RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No. 2 Oktober 2016, 293-312 Available Online at http://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret DOI: 10.22225/jr.2.2.356.293-312.
TERMINOLOGI RUMAH ADAT DALAM LOKA SUMBAWA: SEBUAH TINJAUAN ANTROPOLINGUISTIK Wawan Hermansyah
Universitas Mataram
[email protected]
Abstrak
Rumah adat Dalam Loka yang kini masih berdiri kokoh di tengah kota Sumbawa Besar, merupakan saksi sejarah yang memperlihatkan kejayaan Kesultanan Sumbawa pada zamannya. Kekayaan terminologi yang terdapat dalam rumah adat Dalam Loka, memberikan ruang bagi pengkaji bahasa dan budaya untuk memahami lebih dalam apa saja yang terjadi di masa lampau berdasarkan simbolsimbol nomina serta menyiratkan bagaimana kehidupan zaman dahulu sarat makna yang mendalam. Dengan demikian, untuk mengungkapkan bentuk-bentuk terminologi dan memahami nilai-nilai yang dimiliki dalam rumah adat Dalam Loka, perlu ditelusuri melalui pendekatan linguistik kebudayaan atau disebut dengan kajian antropolinguistik. Oleh karena itu, teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori antropolinguistik dan teori semiotik sosial. Adapun penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Jenis dan sumber data yang digunakan dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu data primer dan data skunder. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu metode simak dan metode cakap. Data dianalisis dengan menggunakan metode padan intralingual dan metode padan ekstralingual. Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, ditemukan bentukbentuk terminologi dalam rumah adat Dalam Loka Sumbawa berasal bahasa-bahasa nusantara, yaitu berasal dari bahasa Jawa, Makassar dan Melayu. Selain itu, adapun ditemukan bentuk-bentuk terminologi dalam rumah adat Dalam Loka Sumbawa yang berasal dari bahasa asing, seperti bahasa Arab dan bahasa Sanskerta. Konteks budaya bentuk-bentuk terminologi dalam rumah adat Dalam Loka Sumbawa menunjukkan keberadaan sebuah pradaban dengan sistem pemerintahan dan sistem kerajaan dalam bentuk aristokrasi. Tatanan pemerintahan yang bertumpu pada raja (sultan) adalah sebuah sistem yang mencakup adat, pemerintahan dan hukum. Kata kunci: Rumah adat, Dalam Loka, antropolinguistik
Abstract
In Loka custom home that is still standing firm in the middle of the town of Sumbawa Besar is a historical witness that shows the glory of the Sultanate of Sumbawa in its time. Terminology richness that included in Dalam Loka custom home providing space for the language and culture reviewers to understand more deeply what happened in the past time based on the symbols of things and suggests how the ancient life with profound meaning. Thus, to express forms of terminology and understand the values held in Dalam Loka custom home, it is necessary to be traced through the linguistic approach or the study of culture called antropholinguistic. Therefore, the theory used in this research is antropolinguistic theory and social semiotic theory. This study used a qualitative descriptive approach. The types and sources of data used are classified into two types: primary data and secondary data. The methods used in the method of data collection were listening and conversation. The data were analyzed by using intralingual equivalence and ekstralingual equivalence method. The results and discussion of this research found that forms of terminology in the Dalam Loka custom home in Sumbawa derived from some languages, which is derived from the Javanese, Makassar and Malay languages. Moreover, as for other forms of terminology found in Dalam Loka custom home in Sumbawa derived from foreign languages, such as Arabic and Sanskrit language. The cultural context shapes the terminology in the Dalam Loka custom home in Sumbawa indicate the existence of a civilization with a system of government and the imperial system in the form of aristocracy. System of government rests on the king (sultan) is a system that includes customs, governance and law. Keywords: Custome home, Dalam Loka, antropolinguistic
1. PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang
yang yang beranekaragam, baik dalam ben-
memiliki kebudayaan dan kearifan lokal
hasa daerah, atau kuliner khas daerah.
tuk kesenian, pakaian adat, rumah adat, ba-
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 294
Kebudayaan dan kearifan lokal tersebut ter-
Sebagai bagian dari wilayah Republik
bentuk sebagai hasil dari proses interaksi
Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Barat
antara manusia dengan lingkungan dalam
(NTB), khususnya Kabupaten Sumbawa
rangka memenuhi berbagai kebutuhan.
yang mayoritas dihuni oleh masyarakat
Manusia dalam kehidupannya mempunyai
etnis Samawa juga memiliki kearifan lokal
banyak kebutuhan hidup (Suriasumantri,
dalam bentuk rumah adat. Sampai saat ini,
1996:261). Adanya kebutuhan hidup ini
masih ada beberapa rumah adat yang
mendorong
melakukan
tersebar di beberapa wilayah Kabupaten
berbagai tindakan dan kebiasaan yang
Sumbawa. Namun, rumah adat Dalam Loka
bermanfaat untuk mempertahankan dan
di Kabupaten Sumbawa yang menurut
mengembangkan
hidupnya.
peneliti cukup representatif untuk mewakili
Perkembangan cara hidup manusia dapat
keberadaan rumah adat yang ada di
dilihat dari cara bagaimana mereka menata
Sumbawa
peradabannya (Sibarani, 2004:2).
rumah adat tersebut merupakan tempat
manusia
untuk
cara
Di Indonesia khususnya, perkembangan
secara
keseluruhaan
karena
tinggal Raja Sumbawa.
tersebut ditandai dengan banyaknya benda-
Rumah adat Dalam Loka kini masih
benda peninggalan hasil budaya berupa
berdiri kokoh di tengah kota Sumbawa Be-
bangunan (artifact) yang telah dibuat oleh
sar, merupakan saksi sejarah yang memper-
nenek
satu
lihatkan kejayaan Kesultanan Sumbawa pa-
peninggalan yang yang dapat dilihat dan
da zamannya. Kekayaan terminologi (tata
masih
simbolisasi
istilah) yang terdapat dalam setiap sudut
kebudayaan di setiap daerah di nusantara
rumah adat Dalam Loka, memberi ruang
adalah rumah adat. Keberadaan rumah adat
untuk memahami lebih dalam apa saja yang
sebagai bentuk material kebudayaan yang
terjadi di masa lampau dan menyiratkan
sangat beragam di setiap daerah/provinsi di
bagaimana kehidupan zaman dahulu sarat
Indonesia mempunyai makna yang penting
makna
dalam sejarah, warisan, dan kemajuan se-
eksistensi rumah adat Dalam Loka yang
buah peradaban. Rumah adat dibangun tid-
masih terlihat memberi gambaran tentang
ak hanya dengan pertimbangan aspek
detail bagaimana agama yang dianut serta
fungsional-praktis, melainkan teramu dari
gambaran filosofi hidup masyarakat Sama-
berbagai aspek dan dimensi totalitas hidup
wa.
moyang menjadi
terdahulu. bagian
Salah
yang
mendalam.
Selain
itu,
manusia. Aspek-aspek tersebut meliputi
Pada rumah adat Dalam Loka terdapat
aspek sosial, kultural, spiritual, estetis, dan
nama dan istilah serta bentuk arsitektur
lain-lain yang dikontruksikan sedemikian
khas
rupa dengan fungsi fisik dan nonfisiknya
komponennya.
menjadi seni bangun yang mengagumkan.
tersebut, para leluhur dapat membahasakan
yang
melekat
pada
setiap
Melalui
arsitektur
khas
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 295
jati dirinya sebagai orang Sumbawa (tau
tidak dipahami lagi oleh generasi muda.
