TENDANGAN DARI MANAGER TUGAS MID SMESTER 5 BROADCASTING Dosen: M. Suyanto, Prof. Dr, M.M.
SONI DWI SANDI 09.11.2661
STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011
Judul
: “TENDANGAN DARI MANAGER”
Durasi
: “30 menit”
COLOR BAR CAPTION TEXT : “ STADION MAGUWOHARJO, 10 MENIT SEBELUM PERTANDINGAN” FADE IN SCENE 01. TEASER OPENING. / Ilustrasi musik lagu Theme Song mulai terdengar, suasana hiruk pikuk lorong-lorong dan ruang ganti sebuah klub sepak bola. Orang-orang lalu lalang, sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Dari lorong-lorong, masuk ke ruang ganti pemain. Terlihat Coach sedang memberikan pengarahan pada pemainnya. Tetapi salah satu pemain terlihat menyendiri dari sekumpulan orang itu. Walaupun dia terlihat fokus mendengarkan arahan pelatih, namun di wajahnya tersirat kecemasan. Selesai memberikan penmgarahan, para pemain bubar dan mulai berdiap-siap bertanding, kecuali satu orang yang tadi menyendiri. Coach Ragil: (mendekati pemain yang duduk menyendiri, wajahnya terlihat prihatin) “Aku tahu kamu cemas…” (tangan Coach Ragil perlahan menepuk pundak pemain itu) “…serahkan semuanya pada polisi dan Yang Kuasa. Bagaimanapun juga kita harus tetap maju. Aku yakin kamu bias. Kami berharap padamu.” (Pemain itu mendongakkan kepalanya ke arah Coach, kemudain menunduk dan mengangguk pelan) “Ok. Kita lanjut!” (Coach Ragil menepukkan tangannya, member isyarat pada semua pemain untuk segera siap bertanding) Seiring dengan tepukan tangan Coach Ragil, semua pemain keluar dari ruang ganti menuju stadion. FADE OUT SCENE 02. EXT. STADION SEPAK BOLA. MALAM. / Hiruk pikuk suasana stadion sepak bola. Yel-yel para supporter terdengar bergemuruh. Bendera-bendera kesebelasan melambai-lambai mewarnai hampir seluruh bagian stadion. Teriakan-teriakan nama pemain atau nama klub sepak bola terlontar jelas menjadikan atmosfer stadion semakin membahana. Seorang pemain bernomor punggung 17 dan bernama Gadang Satregas menyentuh rumput tepi lapangan kemudian berdoa sebelum berkumpul dengan klubnya di tengah lapangan. Sekejap dia melambaikan tangannya untuk menyapa para pendukungnya di tribuntribun stadion. CUT TO
SCENE 03. EXT. STADION. PERTENGAHAN PERTANDINGAN. MALAM. / Umpan bola dari tengah lapangan diterima pemain gelandang kanan, diumpankan dengan cepat ke tengah kotak penalty. Pemain bernomor punggung 17, Gadang, bebas dan menerima umpan dari gelandang kanan kemudian melesakkan tendangan melambungnya melewati penjaga gawang dengan sukses. GOOOLLL…!! Walupun gol yang ia ciptakan sangat fantastis tetapi tak ada raut kebahagiaan di raut wajah Gadang. Datar… Gemuruh sorak-sorai para pendukungnya kembali membahana. Tiba-tiba terdengar suara letusan yang sangat dahsyat. Tribun yang berada tepat di belakang gawang yang tadi terkoyak gol Gadang tertutup asap tebal…api di manamana. Kerumunan supporter terpecah berhamburan menghindari asal letusan. Gadang terlihat sangat terkejut. FADE OUT SCENE 04. IN. KAMAR GADANG. PAGI HARI. / Terlihat jam digital menunjukkan pukul 05.55, kamar berantakan. Terlihat sebuah ranjang besar. Gadang masih di dalam selimut. Gorden jendela masih tertutup tapi tampak sinar matahari mulai menembus ke dalam kamar. Kembali ke jam digital, kini menunjukkan pukul 06.00, alarm nyaring berbunyi. Tapi Gadang belum beranjak dari dalam