya. Tetapi ada satu kasus pada bulan Oktober 2010 yang hanya membayar dendanya saja tidak ikut pada pembayaran uang penggantinya. Maka si terdakwa harus menggantinya dengan pidana penjara selama 3 bulan yang uang penggantinya sebesar Rp.224.343.655. Berikutnya, sesuai Pasal 273 ayat (3) dan (4) jika barang bukti dirampas untuk Negara, Jaksa Menguasakan kepada Kantor Lelang Negara untuk menjual lelang barang bukti itu dalam waktu tiga bulan dan hasil lelang dimasukkan ke kas Negara untuk dan atas nama Jaksa, sedangkan jangka waktu tiga bulan untuk melaksanakan lelang dapat di perpanjang dalam waktu paling lama satu bulan. Pasal ini juga didukung oleh Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang menjelaskan bahwa apabila terdakwa tidak dapat membayar uang pengganti yang telah diputus oleh pengadilan maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk mengganti uang penggantinya tersebut. Penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tersebut tidak perlu terlebih dahulu
minta izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat atau sesudah
melakukan penyitaan segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk mendapatkan persetujuan, karena peyitaan ini dilakukan bukan dalam rangka penyidikan tetapi dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan. Jaksa dalam melakukan penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tersebut harus dapat memperkirakan harga benda yang disita, yang jika dilelang sudah dapat menutupi jumlah uang pengganti seperti yang dimuat dalam putusan pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
Jaksa dalam melakukan penyitaan mempunyai beberapa prosedur yang harus dilakukan agar tindakan penyitaan itu sah berdasarkan hukum. Adapun prosedur pelaksanaan penyitaan barang bukti terhadap kekayaan tersangka terdiri dari: a. Harus ada surat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Dalam melakukan penyitaan, jaksa harus memiliki surat izin dari ketua pengadilan negeri tempat benda yang disita berada. Surat izin penyitaan dari ketua pengadilan negeri ini diperlukan dalam hal penyitaan yang dilakukan terhadap barang bukti benda tidak bergerak, sedangkan penyitaan yang dilakukan terhadap barang bukti benda bergerak, hanya memerlukan penetapan persetujuan dari ketua pengadilan negeri setempat. Berdasarkan Pasal 30 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, penyitaan barang bukti terhadap surat atau kiriman pos yang dilakukan oleh jaksa penyidik dalam tindak pidana korupsi, tidak memerlukan izin dari ketua pengadilan negeri. Namun tetap saja dalam praktiknya, adanya izin penyitaan barang bukti dari ketua pengadilan negeri menjadi dasar dalam melakukan penyitaan barang bukti oleh penyidik. Penyitaan dapat dilakukan tanpa adanya izin ataupun penetapan persetujuan penyitaan dari ketua pengadilan setempat, apabila penyitaan tersebut
dilakukan penyidik
Komisi
Pemberantasan Korupsi. b. Memperlihatkan atau menunjukkan tanda pengenal Penyidik dalam melakukan penyitaan, harus menunjukkan tanda pengenal jabatan dari penyidik yang melakukan penyitaan kepada orang darimana benda itu disita. Nama petugas yang melakukan penyitaan ini nantinya juga di cantumkan dalam berita acara penyitaan. c. Memperlihatkan Benda Yang Disita
Universitas Sumatera Utara
Penyidik harus memperlihatkan benda yang disita kepada orang dari mana benda itu disita, atau kalau orang bersangkutan tidak ada, dapat juga dilakukan terhadap keluarganya.hal ini dilakukan untuk menjamin adanya kejelasan terhadap benda yang disita. d. Penyitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan dan dua orang saksi Penyidik dalam melakukan penyitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan, dan dua orang saksi. Nama saksi-saksi dalam pelaksanaan penyitaan tersebut nantinya dituangkan dalam berita acara penyitaan. Syarat orang yang dapat menjadi saksi tidak diatur dalam KUHAP. Namun jika diikuti penjelasan dari Pasal 33 ayat (4) KUHAP, yang menegaskan bahwa yang menjadi saksi dalam melakukan pengeledahan harus diambil dari warga lingkungan yang bersangkutan. e. Membuat berita acara penyitaan Pembuatan berita acara penyitaan diatur dalam Pasal 129 ayat (2) KUHAP. Adapun hal-hal yang dituangkan dalam berita acara penyitaan terdiri dari: a. b. c. d. e. f. g. h. i. f.
