PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA Diterbitkan oleh : Yayasan Orangutan Sumatera Lestari ORANGUTAN INFORMATION CENTRE (YOSL-OIC) dan TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION (TFCA) SUMATERA Tim Penulis : Panut Hadisiswoyo, SS, MA, MSc Masrizal Saraan, S.Hut Rio Ardi, S.Hut Ahmad Azhari Wagiman
Tentang Yayasan Orangutan Sumatera LestariOrangutan Information Centre (YOSL-OIC) YOSL-OIC merupakan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki misi untuk konservasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan hutan hujan tropis sebagai sumber keanekaragaman hayati yang dibutuhkan untuk kelangsungan ekosistem dan kehidupan umat manusia. YOSL-OIC bekerjasama dengan masyarakat lokal di sekitar habitat Orangutan Sumatera melalui beragam kegiatan seperti pemberdayaan masyarakat desa, restorasi ekosistem hutan, penanggulangan konflik manusia dan orangutan, pengembangan mata pencaharian alternatif seperti agroforestri dan pengembangan ekowisata serta berbagai macam program pelatihan dan penyadartahuan bagi masyarakat luas di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di propinsi Aceh dan Sumatera Utara.
Editor : Masrizal Saraan, S.Hut Samedi, Ir. Ph.D M Jeri Imansyah, M.Sc
Jl. Bunga Sedap Malam XVIIIc, No. 10c Kecamatan Medan Selayang Kode Pos 20131 Telp. +61 +62 8201922 Email :
[email protected] Website : www.orangutancentre.org Facebook : www.facebook.com/pages/Orangutan-Information-Centre/249175758613943
Kontributor foto : Masrizal Saraan, S.Hut Paul Daley Rio Ardi, S.Hut
Tentang Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera
Tata Letak : M. Jamil ISBN No: 978-602-95312-4-4 © 2014 by YOSL-OIC Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved
Tropical Forest Conservation Action-Sumatra (TFCA-Sumatera) adalah pelaksanaan program skema pengalihan utang untuk lingkungan (Debt for-Nature Swap) antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia yang memfasilitasi pendanaan hibah bagi program restorasi dan konservasi kawasan di 13 bentang alam prioritas di Sumatera. Kesepakatan antara kedua Negara dan para pihak yang terlibat (swap partners) yaitu Yayasan KEHATI dan Conservation International Indonesia ditandatangani pada tanggal 30 Juni 2009 di Manggala Wanabhakti, Jakarta. Jl. Bangka VIII no. 3B, Pela Mampang Jakarta 12720 INDONESIA Tel:p. +(62-21) 7199953; 7199962 Fax: +(62-21) 7196530 E-mail :
[email protected] Website : http://www.tfcasumatera.org
i
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
Kata Pengantar
Pengantar oleh TFCA-SUMATERA
Segala Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya yang tidak terbatas sehingga Buku Panduan Lapangan Restorasi Ekosistem Hutan Tropis Indonesia ini selesai disusun.
Restorasi ekosistem hutan sangat penting untuk mengambalikan struktur dan fungsi ekosistem ke tingkat aslinya sebelum ekosistem mengalami kerusakan. Restorasi ekosistem sangat diperlukan untuk memulihkan kondisi ekosistem kawasan-kawasan konservasi yang terdegradasi, rusak atau hancur.
Buku Panduan Lapangan Restorasi Ekosistem Hutan Tropis Indonesia ini disusun berdasarkan pengalaman Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) yang telah berhasil menjalankan program restorasi di Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Sumatera Utara sejak tahun 2007. Bersama-sama dengan masyarakat dan pihak Balai Besar TNGL, YOSL-OIC telah berhasil merestorasi setidaknya 500 ha areal TNGL yang dulunya sempat dikuasai oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Proses yang dilakukan cukup panjang mulai dari diskusi, pelatihan, menyadarkan hingga melibatkan masyarakat sekitar kawasan dalam kegiatan restorasi. Kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu penyelesaian buku ini. Kami berharap buku ini dapat menjadi panduan praktis bagi pemangku kawasan, pemangku kepentingan dan siapa saja yang akan melaksanakan kegiatan restorasi pada ekosistem hutan tropis Indonesia sehingga cita-cita untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem dapat terwujud. Semoga buku panduan ini bermanfaat bagi upaya konservasi hutan tropis Indonesia dan pemulihan ekosistem kawasan.
Langkah-langkah pemulihan ekosistem kawasan konservasi telah dilakukan namun keberhasilannya masih jauh dari yang diharapkan. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh belum adanya pedoman restorasi ekosistem yang memadai. Metoda pemulihan ekosistem kawasan konservasi yang dipakai saat ini umumnya sama dengan metoda rehabilitasi kawasan hutan melalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Oleh sebab itu pedoman lapangan restorasi ekosistem seperti ini sangat diperlukan, karena panduan ini juga didasarkan pada pengalaman lapangan yang telah terbukti berhasil. Panduan ini merupakan pedoman lapangan untuk merestorasi ekosistem hutan yang telah rusak akibat perambahan di lokasi yang bergelombang dengan curah hujan relatif tinggi. Idealnya panduan restorasi ekosistem perlu ada untuk setiap tipologi kerusakan ekosistem. Tipologi kerusakan ekosistem bergantung kepada penyebab kerusakannya dan tipe iklim dan tanah lokasinya, diantaranya ekosistem rusak yang disebabkan oleh kebakaran atau ekosistem lahan gambut yang rusak oleh pembalakan liar dan sebagainya. Namun demikian, diterbitkannya pedoman ini patut diapresiasi sebagai langkah awal untuk menyediakan pedoman yang lengkap bagi setiap tipologi kerusakan kawasan. Program TFCA-Sumatera sangat mengapresiasi langkah ini karena restorasi eksosistem hutan tropis yang rusak merupakan salah satu dari tujuan (authorised purposes) TFCA-Sumatera. Oleh sebab itu TFCA-Sumatera akan mendukung penerbitan pedoman-pedoman restorasi ekosistem hutan pada berbagai tipologi kerusakan hutan. Semoga buku ini dapat dijadikan acuan bagi pemangku kawasan konservasi di Indonesia dalam melakukan upaya pemulihan ekosistem kawasan.
Panut Hadisiswoyo, SS, MA, M.Sc. Founding Director YOSL-OIC
Samedi, Ir. Ph.D. Direktur Program TFCA-Sumatera
ii
iii
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
DAFTAR ISI Kata Pengantar Pengantar oleh TFCA-Sumatera Daftar Isi Daftar Gambar Daftar Lampiran BAB I PENDAHULUAN 1.1. SEKILAS TENTANG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER 1.2. KEANEKARAGAMAN HAYATI TNGL DAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER 1.3. ANCAMAN TERHADAP TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER 1.4. DEFINISI DAN TUJUAN RESTORASI HUTAN BAB II PERSIAPAN DAN PERENCANAAN RESTORASI HUTAN 2.1. PERSIAPAN RESTORASI HUTAN 2.1.1. SURVEI AWAL 2.1.2. ANALISIS VEGETASI 2.1.3. SURVEI POHON INDUK 2.1.4. SURVEI FAUNA 2.1.5. SURVEI SUMBER AIR 2.1.6. SURVEI SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA 2.2. PERENCANAAN RESTORASI HUTAN 2.2.1. PENENTUAN AREAL RESTORASI 2.2.2. PENETAPAN POLA RESTORASI 2.2.3. PENETAPAN SISTEM PENANAMAN DAN JARAK TANAM 2.2.4. PENETAPAN JENIS POHON 2.2.5. MENENTUKAN SKEMA JENIS (FRAMEWORK SPECIES METHOD) 2.2.6. KESIAPAN PELAKSANAAN RESTORASI BAB III MANAJEMEN PEMBIBITAN 3.1. SARANA DAN PRA-SARANA PEMBIBITAN 3.1.1. PONDOK KERJA RESTORASI 3.1.2. PEMBIBITAN 3.2. SUMBER BIBIT 3.2.1. MENGENAL TANAMAN PIONIR DAN TANAMAN KLIMAKS 3.3. ALAT DAN BAHAN PEMBIBITAN 3.3.1. ALAT 3.3.2. BAHAN 3.4. PRODUKSI BIBIT iv
3.4.1. MEDIA TANAM 3.4.2. TEKNIK PEMBIBITAN 3.5. PEMELIHARAAN 3.5.1. PENYIRAMAN 3.5.2. PENYIANGAN 3.5.3. PEMUPUKAN 3.5.4. PEMOTONGAN 3.5.5. PENYULAMAN 3.5.6. PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT 3.5.7. PREDATOR BIJI DAN TANAMAN 3.6. PENGANGKUTAN (DISTRIBUSI) DAN SELEKSI BIBIT 3.6.1. DISTRIBUSI BIBIT 3.6.2. SELEKSI BIBIT BAB IV PELAKSANAAN PENANAMAN 4.1. MEMBIARKAN SUKSESI ALAMI ATAU MELAKUKAN PENANAMAN HUTAN 4.1.1. MEMBIARKAN SUKSESI ALAMI 4.1.2. MELAKUKAN PENANAMAN HUTAN 4.2. FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PENANAMAN 4.3. TEKNIK PENANAMAN 4.3.1. CARA PENANAMAN 4.3.2. SISTEM PENANAMAN 4.3.3. POLA PENANAMAN 4.4. PERSIAPAN LAHAN 4.4.1. PERALATAN DAN BAHAN UNTUK PENANAMAN 4.4.2. PEMBERSIHAN LAPANGAN DAN JALUR TANAM ATAU PIRINGAN 4.4.3. PEMBUATAN LUBANG TANAM 4.5. ADAPTASI BIBIT SEBELUM DITANAM 4.6. PENGANGKUTAN DAN DISTRIBUSI BIBIT 4.7. PENANAMAN 4.8. ACCELERATED NATURAL REGENERATION (ANR) 4.8.1. PENGERTIAN ANR 4.8.2. JENIS KEGIATAN ANR BAB V PEMELIHARAAN TANAMAN 5.1. PENYULAMAN 5.2. PENYIANGAN (PEMBERSIHAN GULMA) 5.3. PEMUPUKAN 5.4. PEMBERIAN MULSA ORGANIK 5.5. SAMPAI KAPAN PEMELIHARAAN DILAKUKAN? v
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA Bab 1
BAB VI MONITORING 6.1. MONITORING PERTUMBUHAN TANAMAN DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI 6.1.1. PENILAIAN PERTUMBUHAN TANAMAN (SURVIVAL RATE) 6.1.2. UJI COBA LAPANGAN SISTEM PLOT (FIELD TRIAL PLOT SYSTEM - (FTPS)) 6.1.3. PENELITIAN UNTUK MEMULIHKAN EKOSISTEM HUTAN TROPIS 6.1.4. MONITORING QUALITATIF - PHOTO TITIK PEMANTAUAN 6.1.5. PERLINDUNGAN DAN KEAMANAN AREAL RESTORASI (HAMA, PENYAKIT, POTENSI GANGGUAN DAN ANCAMAN) 6.2. EKOSISTEM REFERENSI 6.3. ATRIBUT KEBERHASILAN RESTORASI 6.4. MONITORING KEANEKARAGAMAN HAYATI 6.4.1. PHENOLOGY POHON 6.4.2. SURVEI SARANG ORANGUTAN DI LOKASI RESTORASI. 6.4.3. MONITORING SATWA (TERUTAMA JENIS BURUNG) 6.4.4. PEMASANGAN CAMERA TRAP LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN 1.1. SEKILAS TENTANG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER aman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terdapat di Sumatera bagian utara, Indonesia, dengan luas sekitar 1.094.692 hektar (satu hektar kira-kira seluas lapangan sepak bola), dan terletak di dua provinsi yaitu Aceh dan Sumatera Utara. Nama TNGL diambil dari nama Gunung Leuser yang ketinggiannya mencapai 3.404 meter. Taman nasional ini pada awalnya merupakan Suaka Alam yang ditetapkan pada tahun 1934 dengan luas 142,800 hektar (ZB No 317/35), dan setelah adanya penambahan dan perubahan status, maka Suaka Alam ini ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 1980 (SK Mentan No. 811/Kpts/Um/II/1980).
