Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
TEKNOLOGI PENGERINGAN DAN PEMIPILAN UNTUK PERBAIKAN MUTU BIJI JAGUNG (Studi Kasus di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan) I.U. Firmansyah Balai Penelitian Tanaman Serealia Abstrak. Permintaan jagung untuk kebutuhan dalam negeri telah menetapkan beberapa persyaratan mutu, di antaranya mutu fisik butir jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Kenyataannya mutu fisik jagung pipilan petani pada klasifikasi kadar air maksimum umumnya tidak memenuhi SNI, yaitu mutu I = 14%; mutu II = 14 %; mutu III = 15%; mutu IV = 17%. Kasus pascapanen jagung di sejumlah kecamatan, Kabupaten Tanah laut, Provinsi Kalimantan Selatan antara lain : 1) Terlalu lama tongkol jagung dengan kadar air > 20 % di dalam karung menunggu giliran untuk dikeringkan (2-10 hari); 2) Pemipilan tongkol jagung pada saat kadar air biji jagung > 20%; 3) Jagung pipilan produk petani/pedagang pengumpul ditolak oleh pihak swasta;4) warna biji jagung pipilan kusam (tidak cerah). Upaya sejumlah petani dan pedagang pengumpul mengeringkan jagung dengan mesin pengering tipe flat bed dryer yang sumber panasnya dari pembakaran kayu dapat mempercepat proses pengeringan sehingga meningkat menjadi mutu I pada klasifikasi kadar air biji jagung serta menekan kandungan aflatoksin menjadi hanya < 4,5 ppb pada tahun 2005 di Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Namun warna biji jagung tidak cerah akibat asap dari pembakaran kayu di dalam tungku yang tidak ada alat tukar panas (heat exchanger). Oleh karena itu, mesin pengering seperti PTP-4K-Balitsereal (Kapasitas 2 t/ sekali proses) atau mesin pengering sumber panas dari kolektor matahari/dan atau pembakaran kayu atau tongkol dari jagung yang dirancang oleh Puslitkoka dan kemudian dikembangkan oleh Balitsereal (Kapasitas 8-10 t/sekali proses), dapat menghasilkan warna biji jagung lebih cerah. Mesin pengering tersebut layak secara ekonomi untuk mengeringkan biji jagung untuk benih, pangan atau pakan. Klasifikasi mutu lainnya, yaitu butir rusak, butir pecah, butir warna lain dan kandungan kotoran umumnya sudah memenuhi persyaratan mutu III dan IV saja. Perbaikan metode pengeringan dan pemipilan serta dukungan peralatannya diharapkan dapat memenuhi klasifikasi mutu I dan II berdasarkan SNI antara lain juga memanfaatkan mesin pemipil PJM5-Balitsereal yang dapat digunakan untuk memipil tongkol jagung untuk benih dan pangan dengan kapasitas pemipilan 1,4 t/jam. Kata kunci : Pascapanen jagung, teknologi pengeringan dan pemipilan, mutu biji
PENDAHULUAN Proses pascapanen meliputi serangkaian kegiatan penanganan hasil panen, mulai dari pemanenan sampai menjadi produk yang siap dikonsumsi. Penanganan pascapanen jagung merupakan salah satu mata rantai penting dalam usahatani jagung. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa petani umumnya memanen jagung pada musim hujan dengan kondisi lingkungan yang lembab dan curah hujan masih tinggi. Hasil survei menunjukkan bahwa kadar air biji jagung yang dipanen pada musim hujan masih tinggi, berkisar antara 25-35%. Apabila tidak ditangani dengan baik, jagung berpeluang terinfeksi cendawan yang menghasilkan mikotoksin jenis aflatoksin. Perkiraan kehilangan hasil karena susut bobot dan mutu dari proses pascapanen untuk menghasilkan jagung pipilan secara konvensional pada musim hujan di tingkat
330
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
