SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
TEKNOLOGI PEMUPUKAN DAN KULTUR TEKNIS YANG ADAPTIF TERHADAP ANOMALI IKLIM PADA TANAMAN TEH Yati Rachmiati, Karyudi, Bambang Sriyadi, Salwa Lubnan Dalimoenthe, Pudjo Rahardjo, dan Eko Pranoto Pusat Penelitian Teh dan Kina
Ringkasan Tanaman teh merupakan tanaman tahunan yang tersebar di kawasan Asia Tenggara hingga India, pada garis lintang 30º sebelah Utara maupun Selatan khatulistiwa. Kondisi optimal penanaman teh adalah pH 4,5–5,6, suhu 12–25ºC, kelembaban nisbi 70–80%, intensitas sinar matahari 70–80%, lama penyinaran matahari 3–6 jam, curah hujan 2.000–4.000 mm/thn dengan maksimal bulan kering (CH <60 mm/bln) selama 2 (dua) bulan, suhu daun <35ºC, dan lama penyinaran matahari 4 jam/hari. Produksi kebun teh mencapai puncaknya pada umur 21–30 tahun. Perkebunan teh umumnya terdapat dilahan kering yang mengandalkan kebutuhan airnya dari air hujan, dengan terjadinya perubahan iklim dan kerusakan daur hidrologi menyebabkan pasokan air semakin tidak menentu. Akibat terjadinya perubahan iklim beberapa kebun di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur rata-rata bulan kering dalam satu tahun lebih dari 2 bulan. Peningkatan suhu yang terjadi akibat pemanasan global akan menghentikan proses metabolisme tanaman teh sehingga menyebabkan penurunan produksi sampai 50%. Beberapa teknologi dalam menghadapi La Nina di antaranya adalah dengan pembuatan rorak, saluran erosi, pemberian mulsa, pengelolaan pohon pelindung, pengendalian hama dan penyakit tanaman, serta aplikasi pupuk hayati (bio-fertilizer). Sedangkan untuk mengatasi El Nino, beberapa teknologi yang dapat dilakukan di antaranya pemupukan K, aplikasi ZPT, pemangkasan dan pemupukan sebelum pangkas, pemupukan setelah kemarau, pengelolaan dan penanaman pohon pelindung, pemberian mulsa dan bahan organik, irigasi dan pemanfaatan embung, serta penanaman bibit teh tahan kekeringan melalui teknik grafting.
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
1
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
PENDAHULUAN Tanaman teh merupakan tanaman tahunan, para ahli tanaman memberi nama antara lain Camellia theifera, Thea sinensis, Camellia thea, dan terakhir dikenal dengan sebutan Camellia sinensis (L) O. Kuntze. Tanaman ini tersebar di kawasan Asia Tenggara hingga India, pada garis lintang 30º sebelah Utara maupun Selatan khatulistiwa. Selain tanaman teh yang dikonsumsi sebagai minuman, genus Camellia mencakup juga banyak jenis-jenis tanaman hias. Kondisi optimal penanaman teh adalah pH 4,5–5,6, suhu 12–25ºC, kelembaban nisbi 70–80%, intensitas sinar matahari 70–80%, lama penyinaran matahari 3–6 jam, curah hujan 2.000–4.000 mm/thn dengan maksimal bulan kering selama 2 (dua) bulan, suhu daun < 35ºC, dan lama penyinaran matahari 4 jam/hari (Tim PPTK, 2006). Tanaman teh memerlukan air dalam jumlah yang cukup banyak, karena tanaman teh peka terhadap kekringan sehingga hanya cocok pada daerah yang mempunyai curah hujan yang cukup tinggi dan merata sepanjang tahun. Pada musim kering yang terjadi setiap tahun, baik yang normal (<2 bulan) maupun panjang (>3 bulan) dapat menyebabkan penurunan produksi sebesar 40-60% dan kematian tanaman 20-40% (Wibowo, et al.,1998). Tanaman teh di Indonesia yang dibudidayakan di lahan kering kebutuhan airnya sangat tergantung pada air hujan, Jumlah curah hujan minimal untuk pertumbuhan tanaman teh adalah 1.150–1.400 mm/tahun terbagi merata sepanjang tahun (Carr, 1972 dan Eden 1976), jika periode kering lebih dari dua bulan maka akan terjadi gangguan pertumbuhan dan kehilangan produksi yang besar (Eden,1976). Menurut Keegel (1965), pucuk teh berbeda kadar airnya pada setiap musim yaitu pada musim kemarau sebesar 70% dan musim penghujan sebesar 83%. Meskipun jumlah kebutuhan air yang besar tersebut tidak seluruhnya dimanfaatkan untuk pertumbuhan pucuk, tanaman teh membutuhkan curah hujan yang tinggi dan merata terutama untuk evapotransopirasi dan mempertahankan kelembaban udara agar tetap tinggi. Oleh karena itu, jika selama 2 (dua) bulan berturut-turut curah hujan kurang dari 50 mm (biasa disebut dengan kekeringan pada areal perkebunan teh), maka dapat mengakibatkan produksi pucuk berkurang (Eden, 1976). Dasar perhitungan defisit air di perkebunan teh menghasilkan (TM) pada tanah serasi dan serasi bersyarat adalah sebagai berikut: Kapasitas menahan air maksimal dari tanah-tanah teh sebesar 690 dan 560 l/m³ tanah, sedangkan kapasitas air tertahan minimal (titik layu) sebesar 420 dan 280 l/m³ atau rata-rata 245 l/m³. Pada daerah perakaran aktif dan gerakan air tanah untuk tanaman teh setebal 60 cm menjadi 147 l/m³ lahan. Kebutuhan air untuk tanaman sebagian besar diserap dari dalam tanah, kadar air tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman teh adalah 30% atau lebih. Pada kadar air tanah kurang dari 30% pertumbuhan tanaman teh mulai terTeknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
2
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
hambat, dan bila kadar air kurang dari 15% akan menyebabkan kematian pada tanaman teh karena terjadinya defisit ketersediaan air (Darmawijaya,1982). Apabila terjadi faktor lingkungan yang kurang menguntungkan seperti periode musim kemarau dan kandungan air tanah yang rendah akan menimbulkan kerusakan pada tanaman mulai dari penurunan pertumbuhan sampai yang menyebabkan kematian. Dalam 1 ha lahan bersuasana jenuh tersedia air sebesar 147 x 10.000 l = 147 x 104 mm hujan. Apabila tidak ada hujan sama sekali, jumlah air tersebut akan habis/defisit setelah 147/6 hari = 24.5 hari. Secara teoritis pada bulan-bulan yang curah hujannya kurang dari 147 mm, sudah dapat disebut sebagai bulan defisit. Bilamana masih terdapat hujan lebih dari 100 mm/bulan, defisit tersebut belum menimbulkan penurunan produksi berarti (Wibowo, dkk 1998). Disamping itu diperkirakan bahwa tanaman teh produktif yang luasnya 1 (satu) hektar dapat menguapkan