KAJIAN MODEL PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 (Analisa Putusan BPSK dan Putusan Banding Pengadilan Negeri Surakarta) Tegar Harbriyana Putra Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS Email:
[email protected]
Jamal Wiwoho Dosen Fakultas Hukum UNS Abstract This study aims to determine the model of dispute resolution in Consumer Dispute Settlement of disputes in BPSK and the District Court. To achieve these objectives, then the non-doctrinal legal research. The type of data used are primary and secondary data to study the document, selanjutrnya analyzed using qualitative research data analysis. From the results of this research is that the model of dispute resolution used in the Consumer Dispute Settlement Board is arbitration. While in the District Court using the model of dispute resolution in effect on the settlement ordinary civil cases. Obstacles faced by the Consumer Dispute Settlement Board, among others, differences in cultural background of each member of the Consumer Dispute Settlement Board, the issue of infrastructure is inadequate, regulatory rules that are incomplete and confusing and
to these obstacles include the need for an increase in human resources, particularly for judges in order to better master arbiter of the law, given that not all judges arbiters have a background in law, as well as the need for regulation of the Act are clear about boundaries authority of the Consumer Dispute Settlement Board and the District Court. Keywords: Model Dispute Resolution, Consumer Dispute Settlement Board, the District Court Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Pengadilan Negeri Surakarta, serta untuk mengetahui hambatan dan solusi dalam penyelesaian sengketa di BPSK dan Pengadilan Negeri. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan penelitian hukumnon doktrinal. Jenis data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder dengan studi dokumen, selanjutrnya dianalisis dengan menggunakan penelitian analisa data secara kualitatif. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa model penyelesaian sengketa yang digunakan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu arbitrase. Sedangkan di Pengadilan Negeri menggunakan model penyelesaian sengketa yang berlaku pada penyelesaian perkara perkara perdata biasa. Hambatan yang dihadapi oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen antara lain perbedaan latar belakang kultur masing-masing anggota Badan
155
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
Penyelesaian Sengketa Konsumen, permasalahan sarana dan prasarana yang kurang memadai, regulasi peraturan yang tidak lengkap dan membingungkan dan sulitnya dalam pemanggilan para pihak yang bersengketa. Sedangkan hambatan di Pengadilan Negeri yaitu memerlukan waktu sehingga akan mengganggu atau menghambat kegiatan bisnis khususnya bagi pelaku usaha, begitu juga bagi konsumen, susahnya memanggil para pihak yang bersengketa. Solusi terhadap hambatan tersebut diantaranya perlu adanya peningkatan Sumber Daya Manusia, khususnya bagi hakim arbiter agar supaya lebih menguasai tentang hukum, mengingat tidak semua hakim arbiter mempunyai latar belakang dibidang hukum. Perlu adanya regulasi Undang-Undang yang jelas mengenai batas kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Pengadilan Negeri. Kata Kunci: Model Penyelesaian Sengketa, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pengadilan Negeri
A. Pendahuluan Pesatnya pertumbuhan perekonomian dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi telekomunikasi dan informatika turut mendukung perluasan ruang lingkup dan gerak transaksi persaingan usaha barang dan jasa.Pada era perdagangan bebas membuat persaingan usaha menjadi semakin ketat. Ketatnya persaingan usaha ini menumbuhkan kreasi-kreasi untuk menciptakan produkproduk baik jasa maupun barang perdagangan. Produk di bidang jasa yang berkembang sangat pesat sampai saat ini adalah bidang pembiayaan, karena perluasan usaha dan pemenuhan peralatan modal membutuhkan pembiayaan. Persaingan yang sehat antar pelaku usaha sesungguhnya tidaksalah, dengan ketentuan diimbangi peningkatan kualitas dan mutu barangdan/ atau jasa serta didukung pelayanan yang jujur, baik serta pemberianinformasi yang benar dari pelaku usaha kepada konsumen tentu akan sangat bermanfaat dan menguntungkan konsumen. Berbeda jika persaingan usaha hanya didasarkan pada pencarian keuntungan belaka dari pelaku usaha dengan cara yang tidak sehat, maka sudah tentu dapat berakibat buruk bagi konsumen. Potensi demikian dapat menimbulkan terjadinya sengketa konsumen antara konsumen dengan pelaku usaha. Untuk dapat menjamin suatu penyelenggaraan 156
perlindungan konsumen, maka pemerintah menuangkan perlindungan konsumen dalam bentuk suatu produk hukum, yaitu UndangUndang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang untuk selanjutnya akan disebut sebagai UUPK). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK dinyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh prilaku pelakuusaha penyedia kebutuhan konsumen (AZ. Nasution, 2003: 6-7). Menurut UUPK terdapat dua cara penyelesaian sengketa, pertama melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan putusan yang bersifat pertentangan (adversarial) yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, bahkan cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang bersengketa (Rachmadi Usman, 2003: 3). Penyelesaian dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999
Tegar Harbriyana Putra. Kajian Model Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam ...