petani adalah ± 15% (Purwadaria 1988). Beberapa tahun kemudian dinyatakan bahwa 80% sampel biji jagung di Kabupaten Kediri, Jawa Timur dan Lampung mengandung aflatoksin di atas ambang FAO, yaitu di atas 30 ppb. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa teknologi konvensional yang ada di petani masih perlu perbaikan antara lain proses pascapanen dan peralatan untuk proses pascapanen. Petani jagung di Kediri, Jawa Timur dan Lampung mewakili petani sawah irigasi dan sawah tadah hujan dengan teknologi pascapanen yang ada pada daerah tersebut. Dalam penanganan pascapanen jagung, faktor luar yang berpengaruh terutama suhu dan kelembaban udara. Suhu dan kelembaban udara adalah salah satu faktor utama, yang berpengaruh langsung pada proses pengeringan dan pemipilan tongkol jagung. Petani menangani pascapanen jagung pada musim hujan di lahan kering antara lain di Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Selatan, serta Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan berbeda. Panen jagung umumnya 7-14 hari setelah umur panen tercapai, kecuali petani jagung di Gorontalo, panen jagung ada yang bisa lebih dari 14 hari, karena menunggu tidak ada hujan dan kecukupan tenaga. Tongkol jagung setelah dikupas di jemur jika ada sinar matahari dan diangin-anginkan pada saat hujan, kecuali di Kecamatan Pleihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan dan kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Tongkol jagung segera dipipil menjelang dikeringkan dengan mesin pengering tipe flat bed dryer (kapasitas 3-4 ton/sekali proses) di Kecamatan Pleihari, Kabupaten Tanah Laut dan tipe continous flow dryer (Kapasitas 10 ton/ sekali proses) di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan jagung pipilan produk petani di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan dan Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan rendah, yaitu< 30 ppb, bahkan bisa < 4,5 ppb di Tanah Laut (Firmansyah et.al., 2005; Firmansyah et.al. 2006; Aqil et.al. 2007). Kualitas biji pada klasifikasi butir pecah dan kotoran umumnya dipengaruhi oleh proses pengeringan dan proses pemipilan. Suhu udara pengering yang tinggi pada pengeringan tongkol jagung dan jagung pipilan menyebabkan butir jagung retak. Butir jagung pada tongkol jagung atau jagung pipilan yang telah retak dan kemudian dipipil dengan putaran poros silinder mesin pipil jagung yang kencang menyebabkan butir pecah bertambah. Jadi perlu diketahui beberapa hasil penelitian masalah proses pengeringan dan pemipilan jagung agar mutu biji jagung produk petani lebih bermutu. Permasalahan panen dan pascapanen di tingkat petani dan pedagang pengumpul tingkat desa, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, antara lain : 1. Petani panen jagung belum melihat lapisan hitam (black layer) pada pangkal biji, sehingga biji jagung belum masak. 2. Jagung tongkol setelah dikupas tidak dialasi, sehingga berpeluang terinfeksi cendawan/jamur. 3. Pemipilan jagung pada kadar air biji jagung berkisar 25-35% dan putaran silinder perontok + 910 RPM menyebabkan biji pecah tidak bermutu memenuhi standar SNI (50% sampel biji pedagang). 4. Jumlah mesin pemipil dan pengering kurang, menyebabkan penundaan proses pengeringan berkisar 2-10 hari pada saat puncak panen menurunkan mutu biji jagung. 5. Perontok biji jagung petani/pedagang pengumpul masih dapat diterima oleh pemilik peternak ayam, tetapi ditolak oleh pengelola perusahaan swasta karena butir pecah >3% dan kurang bersih. Umumnya kotoran berupa serpihan janggel. 6. Penyimpanan sementara jagung tongkol di dalam karung dengan kadar air berkisar 25 – 35% di kelompok petani KSM pemuda tani Kecamatan Pleihari, berpeluang terinfeksi cendawan/jamur.
