perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Komunikasi dan Konflik Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam Konflik dan Upaya Resolusi Konflik yang Terjadi Antara Warga Bantaran, di Wilayah Semanggi dengan Pemerintah Kota Surakarta Berkenaan dengan Dana Banjir
TESIS Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Sebagai Syarat Mencapai Gelar Magister Program Ilmu Komunikasi
Disusun oleh :
DEWANTO PUTRA FAJAR NIM: S220908005
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Komunikasi dan Konflik Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam Konflik dan Upaya Resolusi Konflik yang Terjadi Antara Warga Bantaran, di Wilayah Semanggi dengan Pemerintah Kota Surakarta Tentang Dana Banjir
TESIS oleh: DEWANTO PUTRA FAJAR NIM S220908005
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Pembimbing I
Prof. Pawito, Ph.D NIP. 195408051985031002
......................
...........
Pembimbing II
Drs. Mursito BM, SU NIP. 195307271980031001
........................
...........
Mengetahui Ketua Program Ilmu Komunikasi
Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Com NIP. 196402271988031002
commit to user
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Komunikasi dan Konflik Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam Konflik dan Upaya Resolusi Konflik yang Terjadi Antara Warga Bantaran, di Wilayah Semanggi dengan Pemerintah Kota Surakarta Berkenaan dengan Dana Banjir TESIS oleh: DEWANTO PUTRA FAJAR NIM S220908005
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji Jabatan
Ketua
Nama
Tanda Tangan
: Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Com NIP. 196402271988031002
Sekretaris : Sri Hastjarjo, S. Sos, Ph. D NIP. 197102171998021001
Anggota
Tanggal
.
: 1. Prof. Pawito, Ph.D NIP. 195408051985031002
: 2. Drs. Mursito BM, SU NIP. 195307271980031001
Mengetahui Ketua Program Studi : Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Com Ilmu Komunikasi NIP. 196402271988031002
Direktur Program : Prof. Drs. Suranto Tjiptowibisono, MSc. Ph.D Pascasarjana NIP. 195708210985031004
commit to user
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini saya: Nama : Dewanto Putra Fajar NIM : S220908005 Program Studi : Ilmu Komunikasi Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul ―Komunikasi dan Konflik Sosial: Studi Tentang Komunikasi dalam Konflik dan Upaya Resolusi Konflik yang Terjadi Antara Warga Bantaran, di Wilayah Semanggi, dengan Pemerintah Kota Surakarta Tentang Dana Banjir‖ adalah betul-betul karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Sepanjang pengetahuan saya, dalam tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari ditemukan bahwa peryataan saya tidak benar, saya bersedia menerima sanksi akademik yang berlaku.
Surakarta, Juli 2010 yang membuat pernyataan
Dewanto Putra Fajar
commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id KATA MUTIARA
Berusahalah untuk apa yang kau inginkan dan berdoalah untuk apa yang kau harapakan (Dewanto Putra Fajar)
commit to user
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id PERSEMBAHAN
Tesis ini saya persembahkan untuk: Kedua orang tuaku Adik-adikku. Kekasihku: Anggita Permana Putri
commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR
Pada dasarnya konflik merupakan salah satu bentuk komunikasi dan interaksi sosial yang dimulai dari perbedaan kepentingan, tujuan, atau juga kesalahan persepsi, dan kegagalan komunikasi yang terjadi antaran dua pihak yang berbeda. Kasus perselisihan yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran tentang dana bantuan banjir salah satunya disebabkan oleh kegagalan komunikasi dan kesalahan persepsi, meskipun hal itu bukan satu-satunya penyebab konfik yang utama. Secara umum, konflik yang melanda pemerintah kota dan warga bantaran dapat dikategorikan sebagai konflik berbasis ekonomi, yang secara sederhana menuntut penyelesaian secara ekonomi pula. Akan tetapi penyelesaian secara ekonomi menjadi kurang bermanfaat apabila ada satu pihak yang menunda-nunda pembayaran dana bantuan banjir tersebut, sementara pihak yang lain terus menuntut. Karena itu komunikasi untuk mencari jalan tengah yang terbaik bagi dua pihak yang berseteru tampaknya memberikan potensi positif untuk menuju resolusi konflik yang menguntungkan semua pihak. Penelitian ini berusaha menggambarkan komunikasi yang digunakan dalam konflik dan upaya komunikasi menuju resolusi konflik. Komunikasi dalam konflik sejatinya menjadi satu hal yang penting, karena komunikasi menjadi semacam alat untuk menghubungkan dua pihak yang saling bertikai. Sementara itu, komunikasi untuk mencari jalan tengah rupanya juga perlu dilakukan karena pemerintah kota belum berniat menyelesaikan permasalahan tersebut melalui ranah ekonomi, sementara warga bantaran terus menuntut hak mereka. Atas selesainya karya tesis ini, penulis sampaikan banyak terima kasih commit to user kepada Prof. Pawito, Ph.D dan Drs. Mursito BM, SU, sebagai pembimbing yang
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
telah banyak memberikan masukan sumbangan wawasan yang berharga bagi peneliti. Selain itu peneliti juga tidak lupa menyampaikan terima kasih pada semua karyawan di program studi komunikasi yang telah banyak memberikan bantuan. Banyak pihak yang telah memberikan bantuan terhadap selesainya penelitian ini, yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Namun demikian, peneliti secara pribadi mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah mendoakan semua anak-anaknya agar mencapai keberhasilan, teman-teman senasibsepenanggungan di Pascasarjana Komunikasi angkatan 2008, terutama Mas Irul, Lita, dan Eka, yang telah menjadi teman seperjuangan dan banyak memberikan bantuan kepada peneliti dalam menyelesaikan tesis. Anggita Permana Putri, sebagai seorang kekasih, yang telah banyak memberikan dukungan moral secara pribadi dengan ucapan ―Mas Dewan ayo selesaikan tesisnya dulu.‖ atau ―Mas Dewan, adek yakin Mas Dewan pasti bisa lebih baik dari sekarang.‖. Kepada semua pihak yang telah banyak membantu penyelesaian tesis ini, peneliti mengucapkan banyak terima kasih. Akhirnya, hanya atas kehendak Allah SWT. segala usaha dan daya penulis dalam penyelesaian penelitian tesis ini bisa terwujud. Sebagai pribadi yang masih banyak kekurangan dan pengalaman dalam bidang penelitian, penulis terbuka atas segala kritik dan saran pada karya ini. Semoga karya sederhana ini bisa bermanfaat bagi diri pribadi penulis dan siapapun yang membaca karya ini.
Surakarta, Agustus 2010 Peneliti
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................iii HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... iv KATA MUTIARA .............................................................................................. v PERSEMBAHAN .............................................................................................. vi KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix DAFTAR BAGAN .......................................................................................... xii ABSTRAK ......................................................................................................xiii ABSTRACT ..................................................................................................... xiv
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A. Latar belakang Masalah .......................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ................................................................................ 6 C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 7 D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ...................... 10 A. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 10 1. Kajian Tentang Konflik Sosial ...................................................... 10 a. Penyebab Konflik dalam Perspektif Komunikasi .................... 17 b. Tipe dan Sifat Konflik dalam Ilmu Komunikasi ....................... 23 c. Teori-teori yang Digunakan 28 commit to...................................................... user 2. Komunikasi, Konflik, dan Kelompok Masyarakat........................ 33 9
perpustakaan.uns.ac.id a.
digilib.uns.ac.id
Komunikasi dan Konflik Antarkelompok ................................. 38
b. Komunikasi dalam Beragam Upaya Penghentian Konflik. ..... 46 B. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 58 C. Penjelasan Kerangka Pemikiran .......................................................... 59
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 61 A. Lokasi Penelitian dan Sasaran Penelitian ............................................. 61 B. Bentuk dan Jenis Penelitian .................................................................. 62 C. Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 63 D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 65 E. Teknik Cuplikan (Sampling) ................................................................ 66 F. Pengembangan Validitas ...................................................................... 67 G. Teknik Analisis ..................................................................................... 68 H. Prosedur Kegiatan ............................................................................... 71
BAB 4. TEMUAN DAN ANALISIS DATA ................................................. 73 A. Sekilas Kehidupan Warga Bantaran (Profil Wilayah Penelitian) ......... 73 B. Penyebab Terjadinya Konflik ............................................................... 80 1. Pernyataan-Pernyataan dalam Penyebab Konflik .......................... 80 2. Pola dan Proses Komunikasi dalam Konflik .................................. 94 3. Analisis dalam Penyebab Konflik ................................................ 100 C. Perkembangan dan Eskalasi Konflik ................................................. 107 1. Pernyataan-Pernyataan Awal dalam Eskalasi Konflik ................. 107 2. Pola dan Proses Komunikasi dalam Eskalasi Konflik ................. 120 3. Analisis Tentang Eskalasi Konflik ............................................... 122 commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Upaya Menuju Resolusi Konflik ...................................................... .132 1. Pernyataan-Pernyataan dalam Upaya Resolusi ............................ 132 2. Analisis Tentang Upaya Resolusi Konflik ................................... 148 E. Aspek Komunikasi pada Konflik dan Resolusi Konflik ................... 161 1. Aspek Komunikasi Penyebab dan Eskalasi Konflik .................... 161 a. Petunjuk Komunikasi pada Penyebab Konflik ...................... 161 b. Aspek Komunikasi pada Penyebab Konflik .......................... 169 c. Petunjuk Tentang Komunikasi pada Eskalasi Konflik ........... 171 d. Aspek Komunikasi pada Eskalasi Konflik ............................. 180 e. Analisis Tentang Aspek Komunikasi dalam Penyebab dan Eskalasi ................................................ 182 2. Aspek Komunikasi pada Upaya Menuju Resolusi Konflik ........ .189 a. Petunjuk Komunikasi pada Upaya Resolusi Konflik ............. 195 b. Aspek dan Pola Komunikasi pada Upaya Resolusi Konflik .. 199 c. Analisis Tentang Aspek Komunikasi pada Upaya Resolusi Konflik ................................................ 202
BAB 5. KESIMPULAN ................................................................................ 207 A. Kesimpulan ......................................................................................... 207
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 206 LAMPIRAN
commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id DAFTAR BAGAN
Bagan 1 : Kerangka Pemikiran ....................................................................... 50 Bagan 2 : Teknik Analisis Data ...................................................................... 62 Bagan 3 : Komponen-komponen Analisis Data .............................................. 69
commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id ABSTRAK
DEWANTO PUTRA FAJAR, S220908005, KOMUNIKASI DAN KONFLIK SOSIAL: STUDI TENTANG KOMUNIKASI DALAM KONFLIK DAN UPAYA RESOLUSI KONFLIK YANG TERJADI ANTARA WARGA BANTARAN, DI WILAYAH SEMANGGI, DENGAN PEMERINTAH KOTA SURAKARTA BERKENAAN DENGAN DANA BANJIR, Tesis, Program Studi Ilmu Komunikasi, Program Pasca Sarjana, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010. Konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota Surakarta secara sederhana dimulai ketika pemerintah kota menunda pembayaraan dana bantuan banjir bagi warga bantaran serta menggulirkan program relokasi, untuk menyikapi banjir yang terjadi di akhir tahun 2007. Proses sosialisasi yang dilakukan pemerintah kota sebagai satu pengantar menuju program relokasi rupanya membuat sebagian warga yang tinggal bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik (TMH) merasa resah. Proses sosialisasi yang dilakukan pemerintah kota rupanya memberikan pemahaman ganda, sehingga warga bantaran salah mempersepsikan pesan yang diterima. Hal itu membuat warga bantaran, yang tinggal di tanah hak milik (THM), menggulirkan konflik terhadap pemerintah kota. Pembahasan konflik dalam penelitian ini lebih banyak difokuskan pada kajikan komunikasi. Namun demikian ilmu sosial lain, seperti sosiologi dan psikologi digunakan untuk membantu ilmu komunikasi memahami konflik dan implikasinya. Selain itu tinjauan pustaka dalam penelitian ini berusaha mengamati konflik melalui aspek penyebab konflik dari perspektif komunikasi, tipe dan sifatnya, serta beberapa teori komunikasi yang berkaitan dengan konflik dan perselisihan. Selain itu beberapa implikasi konflik terhadap masyarakat dan kelompok, juga dibahas dalam tunjauan pustaka. Penelitian ini pada dasarnya menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan studi kasus, karena berusaha menggambarkan dan memahami suatu kasus tertentu dalam masyarakat. Pendekatan studi kasus memungkinkan penelitian ini menggambarkan dan menjelaskan kasus tertentu secara lebih baik berdasarkan struktur yang membentuk suatu fenomena–dalam kasus ini, konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota. Penelitian ini berusaha menggambarkan proses komunikasi yang terjadi pada setiap tahapan perselisihan yang ada, pada penyebab konflik, eskalasi konflik, dan upaya menuju resolusi konflik. Di samping itu, penelitian ini mengurai penyebab konflik dan aspek komunikasi yang terlibat. Hal yang sama juga dilakukan untuk memahami proses eskalasi konflik, struktur, dan aspek komunikasi di dalamya. Bagian paling penting dalam penelitian ini terletak pada penjelasan tentang upaya menuju resolusi konflik yang dilakukan oleh dua pihak yang saling berseteru, serta aspek komunikasi yang terjadi pada upaya resolusi konflik, meskipun belum ada suatu resolusi konflik yang tepat dalam kasus ini. Jika komunikasi dalam konflik menjadi satu kunci dalam semua proses interaksi sosial, maka konflik pasti menggunakan proses komunikasi dalam semua aspeknya. Hal itu membuat komunikasi menjadi satu bagian penting dalam semua konflik termasuk pada konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran tersebut. commit to user (Kata Kunci: Konflik Sosial, Komunikasi, Resolusi Konflik, Relokasi dan Bantuan Banjir). 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id ABSTRACT
DEWANTO PUTRA FAJAR, S220908005, COMMUNICATION AND SOCIAL CONFLICT: STUDY ABOUT COMMUNICATION ON CONFLICT AND WAY TO CONFLICT RESOLUTION WHICH HAPPEN BETWEEN RIVER BANK SOCEITY, IN SEMANGGI, AGAINST SURAKARTAN CITY GOVERMENT RELATED WITH FLOOD VICTIMS SUPPORT FUND, Thesis, Communication Departement, Postgraduate, Sebelas Maret University, 2010. The conflict which happen between river bank soceity agains Surakartan city goverment is simplically started when the city goverment delayed the flood victims support fund for river bank soceity and started the relocation program, to postured flood which came in end of 2007. The socialisation procces held by the city goverment as a foreword to relocation program has been make a one part of river bank resident, especially who live in private property ground (PPG), restless. The socialisation procces did by the city goverment has give ambiguous understanding, so the river bank soceity have misperception about that. That situation has been make the river bank soceity, which live in private property ground (PPG), do conflict against city goverment. The Expalanation of conflict in this research more focused in communication paradigm. Even though, another social sciences, like sociology and psychology has used to help communication to understanding conflict and all implications. Beside that, the refernce in this research tries to observe confict from commnucation conflict source aspect, types and natures, and some communication theories which related conflict and all aspects. Conflict implications to society and groups are described in this reference either. This research basically used qualitative method with case study approach, due to describe and understand some case in specific soceity. The case study approach allowed this research explained and described some case better based structure which build the social phenomena–in this case, conflict which happent between river bank soceity against city goverment. This research trying to describe communcation process which happen on all stages of conflict, such as, source of conflict, conflict escalation, and way to conflict resolution. Beside that, this research analized conflict structure and communication aspect which involve. The same method are used to understand conflict escalation process, structure, and all communiction aspects. The most important section in this research has located in the expalanation of struggle to conflict resolution which did by two confrontation parties, and communication aspect in the struggle to conflict resolution, although not right conflict resolution yet. When communication on conflict become the key in all procceses of social interaction, then conflict is certain using the communication procces in all aspects. That is makes communication became one important process in all conflicts situation, include the conflict between river bank soceity agains city goverment. (Keywords: Social Conflict, Communication, Conflict Resolution, Relocation and Flood Victim Support Fund) commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah Pada akhir bulan Desember 2007 wilayah eks-karesidenan Surakarta dilanda hujan deras selama sehari penuh. Hujan deras tersebut rupanya membawa akibat langsung berupa banjir yang melanda sebagian besar wilayah Surakarta, juga beberapa bagian di sudut kota Solo, termasuk wilayah Gandekan, Sangkrah, Pasar Kliwon, dan Semanggi. Pada akhirnya, banjir tersebut membuat wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo tergenang air hingga beberapa meter. Setidaknya sekitar 1.650 rumah di kawasan bantaran Sungai Bengawan Solo terendam dan sekitar 8 ribu jiwa diungsikan (Radar Solo, 27 Desember 2007: 1). Kejadian tersebut juga terjadi di kawasan RW 8 Semanggi yang letaknya berdampingan dengan RW 10 dan 11 Joyosuran. Banjir tersebut rupanya membuat pemerintah pusat dan daerah melakukan koordinasi serius untuk mengatasi kondisi pascabanjir sekaligus menyalurkan bantuan bagi para korban. Beberapa hari setelah banjir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi Surakarta untuk melihat keadaan korban sekaligus memberikan bantuan. Kedatangan presiden jelas memberikan harapan bagi para korban untuk mendapatkan bantuan pascabanjir dari pemerintah pusat, yang biasanya berupa ganti rugi dan bantuan lainnya. Sementara pemerintah kota Solo menyikapi bencana banjir tersebut dengan bencana tersebut dengan menganggarkan bantuan sebanyak 1 miliar yang berasal dari dana tak terduga APBD 2007 (Radar Solo, 28 Desember 2007: 4). Dana tersebut pada awalnya khusus dialokasikan untuk commit to user memperbaiki rumah korban banjir, sebab pascabanjir pasti banyak hunian yang rusak
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Radar Solo, 28 Desember 2007: 4). Dari sini mulai nampak bahwa sebenarnya konflik yang terjadi antara masyarakat Semanggi dengan pemerintah kota Surakarta tidak terjadi begitu saja, tetapi ada beberapa tahapan yang mengawali konflik tersebut. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik tersebut sebenarnya dimulai ketika pemerintah kota menangguhkan pembayaran uang bantuan banjir yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk membatu pembangunan dan ganti rugi akibat banjir yang melanda Surakarta pada tahun 2007. Penangguhan pembayaran yang dilakukan pemerintah kota rupanya tetap berlangsung hingga awal tahun 2009. Keterlambatan pembayaran ganti rugi tersebut membuat masyarakat, yang tinggal di wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo, merasakan ada indikasi bahwa pemerintah kota merasa kurang serius membayarkan ganti rugi yang seharusnya menjadi hak masyarakat. Di lain pihak, ada sinyalemen bahwa pemerintah kota sebenarnya berniat penuh membayarkan uang bantuan banjir tersebut, namun, karena ada beberapa syarat administratif yang harus dipenuhi oleh masyarakat, maka pemerintah kota merasa perlu menangguhkan pembayaran uang tersebut. Data-data awal penelitian, yang berhasil dikumpulkan, menunjukkan bahwa perselisihan tersebut tampaknya dipengaruhi oleh perbedaan bentuk-bentuk penyelesaian ganti rugi berdasarkan status kepemilikan tanah yang dilakukan pemerintah kota kepada masyarakat. Secara sederhana ada dua tipe kepemilikan tanah di wilayah Semanggi, yaitu tanah negara (TN) dan tanah hak milik (THM). Perbedaan bentuk-bentuk status tersebut membuat pemerintah kota membedakan juga bentuk penyelesaian pemberian bantuan bagi korban banjir, baik itu dalam commit to userpenyelesaian urusan ganti rugi, serta bentuk uang, renovasi, atau relokasi. Perbedaan
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tertundanya mekanisme pemberian bantuan bagi masyarakat terutama yang tinggal di tanah hak milik, memicu terjadinya ketegangan antara warga yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo, khususnya wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota Surakarta. Di samping itu, kesalahpahaman tersebut tampaknya juga disebabkan oleh proses komunikasi dan sosialisasi yang kurang menjangkau sasaran atau tidak sesuai dengan target, sehingga menimbulkan banyak asumsi negatif di masyarakat, yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo, terhadap pemerintah kota Surakarta. Di samping itu, munculnya jeda waktu sekitar dua tahun, sejak terjadinya banjir hingga terjadinya permasalahan tersebut, membuat masyarakat yang tinggal di bantaran sungai merasa bahwa pemerintah kota surakarta tidak begitu serius melakukan pembayaran uang ganti rugi akibat banjir yang seharusnya menjadi hak mereka. Di samping itu rupanya pemerintah kota juga mengaitkan program dana banjir tersebut dengan program relokasi wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo, yang dinilai warga sebagai program yang bertentangan program dana banjir. Kesalahpahaman tersebut didukung dengan sosialisasi yang kurang tepat dari pemerintah kota terkait dengan program dana banjir dan relokasi warga bantaran Sungai Bengawan Solo. Di lain pihak, kondisi dan aktivitas komunikasi masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo, tidak begitu buruk, dalam artian mereka memiliki suatu forum yang pada dasarnya dikembangkan sebagai upaya untuk menyelesaikan dan menuntaskan masalah dana banjir tersebut. Forum yang dibentuk pada akhir tahun 2007, bernama Solidaritas Korban Banjir Bantaran (SKoBB), berfungsi wadah warga yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo untuk user melakukan komunikasi, bertukar commit pikiran,toberembuk, juga melakukan aksi bersama.
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kegiatan komunikasi dalam forum tersebut mulai diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata dan dalam bentuk komunikasi yang lebih luas, yaitu berupa demonstrasi untuk menuntut pembayaran ganti rugi agar segera dikucurkan. Forum tersebut mengayomi sekitar 800 orang yang berada di tujuh RT, yang berada di wilayah bataran. Pada setiap sesinya, pertemuan dalam forum membahas semua permasalahan yang terkait dengan permasalahan yang ada dalam masyarakat, terutama yang berhubungan dengan dana bantuan banjir. Keberadaan forum tersebut dalam masyarakat rupanya memberikan suatu bentuk kekuatan bagi warga untuk memberikan pesan-pesan ke pemerintah kota tentang permasalahan dana banjir. Namun demikian bentuk-bentuk komunikasi yang dilakukan masyarakat dengan cara demonstrasi serta menyampaikan pendapat di hadapan forum sosialisasi belum membuahkan hasil nyata. Pemerintah kota sendiri juga belum begitu memberikan perhatian terhadap keberadaan forum masyarakat tersebut,
terutama
untuk
menyampaikan
pesan-pesan
tentang
bagaimana
permasalahan dana banjir tersebut sebaiknya diselesaikan. Data-data awal menunjukkan bahwa tindakan komunikasi yang dilakukan pemerintah kota, yang dianggap kurang tanggap terhadap permasalahan dana banjir, membuat masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo membawa permasalahan tersebut ke pengadilan negeri Surakarta, pada 1 April 2009 (Solo Pos, 2 April 2009: I). Tentang bentuk komunikasi yang digunakan masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo, rupanya lebih banyak terfokus pada upaya komunikasi kelompok yang ditandai dengan munculnya keputusan bersama untuk melakukan aktivitas tekanan kepada pemerintah kota terkait bantuan banjir. Bentuk komunikasi kelompok yang dilakukan oleh warga diwujudkan dalam wujud commit tokota. user Hal itu menujukkan bahwa forum demonstrasi untuk menekan pemerintah
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat berperan besar dalam proses komunikasi yang dilakukan warga. Seandainya pemerintah kota lebih banyak menggunakan forum tersebut secara maksimal untuk sosialisasi dan komunikasi, maka dampak permasalahan dana banjir tersebut dapat ditekan dan diminimalisasi. Selain itu, secara sederhana, masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo, terutama wilayah Semanggi, mungkin menggerakkan konflik melawan pemerintah kota Surakarta ketika mereka mulai merasakan adanya kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Keadaan tersebut membuat masyarakat yang tinggal di sana merasa perlu dan berhak untuk mendapatkan bantuan dana banjir tersebut secepatnya. Dengan tujuan tersebut, masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo membentuk perwakilan yang secara umum bertugas untuk membawa masalah tersebut ke jalur hukum. Tindakan membawa permasalahan tersebut ke jalur hukum mungkin dirasakan perlu, karena tindakan dan aksi protes biasa mungkin belum membawa hasil yang pasti. Larry A. Samovar menjelaskan bahwa konflik sebenarnya bisa disebabkan karena hilangnya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan (Samovar, 2007: 251). Situasi seperti itu menyebabkan terjadinya ketegangan antara masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo, dengan pemerintah kota Surakarta, tampaknya mirip seperti yang dijelaskan oleh Samovar, karena konflik tersebut sedikit banyak diakibatkan oleh tertundanya kesempatan warga untuk mendapatkan dana bantuan banjir dari pemerintah. Penelitian ini sebenarnya berkepentingan untuk mengamati konflik yang terjadi dan menggambarkan bentuk komunikasi yang terkait dengan konflik tersebut, termasuk pada penyelesaian konflik atau resolusi konflik, serta implikasinya. Dengan demikian, penelitian sebenarnya dapat digunakan sebagai referensi untuk mengamati committerjadi to userdalam konflik tersebut pada suatu bagaimana proses komunikasi yang
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat tertentu. Dari situ, penelitian ini pada dasarnya juga berusaha melihat konflik dan keunikan komunikasi yang berhubungan dengan konflik tersebut atau setidaknya yang digunakan dalam upaya menuju resolusi konflik, secara lebih mendalam. Masyarakat yang tinggal di kawasan lain mungkin juga pernah melakukan dan menggulirkan pertentangan dengan pemerintah kota, terkait permasalahan bantuan materi, tetapi tidak semua bentuk komunikasi yang menjadi latarbelakang konflik dengan pemerintah kota, terkait dana bantuan banjir, dapat disamakan dengan komunikasi konflik di masyarakat lain. Sederhananya, selalu ada keunikan tersendiri yang terdapat dalam komunikasi yang dilakukan suatu kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak dapat disamaratakan dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat lain. Perbedaan dan keunikan komunikasi di suatu kelompok masyarakat kemungkinan besar membawa pengaruh luas bagi perbedaan-perbedaan bentuk perselisihan atau konflik serta resolusi konflik. Keunikan-keunikan dalam kelompok tersebut mungkin sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor demografis dan kondisi sosial masyarakat yang berbeda-beda antara satu daerah dengan yang lain
B. Rumusan Masalah Dari uraian yang dikemukakan dalam latarbelakang masalah, dirumuskan beberapa masalah yang ingin dicari jawabannya melalui penelitian. 1. Bagaimana sebenarnya gambaran penyebab konflik, serta pola komunikasi dalam penyebab konflik secara umum, antara warga masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo, Surakarta, dengan pemerintah kota? commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Bagaimana bentuk eskalasi konflik dan pola komunikasi dalam eskalasi konflik antara warga bantaran Sungai Bengawan Solo, Surakarta, khususnya yang tinggal di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota? 3. Bagaimana upaya resolusi konflik yang digunakan oleh warga bantaran Sungai Bengawan Solo, Surakarta, khususnya yang tinggal di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota untuk menyelesaikan permasalahan tersebut? 4. Bagaimana sebenarnya komunikasi terlibat pada penyebab dan eskalasi konflik tentang dana banjir tersebut pada warga Semanggi dan pemerintah kota? 5. Bagaimana upaya komunikasi yang dilakukan masyarakat Semanggi dan pemerintah kota, terkait untuk mengakhiri konflik tentang dana banjir tersebut?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum memiliki tujuan untuk mengambarkan dan menjelaskan konflik yang terjadi antara warga bantaran Sungai Bengawan Solo dengan pemerintah kota Surakarta, yang dibagi menjadi beberapa rincian, yaitu: 1. Mendapatkan
deskripsi
detail
tentang
penyebab
konflik
serta
aspek
komunikasinya yang terjadi antara warga bantaran di Sungai Bengawan Solo, khusunya di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota. 2. Memperoleh penjelasan yang komprehensif tentang eskalasi konflik dan komunikasi dalam eskalasi konflik yang terjadi antara warga bantaran Sungai Bengawan Solo, terutama di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota. 3. Mendapatkan gambaran dan penjelasan secara menyeluruh tentang upaya menuju resolusi konflik yang dilakukan oleh warga bantaran Sungai Bengawan Solo, terutama di wilayah Semanggi dengan pemerintah kota, terkait konflik yang sedang terjadi.
commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Menjelaskan dan menggambarkan aspek komunikasi dalam penyebab konflik dan eskalasi konflik yang dilakukan warga bantaran Sungai Bengawan Solo, terutama di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota. 5. Mendapatkan penjelasan yang menyeluruh tentang upaya komunikasi yang dilakukan masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo, terutama yang tinggal di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota demi menuju resolusi konflik.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan beberapa manfaat, sesuai dengan masalah-masalah dan harapan-harapan yang tertuang dalam tujuan penelitian. Berdasarkan hal itu, maka penelitian ini akan memberikan manfaat dalam beberapa aspek penting. 1. Berupaya
memberikan
sumbangan
teoritis
dalam
pengembangan
ilmu
komunikasi yang berkaitan dengan konflik dan mungkin juga dalam proses resolusi konflik. 2. Memberikan landasan serta bantuan teoritis bagi penelitian-penelitian yang sejenis yang secara umum berguna untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang terkait, khususnya ilmu komunikasi. 3. Penelitian berusaha menjelaskan penyebab terjadinya konflik yang ada di masyarakat, serta hubungannya dengan aspek komunikasi. 4. Penelitian ini secara umum juga berusaha memberikan pemahaman tentang semua proses komunikasi yang terjadi dalam konflik dan proses resolusi konflik tersebut.
commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Sejatinya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan lebih dalam tentang konflik dan aspek komunikasi yang melingkupinya, sebagai sebuah upaya mendapatkan bentuk resolusi konflik yang tepat. 6. Menjadi salah satu bahan acuan untuk penelitian lain, terutama yang berusaha menyoroti tentang proses komunikasi yang terjadi dalam konflik di masyarakat secara umum.
commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka 1. Kajian Tentang Konflik Sosial Secara garis besar dapat dikatakan bahwa ilmu komunikasi bukanlah disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan bisa dilepaskan disiplin ilmu yang lain seperti yang terjadi pada ilmu-ilmu eksak. Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang berada di percabangan ilmu-ilmu sosial lain. Stephen W. Littlejohn, mengutip pendapat Thomas Steller dan David Sholle, menyatakan bahwa komunikasi merupakan cabang ilmu yang multidispliner (dalam Littlejohn dan Foss, 2005: 3). Karena itu komunikasi membutuhkan bantuan dari beragam ilmu lain, seperti sosiologi dan psikologi untuk dapat berkembang lebih jauh. Aspek multidisiplin ilmu komunikasi terlihat ketika membahas konflik sosial. Karena konflik merupakan bentuk interaksi sosial yang melibatkan aspek sosiolgis, psikologis dan komunikasi, maka tampaknya sudah menjadi keharusan jika pembahasan tentang konflik harus dikaji melalui paradigma ketiga ilmu tersebut. Namun demikian, penelitian ini lebih memfokuskan kajian komunikasi yang terjadi pada konflik, meskipun masih ada beberapa kajian dari ilmu sosiologi dan psikologi. Secara umum konflik merupakan suatu interkasi sosial yang tampaknya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial manusia, sebagaimana fakta bahwa komunikasi tidak dapat dipisahkan dari konflik dan interaksi sosial manusia. Lee Raffel, seorang pakar dalam bidang konflik dari Amerika Serikat, rupanya berhasil menemukan beberapa aspek penting sekiranya melatarbelakangi penyebab commityang to user konflik secara umum dari aspek mikro, individu. Secara umum Raffel, yang 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memandang konflik dari kajian ilmu komunikasi, menemukan bahwa latarbelakang penyebab konflik sebenarnya berasal bentuk-bentuk kegagalan berkomunikasi yang dapat menyebabkan satu pihak merasa terintimidasi, tertekan, terancam, atau terpaksa (Raffel, 2008: 37). Sederhananya, Raffel hanya menjelaskan bahwa komunikasi yang salah dan bentuk-bentuk kegagalan komunikasi menjadi jiwa dari semua penyebab konflik dalam berbagai tingkatan. Dengan begitu, kita dapat memahami semua latarbelakang penyebab konflik. Bentuk dan prinsip kegagalan komunikasi, yang dijelaskan Raffel dan pada umumnya berperan besar sebagai penyebab konflik, tampaknya masih berkitan dengan bentuk dan konsep komunikasi secara umum yang melibatkan bentuk-bentuk pertukaran pesan dari komunikator ke kemunikan. Proses pertukaran pesan tersebut pada prinsipnya merupakan proses sederhana ketika semua unsur penyusun komunikasinya tersedia, namun hal itu bisa menjadi proses rumit tatkala unsur penyusun komunikasi gagal menyampaikan pesan dan meneruskan pesan dengan baik. Sehingga apabila proses komunikasi tidak dapat berlangsung dengan baik, maka hal itu dapat dipandang sebagai salah satu bentuk kegagalan komunikasi. Kajian lebih dalam tentang kegagalan komunikasi diberikan oleh Brian H. Spitzberg dan William R. Cupach. Kedua pakar komunikasi tersebut menjelaskan bahwa kegagalan komunikasi tampaknya bisa berasal dari dalam diri individu– sebagai komunikator atau komunikan–yang disebabkan oleh bentuk-bentuk komunikasi yang agresif dan komunikasi yang tidak diinginkan sebagai hasil dari kekacauan kepribadian seseorang yang akan mempengaruhi perkembangan persepsi seseorang (Spitzberg dan Cupach, 2009: 457). Bagi Spitzberg dan Cupach, peranan aspek psikologis rupanya bertanggungjawab besar bagi proses kelancaran dan to user yang diajukan oleh Robert A. Baron perkembangan proses komunikasi.commit Sama seperti
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan Donn Byrne bahwa kondisi psikologis tertentu dapat membuat individu berkomunikasi dengan orang lain dengan cara yang salah sehingga menyebabkan orang lain marah (Baron dan Byrne, 2005: 194). Kenyataan tersebut menjelaskan bagaimana keadaan psikologis mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan proses komunikasi. Kondisi yang psikologis yang dijelaskan oleh Spitzberg-Cupach dan Baron-Byrne pada akhirnya berujung pada kenyataan bahwa semua kondisi psikologis tersebut akan menghasilkan bentuk tindakan fisik dalam bentuk konflik. Jika kondisi psikologis telah bergerak menjadi bentuk konflik, maka aksi tersebut tentu akan bertalian dengan bentuk interaksi sosial yang lebih luas. Secara sederhana, kondisi psikologis tertentu menghasilkan bentuk-bentuk kegagalan komunikasi yang pada akhirnya dapat memunculkan konflik sosial dalam masyarakat. Dari sini tampak hubungan yang relatif erat antara kegagalan komunikasi dengan konflik sosial. Hubungan tentang komunikasi dengan bentuk interaksi sosial dalam konflik, secara sederhana diajukan oleh Charles S. Berger. Secara umum ia menyatakan bahwa sebenarnya komunikasi dan beragam tujuannya berada dalam wilayah interaksi sosial yang terbentang dalam rutinitas yang unik, yang semakin besar sepanjang waktu. Sebagai bentuk interaksi sosial maka semua pihak yang terlibat di dalamnya dapat merasakan hubungan serta pengalaman yang positif dan negatif (Berger, 2003: 257). Paparan yang diberikan oleh Berger pada dasarnya tidak lagi membahas tentang peranan sisi psikologis, namun lebih banyak memahami bagaimana komunikasi berperan dalam interaksi sosial. Karena itu bentuk pengalaman positif dan negatif yang dijelaskan Berger tampaknya dapat commit to user dihubungkan dengan penyebab konflik.
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagi Berger (2003), komunikasi tampaknya memainkan peranan penting bagi semua aspek interaksi sosial, sehingga memunculkan suatu kenyataan bahwa komunikasi bisa menciptakan bentuk-bentuk pengalaman positif dan negatif. Hal itu secara tidak langsung menghasilkan perbedaan persepsi tentang masalah tertentu. Dengan demikian, tampak sebuah hubungan langsung antara komunikasi, konflik, dan interaksi sosial yang ada di dalamnya. Bentuk interaksi antarkelompok dari pandangan psikologi sosial diberikan oleh Nick Hopkins dan Vared Kahani-Hopkins. Keduanya berpendapat bahwa konsep yang diberikan oleh psikologi sosial menitikberatkan pada bagaimana hubungan (contact) bisa mengembangkan bentuk-bentuk relasi antarkelompok (Hopkins dan Kahani-Hopkins, 2006: 245) Lebih detailnya, psikologi sosial juga mendukung semua bentuk perubahan yang mendorong semua bentuk kondisi untuk mencapai kesuksesan (Hopkins dan Kahani-Hopkins, 2006: 245). Kondisi yang dijelaskan oleh Hopkins dan Kahani-Hopkins, serta beberapa pakar lain, sejatinya menujukkan bahwa aspek psikologi sosial mendukung semua bentuk interaksi yang bertujuan mengembangkan semua bentuk hubungan dan relasional antarkelompok. Selain itu, kondisi tersebut menunjukkan bahwa komunikasi, sebagai sarana interaksi sosial, bisa digunakan sebagai cara untuk mendukung dan mengembangkan interaksi antarkelompok termasuk dalam konflik. Pandangan yang diberikan Hopkins dan Kahani-Hopkins (2006) tentang hubungan antara psikologi sosial dengan interaksi sosial dikuatkan oleh kajian dari Francisco Gomes de Matos, tentang bahasa serta implikasi yang dihasilkan oleh penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. De Matos menjabarkan bentuk-bentuk bahasa yang berhubungan dengan konflik yang pada hakekatnya menuju satu bentuk commit to user pemahaman tentang tindakan dalam konflik tersebut. De Matos berhasil menemukan
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekitar tiga belas kata kerja dalam bahasa Inggris yang behubungan dengan konflik, seperti: abuse (kekerasan), antagonize (perlawanan), attack (serangan), belittle (kebencian), blow off stream (menghancurkan), hingga stigmatize (melukai), dan vilify (menundukkan) (De Matos, 2006: 160-161). Semua kata kerja tersebut secara garis besar menunjukkan konsep-konsep umum tentang perilaku yang biasanya dilakukan dalam konflik secara umum. Hal itu tampaknya menghubungkan antara komunikasi dan aktivitas dalam konflik sosial. Penjelasan De Matos (2006) rupanya dapat menjelaskan bagaimana bentuk aktivitas umum yang biasanya terjadi dalam konflik sekaligus memberikan pemahaman erat tentang hubungan komunikasi dengan konflik. Pendapat dan penjelasan De Matos (2006) tentang bahasa dalam konflik menujukkan bahwa bentuk aktivitas sosial yang disertai penggunaan kata-kata tersebut atau tindakan-tindakan sosial yang dijelaskan dapat dijelaskan oleh kata-kata tersebut, dapat dimasukkan sebagai salah satu indikasi terjadinya konflik. Kenyataan seperti itu tampaknya menjadi semacam konsensus di masyarakat bahwa konflik, pertikaian, konfrontasi, dan perselisihan selalu melibatkan bentuk-bentuk kekerasan atau setidaknya semua bentuk perilaku yang mendukung hal itu. Selain itu, paparan pakar bahasa di atas tentang bahasa dan konsep bahasa mungkin dapat digunakan sebagai penjelasan tentang sesuatu yang terjadi di dalam konflik. Sementara itu, penjelasan tentang konflik secara sosiologi makro diberikan oleh Susanne Buckley-Ziestel, dari Universitas Berlin. Dalam karyanya, Buckley-Ziestel lebih banyak menjelaskan bahwa ada kemungkinan konflik sosial mampu menghancurkan bentuk dan sendi-sendi sosial yang terlah terbentuk. Di samping itu, hampir semua konfik–termasuk konflik mikro dan makro–biasanya to user disebabkan oleh perbedaan dan commit perselisihan atau bentuk-bentuk ketakutan pribadi
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadap sesuatu yang menguasai, atau mungkin juga disebabkan oleh bentuk perselisihan skala besar antara penguasa dan yang dikuasai. Kenyataan itu membuat penyebab konflik biasanya bersifat multifaset (Buckley-Ziestel, 2008: 13). Di sisi lain, Buckley-Ziestel sendiri tidak menampik kemungkinan bahwa semua konflik yang menjadi fokus perhatiannya juga disebabkan oleh bentuk-bentuk perselisihan, pertentangan yang mungkin dilatarbelakangi oleh sesuatu yang lain. Dalam bukunya yang berjudul ―Conflict Transformation and The Social Change in Uganda‖, Buckley-Ziestel tampaknya lebih banyak menjelaskan semua aspek konflik yang terjadi di Afrika melalui pendekatan politik. Secara sederhana, penjelasan BuckleyZiestel mengindikasikan bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interkasi sosial yang melibatkan berbagai macam kajian ilmu sosial, seperti komunikasi dan sosiologi. Paparan lebih jauh tentang tindakan dalam konflik secara umum rupanya diberikan oleh Randall Collins, dari Universitas Pennsylvania, dalam sebuah jurnal ilmiah. Ia menuliskan dalam salah satu karyanya bahwa bentuk-bentuk penyerangan merupakan bentuk paling umum yang terjadi dalam konflik terbuka. Banyak buktibukti dan fakta di lapangan yang menujukkan bahwa beberapa kelompok terpecah dalam beberapa bagian kecil untuk melakukan penyerangan terhadap individuindividu yang terisolasi. Hal itu membuat bentuk-bentuk kekerasan dalam konflik ditujukan bagi pihak-pihak yang lemah dan tertekan (Collins, 2009: 11). Dari sini muncul indikasi yang relatif erat bahwa, bagi sebagian pihak, salah satu cara menghilangkan penghalang–dalam konflik–hanya dapat dilakukan dengan kekerasan dan tindakan fisik dari pihak yang kuat menuju pihak yang lemah. Namun demikian, ada beberapa konflik yang tidak selalu berlangsung commit to user dengan cara kekerasan dan penggunaan kekuatan fisik dan verbal. Jika kita
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perhatikan fakta bahwa salah satu penyebab konflik ialah perbedaan kepentingan dan kegagalan komunikasi, maka bentuk-bentuk konflik yang terjadi tidak harus selalu menggunakan tindakan fisik. Dengan begitu, bentuk-bentuk interaksi menggunakan aspek komunikasi secara keras dengan tekanan psikologis yang tinggi, dan digunakan dengan cara emosional, juga menjadi indikasi bahwa konflik sedang berlangsung. Manuel Eisner percaya bahwa konflik berkaitan bentuk-bentuk kesinambungan pada ranah biologi, psikologi, dan sosial yang kenyataannya bisa menjadi indikasi terjadinya konflik itu sendiri (Eisner, 2009: 44). Penjabaran yang diberikan Eisner sebenarnya lebih banyak menyimpulkan bahwa konflik tidak dapat dilihat dari satu sisi saja, namun harus dilihat dari kerangka holistik atau lebih luas dan mendalam. Dengan demikian, konflik tidak hanya dapat menggunakan kekerasan fisik atau verbal, tapi jauh lebih luas dari itu. Jika kita memasukkan pendapat Eisner untuk memahami konflik, maka semua bentuk pertentangan dalam jalur apapun dengan beragam tekanan–entah itu menggunakan kekerasan fisik atau psikologis–dapat dikategorikan sebagai konflik. Sebetulnya, penjelasan dan kepercayaan Eisner terhadap pengaruh dan kaitan konflik dengan ranah-ranah tertentu lebih banyak difokuskan untuk memahami penyebab penggunaan kekerasan terhadap individu lain dalam suatu konflik. Walaupun demikian, Eisner sendiri tidak menjelaskan bahwa konflik juga dapat terjadi tanpa kekerasan dan penggunaan kekuatan fisik. Penjelasan yang diberikan oleh banyak pakar dalam berbagai bidang yang mendukung kajian komunikasi dalam konflik, tampaknya membawa pada sebuah muara besar pemahaman bahwa konflik yang terjadi pada kelompok sosial merupakan bentuk pertentangan yang salah satunya diakibatkan bentuk kegagalan commit user pertentangan dan pertikaian yang komunikasi. Hal itu menimbulkan sebuahto bentuk
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berhubungan mempengaruhi kondisi biologis, psikologi, dan keadaan sosial manusia. Karena itu, konflik mampu membawa perubahan besar dalam bidang-bidang tertentu, terutama dalam bidang sosial. Kebanyakan konflik bisa berlangsung menggunakan kekerasan fisik dan agresi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah, namun pada beberapa kasus, konflik juga dapat terjadi tanpa kekerasan. Penjelasan umum tentang konflik yang diberikan oleh para pakar komunikasi dan sosiologi di atas membawa pada satu pemahaman yang menjelaskan konflik sebagai suatu aktivitas sosial yang tidak dapat lepas dari peranan dan pengaruh komunikasi. Hal itu juga menujukkan bahwa komunikasi menjadi suatu syarat mutlak bagi konflik untuk menujukkan eksitensinya dalam kehidupan dan semua bentuk aktivitas sosial. Selain itu, penjelasan dan tinjauan ilmu komunikasi tentang konflik memberikan suatu sudut pandang baru bahwa sebagai ilmu sosial, komunikasi turut menjelaskan konflik sebagai suatu interaksi sosial, sama seperti yang diberikan oleh disiplin ilmu yang lain. Di samping itu, proses komunikasi rupanya tidak dapat dipisahkan dari semua bentuk aktivitas sosial, termasuk dalam konflik.
a. Penyebab Konflik dalam Perspektif Komunikasi Paparan umum tentang konflik di atas membawa pada suatu pemahaman bahwa konflik merupakan bentuk interaksi sosial yang memiliki penyebab dan implikasi. Seperti kebanyakan fenomena sosial, konflik juga memiliki tahapan kritis yang menjadi penyebab sekaligus mengawali kejadian selanjutnya. Seperti kabanyakan ilmu sosial yang lain, ilmu komunikasi juga memberikan perhatian tersendiri terhadap permulaan dan terjadinya konflik. Kenyataan tersebut membuat commit to user proses terjadinya konflik dapat dipelajari dengan baik berdasarkan penyebabnya.
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan hal itu, bagian ini akan lebih difokuskan untuk menjelaskan bagian awal dari konflik dan menilik penyebab konflik melalui sudut pandang ilmu komunikasi. Dari sudut pandang komunikasi, konflik merupakan hasil dari ketimpangan dan gangguan penyampaian proses komunikasi dari sumber pesan menuju penerima pesan. Linda L. Putnam, dari Universitas California di Santa Barbara, menyatakan bahwa konflik dapat muncul karena adanya kesalahpahaman, perbedaan cara dalam menanggapi suatu urusan, hingga bentuk-bentuk perbedaan tujuan yang hendak dicapai (Putnam, 2009: 211). Lebih lanjut, Putnam juga menjelaskan bahwa komunikasi membangun konflik melalui cara dan pola interaksi yang dikembangkan oleh pihak-pihak yang terlibat. Keberadaan pola interaksi tersebut sebenarnya berkaitan dengan bentuk-bentuk pesan yang disampaikan oleh satu pihak untuk ditanggapi oleh pihak yang lain (Putnam, 2009: 212). Penjelasan Putnam memberikan titik terang bahwa konflik sejatinya dapat berhubungan dengan komunikasi. Perhatikan, peryataan yang menunjukkan bahwa pola interaksi dalam konflik masih berhubungan dengan bentuk-bentuk penyampaian pesan dari satu pihak ke pihak yang lain. Dengan begitu, kesalahpahaman dalam menanggapi dan menafsirkan pesan dapat memunculkan konflik antara pihak-pihak yang terlibat. Paparan Putnam tentang konflik dapat dianalogikan dengan komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau sekelompok orang yang saling memberikan pesan dalam bentuk-bentuk tertentu, namun penerima pesan salah menafsirkan pesan yang telah diterima. Keadaan tersebut tidak menjadi masalah serius ketika komunikasi dan kesalahan penafsiran pesan segera diperbaiki, tetapi keadaan tersebut berpotensi menjadi konflik apabila kesalahan penafsiran pesan terus berlanjut dan terakumulasi semakin besar. Pada situasi seperti itu, gangguan komunikasi
tampaknya
commit to user serius menjadi masalah
dalam
menajamkan
dan
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memperparah konflik akibat kesalahpahaman dalam menerima pesan. Hal itu menujukkan bahwa konflik dan gangguan komunikasi–dalam bentuk kesalahan penafsiran pesan–tampaknya memiliki hubungan yang relatif dekat. Dalam ilmu komunikasi, kesalahan penafsiran dan penerimaan pesan dapat dikategorikan dalam bentuk-bentuk gangguan proses komunikasi, yang menghubungkan sumber pesan ke penerima pesan. Karena, gangguan komunikasi tampaknya memiliki peranan yang relatif besar dalam memunculkan konflik, maka secara sederhana konflik dalam sudut pandang komunikasi akan lebih banyak berhubungan dengan gangguan-gangguan seperti itu. Pandangan tentang gangguan komunikasi diberikan oleh Jurgen Ruesch (1972), Watzlawick, Beavin, dan Jackson (1967), sebagai para pakar psikologi klinis, memandang gangguan dalam komunikasi karena munculnya kesalahan dan gangguan mental (dalam Spitzberg dan Cupach, 2009: 455). Pendapat yang diajukan Ruesch memberikan pengertian bahwa gangguan psikologis berat akan menghalangi proses komunikasi yang terjadi antarindividu yang pada akhirnya akan menghasilkan kegagalan komunikasi pada tingkat lanjut. Meskipun situasi yang diberikan Ruesch lebih banyak terfokus pada gangguan komunikasi karena gangguan mental, namun penjelasan Ruesch (1972) dan koleganya membuka gambaran besar bahwa gangguan komunikasi–dalam situasi normal–juga berkaitan dengan gangguan penyampaian pesan dan semacamnya. Bentuk-bentuk kesalahan dalam penafsiran pesan dan gangguan komunikasi lain sebenarnya mengacu pada konsep serupa yang dikenal sebagai kesalahapahaman dan kegagalan komunikasi. Senada dengan Ruesch, Paul R. Kimmel memandang gangguan komunikasi sebagai bentuk kegagalan komunikasi atau mungkin kesalahan komunikasi (miscommunication). Bagi Kimmel, kegagalan to user tentang bagaimana menyamakan komunikasi sebenarnya terletak commit pada masalah
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
persepsi dan pemikiran (mindset) pihak lain dengan pemikiran kita, sehingga kelak muncul kesulitan untuk menyamakan persepsi (Kimmel, 2006: 629). Kimmel rupanya memfokuskan pandangan tentang kegagalan dan kesalahan komunikasi karena perbedaan pemahaman dan pengertian yang ada dalam pikiran satu pihak dalam proses komunikasi. Pendapat yang diberikan oleh Kimmel memang lebih berhubungan dengan situasi sosial budaya, namun sejatinya tidak ada perbedaan serius yang membedakan komunikasi sosial budaya dengan komunikasi secara umum, selain perbedaan sifat dan tingkatannya saja. Karena itu pendapat Kimmel tampaknya masih relevan untuk menjelaskan konflik dalam ranah apapun. Di pihak lain Lee Raffel juga mengajukan pendapat yang berbeda makna dan konteks dengan yang diajukan oleh Kimmel (2006). Raffel lebih cenderung mengatakan bahwa konflik sebenarnya
dicetuskan
oleh
bentuk-bentuk
kegagalan
komunikasi
untuk
menyampaikan pesan tertentu sehingga membuat orang lain terancam, takut, atau terintimidasi (Raffel, 2008: 37). Secara sederhana, pandangan Kimmel (2006) dan Raffel (2008) menuju pada pemahaman bahwa proses penyampaian pesan dalam komunikasi memang harus dilakukan dengan cara baik sehingga mampu menghindari bentuk-bentuk kegagalan dan kesalahan komunikasi yang dapat menghasilkan konflik. Pada situasi ini, ada bagian mendasar yang membedakan pendapat tentang kesalahan komunikasi sebagai pencetus konflik, yang diberikan oleh para pakar konflik di atas. Ruesch lebih banyak memandang kegagalan komunikasi sebagai hasil dari gangguan psikologis manusia, Kimmel (2006) memandang kegagalan komunikasi sebagai kesalahan persepsi dalam menanggapi pesan, sedangkan Raffel (2008) memandang to userpesan yang memang bersifat negatif. kegagalan komunikasi karena isi commit dan maksud
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Meskipun pendapat tiga pakar itu memiliki perbedaan yang sangat fundamental, namun semua pakar tersebut tampaknya sependapat bahwa kenyataan tentang kegagalan komunikasi bisa dihasilkan akibat munculnya gangguan dalam proses komunikasi antarmanusia. Dari sudut pandang komunikasi, konflik secara definitif tidak banyak berbeda dengan penjelasan yang diberikan oleh disiplin ilmu sosiologi, yaitu proses interaksi
antarmanusia
yang
melibatkan
pertentangan
karena
adanya
kesalahpahaman, perbedaan cara dalam menanggapi suatu urusan, hingga bentukbentuk perbedaan tujuan (Putnam, 2009: 211). Penjelasan yang diberikan Putnam tersebut pada dasarnya menjelaskan bahwa ilmu komunikasi–secara garis besar– hanya memberikan satu penyebab konflik yaitu kegagalan komunikasi dalam interaksi antarmanusia. Penelitian dan penjelasan yang diberikan Kimmel (2006) dan Raffel (2008) tampaknya menguatkan gagasan kegagalan komunikasi sebagai penyebab konflik. Namun demikian, ilmu komunikasi tampaknya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh ilmu sosial yang lain dalam aspek penjelasan tentang konflik dan penyebab konflik. Pakar konflik di Eurasia, Diarmait Mac Giolla Chríost, menjelaskan bahwa sederhananya konflik mungkin disebabkan adanya perbedaan politik yang terjadi pada beberapa kelompok, termasuk perbedaan identitas, ideologi, hingga persaingan terhadap sumberdaya, sering menjadi penyebab konflik yang rumit (Chríost, 2003: 152). Bagi Chríost dan mungkin sederet pakar yang lain menyatakan bahwa perbedaan pandangan politik hingga persaingan terhadap suatu sumberdaya tampaknya bisa menjadi penyebab konflik yang potensial dalam kebanyakan masyarakat. Dengan begitu, secara sederhana, kebanyakan konflik besar to userserta persaingan terhadap sesuatu. bisa disebabkan adanya perbedaancommit kepentingan
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Beberapa pakar ilmu sosial yang lain sebenarnya memberikan pendapat yang tidak jauh berbeda dengan yang diberikan Chríost (2003), atau setidaknya mendukung pernyataan kebanyakan ahli sosiologi tentang konflik. Larry A. Samovar, meskipun tidak secara langsung menjelaskan apa penyebab dari konflik antarbudaya, menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam kebanyakan kebudayaan masyarakat dunia mulai dari masyarakat Timur Tengah, Japang, Latin–mengacu pada masyarakat Amerika Selatan, dan Eropa menganggap bahwa konflik antar budaya dipicu oleh penerimaan yang berbeda tentang suatu budaya yang ada di dalam masyarakat tersebut (Samovar, 2007: 349-350). Penjelasan Samovar menujukkan bahwa adanya penerimaan dan persepsi yang berbeda tentang suatu budaya menjadi sebuah penyebab konflik yang relatif potensial. Peryataan Samovar (2007) secara langsung mendukung penjelasan Clifford Geertz, seorang ahli budaya terkemuka, yang menyatakan bahwa interperasi budaya terbagi menjadi dua macam bentuk besar, yaitu deskripsi tebal yang mendeskripsikan praktek budaya dari sudut pandang pelaku budaya sendiri. Sedangkan deskripsi tipis merupakan bentuk deskripsi yang hanya mendeskripsikan sedikit sifat dari pelaku budaya tersebut (Geertz dalam Littlejohn, 2005: 310). Sederhananya, Geertz berusaha menjelasakan bahwa perbedaan persepsi dan kesalahan penempatan sudut pandang suatu budaya terhadap budaya lain akan beresiko menimbulkan bentuk-bentuk konflik antarbudaya. Apabila semua penyebab konflik yang telah dijelaskan pada beberapa paragraf di atas, disatukan menjadi satu penjelasan besar, maka secara garis besar ada beberapa penyebab konflik yang dijelaskan oleh disiplin ilmu sosial. Disiplin ilmu komunikasi tampaknya juga membeberkan penyebab konflik namun tidak user sekomprehensif ranah sosiologi.commit Ilmu to komunikasi pada dasarnya menjelaskkan
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahwa konflik biasanya disebabkan oleh bentuk-bentuk kegagalan komunikasi, bentuk-bentuk salah pengertian, dan kekeliruan pemahaman. Sementara itu disiplin ilmu sosologi secara sederhana membagi penyebab konflik menjadi empat bagian besar. Soerjono Soekanto (2002: 99) rupanya menjelaskan empat penyebab konflik secara sosiologis dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit, yaitu: Perbedaan antarindividu, Perbedaan kebudayaan, Perbedaan kepentingan, Perubahan sosial. Pemahaman tentang awal mula dan penyebab konflik menjadi sebuah titik tolak untuk memahami konflik secara lebih dalam.
b. Tipe dan Sifat Konflik dalam Ilmu Komunikasi Apabila membicarakan konflik dengan segala implikasinya, maka tipetipe konflik atau jenis-jenis konflik juga harus dikaji sebagai bekal untuk mendalami dan memahami konflik secara menyeluruh. Disiplin ilmu komunikasi, sebagai bagian dari ilmu sosial, rupanya juga memberikan kajian khusus tentang bentuk-bentuk konflik dan sifat-sifat konflik yang biasanya melingkupi interaksi sosial tersebut. Banyak ahli komunikasi yang membeberkan tentang masalah tipe dan sifat konflik. Pemahaman yang baik tentang tipe dan sifat konflik menjadi suatu bagian yang tidak dapat dilepaskan ketika harus mengkaji konflik secara lebih dalam. Secara khusus ilmu komunikasi juga mengklasifikasikan konflik dalam beberapa bentuk tertentu, walaupun sebenarnya klasifikasi yang digunakan dalam ilmu komunikasi tidak sedetail klasifikasi yang diberikan disiplin ilmu yang lain. Pembagian konflik paling sederhana diberikan oleh dua orang pakar komunikasi dari Amerika Serikat, Steven A. Beebe dan Susan J. Beebe (2001: 221-222) membagi konflik menjadi dua kategori besar yaitu, konflik konstruktif dan konflik destruktif. commit to user Konflik konstruktif merupakan bentuk konflik yang memiliki sifat saling kerjasama
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam membangun dan mengatasi perbedaan yang ada. Di lain pihak, konflik destruktif merupakan bentuk konflik yang memiliki sifat merusak dan memperbesar perbedaan yang ada, sehingga pada akhirnya cenderung tidak bisa diperbaiki. Klasifikasi konflik yang diberikan Beebe dan Beebe tampaknya lebih cenderung menggambarkan konflik dari pengaruhnya mengatasi perbedaan dan sifat yang melekat pada perselisihan tersebut. Hal itu tampaknya membuat penjelasan Beebe dan Beebe tampaknya sudah cukup mewakili pembagian konflik oleh ilmu komunikasi secara umum. Selain itu, Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama, dua orang pakar komunikasi dari Universitas Arizona, ikut serta mengklasifikasikan konflik berdasarkan ilmu komunikasi. Meskipun secara umum klasifikasi dari Martin dan Nakayama berbeda dengan klasifikasi yang diberikan Beebe dan Beebe, namun pada hakekatnya tetap tidak memiliki perbedaan yang berarti. Martin dan Nakayama (2003: 381-382) membagi konflik menjadi lima kategori besar. Pertama, konflik afektif merupakan konflik yang terjadi tatkala individu menyadari bahwa emosi dan perasaannya menjadi tidak sesuai dengan milik orang lain. Kedua, konflik kepentingan merupakan bentuk konflik yang menggambarkan situasi orang yang sedang mengejar tujuan-tujuan yang sama dengan cara-cara yang sangat bertentangan, sehingga memunculkan ketegangan. Ketiga, konflik nilai merupakan tipe konflik yang relatif serius karena melibatkan orang-orang yang berbeda secara ideologis terhadap isu-isu tertentu. Keempat, konflik kognitif menggambarkan situasi yang melibatkan dua orang yang memiliki persepsi dan proses yang tidak sebangun. Kelima, konflik tujuan merupakan konflik yang terjadi karena ketidaksetujuan terhadap tujuan dan hasil commit to user akhir. Martin dan Nakayama (2003) pada dasarnya memberikan pandangan yang
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
relatif luas tentang bagaimana ilmu komunikasi membagi konflik dalam beberapa bagian tertentu berdasarkan tujuan dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Hal itu membuat ilmu komunikasi tampaknya setara dengan ilmu sosial yang lain dalam menjelaskan klasifikasi konflik. Paparan lebih lanjut tentang tipe-tipe konflik muncul dari pendapat Steven A. Beebe dan John T. Masterson. Penjelasan Beebe dan Masterson rupanya didasarkan pada keterangan yang diberikan ilmuwan komunikasi lain, bernama Gerald Miller dan Mark Steinberg. Miller dan Steinberg membagi konflik menjadi tiga tipe utama, yaitu: konflik semu (pseudo-conflict), konflik sederhana (simple conflict), dan konflik ego (ego conflict). Ketiga konflik tersebut rupanya diidentifikasi pada bentuk-bentuk kelompok kecil (dalam Beebe dan Masterson, 2003: 260-264). Lebih lanjut, Miller dan Steiberg (dalam Beebe dan Masterson, 2003: 260-264) mulai menjelaskan tiga tipe konflik tersebut secara lebih dalam. Konflik semu (pseudo-conflict) merupakan bentuk konflik yang terjadi karena seseorang pengaruh kesalahpahaman kepada orang lain. Konflik semu (pseudo-conflict) sebenarnya terjadi antara individu yang pada awalnya setuju, namun, karena munculnya bentuk-bentuk kesalahan komunikasi, kedua individu tersebut segera menyatakan tidak setuju. Sementara itu ‗konflik sederhana‘ (simple conflict) pada dasarnya merupakan bentuk konflik yang terjadi apabila individu atau seseorang tidak setuju pada isu tertentu. Sederhananya, ‗konflik sederhana‘ terjadi apabila dua individu tahu apa yang diinginkan orang lain, tapi sayangnya tujuan tersebut tidak dapat tercapai tanpa menghalangi orang lain mencapai tujuannya. Selanjutnya, konflik ego (ego conflict) sebenarnya terjadi apabila individu menjadi sangat defensif commit to user karena mereka beranggapan bahwa ada seseorang yang menyerang secara pribadi.