T
Bersama-sama dengan Taman Nasional Bukit Barisan dan Taman Nasional Kerinci Seblat, TNGL telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia Tropical Rainforest Heritage of Sumatra pada tahun 2004, selain sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981 dan sebagai kawasan ASEAN heritage pada tahun 1984. Namun pada tahun 2011, UNESCO menetapkan TNGL sebagai Warisan Dunia yang masuk dalam daftar terancam (in danger list) karena keterancaman terhadap integritas kawasan dan menurunnya nilai universal kawasan yang luar biasa (Universal Outstanding Value) yang diakibatkan oleh meningkatnya perambahan, penebangan liar, pembangunan jalan di dalam kawasan TNGL dan perburuan satwa (YOSL-OIC, 2009). Di dalam kawasan TNGL terdapat lingkungan yang rapuh namun kaya dengan keragaman spesies satwa dan tanaman. TNGL merupakan daerah habitat penting yang tersisa bagi spesies terancam punah. Berdasarkan tingginya nilai keanekaragaman hayati, TNGL juga merupakan salah satu dari 200 ecoregion global untuk keanekaragaman hayati dunia. Kawasan ini dianggap memiliki fungsi lingkungan yang sangat penting sebagai areal perlindungan satwa. Namun demikian, ekosistem beserta berbagai jenis flora dan fauna yang unik di TNGL saat ini memerlukan upaya konservasi dan perlindungan yang serius. Taman Nasional Gunung Leuser terletak di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2.634.874 hektar. Kawasan ini ditetapkan setelah adanya penelitian komprehensif pada tahun 1980an dan 1990an, menunjukkan bahwa kawasan taman nasional tidak mencukupi untuk mampu mempertahankan keanekaragaman hayati yang kaya ini di Sumatera bagian utara. Oleh karena itu, pada tahun 1995, KEL diakui secara legal berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (No 227/KPTS-II/1995) dan juga Keputusan Presiden tahun 1998 (No 33/1998). Pada tahun 2008, KEL ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional berdasarkan peraturan pemerintah (No.26/2008) [LIF, 2008].
vi
Pendahuluan 1
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
1.2. KEANEKARAGAMAN HAYATI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER DAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER
Di hutan dataran rendah, pohon-pohon seperti meranti, keruing, camphor, damar, dan pohonpohon buah hutan seperti durian, mangga, pisang hutan, buah jeruk dan cempedak tumbuh berlimpah ruah. Hutan pegunungan dan dataran tinggi di TNGL merupakan rumah bagi spesies lumut dan bunga liar seperti gentians, primulas, stroberi, tanaman obat, dan anggrek liar. Bunga rafflesia dapat juga ditemukan di daerah ini.
Flora Sekitar 8,500 spesies tumbuhan tumbuh di daerah pantai, rawa, dataran rendah, pegunungan, dan ekosistem dataran tinggi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dimana tidak kurang dari 4,000 spesies tumbuh di kawasan TNGL [Wiratno, 2004; LIF, 2008]. Kawasan ini merupakan perwakilan hutan dipterocarp dataran rendah luas yang tersisa di Indonesia. Pepohonan di kawasan ini merupakan rumah bagi banyak spesies tumbuhan dan satwa. Pohon-pohon dipterocarp memiliki kemampuan untuk menghasilkan banyak buah-buahan secara Bunga Bangkai (Raflesia arnoldii) bersamaan setiap dua hingga lima tahun. Fenomena ini disebut dengan musim buah raya [UNEP, 2007]. Pada masa ini, buah-buahan yang dapat dimakan oleh satwa-satwa di hutan berlimpah ruah, tetapi banyak juga diantara buahbuahan tersebut yang tidak dikonsumsi oleh satwa tersebut. Sementara, pada saat musim buah biasa, hanya sedikit buah-buahan yang tersedia. Artinya bahwa satwa yang bergantung pada buah-buahan seperti orangutan harus menjelajah daerah yang luas untuk menemukan makanan. Hutan di TNGL merupakan rumah bagi beragam spesies tumbuhan, hal ini dikarenakan keragaman jenis tanah dan perbedaan ketinggian mulai dari pesisir pantai hingga dataran tinggi puncak pegunungan. Bunga rafflesia (Rafflesia arnoldi) merupakan bunga tunggal terbesar di dunia, yang hanya ditemukan di pulau Sumatera dan pulau Kalimantan. Bunga ini dapat mencapai berat hingga 11 kg pada saat berbunga penuh, dengan daun bunga berwarna merah dan merah muda gelap, memiliki diameter 1 meter, dan dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 1 meter serta tebal daun hingga 2.5 cm [LIF,2008]. Bunga ini merupakan tanaman parasit dan tidak memiliki daun, batang, dan akar yang sempurna, sehingga memperoleh nutrisi dari tanaman yang ditumpanginya. Bunga yang unik ini umumnya disebut juga dengan “bunga bangkai” karena bunga ini mengeluarkan bau sangat tajam menyengat untuk menarik serangga penyerbuk yang menjadi makanannya. Pohon casuarina (Casuarina sp), pala hutan (Myristica fatua), camphor (Dryobalanops aromatica), nibung (Oncosperma tigillarium), rotan (Calamus spp), pohon bakau (Rhizophora spp), dan pandan (Pandanus spp) dapat ditemukan di hutan pantai dan rawa. Di sepanjang sungai tumbuh spesies eksotik Matoa (Pometia pinnata) yang tergolong pohon besar dengan tinggi rata-rata 18 meter dengan diameter rata-rata maksimum 100 cm. Pohon Matoa ini merupakan jenis yang mudah tumbuh baik pada kondisi basah maupun kondisi kering, selain itu, buahnya juga sangat disukai berbagai jenis satwa.
2
Pendahuluan
Pohon damar (Agathis sp) bermanfaat terutama bagi manusia karena pohon ini tumbuh sangat tinggi (bisa mencapai lebih 20 meter) dan dapat diambil getahnya. Getah pohon damar dapat dibakar dan digunakan untuk membuat api dan sebagai bahan dupa yang harum wanginya. Pohon ini juga berperan penting bagi ekosistem lokal karena dapat mendukung pertumbuhan beberapa jenis pohon ara pencekik. Selama musim buah dapat ditemukan sekitar 4 hingga 5 orangutan, bersama-sama dengan owa (Hylobates lar), kedih (Presbytis thomasi), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), tupai (Tupaia sp), dan burung rangkong (Buceros sp) di dalam satu pohon dalam waktu yang bersamaan. Fauna Sedikitnya 350 spesies burung hidup di TNGL, dimana 36 dari 50 spesies endemik dataran sunda (merupakan kawasan keanekaragaman hayati kaya di bagian barat kepulaun Indo Melayu) terdapat di kawasan taman nasional ini. Terdapat sekitar 194 species reptil dan amfibi dan 129 dari 205 spesies mamalia sumatera hidup di kawasan TNGL [Wiratno, 2007, LIF, 2008]. Hutan di Kawasan Ekosistem Leuser ini merupakan tempat pertahanan terakhir bagi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) sejumlah mamalia yang terancam punah seperti Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Kawasan Ekosistem Leuser ini merupakan tempat satu-satunya kawasan di muka bumi dimana spesies yang sangat terancam punah hidup berdampingan [McConkey, 2005] dan punahnya habitat ini akan dengan pasti mengakibatkan punahnya spesies-spesies tersebut di alam liar. Disamping orangutan, masih banyak spesies primata yang sering terlihat di Taman Nasional Gunung Leuser seperti Owa (Hylobates lar), siamang (Symphalangus syndactylus), kedih (Presbytis thomasi), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kukang (Nycticebus coucang) dan beruk (Macaca nemestrina). Mamalia mengagumkan lainnya yaitu beruang madu (Helarctos malayanus) yang mengarungi hutan mencari ara dan madu merupakan spesies (jenis) beruang terkecil dari delapan jenis beruang yang ada di dunia. Di kawasan ini juga sangat mungkin untuk melihat burung yang paling mudah ditandai yaitu burung Rangkong (Bucerotidae) dengan ciri khasnya pada paruhnya yang menyerupai tanduk sapi. Burung rangkong terbang di antara kanopi pohon dan kadang-kadang dapat dilihat sedang memakan buah-buahan bersama-sama dengan orangutan.