air (transpirasi) sebanyak 25.400 liter/hari (Eden, 1976). Jumlah tersebut dianggap setara dengan curah hujan sebesar 930 mm/tahun, sesuai dengan perkiraan Chang and Wu (1971) bahwa 1 (satu) batang tanaman teh produktif dapat mengkonsumsi air setara dengan 1,34–2,66 mm/hari pada suhu udara 10-28ºC. Kelembaban udara minimal untuk tanaman teh adalah 70%, kelembaban udara berkaitan erat dengan temperatur. Sumber kelembaban adalah air hujan Carr (1972) membuktikan bahwa jika tidak turun hujan dalam waktu yang lama akan menyebabkan Relatif Humidity (RH) yang sangat rendah dan dapat menyebabkan tanaman teh mengalami cekaman air sehingga laju pertumbuhan pucuk tertekan. Dampak dari cekaman air tersebut yaitu berkurangnya tegangan sel (turgor) dan peningkatan konsentrasi cairan pada jaringan Sap. Konsentrasi cairan Sap meningkat 0,6% setiap RH udara turun 10% dan ternyata konsentrasi Sap tersebut berpengaruh terhadap laju pertumbuhan pucuk. Laju pertumbuhan terbesar yaitu pada konsentrasi cairan Sap 8– 9% dan mulai berkurang pada konsentrasi 10% yang selanjutnya pucuk akan menjadi layu. Perkebunan teh umumnya terdapat dilahan kering yang mengandalkan kebutuhan airnya dari air hujan, dengan terjadinya perubahan iklim dan kerusakan daur hidrologi menyebabkan pasokan air semakin tidak menentu. Secara kuantitas permasalahan air bagi pertanian adalah ketidaksesuaian distribusi air antara kebutuhan dan pasokan menurut waktu dan tempat. Pasokan air sulit diprediksi karena tergantung dari sebaran curah hujan sepanjang tahun yang sebarannya tidak merata. Untuk mengatasinya diperlukan upaya salah satunya dengan cara memanen air (water harvesting) dimusim hujan sebagai suplesi irigasi di musim kemarau. Perubahan iklim global telah berpengaruh terhadap perkebunan teh di Asia seperti yang dilaporkan (Wijaratne, 1996) di Srilangka telah terjadi perubahan iklim yaitu intensitas hujan yang ekstrim di dataran tinggi yang Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
3
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
menyebabkan hilangnya tanah lapisan atas karena tererosi setebal 30 cm dan di dataran rendah dengan naiknya temperatur, defisit lengas tanah, defisit karena tekanan penguapan air yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi teh. Konsekuensi perubahan iklim akan berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, Indonesia sebagai negara di kawasan tropis dampak yang paling berpengaruh adalah pergeseran musim, seperti mundurnya musim kemarau atau musim hujan. Hujan merupakan faktor iklim yang sulit diduga, curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan banjir, tetapi sebaliknya curah hujan yang rendah justru dapat mengakibatkan kekeringan. Kejadian tersebut selalu terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia (Boer, 2001). Pramudia (2002) menilai bahwa terdapat korelasi nyata antara fenomema ENSO dan curah hujan di Jawa Barat yang didasarkan dari anomali suhu muka laut dengan anomali curah hujan. Hal ini semakin menguatkan bahwa El Nino memiliki hubungan yang erat terhadap ketersediaan air terutama di areal perkebunan. Fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) memiliki kaitan yang sangat kuat terhadap cuaca atau iklim global yang dapat mempengaruhi kehidupan dibumi. Selama kejadian El Nino, beberapa wilayah Asia Tenggara terutama di Indonesia dan Australia mengalami penurunan curah hujan yang sangat signifikan. Periode terjadinya El Nino sebelum tahun 1990-an berulang sekitar 5-7 tahun sekali. Tetapi, setelah tahun tersebut periodenya terjadi semakin dekat menjadi 2-3 tahun sekali. Badan Meteorologi dan Geofisika Indonesia tahun 1997 menyebutkan bahwa selama 30 tahun terakhir fenomena El Nino terjadi yaitu pada tahun 1972, 1977, 1982, 1987, 1991, 1994, dan 1997. Fenomena kekeringan akibat El Nino sampai 1997 tersebut telah terjadi di perkebunan teh. Pada saat terjadi El Nino, angin pasat sepanjang Pasifik Ekuator melemah sehingga kolom air hangat di wilayah perairan laut Indonesia dan Papua New Guinea bergerak ke arah timur menuju benua Amerika. Air laut yang hangat ini kemudian memanaskan dan meningkatkan kelembaban udara di atasnya, sehingga udara di atas Lautan Pasifik Barat lebih basah. Hal ini sebaliknya terjadi di Indonesia, sebab pergerakan kelembaban atmosfer justru menjauhi Indonesia sehingga menyebabkan rendahnya curah hujan di wilayah Indonesia. Sebaran curah hujan di Indonesia pada saat peristiwa El Nino tahun 1997 menunjukkan sebagian besar Pulau Sumatera bagian selatan dan Pulau Kalimantan bagian barat serta Pulau Jawa bagian tengah mengalami penurunan jumlah curah hujan bulanan hingga 200 mm. Berdasarkan pengamatan di beberapa stasiun cuaca di Pulau Jawa, Bali dan Provinsi Lampung menunjukkan bahwa pengaruh El Nino dan La Nina sangat jelas terhadap kondisi hujan pada musim kemarau dibanding kondisi hujan pada musim hujan. Rata-rata pada tahun El Nino penurunan hujan di musim hujan antara bulan (November-Februari) hanya sekitar 5% dan pada Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
4
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