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keadaan seperti ini berkaitan langsung dengan emosi dan rasa pertahanan dalam diri individu karena bentuk pertahanan orang lain. Pendapat yang dikutip oleh Beebe dan Masterson (2003) tentang pembagian konflik merupakan bentuk klasifikasi yang secara garis besar bertumpu pada komunikasi yang melingkupi konflik tersebut. Perhatikan paparan Beebe dan Masterson tentang konflik semu, yang lebih banyak mengacu pada aspek komunikasi yang melingkupi konflik tersebut. Dengan demikian, Beebe dan Masterson (2003) lebih banyak melihat konflik melalui aspek komunikasi. Penjelasan tentang klasifikasi jenis konflik atau pembagian konflik membawa sebuah implikasi tentang pokok kajian baru tentang sifat-sifat konflik yang masih berkaitan dengan pembagian jenis konflik. Ronald B. Adler dan George Rodman memberikan pandangan mereka tentang sifat-sifat konflik secara umum. Penjelasan dua pakar komunikasi tersebut rasanya cukup mewakili pandangan ilmu komunikasi dalam membahas sifat-sifat konflik. Adler dan Rodman (2006: 236-237) membagi sifat konflik menjadi empat sifat umum. Pertama, ekspresi perjuangan merupakan bentuk ekspresi kebencian yang diberikan oleh seseorang karena orang lain melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya. Kedua, merasakan ketidakcocokan tujuan merupakan sifat konflik yang muncul karena ada pihak-pihak tertentu yang merasakan munculnya ketidaksesuaian tujuan dengan bentuk tujuan pihak lain, sehingga pada beberapa kasus tidak ada bentuk penyelesaian yang tersedia. Ketiga, merasakan hadiah yang sangat langka merupakan bentuk sifat konflik yang membuat pihak-pihak yang terlibat merasakan adanya hadiah yang akan mereka dapatkan jika memenangkan konflik tersebut. Keempat, saling ketergantungan menjadi sifat konflik yang membuat pihak-pihak yang bertikai merasakan adanya commitmembutuhkan. to user perasaan saling tergantung dan saling Keempat sifat konflik yang
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dijelaskan Adler dan Rodman (2006) sebenarnya merupakan sifat umum yang biasanya ditemukan dalam hampir semua konflik di semua ranah sosial. Perhatian tentang sifat dan karakteristik konflik juga diberikan oleh Miall. Karakteristik konflik yang diajukan oleh Miall digunakan oleh Celina Del Felice, dari Universitas Radboud, untuk mengamati dan menerangkan konflik yang terjadi di Argentina. Secara umum Miall (2004) membagi karaketeristik konflik menjadi tiga sifat yang spesifik (dalam Del Felice 2008: 76). Pertama, konflik biasanya bersifat asimetris terutama yang berhubungan dengan kekuatan dan status. Kedua, bentukbentuk konflik yang ada biasanya diperpanjang, sehingga digambarkan dalam bentuk siklus atau lonceng. Ketiga, bentuk-bentuk konflik yang diperpanjang biasanya mengganggu sisi kemasyarakatan secara lokal dan global. Tiga karakteristik konflik yang dikembangkan oleh Miall dan dijabarkan oleh Del Felice (2008) seakan membuka kenyataan bahwa memang pada pada beberapa kasus ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mengulur-ulur waktu penyelesaian konflik dengan kepentingan tertentu. Selain itu, Miall rupanya juga mengajukan pendapat tentang karakteristik konflik yang agak serupa dengan pendapat Adler dan Rodman bahwa konflik memiliki sifat dasar yang berhubungan dengan ‗ketidaksesuaian‘. Tipe-tipe konflik dan sifat-sifat konflik yang telah dijelaskan di atas pada dasarnya menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sosial, seperti komunikasi, menaruh perhatian yang sama terhadap konflik. Keduanya sedikit-banyak menjelaskan bahwa konflik merupakan bentuk interaksi sosial yang berkaitan dengan aspek sosial individu dan komunikasi. Karena itu, aspek komunikasi dalam konflik menjadi perhatian dalam ilmu komunikasi. Meskipun terkadang tidak ada batasan yang jelas di dalam ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu komunikasi, dalam memandang konflik. commit user Keadaan seperti ini menunjukkan bahwato komunikasi berusaha keras memberikan
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pandangan tentang konflik sebagai bentuk interaksi sosial dan komunikasi yang terjadi dalam masyarakat.
c. Teori-teori yang Digunakan Pembahasan tentang teori-teori konflik tampaknya tidak dapat dipisahkan dari semua kajian tentang konflik. Keberadaan teori-teori konflik pada bagian ini sebenarnya hanya digunakan layaknya sekop untuk menggali pemahaman dan alat untuk menganalisis fenomena tertentu, termasuk konflik. Karena itu, bagian pembahasan tentang teori konflik merupakan bagian yang relatif penting untuk memberikan gambaran, pandangan, dan analisis terhadap semua peritiwa yang ada. Karena itu pandangan tentang konflik kelompok atau konflik antarkelompok setidaknya harus dibahas melalui teori dari berbagai perspektif ilmu, seperti psikologi, komunikasi, dan mungkin juga sosiologi, agar mendapatkan pandangan yang lebih dalam dan komprehensif. Teori Pelanggaran Harapan (Expectancy Violation Theory), yang dikembangkan oleh Burgoon (1978), tampaknya dapat digunakan untuk memahami konflik yang sedang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota. Teori Pelanggaran Harapan pada dasarnya memberikan pemahaman tentang munculnya jarak atau kerenggangan hubungan (spatial) jika dalam hubungan tersebut ada suatu harapan yang dilanggar oleh pihak tertentu (dalam Anderson, 2009: 41). Pemahaman yang dibawa oleh teori tersebut memberikan penjelasan bahwa konflik sebenarnya dapat muncul dari adanya kerenggangan hubungan atau munculnya jarak tertentu (spatial), karena ada suatu harapan yang dilanggar. Secara sederhana, teori tersebut menjelaskan bahwa kekecewaan pihak pertama terjadi jika ada pihak kedua atau commit to user pihak lain yang mengingkari janjinya serta melanggar haparan yang telah dibangun
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pihak pertama. Kondisi tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya konflik. Teori lain yang mungkin dapat digunakan untuk menjelaskan konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota ialah Teori Ketergantungan (Interdependence Theory) yang dikembangkan oleh Thibaut dan Kelley (1959). Teori tersebut tampaknya bisa digunakan untuk menganalisis situasi eskalasi konflik tersebut. Secara umum Teori Ketergantungan menjelaskan bahwa individu bisa membuat penilaian terhadap suatu hubungan dengan individu lain berdasarkan dua kondisi tertentu. Pertama, ada derajat kepercayaan terentu yang seharusnya diberikan kepada yang berhak, dari seorang teman atau mitra dekatnya. Kedua, derajat kepercayaan yang diberikan oleh teman atau mitra dekat harus menghasilkan sesuatu yang melampaui semua hal yang dapat diberikan orang lain (Simpson, Fletcher, dan Campbell, 2003: 87). Jika kita masukkan semua fakta tentang konflik dan eskalasinya ke dalam Teori Ketergantungan maka akan dihasilkan suatu bentuk keterikatan antara semua fakta atau konstruk yang ada. Teori Ketergantungan rupanya berkaitan dengan bagaimana suatu pihak saling membutuhkan pihak lain untuk melaksanakan kepentingan mereka masingmasing. Hal itu terlihat dari asumsi dasar yang dibawa oleh tersebut bahwa ada derajat kepercayaan yang diberikan oleh pihak lain yang biasanya saling membangun kepercayaan. Hal itu sebenarnya bisa terjadi juga dalam konflik dan semua hubungan yang berada dalam ranah interpersonal. Caryl E. Rusbult, Ximena B. Arriaga, dan Christopher R. Agnew menjelaskan bahwa ketergantungan rupanya membentuk sutau hubungan interpersonal sekaligus perlengkapan yang menggambarkan pilihan dan keterbatasan suatu hubungan, menjelaskan tentang kemungkinan, komitmen, commit to user kepercayaan, kekuatan, dan konflik (Rusbult, et al, 2001: 359). Keterangan Rusbult
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan kawan-kawan (2001) tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan yang dijelaskan dalam teori ketergantungan pada dasarnya memiliki kemampuan untuk terlibat dalam semua aspek interpersonal termasuk dalam konflik. Dengan demikian, penjelasan Rusbult dan koleganya (2001) tampaknya membenarkan semua asumsi dasar yang menyusun Teori Ketergantungan. Selain Teori Ketergantungan yang dijelaskan di atas, Teori Hubungan Dialektik (Dialectics Theory of Relationship) mungkin dapat menjadi batu pijakan selanjutnya untuk membahas permasalahan tentang konflik kelompok dan konflik antarkelompok. Teori Hubungan Dialektik dikembangkan oleh tiga serangkai Leslie Baxter, Barbara Montgomery, dan Dawn Braithwaite. Secara umum teori teori ini terfokus pada bentuk-bentuk manajemen kerenggangan yang biasanya muncul pada hubungan antarmanusia sehari-hari. Dengan demikian teori ini berasumsi bahwa hubungan sebenarnya tidak bergerak dalam garis lurus semata namun bergerak berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang ada, sehingga membuat munculnya bentuk-bentuk kontradiksi yang mendasar pada bentuk hubungan tertentu, komunikasi berusaha mengurangi bentuk kontradiksi tersebut (Norwood dan Duck, 2009: 318; Littlejohn dan Foss, 2005). Jika Teori Hubungan Dialektis dilihat melalui pandangan awam, maka teori tersebut tampak sederhana. Teori Hubungan Dialektis sebenarnya berusaha memanfaatkan semaksimal mungkin peranan komunikasi dalam hubungan antarmanusia untuk mengurangi kerenggangan dan ketengan yang muncul karena perbedaan tujuan dan pandangan, seperti yang telah dipaparkan Baxter dan Montgomery (1996). Dari sini tampak bahwa teori yang dikembangkan Baxter dan koleganya tersebut berusaha mencegah konflik berkembang lebih luas dengan user menggunakan komunikasi yangcommit baik. toMeskipun dalam teorinya Baxter tidak
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyebutkan konflik, namun ia sendiri tidak memungkiri bahwa setiap hubungan antarmanusia yang bersifat dinamis berkembang selalu diiringi dengan bentukbentuk ketegangan. Sedangkan ketegangan dalam hubungan antarmanusia biasanya menjadi salah satu faktor pencetus konflik yang paling umum. Dengan demikian, Teori Hubungan Dialektik dapat diklasifikasikan sebagai teori yang, secara tidak langsung, membahas konflik dan penyelesaian konflik antarmanusia. Ada suatu teori yang menjelaskan hubungan dan perilaku suatu kelompok yang setidaknya bisa digunakan untuk memehami karakteristik kelompok dalam suatu konflik, dikenal dengan nama Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory— SIT). SIT pertama kali dikembangkan oleh H. Tjafel dan J.C. Turner. Secara umum SIT berasumsi bahwa proses ketegoriasasi tidak bisa diambil alih secara semenamena, tapi harus digunakan sebagai referensi diri, meningkatan persamaan dengan semua anggota kelompok serta menguatkan perbedaan antara diri sendiri dengan semua anggota di luar kelompok demi meningkatkan perberdaan (Gallois, et al. 2005: 233). Secara mudah SIT sebenarnya merupakan teori organisasional, dari disiplin ilmu psikologi sosial, yang membahas dan menjelaskan bahwa semua anggota dalam suatu organisasi selalu mencari persamaan diri sedangkan mereka selalu mencari perbedaan dengan anggota di luar kelompok mereka. Pada dasarnya, asusmsi yang dikembangkan oleh SIT menujukkan bahwa ketika terjadi bentuk-bentuk konflik antarkelompok, kebanyakan anggota suatu kelompok terikat oleh rasa solidaritas untuk maju dan melawan kelompok lain yang dianggap berbeda dan berseberangan dengan tujuan kelompok mereka. Selain itu SIT memberikan penguatan pada pandangan tentang persamaan identitas diri semua anggota dalam suatu kelompok sosial, namun membedakan secara jelas dengan to user identitas diri yang berada dalam commit kelompok lain. Dengan demikian SIT tampaknya
45
perpustakaan.uns.ac.id menguatkan
perbedaan
digilib.uns.ac.id yang
biasanya
menjadi
penyebab
utama
konflik
antarkelompok. Selain semua teori di atas, ada teori yang dapat digunakan untuk membahas konflik, yang disumbangkan oleh disiplin ilmu sosiologi, yaitu Teori Ketegangan (Strain Theory). Teori Ketegangan, sebenarnya merupakan salah satu bentuk teori struktural yang disusun dari beberapa teori khusus namun bergerak secara sinergis. Teori tersebut tersusun oleh Teori Anomi (Anomie Theory) yang dikembangkan Robert K. Merton; Teori Subkultur Penyimpangan (Subculture Delinquent Theory) dari Albert K. Cohen; dan Teori Kesempatan (Opportunity Theory) yang diajukan oleh Richard A. Cloward dan Lloyd E. Ohlin (dalam Bartollas, 2007: 429). Meskipun tersusun dari tiga teori besar, Teori Ketegangan pada dasarnya tidak berbeda dengan teori-teori yang lain. Teori Ketegangan (Strain Theory) berasumsi bahwa ketegangan sosial muncul karena desakan dan tekanan lingkungan sekitar terhadap diri pihak tertentu sehingga memunculkan beragam bentuk penyimpangan demi mendapatkan tujuan tertentu atau sesuatu yang dianggap lebih baik. Merton (1957), Cohen (1955), Cloward dan Ohlin (1960), secara terpisah menemukan beragam bentuk tekanan pada satu kelas sosial yang dengan penyebab yang berbeda-beda namun dengan hasil akhir yang sama, yaitu ketegangan sosial yang dapat menyebabkan konflik dan penyimpangan perilaku individu (dalam Bartollas, 2007: 429). Teori Ketegangan pada awalnya dikembangkan untuk memahami bentukbentuk perilaku menyimpang dalam masyarakat akibat bentuk-bentuk tekanan lingkungan. Namun demikian, teori ini memiliki lingkup yang relatif luas, karena ketegangan yang menjadi premis dasar dalam teori tersebut tampaknya berkaitan to user Hal itu membuat teori tersebut dengan faktor-faktor perilaku commit menyimpang.
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tampaknya masih relevan untuk menjelaskan dan memberikan pemahaman tentang konflik secara struktural. Dengan demikian, Teori Ketegangan dapat bergerak secara sinergis dengan teori-teori lain atau setidaknya saling mendukung. Pada akhirnya semua penjelasan dalam tinjauan pustaka ini memberikan suatu pemahaman bahwa konflik hanyalah suatu proses sosial yang membawa individu atau masyarakat menuju bentuk-bentuk perubahan dan transformasi. Konflik bukanlah sesuatu yang berlangsung selamanya tanpa penyelesaian, namun merupakan sebuah proses yang bisa diselesaikan, meskipun pada hakekatnya konflik selalu melekat dalam diri individu atau masyarakat. Komunikasi tampaknya menjadi bagian yang menghubungkan pihak-pihak tertentu dalam konflik sekaligus memungkinkan semua pihak dapat saling memahami, bertukar pikiran, dan saling memberikan pandangan masing-masing demi mencapai kesepakatan dan pemahaman bersama. Sederhananya, konflik tidak dapat dipisahkan dari komunikasi, karena konflik merupakan bentuk interaksi sosial yang menuntut adanya penyampaian ide, gagasan, dan pandangan semua pihak yang terlibat. Sehingga konflik dan penyelesaiannya tidak bisa dipisahkan dari peranan komunikasi.
2. Kelompok Masyarakat, Komunikasi, dan Konflik Konsep tentang forum secara sederhana mungkin masih berhubungan dengan konsep tentang kelompok sosial dalam masyarakat. Keduanya memiliki persamaan dan bentuk aktivitas yang hampir sama. Forum dan kelompok sosial dibentuk oleh warga dan sekelompok masyarakat yang terikat oleh aspek komunikasi yang dekat dan rapat. Hal itu membuat forum dan kelompok sosial memiliki bentuk komunikasi yang hampir mirip atau mungkin sama. Karena itu fokus tentang forum commit to user
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
komunikasi dalam masyarakat tampaknya harus melibatkan kajian tentang kelompok sosial dan aspek komunikasi kelompok yang ada di dalamnya. Penjelasan paling awal tentang konsep kelompok sosial diberikan oleh J. Kevin Barge. Ia menjelaskan bahwa kelompok sosial diikat oleh aspek komunikasi antar anggota untuk menopang efektivitas hubungan dan kolaborasi antara anggota (Barge, 2009: 340). Paparan tersebut menujukkan bahwa komunikasi dalam kelompok dan forum menjadi bagian paling penting untuk menjaga keterikatan antaranggota. Dengan begitu, komunikasi yang baik antara anggota kelompok sosial bisa membuat kelompok sosial atau forum komunikasi menjadi semakin baik dan solid. Lebih lanjut Barge menjelaskan kelompok seharusnya bisa menciptakan pemahaman bersama dan persetujuan tentang tujuan kelompok dan semua hal yang akan dilakukan (Barge, 2009: 342). Bagi Barge, penciptaan keputusan bersama hanya bisa terjadi dan dilakukan apabila ada komunikasi yang baik dan hubungan yang baik antar anggota kelompok tersebut. Komunikasi antara anggota dalam kelompok dan forum masyarakat rupanya tidak hanya berfungsi sebagai sarana pengikat sekaligus pembuatan keputusan bersama, tapi juga menujukkan tingkat kemajuan dan soliditas kelompok masyarakat tersebut. Kenyaataan tersebut didukung oleh pernyataan Joann Keyton dan Virgina Stallworth bahwa membuat komunikasi yang efektif di antara semua anggota kelompok dapat menghasilkan suatu kesuksesan semua komponen kelompok tersebut (Keyton dan Stallworth, 2003: 240). Bagi Keyton dan Stallwoth komunikasi antara anggota kelompok merupakan syarat bagi suatu kelompok untuk mencapai kesusksesan. Hal itu menunjukkan bahwa komunikasi dalam kelompok menjadi sesuatu yang penting untuk mencapai tujuan kelompok tersebut. commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sementara itu pandangan tentang komunikasi kelompok dalam suatu forum sosial diberikan oleh M. Afzalur Rahim. Rahim menjelaskan bahwa komunikasi dalam kelompok, atau tepatnya komunikasi antarkelompok, biasanya dihambat oleh prosedur dan aturan yang berlaku (Rahim, 2001: 166). Pernyataan Rahim menunjukkan bahwa komunikasi antarkelompok sebenarnya memegang peranan penting bagi kelompok tersebut untuk mencapai tujuannya, namun keberadaan aturan dan prosedur di luar kelompok tersebut biasanya menghambat proses komunikasi antarkelompok tersebut. Dengan begitu, kemungkinan besar, konflik
antarkelompok
disebabkan
oleh
terhambatnya
proses
komunikasi
antarkelompok tersebut. Di sisi lain, Buzzanell dan Dohrman mengatakan komunikasi pada dasarnya bisa menguatkan hubungan sekaligus membangun hubungan dan masa depan organisasi, serta mengembangkan jaringan dan wilayah kerja (Buzzanell dan Dohrman, 2009: 338). Perhatikan penjelasan dua pakar tersebut yang mengatakan komunikasi bisa menguatkan hubungan dan masa depan organisasi. Hal itu menujukkan bahwa komunikasi memegang peranan besar bagi semua bentuk hubungan dalam organisasi atau kelompok masyarakat, atau mungkin juga forum masyarakat serta menjalin hubungan di luar organisasi. Pandangan yang diberikan Buzzanell dan Dohrman (2009) pada dasarnya mendukung penjelasan tentang latarbelakang kelompok sosial dan komunikasi yang ada di dalamnya. Rahim, sebagai pakar komunikasi organisasi, menjelaskan bahwa semua bentuk kelompok sosial, organisasi, atau bahkan forum masyarakat memiliki kriteria yang biasanya berhubungan dengan tujuan, interaksi, dan ketergantungan (Rahim, 2001: 143). Bentuk-bentuk interaksi dan ketergantungan dalam suatu commit todan userdihasilkan oleh keberadaan aspek kelompok sosial hanya bisa diberikan
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
komunikasi di dalamnya. Buzzanell dan Dorhman (2009) pada dasarnya hanya menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan bentuk ketergantungan dan interaksi dalam organisasi seperti yang telah dijelaskan Rahim. Hal itu membuat keberadaaan forum atau kelompok masyarakat secara langsung berhubungan dengan bentuk komunikasi yang berada di dalam kelompok tersebut hingga komunikasi ke luar kelompok tersebut. Ikatan komunikasi tersebut secara langsung mungkin bisa mengikat semua anggota kelompok atau forum tersebut untuk bersama-sama bergerak dan mewujudkan tujuan mereka. Dengan demikian, hambatan terhadap proses komunikasi intrakelompok dan proses komunikasi antarkelompok bisa menghasilkan bentuk-bentuk tekanan dan gesekan hingga mungkin menghasilkan bentuk-bentuk perselisihan tertentu. Gesekan dan tekanan dan beragam bentuk perselisihan antarkelompok pada dasarnya masih berkaitan dengan komunikasi kelompok tersebut dengan kelompok yang lain secara interpersonal. Karena
komunikasi
kelompok
masih
berhubungan
erat
dengan
komunikasi interpersonal, maka komunikasi kelompok dalam konflik antarkelompok juga berhubungan dengan konflik dan komunikasi interpersonal. Hal itu membuat analisis dan kajian komunikasi interpersonal menjadi penting dalam pembahasan tentang konflik. Helen Jessup dan Steve Rogerson berpendapat bahwa komunikasi interpersonal merupakan media primer dalam hubungan hampir semua aktivitas sosial, karena itu komunikasi interpersonal memberikan dorongan kepada semua akstivitas sosial tersebut menuju sesuatu yang lebih penting, yaitu menghubungkan personal dengan lingkungan sosialnya (Jessup dan Rogerson, 2004: 74). Paparan tersebut menggambarkan betapa pentingnya aspek komunikasi interpersonal sebagai commit user bentuk komunikasi primer yang dapatto membuat individu berinteraksi dengan
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lingkungan sosialnya secara langsung. Keterangan Jessup dan Rogerson (2004) tersebut pada dasarnya mendukung penjelasan yang diberikan oleh Adler dan Rodman (2006). Secara garis besar, Adler dan Rodman berpandangan bahwa komunikasi interpersonal bisa melibatkan banyak nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan kualitas komunikasi interpersonal tersebut, atau lebih dikenal dengan komunikasi interpersonal kualitatif (Adler dan Rodman, 2006: 189). Lebih lanjut kedua ilmuwan tersebut menyatakan bahwa komunikasi interpersonal kualitatif bersifat labil karena perubahan bentuk dan hubungan sosial yang terjadi secara konstan (Adler dan Rodman, 2006: 197). Keterangan tersebut pada dasarnya merupakan penegasan bahwa komunikasi interpersonal memang menghubungkan individu dengan lingkungan sosial yang dinamis, hingga mampu memberikan pengaruh terhadap bentuk dan kualitas komunikasi dan hubungan interpersonal pihak-pihak tertentu. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa konflik, dan mungkin juga konflik antar kelompok, masih berhubungan dengan bentuk-bentuk dinamika hubungan antara pihak-pihak tertentu. Kondisi tersebut jelas menunjukkan pembenaran terhadap Teori Hubungan Dialektik (Dialectics Theory of Relationship) yang dikembangkan oleh Baxter dan koleganya yang menerangkan bahwa hubungan antara pihak-pihak tertentu tidak selamanya berjalan lurus, tapi melewati beragam dinamika dan pasang surut (Norwood dan Duck, 2009; Littlejohn dan Foss, 2007). Pasang surut dan dinamika tersebut dapat diartikan sebagai konflik yang melanda suatu hubungan sosial. Dengan begitu, konflik tersebut menjadi suatu perwujudan dari dinamika sosial yang melingkupi suatu hubungan antarkelompok sosial. Selain itu kondisi commit to user
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut menjadi suatu bukti jelas bahwa komunikasi interpersonal menjadi dasar semua bentuk hubungan konflik yang dikenal secara umum. Dengan demikian, secara umum suatu kelompok sosial atau forum masyarakat mengusung fungsi-fungsi tertentu, yaitu fungsi untuk memberikan kekuatan, penyelesaian masalah, dan fungsi memberikan kenyamanan. Fungsi-fungsi tersebut memang sebenarnya tidak terjadi begitu saja dan muncul secara tiba-tiba, namun ada semacam sesuatu yang berperan melahirkannya. Beberapa pakar, seperti Barge (2009), Keyton dan Stallworth (2003), secara tidak langsung menjelaskan bahwa komunikasi berada di belakang semua bentuk kelompok sosial, dan forum masyarakat. Hal itu juga membuktikan bahwa komunikasi berperan penting menjaga dan merawat semua bentuk keterikatan yang ada di semua kelompok sosial atau forum masyarakat. Fungsi-fungsi pada kelompok sosial atau forum masyarakat pada akhirnya memberikan petunjuk awal tentang komunikasi kelompok dan penyelesaian konflik.
a. Komunikasi dan Konflik Antarkelompok Kebanyakan ilmuwan komunikasi atau setidaknya para sarjana yang pernah mempelajari ilmu komunikasi pasti sependapat bahwa proses penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan merupakan inti dari proses komunikasi. Proses semacam itu, berlaku pada semua ranah komunikasi mulai dari komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, hingga komunikasi massa. Namun demikian, ada perbedaan mendasar tentang tujuan dan sifat komunikasi di tiap ranah tersebut. sebagai contoh, komunikasi kelompok merupakan komunikasi yang melibatkan bentuk-bentuk pengambilan keputusan dan semua bentuk musyawarah. Selain itu commit to user beberapa bagian dari komunikasi kelompok masih melibatkan bentuk-bentuk
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
komunikasi interpersonal (Littlejohn dan Foss, 2005: 11). Karena itu konsep komunikasi kelompok rupanya berimplikasi terhadap ketergantungan antarindividu yang menyusun kelompok tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Keyton dan Stallworth (2003) bahwa komunikasi menjadi faktor pengikat paling penting dalam suatu kelompok. Hal itu menunjukkan bahwa komunikasi tidak hanya bertugas sebagai faktor pengikat semata, tapi juga berperan penting dalam interaksi sosial dalam konflik antarkelompok. Kenyataan tersebut didukung pandangan Ronald J. Fisher. Ia berpandangan bahwa konflik yang terjadi pada suatu kelompok tertentu tidak hanya bisa disebabkan oleh komunikasi dan interaksi yang terkait dengan hubungan antarkelompok, tapi juga berdasarkan perbedaan yang terjadi dalam hubungannya dengan kelompok lain, terutama berhubungan dengan kekuatan sosial hingga bentukbentuk ketidakcocokan (Fisher, 2006: 177). Secara sederhana, meskipun Fisher tidak menyebutkan bahwa komunikasi menjadi faktor utama penyebab ketegangan antar kelompok, namun ia sendiri tidak menampik bahwa komunikasi tetap memegang peranan dalam konflik kelompok. Karena komunikasi kelompok yang secara umum berkaitan dengan pembuatan keputusan bersama, maka ada satu sisi dari komunikasi kelompok yang berhubungan dengan interaksi dengan kelompok lain, seperti yang dijelaskan oleh Fisher tentang komunikasi kelompok dalam konflik. Pada saat itu, komunikasi kelompok berperan mengubah dan menggerakkan kelompok layaknya satu individu, karena komunikasi kelompok berhubungan dengan bentuk-bentuk pengambilan keputusan yang menjadi tujuan utama kelompok tersebut. Kenyataan tersebut seakan menggambarkan bahwa komunikasi kelompok dalam kaitannya sebagai interaksi commit to antarkelompok, bisa mengubah perilaku danuser sifat-sifat suatu kelompok masyarakat
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjadi sifat-sifat bagaikan satu individu tunggal. Charles S. Berger menyatakan bahwa sebenarnya komunikasi dan beragam tujuannya berada dalam wilayah interaksi sosial yang terbentang dalam rutinitas yang unik, yang semakin besar sepanjang waktu. Sebagai bentuk interaksi sosial maka semua pihak yang terlibat di dalamnya dapat merasakan hubungan serta pengalaman yang positif dan negatif (Berger, 2003: 257). Bentuk interaksi sosial yang dijelaskan Berger pada dasarnya dapat digunakan untuk menjelaskan bentuk komunikasi antarkelompok termasuk bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalamnya. Karena Berger memfokuskan pokok bahasannya pada sisi interaksi sosial, maka komunikasi yang menjadi perhatian Berger tentu terpusat pada aspek ‗bagaimana komunikasi berguna sebagai media interaksi sosial‘. hal itu juga membawa implikasi bahwa komunikasi dalam bentuk komunikasi kelompok dalam proses antarkelompok berfungsi juga sebagai sarana interaksi sosial seperti yang dijelaskan Berger. Perhatikan keterangan Berger bahwa komunikasi dalam interaksi sosial berfungsi membentuk pengalaman positif dan negatif. Secara sederhana paparan tentang pengalaman positif dan negatif, yang diberikan Berger, sedikit banyak pasti berkaitan dengan aspek konflik yang terjadi dalam hubungan antarkelompok. Sementara itu pandangan tentang komunikasi kelompok dengan interaksi sosial dan komunikasi antarkelompok diberikan oleh Cindy Gallois, Susan McKay, dan Jeffery Pittam. Ketiga ilmuwan tersebut memaparkan bahwa komunikasi menjadi pusat pemaknaan dalam suatu organisasi yang dapat membuat semua anggota suatu organisasi diatur dan diarahkan. Karena itu komunikasi menjadi salah satu aspek penting dalam organisasi (Gallois et al, 2005: 240). Pernyataan yang to user bahwa komunikasi dalam suatu diberikan Gallois dan koleganyacommit menunjukkan
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kelompok dan hubungannya dengan kelompok yang lain merupakan suatu bentuk interaksi sosial yang penting bagi semua anggota yang tergabung dalam kelompok tersebut. Lebih lanjut Gallois menjelaskan bahwa komunikasi antarkelompok kemungkinan besar pasti berkaitan dengan bentuk komunikasi antarbudaya, karena tiap kelompok memiliki bentuk budaya yang berbeda (Gallois et al, 2005: 239-240). Dengan demikian, pendapat yang diberikan Gallois dan koleganya lebih banyak memandang bahwa bentuk komunikasi kelompok, terutama dalam aspek komunikasi antarkelompok, lebih banyak berhubungan dengan interaksi antarbudaya. Beragam pandangan yang diberikan oleh para ilmuwan komunikasi memberikan suatu indikasi bahwa komunikasi memegang peran penting dalam menghubungkan dan menjadi sarana utama dalam proses interaksi sosial. Selain itu pengaruh komunikasi yang demikian kuat dalam semua aspek interaksi sosial membuat hubungan antarkelompok tidak hanya sebatas interaksi sederhana, tapi juga menjadi bentuk interaksi antarbudaya yang berbeda. Kenyataan seperti itu menujukkan bahwa komunikasi tampaknya menjadi jiwa dalam semua bentuk interaksi sosial yang dilakukan suatu kelompok tertentu dengan kelompok lain. Konsep dan implikasi yang berada di belakang komunikasi tampaknya sedikit menjelaskan bagaimana peranan komunikasi kelompok dalam suatu kelompok tertentu. Peranan komunikasi kelompok dalam suatu kelompok sosial atau mungkin juga forum masyarakat mungkin masih banyak berkaitan dengan pandangan yang diberikan Littlejohn dan Foss (2005, 11), bahwa komunikasi kelompok berkaitan dengan pengambilan keputusan. Dengan demikian, komunikasi yang berlaku pada suatu kelompok tertentu pasti lebih banyak berhubungan dengan bagaimana keputusan dibuat dan ditentukan. commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pembuatan keputusan sebenarnya merupakan istilah yang lebih banyak menguatkan proses kesimpulan dari semua pilihan yang ada. Hal itu membuat pembuatan keputusan menjadi salah satu bagian dari proses diskusi dan musyawarah (Klumpp, 2009: 202). Pendapat yang diberikan Klumpp menujukkan bahwa pembuatan keputusan berhubungan dengan kelompok dan proses komunikasi yang terfokus pada satu tujuan tertentu. Karena itu pandangan yang diberikan Klumpp tentang pembuatan keputusan tampaknya menguatkan paparan dari Hardin (1995: 34-35) tentang komunikasi kelompok untuk menyelesaikan permasalahan yang menghalangi pencapaian tujuan. Karena
proses
pembuatan
keputusan
berada
dalam
lingkup
intrakelompok, maka pembuatan keputusan tampaknya masih dipengaruhi peranan dan aktivitas anggota kelompot tersebut. Hal itu menujukkan ada beberapa hal yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan dalam suatu kelompok. Scott R.Tindale, Helen M. Meisenhelder, Amanda A. Dykema-Engblade, dan Michael A. Hogg, menjelaskan peranan dan pendapat pribadi masing-masing anggota pada dasarnya mempengaruhi pembuatan keputusan secara langsung hingga bentuk-bentuk yang terjadi setelah keputusan tersebut diambil (Tindale et al, 2001: 6). Bagi Tindale dan koleganya, pembuatan keputusan yang terjadi di dalam suatu kelompok rupanya dipengaruhi oleh tindakan dan pendapat yang diberikan oleh semua individu di dalam kelompok tersebut. Hal itu secara tidak langsung menuntun pada sisi psikologis individu. Kondisi psikologis yang sama rupanya juga mempengaruhi bagaimana semua anggota dalam kelompok berkomunikasi untuk membuat suatu keputusan bersama. Hal itu secara langsung berhubungan dengan kenyataan bahwa sisi commit to user psikologis mempengaruhi bentuk-bentuk komunikasi yang dilakukan individu,
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
termasuk komunikasi kelompok untuk pembuatan keputusan. John O. Greene dan Melanie Morgan menjelaskan bahwa komunikasi melibatkan bentuk-bentuk kognisi yang pada dasarnya menjadi landasan utama dari proses komunikasi tersebut. Karena itu kognisi dan pengolahan informasi dalam proses komunikasi berfungsi layaknya payung yang menunjukkan bahwa indivdu berada dalam keadaan sadar atau tidak sadar (Greene dan Morgan, 2009: 110). Berdasarkan penjelasan Greene dan Morgan (2009) dapat dipahami bahwa pembuatan keputusan dipengaruhi oleh beragam pendapat semua individu yang ada dalam kelompok tersebut. Sedangkan semua bentuk komunikasi yang dilakukan individu dalam suatu kelompok tergantung pada sisi psikologis dan kognitif individu. Hal itu secara tidak langsung menujukkan bahwa sisi psikologis individu berperan terhadap pembuatan keputusan bersama pada suatu kelompok. Dengan demikian dapat diketahui pembuatan keputusan yang baik lebih sering dihasilkan oleh suatu kelompok yang baik pula, begitu juga sebaliknya. Paparan tersebut menujukkan bahwa pembuatan keputusan dalam suatu kelompok setidaknya dipengaruhi oleh dua hal penting, yaitu pendapat masing-masing individu sebagai anggota kelompok dan sisi psikologis tiap-tiap individu tersebut. Faktor psikologis yang mempengaruhi setiap kelompok dalam aspek komunikasi kelompok juga memberikan dorongan besar pada bentuk konflik antarkelompok yang terjadi. Secara sederhana, komunikasi kelompok bisa memicu benturan-benturan antarkelompok apabila keputusan yang dihasilkan mendorong bentuk-bentuk tekanan terhadap kelompok lain. Penjelasan tentang hubungan sisi psikologis dengan bentuk-bentuk komunikasi antarkelompok terhadap konflik diberikan oleh Penelope Oakes. Ia menjelaskan konflik antarkelompok biasanya commit user psikologi sosial tentang kekerasan melibatkan latarbelakang pandangan dantodasar
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sosial yang biasanya memisahkan konflik sosial manusia dari rasionalitas manusia. (Oakes, 2001: 16). Keterangan Oakes menunjukkan bahwa secara mendasar konflik antarkelompok bisa dijelaskan melalui pandangan psikologi sosial tentang bentuk kekerasan sosial. Hal itu mendukung keterangan Greene dan Morgan (2009) tentang aspek kognitif dibelakang semua proses komunikasi. Secara sederhana Oakes berusaha menjelasakan bahwa tujuan yang dihasilkan dari komunikasi kelompok bisa menghasilkan konflik apabila ada aspek kognitif dan psikologis yang mendukung kekerasan sosial, yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain. Dengan demikian muncul suatu hubungan yang jelas antara aspek psikologis dan kognitif dengan komunikasi kelompok dan konflik antarkelompok. Selain itu paparan yang diberikan Oakes tampaknya menujukkan peranan komunikasi dalam konflik. Di lain pihak penjelasan tentang peranan komunikasi dalam suatu konflik ditunjukkan beberapa pakar komunikasi yang menaruh perhatian besar pada komunikasi, interaksi sosial dan konflik. Sebagai pakar komunikasi, Dennis S. Gouran berpandangan bahwa komunikasi dan kemampuan berkomunikasi menjadi bagian yang paling penting. Karena itu Hollomon dan Hendrick (1972) mengatakan bahwa keputusan yang baik dihasilkan oleh musyawarah yang baik pula (dalam Gouran, 2003: 836). Kenyataan seperti itu membuat bentuk konflik antarkelompok secara tidak langsung mengacu pada upaya dan bentuk perspektif dialogis yang dikembangkan oleh Robert M. Krauss dan Ezequel Morsella. Krauss dan Morsella menjelaskan komunikasi sebagai bentuk pencapaian partisipan, yang berarti komunikasi tergantung pada situasi yang melingkupinya (Krauss dan Morsella, 2009: 153). Jika pernyataan Krauss dan Morsella dihubungkan dengan peranan komunikasi user kelompok dalam konflik seperticommit yang todijelaskan Gouran (2003), maka dapat
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diketahui bahwa konflik antarkelompok berkaitan dengan komunikasi interpersonal yang tampaknya berkaitan dengan semua keputusan yang diambil. Dengan begitu konflik antarkelompok secara sederhana juga menunjukkan sifat-sifat komunikasi interpersonal hingga membentuk perspektif dialogis antara dua pihak yang bertikai. Karena komunikasi interpersonal memiliki hubungan yang dekat dengan bentuk konflik, termasuk konflik antarkelompok, yang notabene berkaitan dengan aspek komunikasi kelompok, maka komunikasi interpersonal dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik antarkelompok. Ronald J. Fisher tampaknya menjadi salah satu pakar konflik yang menyadari hal itu. Ia berpandangan bahwa resolusi konflik dalam konflik antarkelompok melibatkan transformasi dari semua hubungan dan permasalahan yang dikembangkan oleh pihak-pihak yang akan mengoreksinya dalam waktu lama. Hal itu membutuhkan derajat rekonsiliasi yang kelak akan mendukung perdamaian di masa datang (Fisher, 2006: 189). Pandangan Fisher rupanya lebih banyak menujukkan bahwa penyelesaian konflik antarkelompok seharusnya dilakukan secara sadar oleh masing-masing kelompok yang bertikai demi menjaga perdamaian di masa depan. Tanpa keinginan baik untuk menyelesaikan konflik dan memulai rekonsiliasi maka tidak akan dicapai bentuk penyelesaian yang memadai. Lebih lanjut Fisher menjelaskan proses rekonsiliasi dan penyelesaian konflik antarkelompok membutuhkan fasilitator yang memahami bentuk hubungan yang bisa dibangun di antara semua kelompok yang saling berseteru (Fisher, 2006: 193). Dengan demikian Fisher seakan menjelaskan konflik antar kelompok dapat diselesaikan melalui bentuk-bentuk mediasi yang mampu menghubungan dan meminimalisasi perbedaan yang terjadi di antara dua kelompok yang berbeda tersebut. Penjelasan Fisher tersebut secara sederhana menujukkan bahwa ia tidak commit to user menampik bahwa komunikasi interpersonal dibutuhkan dalam semua aspek konflik,
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
termasuk dalam penyelesaiannya. Karena itu ia menyatakan bahwa seharusnya ada fasilitator yang memahami permasalahan yang menjadi sumber konflik secara interpersonal agar dapat diterapkan dengan pasti dalam penyelesaian konflik. Hal itu membuat pandangan Fisher (2006) dikuatkan oleh Harold Abramson dalam sebuah jurnal berjudul ―Selecting Mediators and Representing Clients in Cross-Cultural Dispute‖. Ia menjelaskan bahwa mediasi bisa membuat semua pihak yang terkait membentuk suatu forum yang menghalangi semua pihak untuk tidak mencampuri semua urusan suatu pihak yang telah diupayakan sebelumnya (Abramson, 2006: 254). Sederhananya, Abramson hendak menjelaskan bahwa proses mediasi membuat semua pihak, yang terkait dalan suatu konflik, lebih bersifat solid untuk mengupayakan penyelesaian, sehingga bisa membendung semua aspek negatif yang berupaya mencampuri proses mediasi tersebut. Di samping itu, secara tidak langsung Fisher (2006) dan Abramson (2006) berpendapat bahwa komunikasi interpersonal memegang peranan penting dalam semua bentuk proses mediasi dan penyelesaian konflik, termasuk konflik antarkelompok. Sejauh ini setidaknya ada sekitar tujuh bentuk penyelesaian konflik dan resolusi konflik yang bisa digunakan untuk menyelesaikan konflik di semua ranah sosial.
b. Komunikasi dalam Beragam Upaya Penghentian Konflik Susane Buckley-Ziestel tampaknya menjadi salah satu sarjana yang mengategorikan dan membedakan konsep penyelesaian konflik (conflict settlement) dengan resolusi konflik (conflict resolution), ketika ia mempelajari dan mengamati konflik-konflik yang terjadi di Afrika. Buckley-Ziestel (2008: 15-17) menjelaskan ‗penyelesaian konflik‘ sebagai bentuk pengakhiran konflik yang mengacu pada commit to user pembuatan situasi yang saling menguntungkan (win-win situation). Sedangkan
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‗resolusi konflik‘ lebih bertumpu pada orientasi proses yang yang berada di bawah penyebab konflik tersebut. Bertumpu pada penjelasan Buckley-Ziestel, dapat diketahui bahwa pada dasarnya ‗penyelesaian konflik‘ hanya berupaya mencapai jalan keluar yang saling menguntungkan pihak-pihak yang berseteru. Sementara itu, ‗resolusi konflik‘ merupakan upaya mencari jalan keluar berdasarkan pemahaman terhadap sumber masalah yang menjadi penyebab konflik. Perbedaan konseptual itu membawa bentuk dan implikasi berbeda dalam aplikasinya. Konsep tentang ‗penyelesaian konflik‘ dan ‗resolusi konflik‘ ujungujungnya memberikan beragam tipe penyelesaian dan mekanisme untuk mengakhiri konflik. Meskipun ‗penyelesaian konflik‘ dan ‗resolusi konflik‘ memiliki perbedaan secara konseptual, namun upaya dalam mengakhiri konflik tidak banyak memiliki perbedaan. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa perbedaan paling besar antara ‗penyelesaian konflik‘ dan ‗resolusi konflik‘ hanyalah kedalaman dan pemahaman terhadap cara mengakhiri konflik yang sedang terjadi. Karena itu, pada beberapa kasus konsep penyelesaian dan resolusi bisa digunakan secara bersamaan. Keadaan tersebut membuat tipe atau jenis mekanisme penyelesaian yang ada, tidak banyak memiliki perbedaan. Bagian ini berusaha menjelaskan beberapa tipe untuk mengakhiri konflik berdasarkan kategorisasi yang dibuat oleh ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi dan komunikasi. Ilmu-ilmu sosial sepertinya sepakat dalam membahas cara dan metode dalam
menghentikan
konflik.
