iptek hortikultura
TEKNOLOGI BIOREAKTOR FASILITAS KEMANDIRIAN PERBENIHAN HORTIKULTURA M en u rut w orld population rev iew jumlah penduduk Indonesia adalah 5,8% dari penduduk Asia yang berjumlah 4,38 milyar orang. Menghadapi pasar bebas dan kerjasama Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang dimulai tahun 2015, pasar Indonesia adalah yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Ini adalah populasi konsumen besar yang dapat menjadi sasaran ‘banjir’ komoditas hortikultura negara tetangga yang saat ini lebih produktif. Sebagai salah satu sumber vitamin dan nutrisi fungsional yang diperlukan tubuh maka kebutuhan komoditas ini selalu tinggi dengan nilai ekonomi ini sangat atraktif untuk mengeruk profit. Kompetisi yang seimbang antara produk import dan lokal di pasaran menuntut ketersediaan produk hortikultura dari dalam negeri di pasar modern dan tradisional. Hal ini akan bergantung kepada berbagai faktor dan interaksinya. Salah satunya adalah pemekaran kawasan produksi, diversifikasi komoditas, dan intensifikasi metode produksi yang modern dan efisien. Pembangunan pertanian di sektor hortikultura yang produktif menuntut kemandirian perbenihan. Siklus produksi tanaman semusim hortikultura akan berputar stabil dan berketerusan bila benih
bermutu varietas unggul selalu tersedia dalam jumlah yang dikehendaki, dekat dengan kawasan produksi, dan murah. Oleh karena itu sistem produksi benih mesti handal dan mudah diadopsi oleh penangkar yang berada di kawasan produksi. Benih yang dapat disediakan tanpa harus melalui rantai proses yang panjang akan lebih disukai penangkar. Kecukupan benih bermutu ini diyakini akan mengurangi praktek-praktek penyedia benih asalan, yang produktivitasnya rendah dan cenderung menebar ancaman penyebaran patogen di kawasan produksi. Berbagai metode penyediaan benih telah dikembangkan, dimulai dari cara-cara konvensional sehingga munculnya metode modern karena tuntutan produktivitas. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya biosains dan bioteknologi memungkinkan sistem produksi benih konvensional diganti sepenuhnya atau dikombinasikan dengan sistem yang lebih tersentuh modernisasi yang automasi. Sistem yang lebih modern ini adalah kultur jaringan. Kultur jaringan tanaman sudah banyak diterapkan oleh produsen benih hortikultura seperti pembotol anggrek, penyedia tunas G0 kentang, pisang, krisan, dan tanaman hias lainnya, baik skala 61
No. 11 - Agustus 2015
kecil maupun komersial. Ini menunjukkan bahwa produsen benih yang menggunakan tools bioteknologi ini sebenarnya sudah dekat dengan kawasan produksi. Efektivitas dan skala produksi perlu ditingkatkan dan termasuk jumlah pelaku produksi Kultur Jaringan Tanaman Kultur jaringan tanaman saat ini merupakan metode paling menjanjikan untuk produksi benih (Rout et al. 2006, Sorvari et al. 2006) yang mendukung kemandirian perbenihan. Kultur jaringan yang dilandasi oleh biosains, bioteknologi, dan bioengineering memastikan dukungannya terhadap pengadaan benih secara massal yang tidak dipengaruhi musim, letak geografis, dan karantina. Sinergismenya dengan teknologi penanda DNA mampu melabel kebenaran varietas (Saha et al. 2014) dan memastikan kebebasannya dari patogen (Fujikawa & Iwanami 2012, Keremane et al. 2015). Pengemasannya dalam bentuk benih sintetik (syntetic seed) memudahkan penyimpanan antarwaktu tanam dan translokasi benih (Nower 2014) antarwilayah kepulauan seperti Indonesia. Ini menjanjikan sistem sentralisasi penyediaan dan distribusi benih bermutu yang efisien dan menyentuh berbagai kawasan yang jauh dari modernisasi. Metode kultur jaringan yang paling umum digunakan dalam program perbenihan adalah kultur semisolid yang menggunakan agar sebagai pemadat. Metode ini diadopsi karena investasi fasilitas yang murah dan operasional yang relatif mudah. Penggunaan botol-botol kecil yang banyak dengan kegiatan padat karya