331
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
PRODUK JAGUNG PETANI PADA MATA RANTAI PASOKAN DARI PETANI DAN PEDAGANG PENGUMPUL DESA KE PETERNAK, KABUPATEN TANAH LAUT, KALIMANTAN SELATAN Analisis sampel biji produk petani dan pedagang pengumpul pada musim hujan Tahun 2005/2006 di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan telah dilakukan, sekitar (90%) produk jagung pipilan petani telah memenuhi kandungan aflatoksin < 30 ppb, karena cepat dikeringkan dengan mesin pengering tipe flat bed dryer dan sisanya (10% sampel biji petani), tongkol jagung milik petani terlambat dikeringkan akibat kurangnya mesin pemipil dan pengering di unit prosesing pedagang pengumpul. Sedangkan produk biji pedagang pengumpul (100%) telah memenuhi standar kandungan aflatoksin yang disyaratkan oleh FAO. Pada klasifikasi lainnya, yaitu butir rusak maksimum 97% produk petani sudah memenuhi mutu SNI sedangkan sisanya 3% tidak memenuhi SNI sedangkan 50 % sampel produk jagung pedagang telah memenuhi SNI dan sisanya di luar SNI. Hal ini disebabkan tongkol jagung di dalam karung hasil panen raya di musim hujan yang akan dikeringkan tertumpuk paling cepat 2 hari, bahkan sampai 10 hari untuk menunggu dipipil dan dikeringkan. Suhu udara dan kelembaban di dalam karung umumnya lebih tinggi dibanding udara di luar. Hal ini yang menyebabkan biji tersebut ter infeksi sejumlah bakteri. Klasifikasi mutu fisik berupa butir warna lain maksimum, 88% produk petani sudah memenuhi mutu SNI sedangkan 12% tidak memenuhi SNI dan di pedagang pengumpul, 75% produk jagungnya telah memenuhi SNI dan sisanya (25%) di luar SNI. 94 % produk biji petani pada klasifikasi butir pecah maksimum telah memenuhi standar mutu I SNI dan sisanya termasuk mutu II SNI. Sedangkan produk biji pedagang pengumpul hanya 50% saja yang memenuhi mutu I SNI (Tabel 1). Belum terpenuhi mutu I berdasarkan standar SNI disebabkan proses pemipilan tongkol jagung dilakukan pada saat kadar air biji berkisar 25-35% dan putaran poros silinder bisa mencapai 910 RPM, sedangkan menurut Thahir et.al. 1988, pemipilan jagung tongkol sebaiknya pada kadar air biji kurang lebih 18% atau menurut Yamin et. al. 2005 dan Firmansyah et.al. 2006 berkisar 15-20% pada putaran poros silinder perontok berkisar 540-598 RPM. Kandungan kotoran dalam sampel biji menunjukkan 100% produk petani dan pedagang pengumpul sudah memenuhi mutu SNI.
332
ISBN :978-979-8940-27-9
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
Tabel 1. Persentase Mutu Fisik Biji Jagung Produk Petani dan Pedagang Pengumpul Berdasarkan standar SNI (Standar Nasional Indonesia) di Kabupaten Tanah Laut, Kalimanan Selatan, 2006.