musim kemarau kesatu antara bulan (Maret-Juni) sekitar 20% dan pada musim kemarau kedua antara bulan (Juli-Oktober) hampir mencapai 50%. Pada tahun La Nina peningkatan hujan pada musim hujan sekitar 15%, pada musim kemarau pertama mencapai 23% dan pada musim kemarau ketiga mencapai 52% (Las et al., 1999). Dampak selanjutnya adalah menurunnya ketersediaan air dan produksi pertanian (pangan) serta perkebunan, meningkatnya kebakaran hutan/lahan dan bahkan pemukiman. Musim kemarau yang lebih kering dan lebih panjang juga menyebabkan makin langkanya sumber air bersih yang berdampak pada kesehatan masyarakat dan juga ketersedian air bagi lahan pertanian. Salah satu indikator yang dapat dipakai dalam menentukan periode terjadinya iklim ekstrim tersebut adalah suhu muka laut (Sea Surface Temperature) SST di wilayah Pasifik. Turunnya produksi perkebunan teh di Jawa Barat tahun 2006 diduga sangat berkaitan erat dengan kondisi iklim global. Pada saat tersebut terjadi kekeringan yang ekstrim akibat fenomena El Nino. Peristiwa ini ditandai dengan meningkatnya anomali suhu muka laut pada saat mulai musim penghujan di Indonesia. Akibatnya, terjadi keterlambatan musim hujan di Indonesia dan jumlah curah hujan pada musim tersebut di bawah normal. Dampaknya terhadap perkebunan teh adalah menurunnya produksi dibeberapa kebun, kurang lebih sebesar 20-30% bila dibandingkan dengan kondisi normal. Pengamatan terhadap kekeringan yang pernah terjadi seperti dilaporkan (Darmawijaya, 1982) Kebun Wonosari produksi menurun sampai 42%. Di Jawa Barat pada tahun tersebut di kebun dataran rendah terjadi penurunan produktivitas yang signifikan terutama pada kebun yang memiliki tanah dengan jeluk mempan yang dangkal dan kadar bahan organik yang rendah. Beberapa kebun di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, rata-rata bulan kering dalam satu tahun sudah lebih dari 3 bulan, bila kondisi lingkungan tidak diperbaiki dengan penanaman pohon pelindung tetap, dan atau pohon pelindung sementara sehingga iklim mikro dapat sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan tanaman teh, maka kematian TBM 1 akan tinggi. Oleh karena itu, sebelum penanaman tanaman teh terlebih dahulu ditanami pohon pelindung sementara dan tetap. Minimal satu tahun sebelum ditanaman tanaman teh (Widayat dan Erwan, 2006). Kemarau tahun 1987 yang dilaporkan oleh Sukasman menunjukkan hampir semua tanaman teh di Jawa Barat menderita kekeringan berat sehingga secara keseluruhan produksi turun dan terjadi kematian yang tinggi pada tanaman muda terutama di dataran rendah. Sedangkan akibat kemarau tahun 1992, Kartawijaya melaporkan produksi teh tahun 1992 lebih rendah 16-19% dibanding 1991. Saat kemarau tahun 1997 kekeringan tanaman teh mengakibatkan penurunan produksi antara 3% sampai 53% tergantung lokasi, jenis tanah, dan jenis tanaman.
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
5
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
Peningkatan suhu yang terjadi akibat pemanasan global akan menghentikan proses metabolisme tanaman teh. Hal ini dikarenakan akan menutupnya stomata dan terhentinya fotosintesis, seperti yang ditampilkan pada Tabel 1 berikut. TABEL 1 Kondisi suhu udara optimal untuk fotosintesa No.
Suhu udara (oC)
Pengaruh suhu udara pada pertumbuhan pucuk
1 2 3 4
12-25 19-21 27-32 34
Pertumbuhan Pertumbuhan optimal Stomata menutup Fotosintesa berhenti
(Sumber: Widayat, 2012)
Beberapa penelitian untuk mengatasi kekeringan telah dilakukan mulai dari melakukan konservasi lahan, konservasi air perbaikan iklim mikro dengan penanaman pohon pelindung, penggunaan antitranspiran, irigasi tepat guna, penanaman tanaman penutup tanah, pemangkasan, pemanfaatan software simulasi neraca air, perbaikan kuantitas dan kualitas bahan organik tanah, perbaikan sistem perakaran melalui hidroponik dan penghambatan evaporasitranspirasi tanaman dan lingkungan (Sukasman et al., 1992; Wibowo et al., 1998; Dalimoenthe, 2001; Widayat dan Erwan, 2006; Wibowo dan Rachmiati, 1993; Darmawijaya, 1982; Wibowo, et al., 1992; Rahardjo et al., 2005 dalam Dalimoenthe, et al., 2013). Namun Implementasi di lapangan masih dilakukan secara parsial dan temporer, untuk itu diperlukan penerapan teknologi secara terpadu dimasing-masing wilayah sesuai dengan tingkat kerentanan terhadap indikator iklim global. Karena persoalan terjadinya kekeringan bukan sematamata sekedar kekurangan air untuk tanaman, tapi juga persoalan ekologis, ekosisitim yang harus dikelola secara baik, pentingnya hutan, dan tanaman pelindung sebagai bagian dari ekosistim berkelanjutan sehingga risiko kegagalan pencapaian produksi tanaman dapat diminimalisir.
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
6
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
TABEL 2 Strategi Adaptasi MASALAH Kekeringan El Nino
DAMPAK
PROGRAM TEKNOLOGI
– Air terbatas
– Pengelolaan pohon pelindung
– Tanaman layu
– Pemangkasan tanaman teh
– Tanaman mati
– Pemupukan setelah kemarau
– Kehilangan hasil
– Pengendalian hama dan gulma – Irigasi, fertigasi, pemanfaatan embung – Grafting – Mulsa dan bahan organik
Peningkatan kelembaban La Nina
– Erosi lapisan topsoil tanah – Pangkasan tanaman teh – Aplikasi biofertilizer – Meningkatnya penyakit Blister blight
– Pengendalian hama dan penyakit – Rorak, parit drainase, dan mulsa – Pengelolaan pohon pelindung (Topping)
– Sinar matahari kurang
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
7
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
FENOMENA DAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PERKEBUNAN TEH Akibat terjadinya perubahan iklim, hal yang mendasar terjadi adalah perubahan intensitas dan frekuensi curah hujan. Oleh karena itu, dampak yang terjadi di antaranya akibat curah hujan yang berkepanjangan, seperti erosi lapisan topsoil tanah, meningkatnya penyakit Blister Blight, dan penyinaran matahari yang berkurang, sehingga menurunkan proses fotosintesa tanaman yang berdampak pada penurunan produktivitas. Sedangkan dampak yang terjadi akibat kemarau panjang adalah defisit atau kekurangan air. Peningkatan evapotranspirasi tanaman seiring dengan peningkatan suhu lingkungan berarti kebutuhan air bagi tanaman akan semakin tinggi. Beberapa tanaman dalam menghadapi perubahan iklim yang terjadi agar tetap bertahan hidup dengan menggugurkan sebagian daunnya. Akan tetapi tanaman teh tidak dapat melakukannya, oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan perdu (bush management) daun pemeliharaan untuk mengurangi kehilangan hasil, kerusakan atau mencegah kematian. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi kehilangan hasil adalah dengan pengaturan pola pemangkasan tanaman (Sukasman.1992). Pada tanaman teh yang pengambilan hasilnya pada fase vegetatif kekurangan air akan merangsang fase generatif, beberapa tanggapan tanaman terhadap kekeringan menurut Sukasman (1992) sebagai berikut: 1) Layu sementara: Pucuk dan bagian-bagian daun yang muda layu siang hari, disebabkan pola harian defisit air dan tidak menimbulkan kerusakan, jika kadar air tanah terlalu rendah sehingga transpirasi tidak dapat diimbangi oleh penyerapan air dan menyebabkan menutupnya stomata pada daun sehingga transporasi berhenti maka akan terjadi layu sementara, pertumbuhan berhenti, dan terjadi penurunan produksi. Namun akan segera pulih apabila ada penambahan kandungan air. 2) Layu permanen: Rendahnya kadar air tanah dimana tanaman berakar, hilangnya air melalui transpirasi tidak dapat diimbangi oleh absorpsi air oleh akar, maka akan terjadi layu permanen. Pertumbuhan berhenti dan tidak ada produksi, gejala ini dapat disembuhkan jika tanah diberi air yang cukup. 3) Gugur daun: Jika kondisi layu permanen berlangsung lama disertai suhu udara tinggi dan kelembaban nisbi rendah, maka akan terjadi proses pemindahan air dari daun-daun tua kedaun yang lebih muda. Proses ini ditandai dengan gugurnya daun pemeliharaan lapisan bawah. 4) Kering pada pucuk dan ranting muda: Jika keadaan udara kering dan suhu tinggi terus berlanjut sedangkan cadangan air pada daun tua sudah habis maka akan terjadi kematian pada bagian-bagian tanaman yang
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
8
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
tumbuh aktif, misalnya pucuk dan ranting muda. Gejala ini akan segera kelihatan dari mengeringnya bagian-bagian tanaman tersebut. 5) Mati ranting dan cabang tua: Ranting dan cabang akan segera kehabisan cadangan hara jika tidak terjadi aliran air dan hara dari bawah ke atas. Selanjutnya cabang-cabang dan ranting ini akan segera mati. 6) Mati cabang besar dan batang: Sejak terjadinya layu sementara maka stomata pada daun telah menutup sehingga tidak terjadi fotosintesis. Oleh karena itu akan terjadi pembongkaran cadangan hara dalam akar. Cabang dan batang sudah mati sebelum seluruh cadangan dalam akar akan habis. Pada musim kemarau penyerapan air oleh akar sangat terbatas, sehingga penyerapan unsur hara juga sangat terbatas. Saat lengas tanah kurang, tanaman kehilangan air lebih banyak dibanding yang dapat diserap oleh akar, sehingga daun akan mulai layu dan stomata menutup, fotosintesis menurun atau terhenti. Berhentinya fotosintesis akan menyebabkan berkurangnya produksi karbohidrat. Untuk menyerap hara akar memerlukan karbohidrat sebagai energi sehingga stress karena kekurangan air akan berakibat berkurangnya penyerapan C02, air dan hara. Proses pertumbuhan jaringan tanaman membutuhkan hara yang diserap dari tanah antara lain N, P, K, dan Mg yang berperan dalam aktivitas metabolisme dan pertumbuhan sel sehingga berkurangnya penyerapan hara menyebabkan pertumbuhan tanaman secara keseluruhan terhambat. Pengaruh stress air terhadap penyerapan hara bervariasi tergantung jenis hara dan spesies tanaman, namun penurunan produksi akibat kemarau lebih disebabkan oleh defisit air dibanding berkurangnya penyerapan hara, sehingga perlakuan pupuk yang tepat dari sejak sebelum kemarau akan lebih bermanfaat untuk tanaman dalam menghadapi stress kekurangan air. Pengaruh penurunan penyerapan hara dibanding terhadap penurunan produksi yang sudah diamati oleh Yamada,Y.1994 ada beberapa tipe yaitu: 1) Tipe A: penurunan penyerapan hara > penurunan pertumbuhan. 2) Tipe B: penurunan penyerapan hara = penurunan pertumbuhan. 3) Tipe C: penurunan penyerapan hara < penurunan pertumbuhan. Dari ketiga tipe tersebut, akibat stress air paling banyak ditemukan pada tanaman adalah tipe C dibanding tipe lainnya dimana penurunan penyerapan hara lebih kecil dibanding penurunan produksi yang turun drastis di bawah kondisi stress air. Dengan kata lain tanaman yang mengalami stress air produksi kering tanaman akan turun lebih besar dibanding bila yang kurang adalah penyerapan hara. Pada hara K dan N penyerapan hara oleh tanaman umumnya tipe B dan C sedangkan hara Mg dan P beberapa tanaman memiliki tipe A. Secara umum dikatakan di bawah kondisi stress terjadi peningkatan
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
9
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
yang tinggi level komponen-komponen molekul terlarut sedangkan sintesa komponen-komponen molekul tinggi melambat, sehingga terjadi perubahan konsentrasi karbohidrat, asam amino bebas, dan protein. Glukose dan fruktose sebagai komponen utama gula tidak larut memperlihatkan penurunan sebagai akibat dari menurunnya fotosintesis terutama disebabkan oleh menutupnya stomata akibat stress air. Kandungan N total, N protein, dan N asam amino bebas umumnya menurun pada semua jaringan tanaman karena terjadinya penurunan absorpsi no. 3. Gejala kekurangan hara setelah kemarau pada tanaman teh umumnya terlihat pada daun tua dan di lapangan menunjukkan yang dominan adalah magnesium, Sulfur, dan Kalium. (Rachmiati dan A. A. Salim, 2006). Dalam Gambar 1 menunjukkan data bulanan selama 4 tahun mulai tahun 2009-2012 di salah satu perkebunan teh dataran tinggi yang menunjukkan bahwa selama musim kemarau produktivitas pucuk teh pasti mengalami penurunan. Mulai bulan Mei-Juni curah hujan sudah berkurang dan defisit neraca air dimulai bulan Juli sampai dengan September. Oleh karena itu, perlu rentang waktu melakukan aplikasi irigasi semenjak curah hujan menurun dengan suatu teknologi irigasi yang tepat dan menguntungkan yang bisa mengurangi kerugian akibat musim kemarau. Walaupun disisi lain, ketika curah hujan terlalu banyak, produksi pucuk juga menurun. Di bulan Februari terjadi penurunan produksi, hal ini karena faktor cuaca dimana panjang penyinaran matahari berkurang selama musim hujan tinggi. Oleh karena itu, untuk memenuhi neraca air di jeluk perakaran diperlukan teknologi yang tepat di perkebunan teh dengan aplikasi Mobile Overhead Sprinkler System.