Pendahuluan 3
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
1.3. ANCAMAN TERHADAP TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER
fungsi yang berbeda-beda, yaitu konservasi, produksi atau lindung. Dalam kaitannya dengan kegiatan restorasi maka restorasi hutan ditujukan untuk memulihkan kembali struktur tegakan hutan konservasi seperti kondisi awalnya sehingga kawasan hutan konservasi tersebut dapat menjalankan fungsinya seperti fungsi awalnya. Adapun parameter keberhasilan restorasi adalah adanya suatu struktur tegakan diantaranya yaitu: kekayaan jenis, kerapatan, distribusi, dominasi, dan luas kanopi hutan (crown density) [Elliott et al, 2008] .
Deforestasi dan degradasi hutan merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan Taman Nasional Gunung Leuser. Tingkat deforestasi dan degradasi hutan di Sumatera telah mencapai titik yang sangat memprihatinkan. Deforestasi kawasan hutan di Aceh selama 2002-2004 mencapai angka hampir 200,000 hektar, setara lebih dari 3 kali lipat luas Singapura. Hampir 60% praktik deforestasi tersebut terjadi di kawasan konservasi dan hutan lindung, termasuk di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Greenomics, 2010). Deforestasi adalah penebangan tutupan hutan (tegakan pohon) dan aktivitas konversi lahan lainnya, sedangkan degradasi hutan adalah penurunan kerapatan pohon dan/atau peningkatan kerusakan hutan yang menimbulkan perubahan tutupan hutan (misalnya, dari hutan tertutup menjadi hutan terbuka), sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan berbagai layanan dan fungsi ekologis hutan. Purwaningsih dalam Yapeka (2010), menghitung kerusakan TNGL secara berkala. Pada tahun 1989 luas wilayah TNGL yang terdegradasi mencapai 5.742 hektar. Di tahun 2003, luas lahan yang terdeforestasi mencapai 18.742 hektar (Wiratno, 2013). Jadi ada peningkatan deforestasi seluas 13.000 hektar dalam kurun waktu 14 tahun. Deforestasi terjadi akibat berbagai ancaman yang terus terjadi dan belum terselesaikan hingga saat ini. Ancaman terbesar adalah perambahan hutan untuk dijadikan perladangan/perkebunan karet dan kelapa sawit. Pembukaan hutan untuk pemukiman juga merupakan ancaman yang sangat serius yang terjadi sejak tahun 1998 hingga saat ini. Selain itu, penebangan liar juga masih terus berlangsung dan menjadi ancaman terbesar bagi kelestarian habitat penting satwa liar di TNGL.
Kegiatan restorasi hutan yang dilaksanakan oleh YOSL-OIC mencakup kawasan seluas sekitar 500 hektar di resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser, yang secara administratif termasuk dalam Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kegiatan ini merupakan upaya untuk mengembalikan ekosistem hutan asli yang telah hilang akibat perambahan kawasan untuk dijadikan perkebunan sawit oleh dua perusahaan pada tahun 1990an. Fokus utama kegiatan restorasi ini adalah mempercepat terbentuknya struktur tegakan hutan melalui penanaman berbagai jenis tanaman asli dengan menggunakan “Metode Skema Jenis” (Framework Species Method) yang dikembangkan oleh FORRU-CMU (2006). Kegiatan restorasi di areal bekas perkebunan sawit ini merupakan inisiatif yang pertama di pulau Sumatera.
1.4. DEFINISI DAN TUJUAN RESTORASI HUTAN Restorasi didefinisikan sebagai upaya memperbaiki atau memulihkan kondisi lahan yang rusak dengan membentuk struktur dan fungsinya sesuai ataupun mendekati dengan kondisi awal. Restorasi berbeda dengan reforestasi (reboisasi). "Reforestasi" berarti pembentukan kembali segala jenis tutupan pohon di lahan gundul. Ini adalah istilah yang luas, meliputi berbagai bentuk kehutanan dengan tujuan yang berbeda, seperti perkebunan, agro-kehutanan, hutan kemasyarakatan dan sebagainya. Di daerah tropis, hutan tanaman komersial adalah bentuk paling umum dari reforestasi (Elliott et al, 2012). Sedangkan restorasi lebih ditujukan untuk perlindungan lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati, yang didefinisikan sebagai "pembentukan kembali ekosistem hutan asli yang sudah ada sebelum deforestasi terjadi". Sementara itu Society for Ecological Restoration (SER) mendefinisikan Restorasi Ekologis sebagai proses membantu pemulihan ekosistem yang telah terdegradasi, rusak atau hancur (Society for Ecological Restoration International Science & Policy Working Group, 2004) Kegiatan restorasi harus disesuaikan dengan struktur dan fungsi hutan yang akan direstorasi. Hutan yang telah rusak akan mempunyai struktur tegakan yang berbeda dengan kondisi awalnya sehingga fungsi hutan tersebut akan terganggu (Adinugroho, 2010). Struktur hutan senantiasa berkaitan erat dengan fungsi hutan, suatu struktur hutan akan membentuk hutan yang memiliki
4
Pendahuluan
Sungai di kawasan hutan Tangkahan yang berada di dalam Taman Nasional Gunung Leuser
Pendahuluan 5
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA Bab 2
PERSIAPAN DAN PERENCANAAN RESTORASI HUTAN 2.1. PERSIAPAN RESTORASI HUTAN 2.1.1. Survey Awal Sebelum melaksanakan restorasi terlebih dahulu lakukan suvei awal (baseline survey) terhadap areal restorasi dan kawasan hutan alam terdekat yang masih utuh di sekitar areal restorasi sebagai model restorasi ekosistem yang diharapkan. Survei awal terkait dengan kondisi areal restorasi dan kondisi hutan alam terdekat yang masih utuh. Dengan mengetahui sebab-sebab kerusakan dan hal-hal lain secara teknis di dalam areal restorasi tersebut dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan pola restorasi yang akan dijalankan. 2.1.2. Analisis Vegetasi Analisis Vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi jenis vegetasi dan struktur hutan dari komunitas tumbuh-tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi pohon untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Analisis vegetasi juga penting untuk memahami tipe ekosistem kawasan hutan setempat untuk kemudian menentukan strategi restorasi dan jenis-jenis tumbuhan yang akan ditanam (Clewell et al, 2005). 2.1.3. Survey Pohon Induk Pohon yang disurvei adalah pohon jenis asli yang sudah menghasilkan biji. Keberadaan pohon induk di sekitar areal restorasi perlu dibuat perkiraan apakah biji pohon induk dapat tersebar sampai areal restorasi secara menyeluruh atau tidak. Penelitian terhadap pohon induk meliputi jenis pohon, jumlah pohon induk, ketinggian pohon, diameter pohon, perkiraan penyebaran biji, peramalan hasil baik/tidak baik, pembungaan dan waktu masaknya buah. 2.1.4. Survey Fauna Survei fauna dilakukan dengan inventarisasi satwa liar. Survei dapat dilakukan dengan menggunakan metode Transek Jalur (Line Transect) dengan panjang jalur minimal 2 km sebanyak 2 jalur dan observasi secara acak (random walk) pada daerah sekitarnya. Metode line transect dapat digunakan untuk sensus berbagai jenis satwa liar, seperti burung (Bibby et al, 2002), primata dan herbivora besar (Alikodra, 1993).
6 Persiapan dan Perencanaan Restorasi Hutan Pohon Beringin (Ficus sumatrana) di restorasi Sei Betung
Persiapan dan Perencanaan Restorasi Hutan 7
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
Survei satwa liar dapat dilakukan melalui pengamatan tidak langsung baik melalui tanda-tanda keberadaan satwa seperti sarang, pakan, jejak kaki, bekas cakaran, suara dan keberadaan satwa liar [Pusparini & Wibisono, 2013; Wibisono et al, 2011], dan keterangan dari masyarakat sekitar serta studi pustaka untuk mengetahui keadaan sebelum terdegradasi.
Beberapa hal yang perlu dikaji dalam survei meliputi : - Faktor penyebab areal terdegradasi. - Persepsi masyarakat terhadap kawasan hutan. - Persepsi masyarakat terhadap peraturan menyangkut kawasan hutan. - Pengetahuan masyarakat tentang jenis tumbuhan lokal. - Ketergantungan masyarakat terhadap kawasan. - Kearifan lokal untuk pengelolaan kawasan hutan. - Tingkat perekonomian masyarakat.
