Goresan Parahyangan
“Sebab menjadi mahasiswa bukan sekadar perkara gelar yang akan disandangnya, tapi kepedulian dan dampak yang ia berikan pada masanya”
Dipersembahkan oleh : Direktorat Jenderal Kajian dan Aksi Strategis Kementerian Kemahasiswaan Lembaga Kepresidenan Mahasiwa 2015/2016 Universitas Katolik Parahyangan
Tegas Demi UNPAR bebas Asap Rokok (?) Larangan merokok di kawasan kampus bukanlah hal baru bagi masyarakat UNPAR. Peraturan rektor Nomor: III/PRT/2014-07/057 yang dibuat pada masa kepemimpinan Prof. Robertus Wahyudi Triweko, Ph.D dua tahun lalu mengawali label haram bagi rokok-rokok yang dihisap di kawasan UNPAR. Dasar peraturan tersebut jelas, selain mengganggu, asap rokok juga mulai mendapat sorotan tajam pemerintah lewat beberapa Undang-Undang, diantaranya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Sejak keluarnya peraturan larangan merokok sistem pengawasan dan penyadaran bahaya merokok mulai dibangun, lambat namun pasti. Lewat banyaknya spanduk dan teguran dosen yang sesekali menangkap basah mahasiswanya merokok. Namun baru-baru ini muncul peristiwa yang kabarnya sangat cepat menyebar di kalangan mahasiswa UNPAR. Upaya penonaktifan seorang anggota UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) oleh WR 3 yang (sialnya) tertangkap basah merokok di kawasan UNPAR. Muncul pertanyaan, pantaskah mahasiswa tersebut dinonaktifkan keanggotaannya dari sebuah UKM karena menghisap rokok tidak pada tempatnya dan sialnya kedapatan WR 3? Bagi banyak mahasiswa UNPAR, terutama para perokok, tindakan WR 3 tersebut keterlaluan. Jika setiap hari WR 3 berkeliling UNPAR dengan niat yang sama, tentu tinggal menunggu giliran bagi penghisap rokok pemberani UNPAR untuk kebagian sanksi. Tapi berhakkah seorang WR 3 melakukan tindakan demikian? Nyatanya Peraturan Rektor Nomor: III/PRT/2014-07/057 pasal 5 ayat 3 menyatakan bahwa, “Mahasiswa yang sudah terkena sanksi teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dan yang bersangkutan tidak mengindahkan sanksi tersebut, maka Dekan berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa skorsing selama 1 (satu) semester.” Dan dalam peraturan yang sama pasal 4 ayat 2 menyatakan bahwa “Apabila Warga Unpar melanggar larangan merokok di kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka para pihak yang memiliki kewenangan untuk menegur adalah: a.Pimpinan Unit Kerja, b.Pejabat Struktural, c.Atasan Langsung, d.Dosen e.Tenaga Kependidikan f.Mahasiswa”. Dengan kata lain, ya, WR 3 selaku pejabat struktural dan dosen berhak menegur mahasiswa yang merokok di kawasan UNPAR. Namun, untuk memberikan sanksi ia harus menegur secara tertulis 3 kali terlebih dahulu. Yang artinya jika ada 20 saja perokok di kawasan UNPAR ia perlu menemui semua perokok sebanyak 60 kali dan memberikan kepada setiap perokok teguran berupa tulisan untuk memberikan efek jera berupa sanksi tegas. Adapun mengutip peraturan rektor yang sama sanksi yang dapat diberikan kepada mahasiswa bukanlah penonaktifan keanggotan UKM melainkan skorsing selama 1 semester, itupun harus lewat Dekan. Jadi jika Anda mahasiswa UNPAR dan seorang perokok nekat yang tetap ingin menghisap rokok di kawasan UNPAR sebaiknya Anda berganti-ganti tempat merokok sesering mungkin untuk memperkecil kemungkinan Anda mendapat teguran berupa tulisan sebanyak 3 kali dan tenang saja jika teguran hanya secara lisan, artinya Anda aman. Lebih tenang lagi jika Dekan Anda juga seorang perokok, Anda bisa jadi berada di atas peraturan larangan merokok.
Kembali ke kasus penonaktifan anggota UKM yang tertangkap basah merokok di kawasan UNPAR. Setelah sedikit menelaah Peraturan Rektor Nomor: III/PRT/2014-07/057 dapat ditarik kesimpulan bahwa tindakan WR 3 (apabila sungguh dilakukan) merupakan tindakan yang gegabah dan tidak konsisten dengan peraturan. Peraturan yang UNPAR miliki tentang penindakan terhadap perokok memang belum sempurna, tapi tidak berarti tindakan yang bertentangan atau melangkahi peraturan yang sudah ada dapat dibenarkan. Di sisi lain peristiwa semacam ini menggambarkan bahwa sistem pengawasan terhadap para penghisap rokok belum berjalan baik di kampus UNPAR. Pengawasan yang harusnya dilakukan secara sadar dari akar rumput tidak berjalan sehingga fungsi pengawasan harus selalu dilakukan dari hirarki yang lebih tinggi. “Toleransi dong untuk mereka yang merokok” menjadi kata-kata pembenaran para perokok yang membuat logika berpikir menjadi terbalik tapi benar terjadi! Lagipula, ketika fungsi pengawasan selalu dilakukan oleh hirarki yang lebih tinggi siapa yang mengawasi pejabat-pejabat hirarki tertinggi UNPAR ketika mereka merokok? Untuk mencapai cita-cita UNPAR bebas rokok dan asap rokok tentu perlu kerja keras dan kerja sama dari berbagai pihak. Namun yang tidak kalah pentingnya lagi adalah keseriusan dari pimpinan UNPAR untuk secara tegas, dan konsisten dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Saat ini petinggi UNPAR terlihat tidak konsisten dalam memerangi rokok, sehingga menimbulkan kebingungan pada masyarakat UNPAR larangan merokok di lingkungan UNPAR masih berlaku atau tidak. Berkurangnya spanduk larangan merokok, tindakan pemberian sanksi tegas terhadap mereka yang merokok, maraknya masyarakat selain mahasiswa yang merokok di lingkungan UNPAR seakan-akan ingin mengatakan bahwa larangan merokok di lingkungan UNPAR sudah tidak berlaku lagi. Sehingga dirasa perlu bagi pimpinan UNPAR yang tak lain juga adalah jajaran rektorat untuk menegaskan kembali apakah UNPAR masih berada di jalannya untuk menjadi Universitas bebas asap rokok dan rokok atau sudah tidak lagi berada di jalan tersebut (?). Apabila jawabannya adalah iya, bahwa UNPAR masih berada di jalannya maka jajaran rektorat selain harus giat dan tegas menyerukan larangan merokok, yang disertai dengan tindakan pengawasan yang tinggi, sampai pada pemberian sanksi kepada mereka yang tertangkap basah merokok di lingkungan UNPAR, agar mahasiswa juga dapat mengetahui tindakan yang harus mereka lakukan seiring dengan peraturan yang ada. Bagaimanapun UNPAR adalah salah satu pembimbing dalam laboratorium raksasa kehidupan kita, dan rokok merupakan salah satu alat belajarnya. Sebagai pembimbing yang baik, UNPAR sebaiknya menyadari kebutuhan anak didiknya di samping menjerat anak didik dengan sanksi tegas. Sekali-kali pendekatan halus juga dibutuhkan. Dalam hal ini mungkin penyadaran akan bahaya merokok atau pembentukan area-area merokok yang mewadahi kebutuhan masyarakat UNPAR yang sering merokok secara sembunyi-sembunyi bisa jadi menjadi jawabannya. Merokok merupakan hak setiap individu, tapi tentunya merokok juga bukan menjadi alasan untuk melupakan etika. Penghargaan terhadap lingkungan dan orang-orang sekitar serta peraturan yang ada tetap menjadi penting untuk dijunjung, merokok ataupun tidak. UNPAR bebas asap rokok merupakan visi yang
harus dihargai secara sadar oleh setiap individu masyarakat UNPAR. Dan pencapaian visi tersebut harus dilakukan dengan cara yang benar dan tidak merugikan salah satu pihak.
Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bhakti Hari Ini “Memberi Terang Dari Barat” Sebagai bagian dari masyarakat Universitas Katolik Parahyangan tentu sesanti Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bhakti tidak asing lagi. Sesanti ini menggambarkan harapan UNPAR untuk berkontribusi berdasarkan Ketuhanan untuk dibaktikan kepada masyarakat. Sesanti ini mau mengajak seluruh elemen UNPAR untuk tidak hanya berorientasi pada kejayaan pribadi atau kelompok semata, melainkan dalam konteks yang lebih luas berakar pada Ketuhanan membaktikan diri pada sesama. Namun apakah sesanti Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bhakti telah membawa masyarakat UNPAR dalam konteks hidup yang lebih luas yaitu kepentingan bersama dalam setiap tindakan masyarakatnya? UNPAR adalah suatu lembaga kaderisasi yang tidak hanya berpaku pada pengembangan kognitif kader-kadernya. Banyak yang berpendapat bahwa kenyataan UNPAR telah berhasil mencetak lebih dari 50.000 lulusan mungkin semakin mendekatkan UNPAR pada harapan yang digambarkan oleh sesantinya. Namun nyatanya, keberhasilan UNPAR dalam menggapai harapan sesantinya tidak dapat diukur secara kuantitatif oleh jumlah lulusannya semata. Sesanti mulia UNPAR seharusnya menjadi bagian integral dalam setiap sendi kehidupan elemennya. Sesanti UNPAR seharusnya diinternalisasikan dalam setiap individu masyarakatnya sehingga tidak hanya digambarkan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dengan panji UNPAR yang melekat di dalamnya. Melainkan digunakan sebagai pedoman dalam interaksi sehari-hari yang nyata dan sederhana oleh setiap individu masyarakat UNPAR itu sendiri. Misalnya dalam mengambilkan barang orang lain yang tertinggal, membantu mendorong kendaraan orang yang mogok, memberikan senyum kepada orang-orang di sekitar, dan lainnya. Berkarya lewat kegiatan kemasyarakatan yang diusahakan dalam panji UNPAR tentu sama sekali tidak buruk. Namun alangkah baiknya jika sesanti mulia UNPAR bisa juga digunakan dalam konteks yang lebih nyata dalam kapabilitas individu yang terbatas tetapi tetap memberikan kontribusi positif bagi sesama.
Mahasiswa Agen Pelurus Bangsa Barangsiapa ingin melihat masa depan suatu negara, maka lihatlah pemudanya. Apa yang sedang dilakukan oleh pemudanya saat ini akan berdampak pada kondisi negaranya di kemudian hari. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemuda bagi pembangunan negara ini kedepannya. Tidaklah salah apabila pemuda merupakan tulang punggung bangsa. Lantas siapakah yang dapat disebut sebagai pemuda? Secara Internasional, World Health Organization (WHO) menyebutkan sebagai “Young People” yang memiliki batas usia dari 10-24 tahun, sedangkan usia 10-19 tahun disebut sebagai remaja. Kemudian menurut Rancangan Undang-undang Kepemudaan, Pemuda adalah mereka yang berusia antara 18 hingga 35 tahun. Melihat dari pengertian pemuda dari kedua sumber tersebut bisa dikatakan mahasiswa juga merupakan pemuda. Mahasiswa dirasa akan sangat menentukan masa depan suatu bangsa dikemudian hari, karena mahasiswa adalah kaum-kaum intelektual yang dipersiapkan semasa kuliahnya untuk menjadi pemimpin negara dan bangsa ini. Pada tahun 1908 mahasiswa STOVIA mendirikan organisasi Budi Utomo. Kelahiran organisasi Budi Utomo adalah awal dari pergerakan nasional pada tahun-tahun berikutnya. Yang juga melahirkan sebuah momentum yang sangat bersejarah yakni Hari Kebangkitan Nasional. Kemudian pada tahun 1924 Soetomo mendirikan Kelompok Studi Indonesia, di tempat yang berbeda Soekarno dan kawan-kawan juga mendirikan Kelompok Studi Umum. Pembentukan kedua kelompok berimplikasi pada terbentuknya organisasi Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia yang mana organisasi ini berusaha untuk menghimpun seluruh mahasiswa di Indonesia dan hal tersebut dapat direalisasikan dengan menyelenggarakan Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda yang sangat bersejarah. Peristiwa kemerdekaan Indonesia 1945 juga tidak lepas begitu saja dari peran mahasiswa, yang mana pada saat itu pergerakan mahasiswa terdiri dari Soekarni dan Chairul Saleh yang akhirnya menculik tokoh proklamator dengan maksud untuk memberi tekanan kepada mereka untuk segera memproklamasikan kemerdekaan yang tercatat pada sejarah sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tidak berhenti di situ, sejarah mencatat bahwa pada tahun 1966 akibat dari pergerakan mahasiswa akhirnya melahirkan Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR), Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan, dan Orde lama beralih kepada Orde Baru. Selanjutnya runtuhnya kejayaan Soeharto pada tahun 1998 menjadi bukti dari hebatnya kekuatan mahasiswa yang pada akhirnya memaksakan lahirnya reformasi yang mengakhiri masa Orde Baru Dari beberapa pergerakan mahasiswa yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa benar mahasiswa merupakan motor penggerak pembaharuan, mahasiswa adalah masa depan bangsa dan mahasiswa adalah pelurus bangsa. Ketika bangsa ini mulai menyimpang, penguasa tidak berpihak kepada rakyat maka mahasiswa akan terus berjuang untuk rakyat. Mahasiswa dianggap merupakan kaum intelektual yang dapat menjadi penyambung lidah antara rakyat dan pemimpin bangsa. Namun kondisi mahasiswa zaman sekarang berbeda dengan mahasiswa dahulu. Kini mahasiswa seakan-akan lupa bahwa merekalah penerus dan pelurus bangsa maka tak heran justru lebih banyak
mahasiswa kini belajar hanya demi lulus dengan IPK terbaik. Mahasiswa kini telah mengesampingkan idealismenya sebagai seorang mahasiswa, kreativitas tidak lagi menjadi yang utama dan mahasiswa lebih mengikuti arus yang ada. Ketidakpekaan dan ketidakpedulian mahasiswa terhadap kondisi negara terus dipelihara, tidak ada semangat untuk merubah nasib bangsa. Lebih banyak menuntut dari pada memberi solusi dan beraksi nyata. Contoh kecilnya adalah mahasiswa lebih sering menyalahkan kenapa bisa macet tanpa menyadari diri sendirilah yang membuat macet, mahasiswa lebih sering menuntut untuk menurunkan harga BBM tanpa disadari mahasiswa jugalah yang mengakibatkan pemborosan BBM dengan pergi ke kampus saja perlu membawa kendaraan padahal jaraknya yang sangat dekat. Ironisnya mahasiswa sekarang ini sibuk berbicara soal kesuksesan dan tercapainya pekerjaan yang diharapkan, pengabdian seolah-olah hanya menjadi tugas bagi veteran. Suka atau tidak suka inilah kondisi mahasiswa Indonesia sekarang ini. Kondisi Indonesia saat ini belumlah menunjukkan bahwa Indonesia telah merdeka. Apabila dianalogikan dengan usia manusia, seharusnya pada umur 70 tahun manusia tidak lagi dipusingkan dengan berbagai persoalan, umur 70 tahun merupakan masa pensiun dimana biasanya orang hanya tinggal menikmati hasil dari perjuangannya. Namun Indonesia tidaklah demikian, masih banyak persoalan di negeri ini. Persoalan-persoalan tersebut yakni sebagai berikut, dolar yang pernah hampir menembus angka Rp 14.000 menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia belum stabil. Kemudian berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) hingga September 2014 jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan yakni sejumlah 27,73 juta jiwa. Tidak berhenti di situ, hukum juga masih sangat sulit untuk ditegakkan dan hukum tidak memberikan keadilan, ketertiban, bagi masyrakat. Maka tak heran apabila kepercayaan terhadap hukum semakin menurun. Dan Bangsa Indonesia masih sangat mudah untuk diadu domba yang terlihat dari sering terjadinya konflik agama, suku, ras. Dengan kondisi Indonesia saat ini, negara ini sangat merindukan semangat yang ada pada mahasiswa yang telah lama hilang. Pada kondisi ini juga memaksa mahasiswa untuk kembali beraksi. Marilah pada kemerdekaan Indonesia yang ke 70 ini kita jadikan momentum untuk bangun kembali dari tidur yang panjang, berdiri lantang untuk mengurus apa yang hilang. Bahu-membahu membangun negeri dan bersama mengabdi tanpa henti. Membangun karya dengan ikhlas karena cinta pada negeri. Berani muncul melawan arus dan mendobrak kepalsuan yang terlanjur serius. Karena mahasiswa adalah Pemuda penyambung revolusi, mahasiswa adalah pemuda pelurus bangsa. Memang untuk jangka panjang di masa depan kita semua telah mati, tetapi sekarang kita perlu menyongsong seabad Indonesia dari persepektif baru yang lebih obyektif, positif, dan optimis tanpa harus minder bermental inlander yang menghamba, sebaliknya harus berani dan bisa jadi banga besar dan bermartabat. MAJULAH INDONESIAKU!
