BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hukum waris Islam merupakan salah satu bagian dari Hukum Islam.Oleh sebab itu pengertian hukum waris Islam haruslah didahului dengan memahami pengertian hukum dan Islam. Berbicara tentang hukum, paling tidak ada empat komponen yang harus ada yaitu peraturan-peraturan atau komponen yang harus ada yaitu peraturan-peraturan seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, dibuat memiliki sanksi yang jelas/tegas. Hukum dapat berupa bentuk tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Hukum dalam konsepsi seperti hukum tertulis ini adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan mengatur berada di masyarakat. Pada dasarnya hukum waris yang berlaku dan diterima masyarakat Indonesia ada tiga yaitu, hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris perdata (BW). Ditinjau dari segi kodratnya, manusia pada dasarnya memiliki sifat yang kurang puas. Dimana sifat yang kurang puas tersebut selalu berusaha untuk memenuhinya, apabila telah terpenuhi kemudian timbul kebutuhan lain yang ingin dipenuhi sehingga menimbulkan ketidakpuasan atas dirinya sendiri dan bahkan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
1
Universitas Sumatera Utara
2
Manusia memiliki berbagai kebutuhan di dalam hidupnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, di dalam berhubungan dengan manusia lain diperlukan keteraturan. Keadilan dan kepastian hukum merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam masyarakat. Untuk itu, masyarakat membuat aturan hukum untuk dipatuhi dan akan ditegakkan bila terjadi pelanggaran. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, konflik-konflik hukum yang terjadi di masyarakat menjadi semakin meningkat sehingga menghambat jalannya proses penegakan. Sejarah mencatat,1 bahwa dalam kehidupan manusia tidak dapat terhindar dari
konflik, Al-Qur`an menggambarkan menusia sebagai Khalīfah-Nya di bumi,
mendapat tantangan dari malaikat. Malaikat khawatir dengan keberadaan manusia sebagai khalifahfil ardh, karena manusia cenderung melakukan kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi.Malaikat mempertanyakan kenapa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah, dan “bukankah kami yang selalu mengabdi dan menyucikan diri-Mu”. Dialog malaikat dengan Allah, dijelaskan Allah dalam al-Qur`an Surah AlBaqarah /Q.S. 2 : 30. Dan (ingatlah) Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata , “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu mengetahui.”2
1
Kasus Hābil dan Qābil yang dilukiskan al-Qur`an merupakan bukti sejarah konflik dan kekerasan serta pertumpahan darah pertama dilakukan manusia di bumi. 2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006), hal 6.
Universitas Sumatera Utara
3
Ayat ini dimulai dengan menyampaikan keputusan Allah kepada para malaikat tentang rencana-Nya menciptakan manusia di bumi. Penyampaian kepada mereka penting, karena malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkut manusia; ada yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas memeliharanya, ada yang membimbingnya, dan sebagainya. Kasus ini menarik untuk dicermati sebagai awal start berpikir memperhatikan peristiwa
konflik dalam
kehidupan manusia sejak awal sampai kini dan memikirkan dimasa yang akan datang. Konflik dikalangan manusia adalah seumur dengan manusia itu, baik yang terjadi pada diri seseorang seperti terjadinya kesenjangan antara keinginan dan kenyataan dalam diri.Jika diperhatiakan sejarah kehidupan kita dapat menemukan berbagai macam bentuk konflik, baik yang berbentuk perorangan, kelompok, suku, agama dan ras demikian pula konflik antara bangsa. Dalam suatu negara banyak pula terjadi konflik, baik yang menyangkut politik, ekonomi dan konflik dalam keluarga yang tidak ada habisnya.3 Dalam negara hukum konflik masyarakat dapat berlanjut menjadi sengketa atau perkara di pengadilan. Secara faktual dapat disaksikan konflik yang meningkat menjadi sengketa di pengadilan dan telah banyak hal menimbulkan problem, diantaranya bertumpuknya perkara kasasi di Mahkamah Agung, berkurangnya kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan di Indonesia, banyak kerusuhan terjadi di pengadilan dan telah menelan korban jiwa, baik dari pihak yang bersengketa maupun pihak pengadilan serta pihak pengamanan. 3
Ibid. hal. 7
Universitas Sumatera Utara
4