tentang Perlindungan Konsumen, bahwa penyelesaian sengketa konsumen bisa melalui dua (2) cara yaitu, dengan cara litigasi dan non litigasi. Penyelesaian dengan jalan litigasi bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 48 UUPK disebutkan bahwa “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45”. Sedangkan mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau non litigasi bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 47 UUPK disebutkan bahwa “Penyelesain sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/ atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen”. Pasal 45 ayat (1) UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ditentukan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum. Sedangkan dalam Pasal 45 ayat (2) disebutkan, bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa dengan cara ini disebut cara kekeluargaan. Dengan cara penyelesaian sengketa secara damai sesungguhnya yang paling diinginkan. Diusahakan bentuk penyelesaian sengketa yang mudah dan relatif lebih cepat. Ketentuan Pasal 54 ayat 3 UUPK menyebutkan bahwa Putusan BPSK secara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi bersifat bahwa penyelesaian sengketa telah selesai dan berakhir. Sedangkan kata mengikat
mengandung arti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihakyang diwajibkan untuk itu. Prinsip res judicata pro veritate habetur, menyatakan bahwa suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan upaya hukum, dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti. Namun jika pasal tersebut dihubungkan dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa terhadap putusan BPSK yang menyelesaikan sengketa konsumen dengan pelaku usaha dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri,dan terhadap putusan Pengadilan tersebut dapat diajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini bertentangan dengan putusan BPSK sehingga dengan demikian ketentuan pasalpasal tersebut saling kontradiktif. Banyaknya praktek-praktek usaha di bidang pembiayaan dengan sistem perjanjian fidusia yang dilakukan pelaku usaha baik bank maupun non bank termasuk lembaga pembiyaan ( ) menyebabkan tingkat konsumsi masyarakat khususnya di Kota Surakarta menjadi meningkat terutama konsumsi di bidang otomotif baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Namun permasalahan mulai muncul ketika banyak debitur yang tidak bisa menepati perjanjian yang telah dibuat dengan pengusaha. Seperti pada kasus ini dimana antara konsumen dan lembaga pembiayaan sepakat mengadakan perjanjian pembiayaan konsumen dan pengakuan hutang oleh PT. Andalan Finance dengan No. 4095/J/95/110783. Bermula dari konsumen tidak lagi melakukan pelaksanaan pembayaran angsuran sesuai dengan kesepakatan. Sehingga kasus ini dilaporkan ke BPSK sebagai lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa konsumen, dan kemudian berlajut ke tingkat Pengadilan Negeri. Berdasarkan uraian di atas, maka dakam
157
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
artikel ini hendak dibahas mengenai model penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dan Pengadilan Negeri Surakarta.
B. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian hukum non doktrinal dengan pendekatan yuridis empiris, yakni menganalisa model penyelesaian sengketa konsumen yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999. Adapun sumber data penelitian ini berasal dari hakim BPSK Surakarta dan hakim Pengadilan Negeri Surakarta yang menangani sengketa konsumen. Cara pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dengan menggunakan teknik analisis data secara kuantitatif, ialah suatu cara penelitian yang menggunakan dan menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis maupun lisan dan juga perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh (Lexy J. Moleong, 1993:103).
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Asal mula istilah “konsumen” berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer atau dalam bahasa Belanda yaitu consument. Konsumen membelanjakan atau menggunakan, pemakai atau pembutuh (N.H.T. Siahaan, 2005: 23). Konsumen bisa juga diartikan sebagai consumer adalah “lawan (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”. Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, pengertian konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian, terdiri atas: 1) Konsumen dalam arti umum yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu. 2) Konsumen antara adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya dengan tujuan 158
komersial. Konsumen ini sama dengan pelaku usaha. 3) Konsumen akhir adalah setiap orang alami (natuurlijke persoon) yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadinya, keluarga dan/atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Sudikno Martokusumo dalam bukunya Mengenai Hukum, Suatu Pengantar, menyatakan bahwa dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan itu sendiri berarti tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.Mengenai hak konsumen, diatur dalam Pasal 4 UUPK, yakni: 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. 2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. 3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 4. Hak untuk didengar keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. 7. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 8. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Tegar Harbriyana Putra. Kajian Model Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam ...
9. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Dalam kasus yang penulis teliti, Riyadi sebagai Pengadu dan PT. Andalan Finance Cabang Surakarta sebagai Teradu. Bahwa pada tanggal 24 Juni 2011 Pengadu telah mengadakan perjanjian pinjam uang dengan Teradu. Berdasarkan perjanjian tersebut: a. Pengadu memperoleh pinjaman sebesar Rp.36.500.000,- (tiga puluh enam juta lima ratus ribu rupiah). b. Pengembalian hutang disepakati selama 24 bulan ( 2 tahun), dengan besar angsuran perbulan Rp.1.817.000,- (satu juta delapan ratus tujuh belas ribu rupiah), c. Dengan adanya hutang uang tersebut, Pengadu menjaminkan mobil atas nama H. Suwito Hadi Suprapto, Merk Suzuki Carry, Type ST100, Jenis MPNP, Model Stattion Wagon, Warna Biru Metalic, Nomor Rangka MHYESL4102J,NIK 641932, Nomor Mesin F10A-ID-641932, Tahun2002, Nomor PolisiAD 8710 ME. Mobil tersebut merupakan milik orang tua Pengadu. Bahwa Pengadu pada angsuran pertama (Agustus 2011), terlambat untuk membayar angsuran. Bahwa pada saat Pengadu akan membayar angsuran pertama (Agustus 2011), ternyata pihak Teradu meminta pembayaran angsuran dua bulan sekaligus (Agustus dan September 2011) dan hal ini tidak bisa dipenuhi oleh Pengadu. Pada saat Pengadu akan membayar angsuran kedua (september 2011), yaitu di bulan oktober 2011, ternyata sudah tidak dapat diterima oleh Teradu, dan kemudian Teradu melakukan penarikan (penyitaan) terhadap mobil Suzuki Carry AD 8710 ME. Bahwa Pengadu pernah menerima surat pemberitahuan penyelesaian kewajiban pembayaran dari Teradu yaitu surat No. 28/ ASL/SPPK/X/2011, tertanggal 25 oktober
2011 yang isinya antara lain menetapkan kepada Pengadu untuk menyelesaikan kewajibannya sebesar Rp.42.432.300,- (empat puluh dua juta empat ratus tiga puluh dua ribu tiga ratus rupiah) paling lambat tanggal 5 November 2011. Oleh karena Pengadu diharuskan melunasi seluruh sisa hutangnya sebesar Rp.42.432.300,(empat puluh dua juta empat ratus tiga puluh dua ribu tiga ratus rupiah) Pengadu merasa keberatan dan merassa tidak sanggup untuk melunasi. Bahwa sebelum tanggal 5 November 2011, Pengadu bermaksud menanyakan keadaan mobil yang dijadikan jaminan, ternyata mobil tersebut telah dijual oleh pihak Teradu. Dengan adanya peristiwa seperti terurai diatas, maka Pengadu merasa dirugikan : a. Bila harus melunasi seketika sebesar Rp.42.432.300,- (empat puluh dua juta empat ratus tiga puluh dua ribu tiga ratus rupiah), Pengadu merasa keberatan, karena seharusnya kewajiban tersebut bisa diangsur, dan jatuh temponya masih lama. b. Dengan ditahannya mobil, Pengadu harus mengeluarkan biaya tambahan yang tidak sedikit. Berdasarkan surat pengaduan tersebut, Pengadu memohon kepada BPSK kota Surakarta, untuk membantu menyelesaikan masalah diajukan olehnya, dan mengajukan tuntutan sebagai berikut : a. P T. A n d a l a n F i n a n c e ( Te r a d u ) mengembalikan mobil suzuki Carry AD 8710 ME, sesuai dengan keadaan waktu diambil; b. Pengadu diperbolehkan untuk mengangsur kembali sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati; c. Biaya kerugian materiil selama mobil ditarik, karena harus mengeluarkan biaya transport tambahan sebesar RP. 750.000 x 13 bulan = Rp.9.750.000,- (sembilan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
159
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