Seharmoni Irama Angklung TOSAYA
berasal
dari
kata Ngabantos
Sadaya dalam
bahasa
Sunda
berarti “Membantu
Sesama”, merupakan salah satu kegiatan pengabdian mahasiswa UNPAR. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk nyata pengimplementasian Sesanti UNPAR yang berbunyi “Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bakti ”. Kegiatan ini mau mewadahi cita-cita luhur mahasiswa UNPAR untuk mengabdikan hasil dinamika bangku kuliah dalam bentuk yang lebih nyata dan signifikan. Selain itu lewat kegiatan ini juga UNPAR ditantang untuk menunjukan eksistensinya sebagai lembaga kaderisasi humanis secara konkret dengan langsung maupun tidak langsung menanamkan kepedulian dalam diri pelaku-pelaku kegiatan ini. TOSAYA 2016 awalnya disepakati hadir di desa Cempaka Mekar Kabupaten Bandung Barat. Pemilihan desa tersebut bukannya tanpa dasar. Pihak panitia telah melakukan survei dan validasi ke pemerintah serta beberapa desa dan mendapatkan hasil bahwa desa tersebut memang membutuhkan bantuan. Kegiatan ini sudah dipersiapkan dengan matang dan hampir tidak menemui kendala awalnya. Warga desa yang berharap pembangunan desanya dipercepat tentu banyak yang antusias dengan adanya kegiatan ini. Namun lima hari setelah acara peresmian TOSAYA 2016 dilaksanakan, pada tanggal 21 Januari 2016 tanpa disangka-sangka datang surat dari salah satu ormas keagamaan yang isinya menolak kehadiran mahasiswa/i UNPAR dalam kegiatan Tosaya di desa tersebut. Surat ini disertai ancaman pengiriman laskar dari ormas tersebut apabila kegiatan tetap berlangsung. Hal ini kemudian disikapi dengan mengadakan musyawarah antara pemerintahan desa, kepolisian, ormas yang bersangkutan serta perwakilan UNPAR. Musyawarah berlangsung lama dan alot, namun karena tanpa titik terang akhirnya UNPAR melalui TOSAYA harus membatalkan kegiatannya di desa tersebut. Gerakan yang awalnya memiliki tujuan pengabdian sederhana kini telah tercampur aduk dalam isu sektoral yang basi. Solusi jangka pendeknya, mahasiswa UNPAR harus mengurungkan niat andil membangun Cempaka Mekar. Solusi jangka panjangnya apakah pernah terpikirkan? Apakah hal semacam ini akan terulang? Haruskah setiap perbedaan dijadikan tembok pembatas gerak? Dalam hal ini kita sebagai bangsa berarti telah gagal. Pemerintah gagal membina warga negaranya untuk bersifat pluratis dan mengesampingkan ego sektoral. Keagamaan seringkali hanya terpaku pada legalitas bingkai kelompok dan sebatas gedung sebagai rumah ibadah, dan negara tidak bisa meluruskan hal itu. Bahkan mungkin bukan hanya pada sekat-sekat keagamaan pemerintah gagal membina warga negaranya. Mungkin dalam banyak sektor lain yang tak terangkat ke permukaan sekat-sekat sosial justru tumbuh subur tanpa pernah kita sadari. Dengan kata lain mungkin kebangsaan hanya kebebasan ilusif karena cenderung dipaksakan padahal tembok-tembok sektoral berdiri menjulang di antara sekat-sekat yang kita bentuk. Kisah Desa Cempaka Mekar di atas memperlihatkan masyarakat akar rumput masih belum bisa mengintegralkan identitas partikulernya dalam wadah berbangsa yang lebih luas. Layaknya rumah tangga yang retak, satu atap tidak berarti harmonis. Apakah identitas kelompok sebegitu sempitnya mengurung manusia sebagai pemeran utama dalam ruang geraknya yang penuh keberbedaan?
Keputusan TOSAYA untuk mengurungkan niat membangun Cempaka Mekar menjadi langkah tunggal yang dapat dimaklumi di tengah situasi penentangan yang tidak terselesaikan. Namun mungkin penentangan mereka juga bukan tanpa dasar. Individualisme manusia modern mengajarkan ,"Gue ada kalo gue butuh" mungkin pandangan yang menakutkan mereka. Mungkin TOSAYA terlihat sebagai pemberi jasa yang tak gratis. Ada 'upah' terselubung di balik jasa pengabdian. Dan jika keadaannya demikian, kita sebagai kaum intelektual berarti juga telah gagal. Ada hal yang perlu kita sadari bersama. Layaknya pepatah, "Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung." Kesadaran membumi dan menjadi bagian dari lingkungan dituntut untuk ada dalam kesadaran kita sebagai manusia. Tanpa kesadaran itu kita menjadi tanpa guna. Bagaimanapun kita hidup di tanah Sunda, apapun latar belakang yang mewarnai sejarah kita. Seperti kata Parahyangan sendiri, kita pun diajak untuk bersama-sama menjadi bagian dari tanah Sunda. Hal ini perlu terefleksi dalam kehidupan kita seharihari. Hal-hal sederhana misalnya sapaan dalam bahasa Sunda, bercengkrama dengan ibu kos atau warga sekitar merupakan hal-hal yang bisa dilakukan untuk meruntuhkan sekat-sekat sektoral dan menjadi bagian dari Sunda, atau setidaknya Ciumbuleuit. Alangkah indahnya hidup jika sekat sektoral tinggal menjadi batasan-batasan abstrak yang melebur menjadi wadah yang lebih besar. Kelekatan emosional di kedalaman batin manusia perlu berangkat dari ruang hidup cita rasa dan lokalitas kewilayahan. „UNPAR‟ perlu beranjak dari konteks ruang dan waktu yaitu ruang dan waktu „Kesundaan‟. Artinya dialog budaya harus dimainkan layaknya angklung yang dimainkan dalam harmoni indah, dengan nada yang berbeda kita pun bisa memberikan warna tersendiri dalam alunan harmoni kehidupan. Kisah penolakan di Desa Cempaka Mekar menjadi catatan penting sejarah perjalanan UNPAR di tanah Parahyangan. Karena sejak awal mulanya UNPAR mengusung sesanti,‟ “Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bakti ”. Rupanya sesanti itu menjadi refleksi tersendiri dari waktu ke waktu. Ingatlah bahwa segala sesuatu berjalan dan hadir dalam ruang dan waktunya, hingga dengan sendirinya ia akan menjelma dan melekat dengan kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Kalau ini tidak terefleksikan maka „seharmoni irama angklung’ akan dapat menjadi paradoks, „absurditasnya harmoni angklung'.
Bela Negara Sejalan Dengan Strategi Pertahanan Indonesia Beberapa waktu lalu, rakyat Indonesia dihebohkan dengan adanya program baru pemerintah, yaitu Bela Negara. Seperti kebijakan-kebijakan lainnya, program Bela Negara ini juga menuai kontroversi. Ada pihak yang berpendapat bahwa program tersebut tidak sejalan dengan revolusi mental yang dicanangkan oleh Jokowi jika menggunakan cara militer. Kebijakan yang seharusnya diadakan pemerintah adalah pembentukan karakter pendidikan sehingga unsur militer apapun dianggap sebagai penyimpangan. Di sisi lain, pihak yang mendukung Bela Negara juga berpendapat bahwa program tersebut merupakan hal yang krusial, mengingat dalam program tersebut ditanamkan nilai-nilai cinta tanah air, kedisiplinan, dan solidaritas. Konsep Bela Negara itu sendiri masih berbeda intepretasinya oleh tiap pihak sehingga menimbulkan banyaknya perbedaan pendapat. Miskonsepsi akan Bela Negara banyak terjadi di masyarakat awam. Hal tersebut terjadi karena Bela Negara diasosiasikan dengan Wajib Militer, seperti yang telah diberlakukan negara-negara lain (baca: Korea Selatan, Singapura, dsb). Berbeda dengan Wamil (Wajib Militer), Konsep Bela Negara yang dimaksud oleh Indonesia adalah penanaman rasa patriotisme, cinta tanah air, latihan baris berbaris melalui latihan keprajuritan. Dalam Wamil, masyarakat sipil dipersiapkan untuk perang dengan pengetahuan taktik dan teknis bertempur, serta cara menggunakan senjata. Pemerintah sejauh ini menargetkan 100 kader bela negara, dengan harapan mahasiswa merupakan pihak yang paling sigap terkait hal ini. Walaupun Bela Negara bukan merupakan Wajib Militer, program tersebut sejalan dengan strategi pertahanan berlapis Indonesia dalam menghadapi ancaman militer. Menurut Buku Putih Pertahanan