Masalah konflik berpasangan sering terjadi, karena segala sesuatu diciptakan dalam keadaan berpasang-pasangan sebagaimana firman Allah Swt.dalam al-Qur`an Surah Yā Sin/ Q. S. 36 : 36 yang artinya : Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya pasangan-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.4 Demikian juga firman Allah Swt. dalam al-Qur`an Surahal-Dzāriyat/Q. S.51:49 yang artinya : Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasngan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).5 Dari ayat tersebut ditegaskan bahwa segala sesuatu diciptakan dalam bentuk berpasang-pasangan termasuk pasangan konflik dan damai, konflik harus ditanggulangi dan damai harus dilestarikan agar kemaslahatan hidup manusia dunia dan akhirat dapat terwujud. Hal itulah yang menjadi salah satu sebab hukum diperlukan untuk menjamin ketertiban hidup manusia. Konflik yang masuk di pengadilan harus ditangani secara profesional terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga, seperti kasus perceraian yang digabung dengan kasus harta bersama, pemeliharaan anak nafkah serta sengketa kewarisan. Hal tersebut telah banyak menelan korban, baik berupa materi maupun nyawa. Kenapa konflik keluarga sangat penting ditanggulangi, karena segala masalah dapat dikatakan berawal dari keluarga. Hal ini yang dapat menjadi indikasi mengapa al-Qur`anbanyak
4 5
Ibid., hal 628. Ibid., hal 756.
Universitas Sumatera Utara
5
menampilkan yang menyangkut keluarga, bukan hukum yang mengatur tentang kenegaraan. Konflik dapat berlanjut menjadi sengketa dan sengketa perlu ditangani dengan baik agar terhindar dari persoalan yang lebih besar. Penyelesaian sengketa dapat ditempuh berbagai cara, diantaranya melalui “Alternative Dispute Resolution(ADR)” padanannya dalam bahasa Indonesia dapat disebut pilihan penyelesaian Sengketa (PPS), dapat pula melalu negosiasi, mediasi, arbiterase, dan perdamaian desa. Penelitian ini yang menjadi pokok masalah adalah mediasi perspektif hukum Islam. Penyelesaian
sengketa
melalui
mediasi
penyelesaian sengketa melalui “hakam” dan
dapat
dipersamakan
dengan
bentuk operasionalnya adalah
“tahkim”, hal tersebut dikemukakan dalam al-Qur’an. Konflik yang berlanjut menjadi sengketa di pengadilan banyak terjadi di negara hukum Republik Indonesia, baik yang bersifat pidana maupun perdata. Dilihat dari subyeknya konflik yang menjadi sengketa bersifat perorangan, kelompok, dan dapat pula bersifat keluarga.6 Konflik yang terjadi dalam masyarakat berlanjut menjadi perkara apabila yang berangkutan merasa hak-haknya terganggu kemudian memasukkan atau mengajukan gugatan di pengadilan dan setelah terdaftar resmi menjadi perkara. Sehubungan dengan hal tersebut penanganan perkara di Indonesia, sekarang telah menimbulkan masalah serius bertumpuknya perkara baik di tingkat pertama, banding, maupun tingkat kasasi.
6
Ibid., hal 758
Universitas Sumatera Utara
6
Landasan filosofis tentang penyelesaian konflik melalui mediasi pernah dilaksanakan oleh Muhammad Rasulullah Saw., baik sebelum menjadi rasul maupun setelah menjdi rasul. Proses penyelesaian konflik (sengketa) dapat ditemukan dalam peristiwa peletakan kembali `Hajar Aswad (batu hitam pada sisi kakba) dan perjanjian hudaibiyah.Kedua peristiwa ini dikenal baik oleh kaum muslimin di seluruh dunia, dan karena itu diterima secara umum. Peletakan kembali Hajar Aswad dan perjanjian Hudaibiyah memiliki nilai dan strategi resolusi konflik (sengketa) terutama mediasi dan negoisasi, sehingga kedua peristiwa ini memiliki perspektif yang sama yaitu mewujudkan perdamaian.7 Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan sudah lama dipakai dalam berbagai kasus-kasus bisnis, lingkungan hidup, perburuhan, pertanahan, perumahan, sengketa konsumen dan sebagainya yang merupakan perwujudan tuntutan masyarakat atas penyelesaian sengketa yang cepat, efektif dan efisien.8 Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, yaitu ; “mediare” yang berarti berarti berada ditengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak.“Berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan 7 Hamadi Redissi dan Jon-Erik Lane, “Does Islam Partivide a Theory of Violence”, dalam Amelie Blom, Laetitia Bucaille dab Luis Martinez, The Enigma of Iaslamits Violence, (New York: Columbia University Press, 2007), hal 48. 8 Bambang Sutiyono, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Solusi dan Antisipasi bagi Peminat Bisnis dalam Menghadapi Sengketa Kini dan Mendatang.(Yogyakarta, Citra Media, 2001), hal 53.