Gambar 1 Fluktuasi produktivitas tanaman teh perkebunan dataran tinggi selama 4 tahun (Sumber: Rahardjo, 2013)
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
10
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
TEKNOLOGI SAAT TERJADI ANOMALI IKLIM LA NINA 1. PEMANGKASAN TANAMAN TEH Pemangkasan tanaman pokok dilakukan untuk membentuk cabang baru, membuang cabang yang sakit dan untuk meningkatkan kesehatan tanaman. Pemangkasan bertujuan untuk menjaga stabilitas produksi. Pemangkasan tanaman pokok sebaiknya dilakukan dengan penggarpuan 100% atau 50% (zigzag) dari seluruh areal. Pemangkasan tanaman teh sebagai tanaman pokok dapat dilakukan dengan dua cara: 1) Untuk kebun yang menganut tahun pangkas 4 tahun pemangkasan dapat dilakukan 25% dari luas areal. 2) Sedangkan untuk kebun yang menganut tahun pangkas tiga tahun pemangkasan dapat dilakukan 33%.
2. APLIKASI BIOFERTILIZER Permasalahan utama penggunaan pupuk anorganik pada perkebunan adalah sangat tergantung dari keadaan iklim, khususnya curah hujan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan data iklim yang dapat diperoleh melalui Stasiun Cuaca Otomatis. Alternatif lain pemenuhan beberapa unsur hara adalah melalui pemupukan hayati (biofertilizer), baik yang bersifat simbiotik maupun non simbiotik, hal ini dikarenakan mikroba-mikroba tersebut dapat terus bermanfaat selama tanaman teh tumbuh. Dengan diaplikasikannya biofertilizer pada musim hujan, maka menjadi antisipasi sebagai penyedia unsur hara ketika pemupukan tidak dapat dilakukan ketika terjadinya musim kemarau. Beberapa mikroba yang diketahui efektif sebagai sumber unsur hara Nitrogen di antaranya Azotobacter sp dan bakteri endofitik spesial tanaman teh. Dengan uji perbandingan ortogonal diperoleh bahwa Azotobacter sp indigen yang terbaik adalah mikroba dengan kode II-1, sedangkan mikroba eksogen terbaik dalam menghasilkan nitrogen total tanah pada areal pertanaman teh adalah Azotobacter sp dengan kode A. kedelai II. Dari beberapa tahap penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Azotobacter sp Indigen memiliki populasi sebesar 32,88% dan kapasitas penambatan nitrogen sebesar 7,67% yang lebih tinggi dibandingkan Azotobacter sp eksogen dalam pertumbuhannya pada tanah Andisol areal pertanaman teh yang memiliki pH 4,5–5,6 (Pranoto dan Mieke, 2014). 3. PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN Jika rata-rata curah hujan >300 ml/bulan, maka untuk pengendalian penyakit cacar daun (Blister Blight) dapat digunakan fungisida sistemik,
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
11
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
sedangkan jika curah hujan <300 ml/bulan menggunakan fungisida kontak. Kedua fungisida tersebut dapat divariasikan dengan tingkat serangan cacar daun. Pengendalian Helopeltis dapat dilakukan secara preventif, pada keadaan La Nina perkembangannya lebih dominan karena tempat hidupnya relatif mendukung. Pengendalian gulma secara kimiawi/manual dilakukan untuk menekan kompetisi dengan tanaman pokok, mengurangi tanaman inang terutama untuk hama Helopeltis. 4. RORAK, PARIT DRAINASE, DAN MULSA Untuk tanaman menghasilkan dibuat parit-parit drainase yang diprioritaskan pada areal-areal kebun yang drainasenya kurang baik agar tidak terjadi genangan air dengan ukuran kedalaman ±40 cm dan lebar 40-50 cm serta panjang 2 m. Agar air run off dan serasah halus dapat ditampung, perlu dibuat rorak dangkal sedalam 5–7 cm setiap 2-3 baris tanaman. Sedangkan untuk TBM pembuatan rorak dengan panjang 2 m, kedalamam 40 cm dan lebar 40 cm. Apabila rorak telah terisi penuh, maka dibuat rorak baru pada baris tanaman lainnya. Untuk mencegah terjadinya erosi terutama di areal tanaman baru dan terbuka perlu memberi mulsa dengan bahan yang ada seperti serasah pangkasan.
5. PENGELOLAAN POHON PELINDUNG (TOPPING) Pemangkasan tanaman pelindung bertujuan untuk memberikan cahaya yang cukup dan mengurangi kelembaban. Pemangkasan 100% diprioritaskan terlebih dahulu untuk areal kantong cacar daun (Blister Blight). Sedangkan blok kebun bukan kantong cacar dapat dilakukan bertahap. Ketentuan tentang pengelolaan pohon pelindung adalah sebagai berikut: 1) Ketinggian dari permukaan tanah minimal 8 m, dan dari tanaman teh minimal 5 m. 2) Ketebalan daun yang ditinggalkan minimal 2 meter.
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
12
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
TEKNOLOGI SAAT TERJADI ANOMALI IKLIM EL NINO 1. POHON PELINDUNG Keberadaan pohon pelindung tetap pada areal tanaman teh menghasilkan (TM) dapat menurunkan suhu udara, meningkatkan kelembaban relatif (RH) dan menurunkan intensitas cahaya pada musim kemarau, sehingga iklim mikro terjaga tetap sesuai untuk pertumbuhan tanaman teh, dapat menekan serangan populasi hama dan meningkatkan populasi musuh alami. keberadaan pohon pelindung tetap pada areal tanaman teh menghasilkan dapat meningkatkan produksi pucuk teh sebanyak 20% pada musim hujan dan 55% pada musim kemarau. Pengelolaan pohon pelindung adalah sebagai berikut: 1) Pohon pelindung sementara 4-5 bulan sebelum datangnnya El Nino tanaman pelindung sementara telah ditanam pada areal TBM sehingga kerapatannya terjaga setiap 2 baris tanaman memanjang sesuai dengan barisan tanaman teh. Tanaman pelindung sementara dapat berupa Tephrosia atau Crotalaria sp sebanyak 8-10 kg/ha. Untuk TBM, penanaman pohon pelindung sementara dapat menggunakan Clotalaria, Tephrosia, Mogania, dan Seisbania. Kebutuhan biji (bibit) 8–12 kg/ha. Ditanam di antara dua baris tanaman teh dengan jarak tanam dalam barisan 50 cm. menjelang musim kering dilakukan penjarangan dengan pangkasan sehingga pelindung sementara yang ditinggal berjarak 1 m dan tinggi pangkasan 50 cm. Pelaksanaan penanaman pohon pelindung sementara bersamaan dengan penanaman bibit teh. 2) Pohon pelindung tetap Tanaman pelindung tetap dapat diprioritaskan pada areal yang peka terhadap kekeringan. Penanaman pohon pelindung dapat dilakukan tanaman teh baru berumur 2-3 tahun setelah tanam. Jarak pelindung tetap dengan jarak tanaman 10 x 10 m, dengan jenis tanaman pelindung yang dapat digunakan antara lain Grevilia robusta, Acacia decurens, Mindi (Melia Azedarach) dan lainnya. Untuk tanaman menghasilkan (TM), penanaman pohon pelindung tetap dapat menggunakan Gravelia robusta, Melia azaderha, Toona sureni, dan Leucaena leucocephala. untuk penanaman dataran rendah, jarak tanam awal 5 x 5 m, kemudian dijarangkan menjadi 10 x 10 m. Kebutuhan bibit 400 batang/ha. Untuk dataran sedang, jarak tanam awal 7,5 x 10 m, kemudian dijarangkan menjadi 10 x 15 m. Kebutuhan bibit 135 batang/ha. Untuk dataran tinggi, jarak tanam awal 10 x 10 m, kemudian dijarangkan menjadi 10 x 20 m. Kebutuhan bibit 100 batang/ha.