AmarPutusan BPSK Nomor 04-16/LS/ IX/2012/BPSK.Ska Tanggal, 25 Oktober 2012 atas nama Sdr. Riyadi melawan PT. Andalan Finance 1. Mengabulkan permohonan (konsumen) untuk sebagian; 2. Menyatakan bahwa surat perjanjian pembiayaan konsumen dan pengakuan hutang No. 4095/J/95/110783, yang dibuat dan ditandatangani (disepakati bersama pada tanggal 28 Juli 2011), batal demi hukum; 3. Menghukum kepada Pengadu untuk mengembalikan uang tunai yang pernah diterimanya sebesar Rp. 34.210.000,(tiga puluh empat juta dua ratus sepuluh ribu rupiah) seketika atau secara bersamasama pada saat menerima penyerahan kendaraan bermotor ysang menjadi objek perjanjian pembiayaan konsumen dan pengakuan hutang No.4095/J/95/110783; 4. Menghukumkepada Teradu menyerahkan kendaraan bermotor yang menjadi objek pembiaayaan konsumen dan pengakuan hutang No.4095/J/95/110783, seketika setelah putusan ini dibacakan dan diberitahukan kepada para pihak; 5. Menghukum Teradu menyerahkan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) yang menjadi objek perjanjian pembiayaan konsumen dan pengakuan hutang No. 4095/J/95/110783, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya kepada Pengadu secara Bersamaan dengan penyerahan kendaraan sebagaimana diputuskan dalam putusan 4 diatas; 6. Menghukum kepada pihak Teradu unutk menberikan ganti rugi kepada pihak Pengadu atas penarikan yang menjadi objek perjanjian konsumen dan pengakuan hutang No. 4095/J/95/110783, berupa biaya transportasi sejak kendaraan ditarik dengan ganti rugi Rp. 750.000,-/bulan, yang dialami Pengadu selama 13 bulan, atau sebesar Rp.9.750.000.- (sembilan
160
juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) (Rp. 750.000 x 13 bulan), yang dapat dikurangkan dari kewajiban Pengadu kepada Teradu; 7. Menolak permohonan Pengadu (konsumen) yang lain dan selebihnya. Bahwa atas putusan dari BPSK Kota Surakarta Nomor 04-16/LS/IX/2012/BPSK.Ska Tanggal, 25 Oktober 2012 tersebut diatas, pelaku usaha mengajukan Keberatan/ Banding ke Pengadilan Negeri Surakarta. Amar Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No. 233/Pdt.G/2012/ PN.Ska antara PT. Andalan Finance melawan Riyadi Bahwa terhadap keberatan yang diajukan oleh Pemohon Keberatan tersebut, maka Pengadilan Negeri Surakarta mengambil putusan, yang tertuang dalam amar putusan Pengadilan Negeri Surakarta No. 233/ Pdt.G/2012/ PN.Ska tanggal 13 Desember 2012, yang amar putusannya sebagai berikut : 1. Menyatakan pengajuan Keberatan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang; 2. Menyatakan Pengajuan Keberatan melalui Pengadilan Negeri Surakarta tidak sesuai dengan tata cara pengajuan yang diatur dalam Undang-undang; 3. Menyatakan Keberatan terhadap Putusan BPSK Nomor 04-16/LS/IX/2012/BPSK. Ska tertanggal 25 Oktober 2012 yang diajukan Pemohon Keberatan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surakarta tidak dapat diterima; 4. Menghukum Pemohon Keberatan untuk membayar biaya perkara yang timbul hingga saat ini sebesar Rp. 196.000,(seratus sembilah puluh enam ribu rupiah). Oleh karena Pengajuan Keberatan yang diajukan ditolak oleh Pengadilan Negeri Surakarta dikarena domisili Tergugat bukan diwilayah kota Surakarta melainkan di
Tegar Harbriyana Putra. Kajian Model Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam ...