Universitas Sumatera Utara
7
sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak yang bersengketa.9 Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang bersifat suka rela atau pilihan. Akan tetapi dalam konteks mediasi di pengadilan, ternyata mediasi di pengadilan bersifat wajib. Hal ini mengandung arti proses mediasi dalam penyelesaian sengketa di pengadilan harus terlebih dahulu dilakukan penyelesaiannya melalui perdamaian. Pihak-pihak yang bersengketa di muka pengadilan, terlebih dahulu harus menyelesaikan persengketaannya melalui perdamaian atau perundingan dengan dibantu oleh mediator. Sebagaimana diketahui penyelesaian sengketa melalui perdamaian dengan menempuh mediasi dipengadilan, dibantu oleh mediator. Mediator inilah yang nantinya yang nantinya akan membantu para pihak yang berperkara dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Di Indonesia, Pancasila sebagai dasar filosofi kehidupan bermasyarakatnya, telah mengisyaratkan bahwa asas penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat lebih diutamakan, seperti tersirat juga dalam Undang-Undang Dasar 1945.10 Dalam mediasi, mediator memperlakukan sengketa sebagai suatu peluang untuk membantu para pihak memahami pandangan masing-masing dan membantu
9
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,2009), hal 1-2 10 Joni Emirzon. 2011. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi, dan Arbitrase). (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama), hal 8.
Universitas Sumatera Utara
8
mencari
persoalan-persoalan
yang
dianggap
penting
bagi
mereka.Mediator
mempermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi mengenai perbedaanperbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan dan membiarkan, tetapi mengatur pengungkapan emosi. Mediator membantu para pihak memprioritaskan persoalan-persoalan dan menitikberatkan pembahasan mengenai tujuan dan kepantingan umum.11 Siapa yang dapat bertindak sebagai mediator pada mediasi di pengadilan, diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008, yang menentukan sebagai berikut: 1. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan; 2. Advokat atau akademisi hukum 3. Profesi bukan hukum yang dianggap oleh para pihak menguasai atau berpengalaman dalam sengketa. 4. Hakim majelis pemeriksa perkara 5. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d atau gabungan butir b dan d atau gabungan butir c dan d. Jadi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008, yang dapat bertindak sebagai mediator adalah hakim, advokat, akademisi hukum dan profesi lainnya sepanjang yang bersangkutan menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa.Hal ini mengandung arti, bahwa para pihak
11
Gary Goodpaster, Tinjauan Terhadap penyelesaian Sengketa, dalam arbitrase di Indonesia, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2005), hal. 16
Universitas Sumatera Utara
9
yang berperkara dapat memilih salah satu atau lebih diantara mereka untuk menjadi mediator. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tersebut, para pihak dibolehkan untuk menggunakan jasa mediator lebih dari satu yang terdiri satu yang terdiri atas hakim
dan
profesi
lainnya
yang
dianggap
memahami
masalah
pokok