Alat dan bahan utama yang dibutuhkan dalam inventarisasi satwa antara lain adalah GPS, meteran besar, peta, kamera, binokuler, buku pengenalan satwa (burung, primata, herbivora besar), dan formulir isian (tally sheet). Jenis satwa yang disurvei, meliputi: 1) Mamalia 2) Burung 3) Reptil dan amfibi 4) Serangga 2.1.5. Survei Sumber Air Survei terhadap keberadaan sumber air di lokasi restorasi atau di hutan primer yang berada dekat lokasi restorasi harus dilakukan. Keberadaan sumber air terdekat diperlukan untuk mendukung kegiatan restorasi, oleh karena itu perlu juga untuk mengetahui apakah sumber air tersebut dapat diperoleh sepanjang tahun atau hanya pada musim hujan saja. Air yang terdapat di sekitar areal restorasi mutlak diperlukan untuk mendukung kegiatan pembibitan, penyiraman tanaman, kebutuhan harian tim pelaksana restorasi dan lain sebagainya. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan ketersediaan air dan keadaan kualitasnya. Kualitas air adalah mutu air yang memenuhi standar untuk mendukung kegiatan restorasi. Rahayu et al, 2009, menjelaskan bahwa secara sederhana, kualitas air dapat diduga dengan melihat kejernihannya dan mencium baunya. Namun ada bahan-bahan pencemar yang tidak dapat diketahui hanya dari bau dan warna, melainkan harus dilakukan serangkaian pengujian. 2.1.6. Survey Sosial Ekonomi dan Budaya Survei ini bertujuan mengetahui kondisi dan kaitan faktor sosial-ekonomi dan budaya terhadap upaya konservasi hutan. Perlu juga dilakukan kajian mengenai penyebab terjadinya degradasi hutan. Degradasi hutan dapat diakibatkan perbuatan manusia seperti kebakaran hutan dan lahan, penggembalaan ternak, perambahan hutan, penebangan pohon, dan lain-lain. Pendekatan pelaksanaan survey bervariasi. Pendekatan yang berbeda digunakan untuk tujuan yang berbeda. Menurut Laumonier et al, (2012), setidaknya terdapat 3 metode survey, yaitu : a. Wawancara informan kunci, b.Survey rumah tangga, dan c. Diskusi kelompok terfokus
8 Persiapan dan Perencanaan Restorasi Hutan
2.2. PERENCANAAN RESTORASI HUTAN 2.2.1. Penentuan Areal Restorasi Kriteria kawasan yang perlu direstorasi adalah : - Jika di dalam kawasan konservasi, pastikan areal yang akan direstorasi termasuk dalam Rencana Pengelolaan kawasan konservasi tersebut. - Merupakan areal terdegradasi. - Terinvasi oleh jenis tanaman asing atau bukan jenis asli daerah tersebut, misalnya ilalang (Imperata cylindrica). Penentuan areal yang akan direstorasi dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS), analisa citra satelit (10-20 tahun terakhir) dan pengecekan lapangan (ground check). Selanjutnya, lakukan pemantapan batas areal restorasi dan sebaiknya dilengkapi dengan peta kerja yang dapat dibuat dengan cara berikut; - Deliniasi atau penetapan garis batas sementara areal yang akan direstorasi. - Pengecekan (ground check) areal restorasi dengan menggunakan GPS dan mencatat hasil pengukuran. - Memasang patok batas areal restorasi. - Membuat peta kerja areal restorasi skala 1:10.000. 2.2.2. Penetapan Pola Restorasi Pola restorasi merupakan dasar untuk pelaksanaan restorasi dan merupakan kondisi dasar supaya kegiatan restorasi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien serta mendapatkan hasil yang diharapkan. Menurut Heriansyah dkk (2010), Pola restorasi terdiri dari empat (4) jenis, yaitu: 1)Suksesi Alam, yaitu membiarkan wilayah hutan tidak terganggu agar proses regenerasi alami dapat berlangsung (untuk wilayah hutan yang memiliki keragaman hayati dan tutupan vegetasi baik). Hal ini dilakukan pada hutan-hutan alami yang masih terdapat di wilayah tangkapan air. 2)Penunjang Suksesi Alami, yaitu membantu regenerasi alami (memotong jenis tumbuhan pengganggu tertentu agar jenis-jenis pohon penting dapat tumbuh). 3)Pengkayaan Tanaman, (ketika kelompok jenis tertentu telah hilang, jenis pohon tertentu akan ditanam agar tercipta habitat yang lebih beragam).
Persiapan dan Perencanaan Restorasi Hutan 9
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
4) Penanaman jenis pohon kunci, untuk wilayah yang rusak parah dimana beberapa jenis kunci tertentu dipilih dan ditanam karena pohon-pohon ini dapat menarik berbagai jenis satwa penyebar biji-bijian.
2.2.4. Penetapan Jenis Pohon Jenis bibit yang akan ditanam dipilih berdasarkan pertimbangan iklim dan adaptabilitas jenis yang biasanya dijumpai pada vegetasi yang telah tumbuh pada lokasi restorasi. Oleh karena itu, penentuan jenis pohon yang akan ditanam, pada prinsipnya diharapkan sama dengan jenis pohon terdapat pada ekosistem hutan alam sebelum areal tersebut terdegradasi. Namun perlu juga memprioritaskan jenis-jenis kunci untuk pembentukan ekosistem, sarang dan pakan satwa.
2.2.3. Penetapan Sistem Penanaman dan Jarak Tanam 1) Sistem Penanaman Ada 4 sistem penanaman, yaitu ; a) Sistem jalur, digunakan pada areal dengan vegetasi lantai hutan yang rapat dan tinggi. Jalur dibuat dengan cara membersihkan vegetasi lantai hutan selebar 1 m. b) Sistem piringan (cemplongan), digunakan pada areal dengan vegetasi lantai hutan yang tidak rapat dan tidak tinggi. Piringan dibuat dengan cara membersihkan vegetasi lantai hutan dengan radius 50 cm. c) Sistem berkelompok, digunakan pada areal yang banyak terjadi gangguan satwa. Tanaman berkelompok dibuat dengan cara membersihkan vegetasi lantai hutan dengan akar-akarnya seluas 4 x 4 m berbentuk kotak, kemudian diberi pagar keliling dengan menggunakan bahan bambu dan ranting atau gulma. d) Sistem tugal, dilaksanakan dengan tanpa olah tanah (zero tillage). Lubang tanaman dibuat dengan tugal (batang kayu yang diruncingi ujungnya). Teknik ini cocok untuk pembuatan tanaman dengan benih langsung terutama pada areal dengan kemiringan lereng yang cukup tinggi, namun tanahnya subur dan peka erosi. 2) Jarak Penanaman a) Sistem jalur dan piringan. Penanaman pada kawasan konservasi sebenarnya tidak perlu menggunakan jarak tanam. Namun penanaman yang tidak menggunakan jarak tanam menyebabkan kesulitan dalam melakukan monitoring terhadap jumlah tanaman yang sudah ditanam pada areal restorasi tersebut. Untuk memudahkan monitoring, jika tidak terkendala oleh keadaan permukaan tanah yang berbatu dan topografi yang menyulitkan dalam penanaman disarankan untuk menggunakan jarak tanam. Jarak tanam yang disarankan untuk areal yang benar-benar terbuka adalah 3 x 3 m untuk tahun pertama. Selanjutnya dapat dilakukan pengkayaan jenis menggunakan jarak tanam 1,5 x 1,5 m diantara tanaman sebelumnya. b) Sistem berkelompok. Bibit ditanam dalam kotak setengah meter dari pagar dan jarak antara bibit sepanjang 1,5 x 1,5 m. Jarak antara kotak satu dengan kotak lainnya kurang lebih 8m. Pemeliharaan tanaman dengan menggunakan sistem ini dapat dilakukan lebih intensif dari pada sistem jalur maupun sistem piringan. Apabila dalam waktu sepuluh tahun tanaman sudah tumbuh dan menghasilkan buah, diharapkan akan terjadi permudaan alam di sekitar kotak tanaman sehingga terjadi suksesi alam.
10
Persiapan dan Perencanaan Restorasi Hutan
Pertimbangan lain adalah ketersediaan sumber bibit dan kemudahan dalam perbanyakannya serta kesesuaian dengan tujuan restorasi untuk mengembalikan/mendekati struktur awal, maka diupayakan untuk menggunakan jenis vegetasi yang telah ada di sekitar kawasan. Jumlah jenis pohon yang ditanam disarankan paling sedikit 30 % dari jenis pohon yang terdapat pada ekosistem hutan alam yang ada di dekat areal restorasi; dengan komposisi jenis pionir (60%), klimaks (40%), dan sifatnya sebagai pakan dan sarang satwa serta cepat menyebarkan biji. Lamb, et al. (2005) menyarankan agar dalam proses restorasi didahului dengan menanam jenisjenis tumbuhan lokal yang dapat tumbuh cepat (fast growing species). Penanaman jenis fast growing ini ditujukan untuk dapat menyediakan naungan bagi jenis-jenis klimaks yang tumbuhnya lambat (slow growing) serta menekan pertumbuhan gulma dan jenis tumbuhan pengganggu lain. 2.2.5. Menentukan Skema Jenis (Framework Species Method) Pada tahun 1997, FORRU - CMU mulai mengembangkan pendekatan 'framework spesies' untuk mengembalikan ekosistem hutan pegunungan Thailand Utara, setelah mempelajari konsep di Australia, di mana konsep tersebut pertama kali disusun (Goosem & Tucker 1995; Lamb et al, 1997; Tucker & Murphy 1997). Metode framework spesies melibatkan penanaman 20-30 jenis pohon untuk memulihkan struktur ekosistem dan fungsi hutan secara cepat, sementara hewan, tertarik pada pohon yang ditanam, membawa keragaman tanaman tambahan melalui penyebaran benih ke lokasi penanaman (http://www.forru.org). YOSL-OIC secara tidak langsung sudah mempraktikkan metode tersebut diatas. Setidaknya ada 125 jenis tanaman asli di wilayah Sei Betung yang telah dikembangkan sejak tahun 2008 di lokasi restorasi. YOSL-OIC telah menetapkan kriteria jenis tanaman yang akan ditanam, antara lain: 1) Merupakan tanaman asli atau tanaman lokal dari hutan atau lokasi restorasi (bukan tanaman eksotis/introduksi). 2) Merupakan jenis tanaman endemik (tanaman yang hanya ada di TNGL) 3) Dapat tumbuh dengan cepat dan berdaun lebar. Contoh: Sempuyung (Hybiscus sp), Marak (Macaranga indica), Sungkai (Peronema canescens), Halaban (Vitex pubescens), Panggang Babi (Leea indica). 4) Tahan terhadap kebakaran hutan (dapat segera bertunas kembali setelah terbakar). Contoh: Matau (Callerya atropurpurea) dan Tempe-tempe (Calicarpa sp).