Klasifikasi Mutu SNI 1991
Persentase biji petani dan pedagang dengan kadar aflatoksin < 30 ppb
Kadar air (%)
Butir rusak (%)
Butir warna lain (%)
100 -
73 12 12 3 -
88 12 -
94 6 -
90 10 -
90%
100 -
25,00 25,00 50,00
75,00 25,00
50 50
100 -
100%
Butir pecah (%)
Kotoran (%)
Petani
Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Di luar SNI Pedagang pengumpul Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Di luar SNI
Sumber : Firmansyah et. al., 2006 TEKNOLOGI PENGERINGAN JAGUNG UNTUK MEMPERBAIKI MUTU BIJI JAGUNG Pengeringan tongkol jagung dengan laju penjemuran 0,50%/jam atau laju pengeringan mesin pengering 2,07%/jam dan kemudian dipipil pada kadar air biji berkisar 15-17%, bisa disimpan selama 3 bulan di dalam kantong plastik pada suhu kamar berkisar 25ºC dengan tingkat infeksi cendawan berkisar 9-10% (Tabel 2) (Firmansyah et. al. 2006 ; Firmansyah et.al. 2007 ; Talanca et.al. 2008). Jika tidak segera dikeringkan seperti dipangkas daunnya dan dipotong batang 10 cm diatas tongkol jagung yang terbuka kelobotnya serta dijemur dipohon selama 7 hari setelah umur panen (P1), maka tingkat infeksi 18%. Hal ini menunjukkan bahwa pengeringan tongkol jagung dengan cara panen tongkol jagung dan kemudian segera dijemur (P5) dengan laju penjemuran 0,50%/jam dapat menekan tingkat infeksi Aspergillus flavus pada musim kemarau. Pengeringan tongkol jagung dengan mesin pengering dianjurkan khusus pada musim hujan, karena proses pengeringan lebih cepat, yaitu 20 jam atau laju pengeringannya dapat menekan infeksi cendawan Aspergillus flavus. Selain itu proses pemipilan jagung setelah kadar air biji jagungnya berkisar 15-20% Untuk pengeringan jagung pipilan dengan mesin pengering, walau paling cepat mengeringkan jagung dan paling rendah menekan infeksi Aspergillus flavus, yaitu masing-masing berturut-turut 7 jam dan 9%, tetapi tidak dianjurkan karena tongkol jagung dipipil pada kadar air biji > 20% sebelum dikeringkan. Menurut Thahir et.al. 1988 pemipilan jagung tongkol sebaiknya pada kadar air bijinya adalah 18% atau menurut Yamin et. al. 2005 ; Firmansyah et. al. 2006 berkisar 15-20% pada putaran poros silinder perontok 540-598 RPM.
333
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
MESIN PENGERING DENGAN ALAT TUKAR PANAS (HEAT EXCHANGER) UNTUK MEMPERBAIKI WARNA BIJI JAGUNG AGAR TIDAK KUSAM AKIBAT ASAP PEMBAKARAN KAYU/JANGGEL Mesin pengering biji-bijian tipe flat dryer dan kapasitas 3-4 ton sekali proses yang telah dimodifikasi, yaitu dari sumber panas pembakaran minyak tanah menjadi pembakaran kayu di dalam tungku yang ada di Kabupaten Tanah Laut, agar dibuat alat tukar panas (heat exchanger). Warna biji jagung hasil pengeringan dengan mesin pengering tersebut kusam, akibat asap pembakaran kayu masuk ke dalam bak pengering. Apabila tungku dilengkapi alat tukar panas (heat exchanger), warna biji jagung yang dikeringkan akan cerah, karena asap pembakaran terpisah oleh alat tukar panas. Mesin pengering telah dirancang dengan alat tukar panas antara lain : 1) model PTP-4K- Balitsereal yang telah disempurnakan, 2) mesin pengering sumber panas dari kolektor sinar matahari dan atau pembakaran limbah kayu atau janggel tongkol. Selain itu diperlukan penambahan unit pengering jagung di Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan, agar tidak terjadi penumpukan jagung bertongkol dengan kadar air tinggi (25-35%) selama penantian giliran pengeringan jagung selama 210 hari pada saat puncak panen jagung di musim hujan (Firmansyah et. al. 2006).Usaha jasa pengeringan oleh pedagang pengumpul tingkat desa, di Kecamatan Pleihari di Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan tersebut layak ekonomi dengan nilai B/C = 1,40, NPV = Rp 9.010.100, dan IRR = 30,10% pada asumsi-asumsi yang berlaku pada tahun 2006. MESIN PENGERING JAGUNG TIPE COUNTINOUS FLOW MODEL PTP-4KBALITSEREAL. Penggunaan mesin pengering jagung untuk benih mutlak diperlukan terutama jika kondisi matahari tidak memungkinkan. Pada pengeringan benih jagung diperlukan pengaturan suhu udara pengering yang dapat diatur, yaitu suhu udara pengering maksimum 38º C, jika kadar air benih jagung yang sedang dikeringkan > 20 %. Kemudian benih jagung dalam bentuk tongkol diangin-anginkan dulu dan kemudian dilakukan pemipilan pada saat kadar air benih jagung telah mencapai kisaran 15-17%. Benih jagung dalam bentuk jagung pipilan dikeringkan lagi, sampai kadar air benih aman untuk disimpan, yaitu berkisar 9-11% (bergantung pada beberapa lama benih akan disimpan). Mesin pengering model PTP-4K-Balisereal dengan kapasitas 2 ton jagung bertongkol sekali proses (Gambar 1) dapat menghemat tenaga sebesar 45 HOK dan biaya pengeringan Rp 125.000 per ton pada tahun 2008 (Aqil et.al. 2008).