Indonesia tahun 2008, Indonesia memiliki tiga lapis pertahanan, yaitu lapis diplomasi, lapis masyarakat sipil, dan lapis TNI. Pada tahap pertama, diplomasi dijadikan sebagai cara utama dalam menghadapi ancaman. Indonesia menunjukan citra bahwa negara Indonesia bukan lah negara yang agresif. Indonesia akan berusaha mewujudkan defensif aktif dengan cara mengedepankan upaya diplomasi di setiap konflik. Dalam hal ini, pihak luar yang memberikan ancaman diajak berdiskusi untuk menghapuskan niat untuk agresi atau menarik balik pasukan yang telah dikerahkan. Apabila segala usaha diplomasi telah dilakukan dan tidak menemukan jalan keluar, maka lapis masyarakat sipil akan digunakan untuk menghadang ancaman tersebut. Lapis TNI disini merupakan kekuatan pemukul utama. Cara kekerasan hanya akan dilakukan apabila segala usaha tanpa senjata telah dilakukan oleh Indonesia dan tidak menemukan titik terang antara kedua pihak. Dalam kaitannya dengan masyarakat sipil, seringkali lapis kedua menuai kontroversi. Hal ini dipandang menjadikan masyarakat sebagai „tameng‟ bagi TNI. Merespon hal tersebut, pemerintah menolak pernyataan tersebut karena fungsi masyarakat sipil disini bukan lah dijadikan sebagai petarung, melainkan fungsi lainnya, seperti melakukan demontrasi dan propaganda. Menimbang hal tersebut, jika masyarakat hanya berbekalkan aksi turun ke jalan untuk menghadapi ancaman, aksi tersebut bukanlah aksi yang solutif. Secara pragmatis, korban masyarakat sipil dapat berjatuhan apabila kecanggihan senjata hanya dilawan dengan teriakan-teriakan dari demonstrasi masyarakat Indonesia. Disini terlihat bahwa kurang bijak jika
memposisikan lapis masyarakat sipil menjadi lapis sebelum TNI yang memiliki tugas untuk menjaga perdamaian di tanah air. Minimnya pengetahuan masyarakat luas akan teknik bersenjata memperburuk keadaan tersebut. Fokus pembahasan disini bukanlah mengkritik strategi pertahanan berlapis yang dimiliki oleh Indonesia, akan tetapi, mengoptimalkan strategi tersebut agar dapat berjalan dengan baik nantinya tanpa merenggut banyak nyawa. Pada intinya, pemerintah meminta seluruh elemen negara untuk melihat ancaman tersebut sebagai ancaman bagi seluruh bangsa apabila kelangsungan hidup Indonesia yang terancam. Setuju akan pernyataan tersebut, masyarakat harus dibekalkan nilai-nilai lebih agar lebih siap menghadapi ancaman. Bela Negara sebagai salah satu upaya untuk membekali masyarakat dengan nilai kedisiplinan, patriotisme, nasionalisme merupakan langkah awal awal yang baik untuk menghadapi ancaman militer yang kelak dihadapi Indonesia. Walaupun program tersebut masih sebatas penanaman nilai, kesadaran akan pentingnya mempertahankan tanah air akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Masyarakat berupaya untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan cara yang lebih solutif, bukan sekedar membuat propaganda dan turun ke jalanan dalam situasi yang genting. Selain itu, Bela Negara merupakan optimalisasi strategi pertahanan Indonesia. Tidak menutup kemungkinan bahwa Wajib Militer juga dapat dipertimbangkan menjadi program dari Kemhan karena Wamil sejalan dengan strategi tersebut. Wajib Militer merupakan penyempurnaan tiga lapis strategi pertahanan Indonesia. Indonesia masih jauh dari kebijakan wajib militer karena Indonesia berusaha menunjukan citra diri yang ramah dengan meminimalkan cara represif dalam menyelesaikan permasalahan dan mengedepankan upaya diplomasi.
TIONGHOA: INDONESIAKAH, AKU? Orang Tionghoa terutama di Indonesia bagaikan orang Yahudi di Eropa atau khusunya Jerman pada masa pemerintahan Nazi. Seringkali orang Tionghoa dicap sebagai orang kaya dan pelit yang berusaha menghisap kekayaan Indonesia untuk keuntungannya sendiri. Mereka dimusuhi dan tidak dianggap sebagai bagian dari Republik Indonesia. Mereka seperti memiliki dosa asal karena terlahir sebagai Tionghoa di Indonesia. Mereka dianggap rakus akan uang dan tidak mau berbaur dengan penduduk yang katanya “asli” yang mungkin hanya datang lebih dulu datang ke tanah yang bernama Indonesia. Mengapa mereka bisa terlihat lebih kaya? Sebab mereka bekerja keras dalam hidup. Mental kerja keras itu sudah didapat dari tanah leluhurnya yang terus rusuh mulai dari bencana, perang, dan serbuan bangsa “barbar”, sehingga mereka keluar dari tanahnya untuk hidup yang lebih layak. Hidup sebagai perantau jauh lebih berat, oleh karena itu orang-orang Tionghoa lebih ekstra dalam menghadapi segala hal. Dan ingat tidak semua orang Tionghoa di Indonesia kaya, banyak dari mereka juga miskin dan tertindas seperti di Tanggerang dan Kalimantan Barat. Jangan lupa pula bahwa keberadaan orang Tionghoa di Nusantara sudah sangat lama bahkan mereka sudah ada di tanah ini sebelum Kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara berdiri, walaupun tidak bisa dibilang lebih lama dari orang-orang yang mendirikan kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Kemudian karena gelombang kedatangan orang-orang Tionghoa ke Nusantara pada abad-abad 18 dan 19 lah mengapa mereka dicap sebagai pendatang.
Masuknya Orang Tionghoa ke Nusantara Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya dan menjadi daya tarik dunia perdagangan sejak ratusan tahun yang lalu. Kekayaan Indonesia dan ramainya jalur perdagangan laut di wilayah Nusantara menjadikan wilayah Indonesia banyak dikunjungi oleh berbagai bangsa terutama dari Tiongkok, Arab, dan India. Menurut beberapa catatan tertua yang ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7, sudah ada beberapa orang Tionghoa yang berdatangan ke Indonesia terutama untuk belajar agama. Seiring dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara menyebabkan semakin banyak orang Tionghoa yang berdatangan ke Indonesia selain untuk berdagang mereka juga menetap di wilayah-wilayah kerajaan di nusantara. Pergerakan orang-orang Tionghoa dari Tiongkok ke Indonesia secara besar terjadi pada abad ke-13 pada saat Kaisar Dinasti Yuan Kublai Khan menyerbu Jawa untuk mengalahkan Kerajaan Singhasari, tetapi setelah itu tentara Tiongkok dikalahkan oleh Kerajaan Majapahit. Banyak dari mereka akhirnya tidak kembali ke Tiongkok dan memilih untuk menetap di Pulau Jawa. Perkembangan selanjutnya pada abad ke-15 ketika Kaisar Dinasti Ming mengirim armada ke Indonesia dibawah komando Laksamana Cheng Ho, dan banyak dari pengikutnya memilih menetap di Pulau Jawa khusunya kota Semarang. Cheng Ho juga mencatat bahwa pada saat kedatangannya juga sudah banyak orang-orang Tionghoa yang menetap di ibukota dan kota-kota bandar Majapahit yang membetuk 3 komponen penduduk kerajaan tersebut. Di kota Semarang dibangunlah Kelenteng Sam Po Kong.
Sejumlah sejarawan juga menunjukan bahwa Raden Patah alias Jin Bun, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah keturunan Tionghoa selain darah dari raja Majapahit. Begitu pula dengan beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah keturunan Tiongkok. Pada masa itu sangat banyak orang Tionghoa yang memeluk agama Islam terutama di daerah pesisir pulau Jawa dan mereka tidak lagi secara aktif mempraktekan kebudayaan Tionghoa. Jadi, jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia, bangsa Tionghoa sudah menetap secara permanen di Indonesia dan sudah berasimilasi dengan kebudayaan lokal. Mereka hidup rukun berdampingan dengan penduduk pribumi. Kebanyakan mereka bekerja sebagai padagang dan sebagian kecil bekerja sebagai pekerja kasar yang didatangkan oleh kerajaan di Nusantara dari negeri Tiongkok.
