STUDI REINTRODUKSI ORANGUTAN SUMATERA ( Pongo pygmaeus abelii Lesson, 1827 ) YANG DIKEMBANGKAN DI STASIUN KARANTINA MEDAN DAN DI STASIUN REINRODUKSI JAMBI
Yosia WSB Ginting
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Matius 10 : 29 – 31 Bukankah burung pipit dijual dua ekor seharga satu receh kecil? Namun, seekor pun tidak akan jatuh ke bumi diluar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Karena itu, janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga daripada banyak burung pipit.
RINGKASAN Yosia WSB Ginting (E03400045). Studi Reintroduksi Orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelii Lesson, 1827) Yang Dikembangkan Di Stasiun Karantina Medan Dan Di Stasiun Reintroduksi Jambi. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS dan Drh. Erna Suzanna, MSc.F
Orangutan merupakan salah satu primata yang kini paling terancam keberadaannya di dunia. Permasalahan yang dihadapi orangutan adalah perusakan terhadap habitatnya yang terbatas dan tingginya perburuan orangutan di habitat alaminya. Untuk mengatasi kepunahan orangutan maka saat ini dikembangkan suatu bentuk konsep penyelamatan yang disebut reintroduksi. Konsep reintroduksi ini merupakan suatu rancangan yang baru dikembangkan dalam rangka upaya penyelamatan orangutan dari kepunahan. Sehingga perlu diketahui bagaimana tingkat keberhasilan dari reintroduksi ini yaitu dengan melakukan proses pemantauan terhadap orangutan yang sudah diliarkan. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui tahapan kegiatan reintroduksi orangutan sumatera dan untuk mengetahui kegiatan pemantauan dan penilaian pasca reintroduksi dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan reintroduksi orangutan sumatera dan sekaligus mempelajari kriteria dalam penentuan tingkat keberhasilan reintroduksi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tahapan pelaksanaan reintroduksi satwa khususnya orangutan sumatera ke habitat alaminya. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2004 sampai Maret 2005 di dua lokasi yaitu di Stasiun Karantina Orangutan Sumatera yang terletak di Medan dan di Stasiun Reintroduksi yang terletak di Jambi. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data primer dan sekunder yaitu dengan observasi lapang, studi literatur dan wawancara langsung dengan pihak pengelola. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, reintroduksi orangutan sumatera dibagi ke dalam empat tahapan yaitu 1) Masa karantina; 2) Pengangkutan; 3) Masa adaptasi dan 4) Pelepasan ke alam. Selama penelitian berlangsung dilakukan pengamatan secara rutin terhadap 8 individu orangutan. Dari tahun 2003 sampai saat ini jumlah orangutan yang sudah dilepaskan ke habitat alami sebanyak 40 individu. Pada penelitian ini pemantauan secara rutin hanya dilakukan terhadap 8 individu orangutan. Dari ke- 8 individu orangutan yang diamati, hanya 5 individu yang mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya sedangkan 1 individu hilang dari pemantauan, 1 individu dibawa kembali ke kandang adaptasi dikarenakan tidak mampu untuk mencari makanannya sendiri dan 1 individu yang diamati mengalami kematian setelah enam bulan dilepaskan ke habitat alaminya. Pada penelitian ini, ada lima parameter yang dianggap dapat digunakan dalam penilaian tingkat keberhasilan reintroduksi orangutan sumatera yaitu 1) memiliki aktifitas makan tinggi (> 47%); 2) memiliki pengetahuan pakan alami yang baik (minimal 25 jenis) (Orangutan Conservation and Reintroduction Workshop, 19 – 22 Juni 2002); 3) memiliki kemampuan membuat sarang tidur; 4) memiliki kemampuan memanjat pohon yang baik dan 5) mampu berkembangbiak. Berdasarkan ke – 5 parameter tersebut maka dari ke – 40 individu orangutan yang
sudah dilepaskan alam hanya 26 individu (65 %) yang sudah dapat dipastikan mampu bertahan di lingkungan barunya. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan reintroduksi orangutan sumatera ini adalah tingginya biaya operasional untuk membiayai kebutuhan pakan orangutan selama masa adaptasi dan adanya konflik yang terjadi dengan penduduk lokal dikarenakan areal reintroduksi ini berdekatan langsung dengan pemukiman masyarakat lokal.
STUDI REINTRODUKSI ORANGUTAN SUMATERA (Pongo pygmaeus abelii Lesson,1827) YANG DIKEMBANGKAN DI STASIUN KARANTINA MEDAN DAN DI STASIUN REINTRODUKSI JAMBI
YOSIA WSB GINTING
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYAHUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Balikpapan, Kalimantan Timur pada tanggal 18 Oktober 1982. Penulis merupakan anak Pertama dari dua bersaudara dari keluaraga Bapak Ir. Rura Silindung Ginting Munthe dan Ibu dr. Juwita Br Sembiring Meliala. Pendidikan SD, SMP dan SMA ditempuh di Yayasan Perguruan Swasta Kristen Immanuel Medan. Tahun 2000 penulis lulus dari SMA Swasta Kristen Immanuel Medan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Jawa Tengah (KPH Banyumas Barat – KPH Banyumas Timur Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan KPH Ngawi Perum Perhutani Unit II Jawa Timur) pada Juli – Agustus 2003 dan melakukan Praktek Kerja Lapang di HPHTI Topa Pulp Lestari Tbk , Toba Samosir Sumatera Utara pada Januari – Februari 2004.
PRAKATA Puji Syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kasih dan karuniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2004 ialah STUDI REINTRODUKSI ORANGUTAN SUMATERA (Pongo pygmaeus abelii Lesson,1827) YANG DIKEMBANGKAN DI STASIUN KARANTINA MEDAN DAN DI STASIUN REINTRODUKSI JAMBI. Terima kasih pula saya ucapkan kepada pihak – pihak yang telah banyak membantu proses penyelesaian skripsi ini antara lain adalah : 1.
Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS, selaku pembimbing pertama yang telah membimbing saya dalam penulisan dan penyempurnaan skripsi ini.
2.
Drh. Erna Suzanna, MSc.F, selaku pembimbing kedua yang telah membimbing saya dalam penulisan dan penyempurnaan skripsi ini.
3.
Ir. I Ketut N. Pandit, MS, selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Dra. Nining Puspaningsih, M.Si, selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan yang telah memberi masukan dan kritikan untuk penyempurnaan skripsi ini.
4.
Orang Tuaku. Bapak Ir. RS. Ginting Munthe dan Ibunda dr. J. Sembiring Meliala yang dengan kesabarannya dan kesetiannya terus memberiku dorongan dan doa untuk menyelesaikan skripsi ini.
5.
Adikku, Yehezkiel Wirawahyunta dan sepupuku Carola Sembiring, Chevinta Sembiring dan Chandra Sembiring.
6.
Ir. Awen Supratna, selaku Kepala Balai KSDA Sumatera Utara I yang telah membantu saya dalam mengeluarkan surat izin penelitian di stasiun karantina.
7.
Ir Suherry dan Ian Singleton, Ph.D, selaku Direktur Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) dan staf karantina yaitu bang Asril dan bang Wardi yang telah membimbing saya selama berada di stasiun karantina.
8.
Ir. Maraden Purba, MM.,selaku Kepala Balai KSDA Jambi yang telah membantu saya dalam melakukan surat ijin penelitan di stasiun reintroduksi orangutan Muara Tebo, Jambi.
9.
Dr. Peter Pratje, selaku Manajer Proyek Frakfurt Zoological Society (FZS), Juana Betti Rican T, Spd dan Krismanko Padang, SH yang telah memberikan ijin dan membantu saya dalam melaksanakan penelitian.
10. Bang Isa, SSi yang telah membantu dan mengajariku mengambil data selama berada di lapangan dan teman – temanku di Sungai Pengian yang telah menemaniku selama berada di lapangan. 11. Teman – teman KSH angkatan 37. Terima kasih untuk kebersamaannya selama di bangku kuliah. 12. Teman – teman di Sinabung Villa : Bang Edo, Bang Joy, Bang Dennis, Budi Sitepu, Edu Ginting, Andi, Andri, Pirdolin, Budi Surbakti, Disa, Budi Ginting dan Agung). 13. Pengurus Permata GBKP Bogor periode 2003 – 2005 dan periode 2005 – 2007. 14. Teman – temanku di Bidang Pembinaan : Bremin Sembiring, Mila, Laura, Erika Surbakti, Tetty, Putri, Elpita, Jani, Leli. 15. Morintara Putri Surbakti yang menjadi teman di waktu suka dan duka. Terima kasih untuk canda tawa, doa dan dukungannya. 16. Teman – teman Guru Sekolah Minggu dan seluruh Permata GBKP Bogor yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 17. Keluarga Besar GBKP Runggun Bogor, yang menjadi orangtua selama aku di Bogor.
Bogor, Desember 2005 Yosia WSB Ginting
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................
i
DAFTAR ISI ..........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
x
I
PENDAHULUAN.............................................................................
1
A. Latar Belakang .............................................................................
1
B. Tujuan Penelitian .........................................................................
3
C. Manfaat Penelitian........................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
4
A. Bioekologi Orangutan..................................................................
3
1. Klasifikasi...............................................................................
4
2. Morfologi ...............................................................................
5
Penyebaran Orangutan Sumatera.................................................
7
C. Habitat Orangutan........................................................................
7
D. Perilaku Orangutan......................................................................
11
1. Aktifitas Harian.......................................................................
11
2. Perilaku Makan .......................................................................
12
3. Perilaku Bersarang ..................................................................
13
E. Sistim Pemeliharaan.....................................................................
15
B.
1. Sistim pengandangan dalam bangunan yang tertutup ( indoor enclosures )..............................................................................
15
2. Sistim pengandangan dalam alam terbuka ( outdoor enclosure )
16
F. Konservasi Orangutan ..................................................................
16
G. Translokasi : Introduksi dan Reintroduksi ....................................
18
H. Karantina Primata ........................................................................
20
I. Pengangkutan Primata..................................................................
22
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................
25
A. Stasiun Karantina Orangutan Sumatera ........................................
25
1. Kondisi Fisik..........................................................................
25
1.1 Letak dan Luas ................................................................
25
1.2 Aksesibilitas dan Fasilitas Karantina ...............................
25
1.3 Kondisi Iklim ..................................................................
25
1.4 Topografi Lapangan ........................................................
26
2. Kondisi Biotik........................................................................
26
2.1 Flora................................................................................
26
2.2 Fauna ..............................................................................
27
B. Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera....................................
27
1. Kondisi Fisik..........................................................................
27
1.1 Letak dan Luas ................................................................
27
1.2 Aksesibilitas dan Fasilitas................................................
29
1.3 Kondisi iklim ..................................................................
29
1.4 Topografi lapangan..........................................................
29
2. Kondisi Biotik........................................................................
30
2.1 Flora................................................................................
30
2.2 Fauna darat......................................................................
30
2.3 Biota perairan (Nekton/ikan) ...........................................
30
3. Sosial, Ekonomi dan Masyarakat............................................
31
IV. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................
33
A. Waktu dan Tempat ......................................................................
33
B. Alat dan Bahan.............................................................................
33
1. Alat........................................................................................
33
2. Bahan.....................................................................................
33
C. Jenis Data yang Dikumpulkan ......................................................
34
1. Data Primer............................................................................
34
2. Data Sekunder........................................................................
35
D. Metoda Pengambilan Data ...........................................................
36
E. Pengolahan dan Analisis Data ......................................................
36
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... A.
38
Tahapan Proses Reintroduksi .....................................................
38
A.1 Manajemen Orangutan Selama Masa Karantina........................
40
1. Fasilitas dan Jumlah Tenaga Kerja di Karantina .....................
40
2. Sistem Pemeliharaan Orangutan di Stasiun Karantina.............
41
2.1 Kandang Pemeliharaan ....................................................
42
2.2 Pembersihan Kandang Pemeliharaan ...............................
42
2.3 Jumlah dan Asal Orangutan yang di Rehabilitasi .............
42
2.4 Lama Pemeliharaan di Karantina .....................................
43
2.5 Jenis dan Jumlah Pakan ...................................................
44
2.6 Perlakuan Khusus............................................................
44
2.7 Pembentukan Kelompok dan Proses Sosialisasi Orangutan
46
3. Sistim Perawatan Orangutan di Stasiun Karantina ..................
47
3.1 Pengambilan Sampel Kotoran/Faeces ..............................
47
3.2 Pengambilan Sampel Darah.............................................
48
3.3 Pemeriksaan Radiologi ....................................................
49
3.4 Pemeriksaan Kulit ...........................................................
49
3.5 Pemberian Microchip ......................................................
49
3.6 Otopsi .............................................................................
49
3.7 Pembiusan.......................................................................
49
3.8 Syarat Kesehatan Sebelum di Reintroduksi......................
50
4. Aktifitas Orangutan Selama di Rehabilitasi ............................
51
4.1 Aktifitas makan ...............................................................
51
4.2 Aktifitas minum ..............................................................
51
4.3 Aktifitas bergelayut dan memanjat ..................................
51
4.4 Aktifitas bermain.............................................................
52
4.5 Aktifitas istirahat dan tidur ..............................................
52
4.6 Aktifitas membuat sarang ................................................
52
4.7 Aktifitas berjalan.............................................................
52
A.2 Manajemen Pengangkutan Orangutan Dari Karantina Ke Lokasi Reintroduksi...............................................................................
52
1. Tahapan Persiapan Pengangkutan........................................
53
1.1 Kandang Angkut ..........................................................
53
1.2 Jenis Alat Angkut..........................................................
53
1.3 Prosedur Pemindahan dari Kandang Sosialisasi ke Kandang
2.
Transport.......................................................................
54
1.4 Prosedur Pengangkutan.................................................
54
1.5 Biaya Pengangkutan.....................................................
56
Tahapan Pengangkutan ........................................................
56
2.1 Jumlah Orangutan Yang Diangkut................................
57
2.2 Tindakan Selama Pengangkutan ...................................
57
2.3 Permasalahan Dalam Pengangkutan .............................
58
A.3 Manajemen Orangutan di Stasiun Reintroduksi (Adaptasi) Sebelum Dilepaskan ke Alam ..................................................................
58
1. Latar Belakang dan Syarat Pemilihan Areal Reintroduksi......
58
2. Kondisi dan Potensi Habitat ...................................................
59
3. Sistim Pemeliharaan Orangutan di Stasiun Adaptasi...............
61
3.1 Kandang adaptasi ............................................................
61
3.2 Pemberian pakan .............................................................
62
3.3 Pembersihan kandang pemeliharaan ................................
62
A.4 Manajemen Pelepasan Orangutan ke Alam.................................
62
1. Waktu pelepasan ....................................................................
62
2. Proses pelepasan ....................................................................
63
3. Pemantauan (Monitoring).......................................................
64
4. Identifikasi jenis – jenis tumbuhan yang dimakan orangutan ..
65
5. Upaya perlindungan terhadap orangutan yang sudah diliarkan
66
B.
Kriteria Penilaian dalam Penentuan Tingkat Keberhasilan Reintroduksi Orangutan Sumatera .............................................
67
B.1 Kriteria penilaian tingkat keberhasilan reintroduksi...................
67
B.2 Evaluasi tingkat survival orangutan sumatera B.2.1 Evaluasi terhadap 8 individu yang diikuti secara rutin ....
69
B.2.2 Evaluasi terhadap tingkat survival keseluruhan orangutan sumatera yang sudah diliarkan........................................
74
C.
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Reintroduksi Orangutan Sumatera .................................................................
75
VI. SIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
78
A. Simpulan......................................................................................
78
B. Saran............................................................................................
78
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................
79
LAMPIRAN ...........................................................................................
81
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Peta penyebaran orangutan sumatera ..................................................
8
2. Peta habitat orangutan sumatera .........................................................
10
3. Peta lokasi reintroduksi orangutan sumatera .......................................
28
4. Kerangka Tahapan Proses Reintroduksi Orangutan Sumatera .............
39
5. Grafik persentase aktifitas makan orangutan di alam ..........................
69
6. Grafik komposisi jenis tumbuhan yang dimakan orangutan di alam...
70
7. Grafik persentase aktifitas bergerak orangutan di alam .......................
71
8. Grafik persentase aktifitas istirahat orangutan di alam ........................
72
9. Grafik perbandingan aktifitas makan, aktifitas bergerak dan aktifitas istirahat orangutan di alam .................................................................
73
DAFTAR TABEL Halaman 1. Data iklim di areal studi .....................................................................
29
2. Data individu orangutan yang diamati ................................................
33
3. Ruang lingkup pengamatan parameter tahapan pra - reintroduksi .......
34
4. Ruang lingkup pengamatan parameter tahapan reintroduksi ...............
35
5. Ruang lingkup pengamatan paramerter tahapan pasca reintroduiksi....
35
6. Daftar jenis dan jumlah obat sesuai dengan berat badan orangutan .....
51
7. Surat dan dokumentasi pengangkutan.................................................
55
8. Jumlah orangutan yang diangkut dalam setiap proses pengangkutan...
57
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Struktur vegetasi hutan di sekitar Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera ............................................................................................
81
2. Jenis – jenis satwa yang ditemukan di Lokasi Reintroduksi Orangutan Sumatera ............................................................................................
82
3. Tally sheet pengamatan aktifitas harian orangutan..............................
85
4. Daftar pertanyaan kepada pengelola ...................................................
86
5. Daftar Orangutan yang masuk ke Stasiun Karantina Orangutan Batumbelin – Sibolangit.....................................................................
88
6. Komposisi jenis pohon di kelompok hutan sungai Mangatal Bukit Tigapuluh...........................................................................................
91
7. Komposisi jenis pohon di kelompok hutan sungai Pekundangan Bukit Tigapuluh...........................................................................................
95
8. Daftar individu orangutan yang masuk ke Stasiun Reintroduksi Muara Tebo – Jambi......................................................................................
99
9. Jenis – jenis tanaman hutan yang dimakan orangutan di lokasi reintroduksi........................................................................................
101
10. Evaluasi terhadap tingkat survival orangutan di Jambi........................
105
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman jenis primata yang tinggi, salah satunya adalah orangutan (Pongo pygmaeus). Orangutan merupakan salah satu primata yang kini paling terancam di dunia. International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan status orangutan sebagai endangered species atau jenis dalam keadaan genting. Pada tahun 1993, diperkirakan jumlah orangutan Indonesia dan Malaysia telah menurun 30 – 50 % dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sementara habitatnya telah menyusut sebanyak
80 % dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (Primack et al., 1998).
Indonesia memiliki dua subspesies orangutan yaitu orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Berdasarkan data yang ada beserta konsensus yang dikembangkan oleh para ahli diduga bahwa di pulau Kalimantan terdapat 19.000 – 30.000 orangutan (P.p pygmaeus ), sementara konspesifik orangutan di Sumatera ( P.p abelii ) berjumlah antara 7.000 sampai 11.000 individu (Tilson et al., 1993 dalam Primack et al., 1998 ). Namun berdasarkan data terakhir, populasi orangutan sumatera berkisar 7334 individu (Pre – PHVA Meeting, Jakarta 13 – 15 Agustus 2003). Bila dibandingkan antara kedua subspesies ini, maka subspesies orangutan sumatera lebih terancam kepunahannya dibandingkan subspesies orangutan kalimantan. Di
Sumatera,
permasalahan
yang
dihadapi
orangutan
adalah
penyebarannya yang sangat terbatas dan populasinya yang menurun dengan cepat karena habitatnya banyak dirusak. Habitat yang hilang bagi orangutan sumatera lebih dari 64 % atau dari 89.000 km2 menjadi 2.000 km2
(Supriatna,
2000). Selain rusaknya habitat, laju kepunahan orangutan yang tinggi juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan di habitat alaminya. Perburuan yang tinggi ini disebabkan banyaknya permintaan orangutan karena semakin banyaknya orang yang memiliki hobi memelihara satwa langka khususnya orangutan. Apabila tidak ada usaha mencegah maka dalam waktu yang tidak lama
orangutan akan punah. Untuk mengatasi hal tersebut sudah banyak usaha yang dilakukan dalam rangka menyelamatkan orangutan dari kepunahan. Usaha penyelamatan orangutan yang dilakukan selama ini adalah rehabilitasi. Tujuan awal dari rehabilitasi adalah untuk menyiapkan seekor orangutan yang pernah ditangkap memiliki mental dan fisik untuk hidup dalam kondisi liar dan tidak tergantung pada pemeliharaan manusia namun yang terjadi adalah kontak dengan pengunjung secara teratur dan pemberian makanan secara manual membuat tujuan ini tidak mungkin dicapai (Meijaard et al., 2001). Sebagai
gantinya
dikembangkan
suatu
rancangan
baru
dalam
rangka
penyelamatan orangutan yaitu reintroduksi. Konsep dari reintroduksi ini adalah orangutan yang disita dikumpulkan dalam fasilitas karantina terpisah selama tidak lebih dari enam bulan untuk direhabilitasi, termasuk sosialisasi setelah karantina selesai. Orangutan rehabilitan dilepas dalam kelompok yang dipilih secara hati – hati, dalam habitat yang cocok dimana tidak terdapat orangutan liar ; setelah dilepaskan kelompok ini diberi makan setiap hari selama diperlukan (Meijaard et al., 2001). Selama di karantina pola perilaku dan tingkat kesehatan orangutan harus benar – benar diperhatikan. Tujuannya ialah ketika orangutan dilepaskan ke habitat alaminya, orangutan dapat bertahan hidup sehingga populasinya dapat bertahan bahkan bertambah. Upaya reintroduksi ini sudah dilakukan mulai tahun 2002 sampai sekarang yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Sumatran Orang Utan Conservation Programm ( SOCP ) dan Frankfurt Zoological Society ( FZS ). Bila usaha reintroduksi ini berhasil maka kepunahan orangutan dapat kita cegah. Tetapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah belum diketahuinya tingkat keberhasilan pelaksanaan reintroduksi ini, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai reintroduksi orangutan sumatera.
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ialah : 1. Untuk mengetahui tahapan kegiatan reintroduksi orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii). 2. Untuk mengetahui kegiatan pemantauan dan penilaian pasca reintroduksi dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan reintroduksi orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelii) 3. Mempelajari kriteria dalam penentuan tingkat keberhasilan reintroduksi
C. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini ialah dapat memberikan informasi mengenai tahapan pelaksanaan reintroduksi satwa
khususnya orangutan sumatera
(Pongo pygmaeus abelii) ke habitat alami dalam rangka mendukung usaha konservasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioekologi Orangutan 1. Klasifikasi Primata pada awalnya dibagi secara sederhana ke dalam tiga kelompok besar yaitu Lemur, Kera dan Monyet. Dalam perkembangannya kebutuhan untuk mendiskripsikan secara tepat bangsa primata ini membutuhkan semacam metode pengklasifikasian yang lebih rumit (Sanderson, 1957 dalam Sujarno, 2000). Orangutan termasuk ke dalam anggota primata dan merupakan salah satu jenis kera besar yang masih hidup sampai saat ini. Kegiatan pengklasifikasian yang didasarkan pada perbandingan anatomi dan imunologi memberikan petunjuk bahwa orangutan bersama-sama dengan dua kera besar lainnya yaitu simpanse dan gorila merupakan kerabat bangsa manusia yang paling dekat dalam dunia hewan (Napier dan Napier, 1985 dalam Sujarno, 2000). Perkataan orangutan berasal dari bahasa melayu yang berarti manusia yang hidup di dalam hutan (Galdikas, 1984 dalam Sujarno 2000). Penggunaan istilah orangutan dalam bahasa ilmiah pertama kali dilakukan oleh Tulp pada tahun 1941 dan disusul Poirier pada tahun 1964. Linnaeus pada tahun 1760 memberi nama orangutan dengan nama Pongo pygmaeus. Selanjutnya orangutan (Pongo pygmaeus) dibagi ke dalam dua subspesies yaitu orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Dalam perkembangan terakhir, kedua orangutan dinyatakan berbeda subspesies (Chemnick dan Ryder, 1994 dalam Sujarno 2000). Klasifikasi orangutan menurut E. Poirier (1964) dalam Groves (1972) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Subkingdom : Metazoa Pylum
: Chordata
Subpylum
: Vertebrata
Klas
: Mamalia
Ordo
: Primata
Subordo
: Primata
Famili
: Pongidae
Genus
: Pongo
Spesies
: Pongo pygmaeus Linnaeus
Subspesies : Pongo pygmaeus abelii Lesson, 1827 Pongo pygmaeus pygmaeus Linnaeus, 1760 2. Morfologi Secara morfologi, orangutan sumatera dan kalimantan sangat serupa sekalipun individu kedua subspecies ini kerapkali dapat dibedakan dengan dasar warna bulunya (Napier dan Napier, 1967). Orangutan sumatera (Pongo pigmaeus abelii) biasanya berwarna lebih pucat khasnya “ginger”(jahe). Perbedaan ini bukannya sifat yang mantap tetapi dapat digunakan sebagai penuntun kasar. Orangutan sumatera kadang-kadang mempunyai bulu putih pada mukanya. Bulu orangutan sumatera biasanya lebih lembut dan lemas, sedang bulu orangutan kalimantan kasar dan jarang-jarang. Selain itu ukuran tubuh orangutan sumatera lebih besar dari orangutan kalimantan. Menurut Supriatna (2000), rambut orangutan sumatera lebih terang bila dibandingkan orangutan kalimantan. Warna rambut coklat kekuningan, dan umumnya rambut agak tebal atau panjang. Seperti halnya orangutan kalimantan, anak yang baru lahir mempunyai kulit muka dan tubuh berwarna pucat, dan rambutnya coklat sangat muda. Menginjak dewasa warnanya akan berubah sesuai dengan perkembangan umur. Jantan dewasa ukuran tubuhnya dua kali lebih besar daripada betina yaitu sekitar 125-150 cm. Berat tubuh jantan di alam berkisar antara 50-90 kg, sedangkan orangutan peliharaan dapat mencapai 150- an kg. Berat tubuh betina pada orang utan liar berkisar antara 30-50 kg, dan dapat mencapai 70-an kg. Pada jantan mempunyai kantong suara, yang berfungsi mengeluarkan seruan panjang.
Perbedaan bentuk morfologi dan perilaku orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii) berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin menurut Rijksen (1978) sebagai berikut : a. Bayi (infant). Umur 0 – 2,5 tahun dengan berat antara 2 – 6 kg. Bayi orangutan memiliki warna bulu yang terang pada sekitar matanya sedangkan bagian mulut dan muka memiliki warna yang gelap. Memiliki bulu yang panjang di sekitar muka. Bayi orangutan selalu digendong oleh induknya dan bergantung sepenuhnya kepada induknya untuk makan. Bayi orangutan tidur di sarang bersama dengan induknya. b. Anak (juvenile). Umur 2,5 – 5 tahun dengan berat antara 6 – 15 kg. Warna bulu anak orangutan tidak jauh berbeda dengan bayi orangutan. Anak orangutan masih bergantung kepada induknya tetapi sudah mampu mencari makanan sendiri. Anak orangutan suka bermain sendiri atau bersama dengan anak orangutan lainnya. Awalnya anak orangutan masih tidur bersama dengan induknya tetapi setelah itu anak orangutan sudah bisa membuat sarangnya sendiri, dimana sarangnya dibangun dekat dengan sarang induknya. c. Remaja (adolescent). Umur 5 – 8 tahun dengan berat antara 15 – 30 kg. Orangutan remaja masih memiliki bulu yang panjang di sekitar mukanya. Awalnya wajah orangutan remaja memiliki warna yang terang tetapi kemudian akan berubah menjadi lebih gelap, pada masa remaja ini sangat sulit untuk membedakan orangutan jantan dan betina. Perilaku seksual orangutan sudah mulai kelihatan, senang bermain dengan orangutan remaja lainnya dan sudah
melakukan pergerakan dari satu tempat ke tempat lainnya secara
berkelompok. d. Jantan setengah dewasa (subadult male). Umur 8 – 13/15 tahun dengan berat antara 30 – 50 kg. Warna wajah orangutan sudah gelap. Janggut sudah mulai tumbuh dan bulu di sekitar muka tidak panjang lagi. Pada kelas umur ini, alat kelamin sudah lengkap, sudah dewasa secara seksual, dan selalu menghindari perjumpaan dengan orangutan jantan dewasa.
e. Betina dewasa (adult female). Umur 8+ tahun dengan berat antara 30 – 50 kg. Orangutan betina dewasa sudah memiliki janggut dan sangat sulit membedakannya dengan orangutan betina setengah dewasa . Orangutan betina dewasa biasanya selalu diikuti oleh anak – anaknya. f. Jantan dewasa (adult male). Umur 13/15+ tahun dengan berat antara 50–90 kg. Orangutan jantan dewasa memiliki ukuran tubuh sangat besar, memiliki bantalan pipi, kantung leher, berjanggut dan memiliki bulu yang panjang dan lebat, hidup soliter dan sering mengeluarkan seruan panjang (long call) (Mackkinnon, 1971 ).