sengketa.Konsep ini menyerupai dengan konsep chotei dalam sistem hukum Jepang. 12 Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) PERMA Nomor 2 Tahun 2003, yang dapat bertindak sebagai mediator pada setiap pengadilan dapat berasal dari kalangan hakim dan bukan hakim, yang syaratnya telah memiliki sertifikat sebagai mediator, bedanya dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003, hakim pemeriksa, baik sebagai ketua atau anggota majelis dilarang atau tidak diperkenankan bertindak sebagai mediator bagi perkara yang diperiksanya. Sementara itu bilamana dibandingkan dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, maka hakim pemeriksa perkara tidak dilarang atau diperkenankan saja menjadi mediator bagi perkara yang diperiksanya bilamana pada pengadilan yang bersangkutan tidak terdapat hakim bukan hakim pemeriksa perkara.Hakim pemeriksa perkara boleh menjadi mediator dalam perkara yang diperiksanya menyerupai dengan konsep wakai dalam sistem hukum Jepang.13 Berkaitan dengan peranan mediator dalam penyelesaian sengketa waris, dalam penelitian yang dilakukan, ditemukan kasus yang menarik untuk dikaji, terkait dengan peranan mediator dalam penyelesaian sengketa waris, dimana almarhum 12
Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan Praktik, 2012, (Jakarta : Sinar Grafika), hal. 84. 13 Ibid
Universitas Sumatera Utara
10
semasa hidupnya melangsungkan pernikahan sebanyak 5 (lima) kali dan dari 5 (lima) orang istri tersebut almarhum dikaruniai 13 (tiga belas) orang anak. Kasus ini berawal dari ayahanda penggugat (sebut saja Almarhum A) meninggal dunia dan sebahagian aset Perseroan almarhum A tersebut (sebut saja PT. ABCD) telah dikuasai tergugat secara sepihak dan tanpa dasar atau persetujuan dari pemegang saham lainnya (ic. Para Penggugat, Turut Tergugat II, III dan IV ataupun ahli waris almarhum A tersebut), namun berdasarkan gugatan dari tergugat tanggal 11 April 2003 yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Medan No. 115/Pdt.G/2003/PN.Mdn (gugatan terhadap rapat umum pemegang saham yang dilakukan tergugat kepada para penggugat, baru para penggugat sendiri dan diketahui keberadaan penguasaan asset perseroan tersebut telah dilakukan oleh tergugat secara melawan hukum. Kasus ini telah mencapai putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dengan nomor 423/PDT/2009/PT-MDN, hingga kedua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk melakukan perdamaian melalui mediator untuk menyelesaikan sengketa waris antara mereka. Inilah yang menjadi alasan untuk mengkaji dan menelaah putusan tersebut, dan menjadikan judul: Peranan Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Waris Poligami (Studi Akta Perdamaian Notaris Mediator Nomor 40 Tanggal 23 Juni 2011) sebagai judul tesis ini. B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
11
1. Bagaimana peranan mediator dalam penyelesaian sengketa pembagian waris poligami? 2. Bagaimana mekanisme menyelesaikan sengketa pembagian waris poligami yang dilakukan oleh mediator? 3. Apa saja faktor-faktor yang menghambat mediator dalam menyelesaikan sengketa pembagian waris poligami? C. Tujuan Penulisan Didalam penulisan tesis ini mempunyai beberapa tujuan pokok yang akan dicapai didalam pembahasan tesis ini. Pembahasan tersebut didukung dengan adanya pendekatan-pendekatan ilmiah terhadap suatu permasalahan yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Adapun tujuan penulisan tesis ini adalah: 1. Untuk mengtahui dan menganalisis peranan mediator dalam penyelesaian sengketa pembagian waris poligami. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme penyelesaian sengketa pembagian waris poligami yang dilakukan oleh mediator. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang menghambat mediator dalam menyelesaikan sengketa pembagian waris poligami. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis.