Persiapan dan Perencanaan Restorasi Hutan 11
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
5) Tahan terhadap banjir dan genangan air yang lama. Contoh: Bira-bira (Terminalia gigantean), Luingan (Ficus sp), Pakam (Pommetia pinnata), Kayu Lanang (Oroxylum indicum), Bayur (Pteruspermum javanicum). 6) Disukai satwa liar, baik daun, batang, buah dan digunakan oleh hewan untuk bersarang. 7) Cepat berbuah dan berbuah banyak 2-3 tahun setelah tanam. Contoh: Balik Angin (Mallotus paniculatu), Buih-buih (Lea lubra), Marak Bulu (Castonia sp).
2.2.6. Kesiapan Pelaksanaan Restorasi Kesiapan pelaksanaan restorasi meliputi; sosialisasi, penjaringan tenaga kerja serta pembekalan dan pelatihan teknis restorasi.
Berikut contoh skema jenis tanaman yang dikembangkan di lokasi restorasi YOSL-OIC :
Marak Tapak Gajah (Macaranga gigantean) memiliki tajuk daun yang besar seperti payung sehingga mampu menekan per tumbuhan gulma.
1) Sosialisasi Sosialisasi adalah salah satu proses dimana pelaksana restorasi menerangkan konsep kegiatan kepada para pihak terkait dalam rangka untuk mendapatkan dukungan. Sosialisasi dapat dilakukan dengan cara mengunjungi kelompok sasaran atau dengan cara mengundang kelompok sasaran di tempat yang ditentukan. Keterlibatan pemangku kawasan dalam sosialisasi adalah hal yang mutlak, kegiatan ini bisa juga dijadikan sebagai ajang untuk melakukan penyuluhan bagi masyarakat. Sasaran sosialisasi meliputi; - Masyarakat setempat (tingkat desa) - Instansi lokal (kecamatan dan pemerintah kabupaten) - Universitas (unsur akademis) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan - Pemangku kepentingan lainnya. 2) Penjaringan Tenaga Kerja Tenaga kerja yang direkrut diutamakan berasal dari desa sekitar areal yang akan direstorasi dan sebaiknya ditentukan bersama dengan aparat desa maupun tokoh masyarakat setempat.
Pohon Matau (Callerya atropurpurea) yang sempat terbakar, namun masih bertahan hidup.
3) Pembekalan dan Pelatihan Teknis Restorasi Lembaga pelaksana restorasi sebaiknya memberikan pelatihan teknis terkait dengan restorasi kepada tim pelaksana. Bentuk pelatihan dapat berupa kuliah/ceramah, praktik lapangan dan studi banding (bila diperlukan) ke lokasi yang dinilai sukses dan layak dijadikan sebagai pembelajaran pelaksanaan restorasi. Materi pelatihan yang diberikan dapat berupa ; - Teknik pelaksanaan survei awal. - Teknik pembangunan pembibitan, pengumpulan biji/cabutan, pembibitan, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan perlindungan areal restorasi termasuk pengendalian kebakaran hutan. - Dasar-dasar dan teknik monitoring keanekaragaman hayati.
Tanaman birah-birah (Fagrea crenulata) adalah salah satu tanaman yang memiliki resistensi terhadap genangan air. Jenis ini sangat cocok ditanam di lokasi banjir.
12
Persiapan dan Perencanaan Restorasi Hutan
Pembibitan Restorasi Hutan
13
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA Bab 3
MANAJEMEN PEMBIBITAN 3.1. SARANA DAN PRA-SARANA PEMBIBITAN 3.1.1. Pondok Kerja Restorasi Efektivitas pelaksanaan kegiatan restorasi hutan menjadi faktor yang penting untuk dipertimbangkan. Dengan kondisi lokasi restorasi yang berada di dalam hutan tropis, sebaiknya aktivitas restorasi dilakukan dengan metode ‘live in’ (tinggal di dalam areal restorasi). Untuk mempermudah operasional kegiatan, perlu dibangun pondok kerja dan pembibitan (nursery). Pondok kerja restorasi berfungsi sebagai tempat tinggal tim pelaksana restorasi dan dapat juga difungsikan sebagai pos pemantauan hutan oleh pemangku kawasan. Keberadaan pondok kerja ini akan memudahkan tim pelaksana restorasi untuk melakukan pengawasan, sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat selalu terpantau. Selain itu dapat juga mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan dari kegiatan illegal seperti perburuan satwa, penebangan pohon dan aktivitas illegal lainnya. Pembangunan pondok kerja dan pembibitan sebaiknya dilakukan dengan melibatkan masyarakat, kelompok tani, pemerintah desa dan pemangku kawasan yang diawali dengan koordinasi dan sosialisasi. Selanjutnya, lakukan sosialisasi rencana kegiatan di desa sekitar lokasi restorasi. Pondok kerja harus memiliki fasilitas yang layak untuk mendukung konsep ‘live in’ bagi pelaksana restorasi dan fungsinya sebagai unit pengamanan kawasan. Pondok kerja juga merupakan sarana untuk menyimpan perlengkapan kegiatan restorasi termasuk bahan-bahan pembibitan. Oleh karena itu, pondok kerja sebaiknya terintegrasi dengan pembibitan.
1 14
Pembibitan Restorasi Hutan Pemeliharaan bibit di lokasi restorasi Sei Betung
1
Pondok kerja yang terintegrasi dengan pembibitan.
Manajemen Pembibitan
15
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
3.1.2. Pembibitan Pembangunan pembibitan merupakan bagian penting kegiatan restorasi hutan. Pembibitan dapat diterjemahkan sebagai areal untuk kegiatan memproduksi dan memproses benih atau bagian tanaman lain untuk menjadi bibit siap tanam ke lokasi penanaman.
Proses pembangunan pondok kerja dan pembibitan mempertimbangkan beberapa hal, biasanya disesuaikan dengan keadaan topografi di lokasi yang akan direstorasi, diantaranya: - Lokasi dekat dengan areal penanaman, mudah dijangkau, terbuka (mendapat sinar matahari secara langsung) - Lokasi berada di tempat yang tinggi; untuk mempermudah pemantauan kondisi sekitar pondok, terutama terkait satwa liar yang mungkin sedang melintas/mencari makan akan mudah terlihat. - Tidak jauh dari sumber air; untuk mempermudah pelaksana restorasi dalam memenuhi kebutuhan air, baik untuk konsumsi maupun untuk kebutuhan lainnya. - Adanya pohon pelindung; kondisi alam yang terbuka biasanya beresiko terhadap terjadinya angin kencang atau badai yang berpotensi merusak atau merobohkan pondok. - Akses yang mudah; dimungkinkan ada akses untuk mempermudah proses distribusi bibit ke areal restorasi. - Pondok restorasi dan pembibitan sebaiknya terintegrasi; untuk mempermudah pelaksanaan pembibitan.
Tujuan pembangunan pembibitan adalah : - Meminimalisasi kerusakan bibit akibat proses pengangkutan atau perpindahan - Mengkondisikan bibit agar dapat beradaptasi dengan lokasi penanaman - Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan restorasi Pembibitan dapat dibangun dengan menggunakan bambu dan tepas. Tinggi pembibitan biasanya berkisar antara 1,8 - 2 m, luasnya disesuaikan dengan jumlah bibit yang akan diproduksi. Untuk 10.000 bibit biasanya memerlukan luas 5 x 15m (ukuran polybag 10 x 15cm). Tinggi bangunan pembibitan berkaitan dengan intensitas cahaya yang masuk ke dalam pembibitan. Semakin tinggi bangunan pembibitan maka intensitas cahaya yang masuk ke pembibitan akan semakin banyak, begitu pula sebaliknya. Atap pembibitan dapat menggunakan bahan sintetis berupa paranet. Sedangkan bagian dinding dapat menggunakan polynet.
3.2. SUMBER BIBIT 3.2.1. Mengenal Tanaman Pionir dan Tanaman Klimaks Pelaksanaan kegiatan restorasi akan bersinggungan dengan jenis tanaman pionir dan klimaks. Oleh karena itu, ada baiknya kita mengetahui maksud kedua istilah tersebut. A. Tanaman Pionir Tanaman pionir adalah tanaman perintis yang mampu hidup dan toleran terhadap kekurangan bahan organik. Tanaman pionir biasanya membutuhkan intensitas cahaya dalam jumlah besar baik dalam fase pertumbuhan maupun dalam fase perkembangan serta akan hidup tertekan jika mendapatkan naungan. Tanaman pionir juga berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan gulma, terutama jenis rumputrumputan seperti alang-alang (Imperata cylindrica).
Pembibitan dengan polybag yang tersusun rapi yang akan diisi dengan berbagai biji dan anakan tanaman. Satu baris (bedeng polybag) yang disusun berjumlah 1.000 polybag
Adapun ciri-ciri dari tanaman pionir yang dapat diobservasi secara visual adalah; 1) Tanaman tumbuh cepat, 2) Membutuhkan sinar matahari yang banyak sepanjang hidupnya, 3) Berdaun lebar, 4) Warna daun hijau terang, 5) Cepat berbuah dan umumnya buah dalam ukuran kecil, 6) Cepat mendominasi, 7) Bila sinar matahari yang diperoleh semakin sedikit, tanaman akan stress dan mati, 8) Sebagian jenis tanaman pionir mengugurkan daunnya saat musim kemarau, dan kembali berdaun muda saat musim hujan.