selimut. CUT TO SCENE 05. INT. KAMAR DIRFAN. PAGI HARI. / Kamera dari pintu masuk kamar. Dirfan sedang mengenakan dasi di kemeja seragam sekolahnya. Dengan tenang ia menyisir rambut dan menyemprotkan parfum. Setelah dirasa rapi, ia keluar dari kamar menuju kamar ayahnya. CUT TO SCENE 06. INT. KAMAR GADANG. PAGI HARI. / Jam digital masih berdering alarmnya sementara Gadang masih di dalam selimut. Dirfan masuk ke dalam kamar. Ia menuju jam digital ayahnya yang masih berisik. Mematikannya kemudian meletakkannya di atas meja lagi. Dirfan: “Ayah…sudah jam enam. Bangun.” (masih tidak ada respon dari Gadang, Dirfan menarik selimut Gadang) “Ayah…! Aku mau berangkat sekolah. Ayo kita bikin sarapan.” (masih tidak ada respon dari Gadang. Dirfan berpaling ke jam digital yang tadi beralarm kencang. Ia mengambilnya lalu tiba-tiba melemparnya ke jendela. PRAAANG…!!) Gadang: (terkejut, lalu bangun dari tidurnya sembari berteriak) “ADA APA?! ADA APA?!” (Gadang berdiri di atas ranjangnya dengan sikap siap meninju)
Dirfan: (wajahnya datar memandang ayahnya yang bercelana pendek, berkaus oblong, dan berambut berantakan) Gadang: (memandang Dirfan dengan tatapan heran) “Dirfan? Ada apa tadi?” Dirfan: (mengangkat bahunya mengisyaratkan ‘entahlah’) Gadang: (memandang kaca jendela dan pecah, kemudain berganti memandang anaknya) “Kau…yang melakukannya?” Dirfan: (melangkah keluar dari kamar Gadang sambil berkata) “Yah tidak bisa bangun dengan cara biasa sih…Sudah siang, Yah. Aku harus berangkat sekolah. Ayo bikin sarapan.” Gadang: (kembali memandang kaca jendela) “Dasar anak itu….” CUT TO SCENE 07. EXT. HALAMAN SEKOLAH DIRFAN. PAGI HARI. / Mobil yang ditumpangi Gadang dan Dirfan berhenti tepat di halam depan sekolah Dirfan. Sekolah elite dengan exterior geding yang mewah. Terlihat anak-anak sekolah bersama orang tuanya yang mengantarnya ke sekolah. Semuanya merkendaraan hi-class. Dirfan: (keluar dari mobil) Gadang: (melongokkan kepalanya dari jendela) “Hei…kau tak beri salam perpisahan dengan ayahmu sebelum masuk ke sekolahmu?” Dirfan: “Kita kan akan ketemu lagi nanti setelah aku pulang sekolah, Yah. Ini bukan perpisahan. Lagipula aku sudah besar.” Gadang:
“Hey, seberapa besar kau sekarang? Kau masih kelas 2 SD. O, ya ini. Bekal makan siangmu.” (mengambil kotak bekal dari dalam dashboard mobil. Sebuah kotak sterofoam.) Dirfan: (menerima kotak dari Gadng. Memandangnya sekilas.) “Kapan ayah beli ini?” Gadang: (berpikir sebentar) “Baru kemarin.” Dirfan: “Kau ayah yang benar-benar buruk.” Gadang: “Maaf, ayah tidak tahu bagaimana membuat pizza kesukaanmu jadi ayah beli selagi sempat kemarin. Ok? Ayah tadi sudah cicipi. Masih enak kok.” Dirfan: (membuka kotak pizza, ternyata sudah berkurang seperempatnya) “Terima kasih.” Gadang: “Ok. Nanti Ayah jemput, sebisa Ayah. Untuk menebus pizzamu yang sudah ayah makan sedikit itu.” Dirfan: “Bye…Ayah.” (masuk ke dalam sekolah) Gadang: (menytarter mobilnya dan melaju pergi) CUT TO SCENE 08. IN. KANTOR KLUB SEPAK BOLA ‘THE BLACK’. SIANG. / Sebuah kantor berdinding kaca. Terlihat kursi bersandaran tinggi menghadap kaca dan membelakangi meja. Buku-buku berantakan di atas meja. Terdengar ada orang bercakap-cakap melalui telepon. Gadang: (membuka pintu masuk kemudian langsung mnghambur ke meja) “Kenapa jadwalku penuh sekali hari ini, Rasdan?”