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
13
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
3) Pengelolaan pohon pelindung Pemangkasan bentuk dilakukan pada saat lilit batang tanaman pelindung mencapai 60 cm atau ketinggian 7 m, dengan cara memotong dan membiarkan empat cabang mengarah ke mata angin. Pemangkasan pemeliharaan dilakukan pada awal musim penghujan dengan cara memangkas cabang-cabang baru 5 cm di atas pangkasan lama. Pelaksanaan penanaman pohon pelindung tetap bersamaan dengan penanaman bibit teh. 2. IRIGASI, FERTIGASI DAN PEMANFAATAN EMBUNG Transpirasi tanaman teh belum menghasilkan (TBM) berkisar 0,5–1,5 mm/hari dan tanaman menghasilkan (TM) 3,5–4,0 mm air/hari. Sedangkan nilai total evavotranspirasi mencapai 6,5 ml air/hari. Untuk memenuhi kekurangan air pada musim kemarau, apabila terdapat sumber air, maka dapat dilakukan irigasi baik teknologi surface irrigation atau overhead irrigation. Teknologi irigasi dapat bermanfaat ganda dengan fungsi sebagai fertigasi dan pestigasi. Embung atau teknologi water harvesting lainnya ketika musim hujan dapat dimanfaatkan ketika terjadinya musim kemarau sebagai sumber air. Aplikasi pemupukan dengan menggabungkannya dengan menggunakan teknik irigasi dikenal dengan istilah fertigasi. Walworth (2013) mengatakan bahwa fertigasi menggunakan urea tidak direkomendasikan karena dapat meningkatkan pH air, melepaskan kalsium tetapi meninggalkan natrium dalam larutan. Pilihan yang baik untuk fertigasi adalah urea ammonium nitrate, yaitu campuran urea dan amonium nitrate yang dilarutkan pada air, umumnya mengandung 32% nitrogen yang dikenal dengan UAN-32. Pada prinsipnya, unsur hara yang diberikan melalui fertigasi dapat diserap tanaman melalui daun secara langsung seperti halnya pemupukan lewat daun (foliar application) dan juga secara tidak langsung melalui kelarutannya di dalam tanah. Akan tetapi, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemupukan melalui daun adalah sebagai berikut: 1) Pemupukan lewat daun dilakukan pada saat stomata membuka dan embun pada daun sudah mengering, (umumnya pagi jam 8.00-10.00). Tidak melakukan pemupukan pada saat curah hujan atau sinar matahari tinggi. 2) Pemupukan lewat daun dilakukan pada masa menjelang musim kemarau dan pada awal musim hujan. Aplikasi 3-4 kali sebelum musim kering (AprilMei) dan 3-4 kali awal musim hujan (September-Oktober). 3) Pemupukan lewat daun tidak boleh dilakukan pada musim kemarau atau suhu permukaan daun >23OC. 4) Konsentrasi pupuk maksimum yang diaplikasikan lewat daun adalah 2% (20 gram/liter air atau 20 ml/liter air).
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
14
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
3. MULSA DAN BAHAN ORGANIK Penambahan bahan organik 2–7% mampu menaikkan kapasitas simpan air (water holding capacity) sebesar 6,3% ±0,8% g air/g tanah dalam kondisi kering angin untuk setiap persen kenaikan bahan organik yang dilakukan sebelum musim kemarau. Pemberian mulsa dan bahan organik harus dilakukan beberapa bulan sebelum musim kemarau supaya saat kemarau terjadi bahan organik dan mulsa tersebut sudah dapat berfungsi. Tanaman penutup tanah yang dapat digunakan antara lain Arachis pintoi dan Mimosa invisa. Arachis pintoi ditanam dua baris di antara barisan tanaman teh, dengan jarak tanam 25 x 25 cm. Kebutuhan bibit stek panjangnya 15 cm sebanyak 67.000 stek/ha. Setiap tiga bulan dilakukan penyiangan teh dengan cara piringan diameter 40 cm. Setiap enam bulan Arachis pintoi dipangkas sampai permukaan tanah. Serasah ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan organik dan dimanfaatkan untuk menghambat evaporasi. Mimosa invisa ditanam dua baris di antara barisan tanaman teh dengan jarak dalam barisan 25 cm. kebutuhan biji 0.5 kg/ha. Waktu penanaman bersamaan dengan penanaman bibit teh. Selain itu, mulsa dapat diperoleh dari serasah pangkasan pohon pelindung sementara, serasah penutup tanah, dan serasah lainnya yang tersedia. Serasah tersebut dihamparkan pada gawangan teh setebal 5 cm dan tidak menyentuh tanaman teh pada akhir musim hujan. Untuk TBM mulsa, sisa gulma, atau jerami dapat diberikan di bawah tanaman memanjang sesuai dengan barisan tanaman. Untuk tanaman tahun pangkas 1 tahun sisa pangkasan dapat diletakan pada setiap 2 baris tanaman secara memanjang. Ketebalan mulsa 10-15 cm. 4. PEMANGKASAN, PEMBENTUKAN DAUN PEMELIHARAAN DAN PEMUPUKAN SEBELUM PANGKAS Untuk mengurangi dampak kemarau pada tanaman teh produktif dapat dilakukan pemangkasan dan pemupukan. Pemangkasan dapat dilakukan menjelang musim kemarau dan saat kemarau dengan tipe pangkasan ajir (jambul) dengan jumlah daun yang ditinggal 100–150 lembar. Untuk meningkatkan kadar pati sebagai cadangan makanan dan mempercepat pertumbuhan tanaman setelah dipangkas, diperlukan pemupukan sebelum pangkas sesuai dosis rekomendasi pemupukan. Pemupukan yang dilakukan sebelum tanaman teh dipangkas berfungsi untuk meningkatkan kesehatan tanaman sehingga dapat mempersingkat masa tidak produktif ketika dipangkas. Agar areal pangkasan tahan terhadap kekeringan, maka pada 3 bulan sebelum tibanya musim kemarau dilakukan pembentukan daun pemeliharaan matang fisiologis dengan ketebalan 5 daun pada seluruh areal yang dipangkas. Areal pangkasan harus bebas hama penyakit dapat diaplikasikan pupuk daun.