Samawa), baik sebagai individu maupun
Pesatnya pembangunan pada pelbagai aspek
sebagai bagian dari masyarakat. Salah satu
kehidupan masyarakat yang diiringi dengan
contoh terminologi rumah adat Dalam Loka
persebaran nilai-nilai baru serta ilmu penge-
yaitu terekam pada penamaan arsitektur
tahuan dan teknologi, menyebabkan nilai-
ruangannya yang disebut dengan lunyuk
nilai tradisi lokal terdesak, tidak dipatuhi,
emas ‘ruang pertemuan (khusus wanita)’.
tidak dipahami bahkan terdegradasi. Selain
Kata lunyuk berasal dari nama sebuah
itu, tidak mudah menata ulang identitas
tempat atau nama sebuah ruangan, seperti
kedaerahan di tengah kepatuhan total ter-
halnya nama salah satu desa di Kabupaten
hadap kesadaran kebangsaan. Kebutuhan
Sumbawa yaitu Desa Lunyuk (tempat salah
sadar diri atas nilai-nilai kelokalan terkesan
satu
etnis
berat dan cenderung dipaksakan demi
Sumbawa). Sementara kata emas dalam
pengakuan dan pengawalan atas kesadaran
KBBI (2012) yaitu: 1) logam mulia
bernegara. Cara pandang masyarakat ten-
berwarna kuning yang dapat ditempa dan
tang adat dan kelokalan masih dibayangi
dibentuk, biasa dibuat perhiasan seperti
masa lalu yang kolot dan feodal, sistem
cincin, kalung, 2) uang; harta duniawi, 3)
nilai yang irasional, dan anggapan ketid-
sesuatu yang tinggi mutunya (berharga; ber-
akmampuan mengikuti perubahan. Hal ini
nilai). Jadi, konsep emas pada bentuk
diperkuat dengan karakteristik masyarakat
lunyuk emas sangat sesuai dengan nilai-
Samawa yang begitu terbuka terhadap hal-
nilai tentang keperempuanan, misalnya per-
hal baru, sehingga semakin mempertipis
empuan dianggap sebagai sesuatu yang ber-
kesadaran dan kedirian masyarakat Samawa
harga, berkilau, sebagai perhiasan (karena
dari akar identitas pradabannya. Peneliti
kecantikannya)
dicari-cari
tidak bermaksud membangun paradigma
orang. Dengan demikian, istilah lunyuk
bahwa pengentalan identitas lokal sebagai
emas ‘ruang pertemuan (khusus wanita)’
pembangkangan atas rasa nasionalisme,
menunjukkan bahwa pada kepemimpinan
namun perlu ada penguatan kesadaran bah-
Sultan Sumbawa mengakui peran dan
wa bangsa ini dibangun di atas keane-
eksisitensi perempuan dalam kehidupan
karagaman.
pemukiman
penduduk
dan
banyak
asli
masa itu. Hal tersebut sesuai dengan ajaran
Penelitian ini bersifat deskriptif kuali-
agama Islam yang dianut oleh masyarakat
tatif,
Sumbawa.
secara
yakni
berusaha
sistematis,
menggambarkan
faktual
dan
akurat
Dalam konteks kekinian, bentuk dan
mengenai fakta-fakta tentang terminologi
nilai-nilai yang terkandung dalam salah satu
dalam rumah adat Dalam Loka Sumbawa.
komponen rumah adat Dalam Loka seperti
Data diperoleh dari hasil pengamatan, hasil
cuplikan data di atas, sebagian besar sudah
wawancara,
hasil
pemotretan,
analisis
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 296
dokumen dan catatan lapangan. Hasil
padan ekstralingual. Metode padan intralin-
analisis data berupa pemaparan mengenai
gual adalah metode analisis dengan cara
situasi yang diteliti dan disajikan dalam
menghubung-bandingkan unsur-unsur yang
bentuk uraian deskriptif.
bersifat lingual, baik yang terdapat dalam
Untuk memperoleh data yang memadai,
satu bahasa maupun beberapa bahasa yang
maka dalam penelitian ini ditetapkan dua
berbeda (Mahsun: 2005:118). Metode pa-
metode
(1)
dan menggunakan teknik hubung banding
metode simak, dan (2) metode cakap.
menyamakan (HBS) dan hubung banding
Metode simak digunakan untuk mengamati
membedakan (HBB). Selain dua teknik itu,
fenomena-fenomena
yakni
metode ini mempunyai satu teknik lagi yai-
berupa istilah-istilah yang terdapat dalam
tu teknik hubung banding menyamakan hal
rumah
pokok (HBSP), yaitu teknik yang bertujuan
pengumpulan
adat
Dalam
data,
yakni
kebahasaan, Loka
Kabupaten
Sumbawa. Data
untuk mencari kesamaan hal pokok dari ini
pembedaan dan penyamaan yang dilakukan
dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu
dengan menerapkan teknik HBS dan HBB.
data primer dan data skunder. Data primer
Tujuan akhir dari banding menyamakan
adalah data yang diperoleh atau dikumpul-
atau membedakan yaitu menemukan kesa-
kan oleh peneliti secara langsung dari sum-
maan pokok di antara data yang diper-
ber datanya. Data primer dalam penelitian
bandingkan itu. Secara khusus, metode
ini berupa terminologi (tata istilah) yang
padan
terdapat dalam rumah adat Dalam Loka
peneliti untuk menganalisis terminologi
Sumbawa. Data skunder adalah data yang
(tata istilah) yang terdapat dalam rumah
diperoleh atau data yang dikumpulkan
adat Dalam Loka Sumbawa. Selanjutnya,
peneliti dari berbagai sumber yang telah ada
metode padan ekstralingual adalah metode
seperti buku, laporan penelitian, dan jurnal.
yang digunakan untuk menganalisis unsur
Selain itu, data skunder dalam penelitian ini
yang
juga didapatkan dari hasil wawancara
menghubungkan masalah bahasa dengan
dengan
dalam
hal yang berada di luar bahasa (Mahsun,
penelitian ini yaitu, pengurus Lembaga
2007:120). Metode padan ekstralingual ini
Adat Tanah Samawa (LATS), tokoh adat
digunakan oleh peneliti untuk menganalisis
dan budaya di Kabupaten Sumbawa yang di
nilai-nilai kultural yang terkandung dalam
anggap oleh peneliti memiliki kompetensi
terminologi dan bentuk arsitektur rumah
memadai terkait dengan ikhwal penelitian.
adat Dalam Loka Sumbawa.
Metode
dalam
informan.
yang
penelitian
Informan
digunakan
intralingual
bersifat
akan
dimanfaatkan
ekstralingual,
seperti
dalam
Peneliti menganggap kajian tentang hal
penganalisisan data dalam penelitian ini
ini penting dilakukan, selain sebagai upaya
yaitu metode padan intralingual dan metode
pendokumentasian bahasa, peneliti juga
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 297
menganggap bahwa kekayaan terminologi
umum, misalnya; anggaran belanja, daya,
(tata istilah) dalam bentuk arsitektur khas
radio, nikah, takwa. Istilah khusus adalah
yang melekat pada rumah adat Sumbawa
istilah yang maknanya terbatas pada bidang
perlu dieksplorasikan kepada masyarakat
tertentu saja, misalnya; morfologi, sintaksis,
luas sebagai bentuk dedikasi dan pengakuan
fonologi dan lain-lain.
atas eksistensi kebudayaan daerah. Selain
Bentuk istilah terkait penelitian ini ada
itu, belum adanya penelitian tentang rumah
dua bentuk istilah yaitu monomorfemis dan
adat Dalam Loka dari sudut pandang
polimorfemis.
antropolinguistik merupakan dasar yang
Monomorfemis (Monomorphemic) terjadi
digunakan untuk melaksanankan penelitian
dari
ini.
2008:157). Morfem merupakan satuan bun-
suatu
morfem
(Kridalaksana,
yi terkecil yang relatif stabil dan yang tidak KONSEP DAN KERANGKA TEORI Konsep Dalam penelitian ini, ada dua konsep dasar yang menjadi rujukan empiris untuk memahami fenomena objek penelitian. Kedua konsep dasar tersebut adalah konsep terminologi rumah adat dan konsep rumah adat Dalam Loka Sumbawa.
dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil misalnya (ter-), (di-), dan sebagainya
(Kridalaksana,
2008:158).