B.
Penyebaran Orangutan Sumatera Menurut publikasi pada tahun 1930-an, ada pendapat umum bahwa kisaran
distribusi orangutan tipe Sumatera di pulau ini terbatas di utara khatulistiwa, atau di utara Danau Toba, dan terutama di Suaka Margasatwa G. Leuser. Saat ini populasi telah terpecah menjadi empat subpopulasi utama : (1) subpopulasi di dekat Aceh, di sebelah barat S. Alas dan S.Wampu; (2) subpopulasi di hutan lindung Dolok Sembelin dan Batu Ardan di Kabupaten Dairi dan kawasan hutan yang bersambungan di sebelah timur S. Alas, membentang disepanjang kaki-kaki bukit pesisir barat dan menurus sampai ke pantai Sibolga; (3) subpopulasi Tapanuli bagian tenggara diantara S.Asahan dan S. Barumun, dan (4) subpopulasi di Anggolia, Angkola, dan Pasaman, semuanya di sepanjang bagian barat kaki Bukit Barisan, dari hilir S. Batang Toru membentang ke arah selatan diantara Padang Sindempuan dan daerah sekitar Pariaman di Propinsi Sumatera Barat, sekitar 50 km di sebelah utara Padang ( Meijaard et al., 2001). Menurut Supriatna (2000), orangutan Sumatera terbatas sebarannya, hanya dapat dijumpai di Sumatera bagian utara sampai ke Aceh. Dari hasil survei terbaru, orangutan sumatera diperkirakan ada di Sumatera Barat dan Riau bagian utara dan sampai ke daerah hutan di Aceh Utara (Gambar 1)
C. Habitat Orangutan Berdasarkan luas distribusi disimpulkan orangutan dapat beradaptasi pada berbagai
tipe
primer
dari
hutan
rawa,
hutan
dataran
rendah/hutan
Dipterocarpaceae sampai ke hutan pegunungan dengan batas ketinggian 1800 m dpl (Rijksen, 1978). Orangutan terutama hidup di dataran rendah, dan kepadatan tertinggi terdapat diantara ketinggian permukaan laut sampai sekitar 200-400 m (Payne 1988 ; van Schailk dan Azwar 1991). Namun di Sumatera, orangutan kadang ditemukan di lereng gunung pada ketinggian lebih dari 1500 m (Gambar 2).
Gambar 1. Peta penyebaran orangutan sumatera.
Berdasarkan tinjauan pustaka yang tersedia, dan dari data survei orangutan dari berbagai lokasi di Sumatera dan Kalimantan, orangutan diketahui lebih umum terdapat di dekat sungai-sungai kecil atau besar dan di dekat rawa-rawa: kepadatan tertinggi terdapat di petak-petak hutan (alluvial) kecil di lembahlembah sungai, dan di hutan-hutan gambut (pasang surut) di dekat rawa-rawa, atau di antara sungai-sungai. Kecil sekali kemungkinan seseorang dapat menjumpai orangutan pada jarak yang lebih jauh dari 10-15 km dari anak sungai atau rawa yang perairannya terbuka. Alasan utama orangutan lebih menyukai lingkungan ini hampir pasti karena di dekat sungai lebih banyak pohon buah yang disukai, tetapi mungkin juga karena sungai-sungai besar dan kecil merupakan tanda-tanda geografis yang terbaik untuk mengetahui arah keberadaannya. Berdasarkan hasil penelitian Rijksen (1978) di Ketambe bahwa karakteristik habitat orangutan di daerah tersebut adalah tidak adanya dominasi dari satu jenis pohon atau vegetasi. Stratifikasi hutan terutama terdiri dari strata B atau C, dan pada lantai hutan terutama ditumbuhi herba. Menurut Meijaard et al (2001), habitat yang optimal bagi orangutan paling sedikit mencakup dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang berdekatan. Tepi sungai mungkin berupa dataran banjir, rawa atau lemah alluvial, dataran tinggi biasanya adalah kaki bukit. Kedua tipe habitat ini tentunya harus cukup luas, dan dalam jarak yang dapat dijangkau, yaitu kurang dari 5 km. Habitat orangutan yang baik biasanya berupa mosaik petak-petak hutan kecil dengan tingkat tumbuhan berkayu yang berbeda, beberapa diantaranya mempunyai kerapatan jenis pohon buah yang sangat tinggi ( > 20 % dari semua pohon).
Gambar 2. Peta habitat orangutan sumatera.
D. Perilaku Orangutan 1. Aktifitas Harian Orangutan merupakan satwa arboreal. Di pohon pergerakkannya dilakukan dengan bergantungan dari satu dahan ke dahan yang lain. Pada saat di dahan mereka bergerak dengan menggunakan ke empat anggota tubuhnya. Jarang sekali turun ke tanah , hanya pada saat memakan rayap, mereka sering turun ke lantai hutan. Daerah jelajah orangutan sumatera antara 200 – 1000 ha, dan jelajah harian berkisar antara 800 – 1200 m. Di sore hari menjelang tidur, selalu membuat sarang untuk tidur. Bagi induk yang diikuti anaknya, anaknya biasanya belajar membuat sarang sendiri dalam satu pohon dengan induknya. Namun bila malam tiba, ikut bergabung dengan induknya (Supriatna, 2000). Aktifitas harian orangutan dipengaruh oleh musim buah. Pada saat tidak musim buah, orangutan menghabiskan waktunya untuk berjalan dan waktu untuk makan hanya sedikit (Mackkinnon, 1974 dalam Rijksen 1978). MacKinnon juga menemukan perbedaan pola aktifitas harian orangutan sumatera pada saat hari kering dan hari basah. Pada saat hari kering waktunya lebih banyak dihabiskan untuk beristirahat daripada aktifitas makan dan berjalan. Pada saat hari kering orangutan menghabiskan waktunya untuk istirahat sampai tengah hari. Lebih dari 47 % aktivitas harian orangutan adalah makan, 40 % untuk istirahat, 12 % untuk aktivitas menjelajah dan sisanya untuk aktivitas sosial dan kegiatan lainnya. Segera setelah mereka meninggalkan sarang tidur, dini hari, orangutan bergerak menuju pohon pakan terdekat. Dalam sehari orangutan menjelajah 0,5 – 2 km. Dalam melakukan pergerakan orangutan menggunakan keempat anggota badannya. Kakinya mampu berfungsi sebagai tangan, terutama ketika melakukan gerakan quadrumanous scrambling, branchiate. Bentuk pergerakan orangutan dibedakan atas quadrumanous scrambling, branchiate, quadrupedal/walking tree sway dan climbing (Rijksen, 1978) Bentuk quadrumanous scrambling menempati 50 % dari waktu jelajahnya. Orangutan hampir tidak pernah turun ke tanah. Mereka menggunakan lapisan antara 15 – 25 m di atas tanah (hampir 70 % dari waktunya), 20 % dari waktunya menggunakan lapisan 25 m keatas dan kurang 10 % dibawah ketinggian 15 m. Sistim komunikasi orangutan berlangsung dengan menggunakan suara (vocal
communication) dan pergerakan atau perbuatan (attractive communication). Dengan kehadiran manusia, orangutan banyak membuat bunyi dan reaksi lain, seperti bunyi kecupan “ kiss hot “ dan “ kiss squeak “, merengut dengan wajah menyelidik, menjerit, menggoncang-goncangkan serta banyak mematahkan dahan – dahan dan melemparkannya ke arah manusia. Reaksi ini terjadi juga bila ada gangguan dari makhluk lain selain manusia. (Djojosudharmo, 1978 dan Sinaga, 1992 dalam Pardede 2000) Orangutan liar minimal sekali dalam sehari membuat sarang untuk tidur. Orangutan selalu menempatkan sarang di pinggir sungai pada ketinggian 20 – 40 m di atas tanah. Beberapa jenis pohon tempat tidur orangutan antara lain damar laut (Shorea materialis), kayu kuning (Eugenia sp), kayu merah (Eugenia sp), keranji (Dialium platysepalum), semantok (Shorea multiflora), baja barus (Rhodamnia sp ), kecing batu (Quercus spicata) dan ponggas (Mangifera sp ). Pada umumnya pola aktifitas harian orangutan sumatera dibedakan menjadi dua. Aktifitas di pagi hari, dua jam sampai tiga jam setelah orangutan meninggalkan sarang tempat tidurnya dan aktifitas sore hari sekitar pukul tiga sore. Aktifitas makan lebih banyak dilakukan di pagi hari, aktifitas berjalan lebih banyak dilakukan pada sore hari dan aktifitas beristirahat lebih banyak dihabiskan pada tengah hari (Rijksen 1978). Dari ketiga aktifitas harian ini, aktifitas yang paling mendominasi adalah aktifitas makan 45,9 %, sedangkan aktifitas istirahat sebesar 39,2 % (Rodman ,1977 dalam Maple, 1980 dalam Sujarno, 2000). 2. Perilaku Makan Aktifitas makan ialah waktu yang dipakai seekor orangutan untuk menggapai, mengolah, mengekstraksi, memegang-megang, mengunyah dan menelan makanan pada satu sumber makanan. Dalam hal memakan rayap, waktu ini meliputi saat-saat seekor orangutan menggali tanah dengan merobek-robek bagian luarnya. Pergerakan di dalam sumber makanan juga dihitung. Pakan orangutan sumatera sangat bervariasi. Mereka memakan berbagai bagian dari tumbuhan , seperti daun muda, bunga, buah dan biji, kambium dan beberapa tumbuhan dihisap getahnya. Selain itu orangutan sumatera juga mengkonsumsi beberapa jenis serangga atau telur burung. Orangutan sumatera memakan lebih dari 200 jenis tumbuhan yang berbeda (Supriatna , 2000).
Makanan pokok orangutan adalah buah. Berdasarkan data yang ada, komposisi persentase waktu makan dan jenis makanan orangutan adalah buah (60 %), daun (25 %), kulit batang (15 %), serangga (10 %) dan lain-lain (2 %). Orangutan sangat menyukai madu. Untuk melindungi mukanya dari serangan lebah
orangutan mengambil ranting berdaun untuk menutup mukanya.
Kesimpulannya, orangutan adalah satwa tipe pengumpul atau pencari makanan yang oportunis yaitu memakan apa saja yang dapat diperolehnya. Dari hasil penelitian di wilayah Ketambe, orangutan sumatera memakan 92 macam buah, 13 macam daun, 22 macam tanaman contohnya anggrek, 2 jenis akar tanaman dan 2 jenis jamur epifit serta 17 jenis serangga dan telur burung. Di dalam melakukan aktivitas makannya, orangutan umumnya memilih jenis pakan yang paling disukainya. Pada saat musim buah, orangutan dapat dengan leluasa memilih pakan yang disukainya. Tetapi pada saat tidak musim buah orangutan memakan apa saja yang dijumpainya (Meijaard et al., 2001). 3. Perilaku Bersarang Orangutan membangun paling tidak satu sarang perhari untuk beristirahat dan tidur di malam hari (Maple, 1980 dalam Sujarno 2000), atau 1,8 sarang per hari berdasarkan perhitungan Rijksen (1978) dengan sebaran 0-6. Umur satwa juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku bersarang. Rijksen (1978) mengemukakan bahwa orangutan muda cenderung membangun sarang dalam jumlah banyak atau bermain sarang setiap hari. Di samping itu sarang juga berfungsi sebagai tempat untuk kawin, melahirkan anak, mengasuh anak sampai siap disapih (Galdikas, 1984 dalam Sujarno, 2000). Dalam
membangun
sarangnya,
orangutan
memilih
tempat
yang
menguntungkan dengan mempertimbangkan letak pohon berbuah terdekat dan topografi daerah sehingga tempat bersarang terdistribusi secara acak. Orangutan mencari lokasi bersarang pada tempat-tempat yang dikenalinya, baik untuk digunakan sendiri maupun untuk bersama-sama, dengan mempertimbangkan hubungan antara posisi sarang dan keuntungan yang diperoleh (Mackkinnon, 1974). Umumnya orangutan membangun sarang pada tempat-tempat yang dapat memberikan pandangan lebih luas ke sebagian besar areal hutan (Rijksen, 1978).
Menurut Mackkinnon (1974), konsentrasi sarang terutama berada pada punggung bukit sebelah barat. Posisi ini dipilih untuk menghindari panas matahari, sebagai pelindung dari angin malam, dan memperluas jangkauan pandangan. Faktor penentu lainnya adalah keberadaan sarang-sarang orangutan lainnya (Rijksen, 1978). Tinggi sarang bergantung pada struktur hutan pada tempat tertentu, dan umumnya berkisar antara 13-15 meter (Rijksen, 1978) Kegiatan pembuatan sarang membutuhkan waktu sekitar 2 – 3 menit. Tahapan dalam pembuatan sarang diterangkan oleh Rijksen (1978) dalam sebagai berikut : a. Rimming (Melingkarkan). Dahan dilekukkan secara horizontal untuk membentuk lingkaran sarang dan ditahan dengan cara melekukkan dahan lain. b. Hanging (Menggantung). Dahan dilekukkan masuk ke dalam sarang untuk membentuk mangkuk sarang c. Pillaring (Menopang). Dahan dilekukkan ke bawah sarang untuk menopang lingkaran sarang dan memberikan kekuatan ekstra. d. Loose (Melepaskan). Beberapa dahan diputuskan dari pohon dan diletakkan ke dalam dasar sarang sebagai alas atau di atas sarang sebagai atap. Patahan dahan diperoleh dari vegetasi yang ada disekitarnya, bahkan sampai 15 meter jaraknya dari tempat bersarang. Lama bertahan (relative permanent) sarang bervariasi, paling tidak berdasarkan variabel – variabel yang dikemukakan oleh Rijksen (1978) yaitu teknik konstruksi, berat dan ukuran orangutan, suasana hati (mood) saat membangun sarang, lokasi dan karakteristik pohon, cuaca, kemungkinan dihancurkan oleh orangutan atau kera lain saat mencari serangga. Sarang orangutan tetap terlihat 2,5 bulan dengan variasi antara dua minggu sampai satu tahun (Rijksen, 1978). Orangutan berada di sarang untuk tidur di malam hari antara jam 18.00 – 19.00 dan meninggalkan sarang pada pukul 05.45 (Michael dan Crook, 1973 dalam Sujarno 2000). Orangutan cenderung akan tidur lebih awal pada cuaca yang buruk (Mackkinnon, 1974).
E. Sistim Pemeliharaan Untuk memelihara satwa primata tidak semudah memelihara satwa lainnya. Satwa ini memerlukan penanganan yang khusus karena satwa ini mudah menularkan penyakitnya kepada manusia dan timbal balik, manusia menularkan penyakitnya kepada orangutan. Pada dasarnya sistim pengandangan primata dibagi atas dua bagian (Bismark,1984) yakni : 1. Sistem pengandangan dalam bangunan yang tertutup (indoor enclosures). Pada sistem ini, satwa ditempatkan dalam bangunan yang tertutup, sehingga sama sekali tidak terpengaruh cuaca dan lingkungan luar. Udara yang disedot masuk dan keluar ruangan harus menggunakan sistem tertentu, dengan demikian dapat membatasi bibit penyakit yang akan membahayakan hewan dan manusia. Sistim tertutup ini diperlengkapi dengan air-conditioning dan heater untuk menjaga agar temperatur tidak berfluktuasi terlalu banyak . Selain itu ruangan dilengkapi dengan alat pengatur kelembaban udara. Kelembaban udara yang dianjurkan adalah 40 – 70 % dengan fluktuasi seminim mungkin. Temperatur dan kelembaban udara yang tidak terlalu besar fluktuasinya sangat diperlukan untuk memperkecil terjadinya penyakit pernafasan dan pencernaan yang disebabkan stres. Sistim tertutup ini biasanya digunakan untuk mengkarantinakan satwa primata dan juga dalam berbagai macam riset yang mensyaratkan satwa tersebut dikandangkan secara individual atau berkelompok, dimana tidak terdapat kemungkinan kontaminasi dari luar atau sebaliknya satwa menularkan penyakit ke luar. Sistim tertutup ini dibagi atas dua bagian : a.
Sistim kandang satu persatu (individual cage) Pada sisitim ini satwa dikandangkan satu persatu. Ukuran kandang yang
dipergunakan disesuaikan dengan berat badan satwa. b. Sistim kelompok (gang cage) Dalam sistim ini, satwa ditempatkan dalam satu kandang yang cukup besar dan dapat menampung cukup satwa. Sistim ini sudah tidak dipakai lagi untuk satwa yang belum lepas karantina. Pada umumnya sistim ini sekarang dipakai untuk percobaan reproduksi, uji obat atau tingkah laku.
2. Sistim pengandangan dalam alam terbuka (outdoor enclosures) Tujuan sistim pengandangan ini ialah agar satwa ditempatkan pada satu bangunan/kandang di udara terbuka. Sistim ini biasanya dipakai untuk mengembangbiakkan satwa tersebut. Secara lebih terperinci sistim ini dibagi atas lima bagian, yaitu a. Sistim setengah tertutup (semi closed) Satwa ditempatkan dalam satu kandang yang setengah terbuka. Udara dapat keluar masuk dengan bebas. Sinar mataharipun dapat masuk ke dalam ruangan ini. Apabila cuaca buruk maka satwa dapat berlindung pada bagian yang tertutup. b. Sistim terbuka dengan disediakan tempat berteduh (Open corral with rainshed) Pada sistem ini, satwa ditempatkan dalam suatu daerah yang luas (minimum 2,5 acre) tanpa adanya penghalang yang permanen. Di dalam kandang hanya dibuatkan beberapa panggung dan tonggak kayu untuk satwa berlindung dari hujan, terik matahari dan untuk bermain-main. c. Sistim terbuka setengah bebas (semi free ranging) Pada prinsipnya sama dengan sistim terbuka tetapi arealnya lebih luas. Makanan sepenuhnya tergantung pada manusia. d. Sistim terbuka setengah alam (semi natural free ranging) Pada sistim ini satwa ditempatkan pada daerah yang luas dimana makanan dari satwa sebagian didapat dari alam. e. Sistim pemeliharaan di alam bebas ( natural free ranging ) Pada sistim ini satwa dilepaskan di alam bebas dimana ketergantungan satwa pada manusia sama sekali tidak ada. Seluruh makanan berasal dari alam bebas. Manusia hanya memonitor pertumbuhan populasi tersebut dan akan mengurangi jumlahnya apabila populasinya dianggap sudah terlalu padat.
F.
Konservasi Orangutan Perusakan habitat dan perburuan liar merupakan ancaman serius bagi
kelestarian orangutan di habitat aslinya. Gatra (Mei 2004) menyebutkan seorang pedagang satwa illegal di Semarang mampu mendatangkan setiap bulannya 20 ekor orangutan. Ini menunjukkan bagaimana terancamnya kehidupan orangutan.
Ancaman terhadap kelangsungan hidup spesies ini diakui ditingkat nasional dan internasional. Di Sumatera, masalah konservasi orangutan adalah penyebarannya yang sangat terbatas dan populasinya yang menurun dengan cepat dikarenakan habitatnya banyak yang dirusak. Habitat yang hilang bagi orangutan lebih dari 64 % atau dari 89.000 km2 menjadi 23.000 km2.
Jumlah populasi saat ini
diperkirakan anatara 3000 – 5000 ekor saja (Supriatna, 2000). Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan lindung yang menjadi habitat utama orangutan sumatera. Semenjak tahun 1931, orangutan sudah dilindungi undangundang, berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 No. 233 dan kemudian terbit SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts – II/1991 dan Undang – undang No. 5 tahun 1990. IUCN memasukkan status orangutan sebagai Endangered Species atau jenis dalam keadaan genting dan Konvensi Perdagangan Internasional bagi Spesies Langka (CITES) telah melarang perdagangan orangutan dan memasukkan spesies ini de dalam daftar Appendix I pada tahun 1975. Dalam upaya penyelamatan orangutan semenjak tahun 1960 – an telah dilakukan rehabilitasi program orangutan dengan tujuan utama untuk penambahan (restocking) populasi serta meningkatkan kualitas hidup orangutan. Rehabilitasi dilakukan di daerah sebaran orangutan kalimantan, yaitu Bako (Sarawak Selatan), Sepilok (Sabah) dan Tanjung Puting (Kalteng, Indonesia). Pada tahun 1970 – an di Sumatera ditetapkan Stasiun Ketambe dan Bahorok. Semenjak tahun 1980 – an di Sumatera telah diupayakan pengembalian ke alam sebanyak 180 individu, sementara upaya serupa di Tanjung Puting melibatkan 70 ekor (Primack et al., 1998)). Saat ini, di Sumatera Utara sedang dilaksanakan kampanye penyelamatan orangutan Sumatra yang dilakukan oleh LSM yang peduli dengan kelangsungan hidup orangutan Sumatera bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Upaya yang dilakukan ialah penyitaan orangutan yang dipelihara oleh masyarakat. Orangutan yang disita tersebut ditempatkan dan dirawat di dalam karantina yang berlokasi di desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang, Propinsi Sumatera Utara. Di karantina ini orangutan dirawat sekitar 3 – 4 bulan sebelum dilepas ke habitat alaminya yang terletak di daerah Jambi Dalam pelaksanaannya, orangutan di rehabilitasi dengan prosedur
berikut. Ketika tiba di lokasi pelepasan, satwa dimasukkan ke dalam kandang karantina dan dilakukan perawatan kesehatan. Kemudian orangutan dilepas agar memperoleh kesempatan belajar mencari pakan secara mandiri, dan belajar bersosialisasi secara alami. Walaupun pada awalnya disediakan pakan di lokasi rehabilitasi namun bagi individu – individu yang telah menunjukkan kemajuan, penyediaan pakan oleh manusia akan dikurangi secara bertahap (Primack et al., 1998) Pada saat ini program rehabilitasi menghadapi berbagai kendala. Termasuk di dalamnya resiko penularan penyakit (dari satwa yang dilepas ke populasi alami) dan karena manusia telah sering berinteraksi dengan satwa peliharaan, maka terdapat pula resiko penularan penyakit manusia melalui satwa peliharaan ke populasi alami. Selain itu, biaya rehabilitasi orangutan sangat tinggi dan bila prosedur yang disarankan para ahli akan diterapkan secara memadai pada tahun 1991, maka diperkirakan biaya rehabilitasi orangutan mencapai $ 1.200 AS per satwa untuk upaya 6 bulan. Kendala yang paling berat adalah tingkat keberhasilan pelepasan tidak diketahui (Sugardjito dan Edi Hendras dalam Primack et al., 1998). Data yang ada dari Kalimantan
menunjukkan bahwa satwa lepasan
mengalami tingkat mortalitas yang tinggi setelah pelepasan, baik orangutan tersebut dari generasi pertama (satwa yang lahir di alam namun sempat dipelihara oleh manusia), maupun generasi kedua (satwa yang lahir di pusat – pusat rehabilitasi). Tingkat mortalitas yang tinggi ini disebabkan oleh penularan penyakit (dari satwa yang dilepas ke populasi alami) dan karena manusia telah sering berinteraksi dengan satwa peliharaan, maka terdapat pula resiko penularan penyakit manusia melalui satwa peliharaan ke populasi alami (Carrey Yeager dalam Primack et al., 1998 ). Selain upaya rehabilitasi, upaya penegakan hukum yang tegas dan konsisten juga perlu dilaksanakan dalam rangka penyelamatan orangutan. G.
Translokasi : Introduksi dan Reintroduksi Translokasi adalah pemindahan sekelompok atau seluruh populasi dari satu
tempat ke tempat lain yang lebih pantas dan cocok. Translokasi merupakan “ teknik manajemen kehidupan l iar “ dan m enjadi sesuatu yang mungkin dan penting untuk melaksanakan konservasi populasi primata yang habitatnya sudah
rusak dan terbatas sebagai akibat dari aktivitas manusia (cf. Strum and Southwick, 1986 dalam Bennett et al., 1995 ).Translokasi dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu : (1) introduksi ke dalam areal – areal di luar penyebaran historis dari spesiesnya, dan (2) introduksi kembali (reintroduksi) di dalam selang waktu penyebaran spesiesnya, baik sebagai introduksi – introduksi kembali ke areal – areal dimana spesies itu telah mati, atau translokasi – translokasi untuk meningkatkan populasi yang jumlahnya menurun. Kegiatan translokasi harus mempertimbangkan tiga keadaan pokok : pertama, jika perkembangan penggunaan lahan akan menghancurkan habitat satwaliar dan translokasi dilihat sebagai suatu cara yang paling layak untuk mencegah penurunan populasi ataupun kehilangan spesies satwaliar yang berharga ; kedua, jika suatu populasi liar tidak mampu untuk hidup dengan baik dan pengelola ingin meningkatkan jumlahnya, dan ketiga, jika pengelola memutuskan untuk memecah suatu populasi dengan tujuan untuk mengurangi resiko kehilangan seluruh populasinya. Strum dan Southwick (1986) dalam Bennett et al., 1995 mengindentifikasi faktor – faktor penting untuk menentukan keberhasilan translokasi yaitu : (1) komposisi dan struktur alami kawasan, (2) karakteristik tempat/lokasi pelepasan, dan (3) prosedur khusus meliputi dalam proses penangkapan, transportasi, pelepasan dan pemantauan/pengawasan. Dengan rekomendasi : (1) translokasi harus mencakup keseluruhan unit sosial yang lengkap, (2) translokasi dilakukan pada satwa yang populasinya semakin dan terus berkurang, dan (3) keberhasilan translokasi sebaiknya dievaluasi dengan menggunakan spesies primata yang populasinya masih banyak. Permasalahan yang
sering
dialami
dalam
pelaksanaan
proses
translokasi
adalah
mengindentifikasi tempat yang sesuai bagi satwa yang akan diintroduksi. Reintroduksi adalah merupakan rehabilitasi modern, karena metoda awal rehabilitasi yang dipakai selama ini lebih menambah resiko laten kepunahan daripada mendukung konservasi jenis. Tindakan reintroduksi ini tidak sekedar melepaskan kembali beberapa individu orangutan ke kondisi liar, tetapi juga menyiapkan orangutan yang disita agar menjadi jenis feral (liar), orangutan akan menghuni kawasan hutan habitat yang sesuai dimana orangutan liar tidak ada. Artinya, reintroduksi ini akan memanfaatkan jenis utama yang menarik untuk
meningkatkan konservasi kawasan hutan basah terpilih secara efektif ( Meijaard et al., 2001 ). Meijaard et al., 2001 mengungkapkan mengenai prinsip – prinsip pelaksanaan reintroduksi, yaitu : 1. Orangutan harus diperiksa secara profesional dalam hal penyakit – penyakit menular, diobati dan dikarantina sepenuhnya sebelum dipertimbangkan untuk direintroduksi. Orangutan berada dikarantina tidak lebih dari enam bulan untuk direhabilitasi, termasuk sosialisasi setelah karantina selesai. 2. Karantina dipisahkan dari reintroduksi (dan sosialisasi). 3. Reintroduksi orangutan bekas tangkapan dilakukan di kawasan dimana jenis orangutan liar lainnya tidak ada lagi ; yang meliputi periode sosialisasi dalam kondisi feral ; 4. Reintroduksi dilakukan di kawasan hutan yang telah diteliti dengan cermat kelestarian habitatnya. 5. Beberapa spesimen dipelihara bersama sebagai sebuah kelompok hingga 20 individu dan kemudian dilepaskan ke dalam kondisi liar ; 6. Seluruh kelompok dibiarkan di lokasi dimana kelompok ini direintroduksi, yaitu, lokasi reintroduksi itu sendiri dibiarkan dan karena banyak orangutan baru maka lokasi baru akan didirikan di lokasi lain ; 7. Kehadiran pengunjung tidak diijinkan pada tahap apa pun sebelum orangutan mampu mandiri sepenuhnya dan berhasil hidup di kawasan liar. 8. Staf penjaga untuk menyediakan dan memantau harus terbukti bebas dari penyakit menular dan melakukan tugasnya berdasarkan kerangka acuan tugas yang ketat dalam hal kontak dekat dengan orangutan dan perilakunya terhadap kelompok umur orangutan yang berbeda. 9. Proses reintroduksi dievaluasi secara teratur oleh suatu badan yang mandiri.