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
15
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
5. PERLAKUAN PUPUK ZN, K DAN ZPT MENJELANG KEMARAU Untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap stress air pada tanaman teh dilakukan pemupukan K dengan dosis 120–240 kg K2O/ha/thn dan ZPT 2–4%. Pupuk mikro Zn perlu diberikan pada awal musim hujan dengan konsentrasi 2% setelah pemetikan saat cuaca memungkinkan.
6. PEMUPUKAN SETELAH KEMARAU Pelaksanaan pemupukan semester ke-2 setelah kemarau, dosis pemupukan disesuaikan sebagai berikut: 1) Tanaman yang relatif tidak terkena dampak kekeringan atau kekeringan ringan, aplikasi pupuk terakhir dapat diberikan seluruhnya (100% dosis aplikasi terakhir) dan aplikasi pupuk sebelumnya yang tidak sempat diberikan tidak perlu ditambahkan, sehingga dosis pupuk setahun tidak penuh 100%. 2) Tanaman yang mengalami kekeringan sedang, aplikasi pupuk terakhir diberikan hanya 80% dosis. 3) Tanaman yang mengalami kekeringan berat, aplikasi pupuk terakhir diberikan hanya 50% dosis pupuk terakhir saja. 4) Pupuk mikro Zn perlu diberikan pada awal musim hujan dengan konsentrasi 2% setelah pemetikan saat cuaca memungkinkan.
7. PENGENDALIAN HAMA DAN GULMA Untuk tanaman belum menghasilkan (TBM) atau pada tanaman Tahun Pangkas 1 tahun rorak dibuat dengan ukuran panjang 2 meter lebar 40 cm dan dalam 40 cm. Rorak diisi dengan serasah pangkasan, sisa-sisa gulma atau pupuk kandang. Rorak dibuat setiap 2 baris tanaman teh memanjang, atau jumlah rorak 50% dari luas areal. Pada keadaan kering sebaiknya pengendalian gulma dilkukan dengan strip weeding untuk keadaan gulma yang penutupannya lebih dari 80%. Untuk areal tanaman teh dengan penutupan di bawah 50% sebaiknya dilakukan pengendalian setelah tiba pada awal musim hujan.
8. GRAFTING Dari bahan tanamannya sangat diharapkan usaha-usaha untuk memperoleh tanaman yang dapat beradaptasi terhadap kekeringan dengan sifat-sifat (1) sistem perakaran yang dalam, lebih bercabang dan mampu bertahan terhadap variasi musiman; (2) nisbah antara akar (R) terhadap bagian atas (T). Namun usaha tersebut memerlukan waktu yang lama. Dari pengalaman beberapa kali mengalami kemarau ada beberapa tanaman yang lebih tahan diban-
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
16
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
ding tanaman lainnya baik dari seedling ataupun asal klon di antaranya Klon TRI 2025, TRI 2024, SA 35, GD 1, PS 1. Untuk mendapatkan bibit tahan kekeringan dapat dilakukan dengan cara sambungan (grafting) yang sudah dilakukan di India, di Indonesia sudah mulai dirintis (Purnama, 2002) dan perlu dikembangkan sebagai cara alternatif memperoleh bahan tanaman tahan kekeringan. Untuk mendapatkan bahan tanaman yang tahan kekeringan dengan cara sambungan (grafting), yaitu menggunakan batang bawah yang tahan terhadap kekeringan dan batang atasnya yang memiliki produktivitas tinggi. Penyambungan pada tanaman teh untuk menghasilkan tanaman campuran telah biasa dilakukan di India dan Srilangka. Menurut Khatiravetpillai,1988 di masa lalu penyambungan dilakukan sebagai usaha untuk (1) meneliti hubungan masa dorman; (2) mendorong tunas asal dari klon yang diinginkan ke tanaman tua asal biji; dan (3) mendapatkan produksi tinggi dalam menghadapi keadaan kekeringan dengan menyambung tanaman pada batang induk yang sesuai. Grafting merupakan salah satu cara dari Graftage yaitu menggabungkan dua struktur batang yang terpisah, keberhasilannya sangat ditentukan oleh kontak kambium dari kedua batang tersebut. Kedua struktur batang tersebut harus kompatibel supaya tanaman dapat hidup. Salah satu alasan dilakukan graftage adalah memanfaatkan sistem perakaran tanaman yang tahan terhadap keadaan yang kurang menguntungkan. Penelitian yang dilakukan Rachmiati (2010) menyimpulkan beberapa hal tentang penelitian grafting untuk mengurangi risiko kemarau adalah penyambungan klon di pembibitan berupa Klon TRI 2025/Klon GMB 9, Klon TRI 2025/Klon GMB 2, Klon PS 1/Klon GMB 2, Klon GMB2/Klon PS 1, Klon GMB 1/Klon GMB 2, Klon GMB 1/Klon GMB 9, Klon GMB 10/Klon GMB 1, Klon GMB 10/Klon GMB 9, Klon GMB 11/Klon GMB 7, Klon GMB 1/Klon GMB 9, Klon GMB 1/Klon GMB 3, Klon GMB 7/Klon GMB 9, dan Klon GMB 2/Klon GMB 9. Persentase hidup yang tinggi di antaranya terdapat pada grafting Klon TRI 2025/Klon GMB 9, Klon TRI 2025/Klon GMB 2, Klon GMB 1/Klon GMB 2, Klon GMB 7/Klon GMB 9, dan Klon GMB 2/Klon GMB 9.
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
17
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
9. USAHA PENYEMBUHAN AKIBAT KEKERINGAN Setelah hujan turun pada minggu pertama tanaman teh yang menderita akan mengalami gugur daun. Usaha penyembuhan yang dapat dilakukan adalah: 1) Pemupukan: dilakukan setelah 7 hari berturut-turut curah hujan 60 mm, dan saat pemberian tergantung tingkat kerusakan: -
Kerusakan ringan, 2 minggu sesudahnya. Kerusakan sedang, 4 minggu sesudahnya.
-
Kerusakan berat sesudah pertumbuhan tunas baru kuat (1–1,5 bulan sesudahnya).
2) Pemetikan: ringan atau ditunda agar tanaman menjadi sehat kembali dengan di dukung daun pemeliharaan yang memadai. 3) Pemangkasan: baru dilakukan setelah cadangan pati dalam akar normal. 4) Pemberantasan hama: sebagai akibat parasit dan predator yang sebagian besar mati di musim kemarau, pada awal musim hujan hama meningkat dan tanaman teh masih lemah. Oleh karena itu pengendalian hama perlu di kendalikan secara intensif.