wilayah Sragen, maka Pemohon mengajukan Keberatan ke pengadilan Negeri Sragen. Amar Putusan Pengadilan Negeri Sragen No. 55/Pdt.G/BPSK/2012/ PN.SRG Dalam Perkara Keberatan Terhadap Putusan BPSK antara PT. Andalan Finance (Pemohon Keberatan) melawan Riyadi (Termohon Keberatan) Bahwa terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surakarta yang menolak Keberatan Pemohon yang dikarenakan Pemohon mengajukan domisili Tergugat bukan diwilayah kota Surakarta melainkan di wilayah Sragen, maka Pemohon mengajukan Keberatan ke pengadilan Negeri Sragen. Dengan diajukannya Keberatan Tersebut oleh Pemohon Keberatan, maka Pengadilan Negeri Sragen mengambil keputusan, yang mana dalam amar keputusannya sebagai berikut : 1. Menolak keberatan dari Pemohon Keberatan; 2. Menguatkan P utusan BP SK Kot a Surakarta Nomor : 04-16/LS/IX/2012/ BPSK.Ska Tanggal 25 Oktober 2012; 3. Membebankan biaya perkara ini kepada Pemohon Keberatan sebesar Rp. 219.000,(dua ratus sembilan belas ribu rupiah). Model Penyelesaian Sengketa Konsumen ol eh BPSK dan Pengadi lan Negeri Surakarta Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen (Praditya, 2008: 135). Berkaitan dengan sengketa konsumen, pada pasal 4 UUPK huruf e, bahwa upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut merupakan salah satu hak yang memberikan jaminan bahwa setiap konsumen berhak atas mendapatkan penyelesaian sengketa konsumen yang dihadapinya yakni dengan cara menggugat pelaku usaha melalui lembaga yangbertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen
dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Untuk penyelesaian sengketa konsumen,Pasal 45 ayat (1)UUPK sendiri membagi penyelesaian konsumen manjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) dan penyelesaian sengketa di peradilan (litigasi) yang berada dilingkungan peradilan umum dalam hal ini Pengadilan Negeri dengan cara mengajukan gugatan perdata, baik atas dasar Wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum. Penyelesaiansengketa di luar pengadilan (non litigasi) dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri dan penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 49,yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan (litigasi) dianggap tidak efektif dan efisien sehingga akan mengganggu atau menghambat kegiatan bisnis. Hal ini disebabkan proses berperkara ke pengadilan harus menempuh prosedur beracara yang sudah ditetapkan dan tidak boleh disimpangi, sehingga memerlukan waktu yang lama, tidak melindungi kerahasiaan, serta hasilnya ada pihak yang kalah dan yang menang, sehingga akan memperpanjang persengketaan karena dimungkinkan melanjutkan perkara ke pengadilan yang lebih tinggi (upaya hukum) meskipun terdapat asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah (Hanum Rahmaniar Helmi, 2015: 10).Hal tersebut yang menyebabakan masyarakat sekarang lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa dengan cara non litigasi, salah satunya adalah melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Prinsip penyelesaian sengketa di BPSK adalah cepat, murah dan sederhana. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.BPSK ini dibentuk
161
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana. Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan, terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha, karena sengketa diantara konsumen dan pelaku usahabiasanya nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya ke pengadilan karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan dituntut. Pembentukan BPSK sendiri didasarkan pada adanya kecenderungan masyarakat yangsegan untuk beracara di pengadilan karena posisi tidak seimbang dengan pelaku usaha. Ketika para pihak yang bersengketamemilih penyelesaian sengketa di luar peradilan yaitu BPSK, dengan demikian pihak yang bersengketa berkewajibanuntuk memilih cara penyelesaian yang ada atau yang tersedia/ ditentukan di BPSK. Model penyelesaian sengketa konsumen yang disediakan oleh BPSK (sesuai Pasal 54 ayat (4) jo. Pasal 26 sampai Pasal 36 Kepmenperindag No. 350/ MPP/12/2001), diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Persidangan dengan cara konsiliasi Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa diantara para pihak yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak (Susanti Adi Nugroho, 2011: 106).P.C Rao mendefinisikan konsiliasi sama dengan mediasi:“A non binding procedure in which discussions between the parties are initiated without the intervention of any third party with object of arriving at a negotiated settlement of the dispute”(Susanti Adi Nugroho, 2011: 106).Proses Konsiliasi melibatkan pihak lain di luar pihak yang bersengketa yang bersikap pasif dan netral yang disebut sebagai konsiliator. Pada sengketa konsumen, yang bertindak sebagai konsiliator adalah majelis yang
162
telah disetujui oleh BPSK. Konsiliator yang memilliki latar belakang pengetahuan mengenai konsumen tentunya akan dapat lebih mempermudah membantu para pihak untuk mencapai kata sepakat. Konsiliator hanya melakukan tindakan seperti :\ mengatur waktu dan tempat pertemuan oleh para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan dan membawa pesan dari satu pihak ke pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung oleh para pihak (Susanti Adi Nugroho, 2011: 106). Konsiliator dapat mengusulkan solusi penyelesaian sengketa, tetapi t i d ak b er we n a ng u nt uk m em u t u s perkaranya.Pihak-pihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuan atas usulan konsiliator dan menjadikannya sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa. Dalam hal ini, majelis BPSK menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak yang bersengketa, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti kerugiannya. Pasal 29 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001, menyebutkan bahwa prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi ada 2 cara yaitu : a. Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak sedangkan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bertindak pasif sebagai konsiliator, dan; b. Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antar konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis
Tegar Harbriyana Putra. Kajian Model Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam ...
yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, dan diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut. 2. Persidangan dengan cara Mediasi Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah di mana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan(Susanti Adi Nugroho, 2011: 109). Black, Hendry “Medi ati on: Private informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decition on parties”(Susanti Adi Nugroho, 2011: 110). Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh pihak ketiga netral yang disebut mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen. Mediator tidak berwenang memutuskan sengketa para pihak.Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang diserahkan kepadanya. Dalam sengketa di mana salah satu pihak lebih kuat dan cenderung menunjukkan kekuasaannya, pihak ketiga memegang peran penting untuk menyetarakannya. Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi, jika pihak yang bersengketa berhasil mencapai saling pengertian dan
bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa dengan arahan konkret dari mediator.Mediator bertindak lebih aktif dengan memberikan nasihat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa. Pada proses mediasi ini adalah atas permintaan para pihak, mediator dapat meminta diperlihatkan bukti baik surat dan/atau dokumen lain yang mendukung dari kedua belah pihak. Atas persetujuan para pihak atau kuasanya, mediator dapat mengundang seorang atau lebih saksi atau saksi ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang terkait dengan sengketanya. Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi. Dimana proses ini merupakan proses penyelesaian sengketa melalui proses mediasi di mana dalam hal-hal tertentu para pihak baik konsumen atau pelaku usaha masing-masing dimediasikan secara terpisah. Hal ini diperlukan jika para pihak sulit untuk didamaikan. Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis, yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa yang diserahkan kepada Majelis BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut. 3. Persidangan dengan cara Arbitrase BerdasarkanUndang-undang No. 30 Tahun 1999, pengertian arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam proses ini, pihak bersengketa mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga netral dan memberinya wewenang untuk memutus.
163
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
Dalam Kepmenperindag RI Nomor 350/ MPP/Kep/12/2001 tentangPelaksanaan T u g a s d a n We w e n a n g B P S K penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal inipara pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketakepada BPSK”. Penyelesaian sengketa melalui arbritase melibatkan pihak ketiga netral yaitu arbiter. Pada persidangan dengan cara arbitrase, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa yang terjadi. Proses pemilihan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menurut Pasal 32 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 dengan cara arbitrase dapat ditempuh melalui 2 (dua) tahap, yaitu: a. Para pihak memilih arbiter dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. b. Arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbiter ketiga dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, jadi unsur pemerintah selalu dipilih untuk menjadi ketua Majelis. Penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan caramediasi dan konsiliasi memberikan kewenangan yang lebihbesar kepada para pihak untuk menyelesaikan danmenemukan sendiri penyelesaian masalahnya. Sedangkanlembaga, baik mediator dan konsiliator sebagai pihak ketigayang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa konsumen olehpara pihak, bersifat netral dan tidak berwenang untukmemutus (Munir Fuady, 2000: 33). 164
Hasil penyelesaian sengketa mediasi dan konsiliasi adalah kesepakatan para pihak yang prosesnya dibantu oleh anggota BPSK sebagai mediator atau konsiliator, maka putusan yang dikeluarkan BPSK tidak lebih dari suatu pengesahan terhadap kesepakatan para pihak, dan tidak akan ada putusan yang akan dikeluarkan oleh BPSK tanpa adanya kesepakatan para pihak. Putusan BPSK hanya memberikan kekuatan hukum bagi kesepakatan yang telah disetujui oleh para pihak untuk kemudian dipatuhi(Susanti Adi Nugroho, 2008: 242).Putusan yang dikeluarkan oleh BPSK berbentuk penetapan dan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha. Berbeda halnya jika para pihak memilih carapenyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, parapihak yang bersengketa dapat mengemukakan masalahmereka kepada pihak ketiga yang netral dan memberikanwewenang untuk memberikan keputusan yang kemudianmengikat para pihak yang bersengketa. Jika para pihaksudah sepakat memilih salah satu mekanisme penyelesaian sengketa mengalami kegagalan dalam membuat kesepakatan, maka para pihak tersebut tidak dapat melanjutkan proses penyelesaian sengketanya dengan menggunakan mekanisme lainnya yang sebelumnya tidak dipilih. Penyelesaian selanjutnya hanya dapat dilanjutkan melalui badan peradilan umum, hal mana menunjukkan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa di BPSK tidak berjenjang sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Kepmen No. 350 / 2001. Jika para pihak tidak menerima atas putusan yang telah dikeluarkan oleh BPSK, maka para pihak dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri dengan jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak putusan
Tegar Harbriyana Putra. Kajian Model Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam ...