Menurut Koentjono (1982:180) satu atau
lebih morfem akan menyusun sebuah kata. Kata dalam hal ini ialah satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri sebagai kata, mempu-
Terminologi Rumah Adat Terminologi (tata istilah)
adalah
perangkat asas dan ketentuan pembentukan istilah
serta
kumpulan
istilah
yang
dihasilkannya. Misalnya; nabolisme, pasar modal, demokrasi, pemerataan, laik terbang dan lain-lain. Istilah adalah kata atau frasa yang dipakai sebagai nama atau lambang dan yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Dalam peristilahan dikenal juga istilah umum dan istilah khusus. Istilah umum adalah istilah yang berasal dari bidang tertentu, yang karena dipakai secara luas, menjadi unsur kosakata
nyai makna dan berkategori jelas. Polimorfemis adalah kata bermorfem lebih dari satu. Bentuk polimorfemis yaitu (1) pengimbuhan/afiksasi (penambahan afiks) yaitu proses pembubuhan afisk pada sebuah dasar atau bentuk dasar, afiks adalah sebuah bentuk, biasanya berupa morfem terikat yang diimbuhkan pada sebuah dasar dalam pembentukan kata (Chaer, 2007:177), (2) reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun
dengan perubahan bunyi (Chaer, 2007:182), (3) komposisi adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar, baik yang bebas
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 298
maupun yang terikat, sehingga terbentuk
Hingga saat ini masih banyak suku atau
sebuah kontruksi yang memiliki identitas
daerah-daerah di Indonesia yang masih
leksikal yang berbeda, atau yang baru
mempertahankan rumah adat sebagai usaha
(Chaer, 2007:185), (4) frasa lazim didefin-
untuk memelihara nilai-nilai budaya yang
isikan sebagai satuan gramatikal yang beru-
kian tergeser oleh budaya modernisasi.
pa gabungan kata yang bersifat nonpredi-
Biasanya rumah adat tertentu dijadikan
katif, atau lazim juga disebut gabungan kata
sebagai aula (tempat pertemuan), museum
yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di
atau dibiarkan begitu saja sebagai obyek
dalam kalimat (Chaer, 2007:222). Jenis
wisata. Bentuk dan arsitektur rumah-rumah
frase digolongkan menjadi empat yaitu,
adat di Indonesia masing-masing daerah
frase eksosentrik, frase endosentrik (frase
memiliki bentuk dan arsitektur berbeda
subordinatif atau frase modifikasi), frase
sesuai dengan nuansa adat setempat. Rumah
koordinatif, dan frase apositif.
adat pada umumnya dihiasi ukiran-ukiran indah, pada jaman dulu, rumah adat yang
Rumah Adat Dalam Loka Sumbawa Konsep rumah adat sebagai bangunan
tampak paling indah biasa dimiliki para
rumah yang melambangkan kebudayaan
menggunakan
dan
pengerjaannya dilakukan secara tradisional
ciri
khas
Budihardjo rumah
masyarakat
(1994:57)
adalah
setempat.
mendefinisikan
aktualisasi
diri
keluarga kerajaan atau ketua adat setempat
kayu-kayu
melibatkan tenaga ahli
pilihan di
dan
bidangnya.
yang
Banyak rumah adat yang saat ini masih
diejawantahkan dalam bentuk kreativitas
berdiri kokoh dan sengaja dipertahankan
dan pemberian makna bagi kehidupan
serta dilestarikan sebagai simbol budaya
penghuninya. Frick (2008:2) mengemuka-
Indonesia.
kan bahwa rumah adat sebagai karya arsi-
Dalam Loka berasal dari kata Dalam
tektur bukan hanya sekedar susunan materi-
yang artinya istana, komplek tempat tinggal
al dan struktur bangunan yang terletak di
raja dan keluarganya, sedangkan Loka be-
suatu site/lokasi, namun lebih merupakan
rarti tua. Dengan demikian, Dalam Loka
suatu manifestasi aspek-aspek ritual, kultur-
berarti istana tua. Dalam Loka merupakan
al, sosial, materialisasi, teknik dan keahlian.
representasi dari keberadaan sebuah kera-
Dalam persfektif yang hampir sama, Har-
jaan yang pernah eksis pada jaman dahulu.
yadi dan Setiawan (2010) faktor relegi dan
Dalam Loka dibangun pada tahun 1885,
kepercayaan dipandang sangat berpengaruh
diprakarsai
pada bentuk dan pola rumah bahkan dalam
Jalaluddin Syah III yang menjadi Sultan ke-
masyarakat tradisional cenderung merupa-
16. Dalam Loka berbentuk rumah panggung
kan faktor dominan dibandingkan faktor-
dengan luas bangunan 904 M2, istana yang
faktor lainnya.
dibangun dengan bahan kayu ini memiliki
oleh
Sultan
Muhammad
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 299
filosofi “adat berenti ko syara, syara
linguistik sebagai ilmu yang mengkaji baha-
barenti ko kitabullah”, yang berarti semua
sa. Selanjutnya, linguistik dan antropologi
aturan adat-istiadat maupun nilai-nilai da-
bekerja sama dalam mempelajari hubungan
lam sendi kehidupan masyarakat Sumbawa
bahasa dan aspek-aspek budaya dengan
harus bersemangatkan pada syariat Islam.
sebutan antropolinguistik. Antropolinguistik maksudnya cabang linguistik yang mepela-
Kerangka Teori Antropolinguistik
jari variasi dan penggunaan bahasa dalam
Bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Keduanya saling memengaruhi, saling mengisi, dan berjalan berdampingan. Bahasa adalah bagian dari kebudayaan sehingga mempelajari suatu bahasa
secara
tidak
langsung
juga
mempelajari kebudayaan. Artinya, bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan dan demikian sebaliknya kebudayaan baru bisa dipelajari melalui bahasa. Eratnya hubungan antara bahasa dan kebudayaan memunculkan kajian untuk mengetahui hubungan tersebut. Dalam kebudayaan, bahasa menduduki tempat yang unik dan terhormat. Selain sebagai unsur kebudayaan, bahasa juga berfungsi sebagai sarana terpenting dalam pewarisan, pengembangan
dan penyebarluasan kebudayaan. Cakupan kajian yang berkaitan dengan bahasa sangat luas, karena bahasa mencangkup hampir semua aktivitas manusia. Hingga akhirnya linguistik memperlihatkan adanya pergerakan menuju kajian yang bersifat multidisplin, salah satunya adalah antropologi linguistik. Kajian tentang hubungan antara bahasa dan kebudayaan pada umumnya dilihat dari ilmu yang mepelajarinya. Antropologi sebagai ilmu yang mengkaji kebudayaan dan
hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan
tempat
komunikasi,
sistem
kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, adat istiadat dan pola-pola kebudayaan lain dari suatu suku bangsa (Sibarani, 2004:49–50). Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang menaruh perhatian pada: a) pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan
budaya yang luas, dan b) peran bahasa dalam mngembangkan dan mempertahankan aktifitas budaya serta struktur sosial. Dalam hal ini, antropolinguistik memandang bahasa melalui konsep antropologi yang hakiki dan melalui budaya, menemukan makna di balik penggunaannya, serta menemukan bentuk-bentuk bahasa, register, dan gaya. Dalam kaitan bahasa dengan antropologi, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan (Halliday, dalam Suryatna, 1996:59). Antropolinguistik menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dengan kebudayaan dalam 2004:50).
suatu
masyarakat
Selanjutnya,
(Sibarani, Kridalaksana
menggunakan istilah kajian antropolinguistik ini adalah kajian linguistik kebudayaan.