Universitas Sumatera Utara
12
a. Sebagai sumbangsi pemikiran bagi masyarakat pencari keadilan dan hakim yang menjalankan fungsi mediator di Pengadilan Agama dalam rangka memanipestasikan asas wajib mendiasi untuk mendamaikan para pihak dalam setiap tahap pemeriksaan perkara sesuai ketentuan mediasi dan hukum Islam. b. Sebagai sumbangsi pemikiran bagi pengembangan wawasan pemahaman bidang ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum Islam pada khususnya dan meningkatkan keterampilan menulis dalam membuat karya ilmiah. 2. Secara praktis. Penelitian ini berguna sebagai acuan atau referensi pagi pendidikan hukum pada umumnya dan penelitian hukum lanjutan pada khususnya dibidang mediasi di pengadilan. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan tahapan pengajuan judul yang disebutkan di atas telah melalui tahap penelusuran pada data pustaka di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan perolehan informasi bahwa belum adanya pengangkatan judul yang diajukan ditemukan judul tesis antara lain: Yunasril (2003) Sengketa Waris dan Upaya Penyelesaiannya pada Masyarakat adat Minangkabau (Studi kasus di Kabupaten Solok). Achmad Fadil (2010) Peran dan Pelaksanaan Mediasi Dalam Menyelesaikan Sengketa Perdata Di Pengadilan Negeri Medan (Analisis Terhadap Perkara Yang Diselesaikan Melalui Mediasi di Pengadilan Negeri Medan)
Universitas Sumatera Utara
13
Selly Herwina (2011) Peran Hakim Mediator Dalam Menyelesaikan Perkara Perdata Menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008. Dalam penelitian tesis ini mengambil judul tentang Peranan Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Waris Poligami (Studi Akta Perdamaian Notaris Sebagai Mediator), jadi penelitian ini belum diteliti oleh peneliti yang lain. Kajian pada penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya. Adapun perumusan masalah yang akan dikaji dalam penulisan ini antara lain tentang Bagaimana peranan mediator dalam penyelesaian sengketa pembagian waris poligami? Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa pembagian waris yang dilakukan oleh mediator? Apa saja faktor-faktor yang menghambat mediator dalam menyelesaikan sengketa pembagian waris poligami? Perumusan masalah di atas berbeda dari penulisan tesis sebelumnya, dengan demikian ini keaslian tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai
sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis. Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan,14 sedangkan teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan
14
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 72-73
Universitas Sumatera Utara
14
suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.15 Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyatan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum. Dengan ini harus cukup menguraikan tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada unsur hukum. Teori juga merupakan sebuah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya.Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus dapat menunjukkan kebenarannya. Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.16Adapun teori yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori Tahkim dan teori kepastian hukum.Kata Tahkim dalam bahasa Arab diambil dari akar kata hakkama-yuhakkimu-tahkiman, yang berarti menjadikan sebagai hakim.17 Tahkim dalam perspektif Islam sering sekali dipandang dengan istilah arbitrase. 1.
Teori Tahkim Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah
suatu sengketa.18 Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini, yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai 15
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Bandar Maju, 1994), hal.27. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002),hal. 35. 17 Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Riyadh:Dasar Aalam Al-Kutub, 2003), hal 350 18 Louis Ma’luf, al-Munjid al-Lughah wa al-Alaam, (Beirut: Dasar al-Masyriq,tt) hal 146 16
Universitas Sumatera Utara
15
wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai. Orang yang menyelesaikan disebut dengan hakam. Dalam Hukum Islam, terminologi tahkim diartikan: Berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada orang yang mereka sepakati dan setujui serta rela menerima keputusannya untuk menyelesaikan persengketaan mereka.19Kadangkala terma tahkim didefinisikan juga dengan berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada orang yang mereka tunjuk sebagai penengah untuk memutuskan / menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara mereka.20Kedua definisi yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa pemilihan dan pengangkatan seorang juru damai (hakam) dilakukan secara sukarela oleh kedua belah pihak yang terlibat persengketaan. Menurut Abu al-Alnain Fatah Muhammad, pengertian Tahkim menurut istilah Fiqih adalah sebagai bersandaranya dua orang yang pertikaian para pihak yang bersengketa.21 Sedangkan menurut Said Aqil al-Munawwar, pengertian tahkim menurut kelompok ahli Hukum Islam Mazhab Hanafiyah adalah memisahkan persengketaan atau menetapkan hukum diantara manusia dengan ucapan yang mengikat kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang mempunyai kekuasaan secara umum.22
19