Ilmu
sosiologi
dan
komunikasi
rupanya
mengembangkan beragam tipe cara unutuk mengakhiri konflik. Karena, pada dasarnya konflik merupakan suatu proses sosial yang tidak bisa lepas dari komunikasi, maka semua upaya untuk mengakihiri konflik juga memerlukan commit user bentuk penghentian konflik yang komunikasi. Sejauh ini setidaknya adatotujuh
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
disepakati oleh ilmu-ilmu sosial. Karena itu, subbab ini akan lebih difokuskan pada pembahasan tujuh konsep penghentian konflik yang telah dikenal termasuk peranan komunikasi di dalamnya. Bentuk dan jenis penghapusan konflik yang paling sederhana dikenal sebagai penghindaran (avoidance). Bentuk penghindaran biasanya terjadi apabila muncul dua pihak yang memiliki kemampuan untuk memulai konflik, bahkan bersiap melakukan konflik, karena munculnya perbedaan pemahaman dan persetujuan. Namun tiba-tiba pihak-pihak tersebut menghindari konflik dan menempatkan diri pada posisi kompromi untuk menekan semua konflik yang akan terjadi (Johnson, et al, 2006: 74). Karena itu, penghindaran biasanya dilakukan dengan cara membatasi interaksi dengan pihak-pihak yang biasanya terlibat dalam perdebatan (Fry, 2000: 335). Secara sederhana bentuk pengindaran seperti itu terjadi karena pihak-pihak yang akan bertikai dan memulai konflik secara sadar menghentikan tindakan mereka dan membatasi semua interaksi yang terjadi agar konflik-konflik yang merugikan dapat dibatalkan. Selain itu kesadaran dalam diri masing-masing pihak untuk menekan konflik membuat penghindaran menjadi cara penghapusan konflik yang relatif sederhana. Sebagai satu cara penghapusan konflik yang paling sederhana, penghindaran tidak dapat lepas dari proses komunikasi yang telibat di dalamnya. Karena penghindaran lebih banyak bertumpu pada usaha untuk membatalkan dan menghindari konflik, maka dapat dipastikan proses komunikasi yang ada difokuskan untuk melenyapkan konflik sebelum terjadi. Loretta L. Pecchioni, Kevin B. Wright, dan Jon F. Nussbaum memaparkan bahwa bentuk ‗penghindaran‘ biasanya diasosiasikan dengan pencabutan emosional atau bertindak diam (Pecchioni, et al, to user 2008:143). Penjelasan tersebut commit setidaknya memberikan gambaran besar bahwa
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pihak-pihak yang akan terlibat konflik rupanya dengan sangaja saling memberikan pesan-pesan kepada pihak lain untuk menghindari dan menghentikan konflik sebelum terjadi. Dengan begitu proses komunikasi yang terlibat dalam penghindaran terfokus pada tujuan utama yaitu membatalkan semua bentuk konflik yang akan terjadi. Karena penghindaran biasanya hanya menghasilkan situasi tenang pada pihak-pihak yang akan telibat konflik tanpa menghiraukan masalah yang bisa menyebabkan konflik, maka penghindaran dapat dimasukkan dalam konsep ‗penyelesaian konflik‘ yang paling sederhana. Jenis penghapusan konflik yang memiliki tingkatan lebih tinggi dari ‗penghindaran‘ biasanya disebut sebagai koersi (coercion). Douglas P. Fry menyamakan koersi dengan ‗menolong diri sendiri‘. Lebih lanjut, Fry menjelaskan koersi sebagai bentuk aksi unilateral yang berfungsi untuk menangani semua keluhan yang biasanya berkaitan dengan kejahatan dan penderitaan (Fry, 2000: 335). Pendapat yang diberikan Fry rupanya lebih banyak mengacu pada bentuk koersi secara umum yang biasanya berhubungan dengan bentuk perbudakan atau penguasaan satu pihak oleh pihak lain. Namun demikian, dalam perkembangannya, bentuk koersi dapat juga digunakan sebagai sebuah cara mengakhiri konflik, yaitu dengan cara memaksa pihak-pihak yang berseteru untuk mau menerima perdamaian dan penghapusan konflik seperti yang diinginkan oleh pihak ketiga. Soerjono Soekanto menjelaskan koersi mampu menghentikan konflik dengan menggunakan paksaan dari pihak ketiga kepada semua pihak yang sedang berseteru (Soekanto, 2002: 76). Keadaan seperti itu menujukkan bahwa konsep tentang koersi yang keras dan kaku rupanya bisa digunakan untuk mencapai cara yang lebih positif dalam rangka mengakhiri konflik. commit to user
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Konsep koersi sebagai cara mengakhiri konflik tidak dapat dilepaskan dari bentuk dan peranan proses komunikasi. Proses komunikasi yang ada dalam koersi tampaknya lebih banyak terkonsentrasi pada upaya memaksi pihak-pihak yang berseteru agar mau menuruti keinginan pihak ketiga. Pada kondisi seperti itu pihak ketiga pasti memberikan beragam pesan yang memiliki makna dan mampu memaksa semua pihak untuk tunduk demi mengakhiri konflik yang terjadi. Hal itu dikuatkan dengan kenyataan bahwa koersi melibatkan bentuk-bentuk komunikasi yang bernada ancaman dengan bentuk hukuman yang akan dilakukan kepada perilaku pihak-pihak yang terlibat (Spitzberg dan Cupach, 2009: 460). Sederhananya pihak ketiga yang melakukan koersi menjadi komunikator yang memberikan beragam pesan yang pada hakekatnya mengancam semua pihak–komunikan–yang terlibat konflik untuk mau mengakhiri konflik yang sedang terjadi. Selain itu, peranan orang ketiga yang dominan membuat koersi lebih kuat untuk mengakhiri konflik dibandingkan dengan ‗penghindaran‘. Bentuk penghapusan konflik melalui koersi sebenarnya dapat diklasifikasikan dalam konsep ‗penyelesaian konfik‘, karena sama sekali tidak memperhatikan sumber masalah dalam konflik sebagai dasar mencari jalan keluar. Peranan orang ketiga dalam upaya menghentikan konflik kembali terjadi pada arbitrasi (arbitration). Berbeda dengan koersi, arbitrasi memerlukan campurtangan orang ketiga yang lebih egaliter dan lunak untuk menghetikan konflik. Morton Deutsch menjelaskan bahwa arbitasi biasanya digunakan sebagai jalan terakhir apabila pihak-pihak yang berseteru tidak dapat mencari jalan keluarnya sendiri. Lebih lanjut, Deustch menjelaskan bahwa semua pihak yang terlibat konflik harus dengan sadar mau terikat dengan arbitrator sekaligus memberitahukan semua masalah kepada arbitrator agar dapat mencapai kesepakatan bersama (Deutsch, 2006: user arbitrasi bertugas menyelesaikan 56). Secara sederhana pihak commit ketiga to dalam
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
permasalahan tersebut, karena pada dasarnya kedudukan pihak ketiga lebih tinggi dibandingkan pihak yang berselisih, dengan begitu semua pihak yang berselisih agar mau mencapai kesepakatan dan mengakhiri konflik. Keadaan tersebut menujukkan bahwa pihak ketiga memiliki peranan besar sebagai bagian yang bertugas mendamaikan dan menghentikan konflik. Hal itu menujukkan peranan pihak ketiga sebagai arbitrator dalam proses mengakhiri konflik hanya sebatas sebagai fasilitator yang bertugas memberikan solusi kepada semua pihak yang telibat perseteruan (Coleman, 2006: 556). Seperti kebanyakan upaya penyelesaian konflik, arbitrasi juga tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari peranan komunikasi untuk mengakhiri konflik. Sederhananya komunikasi memainkan peranan besar dalam semua upaya mengakhiri dan menghakhiri konflik. Komunikasi yang terjadi dalam arbitrasi rupanya lebih banyak didukung oleh pihak ketiga. Apabila pihak ketiga dalam koersi hanya memberikan pesan-pesan yang bersifat menekan dan memaksa pihak yang berseteru untuk berdamai, maka dalam arbitrasi pihak ketiga memberikan beragam pesan yang lebih banyak bersifat lunak, dan egaliter, agar semua pihak yang bertikai bisa berdamai dengan fasilitator pihak ketiga. Sederhananya, proses komunikasi dalam arbitrasi pada awalnya didominasi oleh peranan arbitrator demi menyediakan dan menjembatani proses komunikasi pihak yang berseteru demi mencapai perdamaian. Situasi tersebut membuat arbitrator harus memahami akar permasalahan dan penyebab konflik yang terjadi sebelum membantu medapatkan jalan keluar yang baik bagi semua pihak. Kurangnya pemahaman arbitrator terhadap masalah penyebab konflik bisa membuat arbitrasi menjadi gagal. Dengan demikian arbitrasi dapat diklasifikasikan sebagai bentuk ‗resolusi konflik‘. commit to user
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mediasi (mediation) pada dasarnya merupakan bentuk perluasan konsep arbitrasi. Persamaan arbitrasi dan mediasi yang begitu besar rupanya membuat banyak pakar ilmu sosial selalu mengidentikan kedua ‗resolusi konflik‘ tersebut. Hal itu dikuatkan oleh kenyataan bahwa mediasi juga membutuhkan campur tangan pihak ketiga sebagai fasilitator, seperti pada arbitrasi. Pada dasarnya mediasi lebih banyak berkaitan dengan bentuk pencarian jalan keluar yang lebih berbasis pada sisi kerjasama, ketimbang situasi menang-kalah, sehingga semua pihak yang telibat dalam mediasi bersikap aktif dalam mencari jalan keluar yang baik (Kressel, 2006: 727). Hal itu dikuatkan oleh Fox yang menjelaskan bahwa mediasi menjadi inti dari semua proses yang terjadi dalam resolusi yang terjadi di Amerika selama sekitar tiga puluh tahun (Fox, 2006: 237). Berdasarkan paparan dari Kressel dan Fox dapat diketahui bahwa campur tangan pihak ketiga dalam mediasi hanya sebatas memberikan dorongan, nasehat, serta dukungan, agar semua pihak yang terlibat dalam konflik bisa aktif mencari jalan keluar. Karena itu, mediasi menjadi bentuk resolusi konflik yang paling populer dalam upaya menghentikan beragam konflik. Penjelasan Kressel dan Fox tentang konsep mediasi tampaknya membuat aspek komunikasi dalam mediasi menjadi cukup rumit. Komunikasi dalam mediasi rupanya tidak hanya didominasi oleh pihak ketiga, seperti bentuk penghentian konflik yang lain, tapi semua pihak yang terlibat juga aktif mencari solusi dan jalan keluar dari konflik tersebut. Mediator dalam proses mediasi biasanya memberikan beragam pesan kepada semua pihak yang berseteru berupa pemberian pertanyaan, mengatur interaksi, membuat kesimpulan, hingga memberikan dukungan emosional bagi pihak-pihak yang terlibat pertikaian (Putnam, 2009: 214). Sementara itu pihak yang bertikai biasanya saling memberikan pesan yang biasanya bersifat commitmasalah to user yang paling baik. Pada dasarnya keingintahuan terhadap penyelesaian
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
komunikasi dalam mediasi agak mirip dengan proses komunikasi yang terjadi pada arbitrasi, namun mediasi lebih banyak membutuhkan peranan dan aktivitas komunikasi dari semua pihak yang terlibat, untuk menyelesaikan konflik dengan tepat dan cermat. Kondisi demikian membuat mediasi dapat dikelompokkan sebagai ‗resolusi konflik‘. Bentuk resolusi konflik tampaknya tidak hanya berhenti pada perananan pihak ketiga semata, tapi juga bisa merambah masuk ke jalur hukum. Resolusi konflik yang berhubungan dengan jalur hukum biasa dikenal sebagai adjudikasi (adjudication) sebagian pakar mengenalnya sebagai ligitasi (ligitation). Namun demikian, konsep adjudikasi dan ligitasi memiliki banyak persamaan. Sederhananya adjudikasi terjadi apabila muncul suatu bentuk konflik yang sulit diselesaikan melalui cara-cara biasa, sehingga membutuhkan hakim untuk memutuskan permasalahan tersebut, biasanya terjadi dalam konflik menyangkut budaya, hak asasi, hak anak-anak, dan beragam masalah lain (Lakhani, 2006: 186). Sederhananya Lakhani berusaha menjelaskan bahwa apabila bentuk penghapusan konflik konvensional telah menemui kegagalan, maka adjudikasi dapat mengambil alih upaya penghentian konflik tersebut. Hal itu membuat penggunaan jalur hukum untuk mengatasi konflik bisa digunakan untuk mengatasi masalah apapun, sehingga dapat berfungsi luas. Dalam adjudikasi peranan pihak ketiga diambil alih sepenuhnya oleh pengadilan melalui hakim dan para petugas hukum yang ada di dalamnya. Proses komunikasi dalam adjudikasi tampaknya tidak semudah proses komunikasi yang terjadi dalam upaya penghentian konflik yang lain, karena memerlukan pertimbangan dan pemutusan perkara melalui pengadilan. Kondisi seperti itu membuat hakim, jaksa, saksi, pengacara, dan semua komponen hukum commit user mengambil peranan masing-masing untuktomemutuskan suatu konflik. Jaksa biasanya
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memberikan pertanyaan, pesan-pesan, serta tuntutan tertentu kepada saksi atau terdakwa. Sedangkan pengacara umumnya memberikan bentuk pembelaan, beragam pesan yang bersifat membela, mengajukan pertanyaan, serta melakukan analisis terhadap masalah tertentu. Sementara itu saksi bertugas memberikan pesan-pesan yang bertujuan mengatakan sesuatu yang diketahuinya tentang suatu masalah. Sedangkan hakim memberikan pesan-pesan khusus yang kelak bertujuan memutuskan keadilan dalam suatu masalah tertentu. Aktivitas komunikasi yang terjadi antara jaksa, hakim, saksi, pengacara, dan semua komponen hukum dalam pengadilan membuat pengadilan dapat menyelesaikan semua bentuk konflik rumit yang tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara umum. Hal itu menjadikan bentuk adjudikasi bagian dari ‗resolusi konflik‘. Di antara sekian banyak bentuk resolusi konflik, negosiasi (negotiation) tampaknya merupakan upaya penghentian konflik yang biasanya hanya melibatkan dua pihak yang pada dasarnya terlibat dalam perselisihan. Sehingga upaya penghentian dan penghapusan perselisihan hanya diselesaikan oleh dua pihak semaksimal mungkin tanpa campur tangan pihak ketiga. Karena itu konsep negosiasi membutuhkan peranan komunikasi secara penuh dari semua pihak demi mencapai kesepakatan bersama. Jacqueline Nolan-Haley menjelaskan bahwa negosiasi biasanya mengekspresikan bentuk-bentuk pengungkapan diri yang terjadi di antara semua pihak yang terlibat di dalamnya (Nolan-Haley, 2006: 283). Negosiasi tampaknya
juga
mampu
mengungkapkan
identitas
pihak
tertentu
yang
mempengaruhi penempatan diri terhadap pihak lain, baik itu dalam sisi nyata atau imajinasi (Robb, 2004: 126). Paparan-paparan tersebut yang dijelaskan oleh NolanHaley dan Robb tampaknya membuktikan bahwa komunikasi memegang peran commit to user relatif besar, dalam suatu proses negosiasi.
68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Linda L. Putnam memaparkan bahwa komunkasi dalam proses negosiasi komunikasi memainkan peran penting dalam mendefinisikan hubungan yang muncul dalam proses tersebut. lebih lanjut Putnam menjelaskan bahwa semua pihak dalam proses negosiasi harus rela saling bertukar informasi, khususnya tentang masalah yang dibahas dalam proses negosiasi tersebut, sehingga muncul bentuk interaksi yang menyebar (Putnam, 2009: 214). Pada umumnya pesan-pesan dalam negosiasi ditujuakn kepada semua pihak yang terlibat dalam aktivitas tersebut, isu-isu yang berkembang di antara mereka, serta munculnya ketergantungan antara semua pihak yang ada. Dengan begitu, hasil negosiasi tergantung aksi dan komunikasi antara semua pihak yang terlibat (Ladgerwood, et al, 2006: 457). Hal itu menujukkan bahwa komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi menjadi syarat mutlak keberhasilan proses negosiasi tersebut. Selain itu keberhasilan proses negosiasi juga terletak pada jalinan interaksi yang muncul antara pihak-pihak yang terlibat. Bentuk resolusi konflik yang hampir dapat disamakan dengan negosiasi ialah dialog (dialogue). Pada dasarnya dialog merupakan bentuk resolusi konflik yang dijiwai oleh peran komunikasi yang relatif besar. Karena itu konsep dialog sebagai bagian dari ‗resolusi konflik‘ tampaknya lebih banyak berhubungan dengan bidang ilmu komunikasi ketimbang sosiologi. Peranan komunikasi dalam dialog ditujukkan dengan kenyataan bahwa dialog dan debat antara pihak tertentu pada dasarnya mampu menekankan perubahan komunikasi tentang gagasan dan rasionalitas menjadi lebih intersubjektif (Cuff, et al, 2005: 323). Dengan demikian komunikasi dalam dialog mampu mengubah semua gagasan yang bersifat subjektif agar lebih dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat. Sederhananya, dialog commit tosemua user pihak yang terlibat konflik yang berusaha menyamakan semua persepsi
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
subjektif, yang biasanya saling bertentangan, agar berubah menjadi persepsi yang lebih bersifat intersubjektif. Karena itu, dalam konflik, dialog lebih difokuskan agar semua pihak yang terlibat mau mendengarkan pihak lain agar saling memahami, demi mencapai hasil yang dikehendaki (Putnam, 2009: 216). Peran vital komunikasi dalam dialog rupanya terjadi dalam proses yang terjadi antara pihak-pihak yang berseteru. Karena dialog memininalkan penggunaan orang ketiga sebagai fasilitator, maka dialog lebih banyak mengandalkan proses komunikasi yang terjadi antara pihak-pihak yang berseteru agar dapat mencapai jalan keluar. Hal itu membuat proses komunikasi yang terjadi dalam dialog berfungsi secara sederhana. Satu pihak memberikan pesan-pesan ke pihak lain berkaitan dengan upaya menghentikan konflik. Sementara pihak lain memberikan tanggapan dengan tujuan serupa. Beberapa fasilitator yang mengkin terlibat dalam proses dialog biasanya memberikan beragam dukungan dan pertanyaan kepada semua pihak yang telibat perseteruan agar mau menerima pendapat sekaligus menghormati pihak lain (Putnam, 2009: 217). Keadaan tersebut setidaknya menujukkan bahwa dialog, sebagai upaya pengentian konflik, harus dimulai dengan kemauan semua pihak yang terlibat konflik untuk mengakhiri konflik dan mencari jalan keluar. Paparan panjang-lebar tentang peran komunikasi dalam semua upaya penghentian konflik membawa suatu pemahaman besar bahwa proses komunikasi hapir selalu berperan penting dalam upaya penghapusan konflik. Tujuh bentuk penghentian konflik yang dapat diklasifikasikan dalam ‗penyelesaian konflik‘ dan ‗resolusi konflik‘ pada intinya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh dan peran komunikasi yang ada di dalamnya. Sebagai suatu proses sosial upaya penghapusan konflik memerlukan proses komunikasi sebagai sarana penunjang interaksi sosial commit to usermembuat tujuh upaya penghapusan yang ada di dalamnya. Kenyataan tersebut
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
konflik yang telah dijelaskan di atas tidak dapat melepaskan diri dari komunikasi, karena pada dasarnya ‗penyelesaian konflik‘ dan ‗resolusi konflik‘ juga merupakan bentuk interaksi sosial.
commit to user
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran 1. Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian ini pada intinya berusaha memahami proses komunikasi yang terjadi dalam konflik dalam suatu masyarakat. Karena itu berdasarkan latarbelakang masalah dan kondisi sementara di lapangan dapat dirumuskan bentuk kerangka pemikiran sebagai berikut:
Permasalahan dana bantuan banjir dan permasalahan relokasi warga bantaran
Pemerintah Kota
Konflik tentang dana bantuan banjir dan relokasi warga bantaran
Warga Bantaran (terutama yang tinggal di THM)
Upaya Resolusi Konflik Mediasi/Adjudikasi/Ne gosiasi yang pernah dilakukan warga bantaran dengan pemerintah kota
commit to user
72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Penjelasan Kerangka Pemikiran Konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerntah kota dimulai dengan munculnya isu atau kabar tentang program relokasi yang diberikan oleh pemerintah kota menyikapi kasus bencana banjir yang terjadi pada akhir tahun 2007. Dalam diagram program relokasi dan penundaan dana banjir tersebut dihambarkan memberikan garis panah putus-putus menuju konflik tentang dana bantuan banjir dan relokasi warga bantaran. Garis putus-putus tersebut menujukkan bahwa program yang dijalankan oleh pemerintah kota tersebut memberikan pengaruh positif dalam tercetusnya konflik yang terjadi tersebut. Sementara itu pemerintah kota melakukan semua aspek komunikasi kepada warga bantaran yang secara langung menjadi penyebab utama dimulainya konflik tersebut. Proses sosialisasi yang kurang menjangkau sasaran dan munculnya kesalahan pemahaman terhadap program pemerintah kota pada warga bantaran menjadi satu faktor penyebab dimulainya konflik tersebut. Dalam diagram, proses komunikasi yang dilakukan pemerintah kota kepada warga bantaran dalam penyebab konflik tersebut ditunjukkan dengan garis panah tipis dari kiri ke kanan hingga pada akhirnya mencapai warga bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik (THM). Sedangkan warga bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik (THM) menaggapi konflik tersebut dengan meningkatkan eskalasi konflik serta bentuk tuntutan dan perlawanan terhadap pemerintah kota. Hal itu ditunjukkan dengan komunikasi yang terjadi pada warga bantaran menuju pemerintah kota. Dalam diagram, proses komunikasi yang dilakukan warga bantaran dalam eskalasi konfik ditunjukkan dengan garis panah tebal yang dari kanan ke kiri hingga pada akhirnya menuju pemerintah kota. commit to user
73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada akhirnya, pemerintah kota dan warga bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik (THM) berupaya menyelesaikan konflik dengan melakukan proses komunikasi melalui beragam cara, termasuk menggunakan ranah hukum, demi mencapai resolusi konflik yang tepat. Namun demikian, hingga saat ini belum ada resolusi konflik yang tepat yang berhasil menyelesaikan konflik tersebut. Dalam diagram, kondisi tersebut ditunjukkan dengan garis panah bolak-balik, tebal, dan putus-putus menuju ke upaya resolusi konflik dan sebaliknya. Garis panah bolak-balik, tebal, dan putus-putus, menunjukkan bahwa telah terjalin proses komunikasi dan perspektif dialogis antara pemerintah kota dengan warga bantaran terkait upaya resolusi konflik, namun belum tercapai suatu kesepakatan dan resolusi konflik yang tepat.
commit to user
74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
Bagian metodologi penelitian dimaksudkan untuk memberikan penjelasan bagaimana proses penelitian dilaksanakan. Dengan tujuan mendapatkan hasil akhir yang dikehendaki.
A. Lokasi dan Sasaran Penelitian Secara umum penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Semanggi, Surakarta, khususnya penduduk yang berada di bantaran sungai Bengawan Solo. Secara administratif wilayah Semanggi, Surakarta berada di bawah pemerintah kota Surakarta, melalui kecamatan Pasar Kliwon. Daerah Semanggi sebenarnya memiliki luas wilayah sekitar 10 kilometer persegi dengan spesifikasi lokasi yang berbedabeda. Penelitian ini difokuskan pada penduduk Semanggi yang tinggal di wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo, karena penduduk wilayah bantaran sungai tersebut, terutama yang tinggal di tanah hak milik (THM)–selanjutnya disebut sebagai warga bantaran–setidaknya terlibat secara aktif dalam konflik dengan pemerintah kota. Observasi sekilas menunjukkan bahwa warga bantaran, khususnya wilayah semanggi menggunakan bentuk-bentuk komunikasi dalam konflik dan upaya mencapai resolusi konflik dengan pemerintah kota Surakarta. Secara garis besar penelitian ini memiliki sasaran untuk melihat bagaimana proses konflik terjadi dalam masyarakat, termasuk semua aspek yang melingkupi konflik yang terjadi pada warga bantaran Sungai Bengawan Solo, terutama di wilayah Semanggi, dengan pemerintah commit to user kota Surakarta. Dengan demikian, penelitian ini memfokuskan diri untuk melihat lebih dalam proses-proses konflik dan 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
komunikasi yang terjadi di dalam konflik antara warga bantaran Sungai Bengawan Solo, terutama di wilayah Semanggi, dengan pemerintah kota Surakarta, sekaligus melihat bagaimana konflik tersebut berlangsung dan sebaiknya diselesaikan.
B. Bentuk dan Jenis Penelitian Penelitian ini
mengambil
bentuk
kualitatif. Penelitian
kualitatif
merupakan penelitian yang bertujuan menggambarkan dan menjelaskan secara rinci semua aspek yang berhubungan dengan sasaran penelitian (Sutopo, 2006: 179). Secara umum penelitilian ini merupakan penelitian dasar, atau sebuah penelitian yang berusaha mengungkap, menggambarkan dan menjelaskan sebuah fenomena tertentu tanpa berusaha memberikan saran dan evalusi terhadap fenomena tersebut. Hal itu membuat penelitian ini lebih mengarah pada peneltitian yang menggunakan studi kasus. Di samping itu, Studi kasus sendiri dijelaskan sebagai studi intensif tentang suatu kasus tunggal yang bertujuan untuk menyoroti bagian dan kelas yang lebih besar atau populasi (Gerring, 2007: 20). Sementara itu, penelitian ini hanya membatasi permasalahannya pada pengamatan proses konflik dan aspek komunikasinya, terutama yang terjadi pada warga bantaran Sungai Bengawan Solo, khususnya yang berada di wilayah Semanggi. Penelitian ini juga berusaha mengamati aspek komunikasi yang terjadi pada konflik dan upaya menuju resolusi konflik. Karena penelitian ini hanya menjelaskan, mengamati dan menggambarkan proses konflik, komunikasi dan penyelesaian konflik yang terjadi pada suatu masyarakat, maka penelitian ini merupakan penelitian studi kasus tunggal. Pembatasan masalah penelitian yang hanya akan mengungkapkan proses terjadinya konflik, komunikasi, hingga commit to user
76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyelesaian konflik yang sama membuat penelitian ini menjadi sebuah penelitian yang terpancang pada satu kasus tertentu.
C. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini setidaknya menggunakan data primer, yaitu jenis data yang dikumpulkan oleh peneliti, yang berasal dari tangan pertama. Penggunaan jenis data tersebut akan memberikan sumbangan besar bagi penelitian ini, karena jenis data primer merupakan jenis data yang mencerminkan kondisi asli dari objek penelitian. Jenis data primer juga akan memberikan jiwa bagi penelitian kualitatif, terutama yang berkaitan dengan penelitian studi kasus. Penelitian kualitatif ini berusaha menyoroti konflik yang terjadi dalam masyarakat pinggiran kota. Objek penelitian tersebut memiliki sifat insidental sehingga akan menyulitkan peneliti dalam mencari dan mengamati proses terjadinya konflik dalam masyarakat desa tersebut. Namun demikian ada beberapa sumber data yang dapat digunakan untuk penelitian ini, walaupun sumber data yang paling penting dalam penelitian ini tetaplah manusia. Sumber data yang dapat digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Sumber atau informan. Sumber atau informan manjadi sumber data paling penting dan utama dalam penelitian ini, karena objek penelitian yang berupa konflik benar-benar objek penelitian yang bersifat insidental. Sumber data menjadi penting apabila sumber data lain berupa foto atau dokumen tidak bisa ditemukan. Penelitian ini akan berusaha mewawancarai beberapa orang yang terkait dengan konflik yang menjadi objek penelitian ini, Penelitian ini mewawancarai commit to user sebanyak mungkin informan dari berbagai kalangan, mulai dari warga bantaran
77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang terlibat konflik, wartawan, tokoh penting di belakang relokasi, ketua DPRD, jajaran pemerintah kota yang bertanggungjawab dalam kasus ini, praktisi hukum professional, warga yang mendukung relokasi, hingga warga kawasan Semanggi secara umum, yang kurang-lebih berjumlah sebelas orang. Namun jumlah sumber yang akan diwawancarai tidak dapat ditentukan. Peneliti akan membatasi jumlah sumber ketika peneliti merasa data yang diperoleh telah cukup. 2. Peristiwa yang terjadi. Bentuk sumber data berupa peristiwa merupakan sumber data yang dapat digunakan untuk memperkuat pernyataan masyarakat yang berupa hasil wawancara. Namun demikian, dalam penelitian ini peristiwa–konflik dan komunikasi interpersonal untuk menyelesaikannya–atau sejenisnya tidak akan banyak membantu, karena sumber data berupa peristiwa penelitian ini merupakan sesuatu yang sangat insidental. Ada kemungkinan bahwa peristiwa yang menjadi objek penelitian ini telah terjadi atau belum terjadi. Untuk mengatasi memahami masalah konflik dan komunikasi yang berlaku, maka informan menjadi sumber data yang sangat penting untuk mendapatkan gambaran tentang konflik dan komunikasi yang terlibat. 3. Dokumen. Sebagaimana peristiwa, dokumen juga merupakan sumber data pendukung yang dapat digunakan untuk memperkuat sumber data lainnya. Akan tetapi, hanya dapat menjadi sumber data apabila yang menjadi objek penelitian benar-benar terdokumentasi. Apabila objek penelitian tersebut telah terdokumentasi maka sumber data berupa dokumen akan dapat digunakan.
commit to user
78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif setidaknya terbagi menjadi beberapa jenis. Teknik pengumpulan data yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu: 1. Wawancara mendalam (indepth interview). Teknik wawancara mendalam merupakan sebuah teknik wawancara yang bersifat terbuka dan santai. Sifat wawancara ini yang lentur dan terbuka memungkinkan untuk menggali data yang semakin dalam dengan suasana yang santai, sehingga sumber merasa nyaman dan tidak tegang sehingga, meskipun sumber sendiri tahu bahwa ia sedang diwawancarai (Irianto dan Bungin, 2001: 108). Ada prosedur tertentu yang harus dilakukan ketika hendak memulai wawancara mendalam, yaitu: penentuan tokoh kunci dan situasi yang melingkupnya; penggunaan pedoman wawancara atau protokol wawancara; peneliti harus mempertimbangkan situasi dan perilaku pada saat wawancara; peneliti harus mengembangkan makna dari hasil wawancara; peneliti harus mematuhi semua aturan resmi pada semua penelitian yang melibatkan manusia (Hancock dan Algozzine, 2006: 39-40). 2. Observasi menjadi sebuah teknik kedua yang paling penting dalam penelitian kualitatif. Observasi digunakan untuk melengkapi data yang tidak dapat diambil dari teknik wawancara, sehingga membuat data yang diperoleh dalam sebuah penelitian akan semakin mantap. Namun demikian, teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini tidak sepenuhnya dapat diandalkan untuk mengumpulkan data pendukung, karena objek penelitian yang menjadi fokus dalam penelitian ini terjadi secara insidental, yang tidak dapat diramalkan ataupun diperkirakan kejadiannya. Karena itu, penelitian ini menggunakan jenis commit to user observasi non partisipan berperan pasif, yang memungkinkan peneliti
79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengamati suatu peristiwa tertentu tanpa harus terlibat dalam peristiwa tersebut. Seperti wawancara mendalam, observasi dalam studi kasus juga harus melalui prosedur tertentu, yaitu: penentuan tentang apa yang harus diobservasi; penetuan panduan observasi; akses terhadap situasi lingkungan yang harus diobservasi; peneliti harus mengenali semua peran pribadi yang berakibat bias; peneliti harus mengikuti semua aturan legal dan resmi (Hancock dan Algozzine, 2006: 46-47). 3. Analisis dokumen merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang terfokus pada analisis dokumen-dokumen yang terkait dengan objek penelitian. Teknik tersebut juga menjadi sebuah metode pengumpulan data yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif. Penelitian ini berusaha melakukan analisis dokumen berupa informasi dan berita dari beberapa surat kabar lokal yang mengangkat kasus yang sama dengan subjek penelitian ini. Beberapa informasi dan dokumen tersebut diperoleh dari beberapa harian lokal seperti, Joglosemar, Solopos, dan Radar Solo.
E. Teknik Cuplikan (Sampling) Teknik cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini ialah purposive sampling, hal itu digunakan untuk membantu peneliti yang menggunakan metode studi kasus untuk menangkap realitas ganda yang tidak dapat ditangkap metode lain, sekaligus sekaligus menggunakan pendekatan holistik pada lingkungan alami dari topik penelitian tersebut (Hancock dan Algozzine, 2006: 72). Kondisi tersebut membuat teknik purposive sampling membantu penelitian studi kasus menangkap realitas pada kondisi aslinya. Selain itu, teknik purposive sampling menekankan pada commit to user kepemilikan informasi dari sumber tentang suatu topik tertentu yang menjadi fokus
80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penelitian ini. Teknik purposive juga digunakan sebagai prosedur untuk menentukan informan yang hendak memberikan informasinya (Gerring, 2007: 88). Di antara sekian banyak teknik cuplikan yang termasuk dalam purposive sampling, penelitian ini setidaknya menggunakan teknik cuplikan snow ball sampling. Snow ball sampling merupakan teknik cuplikan yang mengalir bagaikan bola salju yang semakin besar. Teknik ini mengharuskan peneliti menemukan seorang informan kunci yang dapat menunjukkan informan-informan lain yang lebih memahami tentang peristiwa yang menjadi objek penelitian (Pawito, 2007: 92). Namun demikian peneliti akan menutupi kekurangan pada teknik snow ball dengan observasi untuk menangkap semua fakta dan peristiwa yang terjadi secara insidental.
F. Pengembangan Validitas Untuk pengembangan validitas penelitian, maka diperlukan sebuah teknik yang mampu mengkur derajat reliabilitas dari data yang diperoleh dari lapangan. Trianggulasi merupakan sebuah metode yang tepat untuk mengukur derajat reliabilitas dari sumber data yang sakan diperoleh. Ada empat macam jenis trianggulasi yang bisa digunakan dalam sebuah penelitian kualitatif. Pertama, trianggulasi sumber, digunakan untuk menggali data yang sama melalui sumbersumber yang berbeda. Kedua, trianggulasi metode, yaitu suatu metode menggali data yang sama dengan menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda. Ketiga, trianggulasi peneliti, yaitu jenis reliabilitas yang mengacu pada data yang didapat dari peneliti yang lain yang telah diuji validitasnya. Keempat, trianggulasi teori, yaitu cara mencapai reliabilitas dengan cara membandingkan perspektif teori yang berbeda untuk menjelaskan data-data yang berbeda (Sutopo, 2006: 93-98). commit to user
81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penelitian ini menggunakan bentuk trianggulasi sumber, yaitu menggali data yang sama melalui sumber-sumber yang berbeda. Karena sifat dari objek penelitian ini yang bersifat insidental maka trianggulasi sumber menjadi syarat mutlak untuk menggali data. Trianggulasi sumber yang akan diterapkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menanyakan pertanyaan tentang suatu peristiwa yang telah terjadi kepada seorang informan, lalu mengulangi pertanyaan yang sama kepada informan yang berbeda. Dengan demikian maka penelitian ini akan mencapai tingkat intersubjektivitas yang lebih baik .
G. Teknik Analisis Penelitian ini menggunakan teknik analisis Bagan Konteks. Bagan Konteks merupakan teknik analisis yang berusaha menggambarkan perilaku dan tindakan
masing-masing individu
dengan
konteks
sosialnya
dengan
cara
memfokuskan pada pernyataan yang diberikan semua narasumber–baik berupa katakata atau perilaku–dengan konteks yang melingkupinya (Miles dan Huberman, 1992: 157). Bagan Konteks berusaha memetakan peranan dan kelompok yang membentuk perilaku individu (Miles dan Huberman, 1992: 157). Dalam kasus ini, Bagan Konteks berusaha menggambarkan kasus dan perilaku semua sumber yang terkait dengan perselisihan tentang dana bantuan banjir, serta melihat bagaimana tanggapan masing-masing individu yang terlibat dalam perselisihan tersebut, mendukung, menentang, mendua, atau netral. Teknik analisis Bagan Konteks dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis pernyataan yang diberikan oleh sumber untuk melihat perilaku dan kaitannya dengan konteks dan situasi sosial yang melingkupi individu, khususnya commit to user
82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam konteks perselisihan dana bantuan banjir. Penggambaran kontekstual dalam kasus tersebut akan digambarkan dalam diagram.
Sukasno SH Ketua DPRD Surakarta (+)
(0)
Pemerintah Kota secara umum yang menunda pembayaran, pelaksana relokasi (+) (+)
) (+) (+)
(+)
(+)
Widdi Srihanto Ketua Bapermas (+)
Suparno HS Ketua Pokja Masyarakat Semanggi (+)
Saryono Masyarakat yang telah direlokasi (+) (0)
Titin Widyastuti Pengacara Profesional (0)
(+/-) Abdul Alim Wartawan Profesional (0)
(-) Agus Sumaryawan Koordinator (SKoBB), warga terlibat konflik (-)
Kunci: (+) : Mendukung (-) : Menentang (+/-) : Mendua (0) : Netral (---): Hubungan tidak langsung
(-)
Penundaan pembayaran dana bantuan banjir, pelaksanaan relokasi
Heri Hendro Harjuno Pengacara Warga bantaran (-)
(-)
(-)
Maryono Warga bantaran yang terlibat konflik (-)
Nunuk Ismiyati Warga bantaran yang terlibat konflik (-)
(-) Warga Bantaran yang menentang relokasi namun mendukung dana banjir (-)
Bagan Konteks untuk perselisihan antara warga bantaran dengan pemerintah kota tentang dana bantuan banjir
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pola pikir bersifat induktif yang berarti mengumpulkan hal-hal yang bersifat khusus untuk menyimpulkan kepada hal-hal yang bersifat umum. Hal ini berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bersifat deduktif yang berarti mengumpulkan hal-hal commitkhusus. to user Sehingga pola pikir induktif tidak untuk menuju kepada hal-hal bersifat
83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berusaha menggeneralisasi layaknya pola pikir deduktif, pola pikir induktif hanya berusaha menjelaskan dan menggambarkan sebuah fenomena tertentu. Dalam penelitian kualitatif teknik analisis yang biasa digunakan bersifat interaktif. Penggunaan sifat interaktif dalam penelitian kualitatif mengharuskan pengumpulan data dilakukan bersamaan dengan analisis dan refleksi terhadap datadata penelitian yang berhasil dikumpulkan. Sifat interaktif dalam penelitian kualitatif memungkinkan adanya semacam interaksi yaitu berusaha dibandingkan dan diinteraksikan dengan unit-unit dan data-data lainnya demi tercapainya beragam tujuan yang hendak dicapai dalam sebuah penelitian (Sutopo, 2006: 107). Teknik tersebut akan menghasilkan sebuah kemantapan dalam penyusunan sebuah simpulan akhir dalam penelitian. Penelitian kualitatif juga memiliki sifat siklus atau berputar. Sifat siklus memberikan sebuah keleluasaan untuk selalu memverifikasi data, menganalisis hingga penyusunan simpulan. Dalam proses siklus peneliti diberikan kebebasan untuk kembali mengumpulkan data ketika dirasakan data yang diperoleh belum memadai. Hal itu berkaitan dengan sifat penelitian kualitatif yang lentur dan terbuka. Hal tersebut dilakukan agar sebuah penelitian mendapatkan sebuah hasil yang kematapannya dapat dipertanggungjawabkan sebelum penulisan laporan yang lengkap. Kemudian, semua data yang berhasil dikumpulkan dari lapangan segera dianalisis, diinteraksikan juga dilakukan refleksi untuk menjelaskan keterkaitan antardata,
demi
mendapatkan
sebuah
hasil
yang
mantap
dan
dapat
dipertanggungjawabkan. Semua data yang telah diinteraksikan dengan baik pada analisis setiap unit kasusnya, maupun pada analisis antar kasus, demi memahami kesamaan dan juga perbedaannya. commit to user
84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk lebih jelasnya proses analisis interaktif dijelaskan oleh Miles dan Huberman dalam skema sebagai berikut.
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan
Model Analisis Interaktif Milles dan Huberman (Milles dan Huberman, 1992: 20)
H. Prosedur Kegiatan Penelitian ini memiliki beberapa prosedur kegiatan demi tercapainya sebuah hasil penelitian yang baik. 1. Tahap persiapan penelitian meliputi: proses penulisan proposal, proses perijinan, penentuan lokasi penelitian, persiapan dana dan penyusunan protokol penelitian termasuk penyusunan pedoman penelitian, pengumpulan daftar pertanyaan hingga penyusunan petunjuk observasi. 2. Tahap pengumpulan data meliputi: proses pengumpulan data di lapangan dengan melakukan wawancara dan mungkin juga melakukan observasi, penentuan strategi penelitian, proses pemfokusan, pendalaman data penelitian, pemantapan data hingga mengatur semua data yang diperoleh untuk dilakukan ketegorisasi.
commit to user
85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Tahap analisis data meliputi beberapa proses yang terdiri dari: reduksi data, penyajian data penelitian, penarikan simpulan hingga proses verifikasi data untuk memantapkan perolehan data dari lapangan. 4. Tahap penulisan laporan penelitian yang mencakup beberapa bagian yaitu: penulisan laporan awal penelitian, review penelitian dan perbaikan laporan penelitian atau dikenal dengan revisi.
commit to user
86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 4 TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Sekilas Kehidupan Warga Bantaran Deskripsi tentang warga bantaran dan semua aktivitas hidupnya sebagian besar diperoleh melalui observasi yang dicatat dalam catatan lapangan. Berdasarkan data dari catatan lapangan hal itu dapat diketahui bahwa wilayah Semanggi sebenarnya merupakan bagian dari Kotamadya Solo atau Surakarta yang berada di bagian tenggara dari pusat pemerintah kota Surakarta. Wilayah tersebut sebenarnya berbatasan dengan beberapa bagian dan wilayah lain seperti Baluwarti di sebelah barat dan Gading di bagian selatan; Sungai Bengawan Solo pada bagian timur; pada bagian utara berbatasan dengan wilayah Sangkrah. Cakupan dan lingkupan sebagian wilayah Semanggi yang berbatasan dengan Sungai Bangawan Solo membuat sebagian warga daerah tersebut tinggal di bantaran sungai atau setidaknya berada di sekitar tanggul pembatas antara sungai dan wilayah di bantaran. Pengamatan dan observasi dalam penelitian ini dilakukan di kawasan bantaran dan tanggul pembatas Sungai Bengawan Solo, yang masih berada dalam wilayah Semanggi, Surakarta. Data observasi dalam awal penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan kondisi lingkungan fisik dan tempat tinggal serta menujukkan perbedaan bentuk lingkungan sosial dan kehidupan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Pada warga yang tinggal di sekitar bantaran biasanya tinggal di wilayah kumuh dengan kondisi lingkungan yang kurang begitu sehat, selain itu mereka juga berada dalam ancaman banjir setiap musim hujan. Di laincommit pihak, warga to useryang tinggal di luar wilayah bantaran
87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cenderung memiliki lingkungan yang relatif sehat, bersih dan cenderung aman dari ancaman banjir. Pengamatan dan pencatatan dalam catatan lapangan yang telah dilakukan peneliti menjukkan bahwa lingkungan fisik, kondisi bangunan dan situasi masyarakat yang berkembang di wilayah bantaran juga kurang begitu baik, karena warga yang tinggal di kawasan tersebut mungkin kurang mampu menjaga lingkungan fisik mereka. Berdasarkan catatan lapangan yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa situasi di wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo tampak sangat tidak terawat dan terkesan kumuh. Ada beberapa kepala keluarga yang tinggal di wilayah bantaran hidup di dalam rumah-rumah semi permanen yang terbuat dari kayu ataupun bambu. Selain itu, hasil observasi menunjukkan bahwa keadaan di sekitar tanggul–termasuk wilayah bantaran–Sungai Bengawan Solo tampak mengenaskan. Tanah di sekitar tanggul terlihat tidak terawat dengan beberapa bangunan yang terbuat dari bambu atau kayu. Selain itu terdapat puing-puing bekas bangunan rumah yang terbuat dari tembok. Keadaan seperti itu nyaris hampir dapat dilihat di lingkungan sepanjang tanggul. Di samping itu, kebanyakan warga yang tinggal di sana menggunakan puncak tanggul sebagai jalan umum. Kondisi jalan di atas tanggul juga tampak mengenaskan dan terlihat ada beberapa bagian jalan tersebut yang retak. Landasan beton yang digunakan untuk mengeraskan bagian atas tanggul juga terlihat retak dan tidak terawat. Situasi tidak menguntungkan seperti itu selalu menyelimuti warga yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo. Namun demikian, observasi peneliti di luar bantaran diperoleh bahwa kondisi fisik lingkungan yang melingkupi warga yang tinggal di luar wilayah commit todengan user kondisi fisik lingkungan warga di bantaran tampak lebih baik dibandingkan
88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kawasan bantaran. Bangunan fisik warga di luar bantaran didominasi oleh bangunan tembok yang lebih baik, meskipun secara kasar tidak terlalu besar. Kebanyakan bangunan rumah yang ada di kawasan Semanggi, di luar bantaran, tampak berhimpitan dan sempit hingga tidak banyak warga yang memiliki halaman rumah atau bahkan batas antara wilayah pribadi dengan jalan umum. Meskipun begitu, kondisi lingkungan fisik warga yang tinggal di luar bantaran relatif bersih dan terawat, sehingga tidak menimbulkan kesan kumuh dan kotor. Hasil observasi yang ada menunjukkan kesan dan situasi serupa. Suasana di kampung, terutama di wilayah Losari, Semanggi, tampak sepi dan jauh dari kesan penuh kebisingan. Pada siang hari, kampung tersebut bagaikan tidak berpenghuni serta minim aktivitas warga. Sebagian besar rumah yang tampak biasanya bertipe sederhana dan sangat sederhana yang berdinding bambu atau tembok batu bata dengan pagar kayu, besi atau beton. Namun demikian, ada beberapa bagian kampung di Losari, Semanggi, yang penuh dengan aktivitas warga yang saling berinteraksi dan bercengkrama satu dengan lainnya. Meskipun secara umum sebagian besar kondisi fisik warga semanggi, terutama yang tinggal di kawasan Losari, berada dalam situasi yang tidak terlalu menguntungkan, karena bangunan yang saling berhimpitan dan sempit ditambah dengan kepadataan penduduk yang lumayan tinggi. Namun hal itu kondisi tersebut tampak lebih baik dan bersih dibandingkan dengan kondisi fisik di wilayah bantaran yang cenderung kotor dan kumuh. Observasi yang dilakukan di wilayah bantaran sebelum relokasi tampaknya menunjukkan situasi lingkungan fisik yang buruk dan jauh dari kesan sehat, sehingga tampak mengenaskan, bahkan dapat dikatakan benar-benar kumuh. Suasana dan kondisi lingkungan yang berada di kawasan tanggul tersebut tampak commit bagian to usertanah yang dipenuhi sampah dengan tidak terawat, terlebih lagi ada beberapa
89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bau busuk yang menyengat hidung. Keadaan jalan dan rumah juga tampak buruk, karena tidak adanya pengeras jalan atau beton pelindung dan kondisi rumah yang terbuat dari kayu atau tembok semi permanen yang sudah mulai lapuk. Seperti kebanyakan warga yang tinggal di wilayah bantaran atau sekitar tanggul, kehidupan warga sebelum direlokasi tampak bagai hidup segan matipun tak mau. Kebanyakan warga tinggal di gubuk reyot atau rumah yang bertembokkan kardus atau kayu seadanya. Namun demikian, warga bantaran tetap menjalani hidup mereka seperti biasa, meskipun mungkin ada perasaan was-was bahwa rumah mereka akan tersapu banjir. Catatan lapangan yang berhasil diperoleh menunjukkan bahwa keadaan fisik dan sosial warga yang direlokasi berubah menjadi lebih baik sejak program tersebut mulai diberlakukan. Warga yang hidup dengan kondisi buruk mulai menapak hidup mereka yang mungkin lebih baik. Kondisi lingkungan fisik di wilayah relokasi tampaknya lebih baik ketimbang kondisi lingkungan fisik di sekitar bantaran dan tanggul Sungai Bengawan Solo. Pengamatan di lapangan selama proses observasi menemukan adanya perubahan lingkungan fisik yang relatif lebih baik. Keadaan kawasan relokasi di wilayah Mojolaban, Sukoharjo, kelihatan lebih baik dibandingan dengan kawasan yang belum di relokasi. Kondisi lingkungan fisik daerah relokasi relatif lebih bersih dengan kondisi rumah yang lebih kokoh, karena sebagian besar rumah telah terbuat dari tembok bata. Kondisi jalan akses masuk menuju wilayah relokasi juga dikuatkan dengan paving serta saluran air pembuangan yang juga tampak baik dan lancar. Meskipun kondisi rumah warga relokasi kurang begitu bagus, namun kondisi lingkungan fisik dan perumahan yang terawat menunjukkan adanya perubahan positif bagi warga yang ikut serta dalam program commit tofisik usermenjadi lebih baik tampaknya bisa relokasi. Perubahan kondisi lingkungan
90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjadi indikasi bahwa program relokasi tampaknya sedikit mengubah kondisi dan kehidupan masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo menjadi sedikit lebih baik. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti pada awal penelitian diperoleh bahwa fakta bahwa ada beberapa warga bantaran Sungai Bengawan Solo yang merasa enggan ikut serta dalam program relokasi, karena beberapa alasan tertentu. Lingkungan fisik warga yang enggan direlokasi tidak sepenuhnya dapat disebut sebagai lingkungan yang layak huni, karena ada beberapa lahan yang ada hampir tidak terawat dan tampak kotor, sementara sebagian yang lain tampak lebih baik. Kebanyakan dari mereka juga tinggal di rumah-rumah sederhana yang beberapa di antaranya hampir roboh, atau terbuat dari kayu dan bambu yang sudah usang. Namun demikian, ada sebagian warga yang tinggal dalam rumah permanen yang layak huni dengan lapisan lantai keramik dan tembok yang lumayan kokoh. Kenyataan seperti itu menggambarkan bahwa tidak semua lahan di wilayah bantaran dapat disebut sebagai lahan yang tidak layak huni atau sebaliknya. Sebab ada beberapa bagian dari bantaran memiliki kesan lebih baik, sehingga membuat kebanyakan warga yang tinggal di sana memilih enggan ikut dalam program relokasi. Observasi yang dilakukan peneliti juga menunjukkan bahwa kondisi masyarakat Semanggi secara umum menujukkan bentuk solidaritas mekanis meskipun pada beberapa daerah ada indikasi munculnya bentuk-bentuk solidaritas organis. Pada kawasan Losari atau daerah yang bedekatan dengan tanggul dan wilayah bantaran, yang menjadi daerah awal meletusnya konflik antara warga dengan pemerintah kota, soldaritas mekanis masih terasa begitu kuatnya, sama kuatnya dengan yang terjadi pada masyarakat desa secara umum. Kuatnya bentuk user solidaritas mekanis di antara commit warga tomembuat seorang warga dengan tepat
91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengetahui apa yang sedang terjadi dengan tetangga mereka, bahkan ketika seoarang tetangga meninggal dunia, warga yang tinggal di kawasan tersebut dengan cepat membicarakan kondisi dan keadaan tetangga mereka yang meninggal. Fakta dari pengamatan peneliti menunjukkan bahwa bentuk solidaritas mekanis dan kondisi sosial yang dekat antara satu individu dan individu yang lain membuat warga di kawasan Losari benar-benar mengatahui dan memahami situasi dan kondisi yang menjadi awal meletusnya konflik. Keadaan seperti itu membuat warga mampu menujukkan dengan tepat siapa yang bertanggung jawab terhadap bentuk dan konflik tersebut. Ketika ditannya tentang siapa yang bertanggung jawab tentang aksi konflik tersebut mereka dengan tepat menujukkan pada seseoarang bernama Agus Sumaryawan atau biasa dikenal dengan nama ―Pak Wawan‖. Pada observasi awal, ketika seorang warga ditanya tentang program relokasi. Ia dengan lantang menjawab ―Ya biasalah mas, kalau ada relokasi mesti ada yang bandel, kebanyakan warga di sini sebenranya mau-mau saja direlokasi, tapi warga yang rumahnya sudah bagus-bagus itu agak bandel.‖. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti dapat dikatakan bahwa keterikatan sosial yang terjadi di masyarakat Semanggi terutama yang berada di sekitar daerah konflik memiliki kondisi sosial yang terikat lebih erat ketimbang masyarakat Semanggi yang tinggal di luar wilayah konflik. Beberapa warga Losari yang ditanya soal permasalahan konflik tentang dana banjir pasti menyebutkan nama ―Wawan‖. Ketika ditanya tentang masalah demonstrasi banjir–konflik tentang dana banjir–, warga langsung menunjuk nama ―Wawan‖ yang tinggal di kawasan bantaran Sungai Bengawan Solo. Selain itu tampaknya ada beberapa warga Losari terkesan tidak terlalu ambil pusing dengan permasalahan demonstrasi dan dana banjir commitwarga to userserta sikap warga yang merasa acuh tersebut. Pemahaman dan pengetahuan
92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadap konflik tersebut sedikit banyak menunjukkan adanya bentuk dan keterikatan sosial antarwarga yang relatif tinggi. Aktivitas keseharian warga Losari dan warga yang tinggal di wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo, pada dasarnya tidak berbeda dengan aktivitas kebanyakan warga yang tinggal di wilayah pedesaan. Meskipun secara administratif warga Losari dapat dikategorikan sebagai masyarakat kota, namun kegiatan dan aktivitas sosial mereka lebih mirip dengan aktivitas penduduk desa. Setiap hari, warga Losari dan warga yang tinggal di bantaran lebih sering menghabiskan waktu di rumah dan beraktivitas di sekitar lingkungan mereka, walapun ada beberapa warga yang memiliki pekerjaan di kota–wilayah kota Solo. Observasi yang dilakukan pada awal penelitian ini menujukkan bahwa warga yang tinggal di kawasan Losari melakukan aktivitas harian mereka dengan kondisi yang sangat sederhana, beberapa warga membuka usaha warung dan toko kelontong sebagai usaha mereka mendapatkan uang. Beberapa warga yang lain juga bekerja di rumah atau membuka usaha kerajinan dan usaha lain yang banyak melibatkan aktivitas dan peranan warga sekitar. Meskipun demikian, ada beberapa warga
Losari
yang tampak
menganggur dan hanya menghabiskan waktu untuk bersantai dan bercengkrama dengan warga lain di perempatan atau di tempat-tempat strategis atau yang dekat dengan pusat keramaian warga. Dinamika yang tercermin dalam aktivitas harian mereka menujukkan baihwa masyarakat yang tinggal di kawasan Losari lebih mirip dengan tipikal masyarakat desa dan rural pada umunmya. Berdasarkan hal itu dan ditambah dengan kondisi lingkungan fisik yang tampak menempatkan warga Losari dan warga Semanggi pada umumnya berada pada status sosial menengah ke bawah to user hal itu. atau tingkat dan status sosial yangcommit setara dengan
93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Penyebab Awal Terjadinya Konflik 1. Pernyataan-Pernyataan dalam Penyebab Konflik Secara struktural, konflik tentang dana bantuan banjir yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota, terjadi jauh sebelum banjir tahun 2007 terjadi. Penguasaan tanah bantaran oleh pemerintah dan badan pertanahan yang seharusnya menjadi tugas penting, tampaknya tidak dilakukan dengan baik. Kelemahan tersebut memungkinkan penguasaan tanah oleh individu. Selain itu aktivitas pemerintah kota yang kurang tanggap terhadap penghuni bantaran Sungai Bengawan Solo membuat warga merasakan adanya legalitas dan pengakuan pemerintah terhadap lokasi hunian di bantaran sungai yang seharusnya dilarang. Permasalahan pertanahan dan penguasaan tanah pada akhirnya bertalian dengan permasalahan dana bantuan banjir tahun 2007. Situasi seperti itu itu membuat ada dua status tanah di kawasan bantaran, yaitu: tanah hak milik (THM) dan tanah negara (TN). Berdasarkan penjelasan di atas, struktur konflik yang terjadi antara warga bantaran Sungai Bengawan Solo dengan pemerintah kota Surakarta sudah terbentuk jauh sebelum bencana banjir terjadi di akhir tahun 2007. Bagaikan bom waktu yang siap meletus, potensi konflik yang sudah berkembang sejak dekade 1970-an tersebut pada akhirnya meletus menjadi pertentangan antara warga bantaran dengan pemerintah kota karena dipicu oleh banjir pada sebagian besar wilayah Surakarta pada akhir 2007. Wartawan harian umum Joglosemar, Abdul Alim mengatakan Menurut saya konflik tersebut merupakan konflik kepentingan yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota yang dimulai dari kerancuan proses pendataan lahan pada tahun 1970-an, karena saat itu belum ada proses pembebasan tanah oleh balai besar [pen: Bapeda dan Badan Pertanahan] sehingga diperjualbelikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat sendiri belum tahu bahwa wilayah tersebut [pen: bantaran Sungai Bengawan Solo] merupakan daerah yang tidak boleh dihuni sekaligus daerahcommit yang rawan to userbanjir. Karena itu pada tahun 1970-an banyak warga masyarakat yang membeli wilayah tersebut, dengan sertifikat yang ‗katanya‘ ada [pen: ada beberapa warga bantaran yang 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengaku memiliki sertifikat tanah]. Pada tahun 1980-an balai besar [pen: Bapeda dan Badan Pertanahan] menyatakan bahwa daerah bantaran merupakan milik pemerintah, selain itu pada tahun-tahun tersebut belum ada bencana seperti tahun 2007. (Wawancara pada 21 Maret 2010)
Selain itu, pada saat diwawancarai terkait dengan konflik yang terjadi antara pemerintah kota dan warga bantaran, Alim lebih banyak menyampaikan pendapatnya terhadap konflik tersebut melalui sudut pandang seorang jurnalis. Hal itu membuat ia lebih banyak bercerita tentang penyebab paling mendasar dari konflik tersebut, yang ternyata berkaitan dengan masalah pertanahan yang terjadi sejak tahun 1970-an. Lebih lanjut Alim menjelaskan bahwa selama dekade 1970-an hingga sekarang wilayah bantaran rupanya lebih banyak dihuni oleh warga yang tinggal secara liar atau warga yang tinggal dengan cara menyerobot tanah milik pemerintah atau semacamnya. Ia menjelaskan hal itu dengan gaya yang santai namun tetap serius. Sepanjang perjalanan waktu dari tahun 80-an hingga tahun 2000-an banyak tanah yang ditempati oleh warga yang sebenarnya tidak membeli tanah tapi hanya menyerobot atau tinggal di sana secara liar. Karena itu ada dua kelompok warga yang tinggal di daerah bantaran, yaitu kelompok yang membeli tanah, dan kelompok yang hanya mendirikan bangunan [pen: mendirikan bangunan secara liar]. (Wawancara pada 21 Maret 2010)
Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa tidak semua warga, yang tinggal di wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo, tinggal secara resmi dan memiliki bukti otentik tentang kepemilikan tanah di wilayah bantaran. Hal itu menghasilkan dua kategori warga yang tinggal di bantaran, yaitu warga yang tinggal secara resmi karena memiliki sertifikat dan warga yang tinggal secara liar. Fakta itu dikuatkan oleh pernyataan Sukasno SH, sebagai ketua DPRD Surakarta. Ia pada dasarnya menjelaskan tentang kondisi struktural yang sebenarnya commit to user dapat tumbuh menjadi potensi konflik di kemudian hari. Karena kesalahan
95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemerintah di waktu lampau–pemerintah Orde Baru, karena tidak konsisten menjalankan aturan. Secara lebih jelas, Sukasno menerangkan Kalau saya boleh mengatakan, kesalahan ada pada pemangku kepentingan atau pemerintah kota saat itu [pen: pemerintah kota pada 40 tahun silam]. Sekitar zaman Orde Baru. Sehingga ini sebagai sebuah pembelajaran bahwa semua dinas yang terkait dengan itu tetap harus menjalankan semua aturan yang sedang berlaku. Kalau dirunut siapa yang mengeluarkan sertifikat seperti itu, tentu Badan Pertanahan, kok bisa bisa begitu? Lha iya kok bisa?... Jadi pemerintah saat itu [pen: pemerintah Orde Baru], pada dasarnya tidak konsisten menjalankan aturan. Hal yang sama juga terjadi di Bengawan Solo, pada saat ini. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Fakta bahwa peralihan dan perubahan status tanah bantaran yang sebenarnya tidak boleh di huni berubah menjadi pemukiman jelas merupakan janin konflik yang kelak akan berkembang di kemudian hari. Sukasno SH sendiri tidak dapat menjelaskan bagaimana perubahan status itu bisa terjadi selain hanya mengisayaratkan bahwa semua yang dinas yang ada saat itu ikut bertanggungjawab atas semua kesahalan tersebut. Sebagai ketua DPRD, Sukasno SH, sudah menjabat selama dua periode, karena kemampuannya dan mungkin juga kecakapannya dalam menjalankan tugas. Di samping itu, Sukasno SH dikenal sebagai pribadi yang ramah dan murah senyum, kepada semua orang termasuk kepada peneliti. Sejujurnya, sempat muncul banyangan di benak peneliti, bahwa Sukasno SH, merupakan pribadi yang sulit ditemui, sombong, dan super sibuk, mengingat jabatannya sebagai ketua DPRD. Akan tetapi, semua pandangan dan gambaran tersebut sirna ketika bertemu langsung dengan ketua DPRD tersebut. Menariknya lagi, Sukasno SH juga relatif kooperatif dan memberikan begitu banyak informasi tentang permasalahan dana banjir yang mencetuskan konflik. commit to user
96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fakta bahwa ada perubahan status tanah terlarang menjadi tanah hak miliki yang sah, seperti yang terjadi di tanah bantaran Sungai Bengawan Solo, yang sekarang menjadi konflik, sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan konflik yang relatif besar di kemudian hari. Sebab, bagaimanapun juga kenyataan seperti itu akan menimbulkan kerancuan hukum dan inkonsisitensi terhadap penerapan aturan di kemudian hari. Secara struktural, kesalahan dalam penerapan aturan akan menghasilkan kesalahan fatal di kemudian hari. Struktur konflik yang terjadi di bantaran Sungai Bengawan Solo tentang dana bantuan banjir, tampaknya disebabkan oleh hal semacam itu. Penyebab struktural konflik yang terjadi lebih dari tiga puluh tahun lalu serta terjadinya bencana banjir, tahun 2007, akhirnya memicu pertentangan antara warga dengan pemerintah kota. Dengan demikian, aktivitas pemerintah kota yang mulai melakukan pendataan korban banjir, yang terjadi pada tahun 2007, di wilayah bantaran rupanya menjadi titik kritis dimulainya konflik antara warga bantaran dengan pemerintah kota. Seorang warga bantaran bernama Maryono mengungkapkan Pada akhir tahun 2007, semua daerah yang terkena banjir diminta untuk mengirimkan data [pen: dalam hal ini data tentang perkiraan jumlah kerugian sementara], isi data itu saya nggak ngerti, tapi data itu mungkin digunakan untuk mendaftar atau data tentang siapa saja yang menjadi korban banjir. Data tersebut dikirimkan ke balaikota sebagai awal untuk meminta bantuan dari pusat [pen: pemerintah pusat di Jakarta]. Setelah ada informasi bahwa dana tersebut sudah dikucurkan dari pusat, tiba-tiba pemerintah kota bikin program yang bernama relokasi, karena pengertian bantuan banjir tidak sampai pada pengalokasian dalam bentuk lain. Jadi yang namanya bantuan banjir yang seharusnya tetap dalam bentuk bantuan, bukan dalam bentuk yang lain, sehingga bantuan tersebut juga harus dalam bentuk bantuan bukan diembel-embeli dengan tujuan dan program yang lain. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Peryataan Maryono memberikan gambaran besar bahwa proses pendataan yang dilakukan pemerintah kota untuk semua korban banjir rupanya tidak hanya commit to user
97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dimaksudkan untuk memberikan bantuan materi semata namun juga meluncurkan program relokasi, yang kelak ditentang oleh sebagian warga bantaran. Pernyataan tersebut dikuatkan oleh warga bantaran yang lain bernama Nunuk Ismiyati. Ia secara pribadi mengungkapkan bahwa pendataan yang dilakukan oleh pemerintah kota sebenarnya penuh dengan tipu daya atau mungkin juga kesalahan. Setelah itu sekitar bulan Maret atau April, kami diberi blangko sebagai cara pendataan semua rumah yang terkena banjir di seluruh wilayah sungai Bengawan Solo. Lalu setelah itu, saya, sebagai sekretaris RT, dan ketua RT [pen: Agus Sumaryawan], mulai mendata siapa saja yang terkena banjir, di blangko tersebut ada formulir yang bertujuan mendata siapa saja yang tinggal di rumah tersebut dan nama KK yang terkait, untuk pada akhirnya dikirim ke kelurahan lalu ke Bapeda. Beberapa bulan kemudian semua pengurus RT diundang ke Bapeda untuk rapat dalam rangka membahas semua data yang telah dikirim sebelumnya, untuk diajukan ke menkokesra demi rehabilitasi rumah yang rusak karena banjir. ... namun mak bedunduk [pen: sekonyong-konyong] ada woroworo wacana tentang program relokasi yang pada dasarnya ―mau yo monggo‖ yang juga sempat disampaikan pak walikota ―mau yo monggoyen ora yo ora opo-opo, neng yen ono inspeksi soko Jakarta ojo salahne aku‖ [pen: mau ya silahkan tidak mau ya tidak apa-apa, tapi kalau ada pemeriksaan dari Jakarta jangan salahkan saya]. Dari sini-kan ada maksud bahwa relokasi itu sukarela, tetapi dia, pak walikota, tanpa sepengetahuan RT ada woro-woro akan diberikan bantuan sekitar 22,5 juta rupiah sebagai ganti rumah dan fasilitas umum yang rusak khusus bagi penghuni yang tinggal di tanah negara (TN). Jika dihitung-hitung jika tanah negara (TN) sudah mendapatkan bantuan, maka sisanya-kan ada hak bantuan bagi tanah hak milik (THM), tetapi mengapa sampai sekarang belum dibayarkan. Itulah yang jadi masalah sampai sekarang. ... (Wawancara pada 17 Februari 2010)
Peryataan yang dikatakan oleh Nunuk Ismiyati tersebut menujukkan bahwa pemerintah kota sebenarnya menggulirkan program relokasi dengan cama membonceng program dana banjir. Pendataan yang dilakukan pemerintah kota pada tahun 2008 tampaknya lebih banyak ditujukan untuk menggulirkan program relokasi tesrebut. commit to user
98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penjelasan yang disampaikan Nunuk Ismiyati menujukkan bahwa program relokasi yang dilakukan pemerintah terkesan tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan serta sosialisasi yang memadai atau setidaknya sosialisasi yang diberikan pemerintah kota untuk warga bantaran kurang menjangkau sasaran. Hal itu membuat munculnya beragam asumsi di antara warga bantaran atau setidaknya para anggota SKoBB. Sementara itu, koordinator dan ketua aksi sekaligus ketua SKoBB, Agus Sumaryawan memberikan pernyataan bahwa konflik dan pertentangan ini dimulai ketika pemerintah kota melakukan proses pendataan yang kelak digunakan sebagai data relokasi. Padahal menurut pandangan Agus Sumaryawan, data tersebut hanya digunakan sebagai data pemberian bantuan bagi korban banjir dan tidak ada hubungan sama sekali dengan relokasi. Secara tegas ia menyatakan Setelah banjir, pihak kelurahan mulai mendata semua warga yang tinggal di bantaran untuk dimintakan bantuan. Setelah itu semua ketua RT yang tinggal di bantaran disuruh ke pemerintah kota untuk mendapatkan pengarahan seperti ini ―semua warga yang tinggal di bantaran pemberian bantuan diberikan pada semua pemilik tanah, pemilik rumah, dan semua warga baik yang tanah negara (TN) dan tanah hak milik (THM)‖. Tidak ada sedikitpun muncul kata ―relokasi‖. Dengan demikian semua warga yang tinggal menjadi korban banjir istilahnya hanya menunggu bantuan dari pusat [pen: bantuan dari pusat yang diberikan melalui pemerintah kota] yang akan segera cair dan tidak berbentuk material, kalau tidak berbentuk materi pasti berbentuk uang. (Wawancara pada 23 Januari 2010)
Peryataan yang diberikan Agus Sumaryawan tampak berkesesuaian dengan pernyataan yang diberikan Maryono dan Nunuk Ismiyati. Kenyataan itu menujukkan bahwa konflik dan pertentangan tentang dana banjir antara warga bantaran dan pemerintah kota dimulai oleh adanya pendataan korban banjir yang kelak digunakan sebagai program relokasi. Berdasarkan peryataan tersebut muncul indikasi bahwa commit to user
99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemerintah kota menggulirkan program relokasi secara tiba-tiba yang secara umum jauh dari rencana awal yang hanya berupa pemberian bantuan banjir. Kenyataan seperti itu rupanya dikuatkan
oleh peryataan Agus
Sumaryawan yang secara umum menyatakan bahwa program relokasi tersebut baru muncul pada pertengahan tahun 2008 hingga akhir tahun 2008. Dengan demikian dapat diketahui bahwa program relokasi muncul belakangan setelah program bantuan dana banjir disosialisasikan. Pada saat diwawancarai, ia menyatakan bahwa Namun di akhir tahun 2008, mulai beredar kencang isu tentang relokasi, sehingga warga yang tinggal di daerah ini mulai menentang secara keras, bahkan di sini di pasang spanduk besar bertuliskan ―Tolak Relokasi Sampai Titik Darah Penghabisan‖. Penolakan tersebut tampaknya membuat pemerintah kota merapkan tak-tik belanda ―devide et impera‖[pen: adu domba]. Di sini ada dua status tanah, tanah negara (TN) dan tanah hak milik (THM), karena dipecah maka warga yang tinggal di tanah negara menjadi takut terhadap pemerintah. Beberapa waktu setelah itu ada sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah kota berkaitan dengan masalah relokasi tersebut yang intinya bermaksud mengatakan ―warga yang mau relokasi silahkan, yang tidak mau silahkan, namun jika terjadi sesuatu dari pemerintah pusat, pemerintah kota tidak ikut campur‖. Tetapi proses sosialisasi tersebut seakan menekan warga yang tinggal di wilayah bantaran untuk mau direlokasi. (Wawancara pada 23 Januari 2010)
Keberadaan program relokasi yang bagi warga dianggap sebagai program yang berjalan sepihak membuat warga yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo menolak dengan tegas program relokasi. Dengan demikian, warga hanya mau menerima uang bantuan banjir namun menolak relokasi yang diberlakukan oleh pemerintah kota. Perhatikan lebih jauh peryataan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan tersebut.