Kop berita acara penyitaan; Nama petugas yang ditugaskan melakukan penyitaan; Nomor dan tanggal surat perintah penyitaan; Nama saksi-saksi; Dokumen atau barang-barang disita; Nama dan alamat orang dari mana benda itu disita; Tujuan penyitaan; Penutup; Tanda tangan petugas yang melakukan penyitaan dan nama-nama saksi. Menyampaikan turunan berita acara penyitaan Turunan berita acara ini disampaikan kepada orang darimana benda itu disita
dan kepada desa tempat benda tersebut disita. Penyampaian berita acara ini
Universitas Sumatera Utara
dimaksudkan sebagai bentuk pengawasan dan pengendalian tindakan penyidik dalam melakukan penyitaan. Rangkaian tindakan penyitaan tidak berhenti dengan dibuatnya berita acara penyitaan. Setelah dilakukan penyitaan, maka jaksa penyidik melakukan penyimpanan barang bukti. Tindakan penyimpanan barang bukti ini berbeda-beda. Dalam hal barang bukti berupa dokumen, maka jaksa penyidik melakukan penyimpanan dokumen sebagai benda sitaan di kantor kejaksaan. Lain halnya apabila barang bukti tersebut berbentuk benda bergerak, maka penyimpanan barang bukti dilakukan dengan menitipkannya di Rumah Penitipan Benda Sitaan Negara (Ruphasan). Dalam hal barang bukti berupa uang maka barang bukti tersebut disimpan dalam rekening khusus yang dimiliki oleh Kejaksaan yang telah mendapat izin dari menteri keuangan. Berbeda dengan barang bukti berupa benda bergerak ataupun uang, apabila barang bukti berupa benda tidak bergerak, maka status barang bukti tersebut diberitahukan kepada kepala desa ataupun kepala lingkungan dimana barang bukti tersebut berada bahwa benda tidak bergerak tersebut disita oleh penyidik. Kemudian,Pada Pasal 274 KUHAP dalam aspek pengadilan menjatukan juga putusan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara putusan perdata. Pasal ini juga didukung dengan Pasal 33 dan 34 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menjelaskan bahwa dalam hal tersangka meninggal dunia pada waktu penyidikan dan pemeriksaan yang secara nyata telah merugikan Negara maka penyidik maupun penuntut umum menyerahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Serta Pasal 38 C juga menjelaskan bahwa apabila putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang
Universitas Sumatera Utara
diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi maka Negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana atau ahli warisnya. Sedangkan pada Pasal 275 KUHAP mengenai biaya perkara, apabila ada lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, biaya perkara dan atau ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 KUHAP dibebankan kepada mereka bersamasama secara seimbang. Begitu pula halnya menurut ketentuan Pasal 276 KUHAP yang dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan undangundang. Sebagai tamabahan dari pelaksanaan putusan pengadilan ini perlu kita ketahui bahwa pada saat dilaksanakannya proses pengadilan tersebut ada kasus bahwa terdakwa dalam hal In Absentia. Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di siding pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”. Pasal ini menjelaskan bahwa pada saat dilakukannya proses penuntutan terhadap terdakwa dan terdakwa tidak hadir dalam persidangan (in Absentia), maka tanpa kehadiran terdakwa pun perkara dapat diperiksa oleh hakim. Dalam lingkungan Kejaksaan Negeri Medan menyikapi terdakwa tidak hadir di persidangan bahwa semua tergantung pada kebijakan Majelis Hakim. Majelis Hakim dapat bersikap bahwa persidangan dapat di lanjutkan walaupun terdakwa tidak hadir dipersidangan dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan Negara atau Majelis Hakim dapat menunda persidangan sampai terdakwa hadir dalam persidangan tetapi harus ada alasan yang sah. Salah satu contohnya terdakwa tidak dapat hadir di persidangan karena sakit, terdakwa harus memberikan keterangan sakit
Universitas Sumatera Utara