dalam subkultur dengan frekuensi multiplikasi tunas yang rendah adalah kelemahan protokol semisolid yang menyebabkan ongkos produksi relatif tinggi dalam menghasilkan benih dengan vigor yang baik (Aitken-Christie 1991). Tuntutan produktivitas dalam sistem produksi benih melahirkan inovasi baru dalam metode kultur jaringan yaitu dengan berkembangnya bioreaktor. Bioreaktor adalah sebuah unit kontainer yang berisi nutrisi, air, dan sel/organ yang digunakan untuk melakukan berbagai bioproses. Bioreaktor modern terdiri atas sebuah vessel yang memiliki beberapa lubang untuk inokulasi ekplan, sistem aerasi (inlet dan outlet) dan injeksi medium (Paek et al. 2005). Ada tiga tujuan utama melakukan kultur in vitro di dalam bioreaktor yaitu (1) produksi biomassa (sel, organogenik atau propagul embriogenik), tunas atau akar sebagai produk akhir, (2) produksi metabolisme sekunder dan enzim, dan (3) biotransformasi (Yesil-Celiktas et al. 2010, Paek, et al. 2005). Sel, organ dan/atau plantlet akan dipelihara di dalam sistem bioreactor, mengikuti pola automatic yang diciptakan kondisi fisik dan biokimia yang terjadi akibat pertumbuhan di dalam sistem media cair. Berbagai bentuk bioreaktor telah berkembang sesuai dengan kebutuhan kultur sel dan organ untuk mencapai berbagai tujuan. Dari berbagai model tersebut, tipe air-lift bioreactor terseleksi menjadi tipe yang paling efisien untuk pertumbuhan sel dan organ (Takayama & Akita 2006). Berbagai tipe air-lift (Gambar 1) kemudian berkembang untuk mendapatkan metode propagasi yang optimum.
Inlet filter (1), Sparger (2), Bulb vessel (3),Cap sampling (4),Outlet filter (5), Port sampling (6)
Gambar 1. Tipe air-lift bioreactor dalam multiplikasi sel dan organ
62
iptek hortikultura
Gambar 2. Beberapa tipe bioreaktor Cone, Balloon, Bulb, Drum, dan Column (Baque et al. 2012)
Untuk kebutuhan produksi benih, berbagai tipe bioreaktor (Gambar 2) sudah dikembangkan (Paek et al. 2001) (Baque et al. 2012). Namun demikian, tipe yang paling sederhana dan produktif adalah tipe air-lift bioreaktor. Keuntungan tipe air-lift dibanding tipe bioreactor yang lain adalah (a) kerusakan akibat terpotong rendah, (b) desain dan konstruksi sederhana, (c) kontaminasi rendah dengan mengeliminasi risiko kontaminasi dari stirrer shafts dan seals, (d) konsumsi energi yang rendah, dan (e) hasil yang lebih tinggi dengan input yang rendah. Pada air-lift bioreactor, sirkulasi media cair dan pencampurannya hanya dikendalikan oleh laju aliran udara yang dimasukkan ke dalam vessel. Kecepatan aliran udara ditentukan oleh air-flow meter yang mengontrol sumber gas dan bioreaktor (Takayama & Akita 2006). Kelemahan sistem ini hanyalah pada buih yang dihasilkan, sel-sel yang terangkat dari larutan karena kekuatan udara dan menempel di dinding vessel dan ruang atas vessel dipenuhi oleh sel-sel yang diangkat oleh buih. Aplikasi Bioreaktor untuk Produksi Benih Penggunaan media