Secara
langsung,
ia
menyatakan
bahwa
pemerintah
tampaknya
mendiskriminasi warga-warga yang enggan direlokasi. Ia juga menjelaskan adanya semacam bentuk tekanan sosial, mulai dari diskriminasi pembuatan KK (Kartu commit totanah, user yang dilakukan pemerintah kota Keluarga) hingga pengurusan sertifikat
100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadap warga yang enggan ikut serta dalam program relokasi. Kenyataan seperti itu rupanya menjadi salah satu alasan warga yang tinggal di wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo untuk menggulirkan pertentangan kepada pemerintah kota terkait dengan tuntutannya terhadap dana bantuan banjir dan penolakan terhadap program relokasi. Sosok Agus Sumaryawan dikenal sebagai seoarang yang dengan gigih menentang program relokasi tapi mendukung program pencairan dana bantuan banjir yang hingga saat ini belum dapat diselesaikan. Perwajahan Agus Sumaryawan tampaknya dapat disamakan dengan Jaya Suprana, pemilik Museum Rekor Indonesia. Selain itu, gaya bicaranya yang berapi-api dan ngotot dan berani berpendapat membuat Agus Sumaryawan menjadi penentang program relokasi yang digulirkan pemerintah kota. Pengaruhnya yang kuat di masyarakat bantaran membuatnya berhasil menggerakkan masyarakat untuk mau berjuang bersama-sama untuk melakukan beragam aksi yang terkait dengan penolakan program relokasi. Tentang proses pendataan yang dipermasalahkan itu, Suparno HS, seorang tokoh masyarakat, yang berperan besar terhadap program relokasi dan beberapa program pemerintah yang lain, sebenarnya menjelaskan bahwa proses pendataan tersebut sebenarnya digunakan sebagai data awal untuk mengetahui seberapa parah kondisi korban banjir untuk pada akhirnya dimintakan bantuan dari pemerintah pusat berupa uang untuk biaya perbaikan properti, relokasi sekaligus membeli tanah warga yang berada di tanah hak milik serta yang berada di tanah negara. Ia menjelaskan Ya mungkin dari pemerintah kota, melalui lurah itu mulai mendata semua korban banjir tahun 2007 untuk diajukan ke pemerintah pusat, ke Jakarta, jadi datanya di taruh di sana [pen: pemerintah pusat]. Kemudian setelah itu, data yang dikirim ke sana [pen: ke pemerintah pusat], dan ke commit user semuanya ada di kelurahan. Terus kelurahan, jadi kalau mau datatolengkap setelah semua korban di data, oleh walikota semua korban yang telah
101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
didata tadi, dicatat dalam ‗buku putih‘ [pen: buku catatan tentang semua korban banjir yang akan diberikan bantuan dan akan direlokasi], juga yang ditepi bantaran itu juga ada ‗buku putih‘, semua itu bagi warga yang menempati tanah negara. Setelah itu semua warga yang berada di tanah negara, yang masuk dalam ‗buku putih‘ tadi semuanya kita data untuk diajukan relokasi, sekaligus mendata semua warga yang bersedia relokasi, sehingga tidak ada paksaan. (Wawancara pada 14 April 2010)
Suparno HS sendiri tidak menampik kenyataan bahwa proses pendataan tersebut sebenarnya bertujuan untuk mendata semua korban banjir untuk pada saatnya diberikan dana bantuan banjir sebagai ganti kerugian. Namun demikian, data tersebut juga berfungsi sebagai data awal bagi upaya relokasi warga yang berada di sekitar bantaran, terutama yang tinggal di tanah negara (TN). Penjelasan yang diberikan oleh Suparno HS juga menekankan bahwa proses relokasi itu bukanlah sebuah paksaan yang harus diikuti, namun sebuah bentuk program pemerintah dengan sifat sukarela. Jadi warga sendiri yang berhak memutuskan untuk ikut serta dalam relokasi atau tetap tinggal di wilayah bantaran dengan segala resikonya. Apabila warga bersedia ikut serta dalam program relokasi, maka warga tersebut harus menyerahkan beberapa syarat administratif sebagai bentuk pengurusan administrasi oleh pemerintah kota. Kenyataan bahwa program relokasi bersifat sukerela inilah yang belum banyak diketahui secara jelas oleh semua warga bantaran Sungai Bengawan Solo, baik yang tinggal di tanah negara maupun yang tinggal di tanah hak milik. Ketika diwawancarai, Suparno HS juga menegaskan secara kuat bahwa sebenarnya program relokasi tersebut bukanlah sebuah keharusan, sama seperti yang pernah dikatakan oleh Agus Sumaryawan. Ketua Pokja tersebut menyatakan bahwa ―Setelah itu semua warga yang berada di tanah negara, yang masuk dalam ‗buku putih‘ tadi semuanya kita data untuk diajukan relokasi, sekaligus mendata semua commit to user warga yang bersedia relokasi, sehingga tidak ada paksaan.‖ (Wawancara pada 14
102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
April 2010). Tidak adanya paksaan dalam relokasi sebenarnya sangat ditekankan oleh Suparno HS dalam setiap pernyataan yang diberikan. Hanya saja Ia dan pemerintah kota hanya menekankan bahwa wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo merupakan larangan untuk hunian warga Pemerintah kota tidak pernah memaksa untuk relokasi, tetapi itu-kan tempat larangan, bukan tempat pemukiman. Lalu saya dari pokja bilang begini ―mbok ya sudah program pemerintah diikuti saja, wong banjir itu merepotkan orang banyak, selain hanya merepotkan sendiri‖. (Wawancara pada 14 April 2010)
Pernyataan serupa juga dilakukan oleh Suparno HS pada saat sosialisasi sebelum program relokasi digulirkan. Ya diberi pemahaman seperti ini, ―Anda itu menempati tanah negara‖ atau dibalik seperti ini ‖Anda itu setiap tahun kebanjiran, kalau begitu Anda merepotkan diri sendiri dan orang banyak, maka dari itu pemerintah memberlakukan relokasi dengan pemberian uang sekian.‖ (Wawancara pada 14 April 2010)
Paparan yang diberikan oleh Suparno HS sebenarnya menujukkan itikad baik pemerintah untuk menertibkan penghuni wilayah bantaran yang kebanyakan tinggal secara liar di tanah negara, sekaligus mensahkan mereka untuk dapat tinggal secara resmi, melalui program relokasi. Warga bantaran yang menerima relokasi kebanyakan berasal dari tanah negara (TN). Keberadaan warga di tanah negara dianggap sebagai penghuni liar. Karena itu ketika pemerintah kota menggulirkan program relokasi, sekaligus mensahkan posisi hukum dan status tanah yang mereka miliki, warga bantaran yang tinggal di tanah negara langsung setuju. Saryono, sebagai warga bantaran yang mendukung relokasi menyatakan bahwa Sebetulnya tanah itu [pen: tanah bantaran] tidak boleh ditempati, berhubung orang kepepet, ya mau nggak mau, orang ya saya kerjanya di commit to user situ, jadi ya tinggal di situ juga [pen: kawasan bantaran]. Terus dari pemerintah, karena selalu setiap hujan banjir, setiap hujan banjir, dari
103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemerintah mengadakan rapat yang dibantaran tanggul itu mau direlokasi. Itu juga ada yang menolak, juga ada yang menerima, tapi Alhamdulillah banyak yang menerima begitu. (Wawancara pada 20 April 2010)
Penjelasan Saryono memberikan pemahaman bahwa warga bantaran yang menerima program relokasi kebanyakan berada di kawasan tanah negara yang sepenuhnya belum memiliki sertifikat tanah dan bukti pengesahan lainnya. Selain itu bujukan pemerintah terhadap mereka mungkin dapat dikatakan berhasil. Akan tetapi bujukan pemerintah kepada warga yang tinggal di tanah hak milik (THM) sepertinya kurang membuahkan hasil nyata. Namun demikian, tidak semua warga bantaran tinggal secara liar, ada beberapa warga yang tinggal di wilayah bantaran secara resmi karena memiliki sertifikat tanah, seperti yang terjadi pada Agus Sumaryawan dan kawan-kawan. Mereka mulai menggulirkan konflik dan pertentangan kepada pihak pemerintah kota dengan mengedepankan isu relokasi terhadap semua warga yang tinggal di tanah negara maupun yang tinggal di tanah hak milik. Kenyataan seperti itu membuat sebagian warga yang tinggal di tanah hak milik mulai resah dan menganggap pemerintah kota berupaya keras menyingkirkan mereka dari wilayah bantaran sekaligus menahan dan menunda uang pembayaran bantuan banjir yang seharusnya menjadi hak mereka. Selain itu kepemilikan sah terhadap tanah di wilayah bantaran juga berhasil membuat pemerintah kota cukup kerepotan, pasalnya ada bukti sah yang menguatkan warga yang tinggal di tanah hak milik. Kebanyakan warga yang tinggal di tanah hak milik hanya mau pindah dengan imbalan yang pantas atau setidaknya membeli tanah mereka dengan harga yang pantas. Kesimpang-siuran dan pemahaman yang kurang terhadap program pemerintah tentang relokasi dan dana bantuan banjir menimbulkan beragam asumsi commit to user
104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
negatif dan persepsi keliru di antara warga. Ketika Suparno HS ditanya tentang awal pertentangan warga dengan pemerintah kota tersebut, ia menjawab Itu, kemungkinan, menurut analisa saya karena salah persepsi, dan mungkin juga ada beberapa orang yang memiliki sisi fungsionaris atau mungkin juga kepentingan tertentu, yang membuat masalahnya menjadi tidak jelas. Padahal dulu waktu saya lihat, sebenarnya semuanya sudah jelas pemahaman waktu sosialisasi dengan pak wali tentang relokasi. (Wawancara pada 14 April 2010)
Pernyataan yang diberikan Suparno HS sebenarnya menujukkan bahwa warga hanya salah menanggapi program relokasi warga yang tinggal di wilayah bantaran. Padahal pada kenyataannya pemerintah telah melakukan sosialisasi kepada warga untuk memberikan pemahaman tentang program bantuan banjir dan relokasi yang hendak dilakukan oleh pemerintah kota. Akan tetapi, sosialisasi tersebut kurang menjangkau sasaran, sehingga menimbulkan munculnya beragam persepsi keliru. Hal itu membuat pemerintah kota banting setir untuk berusaha keras menyelesaikan permasalahan ini tanpa harus merugikan warga yang tinggal di bantaran, terutama warga yang tinggal di tanah hak milik, meskipun hasilnya belum memuaskan. Karena itu pemerintah kota menunda pembayaran uang bantuan banjir, sebesar 8,5 juta yang menjadi hak mereka, sambil mengupayakan pembelian tanah warga bantaran, yang tinggal di tanah hak milik, yang bersedia direlokasi. Suparno HS juga menyatakan bahwa Ya, kan mulai tahun 2009 dulu sudah dimulai. Termasuk pemberian uang dari walikota sebesar 12 juta dengan 8,5 juta untuk banjir. Bagi warga yang rumah rusak berat ya silahkan diperbaiki, kalau rumahnya berada di bantaran ya direlokasi. Nantinya yang tinggal di tanah hak milik itu juga dapat 8,5 juta [pen: perselesihan ini dimotori oleh warga yang tinggal di tanah hak milik]. Yang jadi keinginan mereka kan uangnya mau diminta sekarang, itu saja kan. Jadi yang jelas relokasi tetap jalan, kami juga tidak mau mengurangi hak mereka. (Wawancara pada 14 April 2010) commit to user
105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pernyataan yang diberikannya juga mengisayaratkan bahwa pemerintah kota tidak berniat menunda atau menghambat proses pembayaran dana bantuan banjir, sebesar 8,5 juta, kepada warga bantaran. Pemerintah kota hanya harus menyelesaikan semua permasalahan relokasi yang masih menyisakan beberapa warga, sebelum akhirnya melakukan sosialisasi untuk menyelesaikan permasalahan yang melingkupi warga yang tinggal di bantaran Sungai Bengawan Solo, yang enggan direlokasi–warga yang tinggal di tanah hak milik. Penjelasan yang senada diberikan oleh wakil pemerintah kota yang lain, Widdi Srihanto. Sebagai ketua dari Bapermas, Widdi Srihanto merupakan salah satu orang yang berada dalam program pemerintah tentang relokasi dan dana bantuan banjir yang tertunda tersebut. Ia menjelaskan bahwa Ya, kalau uang laksanakan dan akan kami beri bantuan, tapi kalau mereka tidak terdata dan mereka tinggal di wilayah bantaran maka jangan salahkan saya. Setalah saya verifikasi semua surat tanahnya ternyata di sana ada nama gubernur akte tanah mereka, konsep rumah tersebut sebenarnya bukan rumah standar, konsep rumah tersebut ialah konsep rumah yang berdiri di daerah pemukiman, bukan di daerah bantaran. (Wawancara pada 25 Mei 2010)
Penjelasan dari Widdi Srihanto pada dasarnya menujukkan bahwa pemerintah kota tidak berniat menunda dana bantuan banjir yang akan diberikan kepada warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM), yang menggulirkan perselisihan ini. Penundaan tersebut hanya berhubungan dengan pencarian konsep yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan warga bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik. Selain itu ia juga menjelaskan bahwa Kami tidak merelokasi tanah hak milik, hak milik nanti akan kami kasih ganti rugi, karena hak milik sudah memiliki legitimasi oleh negara, jadi jelas perlakukannya berbeda. Tapi untuk tanah negara mereka tidak diakui oleh pemerintah, jadi ada hubungannya dengan aspek hukum pertanahan. (Wawancara pada 25 Mei 2010) commit to user
106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan tersebut menguatkan pendapat yang diberikan Suparno HS bahwa pemerintah kota memang tidak berniat menunda dana bantuan banjir yang menjadi hak warga bantaran, termasuk warga yang enggan direlokasi karena tinggal di tanah hak milik (THM). Pernyataan lain tentang relokasi diberikan oleh Sukasno SH, sebagai ketua DPRD Surakarta. Secara umum ia memandang program relokasi sebagai program yang benar, karena ia sendiri menganggap bahwa tanah bantaran itu bukanlah tempat hunian. Karena itu, Sukasno SH lebih banyak menujukkan dukungannya terhadap program yang digulirkan oleh pemerintah kota Pemerintah kota berencana untuk merelokasi warga bantaran, dan hal itu nyambung dengan program pemerintah pusat bahwa pemerintah pusat tentang pengelolaan Sungai Bengawan Solo, yang salah satu proyeknya merupakan peninggian tanggul-tanggul di Bengawan Solo, dan Solo merupakan satu kota yang mendapatkan proyek tersebut. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Lebih lanjut Sukasno SH memberikan pernyataan bahwa program relokasi tersebut memang harus diberlakukan oleh pemerintah kota, karena tanah bantaran memang bukan berfungsi sebagai tanah hunian Sehingga, kalau masyarakat yang menghuni bantaran itu hunian liar, ya harus memahami, bahwa ada undang-undang dan perda, bantaran itu harus bebas dari hunian dan sebagainya, sehingga ya seharusnya mereka tidak disitu. ... Jadi kalau mereka nekat bertahan sampai titik darah penghabisan, menurut saya ya tidak pas juga, karena mereka disitu menghuni tanah bantaran. ... Persoalannya, saya juga heran, kok dulu ya bisa kalau bantaran bisa jadi hunian, soalnya ada kan di undang-undang itu jelas, tanah bantaran itu seperti apa.
Meskipun secara tidak langsung Sukasno SH tidak menyebutkan dukunganya terhadap program relokasi, tetapi pernyataan yang diberikan dalam proses wawancara menujukkan bahwa ia dengan aktif mendukung program relokasi. commit to user
107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Walaupun sebenarnya Sukasno SH sendiri sadar bahwa program relokasi tersebut menuai beragam kontroversi di kalangan warga bantaran. Kembali ke permasalahan tentang dana bantuan banjir, sebenarnya permasalahan dan pertentangan ini dapat dicegah apabila pemerintah kota dan warga yang menggulirkan konflik mau berpikir jernih untuk tidak saling memaksakan kehendak masing-masing, terutama yang berkaitan dengan pembayaran dana bantuan banjir yang seharusnya menjadi hak warga. Maryono, salah satu aktivis SKoBB mengatakan Sebenarnya saya yakin apabila dulu pemerintah tidak terlambat menurunkan bantuan, maka hasilnya tidak akan seperti ini. Kalau dulu pemerintah menurunkan bantuan sekitar 2,5 juta dulu, tetapi berhubung pemerintah sudah terlanjur salah, serta dana yang dikeluarkan sudah banyak, maka kawan-kawan yang dulu menderita banjir paling besar mungkin juga merasa tidak mau bantuannya disamakan dengan kawankawan yang henya kebanjiran selutut atau yang tidak kena banjir. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Permasalahan berbasis ekonomi ini sebenarnya tidak perlu terjadi dan tidak seharusnya terjadi apabila ada upaya untuk bersabar terhadap bantuan yang akan diterima. Di samping itu apabila pemerintah kota tidak menunda pembayaran bantuan banjir ini maka pertikaian antara warga bantaran dan pemerintah kota tidak akan jadi serumit ini.
2. Pola dan Proses Komunikasi pada Penyebab Konflik Pada dasarnya konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota melibatkan persoalan komunikasi dan semua unsur yang terkait di dalamnya. Hal itu membuat semua unsur komunikasi sebenarnya mengambil peran penting yang mempengaruhi kegagalan komunikasi yang menjadi penyebab konflik tersebut. commit to user Pemerintah kota sebenarnya sudah melakukan proses komunikasi melalui sosialisasi
108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepada semua warga bantaran secara umum. Namun demikian kegagalan komunikasi tidak dapat dielakkan karena munculnya faktor tertentu yang membuat pemerintah kota kurang memahami bagaimana kondisi bantaran secara umum. Sosialisasi yang dilakukan pemerintah kota kepada warga bantaran tentang relokasi hanya ditujukan kepada warga yang tinggal di tanah negara (TN). Padahal ada warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM). Kondisi tersebut kontan membuat warga yang tinggal di tanah hak milik (THM) tidak memiliki informasi yang tepat tentang bagaimana faktor relokasi tersebut diberlakukan dan dijalankan oleh pemerintah kota. Selain itu pemerintah kota sudah terlanjur menjanjikan bantuan uang kepada semua warga bantaran baik yang tinggal di tanah negara (TN) dan yang tinggal di tanah hak milik (THM). Selain itu, kurangnya informasi yang diperlukan oleh warga bantaran di tanah hak milik (THM) untuk membuat suatu keputusan yang tepat, meneyababkan munculnya konflik kepentingan tersebut. Hal itu menjadi faktor umum yang mendorong terjadinya konflik. Di lain pihak, pemerintah kota juga tidak kunjung mengadakan sosialisasi yang tepat dan ditujukan bagai warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM), sehingga mendorong percepatan konflik tersebut. Di samping itu, penundaan pembayaran uang dilakukan pemerintah kota memunculkan kesalahan persepsi dan miscommunication di kalangan warga bantaran, bahwa pemerintah kota sengaja menunda pembayaran dana bantuan banjir sebesar 8,5 juta dengan syarat harus relokasi. Padahal berdasarkan penjelasan Suparno HS, pemerintah hanya akan merelokasi warga yang bersedia ikut relokasi saja. Sedangkan yang bagi warga yang tinggal di tanah hak milik, yang bersedia direlokasi, pemerintah akan membeli tanah warga dengan harga yang pantas. Namun to user demikian, sejauh ini pemerintah commit belum melaksanakan sosialisasi untuk warga yang
109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tinggal di tanah hak milik, sehingga proses relokasi yang berjalan bagi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik masih terhambat. Selain itu pemerintah kota harus menuntaskan semua permasalahan tersebut pada tahun 2010 ini, dan membayarkan semua uang yang menjadi hak warga bantaran. Dari semua penjelasan para tokoh masyarakat yang berkompeten dan berperan langsung menunjukkan bahwa pertikaian dan pertentangan yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota terjadi karena kesalahan persepsi dan komunikasi di antara kedua belah pihak. Setidaknya ada dua indikasi yang menunjukkan bahwa konflik tersebut dimulai dengan kesalahan persepsi dan komunikasi.
Indikasi
pertama
datang
dari
pernyataan
masyarakat
dan
pemahamannya terhadap program pemerintah, seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Maryono bahwa data itu mungkin digunakan untuk mendaftar atau data tentang siapa saja yang menjadi korban banjir. Data tersebut dikirimkan ke balaikota sebagai awal untuk meminta bantuan dari pusat [pen: pemerintah pusat di Jakarta]. Setelah ada informasi bahwa dana tersebut sudah dikucurkan dari pusat, tiba-tiba pemerintah kota bikin program yang bernama relokasi, karena pengertian bantuan banjir tidak sampai pada pengalokasian dalam bentuk lain. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Pernyataan yang serupa juga diberikan oleh Agus Sumaryawan. Ia menjelaskan ... Tidak ada sedikitpun muncul kata ―relokasi‖. Dengan demikian semua warga yang tinggal menjadi korban banjir istilahnya hanya menunggu bantuan dari pusat [pen: bantuan dari pusat yang diberikan melalui pemerintah kota] yang akan segera cair dan tidak berbentuk material, kalau tidak berbentuk materi pasti berbentuk uang. (Wawancara pada 23 Januari 2010) ... Namun di akhir tahun 2008, mulai beredar kencang isu tentang relokasi, sehingga warga yang tinggal di daerah ini mulai menentang secara keras, bahkan di sini di pasang spanduk besar bertuliskan ―Tolak Relokasi Sampai Titik Darah Penghabisan.‖. ... Beberapa waktu setelah itu ada sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah kota berkaitan dengan masalah relokasi tersebut yang intinya bermaksud mengatakan ―warga commityang to user yang mau relokasi silahkan, tidak mau silahkan, namun jika terjadi sesuatu dari pemerintah pusat, pemerintah kota tidak ikut campur‖. Tetapi
110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
proses sosialisasi tersebut seakan menekan warga yang tinggal di wilayah bantaran untuk mau direlokasi. (Wawancara pada 23 Januari 2010) Pernyataan kedua orang tokoh tersebut menunjukkan pemahaman bahwa ada kesenjangan dan salah pengertian terhadap semua informasi yang telah diterima, terutama bagi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM). Hal itu mungkin disebabkan adanya keterbatasan informasi yang diterima atau pemahaman terhadap informasi yang kurang baik. Sementara itu, tokoh penting di belakang relokasi, Suparno HS, memberikan pernyataan yang berhubungan dengan alasan pemerintah kota memberlakukan relokasi bagi masyarakat bantaran di wilayah Semanggi. Suparno HS menyatakan Terus setelah semua korban di data, oleh walikota semua korban yang telah didata tadi, dicatat dalam ‗buku putih‘ [pen: buku catatan tentang semua korban banjir yang akan diberikan bantuan dan akan direlokasi], juga yang di tepi bantaran itu juga ada ‗buku putih‘, semua itu bagi warga yang menempati tanah negara. Setelah itu semua warga yang berada di tanah negara, yang masuk dalam ‗buku putih‘ tadi semuanya kita data untuk diajukan relokasi, sekaligus mendata semua warga yang bersedia relokasi, sehingga tidak ada paksaan. (Wawancara pada 14 April 2010)
Ia juga menyatakan bahwa relokasi terhadap warga bantaran itu bukanlah sebuah paksaan meskipun sebenarnya wilayah bantaran memang pada hakekatnya bukan tempat hunian yang baik. Seperti yang dijelaskan dalam pernyataan berikut Pemerintah kota tidak pernah memaksa untuk relokasi, tetapi itu-kan tempat larangan, bukan tempat pemukiman. Lalu saya dari pokja bilang begini ―mbok ya sudah program pemerintah diikuti saja, wong banjir itu merepotkan orang banyak, selain hanya merepotkan sendiri‖. ... Nantinya yang tinggal di tanah hak milik itu juga dapat 8,5 juta [pen: perselesihan ini dimotori oleh warga yang tinggal di tanah hak milik]. Yang jadi keinginan mereka kan uangnya mau diminta sekarang, itu saja kan. Jadi yang jelas relokasi tetap jalan, kami juga tidak mau mengurangi hak mereka. commit to user
111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selain itu, Suparno HS menegaskan bahwa nanti pemerintah kota pasti akan membayarkan semua uang bantuan banjir yang seharusnya menjadi hak warga sebesar 8,5 juta pada tahun 2010 ini. Sehingga ada upaya dari pemerintah kota untuk tidak merugikan rakyat. Di samping itu perselisihan ini rupanya juga dimulai oleh persepsi masyarakat bantaran bahwa mereka akan mereka akan mendapatkan bantuan jika mereka direlokasi terlebih dahulu, terutama warga yang tinggal di tanah hak milik (THM). Ketakutan mereka tidak akan mendapat bantuan uang banjir sebesar 8,5 juta rupian membuat mereka bertindak dan menggulirkan konflik menentang program pemerintah. Padahal pemerintah kota hanya menunda pembayaran uang ganti rugi mereka karena harus mengurusi permasalahan relokasi. Kesalahan persepsi yang diterima warga bantaran, rupanya juga dikuatkan karena tidak adanya kejelasan kapan pembayaran uang dana bantuan banjir tersebut akan dibayarkan, sehingga membuat masyarakat mulai menggulirkan konflik. Kedua, salah pengertian tersebut muncul karena pemerintah kurang memberikan sosialisasi yang memadai terhadap semua warga bantaran khususnya yang tinggal di tanah hak milik (THM), dan warga Semanggi umumnya, tentang kapan dana bantuan banjir tersebut dibayarkan. Di samping itu, sosialisasi yang pernah dilakukan pemerintah kota pada awalnya hanya terbatas pada warga yang tinggal di tanah negara (TN), padahal kenyataannya ada warga yang tinggal di tanah hak milik (THM). Jika pemerintah kota berniat merelokasi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik, maka perlu ada sosialisasi lanjutan yang bertujuan menjelaskan semua maksud dan tindakan pemerintah yang akan dilakukan. Selain itu, karena program ini bersifat sukarela, tanpa paksaan, pemerintah kota harus to user membayarkan semua uang danacommit bantuan yang menjadi hak warga yang enggan
112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
direlokasi, tanpa syarat apapun. Tidak adanya proses sosialisasi lanjutan membuat munculnya salah pengertian dan kegagalan komunikasi yang mencetuskan konflik dan pertentangan antara warga bantaran dan pemerintah kota. Semua pernyataan yang diberikan oleh para tokoh yang berada di belakang pemerintah kota serta para tokoh dari warga bantaran pada dasarnya membentuk suatu pola komunikasi yang dapat dilihat berdasarkan unsur komunikasi dan interaksi antara unsur-unsur tersebut. Interaksi antarkomponen penyusun proses komunikasi yang terjadi pada penyebab konflik pada dasarnya menghubungkan dan membuat penyebab konflik menjadi suatu persoalan yang membutuhkan proses komunikasi tertentu. Dalam kasus awal perselisihan ini pemerintah kota bertindak sebagai komunikator yang memberikan sejumlah pesan tertentu melalui sebuah aktivitas yang dikenal sebagi sosialisasi. Pesan tersebut sebagian besar berkaitan dengan program relokasi warga bantaran dengan menggunakan dana bantuan banjir yang dulu sempat dijanjikan oleh pemerintah kota. Di samping itu pesan dari pemerintah kota tersebut berisikan penundaan pembayaran dana bantuan banjir bagi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM), termasuk yang memulai perselisihan, karena ada masalah administrastif yang harus diselesaikan serta ada upaya untuk mencari proses penyelesaian yang tepat untuk relokasi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik. Sementara itu warga bantaran sebagai komunikan mengganggap bahwa program relokasi merupakan suatu paksaan dan bentuk tekanan pemerintah kepada warga bantaran agar mau dipindahkan dari wilayah mereka di bantaran. Padahal pemerintah kota pada dasarnya hanya menunda pembayaran dana bantuan banjir tersebut, sambil mencari konsep penyelesaian yang tepat bagi warga yang tinggal di commitantara to userpemerintah kota dengan yang telah tanah hak milik. Perbedaan persepsi
113
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diterima oleh warga bantaran. Bentuk miscommunication antara pemerintah kota dengan warga bantaran menjadi awal perselisiahan yang ketat antara dua pihak tersebut. Perselisihan tersebut menempatkan pemerintah kota dan warga bantaran menjadi dua pihak yang berseteru pada konflik tentang dana banjir dan program relokasi tersebut. Tanggapan atau feedback yang dihasilkan oleh warga bantaran terkait dengan semua permasalahan tersebut ialah bentuk konflik dan eskalasi konflik yang secara umum semakin meningkat.
3. Analisis Terhadap Penyebab Konflik Penyebab konflik, karena bentuk-bentuk salah pengertian dan kesalahan pemahaman terhadap suatu informasi setidaknya menunjukkan adanya kesalahan dan kegagalan proses komunikasi dan arus informasi dari satu pihak ke pihak yang lain. Hal itu, akan menghasilkan arus penyampaian infromasi yang kurang sempurna atau mungkin sukar dipahami oleh pihak yang lain. Perhatikan kenyataan bahwa kedua pihak
yang
bersitegang–warga
bantaran
dengan
pemerintah
kota–saling
menyampaikan informasi yang pada dasarnya seragam dan mirip satu dengan yang lain, yaitu berkisar antara, pendataan korban banjir, sosialisasi, bantuan banjir, dan program relokasi. Meskipun semua pihak berujar dengan beragam ungkapan yang berbeda, namun inti mereka tetap pada seputar informasi tersebut. Hal ini, sebenarnya memberikan indikasi bahwa kemungkinan besar, ada salah satu pihak yang salah memberikan penilaian dalam menanggapi suatu informasi yang diberikan. Kondisi tersebut, rupanya semakin diperparah dengan munculnya beragam asumsi negatif, dengan dasar informasi yang kurang lengkap, sehingga mengisyaratkan adanya saling ketidakpercayaan di antara kedua pihak yang commit to user berseteru. Hampir semua pendapat yang diajukan oleh informan memberikan
114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
indikasi bahwa pihak lain yang salah, sementara pihak kami yang benar. Hal itu jelas menambah kesenjangan dan jurang komunikasi yang kian lebar di antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Selain kedua penyebab umum tersebut, faktor kegagalan komunikasi dan kesalahan persepsi terhadap suatu informasi, rupanya semakin memperkeruh suasana konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Hal ini jelas berkesesuaian dengan penjelasan yang diberikan oleh Paul R. Kimmel. Kimmel menjelaskan bahwa kebanyakan kesalahan komunikasi (miscommunication) terjadi karena beragam kesulitan untuk menyamakan persepsi, atau pola pikir (mindset) antara pihak yang terlibat (Kimmel, 2009: 629). Berdiri di pijakan syang sama dengan Kimmel, Carsten K.W. De Dreu menyoroti penyebab konflik melalui sudut pandang berbeda namun dengan hasil dan implikasi yang sama. Secara terpisah De Dreu menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena munculnya motivasi-motivasi egois yang berhubungan dengan pembentukan beragam tujuan kompetitif dan kepentingan individualistis semata, terlebih lagi ada faktor kesalahan kognitif dalam menanggapi satu pesan (De Dreu, 2004: 116). Keterangan dan paparan yang serupa namun tak sama tentang penyebab konflik diberikan oleh beberapa ilmuwan komunikasi. Anne Hill dan koleganya menyatakan bahwa perbedaan identitas kelompok serta beragam anggapan yang salah serta munculnya praduga yang berbeda bukan satu-satunya sumber konflik, bahkan Baron dan koleganya (2006) mengidentifikasi ada beragam sumber konflik yang dapat ditemukan (dalam Hill, et al, 2007: 93). Senada dengan Hill dan kawankawan (2007), Peter Hartley juga mengidentifikasi penyebab konflik yang sama. Hartley menjelaskan bahwa munculnya perbedaan kelompok serta pemahaman dan user dapat menjadi penyebab konflik komunikasi yang salah terhadapcommit suatutopesan
115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Hartley, 1999:118). Keterangan para ilmuwan komunikasi itu alih-alih menentang pendapat yang diberikan Kimmel (2009) dan De Dreu (2004), pendapat mereka justru menunjukkan dukungan bahwa kesalahan interpretasi dan komunikasi menjadi penyebab utama konflik, termasuk dalam kasus perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota. Pendapat yang diberikan oleh para pakar komunikasi dan konflik di atas, tampaknya sesuai dengan kenyataan dan penyebab konflik antara warga bantaran Sungai Bengawan Solo dan pemerintah kota. Perhatikan fakta bahwa kesalahan persepsi terjadi di antara kedua pihak yang telibat perselisihan. Pemerintah kota menganggap warga yang tinggal di bantaran–terutama yang tinggal di tanah hak milik–tidak mau direlokasi, apapun yang terjadi. Sementara itu, warga bantaran menganggap pemerintah kota tidak mau membayarkan uang bantuan banjir mereka, tanpa relokasi lebih dahulu. Kenyataan tersebut, membuat munculnya beragam persepsi keliru yang pada akhirnya mendorong menuju perselisihan. Selain itu, perhatikan bahwa kepentingan masing-masing pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut menunjukkan bahwa semua pihak merasakan bahwa kepentingan merekalah yang paling benar. Dengan demikian, penjelasan De Dreu (2004) tentang peranan sisi egoistik sebagai penyebab konflik, agaknya menemui pembenarannya. Kembali ke pembahasan tentang penyebab konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota. Fakta yang tersirat jelas di lapangan menunjukkan bahwa bentuk kesalahpahaman, kegagalan komunikasi dan egoisme masing-masing pihak dapat menghasilkan suatu konflik dengan eskalasi luas apabila tidak diselesaikan dan segera dicari jalan keluar serta pemecahannya. Selain itu, kenyataan bahwa masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo, dan sebagian userberada di kelas sosial menengah ke masyarakat Semanggi, merupakancommit wargatoyang
116
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bawah hingga miskin, membuat penyebab pertentangan bermotif ekonomi tersebut menjadi semakin rumit. Dengan dasar ekonomi, Larry A. Samovar menjelaskan bahwa suatu konflik pada dasarnya bisa disebabkan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan (Samovar, 2007: 251). Penjelasan Samovar jelas berhubungan erat dengan kenyataaan tentang kepentingan tertentu yang membuat warga bantaran menginginkan agar dana bantuan banjir yang menjadi hak mereka segera dibayarkan. Sedangkan pemerintah kota memilih menunda pembayaran hingga urusan relokasi selesai sepenuhnya. Motivasi untuk mencari suatu keuntungan tertentu jelas akan menghasilkan suatu bentuk dan benturan antarkepentingan–dalam kasus ini benturan antara kepentingan pemerintah kota dengan kepentingan warga. Kepentingan yang saling berbenturan tersebut menghasilkan suatu konsekuensi penting untuk saling menjatuhkan dan menyalahkan pihak lain dengan segala macam upaya. Signe Preuschoft dan Carel P. van Schaik, yang mendasarkan pada pendapat Hand (1986), menunjukkan bahwa konflik kepentingan yang muncul di
suatu
individu–mahkluk
hidup–rupanya
terjadi
karena
adanya
bentuk
ketidakcocokan tujuan, atau mungkin juga disebabkan karena ada dua individu– pihak-pihak tertentu–yang saling menekan dan menghalangi demi tujuan yang berbeda, atau bisa juga karena terjadinya perebutan terhadap sesuatu yang hanya bisa dimiliki oleh satu individu (dalam Preuschoft dan van Schaik, 2000: 77). Penjelasan Preuschoft dan van Schaik menujukkan bahwa konflik kepentingan yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota dapat disebabkan oleh beragam aspek kepentingan dan ketidaksesuaian tujuan yang terjadi di antara dua pihak yang terlibat. commit to user
117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Teori Pelanggaran Harapan (Expectancy Violation Theory), yang dikembangkan oleh Burgoon (1978), mungkin dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena dan situasi konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota. Sederhananya, Teori Pelanggaran Harapan sebenarnya menawarkan penjelasan untuk memahami sesuatu yang terjadi pada suatu hubungan apabila muncul jarak yang berasal dari aspek pelanggaran terhadap suatu harapan yang terjadi secara interpersonal (Anderson, 2009: 41). Penjelasan sederhana dari asumsi dan penjelasan teori tersebut terfokus pada bagaimana suatu hubungan interpersonal dapat mengalami perubahan karena munculnya bentuk kekecewaan dan pelanggaran terhadap suatu harapan yang telah dibangun sebelumnya. Kemunculan kerenggangan yang terjadi pada satu pihak pada akibat munculnya kekecewaan terhadap suatu harapan tertentu dapat diartikan sebagai konflik. Dengan begitu, apabila semua fakta dan konstruk yang terdapat dalam konflik antara warga bantaran dan pemerintah kota dianalisis dengan teori tersebut, maka akan menghasilkan sesuatu yang relatif menarik. Perhatikan semua pernyataan yang diberikan oleh banyak tokoh penting dalam perselisihan tersebut. Kebanyakan pernyataan diberikan, dalam hubungannya dengan penyebab konflik, saling menyalahkan pihak lain yang terlibat. Meskipun semua informan memberikan pernyataan yang hampir sama, namun selalu ada bentuk tekanan kepada pihak lain yang secara tidak langsung terdapat dalam pernyataan tersebut. Hal itu jelas menunjukkan kemiripan dengan penjelasan yang diberikan oleh Teori Pelanggaran Harapan yang juga menjelaskan kemunculan jarak interpersonal karena munculnya bentuk-bentuk kekerasan dalam hubungan tersebut. Dengan demikian, kemunculnya bentuk-bentuk kekerasan dalam pernyataan yang diberikan, jelas akan menimbulkan commit to user
118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kerenggangan dalam hubungan interpersonal antara warga bantaran dengan pemerintah kota. Sementara itu jika konflik dan penyebabnya dilihat berdasarkan sifatsifatnya, maka akan tampak kondisi dan sifat konflik seperti yang dijelaskan oleh Adler dan Rodman. Adler dan Rodman menyebutkan dalam karyanya, bahwa konflik memiliki empat sifat khusus yang menunjukkan bahwa konflik sedang terjadi, keempat
sifat
tersebut
dibagi
menjadi,
ekspresi
perjuangan,
merasakan
ketidakcocokan tujuan, merasakan hadiah yang sangat langka, dan saling ketergantungan (Adler dan Rodman 2006: 236-237). Sekarang perhatikan kenyataan yang ada, konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota juga menujukkan sifat-sifat serupa dengan yang dikatakan Adler dan Rodman. Hal itu menujukkan bahwa hampir semua konflik memiliki sifat-sifat tertentu yang pada dasarnya mirip dengan yang telah dijelaskan oleh dua orang ilmuwan tersebut. Upaya tidak kenal lelah dari warga bantaran dalam menempuh dan menuntut dana bantuan banjir yang menjadi hak mereka tampaknya sangat cocok dengan bentuk ekspresi perjuangan yang dijelaskan Adler dan Rodman (2006). Bentuk ketidakcocokan tujuan rupanya tercermin dari semua aktivitas warga bantaran dan pemerintah kota yang saling berargumentasi dan saling menunjuk kesalahan masing-masing pihak yang terlibat. Sementara itu, semua pihak yang terlibat rupanya merasakan adanya hadiah tertentu yang akan mereka dapatkan apabila memenangkan konflik tersebut, warga bantaran akan mendapatkan dana bantuan banjir, sedangkan pemerintah kota mendapatkan keinginan mereka untuk dapat merelokasi warga bantaran sepenuhnya. Pandangan tentang sifat-sifat konflik yang dijelaskan oleh Miall dalam commit todalam user konflik yang terjadi di wilayah Del Felice tampaknya juga tercermin
119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Semanggi tersebut, meskipun tidak semua penjelasan Del Felice dapat digunakan untuk menganalisis sifat konflik tersebut. Del Felice, yang mengutip pendapat Miall (2004), bahwa konflik biasanya bersifat asimetris terutama yang berhubungan dengan kekuatan dan status. Selain itu konflik juga dapat memiliki sifat yang biasanya diperpanjang, sehingga menolak bentuk siklus atau lonceng. Sedangkan yang terakhir, bentuk-bentuk konflik yang diperpanjang biasanya mengganggu sisi kemasyarakatan secara lokal dan global (dalam Del Felice 2008: 76). Walaupun pandangan Del Felice dan Miall tidak sepenuhnya dapat diterapkan untuk memaknai konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota, tetapi pandangan mereka bahwa konflik biasanya berhubungan dengan kekuatan dan status, tampaknya masih berkaitan dengan kasus ini secara tidak langsung. Fakta dan data yang diperoleh dari lapangan pada dasarnya menjelaskan bahwa konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran dimulai karena munculnya kesalahan persepsi di dalam warga bantaran ketika menanggapi program relokasi dan penundaan pembayaran dana bantuan banjir yang dilakukan oleh pemerintah kota. Namun demikian, kesalahpahaman tersebut sebenarnya tersebar secara merata pada semua unsur komunikasi yang terlibat dalam penyebab konflik, mulai dari komunikator, pesan, media yang digunakan, komunikan, serta tanggapan yang dihasilkan. Sosialisasi yang digunakan pemerintah kota untuk menjelaskan program penerintah tersebut belum efektif untuk menjelaskan masalah program pemerintah tersebut, karena belum bisa menghasilkan suatu kesepahaman di antara warga bantaran.
commit to user
120
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Perkembangan dan Eskalasi Konflik 1. Pernyataan-Pernyataan dalam Eskalasi Konflik Penyebab konflik yang berkisar dari kesalahan persepsi dan kegagalan komunikasi, selanjutnya membawa perselisihan menuju tingkat terbuka, dengan beragam aksi komunikasi yang memiliki implikasi besar dan luas. Setelah mencoba menggunakan berbagai macam cara untuk membujuk pemerintah kota agar mau mencairkan dana bantuan banjir tersebut, warga bantaran kini menggulirkan konflik menuju eskalasi yang lebih luas dan berdampak besar. Begitu luasnya eskalasi perselisihan yang terjadi antara masyarakat bantaran dan pemerintah kota, beberapa surat kabar lokal sempat memasukkan permasalahan tersebut menjadi berita utama. Situasi tersebut jelas menunjukkan bahwa warga bantaran dan pemerintah kota samasama memegang teguh kehendak dan keyakinan mereka. Fakta tentang perluasan eskalasi konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota dimuat dalam surat kabar lokal, Joglosemar, edisi 14 Maret 2010. Begitu kuatnya eskalasi konflik tersebut, sampai-sampai warga bantaran mengajukan gugatan terhadap pemerintah kota di pengadilan negeri, Surakarta. Joglosemar menuliskan Ratusan warga penghuni area bantaran di Semanggi hingga kini nekat bertahan dan menolak tawaran relokasi Pemerintah kota Solo. Karena kenekatannya itu, mereka hingga kini tidak mendapatkan dana hibah banjir yang dijanjikan pemerintah. Namun mereka tidak menyerah, meski kalah dalam gugatan hukum di pengadilan Negeri Surakarta yang mereka ajukan sendiri. Bahkan mereka menduga ada dugaan korupsi dalam penyaluran hibah banjir itu (Joglosemar, 14 Maret 2010: 13).