Orang Tionghoa pada Masa Penjajahan Bangsa Eropa: Penjajahan oleh VOC Sejarah Indonesia memasuki babak baru yaitu dengan kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia yang dimulai oleh Portugis dan Spanyol dan kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris, dan Perancis. Pada masa VOC (kongsi dagang Belanda) berkuasa di Indonesia, mereka mulai menerapkan aturan-aturan yang menyiksa dan menyusahkan orang-orang yang sudah tinggal di Indonesia baik pribumi maupun Tionghoa. Pada saat itu banyak orang Tionghoa khususnya di Batavia yang bekerja sebagai buruh pabrik di pabrikpabrik gula milik VOC, tukang bangunan, pedagang, dan pemilik toko. Pada tahun 1740 terjadi berbagai masalah yang berkaitan dengan orang Tionghoa sebab adanya peraturan-peraturan diskriminatif yang dikeluarkan VOC. Berbagai kebijakan diskriminatif dan juga masalah yang timbul terkait dengan orang Tionghoa antara lain pertama, setiap orang Tionghoa wajib memiliki surat identifikasi jika tidak maka akan dideportasi ke Tiongkok. Kedua, Komisaris Urusan Orang Pribumi Roy Ferdinand, atas perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier memutuskan sejak tanggal 25 Juli 1740 setiap orang Tionghoa yang mencurigakan akan dibuang ke Sri Lanka dan dipaksa menjadi petani kayu manis. Ketiga, tersebar desas-desus bahwa orang yang dibuang ke Sri Lanka tidak akan pernah sampai melainkan akan dibuang ke laut. Keempat, Orang Tionghoa yang kaya diperas oleh penguasa Belanda untuk membayar sejumlah uang atau dideportasi. Kelima, banyak orang Tionghoa miskin yang bekerja sebagai buruh pabrik gula dimanfaatkan oleh penguasa VOC. Keenam, harga gula di Hindia Belanda jatuh. Ketujuh, keputusan Gubernur Jenderal Valckenier untuk menindak tegas dengan kekuatan yang mematikan kepada orang Tionghoa yang membuat rusuh. Hal-hal seperti itu membuat orang Tionghoa menjadi resah. Karena terjadi keresahaan tersebut mereka berusaha untuk melawan penguasa VOC. Setelah buruh pabrik gula keturunan Tionghoa memberontak dengan membakar dan menjarah pabrik gula, pada 7 Oktober 1740 ratusan orang Tionghoa dibawah komando Kapitan Tionghoa Ni Hoe Kong membunuh 50 pasukan Belanda di Meester Cornelis dan Tanah Abang, Batavia. VOC mengirim 1.800 tentara untuk memadamkan pemberontakan dan pasukan Belanda berhasil mengalahkan serangan ribuan orang Tionghoa pada esok harinya. Akhirnya pada 9 Oktober 1740, VOC mulai menembaki rumah-rumah orang Tionghoa dengan Meriam. Semua orang Tionghoa ditembaki saat mereka melarikan diri. Mereka yang berhasil mencapai kanal untuk menyelamatkan diri dibantai oleh pasukan VOC yang sudah menunggu dengan perahu kecil,
bahkan sampai pasien rumah sakit yang orang Tionghoa dibawa ke luar untuk dibunuh. Akibat pembataian ini tak kurang dari 10.000 orang Tionghoa terbunuh. Pembantaian tidak hanya terjadi di Batavia tapi juga menjalar ke Semarang, Surabaya, dan Gresik. Sisa pasukan Tionghoa yang selamat dibawah pimpinan Khe Pan Djang (Sepanjang/Tay Wan Soey) melarikan diri ke pesisi Jawa, mereka diterima dan didukung oleh pasukan Jawa dibawah pimpinan Sultan Mataram Pakubuwana II untuk terus berjuang melawan VOC. Perang ini berlanjut dengan Perang Jawa tahun 1741-1743, dimana laskar Tionghoa dibawah pimpinan Khe Pan Djang bersatu dengan pasukan Kesultanan Mataram (kemudian menjadi Kesunanan Surakarta) dibawah pimpinan Sultan Pakubuwana II berperang melawan VOC. Perang ini menyebabkan hampir berhasil diusirnya VOC dari tanah Jawa. Tetapi VOC mendapat bantuan dari Pangeran Cakraningrat IV dari Madura (yang akhirnya dikhinati oleh Belanda, kemudian bergabung dengan pemberontak) dan bantuan pasukan dari Ambon dan Sulawesi berhasil mengalahkan gabungan pasukan Jawa-Tionghoa, dimana akhirnya Sunan Pakubuwana II menyerah pada VOC tahun 1742 dan perjuangannya dilanjutkan oleh Amangkurat V. Disamping itu juga terjadi Perang Kuning (bagaian dari Perang Jawa) yang dimulai di Lasem yang juga merupakan gabungan pasukan JawaTionghoa melawan VOC dibawah komando Oei Ing Kiat, Tan Kee Wie, dan Raden Panji Margono. Gabungan pasukan ini berhasil mengusir VOC dibeberapa kota dan mengepung Kota Semarang, sebelum kemudian Belanda mendapatkan bantuan dan berhasil memenangkan pertempuran Semarang. Selain itu juga terdapat nama Singseh alias Tan Sin Ko yang bersama Raden Mas Said (Mangkunegara I) yang bertempur di Welahan melawan pasukan VOC. Keseluruhan Perang Jawa ini kemudian berhasil dimenangkan oleh VOC dengan bantuan pasukan dari luar pulau Jawa dan dengan persenjataan yang lebih mampuni. Dari sejarah pembantaian orang Tionghoa di Batavia, Semarang, Surabaya, dan Gresik sudah jelas bahwa orang Tionghoa bernasib sama dengan pribumi lainnya mereka didiskriminasi dan diperlakukan kejam oleh penjajah. Hal ini menyebabkan mereka mengangkat senjata untuk mengusir penjajah. Disini dapat disaksikan bahwa orang Tionghoa juga ikut berkontribusi dalam perang melawan penjajah. Setelah peristiwa berdarah ini yang memiliki dampak besar dalam pemisahan penduduk Hindia Belanda antara orang Tionghoa dan pribumi. Oleh penguasa VOC, orang Tionghoa hanya diperbolehkan tinggal disatu tempat tertentu dan jika ingin keluar wilayah tersebut harus memiliki izin (semacam paspor). Hal ini melahirnya banyak kampung-kampung Tionghoa yang disebut Pecinan (Chinatown). Secara praktis kehidupan orang Tionghoa menjadi terpisah dengan kehidupan pribumi lainnya. Usaha VOC ini berhasil untuk memisahkan orang Tionghoa dengan pribumi lainnya dengan membuat Pecinan tersebut, mereka saling diadu domba agar tidak sepaham. VOC takut jika orang Tionghoa dan pribumi bersatu kembali dan memberontak.
Republik Lanfang Sejarah orang Tionghoa di negeri ini sangat panjang salah satunya adalah sejarah yang cukup penting tapi banyak orang tidak mengetahuinya, yaitu sejarah mengenai Republik Lanfang, republik pertama di Asia. Negara republik pertama di Asia ini ada di Indonesia tepatnya di Kalimantan Barat seakarang ini. Pada
awalnya terdapat wilayah-wilayah pertambangan emas di Kalimantan Barat yang berada dibawah kekuasaan Kesultanan Sambas. Untuk mengelola tambang-tambang emas tersebut, Sultan Sambas mendatangkan para pekerja dari negeri Tiongkok yang kebanyakan orang Hakka. Lambat laun berdiri kongsi-kongsi dagang diantara para pekerja tambang tersebut. Kongsi-kongsi dagang ini mengatur pertambangan yang mereka kelola dan mereka tunduk dengan membayar upeti kepada Sultan Sambas. Salah satu kongsi dagang yang besar dan kuat adalah Kongsi Lanfang yang dipimpin oleh Lo Lan Pak (Luo Fangbo) yang didirikan pada tahun 1777. Pada tahun 1778 ketua Kampung Pontianak mengangkat diri menjadi Sultan Pontianak pertama dan mendirikan Kesultanan Pontianak. Karena wilayah kerja Kongsi Lanfang berada di muara sungai yang dikuasai oleh Sultan Pontianak, maka mereka akhirnya lebih dekat dengan Sultan Pontianak dibandingkan dengan Sultan Sambas. Seiring semakin besar dan kuatnya Kongsi Lanfang mereka diberikan otonomi khusus dari Sultan Pontianak untuk mengatur wilayahnya sendiri. Kongsi ini kemudian berubah menjadi sebuah Republik yang terpisah dari kekuasaan lain dan mandiri. Republik Lanfang memiliki sistem pemerintahan sendiri yang sangat demokratis karena terdiri dari tiga badan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, mereka juga memiliki sistem hukum, perbankan, dan mata uang sendiri. Republik ini juga memiliki kementerian pertahanan dan tentara dengan tujuan untuk mempertahankan republik bukan untuk perang. Republik ini diperintah oleh seorang presiden yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum oleh setiap warga republik. Selama 107 tahun berdirinya Republik Lanfang, tidak kurang ada 13 presiden yang pernah menjabat. Republik ini juga memiliki sistem birokrasi dan pembagian pejabat tinggi dan rendah, mereka berasal dari banyak kalangan. Tetapi yang hanya bisa dipilih menjadi presiden hanya mereka yang keturunan Tionghoa Hakka. Republik ini secara de facto ada dan benar sebagai sebuah negara yang independen tetapi karena waktu itu hubungan internasional belum maju, tidak ada yang mengakui secara de jure republik ini kecuali kesultanan disekitar Republik Lanfang. Republik ini juga selalu melapor dan membayar upeti kepada Dinasti Qing yang berkuasa di Tiongkok. Ekspansi Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Kalimantan membawa Republik Lanfang ke dalam perang melawan Belanda. Setidaknya ada beberapa perang yang dihadapi oleh orang-orang Tionghoa di Kalimantan melawan Belanda. Perlawanan ini adalah perlawanan yang pertama di pulau Kalimantan melawan Belanda yang terjadi pada tahun 1823. Kemudian diikuti dengan perlawanan lainnya tahun 18501854, 1854-1855, dan 1884-1885. Perlawan terakhir pada tahun 1884-1885 yang berkobar di ibukota Lanfang, Dong Wanli (sekarang Mandor), menandakan berakhirnya Republik Lanfang akibat invasi Belanda secara besar-besaran. Tetapi secara formal Belanda tidak pernah mengakui menduduki wilayah Lanfang dan Belanda membuat pemerintahan boneka dengan para petinggi Republik Lanfang sebagai pengurusnya, hal ini dilakukan Belanda karena takut akan marahnya Dinasti Qing. Belanda baru mengumumkan menduduki wilayah Lanfang pada tahun 1912 saat setelah Dinasti Qing di Tiongkok runtuh.