cair akan meningkatkan frekuensi sentuhan media dan organ tanaman. Organ selalu dalam selimut media. Hai ini yang memudahkan serapan nutrisi untuk pertumbuhan yang aktif. Di dalam sistem bioreaktor, insersi udara yang berketerusan ke dalam media, menyebabkan konsentrasi udara atmosfir (CO2 dan O2) lebih tinggi di dalam media. Metabolisme di dalam sel yang lebih banyak bersifat oksidatif akan sangat aktif atas kehadiran udara. Kehadiran udara di dalam sistem sel akan berkorelasi positif dengan meningkatnya metabolisme aerobik sel tanaman (Afreen 2006). Udara yang mengalir
secara terus menerus atau dengan frekuensi tertentu bergantung genotip, menyebabkan pergerakan media yang teratur. Pergerakan ini menjaga homogenitas media dan keseragaman nutrisi di setiap sisi ruang kultur (Jeong et al. 2009, Jeong et al. 2006). Di sisi lain, kultur yang cenderung bergerak di dalam vessel akan memutus sifat dominasi apical dan menstimulasi pertumbuhan tunas baru dari planlet (Takayama & Akita 2006), ini merupakan pembeda penting antara teknologi bioreaktor dengan kultur jaringan yang lain, yang menyebabkan pertumbuhan sel dan organ dapat maksimum dengan kecepatan pertumbuhan dan laju multiplikasi yang tinggi. Pada sistem bioreaktor, penanganan kultur dari inokulasi hingga panen dapat terjadi hanya dengan sekali aktivitas transfer. Hal inilah yang membuat upaya produksi menjadi mudah, cepat, hemat tenaga kerja, dan waktu. Sejak pertama kali dilaporkan oleh Takayama pada 1981 yang bekerja untuk perbanyakan Begonia, penggunaan bioreaktor untuk perbanyakan tanaman telah berkembang dengan pesat dan diaplikasikan untuk produksi massal berbagai tanaman hortikultura. Mikropropagasi in vitro mampu mendukung penyediaan benih yang berkelanjutan seperti pada pisang (Kosky et al. 2002), nenas (Gonzalez-Olmedo et al. 2005), kopi (Ducos et al. 2003) dan jeruk (Agisimanto 2012). Laporan ilmiah ini telah dikonfirmasi dengan aktivitas penelitian dan pengembangan bioreaktor untuk komoditas hortikultura lokal Indonesia. Perkembangan protokol produksi planlet komoditas yang banyak ditanam di kawasan lokal Indonesia cukup menjanjikan produktivitas perbenihan untuk mensuplai kebutuhan perluasan 63
No. 11 - Agustus 2015
kawasan produksi. Performa bioreaktor pada perbanyakan tanaman pisang (a), kentang (b), dan anggrek (c) ditunjukkan oleh Tabel 1 dan Gambar 3. Pada kondisi yang diperoleh produktivitas bioreaktor dalam frekuensi multiplikasi hingga delapan kali lebih produktif dibanding dengan media semisolid. Ini menguntungkan dari ongkos produksi dan investasi produksi benih dan daya dukung pengembangan kawasan. Pada skala percobaan pertumbuhan plantlet pisang Cavendish di dalam air-lift bioreactor Tabel 1. Frekuensi multiplikasi tunas melalui organogenesis di dalam bioreaktor dibandingkan media semisolid dalam periode kultur selama 30 hari Tanaman
Bioreaktor
Semisolid
Pisang
9–15
4–6
Kentang
25–30
2–4
Anggrek
30–65
10–17
volume 3l tumbuh lebih aktif dibandingkan dengan media semisolid. Untuk mencapai ukuran lebih dari 10 cm dengan 3–4 helai daun, kultur bioreaktor hanya membutuhkan 1–1,5 bulan, lebih cepat 2 bulan dibandingkan kultur semisolid. Vigor yang lebih baik pada kultur bioreaktor menyebabkan survival yang tinggi di media aklimatisasi (Gambar 1a-c). Kentang Granola yang populer sebagai kentang sayur, dapat beradaptasi dengan baik di media cair bioreaktor dan berhasil survive di media aklimatisasi (Gambar 2a-c). Inokulasi 40 tunas dengan ukuran panjang 4–5 cm menghasilkan 1.000–1.200 tunas dengan ukuran 3 cm. Tunas dapat tumbuh dengan baik pada media arang sekam dalam tahapan aklimatisasi. Pertumbuhan tunas yang mayoritas belum berdaun dapat tumbuh membentuk daun 5–7 hari lebih cepat dalam pembentukan daun dengan penambahan pupuk dalam ukuran nano partikel. Anggrek Dendrobium Sonia 17