Laporan yang dituliskan oleh harian umum Joglosemar tersebut menujukkan betapa kuatnya perjuangan dari warga bantaran dalam menuntut hak mereka berkaitan dengan dana bantuan banjir. Hal itu menimbulkan eskalasi yang luas, hingga commit to user melibatkan peranan pengadilan dan lembaga hukum terkait dalam kasus tersebut. 121
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Situasi dan kondisi seperti itu membuktikan bahwa eskalasi perselisihan yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah telah berkembang jauh sejak konflik tersebut digulirkan. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa apabila suatu perselisihan tersebut sudah memasuki ranah pengadilan dan melibatkan institusi hukum sebagai media perselisihan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa perselisihan tersebut mencapai klimaks dan menjadi fakta tak terbantahkan bahwa perselisihan telah bergerak dan memiliki implikasi yang lebih luas. Lebih lanjut, Joglosemar, di edisi yang sama, menjelaskan bahwa pengadilan tampaknya menjadi ranah baru dan medan perselisihan baru bagi warga bantaran dan pemerintah kota, terkait dengan kasus bantuan banjir ini. Harian Joglosemar menuliskan Setelah melalui proses yang berbelit-belit, pada 17 Februari lalu pihak Pengadilan Negeri justru memberikan keputusan yang mengecewakan dengan menolak seluruh materi gugatan ‖Alasannya gugatan kami melanggar Perda yang menyebutkan wilayah bantaran tidak boleh dihuni,‖ tambahnya (Joglosemar, 14 Maret 2010: 13).
Penjelasan yang tertulis di harian umum Joglosemar tersebut semakin menguatkan fakta bahwa pengadilan negeri, Surakarta, menjadi ranah perselisihan baru antara warga bantaran dan pemerintah kota. Selain itu, pernyataan tersebut menunjukkan keputusan pengadilan negeri justru menguatkan bahwa semua tuntutan warga akhirnya dipatahkan di pengadilan negeri tersebut. Selain beberapa pernyataan di atas, harian Joglosemar, pada edisi 18 Februari 2010, juga memberitakan, pengadilan negeri rupanya menolak semua gugatan warga bantaran terhadap pemerintah kota terkalit permasalahan relokasi dan bantuan banjir. Secara lebih jelas harian tersebut menulis dalam lead Majelis hakim yang menyidangkan gugatan class action warga Bantaran commit to usertersebut dibacakan majelis hakim saat Bengawan Solo, ditolak. Penolakan membacakan putusan di Pengadilan Negeri (PN) Surakarta, Rabu (17/2).
122
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Majelis menilai gugatan yang diajukan penggugat kabur (Joglosemar, 18 Februari 2010: 9).
Penolakan tersebut pada hakekatnya hanya terfokus pada proses hukum yang berlaku, sehingga tidak menghasilkan efek apapun terhadap institusi pengadilan tersebut. Namun demikian, penolakan gugatan tersebut berimbas besar terhadap warga bantaran yang menggulirkan perselisihan tersebut. Karena
itu,
keputusan
pengadian
negeri
tampaknya
semakin
meruncingkan permasalahan dan perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota sekaligus meluaskan eskalasi konflik tersebut. Surat kabar yang lain rupanya menjelaskan situasi serupa. Solopos, misalnya, pada edisi 18 Februari 2010 memberitakan Hakim Ketua Yuhanis SH yang membacakan putusan itu menyatakan menolak seluruh gugatan warga yang diwakili 13 orang yang tergabung dalam Solodaritas Korban Banjir Bantaran (SKoBB). ... ‖Menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh penggugat dan membebankan biaya perkara pada penggugat,‖ ungkap Yuhanis di depan persidangan (Solopos, 18 Februari 2010: I).
Kontan saja, penolakan pengadilan negeri terhadap semua materi gugatan–dalam perselisihan tersebut–membuat warga bantaran menggulirkan reaksi keras dengan cara mengajukan banding. Pada edisi yang sama pula, Solopos menuliskan Warga yang diwakili oleh kuasa hukumnya Heri Hendro Harjuno SH langsung banding atas putusan itu. Ratusan warga bantaran yang menggeruduk Pengadilan Negeri (PN) Solo langsung meluapkan kekecewaan mereka. Bahkan, mereka juga mencaci majelis hakim (Solopos, 18 Februari 2008: I).
Tulisan berita dalam harian Solopos tersebut secara tidak langung mengungkapkan bahwa warga bantaran siap untuk meningkatkan eskalasi konflik tersesbut hingga ke pengadilan tinggi di tingkat propinsi. Fakta tersebut merupakan bukti kuat bahwa commit to user perselisihan antara warga dengan pemerintah kota tampak semakin pelik.
123
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keinginan warga bantaran untuk mengajukan banding terhadap putusan pengadilan merupakan salah satu bukti bahwa perselisihan yang melibatkan suatu kelompok masyarakat rupanya berpotensi memunculkan eskalasi konflik yang semakin luas, karena melibatkan banyak institusi tertentu. Selain itu, penyataan warga untuk meningkatkan pembahasan permasalahan ini hingga ke tingkat propinsi rupanya menjadi fakta penting yang menujukkan penolakan yang kuat terhadap suatu kebijakan pemerintah. Di lain pihak, partisipasi aktif media massa lokal yang memuat perselisihan ini menjadi topik penting dalam berita harian, menujukkan bahwa konflik tersebut tidak hanya menjadi suatu isu yang terlokalisasi dalam satu wilayah semata–dalam hal ini kawasan Semanggi–tapi juga menjadi isu lokal yang dibahas secara luas di seluruh eks-karesidenan Surakarta. Semua hal itu menjadi sebuah indikasi jelas tentang perkembangan eskalasi konflik. Pada dasarnya keputusan untuk pengajuan banding tidak serta-merta muncul ketika proses pengadilan tersebut berakhir dengan penolakan putusan penggugat, tetapi muncul dari pemikiran sebagian tokoh SKoBB, jauh-jauh hari sebelum proses pengadilan tersebut di mulai. Sehingga, pada hakekatnya eskalasi konflik ini sebenarnya sudah direncanakan terlebih dahulu, meskipun tidak secara langsung. Agus Sumaryawan, ketua dan koordinator SKoBB sebenarnya sudah menyiapkan langkah-langkah yang hendak ditempuh, apabila mereka menemui kegagalan di proses pengadilan. Ketika diwawancarai pada proses pengumpulan data, ia menyatakan ... besok tanggal 17 Februari 2010, ialah pembacaan putusan kami menang atau kalah di Pengadilan Negeri Surakarta. Saat itu semua warga yang tergabung dalam SKoBB akan kami kerahkan sebanyak 500 orang untuk mendukung kami di sana. Jika kami kalah maka akan kami ajukan banding, lalu segera laporkan ke KPK, karena ada indikasi korupsi. (Wawancara pada 23 Januari 2010) commit to user
124
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penjelasan tersebut rupanya merupakan pernyataan yang menunjukkan bahwa warga bantaran rupanya siap melanjutkan perselisihan ini hingga mencapai kemenangan atau hingga dana banjir tersebut turun. Pernyataan Agus Sumaryawan rupanya terbukti setelah adanya putusan penolakan yang dibacakan oleh majelis hakim di pengadilan negeri saat itu. Situasi di ruang sidang pengadilan negeri rupanya mendukung fakta bahwa eskalasi perselisihan ini telah meluas. aktivitas observasi yang dilakukan selama pengumpulan data menunjukkan bahwa setidaknya ada lebih dari 500 orang warga, persis seperti yang dikatakan oleh Agus Sumaryawan, bantaran yang memadati ruang sidang dan halaman pengadilan negeri. Kebanyakan dari mereka yang datang ke sidang tersebut terdiri dari orang-orang paruh baya dan banyak anak muda yang ikut serta mendukung tuntutan terhadap pemerintah kota terkait dana banjir. Sementara itu, ruang sidang pengadilan negeri tersebut terasa penuh sesak dijejali banyak warga bantaran yang berharap-harap cemas menanti putusan majelis hakim. Sedangkan sebagian warga yang berada di luar ruang sidang membentangkan poster-poster berisi tuntutan kepada pemerintah kota tentang dana banjir tersebut. Selain itu ada beberapa media massa lokal dan masional yang meliput persidangan tentang dana banjir tersebut. Meskipun pada akhirnya, majelis hakim menolak semua tuntutan warga yang melakukan tuntutan. Warga bantaran, beserta semua pihak yang berada di belakang warga, rupanya telah bersiap melakukan semua upaya untuk menuntut hak mereka tentang dana bantuan tersebut, bahkan warga siap melakukan apapun untuk menuntut sesuatu yang telah menjadi hak mereka. Pengacara dari pihak warga bantaran, Heri Hendro Hajuno, sempat mengatakan to user Karena ini sudah hak, commit ini bukan sesuatu yang diminta, tapi sesuatu yang istilah Jawa-nya ‗dono‘ atau hadiah, karena kebaikan hati pemerintah
125
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadap kemanusiaan, maka saya bantu. Bukan! Tapi sudah diamanatkan undang-undang kebencanaan [pen: undang-undang tentang bencana alam dan sebagainya], jadi ini tidak bisa tidak, jadi mereka [pen: warga bantaran] akan keukeuh [pen: berjuang], sampai kapanpun. (Wawancara pada 15 Maret 2010)
Pernyataan tersebut mengandung suatu indikasi bahwa pada dasarnya warga akan menempuh segala macam cara untuk menuntut agar dana bantuan banjir segera dicairkan. Heri Hendro Harjuno juga sempat menyatakan bahwa ia sudah mengajukan gugatan banding terhadap semua masalah tersebut, ‖Yang jelas, kita akan naik banding, tanggal 24 Maret ini kita sudah mengajukan memo banding. Pernyataan bandingnya sendiri sudah saya nyatakan tanggal 2 Maret‖. (Wawancara pada 15 Maret 2010). Pernyataan sikap dan penjelasan yang diberikan Heri Hendro Harjuno pada dasarnya persis seperti yang pernah dinyatakan oleh media massa, tentang bagaimana sikap yang akan ditempuh apabila hasil putusan pengadilan tersebut ternyata memenangkan pemerintah kota dan menekuk warga bantaran. Keadaan tersebut
jelas
memberikan
setidaknya
dua
kemungkinan
besar.
Pertama,
permasalahan ini akan berlarut-larut sampai pemerintah kota membayarkan semua uang yang menjadi hak warga. Kedua, perselisihan tersebut akan terus bergulir menuju tingkat eskalasi yang lebih tinggi, hingga pada akhirnya lebih banyak melibatkan beragam kepentingan lain. Kondisi kedua tampaknya akan terus bergerak menuju ke satu titik yang menyatakan bahwa warga bantaran benar-benar akan mempertahankan wilayah tersebut hingga batas kemampuan terakhir. Harian Joglosemar pada edisi 14 Maret 2010 rupanya sempat menuliskan berita yang pada intinya menyatakan bahwa warga bantaran akan bersikap tegas terhadap semua upaya yang berusaha menggusur mereka dari tanah tempat tinggal commit to user mereka. Secara umum Joglosemar menuliskan
126
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Namun tidak bagi warga bantaran yang tetap nekat bertahan. Bagi warga bantaran, tidak pernah mengenal wacana relokasi, karena sejak awal hanya dijanjikan bantuan untuk rekonstruksi bangunan rumah yang rusak (Joglosemar, 14 Maret 2010: 13). Selanjutnya, harian tersebut menuliskan bahwa Dua sikap yang berbeda ini dipertaruhkan di meja hijau. Sayang, warga harus menerima kenyataan pahit. Dalam 21 kali persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta, kekalahan diterima warga pada vonis 17 Februari lalu (Joglosemar, 14 Maret 2010: 13).
Pernyataan yang dituliskan oleh harian Joglosemar tersebut setidaknya mengandung pengertian bahwa warga akan tetap melakukan beragam upaya yang bisa dilakukan untuk tetap bertahan di bantaran, bahkan jika mereka kalah di semua persidangan yang telah dilakukan. Hal itu menujukkan bahwa eskalasi perselisihan tersebut pada dasarnya akan terus meningkat, selama pemerintah kota belum mencairkan bantuan banjir atau membatalkan rencana relokasi warga bantaran. Kutipan
berita
dari
harian
Joglosemar
tersebut
pada
dasarnya
membenarkan pernyataan dan penjelasan yang diberikan oleh Heri Hendro Harjuno yang menyatakan bahwa warga bantaran akan terus mempertahankan hak mereka apapun yang terjadi. Semua fakta yang berada di lapangan tampaknya membuktikan bahwa eskalasi perselisihan ini sebenarnya berpotensi untuk menjadi semakin luas. Hal itu beresiko membuat konflik yang terjadi memiliki eskalasi yang semakin meningkat. Warga bantaran yang lain juga menyatakan kemungkinan mereka akan melakukan semua tindakan yang dianggap perlu untuk menuntut dan meminta hak yang seharusnya mereka terima sekitar tiga tahun silam. Hal itu pada hakekatnya menjadi salah satu faktor pendorong perluasan eskalasi konflik yang sedang terjadi. Warga bantaran bernama Maryono menyatakan commit to user
127
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Saya yakin apabila pihak pemerintah kota kalah, pasti akan mengajukan banding, kami juga akan mengajukan banding apabila kami kalah. Pihak, warga bantaran sendiri kalau kalah juga akan mengajukan banding, bahkan sampai ketingkat internasional [pen: kemungkinan besar maksudanya ialah tingkat nasional]. Sebab bagi warga, soal bantuan itu sudah tidak akan main-main lagi. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Selain itu, ia juga menambahkan Tetapi kenyataanya belum ada penyelesaian, intinya masing-masing berusaha mempertahankan apa yang sudah mereka miliki. Karena warga merasa tidak ada penyelesaian secara baik-baik untuk menangani masalah ini, maka kami mengajukan masalah ini ke pengadilan. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Secara sederhana pernyataan Maryono menunjukkan bahwa warga siap melakukan apapun juga demi mendapatkan bantuan banjir tersebut, bahkan jika perlu melakukan beragam cara, termasuk meningkatkan eskalasi konflik melalui pengadilan dengan cara melakukan penuntutan. Garis besarnya, warga bantaran melakukan beragam tindakan yang secara konseptual merupakan tindakan yang meningkatkan perluasan konflik tersebut apabila belum mendapatkan hasil positif dan tanggapan dari pemerintah. Dengan begitu perluasan konflik tersebut kemungkinan besar bisa melakukan beragam cara dengan harapan mendapatkan perhatian dari pemerintah kota, termasuk membawa permasalahan ini ke tingkat nasional. Berita yang diangkat oleh beberapa harian lokal tersebut rupanya menujukkan semacam penegasan dari pernyataan warga sendiri. Hal ini jelas akan memberikan dampak tertentu bagi warga dan pemerintah kota apabila tidak segera diselesaikan. Namun demikian, tanggapan para tokoh yang terlibat tidak selalu demikian. Bagi para tokoh yang berada di luar bantaran–bukan warga bantaran–dan tokoh yang berada di belakang relokasi justru memberikan pernyataan sebaliknya, bahwa aksi yang dilakukan warga bantaran tidak lebih dari commit to user aksi biasa.
128
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wartawan harian Joglosemar, Abdul Alim, menganggap eskalasi perselisihan tersebut kemungkinan besar tidak akan berdampak banyak bagi pemerintah kota. Bagi Alim, perselisihan tersebut justru akan berdampak pada warga bantaran sendiri. Wartawan harian Joglosemar itu menyatakan Lagi pula semakin lama mereka [pen: warga bantaran anggota SKoBB] bertindak pasti akan semakin capek, sekarang pergerakan SKoBB tidak seperti pada awal masa terbentuknya dulu. Sekarang aktivitas yang mereka lakukan cenderung minim. (Wawancara pada 21 Maret 2010)
Indikasi yang tersirat dari jawaban yang diberikan Alim seakan menegaskan bahwa upaya yang dilakukan masyarakat bantaran untuk meningkatkan eskalasi konflik, dengan cara menutut pemerintah kota, justru merugikan masyarakat sendiri, karena masyarakat jelas membuang lebih banyak biaya ketimbang yang akan didapatkan. Ia juga menyatakan Sepertinya pemerintah kota menganggap bahwa semua permasalahan tersebut hanyalah sebagian kecil dari hambatan dari semua program relokasi yang sudah berhasil. Sebab semua program pasti ada hambatannya, sehingga, mungkin, bagi pemerintah kota semua permasalahan ini hanya hambatan kecil setelah semua program relokasi berhasil. (Wawancara pada 21 Maret 2010)
Hal itu jelas bertentangan dengan anggapan warga bantaran bahwa perluasan dan semua aktivitas untuk menggulirkan dan meningkatkan eskalasi perselisihan itu bisa mewujudkan harapan mereka untuk mendapatkan hasil positif . Namun demikian pemerintah kota pada dasarnya memberikan perhatian kepada semua aksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menggulirkan perselisihan tersebut, walaupun perhatian tersebut tidak sebesar perhatian mereka terhadap warga yang telah direlokasi. Hal itu, tampaknya menjadi peredam eskalasi perselisihan tersebut, meskipun tidak menghentikannya. Suparno HS, sebagai wakil dari commit user wong itu semua hak mereka, ya pemerintah kota, menyatakan ‖Ya tidak to masalah,
129
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
namanya alam demokrasi, ya pasti ada yang setuju, ada pula yang menentang. Yang penting nanti tahun 2010 akan selesai, kan begitu toh.‖ (Wawancara pada 14 April 2010). Pernyataan yang diberikan Suparno HS menunjukkan bahwa pemerintah kota memberikan kebebasan bagi warga bantaran yang ingin melakukan kontra terhadap kebijakan pemerintah tentang relokasi dan penundaan dana banjir. Selain itu, paparan itu menunjukkan bahwa pemerintah kota juga memberikan perhatian yang minim terhadap munculnya perselisihan tersebut, sama seperti yang dikatakan oleh Alim. Lebih lanjut, Suparno HS berusaha menyampaikan perhatian pemerintah kota terhadap warga bantaran yang melakukan perselisihan tersebut, meskipun hal itu tidak secara langsung tersirat dalam pernyataannya. Ketua Pokja tersebut menyampaikan Apa memang ganti rugi toh... yang 8,5 juta itu kan uang banjir. Bagi warga yang tinggal di luar bantaran uang 8,5 juta itu buatlah untuk membeli memperbaiki rumah, kalau yang berada di bantaran gunakan untuk beli tanah, lalu gunakan juga untuk buatlah rumah. Untuk warga yang tinggal di tanah hak milik nanti akan dipertimbangkan berapa harga tanah per meternya. Saya yakin semua hal itu tidak akan merugikan warga. Kalau mereka melawan dengan keras, kita harus lunak, semua itu harus pakai strategi, ya kan. (Wawancara pada 14 April 2010)
Dengan demikian, pemerintah kota pada dasarnya tetap menjalankan program relokasi warga, sekaligus berusaha mencari jalan keluar yang baik untuk menghambat
eskalasi
konflik
tersebut.
Jadi
sebenarnya
pemerintah
kota
memperhatikan keinginan masyarakat bantaran yang enggan direlokasi, meskipun seakan-akan enggan memperhatikan. Dari sini sebenarnya tampak bahwa pemerintah kota sebenarnya berniat baik terhadap warga bantaran. Sementara itu, tokoh penting di DRPD Surakarta, Sukasno SH, memberikan penjelasan bahwa pemerintah kota memberikan perhatian yang relatif commit to user lebih sedikit terhadap warga yang menolak relokasi, karena menganggap bahwa
130
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemerintah kota sudah melakukan hal yang dianggap perlu untuk meredam eskalasi perselisihan tersebut. Meskipun hal itu tidak mengurangi niat baik pemerintah kota untuk menyelesikan konfik tersebut. Secara pribadi, Sukasno SH mengatakan Pemerintah kota bersikap pasif, artinya yang lalu biarlah berlalu, sebab pemerintah kota sudah mengambil semua langkah yang diperlukan, memberikan pemahaman ya sudah, memberikan sosialisasi, tapi pada akhirnya dikembalikan ke warga. Lalu jika mereka menggugat pemerintah kota ya silahkan saja. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Pernyataan yang diberikan Sukasno SH menampakkan fakta dan bukti baru bahwa pemerintah kota lebih banyak memberikan kebebasan kepada warga bantaran untuk melakukan aksi protes dan menggulirkan perselisihan secara bebas. Meskipun begitu, pemerintah kota juga telah melakukan tindakan-tindakan baik, karena telah memberikan pemahaman dan sosialisasi. Meskipun ada beberapa pihak yang menilai sosialisasi tesrebut belum menjangkau sasaran. Sebagai wakil dari pemerintah kota, Widdi Srihanto juga memberikan pernyataan yang mirip dengan yang diberikan oleh Sukasno SH. Widdi Srihanto secara umum menyatakan bahwa pemerintah kota secara sederhana bersikap pasif ketika menghadapi tekanan warga bantaran yang melakukan aksi. Ia menjelaskan bahwa Kalau menghadapi mereka semua ya tinggal terserah mereka saja, wong kita sudah transparan mengurus mereka semua itu. Selama masih ada komunikasi maka semua masalah seperti itu pasti dapat diselesaikan. Kami juga harus mencari konsep yang tepat untuk mengatasi warga yang tinggal di tanah hak milik. (Wawancara pada 25 Mei 2010)
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kota lebih banyak bersikap pasif ketika menghadapi eskalasi konflik yang sejatinya menekan pemerintah kota. Karena pemerintah kota beranggapan telah memberikan semua hal yang dirasa user perlu untuk tindakan sosialisasi commit tentang to relokasi.
131
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Semua pendapat dan pernyataan yang diberikan oleh semua tokoh terkait dan laporan yang ditulis oleh media massa menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan perkembangan dan eskalasi konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota yang secara sederhana rupanya dipengaruhi oleh beberapa hal. Permasalahan tentang dana bantuan banjir yang tidak kunjung selesai atau sederhananya tidak kunjung dibayarkan oleh pemerintah kota membuat masyarakat mulai mendesak semua pihak terkait untuk segera mencairkan dana yang menjadi hak mereka. Akan tetapi, hampir semua pihak yang secara teknis bertanggungjawab terhadap dana bentuan banjir tersebut seakan acuh-tak-acuh terhadap tuntutan tersebut. Ketika warga bantaran merasa semua upaya legal yang telah diupayakan menemui jalan buntu, warga bantaran mulai menggalang kekuatan untuk memulai melakukan aksi-aksi penuntutan terhadap pemerintah kota melalui beragam cara, termasuk melalui aksi demonstrasi dan tuntutan perdata di pengadilan negeri. Tuntutan perdata dan aksi protes terhadap pemerintah kota menimbulkan efek serius terhadap permasalahan ini. Persoalan yang pada mulanya hanya menjadi isu lokal–hanya terkait dengan warga bantaran semata–kini menjadi isu di sekitar Karesidenan Surakarta. Inilah fakta yang menunjukkan bahwa persoalan dana banjir telah meluas menjadi permasalahan yang dibahas di pengadilan yang mungkin akan berlanjut ke tingkat nasional. Hal itu jelas menjadi indikator paling jelas untuk menujukkan bahwa eskalasi perselisihan tersebut telah meluas dengan implikasi yang cukup besar, meskipun tidak terlalu signifikan. Liputan-liputan yang dilakukan oleh beberapa media massa lokal tentang permasalahan tersebut semakin menguatkan dan menujukkan betapa luasnya pengaruh eskalasi pertentangan tersebut. Konflik berlatarbelakang ekonomi ini rupanya tidak hanya mencakup ranah ekonomi semata, commit to user
132
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tapi juga mulai merambah ke ranah hukum, yang dibuktikan melalui lebih dari dua puluh satu kali persidangan. Persoalan ini rupanya tidak hanya berhenti di ranah hukum semata, tapi juga makin merembet ke ranah politik kota. Perhatikan kutipan ulang dari harian Radar Solo, yang menunjukkan betapa permasalahan ini sudah memiliki eskalasi yang semakin luas. Harian Radar Solo menuliskan ... pasangan Jokowi-Rudy secara tak terduga terjungkal di satu tempat. Pasangan Jodi kalah telak di TPS 21, Kelurahan Sangkrah, kecamatan Pasar Kliwon. Kekalahan itu diduga kuat lantaran persoalan bantuan banjir yang tak kunjung kelar di lokasi tersebut (Radar Solo, 27 April 2010).
Berita tersebut tidak hanya menujukkan bahwa permasalahan tersebut telah sampai ke ranah politik, tapi juga mempengaruhi perolehan suara dalam pemilihan kepada daerah. Karena persoalan ini secara tidak langsung melibatkan walikota dan wakil walikota Solo, maka perolehan suaran pasangan walikota-wakil walikota di TPS 21, yang notabene berada di wilayah bantaran sangat terpengaruh, bahkan jauh dibawah target. Hal itu, menurut harian Radar Solo, masih berhubungan dengan permasalahan tentang dana banjir yang tak kunjung dibayarkan. Fakta dan kenyataan bahwa adanya perkembangan luas dan pengaruh perselisihan dana banjir dari tingkat awal yang hanya berkembang di sekitar bantaran lalu berkembang hingga ke tingkat hukum dan politik tampaknya menjadi bukti bahwa perselisihan tersebut memiliki eskalasi yang semakin luas. Hal itu menjadikan permasalahan dana banjir yang menjadi inti permasalahan ini tidak hanya menjadi persoalan dan isu warga bantaran semata, tapi juga telah menjadi isu warga di seluruh eks-karesidenan Surakarta. commit to user
133
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Pola dan Proses Komunikasi dalam Eskalasi Konflik Komunikasi menjadi sesuatu yang dapat dipastikan berpengaruh terhadap semua aspek dalam eskalasi konflik antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Komunikasi dalam esklasi konflik rupanya membawa pesan penting bahwa warga bantaran yang memulai konflik terus mengupayakan perjuangan tentang dana bantuan banjir yang dijanjikan pemerintah. Hal itu membuat komunikasi yang berlaku pada eskalasi konflik tampaknya agak berbeda dengan yang terjadi pada faktor penyebab konflik. Hal itu membuat pola komunikasi yang terjadi pada eskalasi konflik mendudukkan warga bantaran sebagai komunikator sedangkan pemerintah kota sebagai komunikan. Proses komunikasi dalam eskalasi konflik, yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran, menunjukkan situasi yang bertolak belakang dengan proses komunikasi yang terjadi pada penyebab konflik. Dengan demikian ada perubahan mendasar pada komunikator, pesan, komunikan, dan tanggapan. Pada eskalasi konflik, terkait dana bantuan banjir, warga bantaran bertindak sebagai komunikator. Sebagai komunikator, warga bantaran menyandikan sejumlah pesan tertentu yang dialamatkan kepada pemerintah kota. Pesan tersebut berfungsi menekan pemerintah kota untuk segera mencairkan dana bantuan banjir tersebut. Dengan demikian, aksi demonstrasi dan gugatan di pengadilan kepada pemerintah kota, DPRD, dan semua pihak yang berada di belakang dana bantuan banjir tersebut bisa dikategorikan sebagai suatu pesan tertentu yang disandikan oleh warga bantaran. Dalam situasi tersebut, tuntutan warga bantaran melalui media berupa jalur hukum dan demonstrasi, tampaknya juga dapat dipahami sebagai suatu pesan dengan tensi keras yang diberikan kepada pemerintah kota, dengan harapan agar pemerintah kota commit to user
134
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
segera menurunkan dana bantuan banjir dan membatalkan relokasi bagi warga bantaran. Di samping itu, forum masyarakat bantaran bernama SKoBB tampaknya lebih berfungsi sebagai suatu kelompok yang mendorong dan menguatkan pesan yang diberikan oleh warga bantaran kepada pemerintah kota. Hal itu menujukkan bahwa aspek komunikasi dan keputusan yang diambil suatu kelompok dengan tujuan menekan kelompok lain mungkin tidak dapat diabaikan begitu saja. Penguatan yang dilakukan oleh SKoBB dapat meningkatkan eskalasi konflik dan mungkin juga ketegangan pada pihak tertentu yang pada akhirnya merenggangkan hubungan di antara semua pihak yang terlibat, dalam kasus ini ialah warga bantaran dan pemerintah kota. Dalam situasi eskalasi konflik, pemerintah kota rupanya menjadi komunikan yang menguraikan sejumlah pesan yang diberikan oleh warga bantaran terkait dengan dana bantuan banjir dan relokasi. Semua pesan yang disampaikan oleh warga bantaran kepada pemerintah kota sebenarnya dapat dipahami sebagai tekanan keras yang sebenranya dapat membuat pemerintah kota mengambil tindakan tertentu untuk menanggapi semua pesan tersebut. Namun demikian, tanggapan atau feedback yang diberikan oleh pemerintah kota ialah sikap tenang dengan cara memberikan tanggapan yang minim, atau setidaknya pemerintah kota berusaha menyelesaikan permasalahan ini secara diam-diam dan berada di belakang layar, sehingga warga bantaran tidak mengetahui bahwa pemerintah kota sebenarnya berusaha menemukan solusi dari masalah tersebut. Komunikator, pesan, komunikan, dan tanggapan sebenarnya telah menujukkan bahwa proses komunikasi memang benar-benar terjadi dalam proses perselisihan antara pemerintah kota dan warga commit to user bantaran terkait dana bantuan banjir tersebut.
135
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pola komunikasi tersebut membuat proses komunikasi yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota, menjadi suatu proses yang menujukkan bahwa konflik yang terjadi di antara dua pihak tersebut berada dalam titik puncak. Peranan pengadilan sebagai lembaga hukum yang digunakan oleh warga bantaran untuk meningkatkan eskalasi konflik, mendorong penguatan eskalasi konflik yang sedang terjadi. Dengan demikian, proses komunikasi yang terjadi antara dua pihak yang saling berseteru pada dasarnya memiliki tingkat kekerasan yang relatif tinggi.
3. Analisis Tentang Eskalasi Konflik Eskalasi perselisihan tersebut tampaknya masih berhubungan dengan permasalahan dan faktor pencetus perselisihan tersebut. Dengan demikian, maka eskalasi suatu konflik berkaitan erat dengan sifat-sifat konflik dan mungkin juga tipe dari konflik tersebut. Pada subbab sebelumnya telah dijelaskan sebagian dari tipe konflik yang terjadi serta sifat-sifat konflik tersebut, namun tidak begitu lengkap. Karena faktor eskalasi konflik masih berhubungan dengan sifat-sifat konflik dan tipe konflik, maka dalam subbab ini sifat dan tipe konflik akan digunakan untuk menjelaskan eskalasi konflik tersebut beserta semua implikasi yang terkait di dalamnya. Paparan tentang sifat konflik paling sederhana diberikan oleh pakar komunikasi bernama Ronald B. Adler dan George Rodman (2006). Penjelasan Adler dan koleganya, Rodman, secara sederhana menunjukkan bahwa setiap perselisihan memiliki sebuah sifat-sifat khusus yang mewarnai, menandai dan menjadi suatu motivasi bagi semua pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut. Bagi dua orang ilmuwan tersebut, konflik dianggap seperti sebuah materi yang memiliki sifat dan commit to user perlaku tertentu dalam proses interaksinya. Hal itu membuat keduanya merumuskan
136
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahwa sifat konflik terdiri dari ekspresi perjuangan, merasakan ketidakcocokan tujuan, merasakan hadiah yang sangat langka, dan saling ketergantungan (Adler dan Rodman 2006: 236-237). Keempat sifat tersebut kemungkinan besar berhubungan erat dengan bentuk eskalasi konflik yang terjadi di semua ranah dan semua bidang, dalam kasus ini perselisihan antara warga bantaran dengan pemerintah kota. Apabila kita masukkan semua fakta yang berhubungan dengan eskalasi konflik yang telah dijelaskan pada subbab ini, maka kita akan menemukan kecocokan dengan sifat-sifat yang telah dijelaskan oleh Adler dan Rodman (2006). Sifat paling awal dari konflik dikenal sebagai ekspresi perjuangan. Perhatikan semua fakta yang terkait dengan hal itu. Pernyataan Agus Sumaryawan, sebagai warga bantaran, yang mengatakan bahwa warga bantaran akan berjuang melalui pengadilan serta mengajukan banding apabila kalah di ranah pengadilan negeri, menunjukkan bahwa warga bantaran mengerahkan semua upaya serius demi mendapatkan hak mereka. Kenyataan tersebut menjadi fakta penting tentang perjuangan yang dilakukan oleh bantaran. Hal itu dikuatkan oleh penjelasan Heri Hendro Harjuno yang mengatakan bahwa warga bantaran akan terus teguh berjuang demi mendapatkan hak mereka. Perjuangan yang dilakukan oleh warga bantaran seperti Agus Sumaryawan jelas menjadi indikasi bahwa eskalasi perselisihan tersebut telah meluas. Ekspresi perjuangan seperti itu mendapatkan perhatian khusus dari pakar konflik dan hukum dalam sebuah jurnal ilmiah. Mark S. Simms, mengutip pendapat dari Silver dan Baker (1998), sempat menulis dalam jurnal ilmiahnya bahwa perjuangan hukum yang dilakukan suatu kelompok masyarakat dapat membentuk commit to suatu user bentuk gugatan yang berasal dari suatu aksi massa sehingga membutuhkan
137
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kelompok tersebut (Simms, 2009: 265). Penjelasan yang hampir mirip diutarakan oleh William H. Baker. Ia menyatakan bahwa aksi kelas atau aksi massa biasanya menyediakan pembuktian hak asasi dalam suatu situasi yang terlalu kecil untuk membawa kepentingan ekonomi masing-masing pihak yang membutuhkan pernyataan berdasarkan individu (Baker, 2009: 336). Pendapat yang diajukan oleh para pakar konflik di atas setidaknya menjelaskan bahwa aksi perjuangan yang dilakukan warga bantaran yang mulai merambah ke jalur hukum membutuhkan bentuk gugatan penuh di pengadilan demi tujuan utama yaitu hak individu mereka untuk mendapatkan keuntungan. Secara sederhana warga bantaran melakukan aksi perjuangan dan meluaskan eskalasi perselisihan tersebut demi satu tujuan yang secara umum merupakan hak mendapatkan keuntungan. Seperti yang dijelaskan oleh Simms (2009) dan Baker (2009), warga bantaran melakukan semua tuntutan di jalur hukum sebenarnya juga untuk membuktikan bahwa mereka memiliki hak penuh terhadap sesuatu yang sudah dijanjikan. Dengan begitu semua aksi tersebut jelas menjadi penegasan paling tepat terhadap sifat konflik, yaitu ekspresi perjuangan. Sifat konflik kedua yang dapat dilihat dalam semua fakta dan kenyataan yang terjadi dalam eskalasi konflik antara warga bantaran dan pemerintah kota ialah merasakan ketidakcocokan tujuan. Kenyataan yang ditunjukkan oleh semua pihak dalam perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota menujukkan adanya pertentangan dan tujuan yang bertentangan. Semua fakta yang ada tampaknya menunjukkan hal itu. Warga bantaran, yang diwakili oleh beberapa orang termasuk Agus Sumaryawan, yang meluaskan eskalasi konflik dengan satu tujuan yaitu mendapatkan perhatian pemerintah kota dalam bentuk uang bantuan banjir sebesar commit to user 8,5 juta. Tujuan yang digulirkan warga jelas bertentangan dengan maksud
138
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemerintah kota yang menginginkan agar warga bantaran segera direlokasi. Di samping itu pemerintah kota rupanya menunda pembayaran uang bantuan banjir tersebut karena harus menyelesaikan beberapa perubahan dan relokasi warga bantaran yang tinggal di tanah negara sebelum mengurus warga yang tinggal di tanah hak milik. Perbedaan kepentingan dan tujuan antara warga bantaran dan pemerintah kota rupanya diwujudkan dalam bentuk tuntutan secara terbuka melalui jalur hukum. Tindakan tersebut menunjukkan bahwa pada hakekatnya warga bantaran mengubah eskalasi perselisihan mereka dari aksi fisik, demonstrasi dan protes, menuju jalur hukum. Douglas Yarn menjelaskan bahwa hukum pada dasarnya tidak langsung mengacu pada konflik kepentingan, melainkan hanya menekankan pada satu pihak untuk tetap berpegang pada norma agar tidak bertindak saling menentang secara berlebihan (Yarn, 2000: 72). Pandangan Yarn pada dasarnya tidak langsung menjelaskan tentang fakta bahwa warga bantaran dan pemerintah kota saling bertentangan dalam tujuannya, tapi menjelaskan bahwa upaya warga bantaran menggunakan jalur hukum pada dasarnya mampu mencegah aksi warga bantaran yang jauh lebih buruk atau lebih anarkis. Pandangan yang berbeda diberikan Marina Cords dan Filipo Aureli. Bagi Cords dan Aureli, ketidakcocokan tujuan tersebut tergantung bagaimana pihak-pihak yang terlibat menyikapinya, beberapa tujuan yang tidak cocok bagi satu pihak justru berarti cocok bagi pihak yang lain (Cords dan Aureli, 2000: 182). Apabila kita hubungkan pendapat Yarn (2000) serta pandangan Cords dan Aureli (2000) dengan semua fakta tentang eskalasi konflik yang berhubungan dengan ketidakcocokan tujuan, maka dapat dikatakan bahwa eskalasi perselisihan yang ditingkatkan oleh commit to useruntuk menghindari perselisihan yang warga bantaran melalui jalur hukum berfungsi
139
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lebih keras, karena pada hakekatnya pemerintah kota hanya memiliki ketidakcocokan tujuan dengan warga bantaran yang menentang relokasi, dan hanya mau menerima bantuan banjir saja. Semua fakta dalam eskalasi konflik antara warga bantaran dengan pemerintah kota yang digulirkan di pengadilan serta keinginan warga untuk menempuh jalur hukum pada dasarnya mendukung pendapat yang diberikan oleh Douglas Yarn (2000). Hal itu jelas menjadi semacam bukti otentik bahwa warga memang memilih jalur hukum karena menilai jalur tersebut lebih baik ketimbang jalur fisik dan demonstrasi yang kebanyakan tidak menghasilkan apa-apa. Sedangkan aksi pemerintah kota yang tetap memilih merelokasi warga atau setidaknya berusaha meredam eskalasi konflik tersebut agaknya dapat dijelaskan oleh pandangan Cords dan Aureli (2000) yang mengatakan bahwa ketidakcocokan itu tergantung bagaimana pihak tersebut menilai hubungannya. Sehingga semua fakta dan data yang ada di lapangan menjelaskan sifat konflik, dalam eskalasi konflik antara warga bantaran dan pemerintah kota, yang diterangkan oleh Adler dan Rodman (2006), yaitu merasakan ketidakcocokan tujuan. Bagian selanjutnya dari sifat konflik yang dapat ditemukan dalam eskalasi konflik antara warga bantaran dan pemerintah kota dikenal sebagai mendapatkan hadiah yang langka. Adler dan Rodman (2006) menjelaskan hal itu sebagai bentuk ketiga dari sifat-sifat konflik. Semua hal yang diberikan dari lapangan tentang eskalasi perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota secara implicit menujukkan bahwa semua pihak yang terlibat pasti mendapatkan sesuatu ‗hadiah‘– entah dalam bentuk materi atau pengakuan serta legitimasi–apabila mereka memenangkan perselisihan tersebut. Heri Hendro Harjuno, sebagai pengacara yang commit to user warga bantaran akan tetap teguh mewakili warga bantaran, mengatakan bahwa
140
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berjuang hingga hak tersebut didapatkan. Hal itu menunjukkan dua hal. Pertama eskalasi konflik yang ada menjadi semakin rumit. Kedua, pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa warga akan mendapatkan ‗hadiah‘ mereka, yaitu pencairan dana bantuan banjir, apabila memenangkan perselisihan tersebut. Semua keterangan tersebut pada dasarnya mengacu pada sesuatu aspek yang berkaitan sifat konflik yang dijelaskan Adler dan Rodman (2006) tentang ‗hadiah‘ yang akan didapatkan salah satu pihak dalam suatu perselisihan. Dengan demikian, hal itu mendukung keterangan yang diberikan oleh Marilynn B. Brewer. Ia menjelaskan
bahwa
pada
hakekatnya
konflik
kepentingan
yang
terjadi
antarkelompok berkaitan erat dengan suatu kompetisi untuk memperebutkan materi tersebut. Sehingga, apabila ada suatu sumberdaya atau materi yang sedang diperebutkan, maka dapat dipastikan kedua pihak tersebut akan berada dalam ketergantungan negatif atau dikenal sebagai konflik (Brewer, 2001: 28). Pengakuan ilmiah tersebut secara sederhana menegaskan semua aktivitas dan perilaku semua pihak yang terlibat dana konflik tersebut. Sikap antara dua pihak yang bersengketa, warga bantaran dan pemerintah kota, yang saling masih berhubungan dengan ‗hadiah‘ berupa pengakuan atau legitimasi, jelas dapat memasukkan kedua pihak tersebut ke dalam perselisihan kepentingan. Jika perselisihan yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bentaran dianalisis menggunakan sifat konflik yang dijelaskan Adler dan Rodman (2006), dan keterangan dari Brewer (2001), maka akan dihasilkan suatu pandangan baru terhadap eskalasi perselisihan tersebut. Eskalasi perselisihan yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota pada dasarnya terjadi karena masing-masing pihak berusaha mendapatkan ‗hadiah‘, yang bagi Brewer (2001) ‗hadiah‘ semacam committertentu. to user Dalam kasus perselisihan itu, materi itu bisa berupa materi atau sumberdaya
141
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atau sumber daya tersebut diwujudkan dalam bentuk uang, pengakuan dan legitimasi, atau kepatuhan warga bantaran untuk direlokasi. Hal itu menguatkan pernyataan bahwa konflik biasanya memperebutkan hadiah yang langka. Sifat konflik berupa saling ketergantungan dituntukkan oleh pihak-pihak yang saling berselisih secara tidak langsung. Warga bantaran dan pemerintah kota rupanya menunjukkan sikap tersebut. Teori Ketergantungan (Interdependence Theory) yang dikembangkan oleh Thibaut dan Kelley (1959) tampaknya bisa digunakan untuk menganalisis situasi eskalasi konflik tersebut. Secara umum Teori Ketergantungan menjelaskan bahwa individu bisa membuat penilaian terhadap suatu hubungan dengan individu lain berdasarkan dua kondisi tertentu. Pertama, ada derajat kepercayaan terentu yang seharusnya diberikan kepada yang berhak, dari seorang teman atau mitra dekatnya. Kedua, derajat kepercayaan yang diberikan oleh teman atau mitra dekat harus menghasilkan sesuatu yang melampaui semua hal yang dapat diberikan orang lain (Simpson, Fletcher, dan Campbell, 2003: 87). Jika kita masukkan semua fakta tentang konflik dan eskalasinya ke dalam Teori Ketergantungan maka akan dihasilkan suatu bentuk keterikatan antara semua fakta atau konstruk yang ada. Secara gampang, perselisihan tersebut dimulai ketika pemerintah kota memutuskan untuk menunda membayarkan uang dana bantuan banjir yang menjadi hak warga bantaran. Sementara itu, warga bantaran mulai menuntut agar uang tersebut secapat mungkin segera dicairkan. Perhatikan fakta bahwa warga bantaran pada
dasarnya
memberikan
kepercayaan
kepada
pemerintah
kota
untuk
membayarkan semua uang bantuan banjir yang menjadi hak mereka. Hal itu tidak menunjukkan adanya bentuk kondisi pertama. Padahal warga bantaran berharap user agar muncul kepercayaan kepada pemerintah kota bisa mencairkancommit uang to tersebut
142
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemerintah kota. Karena kondisi pertama yang dijelaskan oleh Teori Ketergantungan tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah kota dan warga bantaran, maka muncul ketegangan dan perselisihan kelompok dengan sifat-sifat interpersonal yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota. Dengan demikian, meskipun Teori Ketergantungan bukan termasuk teori konflik, namun teori tersebut setidaknya mampu menjelaskan bentuk-bentuk hubungan semua pihak dalam eskalasi konflik. Selain itu, eskalasi konflik ini tidak hanya dapat dinilai berdasarkan sifatnya semata, tapi juga dapat dilihat dan diklasifikasikan berdasarkan tipe konfliknya. Semua fakta dan data tentang konflik yang terjadi di kawasan semanggi rupanya dapat dikategorikan ke dalam konflik kepentingan, seperti yang dijelaskan oleh Martin dan Nakayama. Ia menjelaskan bahwa konflik kepentingan merupakan bentuk konflik yang menggambarkan situasi orang yang sedang mengejar tujuantujuan yang sama dengan cara-cara yang sangat bertentangan, sehingga memunculkan ketegangan (Martin dan Nakayama, 2003 :381). Konflik seperti itu rupanya menujukkan bahwa semua pihak yang terlibat di dalamnya memiliki kepentingan berbeda yang hendak diselesaikan, namun pihak lain berusaha menghalangi kepentingan tersebut dengan cara menggulirkan kepentingan mereka sendiri. Situasi dan kondisi tersebut membuat pemerintah kota dan warga bantaran merasa diri merekalah yang paling benar di antara semua pihak yang terlibat. Selain itu, konflik tersebut juga dapat dimasukkan ke kategori konflik ego. Konflik ego atau ego conflict sebenarnya terjadi apabila individu menjadi sangat defensif karena mereka beranggapan bahwa ada seseorang yang menyerang secara pribadi. Keadaan seperti ini berkaitan langsung dengan emosi dan rasa pertahanan dalam diri individu karena bentuk pertahanan orang lain (Beebe dan Masterson, commit to user 2003: 260-264). Perhatikan lebih dalam penjelasan yang diberikan Martin dan
143
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nakayama (2003) serta Beebe dan Masterson (2003). Paparan para pakar itu menunjukkan bahwa kepentingan yang menjadi dasar konflik tentang dana bantuan banjir tersebut masih berhubungan dengan ego masing-masing kelompok. Kedua pihak yang saling terlibat dalam pertentangan tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa kepentingan kelompok mereka-lah yang paling benar. Kondisi dan situasi semacam itu hanya dapat terjadi apabila ada faktor ego yang mulai saling bertarung dan saling beradu kepentingan. Fakta dan pernyataan para tokoh yang telibat dalam perselisihan tersebut, secara tidak langsung, melibatkan ego masingmasing. Tipe konflik ego semacam ini rupanya menegaskan pernyataan para ahli komunikasi bahwa konflik dapat terjadi karena munculnya perasaan egois dan mementingkan diri sendiri. Implikasi dari perselisihan yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota terkait dana bantuan banjir ini sebenarnya telah terlihat pada pernyataan beberapa informan dalam penelitian ini, juga dari tulisan dan berita yang disajikan di media massa. Perhatikan semua pernyataan warga bantaran yang secara tegas menggulirkan perselisihan ini. Kebanyakan warga menyatakan bahwa akan terus berjuang dan menggulirkan perselisihan ini sampai ke tingkat nasional demi mendapatkan hak mereka tentang dana bantuan banjir tersebut. Selain itu pernytaan pengacara yang berada di pihak warga bantaran, Heri Hendro Harjuno, yang menyatakan telah mengajukan banding terhadap permasalahan ini. Kondisi demikian jelas merupakan suatu implikasi tegas yang menunjukkan bahwa permasalahan ini memberikan pengaruh sosial pada warga bantaran. Pengaruh eskalasi perselisihan ini rupanya tidak hanya berhenti pada aspek hukum semata, namun juga pada aspek sosial dan politik. Dalam eskalasi dan commit to user pernyataan yang diberikan oleh media massa, dan semua informan dalam
144
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perselisihan ini menujukkan bahwa pemerintah kota tampaknya berusaha sekuat tenaga untuk memberishkan wilayah bantaran dari pemukiman penduduk. Hal tersebut terlihat dari pernyataan warga bantaran, yang menjelaskan bahwa pemerintah kota aga mendiskiminasi warga bantaran dari aspek sosial. Implikasi tersebut jelas merupakan aspek dan pengaruh langsung dari perselisihan yang telah bergulir. Di segi politik, konflik ini memberikan pengaruh yang relatif mencengangkan pada pemilihan kepala daerah tersebut. Keterangan yang diberikan harian Radar Solo, edisi 27 April 2010, menunjukkan bawa warga bantaran mampu memberikan tekanan dan pengaruh terhadap jumlah suara yang diperoleh oleh calon walikota-wakil walikota, meskipun hal itu tidak banyak berpengaruh terhadap jumlah total perolehan suara. Namun demikian, kedua bukti dan fakta tersebut jelas menunjukkan bahwa ada pengaruh langsung antara eskalasi konflik terhadap bidang sosial dan politik. Eskalasi yang terjadi pada perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota secara langsung menunjukkan sifat-sifat konflik seperti yang dijelaskan oleh para ilmuwan komunikasi. Hal itu memberikan sinyalemen bahwa eskalasi konflik yang terjadi didorong oleh motivasi tertentu seperti yang dijelaskan oleh dalam sifat-sifat konflik tersebut. Perhatikan semua pernyataan dan keterangan yang diberikan oleh para tokoh yang terlibat dalam perselisihan tersebut, hampir semua tokoh memberikan suatu keterangan terntentu yang memiliki tujuan dan maksud untuk melebarkan konflik tersebut. Selain itu media massa yang meliput semua aspek dalam perselisihan itu juga menampakkan suatu indikasi bahwa konflik yang terjadi sebenarnya memiliki eskalasi yang luas dan memberikan pengaruh pada user beberapa aspek sosial dan politik.commit Dengantodemikian dapat dikatakan bahwa eskalasi
145
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota bermula dari sesuatu yang kecil lalu secara perlahan-lahan berubah menjadi semakin luas, tatkala warga bantaran mulai menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut.
D. Upaya Menuju Resolusi Konflik 1. Pernyataan-Pernyataan dalam Upaya Resolusi Resolusi konflik pada dasarnya merupakan bagian paling penting dari suatu proses konflik yang mengarah pada perbaikan hubungan dan titik akhir dari suatu konflik. Karena itu, resolusi konflik biasanya selalu menuju pada pemberian jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan atau perselisihan yang terjadi dalam suatu konflik. Selain itu, resolusi konflik rupanya merujuk pada suatu aksioma yang menyatakan bahwa ―setiap masalah pasti memiliki jalan keluar‖. Kenyataan dan upaya mengakhiri konflik semacam itu yang menjadi tujuan utama dari suatu proses resolusi konflik. Ketika resolusi konflik belum bisa menyelesaikan perselisihan, bukan resolusi tersebut yang salah, tapi perselisihan itu belum menemukan resolusi yang tepat. Perlu dipahami bahwa konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran memang bukanlah konflik sosial secara murni, namun konflik sosial berbasis ekonomi, sehingga sebagian besar penyelesaian mungkin bertalian dengan aspek ekonomi pula. Namun demikian komunikasi menjadi sesuatu yang penting dalam upaya mencapai resolusi konflik untuk mencari jalan tengah yang menguntungkan semua pihak yang berselisih. Dengan demikian dapat dipahami bahwa komunikasi tetap menjadi sesuatu yang penting dalam konflik berbasis ekonomi dan upaya resolusinya, meskipun hal itu bukan yang utama. commit to user
146
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam kasus konflik tentang dana bantuan banjir antara warga bantaran dan pemerintah kota, resolusi konflik untuk masalah tersebut memang belum tersedia dengan tepat, namun upaya penyelesaian konflik dan perjalanan menuju resolusi konflik telah dimulai, bahkan sejak konflik tersebut mulai terjadi. Hal ini menarik perhatian, karena pada dasarnya pihak warga bantaran–yang menggulirkan konflik– telah berupaya serius untuk melakukan penyelesaian konflik dan resolusi konflik dengan beragam cara, walaupun semua cara tersebut belum sesuai dengan harapan. Sementara pemerintah kota juga telah berusaha untuk menghindari terjadinya konflik, namun usaha tersebut juga belum maksimal. Pada resolusi konflik, komunikasi memegang fungsi penting untuk memberikan dorongan dan usaha mengakhiri konflik secara lebih positif. Warga bantaran sebenarnya sudah menyadari tentang pentingnya resolusi konflik dan pencegahan perselisihan sebelum mereka memutuskan untuk menggulirkan masalah ini. Hal itu membuat warga bantaran lebih mendahulukan komunikasi dan cara yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah dana bantuan banjir. Namun mereka juga sadar, jika perselisihan telah digulirkan, maka mereka juga sebenarnya telah berupaya untuk mengakhiri permasalahan ini secepatnya. Maryono, sebagai warga bantaran, menjelaskan bahwa Sebenarnya banyak, kami sudah berupaya ke sana-sini [pen: proses komunikasi ke berbagai instansi terkait] dengan harapan ada suatu titik temu, tetapi kenyataannya memang susah. Mungkin juga hal ini berkaitan dengan nominal, atau anggaran, yang pada intinya pemerintah itu belum siap menurunkan anggaran untuk masalah ini. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Di samping pernyataan tersebut, Maryono juga menyatakan Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan warga, sudah banyak pendekatan yang dilakukan warga kepada komisi-komisi yang terkait commitpada to user dengan hal ini, termasuk wakil walikota dan walikota. Tetapi kenyataanya belum ada penyelesaian, intinya masing-masing berusaha
147
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempertahankan apa yang sudah mereka miliki. Karena warga merasa tidak ada penyelesaian secara baik-baik untuk menangani masalah ini, maka kami mengajukan masalah ini ke pengadilan. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Kedua pernyataan tersebut menujukkan bahwa warga bantaran, yang menggerakkan konflik, telah berupaya maksimal untuk dapat menghindari konflik dan menyelesaikan konflik sebelum konflik tersebut dimulai. Hal ini memang jelas menunjukkan bahwa warga bantaran sebenarnya tidak menginginkan perselisihan, namun lebih mengandalkan aspek penghindaran dan penyelesaian secara baik-baik. Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh warga bantaran yang lain, sekaligus aktivis di SKoBB, Nunuk Ismiyati. Secara tegas ia memberikan keterangan Sebelum demonstrasi warga sebenarnya sudah melakukan beragam pendekatan pada pihak-pihak yang terkait, tetapi kami merasa di pingpong [pen: diulur-ulur dan dipersulit]. Pertama, yang mengupayakan bantuan tersebut hanya tujuh orang, tetapi tidak membuahkan hasil. (Wawancara pada 17 Februari 2010)
Selain pernyataan tersebut, ia juga menyatakan bahwa setelah semua upaya untuk meminta bantuan secara legal telah menamui jalan buntu, warga sepakat untuk melakukan aksi terbuka, sebagai tindak lanjut dari aksi pendekatan pertama Pada awalnya kami sempat demonstrasi ke balaikota, namun pada saat itu kami tidak ditemui oleh walikota, padahal sudah masyarakat tahu bahwa walikota ada di kantor. Tetapi kami justru ditemui oleh sekretarisnya. Lalu kami lanjutkan demonstrasi ke dewan, tetapi dewan baru tahu bahwa ada kesepakatan tentang dana bantuan. Padahal seharusnya dewan-kan juga bertugas untuk controlling, jadi seharusnya dewan tahu ada kesepakatan itu.