dari dokter, sehingga majelis hakim dapat menunda persidangannya, sebab setiap orang harus menghormati dan mempercayai pendapat profesionalisme dokter.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Setelah melakukan pembahasan terhadap permasalahan dalam rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini, maka penulis sampai pada kesimpulan dari pembahasan dari skripsi ini. Kesimpulan tersebut terdiri dari: 1. Bahwa Kejaksaan memiliki 3 kewenangan dalam penyelesaian tindak pidana korupsi yaitu : a. Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi b. Kewenangan Kejaksaan Dalam Penuntutan Tindak Pidana Korupsi c. Kewenangan Kejaksaan Dalam Pelaksanaan Putusan Pengadilan Pada tingkat penyidikan, ketentuan tentang kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 30 huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menyatakan dalam bidang pidana kejaksaan mempunyai kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana tertentu. Salah satu tindak pidana tertentu yang dimaksud dalam Pasal 30 adalah Tindak Pidana Korupsi. Selain kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana tertentu ada kewenangan lain dari kejaksaan pada tingkat penyidikan , yaitu : 1. Penangkapan seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana 2. Penahanan terdakwa untuk kepentingan penyidikan
Universitas Sumatera Utara
3. Penggeledahan terhadap terdakwa maupun rumah terdakwa. 4. Penyitaan untuk kepentingan pembuktian 5. Pemeriksaan surat. Pada tingkat penuntutan, berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP, Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Penuntut Umum mempunyai tugas dan kewenangan dalam proses pidana sebagai berikut : 1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; 2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; 3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan ke pengadilan; 4. Membuat surat dakwaan; 5. Melimpahkan perkara ke Pengadilan; 6. Panggilan Kepada Pihak-Pihak yang Berperkara; 7. Melakukan penuntutan; 8. Menutup perkara demi kepentingan hukum; 9. Mengadakan Tindakan Lain Dalam Lingkup Tugas dan Tanggung Jawab Sebagai Penuntut Umum; 10. Melaksanakan penetapan hakim.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan bahwa kejaksaan memiliki kewenangan untuk melaksanakan putusan pengadilan. 2. Pelaksanan peranan jaksa dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi ini memiliki prosedur yang harus dilewati yang dimulai dari penyidikan, penuntutan serta terakhir pelaksanaan putusan pengadilan. Ketiga hal ini mempunyai prosedur atau tahapan masing-masing. Dari tingkat penyidikan yang harus memenuhi segala persyaratan agar perkaranya dapat dilimpahkan kepada tingkat penuntutan, sehingga dari penuntut umum memberikan turunan surat pelimpahan berkas perkara beserta surat dakwaan (Pasal 143 ayat (4) KUHAP) kepada tersangka atau penasihat hukumnya, turunan surat pelimpahan berkas perkara disampaikan kepada penyidik, dan penyampaian turunan surat pelimpahan berkas perkara kepada tersangka dan penyidik dilakukan penuntut umum bersamaan waktunya dengan penyampain berkas perkara pengadilan.. Proses selanjutnya, dilakukan persidangan terhadap tindak pidana sampai perkara bersangkutan diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. B. Saran 1. Setiap jaksa yang memiliki kewenangan terhadap kasus tindak pidana korupsi ini yang dimulai dari tingkat penyidik sampai putusan pengadilan haruslah sesuai dengan prosedur yang berlaku dengan tidak mengubah sedikit pun unsur-unsur yang meringankan terdakwa atas tindakannya merugikan Negara maupun masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
2. Di berikan kewenangan yang sama terhadap jaksa selaku penyidik untuk melakukan penyadapan yang merupakan kewenangan komisi pemberantasan korupsi. 3. Memberitahukan secara terbuka kepada publik mengenai uang denda, uang pengganti serta hasil dari pelelangan barang bukti sebagai pengganti kerugian Negara. Agar masyarakat dan Negara mengetahui di kemanakan uang tersebut.
Universitas Sumatera Utara