G. Karantina Primata Setiap satwa primata yang hendak dipakai sebagai model satwa untuk tujuan penelitian harus melalui karantina terlebih dahulu. Setiap satwa yang akan dimasukkan ke dalam karantina dapat dibagi dalam dua tahap kegiatan, yaitu : persiapan ruangan, dan penerimaan satwa (Whitney et al., 1973 dan Sajuthi 1984 dalam Mangapul 1988).
1. Persiapan ruangan Semua kandang dan peralatan yang dapat dilepas dikeluarkan dari ruangan. Seluruh bagian ruangan (dinding – dinding , langit – langit, lantai) , dan rak – rak kandang dibersihkan dengan alat semprot bertekanan tinggi. Cairan yang digunakan merupakan kombinasi antara detergen dengan sanitizer Misalnya Synthetic phenolic desinfectans. Setelah itu ruangan tersebut disiram dengan air hangat. Kadang – kadang dapat dibersihkan dengan pembersih yang bertekanan tinggi atau dengan pembersih uap. Setelah itu ruangan disemprot dengan memakai detergen – phenolic desinfectans selama 10 menit atau lebih, yang tergantung pada ukuran ruangan. Setelah penyemprotan maka seluruh permukaan ruangan akan dilapisi oleh residu cairan tersebut. 2. Penerimaan primata Setelah primata tiba di lokasi karantina, dilakukan pemeriksaan oleh dokter hewan. Pertama – tama dilakukan pembiusan terhadap primata dengan cara penyuntikan, kemudian dilakukan pemeriksaan, meliputi : jenis kelamin, umur satwa, berat badan, kondisi fisik untuk mengetahui apakah ada tulang yang patah, nutrisi dari primata, kebuntingan, luka – luka, abnormalitas anggota tubuh dan ektoparasit, secara fisiologis dilakukan pemeriksaan terhadap bakteri dan parasit, dengan pengujian tinja dan darah. Untuk membunuh ektoparasit, satwa dapat dimandikan dengan larutan iodium atau dibedaki zat yang dapat membunuh parasit. Karantina bagi orangutan memiliki tujuan untuk melindungi orangutan dari masuknya berbagai jenis penyakit, untuk melindungi pengelola dari masuknya berbagi jenis penyakit (agents zoonotic), meminimalisasi penyebaran penyakit diantara satwa di dalam karantina, dan mengoptimalisasi kesehatan dan kondisi orangutan. Orangutan yang baru datang masuk ke karantina akan diberi perlakuan aklimatisasi
yaitu
perlakuan
agar
orangutan
bisa
beradaptasi
dengan
lingkungannya yang baru. Selanjutnya dilakukan general check up atau pemeriksaan secara menyeluruh terhadap kondisi orangutan tersebut, yaitu dengan cara dibius, dan disaat orangutan tidak sadar dilakukan : a. dimandikan sampai bersih atau hanya di lap saja. b. penimbangan.
c. pengidentifikasian umur. d. pemeriksaan apakah terdapat cacat atau luka. e. pengambilan sample darah dan tinja. f. pemeriksaan kulit untuk melihat ektoparasit, apakah ada kutu atau tidak g. untuk individu betina diperiksa apakah sedang bunting, baru melahirkan atau sedang laktasi. Langkah selanjutnya dilakukan beberapa pemberian obat dan test terhadap penyakit, yaitu a. pemberian obat untuk membunuh cacing b. diberikan obat untuk menambah zat besi c. diberi antibiotik dalam takaran propilaksis d. dilakukan test tuberculosa Langkah berikutnya adalah pemberian identitas dengan membuat tato dibagian paha. Kemudian orangutan dimasukkan ke dalam kandang individu untuk dilakukan pemeriksaan harian yang rutin dengan tanpa ada kontak dengan individu lain untuk memastikan bahwa individu tersebut memang sudah bersih dari segala macam penyakit. Bagi individu yang belum terlampau lama dipelihara di rumah atau masih setengah liar, maka tindakan rehabilitasi untuk reintroduksi sebaiknya segera dilakukan , karena jika sudah terlalu tergantung dengan campur tangan manusia maka akan sangat sulit mengembalikannya ke hutan. Pada level ini terjadi kontrol biologi yang menyeluruh, dan lamanya pemeliharaan dalam karantina biasanya 90 hari.
H. Pengangkutan Primata Salah satu sektor yang cukup penting dalam pengangkutan satwa primata adalah sistim pengangkutan dari karantina ke lokasi reintroduksi. Komponen – komponen dalam pengangkutan primata yaitu : 1. Primata Primata sebagai makhluk hidup, dalam pengangkutannya membutuhkan perlakuan – perlakuan khusus misalnya keadaan kandang, makanan dan minuman serta perawatan kesehatan selama perjalanan.
2. Sarana Pertimbangan dalam penggunaan suatu jenis sarana adalah ketersediaan sarana dan biaya. Sarana disini meliputi alat angkut, kandang untuk mengangkut dan peraturan – peraturan yang menyangkut sistem pengangkutan satwa. Kandang untuk mengangkut satwa dapat dibuat dari kayu, besi/baja. Dalam membuat kandang, ada beberapa ketentuan yang harus dilengkapi dalam pembuatannya, yaitu kandang harus mempunyai ventilasi udara, yang dapat dibuat dari bahan kawat mesh dengan ukuran 1,25 cm. Ventilasi udara dimaksud agar udara yang masuk de dalam kandang dapat menjaga keseimbangan suhu dan kelembaban di dalam kandang, disamping dapat membantu satwa untuk melihat satu dengan yang lainnya, juga ventilasi ini dapat dipakai sebagai lubang untuk memasukkan minuman tambahan selama diperjalanan, selain ventilasi udara, juga dilengkapi dengan tempat makan dan minum (Farris, 1950 dalam Mangapul 1988). Kandang yang hendak dipakai untuk mengangkut primata, mempunyai beberapa kriteria (Anonimus, 1987 dalam Mangapul 1988) yaitu : a. Kandang bagian depan harus mempunyai ventilasi udara. Pintu masuk ke kandang dapat ditarik ke atas sehingga dapat melebihi tinggi kandang. Pintu harus cukup aman sehingga tidak mudah untuk dibongkar oleh satwa. Perlengkapan untuk makan dan minum harus selalu ditempatkan pada tempat yang cukup tinggi untuk mencegah primata bergantung pada perlengkapan tersebut. b. Tempat menampung kotoran primata harus tersedia. Alas kandang harus terbuat dari kawat mesh, sehingga kotoran atau urine yang jatuh dapat langsung ditampung pada tempat yang telah disediakan dibagian paling bawah kandang. Tempat penampungan kotoran sebaiknya mudah diambil dan dimasukkan kembali pada tempatnya semula. Pada tempat penampungan kotoran dan urine ini diberi bahan penyerap misalnya serbuk kayu gergajian yang disebarkan di atas tempat tersebut. c. Untuk memasukkan makanan dan minuman harus dibuat lubang yang khusus, misalnya pada bagian alas atas atau juga dapat melalui lubang yang khusus, sehingga satwa tidak akan terganggu atau lolos.
d. Bagian yang berventilasi ditutup dengan karung goni yang mudah dibuka bila akan memasukkan makanan, dan garung goni ini dapat ditembus oleh udara. 3. Perawatan selama pengangkutan Perawatan selama pengangkutan meliputi makanan, minuman, kebersihan kandang, perlindungan dari terik matahari, angin dan hujan. Perawatan ini dimulai dari awal pengangkutan sampai tujuan akhir pengangkutan. Setiap satwa yang akan diangkut dari suatu daerah ke daerah lain harus dilengkapi dengan surat – surat dokumentasi tentang kesehatan satwa, disamping surat ijin pengangkut. Yang sangat perlu diperhatikan dalam proses pengangkutan primata adalah keselamatan pengangkutan, karena sering terjadi kematian pada satwa ketika sampai di tujuan akhir pengangkutan (Hutagalung, 1981 dalam Mangapul 1988).
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Stasiun Karantina Orangutan Sumatera 1.
Kondisi Fisik
1.1 Letak dan Luas Stasiun Karantina Orangutan Sumatera terletak di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit. Alasan pemilihan lokasi ini dikarenakan daerah ini merupakan hutan alam asli yang dianggap paling baik bagi orangutan dan mudah dicapai dari arah kota Medan. Secara administratif pemerintahan Stasiun Karantina Orangutan Sumatera
terletak di Desa Batumbelin Kecamatan
Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara. Stasiun karantina ini berada dibawah naungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam ( BKSDA) I Sumatera Utara. Stasiun Karantina Orangutan Sumatera ini memiliki luas 2 ha. 1.2
Aksesibilitas dan Fasilitas Karantina Stasiun Karantina Orangutan Sumatera terletak ± 35 km dari kota Medan
ke arah Brastagi dan dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat dalam waktu ± 1 jam. Stasiun ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap untuk mendukung proses karantina orangutan sebelum dilepaskan ke habitat aslinya. Fasilitas – fasilitas tersebut antara lain : klinik orangutan, kandang isolasi, kandang sosialisasi, gudang penyimpanan buah, ruang generator, tempat pengolahan limbah, septic tank dan kantin. 1.3
Kondisi Iklim Berdasarkan penggolongan iklim Schmidt dan Ferguson, curah hujan di
lokasi kawasan TWA Sibolangit termasuk ke dalam tipe iklim A. Curah hujan rata – rata pertahun adalah 3.000 – 4.000 mm/tahun dengan hari hujan rata – rata 170 hari. Suhu udara maksimum pada siang hari berkisar 22oC – 25oC dan suhu minimum pada malam hari berkisar antara berkisar 13oC – 14oC (Anonymous, 2001).
1.4
Topografi Lapangan Stasiun Karantina Orangutan Sumatera yang berada di kawasan TWA
Sibolangit terletak pada ketinggian 500 m dpl. Tanah di kawasan ini termasuk jenis andosol dan asosiasi andosol dengan podsolik merah kuning yang tertutup oleh humus tebal sehingga memudahkan air untuk meresap kedalamnya dan menyimpannya sampai titik jenuh daya serap yang kemudian dialirkan ke daerah yang lebih rendah secara gaya tarik bumi. Bahan induk ini berasal dari letusan gunung berapi berupa tuff intermedier. Ketebalan podsoil rata – rata kawasan ini adalah 30 cm dengan kondisi topografi kawasan bervariasi dengan kemiringan lahan antara 5 % - 10 % dengan bentuk topografi datar, bergelombang sampai curam dan
berbukit – bukit.
Kondisi topografi ini menyebabkan kawasan ini memiliki tingkat kestabilan tanah yang sangat rentan terhadap longsor. 2.
Kondisi Biotik
2.1 Flora Tumbuhan yang tumbuh di kawasan ini merupakan flora campuran, sebagian merupakan jenis asli dan sebagian dari daerah lain sebagai hasil penanaman oleh Tn. Lorzing. Diperkirakan terdapat sekitar 400 jenis tumbuhan yang keberadaannya belum terindentifikasi seluruhnya, baik dari jenis asli maupun hasil penanaman Tn. J.A. Lorzing (Departemen Kehutanan dan Perkebunan Sumatera Utara, 2001) Tanaman
yang
bukan
asli
daerah
ini
misalnya
Sonokembang
(Dalbergia latifolia ), Angsana (Pterocarpus indicus) dan Kelenjar (Samanea saman Merr). Jenis tanaman asli dari catatan Tn. Lorzing (antara tahun 1914 – 1924 ) meliputi Meranti (Shorea sp.), 30 spesies ficus, 20 jenis Kecing (Quercus sp.), Kenanga (Cananga odorata), Kulit manis (Cinnamomum burmanii), Manggis (Garcinia mangostana) dan Nangka (Arthocarpus sp.)(Departemen Kehutanan dan Perkebunan Sumatera Utara, 2001). Disamping itu terdapat pula tumbuhan yang merambat seperti Philodendron sp. Adanya tumbuhan ini dikarenakan jumlah curah hujan yang cukup tinggi. Di kawasan ini juga ditemui adanya berbagai jenis tanaman obat – obatan dan
tanaman hias yang potensial. Data terahir tahun 2000 menunjukkan ada terdapat ± 89 jenis famili dari 44 famili tanaman obat – obatan dan 55 jenis dari 22 famili tanaman hias. Daya tarik flora yang menonjol di kawasan ini adalah bunga bangkai (Amorphophallus titanium Becc) yang merupakan famili Araceae. Bunga bangkai ini memiliki keindahan pertumbuhan dan memiliki ukuran yang tinggi dan besar. Bunga bangkai ini sering juga disebut dengan suweg raksasa. Bunga ini diamati tumbuh pertama kali pada tahun 1989 dengan ketinggian 150 cm, yang selanjutnya pada tahun 1995 dengan ketinggian 210 cm, dan pada akhir bulan Maret tahun 2003 tumbuh dengan ketinggian 176 cm. 2.2 Fauna Jenis Fauna yang sering terlihat di kawasan ini ialah Monyet ekor panjang (Macaca fasicularis), Lutung (Trachypithecus cristata), Babi hutan (Sus sucrofa) dan Kalong (Pteropus vampyrus), sedangkan jenis burung diantaranya adalah Rangkong ( famili Bucerotidae ). Jenis – jenis reptile yang hidup di kawasan ini diantaranya Ular piton (Phyton reticulatus), Kadal (Mabuya multifasciatus), Biawak (Varanus salvator) dan Trenggiling (Manis javanica) B.
Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera
1. Kondisi Fisik 1.1 Letak dan Luas Lokasi Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera (Gambar 3), terletak di zona penyangga (buffer zone) Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) yang merupakan bekas bagian areal konsesi PT. Dalek Hutani Esa (Eks – HPH) Propinsi Jambi. Saat ini, ada rencana perluasan kawasan Taman Nasional sehingga nantinya kawasan ini akan tercakup di dalam kawasan Taman Nasional. Secara administratif, Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera ini terletak di dusun Semerantihan, desa Suo – Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Muara Tebo Propinsi Jambi. Luas areal Stasiun Reintroduksi orangutan ini adalah 2 ha dan berada di bawah naungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi.
Gambar 3. Peta lokasi reintroduksi orangutan sumatera di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (Frankfurt Zoological Society, 2002).
1.2 Aksesibilitas dan Fasilitas Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera ini terletak 245 km dari Ibukota Propinsi Jambi dan dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat. Fasilitas yang terdapat di lokasi dalam rangka mendukung upaya pelestarian orangutan sumatera antara lain : kandang sosialisasi, klinik, laboratorium, gudang makanan, gedung administrasi/kantor dan base camp. 1.3 Kondisi iklim Berdasarkan data curah hujan, hari hujan, suhu udara dan kelembababan udara (Tabel 1), maka daerah studi termasuk ke dalam type A (sangat basah). Tabel 1. Data iklim di areal studi No
Bulan
C. Hujan
H. Hujan
Suhu Udara o
Kelembaban
(mm)
(hari)
( C)
Udara (%)
1.
Januari
177
12
26.0
89
2.
Pebruari
269
16
25.39
84
3.
Maret
251
13
26.2
85
4.
April
169
12.5
26.8
85
5.
Mei
149
8
26.9
84
6.
Juni
105
7
26.5
83
7.
Juli
122
9
26.5
82
8.
Agustus
139
9
26.1
83
9.
September
207
13
26.9
84
10.
Oktober
193
13.25
26.3
85
11.
November
302
13
26.4
86
12.
Desember
361
18
25.7
87
Data sekunder : Dokumen AMDAL PT. Dalek Hutani Esa. 1.4 Topografi Lapangan Keadaan fisiografi lahan adalah relatif datar sampai berbukit, terletak 70 – 100 m dpl, sebagian besar areal studi terdiri atas areal berhutan yang merupakan batas Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Jenis tanah didominasi oleh podsolik merah kuning yang berasal dari bahan induk batuan endapan dan batuan beku dengan fisiografi pegunungan lipatan.
Jenis tanah PMK tersebut termasuk peka terhadap erosi dengan tingkat kesuburan tergolong rendah. Laju erosi berada pada tahap sangat ringan hingga ringan. 2. Kondis Biotik 2.1 Flora Secara makro sistem vegetasi di daerah sekitar lokasi kegiatan merupakan hutan sekunder tua. Pengkajian terhadap struktur vegetasi hutan meliputi keberadaan setiap vegetasi hutan yaitu keberadaan setiap perkembangan pohon penyusun tegakan mulai dari tingkat semai
(seedling), tiang, pancang serta
pohon. Dari hasil survey di lapangan dan dari informasi pekerja disekitar lokasi Camp Pusat Reintroduksi, ditemukan jenis – jenis tumbuhan untuk tingkat pohon 20 jenis, tingkat tiang 5 jenis dan tingkat semai 5 jenis (Lampiran 1). 2.2 Fauna darat Jenis – jenis fauna darat yang ditemukan di lokasi penelitian meliputi jenis – jenis satwa liar yang hidup bebas di alam. Berdasarkan hasil pencatatan di lokasi pengamatan dan juga dari informasi penduduk setempat diperoleh sekitar 109 jenis satwa, yang terdiri dari : 32 jenis mamalia, 72 jenis aves, 3 jenis reptilia dan 2 jenis amfibia (Lampiran 2). Dari keseluruhan satwa yang dapat diindentifikasi, diantaranya terdapat satwa – satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar yaitu SK Mentan No. 66 Kpts/Um/2/1973 dan PP No. 7 tahun 1999. Jenis – jenis satwa tersebut ialah Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Beruang madu (Helarctos malayanus), Pelanduk kancil (Tragulus javanicus), Rusa sambar (Cervus unicolor), Owa ungko (Hylobates agilis), Pelanduk napu (Tragulus napu), Rangkong (Buceros sp.) dan Beo (Gracula regiosa) (Frankfurt Zoological Society, 2002). 2.3 Biota Perairan (Nekton/Ikan) Nekton adalah organisme air yang bisa berenang bebas di dalam air. Di lokasi penelitian dijumpai 9 jenis nekton/ikan yaitu Tapah (Wallago leeri), Seluang (Rasbora sp.), Lais (Kryptopterus limpok), Baung (Mystus memurus), Lele (Clarias batrachus), Tilam (Macrognatus keithi), Sepat siam (Trichogaster
pectoralis), Gabus (Ophiocephalus striatus) dan udang ( Frankfurt Zoological Society, 2002). 3.
Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat Untuk kajian mengenai sosial, ekonomi dan budaya masyarakat diambil dari
desa Suo – Suo dan dusun Semerantihan, baik berupa data sekunder maupun data primer. Perlu diinformasikan bahwa jarak yang paling dekat dengan lokasi Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera adalah dusun Semerantihan dengan jarak ± 4 km, sedangkan jarak lokasi Stasiun Reintroduksi dengan desa Suo – Suo ± 15 km. Jumlah penduduk desa Suo – Suo adalah 1.229 jiwa yang terdiri dari 566 laki – laki dan 563 perempuan. Kepadatan penduduk 3 jiwa/km2 dengan luas wilayah 406,25 km2. Bila dilihat dari klasifikasi berdasarkan tingkat umur, 59.43 % penduduk desa
Suo – Suo termasuk golongan penduduk dewasa. Ini berarti
bahwa jumlah angkatan kerja yang ada mencapai lebih dari 50 %. Mayoritas penduduk beragama Islam (1.126 orang) dan hanya 3 orang yang beragama Katolik (Frankfurt Zoological Society,2002). Mata pencaharian utama penduduk desa Suo – Suo adalah petani dengan komoditi utama adalah padi sebagai bahan makanan pokok disamping tanaman palawija seperti jagung, ubi, kacang tanah dll. Luas areal pertanian 56 ha, seluruhnya merupakan tanah pertanian ladang. Komoditi tanaman perkebunan berupa karet, kopi dan kelapa. Disamping pertanian dan perkebunan penduduk juga memelihara ternak seperti kerbau, sapi, kambing, ayam dll. Pendapatan perkapita relatif rendah yaitu Rp. 134.000. Fasilitas pendidikan relatif kurang, hanya terdapat 1 SD dan 1 MTS di desa Suo – Suo. Akibat kesulitan ekonomi dan buruknya sarana dan prasarana transportasi ke Ibukota kecamatan maupun kabupaten, mengakibatkan sebagian besar pendidikan anak – anak berkisar SD dan tidak melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP. Khusus untuk pemukiman yang terdekat yaitu dusun Semerantihan, memiliki jumlah penduduk sebanyak 167 orang yang terdiri dari 40 kepala keluarga. Penduduk yang mendiami dusun ini terdiri dari 2 suku yaitu suku Talang Mamak dan suku Anak Dalam (Kubu). Mata pencaharian mereka adalah mencari getah jerenang di hutan. Suatu hal yang menarik adalah suku Anak
Dalam yang mulai berdagang dan memisahkan diri dari kelompok suku Talang Mamak yang mereka anggap tidak adil terhadap mereka. Secara ekonomi kelompok suku Anak Dalam relatif lebih maju dan berhasil. Masalah utama bagi masyarakat di dusun Semerantihan adalah sangat minimnya sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan, sehingga dibidang pendidikan dan kesehatan masih sangat tertinggal. Namun saat ini sudah dilakukan upaya peningkatan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat dengan mendatangkan guru untuk mengajar dan pihak medis untuk memberikan pengobatan kepada masyarakat. Sehingga akhirnya nanti mutu pendidikan dan kesehatan semakin baik dan dusun Semerantihan menjadi dusun yang berkembang dan maju ( Frankfurt Zoological Society, 2002 ).
IV. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi yaitu di Stasiun Karantina Orangutan Sumatera yang terletak di Desa Batumbelin, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara selama 1 bulan dan di Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera yang terletak di Dusun Semerantihan, Desa Suo – Suo, Kabupaten Muara Tebo Propinsi Jambi selama 6 bulan. Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2004 – Maret 2005. B. Alat dan Bahan 1. Alat Peralatan yang digunakan selama penelitian ialah stopwatch, kamera, hygrometer, alat tulis, thally sheet dan binokuler. 2. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah delapan individu orangutan (Tabel 2). Tabel 2. Data individu orangutan yang diamati No.
Nama Orangutan
1.
Hengki
2.
Umur (tahun)
Kelamin
Lama Pengamatan (menit)
8
Jantan
11914
Tatok
5,5
Jantan
11032
3.
Boiran
11
Jantan
9534
4.
Bimbim
7
Jantan
9242
5.
Rencong
7
Jantan
8730
6.
Zidan
7
Jantan
6066
7.
Boni
14
Betina
4618
8.
Win Gayo
9
Jantan
3356
C. Jenis Data yang Dikumpulkan 1. Data Primer Data primer dikumpulkan berdasarkan tahapan pelaksanaan “ Reintroduksi “. Tahapan pelaksanaan “ Reintroduksi “ dibagi menjadi tiga, yaitu : a. Pra – Reintroduksi , adalah proses penyitaan, tahapan perawatan selama dikarantina dalam jangka waktu tiga bulan dan proses pengangkutan orangutan ke lokasi pelepasan (habitat alaminya) (Tabel 3). Tabel 3. Ruang lingkup pengamatan parameter tahapan pra - reintroduksi Ruang Lingkup Karantina
Parameter Yang Diamati 1. Ukuran Kandang Pemeliharaan
Metode Pengukuran
2. Jumlah orangutan yang direhabilitasi
ObservasiWawancara
3. Sumber dan asal orangutan
Wawancara
4. Jenis kelamin dan kelompok umur
Observasi/Wawancara
5. Perilaku harian orangutan a. Perilaku makan
Observasi
b. Perilaku bersarang 6. Sistim Pemeliharaan, meliputi : a. pemeliharaan kesehatan
Observasi/Wawancara
b. pembersihan kandang c. perlakuan khusus
Pengangkutan
Observasi/Wawancara
7. Lama pemeliharaan di karantina
Wawancara
8. Jenis dan jumlah pakan
Observasi
9. Syarat kesehatan sebelum direintroduksi
Wawancara
10. Jumlah orangutan yang sudah dilepas
Wawancara
11. Jumlah tenaga kerja
Wawancara
1. Ukuran kandang angkut 2. Jenis alat angkut 3. Waktu pengangkutan 4. Perlakuan khusus a. Makanan dan minuman b. Kebersihan kandang c. Perlindungan dari terik matahari, angin dan hujan d. Perawatan Kesehatan
Wawancara/Observasi
5. Surat ijin angkut satwa 6. Surat – surat dokumentasi kesehatan satwa 7. Keselamatan Pengangkutan 8. Keadaan psikologis satwa 9. Jumlah tenaga kerja Lokasi Pelepasan
1. Ukuran Kandang Adaptasi
Wawancara
2. Kondisi fisik dan tipe habitat
Observasi
3. Kondisi fisik satwa
Wawancara
b. Reintroduksi, adalah tahapan sosialisasi dan pelepasan orangutan ke habitat alaminya (Tabel 4). Tabel 4. Ruang lingkup pengamatan parameter tahapan reintroduksi Ruang Lingkup Lokasi Pelepasan
Parameter Yang Diamati 1. Lama proses sosialisasi
Metode Wawancara
2. Waktu pelepasan 3. Teknik Pelepasan
c. Pasca Reintroduksi, adalah tahapan setelah reintroduksi dilaksanakan yang meliputi : pemantauan dan penilaian terhadap keberhasilan pelaksanaan reintroduksi (Tabel 5). Tabel 5. Ruang lingkup pengamatan parameter tahapan pasca reintroduksi Ruang Lingkup Lokasi Pelepasan
Parameter Yang Diamati 1. Pola perilaku orangutan
Metode Wawancara/Pengamatan
2. Jumlah individu orangutan 3. Tingkat survival orangutan - kemampuan adaptasi 4. Jumlah tenaga kerja
2. Data Sekunder Pengambilan data sekunder diperoleh melalui studi literatur dan wawancara dengan pihak pengelola. Data untuk hal ini meliputi : -
Perlakuan khusus yang dilakukan dalam perawatan orangutan.
-
Persyaratan kondisi kesehatan orangutan sebelum dilepaskan ke habitat alaminya.