Rasdan: (melambaikan tangannya tanda Gadang harus menunggu dia selesai menelepon) Gadang: (duduk di kursi, berhadapan dengan meja) Rasdan: “Ok, kita deal untuk masalah ini. Saya bisa mengatur jadwalnya untuk menyesuaikan dengan jadawal Anda, Pak. Terima kasih. Sampai jumpa di konferensi pers nanti malam.” (menutup telepon kemudian membalikkan kursinya, kini ia menatap Gadang dengan serius) “Apa yang kau tanyakan tadi?” Gadang: “Kenapa jadawalku padat sekali hari ini?” Rasdan: “Bukannya tiap hari jadwalmu padat?” Gadang: “Iya, tapi biasanya kan padat oleh jadwal latihan di lapangan. Kenapa hari ini jadawalku padat dengan acara-acara macam artis begini? Begitu aku lihat jadwalku dari email yang baru saja kamu kirim aku langsung ke sini.” Rasdan: “Lalu di mana masalahnya?” Gadang: (menghela nafas) “Aku akan menjemput anakku pulang sekolah hari ini.” Rasdan: “Kau sudah janji?” Gadang: (berpikir sebentar) “Tadi…aku tidak berjanji, tapi aku ingin sekali menjemputnya hari ini karena aku sudah merasa bersalah telah memberinya pizza kemarin untuk bekalnya makan siang.” Rasdan: “Pizza kemarin?” (Rasdan dan Gadang saling berpandangan)
“Aku tidak akan memakannya kalau kau jadi ayahku.” Gadang: “Maka dari itu aku minta waktu sedikit untuk menjemput anakku..” Rasdan: “Tidak bisa, Dang. Kita professional. Sudah ada kesepakatan dengan banyak pihak mengenai jadwalmu hari ini. Lagipula ini acara-acara yang menyenangkan, dikelilingi banyak penggemar, tanda tangan, makan siang, wawancara singkat…KAU PEMAIN YANG SEDANG NAIK DAUN. Kau artis sekarang.” Gadang: (menundukkan kepala sambil mendgengus) “Kau tak pernah jadi ayah, ya?” Rasdan: “Aku belum menikah, Dang. Kau tahu itu, bagaimana bisa aku punya anak kalau aku belum menikah? Ah, sudahlah, begini saja, akan aku kirim orang untuk menjemput anakmu di sekolah kemudian membawanya pulang dengan selamat sampai di rumah. Bagaimana?” Gadang: “Hey, kau tau tidak ada siapa-siapa di rumah, tidak ada ibunya, tidak ada pengasuh, tidak ada teman, kami jauh sekali dari suadara, dan aku tidak percvaya pada tetanggaku.” Rasdan: “baiklah, kalau begitu bawa anakmu ikut kegiatanmu. Dengan pengawalan ketat.” Gadang: “Aku tak tahu apa dia setuju dengan rencana itu.” Rasdan: “Dia tak perlu setuju, Dang. Kau yang menyetujuinya. Ok? Ayolah, jangan bikin masalah ini jadi tambah rumit. Kita banyak acara setelah ini.” Gadang: (terdiam sebentar sambil memandang jam tangannya) “Baiklah…” CUT TO SCENE 09. IN. SEBUAH HOTEL. PAGI. / Acara konferensi pers. Banyak kamera dan wartawan telah tertata rapi. Meja konferensi telah disiapkan. Banyak orang mulai menunggu acara dimulai. Begitu Gadang menempati meja konferensi, pertanyaan mulai berdatangan. Rasdan, manager Gadang duduk di sebelah Gadang.
Wartawan 1: “Gadang, Anda sekarang telah menjadi top scorer liga sepak bola musim ini. Dengar-dengar Anda telah ditawari kontrak baru dengan klub sepak bola lain, Arbanal. Apakah Anda akan pindah ke sana?” Gadang: “Saya…masih mempertimbangkan.” Wartawan 1: “Kenapa? Apakah belum cukup yang Anda terima?” Gadang: “Maaf, soal itu…” Wartawan 2: “Apakah berita tentang ancaman itu benar? Kabarnya Anda diancam akan dibunuh jika tidak mau menerima tawaran dari Arbanal.” Gadang: (terkejut, kemudian berbisik kepada Rasdan di sebelahnya) “Ancaman apa? Kenapa aku tidak tahu?” Rasdan: “Aku juga tidak tahu. Tidak ada yang mencurigakan di kantor dari pagi ini.” Gadang: (kembali menatap para wartawan) “Tidak…tidak ada ancaman seperti itu. Terima kasih.” (tersenyum kecut) CUT TO SCENE 10. IN. SEBUAH MALL. SIANG. / Gadang beraksi menunjukkan kebolehannya memainkan bola di hadapan penggemarnya. Sorak-sorai sesekali terdengar ketika Gadang memainkan bolanya dengan teknik yang sulit. Setelah itu sesi berlanjut dengan jumpa fans dan pemberian tanda tangan. Gadang: (selesai memberikan tanda tangan terakhir untuk penggemarnya. Menoleh pada Rasdan yang berdiri di sebelahnya. Gadang duduk.) “Kau sudah mengirim orang untuk menjemput anakku?” Rasdan: “Beres.”