Gambar 1. Mesin pengering model PTP-4K-Balitsereal. Maros 2007.
334
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Tabel 2. Spesifikasi, kinerja dan biaya pengeringan biji jagung dengan mesin pengering. Maros 2009. Uraian Tipe, Model
Mesin pengering jagung/biji-bijian Countinous flow, Flat bed dryer, Flat bed dryer, PTP-4K-Balisereal Pengembangan Puslit Swasta yang Koka/BBAP/Balitjas dimodifikasi Pembakaran kayu Sumber Panas Pembakaran jaggel Pembakaran di dalam tungku kayu/Janggel di di dalam tungku dalam tungku dan ada tanpa alat tukar dan ada alat tukar alat tukar panas / dan panas panas atau kolektor sinar matahari Kapasitas 2 ton 4-5 ton, bahkan bisa 3-4 ton (kg/sekali proses) 8-10 ton Laju pengeringan 0,80 0,85 0, 86 (%/jam) 0,06-0,2 4-6 4-10 Perbedaan lapisan biji jagung bagian atas dan bawah di dalam bak pengering (%) Jumlah tenaga Tidak ada 3-4 2-3 untuk membalik biji jagung di dalam bak pengering (orang) Biaya pengeringan 72,63 *) 91**) 90 ***) ( Rp/kg) Keterangan : *) Nilai terhitung untuk mengeringkan biji jagung untuk benih pada tahun 2006 (Yamin et.al. 2006). **) Nilai terhitung untuk mengeringkan biji jagung untuk pakan dan pangan pada tahun 2000 (Prabowo et.al. 2000). ***) Nilai terhitung untuk mengeringkan biji jagung untuk pakan pada tahun 2006 (Firmansyah et.al. 2007) TEKNOLOGI PEMIPILAN UNTUK MEMPERBAIKI MUTU BIJI JAGUNG Operator mesin pemipil jagung umumnya tidak mengatur putaran poros silinder pemipil jagung sesuai dengan mesin yang digunakan. Oleh karena mesin pemipil jagung umumnya belum ada laporan uji dari yang berwenang dan juga tidak ada buku manual pengoperasiannya dari pembuatnya. Sehingga operator biasanya mengoperasikan mesin pemipil jagung hanya berdasarkan kebiasaannya atau mengejar kecepatan menyelsaikan pekerjaan memipil jagung. Penggunaan mesin pipil jagung dengan putaran poros silinder pemipil berkisar 500-600 RPM pada kadar air biji 15-20% dapat menekan biji pecah dari 10-10,7% menjadi hanya 1,3-1,9%. Pada tingkat kadar air 15-20% dapat menekan biji tidak terpipil dari 12,2-14,6% menjadi 1,1-3,4% tergantung mesin pemipil yang digunakan (Yamin et.al. 2005 ; Firmansyah et.al. 2006). Putaran poros silinder perontok mesin pipil jagung
335
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
semakin cepat dan kadar air biji jagung yang dirontok tinggi (>20%) kemungkinan terjadinya biji retak/pecah semakin besar. Alat ukur putaran poros (tachometer) silinder pemipil juga kurang tersedia atau harganya kurang terjangkau oleh pengusaha jasa pemipilan jagung atau petani pemilik mesin pemipil jagung, oleh karena itu sebagai pedoman umum memperkirakan putaran poros silinder mesin pemipil dengan enjin penggerak 5,5 Hp adalah mengatur tangkai kecepatan enjin penggerak pada posisi 60 % dari panjang langkahnya. Dengan catatan bahwa diameter puli (pulley) enjin penggerak 3 inci (inch) dan diameter puli pada poros silinder perontok 12 inci. Agar butir pecah jagung pipilan produk pedagang 100 % termasuk mutu I berdasarkan SNI, maka pemipilan tongkol jagung pada kadar air biji 18 % atau berkisar 15-20% dengan putaran 500-600 RPM di Kabupatan Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Selain