-
Pengaruh aktivitas manusia selama perawatan di karantina.
D. Metode Pengambilan Data Metode pengambilan data yang dilakukan adalah : 1. Observasi lapang Observasi lapang adalah cara pengumpulan data dengan pengamatan langsung di lapangan. Data yang dikumpulkan melalui observasi lapang adalah data mengenai jenis pakan orangutan dan aktifitas harian orangutan dalam rangka mengetahui tingkat survival orangutan terhadap lingkungan barunya.Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap delapaan individu orangutan yang sudah dilepas ke hutan. Pengamatan dan pencatatan data aktifitas harian setiap individu orangutan dilakukan dengan cara mengikuti individu orangutan mulai dari keluar sarang sampai kembali masuk sarang. Lama pengamatan aktifitas masing – masing individu orangutan berbeda – beda tergantung dari perjumpaan individu di lapangan. Pencatatan data aktifitas harian orang dilakukan per 2 menit sekali. Proses pengamatan dilakukan dengan mencatat aktifitas yang dilakukan oleh orangutan ke thallysheet per 2 menit sekali (Lampiran 3). 2. Wawancara Langsung Wawancara langsung dilakukan dengan pihak pengelola, staf yang bekerja di stasiun karantina dan di stasiun reintroduksi orangutan sumatera. Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 23 orang yang terdiri 10 orang berasal dari stasiun karantina Medan dan 13 orang berasal dari stasiun reintroduksi Jambi Proses wawancara ini dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada pengelola dan staf yang bekerja di kedua lokasi penelitian (Lampiran 4).
E.
Pengolahan dan Analisis Data Semua data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif yaitu dengan
menguraikan setiap tahapan proses reintroduksi orangutan sumatera mulai dari proses karantina sampai pelepasan ke habitat alaminya. Selain itu juga dilakukan penilaian terhadap tingkat survival orangutan terhadap lingkungan barunya. Proses penilaian terhadap tingkat survival orangutan ini dilakukan dengan menggunakan beberapa parameter. Ada lima parameter yang dianggap dapat digunakan dalam menilai tingkat survival orangutan di habitat alaminya ialah : 1. Aktifitas makan Di alam orangutan melakukan lebih dari 47 % aktifitas hariannya untuk makan. Berdasarkan data ini, orangutan sudah dapat dikatakan mampu bertahan hidup di lingkungan barunya apabila aktifitas makannya sudah bisa mencapai 47 % dari keseluruhan aktifitas hariannya. 2. Tingkat pengenalan pakan Orangutan sudah dapat dikatakan mampu bertahan hidup apabila orangutan sudah mengenal minimal 25 jenis pakan yang terdapat di lingkungan barunya. 3. Kemampuan membuat sarang tidur Orangutan yang sudah mampu membuat sarang tidur di pohon dapat dipastikan mampu bertahan hidup di lingkungan barunya. 4. Kemampuan memanjat pohon Orangutan yang sudah mampu berpindah dari satu pohon ke pohon lain dengan baik dan juga menghabiskan hampir seluruh waktunya di atas pohon dapat dipastikan mampu bertahan hidup di lingkungan barunya. 5. Tingkat ketergantungan terhadap manusia. Orangutan yang memiliki tingkat ketergantungan yang rendah terhadap manusia (sudah mandiri) dapat dipastikan mampu bertahan hidup di lingkungan barunya. Setiap parameter yang diamati akan digambarkan secara persentase. Dari persentase ini akan diketahui tingkat survival setiap individu orangutan yang diamati.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahapan Proses Reintroduksi Dalam pelaksanaan proses reintroduksi orangutan, ada beberapa tahapan yang harus dilewati (Gambar 4), yaitu : 1. Masa karantina, yaitu proses yang dimulai dari penyitaan orangutan dari masyarakat yang memelihara secara ilegal sampai kepada proses perawatan dan pemeliharaan orangutan di karantina sebelum dipindahkan ke stasiun adaptasi. Dalam proses karantina ini, kondisi fisik orangutan harus benar – benar diperhatikan karena kebanyakan orangutan yang masuk ke karantina berada dalam kondisi yang tidak baik karena sudah lama berkontak langsung dengan manusia. 2. Pengangkutan, yaitu proses pemindahan orangutan dari stasiun karantina menuju stasiun reintroduksi. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam proses pengangkutan
ini
adalah
kandang
angkut
dan
perawatan
selama
pengangkutan. Proses pengangkutan ini dilakukan dengan menggunakan transportasi darat dan udara. Dalam proses pengangkutan, keselamatan orangutan sampai tujuan harus menjadi perhatian utama. 3. Masa adaptasi, yaitu proses pemeliharaan orangutan minimal satu bulan untuk mengindentifikasi ciri morfologi orangutan sehingga nantinya mudah untuk melakukan proses pemantauan setelah dilepaskan ke alam dan juga untuk mengenalkan orangutan dengan pakan – pakan alami yang terdapat di areal pelepasan. 4. Pelepasan ke alam, yaitu proses yang dimulai dari pemindahan orangutan dari kandang adaptasi ke areal pelepasan dan dilanjutkan dengan proses pemantauan aktifitas harian orangutan selama satu bulan secara terus menerus dalam rangka untuk mengetahui tingkat survival orangutan di habitat alaminya yang baru.
Manajemen Orangutan Selama Masa Karantina ( Medan)
Manajemen Orangutan Selama Masa Adaptasi ( Jambi ) Stasiun Adaptasi
Stasiun Karantina 1.
Fasilitas
2.
Sistim Pemeliharaan a. Kandang pemeliharaan b. Pembersihan kandang c. Jenis dan jumlah pakan d. Perlakuan khusus e. Pembentukan kelompok
Orangutan 3.
4. 5.
Sistem Perawatan a. Pengambilan kotoran b. Pengambilan darah c. Pemeriksaan radiolog d. Pemeriksaan kulit e. Pemberian microchip f. Otopsi g. Pembiusan Syarat kesehatan sebelum direintroduksi
1.Latarbelakang lokasi
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
pemilihan
2.Kondisi dan potensi habitat
Pengangkutan Manajemen Pengangkutan : a. Kandang transportasi b. Jenis alat angkut c. Prosesur pemgangkutan d. Surat dan dokumentasi pengangkutan e. Permasalahan selama pengangkutan
3. Sistim Pemeliharaan a. Kandang adaptasi b. Pembersihan kandang c. Pemberian pakan d. Perlakuan khusus 4. Syarat sebelum dilepas ke alam
Aktifitas harian orangutan
Gambar 4 . Kerangka Tahapan Proses Reintroduksi Orangutan Sumatera
Pelepasan ke alam Manajemen Pelepasan : a. Waktu pelepasan b. Proses pelepasan c. Pemantauan (Monitoring) 1. Proses adaptasi 2. Aktifitas harian 3. Jenis – jenis pakan yang dimakan orangutan
4. Upaya perlindungan
d. Evaluasi tingkat survival orangutan
Orangutan Sumatera
A.1 Manajemen Orangutan Sumatera Selama Masa Karantina 1. Fasilitas dan Jumlah Tenaga Kerja di Karantina Fasilitas yang terdapat di stasiun Karantina Orangutan Sumatra Sibolangit terdiri dari : 1. Satu buah klinik dengan peralatan yang lengkap, terdiri dari : ruang pemeriksaan, laboratorium yang dilengkapi dengan perpustakaan, kantor, ruang otopsi, mesin x – ray, peralatan anastesi, kamar tidur dan gudang penyimpanan. 2. Empat unit kandang isolasi yang terdiri dari 16 buah kandang. Kandang ini dibangun dengan sangat fleksibel dimana 1 unit kandang isolasi yang terdiri dari empat kandang isolasi memiliki pintu yang dapat saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. 3. Satu set kandang sosialisasi yang terdiri dari 6 buah kandang sosialisasi. Kandang ini juga dibangun sangat fleksibel sama seperti dengan kandang sosialisasi. 4. Ruang Generator 5.
Pos Satpam
6.
Ruang penyimpanan makanan orangutan
7.
Rumah Kompos
8.
Sistim manajemen bio – filtrasi limbah air
9.
Kantin pegawai
10. Enam buah septic tank ( tangki kotoran ) Jumlah Staf yang bekerja di Stasiun Karantina ini berjumlah 12 orang. Yang terdiri dari 4 orang keeper ( perawat orangutan ), 4 orang satuan pengaman (Satpam), 1 orang tukang masak, 1 orang tukang kebun, 1 orang Dokter Hewan dan 1 orang Manager. Tenaga kerja yang bekerja disini semuanya berasal dari masyarakat sekitar kecuali Dokter Hewan dan manager, ini bertujuan untuk memberdayakan dan membantu masyarakat sekitar lokasi karantina dalam memenuhi kebutuhan ekonominya sehingga keberadaan stasiun karantina ini dapat diterima oleh masyarakat sekitar. 2.
Sistem Pemeliharaan Orangutan di Stasiun Karantina
2.1 Kandang Pemeliharaan Kandang pemeliharaan memiliki peranan yang sangat penting dalam pemeliharaan orangutan di karantina. Ukuran dan tingkat kebersihan kandang sangat berpengaruh terhadap kenyamanan dan kesehatan orangutan selama pemeliharaan di karantina. Di stasiun karantina orangutan Batumbelin – Sibolangit terdapat 2 jenis kandang pemeliharaan yaitu : 1. Kandang Isolasi Orangutan yang masuk ke stasiun karantina harus masuk ke dalam kandang isolasi terlebih dahulu. Di kandang isolasi ini orangutan mendapat perawatan yang intensif selama kurang lebih 3 minggu. Di stasiun karantina ini terdapat 16 buah kandang isolasi. Kandang isolasi yang terdapat di stasiun karantina ini memiliki 2 ukuran yaitu 1,5 m x 1,5 m dan 2 m x 2 m. Jarak lantai kandang ke tanah adalah 1,1 m. Kandang isolasi ini terbuat dari besi, dimana jarak antar jeruji besi 10 cm sehingga tangan orangutan bisa keluar kandang. Di dalam kandang isolasi ini terdapat tempat tidur orangutan yang terbuat dari karet dan juga tali bermain. Di kandang ini juga terdapat kran air yang berfungsi sebagai sumber minum orangutan. Kran air ini bekerja secara otomatis, ketika orangutan menyentuhkan mulutnya ke kran ini maka air akan langsung keluar secara otomatis. 2. Kandang Sosialisasi Orangutan yang sudah mengalami proses perawatan selama kurang lebih 3 minggu di kandang isolasi dan dinyatakan bersih dan bebas dari penyakit dipindahkan ke kandang sosialisasi. Kandang sosialisasi ini berfungsi untuk menggabungkan beberapa individu orangutan untuk saling melakukan interaksi sosial dan mempersiapkan orangutan yang siap lepas ke habitat alaminya sehingga diharapkan ketika nantinya dilepaskan ke alam, individu orangutan mampu bertahan hidup. Di stasiun karantina ini terdapat dua buah kandang sosialisasi yang memiliki ukuran 6 m x 6 m dengan jarak antar jeruji besi kandang 10 cm, antara lantai kandang dengan tanah adalah
dimana jarak
2,75 m. Kandang sosialisasi ini
memiliki tiga ruangan yang berukuran 1,5 m x 1,5 m, 4 m x 3 m dan 6m x 6m.
Ketiga ruangan ini dihubungi oleh pintu yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya, ini bertujuan untuk memudahkan dalam proses penggabungan orangutan. Kandang sosialisasi ini dilengkapi dengan tempat tidur orangutan yang terbuat dari karet dan juga tali bermain serta dilengkapi dengan kran air otomatis untuk minum orangutan. Kandang sosialisasi ini diisi oleh beberapa individu orangutan yang merupakan 1 group. Satu group terdiri dari 4 individu orangutan. Pembentukan group orangutan ini berdasarkan kelas umur dan ukuran tubuh. Dalam pembentukan group orangutan diusahakan kelas umurnya tidak jauh berbeda dan juga memiliki postur tubuh yang hampir sama. 2.2 Pembersihan Kandang Pemeliharaan Di stasiun karantina kebersihan kandang merupakan hal yangsangat diperhatikan. Pembersihan kandang dilakukan 2 kali dalam 1 hari. Pembersihan pertama dilakukan di pagi hari pada pukul 07.00 WIB dan pembersihan kedua dilakukan di sore hari pada pukul 14.30 WIB. Dalam melakukan pembersihan dan pencucian kandang digunakan desinfektan. Jenis desinfektan yang digunakan adalah SOS, Lyzol dan Bayclin. Pemakaian desinfektan dalam pembersihan dan pencucian kandang dilakukan 2 kali dalam seminggu. Sampah sisa makanan dan kotoran orangutan tidak dibuang secara sembarangan melainkan dimanfaatkan. Sisa – sisa makanan dan kotoran orangutan dikumpulkan di suatu tempat kemudian dilakukan pengolahan untuk dijadikan kompos. Kompos – kompos ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar stasiun karantina untuk memupuki tanaman. 2.3 Jumlah dan Asal Orangutan yang di Rehabilitasi Jumlah orangutan yang sudah direhabilitasi di stasiun karantina sampai ini ialah 68 individu. Dari ke – 68 individu orangutan ini terdapat 3 ekor orangutan kalimantan dan ketiganya sudah dipulangkan ke Kalimantan Stasiun karantina ini sudah melakukan pelepasan orangutan ke lokasi reintroduksi (stasiun adaptasi) sebanyak 52 ekor. Jumlah orangutan yang masih mengalami rehabilitasi di
stasium karantina ini sebanyak tujuh ekor. Selain itu jumlah orangutan yang mati di karantina ini sebanyak 3 ekor, matinya orangutan ini disebabkan karena kondisinya sudah sangat kritis ketika tiba dikarantina sehingga sulit untuk dilakukan penyelamatan dan 1 ekor orangutan mati dalam perjalanan menuju karantina. Stasiun karantina ini juga pernah merawat orangutan Bukit Lawang berjumlah 3 ekor yang kondisinya buruk akibat dari Banjir Bandang yang melanda Bukit Lawang pada bulan November 2003 yang lalu. Setelah 6 bulan memperoleh perawatan di karantina, ke- 3 ekor orangutan ini dikembalikan lagi ke Bukit Lawang. Orangutan yang ada di stasiun karantina ini merupakan hasil sitaan dari masyarakat yang memelihara orangutan secara ilegal. Proses penyitaan ini dilakukan oleh BKSDA bekerjasama dengan Lembaga Swadaya masyarakat. Proses penyitaann ini diawali dengan melakukan investigasi ke daerah yang diduga terdapat orangutan yang dipelihara oleh masyarakat. Setelah itu dilakukan penyitaan dari masyarakat yang memelihara orangutan tersebut dengan cara diplomasi yaitu dengan melakukan penyadaran dan penjelasan mengenai status orangutan sebagai satwa yang dilindungi dan tidak boleh dipelihara. Apabila masyarakat tersebut sudah bersedia menyerahkan orangutan tersebut maka pihak BKSDA membuat Berita Acara Penyerahan orangutan. 2.4 Lama Pemeliharaan di Karantina Berdasarkan data yang tercatat, lama pemeliharaan orangutan yang tercepat di stasiun karantina ini adalah 1 bulan 9 hari, sedangkan yang paling lama adalah 14 bulan 23 hari. Orangutan diusahakan tidak terlampau lama di stasiun karantina ini karena semakin lama orangutan ini di rehabilitasi ditakutkan sifat – sifat alaminya hilang karena masih sering terjadinya kontak dengan manusia dan semakin lama orangutan di stasiun karantina otomatis biaya pemeliharaan yang dikeluarkan juga semakin banyak.
2.5
Jenis dan Jumlah Pakan
Di stasiun karantina ini pemberian pakan kepada orangutan dilakukan setiap 1 jam sekali. Pemberian pakan pertama dilakukan pada pukul 07.00 WIB demikian seterusnya sampai pukul 16.00 WIB. Setiap jamnya orangutan diberikan 1 jenis buah atau 1 jenis sayuran dimana setiap orangutan mendapat jatah 1 potong. Pada pemberian makan terakhir yaitu pada pukul 16.00, jenis dan jumlah buah dan sayuran yang diberikan kepada orangutan lebih banyak dari sebelumnya dikarenakan orangutan akan memperoleh makanan berikutnya pada keesokan harinya. Di stasiun karantina ini, orangutan memakan hampir semua jenis buah dan sayuran yang diberikan kepadanya. Sebelum diberikan ke orangutan buah – buahan dan sayur – sayuran dicuci terlebih dahulu supaya bersih dari kuman dan penyakit. Jenis – jenis buah yang diberikan kepada orangutan yaitu salak, tebu, jambu air, jambu biji, jeruk, pisang, belimbing, pepaya, sirsak, durian, duku, langsat, rambai dan nenas, sedangkan jenis-jenis sayuran yang diberikan ke orangutan ialah jagung, ubi, bayam, labu, sawi putih, kol, brokoli, kacang panjang, buncis, arcis, wortel, terung dan daun pepaya. Jenis – jenis buah dan sayur – sayuran yang diberikan harus diupayakan beranekaragam jenis agar orangutan banyak mengenal jenis buah dan sayur sebagai pakannya. Buah – buahan dan sayuran – sayuran ini dibeli dari masyarakat sekitar lokasi stasiun karantina. Untuk menambah gizi, orangutan diberikan susu sebanyak dua kali dalam satu hari. Pemberian pertama dilakukan pada pukul 08.00 WIB dan pemberian kedua dilakukan pada pukul 16.00 WIB. Setiap harinya orangutan diberikan 1 liter susu. Di stasiun karantina ini setiap individu orangutan diberikan anggaran sebesar Rp. 10.000 untuk biaya makan sudah termasuk susu 1 liter. 2.6 Perlakuan Khusus Perlakuan khusus merupakan perlakuan yang sengaja diberikan kepada orangutan untuk memulihkan sifat alaminya yang telah hilang sebagai akibat dari pemeliharaan oleh manusia sehingga diharapkan ketika dilepaskan ke habitat alaminya orangutan mampu untuk beradaptasi dengan baik. Di stasiun karantina ini dilakukan beberapa perlakuan khusus yaitu :
1. Pemberian ranting daun untuk membuat sarang Di habitat alaminya, sebelum tidur orangutan membuat sarangnya terlebih dahulu dengan menggunakan ranting daun. Orangutan yang masuk ke stasiun karantina ini umumnya belum begitu bisa untuk membuat sarangnya sendiri. Sehingga untuk memulihkan sifat alaminya ini setiap pukul
16.00 WIB ke
kandang orangutan dimasukkan ranting daun sebagai bahan untuk membuat sarang. Dan diharapkan orangutan dapat belajar dan terbiasa untuk membuat sarang. Jenis ranting daun yang diberikan kepada orangutan harus berasal dari pohon – pohon yang tinggi. Ini bertujuan supaya orangutan terbiasa dengan ranting daun yang berasal dari pohon – pohon tinggi sehingga ketika dilepaskan ke habitat alaminya orangutan dapat terhindar dari predatornya. Di stasiun karantina ini, jenis ranting daun sebagai bahan sarang berasal dari pohon kopi, duku dan pisang. 2. Peletakan pakan di atas kandang pemeliharaan Orangutan merupakan satwa arboreal yang menghabiskan seluruh waktunya di atas pohon. Berdasarkan kenyataan tersebut, selama pemeliharaan di karantina orangutan diharuskan terbiasa untuk memanjat, bergelayut dan berusaha untuk memperoleh makanannya. Untuk itu dalam pemberian pakan, pakan diletakkan pada bagian atas kandang sehingga dengan peletakan makanan diatas kandang orangutan harus memanjat dan mengeluarkan tenaga untuk memperoleh makanannya. Sehingga orangutan yang tidak bisa memanjat menjadi terbiasa untuk memanjat. Dan diharapkan ketika nantinya orangutan dilepaskan ke habitat alaminya, orangutan bisa memanjat pohon dan menghabiskan seluruh waktunya di atas pohon sehingga terhindar dari predatornya.
2.7
Pembentukan Kelompok dan Proses Sosialisasi Orangutan
Pembentukan kelompok orangutan didasarkan kepada kelas umur dan bobot badan. Tujuan pembentukan dan proses sosialisasi orangutan ini ialah agar individu orangutan tidak terkejut ketika nantinya akan dilepaskan ke alam dan juga mampu bersosialisasi dengan orangutan lainnya yang terdapat di areal pelepasan. Satu kelompok orangutan umumnya terdiri dari empat individu orangutan. Pembentukan kelompok orangutan tidak bisa dilakukan secara sekaligus tetapi harus melalui beberapa tahapan. Orangutan yang sudah dinyatakan bersih dari penyakit dipindahkan dari kandang isolasi ke kandang sosialisasi untuk digabungkan dengan orangutan lainnya. Proses penggabungan orangutan di kandang sosialisasi harus dipantau setiap saat untuk menghindari terjadinya pertengkaran. Tahapan proses pembentukan kelompok orangutan adalah sebagai berikut : 1. Orangutan pertama dipindahkan dari kandang isolasi ke kandang sosialisasi dengan cara dibius terlebih dahulu. Orangutan yang terbius diukur
berat
badannya dan dilakukan pemeriksaan microchip, kemudian orangutan diangkat dengan menggunakan beko ataupun digendong. Setiap orangutan yang akan dipindahkan ke kandang sosialisasi harus diukur berat badannya dan diperiksa mikrochipnya. Orangutan yang terbius kemudian dimasukkan ke ruangan berukuran 1,5 m x 1,5 m terlebih dahulu, setelah sadar, orangutan kemudian dipindahkan ke ruangan berukuran 4 m x 3 m dengan cara membuka pintu dan terakhir orangutan dipindahkan ke ruangan berukuran 6 m x 6 m. Proses ini disebut dengan proses sosialisasi orangutan dengan kandang yang berukuran lebih besar. 2. Setelah orangutan pertama berada di kandang sosialisasi selama satu hari maka keesokkan harinya orangutan kedua dipindahkan ke kandang sosialisasi. Prosedur pemindahan orangutan kedua ke kandang sosialisasi sama dengan prosedur pemindahan orangutan pertama. Orangutan yang terbius kemudian dimasukkan ke ruangan yang berukuran 1,5 m x 1,5 m, setelah sadar, orangutan kedua kemudian dipindahkan ke ruangan berukuran 4 m x 3 m. Setelah orangutan kedua berada di ruangan berukuran 4 m x 3 m harus dilakukan pemantauan untuk melihat interaksi diantara kedua individu orangutan. Lamanya pemantauan terhadap interaksi orangutan pertama dengan orangutan
kedua di kandang sosialisasi
dilakukan sampai kedua orangutan tidak
menunjukkan adanya tanda – tanda pertengkaran. Apabila kedua individu orangutan ini sudah terlihat akur, maka orangutan kedua digabungkan dengan orangutan pertama di ruangan 6 m x 6 m. Walaupun ke dua individu orangutan ini sudah terlihat akur, pemantauan harus tetap dilakukan. Proses ini disebut dengan proses sosialisasi orangutan dengan ruangan yang lebih besar dan proses sosialisasi orangutan dengan orangutan lainnya. Prosedur ini dilakukan sampai orangutan ketiga dan keempat masuk ke dalam kandang sosialisasi. 3. Sistem Perawatan Orangutan di Stasiun Karantina Sistem perawatan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memeriksa kesehatan orangutan yang masuk ke dalam karantina. Perawatan lebih ditujukan kepada orangutan yang terkena penyakit dan sehingga nantinya ketika akan dipindahkan ke stasiun reintroduksi orangutan sudah memiliki kesehatan yang baik dan terbebas dari penyakit. 3.1 Pengambilan Sampel Kotoran / Feses Pemeriksaan kotoran akan dilakukan bagi setiap orangutan yang masuk ke dalam stasiun karantina. Pemeriksaan kotoran ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat parasit dan bakteri di dalam tubuh orangutan. Metode pemeriksaan kotoran orangutan yang digunakan adalah Metode Konsentrasi Ridley dengan tahapan sebagai berikut : 1. Setiap orangutan diambil sample fesesnya saat baru datang dengan mengambil sample yang masih segar. 2. Setiap sample dikoleksi dalam larutan SAF kemudian diproses dengan metode konsentrasi Ridley. 3. Hasil konsentrasi di dasar tabung diperiksa dengan pewarnaan Iodine di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x dan 45 x. Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel feses terhadap 50 orangutan sumatera yang masuk ke dalam karantina dari bulan April 2002 sampai dengan Juni 2004 ditemukan 8 jenis telur Nematoda yaitu Trichuris sp., Ascaris sp., Strongyloides sp., Trichostyrongylus sp., Entrobius sp., dan Oesophagostomum
sp.; Satu jenis Ciliata yaitu Balantidium coli ; Satu jenis Flagellata yaitu Chilomastix mesnili ; Satu jenis amoeba non pathogen yaitu Entamoeba coli dan satu Amoeba yang pathogen yaitu Entamoeba hystolitica. Setiap individu orangutan dilakukan pemeriksaan kotoran sebanyak tiga kali, apabila dari 3 kali pemeriksaan ini hasilnya negatif, ini menandakan orangutan bersih dari parasit dan bakteri sehingga tidak perlu dilakukan pengobatan. Pemeriksaan kotoran dilakukan minimal sekali dalam sebulan. Bagi orangutan yang terinfeksi dengan Chilomastix mesnili dan Balantidium coli, dilakukan pengobatan dengan memberikan Metronidazole 35 mg/kg dikombinasikan dengan Paramomycin sulfat (Gabboral) dengan dosis yang sama. Sedangkan bagi orangutan yang terinfeksi oleh Nematoda Strongyloides sp. Dapat dikurangi sampai eradikasi dengan menggunakan preparat Ivermectin oral atau suntikan IM dengan dosis 0,3 mg/kg. Dan untuk Nematoda Ascaris sp., Ancylostoma sp., Enterobius sp., Trichuris sp., Trichostyrongylus sp., dapat diobati dengan menggunakan preparat Albendasole, Mebendasole pyrantel pamoat, atau Ivermectin. 3.2 Pengambilan Sampel Darah Pengambilan sample darah digunakan untuk pemeriksaan hepatitis B, pemeriksaan TBC secara serologis ( TB ICT ) dan untuk test terhadap TBC.. Pemeriksaan sampel darah dilakukan di Laboratorium Klinik.. Biaya yang dikeluarkan untuk pemeriksaan darah ialah Rp. 400.000 / individu orangutan. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan darah, individu orangutan terkena Hepatitis B maka orangutan tidak akan dilepaskan ke habitat alaminya karena ada resiko penyebaran virus ini ke populasi orangutan yang akan menyebabkan hilangnya populasi. Masalah lain adalah penyakit Hepatitis B ini belum dapat diobati karena belum ada obat yang bisa menyembuhkan .
3.3 Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi bertujuan untuk pemeriksaan paru – paru, untuk mengetahui apakah individu orangutan terkena tuberculosis atau agen penyakit yang lain. Pemeriksaan Radiologi dilakukan dengan membuat foto thoraks, kemudian hasilnya dibaca oleh dokter. 3.4 Pemeriksaan Kulit Pemeriksaan kulit bertujuan untuk melihat ektoparasit dengan cara mengeruk kulit orangutan, kemudian kulit orangutan yang sudah diambil dibawa ke Laboratorium mikrobiologi untuk dilakukan pemeriksaan yang dilanjutkan dengan pengobatan bagi orangutan yang terkena ektoparasit. 3.5 Pemberian Mikrochip Setiap orangutan yang masuk ke karantina diberikan microchip sebagai identitas atau tanda pengenal. Pemberian microchip dilakukan dengan menyuntikkannya ke orangutan pada bagian scapula kiri secara subkutan. 3.6 Otopsi Otopsi dilakukan pada orangutan yang sudah mati. Otopsi dilakukan untuk mengetahui penyebab dari kematian orangutan. Setelah diketahui penyebabnya, kemudian dipelajari sehingga nantinya apabila ada kasus yang sama dapat dilakukan penanganan yang lebih baik. sehingga orangutan dapat terhindar dari kematian. 3.7 Pembiusan Di stasiun karantina ini, pembiusan pada orangutan dilakukan pada saat : 1. Proses pengangkutan Orangutan yang akan diangkut dari stasiun karantina menuju stasiun reintroduksi harus dibius terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan pada saat pemindahan dari kandang sosialisasi ke kandang angkut.