tersebut diucapkan oleh majelis BPSK. Dalam kasusyang penulis teliti, pihak konsumen yaitu Riyadi memilih untuk menyelesaikan sengketa konsumen melalui BPSK. Setelah berkas pengaduan diserahkan, kemudian dilakukan tahapan pemeriksaan oleh BPSK kota Surakarta atas pengaduan yang dilakukan konsumen. Dalam pengaduan konsumen tersebut tercatat didalam register perkara BPSK kota Surakarta BPSK Nomor 04-16/LS/ IX/2012/BPSK.Ska. Sebelum melangkah lebih lanjut, padapersidangan pertama ketua majelis BPSK wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketayaitu Riyadi (Pengadu) dengan PT. Andalan Finance (Teradu), akan tetapi upaya perdamaian tersebut tidak berhasil. Kemudian para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa konsumen tersebut melalui arbitrase. Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar Pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkansepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 Kepmen No. 350/2001 disebutkan bahwa konsumen akan memilih salah satu arbiter konsumen yang terdiri dari tiga orang, demikian pula pengusaha akan memilih 1 (satu) arbiter pengusaha dari 3 (tiga) arbiter yang ada. Sedangkan ketua majelis hakim BPSK adalah seorang dari 3 (tiga) wakil pemerintah dalam BPSK. Bentuk dan besarnya ganti rugiyang menentukan adalah majelis BPSK bukan para pihak, karena para pihak telah menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa konsumen kepada majelis BPSK,sehingga penyelesaian sengketa konsumen dibuat dalam bentuk Putusan BPSK. Dalam kasus yang penulis teliti yang mana sengketa konsumen yang telah diputus oleh BPSK dengan Nomor
04-16/LS/IX/2012/BPSK.Ska, tanggal 25 Oktober 2012, bahwa model penyelesaian sengketa di BPSK Kota Surakarta yang dalam hal ini menggunakan arbitrase. Dalam kasus yang tersebut diatas, terdapat salah satu pihak yaitu Termohon (PT. Andalan Finance) yang tidak menerima putusan BPSK kota Surakarta Nomor 04-16/LS/IX/2012/BPSK.Ska tanggal 25 Oktober 2012 dalam perkara sengketa konsumen yang dihadapinya. Atas putusan majelis hakim BPSK kota Surakarta tersebut, selanjutnya termohon/ pelaku usaha mengajukan keberatan atau banding ke Pengadilan Negeri Surakarta.Sebab dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa terhadap putusan BPSK dapat diajukan keberatan ke pengadilan. Keberatan adalah upaya bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak menerima putusan BPSK.Ketentuan Perma No.1 Tahun 2006 Pasal 6 ayat (2) tentang tata cara pemeriksaan keberatan dinyatakan bahwa pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan BPSK dan berkas perkara, hal ini mirip dengan upaya hukum banding. Perma No. 1 Tahun 2006 mengatur bahwa keberatan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK (sesuai Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara PengajuanKeberatan Terhadap Putusan BPSK) dan dalam hal diajukan keberatan, BPSK bukan merupakan pihak (sesuai Pasal 3 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata CaraPengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK). Keberatan diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata (sesuai Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Mahkamah
165
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata CaraPengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK).Dan dalam hal keberatan diajukan oleh konsumen dan pelaku usaha terhadap putusan BPSK yang sama, maka perkara tersebut harus didaftar dengan nomor yang sama (sesuai Pasal 5 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata CaraPengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK). Bahwa atas dasar putusan BPSK kota Surakarta Nomor 04-16/LS/IX/2012/ BPSK.Ska tanggal 25 Oktober 2012 tersebut diatas, Pelaku usaha mengajukan Keberatan atau Banding ke Pengadilan Negeri Surakarta kemudian diterima dandicatat di register oleh Panitera Pengadilan Negeri Surakarta tertanggal 08 Novermber 2012 dengan Nomor Perkara: No. 233/Pdt.G/2012/ PN.Ska. Atas dasar pengajuan keberatan tersebut, maka yang sebelumnya PT. Andalan Finance dulu sebagai Teradu, sekarang menjadi Pemohon Keberatan dan Riyadi sebagai Termohon Keberatan. Oleh Pengadilan Negeri Surakarta, sengketa konsumen yang telah diajukan oleh para pihak diselasaikan dengan model/ cara penyelesaian sengketa acara perdata biasa. Model penyelesaian sengketa konsumen di pengadilan Negeri pada dasarnya adalah sama, yaitu menggunakan proses beracara perdata biasa, yang mana tahap dan proses persidangan yaitu Pembacaan Gugatan, Usaha Perdamaian, Jawaban Tergugat, Replik Penggugat, Duplik Tergugat, Pembuktian Penggugat, Pembuktian Tergugat, Kesimpulan, Putusan (Djamanat Samosir, 2011: 158).