Orang Tionghoa pada Masa Penjajahan Bangsa Eropa: Pemerintahan Hindia Belanda
Setelah pemberontakan, pembataian orang Tionghoa, dan perang Jawa yang merupakan gabungan antara pasukan Jawa dan Tionghoa, Belanda semakin memisahkan kedua bangsa ini (terutama Tionghoa yang dipisahkan dari pribumi lainnya). Pada tahun 1799, VOC bangkrut akibat korupsi yang merajalela dan setelah itu seluruh wilayah dan aset VOC diambil alih menjadi milik pemerintah Kerajaan Belanda. Memasuki abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda membuat politik pembagian golongan dimana penduduk Hindia Belanda dibedakan menjadi tiga golongan yaitu golongan Eropa, golongan Timur Asing (Tionghoa, Arab, India), dan golongan Pribumi. Walaupun dipisahkan tetapi hubungan antara orang Tionghoa dan Pribumi lainnya tetap berjalan terutama dalam bidang perdagangan. Disamping itu juga dengan bertambah banyaknya kembali orang-orang Tionghoa yang tinggal di kota-kota di Hindia Belanda. Belanda melihat bahwa orang Tionghoa bisa dijadikan manfaat sebagai mitra dagang sekaligus menjadi perantara untuk mengubungkan antara pedagang Belanda dengan pedagang Pribumi. Karena keahliannya dalam berdagang dan manfaat yang didapat dengan keberadaannya, orang Tionghoa ini oleh Pemerintah Hindia Belanda dinaikan statusnya dari kelompok masyarakat kelas dua (golongan Timur Asing) menjadi kelompok masyarakat kelas satu setara dengan orang Belanda. Sedangkan orang Pribumi tetap dianggap sebagai kelompok masyarakat kelas tiga. Pemisahan dan pengkhususan yang dilakukan oleh orang Belanda terhadap orang Tionghoa (privilege) menjadikan orang Tionghoa dianggap sebagai sekutu erat Belanda oleh orang Pribumi. Selain itu juga karena kesenjangan ekonomi yang besar antara orang Tionghoa dan Pribumi semakin menimbulkan prasangka buruk terhadap orang Tionghoa. Padahal di Hindia Belanda juga masih banyak orang-orang Tionghoa yang hidup miskin dan tertindas bahkan sampai saat ini seperti di Tanggerang dan Kalimantan Barat. Timbulnya prasangka buruk dan sikap anti-Tionghoa di Jawa terlihat pada saat meletusnya Perang Diponegoro (1825-1830). Pada perang tersebut masyarakat Tionghoa dijadikan musuh karena banyaknya kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang merugikan orang Pribumi sedangkan karena status khusus yang diberikan oleh Belanda kepada orang Tionghoa membuat mereka untung (walau hanya sebagian kecil orang Tionghoa kaya saja yang untung) dan serangkaian peristiwa yang terjadi dimana tidak bisa bersatunya orang Tionghoa dan orang Jawa. Penyerangan terhadap orang Tionghoa di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi semenjak awal peperangan. Catatan Payen, seorang arsitek di Yogyakarta, menyatakan bahwa komunitas Tionghoa di Yogyakarta dibantai tanpa mempedulikan wanita maupun anak-anak. Komunitas Tionghoa di Bagelen sempat bertahan sampai tahun 1827 sebelum akhirnya dipindahkan ke Wonosobo. Meskipun demikian, masyarakat Tionghoa di pesisir pantai utara (sekitar Tuban dan Lasem) ikut memasok pasukan Diponegoro dengan senjata, uang, dan opium (pada masa tersebut penduduk Jawa banyak yang kecanduan opium, termasuk pasukan Diponegoro). Setelah perang berakhir, kerukunan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat lain di Jawa tidak dapat kembali seperti semula karena timbulnya rasa saling curiga akibat trauma selama perang, misalnya peristiwa di Bagelen saat penduduk Jawa Pribumi meminta masyarakat Tionghoa yang mengungsi agar kembali.
Pada masa ini masyarakat Tionghoa menjadi sasaran kekerasan dalam perang dari kaum Pribumi, disamping sebagian lagi berkontribusi membantu masyarakat Jawa Pribumi dalam perang melawan Belanda. Dari kejadian ini dapat disimpulkan bahwa politik adu domba Belanda cukup berhasil. Jika kita melihat pada sejarah maka titik tolak dari munculnya perselisihan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Pribumi terjadi setelah peristiwa pembantaian dan pemberontakan orang Tionghoa di Batavia (Geger Pecinan). Sejak itu orang Tionghoa mulai dipisahkan kehidupannya dari Pribumi lainnya sehingga menimbulkan ketidakharmonisan komuniskasi antara dua golongan ini.
Masa Kebangkitan Nasional Sejarah Indonesia memasuki babak baru dengan lahirnya banyak kaum terpelajar akibat Politik Etis pemerintah Hindia Belanda. Politik Etis ini merupakan jawaban Pemerintah Hindia Belanda atas kritikan keras Multatuli dalam bukunya Max Havelaar atas kekejaman kolonialisme Belanda di Hindia Belanda. Politik Etis ini menghasilkan perubahan nyata dengan mulai dibangunnya sekolah-sekolah untuk kaum Pribumi dan perbaikan irigasi, pertanian, dan dalam bidang lainnya. Awalnya pendidikan hanya untuk kaum elite Pribumi saja (tidak termasuk Pribumi biasa) dan untuk orang Tionghoa diabaikan. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Maka masyarakat Tionghoa mendirikan Tiong Hoa Hwee Kuan (THHK) pada tahun 1900 di Batavia yang mendirikan sekolah-sekolah dengan maksud agar orang Tionghoa bisa pintar, kemudian jumlahnya mencapai 54 buah sekolah pada tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah pada tahun 1934. Inisiatif ini diikuti oleh etnis lainnya, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair yang meniru model THHK. Selanjutnya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Dalam bidang perekonomian orang-orang Tionghoa juga berpengaruh dalam pendirian kongsikongsi dagang dan serikat dagang yang diikuti oleh kalangan lain. Hal ini terlihat seperti berdirinya Sarekat Dagang Islam tahun 1909 di Buitenzorg yang mengikuti model Siang Hwe (kamar dagang Tionghoa) yang didirikan tahun 1906 di Batavia. Pemerintah kolonial Belanda semakin khawatir sejak Sun Yat-sen memproklamasikan Republik Tiongkok pada Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosialbudaya mualai mengarah kepada politik. Tujuannya untuk menghapus perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum dan/atau peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak, dan bertempat tinggal. Hambatan untuk bergerak bagi orang Tionghoa disebabkan karena adanya passenstelsel yaitu peraturan yang mengharuskan orang Tionghoa membawa kartu pass jalan ketika mengadakan perjalanan keluar daerah, yang berlaku sejak 1816. Bagi mereka yang tidak mendaftarkan diri dan kedapatan tidak membawa kartu tersebut dalam perjalanan dikenai sanksi hukuman atau denda 10 gulden.
Sejak politik etis terlaksana dan pendidikan golongan lain selain Pribumi berkembang, melahirkan banyak kaum terpelajar. Kaum terpelajar ini mendorong lahirnya pergerakan nasional untuk merumuskan identitas Kebangsaan Indonesia yang dikenal dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Pada waktu terjadinya Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir, seperti Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sumpah Pemuda dibacakan di rumah milik Sie Kok Liong yang disewakan kepada para pemuda untuk kos dan sebagai kantor PPPI. Koran Sin Po yaitu koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi nasionalis. Pada tahun 1920-an, koran Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera menggantikan kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Perubahan ini kemudian diikuti oleh banyak koran lainnya. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata “Tjina” menjadi kata “Tionghoa”. Koran Sin Po juga merupakan koran pertama yang berani menyebarkan lagu Indonesia Raya karangan W.R. Supratman pada tahun 1928.