Erman Rajagukguk, Penyelesaian Sengketa Alternatif, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia), hal 57 20 Ibid, hal 58 21 Abu Al-Alnain Fatah Muhammad, Al-Qadha wa al-itsbat Fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Dasar al-Fikr, 1976), hal 84 22 Said Agil al-Munawwar, Pelaksanaan Arbitrase di dunia Islam, dalam arbitrase Islam di Indonesia, (Jakarta: BAMUI & BMI, 1994), hal 48
Universitas Sumatera Utara
16
Adapun pengertian tahkim menurut Hukum Islam kelompok Syafiyyah adalah memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa yang wajib dilaksanakannya.23 Ruang lingkup tahkim (arbitrase) syari'ah hanya terkait dengan persoalanperseoalan yang menyangkut haququl ibad (hak-hak perorangan) secara penuh, yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak perorangan yang berkaitan dengan harta bendanya.24 Menurut Wahbah Zuhaily, para ahli hukum islam dikalangan Mazhab Hanabilah berpendapat bahwa Tahkim berlaku dalam masalah harta benda, qishash, hudud, nikah, li'an, baik yang menyangkut hak Allah dan hak manusia, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad al-Qadhi Abu Ya'la, bahwa tahkim dapat dilakukan dalam segala hal, kecuali dalam bidang nikah, li'an, qazf dan qishash.25 Sebaliknya, ahli hukum di kalangan mazhab Hanafiyyah berpendapat bahwa tahkim itu dibenarkan dalam segala hal kecuali dalam bidang Hudud dan Qishash, adapun dalam ijtihad hanya dibenarkan dalam bidang mu'amalah, nikah, dan thalak saja.26 Ahli hukum Islam di kalangan Mazhab Malikiyyah mengatakan bahwa tahkim dibenarkan dalam syari'ah islam hanya dalam bidang harta benda saja, tetapi tidak 23
Ibid, hal 49 Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, 2013, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2013), hal. 77. 25 Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-islami wa Adillatuhu, Juz IV (Damaskus Fikri, 2005), hal 752 26 Ibid, hal 752 24
Universitas Sumatera Utara
17
dibenarkan dalam bidang hudud, qishash, dan li'an, karena masalah ini merupakan urusan peradilan.27 Pendapat terakhir ini adalah pendapat yang sering dipakai oleh kalangan ahli hukum Islam.Untuk menyelesaikan perkara yang timbul dalam kehidupan masyarakat, termasuk juga dalam bidang ekonomi syari'ah.28 Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Farhun, bahwa wilayah tahkim itu hanya berhubungan dengan harta saja, tidak termasuk dalam bidang hudud dan qishash. Di Indonesia, sebagaimana tersebut dalam Pasal 66 huruf b Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang ADR dijelaskan bahwa sengketa-sengketa yang tidak dapat dijelaskan oleh lembaga Arbitrase adalah sengketa-sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.29 Para ahli hukum Islam dikalangan Mazhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah, sepakat bahwa segala apa yang menjadi keputusan hakam (arbitrase) langsung mengikat kepada pihak-pihak yang bersengketa tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan kedua belah pihak. Pendapat ini juga didukung oleh sebagian besar ahli hukum dikalangan mazhab Syafi'i. Alasan mereka ini didasarkan hadist Rasulullah saw yang menyatakan bahwa apabila
mereka
sudah
sepakat
mengangkat
hakam
untuk
menyelesaikan
persengketaan yang diperselisihkannya, kemudian putusan hakam itu tidak mereka patuhi, maka bagi orang yang tidak mematuhinya akan mendapat siksa dari Allah 27
Ibid, hal 752 Op .cit, Zamakhsyari, hal. 78. 29 Ibid, hal 78. 28
Universitas Sumatera Utara
18
swt. Disamping itu barang siapa yang diperbolehkan oleh syari'at untuk memutuskan suatu perkara, maka putusannya adalah sah, oleh karena itu putusannya mengikat, sama halnya dengan hakim di pengadilan yang telah diberi wewenang oleh penguasa untuk mengadili suatu perkara.30 2. Teori Kepastian Hukum Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu, individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.31 Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisebel terhadap tindakan sewenang-wenang, masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum.32 3. Teori Islah Teori lainnya yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori islah, yang berasal
dari
kata
al-islah
yang
artinya
memperbaiki,
mendamaikan
dan
30
Ibid, hal 78 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2008), hal. 158. 32 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta:Liberty, 2003), hal. 160 31
Universitas Sumatera Utara
19
menghilangkan sengketa atau kerusakan.33Berusaha menciptakan perdamaian, membawa keharmonisan, menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dan lainnya, melakukan perbuatan baik, berprilaku sebgai orang suci (baik).34 Ruang lingkup bahasan islah sangat luas, mencakup aspek-aspek kehidupan manusia baik pribadi maupun sosial. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Abu Dawud at-Tirmizi, Ibnu Majah, al-Hakim, dan Ibnu Hibban, dijelaskan bahwa islah yang dilarang adalah menghalalkan yang diharamkan Allah SWT atau mengharamkan yang dihalalkan-Nya.35 Di antara islah yang diperintahkan Allah SWT adalah dalam masalah rumah tangga.Untuk menangani kemelut dan sengketa dalam rumah tangga (syiqaq dan nusyus), dalam surah an-Nisa' (4) ayat (35) Allah SWT memerintahkan untuk mengutus pihak ketiga (hakam) dari pihak suami dan istri untuk mendamaikan mereka.Dalam hal ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa jika hakam (juru damai dari pihak suami dan istri) berbeda pendapat, maka putusannya harus dijalankan tanpa meminta kuasa (ijin) mereka.36 2.