2. Proses sosialisasi
Dalam proses sosialisasi antara individu orangutan 1 dengan individu orangutan lainnya di kandang sosialisasi harus dilakukan pembiusan terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan pada saat pemindahan individu orangutan dari kandang isolasi menuju kandang sosialisasi. 3.
Pemeriksaan Kesehatan Orangutan yang akan diperiksa kesehatannya harus dibius terlebih dahulu
dengan tujuan untuk memudahkan dalam proses pemeriksaan. Dalam melakukan pembiusan pada orangutan, berat badan orangutan harus diketahui terlebih dahulu untuk mengetahui dosis obat yang akan diberikan sehingga kematian orangutan pada saat pembiusan dapat dihindari (Tabel 6). Sebelum dilakukan pembiusan orangutan harus dipuasakan terlebih dahulu yang bertujuan untuk memudahkan dalam proses pembiusan dan untuk menghindari orangutan muntah. Pemuasaan dilakukan 8 jam sebelum pelaksanaan pembiusan Prosedur yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pembiusan adalah : 1. Memperkirakan berat badan orangutan 2. Mengambil obat dan perlengkapan bius di lemari yang sudah ditentukan 3. Melihat daftar jenis dan jumlah obat sesuai dengan berat badan orangutan 4. Memasukkan obat dalam alat suntik atau alat sumpit, untuk alat sumpit perlu diperhatikan volume syringe sumpit, jarum yang akan digunakan, karet penutup lubang pada jarum dan jumlah angin yang akan digunakan. 5. Menyuntikkan obat ke badan orangutan pada bagian yang banyak otot seperti lengan atas, lengan bawah dan bokong dan harus hati – hati jika menggunakan tulup/sumpit. 3.8 Syarat Kesehatan Sebelum di Reintroduksi Syarat kesehatan orangutan yang siap dipindahkan ke stasiun reintroduksi adalah : 1. Bersih dari parasit dan bakteri 2. Bebas hepatitis 3. Bebas tuberculosis 4.
Berat badan mencukupi sesuai dengan umur.
Tabel 6. Daftar jenis dan jumlah obat sesuai dengan berat badan orangutan
Nama obat, dosis dan volume yang digunakan Berat Badan
Sediaan I
Sediaan II
Lama Terbius
Anti Dota
Ketamin 10 %
Medeto/Domitor
Ketamin 10 %
Xylasin/Rompun
5 mg/kg
0,05 mg/kg
5 mg/kg
0,5 mg/kg
10 kg
0,50 ml
0,50 ml
0,50 ml
0,30 ml
<30 menit
0,30 ml
15 kg
0,75 ml
0,75 ml
0,75 ml
0,45 ml
<30 menit
0,45 ml
20 kg
1 ml
1 ml
1 ml
0,60 ml
<30 menit
0,60 ml
25 kg
1,25 ml
1,25 ml
1,25 ml
0,75 ml
<30 menit
0,75 ml
30 kg
1,50 ml
1,50 ml
1,50 ml
0,90 ml
<30 menit
0,90 ml
35 kg
1,75 ml
1,75 ml
1,75 ml
1,05 ml
<30 menit
1,05 ml
40 kg
2 ml
2 ml
2 ml
1,20 ml
<30 menit
1,20 ml
0,2 mg/ kg
4. Aktifitas Orangutan Selama di Rehabilitasi 4.1 Aktifitas makan Orangutan hampir memakan semua buah dan sayur yang diberikan kepadanya. Orangutan mengambil makanan dengan menggunakan tangannya lalu memasukkan ke mulutnya. Orangutan tidak memakan seluruh bagian buah. Bagi buah yang berkulit, sebelum memakannya orangutan terlebih dahulu membuka kulitnya. Berdasarkan hasil pengamatan selama di karantina orangutan lebih banyak memakan bagian biji buah, ini menunjukkan naluri orangutan sebagai penyebar biji. 4.2 Aktifitas minum Aktifitas ini dilakukan orangutan dengan menyentuhkan mulutnya ke kran air otomatis yang terdapat di dalam kandang. Ketika minum susu orangutan menggunakan tangannya untuk memegang botol. 4.3 Aktifitas bergelayut,memanjat. Dalam melakukan aktifitas ini, orangutan menggunakan ke dua tangannya dan juga kedua kakinya.
4.4 Aktifitas bermain
Altipamezole
Aktifitas bermain ini dilakukan antar beberapa individu orangutan. Individu orangutan saling menggigit bagian tubuh individu orangutan lainnya. Dari aktifitas bermain ini sering terjadi pertengkaran dikarenakan salah satu dari individu orangutan merasa kesakitan. Untuk menambah aktifitas bermainnya, orangutan juga diberikan alat permainan yaitu goni dan koran. 4.5 Aktifitas istirahat dan tidur Aktifitas istirahat dilakukan apabila orangutan sudah merasa lelah melakukan aktifitasnya. Posisi orangutan ketika beristirahat adalah duduk diam dan tidur dengan posisi telentang maupun telungkup. Aktifitas tidur dilakukan orangutan pada siang hari dan malam hari. Posisi tidur orangutan ada yang telentang dan ada juga yang telungkup. 4.6 Aktifitas membuat sarang Aktifitas ini dilakukan orangutan pada sore hari ( 16.00 WIB ). Setelah ranting daun dimasukkan ke dalam kandang, orang utan memulai aktifitas membuat sarangya yang diawali dengan mematahkan ranting daun, kemudian menyusunnya. Bagian ranting yang kasar diletakkan pada bagian bawah, sehingga orangutan akan merasa nyaman waktu tidur. Orangutan di stasiun karantina ini tidak semuanya dapat membuat sarang. Waktu yang dibutuhkan orangutan untuk membangun sarangnya sekitar
7 – 10 menit.
4.7 Aktifitas Berjalan Dalam melakukan aktifitas ini orangutan menggunakan kedua kakinya, seperti layaknya manusia dan juga menggunakan kedua kaki dan kedua tangannya. A.2 Manajemen Pengangkutan Orangutan dari Karantina ke Lokasi Reintroduksi Dalam manajemen pengangkutan orangutan ini ada dua tahapan kegiatan utama yaitu : 1. Tahapan Persiapan Pengangkutan
Pada tahapan ini, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan untuk memperlancar proses pengangkutan orangutan ke lokasi reintroduksi yaitu : 1.1
Kandang Angkut Dalam proses pengangkutan, kandang angkut memiliki peranan yang sangat
penting. Kandang angkut yang digunakan untuk mengangkut orangutan. Kandang angkut yang digunakan dalam proses pengangkutan memiliki 3 ukuran yaitu 1) panjang 90 cm, lebar 50 cm dan tinggi 70 cm dengan berat kandang 40 kg ; 2) panjang 1,3 m; lebar 70 cm dan tinggi 1 m dan 3) panjang 1,3 m; lebar 90 cm dan tinggi 1 m. Kandang ukuran 1 digunakan pada saat pengangkutan dengan menggunakan transportasi udara sedangkan kandang ukuran 2 dan 3 digunakan pada saat pengangkutan dengan transportasi darat. Pintu masuk ke kandang angkut ini dapat ditarik ke atas sehingga dapat melebihi tinggi pintu masuk kandang. Kandang ini dilengkapi dengan pintu kecil yang berfungsi sebagai tempat untuk memasukkan makanan selama pengangkutan dan kandang ini juga dilengkapi dengan tempat menampung kotoran yang terbuat dari seng. 1.2 Jenis Alat Angkut Dalam proses pengangkutan orangutan dari stasiun karantina menuju stasiun reintroduksi, jenis alat angkut yang digunakan ialah a. Transportasi darat Transportasi darat digunakan pada saat pengangkutan dari stasiun karantina menuju Bandar Udara Polonia dan dari Bandar Udara Jambi menuju stasiun reintroduksi. Pengangkutan dari kota Jambi menuju stasiun Adaptasi dilakukan pada siang hari dengan lama perjalanan kuranglebih 8 jam. Jenis transportasi darat yang digunakan adalah mobil Hiline dan Rocky pick – up. Tetapi pernah dilakukan pengangkutan melaui transportasi darat dari kota Medan langsung menuju stasiun reintroduksi. Ini dilakukan karena orangutan yang dibawa memiliki ukuran tubuh yang besar sehingga tidak memungkinkan untuk diangkut dengan menggunakan pesawat terbang. b. Transportasi Udara
Transportasi udara digunakan pada saat pengangkutan dari kota Medan menuju kota Jambi. Pengangkutan dengan transportasi udara dilakukan pada pagi hari untuk mengejar penerbangan pertama karena penerbangan ke Jambi hanya 1 kali dalam sehari. 1.3 Prosedur Pemindahan dari Kandang Sosialisasi ke Kandang Transport Prosedur yang harus diperhatikan dalam proses pengangkutan adalah a. Orangutan harus dipuasakan 8 jam sebelum pembiusan dilakukan. b. Orangutan dipindahkan satu persatu dari kandang berukuran 6 m x 6 m ke kandang berukuran 4 m x 3m. c. Setelah dari kandang berukuran 4 m x 3 m , orangutan kemudian dipindahkan lagi ke kandang 1,5 m x 1,5 m. d.
Setelah orangutan berada di kandang berukuran 1,5 m x 1,5, maka pembiusan dilakukan dengan cara disuntik ataupun dengan ditulup.
e. Setelah orangutan tidak sadar, orangutan diangkat dengan cara digendong atau dengan menggunakan beko menuju kandang angkut. f. Setelah orangutan mulai sadar, orangutan dimasukkan ke kandang angkut dengan posisi telentang. g. Pengangkutan dilakukan setelah orangutan benar – benar sadar. 1.4 Prosedur Pengangkutan Dalam melakukan prosedur pengangkutan ada beberapa surat dan dan dokumentasi yang dibutuhkan agar proses pengangkutan dapat berjalan dengan baik (Tabel 7). Prosedur pengangkutan yang harus diperhatikan dalam proses pengangkutan adalah : a. Pengurusan Surat Ijin Angkut Satwa Liar Yang Dilindungi Undang- Undang. Manager stasiun karantina Program Konservasi Orangutan Sumatera (PKOS ) mengajukan surat kepada Kepala BKSDA Sumatera Utara I yang dilengkapi oleh surat pernyataan kesehatan satwa yang dikeluarkan oleh tenaga medis dokter hewan yang telah ditunjuk, untuk menerbitkan Surat Ijin Angkut Satwa Liar Yang Dilindungi Undang – Undang sebagai bahan kelengkapan dokumen untuk mentransfer satwa ke stasiun reintroduksi.
b. Pemeriksaan Fisik Satwa Yang Akan Dipindahkan. Berdasarkan Surat Perintah Tugas ( SPT ) yang dikeluarkan oleh Kepala BKSDA Sumatera Utara I, staff BKSDA bersama – sama dengan tenaga medis dokter hewan di stasiun karantina melakukan pemeriksaan keberadaan fisik satwa yang akan dipindahkan ke lokasi reintroduksi, dan kemudian mengeluarkan Berita Acara Pemeriksaan satwa yang menyatakan bahwa berdasarkan pengamatan team, satwa tersebut telah siap untuk direintroduksi. c. Pengeluaran Surat Angkut Satwa dan Tumbuhan Liar Dalam Negeri (SATS – DN). Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan tersebut sesuai dengan isi Surat Direktur Jenderal PHKA DEPHUT No.123/Dj – IV/KKH/2003 tanggal 6 Februari 2003 tentang Pelimpahan kewenangan penerbitan SATS – DN jenis satwa yang dilindungi, Kepala BKSDA Sumatera Utara I mengeluarkan Surat Ijin Angkut Satwa dan Tumbuhan Liar Dalam Negeri ( SATS – DN ) yang dilindungi undang – undang. Tabel 7. Surat dan Dokumentasi pengangkutan orangutan No.
Nama Surat/Dokumen
Kegunaan
Instansi yang kengeluarkan
1.
Surat
Pemindahan orangutan
Karantina (Manajer)
Surat kesehatan orangutan
Syarat pemindahan orangutan
Karantina (Dokter hewan)
sumatera
sumatera
Berita Acara Pemeriksaan
Pemeriksaan
permohonan
pemindahan orangutan 2. 3. 4. 5. 6.
Surat Perintah Tugas SATS - DN Sertifikat kesehatan satwa
fisik
orangutan
Balai Konservasi Sumberdaya
sebelum dipindahkan
Alam Sumatera Utara I
Pengawalan terhadap orangutan
Balai Konservasi Sumberdaya
yang akan dipindahkan
Alam Sumatera Utara I
Surat Ijin Angkut Satwa Liar
Balai Konservasi Sumberdaya
yang dilindungi
Alam Sumatera Utara I
Surat ijin pengangkutan satwa
Balai Karantina Hewan
ke daerah lain 7.
Berita Acara Serah Terima
Pemindahtugasan dari BKSDA
Balai Konservasi Sumberdaya
orangutan
Sumatera Utara I ke BKSDA
Alam Sumatera Utara I
Jambi.
d. Pengeluaran Sertifikat Satwa.
Dengan terbitnya SATS – DN yang dilindungi Undang – undang, dijadikan dasar untuk mengurus sertifikat kesehatan satwa dari Balai Karantina Hewan, Departemen Pertanian sebagai salah satu syarat untuk melakukan perpindahan satwa di wilayah Republik Indonesia. e. Pemindahan Satwa Ke Lokasi Reintroduksi. Dengan terbitnya Sertifikat Kesehatan Satwa dari Balai Karantina Hewan, Departemen Pertanian dan SATS – DN yang dilindungi undang – undang dari BKSDA SUMUT I, maka ijin untuk perpindahan satwa sudah diperoleh. Untuk proses perpindahan ke lokasi reintroduksi, Kepala BKSDA Sumatera Utara I mengeluarkan Surat Perintah Tugas kepada Staf BKSDA yang akan melakukan pengawalan selama di perjalanan mulai dari stasiun karantina Batumbelin Sibolangit sampai diserahkan kepada Balai KSDA Jambi. Sesampai di Jambi, Staf Balai KSDA yang melakukan tugas pengawalan , menyerahkan orangutan kepada BKSDA Jambi dengan memberikan Berita Acara Penyerahan Satwa dari Kepala BKSDA Sumatera I kepada Kepala BKSDA Jambi. Dan dari BKSDA Jambi orangutan diserahkan ke Stasiun Adaptasi untuk direintroduksi. 1.5 Biaya Pengangkutan Biaya yang harus dikeluarkan untuk pengangkutan orangutan menuju stasiun adaptasi dengan menggunakan pesawat terbang ialah : a. Biaya sertifikat Rp. 50.000/individu orangutan b. Tiket pesawat Rp. 11.000/kg individu orangutan ditambah berat kandang angkut 2. Tahapan Pengangkutan Pengangkutan merupakan proses yang memegang peranan penting dalam proses reintroduksi orangutan. Keselamatan orangutan harus benar – benar diperhatikan dalam proses pemindahan orangutan dari stasiun karantina ke stasiun adaptasi. Berdasarkan data yang diperoleh, orangutan yang dipindahkan dari stasiun karantina ke stasiun adaptasi tidak ada yang mengalami kematian. Sampai tahun 2005 sudah dilakukan sebelas kali pemindahan orangutan menuju lokasi
reintroduksi. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam tahapan pengangkutan adalah : 2.1 Jumlah Orangutan Yang Diangkut Berdasarkan informasi yang diperoleh, jumlah orangutan
yang paling
sering diangkut dalam proses pemindahan orangutan menuju lokasi reintroduksi adalah sebanyak 4 ekor (Tabel 8). Tabel 8. Jumlah orangutan yang diangkut dalam setiap proses pengangkutan No.
Waktu Pengangkutan
Jumlah Orangutan Yang Diangkut
Keterangan
1.
Desember 2002
5 ekor
Kelompok I
2.
Januari 2003
4 ekor
Kelompok II
3.
Agustus 2003
4 ekor
Kelompok III
4.
September 2003
2 ekor
Kelompok IV
5.
Januari 2004
9 ekor
Kelompok V
6.
Maret 2004
4 ekor
Kelompok VI
7.
April 2004
4 ekor
Kelompok VII
8.
Juni 2004
4 ekor
Kelompok VIII
9.
Oktober 2004
6 ekor
Kelompok 1X
10.
Februari 2005
6 ekor
Kelompok X
11.
Mei 2005
4 ekor
Kelompok XI
2.2 Tindakan Selama Pengangkutan Dalam melakukan proses pengangkutan ada beberapa yang harus dilakukan agar orangutan dapat tiba dengan selamat di lokasi reintroduksi yaitu a.
Pengamatan kondisi fisik orangutan Orangutan yang dalam keadaan pingsan dimasukkan ke kandang angkut
dengan posisi telentang. Pengangkutan dilakukan setelah orangutan benar – benar dalam keadaan sadar karena dalam proses pengangkutan, orangutan harus dalam keadaan sadar, ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kematian. Selama pengangkutan kondisi fisik orangutan juga harus diperhatikan setiap saat, jangan sampai orangutan dalam keadaan stress. b. Pemberian makan dan minum Sama halnya seperti di karantina, pemberian makanan selama pengangkutan dilakukan setiap satu jam sekali. Pemberian makanan dilakukan melalui pintu kecil yang terdapat di kandang angkut
2.3
Permasalahan Dalam Pengangkutan Berdasarkan informasi yang diperoleh, permasalahan yang dihadapi dalam
proses pengangkutan orangutan menuju stasiun adaptasi adalah kondisi jalan yang sangat jelek terutama disaat musim hujan serta topografi yang berbukit. Hal ini menyebabkan perjalanan menuju lokasi reintroduksi membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga setiba di lokasi kondisi fisik orangutan menjadi lemah karena mengalami kecapaian. Untuk mengatasi hal ini, setibanya orangutan di stasiun adaptasi, orangutan langsung dimasukkan ke dalam kandang adaptasi dan kemudian diberi buah untuk memulihkan tenaganya. A.3
Manajemen Orangutan di Stasiun Reintroduksi (Adaptasi) Sebelum
Dilepaskan ke Alam 1. Latar Belakang dan Syarat Pemilihan Areal Reintroduksi Dalam rangka pemilihan areal reintroduksi, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi sebelum suatu areal ditetapkan sebagai areal reintroduksi orangutan. Adapun kriteria yang harus dipenuhi berdasarkan ’IUCN Reintroduction Specialist Group’ adalah pertama, areal harus mampu memenuhi dan menyediakan kebutuhan sumberdaya yang cukup yaitu pakan, cover dan tempat untuk berkembangbiak untuk mendukung keberlangsungan kehidupan populasi orangutan ; kedua, areal harus merupakan kawasan yang dilindungi dan terisolasi dari dunia luar sehingga kepunahan orangutan yang direintroduksi dapat diminimalisir bahkan dihindari; ketiga, areal harus masuk dalam distribusi geografis orangutan dan keempat, di areal tersebut tidak terdapat orangutan liar. Berdasarkan kriteria tersebut, diperoleh 7 lokasi yang direkomendasikan untuk menjadi areal reintroduksi yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat (Propinsi Jambi), Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Propinsi Jambi dan Riau), Taman Nasional Barisan Selatan (Propinsi Lampung dan Bengkulu), Gunung Patah (terletak di sebelah utara Taman Nasional Barisan Selatan), Gunung Hitam (Propinsi Bengkulu dan Sumatera Selatan), Cagar Alam Rimbo Panti (Propinsi Sumatera Barat) dan Angkola dan Tapanuli Utara (Propinsi Sumatera Utara). Berdasarkan
hasil
evaluasi
terhadap
7
lokasi
yang
direkomendasikan
ditetapkanlah Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) sebagai areal reintroduksi orangutan sumatera. Alasan pemilihan Taman Nasional Bukit Tigapuluh sebagai areal reintroduksi orangutan ialah karena pada areal ini tidak dijumpai area pegunungan dan memiliki ketinggian yang sesuai dan cocok dengan habitat aslinya serta areal ini dianggap mampu memenuhi kebutuhan sumberdaya untuk populasi orangutan. Namun ada permasalahan yang terdapat di areal ini yaitu adanya pemukiman penduduk lokal yang berdekatan langsung dengan areal reintroduksi orangutan. Untuk mencegah terjadinya konflik antara orangutan dengan penduduk lokal maka pada saat ini sedang dilakukan penyadaran publik melalui penyuluhan mengenai keberadaan orangutan dan peningkatan taraf hidup penduduk lokal melalui pengadaan sekolah bagi anak – anak mereka sehingga diharapkan nantinya muncul generasi yang memiliki wawasan luas dan peduli terhadap hutan dan segala sesuatu yang ada didalamnya. 2. Kondisi dan Potensi Habitat Lokasi yang menjadi areal reintroduksi orangutan adalah Zona penyangga (Buffer zone) Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). Kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) merupakan ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah (lowland tropical rain forest). Kawasan ini merupakan peralihan antara hutan rawa dan hutan pegunungan. Taman Nasional ini memiliki ekosistem yang unik dan merupakan hamparan perbukitan yang terpisah dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang terdapat di perbatasan Provinsi Jambi dan Riau. Kawasan Taman Nasional ini merupakan daerah perbukitan yang cukup curam dengan ketinggian antara 60 m sampai 843 m dpl, dengan puncak tertinggi terdapat pada Bukit Supin. Kawasan perbukitan ini merupakan daerah tangkapan air (catchment area) yang membentuk sungai – sungai kecil yang merupakan hulu dari sungai – sungai besar di daerah sekitarnya. Kawasan Taman Nasional ini merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Gangsal di Propinsi Riau dan Sungai Batanghari di Provinsi Jambi, serta terdapat beberapa Sub DAS seperti Sungai Cinaku, Keritang, Pengabuhan, dan Sumai.
Berdasarkan sejarahnya, Taman Nasional Bukit Tigapuluh memiliki potensi terutama dari segi sumberdaya hutan yang cukup menguntungkan dalam rangka rehabilitasi dan reintroduksi orangutan, untuk keberhasilan kegiatan tersebut maka dilakukan identifikasi kawasan yang sesuai dengan habitat untuk orangutan dan keamanan. Tujuan kegiatan identifikasi ini adalah menggali potensi, keragaman, kekayaan dan kerapatan tumbuhan terutama yang berfungsi sebagai sumber pakan utama yang terdapat pada calon kawasan reintroduksi orangutan. Daerah survei terletak di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, yaitu tepatnya di kelompok hutan sungai Menggatal dan kelompok hutan sungai Pekudangan. Kegiatan ini dilakukan pada pertengahan bulan Maret sampai pertengahan April 2000. Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan di 2 lokasi yang dianggap cukup mewakili diperoleh : a. Kelompok Hutan Sungai Menggatal (Hutan Primer) Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh 174 jenis pohon yang tergolong kedalam 128 marga dan 44 suku. Dari jumlah tersebut, 26 jenis
(14,94 %)
merupakan jenis – jenis pohon sumber makanan orangutan. Data hasil analisi komposisi jenis dapat dilihat pada lampiran. Dari 174 jenis pohon yang tercatat, 6 jenis diantaranya dengan nilai penting (IV) > 8,00 % merupakan jenis – jenis utama. Keenam jenis tersebut adalah Shorea, Eugenia, Dipterocarpus, Quercus dan Elateriospermum tapos. Berdasarkan nilai penting (IV) jenis tertinggi, maka hutan primer di daerah survey dapat ditentukan sebagai tipe komunitas Shorea – Eugenia. Sedangkan jenis – jenis pohon sebagai sumber makanan orangutan yang sering dijumpai antara lain Braccaurea bracteata (IV = 4,32 %) dan Artocarpus elasticus (IV = 4,17%). b. Kelompok Hutan Sungai Pekundangan (Hutan Primer) Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh 158 jenis pohon yang tergolong kedalam 125 marga dan 41 suku. Dari jumlah tersebut, 30 jenis (18,99 %) merupakan jenis – jenis pohon sumber makanan orangutan. Data hasil analisa komposisi jenis disajikan pada lampiran. Dari 158 jenis pohon yang terindentifikasi, 6 jenis diantaranya dengan nilai penting (IV) > 8,00 % merupakan jenis – jenis utama. Keenam jenis tersebut adalah Shorea, Aglaia,
Eugenia, Aporusa, Polyalthia dan Elateriospermum tapos. Berdasarkan nilai penting (IV) jenis tertinggi, maka hutan primer di daerah survei dapat ditentukan sebagai tipe komunitas Shorea – Aglaia – Eugenia – Aporusa. Sedangkan jenis – jenis pohon sebagai sumber makanan orangutan yang sering dijumpai antara lain Artocarpus elasticus (IV = 5,62 %), Streblus elongatus (IV = 5,24 %) dan Pometia tomentosa (IV = 4,87 %) Hasil analisa indeks kesamaan komposisi jenis pohon diantara kedua lokasi tersebut cukup tinggi, ditandai dengan indeks kesamaan sebesar 56,87 %, dengan demikian antara kelompok hutan sungai Menggatal dan kelompok hutan sungai Pekundangan memiliki kesamaan komposisi jenis pohon, sehingga dapat dikatakan bahwa kekayaan jenis pohon di daerah survei masih cukup tinggi. 3. Sistim Pemeliharaan Orangutan di Stasiun Adaptasi 3.1
Kandang Adaptasi Orangutan yang tiba di lokasi reintroduksi tidak bisa langsung dilepaskan
ke hutan karena orangutan masih membutuhkan proses sosialisasi terlebih dahulu. Setiap individu orangutan yang tiba di stasiun reintroduksi langsung dimasukkan ke kandang adaptasi. Orangutan berada di kandang adaptasi ini minimal 1 bulan. Tujuan dari adaptasi ini adalah untuk mengenal ciri – ciri fisik setiap orangutan yang masuk ke dalam stasiun sehingga nantinya memudahkan dalam proses pemantauan. Sedangkan tujuan utama adaptasi ini adalah untuk membantu orangutan mengenal lingkungan barunya. Proses sosialisasi yang dilakukan terhadap orangutan selama berada di kandang adaptasi dalam rangka membantu orangutan mengenal lingkungan barunya ialah : •
Pemberian pakan yang berasal dari hutan ; ∗
pemberian buah – buah hutan yang sengaja diambil dari areal pelepasan.
∗
pemberian rayap. Dalam hal pemberian rayap, teknisi harus membantu orangutan
untuk
memakannya.
memakannya
dengan
cara
memberitahu
teknik
∗
pemberian stem/umbut rotan. Sama halnya dalam pemberian rayap, orangutan juga harus dibantu dalam memakannya yaitu dengan cara memberitahu teknik memakannya.
•
pemberian daun sarang Pemberian daun sarang ini dilakukan untuk melatih orangutan membuat sarang sehingga ketika dilepas ke hutan orangutan mampu untuk membuat sarangnya sendiri.