1 16
Manajemen Pembibitan
Manajemen Pembibitan
17
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
Di kawasan TNGL Wilayah Sei Betung, jenis tanaman pionir yang banyak dijumpai diantaranya; Marak Biasa (Macaranga indica), Turi-Turi (Phyllanthus spp), Buih-buih (Leea lubra), Balik Angin (Mallotus paniculatus), Tampu Besi (Mallotus spp), Seribu Naik (Anthocephalus cinensis), Marak (Macaranga tanarius), Sempuyung (Hibiscus sp).
Berikut beberapa gambar contoh tanaman klimaks ;
Berikut ini beberapa gambar contoh tanaman pionir ;
Halaban (Vitex pubescens)
Pulai (Alstonia scholaris)
Marak Tiga Jari (Macaranga hypoleuca)
Ketepeng (Cassia alata)
Meang (Palaqium sp)
Mata’u (Callerya atro purpurea)
Selain jenis klimaks dan pionir ada pula jenis tanaman memiliki toleransi terhadap 2 model tipe kawasan yaitu, kawasan berhutan dan kawasan tidak berhutan. Jenis-jenis tanaman tersebut dapat ditemukan di hutan primer, hutan sekunder dan juga kawasan yang terbuka. Adapun jenis-jenis tersebut diantaranya; Salam (Syzygium polyantum), Mata’u (Callerya atropurpurea), Medang Pisang (Dilleniasp), Kemenyan (Styrax benzoides), Medang Sengir (Litsea sp) dan beberapa jenis tanaman lainnya.
B. Tanaman Klimaks Jenis tanaman klimaks adalah jenis tanaman penyusun hutan klimaks. Umumnya didominasi oleh tumbuhan selalu hijau (evergreen) dan tidak toleran terhadap intensitas matahari yang tinggi pada fase perkecambahan-pertumbuhannya. Adapun ciri-ciri dari tanaman klimaks yang dapat diobservasi secara visual adalah; 1) Warna daun hijau gelap, 2) Tetap berdaun saat musim kemarau, 3) Ukuran daun lebih kecil dari jenis pionir (umumnya). Jenis-jenis tumbuhan klimaks yang dijumpai di Sei Betung banyak dari family Dipterocarpaceae, Myristicaceae, Myrtaceae, Tiliaceae, Styraceae, Lauraceae, Dilleniaceae, Ebenaceae, Sapindaceae.
1 18
Manajemen Pembibitan
Salam (Syzygium polyanthum)
Bendo (Artocarpus communis)
Tiga urat (Cinamommum burmanii )
Manajemen Pembibitan
19
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
3.3. ALAT DAN BAHAN PEMBIBITAN
2) Memiliki porositas yang baik. Artinya bisa menyimpan air sekaligus juga mempunyai drainase (kemampuan mengalirkan air) dan aerasi (kemampuan mengalirkan oksigen) yang baik. Media tanam harus bisa mempertahankan kelembaban tanah namun harus bisa membuang kelebihan air (biasanya saat musim penghujan). Media tanam yang baik mempunyai rongga kosong antar materialnya. Media tersebut tersebut dapat ditembus oleh air, sehingga air tidak tergenang dalam polybag. Namun disisi lain rongga-rongga tersebut harus bisa menyerap air (higroskopis) untuk disimpan sebagai cadangan dan mempertahankan kelembaban. 3) Menyediakan unsur hara yang cukup, baik unsur hara makro (N, P, K S) maupun unsur hara mikro (Mo, Fe, B, Zn, Mn, Cu, Cl). Unsur hara sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Unsur hara ini bisa disediakan dari kompos atau material organik lainnya.
3.3.1. Alat 1) Toples penyimpan biji 2) Label nama 3) Polybag 4) Talam kecambah 5) Sekop besar 6) Sekop kecil 7) Cangkul 8) Ayakan tanah/pasir 9) Hands sprayer 10) Gembor 11) Gunting dahan 12) Pisau 13) Parang/Golok 14) Ember 3.3.2. Bahan 1) Polybag ukuran 12 x 15 cm. 2) Plastik Sungkup 3) Paranet 4) Bambu 5) Pupuk Organik Cair (POC) 6) Benih 3.4. PRODUKSI BIBIT 3.4.1. Media Tanam Media tanam merupakan salah satu faktor penting yang sangat menentukan dalam kegiatan produksi bibit. Media tanam akan menentukan baik buruknya pertumbuhan suatu tanaman yang pada akhirnya berpengaruh nyata pada kualitas bibit yang dihasilkan. Media tanam memiliki fungsi untuk menopang tanaman, memberikan nutrisi dan menyediakan tempat bagi akar tanaman untuk tumbuh dan berkembang selama dalam polybag. Bibit tanaman yang diproduksi mendapatkan sebagian besar nutrisi melalui media tanam. Media tanam yang baik harus memiliki sifat-sifat fisik, kimia dan biologi yang sesuai dengan kebutuhan tanaman selama di pembibitan. Menurut Alam tani (2014), secara umum media tanam yang baik harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut: 1) Mampu menyediakan ruang tumbuh bagi akar tanaman, sekaligus juga sanggup menopang tanaman. Artinya, media tanam harus gembur sehingga akar tanaman bisa tumbuh baik dan sempurna, tetapi masih cukup solid memegang akar dan menopang batang agar tidak roboh.
20
Manajemen Pembibitan
Bahan utama pembuatan media tanam adalah tanah. Tanah yang baik untuk persemaian adalah lapisan atas tanah (top soil) dari lokasi restorasi. Sebaiknya gunakan top soil yang diambil dengan kedalaman tidak lebih dari 5 cm. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan proses adaptasi bibit dengan keadaan tanah pada saat penanaman. Di hutan tropis, banyak terdapat material alami yang dapat digunakan sebagai media tanam, misalnya; kotoran satwa (gajah, dan satwa lainnya), serasah alang-alang yang membusuk, dedaunan yang telah busuk, dan sisa-sisa batang pohon yang telah terdekomposisi. Bahan-bahan tersebut sebaiknya dicampurkan dengan tanah hutan yang dapat berfungsi sebagai katalisator pembentuk mikoriza (jamur yang membantu perbaikan tanah). Adapun hal-hal yang dilakukan untuk membuat media tanam di pembibitan adalah sebagai berikut; 1) Mengumpulkan kotoran hewan untuk dijadikan sebagai kompos di pembibitan. 2) Mengumpulkan serasah (dedaunan, alang-alang) yang telah remah dan membusuk. 3) Mengumpulkan dedaunan khususnya daun tanaman yang telah menjadi serasah. 4) Mengumpulkan sisa-sisa batang atau ranting kayu yang telah membusuk (bisa juga menggunakan batang kelapa sawit yang telah membusuk). Cara Membuat Media Tanam : 1) Idealnya pembuatan media tanam dapat menggunakan pasir untuk menciptakan pori-pori tanah dalam polybag, namun bahan ini dapat diganti dengan serbuk sisa gergajian kayu. 2) Top soil dicampur dengan kotoran hewan dan serbuk gergajian kayu. Serbuk gergajian kayu dapat diganti dengan serasah. Bahan tersebut dicampurkan dengan perbandingan 2 : 1 : 1 (top soil : kotoran hewan : serbuk gergajian kayu). 3) Hasil campuran bahan-bahan tersebut masih berukuran tidak seragam. Oleh karena itu, perlu diayak agar media tanam lebih halus dan berukuran seragam. 4) Media tanam dapat langsung digunakan/diisikan ke polybag yang telah disiapkan.
Manajemen Pembibitan
21
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
Proses pembuatan media tanam
3.4.2. Teknik Pembibitan Produksi bibit dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu secara generatif dan vegetatif. Produksi bibit secara generatif yaitu perbanyakan bibit tanaman dilakukan melalui benih, kemudian dikecambahkan pada media tabur selanjutnya disapih pada media sapih sehingga bibit siap tanam dilapangan. Selain itu dapat juga dilakukan dengan menggunakan anakan alam. Sedangkan pengadaan bibit secara vegetatif yaitu pengadaan bibit dilakukan melalui perbanyakan bagian tanaman induknya, seperti stek dan cangkok.
Tanah/Top Soil
Proses pengayakan media tanam
Campuran topsoil dan kotoran hewan
Berikut penjelasan tahapan produksi bibit dengan perbanyakan bibit melalui benih, anakan alam dan stek. 1) Pembibitan Berasal Dari Benih Cara ini umumnya digunakan untuk tanaman dengan biji berukuran kecil (1-5 mm) prosesnya diawali dengan mengecambahkan benih pada talam kecambah. Teknik Penaburan Benih; a) Isi talam kecambah dengan media tanam dan sisakan 2 cm dari permukaan talam kecambah. b) Taburkan benih tanaman keseluruh permukaan tanah di talam kecambah. Sebaiknya satu talam kecambah berisi satu jenis tanaman. c) Taburkan media tanam ke permukaan talam kecambah yang sudah ditabur benih (benih terbenam 2/3 badan benih). d) Siram dengan air secukupnya. e) Beri label pada talam kecambah dengan data seperti; nama tanaman, tanggal semai, dan perlakuan yang dilakukan pada benih sebelum disemai. f) Letakkan talam kecambah yang telah berisi benih di atas meja agar tidak diganggu oleh predator biji. g) Selalu lakukan penyiraman jika media tanam kering. Untuk tanaman pionir, usahakan mendapatkan cahaya yang cukup. Untuk jenis tanaman klimaks sebaiknya memberikan naungan dengan intensitas cahaya matahari yang masuk cukup.