Situasi yang dijelaskan dalam pernyataan tersebut menujukkan bahwa warga secara sistematis telah berupaya menyelesaikan masalah ini sebelum memutuskan untuk menggerakkan konflik. Perhatikan fakta yang ada, pada mulanya warga telah commit to user
148
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menempun cara kekeluargaan dengan cara menemui pihak-pihak dan dinas terkait, sebelum akhirnya menggunakan cara demonstrasi untuk menekan pihak lain. Kondisi
tersebut
menjadi
sinyalemen
bahwa
jika
warga
tidak
mendapatkan hasil positif dari upaya pertama yaitu mengkomunikasikan secara kekeluargaan ke lembaga tertentu, tentang masalah dana banjir ini, maka dapat dipastikan aksi selanjutnya akan bersifat lebih keras dengan harapan dapat menekan pemerintah secara langsung. Karena itu aksi demonstrasi dan konflik yang digulirkan oleh warga bantaran tidak serta-merta berlangsung tanpa pendahuluan, namun aksi tersebut telah diawali dengan upaya komunikasi dan aksi untuk menghindari konflik. Semua aksi komunikasi yang dilakukan warga, di luar aksi demonstrasi, tampaknya bisa menjadi cikal-bakal resolusi konflik yang akan terjadi. Keterangan yang menyatakan bahwa warga telah melakukan semua cara positif dan beradab, sebelum memutuskan untuk memulai konflik dengan pemerintah kota, diberikan oleh Heri Hendro Harjuno, sebagai pengacara di pihak warga bantaran. Ia menerangkan bahwa Sebenarnya langkah-langkah yang ditempuh masyarakat sudah cukup maksimal dan tidak anarkis, sehingga sudah pantas diacungi jempol. Pernah mereka menuntut ke DPRD untuk mengatasi masalah ini, lalu sudah mencoba audiensi di Lodji Gandrung [pen: rumah dinas walikota Surakarta] juga pernah. Lalu akhirnya mencapai proses hukum. Ini sebenarnya contoh teladan yang diberikan masyarakat bantaran, mereka tidak melakukan pembakaran dan sebagainya, apalagi adanya kekhawatiran akan munculnya chaos [pen: demonstrasi anarkis yang menimbulkan kekacauan]. (Wawancara pada 15 Maret 2010)
Pernyataan praktisi hukum, seperti Heri Hendro Harjuno, menunjukkan adanya indikasi bahwa ketika semua upaya kekeluargaan untuk menyelesaikan masalah atau upaya penghindaran konflik telah gagal, maka seuatu kewajaran bila warga melanjutkan dengan aksi demonstrasi. Menariknya, Heri Hendro Harjuno commit to user
149
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyatakan bangga pada warga bantaran, karena melakukan demonstrasi tanpa menggunakan aksi kekerasan dan aksi anarkime. Sebagai pengamat netral dan seorang jurnalis, Abdul Alim secara tidak langsung membenarkan keterangan Heri Hendro Harjuno bahwa setelah warga menemui jalan buntu untuk menyelesaikan masalah, maka jalan selanjutnya ialah menggulirkan konflik dan menggunakan jalan hukum sebagai upaya penekanan dan penyelesaian. Alim menyatakan bahwa Sebenarnya warga bantaran sudah lama tahu tentang program bantuan tersebut, selain itu masyarakat juga sudah lama bertemu dengan walikota untuk menyampaikan keluhan mereka. Namun selama ini belum ada titik temu yang pas untuk menyelesaikan permasalahan mereka. (Wawancara pada 21 Maret 2010)
Lebih lanjut ia menyatakan Sebab warga bantaran sudah menempuh jalur musyawarah berulang kali; sudah menggandeng LSM; mereka juga sudah melakukan dan datang ke balaikota; selain itu mereka juga sudah melakukan demonstrasi berulang kali, namun belum ada hasil. Jadi jalan apalagi yang sebaiknya ditempuh jika bukan jalur hukum. (Wawancara pada 21 Maret 2010)
Sebagai seorang pengamat netral dan seorang jurnalis, Alim memberikan suatu pernyataan yang secara garis besar mirip dengan pernyataan seorang praktisi hukum. Hal itu memberikan petunjuk bahwa biasanya ranah hukum memberikan suatu bentuk nyata yang dapat digunakan sebagai mediator dan ranah untuk menyelesaikan konflik. Dengan begitu proses resolusi konflik sebenarnya dapat berjalan. Pernyataan Heri Hendro Harjuno dan Abdul Alim tentang penggunaan ranah hukum dalam perselisihan tentang dana banjir tersebut mengandung pemahaman ganda. Pertama, ranah hukum yang ditempuh warga pada dasarnya hanya melanjutkan proses terjadinya konflik dengan peningkatan eskalasi konflik, commit to eskalasi user karena ranah hukum rupanya mendukung konflik tersebut. Bentuk-bentuk
150
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyanggahan putusan pengadilan seperti ‗banding‘ dan ‗kasasi‘ di tingkat yang lebih tinggi tampaknya mendukung peningkatan eskalasi konflik. Kedua, ranah hukum bisa menjadi mediator atau adjudikator yang tepat apabila dua pihak yang berseteru saling menerima pendapat dan mendengarkan semua masukan dan nasehat atau menerima semua keputusan yang diberikan oleh pengadilan. Sejauh ini, Heri Hendro Harjuno sendiri mengakui bahwa sebelum pengadilan memutuskan untuk menyidangkan permasalahan tentang dana banjir ini yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota, pengadilan telah melakukan upaya mediasi namun belum berhasil mencari jalan keluar yang tepat. Heri Hendro Harjuno mengatakan Memang arahnya demikian, dan hal itu sudah pernah kita coba waktu tingkat pengadilan paling bawah, yaitu PN [pengadilan negeri], tapi mentok. Upaya damai juga sudah kita ajak, tapi gugatan kami bersifat materiil dan non-meteriil, tapi okelah ganti rugi yang diberikan pemerintah kota hanya bersifat meteriil saja bukan imateriil. Jadi untuk mediator yang bisa menjembatani tampaknya saya agak skeptis ada yang bisa.
Keterangan Heri Hendro Harjuno di atas sebenarnya menguatkan indikasi bahwa ada dualitas fungsi dari pengadilan, yaitu sebagai pendamai antara dua pihak yang berseteru atau sebagai ranah perseteruan yang baru. Hal itu juga menjadi fakta bahwa pengadilan
telah
mengutamakan
pengambilan
jalur
pendamaian
sebelum
memutuskan untuk mulai memperkarakan tuntutan warga. Meskipun pengadilan belum bisa mengusahakan jalan perdamaian bagi dua pihak yang saling berseteru, seperti yang dikatakan Heri Hendro Harjuno, namun hal itu sudah menjadi langkah positif bagi warga bantaran dan pemerintah kota bahwa upaya menuju resolusi konflik masih terbuka. Selain itu, kanyataan tersebut menjadi bukti kuat bahwa warga bantaran dan pemerintah kota sebenarnya masih commit to user
151
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menginginkan jalan damai dan lebih mengutamakan proses resolusi ketimbang harus menggulirkan konflik secara berkepanjangan. Apabila praktisi hukum yang berada di belakang warga bantaran telah menjelaskan bahwa warga telah berupaya melakukan mediasi melalui lembaga pengadilan, namun mengalami kegagalan. Pemerintah kota sebenarnya juga berupaya serius untuk mengusahakan pertemuan dan pembicaraan jalan keluar dengan cara damai, walaupun hal itu masih menemui jalan buntu. Ketua DPRD, Sukasno SH, sebagai salah satu tokoh penting dalam perselisihan ini, mengatakan bahwa Kalau yang selama ini ada yang sudah mau [pen: direlokasi] itu harus diselesaikan dulu, sebab masalah ini kan tidak satu tahun harus selesai. Jadi ini semua tidak semudah membalik telapak tangan, jadi meskipun mereka tinggal di hunian liar sekalipun, mereka juga tetap masyarakat kita [pen: warga Surakarta], jadi mereka tidak mau, lalu digusur, kan tidak seperti itu, ada tindakan-tindakan persuasif. Jadi sampai sekarang, masih dalam tahapan seperti itu. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Berdasarkan pendapat yang diberikan ketua DPRD Surakarta tersebut sebenarnya menjelaskan bahwa pemerintah kota sudah melakukan, atau setidaknya, masih melakukan upaya serius untuk menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara yang damai dan persuasif. Sukasno SH juga menjelaskan Kalau menurut saya, tetap harus ada komunikasi dengan kelompok yang ‗pokoknya tidak mau ini tadi‘, kalau ada komunikasi pada akhirnya komunikasi akan menjadi intens, pertama kita mungkin hanya bertegur sapa saja, tapi lama-kelamaan kita pasti akan sampai pada cerita, wedangan bagaimana, kondisi keluarga bagaimana, dan itu harus terjalin terus jangan sampai pisah. Sehingga dengan komunikasi yang lancar itu, maka seperti peribahasa ‗sekeras apapun batu, kalau terkena tetesan air, lama kelamaan pasti akan berlubang juga‘, dengan komunikasi yang baik, lalu terus-menerus pasti akan tercapai kesepakatan meskipun lama, kecuali kalau kita bertindak represif, tapi karena kita bertindak persuasif ya pasti akan lama. (Wawancara pada 11 Mei 2010) commit to user
152
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pendapat yang diberikan oleh Sukasno SH, menampakkan bahwa pemerintah kota sebaiknya tetap pada jalur yang sama dengan sekarang, yaitu jalur persuasif namun berkelanjutan. Dengan demikian, ada kemungkinan pemerintah kota bisa meluluhkan hati warga bantaran yang keras. Penjelasan tentang upaya resolusi konflik untuk menyelesaikan perselisihan antara warga bantaran dengan pemerintah kota memang baru sebatas wacana yang melibatkan semua pihak yang punya kepentingan masing-masing. Semua pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut dapat
dipastikan
menginginkan suatu jalan keluar yang baik sekaligus memenangkan semua pihak. Pemerintah kota memiliki kepentingan yang besar untuk membebaskan wilayah bantaran dari pemukiman. Sementara warga bantaran justru sebaliknya, namun warga sendiri hanya mau menerima jatah bantuan mereka tanpa mau pindah. Jika kembali pada pendapat yang diberikan Sukasno SH, maka pemerintah kota dan warga bantaran harus mau berkomunikasi secara layak dan intensif hingga tercapainya kesepakatan, tentang pembayaran dana banjir sekaligus kesadaran untuk relokasi. Proses resolusi bukanlah proses yang mudah namun juga bukan proses yang sulit, yang diperlukan untuk resolusi hanyalah kesadaran semua pihak yang berseteru untuk mau memikirkan jalan keluar secara bersama-sama. Perubahan ranah konflik menuju jalur hukum sebenarnya cukup berpotensi memberikan resolusi konflik yang dapat diterima semua pihak, akan tetapi penggunaan jalur hukum juga bisa semakin mengingkatkan eskalasi konflik. Meskipun proses mediasi yang dilakukan pengadilan sempat gagal, namun hal itu tidak seharusnya menghentikan upaya menuju resolusi konflik. commit to user
153
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lembaga pengadilan, seperti yang telah dikatakan oleh Heri Hendro Harjuno, sebenarnya lembaga yang bisa berperan sebagai mediator atau adjudikator dalam permasalahan tentang dana bantuan banjir tersebut. Perhatikan pernyataan yang diberikan oleh pengacara warga bantaran tersebut Ya karena, syarat mediator, atau konsiliator harus dapat diterima oleh kedua belah pihak, kami sampai sejauh ini di pihak SKoBB belum melihat adanya kemungkinan munculnya mediator yang bisa diterima oleh semua pihak.Artinya, SKoBB masih membuka jalan untuk mediasi tentang dana bantuan banjir, tetapi untuk relokasi, kami sudah harga mati. (Wawancara pada 15 Maret 2010)
Hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa warga bantaran sebenarnya masih membuka peluang untuk proses penyelesaian dan mediasi demi mencapai resolusi konflik. Namun di pernyataan yang lain, Heri Hendro Harjuno tampaknya skeptis dan pesismis dengan munculnya mediator. Ia menyatakan Memang arahnya demikian, dan hal itu sudah pernah kita coba waktu tingkat pengadilan paling bawah, yaitu PN [Pengadilan Negeri], tapi mentok. ... Jadi untuk mediator yang bisa menjembatani tampaknya saya agak skeptis ada yang bisa. (Wawancara pada 15 Maret 2010)
Meskipun Heri Hendro Harjuno merasa skeptis terhadap mediasi yang diberikan pengadilan, akan tetapi pernyataan yang diberikan sebenarnya menunjukkan bahwa ada potensi besar bahwa pengadilan bisa memberikan jalan keluar. Walaupun potensi itu belum tergali untuk bisa menjadi fasilitator jalan damai. Di lain pihak, sebenarnya pemerintah kota sendiri juga bisa menjadi mediator dan arbitrator yang baik untuk mendukung proses resolusi konflik ini, dan memberikan jalan keluar yang saling menguntungkan (win-win solution) bagi warga bantaran dan pemerintah kota. Untuk itu, Sukasno SH menyatakan bahwa Kalau menurut saya, tetap harus ada komunikasi dengan kelompok yang ‗pokoknya tidak mau ini tadi‘, kalau ada komunikasi pada kahirnya commit to user komunikasi akan menjadi intens, pertama kita mungkin hanya bertegur sapa saja, tapi lama-kelamaan kita pasti akan sampai pada cerita,
154
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
wedangan bagaimana, kondisi keluarga bagaimana, dan itu harus terjalin terus jangan sampai pisah. ...
Pandangan ketua DPRD Surakarta sebenarnya menjelaskan bahwa apabila pemerintah ingin menyelesaikan kasus ini, maka proses komunikasi yang baik dan tepat menjadi syarat utama. Hal itu juga penting untuk mencapai adanya mediasi dan resolusi konflik yang tepat. Lebih lanjut ia menjelaskan Saya kira masih ada upaya, seperti itu, misalnya baik kepada siapa. Pada akhirnya komunikasi seperti itu akan terjalin tidak pada ketua komunitas. Sebab mungkin saja ketua komunitas itu terlalu mendominasi, sehingga mungkin semua anggotanya terkadang tidak nyambung [pen: tidak dapat mengikuti keinginan ketua kelompok]. ... Sebenarnya, mungkin ada keinginan untuk lepas dari kelompok tersebut, tetapi karena ada rasa sungkan, malu, takut. Jadi bisa saja pemerintah kota berkomunikasi melalui mereka-mereka yang seperti ini [pen: warga yang jenuh dan ingin lepas dari kelompok]. Yang namanya paguyuban, saya yakin, satu ikatannya mungkin semu. ... Jadi saya yakin kepentingan antara ketua paguyuban dan semua anggotanya mungkin berbeda. Sehingga komunikasi menjadi hal yang penting. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Keterangan yang diberikan oleh Sukasno SH di atas, tampaknya cukup menarik. Sebab secara tidak langsung pernyataan yang diberikan Sukasno SH memberikan isyarat bahwa komunikasi interpersonal antara warga bantaran dan pemerintah kota, yang terjadi secara informal, bisa berpotensi membuahkan resolusi konflik, dan menjadikan pemerintah kota sebagai mediator atau mungkin juga negosiator. Secara sederhana, Sukasno SH hendak menjelaskan apabila proses komunikasi interpersonal yang menghubungkan pemerintah kota dengan kelompok masyarakat belum membuahkan hasil nyata, maka perlu ada perubahan jalur komunikasi menjadi interpersonal yang terjadi antara individu dari pemerintah kota, dan warga bantaran yang terjadi secara informal. Hal itu kemungkinan bisa menghasilkan kesepakatan antara warga dan pemerintah kota, karena ada proses user pihak ketiga. Di samping itu, negosiasi yang bersifat pribadi,commit tanpa tobantuan
155
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
komunikasi informal antarpribadi tersebut juga bisa digunakan untuk mencari mediator yang tepat untuk mencarikan jalan keluar yang tepat. Pernyataan dari ketua DPRD Surakarta, Sukasno SH, pada dasarnya mirip dengan yang diberikan oleh koordinator aksi masyarakat dalam dana bantuan banjir tersebut, Agus Sumaryawan. Ia sebenarnya mensahkan apa yang telah dikatakan oleh Sukasno SH, tentang pentingnya komunikasi dalam penyelesaian konflik tersebut. Agus Sumaryawan memberikan keterangan Seharusnya pemerintah kota mengadakan koordinasi untuk melakukan tatap muka bersama masyarakat, ibaratnya dalam bahasa jawa ―ayo podho dirembug‖. Hal itu harus dilakukan berdasarkan prinsip demokrasi yang mendahulukan musyawarah lalu melakukan mufakat. Selama ini yang dilakukan pemerintah belum ada musyarwarah tapi sudah dimufakati bersama-sama, sehingga itu jelas salah besar. Karena selama ini pemerintah selalu merealisasikan semua kebijakan yang belum pernah dimusyawarahkan. ... [ilustrasi oleh sumber]. (Wawancara pada 23 Januari 2010)
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan, dapat diketahui bahwa warga bantaran sendiri sebenarnya menginginkan adanya komunikasi dengan pemerintah kota terkait penyelesaian masalah bantuan banjir tersebut. Hal itu sebenarnya menunjukkan adanya keinginan positif warga untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah ini dengan proses mediasi atau negosiasi yang baik, melalui proses komunikasi yang baik pula. Jika memang ada niat baik dari warga bantaran untuk berbicara dengan baik dan menyelesaikan permasalahan ini melalui musyawarah, seperti yang juga diinginkan oleh pemerintah kota, seperti yang telah diungkapkan oleh ketua DPRD Surakarta. Lalu mengapa, sampai sekarang belum tercapai kesepakatan yang sama antara pemerintah kota dengan masyarakat bantaran, yang nota bene memulai konflik ini. Kenyataan seperti ini menuntut upaya lebih serius untuk mendalami dan commit to user mengkaji permasalahan tersebut secara lebih dalam.
156
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam upaya mediasi atau setidaknya arbitrasi, atau mungkin juga negosiasi, SKoBB, sebagai representasi warga bantaran yang menggulirkan konflik sebenarnya juga dapat menjadi kelompok yang mendukung mediasi dengan pemerintah kota demi mencapai resolusi konflik. Sebagai forum atau kelompok masyarakat SKoBB menjadi suatu lambang dari perlawanan warga bantaran yang memulai konflik dengan pemerintah kota. Potensi dukungan SKoBB terhadap pencarian resolusi konflik sebenarnya dinyatakan oleh warga bantaran sekaligus aktivis di SKoBB, Maryono. Ia menyatakan bahwa Sebenarnya ada upaya SKoBB untuk menyelesaikan permasalahan ini namun ada perasaan gengsi dari tiap-tiap pihak, baik itu dari warga bantaran maupun pemerintah kota sendiri untuk mau mengawali proses negosiasi tersebut, entah karena permasalahan apa saya sendiri tidak ngerti. Tetapi sepanjang pengamatan saya ada beberapa teman-teman di SKoBB yang sebenarnya juga ingin melakukan negosiasi, begitu juga dengan pemerintah kota. Masalahnya sekarang siapa yang ingin memulai lebih dulu. ... (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Perhatikan pernyataan yang diberikan oleh Maryono di atas. Keterangan dan pernyataan tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa warga bantaran melalui SKoBB juga menginginkan jalan damai dan proses mediasi untuk mencapai resolusi konflik yang disepakati semua pihak. Namun demikian, dia sendiri tidak menampik fakta bahwa banyak pihak yang merasa egois sehingga enggan merintis jalan damai yang penting untuk melahirkan resolusi konflik yang menguntungkan semua pihak. Keterangan tersebut sebenarnya tidak bertentangan dengan pernyataan Agus Sumaryawan, warga bantaran yang juga menjabat sebagai ketua SKoBB sekaligus koordinator aksi protes, yang pada dasarnya juga menyatakan bahwa dia sendiri dan kemungkinan semua warga bantaran–yang termasuk juga dalam SKoBB– menginginkan proses menyawarah demi mencapai kesepakatan bersama dalam commit to niatan user baik tersebut tetap harus didukung permasalahan ini. Namun demikian, semua
157
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan aksi yang baik dan juga dengan pemikiran yang baik pula. Tanpa semua itu mustahil proses musyawarah yang baik dapat dilaksanakan dan diterima oleh semua pihak. Demi tujuan tersebut, warga bantaran–juga yang tergabung dalam SKoBB– dan pemerintah kota harus mendukung secara aktif semua proses menuju mediasi dan resolusi konflik tersebut, dengan cara menghilangkan sisi egoisme diri dan kepentingan sepihak. Meskipun upaya menuju resolusi konflik dalam perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota rupanya banyak menemui hambatan, namun upaya tersebut tetap berjalan dan berlangsung. Apabila SKoBB merupakan perwakilan dari warga bantaran dapat digunakan sebagai forum atau setidaknya kelompok masyarakat yang bisa mendukung mediasi, maka pemerintah kota, yang jauh lebih solid setidaknya juga bisa melakukan hal itu. Sukasno SH mengatakan bahwa Ya, kalau untuk masalah di kelompok ini [pen: warga bantaran yang menolak relokasi termasuk SKoBB] ya harus ada komunikasi terus, yang dilakukan untuk membujuk, ya nanti pasti akan gempil [pen: terkikis]. Kalau itu seprti suatu benda maka pasti akan gempil secara sedikit-sedikit pasti akan gempil, asalkan itu ada komunikasi. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Menurut saya pemerintah kota tidak perlu mediator, karena pada dasarnya ini-kan warganya. Kalau mereka tidak melakukan ancaman berupa aksi dan ancaman fisik, saya kira tidak perlu seperti itu. Semua dinas yang terkait juga pasti akan melakukan komunikasi seperti itu. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Pemerintah kota sebenarnya juga bisa menjadi lembaga yang pada dasarnya mendukung mediasi, namun hal itu belum maksimal jika tidak ada dukungan dari pihak lain. Di samping itu, upaya untuk mencari jalan keluar dan resolusi konflik macam itu jelas mendudukkan pemerintah kota sebagai lembaga yang bisa menjadi commit to user
158
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
negosiator kepada warga bantaran, karena itu Sukasno SH menyatakan bahwa pemerintah kota tidak membutuhkan mediator. Apapun namanya, mediasi, arbitrasi, adjudikasi, atau negosiasi, pada dasarnya dibentuk dengan tujuan yang sama, yaitu menemukan jalan keluar dari konflik yang sedang berkembang. Keempat bentuk tindakan tersebut sebenarnya berperan pada tingkatan yang sama walaupun metode yang digunakan agak berbeda. Namun demikian, semua bentuk tindakan menuju resolusi konflik tersebut harus dijiwai dengan niatan baik dan dengan tindakan yang baik pula, tanpa hal itu, jalan keluar mustahil ditemukan. Semua uraian dari semua pihak dan tokoh-tokoh yang terkait dengan perselisihan tentang dana banjir ini membawa pada satu muara besar, tentang bagaimana sebaiknya permasalahan ini diselesaikan, sehingga hal ini tidak terbatas hanya pada pembayaran uang dana banjir seperti yang diinginkan oleh warga, atau agar masyarakat bantaran mau direlokasi ke tempat baru, seperti keinginan pemerintah kota. Kemungkinan besar ada jalan keluar lain yang dapat ditempuh oleh semua pihak yang berseteru tanpa harus merugikan pihak manapun. Kesepakatan semua pihak menjadi inti dari resolusi konflik. Secara garis besar semua tokoh dari warga bantaran, yang terlibat dalam perselisihan tentang dana banjir tersebut, memberikan gambaran besar bahwa selain keinginan kuat untuk menyelesaikan konflik dan menghasilkan resolusi konflik yang tepat, kebanyakan tokoh juga memandang bahwa komunikasi yang baik juga harus terjalin di antara pihak-pihak yang bersitegang. Perhatikan pernyataan Agus Sumaryawan, yang mewakili warga bantaran, yang menjelaskan bahwa Seharusnya pemerintah kota mengadakan koordinasi untuk melakukan tatap muka bersama masyarakat, ibaratnya dalam bahasa jawa ―ayo podho commit to userberdasarkan prinsip demokrasi yang dirembug‖. Hal itu harus dilakukan
159
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendahulukan musyawarah lalu melakukan mufakat. (Wawancara pada 23 Januari 2010)
Secara sederhana Agus Sumaryawan menginginkan adanya komunikasi antara warga dan pemerintah kota begitu pula pernyataan yang diberikan Maryono. Ia mengatakan bahwa Sebenarnya ada upaya SKoBB untuk menyelesaikan permasalahan ini namun ada perasaan gengsi dari tiap-tiap pihak, baik itu dari warga bantaran maupun pemerintah kota sendiri untuk mau mengawali proses negosiasi tersebut, entah karena permasalahan apa saya sendiri tidak ngerti. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Kedua keterangan di atas sebenarnya menunjukkan bahwa warga bantaran pada dasarnya menginginkan adanya komunikasi yang dilakukan secara khusus untuk menyelesaikan permasalahan tentang dana bantuan banjir tersebut. Di pihak lain, pemerintah kota juga menginginkan hal yang sama. Pemerintah kota juga mengharapkan adanya komunikasi yang baik di antara warga bantaran dengan pemerintah kota, demi menghasilkan resolusi yang baik. Sukasno SH menyatakan Saya kira masih ada upaya, seperti itu, misalnya baik kepada siapa. Pada akhirnya komunikasi seperti itu akan terjalin tidak pada ketua komunitas. Sebab mungkin saja ketua komunitas itu terlalu mendominasi, sehingga mungkin semua anggotanya terkadang tidak nyambung [pen: tidak dapat mengikuti keinginan ketua kelompok]. ... Sebenarnya, mungkin ada keinginan untuk lepas dari kelompok tersebut, tetapi karena ada rasa sungkan, malu, takut. Jadi bisa saja pemerintah kota berkomunikasi melalui mereka-mereka yang seperti ini [pen: warga yang jenuh dan ingin lepas dari kelompok]. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Pandangan yang diberikan Sukasno SH, sebagai ketua DPRD Surakarta, pada dasarnya tidak bertentangan dengan pendapat yang diberikan oleh Agus Sumaryawan dan Maryono, karena sama-sama mengutamakan jalan komunikasi dan musyawarah. commit to user Namun demikian, Sukasno SH lebih banyak memandang bahwa proses komunikasi
160
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lebih banyak ditujukan bagi warga bantaran secara informal melalui komunikasi interpersonal. Hal itu setidaknya menunjukkan bahwa pemerintah kota tetap berupaya mencari jalan keluar dari kasus ini. Pendapat tentang jalan keluar dan resolusi yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai kesepakatan antara pihak-pihak yang berseteru disampaikan oleh praktisi hukum bernama Titin Widyastuti. Pandangan yang diberikan oleh praktisi hukum dan para profesional dari pihak netral lebih banyak dimaksudkan untuk menghindari dukungan terhadap pihak tertentu. Dengan demikian, semua pendapat yang diberikan akan bersifat netral dan tidak memihak. Titin Widyastuti menyatakan bahwa Menurut saya, mediasi rupanya tepat digunakan. Karena mediasi lebih banyak mengutamakan musyawarah, kalau menggugat sana-sini jadi nggak selesai-selesai. Jadi semua itu perlu jalan tengah-kan, sehingga yang paling enak itu kan musyawarah untuk mufakat. Jadi semuanya sama-sama enak lah. ... Jadi memang yang paling enak itu musyawarah, bahkan sebelum maju ke pengadilan itu-kan juga ada mediasi. Sehingga, sebelum melangkah ke jalur hukum, kan lebih baik mediasi. Jadi memang yang paling baik itu-kan musyawarah untuk mencapai mufakat biar semua sama-sama untung. (Wawancara pada 25 Mei 2010)
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa, apabila jalan mediasi dan musyawaraha memang menemui jalan buntu, jalur hukum memang berguna sebagai jalan keluar terakhir. Namun selama jalan musyawarah bisa dijalankan, jalur hukum tidak seharusnya digunakan Memang, apabila sudah dirasakan semua jalan sudah tertutup, maka langkah hukum bisa digunakan. Karena hukum akan menghasilkan pemaksaan terhadap pihak tertentu. Saya rasa jalan terakhirnya memang langkah hukum. Jadi mau-tidak-mau kalau mereka [pen: semua pihak yang terlibat, terutama warga bantaran] sudah melanggar aturan, silahkan pergi, kalau mereka sudah tidak menginginkan pendekatan juga tidak mau, apa-apa [pen: menolak semua langkan damai] juga tidak mau. Jadi kalau sudah begitu, langkah hukum saya rasa sudah tepat, karena menghasilkan suatu ketetapan hukum. Tapi yang lebih baik ya commit to user semua individu masing-masing. musyawarah dulu, tapi tergantung (Wawancara pada 25 Mei 2010)
161
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pernyataan yang diberikan praktisi hukum tersebut menunjukkan bahwa upaya resolusi konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota tetap harus dilaksanakan dengan keinginan dan niat baik. Dengan demikian, jalan musyawarah akan memberikan hasil positif, begitu pula jalur hukum yang ditempuh.
2. Analisis Tentang Upaya Resolusi Konflik Memang benar, apabila muncul anggapan bahwa permasalahan berbasis ekonomi seperti yang menjadi faktor utama konflik antara warga bantaran dan pemerintah kota, bisa diselesaikan dengan sisi ekonomi pula. Dengan kata lain, jika pemerintah membayarkan semua tuntutan warga, maka selesai sudah permasalahan ini. Namun demikian komunikasi menjadi faktor penting untuk menjembatani perbedaan pendapat antara warga bantaran dan pemerintah kota. Akan lebih baik lagi jika komunikasi tersebut bisa menghasilkan proses negosiasi antara warga bantaran dan pemerintah kota bisa menghasilkan kesepakatan yang memenangkan semua pihak (win-win solution), sehingga pemerintah tidak harus membayarkan semua tuntutan warga, sementara warga tidak harus pindah dari bantaran. Hal itu menjadi tujuan penting dari komunikasi dalam proses negosiasi dan mediasi. Usaha serius dari masing-masing pihak untuk mencari jalan keluar yang baik bagi semua pihak yang berselisih setidaknya memberikan dua indikasi penting yang berhubungan dengan semua upaya menuju resolusi konflik tersebut. Pertama, upaya mencapai resolusi konflik harus menggunakan proses komunikasi yang baik dengan keinginan baik pula. Mediasi, arbitrasi, adjudikasi, dan negosiasi pada dasarnya merupakan bentuk resolusi konflik yang menggunakan komunikasi sebagai commit to user syarat mutlak tercapainya kesepakatan. Hilangnya proses komunikasi dalam semua
162
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
proses resolusi konflik tersebut membuat proses tersebut menjadi pincang atau mungkin gagal sama sekali. Dengan begitu, komunikasi menjadi syarat mutlak bagi keberhasilan resolusi konflik. Kedua, proses resolusi konflik harus didorong oleh niat baik dari semua pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Proses resolusi konflik seperti mediasi, arbitrasi, adjudikasi, dan negosiasi merupakan bentuk resolusi konflik dimotori oleh niatan baik semua pihak untuk mengakhiri konflik, bukan karena paksaan pihak ketiga atau pihak yang lebih kuat. Niat baik dan keinginan menyelesaikan konflik menjadi alasan yang paling kuat untuk menghapuskan konflik dalam ranah apapun dan oleh penyebab apapun. Tanpa niat baik untuk menyelesaikan konflik mustahil semua cara tersebut dapat digunakan untuk menghentikan perselisihan. Pandangan tentang resolusi konflik sebenarnya telah menjadi suatu pokok kajian serius di hampir semua ranah ilmu sosial, termasuk dalam komunikasi, psikologi dan sosiologi. Meskipun semua cabang ilmu tersebut memberikan perhatian khusus terhadap resolusi konflik, setiap cabang ilmu tersebut memfokuskan pada sudut pandang yang saling berbeda. Pembahasan dan analisis ilmiah tentang resolusi konflik yang terjadi dalam kasus perselisihan antaran warga bantaran dan pemerintah kota akan lebih banyak terfokus pada bidang ilmu komunikasi dan psikologi. Pandangan tentang resolusi konflik diberikan oleh ilmuwan sosial bernama Susanne Buckley-Ziestel yang membagi dua macam upaya untuk mengakhiri konflik yang dikenal sebagai penyelesaian konflik (conflict settlement) dan resolusi konflik (conflict resolution). Ia menjelasakan bahwa (Buckley-Ziestel commitsebagai to user bentuk pengakhiran konflik yang 2008: 15-17) ‗penyelesaian konflik‘
163
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengacu pada pembuatan situasi yang saling menguntungkan (win-win situation). Sedangkan ‗resolusi konflik‘ lebih bertumpu pada orientasi proses yang yang berada di bawah penyebab konflik tersebut (Buckley-Ziestel 2008: 15-17). Penjelasan dari ilmuwan kawakan tersebut sebenarnya memberikan implikasi kepada kasus tersebut, karena pada dasarnya bentuk paling baik untuk mengakhiri konflik tersebut ialah menerapkan resolusi konflik. sehingga penyelesaian permasalahan tersebut lebih banyak bertumpu pada resolusi konflik (conflict resolution) ketimbang penyelesaian konflik (conflict settlement). Pernyataan yang diberikan oleh tokoh-tokoh yang berada di belakang warga bantaran yang menggunakan ranah hukum sebagai upaya untuk mengakhiri konflik sebenarnya menjadi indikasi paling awal bahwa proses resolusi konflik sebenarnya mulai berjalan, sekaligus menunjukkan bahwa ada upaya serius dari warga bantaran untuk menggunakan resolusi konflik. Hal itu ditegaskan oleh kenyataan bahwa adjudikasi terjadi apabila muncul suatu bentuk konflik yang sulit diselesaikan melalui cara-cara biasa, sehingga membutuhkan hakim untuk memutuskan permasalahan tersebut (Lakhani, 2006: 186). Pendapat Lakhani (2006) tersebut sebenarnya menjelaskan bahwa tindakan warga bantaran yang mulai menempuh jalur hukum sebagai upaya menyelesaikan konflik tersebut lebih banyak mengacu pada bentuk adjudikasi sebagai salah satu bentuk resolusi konflik. Penjelasan Lakhani (2006) rupanya mendapatkan dukungan serius dari rekan sejawatnya. Secara terpisah, F. Paul Bland Jr dan Claire Prestel menjelaskan bahwa litigasi atau dikenal juga sebagai adjudikasi bisa digunakan untuk melancarkan tuntutan kepada pihak lain asalkan dilakukan dengan cara yang baik dalam suatu aksi kelas (class action) (Bland Jr dan Prestel, 2009: 376-377). Pada commit to user dasarnya Bland Jr dan Prestel (2009) menunjukkan dukungan terhadap pernyataan
164
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang diberikan oleh Lakhani (2006) sekaligus menguatkan bahwa dalam upaya adjudikasi atau litigasi peranan komunikasi menjadi hal yang penting. Perhatikan bahwa Bland Jr dan Prestel (2009) menyatakan bahwa proses litigasi hanya bisa terjadi dalam kondisi oleh komunikasi yang baik dalam melakukan tuntutan, meskipun dua pakar tersebut tidak secara langsung mengatakannya. Pernyataan dari beberapa pakar konflik di atas sebenarnya hendak mengatakan bahwa proses resolusi konflik hanya bisa dilakukan dengan dasar komunikasi yang baik di antara semua pihak yang berseteru, bahkan jika itu dilakukan dengan cara demonstrasi atau unjuk rasa. Sehingga upaya pencarian jalan damai dapat dilakukan dengan cara-cara yang baik dan beradab. Namun demikian proses resolusi konflik jelas tidak akan berfungsi dengan baik apabila tidak ada proses komunikasi yang baik di antara pihak yang berseteru. Fakta yang ada dilapangan dan kenyataan bahwa warga bantaran melakukan tuntutan melalui jalur hukum dan melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut uang dana bantuan banjir sebenarnya berhubungan erat dengan yang dikatakan oleh Lakhani (2006) serta Bland Jr dan Prestel (2009), bahwa litigasi atau adjudikasi dianggap bisa menyelesaikan masalah yang tergolong rumit karena ada semacam bentuk pemaksaan kepada pihak yang berseteru oleh lembaga yang lebih tinggi, namun adjudikasi bersifat kaku karena ada kecenderungan untuk tidak melakukan kompromi sebanyak mediasi (Kressel, 2006: 729). Karena itu, sebelum proses adjudikasi dilakukan, pengadilan menjadi mediator dalam proses mediasi yang digunakan untuk mencari jalan tengah dari semua perselisihan yang terjadi. Hal itu membuat mediasi merupakan salah satu proses resolusi konflik yang penting. Secara umum mediasi merupakan proses resolusi konflik yang membutuhkan rasa commit totersebut. user sukarela untuk menyelesaikan persoalan Selain itu pihak ketiga dalam
165
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mediasi biasanya memiliki kendali keputusan yang rendah namun memiliki kendali proses yang tinggi (Conlon dan Meyer, 2004: 260) Kurangnya proses kompromi dan musyawarah dalam adjudikasi atau litigasi seperti yang dijelaskan Kressel (2006) menjadikan proses mediasi lebih berkesan positif karena mengutamakan tindakan musyawarah dan komunikasi serta bantuan pihak ketiga yang berperan sebagai penengah atau mediator. Kenyataan bahwa mediasi yang pernah dilakukan oleh pengadilan untuk mendamaikan warga bantaran dan pemerintah kota mengalami kegagalan, tidak langsung menyatakan bahwa proses mediasi telah gagal, namun ada kecenderungan bahwa mediasi belum dapat menyelesaikan masalah. Karena pada dasarnya mediasi lebih banyak berkaitan dengan bentuk pencarian jalan keluar yang lebih berbasis pada kerjasama, ketimbang situasi menang-kalah, maka pihak-pihak yang telibat dalam mediasi bersikap aktif dalam mencari jalan keluar yang baik (Kressel, 2006: 727). Proses mediasi dalam penyelesaian konflik antara warga bantaran sebenarnya juga harus dilakukan dengan proses komunikasi yang baik di antara semua pihak yang berselisih. Pernyataan keinginan untuk berkomunikasi secara lebih baik sebenarnya sudah diungkapkan oleh semua tokoh penting di antara warga bantaran dan pemerintah kota, seperti yang dikatakan oleh Agus Sumaryawan dan Sukasno SH, sebenarnya bisa menjadi kekuatan untuk menjalin komunikasi dalam suatu mediasi. Perhatikan pernyataan dari Michal Alberstein, yang mengutip pendapat dari Fisher dan Ury (1983), menjelaskan bahwa mediasi merupakan proses pemecahan masalah yang kolaboratif berdasarkan bentuk depersonalisasi–lebih banyak bersifat kerjasama–yang digunakan untuk mencari solusi yang saling menguntungkan (dalam Alberstein, 2009: 5). Keterangan Alberstein rupanya commit to user
166
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendukung fakta bahwa komunikasi dalam mediasi merupakan salah satu bagian penting untuk mencapai kesepakatan bersama. Meskipun secara umum mediasi bisa memberikan jalan keluar dari suatu konflik, kemungkinan besar juga dalam kasus antara warga bantaran dan pemerintah kota. Namun hal itu tidak menutupi kenyataan bahwa mediasi bisa menemui kegagalan. Ada beberapa kondisi tertentu yang dapat mengagalkan proses kesepakatan dalam mediasi. Kressel (2006: 730-732) menyatakan bahwa ada enam faktor yang mengurangi efektivitas mediasi untuk menyelesaikan perselisihan. Pertama, tingginya tingkat pertentangan dalam suatu konflik menyebabkan adanya korelasi secara negatif dengan bentuk penyelesaian masalah. Sehingga semakin tinggi tingkat konflik, maka semakin sulit untuk diselesaikan. Kedua, rendahnya motivasi menuju kesepakatan menyebabkan munculnya bentuk kecenderungan untuk menggagalkan pencapaian kesepakatan. Ketiga, rendahnya komitmen terhadap mediasi biasanya menurunkan efektivitas munculnya kesepakatan karena mediator dan pihak yang terlibat tidak merasa tertarik dengan mediasi. Keempat, rendahnya jumlah sumberdaya menyebabkan semua pihak yang terlibat mulai kehilangan motivasi untuk melakukan mediasi. Kelima, keterlibatan keyakinan tertentu biasanya semakin menyulitkan pembuatan dan penentuan kesepakatan hasil mediasi. Keenam, perbedaan kekuatan di antara semua pihak yang terkait biasanya menyebabkan mediasi terlalu sulit untuk dilaksanakan. Pandangan yang berbeda namun serupa, dengan keterangan Kressel, diberikan oleh Jacob Bercovitch dalam suatu jurnal ilmiah tentang resolusi konflik. Bercovitch (2006: 299-300) menjelaskan empat faktor yang mempengaruhi mediasi. Pertama, faktor personal memberikan pengaruh positif karena pada dasarnya commitKedua, to userfaktor situasional secara umum lebih mengacu pada mediator yang berperan.
167
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
banyak mengacu pada faktor fisik, sosial, reputasi, dan kekuatan relasi hubungan antara semua pihak yang terlibat. Ketiga, faktor interaksional merupakan faktor yang paling menentukan apakah mediasi tersebut berhasil atau gagal, sekaligus menentukan hasil akhir mediasi tersebut. Keempat, faktor motivasional merupakan satu faktor yang turut menentukan keberhasilan mediasi karena melibatkan tujuan mediasi dan komitmen semua pihak terhadap mediasi tersebut. Pandangan Bercovitch sebenarnya mendukung paparan Kressel tentang semua faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan mediasi, meskipun Bercovitch lebih banyak memfokuskan pada faktor yang mendukung keberhasilan mediasi. Fakta yang ditemukan di lapangan bahwa proses mediasi yang dilakukan oleh lembaga pengadilan, sebelum gugatan warga mulai disidangkan, yang mengalami kegagalan mungkin disebabkan oleh munculnya faktor-faktor tertentu yang menghambat dan menurunkan efektivitas mediasi seperti yang diterangkan oleh Kressel (2006) dan mungkin juga oleh Bercovitch (2006). Akan tetapi kegagalan mediasi yang pernah dilakukan sebenarnya tidak mengurangi kekuatan mediasi untuk menyelesaikan suatu perselisihan. Dengan demikian, ada potensi bahwa mediasi masih dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan antara warga bantaran dan pemerintah kota, meskipun relatif sulit. Bagaimanapun juga efektivitas mediasi rupanya tetap ditentukan oleh proses interaksi dan komunikasi yang ada di dalamnya. Karena itu Kressel (2006) dan Bercovitch (2006) memasukkan bahasan tentang tingkatan komitmen semua pihak terhadap mediasi dan faktor interaksional, yang secara umum membutuhkan aspek komunikasi. Hal itu rupanya mirip pandangan bahwa mediator dalam proses mediasi biasanya memberikan beragam pesan kepada semua pihak yang berseteru commit to interaksi, user berupa pemberian pertanyaan, mengatur membuat kesimpulan, hingga
168
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memberikan dukungan emosional bagi pihak-pihak yang terlibat pertikaian (Putnam, 2009: 214). Penjelasan Putnam tersebut secara langsung menujukkan bahwa komunikasi rupanya menjadi satu bagian penting dalam mediasi, sekaligus mendukung kajian tentang interaksional dan komitmen dalam mediasi. Selain adjudikasi dan mediasi, ada satu proses resolusi konflik lain yang bisa digunakan untuk menyelesaikan perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota. Fakta bahwa pemerintah kota dan warga bantaran sebenarnya masih membuka kesempatan untuk berkomunikasi, walaupun belum terlaksana secara maksimal, menjadi satu titik tolak yang baik untuk memulai upaya resolusi konflik. Jika adjudikasi dan mediasi belum bisa menyelesaikan permasalahan, maka pemerintah kota dan warga bantaran bisa menggunakan proses negosiasi untuk mencari jalan tengah dari permasalahan tersebut. Negosiasi sebenarnya merupakan salah satu upaya menuju resolusi konflik yang lebih mengutamakan interaksi antara pihak-pihak yang berselisih tanpa campur tangan pihak ketiga. Max H. Bazerman, Jared R. Cuhen, dan Don A. Moore berpandangan bahwa negosiasi yang dilakukan secara rutin dengan bentuk tatap muka bisa membuka rahasia tentang semua informasi yang berkualitas tinggi sehingga dapat menghasilkan suatu kesepakatan di antara semua pihak yang terkait (Bazerman, et al, 2001: 203). Pandangan yang diberikan pakar konflik di atas sebenarnya membuka sebuah fakta bahwa komunikasi menjadi suatu bagian penting dalam proses negosiasi dan pembuatan keputusan dan kesepakan bagi semua pihak yang terlibat. Dengan demikian, komunikasi memberikan kontribusi yang besar dalam negosiasi sebagai salah satu proses resolusi konflik. Keterangan Bazerman dan koleganya (2001) pada dasarnya di atas tidak commit to user Sukasno SH, sebagai ketua DPRD bertentangan dengan pendapat yang diberikan
169
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekaligus salah satu tokoh penting dalam perselisihan tersebut, yang menjelaskan bahwa apabila pemerintah kota melakukan komunikasi yang intensif terhadap warga bantaran, maka secara perlahan-lahan akan tercapai kesepakatan dan pemahaman di antara semua pihak yang terlibat. Meskipun Sukasno SH tidak menyebutkan proses komunikasi tersebut sebagai suatu bentuk negosiasi, namun hal itu menunjukkan bahwa pemerintah kota harus melakukan negosiasi dengan warga bantaran terkait dengan penyelesaian kasus perselisihan tentang dana banjir tersebut. Pendapat Bazerman dan kawan-kawan (2001) sebenarnya mendapatkan dukungan kuat dari sesama ilmuwan dan pakar konflik bernama, Roderick M. Kramer dan Peter J. Carnevale. Ia menjelaskan bahwa negosiasi pada dasarnya menawarkan suatu bentuk pengungkapan informasi yang terkait dengan masingmasing pihak, keinginan, dan fokus perhatian masing-masing pihak. Namun semua hasil dalam negosiasi tergantung pada semua pihak yang terlibat di dalamnya (Kramer dan Carnevale, 2001: 434). Dengan demikian, proses negosiasi sebagai salah satu upaya menuju resolusi konflik harus dijalankan secara seksama dengan niat yang baik dan komunikasi yang berkelanjutan dari semua pihak untuk mencapai kesepakatan bersama. Tokoh-tokoh di belakang konflik antara warga bantaran dan pemerintah kota sebenarnya menginginkan adanya komunikasi yang baik terjalin di semua pihak, sehingga memungkinkan dicapainya perdamaian dan kesepakatan bersama. Akan tetapi perasaan egoisme di masing-masing pihak yang berseteru membuat proses resolusi konflik belum berjalan maksimal. Padahal komunikasi dan keinginan kuat untuk menjalin perdamaian menjadi kunci penting dalam resolusi konflik. Walter Mischel, dan para koleganya menjelaskan bahwa secara mendasar bentuk to user penyelesaian konflik tergantung commit bagaimana semua pihak yang terlibat mengatur
170
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dirinya pada tingkatan kognitif dan emosional agar tercipta kondisi efektif yang melibatkan pemahaman terhadap situasi, harapan akan tercapainya tujuan, perasaan emosi, serta tujuan yang hendak dicapai (Mischel, et al, 2006: 297). Sederhananya Mischel dan koleganya hendak mengatakan bahwa faktor keinginan dari dalam individu untuk menyelesaikan suatu konflik menjadi salah satu bagian paling penting dalam proses resolusi konflik, selain komunikasi. Hal itu jelas menjadi penegasan ilmiah bahwa keinginan dan niatan baik dari semua pihak untuk mengakhiri konflik menjadi kunci paling penting dalam proses resolusi konflik. Selain itu faktor interaksional dan komunikasi antara warga bantaran dan pemerintah kota tetap harus dilandasi dengan niat baik tanpa upaya untuk saling menjatuhkan dan mengalahkan pihak lain. Dengan demikian akan tercapai suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan bagi semua pihak. Menariknya, jika diperhatikan lebih dalam, pemerintah kota sebenarnya menginginkan komunikasi yang lebih baik namun kurang disertai dengan niatan baik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal itu rupanya dijelaskan oleh Miall (2004), seperti dikutip oleh Del Felice bahwa bentuk-bentuk konflik yang diperpanjang biasanya mengganggu sisi kemasyarakatan secara lokal dan global (dalam Del Felice 2008: 76). Salah satu sifat konflik yang dijabarkan oleh Del Felice (2008) tersebut seakan membuka kenyataan bahwa memang pada pada beberapa kasus ada pihak tertentu yang sengaja mengulur-ulur waktu penyelesaian konflik dengan kepentingan tertentu. Kenyataan tersebut tergambar jelas di perselisihan yang terjadi antaran warga bantaran dengan pemerintah kota, karena meskipun ada upaya untuk menuju proses resolusi konflik terhadap dua pihak tersebut, namun kurangnya keinginan dan to resolusi user niat baik di antaran semua pihak commit membuat konflik belum kunjung tercapai.