Linguistik kebudayaan adalah cabang ilmu lingustik yang mempelajari variasi dan pemakaian bahasa dalam hubungannya
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 300
dengan pola kebudayaan dan ciri-ciri baha-
dihuni manusia, atau dipakai sebagai tempat
sa yang berhubungan dengan kelompok so-
berkumpul manusia, atau sebagai tempat
sial, agama, pekerjaan dan kekerabatan
menyimpan barang. Hal yang penting ada-
(Sibarani dan Henry, 1993:128). Linguistik
lah bahwa keberadaan artefak adalah akibat
kebudayaan
tentang
perilaku dan tindakan manusia yang di-
kedudukan dan fungsi bahasa di dalam
dorong oleh motivasi dan pemikirannya.
konteks sosial dan budaya secara lebih luas
Oleh karena itu, artefak bukanlah sesuatu
yang memiliki peran untuk membentuk dan
yang terisolasi, tetapi merupakan salah satu
mempertahankan
ke-
unsur dari suatu sistem sehingga makna
budayaan dan struktur sosial masyarakat
yang terkandung di dalamnya bersifat
(Beratha 1998:42).
sistematis pula. Hal ini juga berarti bahwa
Menurut
merupakan
kajian
praktik-praktik
Mbete
(2009:2)
banyak
makna artefak dapat ditentukan oleh sistem,
leksikon-leksikon bermakna dan berfungsi
oleh artefak itu sendiri, dan oleh manusia
referensial di Indonesia, yakni khazanah
yang membuat artefak itu, atau yang
leksikon yang referensi nyatanya dapat di-
mengaitkan unsur fisik dari lingkungan
lacak, dijejaki, dibuktikan secara empirik
dengan makna tertentu. Hal-hal ini semua
atau kasat mata, karena dapat ditemukan di
telah menjadi objek pemikiran teoretis dan
lapangan, daya cipta dan kode-kode lingual
secara sistematis dianalisis oleh semiotik
kata,
dengan bertumpu pada tanda (sign) sebagai
ungkapan-ungkapan,
dan
pem-
berdayaan wacana bahasa lokal sangat pent-
konsep pokoknya.
ing sebagai strategi pelestarian bahasa dan
Jika dilihat dari berbagai definisi yang
sumber daya alami lokal. Cara demikian
dikemukakan oleh para ahli kebudayaan di
menjadi solusi mengatasi persoalan keteran-
atas, maka tidak terlalu keliru kiranya
caman sumber daya bahasa dan budaya
mengartikan kebudayaan sebagai sehim-
daerah.
punan nilai-nilai yang oleh masyarakat pen-
Kebudayaan secara umum tercermin
dukungnya dijadikan acuan bagi perilaku
dalam tiga hal, yaitu perilaku, nilai, dan ar-
warganya. Nilai-nilai itu juga berpengaruh
tefak
sebagai kerangka untuk membentuk pan-
(Koentjaraningrat,
2009:150).
Menurut Masinambow (1998:1) artefak
dangan
hidup
yang
kemudian
relatif
adalah benda fisik yang mengalami olahan
menetap dan tampil melalui pilihan warga
olah tangan untuk memenuhi suatu keperlu-
budaya itu untuk menentukan sikapnya ter-
an tertentu. Misalnya, batu yang dibelah
hadap berbagai gejala dan peristiwa ke-
dua agar sisi pecahannya yang tajam
hidupan. Nilai-nilai itu pada sendirinya baru
digunakan untuk memutus tali disebut arte-
merupakan acuan dasar yang keberlakuann-
fak. Sebuah gedung besar juga disebut arte-
ya disadarkan melalui ikhtiar pendidikan
fak karena dibangun dengan tujuan untuk
sejak dini, seperti misalnya dalam mem-
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 301
bedakan baik dan buruk melalui norma-
nama benda, kata, kelompok kata, serta
norma sebagai pengatur kepantasan per-
istilah-istilah
ilaku. Oleh karena itu, budaya suatu
dengan proses budaya yang terjadi dalam
masyarakat dapat ditelusuri melalui baha-
pemanfaatan rumah adat tersebut.
lain
yang
berhubungan
sanya. Dengan demikian, penelitian bahasa suatu masyarakat dapat dimanfaatkan untuk mengungkap budaya masyarakat tersebut. Penggunaan teori antropolinguistik dalam penelitian ini didasari atas pertimbangan bahwa
kajian
antropolinguistik
juga
menggambarkan mengenai inspirasi intelektual (intellectual inspiration) yang berasal dari hubungan interaksional, berdasarkan pada perspektif aktifitas dan pemikiran manusia. Rumah adat adalah salah satu elemen
penting
dalam
hal
mewakili
inspirasi intelektual yang diejawantahkan dalam bentuk dan karakteristik arsitektur yang khas. Dalam
penelitian
ini,
kajian
antropolinguistik dimanfaatkan untuk memolakan kerangka budaya masyarakat yang terdapat di wilayah penelitian. Antropolinguistik pada hakikatnya berfokus pada kajian untuk mengungkap hakikat bahasa yang terdiri atas bentuk dan makna dibalik bentuk
yang
ada
demikian, penelitian
tersebut.
Dengan
ini berfokus pada
kajian bahasa untuk mendeskripsikan kebudayaan masyarakat Sumbawa. Upaya menemukan kebudayaan masyarakat Sumbawa dilakukan dengan cara mengkaji bahasa yang terdapat dalam terminolgi rumah
adat Dalam Loka Sumbawa. Aspek bahasa yang menjadi kajian penelitian ini berupa istilah-istilah yang berhubungan dengan
Teori Semiotik Sosial Konsep semiotik mulanya berasal dari konsep tanda yang berhubungan dengan
istilah penanda (semainon) dan petanda (semainomenon) dalam bahasa Yunani. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa semiotik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda, seperti bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. (Halliday dan Hasan, 1994:3) Sementara, kata sosial berkaitan dengan konsep sistem sosial dan konsep struktur sosial. Lebih lanjut, Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bagaimana
bentuk
bahasa
perkembangannya
dan
(Halliday,
1977). Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara bersama-sama mem-
bentuk budaya manusia. Tidak ada fenomena bahasa yang vakum sosial, tetapi ia selalu berhubungan erat dengan aspek-aspek sosial. Dalam proses sosial itu, menurut Halliday, konstruk realitas tidak dapat dipisahkan dari konstruksi sistem semantis tempat realitas itu dikodekan. Sementara itu, semiotik sosial adalah semiotik yang secara khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik berupa kata
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 302
maupun rangkaian kata atau kalimat. Semi-
hidupan masyarakat Sumbawa kala itu, dari
otik sosial lebih cenderung melihat bahasa
segi kebahasaan dapat dikatakan memiliki
sebagai sistem tanda atau simbol yang se-
makna tersurat dan makna tersirat. Makna
dang mengekspresikan nilai dan norma kul-
tersurat adalah makna bahasa yang dapat
tural serta sosial suatu masyarakat tertentu
dilihat dalam kamus, sedangkan makna ter-
di dalam suatu proses sosial kebahasaan.
sirat maksudnya adalah makna bahasa yang
Semiotik sosial tidak lagi melihat bahasa
tidak terdapat dalam kamus, tetapi dapat
sebagai suatu entitas yang secara otomistis
ditelusuri
dirujuk sebagai hubungan antara ’yang
(Riana, 2003:10).
dengan
melihat
konteksnya
ditandai’ dan ’yang menandai’. Semiotik
Penelitian ini berusaha menganalisis dan
sosial lebih melihat bahasa sebagai suatu
mengartikan makna dari objek yang diteliti
realitas, realitas sosial, dan sekaligus se-
berdasarkan fakta di lapangan. Kekayaan
bagai realitas semiotik (Santoso, 2003:6).
istilah yang melekat pada setiap sudut
Sebagai suatu realitas, bahasa adalah
rumah adat Dalam Loka Sumbawa merupa-
sebuah fenomena berupa pengalaman fisik,
kan sebuah tanda yang mewakili sistem
logis, psikis penuturnya dalam konteks
sosial dan sistem pemerintahan kerajaan
situasi dan konteks budaya tertentu. Bahasa
Sumbawa pada zamannya. Formulasi baha-
sebagai realitas sosial, artinya bahasa meru-
sa sebagai semiotik sosial berarti menafsir-
pakan fenomena sosial yang digunakan oleh
kan bahasa dalam konteks sosiokultural
penuturnya untuk berinteraksi dan berko-
tempat kebudayaan itu ditafsirkan dalam
munikasi dalam konteks situasi dan budaya
terminologis semiotis sebagai sebuah sistem
tertentu. Bahasa adalah realitas semiotika
informasi.
yang berarti bahasa merupakan simbol yang
Dengan demikian, ketiga unsur tadi meru-
3. PEMBAHASAN Bentuk-Bentuk Terminologi dalam Rumah Adat Dalam Loka Berdasarkan temuan data di lapangan,
pakan satu kesatuan dalam mengekspresi-
adapun bentuk-bentuk terminologi dalam
kan makna atau fungsi sosial tertentu. Oleh
rumah adat Dalam Loka Sumbawa dapat
karena itu, keberadaan rumah adat sebagai
dikemukan sebagai berikut.
mewujudkan realitas dan realitas sosial dalam konteks situasi dan budaya tertentu.
simbolisasi kebudayaan dan cermin keNo.