Media tanam yang siap digunakan
Proses penaburan benih dengan bedeng tabur dan talam kecambah
1 22
Manajemen Pembibitan
Manajemen Pembibitan
23
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
Perhatikan perkembangan benih selama proses perkecambahan. Bila perlu lakukan pencatatan kapan mulai berkecambah, berapa jumlah yang berkecambah pada setiap minggunya. Tanaman pionir biasanya memerlukan waktu perkecambahan selama 4 minggu, sedangkan tanaman klimaks bisa mencapai 2 - 4 bulan. Selanjutnya dilakukan proses penyapihan (pemindahan bibit ke polybag). Namun beberapa jenis tanaman dapat langsung disapih di polybag tanpa harus melalui pengecambahan dalam talam kecambah. Teknik Penyapihan Benih; Pemindahan semai dari bak/talam kecambah ke polybag, dilakukan dengan cara mencungkil media di sekitar dan di bawah semai beserta akar-akarnya. Semai yang siap disapih adalah yang telah memiliki minimal sepasang daun muda yang telah membuka penuh. Waktu yang baik dalam kegiatan penyapihan adalah pada sore hari, hal ini untuk menghindari sinar matahari yang cukup lama. Jika dilakukan pada pagi hari maka bibit menerima cahaya sedikitnya 6 jam sehingga memungkinkan terjadi stress setelah pemindahan. Selama dalam polybag, terutama pada 2 minggu awal masa penyapihan benih, berikan air yang cukup dan pastikan benih mendapatkan sinar matahari yang cukup. Proses penyapihan ini memerlukan waktu 4 - 6 bulan, bibit dikatakan siap tanam telah mencapai tinggi 30 - 40 cm tergantung jenisnya.
Contoh biji/benih yang tanpa harus melakuan proses pengecambahan;
Kedaung (Parkia javanica) memiliki kulit biji yang sangat keras sehingga membutuhkan waktu yang lama dalam proses perkecambahan secara normal. Melukai/memotong sebagian kulit biji dapat mempercepat proses perkecambahan biji tersebut
Untuk biji-biji yang berukuran sedang hingga besar dapat langsung dikecambahkan di polybag tanpa harus melakuan proses pengecambahan di dalam talam kecambah. Untuk bibit yang sangat besar dan melebihi ukuran lubang polybag seperti Mata’u, dilakukan dengan cara memotong setengah dari biji tanaman tersebut. Sedangkan untuk biji yang memiliki kulit biji yang keras dilakukan pemotongan (melukai kulit biji) hingga bagian dalam biji bisa terlihat. Hal ini dilakukan untuk memudahkan air masuk kedalam biji tersebut. Beberapa jenis bibit juga perlu dilakukan perendaman di air selama 2 - 12 jam sebelum pengecambahan.
Kulit biji kemenyan sangat kerat, sehingga sangat sulit untuk dilukai. Dapat dilakukan dengan meretakkan biji menggunakan palu, tujuannya agar air dapat dengan mudah masuk kedalam biji tersebut.
Dalam waktu 1 bulan biji kemenyan sudah berkecambah setelah menggunakan perlakuan meretakkan kulit biji, padahal secara alami akan membutuhkan waktu 3-6 bulan untuk berkecambah.
Durian dan cempedak adalah contoh buah dengan biji berukuran sedang yang dapat langsung dikecambahkan di dalam polybag
Hal lain yang penting adalah proses pencatatan atau pendokumentasian kegiatan pengecambahan dan pengumpulan benih/biji. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencatatan terhadap kegiatan pengecambahan dan pengumpulan benih/biji (contoh formulir terlampir).
24
Manajemen Pembibitan
Manajemen Pembibitan
25
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
Produksi Bibit Melalui Benih/Biji Dari Kotoran Hewan Proses produksi bibit bisa juga dilakukan dengan menggunakan biji/benih yang terdapat pada kotoran hewan terutama hewan pemakan buah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui jenis tanaman yang dikonsumsi oleh hewan pemakan buah tersebut, sehingga dapat dijadikan sebagai skema jenis bibit yang akan ditanam. Tanaman tersebut akan menjadi daya tarik bagi hewan-hewan untuk datang dan memencarkan biji-biji tanaman tersebut ke tempat lain.
2) Pembibitan Berasal Dari Cabutan/Anakan Alam Cara ini paling mudah dan cukup efektif untuk memproduksi bibit dalam jumlah besar dengan waktu yang singkat. Cara ini dapat dilakukan untuk jenis pionir ataupun jenis klimaks. Anakan alam dapat diperoleh dari hutan atau dari luar kawasan hutan, misalnya ladang masyarakat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan bibit asal cabutan, yaitu ; 1) Berupa anakan alam yang tumbuh di sekitar areal penanaman yang memiliki tinggi 20 30 cm atau memiliki 2-3 pasang daun. 2) Anakan sebaiknya dicabut pada musim hujan. 3) Potong akar tunggang dan disesuaikan ukurannya dengan polybag yang telah ada. 4) Potong setidaknya setengah dari jumlah daun yang ada (memperkecil luas penampang daun), untuk mengurangi dehidrasi pada bibit setelah dipindahkan ke polybag.
Keberadaan jenis satwa tertentu di lokasi restorasi salah satunya adalah karena adanya sumber pakan (buah) bagi mereka. YOSL-OIC telah melakukan proses ini sejak tahun 2011. Benih yang dikecambahkan berasal dari kotoran orangutan sumatera, musang dan gajah. Jenis-jenis yang dikecambahkan berasal dari kotoran hewan di lokasi restorasi YOSL-OIC adalah antara lain Kopi-kopi (Polyalthia sp) dan Jeluak (Microcos tomentosa) dari kotoran musang.
Pemotongan beberapa daun dilakukan untuk mengurangi penguapan.
5) Masukkan anakan alam tersebut ke dalam polybag yang sudah diisi dengan media tanam. 6) Lakukan penyungkupan dengan menggunakan plastik bening, usahakan lokasi penyungkupan memiliki naungan agar tidak terlalu panas. Penyungkupan dilakukan untuk mengontrol kondisi iklim dan mengurangi penguapan. Penyungkupan harus kedap udara.
Kotoran musang yang akan dikecambahkan di dalam talam kecambah
1 26
Manajemen Pembibitan
Pemindahan bibit cabutan ke polybag, sebaiknya dilakukan pada sore hari
Proses penyungkupan menggunakan rangka yang terbuat bambu dan ditutup plastik bening
Manajemen Pembibitan
27
dkk (2010), PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA 7) 8)
Setelah 30 - 40 hari sungkup bisa dibuka, dan dilakukan penyiraman. 1 minggu setelah sungkup dibuka, lakukan sortasi dan pemilihan bibit berdasarkan jenis bibit. Cara ini memiliki keberhasilan 80-90%. 9) Lakukan pemeliharaan dan penyiraman secara teratur. 10) 2 - 3 bulan setelah sortasi, bibit telah siap tanam.
3) Pembibitan Melalui Stek Stek adalah adalah sebuah usaha memperbanyak tanaman dengan cara vegetatif dengan mengambil bagian dari tanaman baik itu batang, daun maupun akar tanaman. Pengembangan tanaman dengan metode stek dilakukan karena beberapa alasan diantaranya : 1. Tumbuhan tersebut tidak berbuah (termasuk spora) 2. Walaupun berbuah dan berbiji tetapi sulit atau bahkan tidak bisa di semaikan 3. Terdapat anakan yang tumbuh disekitar induknya yang berasal bukan dari biji Adapun tanaman yang dapat distek dalam hal ini stek batang dalam upaya pengembangan di pembibitan untuk kegiatan restorasi adalah; Sungkai (Peronema canescens), Jering (Archidendron jeringa), Bunga Raya (Hybiscus rosa-sinensis). Prosedur penyetekan ; a) Ambil batang tanaman yang berukuran lingkar 20-30 mm dan cukup tua, setiap stek yang dipotong harus memiliki 2 ruas atau lebih, satu ruas ditanamkan ke polybag untuk membentuk akar, dan satu mata ruas diatas/permukaan untuk membentuk tunas, b) Rendamlah stek-stek tersebut dengan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) penumbuh akar seperti Growtone atau sejenisnya selama 30 menit. c) Tancapkan potongan stek tersebut ke polybag yang telah terisi media tanam. Mata stek harus menghadap ke atas. Usahakan lokasi pembibitan stek tersebut memiliki naungan agar tidak terjadi dehidrasi pada batang (stek) tersebut. d) Bibit dapat ditanam setelah berusia 3 bulan.
menjadi : (Heriansyah dkk, 2014) RESTORASI EKOSISTEM HUTANdiganti TROPIS INDONESIA
(Ika Heriansyah dkk, 2014).
Halaman 633.5. PEMELIHARAAN 3.5.1.menggunakan Penyiramandrone. Anda dapat melihat plot kontrol (30 x 30 m) dekat Foto ini diambil Kegiatan penyiraman jika media tanam telah terlihat kering, terutama pada musim dengan hutan sekunder dan jalur dilakukan penanaman. kemarau. Penyiraman haruslah hingga mencapai kapasitas lapang, yaitu; kondisi ketika komposisi air dan udara dalam tanah berimbang. Penyiraman dilakukan 2 kali setiap hari, pagi dan sore hari. Penyiraman harus dilakukan dengan hati-hati, terutama di talam kecambah untuk menghindari agar kecambah yang masih lemah tidak rusak. Diganti menjadi : 3.5.2.menggunakan PenyianganDrone. Anda dapat melihat plot kontrol (30 x 30 m) yang Foto ini diambil Mediahutan tanamsekunder yang dibuat terkontaminasi oleh biji-biji dari gulma, atau karena lokasi berada di dekat dan terkadang jalur penanaman. pembibitan berada di areal penanaman yang didominasi oleh gulma, maka penyebaran gulma bisa sampai ke pembibitan. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan penyiangan. Halaman 57Penyiangan adalah kegiatan menghilangkan rumput atau tumbuh-tumbuhan liar yang tidak diinginkan (gulma) tumbuh bersama semai, di sela-sela polybag atau di areal pembibitan. Tujuannya adalah untukstart membebaskan semai dari persaingan gulma dalam halmasih memperoleh cahaya, With random dst… ditarik ke dengan baris diatasnya, karena bagian dari udara, poin a)air dan unsur-unsur hara. Penyiangan dapat dilakukan dua minggu sekali, atau tergantung kondisi dan kebutuhan. Gulma juga dapat menjadi tanaman inang bagi beberapa jenis hama, dengan mengontrol gulma Halaman 82berarti telah melakukan langkah awal pengendalian hama.