3.2
Pemberian Pakan Di stasiun reintroduksi ini, pemberian pakan dilakukan setiap 1 jam sekali
dimulai pukul 07.00 WIB sampai 16.00 WIB. Jenis pakan yang diberikan kepada orangutan tidak jauh berbeda dengan di karantina. Di stasiun karantina ini, jenis pakan yang berasal dari hutan selalu diusahakan rutin diberikan kepada orangutan dengan tujuan supaya orangutan terbiasa dengan pakan yang terdapat di hutan. Untuk menambah gizi, setiap individu orangutan diberikan susu 1 kali dalam sehari di pagi hari. 3.3
Pembersihan Kandang Pemeliharaan Untuk menjaga kesehatan orangutan tetap dalam kondisi baik maka
kebersihan kandang harus benar – benar diperhatikan. Di stasiun reintroduksi ini, pembersihan kandang pemeliharaan dilakukan 2 kali dalam sehari yaitu pukul 07.30 WIB dan pukul 16.00 WIB. A.4 Manajemen Pelepasan Orangutan ke Alam 1. Waktu Pelepasan Orangutan yang sudah menjalani proses sosialisasi sekurang – kurangnya 1 bulan dan dinyatakan sehat sudah bisa dilepaskan ke hutan. Pelepasan orangutan ke hutan dilakukan pada saat musim buah yaitu bulan September sampai bulan Januari. Pelepasan orangutan di musim buah ini bertujuan supaya orangutan cepat mengenal buah, mengetahui penyebaran buah, cepat beradaptasi dengan lingkungannya dan yang terutama adalah untuk menghindari terjadinya kematian orangutan karena kekurangan makanan. Selama proses penelitian ini berlangsung jumlah orangutan yang dilepas ke hutan adalah 14 ekor orangutan.
2. Proses Pelepasan Adapun tahapan proses pelepasan orangutan ke hutan adalah sebagai berikut : 1. Persiapan pelepasan Sebelum orangutan dilepaskan ke hutan, hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan areal pelepasannya. Setelah areal pelepasan ditentukan maka dilokasi tersebut dipasang platform sebagai tempat pemberian makanan (feeding site). Hal yang dilakukan selanjutnya setelah penyiapan areal pelepasan adalah penentuan individu orangutan yang akan dilepas. Orangutan yang sudah dikenali ciri fisiknya dan dinyatakan sehat menjadi syarat utama dalam penentuan individu yang akan dilepaskan. 2. Pemindahan dari kandang adaptasi ke kandang transport Orangutan yang akan dilepaskan harus dipisahkan dari individu yang lain. Ini bertujuan untuk memudahkan dalam proses pemindahan. Proses pemindahan orangutan dari kandang adaptasi ke kandang transportasi pada proyek ini dilakukan dengan 2 metode yaitu metode pembiusan dan metode tanpa pembiusan. Metode pembiusan adalah metode yang paling sering digunakan dalam pemindahan orangutan dari kandang adaptasi ke kandang transportasi. Orangutan yang akan dibius harus dipuasakan terlebih dahulu agar tidak terjadi kematian pada saat pembiusan. Obat bius yang digunakan adalah Ketamin dan Domitor dengan dosis 0,1 ml/10 kg berat orangutan. Pembiusan dilakukan dengan cara ditulup dan disuntikkan. Setelah orangutan tidak sadar, orangutan dipindahkan ke kandang transportasi dan sebelumnya dilakukan pengambilan darah, pengecekan nadi dan pemeriksaan microchip. Posisi orangutan di dalam kandang transportasi harus berada dalam posisi telentang. 3. Pemindahan dari stasiun adaptasi ke areal pelepasan (feeding site) Setelah orangutan berada di dalam kandang transportasi, orangutan siap untuk dibawa ke areal pelepasan. Dalam proses pemindahan orangutan, orangutan biasanya masih dalam keadaan tidak sadar.
Proses pemindahan dari stasiun adaptasi ke areal pelepasan ialah berjalan kaki dengan mengangkut kandang transportasi dengan menggunakan bambu yang dilakukan oleh masyarakat lokal. Jarak antara stasiun adaptasi ke lokasi areal pelepasan rata – rata berjarak 2 km dan ditempuh dalam waktu kurang lebih 30 menit. 4. Pelepasan Setelah sampai di areal pelepasan, pintu kandang tidak boleh langsung dibuka. Pintu kandang dibuka setelah orangutan sadar dari pingsannya. Setelah orangutan sadar dari pingsannya maka pintu kandang transportasi dibuka, namun sebelum pintu kandang dibuka terlebih dahulu diletakkan buah di tempat makanan (feeding site). Sehingga ketika pintu kandang dibuka orangutan bisa langsung melakukan aktifitas makan dan juga untuk menghindari amukan orangutan. Orangutan yang sudah dilepas ke hutan masih dibantu dalam pemenuhan kebutuhan pakan. Proses pemberian pakan kepada orangutan yang sudah dilepas ke hutan dilakukan 2 kali dalam 1 hari yaitu di pagi hari pada pukul 07.00 WIB dan di sore hari pada pukul 16.00 WIB. Proses pemberian pakan ini terus dilakukan bagi orangutan yang belum mampu mencari makanan sendiri. 3. Pemantauan (Monitoring) Orangutan yang sudah dilepaskan ke hutan tidak bisa langsung ditinggalkan karena belum diketahui tingkat kemampuan
adaptasi terhadap
lingkungan barunya. Untuk mengetahui tingkat kemampuan adaptasinya maka diperlukan pemantauan. Proses pemantauan dilakukan mulai dari pagi hari saat orangutan ke luar sarang sampai sore hari disaat orangutan masuk sarang. Proses pemantauan bagi orangutan yang baru dilepas dilakukan sekurang – kurangnya 10 hari, tetapi umumnya pemantauan dilakukan selama 1 bulan. Proses pemantuan ini dilakukan untuk mengetahui : proses adaptasi orangutan terhadap lingkungan barunya, aktifitas harian orangutan setiap harinya, jenis – jenis pakan yang dimakan oleh orangutan. Sehingga dari proses pemantauan dapat diketahui tingkat survival orangutan terhadap lingkungan barunya.
3.1 Proses adaptasi Proses adaptasi adalah proses penyesuaian yang dilakukan setiap individu orangutan terhadap lingkungan barunya. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, orangutan melakukan proses adaptasi dengan 2 cara yaitu : •
Mencoba – coba pakan hutan (buah, daun, stem, dsb) Pada umumnya orangutan yang dilepaskan di lokasi penelitian belum
memiliki pengalaman yang baik dalam mencari pakan di hutan. Ini sebagai akibat dari orangutan yang sudah cukup lama di pelihara oleh manusia. Pada saat dilepas ke hutan orangutan umumnya mencoba – coba pakan yang dilihatnya. Orangutan akan menghabiskan waktunya cukup lama di pohon pakan yang disukainya dan hanya berada sebentar di pohon pakan yang tidak disukainya. Sehingga dari proses coba – coba ini orangutan dapat mengetahui jenis – jenis pakan yang terdapat di hutan dan juga mengetahui penyebarannya. Selain itu dari proses coba – coba ini dapat diketahui jenis pakan yang paling digemari oleh orangutan. •
Belajar dari orangutan lain (proses imitasi) Proses imitasi adalah proses meniru yang dilakukan orangutan yang baru
lepas terhadap orangutan yang sudah terlebih dahulu dilepas dan sudah mengenal banyak jenis – jenis pakan yang terdapat di hutan. Proses imitasi yang dilakukan oleh orangutan baru lepas ialah dengan melihat apa yang dimakan oleh orangutan yang sudah dilepas kemudian mengikuti memakannya. Proses imitasi ini merupakan proses transfer pengetahuan dari orangutan lama ke orangutan yang baru lepas sehingga proses adaptasi orangutan baru dengan lingkungan barunya lebih cepat. 4. Indentifikasi jenis - jenis tumbuhan yang dimakan orangutan Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terdapat 98 jenis tumbuhan hutan yang dimakan oleh orangutan. Data jenis – jenis pakan yang dimakan orangutan disajikan pada lampiran. Dari 98 jenis tanaman hutan yang dimakan orangutan hanya beberapa jenis saja yang sangat digemari yaitu cempedak hutan (Arthocarous sp), cepekal, jengkol hutan (Archidendron sp), kayu karet (Elateriospermum tapos), kedondong hutan, langsat hutan, medang (Litsea sp),
petai (Leucena sp), pisang hutan, rambutan biawak, rotan (Calamus sp), kayu aro (Ficus sp), mahang (Macaranga sp), terap (Arthocarpus elasticus) dan tempening. 5. Upaya Perlindungan Terhadap Orangutan Yang Sudah Diliarkan Orangutan yang sudah dilepaskan ke hutan dan sudah mampu beradaptasi dlingkungan barunya harus dipastikan keberadaannya aman dari perburuan liar. Untuk menjamin keberadaan orangutan tetap aman dari perburuan atau ancaman lain maka dilakukan usaha perlindungan yaitu : a. Patroli di areal pelepasan orangutan Patroli dalam rangka pemantauan keberadaan orangutan yang sudah diliarkan ini dilakukan oleh satuan unit perlindungan orangutan yang disebut Orangutan Protection Unit (OPU). Sampai saat ini terdapat 2 satuan unit perlindungan orangutan dimana setiap unit terdiri dari 4 orang yang terdiri dari 1 orang staf kehutanan, 1 orang staf proyek dan 2 orang masyarakat lokal. Satuan unit perlindungan orangutan ini (OPU) mempunyai tugas utama untuk melakukan patroli dengan berjalan kaki di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh yang bertujuan untuk mencari lokasi dan tanda – tanda keberadaan orangutan yang telah dilepaskan. Selain itu, satuan ini juga bertugas untuk melakukan sosialisasi mengenai Program Reintroduksi Orangutan Sumatra ke desa – desa sekitar Taman Nasional dan melakukan pengamatan terhadap keberadaan illegal logging dan perburuan liar serta melakukan kegiatan konservasi yang dianggap perlu. b. Penetapan status dan perluasan kawasan areal reintroduksi orangutan sumatra Kawasan areal reintroduksi orangutan sumatra yang terletak di zona penyangga Taman Nasional Bukit Tiga Puluh sampai saat ini masih merupakan status meminjam dari Eks- HPH Dalek yang sebelumnya memiliki hak konsesi terhadap kawasan ini. Saat ini sedang dilakukan upaya untuk menetap areal reintroduksi orangutan sumatra ini menjadi status kawasan konservasi. Sehingga dengan adanya status kawasan sebagai kawasan konservasi diharapkan orangutan yang sudah diliarkan semakin terjamin keberadaannya. Selain upaya penetapan status kawasan, saat ini juga sedang diupayakan perluasan areal reintroduksi dari 2 ha menjadi 200 ha. Berdasarkan informasi yang
terakhir saat ini dilakukan upaya perluasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh sehingga nantinya areal reintroduksi orangutan sumatra akan masuk di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Diharapkan dengan masuknya areal reintroduksi orangutan sumatra ke dalam kawasan Taman Nasional keberadaan orangutan lebih mudah untuk diawasi. B.
Kriteria
Penilaian
dalam
Penentuan
Tingkat
Keberhasilan
Reintroduksi Orangutan Sumatera B.1 Kriteria Penilaian Tingkat Keberhasilan Reintroduksi Orangutan yang diliarkan kembali ke habitat alaminya tidak dapat langsung dilepaskan begitu saja dan diperlukan proses pemantauan terhadap orangutan baru lepas untuk mengetahui tingkat keberhasilan reintroduksi. Ada lima kriteria yang dianggap dapat digunakan dalam menilai tingkat keberhasilan reintroduksi orangutan sumatera yaitu : 1. Memiliki aktifitas makan yang tinggi. Menurut Rijksen (1978), orangutan di alam melakukan lebih dari 47 % aktifitasnya untuk makan. Orangutan menghabiskan hampir seluruh waktu aktifitas makannya untuk memakan buah (60 %). Selain memakan buah orangutan juga memakan daun (25%), kulit batang/kambium (15%), serangga (10 %) dan lain – lain (2 %). Berdasarkan informasi ini, maka orangutan yang direinroduksi ke habitat barunya dikatakan berhasil apabila memiliki aktiftas makan lebih dari 47 % dari keseluruhan aktiiftas hariannya dan menghabiskan waktu makannya untuk memakan buah karena makanan pokok orangutan adalah buah. 2. Memiliki tingkat pengenalan pakan yang baik. Secara keseluruhan orangutan yang diliarkan kembali ke habitat alaminya ini berasal dari hasil sitaan. Sejarah pemeliharaan orangutan sebelum dilepaskan ke alaminya sangat berpengaruh terhadap perilaku alami orangutan ketika dilepaskan ke habitat alaminya yang baru salah satunya adalah pengetahuan pengenalan pakan alaminya. Semakin lama orangutan dipelihara oleh manusia maka pengetahuan pengenalan pakan orangutan semakin rendah.
Berdasarkan Final Report Orangutan Conservation and Reintroduction Workshop ( 19 – 22 June, 2002) di Pangkaraya diperoleh bahwa orangutan harus memiliki pengetahuan pengenal pakan alami minimal 25 baru bisa dipredeksikan mampu bertahan di lingkungan barunya. 3. Memiliki kemampuan membuat sarang tidur. Orangutan membangun paling tidak satu sarang perhari untuk beristirahat di siang hari dan tidur di malam hari (Maple, 1980 dalam Sujarno 2000), atau 1,8 sarang perhari berdasarkan perhitungan Rijksen (1978) dengan sebaran 0 – 6. Sarang bagi orangutan selain sebagai tempat tidur memiliki fungsi sebagai tempat untuk kawin, melahirkan anak dan juga untuk mengasuh anak. Karena secara keseluruhan orangutan yang direintroduksikan ini berasal dari sitaan maka dilakukan pelatihan membuat sarang bagi orangutan selama masa karantina dan masa adaptasi untuk memulihkan kembali kemampuan membuat sarang. Orangutan yang sudah memiliki kemampuan membuat sarang tidur yang baik dapat dipastikan mampu bertahan di lingkungan barunya. 4. Memiliki kemampuan memanjat pohon yang baik. Orangutan merupakan satwa arboreal yang menghabiskan seluruh waktunya di pohon untuk melakukan keseluruhan aktifitasnya. Orangutan hanya akan turun ke tanah jika ingin memakan rayap yang terdapat di tanah. Untuk mendukung sifat orangutan sebagai satwa arboreal maka orangutan harus memiliki kemampuan memanjat pohon (climbing skills) yang baik. Kemampuan memanjat pohon ini juga berfungsi untuk menghindar dari predator seperti harimau dan macan tutul. 5. Mampu berkembang biak. Setiap makhluk hidup mempunyai keinginan untuk berkembangbiak dalam rangka melestarikan jenisnya termasuk satwa dan khususnya orangutan . Individu yang sudah mampu berkembangbiak di suatu lokasi ini menandakan bahwa lokasi tersebut sangat cocok bagi individu tersebut. Kriteria ke – 5 ini merupakan kunci utama dari keberhasilan reintroduksi orangutan. Dengan bertambahnya populasi orangutan dihabitat alaminya yang baru maka dapat dikatakan reintroduksi orangutan sumatera sudah mengarah kepada keberhasilan.
B.2 Evaluasi Tingkat Survival Orangutan Sumatera B.2.1 Evaluasi terhadap 8 individu yang diikuti secara rutin Dalam proses evaluasi terhadap ke – 8 individu yang diikuti secara rutin tidak berdasarkan ke – 5 kriteria penilaian secara menyeluruh dan hanya dilihat dari aktifitas makan yang tinggi dan tingkat pengenalan pakan yang baik. Sehingga untuk evaluasi terhadap 8 individu yang diikuti secara rutin dilakukan dengan mencatat aktifitas harian orangutan yaitu aktifitas makan, aktifitas istirahat dan aktifitas bergerak. a.
Aktifitas makan Aktifitas makan ialah waktu yang dipakai seekor orangutan untuk
menggapai, mengolah, mengekstraksi, memegang – megang, mengunyah dan menelan makanan pada satu sumber makanan. Dari keseluruhan aktifitas harian yang dilakukan orangutan, aktifitas makan merupakan aktifitas yang paling tinggi dilakukan oleh orangutan. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 8 individu orangutan yang dilepaskan ke hutan diperoleh persentase aktifitas makan yang berbeda – beda. Dari ke – 8 individu yang diamati, individu orangutan bernama Bimbim memiliki aktifitas makan tertinggi yaitu sebesar 54 % dan aktifitas makan yang paling rendah adalah individu orangutan bernama Tatok yaitu sebesar 27 %.
Aktivitas Makan 0,6 persenrase
0,5 0,4
0,54 0,43
0,39
0,3
0,53
0,47 0,39
0,46
0,27
0,2 0,1
Bo i ra n
en co ng R
Zi da n
ay o G
W in
Bo ni
Bi m bi m
Ta to k
H
en gk i
0
Nam a
Gambar 5. Grafik persentase aktifitas makan orangutan di alam
Tinggi rendahnya aktifitas makan sangat berpengaruh terhadap tingkat survival orangutan. Semakin tinggi aktifitas makan maka kemampuan orangutan bertahan semakin tinggi pula. Selain dari tingkat aktifitas makan orangutan yang tinggi, pengetahuan orangutan terhadap jenis – jenis pakan yang terdapat di hutan juga sangat berpengaruh terhadap kemampuan orangutan untuk bertahan di lingkungan barunya. Makanan pokok utama orangutan adalah buah, tetapi selain makan buah orangutan juga makan daun, serangga, kambium, bunga dan seranggga. Jenis – jenis ini dimakan orangutan terutama di saat musim kemarau. Dengan demikian, orangutan yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup dipastikan tidak mampu bertahan hidup terutama di musim kemarau. Berdasarkan pengamatan di lapangan ada individu orangutan yang memiliki aktifitas makan yang tinggi tetapi tidak mampu bertahan di hutan. Ini dikarenakan karena orangutan tersebut tidak memiliki pengetahuan terhadap jenis – jenis pakan yang terdapat di hutan dan masih sangat bergantung kepada pemberian makanan dari teknisi.
Ko m po sisi Je nis P a ka n O ra ng uta n
L am a akt if it as m aka n ( m en it )
6000
5000 o th e r 4000
te c h n ic ia n f lo w e r in s e c t
3000
le a v e s ka mb iu m s te m
2000
f r u it 1000
0 He n g ki
Ta to k
B imb im
Boni
W in Gay o
Z id a n
Re n c o n g
B o ir a n
Nam a
Gambar 6. Grafik komposisi jenis pakan yang dimakan orangutan di alam. Berdasarkan pengamatan terhadap 8 individu orangutan, 5 individu sudah memiliki pengetahuan yang cukup terhadap jenis – jenis pakan yang terdapat di hutan dan dipastikan akan dapat bertahan di habitat alaminya. Sedangkan 3
individu yang lain masih sangat bergantung terhadap pakan yang diberikan oleh teknisi. Dari ke – 3 individu orangutan ini, 1 individu sudah mati; 1 individu hilang dari pengawasan teknisi dan 1 1ndividu masih berada di dalam pengawasan teknisi. b. Aktifitas bergerak Aktifitas gerak adalah aktifitas berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain ataupun dari satu tempat ke tempat yang lain. Aktifitas gerak dilakukan oleh orangutan untuk mencari buah dan jenis – jenis pakan lain yang terdapat di hutan dalam upaya untuk mempertahankan hidup. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terhadap 8 individu orangutan yang sudah dilepas ke hutan, diperoleh individu yang memiliki aktifitas bergerak paling tinggi adalah hengki dan yang paling rendah adalah boiran. Aktifitas bergerak dilakukan orangutan pada pagi hari dan sore hari.
Aktifitas gerak 0,30
0,25
0,24
P ersen tase
0,25
0,20
0,19
0,20 0,15
0,11
0,10
0,10 0,07
0,10 0,05
n ira Bo
nc
on
g
n
W
N am a
Re
Ga
Zi da
yo
ni in
m Bi
Bo
bi m
k to Ta
He
ng
ki
0,00
Gambar 7. Grafik persentase aktifitas gerak orangutan di alam Orangutan yang memiliki aktifitas bergerak
tinggi akan memiliki
kemampuan bertahan yang tinggi di habitat alaminya karena dengan memiliki aktifitas bergerak yang tinggi orangutan akan dapat menemukan semakin banyak pakan yang terdapat di hutan.
c. Aktifitas istirahat Aktifitas istirahat adalah aktifitas diam dari orangutan setelah melakukan aktifitas bergerak, aktiftitas makan maupun aktifitas bermain. Berdasarkan pengamatan di lapangan, orangutan melakukan aktifitas istirahat
dengan
membangun sarang kemudian istirahat di dalam sarang. Selain itu, orangutan juga sering melakukan aktifitas istirahat dengan berbaring, duduk dan bergantung di cabang- cabang pohon. Aktifitas istirahat dilakukan orangutan pada siang hari, tetapi ada juga orangutan yang menghabiskan waktunya untuk istirahat dan hanya bangun ketika akan diberi makan oleh teknisi. Dari hasil pengamatan terhadap 8 individu orangutan, individu yang paling lama menghabiskan waktunya untuk istirahat ialah Tatok yaitu 61 % dari keseluruhan aktifitas hariannya dan yang paling rendah aktifitas istirahatnya adalah Bimbim yaitu sebesar 22 % dari keseluruhan aktifitas hariannya.
Aktifitas Istirahat 0,70 0,61 0,60
P ersentase
0,50 0,40
0,48
0,44
0,35
0,33
0,30
0,26
0,24
0,22 0,20 0,10 0,00 H engk i
Tatok
B im bim
B oni
W in G ay o
Zidan
R enc ong
B oiran
Na m a
Gambar 8. Grafik aktifitas istirahat orangutan di alam Tatok melakukan aktifitas istirahat yang sangat lama dibandingkan individu orangutan lainnya karena tatok tidak pandai mencari makanannya sendiri dan masih sangat bergantung penuh kepada pemberian makanan dari teknisi. Sehingga tatok hanya menghabiskan waktunya untuk tidur dan hanya bangun ketika akan diberi makan oleh teknisi.
d.Perbandingan Aktifitas Makan, Aktifitas Bergerak dan Aktifitas Istirahat Parameter yang dapat dilihat dalam proses mengetahui tingkat survival orangutan di lingkungan barunya adalah dengan melihat pola aktifitas hariannya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, orangutan yang dapat bertahan di lingkungan barunya memiliki aktifitas makan yang tinggi, aktifitas bergerak yang tinggi dan memiliki aktifitas istirahat yang rendah. Dari grafik dan pengamatan selama di lapangan terhadap 8 individu orangutan dapat diketahui bahwa diantara ke – 8 individu yang diamati, 5 individu orangutan yaitu Hengki, Bimbim, Boni, Win gayo dan Rencong sudah dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya sedangkan 3 individu yang lain yaitu Tatok, Zidan dan Boiran tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Pe rbandingan Aktifitas M akan, B e rge rak dan Istirahat O rangutan 0,70
P ersentase aktifitas harian
0,60 0,50 Aktifitas M akan
0,40
Aktifitas B er g erak
0,30
Aktifitas Is tirahat
0,20 0,10 0,00
He ng ki
T a tok
Bim b im
Bo ni
W in Ga yo
Zida n
Re nco ng
Bo ira n
Nam a
Gambar 9. Grafik perbandingan aktifitas makan, aktifitas gerak dan aktifitas istirahat orangutan di alam Dari ke – 3 individu orangutan yang tidak dapat beradaptasi ini, 1 individu sudah mati yaitu boiran, 1 individu hilang dari pemantauan yaitu zidan dan 1 individu masih dalam proses pemantauan yaitu tatok.
B.2.2 Evaluasi Terhadap Tingkat
Survival Keseluruhan Orangutan
Sumatera Yang Sudah Diliarkan Tingkat survival orangutan sumatera adalah tingkat kemampuan adaptasi individu orangutan untuk hidup bertahan di lingkungan yang baru. Tingkat survival setiap individu oragutan berbeda antara satu dengan yang lain. Tingkat survival orangutan di lingkungan barunya sangat tergantung dari lama pemeliharaan oleh manusia. Orangutan yang sudah lama dipelihara manusia pada umumnya sangat sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya bahkan ada yang sama sekali tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pola perilaku sehingga orangutan sangat bergantung kepada manusia dan tidak mampu untuk mencari makanannya sendiri. Proses penilaian terhadap tingkat keberhasilan orangutan sumatera yang sudah dilepaskan dilakukan berdasarkan ke – 5 kriteria penilaian tingkat keberhasilan reintroduksi. Orangutan yang memenuhi minimal 4 kriteria penilaian sudah dapat mampu bertahan di lingkungan barunya. Proses penilaian terhadap individu orangutan dilakukan dengan pengamatan secara langsung terhadap individu orangutan yang ditemui di hutan dan dengan wawancara kepada staf dan masyarakat lokal yang berada di areal pelepasan. Proses wawancara dilakukan terhadap individu – individu orangutan yang tidak dijumpai selama proses penelitian berlangsung. Pelepasan orangutan pertama dilakukan pada bulan Januari 2003 secara berkelompok. Pelepasan secara berkelompok ini bertujuan supaya orangutan diharapkan mampu melakukan aktifitas secara bersama – sama terutama dalam melakukan aktifitas makan sehingga orangutan yang belum mampu mencari makan dengan baik dapat belajar dari orangutan lain yang sudah mampu mencari makan dengan baik yang berada di dalam kelompoknya. Tetapi berdasarkan kenyataannya
di lapangan
orangutan
cenderung memisahkan diri dari
kelompoknya. Berdasarkan pengalaman tersebut, saat ini pelepasan orangutan ke alam kebanyakan dilakukan secara satu persatu. Sampai saat ini jumlah orangutan yang sudah dilepaskan ke habitat alaminya berjumlah 40 ekor orangutan. Dari ke – 40 ekor orangutan yang sudah dilepas ke hutan hanya 26 ekor individu orangutan yang sudah dapat dipastikan
mampu bertahan di lingkungan barunya karena sudah memenuhi minimal 4 kriteria penilaian tingkat keberhasilan reintroduksi orangutan sumatera. Dari ke semua orangutan yang dilepas ke alam ada juga yang mati. Jumlah orangutan yang mati di habitat alaminya yang berhasil ditemukan berjumlah 4 ekor dan sisanya hilang dari pemantauan. Selain itu ada juga berita baik yang diperoleh dari proyek ini yaitu 2 individu orangutan betina dewasa yang sudah berhasil dilepaskan ke habitat alaminya telah melahirkan bayi. Dengan lahirnya 2 individu baru orangutan di habitat alaminya menunjukkan bahwa habitat baru ini mampu mendukung kehidupan orangutan. C.
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Reintroduksi Orangutan Sumatera Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan dari keseluruhan
orangutan sumatera yang sudah diliarkan kembali ke alam tidak semuanya mampu beradaptasi dilingkungannya yang baru. Bagi orangutan yang sudah mampu beradaptasi di lingkugannya yang baru mengalami proses adaptasi yang berbeda – beda antar individu yang satu dengan individu yang lain yaitu ada yang cepat dan ada juga yang membutuhkan proses yang cukup lama untuk beradaptasi di lingkungan barunya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan reintroduksi orangutan sumatera yaitu 1.