Kata/Istilah
Glos
1.
Bala bulo
2.
Bala kemar
‘Bangunan (bangsawan) pendukung istana Dalam Loka yang khusus digunakan oleh putra dan putri sultan’ ‘Bangunan induk Dalam Loka’
3.
Bale pamaning
‘Bangunan tempat mandi sultan dan keluarga’
4.
Dining panili
‘Dinding pembatas pandangan ke ruangan dalam’
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 303 5.
Lawang rare
6.
Lunyuk agung
‘Gerbang pembatas antara mesjid Nurul Huda dengan Dalam Loka’ ‘Ruang pertemuan, tempat upacara kesultanan’
7.
Lunyuk emas
‘Ruang pertemuan (khusus wanita)’
8.
Paladang
‘Ruang tunggu (lobi)’
9.
Parangin
‘Ruang tunggu (tempat duduk) sebelah timur’
10.
Sanapir kamutar
‘Ruang dapur’
11.
Sarapo kamutar
12.
Sarumung belo
13.
Tangke
14.
Tete gasa
15.
Tete sawai
‘Bangunan semipermanen (bongkar-pasang) yang dibangun ketika dilaksanakannya acara-acara adat’ ‘Kamar mandi untuk penghuni istana (selain sultan) dan tamu’ ‘Ruang tunggu (tempat menitipkan/meletakkan segala jenis senjata tajam) sebelah barat’ ‘Tangga utama (jalur masuk/naik) yang terletak di bagian depan’ ‘Tangga yang terletak di bagian belakang’
Kajian Linguistis Bentuk-Bentuk Terminologi dalam Rumah Adat Dalam Loka Sumbawa
Kata bala dalam kamus bahasa Samawaadalah
rumah
bangsawan,
sedangkan kata kemar berarti kembar, sehingga bala kemar ‘bangunan induk Dalam Loka’ yaitu rumah sekaligus sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal sultan beserta keluarganya. Salah satu alasan dibangunnya bala kemar adalah karena adanya desakan dari rakyat yang ingin melihat tempat tinggal pemimpinnya berbeda dengan rumah-rumah lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa istana Raja Sumbawa, terutama dari masa Sultan Muhammad Kaharuddin II sampai dengan Sultan Amrullah, hampir tidak ada bedanya dengan rumah masyarakat biasa. Sultansultan Sumbawa pada saat itu hidup dalam
kesederhanaan
dan
pusat kegiatan pemerintahan penuh dengan simbol-simbol
a. Bala Kemar dan Bala Bulo Indonesia
menjadi tempat tinggal sultan dan sebagai
benar-benar
mem-
fungsikan dirinya sebagai pelayan dan pelindung masyarakat. Bala kemar yang
yang
mengarahkan,
mengingatkan dan membimbing sultan
untuk mampu mengayomi rakyatnya sesuai dengan syariat Islam. Konsep bangunannya yang bergandeng dua, melambangkan dua kalimat syahadat, yaitu sebagai salah satu rukun dalam Islam. Tempat tersebut berdiri kokoh di atas sembilan puluh sembilan tiang sebagai simbol asma’ul husna (sifatsifat Allah)
Selain bala kemar, terdapat pula bala bulo ‘bangunan (bangsawan) pendukung istana Dalam Loka yang khusus digunakan oleh putra dan putri sultan’ yang berbentuk rumah dua susun, lantai pertama yang sejajar dengan bala kemar sebagai tempat putra/putri raja bermain, sedangkan lantai dua sebagai tempat permaisuri beserta istri para bangsawan menyaksikan pertunjukkan yang dilangsungkan di lapangan istana. b. Tete Gasa dan Tete Sawai
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 304
Tete ‘titian’ + gasa ‘gasal/ganjil’ yaitu
lama di Sumbawa. Sikap musyawarah
tangga utama untuk naik atau turun ke da-
dianggap sebagai suatu yang mulia dan
lam bala rea. Tete gasa ‘tangga utama (jalur
luhur karena dapat memecahkan permasala-
masuk/naik) yang terletak di bagian depan’
han dengan menemukan solusi yang terbaik
berbeda
berdasarkan keputusan yang disepakati ber-
dengan
tangga
biasa
pada
umumnya, tangga ini berupa lantai kayu
sama.
yang dimiringkan hingga menyentuh tanah.
Kata lunyuk seperti halnya pada bentuk
Lantai kayu tersebut ditempeli oleh potong-
lunyuk agung belum ditemukan konsepnya
an kayu sebagai penahan pijakan. Secara
selain sebagai sebuah nama wilayah keca-
harfiah, tete gasa adalah titian dalam jumlah
matan di Kabupaten Sumbawa. Sementara
ganjil yang digunakan untuk menyebrang
kata emas dalam KBBI (2012) logam mulia
dari suatu tempat ke tempat yang lain. Pada
berwarna kuning yang dapat ditempa dan
tete gasa terdapat dua puluh lima anak
dibentuk, biasa dibuat perhiasan seperti
tangga yang menandakan jumlah nabi dan
cincin, kalung, 2) uang; harta duniawi, 3)
rasul dalam agama Islam. Tete gasa dibuat
sesuatu yang tinggi mutunya (berharga; ber-
dengan
(tanjakan)
nilai). Jadi, konsep emas pada bentuk
sehingga saat berjalan di atasnya posisi
lunyuk emas ‘ruang pertemuan (khusus
badan sedikit merunduk sebagai bentuk
wanita)’ sangat sesuai dengan nilai-nilai
penghormatan terhadap sultan.
tentang keperempuanan, misalnya perempu-
konsep
‘peruak’
Tete ‘titian’ + sawai ‘perempuan’ adalah tangga
belakang
bala
kemar
yang
digunakan untuk membawa makanan naik
an dianggap sebagai sesuatu yang berharga, berkilau, sebagai perhiasan (karena kecantikannya) dan banyak dicari-cari orang.
atau turun ke Istana. Disebut tete sawai ‘tangga yang terletak di bagian belakang’ karena tangga ini khusus untuk wanita saja.
d. Paladang, Parangin dan Tangke Paladang (pal + adang) ‘ruang tunggu (lobi)’ yang berfungsi sebagai tempat
c. Lunyuk Agung dan Lunyuk Emas Kata lunyuk saat ini dikenal sebagai sebuah nama kecamatan di Kabupaten Sumbawa, sedangkan agung dalam KBBI (2012)
berarti
Kaitannya
besar,
dengan
mulia,
luhur.
keberadaan
lunyuk
agung ‘ruang pertemuan, tempat upacara
kesultanan’ yang difungsikan sebagai ruang musyawarah khusus laki-laki menunjukan bahwa budaya demokrasi sudah berlansung
menunggu bagi tamu-tamu istana. Kata adang dalam Kamus Samawa-Indonesia (2009) memiliki arti hadang, menghadang. Parangin (pa + angin) ‘ruang tunggu (tempat duduk) sebelah timur’ merupakan bagian dari paladang sebelah timur yang digunakan untuk menunggu tamu-tamu raja.
Tangke
‘ruang
tunggu
(tempat
menitipkan/meletakkan segala jenis senjata tajam) sebelah barat’ adalah bagian pala-
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 305
dang sebelah barat yang digunakan sebagai
memperkenankan laki-laki dan perempuan
tempat meletakkan senjata tajam dan ba-
membaur untuk menghindari fitnah yang
rang-barang bawaan lainnya yang sekiranya
tidak diinginkan.
tidak diperkenankan untuk dibawa masuk
Lawang ‘pintu’ + rare pintu gerbang
ke dalam ruangan istana. Meletakkan sen-
yang terletak di halaman antara mesjid
jata tajam pada tangke dianggap sebagai
kesultanan dan istana Dalam Loka. Lawang
bentuk penghormatan tamu terhadap tuan
rare ini menjadi perlintasan utama dari
rumah..
istana menuju mesjid. Hal tersebut sebagai tanda bahwa pemimpin dalam menjalankan
e. Sanapir Kamutar dan Sarapo Kamutar Sanapir ‘dapur’ + kamutar (kaN +
amanah harus selalu sesuai dengan perintah agama.
putar) ‘ruang dapur’, merupakan dapur khusus yang disiapkan untuk menjamu
g. Bale Pamaning dan Sarumung Belo
tamu yang datang di luar jam makan. Tamu
Bale ‘rumah’ + pamaning (pa
istana yang datang biasanya dari Kedatuan
maning) merupakan bangunan tempat man-
Taliwang, Jereweh atau Seran. Oleh karena
di
itu, sanapir kamutar adalah bentuk dari
sarumung ‘kamar mandi’ + belo ‘panjang’
kesigapan dan antisipasi kedatangan tamu-
adalah kamar mandi bagi penghuni istana
tamu tersebut.
dan untuk tamu istana.
sultan
dan
keluarga’.