Penyiangan dapat dilakukan secara manual dengan cara mencabut gulma dengan tangan
3.5.3. Pemupukan Pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan Pupuk Organik Cair (POC) yang dibuat dari rendaman daun-daun hijau. Pemupukan terutama dilakukan jika daun berwarna hijau kekuningan, hal ini mengindikasikan bahwa tanaman tersebut kekurangan unsur Nitrogen (N).
Pemotongan batang sungkai (Peronema canescens)
28
Manajemen Pembibitan
Stek tanaman sungkai (Peronema canescens) ditancapkan kedalam polybag
Cara pembuatan POC ini dapat dilakukan dengan tahapan; 1) Ambil daun tanaman apa saja yang berwarna hijau, kemudian daun dihaluskan dengan menggunakan blender. 2) Daun yang telah dihaluskan dikumpulkan dalam wadah tong atau drum. 3) Campurkan air bersih ke dalam tong yang digunakan dengan komposisi 1:1.
Manajemen Pembibitan
29
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
4) Berikan larutan gula merah untuk mempercepat proses fermentasi atau gunakan bakteri pembusuk/MoL. 5) Simpan tersebut di tempat yang tidak terkena sinar matahari selama minimal 30 hari. 6) Usahakan diaduk setiap pagi atau sore hari. 7) Dalam beberapa hari, cairan kompos tersebut akan menghasilkan buih dan aroma busuk yang mengindikasikan proses pengomposan sedang berjalan. Jika buih dan aroma sudah hilang, maka POC telah siap untuk digunakan.
3.5.5. Penyulaman Meskipun bibit berasal dari benih terseleksi dan ditanam dengan cara benar, tetapi tetap saja ada beberapa di antaranya kemungkinan tidak tumbuh, mati atau terserang penyakit. Oleh karena itu, bibit yang tidak tumbuh, rusak, dan mati harus segera diganti dengan bibit baru (dilakukan penyulaman). Penyulaman dilakukan apabila terdapat bibit yang mati atau sebagian besar tanaman terserang hama dan penyakit.
Untuk melakukan pemupukan, POC tersebut harus dicampur kembali dengan air dengan perbandingan 1:3 untuk bibit berusia 6 bulan dan 1 : 5 untuk bibit berusia 3 bulan. Pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan handspray atau gembor. Sebaiknya, pemupukan dilakukan pada sore hari. Selain pupuk diatas, kita juga dapat menggunakan kotoran hewan (sapi) yang dicampur air, prinsip pembuatannya sama seperti pembuatan POC. YOSL-OIC mengusung konsep memaksimalkan penggunaan sumberdaya alam yang tersedia. Oleh karena itu, POC atau kompos cair juga dapat diproduksi dengan menggunakan air cucian beras, air cucian ikan, dan mengumpulkan air kelapa. Selain itu, kompos padat juga dapat diproduksi dari bahan sisa-sisa makanan dan sayuran serta kotoran gajah. Kompos padat hanya digunakan untuk membuat media tanam dan memupuk tanaman yang telah ditanam. 3.5.4. Pemotongan Pemotongan akar rutin dilakukan agar akar tidak keluar dari polybag dan menembus ke dalam tanah. Hal ini dimaksudkan untuk merangsang akar membentuk akar baru di dalam polybag. Jika dibiarkan, akan mempersulit proses pemindahan, karena tanaman akan mengalami stress akibat terkontaminasi udara yang menyebabkan akar menjadi kering sehingga bibit mati. Pemotongan terakhir dilakukan minimal 2 minggu sebelum bibit didistribusikan.
3.5.6. Pengendalian hama dan penyakit Pembibitan rentan mendapatkan gangguan hama dan penyakit. Serangga-serangga kecil kadang menyusup kedalam pembibitan dan bertelur atau bahkan memakan tanaman. Berikut ini beberapa jenis hama yang ditemui di pembibitan: 1) Ngengat - Pengendalian menggunakan menangkap atau mengambil ngengat tersebut dari daun. - Bisa juga dengan menghaluskan biji cabai dan mencampurnya dengan air, lalu semprotkan ke tanaman yang terkena hama sebagai pengganti insektisida kimia. 2) Ulat penggulung daun - Ulat ini menghubungkan dua sisi daun sehingga daun menggulung seperti tabung panjang. Tabung tersebut digunakan untuk tempat tinggalnya sambil memakan jaringan daun bagian bawah. Pada gulungan daun tersebut ulat terlindungi oleh benang-benang sutera serta kotoran. - Pengendalian dilakukan dengan memotong bagian daun yang dimakan oleh ulat tersebut. Ulat penggulung daun 3) Jamur - Pengendalian dilakukan dengan kita cukup memindahkan tanaman yang terinfeksi tersebut ke tempat yang mendapatkan lebih banyak cahaya agar tanaman tidak terlalu lembab. 4) Ulat bulu, - Pengendalian dilakukan dengan memindahkannya ke tempat lain tanpa harus membunuhnya. Ulat-ulat tersebut adalah regenerasi berbagai jenis kupu-kupu yang akan membantu proses penyerbukan.
Ulat bulu, hama pemakan daun
3.5.7. Predator biji dan tanaman Hampir seluruh buah tanaman hutan dikonsumsi oleh berbagai satwa liar seperti; burung, mamalia, dan hewan pengerat. Artinya, biji yang dikembangkan di pembibitan juga berpotensi dimakan oleh berbagai satwa liar tersebut, yang disebut sebagai predator biji. Pemotongan akar jika akar tanaman telah keluar dari polybag
30
Manajemen Pembibitan
Manajemen Pembibitan
31
PANDUAN LAPANGAN
PANDUAN LAPANGAN
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
RESTORASI EKOSISTEM HUTAN TROPIS INDONESIA
Predator biji dapat diartikan sebagai hewan penghancur biji, sehingga biji-biji akan mati sebelum berkecambah, atau mati saat berkecambah karena di makan atau dihancurkan oleh predator biji tersebut. Setidaknya ada 4 predator biji yang dapat memangsa biji-biji yang dikembangkan di pembibitan. Namun predator biji ini juga berpotensi menjadi hewan pemencar biji dalam membantu regenerasi hutan secara alami. Predator tersebut adalah ; 1) Landak, biasanya memangsa biji tanaman cempedak, durian, rambutan, kapulasan, pakam, petai, jengkol. Selain itu, landak terkadang juga memakan batang dari tanaman yang telah tumbuh. 2) Tikus, memangsa beberapa biji diantaranya jengkol, petai, tiga urat, dan rambutan. 3) Musang, merupakan pemangsa biji diantaranya; jengkol, petai, jering, kedaung dan cempedak. 4) Babi hutan, biasanya memangsa biji jengkol, petai, jering, matau, jambu-jambu, dan biji-biji yang memiliki aroma. Kerusakan yang disebabkan oleh babi hutan lebih parah dibandingkan ke 3 jenis predator lainnya, karena selain memakan biji, babi hutan juga merusak polybag. Predator lainnya adalah dari jenis serangga yang menghancurkan biji karena memakan embrio biji tersebut, contohnya semut, jangkrik, belalang. Cara terbaik untuk melindungi biji-biji yang sedang dikembangkan di pembibitan adalah dengan memasang pagar/dinding di sekeliling pembibitan. 3.6. PENGANGKUTAN (DISTRIBUSI) DAN SELEKSI BIBIT 3.6.1. Distribusi bibit Pengangkutan bibit merupakan pekerjaan pemindahan bibit dari pembibitan ke lokasi penanaman. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengangkutan bibit: - Bibit yang akan diangkut terlebih dahulu harus dilakukan penyirman - Jumlah bibit yang akan didistribusikan harus mempertimbangkan tata waktu penanaman - Pengangkutan hendaknya dilakukan pagi hari atau sore hari - Untuk pengangkutan dalam jumlah banyak dianjurkan memakai rak 3.6.2. Seleksi bibit Kegiatan terahir dari pembuatan bibit adalah selek sibibit sebelum diangkut ke lapangan. Seleksi ini bertujuan untuk memilih bibit yang baik dan memenuhi syarat untuk ditanam di lapangan. Ciri-ciri bibit yang baik adalah: - Batang kokoh, berkayu berwarna kecoklatan. - Batang tunggal, tumbuh tegak, antara diameter dan tinggi tampak seimbang. - Pucuk sehat, daun segar dan tidak terserang hama atau penyakit. - Media porus dan akarnya kuat mengikat media. Jika bibit dicabut dari polybag maka media dan akar akan membentuk gumpalan yang utuh (kompak). - Bibit yang telah diseleksi dikelompokkan berdasarkan jenis dan diletakkan di tempat yang terbuka selama 2 minggu untuk membantu proses adaptasi pada saat ditanam. Selama proses ini, penyiraman terus dilakukan.
32
Manajemen Pembibitan Pohon Kedaung (Parkia javanica) di restorasi Sei Betung