Riwayat Pemeliharaan Orangutan Riwayat pemeliharaan orangutan memiliki pengertian yaitu lamanya
pemeliharaan orangutan yang dilakukan oleh manusia karena seluruh orangutan yang direintroduksi berasal dari pemeliharaan manusia. Berdasarkan riwayat pemeliharaan orangutan kita dapat mengetahui peluang keberhasilan reintroduksi orangutan sumatera dimana orangutan yang memiliki riwayat pemeliharaan yang hanya sebentar berhubungan dengan manusia akan memiliki peluang keberhasilan reintroduksi yang tinggi dan memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi juga bila dibandingkan dengan orangutan yang memiliki riwayat pemeliharaan yang cukup lama. Orangutan yang memiliki riwayat pemeliharaan yang lama berhubungan dengan manusia akan menyebabkan orangutan kehilangan perilaku
alaminya secara perlahan – lahan dan akhirnya orangutan tidak memiliki sifat alaminya (menjadi tergantung dengan manusia). Berdasarkan riwayat pemeliharaan orangutan maka kita dapat menentukan individu – individu orangutan yang masih layak untuk direintroduksi karena apabila kita melepaskan orangutan yang memiliki riwayat pemeliharaan yang cukup lama berhubungan dengan manusia akan membuang biaya saja karena sudah
dapat dipastikan orangutan tersebut tidak akan
berhasil untuk
direintroduksi. Dengan demikian solusi yang dapat dilakukan bagi orangutan yang sudah tidak memungkinkan untuk direintroduksi ialah dengan menetapkan sebuah lokasi dimana orangutan yang sudah tidak memungkinkan untuk direintroduksi ditempatkan di lokasi tersebut sehingga pengontrolan lebih mudah dilakukan dan sekaligus dapat dijadikan sebagai lokasi obyek wisata. Dan keuntungan yang diperoleh dari obyek wisata ini dapat digunakan untuk membiayai reintroduksi orangutan sumatera yang masih memiliki pelung untuk direintroduksi. 2.
Umur Orangutan Umur orangutan juga merupakan faktor penentu keberhasilan reintroduksi.
Orangutan yang sudah dewasa akan memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinngi dibandingakan orangutan yang masih kecil dan anak meskipun berdasarkan pengamatan di lapangan dijumpai orangutan yang masih kecil yang berhasil direintroduksi sedangkan orangutan yang sudah dewasa tidak berhasil direintroduksi bahkan mengalami kematian. Orangutan yang sudah dewasa dianggap memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan orangutan yang masih kecil dan anak karena orangutan dewasa sudah memiliki pengetahuan yang cukup, naluri alami yang baik dan memiliki ingatan yang lebih baik mengenai pakan – pakan yang terdapat di habitat alaminya sebelum ditangkap dan dipelihara oleh manusia. Untuk itu, dalam melakukan reintroduksi orangutan sebaiknya dilakukan terlebih dahulu terhadap orangutan dewasa dengan riwayat pemliharaan yang hanya sebentar berhubungan dengan manusia.
3.
Tindakan Selama Masa Rehabilitasi Orangutan yang disita dari masyarakat tidak langsung diliarkan kembali
tetapi harus terlebih dahulu mengalami masa rehabilitasi. Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk memastikan orangutan dalam keadaan sehat dan juga untuk memulihkan kembali sifat – sifat alaminya. Sebelum direintroduksi orangutan melewati dua kali masa rehabilitasi yaitu pertama, masa karantina, dimana di saat ini dilakukan pemeriksaan terhadap kesehatan orangutan dan harus benar – benar dipastikan orangutan berada dalam kondisi yang sehat. Selain itu pada masa karantina orangutan diajar untuk membuat sarang dan memanjat dalam rangka usaha memulihkan sifat alami orangutan. Setelah menjalani masa karantian orangutan harus mengalami masa rehabilitasi yang ke dua yaitu masa adaptasi, dimana di saat ini dilakukan pengenalan terhadap pakan – pakan yang terdapat di dalam hutan sehingga nantinya orangutan sudah terbiasa dengan makanan yang terdapat di hutan dan dalam masa adaptasi ini orangutan juga tetap dilatih untuk membuat sarang dan memanjat. Dalam menjalani proses rehabilitasi, campur tangan manusia diusahakan seminimal mungkin. Ini bertujuan agar orangutan memiliki sifat mandiri sehingga tidak tergantung terhadap manusia. Setelah orangutan mengalami masa rehabilitasi maka orangutan sudah bisa untuk dilepaskan ke habitat alaminya. Orangutan yang sudah dilepaskan tidak bisa langsung dibiarkan bebas tanpa ada campurtangan manusia tetapi harus dipantau minimal satu minggu untuk memastikan keberadaannya. Dan apabila orangutan dianggap sudah mampu maka orangutan dapat dibiarkan bebas tanpa ada campur tangan manusia lagi. 4.
Faktor Sosial Keberhasilan reintroduksi orangutan juga dipengaruhi oleh faktor sosial.
Faktor sosial yang dimaksudkan disini ialah respon masyarakat terhadap keberadaan orangutan karena areal reintroduksi berdekatatan langsung dengan pemukiman masyarakat dimana orangutan terkadang berada di daerah peladangan masyarakat untuk mencari makanan. Untuk itu perlu dilakukan penyuluhan kepada masyarakat untuk tidak membunuh ataupun memburu apabila menjumpai orangutan yang berada di kawasan pemukiman sehingga keberadaan orangutan tetap terjamin.
VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Ada empat tahapan proses dalam pelaksanaan reintroduksi orangutan sumatera yaitu 1) proses karantina ; 2) proses pengangkutan ; 3) proses adaptasi dan 4) proses pelepasan ke alam. 2. Berdasarkan hasil pemantauan terhadap delapan individu orangutan yang diikuti secara rutin hanya lima individu yang mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan barunya yaitu bimbim,boni, win gayo, rencong dan hengki. 3. Sejak tahun 2003 sampai saat ini, jumlah orangutan yang sudah diliarkan kembali ke habitat alaminya berjumlah 40 ekor dan hanya 26 ekor (65 %) yang dianggap mampu bertahan di lingkungan barunya. 4. Ada lima parameter yang dianggap dapat digunakan dalam penentuan tingkat keberhasilan reintroduksi orangutan sumatera yaitu 1) memiliki aktifitas makan tinggi (> 47%); 2) memiliki pengetahuan pakan alami yang baik (minimal 25 jenis); 3) memiliki kemampuan membuat sarang tidur; 4) memiliki kemampuan memanjat pohon yang baik dan 5) mampu berkembang biak
B. Saran 1. Perlu dilakukan studi khusus mengenai proses adaptasi orangutan di lingkungan alaminya yang baru. 2. Perlu dilakukan studi lanjutan mengenai parameter – parameter yang dapat digunakan dalam menentukan tingkat keberhasilan reintroduksi orangutan.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 1997. Teknik Pengelolaan Satwaliar – Dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor Bennett TB, Abee RC, Henrickson R. 1995. Nonhuman Primate In Biomedical Research – Biology and Management. Academic Press Inc. San Diego, California. Bismark M. 1984. Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Bramblett C. 1994. Patterns of Primate Behaviour Second Edition. Waveland Press, Inc America Cowlishaw G and Dunbar R. 2000. Primate Conservation Biology. The Universty of Chicago Press. Chicago ang London Galdikas B. 1978. Adaptasi Orangutan Di Suaka Tanjung Putting Kalimantan Tengah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta Frankfurt Zooloical Society.2002. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) Kegiatan Pusat Reintroduksi Orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelii) Di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Pusat Studi Lingkungan Universitas Jambi. Jambi Hadinoto. 1993. Studi Perilaku dan Populasi Monyet Ekor Panjang ( Macaca fasicularis Raffles, 1821 ) Dalam Kandang Penangkaran. Skripsi : Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan . Institut Pertanian Bogor. Bogor Mackinnon, J. 1972. The Behaviour And Ecology Of The Orangutan ( Pongo pygmaeus ) With Relation To The Other Apes. Oriel College, Oxford Mangapul O. 1988. Kajian Sistem Pengangkutan Dalam Perdagangan Primata Jenis Macaca fasicularis Ratfles, 1821 Asal Sumatera Bagian Selatan. Skripsi : Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Martin P and Batesson P. 1993. Measuring Behaviour – An introductory guide Second Edition. Cambridge University Press Meijaard E, Rijksen DH, Kartikasari NS. 2001. Di Ambang Kepunahan – Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke - 21.The Gibbon Foundation Indonesia. Jakarta
Napier. 1967. A Handbook of Living Primates – Morphology, Ecology and Behaviour of Nonhuman Primates. Academic Press. London – New York Pratje P. 1998. Reintroduction of The Sumatran Orangutan. Frankfurt Zoological Society. Jambi Primack BR, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Rijksen DH. 1978. A Fieldstudy On Sumatran Orang Utans ( Pongo pygmaeus abelii Lesson 1827 ) – Ecology, Behaviour And Conservation. Agricultural University, Wageningen. Netherlands Rizali, Suryamin. 2000. Laporan Potensi Flora Pohon Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh Dalam Kegiatan Rehabilitasi Orangutan. Frankfurt Zoological Society. Jambi Smith D. 2002. Apa Yang Dikatakan Orangutan Pada Alice : Petualangan di Hutan Hujan Tropis. PILI – NGO Movement dan Yayasan BOS. Bogor Sujarno R. 2000. Analisis Hubungan Antara Dimensi Sarang dan Karakteristik Individu Orang Utan ( Pongo Pygmaeus pygmaeus Linnaeus, 1760 ) Di Taman Nasional Tanjung Puitng Kalimantan Tengah. Skripsi : Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Supriatna J. 2000. Panduan Lapangan – Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Lampiran 1.
Struktur vegetasi hutan di sekitar Stasiun Reintroduksi Orangutan
Sumatera No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
I.
Tingkat Pohon
1.
Meranti
Shorea sp.
2.
Kempas
Koompasia sp.
3.
Balam
Palaquium sp.
4.
Mahang
Macaranga sp.
5.
Terap
Artocarpus elasticus
6.
Medang
Litsea sp.
7.
Mersawa
Anisoptera sp.
8.
Lansat
Lansium domesticum
9.
Manggis
Garcinia mangostona
10.
Rambai
Baccaurea parviflora
11.
Cempedak hutan
Artocarpus sp.
12.
Petai
Parkia speciosa
13.
Ara
Ficus sp.
14.
-
Ficus vulva
15.
Keranji
Dialium playsepulum
16.
Kulim
Scorodocarpus borneensis
17.
Kenanga
18.
Kedondong
Spondias dulcas
19.
Kelat
Eugenia sp.
20.
Petaling
II.
Tingkat Tiang
1.
Tampui
Baccaurea parviflora
2.
Pasak bumi
Eurycoma longifolia
3.
Paku tiang
Alsophila glauca
4.
Mahang
Macaranga sp.
5.
Pisang hutan
Musa acuminata
III.
Tingkat Semai
1.
Rotan
Calamus sp.
2.
Bambu
Bambusa sp.
3.
Kiduduk
Melastoma malabathricum
4.
Kiduduk putih
Clidemia sp.
5.
Puar
Zingiber sp.
Lampiran 2. Jenis – jenis satwa yang ditemukan di Lokasi Reintroduksi Orangutan Sumatra No. I. Mamalia 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. II. Reptilia 1. 2. 3. III. Amphibia 1. 2. IV. Aves 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Nama Lokal Harimau sumatera Landak raya Angkis ekor panjang Landak butun Kubung malaya Jelarang bilalang Bajing tiga warna Bajing kerdil telinga hitam Beruang madu Berang – berang sumatera Gajah Babi berjenggot Pelanduk kancil Kijang muncak Rusa sambar Lutung simpai Owa ungko Monyet ekor panjang Beruk Bajing kecil dataran rendah Musang galing Musang luwak Kucing akar Musang leher kuning Bajing tanah ekor tegak Garangan ekor panjang Tenggalung malaya Binturung Pelanduk napu Tapir Kelalawar hutan
Nama Ilmiah Panthera tigris sumatrae Hystrix brachyura Trichys fasciculata Hystrix crassipinis Cynocephalus variegatus Ratufa affinis Callosciurus prevostii Nannosciurus melanotis Helarctos malayanus Lutra sumatrana Elephas sumatraensis Sus barbatus Tragulus javanicus Muntiacus muntjac Cervus unicolor Presbytis melalophos Hylobates agilis Macaca fasicularis Macaca nemestriana Exilisciurus exiliis Paguma larvata Paradoxurus hermaproditus Neofelis nebulosa Martes flavigula Rheithrosciurus macrotis Herpestes brachyurus Viverra tanganlunga Arctictis binturong Tragulus napu Tapirus indicus Kerivoula pellucida
Labi – labi Kura – kura Ular tanah Kodok Katak
Rana sp. Bufo sp.
Elang ular bido Kuau raja Ayam hutan merah Punai salung Punai gading Delimukan zamrud Kadalan birah Bubut besar Luntur kepala merah Raja udang meninting Cekakak batu
Spilornis cheela Argusianus argus Gallus gallus Treron oxyura Treron vernans Chalcophaps indica Phaenicophaeus curvirostis Centropus sinensis Harpactes erythrocephalus Alcedo meninting Lacedo pulchella
No. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65.
Nama Lokal Kirik – kirik biru Kadalan kera Bubut alang - alang Alap – alap erasia Julang emas Kangkareng hitam Kangkareng perut putih Rangkong badak Rangkong papan Rangkong gading Pelatuk sayap merah Sempur hujan sungai Sempur hujan darat Cucak kerinci Cucak kutilang Empuloh janggut Srigunting hitam Srigunting gagak Srigunting bukit Srigunting sumatera Srigunting batu Kacembang gadung Gagak hutan Pelanduk topi hutan Kucica kampung Kucica hutan Meninting besar Seriwang asia Kicuit batu Tiong emas/beo Pentis pelangi Cikrak kutub Bondol tunggir putih Elang buteo Sempidan biru Gelatik batu sultan Baza jerdon Beluk jampuk Merbah corok - corok Caladi tilik Tukik tikus Pijantung Enggang kliningan Cirik – cirik kumbang Madi kelam Sepah hutan Cucak rumbai tungging Kepudang hutan Enggang jambul Elang parsia Elang tiram Pelatuk kumis kelabu Madi hijau kecil Meninting cegar
Nama Ilmiah Merops leschenaulti Phaenicophaeus tristis Centropus bengalensis Falco tinnunculus Aceros undulatus Anthracoceros malayanus Anthracoceros albirostris Buceros rhinoceros Buceros bicornis Buceros vigil Picus canus Cymbirhynchus macrorhynchos Eurylaimus javanicus Pycnonotus leucogrammicus Pycnonotus aurigaster Alophoixus bres Dicrurus macrocercus Dicrurus annectans Dicrurus remifer Dicrurus sumatranus Dicrurus paradiseus Irena puella Corvus enca Pellorneum capistratum Copsychus saularis Copsychus malabaricus Enicurus leschenaulti Tersiphone paradisi Motacilla cinerea Gracula religiosa Prionochilus percussus Phylloscopus borealis Lonchura striata Buteo buteo Lophura ignita Parus major Aviceda jerdoni Bubo sumatranus Pycnonotus simplex Picoides mollucensis Sasia abnormis Arachnotera sp. Anorrhinus galeritus Nyctyornis amictus Corydon sumatranus Pericrocotus flammeus Pycnonotus eutilotus Oriolus xanthonotus Aceros comatus Milvus migras Pandion haliaetus Picus mentalis Calyptomenia viridis Enicurus ruficapillus
No. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72.
Nama Lokal Julang jambul hitam Pelatuk kundang Pelatuk merah Cinenen merah Puyuh sengayan Kadalan selaya Pelatuk ayam
Nama Ilmiah Aceros corrugatus Reinwardtipicus validus Picus miniaceus Orthotomus sericeus Rollulus rouloul Phaenicophaeus chloropaeus Dryocopus javensis
Lampiran 3. Tally sheet pengamatan aktifitas harian orangutan. Date :
Orangutan :
TIME 5:44 5:46 5:48 5:50 5:52 5:54 5:56 5:58 6:00 6:02 6:04 6:06 6:08 6:10 6:12 6:14 6:16 6:18 6:20 6:22 6:24 6:26 6:28 6:30 6:32 6:34 6:36 6:38 6:40 6:42 6:44 6:46 6:48 6:50 6:52 6:54 6:56 6:58 7:00 7:02 7:04 7:06 7:08
ALT
ACT
SOCIAL ACT Who
Observer :
+/-
PARTY PS Who
FOOD ITEM
extra
TREE TC TH
Keterangan : ALT = Altitude (Tinggi) ACT = Action (Aksi) ITEM = Kind of food (Jenis makanan, mis : buah, daun, dll) Extra = Part of food (Bagian makanan, mis : kulit, biji dan daging) TC = Tree Class (Kelas pohon) TH = Tree High (Tinggi pohon) NC = Nest Class (Kelas sarang) NP = Nest Position (Posisi sarang) NQ = Nest Quality (Kualitas sarang) DBH = Diameter pohon
Weather : Sp - No
NEST NC NP
NQ
DBH
Lampiran 4. Daftar pertanyaan kepada pengelola. A. Masa Karantina 1. Berapa jumlah dan berasal dari mana saja asal orangutan yang sudah direhabilitasi? 2. Bagaimana komposisi jenis kelamin dan kelas umur orangutan yang direhabilitasi ? 3. Bagaimana sistim pemeliharaan dan perawatan kesehatan orangutan selama masa karantina ? 4. Apa kriteria yang harus dipenuhi sebelum orangutan dipindahkan ke stasiun adaptasi? B. Masa Pengangkutan 1. Berapa jumlah orangutan yang diangkut dalam setiap pelaksanaan proses pengangkutan ke stasiun adaptasi ? 2. Jenis alat angkut apa saja yang digunakan selama masa pengangkutan ? 3. Surat dan dokumen apa saja yang diperlukan selama masa pengangkutan ? 4. Tindakan apa saja yang dilakukan terhadap orangutan selama masa pengangkutan ? 5. Kendala apa saja yang dihadapi selama masa pengangkutan ? C. Masa Adaptasi 1. Apa latar belakang pemilihan areal yang sekarang dijadikan sebagai lokasi reintroduksi orangutan sumatera. 2. Berapa jumlah orangutan yang sudah masuk di stasiun adaptasi dan berapa jumlah orangutan yang sudah dilepaskan ke alam ? 3. Bagaimana sistim pemeliharaan orangutan selama masa adaptasi ? 4. Berapa lama orangutan mengalami masa adaptasi sebelum dilepaskan ke alam ?
D. Pelepasan ke Alam 1. Pada saat kapan umumnya orangutan dilepaskan ke alam ? 2. Berapa lama proses pemantauan terhadap orangutan yang dilepas ke alam ? 3. Bagaimana proses adaptasi orangutan terhadap orangutan terhadap lingkungan barunya ) 4. Bagaimana tingkat survival orangtuan yang sudah dilepas ke alam ? 5. Usaha apa saja yang dilakukan pasca pelepasan orangutan ke alam ? 6. Permasalahan apa saja yang dihadapi pasca pelepasan orangutan ke alam ?
Lampiran 5. Daftar Orangutan yang Masuk ke Stasiun Karantina Orangutan Batumbelin - Sibolangit No. ID OU 1 OU 2 OU 3 OU 4 OU 5 OU 6 OU 7 OU 8 OU 9 OU 10 OU 11 OU 12 OU 13 OU 14 OU 15 OU 16 OU 17 OU 18 OU 19 OU 20 OU 21 OU 22 OU 23 OU 24 OU 25 OU 26 OU 27 OU 28
Nama Waikiki Riki Madu Roma Santi Bobbi Rimba Franki Jakarta Tala Desi Chitos Mustafa Ambar Ongki Betti Franki Medan Bije Bimbim Nova Oga Boni Romi Oj Abing Sabang Moli Tila Inong
No. Microchip
00-0637-1203
00-062D-15B9 00-163C-125B 00-063B-EA2A 00-062F-E81A 00-062F-EDCC 00-062F-6EF7 00-0638-B481 00-062B-IE4C 00-0638-4533 00-0638-2031 00-062F-57AD 00-062F-E796 00-063C-09E4 00-062F-F7FE
Kelamin Jantan Betina Jantan Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Betina Jantan Jantan Jantan Betina Betina Jantan Jantan Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Betina Betina Betina Betina Betina
Asal BKSDA SUMUT I/Medan BKSDA SUMUT I/Medan BKSDA SUMUT I/Medan BKSDA SUMUT I/Medan BKSDA SUMUT I/Medan BKSDA SUMUT I/Medan BKSDA SUMUT I/Binjai BKSDA DKI JKT/JKT BKSDA SUMUT I BKSDA JABAR I/BDG BKSDA JABAR I/BDG BKSDA SUMUT II BKSDA SUMUT II BKSDA NAD/Kotacane BKSDA NAD/B.Aceh BKSDA SUMUT I BKSDA SUMUT I/Medan BKSDA Bengkulu BKSDA Jambi BKSDA Jambi BKSDA NAD/Sabang BKSDA SUMUT I/Medan BKSDA SUMUT I/Medan BKSDA DKI JKT BKSDA NAD/Sabang BKSDA NAD/B.Aceh BKSDA SUMUT I BKSDA NAD/B.Aceh
Umur (tahun) 10 11 12 11 11 8 5 13 4 8 15 16 9 6,5 16 16 8 7 8 6,5 14 5,5 7 7 13 10 4 14
Tanggal Masuk Stasiun Karantina 24/04/2002 24/04/2002 24/04/2002 24/04/2002 24/04/2002 24/04/2002 19/05/2002 25/06/2002 23/05/2002 08/06/2002 08/06/2002 30/07/2002 30/07/2002 26/11/2002 03/12/2002 23/12/2002 18/01/2003 11/03/2003 11/03/2003 11/03/2003 12/05/2003 20/05/2003 08/08/2003 12/08/2003 04/09/2003 04/09/2003 23/09/2003 13/10/2003
Lama Pemeliharaan 08 bulan 21 hari 08 bulan 21 hari 08 bulan 21 hari 08 bulan 21 hari 08 bulan 21 hari 09 bulan 03 hari 08 bulan 08 hari 14 bulan 06 hari
Keterangan
07 bulan 19 hari 14 bulan 23 hari 13 bulan 01 hari 17 bulan 06 hari 02 bulan 01 hari 09 bulan 27 hari 08 bulan 08 hari 11 bulan 18 hari 05 bulan 18 hari 05 bulan 19 hari 06 bulan 19 hari 07 bulan 06 hari 07 bulan 14 hari 04 bulan 28 hari 04 bulan 24 hari 04 bulan 02 hari
Group I Group I Group I Group I Group I Group II Group II Group III Mati (31/05/02) Group II Group III Group III Group V Group II Group IV Group III Group V OU Kalimantan OU Kalimantan Group IV Group V Group V Group V Group V Group V
02 bulan 23 hari
Group V
OU 29 OU 30 OU 31 OU 32 No. ID
Sari Sita Boiran Putri Nama
OU 33 OU 34 OU 35 OU 36 OU 37 OU 38 OU 39 OU 40 OU 41 OU 42 OU 43 OU 44 OU 45 OU 46 OU 47 OU 48 OU 49 OU 50 OU 51 OU 52 OU 53 OU 54 OU 55 OU 56 OU 57 OU 58 OU 59
Momon Abu Sasa Muni Roberta Boboy Syarifah Tatok Rencong Borneo Leuser Emon Jenggo Bona Franky Aceh Win Gayo Diana Zidan Sonan Hengki Sinyak Paul Heni Manis Susi Novi Lina
00-062F-D4BC 00-062F-77DB No. Microchip
00-062F-EDA1 00-0638-48B3 00-062A-CDAC
00-063B-C42E 00-0638-E5E3 00-063C-117B 00-062F-EC40
Betina Betina Jantan Betina Kelamin
BKSDA NAD/B.Aceh BKSDA SUMUT I/Medan BKSDA NAD/B.Aceh BKSDA RIAU/P.Baru Asal
Jantan Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Betina Jantan Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Betina Betina
BKSDA RIAU/Desa Petai BTNGL/Bukit Lawang BTNGL/Bukit Lawang BTNGL/Bukit Lawang BKSDA NAD/Sabang BKSDA RIAU/Batam BKSDA NAD/B.Aceh BKSDA NAD/Langsa BKSDA SUMUT I/Medan BKSDA DKI JKT/Cirebon BKSDA NAD/Kutacane BKSDA NAD/Kutacane BKSDA NAD/Kutacane BKSDA NAD/B.Aceh BKSDA NAD/B.Aceh BKSDA NAD/Kutacane BKSDA NAD/Kutacane BKSDA NAD/Takengon BKSDA NAD BKSDA NAD BKSDA NAD Lahir di karantina BKSDA/TNGL BKSDA SUMUT II BKSDA SUMUT I/Dairi BKSDA NAD/Gayo Luwes BKSDA NAD/Gayo Luwes
15 4 11 12 Umur (tahun) 5 5 7 5 7 7 4 5,5 6 10 6 4 6 9 4 9 2 6 7 8 8 6 4 7 5 5
13/10/2003 14/10/2003 11/11/2003 05/12/2003 Tanggal Masuk Stasiun Karantina 05/12/2003 19/12/2003 19/12/2003 19/12/2003 24/12/2003 31/12/2003 05/01/2004 21/01/2004 06/02/2004 20/02/2004 20/02/2004 20/02/2004 20/02/2004 03/03/2004 03/03/2004 09/03/2004 09/03/2004 19/03/2004 19/04/2004 14/05/2004 11/06/2004 17/06/2004 03/07/2004 15/07/2004 25/07/2004 21/08/2004 21/08/2004
02 bulan 23 hari 05 bulan 15 hari 04 bulan 28 hari Lama Pemeliharaan
Group V Group VI Group VII Keterangan Group VI
06 bulan 19 hari 06 bulan 19 hari 06 bulan 19 hari 03 bulan 04 hari 02 bulan 03 hari 03 bulan 23 hari 03 bulan 23 hari 01 bulan 09 hari 03 bulan 10 hari 02 bulan 24 hari
VI IX VII IX VII OU Kalimantan VIII VIII VI Mati VIII IX VIII IX IX IX Mati
OU 60 OU 61 OU 62 OU 63 OU 64 OU 65 OU 66 No. ID
Bona Billi Willi Oga Edita Jonder Menil Nama
OU 67 OU 68
Tesi Opi
No. Mikrochip
Betina Jantan Jantan Jantan Betina Jantan Jantan Kelamin
BKSDA NAD/Banda Aceh BKSDA NAD/Takengon BKSDA NAD/Gayo Luwes BKSDA NAD/Gayo Luwes BTNGL/Bukit Lawang BKSDA SUMUT I/Medan BKSDA SUMUT I/Medan Asal
6 4 4 4 4 11 Umur (tahun)
07/09/2004 22/09/2004 06/10/2004 11/10/2004 19/10/2004 29/10/2004 29/12/2004 Tanggal Masuk Stasiun Karantina
Lampiran 6.
Komposis Jenis Pohon Di Kelompok Hutan Sungai Mangatal BukitTiga Puluh
No
Marga – Jenis
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50.