Gambar 3. Perbanyakan tanaman hortikultura di dalam bioreaktor: (a1) Inkubasi tunas pisang Cavendish, (a2) tunas yang dipanen setelah 2 bulan kultur, dan (a3) vitroplant pisang di nurseri, (b1) inkubasi tunas kentang Granola kembang, (b2) tunas Granola kembang yang dipanen setelah 2 bulan kultur, dan (b3) vitroplant kentang Granola Di nurseri, (c1) induksi repetitif PLB anggrek Dendrodium Sonia 17, (c2) tunas anggrek Dendrodium Sonia 17 1 bulan di dalam kultur tunas, dan (c3) vitroplant anggrek Dendrodium Sonia 17 siap aklimatisasi
64
iptek hortikultura
telah diperbanyak di dalam air-lift bioreactor (Gambar 3a-c). di dalam bioreaktor, PLB dapat diperbanyak dengan frekuensi tinggi akibat perlakukan thidiazuron dan thin cell layer pada fase sebelum bioreaktor. Inokulasi 10-20 g PLB ke dalam bioreaktor volume 3l dapat menghasilkan 200–650 g PLB dalam waktu 1,5–2 bulan kultur dengan sekali penambahan media. Dengan rerata 1 g PLB mengandung 80–120 PLB maka durasi 60 hari kultur dapat menghasilkan 40–60 ribu planlet. Penggantian media multiplikasi PLB kepada media regenerasi dapat merubah pertumbuhan PLB menjadi planlet dalam waktu 15–25 hari setelah inisiasi. Planlet dapat tumbuh hingga ukuran 3 cm dalam waktu 2–3 bulan kultur dengan densitas tinggi. Pertumbuhan planlet yang siap aklimatisasi dengan diameter 0,7–1 cm dapat dilakukan di dalam bioreaktor atau botol kultur. Penggunaan lampu agrolamp dengan kualitas spectrum cahaya berkisar 400–700 nm dengan dominansi warna merah dan biru. Pertumbuhan planlet pada lingkungan ini mempercepat hingga separuh waktu dibandingkan kultur semisolid di bawah lampu fluorescence. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA 1. Afreen, F 2006, ‘Temporary immersion bioreactor, engineering considerations and applications in plant micropropagation’, in Gupta, SD & Ibaraki, Y, Dordrecht (eds.), Plant tissue culture engineering, Springer, pp. 187-201. 2. Agisimanto, D 2012, ‘Somatic embryogenesis and in vitro mutagenesis of limau madu (Citrus reticulata Blanco)’, Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia. 3. Aitken-Christie, J 1991, ‘Automation’, in Debergh, PC & Zimmerman, RJ, Dordrecht, Kluwer , Micropropagation: technology and application, Academic Publishers, pp. 363-88. 4. Baque, MA, Moh, SH, Lee, EJ, Zhong, JJ & Paek, KY 2012, Production of biomass and useful compounds from adventitious roots of highvalue added medicinal plants using bioreactor Biotechnology Advances, no. 30, pp. 1255-67. 5. Ducos, JP, Alenton, R, Reano, JF, Kanchanomai, C, Deshayes, A & Etiard, VP 2003, ‘Agronomic performance of Coffea canephora P. trees derived from large-scale somatic embryo production in liquid medium’, Euphytica, no. 131, pp. 215-23. 6. Fujikawa, T & Iwanami, T 2012, ‘Sensitive and robust detection of citrus greening (huanglongbing) bacterium “Candidatus Liberibacter asiaticus” by DNA amplification with new 16S rDNAspecific primers’, Molecular and Cellular Probes, no. 26, pp. 194-7.