171
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penjelasan Miall (2004) yang dikutip Del Felice (2008) pada dasarnya menujukkan bahwa proses konflik, terutama dalam upaya mencapai resolusi konflik tampaknya akan berlangsung cukup lama hingga secara umum memperpanjang proses konflik tersebut. Kondisi seperti itu sebenarnya justru merugikan semua pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut. Meskipun ada indikasi bahwa konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota relatif diselesaikan, Gary T. Furlong (2005), sebagai pakar konflik, memberikan suatu terobosan besar tentang suatu pemetaan konflik dan langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh untuk mengakhiri konflik. Gary T. Furlong, mengutip penelitian Elizabeth Kubler-Ross (1969), menjelaskan tentang Model Konflik Gerakan Lebih Jauh (Moving Beyond Conflict Model) yang secara umum berarti model konflik yang lebih banyak terfokus berhubungan pada sisi psikologis serta sifat dasar manusia yang selalu menyalahkan pihak lain serta menunjukkan niat buruk pada pihak lain dengan alasan ―kesalahan ada di pihak mereka‖, sehingga menghasilkan penghalang besar bagi tercapainya resolusi (dalam Furlong, 2005: 217). Keadaan tersebut rupanya mirip dengan konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota. Egoisme masing-masing pihak yang terlibat konflik tersebut menunjukkan adanya tekanan ke pihak lain seperti yang dijelaskan dalam asumsi dasar dari Model Konflik Gerakan Lebih Jauh. Lebih lanjut Furlong memaparkan bahwa model tersebut dapat digunakan untuk menghilangkan beban berat yang menghalangi tercapainya resolusi yang dibawa masing-masing pihak, karena itu ada lima bagian yang dijelaskan oleh Kubler-Ross dalam model tersebut, yaitu Penolakan, Marah, Tawar-menawar, Depresi, dan Penerimaan (dalam Furlong, 2005: 218). Secara sederhana model commit user terjadi selama konflik tersebut konflik tersebut menggambarkan plotto yang
172
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berlangung. Setiap tahapan dalam model tersebut pada dasarnya dilalui oleh semua konflik yang termasuk bisa dijelaskan dengan model tersebut, termasuk konflik antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Meskipun konflik yang terjadi antara warga bantaran dan pemerintah kota tampaknya relatif sulit diselesaikan karena ada rasa egoisme masing-masing pihak, namun bukan berarti konflik tersebut tidak dapat diselesaikan. Model Konflik Gerakan Lebih Jauh menawarkan suatu upaya menuju resolusi konflik yang bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Furlong (2005: 229-230) menjelaskan ada dua strategi yang bisa digunakan semua pihak untuk penyelesaikan konflik. Pertama, semua pihak yang terlibat harus memahami situasi dan harus bergerak melalui semua proses yang dijelaskan oleh model tersebut, penolakan menuju ke kemarahan, dan kemarahan menuju ke penerimaan. Upaya untuk menghidari semua tahapan justru membuat semua pihak terjebak dalam tahapan tersebut. Kedua, semua tahapan dalam model tersebut, penolakan, kemarahan, dan penerimaan, membutuhkan kemampuan tertentu untuk melewatinya. Kemampuan tersebut secara umum terdiri dari beberapa kemampuan, yang secara melibatkan aspek komunikasi. Dengan demikian, semua fakta, data, dan analisis di atas sebenarnya dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana upaya resolusi konflik yang telah dilakukan warga. Pada dasarnya warga bantaran, yang menentang relokasi dengan cara memberntuk forum bernama SKoBB, tidak menolak jalan damai dan mediasi yang dilakukan, selama mediasi itu dijalankan dengan komunikasi yang baik. Dengan kata lain, warga bantaran menginginkan adanya musyawarah untuk mencari jalan keluar terbaik dari masalah ini. Sementara itu, di sisi lain pemerintah commit user kota juga menginginkan hal serupa, yaitutokomunikasi yang baik, serta mediasi yang
173
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tepat. Akan tetapi, egoisme masing-masing pihak menghalangi proses komunikasi dan mediasi yang akan tercipta. Namun demikian, keinginan warga bantaran dan pemerintah kota, sebenarnya menjadi suatu kekuatan besar untuk melakukan proses komunikasi dan mediasi ulang demi mencapai resolusi konflik. Setidaknya ada tiga cara dan bentuk resolusi konflik yang bisa digunakan sebagai sarana menyelesaikan konflik tersebut, yaitu, mediasi, adjudikasi, dan negosiasi. Mediasi merupakan bentuk resolusi konflik yang menggunakan peranan orang ketiga, yang diterima oleh semua pihak tanpa keterpaksaan, sebagai mediator. Adjudikasi pada dasarnya merupakan bentuk resolusi konflik yang menggunakan lembaga pengadilan untuk menyelesaikan masalah. Semantara itu, negosiasi merupakan bentuk resolusi konflik yang hanya melibatkan dua pihak yang berseteru untuk menyelesaikan permasalahan mereka secara bersama-sama. Pada dasarnya warga bantaran dan pemerintah kota pernah melakukan dua bentuk resolusi konflik tersebut, namun hasilnya kurang maksimal, karena belum ada niat baik dari pemerintah kota untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Namun demikian bukan berarti konflik antara warga bantaran dengan pemerintah kota tidak bisa diselesaikan. Model Konflik Gerakan Lebih Jauh (Moving Beyond Conflict Model) yang dikembangkan oleh Elizabeth Kubler-Ross (1969) dan dijelaskan oleh Furlong (2005) kemungkinan besar bisa digunakan untuk membantu mencari resolusi konflik yang tepat.
commit to user
174
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. Komunikasi pada Konflik dan Resolusi Konflik 1. Aspek Komunikasi pada Penyebab Konflik dan Eskalasi Konflik a. Petunjuk Komunikasi dalam Penyebab Konflik Komunikasi sebenarnya merupakan suatu proses yang memungkinkan satu pihak untuk saling memberikan pesan ke pihak lain dalam bentuk suatu interaksi sosial. Dalam konflik tentang dana bantuan banjir yang terjadi antara masyarakat kota dengan warga bantaran sebenarnya juga merupakan bentuk komunikasi yang melibatkan pengiriman, pengkodean, penerimaan, dan penafsiran, terhadap sejumlah pesan tertentu yang diberikan komunikator, serta tanggapan yang diberikan oleh komunikan terhadap pesan tertentu. Dalam kasus perselisihan yang terjadi antara pemerintah kota dan warga bantaran, semua pihak yang terlibat dalam perselishan tersebut bisa menjadi komunikator dan komunikan sekaligus, sehingga mereka bisa mengirimkan sejumlah pesan sekaligus menerima sejumlah pesan tertentu, terutama yang berhubungan dengan konflik tersebut. Dalam konflik tentang dana banjir yang melibatkan pemerintah kota dan warga bantaran dapat pasti dimulai oleh pesan yang dikirimkan oleh salah satu pihak namun salah dipahami oleh pihak lain. Hal itu memunculkan bibit-bibit ketergangan di dua belah pihak, karena munculnya perbedaan tujuan dan kepentingan di antara pemerintah kota dan warga bantaran. Fakta ini sebenarnya dimulai dari aspek komunikasi yang mungkin kurang tepat, kurang menjangkau sasaran, dan mungkin juga kurang memadai untuk dapat dipahami dan diinterpretasikan oleh semua pihak yang terlibat. Secara sederhana, permulaan perselisihan tersebut dimulai ketika pemerintah kota memutuskan untuk menunda pembayaran dana bantuan banjir serta commit to user mulai menggulirkan program relokasi. Penundaan dana bantuan banjir tersebut
175
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
khusunya diperuntukkan bagi warga bantaran yang menolak relokasi, karena tinggal di tanah hak milik (THM). Pemerintah kota, dalam hal ini, mengkomunikasikan hal itu dalam suatu pesan tertentu seperti yang dikatakan oleh Suparno HS. Ia mengatakan bahwa Ada proses sosialisasi sebelumnya, jadi sebelumnya dilakukan sosialisasi dulu, yang dilakukan bulan November atau bulan apa saya lupa. Pemerintah kota tidak pernah memaksa untuk relokasi, tetapi itu-kan tempat larangan, bukan tempat pemukiman. Lalu saya dari pokja bilang begini ―mbok ya sudah program pemerintah diikuti saja, wong banjir itu merepotkan orang banyak, selain hanya merepotkan sendiri‖. (Wawancara pada 14 April 2010)
Lebih lanjut Suparno HS menyatakan bahwa program relokasi tersebut bukanlah paksaan bagi warga bantaran. Ia menyatakan bahwa Pemerintah kota tidak pernah memaksa untuk relokasi, tetapi itu-kan tempat larangan, bukan tempat pemukiman. Lalu saya dari pokja bilang begini ―mbok ya sudah program pemerintah diikuti saja, wong banjir itu merepotkan orang banyak, selain hanya merepotkan sendiri‖. (Wawancara pada 14 April 2010)
Keterangan yang diberikan Suparno HS tersebut pada dasarnya menujukkan keinginan pemerintah kota untuk merelokasi semua warga bantaran yang tinggal di tanah negara (TN), namun demikian hal itu juga berdampak pada warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM) karena kebanyakan dari mereka juga tinggal di bantaran. Fakta dan keterangan tersebut menujukkan bahwa pemerintah kota secara sederhana memberikan pesan tegas namun tidak memaksa, bahwa semua warga yang tinggal di bantaran harus segera di relokasi demi keamanan mereka sendiri. Hal itu didasarkan oleh kenyataan bahwa tanah bantaran bukan wilayah yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal. Pesan seperti itu jelas meresahkan banyak warga yang tinggal usermilik. di bantaran, terutama yang tinggalcommit di tanahtohak
176
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ketua DPRD Surakarta, Sukasno SH, menguatkan keterangan yang diberikan oleh Suparno HS, bahwa pemerintah kota pada dasarnya telah melakukan komunikasi dengan memberikan pesan-pesan tentang program relokasi terhadap semua warga yang tinggal di bantaran. Meskipun Sukasno SH tidak memiliki hubungan langsung terhadap proses dan program relokasi, namun ia memahami posisi pemerintah kota dan kenyataan tentang program tersebut, serta alasan mengapa pemerintah kota menunda pembayaran dana bantuan banjir tersebut. Ia menjelaskan bahwa Ya, kalau, jadi itu semua dimulai pada saat banjir, tahun 2006 atau tahun 2007, saya agak lupa [pen: sebenarnya banjir tersbut terjadi tahun 2007], memakan begitu banyak korban, dan sebagian besar korban tersebut tinggal di wilayah bantaran. Pemerintah kota berencana untuk merelokasi warga bantaran, dan hal itu nyambung dengan program pemerintah pusat bahwa pemerintah pusat tentang pengelolaan Sungai Bengawan Solo, yang salah satu proyeknya merupakan peninggian tanggul-tanggul di Bengawan Solo, dan Solo merupakan satu kota yang mendapatkan proyek tersebut. Karena kita [pen: warga Solo] juga sekitar 10-15 km berada di sekitar Bengawan Solo. Dari situ, ada uang untuk bantuan banjir, juga dari APBD mendampingi, dari situ kita bisa membatu warga, dari situ harapannya bantuan banjir tersebut tidak dibantukan dalam bentuk uang, karena ada kriteria tertentu dalam SK walikota dan juga walikota dengan kementerian pusat. ... Kamu [pen warga bantaran] akan terbebas dari banjir plus bantuan uang maka akan dapat sekitar 25 juta, belikan tanah, dan masyarakat diharuskan membuat pokja sendiri-sendiri bukan pemerintah kota, dan pokja akan menentukan di mana masyarakat harus membeli tanah, sehingga tidak harus di kota Solo. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Penjelasan dari Sukasno SH, sebagai ketua DPRD sebenarnya menunjukkan dukungan kepada penjelasan Suparno HS bahwa pemerintah sebenarnya telah berkomunikasi kepada warga bantaran dengan pesan tentang program relokasi dan dana bantuan banjir tersebut. Selanjutnya, Sukasno SH secara umum juga mengatakan bahwa tanah bantaran bukanlah tanah hunian, tepat seperti yang dikatakan pemerintah kota commit to user melalui ketua Pokja, Suparno HS. Ketua DPRD tersebut menyatakan bahwa
177
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sehingga, kalau masyarakat yang menghuni bantaran itu hunian liar, ya harus memahami, bahwa ada undang-undang dan perda, bantaran itu harus bebas dari hunian dan sebagainya, sehingga ya seharusnya mereka tidak disitu. ... Jadi kalau mereka nekat bertahan sampai titik darah penghabisan, menurut saya ya tidak pas juga, karena mereka disitu menghuni tanah bantaran. ... Persoalannya, saya juga heran, kok dulu ya bisa kalau bantaran bisa jadi hunian, soalnya ada kan di undang-undang itu jelas, tanah bantaran itu seperti apa. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Keterangan tersebut sebenarnya menjadi alasan jelas bagi pemerintah kota untuk memberlakukan program relokasi bagi warga bantaran, terutama bagi warga yang tinggal di tanah negara (TN). Sedangkan warga yang tinggal di tanah hak milik (THM) akan direlokasi sesuai dengan kesepakatan yang akan disusun kemudian– diatur melalui konsep sosialisasi lanjutan yang sekarang masih dalam proses. Sementara itu pemerintah kota sebenarnya memiliki alasan kuat untuk melakukan penundaan pembayaran dana bantuan banjir yang diinginkan oleh warga bantaran. Hal itu sebenarnya masih berkaitan dengan program relokasi dan proses administrasi yang berada di belakang semua itu. Kebanyakan tokoh elit yang berada di belakang permasalahan tersebut menjelaskan bahwa masih ada beberapa permasalahan administrasi dan relokasi bagi warga yang tinggal di tanah negara (TN), sebelum menyelesaikan permasalahan bagi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM). Pernyataan tentang alasan penundaan pembayaran dana bantuan banjir kepada warga bantaran yang menolak relokasi diberikan oleh Suparno HS, sebagai wakil paling depan dari pemerintah kota. Ketika diwawancarai ia menjelaskan bahwa Saya rasa pada tahun 2010 ini sudah selesai semua, sebab banyak juga warga yang tinggal di tanah hak milik yang sudah mau didata dan banyak juga warga yang daftar, selama ini sudah ada sekitar 55 warga yang daftar, yang dengan harga tanah sekitar 30.000 atau mereka nanti mintanya berapa, pasti nanti akan diberikan gantinya oleh pak walikota, toh pak walikota orangnya itu bagus, pak wali tidak akan sewenangcommit to user wenang kok, begitu. (Wawancara pada 14 April 2010)
178
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Singkat kata, penundaan pembayaran uang banjir tersebut disebabkan adanya urusan administrastif yang harus diselesaikan oleh pemerintah kota, termasuk bagaimana upaya pembayaran dana banjir serta konsep relokasi yang pas bagi warga bantaran di tanah hak milik (THM). Ia juga menjelaskan bahwa ada rasa ketergesaan di warga bantaran di tanah hak milik, yang pada akhirnya mencetuskan perselisihan tersebut Nantinya yang tinggal di tanah hak milik itu juga dapat 8,5 juta [pen: perselesihan ini dimotori oleh warga yang tinggal di tanah hak milik]. Yang jadi keinginan mereka kan uangnya mau diminta sekarang, itu saja kan. Jadi yang jelas relokasi tetap jalan, kami juga tidak mau mengurangi hak mereka.
Pernyataan dari Suparno HS tersebut sebenranya menguatkan fakta bahwa pemerintah kota telah mengadakan upaya pemahaman dan penyampaian pesan kepada masyarakat bantaran, terutama yang menolak relokasi, tentang bagaimana status tanah bantaran. Pemerintah kota juga menjelaskan mengapa ada penundaan pembayaran dana bantuan banjir tersebut. Widdi Srihanto juga memberikan pernyataan yang senada dengan Suparno HS, bahwa ada permasalahan administrasi yang harus diselesikan pemerintah kota terlebih dahulu, selain mencari jalan keluar yang tepat untuk dapat merelokasi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM). Selama masih ada komunikasi maka semua masalah seperti itu pasti dapat diselesaikan. Kami juga harus mencari konsep yang tepat untuk mengatasi warga yang tinggal di tanah hak milik. Sebab kami tidak bisa merelokasi warga yang tinggal di tanah hak milik. (Wawancara pada 25 Mei 2010)
Keterangan dari Widdi Srihanto menujukkan bahwa pemerintah kota pada dasarnya tidak ingin menunda pembayaran dana bantuan banjir yang menjadi salah satu penyebab perselisihan tersebut, pemerintah kota hanya mencari konsep yang tepat commit to user
179
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk mencari jalan keluar bagi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik (THM), yang notabene memulai konflik ini. Secara sederhana semua penjelasan dari jajaran tokoh penting di belakang dana bantuan banjir dan relokasi tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah kota sebenarnya telah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada warga bantaran secara umum, bahwa tanah bantaran bukanlah tanah yang tepat sebagai wilayah hunian, sehingga menuntut adanya program relokasi. Pemerintah kota juga menjelaskan bahwa penundaan pembayaran dana bantuan banjir pada hakekatanya disebabkan oleh adanya permasalahan administratif serta penyusunan konsep yang tepat bagi proses relokasi bagi warga yang tinggal di tanah hak milik. Proses komunikasi tersebut pada dasarnya tidak terlalu berhasil karena memunculkan adanya perbedaan persepsi bagi warga bantaran yang tinggal di tanah hak milik. Hal itu menjadi awal dari pertentangan tentang dana bantuan banjir tersebut. Agus Sumaryawan, sebagai warga bantaran dan koordinator aksi, memberikan pernyataan bahwa dana bantuan banjir tersebut pada dasarnya memang sengaja tidak dibayarkan. Selain itu pemerintah kota juga menjadikan program relokasi sebagai program dadakan Setelah banjir, pihak kelurahan mulai mendata semua warga yang tinggal di bantaran untuk dimintakan bantuan. Setelah itu semua ketua RT yang tinggal di bantaran disuruh ke pemerintah kota untuk mendapatkan pengarahan seperti ini ―semua warga yang tinggal di bantaran pemberian bantuan diberikan pada semua pemilik tanah, pemilik rumah, dan semua warga baik yang tanah negara (TN) dan tanah hak milik (THM)‖. Tidak ada sedikitpun muncul kata ―relokasi‖. Dengan demikian semua warga yang tinggal menjadi korban banjir istilahnya hanya menunggu bantuan dari pusat [pen: bantuan dari pusat yang diberikan melalui pemerintah kota] yang akan segera cair dan tidak berbentuk material, kalau tidak berbentuk materi pasti berbentuk uang. (Wawancara pada 23 Januari 2010) commit to user
180
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lebih lanjut, ia juga menyatakan bahwa Namun di akhir tahun 2008, mulai beredar kencang isu tentang relokasi, sehingga warga yang tinggal di daerah ini mulai menentang secara keras, bahkan di sini di pasang spanduk besar bertuliskan ―Tolak Relokasi Sampai Titik Darah Penghabisan‖. Penolakan tersebut tampaknya membuat pemerintah kota merapkan tak-tik belanda ―devide et impera‖[pen: adu domba]. Di sini ada dua status tanah, tanah negara (TN) dan tanah hak milik (THM), karena dipecah maka warga yang tinggal di tanah negara menjadi takut terhadap pemerintah. Beberapa waktu setelah itu ada sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah kota berkaitan dengan masalah relokasi tersebut yang intinya bermaksud mengatakan ―warga yang mau relokasi silahkan, yang tidak mau silahkan, namun jika terjadi sesuatu dari pemerintah pusat, pemerintah kota tidak ikut campur‖. Tetapi proses sosialisasi tersebut seakan menekan warga yang tinggal di wilayah bantaran untuk mau direlokasi. (Wawancara pada 23 Januari 2010)
Paparan Agus Sumaryawan tersebut menujukkan bahwa penjelasan dan pesan dari pemerintah kota, tentang dana banjir dan program relokasi belum bisa dipahami secara maksimal sehingga kemungkinan besar proses komunikasi yang dilakukan pemerintah kota belum menjangkau sasaran yang tepat. Pernyataan yang serupa diberikan oleh warga bantaran yang lain. Nunuk Ismiyati menyatakan bahwa program relokasi dan penundaan pembayaran dana bantuan banjir dikaitkan dengan program relokasi. Hal tersebut, bagi Nunuk Ismiyati, menunjukkan bahwa pemerintah kota tidak berniat membayarkan bantuan banjir. Ia menjelaskan Beberapa bulan kemudian semua pengurus RT diundang ke Bapeda untuk rapat dalam rangka membahas semua data yang telah dikirim sebelumnya, untuk diajukan ke menkokesra demi rehabilitasi rumah yang rusak karena banjir. ... namun mak bedunduk [pen: sekonyong-konyong] ada woro-woro wacana tentang program relokasi yang pada dasarnya ―mau yo monggo‖ yang juga sempat disampaikan pak walikota ―mau yo monggo-yen ora yo ora opo-opo, neng yen ono inspeksi soko Jakarta ojo salahne aku‖ [pen: mau ya silahkan tidak mau ya tidak apa-apa, tapi kalau ada pemeriksaan dari Jakarta jangan salahkan saya]. Dari sini-kan ada maksud bahwa relokasi itu sukarela, tetapi dia, pak walikota, tanpa sepengetahuan RT ada woro-woro akan diberikan bantuan sekitar 22,5 juta rupiah sebagai ganti rumah dan fasilitas umum yang rusak khusus commitdito tanah user negara (TN). Jika dihitung-hitung bagi penghuni yang tinggal jika tanah negara (TN) sudah mendapatkan bantuan, maka sisanya-kan
181
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ada hak bantuan bagi tanah hak milik (THM), tetapi mengapa sampai sekarang belum dibayarkan. Itulah yang jadi masalah sampai sekarang. ... (Wawancara pada 17 Februari 2010)
Pernyataan yang diberikan Nunuk Ismiyati tersebut menunjukkan adanya pertentangan dengan pernyataan yang diberikan para tokoh dari pemerintah kota yang berada di belakang relokasi dan dana bantuan banjir. Bagi Nunuk Ismiyati program relokasi tidak lebih dari upaya pemerintah kota untuk mengusir warga bantaran, padahal pernyataan yang diberikan tokoh dari pemerintah kota tampaknya tidak bermaksud mengusir warga bantaran, hanya menertibkan warga dan menunda pembayaran dana banjir karena adanya proses penyelesaian administratif. Warga bantaran yang lain juga mengungkapkan persepsi yang sama dengan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan dan Nunuk Ismiyati tentang program relokasi dan penundaan dana bantuan banjir tersebut. Maryono mengungkapkan bahwa. Data tersebut dikirimkan ke balaikota sebagai awal untuk meminta bantuan dari pusat [pen: pemerintah pusat di Jakarta]. Setelah ada informasi bahwa dana tersebut sudah dikucurkan dari pusat, tiba-tiba pemerintah kota bikin program yang bernama relokasi, karena pengertian bantuan banjir tidak sampai pada pengalokasian dalam bentuk lain. Jadi yang namanya bantuan banjir yang seharusnya tetap dalam bentuk bantuan, bukan dalam bentuk yang lain, sehingga bantuan tersebut juga harus dalam bentuk bantuan bukan diembel-embeli dengan tujuan dan program yang lain. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa pemahaman dan persepsi Maryono tentang dana bantuan banjir dan relokasi tampaknya seragam dengan yang dimiliki oleh Agus Sumaryawan dan Nunuk Ismiyati. Hal itu menunjukkan bahwa warga bantaran yang enggan direlokasi rupanya sama-sama memandang bahwa program relokasi tersebut merupakan program yang bersifat sepihak dan menekan warga bantaran. commit to user
182
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Namun demikian, pernyataan yang diberikan Maryono tampaknya tidak sekeras yang diberikan oleh Agus Sumaryawan dan Nunuk Ismiyati.
b. Aspek Komunikasi pada Penyebab Konflik Pernyataan yang diberikan oleh para tokoh dari pemerintah kota dan para tokoh dari warga bantaran yang menolak program relokasi menunjukkan adanya kesalahpahaman dalam menanggapi semua informasi dan pesan yang diberikan oleh pemerintah kota. Hal itu secara tegas dapat memunculkan benih-benih perselisihan di antara semua pihak yang terlibat. Perhatikan indikasi bahwa ada semacam kesalahan persepsi antara pemahaman yang diberikan oleh pemerintah kota dengan bentuk pemahaman yang diterima oleh masyarakat. Fakta dan kesalahan persepsi antara pemerintah kota dengan warga bantaran merupakan kondisi yang potensial untuk mencetuskan konflik dan pertentangan. Jika dijelaskan secara sederhana, kesalahan persepsi tersebut dapat dilacak dari pola komunikasi yang terjadi pada saat pemerintah kota mulai mensosialisasikan program relokasi dan penundaan dana banjir tersebut. Sebagai komunikator, pemerintah kota rupanya memiliki kepentingan tertentu terhadap wilayah bantaran yang sebenarnya merupakan daerah terlarang sebagai tempat hunian. Kepentingan tersebut mungkin bukan menjadi pokok bahasan dalam tesis ini. Namun demikian kepentingan yang berada di belakang pemerintah kota mendorong permerintah kota menghasilkan suatu keutusan yang kuarang tepat berkaitan dengan pensan yang dihasilkan. Selain itu pemahaman pemerintah kota yang kuarang terhadap situasi yang berkembang di bantaran membuat pesan yang dihasilkan memicu muculnya kesalahpahaman. commit to user
183
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari segi pesan, pemerintah kota pada dasarnya membangun pesan yang menghasilkan munculnya ambiguitas pemahaman bagi masyarakat bantaran, selain itu faktor psikologis dan kepentingan pemerintah kota membuat pesan yang kurang tepat bagi warga bantaran. Pesan tentang relokasi bagi warga bantaran di tanah negara (TN) kontan membuat warga bantaran di tanah hak milik (THM) menjadi cemas, dan berpikir bahwa relokasi juga akan diberlakukan kepada mereka. Padahal sebelumnya pemerintah kota sudah menjanjikan tentang dana bantuan banjir, sebelum relokasi tersebut dilaksanakan. Media yang digunakan pemerintah kota untuk menjelaskan tujuan dan pesan yang telah dikodekan sebelumnya memang tidak sepenuhnya efektif. Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah kota pada dasanya hanya menjangkau dan ditujukan kepada warga bantaran yang tinggal di tanah negara (TN), sedangkan warga yang tinggal di tanah hak milik (THM) belum mendapatkan sosialisasi yang memadai tentang program pemerintah yang akan dilaksanakan. Hal itu menimbulkan kecemasan dan kesalahan penafsiran pada warga bantaran di tanah hak milik (THM) yang mendorong terjadinya konfik. Situasi tersebut membuat warga bantaran sebagai komunikan mulai terjebak dalam kesalahan persepsi yang dicetuskan oleh faktor pesan dan media yang kurang tepat. Hal itu membuat warga bantaran mulai membuat beragam asumsi keliru tentang apa yang terjadi dan apa yang seharunya dilakukan terhadap pemerintah kota. Situasi tersebut membuat warga bantaran mulai melakukan tanggapan atau feedback berupa konflik yang menentang pemerintah kota. Perhatian
terhadap
interaksi
semua
unsur
komunikasi
tersebut
menunjukkan secara lebih detail tentang bagaimana proses komunikasi dan commit Secara to user lebih detail ada dua macam sebab perbedaan pemahaman tersebut terjadi.
184
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang menjadi dasar perbedaan persepsi tersebut. Pertama, perselisihan tersebut diawali oleh perbedaan persepsi antara pemerintah kota dengan warga bantaran dalam suatu proses komunikasi yang melibatkan isu tentang dana bantuan banjir dan program relokasi. Kedua, secara umum perselisihan tersebut diawali dengan kurang memadainya proses sosialisasi yang menjelaskan tentang dana bantuan banjir dan program relokasi, karena program tersebut belum berhasil menyamakan persepsi antaran pemerintah kota dengan warga bantaran. Kedua hal tersebut serta proses komunikasi antara pemerintah kota dengan warga bantaran yang kurang tepat turut andil mencetuskan konflik dan perselisihan tersebut.
c. Petunjuk Tentang Komunikasi dalam Eskalasi Konflik Penyebab perselisihan antara pemerintah kota dan warga bantaran tersebut membawa pada suatu babak baru yang menujukkan betapa kuatnya warga bantaran memperjuangkan hak mereka. Hal itu meningkatkan proses eskalasi konflik antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Ada banyak pihak yang memberikan sorotan dan pendapat mereka tentang proses komunikasi dalam eskalasi konflik tersebut. Namun demikian proses komunikasi dalam eskalasi konflik ini menunjukkan bahwa warga bantaran menjadi komunikator paling dominan dibandingkan pada proses komunikasi dalam penyebab konflik. Selain itu dalam eskalasi konflik lembaga pengadilan tampaknya menjadi salah satu media bagi warga bantaran untuk menyampaikan pesan-pesan mereka kepada pemerintah kota. Tanda paling awal tentang proses komunikasi dalam eskalasi perselisihan yang dilakukan oleh warga bantaran dinyatakan oleh Agus Sumaryawan, sebagai koordinator aksi sekaligus warga bantaran. Dalam suatu wawancara ia mengatakan commit to user Karena tidak ada kejelasan tentang bantuan banjir yang 8,5 juta itu, akhirnya saya mengadakan aksi di balaikota tanggal 23 Desember 2008. 185
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tetapi waktu kami demo di balaikota pada minggu kedua, tidak ada yang menemui kami untuk membicarakan hal ini. Kami hanya ditemui oleh Pak Supradi, yang hari saat itu hanya bilang ―nanti akan saya sampikan pada pimpinan saya‖. Karena kami tidak mendapatkan hasil saat demo di balaikota, maka kami langsung berjalan ke dewan untuk demo di sana. (Wawancara pada 23 Januari 2010)
Pernyataan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan dalam aksi demonstrasi di balaikota dan DPRD Surakarta tersebut menujukkan bahwa eskalasi perselisihan tersebut mulai berkembang dengan warga bantaran sebagai komunikator. Aksi tersebut sebenarnya bertujuan membawa pesan agar pemerintah kota segera mencairkan dana bantuan banjir yang menjadi hak warga bantaran. Keterangan yang diberikan oleh Agus Sumaryawan dikuatkan oleh warga bantaran yang lain. Hal itu menujukkan bahwa demonstrasi dan aksi yang digulirkan warga menjadi indikasi bahwa perselisihan tersebut sedang meluas. Nunuk Ismiyati menyatakan Pada awalnya kami sempat demonstrasi ke balaikota, namun pada saat itu kami tidak ditemui oleh walikota, padahal sudah masyarakat tahu bahwa walikota ada di kantor. Tetapi kami justru ditemui oleh sekretarisnya. Lalu kami lanjutkan demonstrasi ke dewan, tetapi dewan baru tahu bahwa ada kesepakatan tentang dana bantuan. Padahal seharusnya dewan-kan juga bertugas untuk controlling, jadi seharusnya dewan tahu ada kesepakatan itu. (Wawancara pada 17 Februari 2010)
Bentuk demonstrasi sebenarnya dapat menjadi suatu bentuk komunikasi yang dilakukan masyarakat bantaran untuk menuntut hak tentang dana bantuan banjir. Akan tetapi karena pemerintah tidak kunjung mencairkan dana bantuan tersebut, maka demonstrasi menjadi bukti penting tentang komunikasi dalam eskalasi konflik yang sedang menuju perkembangan serius. Warga bantaran meningkatkan eskalasi perselisihan tentang dana bantuan banjir tersebut dengan melakukan komunikasi ke lembaga pengadilan, dengan tujuan commit to user dan pesan yang sama dengan yang dibawa pada saat demonstrasi, yaitu percepatan
186
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pencairan dana bantuan banjir. Komunikasi yang dilakukan warga bantaran melalui pengadilan sebenarnya memiliki potensi besar untuk dapat mengakiri konflik secepat mungkin, namun juga bisa meningkatkan eskalasi konflik. Pada kenyataannya pengadilan justru menjadi salah satu pendorong peningkatan eskalasi konflik yang digulirkan oleh warga bantaran. Heri
Hendro
Harjuno
menjelaskan
bahwa
upaya
memasukkan
permasalahan ke pengadilan masih behubungan dengan permintaan mereka dalam aksi demonstrasi yang belum dapat dipenuhi. Dengan kata lain, komunikasi yang dilakukan melalui lembaga peradilan dirasakan lebih efektif dibandingkan melalui demonstrasi. Selain itu komunikasi yang melalui lembaga pengadilan berpotensi besar meningkatkan eskalasi perselisihan yang telah terjadi. Heri Hendro Harjuno menyatakan Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan warga, sudah banyak pendekatan yang dilakukan warga kepada komisi-komisi yang terkait dengan hal ini, termasuk pada wakil walikota dan walikota. Tetapi kenyataanya belum ada penyelesaian, intinya masing-masing berusaha mempertahankan apa yang sudah mereka miliki. Karena warga merasa tidak ada penyelesaian secara baik-baik untuk menangani masalah ini, maka kami mengajukan masalah ini ke pengadilan. (Wawancara pada 15 Maret 2010)
Secara sederhana pernyataan yang diberikan pengacara untuk warga bantaran tersebut menujukkan bahwa setelah tidak adanya titik temu dalam upaya demonstrasi, maka warga bantaran mulai meningkatkan eskalasi perselisihan ini, dengan tujuan yang sama, menuju lembaga pengadilan. Dengan demikian maka pengadilan diharapkan bisa memberikan tekanan yang besar kepada pemerintah kota untuk segera menyelesaikan kasus tersebut. Di samping itu, forum atau kelompok masyarakat bernama SKoBB yang commit to usersendiri juga memberikan penguatan sebagian besar disusun oleh warga bantaran
187
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam upaya masyarakat bantaran dalam menuntut hak warga bantaran sendiri. Forum masyarakat tersebut rupanya juga dibentuk untuk menguatkan perlawanan masyarakat bantaran dalam menghadapi perselisihan tersebut. Beberapa keterangan warga bantaran sekaligus anggota SKoBB menunjukkan bahwa forum atau kelompok masyarakat tersebut turut andil mendukung warga bantaran dalam perselisihan tersebut. Agus Sumaryawan, dalam kapasitasnya sebagai koordinator aksi dan ketua SKoBB, mengatakan bahwa Dengan forum SKoBB, kami membentuk koordinator lapangan pada tiap RT, sehingga memudahkan komunikasi untuk mau bertemu dan memberdayakan tiap warga. Di samping itu, kami melakukan komunikasi pada tiap RT tentang sosialisasi kebijakan yang dilakukan oleh SKoBB. Dengan demikian warga dapat diberi pemahaman untuk melawan semua kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat atau kebijakan yang menindas. Sebab tanpa adanya perlawanan maka dapat dipastikan rakyat akan tertindas selama-lamanya. (Wawancara pada 23 Januari 2010)
Dalam suatu wawancara Agus Sumaryawan juga menjelaskan bahwa forum masyarakat tersebut juga mendukung semua upaya yang dilakukan oleh warga bantaran dalam aksi mereka menuntut dana bantuan banjir tersebut. Ia menjelaskan Pada awalnya, kami sudah mengkomunikasikan pada semua instansi yang terkait dengan permasalahan ini. Tetapi karena semua instansi yang terkait itu selalu menuruti perintah atasannya walaupun atasannya itu salah, maka tidak ada perhatian yang baik terhadap semua tuntutan kami. Selain itu kami juga mengkomunikasikan masalah ini ke dewan, tetapi hasilnya buntu. Sebab selama ini yang saya tahu lembaga legislatif dan eksekutif sudah pacaran atau rangkul-rangkulan. Karena semua upaya komunikasi yang kami lakukan sudah tidak berhasil maka kami melakukan gugatan. Di samping itu kami berusaha menendang jauh-jauh mitos yang mengatakan bahwa pemerintah selalu benar. Karena bagaimanapun mereka juga manusia yang punya salah dan dosa. (Wawancara pada 23 Januari 2010)
commit to user
188
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan tersebut menujukkan bahwa forum SKoBB memberikan dukungan besar terhadap permasalahan tersebut, karena forum itu dibentuk oleh warga bantaran yang menentang program relokasi namun mendukung pembayaran dana bantuan banjir. Keberadaan dan tindakan forum SKoBB dalam aksi demonstrasi dan semua usaha serius menuntut dana bantuan banjir pada secara umum membuat eskalasi dan permasalahan yang terjadi semakin rumit. Dukungan SKoBB terhadap semua warga bantaran yang menolak relokasi namun mendukung dana bantuan banjir menjadikan kekuatan warga bantaran semakin solid dan mungkin akan semakin kukuh menuntut hak mereka. Pengacara untuk warga bantaran, Heri Hendro Harjuno rupanya menjelaskan bahwa forum SKoBB membuat warga bantaran semakin solid dan semakin teguh menuntut hak mereka ke pemerintah kota, sehigga membuat perselisihan dana bantuan banjir semakin rumit. Heri Hendro Harjuno mengatakan Saya tidak mendudukkan SKoBB sebagai suatu lembaga penyelesaian, tetapi suatu yang luar biasa untuk ukuran masyarakat yang bergerak merevitalisasi diri, mengorganisasikan diri, melalui cara sedemikian rupa yang solid dan menghadapi kendala-kendala. Bagi saya ini suatu pembelajaran diri yang murni muncul dari bawah. (Wawancara pada 15 Maret 2010)
Paparan di atas menujukkan bahwa SKoBB rupanya menjadi forum yang menguatkan masyarakat bantaran dalam menghadapi perselisihan tersebut. Selain itu penjelaskan tersebut mendukung pernyataan Agus Sumaryawan bahwa forum tersebut berusaha melawan semua kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat. Hal itu jelas membuat perselisihan ini memiliki eskalasi yang semakin luas. Maryono, dalam kapasitasnya sebagai warga bantaran dan anggota commit to user SKoBB, menyatakan bahwa SKoBB sudah melakukan banyak hal untuk menuntut
189
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan mendesak pemerintah agar segera menurunkan dana bantuan banjir tersebut, namun hal itu belum memberikan hasil nyata. Ia memberikan keterangan Sebenarnya banyak, kami sudah berupaya ke sana-sini [pen: proses komunikasi ke berbagai instansi terkait] dengan harapan ada suatu titik temu, tetapi kenyataannya memang susah. Mungkin juga hal ini berkaitan dengan nominal, atau anggaran, yang pada intinya pemerintah itu belum siap menutunkan anggaran untuk masalah ini. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Secara sederhana, Maryono berusaha menjelaskan bahwa setelah semua usaha untuk menekan pemerintah secara terbuka melalui semua aksi demonstrasi belum memberikan hasil nyata, maka jalan yang terbaik ialah menempuh jalur hukum, meskipun ia sendiri tidak menyatakan secara langsung. Dengan demikian, semua pernyataan yang diberikan oleh warga bantaran di atas membentuk suatu pemahaman besar bahwa eskalasi ini tidak terbentuk hanya begitu saja, namun ada beberapa faktor yang mendorong warga bantaran meningkatkan eskalasi perselisihan tersebut. Forum masyarakat bernama SKoBB rupanyan juga menjadi salah satu faktor pendorong bagi warga masyarakat untuk memulai meningkatkan eskalasi perselisihan tersebut. Namun demikian dukungan SKoBB rupanya belum berhasil membuat pemerintah menurunkan dan menyetujui pencairan dana bantuan banjir tersebut. Di samping itu, keberadaan forum SKoBB rupanya menjadi indikasi bahwa ada aspek komunikasi kelompok berperan dalam perselisihan tentang dana bantuan banjir tersebut. Keterangan yang diberikan oleh para tokoh dari warga bantaran di atas sebenarnya menjukkan bahwa sebenarnya ada proses komunikasi yang terjadi dalam upaya untuk meningkatkan eskalasi konflik tersebut. Upaya demonstrasi dan upaya menggulirkan permasalahan tersebut melalui jalur hukum menegaskan bahwa warga user agar pemerintah segera mencairkan bantaran berusaha menyampaikancommit suatu to pesan
190
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dana bantuan banjir yang menjadi hak mereka. Pesan tersebut secara umum menghasilkan efek ganda. Pertama, apabila pemerintah segera menuruti keinginan warga bantaran, maka semua permasalahan akan segera selesai. Kedua, jika pemerintah masih menunda pembayaran dana bantuan bagi warga, dan masih berencana melakukan relokasi terhadap semua warga bantaran, maka eskalasi perselisihan tersebut segera meningkat menuju tingkat yang lebih tinggi. Selain itu, penggunaan lembaga pengadilan dalam permasalahan ini menjadi satu bukti bahwa konflik yang sedang terjadi mengalami peningkatan menuju lebih keras. Komunikasi dalam eskalasi perselisihan tersebut selanjutnya menjadi suatu isu penting bagi seluruh kawasan eks-karesidenan Surakarta karena peranan media massa lokal. Ada beberapa media massa lokal yang sempat menjadikan permasalahan tersebut sebagai isu penting. Upaya warga bantaran untuk menyampikan pesan ke pemerintah kota melalui jalur hukum rupanya menemui kegagalan, sehingga secara otomatis perselisihan yang terjadi di antara warga bantaran dan pemerintah kota sedang berada dalam esklasi yang semakin luas. Harian Joglosemar menuliskan bahwa Setelah melalui proses yang berbelit-belit, pada 17 Februari lalu pihak Pengadilan Negeri justru memberikan keputusan yang mengecewakan dengan menolak seluruh materi gugatan ‖Alasannya gugatan kami melanggar Perda yang menyebutkan wilayah bantaran tidak boleh dihuni,‖ tambahnya (Joglosemar, 14 Maret 2010: 13).
Pernyataan dari harian Joglosemar tersebut menujukkan bahwa pemerintah kota masih berencana menunda pembayaran dana bantuan banjir bagi warga bantaran selama masih belum ada upaya penyelesaian yang tepat. Hal itu jelas menjadikan semua usaha komunikasi dan penyampaian pesan melalui pengadilan dinyatakan gagal, sehingga proses eskalasi perselisihan tersebut menjadi semakin luas. commit to user
191
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perluasan konflik tersebut ditunjukkan oleh pernyataan yang dilontarkan oleh Heri Hendro Harjuno dalam harian Joglosemar. Harian tersebut menuliskan bahwa Warga yang diwakili oleh kuasa hukumnya Heri Hendro Harjuno SH langsung banding atas putusan itu. Ratusan warga bantaran yang menggeruduk Pengadilan Negeri (PN) Solo langsung meluapkan kekecewaan mereka. Bahkan, mereka juga mencaci majelis hakim (Solopos, 18 Februari 2008: I).
Pengajuan banding atas keputusan pengadilan tersebut menjadi indikasi kuat bahwa eskalasi perselisihan yang terjadi menjadi semakin tinggi. Pengambilan keputusan banding tersebut sebenarnya juga menjadi pesan bagi pemerintah kota bahwa warga bantaran benar-benar serius dan teguh menuntut hak mereka tentang dana bantuan banjir dan menolak relokasi. Sementara warga masyarakat bantaran berusaha sekuat tenaga untuk mengkomunikasikan semua keinginan mereka kepada pemerintah kota melalui beragam aksi, termasuk melalui jalur hukum. Pemerintah kota tampaknya lebih banyak bersikap pasif dalam menanggapi semua tekanan dan pesan dari warga tersebut secara minim tanpa banyak memberikan tindakan secara langsung. Situasi tersebut membuat warga bantaran semakin berang dan mungkin juga semakin kelelahan menghadapi pemerintah kota yang tampaknya kurang memperhatikan semua aksi yang dilakukan warga bantaran. Namun demikian, pada dasarnya pemerintah kota tetap berusaha menemukan solusi agar permasalahan tersebut tidak meluas. Indikasi pertama tentang tanggapan pasif yang diberikan pemerintah kota dalam menaggapi kasus dana bantuan banjir tersebut diberikan oleh Suparno HS, sebagai ketua Pokja sekaligus tokoh penting di balik relokasi. Suparno HS commit to user mengatakan ―Ya tidak masalah, wong itu semua hak mereka, ya namanya alam
192
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
demokrasi, ya pasti ada yang setuju, ada pula yang menentang. Yang penting nanti tahun 2010 akan selesai, kan begitu toh.‖ (Wawancara pada 14 April 2010). Sebagai wakil dari pemerintah kota yang berada di garis depan, Suparno HS memberikan pernyataan yang menujukkan sikap pasif dari pemerintah kota dalam menanggapi semua pesan dalam eskalasi perselisihan tersebut. Pernyataan Suparno HS juga menujukkan bahwa pemerintah kota tetap menggulirkan program relokasi bagi semua warga yang bersedia di relokasi saja, sementara pemerintah bersikap tenang dalam menanggapi semua tuntutan warga yang menentang relokasi. Kecenderungan sikap pasif dan tenang yang ditunjukkan oleh pemerintah kota rupanya semakin dikuatkan oleh Sukasno SH, sebagai ketua DPRD Surakarta. Walaupun Sukasno tidak memiliki hubungan langsung dengan pemerintah kota tentang kasus tersebut, namun dia memiliki pengetahuan dan informasi yang memadai terntang perselisihan yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Dalam wawancara ia memberikan pernyataan bahwa Pemerintah kota bersikap pasif, artinya yang lalu biarlah berlalu, sebab pemerintah kota sudah mengambil semua langkah yang diperlukan, memberikan pemahaman ya sudah, memberikan sosialisasi, tapi pada akhirnya dikembalikan ke warga. Lalu jika mereka menggugat pemerintah kota ya silahkan saja. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Keterangan yang diberikan Sukasno SH rupanya menguatkan pernyataan yang diberikan Suparno HS. Pernyataan di atas juga menunjukkan bahwa pemerintah kota bersikap pasif karena telah melakukan semua hal yang dianggap perlu untuk menekan dan mengurangi eskalasi konflik dengan warga bantaran. Tindakan pasif dari pemerintah kota dalam menangani aksi tekanan yang diberikan warga bantaran kemungkinan besar bisa meredam peningkatan eskalasi perselisihan tersebut. Walalpun demikian, sikap pasif tersebut tidak mengurangi itikad baik pemerintah commit to user
193
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kota untuk menyelsaikan permasalahan dengan warga bantaran sambil terus melaksanakan program relokasi.
d. Aspek Komunikasi dalam Eskalasi Konflik Dalam eskalasi konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran, aspek komunikasi menjadi satu aspek penting yang kemungkinan besar membawa kedua pihak yang berseteru pada tingkat eskalasi yang lebih tinggi. Kenyataan tersebut ditunjukkan oleh proses komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran dengan cara keras dan menekan pemerintah kota melalui pengadilan dan demonstrasi. Dengan begitu, aspek komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran cenderung menekan pemerintah kota, melalui semua aspek, seperti demonstrasi dan pengadilan. Dalam proses tersebut, semua unsur komunikasi ikut serta meningkatkan eskalasi konflik tersebut. Bagian
paling
awal
dari
proses
komunikasi
dikenal
sebagai
komunikator. Komunikator dalam kasus eskalasi konflik tersebut dipegang sepenuhnya oleh warga bantaran. Kondisi serta situasi yang terjadi membuat situasi yang melingkupi membuat warga bantaran mulai menyusun kekutan untuk meningkatkan eskalasi konflik. Peryataan yang diberikan oleh Abdul Alim, sebagai wartawan profesional, bahwa setelah semua cara yang ditempuh warga bantaran gagal, maka satu-satunya jalan yang masih terbuka ialah jalur hukum. Heri Hendro Harjuno, sebagai pengacara bagi warga bantaran, juga menyatakan bahwa ranah hukum menjadi suatu jalan yang ditempuh setelah semua upaya kekeluargaan yang telah dilakukan menemui jalan buntu. Situasi tersebut membuat warga bantaran menjadi komunikator yang mulai bergerak dengan cara menyandikan pesan yang commit to user mampu meningkatkan eskalasi konflik.
194
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sementara itu, pesan yang disampaikan warga bantaran rupanya memiliki kekuatan dan tujuan yang menekan pemerintah kota melalui demonstrasi dan jalur hukum. Pesan yang disandikan oleh warga bantaran pada dasarnya sama dengan pesan dalam proses komunikasi secara umum, yaitu pesan yang menujukkan keinginan pihak pertama–dalam hal ini warga bantaran–ke pihak lain agar segera diberikan tanggapan yang sesuai dengan keinginan pihak pertama. Namun demikian, pesan yang disandikan oleh warga bantaran pada dasarnya memiliki kekuatan untuk menekan dan meningkatkan eskalasi konflik karena digunakan dengan cara yang keras dan kemungkinan besar besifat memaksa. Tipe pesan seperti itu membuat perselisihan yang terjadi bergerak menuju eskalasi yang semakin meningkat. Selain pesan yang besifat menekan dan memaksa, media yang digunakan warga bantaran juga berifat menekan dan memaksa pihak lain, karena digunakan secara frontal dan terbuka dengan melalui jalur-jalur komunikasi yang biasa digunakan untuk melakukan konflik. Perhatikan fakta bahwa warga bantaran menggunakan jalur demonstrasi seperti yang dikatakan oleh Nunuk Ismiyati, atau menggunakan jalur hukum seperti yang dikatakan oleh Heri Hendro Harjuno. Semua jalur tersebut merupakan jalur yang pada dasarnya menjadi media penting untuk meningkatkan eskalasi konflik serta menekan pihak lain dalam suatu konflik tertentu. Sedangkan sebagai komunikan, pemerintah kota menjadi objek yang menjadi tujuan disampaikannya pesan dalam proses komunikasi, bahkan pada komunikasi dalam konflik. Di samping itu sisi psikologis dan lingkungan di belakang pemerintah kota kemungkinan besar mempengaruhi keputusan dan tanggapan yang dilakukan. Dengan demikian, fakta bahwa tanggapan yang diberikan pemerintah kota relatif minim terhadap tuntutan warga bantaran kemungkinan besar tidak hanya commit to user
195
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dipengaruhi oleh proses komunikasi yang telah dilakukan, tapi juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan faktor psikologis yang berada di belakang komunikan. Aspek komunikasi dan unsur-unsur dalam proses komunikasi pada eskalasi konflik berusaha memberikan pemahaman pada pemetaan tentang proses komunikasi dan interaksi yang terjalin dari semua unsure komunikasi yang terlibat. Hal itu membuat pemahaman tentang eskalasi konflik tidak hanya terbatas pada penyebab eskalasi konflik, tapi juga pada struktur komunikasi yang menyusun dan terjadi pada eskalasi konflik. Dengan demikian, proses komunikasi dalam eskalasi konflik, serta latar belakang eskalasi konflik yang terjadi, dapat dipahami dengan mudah.