Tiba-tiba terdengar dering telepon dari ponsel Gadang. Gadang: (melihat sebantar pada layar ponselnya. Tak ada nama.) “Halo? Siapa…” Suara dalam telepon: “Kau harus menerima tawaran itu, kalau tidak anakmu tidak akan selamat,” Gadang: (terkejut, kemudian bangkit dari duduknya) “Siapa kau?! Di mana anakku?” Rasdan: (ikut terkejut dan memandang Gadang) Suara dalam telepon: “Tak perlu tauh siapa aku. Kau hanya perlu menandatangani kontrak itu dan anakmu selamat.” Suara telepon ditutup. Gadang: “Halo? Halo?!” (memukul meja dengan kesal) Rasdan: “Ada apa?” Gadang: “Kapan kau kirim orang untuk menjemput Dirfan?” Rasdan: “Satu jam yang lalu.” Gadang: “Ada orang yang mengancamku untuk menerima tawaran pindah ke Arbanal, dengan cara menculik Dirfan.” Rasdan: (terkejut) Gadang: “Aku harus ke sekolah Dirfan sekarang.” (berlari meninggalkan Rasdan)
Rasdan: “Hey, tunggu, Dang…! Acara kita belum selesai. Kenapa tak hubungi polisi saja?!” CUT TO SCENE 11. EXT. HALAMAN SEKOLAH DIRFAN. SIANG / Mobil Gadang berhenti di halaman parkir sekolah Dirfan. Dengan cepat Gadang keluar dari mobil kemudian berlari ke arah pos satpam. Gadang “Anak-anak sudah pulang semua, Pak?” Satpam: (terkejut dengan kedatangan Gadang, matanya berbinar-binar) “Sebagian sudah pulang, sebagian lagi…” Gadang: “Bapak liat anak saya, nggak?” Satpam: “Anak-anak yang sekolah di sini banyak sekali, Pak. Saya tidak hapal satu-satu. Anak bapak yang mana?” Gadang: “Masa’ bapak nggak kenal saya sih? Anak saya juga bapak tidak tahu?” Satpam: “Kalau Anda saya tahu, pemain sepak bola yang terkenal itu kan? Waah…saya penggemar Anda lho. Kapan lagi mainnya….” Gadang: (kesal) “Pak, saya lagi nyari anak saya. Bapak tau nggak? Anaknya kecil, putih, rambutnya keriting, mukanya mirip saya. Namanya Dirfan.” Satpam: “Kalau anak Anda….saya kurang tahu.” Gadang: “Haaah…” (berlari ke dalam sekolah.) CUT TO SCENE 12. IN. RUANG KELAS. SIANG. /
Gadang masuk ke dalam ruang kelas Dirfan. Tetapi sudah kosong. Tak ada lagi murid yang berada di dalam kelas. Gadang berinisiatif untuk menuju ruang kepala sekolah. CUT TO SCENE 13. IN. RUANG KEPALA SEKOLAH. SIANG. / Ruang kepala sekolah. Seorang wanita berkacamata sedang memberi makan ikan dalam akuarium. Tiba-tiba ada suara daun pintu terbuka dengan keras. Gadang masuk. Gadang: “permisi, apakah anak asaya sudah pulang atau masih ada di sekolah?” Kepala Sekolah: (memandang Gadang sebentar kemudian beralih ke ikan di akuarium) “Anda pemain sepak bola yang terkenal, apa tidak punya sopan asntun?” Gadang: “Maaf, tapi saya buru-buru, Saya panik. Ada ancaman pada anak saya, jadi saya harus tau apakah dia masih ada di sekolah atau tidak. Barangkali Anda tahu apakah ada jadwal les atau pelajaran tambahan yang harus diikuti anak saya sehingga dia masih berada di sekolah.” Kepala Sekolah: “Anda sudah menelepon ke rumah?” Gadang: (berpikir sebentar, merasa bodoh karena tidak sempat terpikirkan hal itu) “Anda benar juga. Tunggu sebentar.” (mengambil ponselnya dari saku kemudiam menelepon ke rumah. Tapi tidak ada jawaban. Ia coba sekali lagi. Tidak ada jawaban juga.) “Sepertinya dia belum sampai ke rumah.” (Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Ia kembali meraih ponselnya dan menelepon Rasdan) “Halo? Dirfan sudah bersamamau? … Belum? … Aku di sekolahnya. …. Aku tidak akan menelepon polisi, itu membahyakan nyawa Dirfan. Biar aku yang cari sendiri.” (Gadang menutup telepon. Kembali bicara pada Kepala Sekolah) “Dia tidak ada di rumah dan tidak bersama orang yang saya suruh menjemputnya.” Kepala Sekolah: (mengambil map besar dan membaca sebentar.) “Anak Anda kelas 2A, seharusnya dia sudah tidak ada jadwal pelajaran atau kegiatan lain di sekolah.” Gadang:
“Baiklah. Terima kasih.” (Gadang berbalik dan bergegas keluar. Tapi baru beberapa langkah ia berhentidan kembali bicara pada Kepala Sekolah) “Anda tahu anak saya?” Kepala Sekolah: (membetulkan letak kacamatanya yang melorot.) “Anda menanyakan hal yang seharusnya tidak Anda tanyakan, Pak Gadang.” Gadang: “oh…ya…maaf soalnya satpam di depan tidak tahu anak saya.” Kepala Sekolah: (tersenyum kecil) “Saya bukan satpam, Pak. Saya kepala sekolah di sini. Sudah seharusnya saya tahu siapa saja dan apa saja kegiatan murid-murid saya. Bahkan kalau bisa lebih dari orang tuanya. Terlebih jika orang tuanaya seperti Anda.” Gadang: (mengernyit kemudian mengangguk mengalah) CUT TO SCENE 14. EXT. HALAMAN SEKOLAH. SIANG. / Gadang: (berjalan cepat dari gerbang menuju halaman parkir. Di tengah jalan dia sempat menunduk dan menghela nafas. Terpancar rasa cemas dan khawatir dari wajahnya. Gadang kembali mngambil ponsel dari sakunya dan menelepon Rasdan.) “Halo? Apa yang dikatakan wartawan tadi membuatku curiga, kenapa mereka bisa tahu ada ancaman padahal kita sendiri malah belum tahu ada ancaman itu. Kau bisa cek di mana posisi penelepon itu? Masih tersimpan di ponselku. Sekarang aku akan kembali ke kantor. Aku tak tahu harus mencari Dirfan ke mana lagi, dia tak ku izinkan memiliki ponsel, jadi aku tak bisa menghubunginya… Baiklah… Ok.” (menutup telepon, kemudian masuk ke mobil.) Dirfan: “Hai, Ayah.” Gadang: “WAAAAA….!!!!” (kaget begitu mendengar suara Dirfan dari jok belakang mobil.) “Kenapa kau ada di sini, Dirfan?” Dirfan:
“Memangnya aku harus berada di mana, Yah? Ayah datang menjemputku, kan?” Gadang: “Dirfan…tau tidak Ayah mencarimu ke mana-mana, Ayah cemas ada apa-apa denganmu. Dari mana saja kok tadi di dalam kelas dan halaman tidak ada?” Dirfan: “Aku ke toilet. Kenapa Ayah tidak mencariku ke toilet tadi?” Gadang: (gemas bercampur lega) “Sudahlah…yang penting kau tidak apa-apa sekarang. Sini, peluk Ayah.” Dirfan: “Kenapa aku harus memeluk Ayah? Aku sudah besar.” Gadang: (heran bercampur jengkel) “Baiklah kalau tidak mau. Ayah tidak akan mengajakmu memancing setelah ini.” Dirfan: “Ayah mau memancing hari ini? Tidak kerja? Tidak sibuk?” Gadang: (menggeleng) “Spesial untuk anak kesayangan Ayah hari ini.” Dirfan: (tertawa kemudain memeluk Gadang.) CUT TO SCENE 15. EXT. TEMPAT PEMANCINGAN. SORE. / Gadang dan Dirfan duduk di sebuah gubug yang di bawahnya terdapat kolam pemancingan. Dirfan asyik memainkan jorannya mencoba menarik ikan dari air, sementara Gadang berdiri sambil menelepon. Gadang: “Iya, Dirfan sudah aman bersamakau. Mungkin itu hanay orang iseng yang mencoba mengancamku untuk sekedar main-main atau memperkeruh suasana.” Rasdan: “Dan mengacaukan jadwal yang sudah aku susun. Lalu kalau Dirfan sudah aman bersamamu kenapa kau tak kembali ke kantor dan meneruskan acara-acara yang lain? Malah ke pemancingan.”