+
Sementara
Sarapo (sa + rapo) + kamutar (kaN + putar) ‘bangunan semipermanen (bongkar-
Konteks Budaya Bentuk-Bentuk
pasang)
Terminologi dalam Rumah Adat Dalam
yang
dibangun
ketika
dilaksanakannya acara-acara adat’ adalah
Loka Sumbawa
bangunan pelengkap pendukung dalam loka
Rumah adat Dalam Loka Sumbawa
yang sifatnya situasional karena dibangun
menyiratkan keberadaan sebuah pradaban
pada saat akan diadakan acara-acara adat.
dan sistem pemerintahan dan sitem kerajaan dalam
f. Dining Panili dan Lawang Rare
bentuk
aristokrasi.
Tatanan
pemerintahan yang bertumpu pada raja
Kata dining ‘dinding’ + panili (paN +
(sultan)
adalah
sebuah
sistem
yang
tili) ‘penutup’ merupakan dinding pembatas
mencakup adat, pemerintahan dan hukum.
pandangan dari lunyuk agung ke ruang da-
Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan
lam. Dahulu, antara laki-laki dan perempu-
dengan sikap budaya masyarakat Sumbawa
an tidak boleh bebas berbaur, sehingga
yang dianggap memiliki hubungan dengan
dibuatlah dining panili. Konsep dining
bentuk-bentuk terminologi dalam rumah
panitili juga tidak bisa dilepaskan dari
adat Dalam Loka Sumbawa dapat diuraikan
konsep
sebagai berikut.
keislaman
yang
tidak
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 306
a. Bala rea, bala bulo dan sarapo kamutar
wujud dari budaya gotong royong yang
sebagai hasil dari budaya gotong royong
melekat
masyarakat Sumbawa
Sumbawa.
dalam
kehidupan
masyarakat
Bala rea, bala bulo dan sarapo kamutar
Dalam perspektif sosiologi budaya, nilai
merupakan beberapa bagian dari bentuk-
gotong royong adalah semangat yang di-
bentuk terminologi yang melekat dalam
wujudkan dalam bentuk perilaku atau tinda-
rumah
kan
adat
Dalam
Loka.
Bala
rea
individu
yang
dilakukan
tanpa
merupakan bangunan utama istana Dalam
mengharap balasan untuk melakukan sesua-
Loka, dibangun dengan kayu jati sebagai
tu secara bersama-sama demi kepentingan
pengganti kediaman raja yang dulu pernah
bersama atau individu tertentu. Masyarakat
terbakar saat terjadi letusan bubuk mesiu
Sumbawa sadar bahwa gotong royong men-
kerajaan. Bala rea menghadap ke arah
jadikan kehidupan manusia Sumbawa lebih
selatan, penentuan arah selatan disesuaikan
berdaya dan sejahtera. Dengan bergotong
dengan pertimbangan hukum arah mata an-
royong, berbagai permasalahan kehidupan
gin. Selatan dipercaya dapat memberikan
bersama bisa terpecahkan secara mudah dan
suasana sejuk, tenteram, damai, dan nya-
murah..
man. Tidak hanya itu, dalam persfektif masyarakat Sumbawa, selatan juga bermak-
b. Lawang rare sebagai wujud dari sikap
na menatap pada masa lalu yang bila di-
religi masyarakat Sumbawa
artikan pemimpin harus memiliki kebijaksa-
Keberadaan
lawang
rare
(gerbang
naan dan kearifan dalam menyikapi masa
khusus menuju mesjid Agung) menandai
lalu yang bisa dibawa ke masa kini.
betapa agama memiliki posisi dan peranan
bangunan
yang sangat penting dalam kehidupan tau
pendukung yang digunakan oleh putra-putri
Samawa. Agama dapat berfungsi sebagai
sultan
faktor motivasi (pendorong untuk bertindak
Bala
bulo,
merupakan
bermain,
merupakan
dan
bangunan
sarapo
kamutar yang
yang benar, baik, etis, dan maslahat), pro-
dibangun ketika akan dilaksanakan acara-
fetik (menjadi risalah yang menunjukan
acara adat, seperti perkawinan, upacara
arah kehidupan), kritik (menyuruh pada
tolak
sebagainya.
yang ma’ruf dan mencegah dari yang
Pembangunan bala rea, bala bulo dan
mungkar), kreatif (mengarahkan amal atau
sarapo kamutar dalam prosesnya selalu
tindakan yang menghasilkan manfaat bagi
melibatkan rakyat sebagai bentuk rasa
diri sendiri dan orang lain), intergratif
memiliki, pengakuan dan dedikasi terhadap
(menyatukan elemen-elemen yang rusak
pemerintahan
dalam diri manusia dan masyarakat untuk
bala,
Keikutsertaan
dan
pendukung
lain
Sultan rakyat
Sumbawa. dalam
proses
pembangunan tersebut dapat dilihat sebagai
menjadi
lebih
baik),
sublimatif
(memberikan proses penyucian diri dalam
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 307
kehidupan), dan liberatif (membebaskan manusia
dari
berbagai
belenggu
ke-
Masyarakat Sumbawa menyadari betul bahwa sikap dan nilai-nilai ketuhanan harus
hidupan). Manusia yang tidak memiliki
senantiasa
terinternalisasi
pandangan hidup, lebih-lebih yang ber-
sehingga ketaatan dan pemahaman tentang
sumber agama, ibarat orang buta yang ber-
agama
jalan di tengah kegelapan dan keramaian:
Sebagai sesuatu yang hidup dalam ruang
tidak tahu dari mana dia datang, mau apa di
sosial, nilai-nilai tentang ketuhanan juga
dunia, dan ke mana tujuan hidup yang
diperkuat dengan keberadaan lawas (sastra
hakiki.
lisan
akan
didapatkan
tradisional
dalam
diri,
secara
utuh.
Sumbawa)
yang
bertemakan agama seperi di bawah ini. Pamuji tentu lako nene
‘Puja dan puji hanya kepada tuhan’
No bau tu kamaeng
‘Tidak akan bisa kita miliki’
Ada pang tu bajele
‘Ada pada-Nya tempat bersandar’
Ling dunia pang tu nanam
‘Di dunia tempat menanam’
Pang akhirat pang tu matak
‘Di akhirat tempat menuai’
Ka tu boat po ya ada
‘Setelah berbuat baru mendapatkan hasil’
Na asi mu samogang
‘Jangan kamu menganggap remeh’
Paboat aji ko Nene’
‘mengabdi kepada Allah’
Gama kerik slamat dunia akhirat
‘Demi keselamatan dunia akhirat’
Cuplikan lawas di atas menjelaskan bahwa
agama
dalam
kehidupan
melestarikan kehidupan yang sehat dan
tau
nyaman. Kesadaran akan pentingnya tempat
Samawa merupakan sesuatu yang mendasar
bercuci sebenarnya telah melekat pada diri
yang dijadikan pandangan atau pedoman
setiap
hidup. Puja dan puji hanya kepada Tuhan,
kenyamanan dalam melaksanakan ibadah di
tidak bisa kita miliki, hanya kepada-Nya
antaranya apabila rukun dan syaratnya
tempat bersandar.