e. Analisis Tentang Aspek Komunikasi pada Penyebab dan Eskalasi Fakta dan data yang berasal dari lapangan menunjukkan bahwa konflik antara pemerintah kota dan warga bantaran rupanya dimulai dari kesalahan persepsi terhadap suatu pesan yang diberikan oleh kelompok tertentu, dalam hal ini pemerintah kota. Kemungkinan besar kesalahan persepsi tersebut terjadi karena pemerintah kota memberikan bentuk komunikasi yang kurang efektif atau kesalahan penyandian pesan, yang akan diberikan kepada warga bantaran. Jika kesalahan persepsi tersebut ditinjau dari disiplin ilmu komunikasi, maka pokok analisis akan terfokus pada proses komunikasi yang ada serta semua implikasi yang melingkupinya. Kesalahan persepsi yang menjadi penyebab awal dari suatu konflik pada dasarnya sesuai dengan pandangan yang diberikan oleh Robert A. Baron dan Donn Byrne yang menjelaskan kesalahan semantik sebagai sebuah akibat dari komukasi commit to user yang buruk dan menyatakan bahwa terkadang individu berkomunikasi dengan orang
196
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lain dengan cara yang salah sehingga menyebabkan orang lain marah (Baron dan Byrne, 2005: 194). Hal itu membuat analisis tentang komunikasi pada penyebab konflik tampaknya harus memandang secara menyeluruh pada semua aspek komunikasi yang terkait, mulai dari komunikator, pesan dan media, komunikan, serta tanggapan. Kesalahan komunikasi dan kegahalan menyampaikan informasi hingga menjadi awal dari konflik pada dasarnya tidak hanya dapat dari satu unsur komunikasi saja, tapi juga harus dilihat secara holistik pada semua unsur komunikasi yang ada. Dalam kasus perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota, komunikator–pemerintah kota–memegang peranan penting pada penyampaian pesan yang menjadi awal dari kesalahan penafiran pesan tersebut. Sedangkan dalam eskalasi konflik, warga bantaran menjadi komunikator paling penting dalam perselisihan Beragam faktor yang berada dibelakang komunikator turut andil mempengaruhi komunikator dalam menyampaikan pesan. Benjamin R. Karney, James K. McNulty, dan Thomas N. Bradbury menjelaskan bahwa komunikator yang efektif dipengaruhi oleh aspek kognitif yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku (Karney, et al, 2001: 43). Keterangan Karney dan kawan-kawan di atas sebenarnya menujukkan bahwa kondisi pemikiran di belakang komunikator sedikit banyak mempengaruhi pesan-pesan yang telah dibuat dan kemungkinan besar berpengaruh pada kesalahan pembuatan pesan yang akan disampaikan. Pandangan Karney dan koleganya (2001) pada dasarnya didukung oleh paparan Spitzberg dan Cupach yang mengatakan bahwa kegagalan komunikasi tampaknya bisa berasal dari dalam komunikator atau komunikan–yang disebabkan oleh bentuk-bentuk komunikasi yang agresif dan komunikasi yang tidak diinginkan commit yang to userakan mempengaruhi perkembangan sebagai hasil dari kekacauan kognisi
197
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
persepsi (Spitzberg dan Cupach, 2009: 457). Keterangan ilmiah Karney dan koleganya (2001) serta Spitzberg dan Cupach (2009) menunjukkan bahwa komunikator tidak dapat melepaskan diri dari pemikiran dan penyandian pesan yang akan disampaikan, karena itu komunikator bertanggungjawab pada kesalahan pembuatan pesan, yang menjadi penyebab konflik. Jalaluddin Rahkmat menyampaikan bahwa persepsi suatu pihak menghasilkan suatu kredibilitas yang berada di belakang komunikator, namun demikian hal itu tergantung pada situasi dan permasalahan yang sedang dibahas (Rahkmat, 2003: 257). Kondisi yang dijelaskan Rakhmat jelasn mengandung indikasi bahwa komunikator memiliki kredibilitas jika ada pihak lain yang mengakui kredibiltas tersebut serta ada legitimasi yang jelas terhadap suatu permasalahan. Hal itu membuat kesalahan penyadian pesan yang akan disampaikan bisa menghilangkan kredibiltas yang berada di belakang komunikator hingga menghasilkan konflik. Perhatikan lebih dekat perselisihan yang terjadi antara pemerintah kota dan warga bantaran yang terjadi. Komunikator pada penyebab konflik–pemerintah kota–rupanya kemungkinan besar menyandikan pesan yang mungkin menghasilkan kecaman dan tekanan keras bagi pihak lain, dalam hal ini warga bantaran. Faktor situasional dan faktor pemikiran yang berada di belakang komunikator kemungkinan besar juga berpengaruh pada aspek penyandian pesan yang diberikan oleh pemerintah kota kepada warga bantaran. Kondisi situasional yang kurang tepat kemungkinan besar mempengaruhi pesan yang dibuat dan disampaikan oleh pemerintah kota. Jika memang pemerintah kota berniat melakukan relokasi pada semua warga bantaran, maka pemerintah kota tidak seharusnya menyampikan dana bantuan banjir kepada warga bantaran. commit to user
198
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fakta yang diberikan di lapangan tampaknya tidak bertentangan dengan pemikiran pakar psikologi dan konflik seperti Karney dan koleganya (2001), Spitzberg dan Cupach (2009), serta Jalaluddin Rahkmat (2003). Kenyataan yang ada menujukkan bahwa penyadian pesan yang dilakukan pemerintah kota pada dasarnya telah dimulai dengan serangkaian kesalahan, yaitu kurangnya perhatian pemerintah kota kondisi situasional yang menyelimuti warga bantaran, yang pada hakekatnya membutuhkan bantuan fisik, tidak termasuk relokasi; pemerintah kota juga menyandikan pesan yang kurang tepat, bahwa relokasi ini bersifat tidak memaksa, padahal pada penerapannya tidak selalu demikian; faktor pemikiran dan pemahaman yang kurang terhadap kondisi warga bantaran yang seberanya mendorong pemerintah kota menyadikan pesan yang salah. Di pihak lain, dalam eskalasi konflik, warga bantaran yang menolak relokasi memegang peran sebagai komunikator. Sebagai komunikator warga bantaran juga menyandikan beberapan pesan yang kurang tepat hingga menghasilkan perluasan konflik yang semakin tinggi. Perhatikan pernyataan Lorreta L. Peccioni dan koleganya yang menyatakan bahwa komunikator yang kompeten harus bisa menyesuaikan kemampuannya dengan semua perubahan interaksi yang menyertainya (Peccioni, et al. 2008: 252). Apabila pernyataan Pecchioni dan koleganya dihubungkan dengan warga bantaran sebagai komunikator dalam eskalasi konflik, maka akan diperoleh suatu fakta penting. Apabila warga bantaran bisa bertindak tenang serta dapat menyelesuaikan diri dengan situasi yang sedang memanas, maka dapat dipastikan warga bantaran bisa menjadi komunikator yang efektif untuk menyampaikan pesan tertentu ke pemerintah kota. Kenyataan dan data yang ada di lapangan tampaknya menujukkan hal commit to userkomunikator yang cenderung kurang sebaliknya. Warga bantaran rupanya menjadi
199
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cermat menghadapi perselisihan tersebut sehingga meningkatkan kondisi dan eskalasi konflik yang sedang terjadi. Peranan kognisi dan pemikiran yang berkambang di warga bantaran membuat perselisihan tersebut menjadi semakin luas. Bagian kedua yang harus diamati pada proses komunikasi dalam perselisihan antara warga bantaran dengan pemerintah kota ialah pesan dan media yang digunakan. Pesan secara sederhana diartikan sebagai bentuk kata-kata yang direncanakan atau tidak oleh komunikator serta bentuk perilaku non verbal (Adler dan Rodman, 2009: 506). Dalam kaitannya dengan konflik antara pemerintah kota dengan warga bantaran, pesan yang disampaikan pemerintah kota, yang menyebabkan konflik, ialah pernyataan dan rencana relokasi dan penundaan dana bantuan banjir bagi warga bantaran. Pesan tersebut sebenarnya efektif jika digunakan dan disalurkan secara baik dan benar sesuai dengan situasi yang melingkupi warga bantaran dan pemerintah kota
secara umum. Akan tetapi penyampaian pesan
tersebut melalui media sosialisasi yang kurang menjangkau sasaran membuat pesan menjadi ambigu dan menimbulkan salah persepsi. Perhatikan pernyataan yang diberikan oleh Michael E. Roloff dan Courtney M. Wright. Kedua pakar komunikasi itu menjelaskan bahwa pihak yang menyusun pesan seharusnya memperhitungkan semua rekasi, tujuan, dan kebutuhan yang diberikan oleh pihak lain (Roloff dan Wright, 2009: 103). Penjelasan dua orang pakar komunikasi tersebut seharusnya menjadi fokus perhatian dari semua pihak untuk menyusun pesan, agar tidak terjadi konflik. Kenyataan yang ada sepertinya menujukkan bahwa kedua pihak yang terlibat konflik belum bisa menyusun pesan yang tepat, sehingga bisa menghindari terjadinya konflik. Jika pemerintah kota berperan besar pada pembuatan pesan yang commit to user menyebabkan konflik, maka warga bantaran juga bertanggungjawab dalam semua
200
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bentuk pembuatan pesan yang mendorong peningkatan eskalasi konflik. Fakta yang didapatkan dari lapangan menujukkan bahwa warga bantaran sebenarnya juga belum memahami bagaimana pesan tersebut dibuat dan disalurkan. Pesan yang diberikan oleh warga bantaran berupa penolakan relokasi namun mendukung pembayaran dana tampaknya menekan pemerintah kota untuk segera menurunkan dana bantuan banjir. Penggunaan demonstrasi dan jalur hukum sebagai media penyaluran pesan pada dasarnya juga beresiko meningkatkan dan memperparah perelisihan yang ada. Hal itu jelas menjadi bukti yang mendukung penjelasan Roloff dan Wright (2009). Bagian selanjutnya dari proses komunikasi yang perlu mendapat perhatian lebih dalam untuk memahami perselisihan yang terjadi antara pemerintah kota dan warga bantaran ialah komunikan. Dalam penyebab konflik, warga bantaran mengambil peranan sebagai komunikan yang menerima pesan dari pemerintah kota. Sedangkan dalam eskalasi konflik pemerintah kota justru menjadi komunikan karena menerima pesan dari warga bantaran. Sebagai komunikan, keduanya rupanya salah memberikan penafsiran terhadap pesan yang diterima. Situasi tersebut rupanya sesuai dengan penjelasan Ellen Berscheid dan Hilary Ammazzalorso bahwa penafsiran pesan melibatkan kondisi kognitif dan psikologi pihak tertentu melibatkan interperstasi kognitif terhadap lingkungan sekitar, sehingga dapat menimbulkan bentuk-bentuk emosional (Berscheid dan Ammazzalorso, 2001: 311). Unsur komunikasi paling akhir yang patut diperhatikan pada kasus perselisihan antara pemerintah kota dan warga bantaran adalah tanggapan atau feedback. Tanggapan atau feedback pada dasarnya merupakan bentuk reaksi yang diberikan oleh komunikan terhadap pesan yang diberikan oleh komunikator. Dalam kasus ini, tanggapan paling awal diberikan oleh warga bantaran terkait dengan pesan to user yang diberikan oleh pemerintah commit kota. Tanggapan yang diberikan warga bantaran
201
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berupa reaksi keras untuk menentang relokasi namun mendukung pencairan dana bantuan banjir. Sedangkan, pada eskalasi konflik, pemerintah kota justru memberikan tanggapan pasif terhadap semua pesan yang diberikan oleh warga bantaran. Reaksi pasif dari pemerintah kota secara sederhana sedikit meredam aksi warga bantaran, namun secara tidak langsung membuat warga bantaran semakin meningkatkan tekanan dengan cara menggunakan jalur hukum. Tanggapan dan reaksi dari pihak tertentu dapat menjadi pesan bagi pihak yang lain, kondisi tersebut membuat komunikator menjadi komunikan dan sebaliknya. Berdasarkan semua unsur komunikasi, yang telah dibahas di atas, dapat diperoleh gambaran besar tentang komunikasi dalam konflik yang terjadi antara pemerintah kota dengan warga bantaran terkait dengan dana bantuan banjir tersebut. Komunikasi dalam konflik tersebut dimulai dengan seruan pemerintah kota, sebagai komunikator, untuk merelokasi semua warga yang tinggal di bantaran. Kondisi serta semua kepentingan yang ada membuat pemerintah kota kurang memahami kondisi dan situasi warga bantaran yang sebenarnya. Keadaan itu membuat pemerintah kota menyadikan pesan tentang relokasi dan dana bantuan banjr secara gegabah. Hal itu menjadi titik awal tersebarnya bibit konflik tersebut. Keadaan komunikator yang kurang pas menghasilkan pesan yang kurang efektif, karena menimbulkan ambiguitas penafsiran bagi warga bantaran. Kesalahan penafsiran pesan tersebut membuat warga bantaran tidak memahami permasalahan yang sebenarnya. Media sosialisasi yang kurang efektif, karena semakin membuat warga bantaran tertekan, sebenarnya juga semakin meningkatkan potensi konflik terjadi. Sementara itu, warga bantaran sebagai komunikan tidak sepenuhnya benar, karena kondisi dan situasi di belakang warga, termasuk pemikiran dan kondisi commit to user kognitif, membuat warga salah menafsirkan pesan yang diterima. Keadaan tersebut
202
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membuat warga melakukan tindakan perlawanan terhadap semua pesan yang diterima. Dengan begitu, tanggapan dan feedback yang dihasilkan warga membuat suatu pertentangan serius yang secara sederhana memulai konflik dan perselisihan antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Dalam eskalasi konflik, warga bantaran, sebagai komunikator, rupanya membuat pesan-pesan keras terhadap pemerintah kota. Keadaan tersebut didukung oleh kondisi kognitif yang berada di belakang komunikator. Keadaan kognisi dan pemikiran warga bantaran yang tertekan oleh pesan pemerintah kota, membuat warga bantaran mulai melakukan perlawanan. Kondisi kognitif tersebut membuat warga bantaran menghasilkan beragam pesan bersifat keras dan menentang pemerintah kota. Hal itu jelas menimbulkan perselisihan dan eskalasi konflik yang semakin tinggi. Penggunaan media demonstrasi dan penggunaan jalur hukum rupanya juga semakin menguatkan perselisihan dan konflik yang terjadi. Di lain pihak, dalam eskalasi konflik, pemerintah kota bertindak sebagai komunikan yang menerima semua pesan dari warga bantaran tersebut. Pemerintah kota secara sederhana menanggapi semua pesan dengan tanggapan yang pasif. Keadaan seperti itu membuat warga bantaran semakin kesal, sehingga berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan eskalasi perselisihan tersebut. Namun demikian, sikap pasif dari pemerintah kota tampaknya diperlukan untuk meredam perselisihan yang sedang memanas tersbut. Jika menilik semua fakta dan data dari lapangan, maka kondisi tersebut tampaknya sesuai dengan Teori Hubungan Dialektik (Dialectics Theory of Relationship). Secara sederhana teori tersebut menjelaskan bahwa ada bentuk-bentuk kerenggangan yang biasanya muncul pada hubungan antarmanusia sehari-hari. commitbahwa to user Dengan demikian teori ini berasumsi hubungan sebenarnya tidak bergerak
203
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam garis lurus semata namun bergerak berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang ada, sehingga membuat munculnya bentuk-bentuk kontradiksi yang mendasar pada bentuk hubungan tertentu, komunikasi berusaha mengurangi bentuk kontradiksi tersebut (Norwood dan Duck, 2009: 318; Littlejohn dan Foss, 2005). Apabila semua fakta dan data dari lapangan dimasukkan dalam Teori Hubungan Dialektik, maka diperoleh suatu hubungan antarkonstruk yang ada. Pertama, hubungan komunikasi antara pemerintah kota dengan warga bantaran pada dasarnya menemui titik kritis, karena munculnya kesalahan penafsiran pesan dan lemahnya pemahaman teradap suatu pesan. Kerenggangan hubungan antara warga bantaran dengan pemerintah kota berpotensi besar untuk menimbulkan dan memunculkan konflik. Kedua, kurangnya proses sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah kota membuat semakin renggangnya komunikasi dan hubungan komunikasi antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Dengan demikian, Teori Hubungan Dialektik tampaknya masih bisa digunakan untuk menganalisis semua situasi yang melingkupi permasalahan hubungan komunikasi antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Perselisihan yang terjadi antaran pemerintah kota dengan warga bantaran rupanya tidak hanya memunculkan ketegangan di dua belah pihak, tapi juga membuat warga bantaran menyusun kekuatan baru dalam bentuk forum bernama SKoBB. Secara sederhana SKoBB merupakan forum masyarakat yang mewadahi warga bantaran, terutama warga bantaran yang menolak relokasi. Namun demikian, perselisihan ini lebih bersifat lebih luas, karena pada dasarnya melibatkan warga bantaran yang tidak tergabung dalam forum tersebut. Dengan begitu, SKoBB hanya menjadi bagian kecil dari konflik yang luas tersebut. commit to user
204
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karena SKoBB pada dasarnya memberikan dorongan dalam eskalasi konflik, maka kajian tentang kelompok masyarakat dan komunikasi kelompok untuk membahas forum masyarakat tersebut tampaknya juga perlu diperhatikan. Peranan SKoBB dalam eskalasi konflik ditunjukkan oleh pernyataan Agus Sumaryawan yang secara sederhana menyatakan bahwa SKoBB digunakan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk melawan semua kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Pernyataan tersebut memberikan pemahaman bahwa forum tersebut mendukung secara penuh perlawanan warga bantaran secara umum terhadap dana bantuan banjir tersebut. Keadaan itu pada dasarnya merupakan bentuk dukungan pada bentuk-bentuk eskalasi konflik yang sedang terjadi. Pandangan tentang komunikasi kelompok diberikan oleh Keyton dan Stallworth yang menjelaskan bahwa komunikasi yang efektif di antara semua anggota kelompok dapat menghasilkan suatu kesuksesan semua komponen kelompok tersebut (Keyton dan Stallworth, 2003: 240). Dalam kasus tersebut kesuksesan dalam semua komponen pada dasarnya dapat diwujudkan dalam bentuk dukungan pada eskalasi konflik tersebut. Hal itu jelas menghasilkan suatu efek peningkatan eskalasi konflik. Keyton dan Stallworth (2003) pada dasarnya menyampaikan suatu pendapat yang mendasari paparan dari Barge. Barge. Ia menjelaskan bahwa kelompok sosial diikat oleh aspek komunikasi antar anggota untuk menopang efektivitas hubungan dan kolaborasi antara anggota (Barge, 2009: 340). Jika pendapat yang diberikan oleh Keyton dan Stallworth (2003) dan Barge (2009) dihubungkan dengan keadaan dan dukungan SKoBB dalam eskalasi konflik tersebut, maka dukungan forum tersebut pada eskalasi konflik dapat commit komunikasi to user dipahami sebagai upaya membentuk yang efektif dalam konflik,
205
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sehingga diaharapkan tujuan warga bantaran dalam konflik tersebut bisa tercapai. Fakta tentang komunikasi efektif dalam mengambil keputusan dikuatkan oleh pendapat Klumpp. Ia menjelaskan bahwa pembuatan keputusan sebenarnya merupakan istilah yang lebih banyak menguatkan proses kesimpulan dari semua pilihan yang ada. Hal itu membuat pembuatan keputusan menjadi salah satu bagian dari proses diskusi dan musyawarah (Klumpp, 2009: 202). Dengan demikian kebanyakan kasus menujukkan bahwa suatu keputusan dalam suatu kelompok dipengaruhi oleh musyawarah atau komunikasi yang ada di dalamnya. Asumsi tersebut rupanya secara tidak langsung didukung oleh Heri Hendro Harjuno yang menyatakan bahwa SKoBB menjadi suatu organisasi yang lebih mengutamakan kepentingan warga bantaran, sehingga semua orang yang berada di belakang forum tersebut sudah bertekad untuk menuntut dana banjir sekuat tenaga serta menghalangi relokasi. Kenyataan tersebut pada dasarnya menjadi bukti nyata dari keterangan yang menjelaskan bahwa suatu kelompok akan selalu mencari perbedaan dengan kelompok lain. Karena itu, Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory—SIT) tampaknya bisa digunakan untuk memahami mengapa SKoBB selalu berupaya menentang semua kebijakan pemerintah. Meskipun teori tersebut bukan teori komunikasi, namun aspek komunikasi antarkelompok, dalam kaitannya dengan SKoBB, yang bertujuan menentang kelompok lain mungkin masih dapat dijelaskan oleh teori tersebut. SIT pertama kali dikembangkan oleh H. Tjafel dan J.C. Turner. Secara umum SIT berasumsi bahwa proses ketegoriasasi tidak bisa diambil alih secara semena-mena, tapi harus digunakan sebagai referensi diri, meningkatan persamaan dengan semua anggota kelompok serta menguatkan perbedaan antara diri commit to user sendiri dengan semua anggota di luar kelompok demi meningkatkan perberdaan
206
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Gallois, et al, 2005: 233). Secara mudah SIT sebenarnya merupakan teori organisasional, dari disiplin ilmu psikologi sosial, yang membahas dan menjelaskan bahwa semua anggota dalam suatu organisasi selalu mencari persamaan diri sedangkan mereka selalu mencari perbedaan dengan anggota di luar kelompok mereka. Pada dasarnya, asusmsi yang dikembangkan oleh SIT menujukkan bahwa ketika terjadi bentuk-bentuk konflik antarkelompok, kebanyakan anggota suatu kelompok terikat oleh rasa solidaritas untuk maju dan melawan kelompok lain yang dianggap berbeda dan berseberangan dengan tujuan kelompok mereka. Selain itu SIT memberikan penguatan pada pandangan tentang persamaan identitas diri semua anggota dalam suatu kelompok sosial, namun membedakan secara jelas dengan identitas diri yang berada dalam kelompok lain. Dengan demikian SIT tampaknya menguatkan perbedaan yang biasanya menjadi penyebab utama konflik antara pemerintah kota dengan warga bantaran. Apabila semua konstruk ada di lapangan, yang berhubungan dengan forum SKoBB, dimasukkan dalam asumsi SIT, maka akan dihasilkan suatu pemahaman besar tentang latarbelakang forum tersebut mendukung pertentangan dengan pemerintah kota. SKoBB sebenarnya merupakan forum masyarakat yang menghimpun warga bantaran yang secara prinsip menentang rekolasi namun mendukung pencairan dana bantuan banjir. Perhimpunan tersebut kemudian membentuk kelompok yang pada dasarnya menyusun kekuatan untuk menekan pemerintah kota, seperti yang dikatakan Agus Sumaryawan. Tindakan seperti itu membuat warga bantaran selalu mencari perbedaan dengan pemerintah kota. Hal itu membuat warga bantaran sulit menerima pendapat dan semua upaya perdamaian, sehingga membuat perselisihan commit tersebutto user samkin berkepanjangan. Hal itu jelas
207
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjadi indikasi umum bahwa SIT dapat digunakan untuk melakukan analisis terhadap perselisihan tersebut. Semua analisis terhadap fakta dan data yang ada di lapangan dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan penting tentang komunikasi yang dilakukan warga bantaran dengan pemerintah kota terkait dengan dana bantuan banjir tersebut. Secara sederhana proses komunikasi tersebut dimulai ketika pemerintah kota sebagai komunikator menyandikan pesan melalui media sosialisasi tentang relokasi dan penundaan dana bantuan banjir kepada warga bantaran. Akan tetapi faktor latarbelakang dan kognisi yang berada di belakang pemerintah kota membuat penyandian pesan menjadi kurang tepat, begitu pula tentang efektivitas sosialisasi yang digunakan, sehingga kurang menjangkau sasaran. Hal itu membuat warga bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik (THM), salah menfsirkan pesan, sehingga menghasilkan tanggapan berupa reaksi keras terhadap program relokasi pemerintah kota. Dalam eskalasi konflik, aspek komunikasi yang terlibat pada dasarnya menunjukkan adanya tekanan dan penggunaan pesan dengan penekanan yang kuat kepada pihak lain serta bersifat memaksa. Hal itu juga ditunjukkan dengan penggunaan media demonstrasi dan penggunaan ranah pengadilan yang secara umum mampu meningkatkan eskalasi konflik. Aspek kognitif yang ada rupanya membuat warga bantaran membuat suatu pesan yang bersifat keras dan menekan. Pesan tersebut rupanya disampaikan melalui media yang bersifat menekan, namun kurang efektif, pemerintah kota, yaitu demonstrasi dan penggunaan jalur hukum. Sebagai komunikan, pemerintah kota menanggapi pesan warga bantaran tersebut secara pasif dan lebih banyak bersikap tenang, dengan cara tetap melakukan penundaan pencairan commit to user relokasi. Hal itu mungkin sedikit dana bantuan banjir serta tetap memberlakukan
208
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
meredam eskalasi perselisihan tersebut, namun membuat warga bantaran semakin kuat menekan pemerintah kota.
2. Aspek Komunikasi pada Upaya Menuju Resolusi Konflik a. Petunjuk Komunikasi pada Upaya Resolusi Konflik Proses komunikasi dalam upaya resolusi konflik yang terjadi antara pemerintah kota dan warga bantaran mungkin menjadi bagian penting dalam usaha mengakhiri konflik sekaligus mencari jalan keluar yang tepat. Pada bagian ini pemerintah kota dan warga bantaran pada hakekatnya berusaha mencari jalan keluar yang tepat untuk dapat mengakhiri perselisihan yang sedang terjadi. Meskipun belum ada resolusi konflik yang tepat untuk menyelesaiakan perselisihan antara pemerintah kota dengan warga bantaran, terutama yang berada di tanah hak milik (THM), namun selalu ada upaya komunikasi menuju resolusi konflik yang dilakukan kedua pihak yang berseteru. Komunikasi pada upaya menuju resolusi konflik pada awalnya dimulai dari usaha mengkomunikasikan tujuan sekaligus penyelesaian oleh warga bantaran ke semua pihak yang terkait dengan permasalahan relokasi dan dana bantuan banjir tersebut. Pernyataan paling awal dari upaya komunikasi dalam resolusi konflik diberikan oleh Agus Sumaryawan Beberapa saat setelah itu datang banjir lagi, kemudian pak walikota datang ke tempat saya untuk bilang mau memberikan bantuan. Dia bilang, ―Pak Agus mau bantuan berapa‖, saya menjawab ―Terserah bapak mau beri bantuan berapa‖. Kemudian ia kembali berkata ―ajudan, agendakan makan-makan di Lodji Gandrung, sama Pak Agus.‖ Tapi setelah makan malam di sana tidak ada solusi yang bisa dilakukan, dan tidak ada titik temu dalam permasalahan tersebut. (Wawancara pada 23 Januari 2010) commit to user
209
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan yang diberikan Agus Sumaryawan sebenarnya menjadi bukti bahwa ada proses komunikasi antara warga bantaran dengan pemerintah kota meskipun belum membuahkan hasil positif. Lebih lanjut Agus Sumaryawan menjelaskan Seharusnya pemerintah kota mengadakan koordinasi untuk melakukan tatap muka bersama masyarakat, ibaratnya dalam bahasa jawa ―ayo podho dirembug‖. Hal itu harus dilakukan berdasarkan prinsip demokrasi yang mendahulukan musyawarah lalu melakukan mufakat. (Wawancara pada 23 Januari 2010)
Kedua penjelasan yang diberikan Agus Sumaryawan, sebagai warga bantaran sebenarnya mengindikasikan adanya proses komunikasi yang terjadi antaran warga dengan pemerintah kota. Proses komunikasi tersebut memang kurang efektif dalam menyelesaikan masalah, namun demikian, proses tersebut menjadi suatu langkah positif menuju resolusi konflik. Proses komunikasi dalam upaya mengakhiri konflik tersebut memang belum menghasilkan sustu kesepakatan untuk menyelesaikan persoalan yang rumit tersebut, bahkan Maryono menjelaskan bahwa Sebenarnya banyak, kami sudah berupaya ke sana-sini [pen: proses komunikasi ke berbagai instansi terkait] dengan harapan ada suatu titik temu, tetapi kenyataannya memang susah. Mungkin juga hal ini berkaitan dengan nominal, atau anggaran, yang pada intinya pemerintah itu belum siap menurunkan anggaran untuk masalah ini. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Keterangan Maryono pada dasarnya mendukung penjelasan Agus Sumaryawan bahwa warga bantaran memang berniat baik untuk mencari solusi dalam masalah ini namun semua hasil yang diperoleh dalam proses komunikasi tersebut kurang maksimal. Lebih lanjut Maryono menjelaskan Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan warga, sudah banyak pendekatan yang dilakukan warga kepada komisi-komisi yang terkait dengan hal ini, termasuk pada wakil walikota dan walikota. Tetapi commit to user intinya masing-masing berusaha kenyataanya belum ada penyelesaian,
210
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempertahankan apa yang sudah mereka miliki. (Wawancara pada 12 Februari 2010)
Penjelasan Maryono memberikan indikasi bahwa kegagalan komunikasi dalam upaya mencari resolusi, pada dasarnya disebabkan oleh kekerasan dan kurangnya keterbukaan pada masing-masing pihak. Kenyataan bahwa semua pihak yang bertikai saling mempertahankan pendapat masing-masing membuat proses komunikasi dalam upaya menuju resolusi secara langsung tergabung dalam komunikasi yang terjadi pada eskalasi konflik, seperti yang terjadi pada saat demonstrasi. Fakta tersebut sebenarnya juga menjadi petunjuk bahwa semua pihak rupanya saling memperjuangkan kepentingan masingmasing ketimbang melakukan komunikasi yang baik. Tentang demonstrasi tersebut Nunuk Ismiyati mengatakan Pada awalnya kami sempat demonstrasi ke balaikota, namun pada saat itu kami tidak ditemui oleh walikota, padahal sudah masyarakat tahu bahwa walikota ada di kantor. Tetapi kami justru ditemui oleh sekretarisnya. Lalu kami lanjutkan demonstrasi ke dewan, tetapi dewan baru tahu bahwa ada kesepakatan tentang dana bantuan. Padahal seharusnya dewan-kan juga bertugas untuk controlling, jadi seharusnya dewan tahu ada kesepakatan itu. (Wawancara pada 17 Februari 2010)
Penjelasan yang diberikan Nunuk Ismiyati sebenarnya membuktikan bahwa proses komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran untuk mencari jalan keluar dari konflik mengalami hambatan dari pemerintah kota. Selain itu, komunikasi untuk mencari jalan keluar dari konflik justru tersebut tergabung dalam proses eskalasi konflik,
sehingga
menghasilkan
komunikasi
yang
kurang
efektif
untuk
menyelesaikan masalah. Meskipun komunikasi yang dilakukan warga bantaran kurang efektif untuk mencari jalan keluar dan resolusi, karena tergabung dalam proses yang sama commit to user dengan eskalasi konflik, namun hal itu menjadi suatu langkah postif dari warga
211
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bantaran untuk menyelesaikan permasalahan dana bantuan banjir tersebut. Tindakan warga bantaran dalam mengupayakan komunikasi untuk menyelesaikan konflik tersebut membuat warga bantaran telah melakukan interaksi sosial yang positif. Di lain pihak pemerintah kota secara umum melakukan proses komunikasi yang kurang menekan dan cenderung lebih pasif ketimbang komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran. Namun demikian pemerintah kota tetap melakukan proses komunikasi dengan warga bantaran, dalam upaya menuju resolusi konflik, meskipun tidak terlalu efektif. Hal itu dinyatakan oleh Sukasno SH, sebagai ketua DPRD Surakarta, Saya kira masih ada upaya, seperti itu, misalnya baik kepada siapa. Pada akhirnya komunikasi seperti itu akan terjalin tidak pada ketua komunitas. Sebab mungkin saja ketua komunitas itu terlalu mendominasi, sehingga mungkin semua anggotanya terkadang tidak nyambung [pen: tidak dapat mengikuti keinginan ketua kelompok]. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Lebih lanjut Sukasno SH menjelaskan bahwa Pemerintah kota bersikap pasif, artinya yang lalu biarlah berlalu, sebab pemerintah kota sudah mengambil semua langkah yang diperlukan, memberikan pemahaman ya sudah, memberikan sosialisasi, tapi pada akhirnya dikembalikan ke warga. Lalu jika mereka menggugat pemerintah kota ya silahkan saja. (Wawancara pada 11 Mei 2010)
Keterangan Sukasno SH, sebagai seorang tokoh yang paham seluk-beluk permasalahan tersebut, sebenarnya menjadi petunjuk bahwa memang pemerintah kota melakukan komunikasi kepada warga bantaran secara interpersonal atau kelompok dalam rangka mencari jalan keluar dari konflik tersebut, namun hasilnya kurang efektif. Selain itu keterangan tersebut menjadi indikasi penting bahwa pemerintah kota memang memberikan tanggapan yang relatif kurang dalam komunikasi menuju resolusi konflik. commit to user
212
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pernyataan yang senada juga diberikan oleh Suparno HS, sebagai salah seoarang tokoh penting di belakang relokasi dana dana bantuan banjir. Ia menyatakan bahwa pemerintah kota sebenarnya melakukan komunikasi secara pasif namun tetap berusaha menyelesaikan kasus perselisihan tersebut. Secara lebih detail ia menyatakan. Ya tidak masalah, wong itu semua hak mereka, ya namanya alam demokrasi, ya pasti ada yang setuju, ada pula yang menentang. Yang penting nanti tahun 2010 akan selesai, kan begitu toh. ... Saya yakin semua hal itu tidak akan merugikan warga. Kalau mereka melawan dengan keras, kita harus lunak, semua itu harus pakai strategi, ya kan. (Wawancara pada 14 April 2010)
Ketarangan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kota cenderung beriskap pasif untuk memberikan tanggapan langsung terhadap komunikasi yang dilakukan warga bantaran terkait dengan semua perselisihan tersebut. Akan tetapi, di belakang semua kecenderungan sikap pasifnya, pemerintah kota sebenranya tetap berupaya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut malalui proses komunikasi yang tidak begitu kentara. Suparno HS menyatakan ―Nanti tahun 2010 ini kan semua selesai, jadi mereka nanti pasti akan diajak berembuk, untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jadi rembugkan itu merupakan program dari pusat untuk menyelesaikan masalah ini.‖. Keterangan tersebut menjadi indikasi penting bahwa tetap ada upaya komunikasi dari pemerintah kota untuk mengakhiri kasus tersebut.
b. Aspek dan Pola Komunikasi pada Upaya Menuju Resolusi Konflik Keterangan yang diberikan semua tokoh di belakang pemerintah kota dan warga bantaran memberikan petunjuk penting tentang proses komunikasi yang commit to user terjadi dalam upaya menemukan resolusi konflik yang tepat. Perhatikan lebih dalam
213
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahwa warga bantaran dan pemerintah kota bisasaling memberikan pesan dalam usaha penyelesaian tersebut. Komunikator paling awal dalam upaya mencari penyelesaian konflik justru datang dari warga bantaran. Hal itu didukung oleh pernyataan yang menjelaskan bahwa warga bantaran telah melakukan komunikasi dan pendekatan ke semua pihak yang berhubungan dengan permasalahan tersebut. Sebagai komunikator, peranan aspek kognitif dan kepentingan di belakang warga bantaran turut mempengarui pembuatan pesan yang disampaikan ke pihak lain. Keterangan yang diberikan warga bantaran, seperti Agus Sumaryawan dan Maryono, menujukkan bahwa pesan tersebut rupanya berisi tuntutan warga bantaran untuk segera mencairkan dana bantuan banjir kepada warga bantaran. Sedangkan media demonstrasi dipilih oleh warga bantaran sebagai media untuk menyampaikan pesan ke pihak lain. Menariknya, media demonstrasi yang digunakan oleh warga bantaran membuat komunikasi dalam usaha menuju resolusi konflik secara tidak langsung tergabung pada komunikasi dalam eskalasi konflik, karena tuntutan warga dalam demonstrasi tersebut ialah untuk segera menurunkan dan bantuan banjir serta untuk membahas ulang tentang relokasi warga bantaran, terutama yang tinggal di tanah hak milik (THM). Selain itu, ada upaya komunikasi interpersonal yang digunakan warga bantaran, kepada semua pihak yang terkait, sebelum mereka memutuskan untuk menggunakan demonstrasi. Sementara itu, sebagai komunikan, pemerintah kota sebenarnya belum terlalu menanggapi semua upaya tuntutan damai warga bantaran, karena semua pihak yang terkait dalam pemerintah kota cenderung bersikap pasif dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Perhatikan pernyataan Sukasno SH yang menyatakan bahwa pemerintah kota bersikap pasif dan tenang terhadap semua tuntutan warga bantaran commitkota to user tersebut. Namun demikian, pemerintah tetap mengusahakan komunikasi yang
214
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
baik terhadap warga bantaran demi penyelesaian kasus tersebut. Maskipun begitu belum ada hasil postif yang bisa dicapai. Jika semua unsur komunikasi, yang berhasil disarikan dari fakta-fakta dan data di lapangan, disatukan menjadi satu bagian maka akan tampak proses komunikasi yang jelas antara warga bantaran dengan pemerintah kota, begitu pula sebaliknya, dalam upaya menuju resolusi konflik. Di sisi lain, belum adanya kesepakatan tentang resolusi konflik kemungkinan besar disebabkan oleh kekakuan dua pihak yang berseteru, sehingga kedua pihak saling mempertahankan keyakinan masing-masing. Pernyataan yang diberikan warga bantaran, Maryono, dan beberapa tokoh lain seperti Heri Hendro Harjuno yang mengisyaratkan bahwa kekerasan pemikiran dan egosentrisme masing-masing pihak bisa mengurangi potensi terjadinya kesepakatan damai di antara dua pihak. Semua unsur komunikasi yang terlibat dalam proses komunikasi menuju resolusi konflik pada dasarnya membentuk semacam jalinan interaksi yang saling mempengaruhi. Jalinan interaksi semua unsur komunikasi yang terlibat dalam proses tersebut membentuk suatu perspektif dialogis seperti yang dikembangkan Krauss dan Morsella (2006). Persepektif dialogis tersebut memungkinkan terjadinya interaksi antara komunikator dan komunikan secara simultan dan bergantian, baik seketeika atau melalui jeda tertentu. Hal itu membuat komunikator bisa menjadi komunikan pada waktu yang berbeda namun tetap dalam konteks yang sama. Dalam kasus ini, komunikator dipegang oleh pemerintah kota dan warga bantaran karena keduanya saling membuat pesan tentang permasalahan tersebut, dengan tujuan dan maksud yang berbeda. Pemerintah kota membuat pesan dengan maksud menunda pembayaran dana bantuan banjir, dan menggulirkan relokasi. Sedangkan, warga commit to user
215
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bantaran menyandikan pesan yang berupa penolakan relokasi dan dukungan terhadap dana bantuan banjir. Sementara itu, pesan yang disampaikan pemerintah kota kepada warga bantaran pada dasarnya berupa bentuk persuasi yang pada dasarnya meminta warga bantaran untuk menyetujui program relokasi. Sedangkan, warga bantaran menyampaikan pesan dengan maksud dan tujuan yang bertolak belakang dengan pesan pemerintah kota. Media yang digunakan oleh kedua pihak untuk menjalin komunikasi demi mencapai resolusi konflik pada dasarnya memiliki persamaan yang mendasar, dan hanya berbeda pada ranah dan tingkatan komunikasinya. Dalam kasus tersebut, komunikan pada dasarnya dipegang oleh dua pihak yang berbeda, yaitu warga bantaran dan pemerintah kota, karena keduanya menerima pesan yang berbeda dari komunikator tentang permasalahan tersebut, namun tetap dalam konteks yang sama.
c. Analisis Tentang Aspek Komunikasi pada Upaya Resolusi Konflik Komunikasi dalam upaya menuju resolusi konflik yang terjadi pada kasus perselisihan antara warga bantaran dan pemerintah kota, secara umum dapat dijelaskan dengan perspektif dialogis yang dikembangkan oleh Krauss dan Morsella (2009). Krauss dan Morsella menjelaskan persepektif dialogis sebagai suatu bentuk sudut pandang yang mengutamakan pada akstivitas komunikasi di dalamnya, sehingga perspesktif dialogis lebih menguatamakan aspek komunikasi yang dialkukan oleh dua pihak untuk mencapai tujuan tertentu (Krauss dan Moreslla, 2009: 153). Perhatikan fakta dan data yang ada, upaya komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran kepada pemerintah kota dengan tujuan tertentu, jelas merupakan commit to user
216
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bentuk positif dari perspektif dialogis yang dijelaskan oleh Krauss dan Morsella (2009). Dengan demikian, perspekstif dialogis pada dasarnya memandang bahwa dalam konflik dan usaha mencapai resolusi konflik melibatkan bentuk dan aspek dialogis yang terjadi di antara dua pihak. Pihak pertama memberikan suatu pesan tertentu, sementara pihak kedua menanggapi pesan tersebut. Hal itu secara umum mendukung penjelasan dari Cuff (2005). Perspektif dialogis kemungkinan besar pasti melibatkan komunikasi dalam dialog yang ditujukkan dengan kenyataan bahwa dialog dan debat antara pihak tertentu pada dasarnya mampu menekankan perubahan komunikasi tentang gagasan dan rasionalitas menjadi lebih intersubjektif (Cuff, et al, 2005: 323). Pandangan yang diberikan Cuff secara umum menjelaskan fakta yang ada bahwa komunikasi yang terjadi antara dua pihak bisa menghasilkan interaksi yang bersifat lebih baik sekaligus bersifat intersubjektif. Sebelum melakukan analisis terhadap semua fakta dan data yang ada, perhatikan pandangan yang diberikan oleh Kenneth Cloke. Ia menyatakan bahwa secara komunikasi yang tidak efektif dalam penyelesaian konflik justru membuat upaya penyelesaian konflik menjadi lebih jauh (Cloke, 2001: 6). Secara sederhana Cloke hendak mengatakan bahwa komunikasi dalam konflik dan upaya penyelesesain konflik sebaiknya dilakukan dengan tepat dan dengan niatan yang baik tanpa semua itu, semua upaya komunikasi yang dilakukan justru makin menjauhkan resolusi konflik yang menjadi tujuan bersama. Namun demikian kedudukan komunikasi dalam konflik tetap menjadi suatu hal yang penting dalam upaya menuju resolusi konflik. Furlong, yang mengutip pendapat dari Kubler-Ross (1969), menjelaskan bahwa Model Konflik Gerakan commitModel), to user seperti yang terjadi dalam konflik Lebih Jauh (Moving Beyond Conflict
217
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
antara pemerintah kota dan warga bantaran, memiliki tahapan penerimaan (acceptance) yang membutuhkan negosiasi dan mungkin juga komunikasi sebagai langkah awal menyelesaikan konflik ketimbang mengalahkan pihak lain (dalam Furlong, 2005: 223). Pemetaan dan model konflik tersebut menjadi suatu terobosan besar bagi upaya menuju resolusi konflik, karena memberikan pemahaman dan tahapan langkah yang harus ditempuh untuk mencapai resolusi konflik. Namun demikian, Furlong memberikan peringatan, jika proses negosiasi tersebut gagal, maka kemungkinan besar konflik akan kembali menuju bentuk perselisihan dan penolakan yang akan memperparah konflik (Furlong, 2005: 223). Hal itu membuktikan bahwa komunikasi efektif menjadi syarat mutlak untuk mengakhiri konflik. Sayangnya semua proses komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran dan pemerintah kota, dalam upaya mencapai resolusi konflik belum mencapai keefektifan yang memadai. Hal itu berseiko memperpanjang kondisi konflik yang sedang terjadi. Namun demikian, Furlong (2005: 229-230) menjelaskan bahwa Model Konflik Gerakan Lebih Jauh menawarkan dua strategi menuju resolusi konflik yang bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Pertama, semua pihak yang terlibat harus memahami situasi dan harus bergerak melalui semua proses yang dijelaskan oleh model tersebut, penolakan menuju ke kemarahan, dan kemarahan menuju ke penerimaan. Upaya untuk menghidari semua tahapan justru membuat semua pihak terjebak dalam tahapan tersebut. Kedua, semua tahapan dalam model tersebut, penolakan, kemarahan, dan penerimaan, membutuhkan kemampuan tertentu untuk melewatinya. Penjelasan dari Model Konflik Gerakan Lebih Jauh secara umum commit to userkonflik, seperti mediasi, arbutrasi, menjelaskan bahwa semua bentuk resolusi
218
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adjudikasi, dan mungkin juga negosiasi berada pada bagian yang sama yaitu penerimaan (acceptance). Karena itu semua bentuk proses resolusi konflik membutuhkan komunikasi yang efektif di antara semua pihak yang berseteru. Kondisi itu sebenarnya secara tidak langung telah dijelaskan oleh Furlong (2005) tentang bagian penerimaan (acceptance). Kenyataan yang menujukkan bahwa ada upaya warga bantaran dan pemerintah kota untuk saling berkomunikasi, meskipun belum efektif, tampaknya menjadi suatu awalan yang baik untuk mencapai resolusi konflik. Furlong (2005), secara tidak langsung menjelsakan bahwa komunikasi, atau setidaknya upaya komunikasi, memang menjadi suatu bekal penting untuk memulai upaya menuju resolusi konflik. Berdasarkan semua fakta, data, dan analisis terhadap komunikasi yang dilakukan warga bantaran dapat diketahui bahwa warga bantaran dan pemerintah kota telah mengupayakan komunikasi, meskipun hasilnya belum maksimal. Upaya komunikasi yang dilakukan warga bantaran, sebagai komunikator, dimulai dengan pembuatan pesan tentang tuntutan dana banjir yang dilakukan melalui dua media atau metode penting, yaitu upaya demonstrasi dan jalur hukum. Upaya persuasi dilakukan warga bantaran dengan cara menemui semua pihak, yang terkait dengan permasalahan dana bantuan banjir, dengan tujuan agar dana bantuan banjir dapat segera dicairkan serta menolak proses relokasi. Sedangkan upaya demonstrasi dilakukan dengan cara menggulirkan aksi turun ke jalan dan aksi protes yang disampaikan secara langsung kepada pemerintah kota. Di sisi lain, upaya hukum yang dilakukan warga bantaran sebenarnya hanya digunakan oleh warga bantaran untuk menekan pemerintah kota secara lebih keras. commit to user
219
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Di lain pihak, pemerintah kota sebagai komunikan rupanya memberikan tanggapan yang relatif kurang. Namun demikian pemerintah kota sebenarnya juga tetap mengupayakan komunikasi yang layak kepada semua warga bantaran yang menentang relokasi namun mendukung pencairan dana bantuan banjir. Sayangnya, upaya komunikasi yang dilakukan oleh warga bantaran dan pemerintah kota dalam upaya menuju resolusi konflik terhambat secara keras oleh kepentingan serta egoisme masing-masing pihak. Hal itu membuat komunikasi yang dilakukan menjadi kurang efektif. Akan tetapi, meskipun konflik tersebut mungkin sulit diselesaikan, Model Konflik Gerakan Lebih Jauh tampaknya dapat digunakan oleh semua pihak untuk menemukan dan mencari jalan keuar yang tepat. Hal itu kemungkinan besar bisa meningkatkan efektivitas komunikasi yang dilakukan warga bantaran dan pemerintah kota untuk mencapai resolusi konflik yang tepat.
commit to user
220
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 5 KESIMPULAN
A. Kesimpulan Ada beberapa hal yang dapat ditemukan dari semua temuan data dan fakta dalam penelitian ini. Pokok-pokok temua tersebut memberikan suatu pemahaman bahwa konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota merupakan konflik sosial yang melibatkan aspek komunikasi dan aspek psikologis. Konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota secara sederhana disebabkan oleh kesalahan persepsi dan kegagalan komunikasi pada program penundaan dana bantuan banjir dan relokasi yang dilakukan pemerintah kota. Fakta tersebut dikuatkan oleh dua indikasi penting yang menyebabkan terjadinya kesalahan persepsi tersebut. Pertama, pemerintah kota menyampaikan pesan tentang penundaan relokasi dan penundaan dana bantuan banjir memalui cara uang ambigu sehingga menimbulkan persepsi ganda pada masyarakat bantaran, terutama yang tinggal di hak milik. Kedua, warga bantaran salam menafsirkan pesan yang disampikan pemerintah kota, sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Pola komunikasi yang terkait dengan penyebab konflik, lebih banyak berjalan dari pemerintah kota menuju warga bantaran. Konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota menuju peningkatan eskalasi konflik yang relatif tinggi, karena melibatkan aksi demonstrasi dan penggunaan ranah pengadilan dalam menanggapi permsalahan tersebut, serta liputan beberapa media massa lokal yang mendukung peningkatan esklasi konflik tersebut. Dengan demikian, komunikasi yang terlibat dalam proses commit to user
221
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
eskalasi lebih banyak dimotori oleh warga bantaran, karena warga bantaran berperan sebagai komunikator, sedangkan pemerintah kota berperan sebagai komunikan. Sedangkan pada upaya resolusi konflik, pemerintah kota dan warga bantaran dan pemerintah kota sama-sama bertindak dan mengupayakan komunikasi demi mencapai kesepakatan bersama dan resolusi konflik yang tepat. Hal itu membuat ada perspektif dialogis di antara dua pihak yang berseteru. Namun demikian, egoisme masing-masing pihak tampaknya menghalabi pencapaian resolusi konflik yang tepat. Dengan demikian, sudah ada upaya komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah kota dan warga bantaran untuk menyelesaikan konflik tersebut, walaupun belum efektif. Kajian tentang proses komunikasi dalam penyebab konflik dan eskalasi konflik mambawa pada suatu diskripsi tentang arus dan pola komunikasi yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota. Pada penyebab konflik, pemerintah kota berperan sebagai komunikator yang menyampaikan sejumlah pesan tentang program relokasi dan penundaan dana bantuan banjir. Sementara itu warga bantaran menjadi komunikan yang memberikan sejumlah tanggapan negatif terhadap pesan yang disampaikan oleh pemerintah kota. Ambiguitas pesan, dan rendahnya efektivitas pesan membuat tanggapan yang diberikan oleh warga bantaran bersifat negatif sekaligus menjadi awal dimulainya konflik. Pada eskalasi konflik, proses komunikasi yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota bertolakbelakang dengan proses yang terjadi pada penyebab konflik. Dalam eskalasi konflik, warga bantaran menjadi komunikator yang menyampaikan sejumlah pesan kepada pemerintah kota tentang penolakan relokasi serta tuntutan pencairan dana banjir. Sedangkan pemerintah kota menjadi komunikan yang memberikan sejumlah commit to user
222
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tanggapan berupa sikap pasif namun terus berusaha mencarikan jalan keluar yang baik dari persoalan tersebut. Sedangkan pada upaya resolusi konflik warga bantaran dan pemerintah kota sebenarnya dapat menjadi komunikator yang efektif dalam menyampaikan suatu pesan tertentu kepada pihak-pihak yang menjadi komunikan. Namun demikian belum ada tanggapan positif dari semua pihak yang berselisih untuk menyusun resolusi konflik, meskipun sudah ada indikasi ke arah resolusi konflik. Proses komunikasi dalam upaya menuju resolusi konflik membentuk suatu perspektif dialogis yang biasanya terjadi dalam konflik seperti yang dijelaskan oleh Krauss dan Morsella (2009). Hal itu menjadi bukti yang mengutkan pendapat bahwa komunikasi menjadi sutu bagian penting yang tidak terpisahkan dalam suatu konflik sosial, bahkan jika konflik tersebut termasuk konflik berbasis ekonomi. Berdasarkan paparan semua fakta dan data yang diperoleh sepanjang penelitian ini dapat disimpulkan bahwa egoisme dan kekakuan komunikator dalam proses komunikasi, serta penyampaikan besrifat keras dan menekan, pada konflik yang terjadi antara warga bantaran dengan pemerintah kota, memiliki kekuatan untuk memulai konflik. Sisi egoisme dan kekakuan semua pihak yang terlibat dalam konflik itu tampaknya menjelaskan bahwa meskipun sudah ada upaya komunikasi untuk mencari resolusi konflik yang tepat, belum ada datu pun resolusi konflik yang bisa dicapai.
commit to user
223
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA Adler, R, B, Rodman, G. (2006). Understanding Human Communication (ninth edition) New York: Oxford University Press. Anderson, J, A. (2009). Philosophical Approaches to Communication. dalam William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 41-48. Thousand Oak: Sage Publication. Barge, J, K. (2009). Social Group, Workgroups, and Team. dalam William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 340-348. Thousand Oak: Sage Publication. Baron, R, A, Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial (edisi kesepuluh). Ratna Djuwita (penerjemah). Jakarta: Erlangga. Bartollas, C. (2007). Juvenille Deliquency. dalam Clifton D. Bryan dan Dennis L. Peck (Eds) 21st Century Sociology (vol 1): 425433. Thousand Oak: Sage Publication. Bazerman, M, H, et al. (2001). The Death and Rebirth of The Social Psychology of Negotiation. dalam Garth J. O. Fletcher dan Margaret S. Clark (Eds) Blackwell Handbook of Social Psychology: Interpersonal Processes: 196228. Malden: Blackwell Publisher Ltd. Beebe, S. J, et al. (2001). Communication, Principles for A Lifetime. Neddham Heights: Allyn and Bacon. Beebe, S, A, Masterson, J, T. (2003). Communicating in Small Groups (seventh edition). Pearson Education: Boston. Berger, C, R. (2003). Message Production Skill in Social Interaction. dalam John O. Greene dan Brant R. Burleson (Eds) Handbook of Communication and Social Interaction Skill: 257-289. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Berscheid, E, Ammazzalorso, H. (2001). Emotional Experiences in Close Relationship. dalam Garth J. O. Fletcher dan Margaret S. Clark (Eds) Blackwell Handbook of Social Psychology: Interpersonal Processes: 308330. Malden: Blackwell Publisher Ltd. Brewer, M, B. (2001). Intergroup Identification and Intergroup Conflict, When Does Ingroup Love Become Outgroup Hate?. dalam Richard D. Ashmore, Lee Jussim, dan David Wilder (Eds) Social Identity, Intergroup Conflict, and Conflict Reduction: 17-41. New York: Oxford University Press. Buckley-Ziestel, S. (2008). Conflict Transformation and Social Change in Uganda, Remembering After Violence. Hampshire: Palgrave Macmillan. commit to user
224
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Buzzanell, P, M, Dohrman, R, L. (2009). Supervisor, Subordinates, and Coworkers. dalam William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 331-339. Thousand Oak: Sage Publication. Chríost, D, M, G. (2003). Language, Identity and Conflict: A comparative study of language in ethnic conflict in Europe and Eurasia. London: Routledge. Cloke, K. (2001). Mediating Dangerously, The Frontiers of Conflict Resolution. San Francisco: Jossey-Bass. Coleman, P, T. (2006). Interactable Conflict, dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second edition): 533-559. San Francisco: Jossey-Bass. Conlon, D, E, Meyer, C, J. (2004). Contractual and Emergent of Third-Party Intervention. dalam Michele J. Gelfand dan Jeanne M. Brett (Eds) Handbook of Negotiation and Culture: 258-279. Stanford: Stanford University Press. Cords, M, Aureli, F, (2000). Reconciliation and Relationship Qualities. dalam Fillipo Aureli dan Frans B. M. De Waal (Eds). Natural Conflict Resolution: 177-198. Berkeley: University of California Press. Cuff, E, C, et al. (2005). Perspective in Sociology (fourth edition). London: Routledge. De Dreu, C, K, W. (2004). Motivation and Negotiation: A Social Psychological Analysis. dalam Michele J. Gelfand dan Jeanne M. Brett (Eds) Handbook of Negotiation and Culture: 114-138. Stanford: Stanford University Press. De Matos, F, G. (2006). Language, Peace, and Conflict Resolution. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second edition): 158-175. San Francisco: Jossey-Bass. Deutsch, M. (2006). Justice and Conflict. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second edition): 43-68. San Francisco: Jossey-Bass. Fisher, R, J. (2006). Intergroup Conflict. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second edition): 176-198. San Francisco: Jossey-Bass. Fry, D, P. (2000). Conflict Management in Cross Cultural Perspective. dalam Fillipo Aureli dan Frans B. M. De Waal (Eds). Natural Conflict Resolution: 334-351. Berkeley: University of California Press. Furlong, G, T. (2005). The Conflict Resolution Toolbox, Model and Maps for Analyzing, Diagnosing and Resolving Conflict. Ontario: John Willey and commit to user Sons.
225
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gallois, C, et al. (2005). Intergroup Communication and Identity: Intercultural, Organizational, and Health Communication. dalam Kristin L. Fitch dan Robert E. Sanders (Eds). Handbook of Languages and Social Interaction: 231-252. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associated. Gerring, J. (2007). Case Study Research, Principles and Practices. Cambridge: Cambrige University Press. Gouran, D, S. (2003). Communication Skills for Group Decision Making. John O. Greene dan Brant R. Burelson (Eds) Handbook of Communication and Social Interaction Skill. 835-870. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Greene, J, O, Morgan, M. (2009). Cognition and Information Processing. dalam William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 110-118. Thousand Oak: Sage Publication. Hardin, R. (1995). The Logic of Group Conflict. Princeton: Princeton University Press. Hartley, P. (1999). Interpersonal Communication (second edition). London: Routledge. Hancock, D, R, Algozzine, B. (2006). Doing Case Study Research, A Practical Guide for Beginning Researcher. New York: Teacher College Press. Hill, A, et al. (2007). Key Themes in Interpersonal Communication: Culture, Identities, and Performance. Meidenhead: McGraw Hill. Irianto, H, Bungin, B. (2001). Pokok-Pokok Penting Tentang Wawancara. dalam Metodologi Penelitian Kualitatif, Burhan Bungin (Eds). Jakarta: Raja Grafindo Persada. Jessup, H, Rogerson, S. (2004). Postmodernism and the Teaching and Practice of Interpersonal Skill. dalam Martin Robb, Sheila Barret, Carol Komaromy, dan Anita Roger (Eds) Communication Relationship and Care: 74-83. London: Routledge. Johnson, D. W, et al. (2006). Constructive Controversy The Value of Intelectual Opposition. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second edition): 69-91. San Francisco: Jossey-Bass. Karney, B, R, et al. (2001). Cognition and the Development of Close Relationship. dalam Garth J. O. Fletcher dan Margaret S. Clark (Eds) Blackwell Handbook of Social Psychology: Interpersonal Processes: 32-59. Malden: Blackwell Publisher Ltd. Keyton, J, Stallworth, V. (2003). On the Verge of Collaboration: Interaction Process commit to user Versus Group Outcomes. dalam Lawrence R. Frey (Eds). Group
226
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Communications in Context, Studies of Bona Fide Group (second edition): 235-262. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associated. Klumpp, J, F. (2009). Deliberation, Debate, and Decision Making. dalam William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 201-210. Thousand Oak: Sage Publication. Kimmel, P, R. (2006). Culture and Conflict. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second edition): 625-648. San Francisco: Jossey-Bass. Krauss, R, M, Morsella, E. (2006). Communication and Conflict. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second edition): 144-157. San Francisco: Jossey-Bass. Kramer, R, M, Carnevale, P, J. (2001). Trust and Intergroup Negotiation. dalam Rupert Brown dan Samuel L. Gaertner (Eds). Blackwell Handbook of Social Psychology: Intergroup Process: 431-450. Malden: Blackwell Publisher Ltd. Kressel, K. (2006). Mediation Revisited. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second edition): 726-756. San Francisco: Jossey-Bass. Ladgerwood, A, et al. (2006). Changing Mind: Persuation in Negotiation and Conflict Resolution. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second edition): 455-485. San Francisco: Jossey-Bass. Littlejohn, S, W, Foss, K, A. (2005). Theories of Human Communication (eight edition). Belmont: Wadsworth. Martin, J, N, Nakayama, T, K. (2003). Intercultural Communication in Contex (third edition). Boston: McGraw Hill. Milles, M, B, Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Tjetjep Rohendi Rohidi (penerjemah). Jakarta: UI Press. Mischel, W, et al. (2006). Self-regulation in the Service of Conflict Resolution. dalam Morton Deutsch, Peter T. Coleman, dan Eric C. Marcus (Eds) Handbook of Conflict Resolution, Theory and Practice (second edition): 294314. San Francisco: Jossey-Bass. Norwood, K, Duck, S. (2009). Friend. dalam William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 313-221. Thousand Oak: Sage Publication. Oakes, P. (2001). The Root of Evil in Intergroup Relation? Unearthing commit to user Categorization Process. dalam Rupert Brown dan Samuel L. Gaertner (Eds).
227
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Blackwell Handbook of Social Psychology: Intergroup Process 3-21. Malden: Blackwell Publisher Ltd. Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS. Pecchioni, L, et al. (2008). Life-Span Communication. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Preuschoft, S, van Schaik, C, P. (2000). Dominance and Communication: Conflict Management in Various Social Setting. dalam Fillipo Aureli dan Frans B. M. De Waal (Eds). Natural Conflict Resolution: 77-105. Berkeley: University of California Press. Putnam, L, L. (2009). Conflict Management and Mediation. dalam William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 211-219. Thousand Oak: Sage Publication. Raffel, L. (2008). I Hate Conflict, Seven Step to Resolving Difference With Anyone in Your Life. New York: McGraw Hill. Rahim, M, A. (2001). Managing Conflict in Organization (third edition). Connecticut: Quorum Books. Robb, M. (2004). Men Talking About Fatherhood. dalam Martin Robb, Sheila Barret, Carol Komaromy, dan Anita Roger (Eds) Communication Relationship and Care: 121-130. London: Routledge. Roloff, M, Wright, C, M. (2009). Message Construction and Editing. dalam William F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 101-109. Thousand Oak: Sage Publication. Rusbult, C, E, et al. (2001). Interdependence in Close Relationship. dalam Garth J. O. Fletcher dan Margaret S. Clark (Eds) Blackwell Handbook of Social Psychology: Interpersonal Processes: 359-387. Malden: Blackwell Publisher Ltd. Samovar, L, A. et al. (2007). Communication Between Cultures. Belmont: Wadsworth. Simpson, J, A, et al. (2003). The Struktur and Function in Standards in Close Relationship. dalam Garth J. O. Flecther dan Margaret S. Clark (Eds) Blackwell Handbook of Social Psychology: Interpersonal Processes: 86-106. Malden: Blackwell Publisher Ltd. Soekanto, S. (2002). Pengantar Sosiologi (cetakan ketigapuluh empat). Jakarta: Rajawali Press. Spitzberg, B, H, Cupach, W, R. (2009). Unwanted Communication, Aggresion, and to user Abuse. dalam William commit F. Eadie (Eds) 21st Century Communication, Reference Handbook: 454-462. Thousand Oak: Sage Publication.
228
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sutopo, H, B. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi kedua). Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Tindale, R, S, et al. (2001). Shared Cognition in Small Group. dalam Michael A Hogg dan R. Scott Tindale (Eds). Blackwell Handbook of Social Psychology: Group Process: 1-30. Malden: Blackwell Publisher Ltd. Yarn, D, H. (2000). Law, Love, and Reconciliation: Searching for Natural Conflict Resolution in Homo sapiens. dalam Fillipo Aureli dan Frans B. M. De Waal (Eds). Natural Conflict Resolution: 54-72. Berkeley: University of California Press.
Jurnal Ilmiah Internasional Abramson, H. (2006). Selecting Mediators and Representing Clients in CrossCultural Disputes. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 7: 253-275. Alberstein, M. (2009). The Jurisprudence of Mediation: Between Formalism, Feminism and Identity Conversations. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 10: 1-28. Baker, W, H. (2009). Class Action Arbitration. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 10: 335-367. Becovitch, J. (2006). Mediation Success or Failure: A Search for Elusive Criteria. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 7: 289-302. Bland Jr, F, P, Prestel, C. (2009). Challenging Class Action Bans in Mandatory Arbitration Clause. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 10: 369-393. Collins, R. (2009). Micro and Macro Cause of Violence. International Journal of Conflict and Violence, vol 3 (1): 9-22. Del Felice, C. (2008). Youth Criminality and Urban Social Conflict in the City of Rosario, Argentina: Analysis and Proposals for Conflict Transformation. International Journal of Conflict and Violence, vol 2 (1): 72-97. Eisner, M. (2009). The Uses of Violence: An Examination of Some Cross-Cutting Issues. International Journal of Conflict and Violence, vol 3 (1): 40-59. Fox, K. (2006). What Private Mediator Can Learn. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 7: 237-252. Hopkins, N, Kahani-Hopkins, V. (2006). Minority Group Member‘ Theories of Intergroup Contact: A Case Study of British Muslim‘ Conceptualization of ‗Islamophobia‘ and Social Change. British Journal of Social Psychology, 45: commit to user 245-264.
229
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lakhani, A. (2006). The Role of Citizen and The Future of International Law: A Paradigm A Changing World. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 8: 159-208. Nolan-Haley, J. (2006). Self Determinataion in International Mediation: Some Preeliminary Perception. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 7: 276288. Simms, M, S. (2009). Alternative Dispute Resolution in Small Consensual Ligitation: Too Much of A Good Thing?. Cardozo Journal of Conflict Resolution, vol 11: 263-288.
Surat Kabar ―1.650 Rumah Terendam‖. Radar Solo, 27 Desember 2007, hal 1 ―Pemkot Siapkan Rp 1 Miliar‖. Radar Solo, 28 Desember 2007, hal 4 ―Warga Bantaran Gugat Pemerintah‖. Solo Pos, 2 April 2009, hal I ―Hakim Tolak Gugatan Warga‖. Solo Pos, 18 Februari 2010, hal I. ―Semanggi Menagih Janji‖. Joglosemar, 14 Maret 2010, hal 13. ―Gugatan Warga Bantaran Ditolak‖. Joglosemar, 18 Februari 2010, hal 9. ―Relokasi Warga Bantaran Tekuk Incumbent‖. Radar Solo, 27 April 2010, hal 1.
commit to user
230