perlu penambahan unit pemipilan jagung di Kabupaten Tanah Laut agar mempercepat proses pengeringan jagung pada musim hujan. Usaha jasa pemipilan oleh pedagang pengumpul tingkat desa, layak ekonomi dengan nilai B/C = 2,02, NPV = Rp 29.172.100, dan IRR = 86,6% (Firmansyah et.al. 2007). Hasil evaluasi kinerja mesin-mesin pipil yang ada di desa Tajau Pecah, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa penundaan pemipilan tongkol jagung sambil menunggu jagung pipilan untuk di keringkan dengan kadar air berkisar 2030%, kapasitas pemipilan jagung 2576 kg/jam. Kapasitas pemipilan menjadi lebih rendah bila kadar air biji jagung pada tongkol jagung tinggi. Semakin rendah kadar air biji pada tongkol jagung yang dipipil, maka persentase biji utuh semakin tinggi (> 93%) (Umar dan Noor 2006). Mesin pemipil model PJM5-Balitsereal telah teruji untuk memproses benih jagung dan hasil pipilannya untuk konsumsi memenuhi standar SNI dan kapasitas pemipilannya dapat mencapai 1,3 ton per jam lebih produktif dibanding mesin pemipil sejenis di Kabupaten Bulukumba, yaitu hanya kurang dari 1 ton per ton (Aqil et al. 2008).
Gambar 2. Mesin pipil jagung PJM5-Balitsereal KESIMPULAN Tongkol jagung segera dikeringkan dengan bantuan sinar matahari pada musim kemarau atau dengan mesin pengering tipe flat bed dryer (sumber panas dari kolektor matahari/dan atau pembakaran kayu/tongkol, janggel) atau tipe continous dryer (PTP-4K-
336
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Balitsereal yang telah dimodifikasi) yang layak secara teknis dan ekonomi sampai kadar air bijinya berkisar 15-20%. Suhu udara mesin pengering dianjurkan maksimum 38ºC pada saat kadar air biji untuk benih pada tongkol jagung yang dikeringkan > 20%. Setelah kadar air biji jagung berkisar 15-20%, tongkol jagung dipipil dengan mesin pemipil jagung yang telah teruji untuk memipil benih jagung seperti PJM5-Balitsereal. Putaran poros silinder pemipil dianjurkan berkisar 500-600 RPM untuk benih dan konsumsi serta dapat mengurangi biji pecah. Suhu udara pengeringan jagung pipilan untuk benih yang telah dipipil bisa dinaikkan sampai 43ºC. Pengeringan ulang jagung pipilan untuk benih sampai kadar air simpan antara 9-11% dan untuk konsumsi disimpan sementara sampai kadar air biji 14%. Apabila yang dikeringkan tongkol jagung untuk konsumsi, suhu udara pengering bisa sampai dengan 50ºC, seperti jagung pipilan petani dan pedagang pengumpul yang diperuntukan sebagai pakan di Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan. DAFTAR PUSTAKA Aqil, M., Firmansyah, I.U., Suarni, J. Tandiabang, O. Komalasari, A. Nadjamuddin, Suwardi, O. Komalasari. 2008. Proses pascapanen untuk menunjang perbaikan kualitas produk biji jagung berskala industry dan ekspor. Laporan Akhir. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Depatemen Pertanian. 74 hal. Firmansyah, IU., 2006. Permasalahan pascapanen jagung di tingkat petani dan Pedagang. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional. Makassar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Penelitian. p. 369-380. Makassar, 29-30 September 2005. ISBN : 979-99953-8-8. Firmansyah, I.U., Suarni, M. Aqil, J. Tandiabang, O. Komalasari, A. Nadjamuddin, Suwardi, O. Komalasari. 