terpelihara, bercuci merupakan bagian dari
insan,
semua
sadar
bahwa
yang dimaksud. c. Bale pamaning dan sarubung belo
Keberadaan bale pamaning (tempat
wujud dari budaya bersih dan cinta
mandi khusus sultan) dan sarubung belo
lingkungan
(kamar mandi untuk tamu dan penghuni
manusia
istana) menjadi bukti bahwa dari dulu
untuk memelihara diri dari segala sesuatu
masyarakat Sumbawa sudah berusaha hidup
yang kotor, dalam rangka mewujudkan dan
bersih dan mencintai lingkungan dengan
Kebersihan
adalah
upaya
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 308
tidak melakukan aktivitas mandi dan buang
dalam
air di sungai atau tempat terbuka. Hal
bersandar pada peran ibu dan kehormatan
tersebut sejalan dengan perintah agama
ibu di dalam rumah tangga atau bertopang
yang dianut untuk melakukan hidup bersih
pada peran wanita, pengaruh wanita, hak-
dan tidak membuat kerusakan di muka
hak wanita dan batas-batasan wanita di
bumi. Hidup bersih dapat membuat fisik
dalam rumah tangga, sama sekali bukan
dan mental menjadi sehat, memantapkan
berarti melarang wanita dari berpartisipasi
keimanan dan ketakwaan, perilaku terpuji
dalam urusan sosial dan ikut campur dalam
serta lingkungan yang nyaman dan me-
perjuangan dan aktivitas umum. Wanita
nyenangkan. Termasuk dalam bersih jasma-
bagi tau Samawa dalam rumah tangga
ni antara lain; bersih anggota badan, paka-
begitu mulia dan terhormat dan merupakan
ian,
dan
poros menajemen dalam rumah tangga, lilin
peralatan yang digunakan dalam kehidupan
bagi semua anggota keluarga, sumber
sehari-hari dari segala najis dan kotoran,
keakraban, ketenangan dan ketentraman.
tempat
tinggal,
lingkungan
sedangkan bersih rohaniah antara lain ter-
makna
yang
sebenarnya.
Bila
Lebih jauh, dalam kehidupan sosial
masuk bersih hati, pikiran, perasaan, sikap,
masyarakat
Sumbawa
terdapat
sebuah
ucapan dan segala perbuatan tercela atau
tradisi yang memiliki nuansa begitu kuat
dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar.
kaitannya dengan penghormatan terhadap perempuan, tradisi yang dimaksud biasa
d. Lunyuk emas dan tete sawai sebagai
dikenal dengan istilah tama lamung. Tradisi
bentuk penghormatan terhadap kaum
tama lamung adalah sebuah acara adat
perempuan
yang dilakukan untuk wanita Sumbawa
Keberadaan
(sebagai
mulai dari usia remaja hingga dewasa
tempat musyawarah khusus perempuan)
sebagai upaya menjaga nilai moralitas yang
dan tete sawai (sebagai tangga khusus
terkandung dalam kehidupan sehari-hari.
perempuan karena berada di belakang bala
Tradisi tama lamung merupakan simbol,
rea) menjadi bukti adanya perhatian, dan
etika atau biasa disebut budaya ila ‘malu’,
pengakuan
yang
akan
lunyuk
emas
pentingnya
eksistensi
artinya
wanita
Samawa
dapat
perempuan. Pada tahun 1930-an – 1980-an
memegang teguh pendirian, harga diri dan
wanita Sumbawa sangat terkenal dengan
martabatnya
sebutan “lala jinis” artinya wanita yang
memiliki rasa malu. Tama lamung juga
benar-benar menjadi harapan dan pilihan
dianggap sebagai salah satu usaha agar
karena tekad perjuangan, menjaga martabat
wanita-wanita
dan membantu sesama.
merespon perubahan secara terbuka dan
sebagai
perempuan
Sumbawa
lebih
agar
dapat
Sesuai dengan ajaran agama yang
positif, seperti menghargai tata kesopanan,
dianut, Islam telah menghormati wanita
menjauhi prilaku hedonis, materialis dan
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 309
seronok.
seorang bisa menjalin persaudaraan bahkan
Tradisi tama lamung masih relevan
dapat
menjalin
kerjasama
dalam kehidupan sekarang, tentu akan
meringankan
banyak memberi manfaat dan solidaritas
dihadapi dalam kehidupan. Ada kalanya
sebagai praksis sistem sosial (sosiological)
seorang bertamu karena adanya urusan yang
masyarakat guna menghindari malapetaka
serius, sekedar bertandang, karena lama
bagi wanita, seperti pemerkosaan, asusila,
tidak bertemu (berjumpa) ataupun sekedar
dan hubungan seks bebas. Pada beberapa
untuk mampir sejenak. Dengan bertangang
keluarga tradisi tama lamung masih tetap
ke rumah kerabat atau sahabat, maka
dipertahankan
kerinduan terhadap kerabat ataupun sahabat
karena
dianggap
masih
berbagai
dianggap berguna dalam kelangsungan
dapat
hidup masyarakat. Namun secara umum
persahabatan menjadi kokoh.
dalam
perkembangannya
lamong
ini
perlahan
tradisi mulai
tama hilang
tersalurkan,
masalah
untuk
sehingga
yang
jalinan
Pada kehidupan masyarakat Sumbawa, menghormati
tamu
sangat
dianjurkan.
disebabkan karena tidak adanya proses
Paladang disediakan sebagai tempat khusus
edukasi secara mendalam tentang filosofi-
menerima
filosofi luhur yang terdapat di dalamnya.
menunggu tuan rumah. Sebagi contoh, Pala-
tamu
walau
untuk
sekadar
Laki-laki di Sumbawa sejatinya menya-
dang digunakan oleh penghuni rumah untuk
dari penuh bahwa menghargai perempuan
menerima tamu laki-laki jika suami dari
bukan berarti perempuan membutuhkan
yang punya rumah sedang tidak berada di
belas kasihan. Penghargaan dapat berupa
tempat misalnnya pergi ke sawah, ladang,
memberikan kebebasan sewajarnya, tidak
dan lain-lain. Hal tersebut dilakukan agar
menganggap
kelas
tidak terjadi fitnah, jikalaupun tiba wak-
kedua, tidak melakukan marjinalisasi atau
tunya makan, tamu tersebut diperbolehkan
kekerasan
tidak
masuk tapi hanya sebatas sampai ruang
melakukan pelecehan seksual, pemberla-
tamu, itupun harus ada orang lain yang
kuan sistem yang humanis, serta menempat-
menemani, misalnya saudara laki-laki, ipar,
kan perempuan sebagai partner yang baik.
atau tetangga.
perempuan
baik
fisik/
sebagai nonfisik,
Bertamu merupakan kebiasaan positif e. Paladang, pemarkah budaya masyarakat Sumbawa dalam hal menghormati tamu Secara
istilah
bertamu
merupakan
dalam kehidupan bermasyarakat dari zaman dahulu hingga sekarang. Sesuai dengan ajaran yang dianut bahwa masyarakat
sahabat,
Sumbawa memahami persoalan tamu dan
kerabat ataupun orang lain, dalam rangka
bertamu dalam beberapa hal. 1) Tamu
menciptakan
membawa
kegiatan
mengunjungi
rumah
kebersamaan
dan
kemaslahatan bersama. Dengan bertamu
rizki
dan
kepulangannya
membawa ampunan bagi tuan rumah, 2)
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 310
Sejelek-jeleknya suatu kaum adalah yang
Islam. Tetegasa dibuat dengan konsep
tidak menghormati tamunya, 3) Tidak ada
‘peruak’ (tanjakan) sehinggak saat berjalan
kebaikan seseorang yang tidak dikunjungi
di atasanya posisi badan sedikit merunduk
tamu.
sebagai bentuk penghormatan terhadap
Oleh
karenanya,
masyarakat
Sumbawa pada umumnya akan merasa sedih jika dalam kurun waktu yang cukup
sultan sebagai pemimpin rakyat. Sebenarnya dalam budaya etnis mana-
lama tidak ada tamu yang bertandang ke
pun
penghormatan
terhadap
pemimpin
rumanya.
adalah sebuah keharusan karena posisi dan peranan pemimpin sangat menentukan ke-
f. Tete gasa sebagai wujud dari budaya
langsungan
hidup
suatu
masyarakat.