Inovasi perbenihan diperlukan untuk memastikan ketersediaan benih bermutu dalam jumlah yang diperlukan sepanjang tahun dan dekat dengan kawasan produksi. Kemandirian 7. Gonzalez-Olmedo, JL, Fundora, Z, Molina, benih bermutu akan menjamin keberlanjutan LA, Abdulnour, J, Desjardins, Y & Escalona, produksi yang berkorelasi dengan ketahanan M 2005, New contributions to propagation of pangan dan kompetisi produk lokal di pasar pineapple (Ananas comosus L Merr) in temporary tradisional dan modern. Sistem produksi benih immersion bioreactors, ‘In Vitro Cellular menggunakan bioreaktor dapat dilakukan Development Biology Plant’, no. 41, pp. 87-90. secara cepat dan otomatis untuk menghasilkan 8. Jeong, CS, Chakrabarty, D, Hahn, EJ, Lee, HL benih bermutu secara massal dan murah. & Paek, KY 2006, ‘Effects of oxygen, carbon Penggunaan bioreaktor untuk perbanyakan dioxide, and ethylene on growth and bioactive massal tanaman hortikultura sangat potensial compound production in bioreactor culture dalam mendukung pengembangan kawasan of ginseng adventitious roots’, Biochemical produksi hortikultura. Pada skala percobaan Engineering Journal, no. 27, pp. 252-63. hasil perbanyakan menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi daripada kultur semisolid 9. Jeong, JA, Wu, CH, Murthy, HN, Hahn, EJ & Paek, KY 2009, ‘Application of an airlift bioreactor konvensional. Pengembangan protokol pada system for the production of adventitious root skala komersial perlu dikonfirmasi untuk biomass and caffeic acid derivatives of Echinacea program adopsi kepada petani penangkar purpurea’, Biotechnology and Bioprocess di sekitar lokasi pengembangan kawasan Engineering, no. 14, pp. 91-8. produksi. 65
No. 11 - Agustus 2015
10. Keremane, ML, Ramadugu, C, Rodriguez, E, 16. Saha, S, Sengupta, C & Ghosh, P 2014, ‘Molecular and phytochemical analyses to assess genetic Kubota, R, Shibata, S, Hall, DG, Roose, ML, stability in alginate-encapsulated microshoots Jenkins, D & Lee, RF 2015, ‘A rapid field of Ocimum gratissimum L. following in vitro detection system for citrus huanglongbing storage’, Nucleus, no. 57, pp. 33-43. associated ‘Candidatus Liberibacter asiaticus’ from the psyllid vector, Diaphorina citri 17. Sorvari, S, Fari, MG, Laszlo, M & Toldi, O 2006, Kuwayama and its implications in disease ‘Application of tissue culture and molecular management’, Crop Protection, no. 68, pp. 41-8. farming in the production of pharmaceuticals’, Acta Horticulturae, no. 725, pp. 585-96. 11. Kosky, RG, Silva, MDF, Perez, LP, Gilliard, T, Martınez, FB, Vega, MR, Milian, MC & 18. Takayama, S & Akita, M 2006, Bioengineering Mendoza, EQ 2002, Somatic embryogenesis of aspects of bioreactor application in plant the banana hybrid cultivar (FHIA-18 AAAB) propagation’, in Gupta, SD & Ibaraki, Y, in liquid medium and scaled-up in a bioreactor, Dordrecht, Plant tissue culture engineering, ‘Plant Cell Tissue Organ Culture’, no. 68, pp. springer, pp. 83-100. 21-6. 19. Yesil-Celiktas, O, Gurel, A & Vardar-Sukan, 12. Nower, AA 2014, ‘In vitro propagation and F 2010, ‘Large scale cultivation of plant cell synthetic seeds production: An efficient methods and tissue culture in bioreactors’, Transworld for stevia rebaudiana Bertoni’, Sugar Technology, Research Network, 37/661, no. 2, pp. 1- 54. no. 16, pp. 100-8. 13. Paek, KY, Chakrabarty, D & Hahn, EJ 2005, ‘Application of bioreactor system for large-scale production of horticultural and medicinal plants’, in Hvoslef-Eide, AK & Preil W. Dordrecht (eds.), Liquid culture systems for in vitro plant propagation, Springer, pp. 95-116. 14. Paek, KY, Hahn, EJ & Son, SH 2001, ‘Application of bioreactors for large-scale micropropagation systems of plants’, In Vitro Cellular Development Biology Plant, no. 37, pp. 149-57. 15. Rout, GR, Mohapatra, A & Mohan Jain, S 2006, ‘Tissue culture of ornamental pot plant: A critical review on present scenario and future prospects’, Biotechnology Advances, no. 24, pp. 531-60.
66
Agismanto, D Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Jln. Raya Tlekung No.1 Junrejo Kota Batu, Jawa Timur 65301 E-mail :
[email protected]