Shorea Eugenia Aglaia Dipterocarpus Quercus Elateriospermum tapos Parashorea Scaphium macropodum Gironniera Xanthophyllum Pimelodendron griffitgianum Baccaurea bracteata * Hydnocarpus Mallotus Polyalthia Aporusa Shorea leprosula Artocarpus elasticus * Dialium Dehaasia Drypetes Vatica Ochanostachys amentacea Shorea acuminata Alseodaphne Myristica Dysoxylum Dacryodes Barringtonia Koompasia malaccensis Streblus elongatus * Scorodocarpus borneensis Santiria Neoscortechinia kingii Palaquium obovatum Diospyros Knema mandarahan Dyera costulata Gardenia anisophylla Nephelium mutabile * Parkia speciosa * Shorea macroptera Microcos Cryptocarya Mallotus penagensis Beilschmiedia Timonius Anisoptera Shorea multiflora Knema
Nama Daerah
Tampui
Terap
Kepinis
Kaki nyamuk Petai hutan
F 0.875 0.958 1.000 0.583 0.958 0.625 0.833 0.792 0.792 0.792 0.875 0.792 0.667 0.750 0.708 0.708 0.250 0.583 0.417 0.583 0.583 0.542 0.458 0.250 0.625 0.667 0.375 0.542 0.542 0.542 0.333 0.250 0.375 0.417 0.500 0.458 0.417 0.292 0.417 0.500 0.500 0.375 0.458 0.375 0.375 0.375 0.500 0.167 0.250 0.375
De ( N/ha) 18.333 25.000 20.208 5.833 13.125 14.583 10.417 10.000 12.708 10.417 10.833 9.583 10.625 10.833 7.083 8.333 2.292 6.042 5.208 6.250 5.833 4.583 4.375 1.875 4.792 5.000 3.958 4.375 4.167 4.583 3.958 1.250 3.542 4.792 3.750 4.167 3.333 1.875 3.333 3.333 3.125 3.125 3.333 3.125 3.750 2.500 2.917 0.833 3.125 2.917
Do (M2/ha ) 2.381 0.960 0.472 1.334 0.785 0.658 0.662 0.686 0.296 0.320 0.240 0.240 0.245 0.166 0.216 0.132 0.626 0.277 0.391 0.224 0.221 0.291 0.329 0.544 0.165 0.122 0.297 0.124 0.123 0.082 0.201 0.370 0.190 0.101 0.106 0.105 0.159 0.281 0.137 0.088 0.084 0.139 0.088 0.135 0.078 0.133 0.048 0.300 0.135 0.076
IV (%) 18.11 12.92 9.47 9.31 9.23 8.17 7.69 7.61 6.33 5.91 5.81 5.32 5.30 5.15 4.41 4.29 4.21 4.17 4.14 3.96 3.84 3.79 3.73 3.70 3.42 3.35 3.28 2.92 2.87 2.77 2.71 2.70 2.66 2.62 2.59 2.58 2.55 2.51 2.44 2.40 2.33 2.31 2.30 2.28 2.16 2.13 2.11 2.06 1.99 1.95
No. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91 92. 93. 94. 95. 96 97. 98. 99 100. 101. 102. 103.
Marga - Jenis Shorea ovalis Calophyllum Santiria laevigata Shorea parvifolia Kibessia azurea Nauclea Shorea pauciflora Pertusadina euryncha Melanochyla Nephelium lappaceum * Helicia Pouteria malaccensis Artocarpus integer * Gironniera subaequalis Strombosia Knema cinerea Garcinia dioica * Litsea Artocarpus anisophyllus * Durio carinatus * Macaranga hypoleuca Mangifera parvifolia * Endospermum diadenum Gymnacranthera Baccaurea javanica * Xylopia Gonystylus Archidendron bubalinum * Sterculia Crypteronia Macaranga gigantea Actinodaphne Trioma malaccensis Artocarpus rigidus * Cinnamomum Polyalthia lateriflora Polyalthia sumatrana Santiria tomentosa Macaranga Trigonopleura Lithocarpus Melicope Alangium Sandoricum koetjape * Palaquium gutta Carallia brachiata Xantthophyllum stipitatum Kayu pisang (Apoc.) Ptychopyxis Pometia pinnata * Bhesa paniculata Canarium Antidesma tetandrum *
Nama Daerah
Rambutan hutan Cempedak hutan
Kandis Babi kurus Durian hantu Bacang hutan Tampui kuro Kabau
Tempunik
Sentul
Kasai Bunai
F 0.375 0.375 0.250 0.208 0.333 0.250 0.167 0.167 0.250 0.250 0.292 0.208 0.250 0.125 0.250 0.292 0.250 0.208 0.208 0.208 0.250 0.250 0.125 0.208 0.250 0.250 0.250 0.208 0.125 0.208 0.167 0.208 0.083 0.125 0.167 0.125 0.208 0.125 0.167 0.125 0.083 0.167 0.167 0.167 0.125 0.125 0.167 0.167 0.083 0.125 0.083 0.125 0.125
De (N/ha) 2.500 2.708 2.292 1.667 2.500 1.875 1.250 0.833 1.458 1.875 1.667 1.667 1.667 2.292 1.458 1.667 1.667 1.042 1.250 1.042 1.250 1.458 0.625 1.042 1.250 1.250 1.250 1.458 0.625 1.250 1.458 1.250 0.417 0.625 1.042 1.458 1.042 0.625 1.458 1.042 0.625 1.042 0.833 0.833 1.042 0.833 0.833 0.833 1.458 0.833 0.833 0.625 1.042
Do (M2/ha) 0.070 0.057 0.125 0.165 0.038 0.106 0.166 0.183 0.109 0.067 0.038 0.078 0.057 0.087 0.050 0.020 0.032 0.081 0.070 0.067 0.031 0.020 0.118 0.057 0.021 0.021 0.016 0.021 0.092 0.021 0.031 0.020 0.117 0.086 0.043 0.042 0.016 0.075 0.014 0.045 0.083 0.017 0.026 0.025 0.034 0.036 0.016 0.015 0.024 0.031 0.049 0.036 0.013
IV (%) 1.82 1.80 1.75 1.70 1.56 1.55 1.50 1.49 1.47 1.36 1.27 1.27 1.27 1.26 1.18 1.18 1.14 1.13 1.13 1.07 1.04 1.03 1.02 1.02 0.99 0.99 0.96 0.94 0.89 0.89 0.89 0.88 0.87 0.86 0.85 0.85 0.81 0.81 0.81 0.76 0.75 0.72 0.72 0.71 0.71 0.67 0.67 0.66 0.66 0.64 0.64 0.62 0.61
No.
Marga - Jenis
Nama Daerah
104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151. 152. 153. 154. 155. 156.
Ficus indica * Plectronia Elaeocarpus Dillenia sumatrana * Cyathocalyx bancana Garcinia nervosa Eurycoma longifolia Sindora Neesia Tricalysia Euodia Horsfieldia Xerospermum noronhianum * Dacryodes rostrata Castanopsis Aquilaria malaccensis Dacryodes costata Cyathocalyx Laplacea Trioma Cleisthanthus Macaranga triloba Mesua cuspidata Styrax benzoin Ficus sp. * Dysoxylum alliaceum Lithocarpus benettii Garcinia hombroniana * Santiria griffithii Gynotroches Pangium edule Millettia Gardenia forsteniana Cinnamomum javanicum Memecylon sumatrana Palaquium Ternstroemia Heritiera Orophea Gardenia Pternandra coerulescens Botryophora Memecylon Coelostegia griffithii * Glochidion Irvingia malayana Lansium domesticum * Adinandra Pygeum Hopea Eugenia polyanta Litsea ferruginea Sloanea
Kayu aro kuning Simpur
Urat ruso
Buah di batang Manggis utan
Durian mas Lansat utan
F 0.125 0.083 0.125 0.125 0.125 0.125 0.125 0.083 0.125 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.042 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042
De (N/ha) 0.625 0.833 0.625 0.625 0.625 0.625 0.625 0.417 0.625 0.833 0.833 0.417 0.417 0.625 0.625 0.417 0.625 0.625 0.417 0.417 0.625 0.625 0.625 0.417 0.625 0.417 0.417 0.417 0.417 0.417 0.417 0.417 0.417 0.417 0.417 0.417 0.417 0.417 0.417 0.417 0.417 0.417 0.417 0.208 0.208 0.208 0.208 0.417 0.417 0.208 0.208 0.208 0.417
Do (M2/ha) 0.023 0.031 0.019 0.018 0.010 0.010 0.010 0.037 0.007 0.012 0.010 0.030 0.029 0.018 0.013 0.022 0.011 0.010 0.020 0.019 0.009 0.008 0.007 0.016 0.006 0.015 0.012 0.011 0.031 0.009 0.009 0.007 0.006 0.006 0.006 0.006 0.006 0.006 0.005 0.005 0.005 0.004 0.003 0.033 0.033 0.030 0.022 0.010 0.009 0.017 0.015 0.014 0.003
IV (%) 0.56 0.55 0.54 0.53 0.49 0.49 0.49 0.48 0.48 0.46 0.44 0.44 0.44 0.43 0.41 0.40 0.40 0.39 0.39 0.39 0.39 0.38 0.38 0.37 0.37 0.37 0.35 0.35 0.35 0.34 0.34 0.33 0.33 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.32 0.31 0.31 0.31 0.31 0.30 0.26 0.24 0.24 0.23 0.22 0.21 0.21
No. 157. 158. 159. 160. 161. 162. 163. 164. 165. 166. 167. 168. 169. 170. 171. 172. 173. 174. 175.
Marga – Jenis Cananga odorata Fagraea fragrans Kayea Anisophyllea apetala Gymnacranthera bancana Garcinia dulcis * Blumeodendron Bouea oppositifolia * Gonocaryum Ryparosa Vitex Xylopia malayana Ardisia macrophylla Bridelia Hydnocarpus woodii Wrightia Paranephelium Willughbeia tenuiflora * Dead Jumlah
F
Nama Daerah
Gelugur babi Berangan
A. jelutung
0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.042 0.000 42.625
Keterangan : * = Jenis pohon buah yang bisa dimakan orangutan F = Penyebaran ( Frequence ) De = Kerapatan ( Density ) Do = Dominasi ( Dominance ) IV = Nilai Penting ( Importance Value )
De (N/ha) 0.208 0.208 0.208 0.208 0.208 0.208 0.208 0.208 0.208 0.208 0.208 0.208 0.208 0.208 0.208 0.208 0.208 0.208 0.000 420.000
Do (M2/ha) 0.010 0.008 0.008 0.007 0.006 0.005 0.004 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.000 20.364
IV (%) 0.20 0.19 0.19 0.18 0.18 0.17 0.17 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.00 300.00
Lampiran 7.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50.
Komposisi Jenis Pohon Di Kelompok Hutan Sungai Pekundangan Bukit Tiga Puluh
Marga – Jenis Shorea Aglaia Eugenia Aporusa Polyalthia Elateriospermum tapos Calophyllum Quercus Artocarpus elasticus * Streblus elongatus * Pometia tomentosa * Drypetes Myristica Gironniera Microcos Ochanostachys amentacea Barringtonia Nephelium lappaceum * Shorea peltata Baccaurea javanica * Santiria Scaphium macropodum Palaquium Pternandra coerulescens Baccaurea bracteata * Horsfieldia Cryptocarya Dillenia obovata * Durio lowianus * Memecylon Gymnacranthera Diospyros Melanochyla Shorea leprosula Mangifera parvifolia * Koompassia malaccensis Pterospermum Knema Parashorea Dialium Dacryodes Antidesma tetandrum * Hydnocarpus Xanthophyllum Dyera costulata Pometia pinnata * Cotylelobium melanoxylon Parishia paucijuga Neoscortechinia kingii Artocarpus anisophyllus *
Nama Daerah
Terap Kepinis Kasai rimbo
Rambutan utan Tampui kuro
Tampui Gawal – gawal Durian daun
Bacang utan
Brenei
Kasai
Bakil
F 0.867 0.900 0.900 0.933 0.767 0.367 0.467 0.600 0.467 0.600 0.433 0.167 0.667 0.700 0.567 0.500 0.433 0.433 0.267 0.467 0.400 0.433 0.433 0.367 0.467 0.200 0.400 0.067 0.300 0.300 0.333 0.433 0.300 0.100 0.300 0.233 0.500 0.300 0.233 0.267 0.300 0.333 0.300 0.300 0.167 0.167 0.100 0.133 0.267 0.200
De (N/Ha) 22.667 38.333 35.167 32.500 14.167 13.333 14.500 11.000 3.833 7.167 4.167 8.833 6.000 5.333 5.167 4.833 4.667 3.833 5.500 5.667 4.167 3.000 3.333 4.500 3.833 1.500 2.833 1.667 1.833 4.333 3.000 2.833 3.833 0.667 3.333 1.833 1.500 3.167 1.333 2.000 2.833 2.333 2.333 1.833 1.167 2.167 2.500 1.000 2.333 1.333
Do (M2/Ha) 2.891 1.779 1.195 0.778 0.560 0.854 0.390 0.480 0.699 0.330 0.538 0.414 0.203 0.126 0.161 0.213 0.205 0.236 0.258 0.099 0.212 0.253 0.216 0.149 0.114 0.416 0.190 0.490 0.272 0.127 0.176 0.103 0.141 0.457 0.129 0.261 0.076 0.114 0.242 0.180 0.085 0.083 0.097 0.115 0.218 0.156 0.181 0.236 0.054 0.155
IV (%) 21.54 20.63 17.20 14.76 8.58 8.41 6.94 6.89 5.62 5.24 4.87 4.64 4.59 4.18 3.86 3.80 3.51 3.43 3.41 3.39 3.30 3.30 3.21 3.00 2.99 2.90 2.86 2.84 2.65 2.64 2.63 2.58 2.57 2.54 2.39 2.39 2.33 2.29 2.18 2.18 2.07 2.04 2.00 1.95 1.81 1.79 1.77 1.74 1.69 1.68
No. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103.
Marga - Jenis Artocarpus rigidus * Shorea acuminata Alseodaphne Litsea Croton argyratus Ryparosa Gardenia forsteniana Kayu pisang (Apoc) Pimelodendron griffithianum Parkia speciosa * Hopea Ziziphus Nauclea Dehaasia Ficus indica * Sterculia Parkia javanica * Botryophora Santiria laevigata Ixonanthes Ptychopyxis Dracontomelon Carallia brachiata Pertusadina euryncha Santiria somentosa Lansium domesticum * Strombosia Polyalthia sumatrana Anisoptera Coelostegia griffithii * Ternstroemia Mallotus Alstonia sholaris Garcinia dioica * Artocarpus Gonystylus Pygeum Xylopia Endospermum diadenum Vatica Prunus Bouea oppositifolia * Aglaia tomentosa Knema mendarahan Prainea limpato * Wrightia Dillenia sumatrana * Ervatamia sphaeerocarpa Gardenia anisophylla Planchonia valida Gardenia Dysoxylum Dysoxylum alliaceum
Nama Daerah Tempuni
Petai hutan
Kayu aro Alai
Duku rimbo
Durian mas
Kandis
Berangan Balam seminai Simpur
F 0.300 0.133 0.233 0.267 0.267 0.200 0.233 0.267 0.233 0.233 0.133 0.200 0.200 0.200 0.133 0.133 0.067 0.233 0.100 0.167 0.167 0.100 0.133 0.133 0.100 0.167 0.133 0.167 0.100 0.100 0.133 0.167 0.067 0.133 0.100 0.133 0.100 0.167 0.067 0.100 0.133 0.133 0.100 0.133 0.100 0.133 0.100 0.133 0.133 0.067 0.133 0.100 0.067
De (N/ha) 1.667 0.833 2.000 2.000 2.167 2.333 1.833 1.667 1.833 1.333 1.167 1.667 1.333 1.333 0.667 0.833 0.500 1.167 0.500 1.167 1.667 1.000 1.000 0.833 1.167 0.833 1.000 0.833 0.500 0.833 1.333 1.000 0.333 1.000 0.500 1.167 1.000 0.833 0.333 1.000 1.000 0.833 0.833 0.833 0.667 0.833 0.500 0.833 0.833 0.333 0.667 0.500 0.333
Do (M2/ha) 0.063 0.229 0.089 0.061 0.040 0.060 0.060 0.043 0.055 0.064 0.126 0.037 0.051 0.047 0.125 0.115 0.180 0.018 0.150 0.057 0.027 0.099 0.073 0.082 0.074 0.042 0.046 0.028 0.094 0.074 0.021 0.014 0.123 0.035 0.086 0.023 0.056 0.016 0.115 0.053 0.027 0.031 0.055 0.029 0.056 0.021 0.057 0.012 0.011 0.084 0.015 0.046 0.078
IV (%) 1.67 1.67 1.66 1.64 1.59 1.51 1.49 1.48 1.46 1.38 1.29 1.24 1.21 1.20 1.16 1.16 1.15 1.13 1.12 1.09 1.08 1.02 1.01 1.01 0.95 0.94 0.89 0.88 0.87 0.87 0.86 0.86 0.85 0.84 0.84 0.83 0.83 0.82 0.81 0.81 0.80 0.78 0.78 0.77 0.74 0.73 0.71 0.69 0.69 0.68 0.67 0.66 0.65
No.
Marga - Jenis
104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150 151. 152. 153. 154. 155. 156.
Xerospermum noronhianum * Kibessia azurea Santiria griffithii Nephelium mutabile * Baccaurea sanguinea * Tricalysia Beilschmiedia Pouteria malaccensis Helicia Cananga odorata Artocarpus kemando * Palaquium obovatum Heritiera Tristanopsis Durio zibethinus * Cinnamomum Macaranga Vitex Ganua Dipterocarpus Scorodocarpus borneensis Sindora Sandoricum koetjape * Pithecellobium bubalinum Cyathocalyx Macaranga hypoleuca Litsea firma Plectronia Crypteronia Gynotroches Adinandra Actinodaphne Nephelium cuspidatum * Lophopetalum Cyathocalyx bancana Planchonia Rhodamnia Ficus sp. * Mesua Millettia Ixonanthes icosandra Knema cinerea Melicope Fagraea fragrans Laplacea Toona Cinnamomum javanicum Sauraula Trigonopleura malayana Aglaia argentea Olea Blumeodendron Polyalthia lateriflora
Nama Daerah Urat ruso Kaki nyamuk Rambai utan
Kayu yudu
Durian
Sentul
Bedaro
Buah di batang
F 0.100 0.100 0.067 0.100 0.100 0.100 0.100 0.100 0.067 0.067 0.067 0.067 0.067 0.067 0.067 0.067 0.067 0.067 0.067 0.033 0.067 0.067 0.067 0.067 0.067 0.067 0.067 0.067 0.067 0.067 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033
De (N/ha) 0.833 0.667 0.667 0.667 0.500 0.500 0.500 0.500 0.667 0.333 0.333 0.500 0.333 0.333 0.500 0.333 0.333 0.333 0.333 0.167 0.333 0.333 0.333 0.333 0.333 0.333 0.167 0.333 0.333 0.333 0.167 0.167 0.167 0.167 0.333 0.167 0.333 0.333 0.333 0.333 0.167 0.167 0.167 0.167 0.167 0.167 0.167 0.167 0.167 0.167 0.167 0.167 0.167
Do (M2/ha) 0.016 0.020 0.042 0.018 0.020 0.016 0.015 0.014 0.026 0.039 0.038 0.024 0.025 0.023 0.010 0.019 0.019 0.019 0.017 0.047 0.012 0.011 0.011 0.010 0.009 0.008 0.041 0.007 0.007 0.006 0.033 0.028 0.021 0.020 0.010 0.015 0.004 0.004 0.004 0.004 0.009 0.008 0.006 0.005 0.005 0.003 0.003 0.003 0.003 0.002 0.002 0.002 0.002
IV (%) 0.61 0.58 0.57 0.57 0.54 0.52 0.52 0.51 0.50 0.48 0.47 0.45 0.41 0.40 0.39 0.39 0.39 0.39 0.38 0.36 0.35 0.35 0.35 0.35 0.34 0.34 0.33 0.33 0.33 0.33 0.30 0.27 0.24 0.24 0.24 0.22 0.21 0.21 0.21 0.21 0.19 0.18 0.18 0.17 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16
No.
Marga - Jenis
Nama Daerah
157. Orophea 158. Eurycoma longifolia Jumlah : Keterangan : * = Jenia pohon buah yang bisa dimakan orangutan F = Penyebaran ( Frequence ) De = Kerapatan ( Density ) Do = Dominasi ( Dominance ) IV = Nilai Penting ( Importance Value)
F 0.033 0.033 31.000
De (N/ha) 0.167 0.167 393.667
Do (M2/ha) 0.002 0.001 22.264
IV (%) 0.16 0.16 300.00
Lampiran 8. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Daftar Individu Orangutan yang Masuk ke Stasiun Reintroduksi Muara Tebo – Jambi Nama
Roma Madu Santi Waikiki Hongki Desi Rimba Riki Bobbi Mustafa Citos Frengki Medan Frengki Jakarta Beti Boni Ambar Sabang Sari Inong Abing Bije Moli Oje Romi Jenggo Roberta Sita Momon
Kelamin Jantan Jantan Betina Jantan Betina Betina Betina Betina Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Betina Betina Jantan Jantan Betina Betina Betina Jantan Betina Betina Jantan Jantan Betina Betina Jantan
11 12 11 10 6,5 8 5 11 8 16 15 16 13 16 14 9 14 15 14 7 8 10 7 4,5 6 7 4 5
Umur (thn)
Tanggal Masuk Stasiun Adaptasi 15/12/2002 15/12/2002 15/12/2002 15/12/2002 27/01/2003 27/01/2003 27/01/2003 15/12/2002 27/01/2003 01/09/2003 01/09/2003 01/09/2003 01/09/2003 30/09/2003 06/01/2004 06/01/2004 06/01/2004 06/01/204 06/01/2004 06/01/2004 06/01/2004 06/01/2004 29/03/2004 29/03/2004 29/03/2004 29/03/2004
Tanggal Dilepas ke Alam 28/01/2003 28/01/2003 28/01/2003 28/01/2003 07/02/2003 07/02/2003 07/02/2003 28/01/2003 07/02/2003 03/12/2004 10/01/2004 07/12/2003 07/12/2003 19/12/2003 20/12/2003 08/02/2004 10/02/2004 09/02/2004 09/02/2004 07/02/2004 27/02/2004 07/02/2004 06/02/2004 06/02/2004 06/12/2004 06/12/2004
Keterangan
Mati
No. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52.
Nama Rencong Boiran Syarifah Bimbim Zidan Leuser Frengki Aceh Emon Boboy Sinyak Tatok Sonan Hengki Win Gayo Susi Novi Billi Willi Nona Lina Diana Jonder Menil Manis
Kelamin Jantan Jantan Betina Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Betina Jantan Betina Jantan Jantan Betina Betina Jantan Jantan Betina Betina Betina Jantan Jantan Jantan
6 11 7 7 6 6 4 4 7 8 5,5 7 8 9 6 5 4 4 6 5 2 4 11 4
Umur (thn)
Tanggal Masuk Stasiun Adaptasi 11/04/2004 11/04/2004 11/04/2004 11/04/2004 14/06/2004 14/06/2004 14/06/2004 14/06/2004 11/10/2004 11/10/2004 11/10/2004 11/10/2004 11/10/2004 11/10/2004 09/02/2005 09/02/2005 09/02/2005 09/02/2005 09/02/2005 09/02/2005
Tanggal Dilepas ke Alam 14/10/2004 21/09/2004 07/11/2004 18/09/2004 05/10/2004 05/12/2004 06/12/2004 08/12/200426/01/2005 24/01/2005 10/12/2004 24/01/2005 26/01/2005 09/12/2004
Keterangan Mati
Lampiran 9. Jenis – jenis tanaman hutan yang dimakan orangutan di lokasi reintroduksi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Nama daerah Akar keketep Akar kusim besar Akar palo Akar rambut gelang Akar tepus Anggrek hutan Asam kandis Baisuk Balam Bambu betung Bayas Cempedak hutan Cendawan Cepekal Damar Durian hutan Entap Ganyang Geseng bunga Jambu hutan Jamur Jengkol hutan Kalip Kayu karet Kedi Kedondong hutan Kekang Kelat
Nama Lain Sisik naga
Nama Latin Drymoglassolum piloselcoides Gnetum latifolium Acacia pennata Poikilospermum suaveolens Dendrobium sp Garcinia gaudichaudii
Bayeh
Dendrocalamus asper Oncosperma horridum Artocarpus sp
Sebekal Meranti
Dipterocarpus sp Durio sp Shorea sp
Buah v v
v v
v v v
v v v v v
Archidendron sp
v v v v v v
Keterangan
v
v v
v v
Lithocarpus sp Eugenia sp
Elateriospermum tapos
Bagian Yang Dimakan Daun Kulit Stem Bunga v v
Semua bagian
v v v
v Semua bagian
v
v
29. 30.
Keranji Keruing
No
Nama Daerah
31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59.
Kulim Langsat hutan Lengen Liana Lontar Luing Medang Medang licin Menteng Pakis Palas duri Palem Pandan Payung Petai Pinang Pisang hutan Puar Punak Rambe Rambe pialik Rambe tanau Rambung Rambung beringin Rambung gala - gala Rambung keraping Rambung kuda Rambung uah - uah Rambutan biawak
Dialium indum Dipterocarpus sp Nama Lain
Nama Latin Scorodocarpus borneensis Lansium domesticum Canarium oderatum
Litsea sp Litsea sp Baccaurea acemosa Licuala spinosa
v Buah v v v v v v v v v
v Bagian Yang Dimakan Daun Kulit Stem
v
v
v
v v v v
Pandanus sp Pete/Patai
Leucena sp Pinanga sp Musa sp
Puar kencong Tentramarista glabra Baccaurea sp Kayu aro
Naning
Baccaurea sp Ficus sp Ficus drupacea Ficus racemosa Ficus benjamina Ficus stupenda Ficus obscure
v v v v v v v v v v v v v v v
v
v
v
Bunga
Keterangan
60. 61. 62. No. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90.
Rotan Rumput Salak hutan Nama Daerah Semantung Sempayang Senduduk Setawar Setur padi Sibah birik Simpur Tampu licin Tampui Tempinis Terap Tampunek Kasai Peru Tampu tapak gajah Arai Bekang Petaling Duku Tampu tungo Berdarah Ludai Timon - timon Putat Kelumbu Baio Simbatuak Situha
Kelukup
Nama Lain
Calamus sp
v
Salacca sp
v
Nama Latin
Buah v v
Mahang Bergang piet Kepinis
Aglaia korthalsii
v v
Macaranga sp Baccauren bracteata Elateriospermum sp Artocarpus elasticus Arttocarpus sp
v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
Macaranga sp Macaranga gigantea Leucenia sp
v Bagian Yang Dimakan Daun Kulit Stem Bunga v v v v
v
v
Keterangan
91. 92. 93. 94. No. 95. 96. 97. 98.
v v v v
Mandarung Biluluk kayu Tampening Berangan Nama Daerah Kayu Batu Karuntang Duhut Kemenyan
Nama Lain
Nama Latin
Buah v v v v
Bagian Yang Dimakan Daun Kulit Stem
Bunga
Keterangan
Lampiran 10. Evaluasi terhadap tingkat survival orangutan di Jambi
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Nama Waikiki Riki Madu Roma Santi Bobbi Rimba Franki Jkt Desi Chitos Mustafa Ambar Ongki Betti Franki Mdn Bije Bimbim Boni Romi Oj Abing Sabang Moli Inong Sari
Kelamin Jantan Betina Jantan Jantan Betina Jantna Betina Jantan Betina Jantan Jantan Jantan Betina Betina Jantan Jantan Jantan Betina Jantan Betina Betina Jantan Betina Betina Betina
Umur (tahun)
Indikator Keberhasilan Lahir individu baru
v (betina)
v
v
Menghabiskan waktu di pohon v
v v v
v v v
v v v
v v v v v
v v v v v v
v
v
v
v
v
v
v v
v v
v v
v v
v v
v v
v v
v v
v
v
v v
v
Aktifitas makan tinggi
Mengenal banyak pakan
Pandai membuat sarang
v
v (jantan)
v
v v
Keterangan survive survive survive survive survive Loss (termonitor) Loss survive survive survive Loss survive survive survive Loss survive survive (mati) (termonitor) Loss survive Loss survive (termonitor)
No.
Nama
26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Sita Boiran Momon Boboy Syarifah Tatok Rencong Leuser Emon Franky Aceh Win Gayo Zidan Sonan Hengki Sinyak
Kelamin Betina Jantan Jantan Jantan Betina Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Betina Jantan Betina
Indikator Keberhasilan Umur (tahun)
Lahir individu baru
Aktifitas makan tinggi
Mengenal banyak pakan
v v v
v v v
v
v
v v v v v
v v v v v
v v v
v v v
Menghabiskan waktu di pohon v
Pandai membuat sarang v
v
v
v v v v v v v v v v v
v v v v v v v v v
Keterangan survive (mati) survive Loss survive (termonitor) survive survive survive survive survive Loss survive survive survive