Kerangka Konsepsi Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat
karya ilimiah. Menurut Hilman Hadikusuma: 33 Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah, Tafsir Tematik Al Qur'an V, (Medan: Pustaka Bangsa, 2008), hal. 147. 34 Ibid, hal. 147. 35 Ibid, hal 148. 36 Ibid, hal 148-149.
Universitas Sumatera Utara
20
Konsepsi adalah suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau definisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Jadi jika teori kita berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.37 Selanjutnya dinyatakan Hilman Hadikusuma: Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan. Dalam hal ini seolah-olah ia tidak berbeda dari suatu teori, tetapi perbedaannya terletak pada latar belakangnya. Suatu teori pada umumnya merupakan gambaran dari apa yang sudah pernah dilakukan penelitian atau diuraikan, sedangkan suatu konsepsi lebih bersifat subjektif dari konseptornya untuk sesuatu penelitian atau penguraian yang akan dirampungkan.38 Konsepsi merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar.Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh satu proses yang berjalan dalam penelitian untuk keperluan analistis.39 Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka konsepsionil belaka, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisidefinisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit di dalam proses penelitian.40 Oleh karena itu, untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu
37
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal 5 Ibid. hal 5 39 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal 397 40 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hal 133 38
Universitas Sumatera Utara
21
didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi untuk dapat menjawab permasalahan penelitian yang dimaksud yaitu: a. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami/istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.41 b. Mediasi adalah adalah proses negosiasi pemecahan masalah, di mana para pihak yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Pihak luar tersebut disebut dengan mediator, yang tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaiakan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya.42 c. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.43 d. Hukum kewarisan menurut fiqih mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.
19
e. Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak 41
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, (Yogyakarta:Pustaka Yustisia,2010), hal 10 43 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 1 ayat (6) 42
Universitas Sumatera Utara
22
menerimanya. Pembagian itu lazim disebut Faraidh, artinya menurut syara’ ialah pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya.44 f. Di dalam Islam poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan istilah lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam memahami dan menafsirkan ayat (3)surat An- Nisa sebagai dasar penetapan hukum poligami.45 g. Tahhim adalah tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa.46 h. Islah adalah memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan,
berusaha
menciptakan
perdamaian,
membawa
keharmonisan,
menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dan lainya melakukan perbuatan baik berperilaku sebagai orang suci47 G. Metode Penelitian Sebelum membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan metode penelitian yang dipakai dalam penulisan tesis ini, terlebih dahulu akandipaparkan pengertian dari penelitian hukum. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,sistematika dan pemikiran tertentu, yang 44
Moh Rifai, Ilmu Fiqih Islam, (Semarang:Toha Putra,1978), hal.513 Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, Jakarta, 1998), hal. 19 46 Louis Ma’luf, Op.cit hal 146 47 Tim PenyusunEnsiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Intermansa, 1997), hal. 740 45
Universitas Sumatera Utara
23
bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.Disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.48 1. Jenis penelitian Dalam metode penelitian hukum dikenal ada dua jenis penelitian yaitu penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum, dan efektivitas hukum (kaidah hukum, penegak hukum, sarana atau fasilitas, kesadaran hukum masyrakat) dan penelitian perbandingan hukum.Sedangkan penelitian hukum normatif adalah penelitian yang membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.49 Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada penerapan norma hukum yang berlaku berupa doktrin dan asas dalam ilmu hukum.50 2. Sifat penelitian Sifat yang melekat pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat obyek masalah dengan maksud untuk mengambil suatu kesimpulan yang berlaku secara umum, dengan perkataan lain tesis ini bertujuan untuk melukiskan realita yang ada.51
48
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 9 Ibid. hal. 24 50 Ibid. hal 31 51 Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal 17. 49
Universitas Sumatera Utara
24
3. Sumber Data Penelitian Data adalah bahan yang dipakai dalam suatu penelitian.Data sangat berperan penting dalam suatu penelitian demi penemuan terbaru.Sumber data dalam penelitian yaitu Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh dari sumber pertama. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, makalah, surat kabar dan lain-lain.52 Data sekunder, meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.53 a. Bahan hukum adalah semua dokumen yang mengikat keberlakuannya dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, contohnya segala macam bentuk peraturan perundang-undangan, (sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 Undang-undang No. 10 Tahun 2004), bahan hukum yang tidak dikodifikasi seperti hukum adat dan kebiasaan, yurisprudensi dan traktat. Dalam penulisan tesis ini bahan hukum primernya antara lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, PERMA No. 02 Tahun 2003 dan PERMA No. 01 Tahun 2008. yang meliputi bahan hukum Primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan hukum primer, yaitu semua dokumen yang merupakan sumber informasi dan
52 53
Edi Ikhsan, Metode Penelitian Hukum, Medan: Fakultas Hukum USU, 2008, hal 29. Ibid hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
25
bahan referensi yang berasal dari media cetak dan media masa. Contohnya buku, artikel-artikel yang termuat dalam internet, koran dan majalah. c. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, bahan hukum tertier seperti kamus, ensiklopedia dan lain sebagainya. 4. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan : a. Interview (wawancara) yaitu memperoleh data bagi penulisan penelitian dengan cara tanya jawab secara langsung. Dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda, satu pihak berfungsi sebagai pemberi informasi atau interviewer sedangkan pihak lain berfungsi sebagai pemberi informasi atau informan (responden).54 Wawancara dilakukan dengan seorang mediator yang menangani langsung kasus yang diangkat dalam penulisan tesis ini. b. Studi Kepustakaan (library research) Dilakukan dengan mempelajari buku-buku literature dokumen resmi, brosur, buku, makalah, surat kabar, majalah, artikel, internet, peraturan perundang-undangan, Peraturan Mahkamah Agung yaitu PERMA No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan,Undang-undang No. 04 tahun 2004 tentang
54
Soemitro Romy H, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990), hal 23.
Universitas Sumatera Utara
26
Kekuasaan Kehakiman, keputusan pengadilan yang diselesaikan melalui mediasi dan teori-teori yang berguna untuk menunjang obyek penelitian. 5. Analisis Data Penelitian sosial umumnya mengenal dua macam analisis data yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.Analisi kualitatif sering disebut dengan analisis penelitian yang mencari informasi sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya tentang aspek yang diteliti, dan mengkaji objek secara utuh.Sedangkan analisis kuantitatif pada dasarnya penyorotan terhadap usaha pemecahan yang dilakukan dengan upaya-upaya yang banyak didasarkan pada aspek pengukuran yang ketat yang dilakukan dengan memecahkan objek penelitian kedalam unsur-unsur tertentu untuk kemudian ditarik suatu generalisasi yang seluas mungkin ruang lingkupnya.55Tesis ini menggunakan analisis data kualitatif.Penelitian yang kemudian dituangkan dalam tesis ini tidak hanya mengumpulkan data, dalam penulisan tesis ini data yang telah diperoleh kemudian di analisis. Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analisis maka analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta normanorma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
55
Edi Ikhsan, Op.cit, hal. 43-44
Universitas Sumatera Utara