DAFTAR PUSTAKA Boer, R. 2001. Final Report: Inventory of climate extreme impact (ENSO) on agriculture: Indonesian case. Asian Disaster Preparedness Center (ADPC). Thailand. Bangkok. Bore, J.K, W.K. Ng'etich. 2001. Effects of Ergostim 0n Tea Plant Recovery From Drought. Tea. 22(2) :74-78 Carr, M.K.V.1972.The Climate Requirement of Tea Plant. A Review. Expl. Agric. 8:1-4 Printed in Great Britain Caliman,.J.P. 1992. Kelapa Sawit Dan Deficit Air: Produksi Dan Cara Mengatasi. Lokakarya Kiat Menghadapi Kemungkinan Musim kemarau Panjang tahun 1992, 19-20 Februari. Bandung.29 hal Chang, P.C.M. and C.T. Wu. 1971. Studies on the effect of soil moisture control and irigation of tea plant. Water and the tea plant. Tea Res. Inst. East Africa Proc. Symp. March 1971:139-144 Dalimoenthe, S.L., Yati R., dan Odih S., 2013. Dampak Iklim pada Pengelolaan Perkebunan Teh. Workshop. Aplikasi AWS untuk Meningkatkan Presisi Manajemen Kebun. Bogor, 30 Mei 2013.
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
18
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
Darmawijaya, I.M., 1982. Pengaruh kekeringan terhadap Tanaman Teh. PPTK. 18 hal. Eden.T. 1976. Tea (3rd Edition). Longmans Group Ltd.London. 236 pp Las, I., R. Boer, H. Syahbudin, A. Pramudia. 1999. Analisis peluang penyimpangan iklim dan ketersediaan air pada wilayah pengembangan IP Padi 300. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Laporan Proyek ARMPII, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 155p (tidak dipublikasikan). Manivel, L. 1999. Physiology of Tea Productivity. Global and advance of Tea Science: 463-480 Purnama, R. 2002. Sambungan (grafting) di pembibitan teh untuk mendapatkan bahan tanaman (bibit) yang tahan kekeringan. Laporan Proyek Penelitian APBN tahun 2002 Pramudia, A. 2002. Analisis sensivitas tingkat kerawanan produksi padi di pantai utara Jawa Barat terhadap kekeringan dan El Nino. Thesis Program Pascasarjana IPB. Bogor. 92p. Pranoto, E. Dan Mieke R. S., 2014. Pengujian Pertumbuhan dan Kapasitas Azotobacter sp Indigen dan Eksogen secara in-vitro pada Tanah Andisol Areal Pertanaman Teh. (Diajukan pada Jurnal PPTK Gambung tahun 2014). Rahardjo, P., 2013. Laporan Akhir. Penggunaan Teknologi Irigasi “Mobile Overhead Sprinkler System” di Perkebunan Teh yang Menguntungkan. PPTK Gambung, Bandung. Rachmiati, Y. Dan A. Agus Salim. 2006. Pemupukan Pasca Kemarau Pada Tanaman Teh. Pertemuan Teknis Teh Akhir tahun 2006. Bandung 11 Desember 2006. 8 hal Rachmiati, Y., 2010. Pengelolaan Tanaman Teh dan Lingkungan secara Terpadu untuk Mengurangi Risiko Kemarau. Laporan APBN tahun 2010. PPTK Gambung Raharjo, P., Wahyu W., Erwan J., A.A. Salim., R. Purnama., Salwa L.D. dan Tajudin A., 2005. Standar Kultur Teknis Selama Periode kemarau pada Perkebunan Teh. Seminar Sehari Dampak Dan Antisipasi Kemarau 2005 pada Usaha Agribisnis Perkebunan. hal: 85-95
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
19
SEMINAR NASIONAL
Upaya peningkatan produktivitas di perkebunan dengan teknologi pemupukan dan antisipasi anomali iklim Hotel Crown Plaza Jakarta, 25-26 Maret 2014
Sukasman, 1996. Pengujian Pohon lamtoro tahan kutu (hantu) sebagai sarana pengendalian hayati Helopeltis pada perkebunan teh sekaligus meningkatkan keuntungan 40% atau lebih bagi perkebunan. Prosiding seminar sehari alternatif pengendalian hama teh secara hayati. Pusat Penelitian teh dan kina, Gambung. Bandung Sukasman.1992. Pengaruh Kemarau Panjang Terhadap Tanaman Teh Dan Usaha Penanggulangannya. Warta Teh dan Kina 3(3/4): 73-88 Sukasman dan Syafruddin Mahmud, 1988. Pemangkasan Tanaman Teh pada Periode kering dan permasalahanya. Seminar Mingguan BPTK Gambung. Tim PPTK, 2006. Petunjuk Kultur Teknis Tanaman Teh. Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Bandung Walworth, J., 2013. Nitrogen in Soil and The Environment. The University of Arizona, USA Wibowo, Z.S., dan Y. Rachmiati. 1993. Konservasi Air Di Perkebunan Teh. Prosiding Seminar Konservasi tanah dan Air Kunci Pemberdayaan Petani dan pelestarian Sumberdaya Alam. Yogyakarta 27-28 Oktober 1993: hal 108-113 Wibowo, Z.S., A.Agus Salim, Nyanjang R., dan Dahman. 1998. Irigasi Tepat Guna di Perkebunan Untuk Mencegah Kehilangan Produksi Pada Musim Kering. Laporan hasil penelitian APBN TA/1997/1998. Tidak dipublikasikan Wibowo, Z.S., M. Isa Darmawijaya, Pudjo Rahardjo dan E.H. Pasaribu. 1992. Daya Sangga Tanah-Tanah Teh Terhadap Air dan Beberapa Konservasinya Dalam Menyongsong Musim Kering 1992. Lokakarya Kiat Menghadapi Kemungkinan Musim kemarau Panjang tahun 1992, 19-20 Februari. Bandung. 11 hal Widayat, W., 2012. Pentingnya Perubahan Iklim terhadap Pertumbuhan Pertanaman Teh. Pertemuan Teknis Teh. Bandung, 13 September 2012. Widayat, W. dan Erwan. 2006. Kajian Produksi Teh tahun 2006 dan langkah Penanganannya tahun 2007. Pertemuan Teknis Teh Akhir tahun 2006, Bandung, 11 Desember 2006. 18 halaman Wijeratne, M.A. 1996. Vurnerability of Srilangka Tea Prodution To global Climate Change. Water, Air, and Soil Polution 92:87-94. Kluwer Academic Publishers. In Printed the Netherlands.
Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh
20