menghormati pemimpin
Demikian pula peranan masyarakat yang
Dalam tatanan etnis Samawa masa lam-
dipimpin juga sangat menentukan. Berun-
pau, raja atau sultan adalah pemegang
tung tau Samawa karena adat istiadatnya
kekuasaan pemerintahan dan kemasyara-
senantiasa sejalan dengan agama anutan;
katan. Pada hakikatnya, jabatan tersebut
“adat bersendikan sara, sara bersendikan
semata-mata adalah amanat (amanah) dari
kitabullah” artinya, segenap tingkah laku
Yang Maha Kuasa dan diakui oleh seluruh
individu harus sesuai dengan adat istiadat,
rakyat.
jabatan-jabatan
dan seluruhnya mengacu kepada tuntunan
setingkat di bawah sultan seterusnya secara
Al-Quran dan Al Hadist. Orang yang keluar
hirarkis ke bawah namun tidak membatasi
dari tuntunan adat istiadat disebut “tau no to
interaksi di antaranya. Keberadaan tetegasa
basa” yaitu orang tidak tahu aturan. Setiap
yang digunakan sebagai tangga utama un-
insan yang mengaku tau Samawa menyada-
tuk naik atau turun ke dalam bala rea
ri diri sebagai pemimpin, sehingga interaksi
berbeda
personal baik antara yang memimpin dan
Walaupun
dengan
ada
tangga
biasa
pada
umumnya, tangga tersebut berupa lantai
dipimpin
kayu yang dimiringkan hingga menyentuh
kekhalifaan. Bagi tau Samawa menghormati
tanah dan lantai kayu tersebut ditempeli
pemimpin adalah bagian dari definisi
oleh potongan kayu sebagai penahan pi-
kepemimpinan itu sendiri. Ungkapan dalam
jakan. Tetegasa berasal dari kata, ‘tete’
bahasa Samawa “ada kena tu dadi otak be-
yang berarti titian dan ‘gasa’ yang berarti
retik daripada tu dadi elong baloq” artinya,
ganjil. Jadi secara harfiah, tetegasa adalah
lebih baik menjadi kepala cicak daripada
titian dalam jumlah ganjil yang digunakan
menjadi ekor buaya. Maksud tersebut
untuk menyebrang dari suatu tempat ke
menjelaskan ekspresi nyata dari keharusan
tempat yang lain. Pada Tetegasa terdapat
menjadikan
dua puluh lima anak tangga yang menan-
sekalipun itu hanya sebagai ‘kepala cicak’.
dakan jumlah nabi dan rasul dalam agama
Hanya saja, orang sering menilai hal
adalah
diri
pengemban
sebagai
amanah
pemimpin
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 311
tersebut secara tidak proporsional sehingga
suku bangsa ini. Saat ini tinggal beberapa
seringkali muncul sikap-sikap sok gengsi,
wilayah saja yang masih melaksanakan
terlalu percaya diri, pemalas, tidak kreatif
acara tokal adat. Hal ini tergantung dari
dan tidak mau tampil mendahului untuk
kebijakan pemerintah desa serta adanya
merebut kesempatan..
kesepakatan di antara warga masyarakat setempat. Ke depannya, semoga tokal adat
g. Terminologi
lunyuk
agung
sebagai
pemarkah budaya musyawarah Keberadaan
lunyuk
agung
masyarakat Sumbawa, supaya nilai-nilai sebagai
ruangan khusus tempat musyawarah di istana
tempat
pusat
akan tetap terpelihara dan bertahan dalam budaya dan kearifan lokal yang ada dapat dipertahankan.
pemerintahan
kesultanan menunjukan bahwa aktivitas
4. SIMPULAN
bermusyawarah sudah berlangsung lama di
Setelah semua tahap penelitian dil-
Sumbawa. Dalam kehidupan masyarakat
akukan, mulai pengumpulan data, pen-
luas,
golahan dan analisis data, pada akhirnya
kegiatan
musyawarah
juga
termanifestasi dalam budaya tokal adat dan
peneliti
tokal keluarga. Tokal adat adalah rembuk
penelitian tentang terminologi dalam rumah
bersama
untuk
adat
suatu
antropolinguistik,
atau
membicarakan hajatan
musyawarah perihal
berupa
rencana
Sebuah yakni;
hasil tinjauan
ditemukan
sebanyak lima belas (15) bentuk-bentuk
kemasyarakatan. Tokal adat sebenarnya
terminologi yang terdapat dalam rumah adat
juga bagian dari tradisi saling membantu
sumbawa (Dalam Loka). Beberapa bentuk
pada saat salah seorang kerabat, keluarga,
terminologi dalam rumah adat Sumbawa
atau masyarakat akan melangsukan hajatan.
seperti repan shalat, lawang rare, lunyuk
Tokal adat tujuannya untuk meringankan
agung, lunyuk emas, alang aji, alang
biaya
oleh
kamutar, paladang, tete gasa, tete sawai
melangsungkan
dan tiang kuntung adalah cerminan dari
masyarakat hajatan
akan yang
misalnya
atau
Sumbawa:
menyimpulkan
kegiatan
yang
pesta
dapat
dikeluarkan
akan
perkawinan,
sunatan,
ataupun hajatan lainnya.
sistem nilai budaya yang melahirkan perilaku komunal dalam tatanan kehidupan
Warisan tradisi musyawarah dapat men-
masyarakat Samawa, seperti budaya gotong
jadi modal masyarakat Sumbawa untuk
royong, musyawarah, toleransi, budaya
mempererat rasa kekeluargaan mengingat
menghormati tamu, budaya bersih dan cinta
masyarakatnya yang berasal dari berbagai
lingkungan, sikap religi, serta budaya
daerah di Indonesia. Tokal adat diharapkan
menghormati pemimpin..
sebagai wahana untuk memperkokoh persatuan di antara masyarakat yang berbeda Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.2 Oktober 2016, 312
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bebestari atas kritik dan masukan yang membangun untuk perbaikan artikel ini. DAFTAR PUSTAKA Beratha, S.N. L. 1998. “Materi Kajian Linguistik Kebudayaan dalam Linguistika”. Program Magister (S2) Linguistik Universitas Udayana Tahun V, Edisi ke Sembilan, September 1998, PP 41—45. Budiharjo, E. 1994. Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan Perkotaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Chaer. A. 2007. Leksikologi & Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Frick, H. 2008. Ilmu Fisika Bangunan. Yogyakarta: Kanisius. Halliday, M.A.K. 1978. Language and Social Semiotics: The Social Interpretation of Language and Meaning. London:Edward Arnold. Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1994. Context and Text: Aspect of Language in a Social Semiotic Perpectivese. Geelong: Deakin University Press. Haryadi dan Setiawan, B. 2010. Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. Yogyakarta: Gadjah. Mada University Press. Koentjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjono, D. 1982. Dasar-Dasar Lingustik Umum. Jakarta: Fakultas Sasra. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun, 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi Metode dan Tekhniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mahsun. 2007. Metodologi Penelitian Bahasa: Tahap Strategi, Metode dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Masinambow, E.K.M. 1998. “Linguistik: Masuk Ilmu Pengetahuan Apa? dalam Linguistika”. Program Magister (S2) Linguistik Universitas Udayana. Tahun V Edisi Kesembilan September 1998, PP. 10—20. Mbete, Aron. M. 2009. “Problematika Keetnikan dan Kebahasaan dalam Perspektif Ekolinguistik”. Seminar Nasional Budaya Etnik III: Universitas Udayana. Pusat Bahasa. 2009. Kamus Bahasa SumbawaIndonesia. Departemen Pendidikan Nasional Kantor Bahasa Provinsi NTB. Pusat Bahasa. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka. Riana, I.K. 2003. “Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Linguistik Budaya Fakultas Sastra Universitas Udayana. Denpasar: Universitas Udayana. Santoso, B. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama. Sibarani, R. dan Henry Guntur Tarigan (Penyunting). 1993. Makna Nama dalam Bahasa Nusantara: Sebuah Kajian Antropolinguistik. Bandung: Bumi Siliwangi. Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda. Suriasumantri, J.S. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668