D. Kesimpulan Model penyelesaian sengketa konsumen di BPSK sesuai dengan Pasal 54 ayat (4) jo. Pasal 26 sampai Pasal 36 Kepmenperindag No. 350/ 166
MPP/12/2001) ada 3 (tiga) yaitu persidangan dengan cara Konsiliasi, Mediasi dan Arbritase. Sedangkan dalam kasus yang penulis teliti, BPSK kota Surakarta menggunakan model penyelesaian sengketa berupa Arbirase. Kemudian, model penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri Sragen menggunakan acara perdata biasa yang berada di lingkup peradilan umum.Dimana sebelumnya telah diupayakan mediasi oleh Pengadilan Negeri Sragen sesuai dengan pasal 130 HIR dan Perma No. 1 tahun 2008 tentang Mediasi. Akan tetapi proses mediasi gagal, dan kemudian dilanjutkan dengan pembacaan gugatan. Dengan demikian, majelis hakim menyatakan bahwa proses beracara perdata atau persidangan dilanjutkan pada tahap berikutnya. Model penyelesaian sengketa di BPSK dengan Pengadilan Negeri pada dasarnya proses beracaranya sama seperti dilingkup peradilan umum. Yang membedakan antara BPSK dengan Pengadilan Negeri, dimana hakim majelis BPSK selalu menawarkan perdamaian pada saat proses persidangan masih berlangsung dan gugatan dapat dicabut. Sedangkan di Pengadilan Negeri, proses perdamaian berupa mediasi hanya ditawarkan pada awal sebelum persidangan dimulai.Kemudian, putusan BPSK tidak mempunyai kekuatan eksekutorial seperti di Pengadilan Negeri, sehingga putusan hakim majelis BPSK tidak sepenuhnya dilakukan oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan atas putusan tersebut. Untuk pelaksanaan eksekusi terhadap putusan BPSK dibutuhkan adanya pengajuan eksekusi ke Pengadilan Negeri.
E. Saran Pembuat Undang-undang diharapkan segera melakukan penyempurnaan berbagai produk Undang-undang yang berkaitan dengan sengketa konsumen terutama mengenai kekuatan mengikat suatu putusan BPSK, agar supaya putusan dari BPSK mempunyai kekuatan eksekutorial sehingga bisa memaksa,
Tegar Harbriyana Putra. Kajian Model Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam ...
khususnya pelaku usaha untuk melakukan putusan dari BPSK. Selain itu juga perlu adanya revisi tentang Undang –Undang No.30 tahun 1999 dan Perma No.1 Tahun 2006, yang mana terdapat beberapa Pasal didalamnya yang membuat terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Maka apabila dilihat dari ketentuan kedua peraturan Perundang-undangan tersebut diatas, perlu ditinjau kembali oleh pemerintah dalam membuat Perarturan Perundang-undangan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penerapan hukum, sehingga adanya kepastian dan perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat bisa terlaksana sesuai dengan ketentuan Undang-undang, khususnya kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat tingkat bawah yang dalam hal ini adalah konsumen yang kebanyakan belum mengerti tentang hukum. Adanya peraturan yang mengatur mengenai tugas dan wewenang BPSK yang justru menimbulkan kontroversi dalam pelaksanaannya, oleh karena itu penulis menyarankan agar pemerintah segera merevisi Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen berkaitan tentang BPSK agar tidak perlu diterbitkan berbagai peraturan perundang-undangan lain yang bertujuan demi kelancaran pelaksanaan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen itu sendiri sehingga pelaksanaannya menjadi lebih efektif.
Daftar Pustaka AZ. Nasution. 2003. “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen”, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei, Jakarta: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Djamanat Samosir. 2011. Hukum Acara Perdata: “Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata”, Bandung: Nuansa Aulia.
Hanum Rahmaniar Helmi. 2015. “Eksistensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Memutus Sengketa Konsumen Di Indonesia”, Jurnal Hukum Acara Perdata, Jhaper: Vol. 1, No. 1, edisi Januari-Juni. Kep.Menperindag. No.350/MPP/ Kep./12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Munir Fuadi. 2000. Arbritase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata CaraPengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. Praditya.2008. Penyelesaian Sengketa Konsumen, Jakarta: Garuda. Rachmadi Usman. 2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan.Bandung: PT.CitraAditya Bakti. Soerjono Soekanto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI. Susanti Adi Nugroho. 2008. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta:Kencana Prenada Media Group. S us anti Adi Nugroho. 2011. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya.Jakarta: Prenada Media Group. Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
167