2005. Proses pascapanen untuk menunjang perbaikan kualitas produk biji jagung berskala industry dan ekspor. Laporan Akhir. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Depatemen Pertanian. 93 hal. Firmansyah, I.U. 2006. Proses pascapanen untuk menunjang perbaikan kualitas produk biji jagung berskala industry dan ekspor. Laporan Akhir. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Depatemen Pertanian. 57 hal. Firmansyah, I.U. 2007. Proses pascapanen untuk menunjang perbaikan kualitas produk biji jagung berskala industry dan ekspor. Laporan Akhir. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Depatemen Pertanian. 68 hal. Firmansyah, IU., M. Akil, dan Y.Sinuseng. 2007. Penanganan Pascapanen Jagung dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim (Eds).Jagung. Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. p.364-385. Firmansyah, IU., Y. Sinuseng, dan A.H. Talanca. 2006. Penanganan Pengeringan dan Pemipilan Jagung. Prosiding Seminar Nasional. Pengembangan Usaha Agribisnis Industrial Pedesaan. dalam A. Muis, Sarasutha, IGP., E. jamal, M. D. Mario, Maskar, S. Bakhri, D. Bulo, C. Khairani, dan A. Subaedi.(Eds). p.100-106. Palu, 5-6 Desember 2006. P.100-106. ISBN : 978-979-985-77-1-2. Firmansyah, IU., Y. Sinuseng, dan A.H. Talanca. 2006. Penanganan Pengeringan dan Pemipilan Jagung. Prosiding Seminar Nasional. Pengembangan Usaha Agribisnis Industrial Pedesaan. dalam A. Muis, Sarasutha, IGP., E. jamal, M. D. Mario, Maskar, S. Bakhri, D. Bulo, C. Khairani, dan A. Subaedi.(Eds). p.100-106. Palu, 5-6 Desember 2006. P.100-106. ISBN : 978-979-985-77-1-2. Purwadaria, H.K. 1988. Teknologi Penanganan Pasca Panen Jagung. Buku Pegangan (Edisi 2). Departemen Pertanian FAO, UNDP. Jakarta.
337
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Thahir, R., Sudaryono, Soemardi dan Soeharmadi. 1988. Teknologi Pasca panen Jagung dalam Subandi, M.Syam dan Adi Widjono (Eds). Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor Umar, S dan H.D., Noor. 2007. Evaluasi Kinerja Alat Pasca Panen Jagung Hubungannya dengan Kualitas di Wilayah Pengembangan Jagung Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasioanal Mekanisasi Pertanian. Bioenergi dan Mekanisasi Pertanian Untuk Pembangunan Industri Pertanian.Bogor, 29- 30 Nopember 2006. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian- IPB. Perhimpunan Teknik Pertanian. Asosiasi Perusahaan Alat dan Mesin Pertanian Indonesia. p 545-552. ISBN : 978-979-8891-10-6. Yamin,S dan I.U., Firmansyah, A.H. Talanca, Y. Tandiabang .2005. Pengaruh Penggunaan Beberapa Alsin Pipil Jagung Dan Kadar Air Terhadap Hasil Mutu Pipilan, Tingkat Infeksi Cendawan Dan Serangan Kumbang Bubuk. Dalam : I.U. Firmansyah, S. Saenong, B. Abidin, Suarni, Y. Sinuseng, J.Tandiabang, W.Wakman, A.Nadjamuddin, A.H. Talanca, F.Koes, Suwardi. O. Komalasari. 2005. Proses Pascapanen Untuk Menunjang Perbaikan Kualitas Produk Biji Jagung Berskala Industri dan Ekspor. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Pusat Penelitian dan Pengembangan. 88 hal
338