Gadang: “Maaf, Dan. Kali ini aku tidak bisa meneruskan.,Dirfan lebih penting dari semua jadwal-jadwalku yang padat. Lagipula itu bukan acara yang terlalu mendesak, bilang saja aku baru saja mendapatkan ancaman dari orang iseng dan menyangkut nyawa anakku, jadu aku harus menjaga ankku dulu untuk sementara waktu.” Rasdan: “Menjaganya sambil makan ikan bakar di tempat pemancingan dan bukan menghubungi polisi? Kau sudah mulai ngawur.” Gadang: “Ayolah, Dam. Kau kan belum pernah jadi ayah karena kau belum menikah seperti katamu, sedangkan aku sudah. Di situlah enaknya ketika kamu sudah punya seorang anak, menemaninya bersenang-senang, Karena tidak akan ada gantinya jika kau sampai kehilangan dia.” Rasdan: “oooh…ya sudahlah…simpan itu besok ketika aku sudah punya anak. Sekarang focus pada pertandingan lusa. Aku harus sibuk menyiapkan permintaan maaf gara-gara kau kabur.” Gadang: “Haha…baiklah! Maaf dan terima kasih, Dan. Kau yang terbaik.” (menutup telepon kemudian kembali memancing bersama Dirfan) DISSOLVE TO SCENE 16. IN. RUMAH GADANG. DAPUR. PAGI. / Piring-piring berisi nasi goreng dan telur mata sapi yang berbentuk tak sempurna terhidang di meja. Dirfan duduk di meja sedangkan Gadang masih berdiri menuangkan air ke dalam gelas. Satu untuk Dirfan dan satu lagi untuknya. Dirfan: (menatap piringnya dengan tatapan sangsi) “Ini masakan terbaik yang bisa ayah buat?” Gadang: (duduk di kursi.) “Kapan lagi kamu bisa makan masakan Ayah. Jarang Ayah bisa memasak. Ayah tidak sepandai ibumu.” Dirfan: (menyendok nasi gorengnya, tersedak, kemudain mengambil minum dalam gelas) “Ibu memang lebih baik dari Ayah.” Gadang:
“Ayolah, seringkah bersyukur terhadap apa yang kamu terima, Dirfan. Ok?” Suara dering ponsel milik Gadang. Gadang: (mengangkat ponsel. Lagi-lagi tak ada nama peneleponnya. Gadang mengernyitkan dahi) “Halo?” Suara dalam telepon: “Kau harusnya tak usah berpikir lagi untuk menandatangani tawaran itu. Kali ini anakmu selamat, tapi berdoalah untuk keselamatan yang lain. Semoga hari ini bukan pertandingan terakhirmu.” Gadang: “Hey!! Jangan main-main lagi dengan…” (suara telepon ditutup. Gadang bergegas menggandeng Dirfan) “Dirfan tidak usah masuk sekolah hari ini. Ikut Ayah.” CUT TO SCENE 17. IN. KANTOR KLUB SEPAK BOLA ‘THE BLACK’. PAGI. / Suasana riuh tidak seperti biasanya. Gadang bersama Dirfan sudah berada di dalam ruang rapat, ada Rasdan, Coach Ragil, Dirfan, pemain yang lain, dan beberapa staff. Gadang: (berdiri bersedekap) “Awalnya kupikir ini hanya ualah orang iseng, tapi cukup membuatku tidak tenang. Ini ada hubungannya dengan tawaran masuk ke Arbanal, meninggalkan The Black. Apa yang harus kita lakukan?” Rasdan: “Kita tetap bertanding nanti malam, apapun yang terjadi kita tidak akan mengalah pada Arbanal. Mereka tim yang kuat tapi kalau begini caranya kita harus lebuh kuat lagi.” Coach Ragil: “Apakah kita sebaiknya menghubungi polisi agar lebih aman lagi.” Rasdan: “Benar. Kali ini kita harus melibatkan pihak kepolisian. Kita tidak mau terjadi hal yang membahayakan tim ataupun pihak lainnya.” Gadang: “Kau sudah cek posisi si penelepon kemarin mngancamku?” Rasdan:
“Sudah. Dia tak jauh dari sekolah Dirfan. Tapi ketika kuhubungi lagi nomor itu sudah tidak aktif.” Gadang: “Dia meneleponku dengan nomor yang berbeda pagi ini, tapi akau yakin itu orang yang sama. Suaranya tak bisa kulupakan.” Rasdan: “Baiklah, sekarang kita fokus pada pertandingan,biar pihak kepolisian yang menangani kasus ini. Jangan sampai The Black kalah hanya karena takut dengan orang yang pengecut!” CUT TO FLASH BACK TO SCENE 03 CUT TO SCENE 18. EXT. STADION. MALAM. / Tim segera menarik Gadang keluar lapangan, mengajaknya masuk ke dalam ruang ganti pemain. Semua tim telah berkumpul. Gadang: “Mana Dirfan?” Rasdan: (datang dengan menggandeng tangan Dirfan) “Tenang, dia ada di sini.” Gadang: “Apa yang terjadi?” Rasdan: “Entahlah, aku rasa ada yang mebuat kekacauan dengan meledakkan bom low explosive di salah satu tribun penonton.” Gadang: “Apa ini ada hubungannya dengan ancaman tadi pagi? Kenapa bisa kecolongan? bukankan kita sudah meminta bantuan pihak kepolisian? Kenapa bisa terjadi?” Rasdan: “Kita belum bisa tahu, Dang. Kejadiannya baru saja terjadi. Pihak kepollisian juga masih menyelidikinya dan membantu para korban ledakan. Kau tenanglah.” Gadang: “Aku tak bisa tenang, Dan. Ini ada hubungannya denganku yang belum mau menerima tawaran Arbanal untuk pindah ke sana. Apakah kita bisa melaporkan Arbanal sebagai tersangka kepada polisi?”
Rasdan: “Aku sudah bilang pada mereka kemarin bahwa kau sempat mendapat ancaman menyangkut penawaran Arbanal padamu. Yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu keterangan dari pihak kepolisan. Ok?” Gadang: (menghela nafas) CUT TO SCENE 19. IN. KANTOR POLISI. 3 HARI KEMUDIAN. SORE. / Gadang mendapat kabar bahwa pelaku telah tertangkap. Dia dipanggil ke kantor polisi untuk memberikan keterangan berkaitan dengan ancaman dan insiden bom d stadion. Polisi 1: “Saudara Gadang, mari ikut saya.” (mengajak Gadang ke sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu Gadang terkejut karena ada Rasdan yang terborgol tangannya) “Rasdan? Ada apa ini?” Polisi 2: “Anda kami mintai keterangan,apapun yang bisa Anda ceritakan sangat membantu bagi kami untuk mengungkap kasus ini. Tersangka sudah kami tangkap. Saudara Rasdan.” Gadang: (terkejut) “Apa? Rasdan? Tidak mungkin, Pak, dia manager terbaik saya. Saya tidak percaya dengan ini.” Polisi 2: “Percayalah, Pak. Untuk itu kami perlu penyelidikan lebih lanjut.” Gadang: “Tapi, kenapa, Dan?” Rasdan: (terdiam) CUT TO SCENE 20. EXT. DEPAN KANTOR ‘THE BLACK’. SIANG. / Banyak wartawan berkumpul di depan kantor ‘The Black’ . Salah satu reporter mengabarkan berita live. Reporter:
“Kami mengabarkan dari depan kantor klub sepakbola ‘The Black’, tersangka penebar ancaman dan pelaku peledakan bom telah tertangkap. Sungguh mengejutkan bahwa manager klub, Rasdan Darmawan memiliki motif mengeluarkan Gadang Satregas dari klub ini karena dia sudah mendapat suap dari Arbanal dengan jumlah fantastis….sampai saat ini baik Rasdan maupun Gadang belum bisa memberikan keterangan kepada pers…sekian dari News Highlight, TV 8.”
CAPTION : “SELESAI”
CAPTIONS : UCAPAN TERIMA KASIH :
ROLLING UP CREDIT TITLE