Masa Kemerdekaan dan Revolusi Nasional Indonesia Menjelang kemerdekaan Indonesia tahun 1945 dibentuklah BPUPKI sebagai badan yang bertugas untuk meyiapkan kemerdekaan Indonesia seperti menyusun dasar negara UUD dan lain sebagainya. Dalam BPUPKI terdapat empat orang Tionghoa yaitu Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, dan Oey Tjong Hauw. Dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat satu orang Tionghoa yaitu Drs. Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian sebagai salah satu perancang UUD 1945 dan juga delegasi dalam Perjanjian Renville serta orang yang berjasa menyeludupkan obat-obatan selama masa pendudukan Belanda untuk kepentingan Republik Indonesia meninggal sebagai orang asing di negara yang pernah ia perjuangkan karena dituduh sebagai simpatisan kiri.
Menjelang detik-detik kemerdekaan Indonesia, terjadi peristiwa yang sangat terkenal yaitu Peristiwa Rengasdengklok dimana Bapak Bangsa Soekarno dan Mohammad Hatta diculik oleh kelompok pemuda yang memaksa Soekarno segera memerdekakan Indonesia. Pada saat di Rengasdengklok Tentara Pembela Tanah Air (PETA) mengambil rumah seorang Tionghoa Djiaw Kie Siong sebagai tempat untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Djiaw Kie Siong dengan rela rumahnya diambil oleh Tentara PETA untuk kepentingan perjuangan Indonesia. Sejatinya naskah proklamsi sudah disusun dan bendera Merah Putih sudah dikibarkan di rumah Djiaw Kie Siong dimana pada 16 Agustus 1945 naskah proklamasi akan dibacakan di rumah Djiaw Kie Siong. Tetapi Ahmad Soebardjo datang dan mengundang Soekarno dan Hatta untuk membacakan naskah itu di Jakarta. Setelah itu praktis nama Djiaw Kie Siong tidak pernah dikenal dan tidak pernah tercatat dalam sejarah resmi pemerintah. Pada tahun 1961, tiga tahun sebelum meninggalnya Djiaw Kie Siong, Mayjen Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi) pernah memberikan penghargaan kepada Djiaw Kie Siong sebagai Pembela Tanah Air. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, tidak serta merta keadaan Indonesia baik dan bebas dari tekanan asing. Belanda sebagai pemenang Perang Dunia ke-2 (walau sebenarnya kalah saat digempur Jerman) berusaha ingin mengambil kembali wilayah jajahannya di Hindia Belanda yang sempat jatuh ke tangan Jepang pada saat Perang Dunia ke-2. Usaha Belanda untuk merebut kembali Indonesia dikenal dengan peristiwa Agresi Militer Belanda atau Masa Revolusi Nasional
Indonesia yaitu perang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebagai bangsa yang sudah merdeka dan mempunyai kedaulatan, Indonesia berusaha melawan Belanda dengan segala cara. Pada masa itu banyak orang-orang Tionghoa yang turut serta dalam membela tanah air. Banyak dari mereka tidak pernah tercatat, tetapi ada satu nama yang diakui pemerintah yaitu Laksamana Muda John Lie Tjeng Tjoan yang merupakan satu-satunya Pahlawan Nasional Indonesia beretnis Tionghoa. Laksamana Muda John Lie Tjeng Tjoan (John Lie) dengan berani mengawal kapal Indonesia menyelundupkan 800 ton karet menembus blokade kapal Belanda menuju Singapura. Karet itu lantas ditukarkan dengan senjata yang kemudian diserahkan kepada pejabat Republik untuk melawan Belanda selama Revolusi Nasional. Melalui serangkaian penyeludupannya ia berhasil menyuplai bahan bakar, makanan, senjata, dan keperluan lainnya untuk kepentingan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Menurut Jenderal Besar Nasution, prestasi John Lie tiada taranya karena ia adalah palingma armada pada masa-masa krisis keberadaan Indonesia. John Lie juga berjasa dalam menumpas gerakan separatis RMS, PRRI/Permesta. Dalam masa kebangkitan nasional, perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan dalam masa krisis untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, orang-orang Tionghoa juga turut berjasa dalam memberikan pengaruh dan perjuangan yang pro-nasionalis. Orang Tionghoa juga berjasa dalam mendirikan negara Indonesia dan mempertahankannya. Hal ini dilakukan karena mereka juga merasa terjajah dan tertindas serta diperlakukan diskrimanatif pada masa penjajahan sama seperti orang-orang Pribumi lainnya. Adalah salah jika orang Tionghoa dituduh tidak pernah berjuang dalam memerdekakan Indonesia dan tidak pernah berjuang dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Mereka sebenarnya sungguh Indonesia.
Zaman Orde Lama Setelah Revolusi Nasional, pada zaman Orde Lama dibawah pengaruh kuat Presiden Soekarno. Pada masa ini terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat (tangan kanan Presiden Soekarno kemudian dipenjara selama 12 tahun tanpa pengadilan oleh rezim Suharto), Ong Eng Die, Siaw Giok Tjhan, dan Tan Po Gwan. Walaupun beberapa orang Tionghoa duduk dipemerintahan dan hubungan orang Tionghoa dekat dengan Soekarno, tetapi pada masa Orde Lama ini juga terdapat kebijakan yang diskriminatif terhadap orang Tionghoa. Kebijakan itu adalah kewajiban warga keturunan (terutama Tionghoa) untuk memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI). SKBRI ini menyatakan pemegangnya adalah WNI. SKBRI ini harus dipenuhi sebegai syarat untuk membuat KTP, paspor, masuk dunia pendidikan, pemilu, menikah, dan lain-lain. Oleh banyak pihak SKBRI ini dianggap diskriminatif karena masih mempertanyakan status hukum WNI keturunan Tionghoa. SKBRI ini tetap ada sampai tumbangnya Orde Baru dan malah dijadikan suatu kewajiban oleh pemerintahan Orde Baru dibawah Suharto.
Kebijakan lain pada masa Orde Lama yang dinilai diskriminatif bagi WNI keturunan Tionghoa adalah Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang orang Tionghoa yang statusnya kewarganegaraannya masih belum jelas (dianggap WNA) untuk berdagang eceran di daerah luat ibukota provinsi dan kebupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan memicu keterpurukan ekonomi Indonesia tahun 1965. Kebijakan ini juga menyebabkan banyak orang Tionghoa Indonesia di daerah-daerah tidak memiliki pekerjaan lagi dan menyebabkan banyak dari mereka kembali ke negeri leluhurnya yang sebenarnya mereka tidak kenal yaitu Tiongkok. Kerusuhan rasial terhadap orang Tionghoa pada masa ini terjadi pada tahun 1963 yang merupakan kerusuhan anti-Tionghoa terbesar di Jawa Barat yang dimulai dari keributan antara mahasiswa pribumi dan mahasiswa Tionghoa. Kerusuhan ini akhirnya menjalar kemana-mana menyerang orang Tionghoa. Selain kerusuhan rasial yang menyerang orang Tionghoa juga terjadi pada peristiwa Gerakan 30 September atau 1 Oktober tahun 1965 (G30S/Gestok). Akibat dari Gestok ini adalah pembantaian orang-orang atau simpatisan PKI termasuk orang Tionghoa yang kadang masih dianggap mengabdi pada negara leluhurnya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang diperintah oleh Partai Komunis Tiongkok.
Zaman Orde Baru Setelah kekuasaan Presiden Soekarno jatuh, kursi kepemimpinan negara ini beralih kepada Jenderal Suharto. Sejak saat itu dimulailah periode yang paling diskriminatif terhadap orang Tionghoa di Indonesia. Tahun 1966, sekolah-sekolah Tionghoa di Indonesia mulai ditutup, setahun kemudian koran-koran berbahasa Mandarin ditutup pemerintah. Tahun 1967 sebagai tanda tahun dimulainya serangkaian larangan kepada masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan nilai-nilai kebudayaannya dan menjalankan agama tradisionalnya. Perayaan-perayaan yang menyangkut budaya Tionghoa dilarang dilakukan di tempat umum seperti tarian barongsai dan perayaan imlek. Agama tradisional Tionghoa seperti Kong Hu Chu dan Tao dilarang pemerintah. Begitu pula dengan penggunaan Bahasa Mandarin juga dilarang walau akhirnya diizinkan kembali oleh Kejaksaan Agung Indonesia dengan catatan bahwa orang Tionghoa berjanji tidak akan menghimpun kekuatan untuk menumbangkan pemerintah. Sekitar tahun 1967 orang-orang Tionghoa dianjurkan jika tidak mau disebut dipaksa untuk mengubah nama mereka dari nama Tionghoa dengan tiga karakter dengan nama yang lebih Indonesia. Alasan pemerintah agar masyarakat Tionghoa lebih cepat melakukan asimilasi, padahal penggantian nama tidak bisa menjadi ukuran seseorang mengabdi pada suatu negara atau tidak. Tahun 1969 perjanjian dwi kewarganegaraan antara Indonesia dan RRT dibatalkan sehingga menyebabkan pemegang dwi kewarganegaraan menjadi stateless. Tahun 1978, SKBRI wajib hukumnya kepada seluruh orang Tionghoa Indonesia yang kemudian baru dicabut tahun 1996. Orang Tionghoa secara sengaja dijauhkan dari kehidupan politik Indonesia dan banyak dari mereka menghindar dari dunia politik dan hukum karena takut akan keselamatan nyawanya dan keluarganya. Akhirnya mereka banyak berkecimpung dalam dunia bisnis perdagangan. Pembatasan-pembatasan dan kebijakan diskriminatif
kepada orang Tionghoa jelas mengkebiri hak-hak dasar sebagai warga negara dan secara langsung juga mencederai hak-hak asasi mereka sebagai manusia. Pada masa Orde Baru ini banyak terjadi kerusuhan rasial yang menyerang etnis Tionghoa Indonesia. Beberapa yang besar antara lain adalah peristiwa kerusuhan 5 Agustus 1973 yang menyerang orang-orang Tionghoa dengan merusak rumah dan toko-toko milik orang Tionghoa. Kemudian peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974 yang awalnya adalah demonstrasi menentang masuknya modal asing pada saat kunjungan Perdana Menteri Jepang malah menjalar menjadi penjarahan dan pembakaran toko-toko milik orang Tionghoa. Tragedi paling besar yang menimpa orang Tionghoa Indonesia adalah kerusuhan Mei 1998 yang merupakan kerusuhan anti-Tionghoa terbesar dalam sejarah berdirinya Republik. Kerusuhan tersebut terjadi di beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Kerusuhan yang awalnya disebabkan oleh jatuhnya perekonomian Indonesia dan rakyat yang sudah tidak puas dengan kepemimpinan Suharto selama 32 tahun malah beralih menjadi kerusuhan anti-Tionghoa, karena orang Tionghoa yang dicap kaya dituduh secara tidak benar sebagai penghisap kekayaan negara dan membuat masyarakat lainnya miskin. Banyak toko-toko, perusahaan, dan rumah-rumah orang Tionghoa dijarah, dihancurkan, dan dibakar oleh masa. Selain itu banyak terjadi tindakan pemerkosaan terhadap wanita-wanita Tionghoa sebelum kemudian disiksa fisiknya dan dibunuh. Banyak dari orang Tionghoa akhirnya terpaksa meninggalkan Indonesia untuk menyelamatkan diri. Sampai sekarang pemerintah tidak pernah mengambil tindakan untuk menghukum pelaku dan dalang kerusuhan rasial terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Masa Reformasi dan Pasca Reformasi Setelah kerusuhan Mei 1998, Indonesia memasuki babak baru dalam kehidupan berpolitik dan bernegara. Pada periode reformasi, kran demokrasi yang selama ini ditutup oleh rezim Suharto terbuka lebar. Hal ini juga dirasakan oleh masyarakat Tionghoa yang mulai bisa menikmati kebebasan. Tahun 1999 Presiden Habibie menegaskan kembali bahwa SKBRI sudah tidak berlaku. Presiden Habibie juga menghapus kata “pribumi” dan “non-pribumi” dalam semua dokumen resmi pemerintahan dan bisnis. Langkah selanjutnya adalah menghapus larangan untuk mempelajari Bahasa Mandarin. Pada tahun yang sama Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965. Pada tahun 2000, Presiden yang baru terpilih Abdurrahman Wahid menghapuskan larangan bagi orang Tionghoa untuk mengekspresikan segala bentuk kebudayaan dan kepercayaan Tionghoa di depan umum, sehingga memulihkan hak asasi orang Tionghoa Indonesia. Pada tahun 2003 Presiden Megawati Sukarnoputri meresmikan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia disahkan pada tahun 2006, dimana di dalamnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang Indonesia asli adalah mereka yang menjadi warga negara Indonesia sejak lahir dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri. Menteri Hukum dan HAM pada saat itu juga menjelaskan bahwa dengan disahkannya UU No. 12/2006 ini menandakan bahwa orang Tionghoa merupakan bagian dari suku Indonesia, sehingga segala kebudayaannya diakui sebagai kebudayaan Indonesia.
Perubahan-perubahan yang dilakukan setelah reformasi memberikan dampak yang besar bagi masyarakat Tionghoa. Walau tidak langsung hilang semua prasangka buruk kepada orang Tionghoa yang dibangun oleh rezim Suharto, tetapi hubungan kemasyarakatan masyarakat Tionghoa dan masyarakat lainnya relatif lebih baik. Orang Tionghoa sudah mulai diterima dalam kehidupan berpolitik dan bernegara. Mereka tidak dimusuhi atau dianak tirikan lagi di Indonesia, keberadaan mereka sudah diakui. Tetapi pemikiran seperti ini tidak sepenuhnya mengubah cara pandang keseluruhan masyarakat Indonesia, diskriminasi dan pernyataan berunsur SARA masih tetap ditemui hingga sekarang ini. Dengan kebebasan dan kesetaraan yang dimiliki orang Tionghoa Indonesia sebagai WNI, memunculkan tokoh-tokoh Tionghoa baru dalam dunia politik yang turut membangun negeri ini seperti Kwik Kian Gie yang pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada era Presiden Megawati, Mari Elka Pangestu yang pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada era Presiden Yudhoyono, dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menjadi Gubernur DKI Jakarta pertama dari etnis Tionghoa. Ahok adalah sosok Gubernur fenomenal yang terkenal karena keberaniannya mendobrak birokrasi lama yang menjadi sarang KKN dan Gubernur yang terkenal tegas dan berani demi membela rakyat kecil dari pejabat yang rakus.
Tokoh-Tokoh Tionghoa Lainnya Tentu saja sebenarnya banyak sekali nama-nama orang Tionghoa yang berjasa dalam membangun negeri ini. Selain dari nama para pejuang dan negarawan yang telah disebutkan di atas terdapat sederet tokoh Tionghoa Indonesia yang telah berkontribusi membangun Indonesia maupun mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional. Mereka antara lain: Yap Thiam Hien seorang pengacara pejuang dan pembela HAM rakyat kecil pada masa Orde Lama dan Orde Baru; Liem Swi King, legenda badminton Indonesia; Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti atlet badminton Indonesia pertama yang memenangkan mendali emas pada Olimpiade 1992; P.K. Ojong (Auyang Peng Koen) seorang jurnalis terkenal dan pendiri Harian Kompas; Soe Hok Gie seorang aktivis mahasiswa tahun 1960an; Yohanes Surya seorang ilmuwan fisika yang mendorong kemajuan pendidikan di Papua; Joe Taslim seorang aktor terkenal yang sudah berlaga di Hollywood; Kho Ping Ho seorang novelis yang karyanya menjadi bacaan “wajib” anak-anak era 1960-1970an; Chris John seorang petinju kelas bulu dunia; Lie Kim Hok seorang penulis yang mengembangkan sastra Melayu Tionghoa; Gouw Giok Siong seorang pakar hukum Indonesia yang memberikan banyak sumbangan pemikiran untuk kemajuan hukum di Indonesia; Lie Eng Hok seorang perintis kemerdekaan Indonesia; Lo Siaw Ging seorang dokter yang membantu orang tidak mampu dan tidak pernah meminta bayaran atas jasanya; Ong Hok Ham seorang sejarawan dan cedikiawan Indonesia; Lie Tek Tjeng seorang penulis, sinolog, dan peneliti; dan masih banyak lagi.
Penutup Sebuah pesan yang ingin disampaikan bahwa orang Tionghoa adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak dan martabat yang sederajat. Mereka tidak berbeda dengan warga negara lainnya. Mereka juga berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, mereka juga berjuang mempertahankan negeri ini, mereka juga berkontribusi dalam pembangunan Indonesia dan juga ikut serta mengharumkan nama Indonesia di dunia Internasional. Sesungguhnya hati dan cinta mereka sudah tertaut di negara Indonesia. Tidak ada lagi sangsi mengenai kesetiaan mereka terhadap NKRI. Bagi mereka yang masih merasa orang Tionghoa sebagai penumpang di negara ini, bekacalah apa yang sudah engkau berikan bagi kebesaran negara ini? Apakah sebanding dengan pengorbanan dan kontribusi tokoh-tokoh Tionghoa untuk kebesaran Indonesia? Untuk mereka orang keturunan Tionghoa, walau butuh perjuangan yang besar untuk tinggal di negara ini, banggalah menjadi orang Tionghoa sebab suku Tionghoa juga berjasa bagi negara ini, dan janganlah menutupi karena malu akan identitas Tionghoa, karena menjadi Tionghoa bukanlah sebuah dosa.
“Suara intelektualitas yang tidak terlukiskan, karena itu dituliskan” BERPIKIR BESAR, dan BERTINDAK!
DIREKTORAT JENDERAL KAJIAN DAN AKSI STRATEGIS KEMENTERIAN KEMAHASISWAAN LEMBAGA KEPRESIDENAN MAHASISWA 2015/2016 UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN