UNIVERSITAS INDONESIA
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KEHUTANAN BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KHUSUS (PERDASUS) NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN DI PROVINSI PAPUA
T E S I S
NIXON NIKOLAUS NILLA NPM : 1006755872
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JULI 2012
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: NIXON NIKOLAUS NILLA
NPM
: 1006755872
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 03 J u l i 2012
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh : Nama : NPM : Program Studi : Judul Tesis :
NIXON NIKOLAUS NILLA 1006755872 Pascasarjana Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua.
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang/Penguji : Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H.,M.A
(………………......)
Pembimbing
: Dr. Ignatius Sriyanto, S.H.,M.H
(………………......)
Penguji
: Dr. Surastini Fitrasih, S.H.,M.H
(………………......)
Ditetapkan di : J a k a r t a. Tanggal
: 03 Juli 2012
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas segala berkat, rahmat dan penyertaan yang dari pada-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua”. Proses penegakan hukum di bidang kehutanan dilakukan melalui suatu sistem yang dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system). Sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, hal ini sangat berhubungan erat sekali dengan Perundang-Undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana, karena PerundangUndangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana yang akan diwujudkan dalam suatu bentuk penegakan hukum. Dengan demikian, dalam tesis ini akan membahas tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan berdasarkan peraturan daerah khusus (Perdasus) nomor 21 tahun 2008 tentang pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua. Berdasarkan fakta dalam lingkungan masyarakat adat di provinsi Papua selaku pengguna hak ulayat memberikan petunjuk bahwa pengeloaan hutan secara umum dilakukan oleh Negara untuk kemakmuran seluruh warga Negara Indonesia, di samping itu pula secara khusus pengeloaan hutan secara adat (hutan adat) di kelola juga oleh masyarakat adat khususnya di Provinsi Papua, demi kepentingan dan kemakmurannya sendiri yang diamanatkan dalam Otonomi Khusus. Penegakan hukum dalam pengelolaan hutan khususnya hutan adat yang berbasis berkelanjutan pada prinsipnya sangat memerlukan suatu bentuk aturan hukum adat untuk mengaturnya sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di suatu wilayah adat, sehingga dengan demikian Pemerintah Daerah Provinsi Papua menganggap sangat perlu untuk membentuk suatu peraturan yang secara khusus dapat melindungi dan mengakomodir semua hak-hak masyarakat adat di Provinsi Papua pengelolaan hutan adatnya masing-masing, seperti pengelolaan hutan berkelanjutan.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka pada tanggal 20 Desember 2008 dikeluarkan dan disahkannyalah suatu Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Sehubungan hal tersebut diatas, untuk melakukan suatu penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan pasca dikeluarkannya Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua, sudah barang tentu tidak sejalan dengan eksistensi dan implementasi dari Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasca dikeluarkanya Peraturan Daerah Khusus Papua. (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua serta akan berpengaru terhadap regulasi pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan pihak-pihak lain, tesis ini tidak mungkin terwujud, oleh karena itu pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menghanturkan ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Pimpinan Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi pada Fakultas Hukum Program Pascasarjana di Universitas Indonesia; 2. Bapak Rektor dan Wakil-Wakil Rektor Universitas Indonesia; 3. Ketua Progran Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., MH., dan Kepala Sub Program Magister Ilmu Hukum Dr. Nurul Elmiyah, S.H., MH.; 4. Prof. H. Marjono Reksodiputro, S.H., MA., selaku Ketua Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, dan Dr. Ignatius Sriyanto, S.H.,M.H, selaku
Dosen
Pembimbing Utama yang telah dengan sabar memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan tesis ini, serta Ibu Dr. Surastini Fitrasih, S.H.,M.H, selaku penguji yang dengan sabar telah menguji tesis ini.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
5. Bapak dan Ibu Dosen, yang dengan penuh dedikasi yang tinggi telah memberikan pelajaran dan pengetahuan kepada kami selama proses pembelajaran; 6. Seluruh Staf Administrasi pada Program Ilmu Hukum dan Staf Hukum Sekretariat Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, serta Staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang telah mendukung kelancaran selama proses belajar mengajar; 7. Kedua Orang Tua penulis, yaitu Bapak Dominggus Nilla dan Ibu Maria Magdalena Maniagasi, kemudian kepada (Alm) Bapak Mertua ku dan Ibu Mertua ku Yohana Ruru Mangera dan kepada Istri Ku yang tercinta Dian Novita Bualangi, SE, beserta kedua Mutiara ku tersayang Mardo Alesandro Nilla Mahuse, Marsya Agnesia Nilla Mahuse, dan Calon Mutiara ku yang akan dilahirkan, terima kasih yang tak terhingga atas segala kasih sayang, perhatian, semangat, dan kepercayaannya, karena berkat Doa dan dukungan kalian semua, penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan studi S.2 ini pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 8. Saudara dan sahabat ku seperjuangan Jhon Ilef Malamassam, Dede Hendra, Sigid, Devid, Abdi Reza, dan Hajar, serta semua rekan-rekan sesama Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Indonesia tahun angkatan 2010 yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu yang telah bersama-sama berjuang, bahu membahu dalam rangka menyelesaikan proses perkuliahan ini, terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama ini semoga tidak terlupakan dan semoga sukses untuk kalian semua, serta kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara moriil dan materiil kepada penulis dalam penyelesaian studi ini, kiranya Allah Bapa, Allah Anak dan Perantaraan Roh Kudus yang empunya hidup ini memberkati kita semua. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi pihakpihak yang telah banyak membantu, yang tidak disebutkan pada penulisan ini karena keterbatasan penulis. Sebagai manusia yang penuh keterbatasan, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun metode penyajian,
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
sehingga dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua kritik, pendapat dan saran yang bermanfaat bagi penelitian selanjutnya, demi penyempurnaan tesis ini. Akhir kata, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pihak-pihak yang meluangkan waktunya untuk membaca tesis ini dan semoga tesis ini dapat pula memberikan tambahan pemikiran bagi perkembangan Ilmu Hukum Kehutanan, khususnya dalam pengelolaan hutan berkelanjutan di Indonesia.
Salemba, 03 Juli 2012
Nixon N. Nilla Mahuse
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah Ini : Nama NPM Program Studi Departemen Fakultas Jenis karya
: : : : : :
Nixon Nikolaus Nilla 1006755872 Pascasarjana Pendidikan Dan Kebudayaan. Hukum Universitas Indonesia Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua. beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Pada tanggal
: :
Jakarta. 03 Juli 2012
Yang Menyatakan
(NIXON NIKOLAUS NILLA)
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Nixon Nikolaus Nilla : Pascasarjana-Sistem Peradilan Pidana : Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua.
Pengelolaan hutan di Provinsi Papua selama ini belum meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, khususnya masyarakat hukum adat Papua selaku pengguna hak ulayat. Sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, negara dan rakyat Indonesia mengakui, menghormati dan menghargai hak-hak masyarakat hukum adat Papua atas sumber daya alam, termasuk di dalamnya sumber daya hutan. Pengelolaan hutan di Provinsi Papua dilakukan dengan keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat Papua yang dilakukan melalui jalinan kerjasama setara dan adil, dengan tetap perpegang pada prinsip-prinsip kelestarian lingkungan, keadilan dan pemerataan. Metode penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif, yaitu jenis penelitian yang didasarkan pada pemikiran bahwa telaah terhadap permasalahan yang nampak dalam fenomena masyarakat hukum adat di Provinsi Papua yang menggunakan Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua sebagai dasar dalam pengelolaan hutan berkelanjutan dengan dikeluarkanya Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 Tahun 2010 tentang IUPHHK-MHA, kemudian untuk mengumpulkan data penelitian lapangan dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara terhadap para ahli hukum dan petugas penegak hukum dalam hal ini polisi, jaksa, hakim, instansi pemerintah serta Akademisi. Sedangkan Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) serta pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan Undang-undang dilakukan untuk meneliti pasal-pasal yang berkaitan dengan Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2008, sedangkan pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan Kehutanan, serta mencari kejelasan mengenai persepsi (pandangan) masyarakat Papua dan aparat penagak hukum di Papua tentang Peraturan Daerah Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka di peroleh beberapa kesimpulan bahwa Penerapan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua sebagai implementasi Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008 telah diberlakukan di Papua. Dalam penerapannya, fakta membenarkan bahwa adanya perdasus kehutan tersebut telah di terima oleh masyarakat Papua khususnya hampir sebagian besar masyarakat adat di Papua, namun penerapannya belum efektif secara menyeluruh. Hal ini akan menjadi dilema ketika masyarakat hukum adat diperhadapkan dalam dua kondisi aturan yang bertentangan atau tidak sejalan, maka sangat diperlukan regulasi yang bisa membatasi dan memperjelas kedudukan kedua jenis hukum tersebut, dengan kata lain adanya singkronisasi dan harmonisasi aturan Perdasus kehutanan Papua dan aturan-aturan dari menteri kehutanan, dimana apabila hukum adat masih diakui keberadaannya, maka penting bagi negara untuk memberikan ruang bagi pemberlakuan hukum-hukum adat sepanjang dapat menjamin kemakmuran bagi warga Negara dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. Kata Kunci : Eksistensi, Implementasi, Regulasi, Sinkronisasi, Harmonisasi, Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008 tantang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
ABSTRACT Name Study Program Title
: : :
Nixon Nikolaus Nilla Post Graduate-Criminal Justice System Law Enforcement Against Foresty Criminal Act (Illegal Logging) by a Special Local Regulation Number 21 of 2008 on Sustainable Forest Management in Papua Province.
Forest management in Papua province has so far not improve the welfare of the Papuan people, especially the indigenous people of Papua as users of customary rights, and not strengthen the fiscal capacity of government in the province of Papua. Forests in Papua province is a creation and gift of Almighty God, must be used wisely for the welfare of mankind, both current generation and future. Since the enactment of the Law of the Republic of Indonesia Number 21 of 2001 on Special Autonomy for Papua Province, the state and people of Indonesia recognize, honor and respect the rights of Papuan indigenous people over natural resources, including forest resources. Forest management in Papua province is done by partisanship, protection and empowerment of indigenous people of Papua, in order to achieve prosperity and independence in the Republic of Indonesia. Forest management in Papua province through the fabric of equal and fair cooperation, while perpegang on the principles of environmental sustainability, fairness, equity and human rights.The method used is the Judicial Normative, the type of research that is based on the notion that the examination of the problems evident in the phenomenon of indigenous people in Papua province that uses the Papua Special Local Regulation (Perdasus) No. 21 of 2008 on Sustainable Forest Management in Papua Province as the basis of sustainable forest management by the Governor Regulation No. 13 of 2010 on IUPHHK-MHA, and then to collect data on field research carried out using interview techniques to legal experts and law enforcement officers in this case the police, prosecutors, judges, government agencies and academics. While the research approach used in this study is to use the approach of legislation (Statute approach) as well as the approach to the concept (conceptual approach). The law approach taken to examine the articles associated with the Papua Special Local Regulation No. 21 of 2008 on Sustainable Forest Management in Papua province, while the concept of the approach used to understand the concepts related to forestry, as well as seek clarity on the perception the law of Papua and Papua enforcement officials on the Papua Special Local Regulation No. 21 of 2008 on Sustainable Forest Management in Papua Province.Based on the results of research that has been done, then obtained a conclusion that the implementation of Sustainable Forest Management in Papua province as the implementation of the Special Local Regulation No. 21 of 2008 has been enacted in Papua. In practice, a fact confirmed that the Special Local Regulation No. 21 of 2008 has been accepted by the people of Papua in particular most of the indigenous people in Papua, but its application has not been effective as a whole. This will be a dilemma when confronted indigenous peoples in the two conditions of a rule that contradicts or is inconsistent, it is necessary regulations that could restrict and clarify the legal status of both types, in other words, the synchronization and harmonization of rules Special Local Regulation No. 21 of 2008 and rules minister of forestry, which if customary law is recognized, it is important for countries to make room for the application of customary laws to ensure prosperity for all citizens in sustainable forest management. Keywords : Existence, implementation, regulation, synchronizing, Harmonization, Special Local Regulation No. 21 of 2008 on Sustainable Forest Management in Papua province.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………............................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ……………………………………………... HALAMAN PENGESAHAN .…………………………………………….............................. KATA PENGANTAR ……………………………………………............................................. LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …………………………......... ABSTRAK .………..…………………………………………………………………………… ABSTRACT ....………………………………………………………………………………… DAFTAR ISI ………………………….…………….…………………………………............ DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………………. DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………………………...
i ii iii iv viii ix x Xi xiii xiv Xv
1 PENDAHULUAN ………………………………………………………………………… 1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………………………………….. 1.2 Perumusan Masalah ..…………………………………………………………………… 1.3 Tujuan Penelitian ..……………………………………………………………………… 1.4 Manfaat Penelitian .……………………………………………………………………… 1.5 Kerangka Teori .………………………………………………………………………… 1.6 Kerangka Konseptual ..………………………………………………………………… 1.7 Metode Penelitian .……………………………………………………………………… 1.8 Sistematika Penulisan ..…...….…………………………………………………………
1 1 8 10 11 11 22 26 27
2 PENGELOLAAN HUTAN DITINJAU DARI HUKUM DI BIDANG KEHUTANAN…………………………………………………………………………….... 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Hutan dan Hasil Hutan .…………………………………. 2.1.1 Pengertian Hutan, Kehutanan, Asas dan Tujuan Kehutanan ...…….…………… 2.1.2 Status, Fungsi, Dan Pengurusan Hutan ..……………………………................ 2.1.3 Pengelolaan Hutanan ...…………………………………………………............ 2.1.4 Perizinan Kehutan Dan Perlindungan Hutan ....………………………………… 2.1.5 Pemanfaatan Hutan ……………………………………………………………… 2.2 Instrumen Perizinan Tindak Pidana Kehutanan .…...…………………………….…….
28 28 31 36 49 53 56 70
3 EKSISTENSI, IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN..................................................................................... 3.1 Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, Pasca Dikeluarkan Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di
88
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Provinsi Papua …………………………....................................................................
3.2 3.3 3.4
3.5
3.1.1 Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua …………………………………………………………………. 3.1.2 Izin Penggunaan Kawasan Hutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan dalam Peraturan Daerah Khusus Papua ……………………………………………… Hak dan Kewajiban Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat …………………………………………………………….. Pengaturan Sanksi dalam Perdasus 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan …............................................................................................................ Penerapan Hukum Yang Menjadi Kendala Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Kehutanan Di Provinsi Papua ………………………………………………………… 3.4.1 Tumpang Tindih Aturan Hukum ......................................................................... 3.4.2 Sanksi Pidana Terhadap Pelaku ………………………………………………… Analisa Putusan Pengadilan Kasus Tindak Pidan Kehutanan Di Provinsi Papua .….....
97
99 107 113 115 116 116 122 124
4 PENUTUP ............................................................................................................................ 133 4.1 Kesimpulan ..…………………………………………………………………………… 133 4.2 Saran-Saran .…………………………………………………………………………… 134
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Perdasus Papua Mengatur Hak dan Kewajiban Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Hutan …………………………………………………………………...............................
96
Tabel 3.2 Prosedur Perizinan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA) ……………………………………………………………..................................
99
Tabel 3.3 Rangkuman Jenis Izin dan Bentuk Usaha pada Hutan Produksi …………………..........
100
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Peta Suku Wilayah Adat Provinsi Papua dan Papua Barat …………………….............
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
95
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.1 Putusan Peninjauan Kembali atas nama H. Romzan
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sumber daya hutan merupakan salah satu ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa yang memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan alam di jagad raya ini. Sebab di dalam hutan telah diciptakan segala makhluk hidup baik besar, kecil, maupun yang tidak dapat dilihat dengan mata. Di samping itu, di dalamnya juga hidup sejumlah tumbuhan yang menjadi hamparan, yang menjadi satu kesatuan yang utuh. Hal ini menjadi sumber kekayaan yang dapat dikelola dengan baik, yang dipergunakan untuk membangun bangsa dan negara. Oleh karena itu, aset yang terdapat di dalam hutan sangat dibutuhkan untuk menambah pendapatan negara dan pendapatan daerah, sehingga dengan adanya pengelolaan hutan tersebut dapat pula menopang pendapatan masyarakat yang bermukim di sekitar hutan. Sejak awal dekade 1970-an, sektor kehutanan di Indonesia telah memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional sebagai sumber terbesar perolehan devisa non migas, pelopor perkembangan industri, penyedia lapangan kerja, dan penggerak pembangunan daerah. Karenanya, guna mempertahankan produktivitasnya sumber daya ini perlu dijaga kelestariannya. Hutan di Indonesia mempunyai peranan penting baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya maupun ekologi. Namun demikian, sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan nasional, tekanan terhadap sumber daya hutan semakin meningkat. 1Pembangunan kehutanan mempunyai landasan filosofis,2 landasan konstitusional,3 dan landasan operasional,4 yang ketiganya telah ditetapkan secara nasional. Di
1
Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010). 2
Dalam landasan filosofis dijelaskan bahwa pembangunan kehutanan raerupakan suatu bagian dari pembangunan nasional maka harus mampu pula menunjukkan rangkaian usaha yang mancarminkan pengamalan Pancastla, terutama sila kelima Pancasila. Dengan berpegang teguh pada Pancasila, maka bangsa Indonesia dalam membangun kehutanan akan tetap terjaga dan selalu berada dalam rangkuman kiprah pembangunan nasional. 3 Landasan konstitusional pembangunan kehutanan diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 ditegaskan bahwa hutan sebagai salah satu kekayaan alam dengan keanekaragaman fungsinya, yang menyangkut hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
1 Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
samping ketiga landasan tersebut menjadi dasar pembangunan kehutanan, maka landasan yang bersifat teknis operasional juga menjadi landasan dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan. 5 Sumber daya hutan di Indonesia memiliki kandungan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sumber pendanaan pembangunan. Potensi yang sangat besar tersebut, dilandasi suatu fakta bahwa Indonesia dikenal sebagai sebuah negara yang memiliki hutan tropis dataran rendah terluas ketiga di dunia, setelah Saire dan Brasil. Hutan di Indonesia memiliki ekosistem yang beragam mulai dari hutan tropis dataran rendah dan dataran tinggi sampai dengan hutan rawa gambut, rawa air tawar, dan hutan bakau (mangrove), selain itu negara Indonesia merupakan 10 (sepuluh) negara pemilik hutan terluas di dunia. Indonesia luas wilayah 181,2 juta hektar, dengan luas hutan 88 juta hektar, Peru luas wilayah 128 juta hektar, dengan luas hutan 69 juta hektar. 6 Lebih jauh Agung Nugroho mengemukakan, terakhir, sektor kehutanan berperan dalam upaya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah pedalaman yang terpencil. Kegiatan pengusahaan hutan dan industrialisasi kehutanan telah mendorong sektor kehutanan menjelma menjadi tulang punggung ekonomi regional. Fakta paling aktual atas fenomena tersebut adalah besarnya kontribusi sektor kehutanan terhadap angka Produk Domestik Brutto (PDB) 7. Dengan peran dan kontribusi dalam pembangunan ekonomi tersebut, sektor kehutanan secara langsung maupun tidak juga telah membantu terwujudnya proses integrasi sosial kultural berbagai komunitas. Beranjak dari hal di atas, untuk mengembangkan sumber daya hutan sebagai pemasok dana pembangunan, diperlukan suatu data base sumber daya hutan yang dimiliki oleh Indonesia. Namun demikian, untuk mengetahui secara pasti berapa luas hutan di Indonesia, sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan: Pertama, kawasan hutan berarti lahan yang berada di bawah wewenang 4
Landasan operasional dalam pembangunan kehutanan antara lain adalah : Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Ho.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Peraturan Perundangundangan lainnya yang berkaitan dengan pembangunan hutan dan kehutanan. 5 Salim, Dasar-Dasar Kehutanan, (Jakarta Sinar Grafika) 1997, hal., 1. 6 Ibid. 7 Ibid.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Departemen Kehutanan, bukan hanya daerah berhutan. Berdasarkan pengertian ini dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Tahun 1980 luas hutan di Indonesia diperkirakan seluas 143,8 juta ha. Kedua, pelaksanaan inventarisasi hutan relatif terlambat dan ini masih berlanjut. Keadaan ini menyulitkan penentuan berapa luas hutan yang sebenarnya. Sebagai contoh, hasil penelitian Report selama Tahun 1985-1989 atas dasar hasil foto udara 1982, memperkirakan bahwa wilayah hutan mencakup 63% dari seluruh luas hutan Indonesia. Penelitian paling akhir oleh proyek kehutanan 1990 FAO/RI, memperkirakan bahwa wilayah hutan yang paling efektif hanya 109 juta ha atau 57% dari luas daratan nasional. Angka yang sering digunakan untuk luas lahan hutan adalah 140,3 juta ha, terdiri atas 30,8 juta ha hutan lindung, 18,8 juta ha cagar alam dan taman nasional, 64,3 juta ha hutan produksi, dan sekitar 26,6 juta ha hutan telah dialokasikan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian, perumahan, transmigrasi, dan tata guna lahan bukan hutan lainnya 8. Kini kawasan hutan Indonesia tercatat seluas 104.876.635 atau sekitar 54,6% dari keseluruhan total luas daratan. Rinciannya, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan 5.085.209 hektar (terdiri atas 27 unit) dan daratan 18.154.507 hektar (339) unit. Kawasan hutan tersebut terbagi dalam dua kategori. Pertama, kawasan suaka alam yang terdiri atas cagar alam 2.283.142 hektar (168) unit dan suaka margasatwa 3.612.323 hektar (42) unit. Sementara kawasan hutan pelestarian alam meliputi Taman Wisata 299.117 hektar (75) unit, Taman Bum 248.932 hektar (13) unit, Taman Nasional 11.458.993 hektar (30) unit dan Taman Hutan Raya 252.089 hektar (11) unit. Selain kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, luas dan distribusi kawasan hutan juga terdiri atas hutan lindung seluas 30.581.753 hektar yang terdiri atas 472 Daerah Aliran Sungai (DAS). 62 DAS di antaranya termasuk DAS prioritas I, 232 DAS prioritas II dan 176 DAS prioritas III. Terakhir, kawasan hutan produksi yang terdiri atas Hutan Produksi Terbatas (HPT) 17.063.682 hektar, Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 28.675.811 hektar dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 13.717.786 hektar. 9
8 9
Ibid.,hal. 2 Ibid.., hal. 5
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Khusus untuk Provinsi Papua, Hutan di Papua hampir 80% (delapan puluh persen) dari luas wilayah Provinsi Papua 10, yang mana luas kawasan hutan Papua seluas 31.079.185 hektar 11, merupakan salah satu pusat keanekaragaman biodiversity dunia, dengan 16.000 spesies flora. Selain itu terdapat 124 genera angiosperma yang bersifat endemik, dibandingkan dengan 59 genera di Kalimantan, 17 di Sumatera dan 10 di Jawa. Kekayaan sumberdaya hutan ini belum banyak berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Berdasarkan Human Development Index Provinsi Papua menduduki peringkat kedua dari bawah setelah Nusa Tenggara Barat 12. Sesuai dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, perekonomian Provinsi Papua sebagai bagian dari perekonomian nasional dan global diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. Usahausaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sember daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat hukum adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumberdaya alam harus dilakukan berdasarkas prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha. 13 Fakta bahwa di Papua terdapat sekitar 250 suku atau marga yang mempunyai bahasa berbeda dan dalam satu komunitas yang relatif kccil, di sisi lain menguasai areal hutan masyarakat hukum adat yang cukup besar. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masyarakat hukum adat sangat tergantung pada hutan, namun dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan selama ini masyarakat hukum adat belum banyak dilibatkan.
10
Pemerintah Provinsi Papua, Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dan Peraturan Pelaksanaannya, (Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, (Provinsi Papua, 2011) 11 Lokakarya Land Tenure dan Hutan Papua”, http://mrpapua.wordpress.com/Blog Majelis Rakyat Papua, diunduh 08 Mei 2012. 12 Lihat Penjelasan Atas Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua, Op.cit., hal. 2 13 Hadi Setia Tunggal, Himpunan Peraturan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, cet. 1, (Jakarta : Harvarindo, 2011).
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Sejalan dengan semangat otonomi khusus Papua maka diperlukan adanya keberpihakan kepada masyarakat hukum adat dalam pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua. Keberpihakan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan percepatan pembangunan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari daerah lain. Keberpihakan terhadap masyarakat hukum adat meliputi empat bidang pembangunan yang merupakan kebutuhan primer masyarakat hukum adat yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktui dan ekonomi. 14 Salah satu bentuk keberpihakan tersebut adalah melalui pelaksanaan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat hukum adat, dalam bentuk pemberian kesempatan kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan masyarakat hukum adat. Pemberian hak pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat ditekukan dalam bentuk Kesatuan Pcngelolan Hutan Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHK). Pengawasan dan pengendalian diperlukan untuk menjamin bahwa pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat hukum adat Papua dilaksanakan berdasarkan prinsip, kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari. Lestari fungsi produksi, lestari fungsi ekologi, dan lestari fungsi sosial budaya masyarakat hukum adat. Guna memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat hukum adat Papua, maka perlu ditetapkan pengaturan dalam bentuk Peraturan Daerah Khusus. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pengelolaan hutan masyarakat hukum adat dilakukan dengan berasaskan manfaat, lestari, pengakuan dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat, penghormatan HAM, keadilan dan demokrasi, kebersamaan dan transparansi, peningkatan nilai tambah dan keuntungan finansial bagi daerah dan kesejahteraan umat manusia. 15 Pengelolaan hutan dalam bentuk pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat baik sendiri maupun bersama mitra untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mengejar ketertinggalannya dengan warga masyarakat lain dengan tetap
14 15
Ibid., hal. 28 Ibid.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
mengikuti prinsip-prinsip pelestarian fungsi produksi, fungsi ekologi dan fungsi sosial budaya. 16 Bentuk konkrit hak masyarakat Papua dituangkan dalam dua peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Masyarakat Hukum Adat atas Tanah dan peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua. Berdasarkan data Departemen Kehutanan tahun 2005 luas hutan Provinsi Papua 40.803.131,95 Ha, banyak pihak diantaranya lembaga internasional dan pemerintah daerah Papua melihat potensi hutan Papua sebagai satu lokasi penting untuk pengembangan proyek penyerapan dan penyimpanan karbon dalam skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Namun pertanyaan pentingnya adalah bagaimana mengamankan hak-hak masyarakat adat/masyarakat hukum adat papua berdasarkan kondisi kebijakan yang ada, baik kebijakan nasional maupun kebijakan lokal dalam kerangka Otonomi Khusus Papua. Perdasus Papua tidak seperti UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang berikan pengertian hutan dalam dua pendekatan yaitu pendekatan biologis dan pendekatan politis. Perdasus kehutanan Papua hanya memakai pengertian hutan secara biologis yaitu hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Perdasus Kehutanan Papua menentukan bahwa hutan masyarakat adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pengertian hutan masyarakat adat di Perdasus ini membuat perubahan substantive terhadap pengertian hutan adat yang di atur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tenatang Kehutanan yang menyatan bahwa hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat. Penegasan substantif itu memisahkan hutan adat dengan hutan Negara, bahkan lebih jauh, Perdasus kehutanan Papua ini tidak menegaskan adanya penguasaan kawasan hutan berbasiskan hak lain diluar hutan Masyarakat Hukum Adat. 16
Ibid., hal. 43
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Kendali yang tetap dipegang pemerintah adalah pada penetapan siapa Masyarakat Hukum Adat yang berhak mengelola hutan, penetapan fungsi-fungsi hutan berupa konservasi, lindung, dan produksi serta kendali perizinan pemanfaatan hasil hutan maupun kawasan tersebut. 17 Persoalan lain yang kemudian dipolemikkan adalah Permenhut yang bertentangan dengan semangat UU Otsus Papua. Permenhut sendiri berisikan sejumlah poin, antara lain masyarakat local diperbolehkan menjual kayu ke luar daerah kecuali harus membayar iuran. Soal Perdasus Kehutanan Papua, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Marthin Kajoi, berpendapat, pihaknya telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengakomodir semua kepentingan masyarakat adat. “Saya sudah tidak mau lagi pengalaman beberapa tahun lalu terulang yaitu tentang Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA),” ujarnya dalam sebuah pertemuan di Sentani. Menurut bekas Koordinator Forest Wacth Indonesia Regio Papua, Lindon Pangkali, “Kebijakan ini tentu belum bisa memuaskan semua pihak terutama masyarakat adat. Mereka pasti kecewa. Apalagi di dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 dalam Pasal 5, tetap mengganggap hutan negara dapat berupa hutan adat. Artinya, hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap)”. Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh Negara sebagai organisasi. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, masyarakat adat tentu akan mengalami goncangan. Meski untuk beberapa peristiwa ini tidak terjadi. Tidak juga meniadakan hak-hak masyarakat sepanjang hutan masih ada dan diakui keberadaannya. Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat. 17
“Politik Hukum Pengakuan Masyarakat Adat dalam Otonomi Khusus di papua” http://www.docstoc.com/docs/33395264/Politik Hukum Pengakuan hak Masyarakat Adat dalam Otonomi-Khusus, diunduh 12 Desember 2011.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Dalam pengertian-pengertian tersebut, disatu sisi, jelas bertentangan dengan definisi masyarakat adat menurut Konggres Masyarakat Adat Nusantara (1999), yaitu komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. 18 Carut marut dan konflik sumberdaya lahan hutan di Indonesia adalah ranah sosiologi politik negara yang menzalimi properti lahan yang seharusnya menjadi domain rakyat. Ketika negara menyatakan bahwa semua sumberdaya alam dikuasai negara, maka rakyat pasti melakukan perlawanan untuk memperoleh hybrid tenure baru dalam kehidupan mereka… dan itu artinya “konflik” akan segera berlangsung dan berkepanjangan. Semua kegiatan yang berlabel HKM (Hutan Kemasyarakatan), Hutan adat, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa, kemitraan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) di Jawa, Kemitraan pada Hutan Tanaman Industri MHBM (Manajemen Hutan Berbasis Masyarakat), semuanya mencerminkan hybrid tenure yang sesungguhnya dapat dibaca sebagai langkah peredam konflik, dan dapat juga dibaca sebagai tindakan rejim politik kapitalis yang anti pada etnositas, karena memang ciri kapitalisme adalah “anti etnositas” tersebut. Tidak banyak orang mengerti teori-teori sosial yang dalam, tetapi mereka sudah berani bicara sosial, sehingga seringkali bicara sosial kemasyarakatan sektor sumberdaya alam, termasuk tenure bagai orang meraba-raba tanpa tau apa yang diraba, maksud hati ingin membela kepentingan masyarakat, tetapi justru diperalat oleh (negara) kapitalis yang anti etnik tersebut untuk lebih menyesengsarakan rakyat. 19 Dari perkara-perkara Tindak Pidana Kehutanan yang terjadi di Papua sebelum dikeluarkannya Perdasus dan Pasca dikeluarkanya Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua serta Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA), apakah tidak bertentangan atau tidak sejalan dengan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. 18
http://www.tabloidjubi.com/index.php/edisi-cetak/tong-pu-tanah/2406-perdasus kehutanan-dan-kph-dipapua--keberpihakan-setengah-hati di unduh tangga 11 Desember 2011. 19 Hak Masyarakat dalam pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan, www.wg-tenure.org, diunduh tanggal 12 Desember 2011
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
1.2
Perumusan Masalah Proses penegakan hukum di bidang kehutanan dilakukan melalui suatu sistem yang dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system). Sistem Peradilan Pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. 20 Sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana “in abstracto” yang akan diwujudkan delam penegakan hukum “in concreto”. 21 Lebih lanjut menurut Prof. Satjipto Rahardjo bahwa “apabila kita berbicara mengenai penegakan hukum, maka pada hakekatnya kita berbicara mengenai penegakan ide-ide serta konsepkonsep yang notabene adalah abstrak itu. Dirumuskan secara lain, maka penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. 22 Pada tanggal 20 Desember 2008 telah dikeluarkan dan disahkannya Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, telah membuka peluang kepada masyarakat hukum adat untuk dapat memperdagangkan hasil hutan maupun non hutan sebagaimana yang diamandatkan dalam Pasal 38 UU Otsus dan Perdasus 21 Tahun 2008. Ada juga yang menganggap bahwa kebijakan pemerintah daerah terhadap masyarakat adat tidak terlepas dari sikap kabur dan tidak konsisten yang ditunjukkan oleh pemerintah pusat. Salah satu bukti aktual adalah sikap pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Kehutanan, yang menganggap pemberian Izin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA) sebagai kebijakan yang Illegal karena bertentangan dengan UndangUndang yang lebih tinggi. Padahal menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 20
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi MAnusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 84 21 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Jakarta : Penerbit P.T. Alumni, 2005), hal 197. 22 Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum, http : / / www . legalitas .org /incl-php /buka.php ? d = art+4&f = penegakan%20hukum%20Oka .htm ), di unduh tanggal 09 Desember 2011
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
kebijakan IPKMA justru dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pemerintah daerah mau tidak mau terkena pengaruh atau dampak dari sikap tidak konsisten pemerintah pusat. Itu sebabnya dalam konteks mencegah ketidakonsistenan pemerintah pusat dalam melaksanakan UU Otsus Papua, Dewan Adat Papua (DAP) mengusulkan agar dibuat sebuah peraturan pemerintah yang menjelaskan posisi UU Otsus dihadapan berbagai peraturan Perundang-Undangan yang ada. 23 1.3
Pertanyaan Penelitian Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka untuk mempertajam peneliti merumuskan permasalahan “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kehutanan berdasarkan Pasca dikeluarkannya Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua” dengan pembatasan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah eksistensi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan pasca dikeluarkannya Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua? 2. Bagaimanakah implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan terhadap Provinsi Papua dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua? 3. Bagaimanakah upaya Pemerintah Provinsi Papua mewujudkan hak-hak masyarakat hukum adat Papua dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.
1.4
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka penelitian ini bermaksud memperoleh data serta jawaban masalah-masalah yang berkenan dengan Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kehutanan berdasarkan Pasca keluarkannya Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 23
Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia, (Jakarta, Oktober 2006), hal. 193-194
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua, sehingga dapat dibuat suatu deskripsi secara rinci untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut. Maka secara ringkas tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimanakah eksistensi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan pasca dikeluarkannya Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua. 2. Untuk mengetahui bagaimanakah implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan terhadap Provinsi Papua dihubungkan dengan UndangUndang Nomor 21Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. 3. Untuk Mengetahui bagaimanakah upaya Pemerintah Provinsi Papua mewujudkan hakhak masyarakat hukum adat Papua dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.
1.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini berjudul “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Pasca keluarkannya Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua” diharapkan dapat meberikan manfaat untuk : 1. Manfaat Teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap aparatur hukum dan pihak-pihak yang terkait dalam penegakan hukum serta bermanfaat bagi para akademisi untuk menunjang perkembangan ilmu hukum khususnya mengenai tindak pidana kehutanan 2. Manfaat Praktis : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para penegak hukum yang tergabung dalam system peradilan pidana (integrated criminal justice system) untuk dapat menerapkan tugas dan wewenangnya dalam penegakan hukum, khususnya dalam tindak pidana kehutanan dan mempertimbangkan hak-hak masyarakat hukum adat yang mengacu pada Otonomi Khusus.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
1.6
Kerangka Teori Penegakan hukum tidak hanya didasarkan pada pendekatan yuridis saja tetapi juga dilengkapi dengan pendekatan sosio politis dan sosio kultur sebagaimana yang dikemukakan oleh Muladi. 24 Sedangkan Soerjono Soekanto menyatakan secara konsepsional, “inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, pemeliharaan, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakannya keberhasilan penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negatif atau positifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor ini mempunyai hubungan yang saling berkaitan dengan eratnya, merupakan esensi serta tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut adalah : 25 1. Hukum (Undang-undang) 2. Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Masyarakat, yakni dimana hukum tersebut diterapkan. 5. Dan factor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Lebih lanjut Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (structure of the law), substansi hukum (substance of the law), dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan, dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup yang dianut dalam suatu masyarakat. Tentang struktur hukum (structure of the law), Friedman menjelaskan : “To begin with, the lega system has the structure of a legal system consist of elements of the kind : the number and size of courts; their jurisdiction...structure 24
Muladi, “Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana”, Undip, Semarang, 1995, hal. 21. Soerjono Sukanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, (Jakarta : 1983), hlm. 5. 25
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
also means how the legislature is organized….. what procedures the police departemen follows, and so on. Structure, in a way, is a kind of cross section of the legal system…. a kind of still photograph, with freezes the action”. 26 Struktur hukum (legal stucture) terdiri jumlah (jenjang) pengadilan dan ukuran (yuridiksi) dari pengadilan, bagaimana lembaga pembentuk undang-undang dilaksanakan, prosedur apa yang harus diikuti dan dijalankan oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur hukum terdiri dari lembaga yang dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada. Di indonesia misalnya jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka termasuk didalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. 27 Substansi hukum (substance of the law) menurut Friedman adalah : “Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules,norms,and behavioural patterns of people inside the system...the stress here is on living law, not just rules in law books”. 28 Yang dimaksudkan substansi adalah aturan, norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum (legal substance) menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Intinya ialah bukan saja aturan tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan tetapi juga hukum yang hidup di masyarakat. Sedangkan mengenai budaya hukum (legal culture), Friedman berpendapat : “the third component of a legal system, of legal culture. By this we mean people’s attitudes towards law and legal system their belief...in other words,is the eliminate of social though and social force wich determines how law is used avanded and afused”. 29 Budaya hukum (legal culture) yang merupakan sikap manusia termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapka dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang26
Lawrence M. Friedman, American Law, (New York : W.W. Norton and Company,1984) hal. 5-6 Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hal.8. 28 Lawrence M. Friedman, American Law, Ibid 29 Ibid. 27
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif. Ketiga unsur ini sangat berpengaruh dalam penegakan hukum. Jika salah satu saja unsur tidak berfungsi dengan baik maka dapat dipastikan penegakan hukum di masyarakat menjadi lemah. Penegakan hukum yang dilakukan harus berada dalam suatu sistem yakni sistem peradilan pidana (SPP) yang terdiri dari 4 komponen (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan). Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Muladi mengatakan bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana juga diperlukan adanya keterpaduan dan sinkronisasi antar sub sistem. Muladi menyebutkan, perlu adanya sinkronisasi struktural (structural syncronization), sinkronisasi substansial (substansial syncronization) dan sinkronisasi kultural (cultural syncronization). 30 Penyidikan dan penuntutan memegang peranan penting dalam hal penegakan hukum dalam tindak pidana Kehutanan, penyidik merupakan instansi penegak hukum yang pertama kali mengetahui suatu peristiwa pidana Kehutanan, baik itu mengetahui sendiri atau melalui laporan. Sedang penuntut umum merupakan instansi penegak hukum yang berperan untuk membuktikan dipengadilan tentang tindak pidana Kehutanan yang di dakwakan. Mengingat peran penting penyidikan dan penuntutan dalam penegakan hukum dalam tindak pidana Kehutanan, maka salah satu hal yang penting adalah masalah sinkronisasi dalam sub sistem penyidikan dan penuntutan itu sendiri, baik secara struktural, substansial maupun kultural. Menurut Purnadi Purbacaraka, bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangan belaka, melainkan aktivitas birokrasi pelaksanannya. 31 Istilah penegakan hukum dapat dipergunakan terjemahan dari "rechtshandhaving," yang dimaksud disini adalah hukum yang "berkuasa" dan "ditaati" melalui sistem peradilan pidana yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. 32 Koesnadi
30
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op.Cit., h.1-2 Purnadi Purbacaraka, Penegakan Hukum dalam Mensukseskan Pembanguan, (Bandung: Alumni, 1977), hal.80. 32 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia….. Op. cit., hal. 78-79 31
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Hardjasoemantri mengemukakan bahwa ada suatu pendapat yang keliru yang cukup meluas diberbagai kalangan, yaitu bahwa penegakan hukum hanya melalui proses pengadilan. Ada pula pendapat yang keliru, seolah-olah penegakan hukum adalah semata-mata tanggung jawab aparat penegak hukum. Penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk itu pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan akan tetapi masyarakat berperan dalam penegakan hukum. Masyarakat yang tidak membuang sampah di sungai sudah ikut menegakkan hukum, karena membuang sampah di sungai adalah pelanggaran.33 Menyangkut istilah penegakan hukum, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa pengertian penegakan hukum merupakan pelaksanaan hukum secara konkret dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Di samping istilah-istilah penegakan hukum, terdapat istilah penerapan hukum tetapi tampaknya istilah penegakan hukum paling sering digunakan. 34 Selanjutnya, Andi Hamzah rnenyebutkan bahwa istilah penegakan hukum dalam Bahasa Indonesia, selalu diasosiasikan dengan force, sehingga ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini diperkuat dengan kebiasaan masyarakat dengan kebiasaan menyebut penegak hukum itu polisi, jaksa dan hakim. Tidak disebut pejabat administrasi yang sesuai dengan mengingat ruang lingkup yang lebih luas. 35 Pendapat lain dikemukakan Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa para penegak hukum ada kemungkinan dihadapkan pada halangan-halangan, baik yang berasal dari diri sendiri maupun lingkungan. Halangan-halangan yang dimaksud adalah : 1. Keterbatasan kemampuan untuk menenpatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berintefaksi. 2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi. 3. Kegairahan yang terbatas untuk memikirkan masa depan sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi. 4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materil.
33
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Cet. II Edisi I, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press), Hal. 375-376. 34 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Jakarta : Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 181. 35 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta : Arikha Media Cipta, 1995) hal. 61.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenamya merupakan pasangan konservativisme. 36 Dari kelima halangan yang dikemukakan Soerjono Soekanto di atas merupakan halangan yang bersumber dan melekat pada diri pribadi penegak hukum. Berhubungan dengan kelima hal yang dapat menghambat penegakan hukum yang baik, lebih lanjut Soerjono Soekanto menulis sebagai berikut : 1. Berbicara masalah penegakan hukum tanpa menyinggung manusia yang menjalankan penegakan hukum itu merupakan pembicaraan yang steril. Apabila kita membicarakan masalah penegakan hukum hanya berpegang pada keharusan-keharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum, maka kita hanya memperoleh gambaran sterilitas yang kosong. la baru menjadi berisi manakala dikaitkan dengan pelaksanaannya yang konkrit oleh manusia. 2. Masalah yang kedua adalah berhubungan soal lingkungan dari penegakan hukum tersebut. Masalah lingkungan ini dapat dikaitkan dengan manusianya secara individu, serta dengan penegakan hukum sebagai lembaga. 37 Dalam lingkup pekerjaan hukum dalam masyarakat,
Robert. B. Seidmen, 38 mengajukan tiga komponen inti yang
mendukung bekerjanya hukum dalam masyarakat (termasuk aspek penegakannya). Ketiga unsur dimaksud adalah : (a) lembaga pembuat peraturan; (b) lembaga penerap peraturan; (c) pemegang peran itu sendiri. Ketiga unsur pendukung penegakan hukum yang diajukan Robert. B. Seidman itu didasarkan pada empat dalil sebagai berikut : 1) Setiap peraturan hukum memberi tahu tentang bagaimana seorang pemegang peran diharapkan bertindak; 2) Bagaimana seseorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan hukum, merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas lembaga pelaksana, serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial politik dan Iain-lain mengenai dirinya ; 3) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksanaan itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan-peraturan hukum, merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, kekuatan sosial politik dan 36
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, CV. Rajawali, 1986,
hal. 24. 37
Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung, Sinar Baru, (tanpa tahun), hal. 22. 38 Ibid, hal. 5.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
lain-lainnya yang mengenai diri mereka, serta umpan balik yang datang dari para pemegang peran itu; 4) Bagaimana pembuat Undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksi, kekuatan sosial politik, ideologi, dan Iain-lain yang mengenai diri mereka, serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi. 39 Berhubungan dengan persoalan penegakan hukum, I.S. Susanto, mengajukan empat elemen yang berpengaruh terhadap kualitas penegakan hukum, yaitu Undangundang, pelanggar, korban (masyarakat), dan aparat penegak hukum. Keempat komponen itu berada dalam hubungan yang saling mempengaruhi dan berlangsung dalam wadah struktur politik, sosial, ekonomi, dan budaya dalam situasi tertentu. 40 Khusus mengenai substansi suatu undang-undang hal yang perlu dicermati adalah persoalan mengenai "cacat" yang terdapat dalam undang-undang antara lain seperti kepentingan-kepentingan yang ada di balik undang-undang, siapa atau kelompok masyarakat adat mana yang akan memperoleh keuntungan lebih besar melalui peraturan itu, apakah undang-undang tersebut cukup adil dan manusiawi. Dimensi pelanggar hukum yang perlu diperhatikan adalah hal yang menyangkut pandangan atau persepsi mereka terhadap undang-undang dan peraturan daerah, korban/masyarakat, dan aparat penegak hukum, serta pandangan pelanggar hukum terhadap bekerjanya hukum. Sedangkan faktor korban berhubungan dengan persepsi mereka tentang apa yang dianggap sebagai kejahatan dan penegak hukum, kepentingankepentingan yang ada, kesadaran dan sikap korban terhadap hak-hak yang diatur dalam ketentuan hukum. Faktor aparat penegak hukum merupakan faktor yang menempati posisi strategis, bahkan menempati posisi kunci dalam menegakkan hukum. Untuk itu hal yang perlu diberi perhatian khusus adalah yang berhubungan dengan "kepentingan-kepentingan" dan hal-hal yang melatarbelakangi tindakan mereka, baik sebagai individu maupun sebagai organisasi dalam berinteraksi dengan pelanggar, korban dan masyarakat pada umumnya41. Dalam berbagai kajian
39
Ibid, hal. 27. I.S. Susanto, Pemahaman Kritis Terhadap Realitas Sosial, Dalam masalah-masalah Hukum Nomor 9, tahun 1992, hal. 17. 41 Ibid, hal. 17. 40
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
sistematis tentang penegakan hukum dan keadilan perteori (by theory) terdapat lima pilar hukum yang harus di penuhi agar penegakan hukum efektif. Kelima pilar hukum dimaksud adalah aparat penegak hukum, peralatan penegakan hukum, masyarakat sebagai adressat hukum, dan birokrasi penegakan hukum.42 Penegakan hukum yang baik akan tercermin pada cara kerja komponen dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP), yakni Kepolisian sebagai penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut umum, Pengadilan Negeri sebagai lembaga yang berwenang mengadili, dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga perubahan perilaku. Komponen sistem peradilan pidana tersebut secara empiris mempunyai tugas yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama dalam menegakkan hukum 43. Keberhasilan kerja dalam mencapai tujuan penegakan hukum harus dilihat secara integratif. Artinya keberhasilan komponen yang satu merupakan keberhasilan komponen yang lain atau kegagalan komponen yang satu merupakan kegagalan komponen lainnya. Oleh karena itu, kebersamaan dan kerjasama yang baik antar komponen dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana sangat diperlukan dalam mencapai tujuan penegakan hukum pidana. Dalam lingkup penyelenggaraan peradilan pidana, Romli Atmasasmita menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana seharusnya lebih diutamakan pandangan yang mengangkat kebersamaan dan semangat bekerjasama yang tulus dan ikhlas serta positif diantara aparatur penegak hukum dan mengemban tugas menegakkan keadilan hukum (legal justice). 44 Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana harus sesuai dengan cita-cita penegakan hukum, serta mempertimbangkan dinamika dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu penegakan hukum yang hanya melalui pendekatan yuridis semata-mata sudah tidak memadai lagi, sehingga penegakan hukum perlu dilengkapi dengan pendekatan sosio politis dan sosio kultural. 45 Mengenai Sisten peradilan pidana Mardjono Reksodiputro memberikan pengertian sisten peradilan pidana sebagai : 42
Lihat dalam Anto Tabah, "Polri dan Penegakan Hukum di Indonesia", Dalam Kunarto (penyunting), Merenungi Kritik Terhadap Polri (buku 2), Jakarta, Cipta Manunggal, 2005, hal. 83.; Bandingkan pula dengan Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 1986. 43 Tujuan penegakan hukum melalui penyelenggaraan peradilan pidana adalah "the prevention of crime and treatment of offenders (pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum)". 44 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Bandung, Bina Cipta, 1986, hal. 26. 45 Sukarton Marmosudjono, Menegakkan Hukum Di Negara Pancasila, Ceramah Jaksa Agung RI di Universitas Bengkulu, 1988, hal. 26.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
"Proses dari suatu rangkaian kesatuan (continuum) yang menggambarkan peristiwa-peristiwa yang maju secara teratur : mulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, diperiksa oleh pengadilan, diputus oleh hakim, dipidana dan akhirnya kembali ke masyarakat”. 46 Sementara itu, menurut Barda Nawawi sistem peradilan pidana pada hakekatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem "penegakan hukum" pada dasarnya merupakan "sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan. hukum''. Kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum ini dapat diidentikkan pula dengan istilah "kekuasaan kehakinan". Oleh karena itu, sisten peradilan pidana atau sistem penegakan hukun pidana pada hakekatnya juga identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman dalam bidang hukum pidana”.47 Sistem
peradilan
pidana yang pada hakekatnya merupakan “sistem kekuasaan penegakkan hukum pidana” atau “
sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana”, diwujudkan atau diimplementasikan dalam
empat subsistem, yaitu : a. Kekuasaan “penyidikan” (oleh badan/lembaga penyidik); b. Kekuasaan “penuntutan" (oleh badan/lembaga penuntut umum); c. Kekuasaan "mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana" oleh badan pengadilan); dan d. Kekuasaan "pelaksanaan putusan/pidana (oleh badan/aparat pelaksana/ eksekusi) 48 Dalam perspektif Hulsman, criminal justice system atau sistem peradilan pidana dipandang sebagai masalah sosial. Ada empat pertimbangan yang melandasi pemikiran Hulsman yaitu : a) Sistem peradilan pidana memberikan penderitaan; b) Sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan; c) Sistem peradilan pidana tidak terkendalikan; dan d) Pendekatan yang dipergunakan sistem peradilan pidana memiliki cacat mendasar. 49 Selama ini menurut Hulsman telah terjadi kesalahan persepsi tentang pidana dan kejahatan atau penjahat, bahwa antara konsep-konsep tersebut terdapat hubungan yang erat 46
Mardjono Reksodiputro, Op.,cit, hal. 93 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 39-40. 48 Barda Nawawi Arief, Ibid, hal. 40. 49 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana; Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, op. cit., hal. 98 47
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
tidak selalu berarti bahwa jika ada kejahatan (dan juga penjahat) harus ada pidana. Dalam konteks inilah tampak bahwa sistem peradilan pidana tidak luwes dan tidak kreatif dalam menemukan bentuk lain dari pengendalian sosial (social control) 50 Mengenai pengertian sistem peradilan pidana, Remington dan Ohlin menyatakan sebagai berikut : Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktek administrasi dan sikap atau ringkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya. 51 Michael J. Allen dalam Textbook on Criminal Law, menyatakan bahwa: "criminal justice system is a tool of social control representing the agglomeration of powers, procedures and sanctions which surround the criminal law"52. Menurut Allen, hukum pidana memiliki peranan penting untuk menetapkan ukuran-ukuran (to set parameters) berjalannya sistem peradilan pidana. 53 Norval
Morris,
sebagaimana
dikutip
oleh
Mardjono
Reksodiputro,
menggambarkan system peradilan pidana secara singkat, sebagai suatu system yang bertujuan untuk "menanggulangi kejahatan", salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterimanya. 54 Sedangkan Muladi menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai arana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.
50
Ibid Remington dan Ohlin, dalam Romli Atmasasmita, Ibid, hal. 14. Lihat juga Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Jakarta : Kencana, 2010, hal. 2. 52 Michael J. Allen, Text book on Criminal Law, Fifth Edition, London: Blackstone, 1999, hal. 2. 53 Ibid 54 Norval Morris, “Intruduction”, dalam Criminal Justice in Asia, The Quest for An Integrated Approach, UNAFEI, 1982, hal. 5 sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro, “Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradila Pidana (Suatu Pemikiran Awal)” dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007, hal 140. 51
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dari kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum. 55 Dalam masalah penanggulangan kejahatan sebagaimana dikemukakan sistem peradilan pidana, dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan dan keluhan masyarakat bahwa mereka telah menjadi korban dari suatu kejahatan, dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku ke sidang pengadilan dan menerima pidana. Gambaran di atas adalah memang tugas utama dari sistem ini, tetapi tidak merupakan keseluruhan tugas dan tujuan sistem, termasuk didalamnya adalah mencegah terjadinya korban kejahatan maupun mencegah bahwa mereka yang sedang ataupun telah selesai menjalani pidana tidak mengulangi lagi perbuatan mereka yang melanggar hukum itu. Bagi beberapa kalangan dalam masyarakat, menganggap sistem ini menghasilkan keadilan, sementara sebagian yang lain untuk mengurangi kejahatan dan ada juga yang mengganggap bahwa keduanya adalah produk yang dihasilkan oleh sistem peradilan pidana. 56 Dengan demikian cakupan tugas maupun tujuan sistem ini memang luas, yaitu : a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b) Menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan c) Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Komponen-komponan yang bekerja sama dalam system ini adalah terutama instansi (badan-badan) yang kita kenal dengan nama kepolisian - kejaksaan - pengadilan - dan pemasyarakatan. 57
55
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UniversitasDiponegoro,
1995, hal. 4. 56
Freda Adler, Gerhard O.W. Mueller dan Willian S. Laufer, Criminology, New York : McGraw Hill, 1991, hal 343. 57 Mardjono Reksodiputro, “Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu Pemikiran Awal)” dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007, hal 140.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Menurut Romli Atmasasmita, yang juga sependapat dengan Sanford Kadish, menyatakan bahwa pengertian sistem peradilan pidana dapat dilihat dari sudut pendekatan normatif, manajemen dan sosial. Ketiga bentuk tersebut sekalipun berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan lebih jauh ketiga bentuk pendekatan tersebut saling mempengaruhi dalam menentukan tolok ukur keberhasilan dalam menanggulangi kejahatan. 58 Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, maka pengertian system peradilan pidana menurut Romli Atmasasmita merupakan kesatuan mekanisme penegakan hukum yang didukung unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan unsur lembaga pemasyarakatan yang bergantung pada sistem hukum (legal system) dan politik kriminal (criminal policy) yang dianut dan dipergunakan oleh setiap negara. 59 Namun berdasarkan pendekatannya terbagi menjadi tiga, yaitu : 1. Pendekatan normatif, yang memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan pengadilan dan lembaga pemasyarakatan)
sebagai
institusi
pelaksana
peraturan perundangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari system penegakan hukum semata; 2. Pendekatan administratif, sistem yang digunakan adalah system administrasi yang memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertical sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut; 3. Pendekatan sosial, sistem yang digunakan adalah sistem sosial yang memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas
58
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana; Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, op. cit., hal. 16. Lihat juga Sanford Kadish, Encyclopedia of Crime and Justice, vol. 2, The Free Press, 1983, hal. 450. dan Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 5. 59 Ibid., hlm. 125
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
keberhasilan atau
ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut
dalam melaksanakan tugasnya. 60
1.7
Kerangka Konseptual Menurut Soerjono Soekanto suatu kerangka konsepsionil merupakan kerangka yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti 61. Konsep merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah, sehingga konsep sangat penting bagi cara pemikiran maupun komunikasi dalam penelitian 62. Adapun pengertian dasar dari istilah-istilah yang akan digunakan dalam penulisan tesis ini adalah : 1. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat, selanjutnya disebut IUPHHK-MHA adalah izin untuk memanfaatkan kayu alam pada hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan, pengolahan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil hutan kayu yang diberikan kepada masyarakat hukum adat pemilik hak ulayat pada areal hutan milik adatnya. 2. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 3. Faktur Angkutan Kayu Olahan Rakyat selanjutnya disebut FAKO Rakyat adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh Penerbit FAKO Rakyat dipergunakan dalam pengangkutan hasil hutan berupa kayu olahan dari tempat penampungan kayu olahan dari tempat penampungan kayu olahan didalam areal IUPHHK-MHA. 4. Penerbit FAKO Rakyat adalah petugas dari Dinas Kabupaten/Kota setempat yang berkualifikasi Pengawas Tenaga Teknis (WASGANIS) yang diangkat dan diberi wewenang untuk menerbitkan FAKO Rakyat.
60
Romli Atmasasmita, Ibid, hal. 17. Lihat juga pendapat Romli dalam Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Jakarta : Kencana, 2010, hal. 7. 61 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 2008), Hal. 133 62 Ibid.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
1.7. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Pemilihan jenis penelitian didasarkan pada pemikiran bahwa telaah terhadap permasalahan yang nampak dalam fenomena masyarakat hukum adat di Provinsi Papua yang menggunakan Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor : 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua sebagai dasar dalam pengelolaan hutan berkelanjutan dengan dikeluarkanya Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 Tahun 2010 tentang IUPHHK-MHA, namun tidak terlepas kemungkinan untuk mengumpulkan data penelitian lapangan dengan melakukan wawancara dengan para ahli hukum dan petugas penegak hukum dalam hal ini polisi, jaksa, hakim, instansi pemerintah serta Akademisi.
2.
Pendekatan Masalah Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan Undang-undang dilakukan untuk meneliti Pasal-Pasal yang berkaitan dengan Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua, sedangkan pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan Kehutanan, serta mencari kejelasan mengenai persepsi (pandangan) masyarakat Papua dan aparat penagak hukum di Papua tentang Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua.
3.
Jenis dan Sumber Data 1)
Data Primer : Melalui informasi dan penjelasan dari Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua, aparat pememerintah atau pejabat daerah dalam hal ini Kepala Biro Hukum Provinsi Papua atau petugas penegak hukum yang yang pernah menangani kasus tindak pidana kehutanan di Papua, serta
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
berbagai putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana Kehutanan setelah diberlakukannya UU Otsus dan peraturan perundangan lain seperti petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berkaitan dengan materi penelitian hukum ini. 2)
Data Sekunder : Diperoleh melalui studi kepustakaan untuk memperoleh bahan hukum primer dengan bahan hukum sekunder yaitu berupa peraturan Perundang-Undangan
yang
mempunyai
relevansi
dengan
sistem
pemerintahan di Provinsi Papua, putusan-putusan perkara tindak pidana kehutanan sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua, Undang-Undang Otonomi bagi Provinsi Papua, Peraturan Gubernur, serta pembahasan lainnya yang berhubungan dengan permasalahan ini. 4.
Metode Pengumpulan Data 1. Wawancara, yang dilakukan terhadap narasumber yang dianggap relevan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka. Beberapa narasumber tersebut diantaranya adalah Melalui informasi dan penjelasan dari Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua, aparat pememerintah atau pejabat daerah, Polisi selaku penyidik, Jaksa selaku penuntut umum dan Hakim yang pernah atau sedang menangani perkara tindak pidana Kehutanan. Pemilihan narasumber ini karena ingin mengetahui sejauh mana perbelakukan UU Otsus terhadap masyarakat hukum adat dalam Tindak Pidana kehutanan di Provinsi Papua, begitupula peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder berupa kepustakaan hukum, literatur/bahan bacaan serta bahan hukum tersier berupa bahan yang diambil dari media massa yang memuat penelitian yang dapat menunjang dan digunakan sebagai informasi. 2. Studi Dokumen, dengan mempelajari peraturan perundang-undangan yang mempunyai relevansi dengan sistem pemerintahan di Provinsi Papua, putusan-
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
putusan perkara tindak pidanana kehutanan sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua, Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, peraturan-peraturan Gubernur, serta pembahasan lainnya yang berhubungan dengan permasalahan ini. 5.
Analisa Data Data yang bersifat kajian-kajian teoritis dalam bentuk konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan, dokumen hukum atau perundang-undangan, serta hasil wawancara akan diolah agar dapat mempermudah menganalisis. Meteode pengelolahan data yang digunakan adalah pengelolahan data secara kualitatif, sehingga menghasilkan penelitian dalam bentuk deskriptif analisis yaitu suatu metode dalam meneliti keadaan suatu kelompok manusia, objek, pemikiran dan suatu peristiwa yang terjadi. 63
6.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua adalah merupakan salah satu kabupaten dari 5 (lima) Kabupaten di Provinsi Papua, sebagai Kabupaten percontohan untuk di sosialisasikannya Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Oleh karena itu, teknik penentuan sampel lokasi termasuk multi stage sampling area. Artinya dalam meneliti persepsi (pandangan) masyarakat asli Papua dan persepsi (pandangan) aparat penegak hukum di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua terhadap keberadaan Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008, secara khusus perkara Tindak Pidana Kehutanan di Papua, dianggap representative untuk mewakili ke 4 (empat) Kabupaten lain yang termasuk dalam program pensosialisasi Perdasus tersebut dan Kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Papua.
63
M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta : Ghalia Indah, 1999), hal. 63.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
1.8
Sistematika Penulisan Secara sistematis penulisan tesis ini akan dibagi ke dalam lima bab, yang mana pada tiap bab berisi hal-hal yang didapat dijelaskan sebagai berikut : BAB
1
:
Pendahuluan. Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, pernyataan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, kerangka konseptual, metodologi penelitian, dan juga sistematika penulisan.
BAB
2
:
Pengelolaan Hutan Ditinjau dari Hukum di Bidang Kehutanan Bab ini akan menguraikan tinjauan umum mengenai hutan dan hasil hutan, Instrumen Perizinan Kehutanan, Sumber Hukum Kehutanan di Indonesia, serta uraian secara umum tentang hutan dan hasil hutan, jenis-jenis tindak pidana dibidang kehutanan dan instrumen Undang-Undang Kehutanan.
BAB
3
:
Eksistensi, Implementasi Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Adapun dalam bab ini akan membahas Implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua, serta upaya-upaya pemerintah Provinsi Papua mewujudkan hak-hak masyarakat adat dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.
BAB
4
:
Merupakan bab penutup, berisi mengenai kesimpulan dan saran.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
BAB 2 PENGELOLAAN HUTAN DITINJAU DARI HUKUM DI BIDANG KEHUTANAN
Dalam bab 2 ini akan diuraikan pemahaman umum tentang hal-hal yang mendasar sehubungan dengan tindak pidana kehutanan yang terdiri dari tinjauan umum hutan dan hasil hutan, jenis-jenis tindak pidana kehutanan serta sumber hukum tindak pidana kehutanan di Indonesia. Hal ini menurut peneliti penting agar diperoleh batasan-batasan terhadap tindak pidana kehutanan berdasarkan Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 1999 serta.
2.1
Tinjauan Umum Mengenai Hutan dan Hasil Hutan. Pengertian mempunyai makna yang sangat penting untuk mengetahui sesuatu. Dalam artian pengertian akan memberikan gambaran mengenai apa-apa yang terdapat dalam suatu ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan khusus, misalnya ilmu hukum. Hal ini berlaku pula pada ilmu hukum Kehutanan. 2.1.1. Pengertian Hutan, Kehutanan, Asas dan Tujuan Kehutanan. Dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai sebutan "hutan", misalnya hutan belukar, hutan perawan, dan Iain-lain. Kata hutan dalam Bahasa Inggris disebut dengan forrest, sedangkan untuk hutan rimba disebut dengan jungle. Tetapi pada umumnya persepsi umum tentang hutan adalah penuh pohon-pohonan yang tumbuh tidak beraturan. 64 Dalam Black's Law Dictionary : “Forest is a tract of land, not necessarily wooded reserved to the king or a grantee, for hunting deer and other game.” 65 Hutan adalah suatu bidang daratan, berpohon-pohon yang dipesan oleh raja untuk berburu rusa dan permainan Iain.
Ahli kehutanan Herman Haeruman J.S. menyatakan : 64
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa,cet. I, (Jakarta : Erlangga, 1995), Hal. 11. 65 Gerner B.A, Black’s Law dictionary, Seventh Edition, (Texas : West Group, Dallas), hal. 660.
28
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
"Hutan adalah pelindung tanah, tempat berlindung selama bergerilya melawan penjajah, tempat nyaman dan sejuk, pencegah banjir maupun erosi dan sebagainya, serta ekosistem penyangga dan pendukung kehidupan bagi banyak makhluk," 66 Sementara itu Mochtar Lubis menyatakan sebagai berikut : "Hutan adalah sebuah ekosistem yang berciri tumbim-tumbuhan berkayu seperti misalnya pepohonan dan semak. Perkebunan karet, kelapa sawit ataupun kebun buah-buahan tidak dipandang sebagai hutan."67 Sedangkan pengertian hutan menurut Dangler sebagaimana dikutip oleh Sukardi adalah sebagai berikut : "Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lengkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan / pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal). 68 Menurut Pasal 1 huruf b UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan didefinisikan sebagai : "Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan," Pasal 1 huruf a UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 huruf a di atas, menurut peneliti hanya ada pengertian kehutanan, tidak termasuk pengertian hukum kehutanan. Pengertian hukum kehutanan menurut Idris Sarong Al Mar, yaitu serangkaian kaidah-kaidah atau norma (tidak tertulis) dan peraturan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal hutan dan kehutanan 69. Sementara itu menurut Biro
66
Herman Haeruman J.S., Hutan Sebagai Lingkungan, (Jakarta : Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, 1980), Hal. 6. 67 Muctar Lubis, Menuju Kelestarian Hutan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1988), hal. 196. 68 Sukardi, Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum Pidana (Kasus Papua), Cet. I, (Yogyakarta : Universitas Admajaya, 2005), Hal. 12. 69 Idris Sarong Al Mar, dalam Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, (Jakarta : Sinar Grafika, 1997), hal. 6.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan mengemukakan bahwa hukum kehutanan adalah kumpulan (himpunan) peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang bersangkut paut dengan hutan dan pengurusannya 70. Menurut Salim, dari dua defenisi hukum kehutanan tersebut ada tiga rumusan hukum kehutanan, yaitu : (1) adanya kaidah hukum kehutanan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis; (2) mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan; dan (3) mengatur hubungan antara individu (perseorangan dengan hutan dan kehutanan) 71. Dengan berpatokan pada pendapat tersebut, peranan sumber daya hutan memiliki nilai strategis, karena hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi ke-sejahteraan rakyat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang 72. Menilik dengan saksama mengenai manfaat sumber daya hutan tersebut selama lebih kurang 25 tahun terakhir ini, di mana eksploitasi sumber daya dan tekanan pembangunan mempunyai pengaruh terhadap hutan. Secara keseluruhan, Bappenas telah menyoroti faktor-faktor yang menekan hutan Indonesia, yaitu : (a) pertumbuhan penduduk dan penyebarannya tidak merata; (b) konversi hutan untuk pertambangan dan pengembangan perkebunan; (c) pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam memanfaatkan sumber daya alam; (d) program transmigrasi; (e) pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan basah; (f) degradasi hutan bakau karena dikonversi menjadi tambak; (g) pemungutan spesies hutan secara berlebihan; dan (h) introdusir spesies eksotik 73. Mengacu pada faktor-faktor yang menyebabkan hutan mengalami tekanan, untuk mengatasinya perlu tetap mengacu pada asas yang terkandung di 70
Ibid. Ibid. 72 Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 73 Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (Jakarta : 1996), hlm. 13 71
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa, penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari 74, kerakyatan dan keadilan 75, kebersamaan 76, keterbukaan 77, dan keterpaduan 78. Sejalan dengan asas yang diatur pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 tersebut, khusus mengenai tujuan penyelenggaraan kehutanan diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa, penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan : (a) menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proposional; (b) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; (c) meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; (d) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan Mngkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan (e) menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki nilai strategis dalam pembangiman bangsa dan negara, keterlibatan negara dalam penataan dan pembinaan serta pengurusannya sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh hutan merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk 74
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ckonomi. 75 Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wcwenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktik monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni. 76 Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergi antara masyarakat setcmpat dengan BUMN atau BUMD dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi. 77 Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikut sertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat. 78 Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan diJakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, scktor lain, dan masyarakat setempat.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa, semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ayat (1)). Penguasaan hutan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk: (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; fb) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; (c) mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan (ayat (2)). Dalam kaitannya dengan ketentuan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 di atas, dalam penjelasannya, khususnya yang berkaitan dengan ayat (1) menyangkut hasil hutan dinyatakan bahwa hasil hutan tersebut dapat berupa: (a) Hasil nabati beserta turunannya seperti, kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan, jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan, dan Iain-lain, serta bagian dari tumbuhtumbuhan atau yang diha-silkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan; (b) Hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa bum, satwa elok, dan Iain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya; (c) Benda-benda nonhayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan benda-benda hayati penyusun hutan, antara lain berupa sumber air; udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda tambang; (d) Jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa berburuan, dan Iain-lain; (e) Hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan pulp. 2.1.2
Status, Fungsi, Dan Pengurusan Hutan Kedudukan atau status hutan di Indonesia perlu dilakukan penetapan status dan fungsi agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran terhadap status hutan tersebut. Penetapan status dan fungsi sangat penting diwujudkan untuk menghindari
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
klaim atau tuntutan dari masyarakat yang saat ini gencarnya menuntut pengakuan atas hutan hak mereka. Dalam tuntutannya tersebut, sebagian kalangan masyarakat ingin membedakan secara jelas antara hutan negara dan hutan hak. Sebab di dalam benak sebagian masyarakat, menganggap bahwa hutan hak adalah hutan yang tetap di bawah pengawasan masyarakat, khususnya masyarakat adat dan tidak boleh ada campur tangan negara. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini, telah diatur mengenai status hutan, agar ada gambaran kepada semua kalangan bahwa walaupun negara menguasai hutan yang terdapat di wilayah Republik Indonesia, tetapi juga mengakui hutan yang telah diakui keberadaannya baik oleh perorangan atau masyarakat yang dalam bentuk hutan hak. Berkaitan dengan hal ini, dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri atas: (a) hutan negara, dan (b) hutan hak (ayat (1)). Oleh karena itu, hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat (ayat (2)). Sementara itu, pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan hutan adat diterapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya (ayat (3)). Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah (ayat (4)). Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tersebut, dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan rakyat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimaksudkan di dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dima-sukannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat. Menilik pengakuan hukum adat atas pengelolaan akan hutan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan kelanjutan dari beberapa peraturan perundang-undangan yang terdahulu mengakui akan hak masyarakat hukum adat tersebut. Hal ini terlihat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok Agraria, yang dalam Pasal 5 menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum pertanahan di Indonesia, UndangUndang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Pembangunan Kependudukan dan Kesejahteraan Masyarakat, yang pada inrinya menjamin hak atas pemanfaatan yang menguntungkan dari lahan yang merupakan warisan berdasarkan hukum adat. Dalam kenyataannya, pemerintah selalu memperhatikan kepentingan masyarakat di sekitar hutan sebagai perwujudan dari kepedulian pemerintah terhadap masyarakat yang telah menjaga dan mengurus hutan secara swadaya. Bentuk perwujudan perhatian pemerintah tersebut, sejalan dengan kebijakan yang diberikan sesuai dengan peralihan pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang lainnya. Hal ini terlihat pada waktu Djamaludin Suryo-hadikusumo menjadi Menteri Kehutanan pada tahun 1993, proses perhatian terhadap masyarakat hukum adat semakin nyata dan diimplementasikan dalam bentuk kebijakan. Pada tahun 1995 Menteri Kehutanan mengeluarkan Program Bina Desa dengan SK No. 691/1991 diperluas dengan program baru, yakni Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) melalui SK No. 69/1995. Dalam ketentuan tersebut, diatur bahwa setiap pemilik HPH (Hak Penguasaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri) diwajibkan mengadakan Pembinaan Masyarakat Hutan Desa (PMDH) di desa-desa sekitar atau di dalam kawasan konsesi hutan mereka guna mengurangi sebagian dampak negatif dari operasi mereka. Program Bina Desa, PMDH memasukkan hutan kemasyarakatan dalam serangkaian proyek sosial mulai dari pemberian beasiswa, pelayanan kesehatan sampai pinjaman lunak. Keberadaan kedua konsep
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
ini, menurut Rachel Wrangham 79 bahwa, hutan kemasyarakatan di sini sering kali hanyalah perkebunan skala kecil, yang dikerjakan oleh masyarakat desa yang sebenarnya adalah buruh kontrak dan menerima upah untuk pekerjaan yang dilakukan. Hampir semua kajian menyimpulkan bahwa dampak positif dari program ini kemungkinan bersifat jangka pendek karena hanya meningkatkan penghasilan sesaat dalam bentuk uang tunai. Sejalan dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 di atas, kaitan terhadap status hutan sangat berhubungan pula dengan fungsi hutan itu sendiri. Fungsi hutan diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu: (a) fungsi konservasi 80; (b) fungsi lindung 81; dan (c) fungsi produk 82. Berdasarkan status hutan sebagaimana yang diatur Pasal 5 UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 di atas, secara teoretis FAO dan pemerintah RI mengelompokannya menjadi enam tipe berdasarkan potensi pengelolaannya sebagai berikut : a. Hutan Pegunungan Campuran (Mixed Hill Forests). Jenis hutan ini sangat penting berkenaan dengan hasil kayunya. Ini meliputi sekitar 65% dari seluruh hutan alam Indonesia. Di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra hutan didominasi oleh suku Dipterocarpaceae, jenis kayu terpenting di Indonesia. Di Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya yang bersifat lebih kering, jenis-jenis penting adalah Pomtia spp., Palaqium spp., Instia palembanica dan Octomeles. b. Hutan Submontana, Montana, dan Pegunungan. 79
Rachel Wrangham, Diskursus Kebijakan yang Berubah dan Masyarakat Adat, 1960-1999, dalam, Ida Aju Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Piece Colter, Ke mana Harus Melangkah?, Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia,(Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003), him. 33. 80 Fungsi konservasi yaitu yang berkaitan dengan fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 81 Fungsi lindung berkaitan dengan fungsi hutan sebagai peiiindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah 82 Fungsi produk berkaitan dengan fungsi pokok sebagai memproduksi hasil hutan.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Hutan ini terdapat di daerah-daerah Indonesia dengan ketinggian antara 1.300 sampai 2.500 meter di atas permukaan laut di mana spesies Dipterocarpus jumlahnya lebih sedikit. Suku yang dominan adalah Lauraceae dan Fagaceae. c. Savana atau Hutan Bambu atau Hutan Luruh dan atau Hutan Musim Pegunungan. Hutan ini tidak luas wilayahnya. Padang rumput savana alami terdapat di Irian Jaya, berasosiasi dengan Eucaplyphis spp, di Maluku berasosiasi dengan Melaulea dan di Nusa Tenggara berasosiasi dengan Eucalyptus alba. Hutan Luruh terdapat pada ketinggian sekitar 100 meter, memiliki genera yang tidak ada di hutan seperti Acacia, Albizzia, dan Eucalyptus hutan di Nusa Tenggara. Hutan jati di Jawa dibangun hamper 100 tahun yang lalu. Hutan musim pegunungan terdapat pada ketinggian di atas100 meter. d. Hutan Rawa Gambut. Terdapat hanya di daerah-daerah yang iklimnya selalu basah khususnya di Sumatra, Kalimantan, dan Irian Jaya yang mencakup luas 13 juta ha atau 10% dari luas seluruh hutan. Spesies yang terpenting adalah Gonystylus di Kalimantan dan Camnosperma macrophylum di Sumatra. e. Hutan Rawa Air Tawar Luasnya sekitar 5,6 juta ha, terdapat di pesisir Timur Sumatra, pesisir Kalimantan dan di beberapa wilayah di Irian Jaya. Generanya sama dengan hutan hujan bukan rawa. Di Irian Jaya rumpun pada hutan jenis ini didominasi oleh sagu. f. Hutan Pasang Surut. Hutan bakau (mangrove) adalah bagian yang penting dari hutan pasang surut, luasnya sekitar 4,25 juta ha. Hutan bakau terutama terdapat di Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya dan Kepulauan Aru, dan sedikit di Sulawesi bagian selatan serta Jawa bagian utara. Rhizophora, Avicennia, Sonneratia dan Cerioops adalah genera utamanya.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
2.1.3
Pengelolaan Hutan pengelolaan hutan ini sangat penting dilaksanakan untuk mengetahui sejauhmana pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan tersebut. Selain itu, tujuan pengelolaan hutan ini, sasarannya agar menghindari terjadunya konflik kepentingan dalam pengelolaan hutan, baik konflik antara pemerintah dengan masyarakat, khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, dan konflik yang terjadi antara pemegang hak pengusaha hutan (HPH) dengan masyarakat, terutama pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Dalam rangka pengelolaan hutan yang selama ini dicanangkan oleh pemerintah secara konseptual telah mendekati suatu fakta bahwa, pengelolaan hutan telah melalui mekanisme yang benar. Namun demikian, pada satu sisi pemerintah seringkali mengabaikan pendekatan hutan secara fisik dan nonfisik apabila akan melakukan pengelolaan hutan. Sebab tanpa membedakan dan memisahkan kedua pendekatan secara filosofi tersebut, inilah biang keladi kegagalan dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan hutan selama ini. Menurut Hariadi Kartodihardjo83 pemisahan antara hutan sebagai bentuk fisik yang dapat dimliki secara ekslusif dan hutan yang memiliki fungsi tertentu dan tidak dapat dimiliki secara eksklusif. Hutan secara fisik dapat ditentukan batas-batasnya secara eksklusif yang kemudian dapat dibagi-bagi luasnyadan dapat dialihkan hak pengusahaannya kepada pihak lain. Pihak yang menerima hak dapat memanfaatkan hutan seperti kayu, rotan, getah, dan Iain-lain. Sebaliknya, manfaat hutan tidak langsung seperti pengendalian erosi, penjagaan kesuburan tanah, penyerap karbon, dan Iain-lain akan terus berlangsung tanpa dapat dikendalikan oleh kebijakan pengelolaan hutan. Manfaat tidak langsung dari hutan tersebut senantiasa keluar dari batas-batas fisik hutan, dan manfaat inilah yang juga diinginkan keberlanjutannya oleh masyarakat luas, dalam hal ini yaitu pihak-pihak yang tidak mendapat hak pengelolaan ataupun izin pemanfaatan hasil hutan.
83
Hariadi Kartodihardjo, Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan, Telaah Kritis Lanjut Analisis Kebijakan Usaha Kehutanan, Penerbit, Institute for Development Economics of Agriculture and Rural Areas (Ideals), Gedung Alumni IPB Lantai 2, Bogor, 2006, hlm. 8.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Menelusuri pendapat Hariadi Kartodihardjo di atas, memberikan pemahaman bahwa, selama ini pemerintah dalam melakukan suatu perencanaan yang kemudian tiba pada tahap implementasi berupa pengelolaan maka yang lebih dominan untuk dibahas dalam perencanaan dan pengelolaan tersebut, hanya berkisar pada fungsi hutan yang bersifat fisik. Sementara itu, sangat mengabaikan sifat dan fungsi hutan pada fungsi tidak langsung, sehingga yang terjadi adalah kerusakan hutan secara fisik yang berdampak pada fungsi hutan secara tidak langsung. Oleh karena itu, Hariadi Kartodihardjo 84 mengatakan bahwa, tidak keliru apabila ada yang mengatakan hutan adalah milik umum atau publik (public property). Namun, perlu lebih spesifik, bahwa yang menjadi milik publik dari hutan adalah manfaat tidak langsung atau fungsi hutan tidak langsung, sedangkan manfaat langsungnya dapat dimiliki secara eksklusif oleh para pemegang hak atau izin atau para pemilik hutan hak, pengelola hutan rakyat, atau pengelola hutan adat. Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan referensi ilmu institusi dikatakan bahwa terdapat suatu barang, dalam hal ini hutan, dapat membangkitkan interdependensi atau ketergantungan antara pihak. Karena keberadaan manfaat tidak langsung dari hutan tersebut, masyarakat luas mempunyai ketergantungan dengan para pemegang hak atau izin pemanfaatan hasil hutan atau para pemilik hutan atas kegagalan atau keberhasilan pengelolaan hutan. Beranjak dari pemikiran yang dikemukakan oleh Hariadi Kartodihardjo di atas, dalam kenyataannya apabila dalam melakukan pengelolaan hutan tidak memahami dengan baik terhadap pembagian fungsi hutan secara fisik dan nonfisik, di sinilah awal mula timbulnya konflik kepentingan antara pemegang hak atau izin dan masyarakat pada umumnya. Menurut Agung Nugraha 85 bahwa, secara umum konflik yang terjadi di kawasanhutan dewasa ini merefleksikan kondisi para pihak yang berupaya merevitalisasi dan mereposisi perannya dalam pengelolaan sumber daya hutan serta pola interaksinya para pihak di sektor kehutanan. Dalam perspektif sosial politik, konflik di kawasan hutan mencerminkan perubahan sistem politik
84
Ibid. Agung Nugraha, Menyongsong Perubahan Menuju Revilalisasi Sektor Kehutanan, (Jakarta : Aksara, 2004), hlm. 105-106. 85
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
(pemilikan dan penguasaan) terhadap hak politik berupa kewenangan dalam penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan. Sementara dalam perspektif sosial ekonomi, konflik yang kirti berkembang merefleksikan tuntutan terhadap redistribusi aset dan manfaat kelola hutan berkaitan dengan redistribusi rente ekonomi pengelolaan hutan adil dan profesional. Dari perspektif sosial budaya, terdapat perubahan paradigma sistem dan tata nilai pengelolaan sumber daya hutan yang berbasis tradisi dan kearifan lokal. Bertitik tolak dari pendapat di atas, salah satu cara untuk menghindari jangan sampai timbul konflik kepentingan terhadap kawasan hutan tersebut, perlu dilakukan upaya meredamnya. Oleh karena itu, pemerintah telah melakukan upaya dengan memasukan pengelolaan kawasan hutan pada UU Nomor 41 Tahun 1999, dengan mengaturnya dalam Pasal 21 UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi : a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; c) rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan d) perlindungan hutan dan konservasi alam. Dalam penjelasan UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa hutan merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu pengelolaan hutan dilaksanakan dengan dasar akhlak mulia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Penulis dengan demikian pelaksanaan setiap komponen pengelolaan hutan harus memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat, aspirasi dan persepsi masyarakat adat, serta memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat yang kenyataannya masih ada serta pertimbangan pemerintah pusat pada Provinsi yang diberikan Otonomi Khusus. Oleh karena itu, pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah. Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam pengelolaan hutan adalah terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dan khususnya masyarakat adat yang bermukim di sekitar hutan, maka dalam pengelolaannya harus dilaksanakan secara profesional. Keprofesionalan pengelolaan ini, harus diutamakan, karena mengingat berbagai kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat berkait
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuhkan kemampuan pengelolaan secara khusus. Hutan merupakan sumber daya alam dan memihki potensi yang dapat dikembangkan untuk keperluan masyarakat, baik secara individu maupun secara berkelompok. Selain itu, hutan juga mempunyai nilai sangat berharga bagi suatu daerah, baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota. Karena penyebaran wilayah hutan sangat luas, dan kadangkala melintasi batas wilayah antara kabupaten dan provinsi, untuk mencegah terjadinya ketidakjelasan kewenangan antara daerah tersebut perlu diatur secara konkret. Dalam Pasal 17 UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat : (a) provinsi 86; (b) kabupaten/kota; 87 dan unit pengelolaan ayat (l) 88. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan hutan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan ayat (2). Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri ayat (3). Sementara itu, dalam pembentukan wilayah pengelolaan hutan maka yang Perlu mendapat perhatian dari pemerintah adalah mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan, hal ini sesuai Pasal 18 UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan enutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna 86
Pengelolaan hutan tingkat provinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah provinsi yang dapat dikelola secara lestari. 87 Pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari. 88 Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan perantukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain Kesaman Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesaman Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKM), dan Kesatuan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KPDAS).
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
optimalisasi 89 manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat ayat (1). Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional ayat (2). Hutan memiliki fungsi yang begitu penting bagi masyarakat dan lingkungan, sehingga dibutuhkan kebijakan pemerintah dalam melakukan tindakan penutupan terhadap hutan dari kegiatan manusia. Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penutupan hutan (forest coverage) adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem hutan. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar merupakan curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit, dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air, maka ditetapkan luas kawasan hutan dalam setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau, minimal 30% dari luas daratan. Selanjutnya pemerintah menetapkan luas kawasan hutan untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan kondisi biofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat. Berdasarkan
pertimbangan
tersebut
di
atas,
bagi
provinsi
dan
kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya di atas 30%, tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, luas minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas masyarakat. Sebaliknya, bagi provinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya kurang dari 30%, perlu menambah luas hutannya.
89
Optimalisasi manfaat adalah kesinambungan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi secara lestari.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Sejalan dengan pembentukan wilayah pengelolaan hutan, suatu hal yang sangat perlu mendapatkan perhatian adalah adanya kegiatan penyusunan rencana kehutanan. Hal ini sesuai ketentaun dalam Pasal 20 UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah menyusun rencana kehutanan. Rencana kehutanan dimaksud disesuaikan dengan mempertimbangkan jangka waktu perencanaan, skala geografis, dan menurut fungsi pokok kawasan hutan. Sehubungan dengan pengelolaan hutan, maka salah satu hal yang sangat berkaitan dengan pengelolaan hutan adalah tata hutan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 22 UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan hutan yang lebih intensif 90 untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal 91 dan lestari. Tata hutan meliputi pembagian kawasan pada blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan ayat (2). Blok-blok tersebut dibagi lagi ke dalam petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan ayat (3). Berdasarkan blok dan petak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu ayat (4). Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan peraturan pemerintah ayat (5). Implementasi dari ketentuan Pasal 22 UU Nomor 41 Tahun 1999 tersebut, Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, peraturan ini merupakan PP menggantikan PP Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Terjadinya pembahan PP Nomor 34 Tahun 2002 ke PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan dalam diktum pertimbangan PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, dalam rangka meningkatkan laju pertumbuhan pembangunan nasional berkelanjutan diperlukan beberapa langkah strategis yang dapat mendorong pertumbuhan investasi, percepatan pembangunan 90
Intensif pengelolaan adalah tingkat keragaman pengelolaan hutan sesuai dengan fungsi dan kondisi masing-masing kawasan. 91 Efisiensi pengelolaan adalah pelaksanaan pengelolaan hutan untuk mencapai suatu sasaran yang optimal dan ekonomis dengan cara sederhana.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
hutan tanaman, pengendalian degradasi hutan dan peningkatan perekonomian nasional termasuk perekonomian masyarakat di dalam dan di sekitar hutan melalui deregulasi dan debirokratisasi yang dilandasi prinsip good governance dan pengelolaan hutan lestari. Dalam Pasal 2 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan 92 serta pemanfaatan hutan merupakan bagian dari pengelolaan hutan. Oleh karena iru, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan merupakan suatu kegiatan yang sangat penting, maka kewenangan untuk melakukan penataan hutan merupakan tanggung jawab pemerintah, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 3 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di seluruh kawasan hutan merupakan kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah ayat (1). Seluruh kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri 3 (tiga) fungsi pokok hutan, yaitu: (a) hutan konservasi; (b) hutan lindung; dan (c) hutan produksi ayat (2). Kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terbagi dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yang menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota ayat (3). Pengelolaan dan pemanfaatan hutan merupakan suatu usaha yang padat modal dan memerlukan teknologi tinggi, sementara itu, pemerintah tidak memiliki modal yang cukup untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan. Oleh karena itu, pemerintah diperkenankan untuk menyerahkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan kepada pihak swasta nasional, yakni Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 4 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemerintah dapat melimpahkan penyelenggaraan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada badan usaha milik negara (BUMN) bidang kehutanan ayat (1). Direksi BUMN bidang kehutanan yang mendapat pelimpahan penyelenggaraan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 92
Pengelolaan hutan meliputi kegiatan: (a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaanhutan; (b) pemanfaatan hutan; (c) penggunaan kawasan hutan; (d) rehabilitasi dan reklamasi hutan; serta (c) perlindungan hutan dan konservasi alam. Pcngaturan mengenai pengguaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam, diaur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
membentuk organisasi kesatuan pengelolaan hutan (KPH) dan menunjuk kepala kesatuan pengelolaan hutan (KPH) ayat (2). Penyelenggaraan pengelolaan hutan oleh badan usaha milik negara (BUMN), tidak termasuk kewenangan publik 93 ayat (3). Penyelenggaraan pengelolaan hutan oleh badan usaha milik negara (BUMN) bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri ayat (4). Hutan yang merupakan hamparan yang luas, berbukit, landai, dan segala masalah yang terdapat di dalamnya memerlukan suatu penanganan yang khusus agar lebih fokus, sehingga memudahkan untuk menanganinya apabila terjadi masalah-masalah yang berkaitan dengan hutan tersebut. Keberadaan lembaga ini merupakan perpanjangan tangan pemerintah di bidang kehutanan, yang diharapkan dapat mengurus segala masalah yang berkaitan dengan kehutanan, lembaga tersebut yang lazim disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan. Dalam Pasal 5 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, Kesatuan Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) meliputi : (a) Kesatuan Pengelolaan Hutan konservasi (KPHK); (b) Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL); dan (c) Kesatuan Penegelolaan Hutan Produksi (KPHP). Oleh karena itu, tugas Kesatuan Pengelolaan Hutan disesuaikan dengan fungsi hutan yang ada, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 6 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, Kesatuan Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan ayat (1). Dalam hal satu kesatuan pengelolaan hutan dapat terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan, dan penetapan kesatuan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan fungsi yang luasnya dominan 94 ayat (2).
93
Termasuk dalam kewenangan publik antara lain, adalah: (a) penunjukan dan penetapan kawasan hutan; (b) pengukuhan kawasan hutan; (c) pinjam pakai kawasan hutan; (dl tukar-menukar kawasan hutan; (e) perubahan status dan fungsi kawasan hutan; (f) proses dan pembuatan berita acara tukar-menukar, pinjam pakai kawasan hutan; (g) pemberian izin pemanfaatan hutan kepada pihak ketiga atas pengelolaan hutan yang ada di wilayah kerjanya; (h) kegiatan yang berkaitan dengan Penyidik Pcgawai Negeri Sipil Kehutanan. 94 Fungsi yang luasnya dominan adalah apabila dalam satu wilayah KPH terdiri lebih dari satu fungsi hutan, misalnya terdiri atas hutan yang berfungsi produksi dan hutan yang berfungsi lindung, dan jika areal dari salah satu fungsi hutan, misalnya fungsi produksi, lebih luas atau mendominasi areal yang
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Sejalan dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 6 di atas, penentuan luas wilayah kerja dari kesatuan pengelolaan hutan ditentukan oIeh Menteri, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, Menteri menetapkan luas wilayah kerja kesatuan pengelolaan hutan dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu wilayah daerah aliran sungai (DAS) atau satu satu kesatuan wilayah ekosistem ayat (1). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan luas satu kesatuan pengelolaan hutan (KPH) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri ayat (2). Ketentuan mengenai pembentukan dan tata cara penetapan kesatuan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur berdasarkan ketentuan paraturan Perundang-undangan ayat (3). Sementara itu, menyangkut mengenai bagaimana sistem organisasi dari kesatuan pengelolaan hutan merupakan tanggung jawab pemerintah, baik provinsi dan pemerintah kabupaten, hal ini diatur dalam Pasal 8 PP 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemerintah dan/atau pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota,
sesuai
kewenangannya
menetapkan
organisasi
kesatuan
pengelolaan hutan : (a) kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK); atau (b) kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL) dan kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP) yang wilayah kerjanya lintas provinsi ayat (2). Organisasi kesatuan pengelolaan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi organisasi kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL) dan kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP lintas kabupaten/kota ayat (3)). Organisasi kesatuan pengelolaan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi organisasi kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL) dan kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP) dalam wilayah kabupaten/kota ayat (4). Pembentukan organisasi kesatuan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) didasarkan pada pedoman, kriteria dan standar ayat (5). Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman, kriteria dan standar pembentukan organisasi kesatuan berfungsi lindung, maka KPH tersbeut dinamakan KPH produksi. Penentuan KPH berdasarkan funsi yang luasnya iominan adalah untuk efektifitas dan efisiensi pengelolaannya.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan peraturan menteri ayat (6). Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 8 di atas, kesatuan pengelolaan hutan dalam menjalankan kegiatannya dilengkapi pula dengan tugas dan fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 9 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, organisasi kesatuan pengelolaan hutan mempunyai tugas dan fungsi : (a) menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi : (1) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; (2) pemanfaatan hutan; (3) penggunaan kawasan hutan; (4) rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan (5) perlindungan hutan dan konservasi alam;
(b)
menjabarkan
kebijakan
kehutanan
nasional,
provinsi
dan
kabupaten/kotabidang kehutanan untuk diimplementasikan; (c) melaksanakan kegiatan
pengelolaan
pengorganisasian,
hutan
pelaksanaan
di dan
wilayahnya pengawasan
mulai serta
dari
perencanaan,
pengendalian;
(d)
melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya; (e) membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan ayat (1). Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi organisasi kesatuan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesiahuruf a angka 1 dan angka 2 diatur dengan peraturan Menteri berdasarkan reraturan pemerintah ini ayat (2). Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi organisasi kesatuan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka : angka 4, dan angka 5 diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah yang lain ayat (3). Oleh karena itu, dalam menjalankan roda organisasi kesatuan rengelolaan hutan ini, tentuny a membutuhkan infrastrukturnya, hal ini diatur dalam Pasal 10 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya bertanggung jawab terhadap pembangunan kesatuan pengelolaan hutan dan infrastrukturnya ayat (1). Dana bagi pembangunan kesatuan pengelolaan hutan bersumber dari : (a) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); (b) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD); dan/atau (c) dana lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan ayat (2).
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan hutan. Oleh karena kegiatan tata hutan, pemanfaatan hutan, dan penggunaan kawasan hutan dilaksanakan pada wilayah hutan dalam bentuk unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan. Dalam Pasal 11 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, tata hutan sebagaimana dimaksud ialam Pasal 2 dilaksanakan pada setiap kesatuan pengelolaan hutan disemua kawasan hutan ayat (1). Pada areal tertentu dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), dapat ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan desa atau kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) ayat (2). Dalam kegiatan tata hutan, Kesatuan Pengelolan Hutan harus memperhatikan areal terrtentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3). Sementara itu, dalam kenyataannya kegiatan yang dilakukan dalam rangka kegiatan tata hutan merupakan rangkaian yang berhubungan dengan tata batas, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 12 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, kegiatan tata hutan di kesatuan pengelolaan hutan terdiri atas : (a) tata batas; (b) inventarisasi hutan; (c) pembagian ke dalam blok atau zona; (d) penbagian petak dan anak petak; dan (e) pemetaan ayat (1). Hasil kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa inventarisasi penataan hutan yang disusun dalam bentuk buku dan peta penataan Kesatuan Pengelolaan Hutan ayat (2). Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan ayat (3). Sejalan dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 12 di atas, salah satu tugas kesatuan pengelolaan hutan, yakni menyusun program kerja yang terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 13 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, kepala kesatuan pengelolaan hutan, menyusun rencana pengelolaan hutan berdasarkan hasil kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dengan mengacu pada rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota dan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan (ayat (1)). Rencana pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : (a) rencana pengelolaan hutan jangka panjang; dan (b) rencana pengelolaan hutan jangka
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
pendek ayat (2). Rencana pengelolaan hutan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disusun oleh kepala kesatuan pengelolaan hutan ayat (3). Rencana pengelolaan hutan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memuat unsur-unsur sebagai berikut : (a) tujuan yang akan dicapai Kesatuan Pengelolaan Hutan; (b) kondisi yang dihadapi; dan (c) strategi serta kelayakan pengembangan pengelolaan hutan, yang meliputi tata hutan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan dan konservasi alam ayat (4). Rencana pengelolaan hutan jangka pendek, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disusun oleh pejabat yang ditunjuk oleh kepala kesatuan pengelolaan hutan ayat (5). Rencana pengelolaan jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (5), memuat unsur-unsur sebagai berikut : (a) tujuan pengelolaan hutan lestari dalam skala kesatuan pengelolaan hutan yang bersangkutan; (b) evaluasi hasil rencana jangka pendek sebelumnya; (c) target yang dicapai; (d) basis data dan informasi; (e) kegiatan yang akan dilaksanakan; (f) status neraca sumber daya hutan; (g) pemantauan evaluasi, dan pengendalian kegiatan; dan (h) partisipasi para pihak ayat (6). Rencana pengelolaan hutan jangka pendek disusun berdasarkan rencana pengelolaan hutan jangka panjang ayat (7). Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 13 di atas, rencana yang telah disusun oleh kesatuan pengelolaan hutan tidak akan sah sepanjang belum disahkan oleh pejabat yang berwenang. Hal ini diatur dalam Pasal 14 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, Menteri, gubernur atau bupati/ walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai kewenangannya, mengesahkan rencana pengelolaan hutan jangka panjang yang disusun oleh kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) ayat (1). Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan mengesahkan rencana pengelolaan hutan jangka pendek yang disusun oleh pejabat yang ditunjuk oleh kepala kesatuan Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (5). Oleh karena itu, rencana jangka panjang telah disusun oleh kepala Kesatuan Pengelola Hutan khususnya jangka panjang disahkan oleh Menteri dengan limit waktu tertentu, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 15 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, rencana pengelolaan hutan jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) harus disahkan oleh
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Menteri paling lambat 5 (lima) tahun, sejak organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan ditetapkan ayat (1). Dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan yang telah memiliki rencana pengelolaan hutan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan hutan dengan izin pemanfaatan hutan ayat (2). Dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan yang dalam jangka waktu 5 tahun belum memiliki rencana pengelolaan hutan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kegiatan pemanfaatan hutan dapat dilaksanakan berdasarkan pada rencana kehutanan tingkat nasional ayat (3). Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri ayat (4). Dengan demikian, bagi wilayah kehutanan yang belum mempunyai rencana pengelolaan jangka panjang, maka Menteri dapat menunjuk instansi menyusunnya, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 16 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, Menteri menunjuk instansi kehutanan untuk menyusun rencana pengelolaan dan kegiatan pengelolaan hutan dalam wilayah kesatuan pengelolaan hutan yang belum terbentuk organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan. 2.1.4 Perizinan Kehutanan Dan Perlindungan Hutan Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya perusakan hutan adalah penggunaan instrumen perizinan. Dalam Pasal 50 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa, setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan 95. Untuk mengefektifkan mengenai pelaksanaan izin usaha yang berkaitan dengan pengelolaan atau pengusahaan hutan tersebut, maka diperlukan suatu pelaranganpelarangan. Untuk lebih mengefektifkan mengenai pelarangan terhadap perusakan. hutan tanpa izin, maka diatur mengenai beberapa larangan yang berkaitan 95
Kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayati yang menyebabkan hutan tersebut atau tidak dapat berperan dengan fungsinya.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
perlindungan hutan tersebut. Hal ini sesuai Pasal 50 ayat (2) yang dinyatakar. sebagai berikut : (a) mengerjakan 96 dan atau menggunakan 97 dan atau menduduki98 kawasan hutan secara tidak sah; (b) merambah kawasan hutan 99 (c) melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan : 1) 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2) 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa: 3) 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4) 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5) 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 5) 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. (b) membakar hutan 100; (c) menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (d) menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan atau yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; (e) melakukan kegiatan penyelidikan umum 101 atau eksplorasi 102 atau eksploitasi 103 bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin menteri; (f) mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak
96
Mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perdagangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lain. 97 Menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, pengembalaan, perkemahan. atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan. 98 Menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan hutan tanpa membangun tempat permukiman, gedung, dan bangunan lainnya. 99 Merambah hutan adalah, melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang. 100 Pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang. Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang. 101 Penyelidikan umum adalah penyelidikan secara geologi umum atau geofisika di daratan, perairan, dan dari udara, dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian. 102 Eksplorasi adalah segala penyelidikan gcologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti dan lebih saksama adanya bahan galian dan sifat letaknya. 103 Eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
dilengkapi bersama-sama 104 dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; (g) menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang; (h) membawa alat-alat berat 105 dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; (i) membawa alat-alat yang lazim 106 digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; (j) membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan (k) mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuhtumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi Undang-Undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 50 di atas, diperlukan sebuah lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pengawasan atau tindakan represif kepada pelanggar ketentuan tersebut. Hal ini diatur Pasal 51 yang dinyatakan bahwa, untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian. Kewenangan yang diberikan kepada pejabat kehutanan tersebut adalah sebagai berikut: (a) mengadakan patroli/di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; (b) memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; (c) menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; (d) mencari keterangan dan barang bukti
104
Dilengkapi bersama-sama adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti. Apabila antara isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak sama dengan keadaan fisik, baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti. 105 Alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa traktor, buldozer, truk, logging truck, trailer, crane, tongkang, perahu klotok, helikopter, jeep, tugboat, dan kapal. 106 Tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa alat-alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan (e) dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan (f) membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Oleh karena itu, untuk memberikan gambaran mengenai apa dari bagaimana tujuan diadakannya peraturan khusus mengenai perlindungan hutan, sebagai suatu kegiatan yang sangat menentukan akan diuraikan dibawah ini. Kegiatan perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dan utama karena fakta menunjukkan bahwa, kerusakan
hutan
di
Indonesia
telah
masuk
pada
skala
yang
sangat
mengkhawatirkan, dan karenanya sangat pantas apabila pemerintah sangat menaruh perhatiannya
terhadap
perlindungan
hutan.
Menindaklanjuti
menyangkut
perlindungan hutan tersebut, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan mengganti PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. Kegiatan perlindungan hutan merupakan bagian yang hendak terpisahkan dari pengelolaan hutan, hal ini pada Pasal 2 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, perlindungan hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan hutan ayat (1). Kegiatan perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada wilayah hutan dalam bentuk Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), dan Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) ayat (2). Dengan demikian, pelaksanaan dan pengawasan perlindungan hutan merupakan kewenangan dari pemerintah, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 3 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 menjadi kewenangan Pemerintah dan atau pemerintah daerah ayat (1). Kegiatan perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di wilayah dan untuk kegiatan tertentu dapat dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kehutanan ayat (2). Sementara itu, pemerintah (pusat) sebagai sistem pemerintahan yang berada di ibu kota negara dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya tidak
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
akan mampu untuk mengontrol segala kegiatan yang ada kaitannya dengan roda pembangunan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat menyerahkan pelaksanaan kewenangan di bidang tertentu kepada daerah untuk melakukan pengawasan dan pengurusan terhadap bidang pembangunan, termasuk pula dalam bidang kehutanan. Dalam Pasal 3 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 menjadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah ayat (1). Kegiatan perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di wilayah dan untuk kegiatan tertentu, dapat dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kehutanan ayat (2). Namun demikian, pada sisi lain Menteri Kehutanan dapat mengeluarkan ketentuan khusus untuk melindungi hutan dari adanya kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan penelitian, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 4 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, dalam rangka kepentingan penelitian, pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, religi dan budaya, Menteri menetapkan perlindungan hutan dengan tujuan khusus ayat (1). Perlindungan hutan pada kawasan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan : (a) penelitian dan pengembangan dapat diberikan kepada lembaga yang melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan; (b) pendidikan dan pelatihan dapat diberikan kepada lembaga yang melaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan; (c) religi dan budaya dapat diberikan kepada lembaga yang melaksanakan kegiatan keagamaan dan kebudayaan ayat (2). Perlindungan hutan dengar tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. ayat (3). Ketentuan lebih lanjut tentang perlindungan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri ayat (4). Sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 4 di atas, tujuan dan prinsip-prinsip perlindungan hutan salah satu di antaranya bagaimana agar hutan yang menghasilkan aneka ragam kekayaannya dapat dimaksimalkan hasilnya. Dalam Pasal 5 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, penyelenggaraan perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi,
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
tercapai secara optimal dan lestari. Sementara itu, prinsip-prinsip yang akan dicapai dari adanya perlindungan hutan di antaranya adalah mencegah dan membatasi kerusakan hutan, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 6 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakana bahwa, prinsip-prinsip perlindungan hutan meliputi : (a) mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; (b) mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi, serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. 2.1.5
Pemanfaatan Hutan. Pemanfaatan hutan merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam mengelola hutan secara berkelanjutan. Sebab pemanfaatan hutan yang keliru dan salah dampaknya terhadap pengelolaan hutan sangat berpengaruh secara signifikan. Dalam kenyataannva sering pemanfaatan hutan ini oleh sebagian kalangan dianggap persoalan yang kecil, sehingga merasa tidak perlu melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan pemanfaatan, misalnya pembukaan hutan untuk kegiatan penanaman tanaman cokelat (kakao) yang luasnya lebih kurang satu hektar. Padahal dengan adanya pemanfaatan hutan yang skalanya kecil tersebut, pemerintah seringkali menganggapnya tidak perlu dengan izin dari pejabat yang berwenang. Sementara itu, pemanfaatan hutan mempunyai tujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Dalam Pasal 17 PP alum 2006 dinyatakan bahwa, pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat ayat (1). Pemanfaatan hutan sebagaimarta dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui kegiatan : (a) pemanfaatan kawasan; (b) pemanfaatan jasa lingkungan; (c) pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan (d) pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu ayat (2). Pemanfaatan hutan dilaksanakan rencana
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16, ayat (3). Salah satu kekayaan alam yang terkandung dalam sumber daya hutan adalah hasil berupa rotan dan hasil pemanfaatan hutan ini yang dapat diperdagangkan ke luar negeri. Menurut Hariadi Kartodihardjo yang mengutip pendapat Berge bahwa, karakteristik sumber daya yang dapat diperdagangkan atau diekspor baik berupa hasil pertanian, kehutanan, berbagai bentuk kegiatan ekstraktif dari sumber daya alam, serta jasa lingkungan adalah : (a) secara umum jenis sumber daya alam ini diproduksi dari sumber daya yang bersifat substractable,yaitu apabila dimanfaatkan pihak tertentu, pihak lain tidak memperolehnya (Private atau common pool goods); (b) dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu, hak untuk memanfaatkan jenis-jenis sumber daya dalam pengertian tradisional (ikan, kayu, bahan tambang, dan Iain-lain) bersifat independen satu dengan lainnya. Hal ini bukannya tidak memungkinkan kelompok secara keseluruhan menguasai sumber daya ini secara bersama-sama. Demikian pula, hak untuk memanfaatkan jasa ekosistem juga bersifat independen dari hak penguasaan oleh kelompok terhadap ekosistem tersebut; (c) secara umum jenis sumber daya alam ini diproduksi dari sumber daya tertentu, pihak lain tidak memperolehnya (private atau common pool goods). Dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu, hak untuk memanfaatkan jenis-jenis sumber daya dalam pengertian tradisonal bersifat independen satu dengan lainnya. Hal ini bukannya tidak memungkinkan kelompok secara keseluruhan menguasai sumber daya ini secara bersama-sama. Demikian pula, hak untuk memanfaatkan jasa ekosistem juga bersifat independen dari hak penguasaan oleh kelompok terhadap jasa ekosistem tersebut; (d) masalah keadilan pemanfaatan sumber daya ini maupun masalah kelestarian fungsinya adalah masalah manajemen pengelolaan sumber daya tersebut. 107 Sehubungan dengan ketentuan Pasal 15 PP Nomor 6 Tahun 2007, salah satu upaya yang mendukung rencana pengelolaan hutan dan merupakan 107
Op. cit., hlm. 12-13
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
implementasi dari rencana pengelolaan hutan adalah pemanfaatan hutan itu sendiri. Dalam Pasal 17 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat ayat (1). Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kegiatan : (a) pemanfaatan kawasan hutan; (b) pemanfaatan jasa lingkungan; (c) pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan (d) pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu ayat(2). Pemanfaatan
hutan
dilaksanakan
berdasarkan
rencana
pengelolaan
hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 ayat (3).Oleh karena itu, pemanfaatan hutan dapat dilakukan di seluruh kawasan hutan, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 18 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu kawasan; (a) hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional; (b) hutan lindung; dan (c) hutan produksi. Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 18 di atas, pemanfaatan hutan tetap wajib memiliki perizinan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Dalam Pasal 19 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan yang meliputi : (a) izin usaha pemanfaatan kawasan (IUPK); (b) izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) (c) izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK); (d) izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK); (e) izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK); dan (f) izin usaha pemafaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK). Sementara itu, usaha pemanfaatan hutan yang telah memiliki izin dan demi pertimbangan upaya untuk merealisir tujuan pemberian izin, maka pemegang izin tersebut dapat dipindahtangankan kepada pihak lain. Dalam Pasal 20 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat dipindahtangankan setelah mendapat persetujuan tertulis dari pemberi izin ayat (1). Areal izin pemanfaatan hutan tidak dapat dijadikan jaminan, agunan, atau dijaminkan kepada pihak lain ayat (2).
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
2.1.6 Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi Hutan pada umumnya memiliki peran yang amat penting dalam menyeimbangkan kondisi alam yang telah mengalami pergeseran ke pemanasan global. Oleh karena itu, dalam mengeksploitasi hutan, baik pada kawasan hutan lindung maupun hutan produksi memerlukan suatu pendekatan yang bijak agar hutan tetap berada pada posisinya sebagai penyeimbang lingkungan tersebut. Pada umumnya hutan memiliki fungsi sebagai hutan lindung dan hutan produksi yang nantinya dapat dimanfaatkan dan dikelola dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, dalam pemanfaatan hutan baik hutan lindung maupun hutan produksi maka di dalam pengelolaannya tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ada selama ini, dan karenanya pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut pasti akan menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat dan pembangunan itu sendiri. a). Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung Penentuan pemanfaatan hutan lindung merupakan suatu kegiatan yang mendapat perhatian khusus, sebab sering terjadi perambahan hutan lindung akibat ketidaktahuan masyarakat akan tata batas hutan lindung tersebut. Oleh karena itu, untuk meminimalisasi terjadinya perambahan hutan lindung, dalam Pasal 23 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemanfaatan hutan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dilakukan melalui kegiatan; (a) pemanfaatan kawasan; (b) pemanfaatan jasa lingkungan; atau (c) pemungutan hasil hutan bukan kayu ayat (1). Dalam blok perlindungan pada hutan lindung, dilarang melakukan kegiatan pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2). Selain pemanfaatan hutan lindung sebagai upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan hasil hutan kayu, juga perlu memperhatikan memanfaatkan pula kawasan lindung, hal mi sesuai ketentuan dalam Pasal 24 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemanfaatan kawasan pada hutan lindung
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), huruf a, dilakukan, antara lain, melalui kegiatan usaha: (a) budi daya tanaman obat; (b) budi daya tanaman hias; (c) budi daya jamur; (d) budi daya lebah; (e) penangkaran satwa liar; (f) rehabilitasi satwa; atau (g) budi daya hijauan makanan ternak ayat (1). Kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan : (a) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya; (b) pengolahan tanah terbatas; (c) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; (d) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau (e) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam ayat (2). Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri ayat (3). Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 24 di atas, di dalam hutan lindung terdapat aneka satwa dan aneka fauna yang memiliki nilai estetika dan nilai intrinsik yang perlu dilindungi. Dalam Pasal 25 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b dilakukan, antara lain melalui kegiatan usaha : (a) pemanfaatan jasa aliran air; (b) pemanfaatan air; (c) wisata alam; (d) perlindungan keanekaragaman hayati; (e) penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau (f) penyerapan dan/atau penyimpanan karbon ayat (1). Kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung, 108 dilakukan
dengan
ketentuan
tidak
:
(a)
mengurangi,
mengubah,atau
menghilangkan fungsi utamanya; (b) mengubah bentang alam; dan (c) merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan 109 ayat (2). Pemegang izin, dalam melakukan kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air dan pemanfaatan air pada
108
Termasuk dalam potensi jasa lingkungan pada hutan lindung adalah dapat berupa : (a) pengatur tata air; (b) penyedia keindahan alam; (c) penyedia sumber keanekaragaman hayati; atau (d) penyerap dan penyimpan karbon. 109 "Unsur-unsur lingkungan" adalah unsur hayati seperti dinamika populasi flora-flora, phytogeografi dan unsur nonhayati seperti sifat fisik dan kimia tanah, bebatuan, hydrografi, suhu dan kelembaban.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
hutan lindung, harus membayar kompensasi 110 kepada pemerintah ayat (3). Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan menteri 111 ayat (4). Selain pemanfaatan jasa lingkungan sebagai bagian terpenting dari hasil aset yang terkandung dalam hutan lindung, maka dalam hutan lindung juga memiliki hasil hutan baik jasa maupun hasil bukan kayu yang dapat dimanfaatkan. Dalam Pasal 26 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c, antara lain berupa: (a) rotan; (b) madu; (c) getah; (d) buah; (e) jamur; atau (f) sarang burung walet ayat (1). Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan : (a) hasil hutan bukan kayu yang dipungut harus sudah tersedia secara alami' (b) tidak merusak lingkungan; dan (c) tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya ayat (2). Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung hanya boleh dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan ayat (3). Pada hutan lindung, dilarang: (a) memungut hasil hutan bukan kayu yang banyaknya melebihi kemampuan produktifitas lestarinya; (b) memungut beberapa jenis hasil hutan yang dilindungi oleh undang-undang ayat (4). Ketentuan lebih lanjut mengenai pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan peraturan Menteri ayat (5). Sementara itu dalam pemanfaatan hutan pada hutan lindung tetap mempergunakan prosedur perizinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, dalam suatu izin pemanfaatan kawasan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) 110
Kompensasi dalam ketentuan ini adalah membayar dengan sejumlah dana atas pemanfaatan air dan jasa aliran air untuk pemeliharaan dan rehabilitasi daerah tangkapan air. Dana kompensasi yang berasal dari pemanfaatan air dan jasa aliran air disetor ke Kas Negara dan diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 111 Termasuk yang diatur dalam peraturan menteri, antara lain, adalah kriteria, pedoman, tata cara pemanfaatan jasa lingkungan dan pengenaan serta pemungutan dan kompensasi.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
huruf a dapat meliputi beberapa izin kegiatan usaha budi daya tanaman obat, tanaman hias, jamur dan lebah ayat (1). Pemberi izin, dilarang me-ngeluarkan izin pada areal pemanfaatan kawasan atau jasa lingkungan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c dapat dikeluarkan dengan komoditas yang berbeda ayat (2). Berkaitan dengan pemberian izin pemanfaatan hutan pada hutan lindung, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 di atas, sebagai konsekuensi dari adanya pemberian izin, akan terjadi pembatasan waktu berlakukunya perizinan tersebut, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 28 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, jangka waktu izin usaha pemanfaatan kawasan (IUPK) pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, sesuai dengan jenis usahanya, diberikan paling lama 10 (sepuluh) tahun ayat (1). IUPK pada
hutan
lindung
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dapat
diperpanjangberdasarkan evaluasi yang diberikan secara berkala setiap 1 (satu) tahun oleh pemberi izin ayat (2). IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan: (a) paling luas 50 (lima puluh) hektar untuk setiap izin; (b) paling banyak 2 (dua) izin untuk setiap perorangan atau koperasi dalam setiap kabupaten/kota ayat (3). Sementara itu, pembatasan jangka waktu berlaku juga untuk pemberian jasa pada hutan lindung, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 29 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, jangka waktu izin usaha pengelolaan jasa lingkungan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b, diberikan sesuai dengan kegiatan usahanya, yaitu untuk izin : (a) pemanfaatan jasa aliran air diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun; (b) pemanfaatan air diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dengan volume paling banyak 20% (dua puluh perseratus) dari debit; (c) wisata alam diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dengan luas paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari luas blok pemanfaatan; (d) perlindungan keanekaragaman hayati diberikan untuk jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun dengan luas sesuai kebutuhan investasi; (e) penyelamatan dan perlindungan lingkungan diberikan untuk jangka waktu dan luas sesuai kebutuhan investasi; dan (f)
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
penyerapan dan/atau penyimpanan karbon diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dengan luas sesuai kebutuhan investasi ayat (1). IUPJL pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan secara berkala setiap 1 (satu) tahun oleh pemberi izin ayat (2). Sejalan dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 29 PP Nomor 6 Tahun 2007 di atas, khusus untuk jangka waktu izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung diatur dalam Pasal 30 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, jangka waktu izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK) pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c, sesuai dengan lokasi, jumlah, dan jenis hasil hutan bukan kayu yang dipungut, diberikan paling lama 1 (satu) tahun, kecuali untuk pemungutan sarang burung walet, diberikan paling lama 5 (lima) tahun ayat (1). IPHHBK pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang, berdasarkan evaluasi yang dilakukan setiap 6 (enam) bulan, kecuali untuk pemungutan sarang burung walet, dilakukan secara berkala setiap 1 (satu) tahun oleh pemberi izin ayat (2). b). Pemanfaatan Hutan Produksi Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang secara hukum dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan nasional dan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun demikian, pemanfaatan hutan produksi ini perlu tetap berpedoman pada prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang lestari dan berkesinambungan. Dalam Pasal 31 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pada hutan produksi, pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip untuk mengelola hutan lestari dan meningkatkan fungsi utamanya ayat (1). Pemanfaatan hutan pada hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain, melalui kegiatan : (a) usaha pemanfaatan kawasan; (b) usaha pemanfaatan jasa lingkungan; (c) usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam; (d) usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
tanaman; (e) usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam; (f) usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan tanaman; (g) pemungutan hasil hutan kayu dalam hutan alam; (h) pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman ayat (2). Sementara itu, pemanfaatan hutan produksi juga dapat dilaksanakan di kawasan hutan produksi, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 32 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pemanfaatan kawasan pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a, dilakukan antara lain, melalui kegiatan usaha : (a) budi daya tanaman obat; (b) budi daya tanaman hias; (c) budi daya jamur; (d) budi daya lebah; (e) penangkaran satwa; dan (f) budi daya sarang burung walet ayat (1). Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak bersifat limitatif dan dapat diberikan dalam bentuk usaha lain, dengan ketentuan : (a) luas areal pengelolaan dibatasi; (b) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; (c) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan (d) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam ayat (2). Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan kawasan pada hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri ayat (3). Oleh karena itu, perlu solusi agar hutan produksi tetap terjaga luasnya sehingga ke depan dapat diandalkan untuk menghasilkan devisa negara dan pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Menurut Hariadi Kartodihardjo mengatakan bahwa, secara teknis, kerusakan hutan alam produksi disebabkan oleh penebangan kayu melebihi pertumbuhan hutan, yang pada gilirannya membawa dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan. Namun keputusan teknis tersebut sangat tergantung pada aspek-aspek finansial, sosial, maupun institusional. Masalah-masalah institusional dapat mempengaruhi aspek finansial dalam hal ini pengaruh langsung terhadap penambahan biaya produksi. Untuk menghindari biaya produksi per m3 yang tinggi, salah saru cara yang ditempuh adalah menambah produksi kayu bulat. Jika kondisi demikian terjadi,
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
maka penerapan kebijakan teknis dan manajemen hutan untuk mengatur pelestarian pasti tidak berjalan. Kondisi
di
lapangan
berikut
menunjukkan
buruknya
situasi
instihisional pemerintahan yang menunjukkan bahwa berbagai kebijakan teknis tidak lagi mampu mendorong perubahan. Pertama, hubungan institusional pemerintahan saat ini belum mampu mewujudkan kesamaan langkah bagaimana hutan
produksi
dikelola
dan
dikendalikan
produksinya.
Angka-angka
menunjukkan secara nasional produksi kayu yang dikonsumsi industri perkayuan lebih dari 40% berasal dari izin-izin Bupati serta lelang dari penangkapan illegal logging, yang mana kedua sumber ini sebenarnya tidak dapat dikontrol Departemen Kehutanan. Di lapangan juga, produksi dapat diambil dari kawasan hutan yang masih dikelola oleh hak penguasaan hutan (HPH), bahkan dilakukan di hutan lindung maupun kawasan konservasi. Kedua, usaha kehutanan telah lama bergelut dengan ekonomi biaya tinggi yang terhitung sebagai biaya transaksi sebesar 12%-13% dari biaya total produksi per m3. Di samping itu, pungutan resmi yang dibayar juga ditambah dengan pungutan-pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (pemda) dan masyarakat, sehingga mengambil porsi antara 37%-46% dari total biaya produksi per m3. Ketiga, implikasi dari ketidakpastian kebijakan pengelolaan hutan serta tingginya biaya transaksi yang harus ditanggung oleh usaha kehutanan, telah mengakibatkan bangkrutnya usaha hak penguasaan hutan (HPH). Dari tahun 1998 sampai April 2004, jumlah hak penguasaan hutan (HPH) yang tidak beroperasi per tahun rata-rata 35 perusahaan. Namun demikian, kebangkrutan tersebut tidak dapat dilihat sebagai fenomena lima tahun belakangan ini. Perhitungan untuk mengetahui produksi kayu bulat yang tidak dilaporkan dari tahun 1977 sampai tahun 1998 menunjukkan bahwa selama periode tersebut rata-rata produksi kayu bulat dari hak penguasaan hutan HPH) yang tidak dilaporkan sebesar 12,8 juta m3 per tahun. Realitas tersebut menunjukkan bahwa pengusaha hak penguasaan hutan (HPH) sendiri juga melakukan pengurasan sumber daya hutan melebihi jatah tebangan yang
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
ditetapkan pemerintah cukup lama, sehingga menyebabkan kebangkrutan saat ini. 112 Menyimak dengan seksama terhadap pengaturan pemanfaatan hutan produksi dimaksudkan agar pengelolaannya tetap mengacu pada pengelolaan hutan produksi secara lestari. Dalam artian pengelolaan hutan produksi dengan baik diharapkan akan dapat memberikan kontribusi pembangunan ekonomi yang pada akhirnya akan menambah pendapatan negara dan daerah melalui retribusi, provisi sumber daya hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi (DR). Namun demikian, ternyata bahwa, pemanfaatan dan pengelolaan hutan produksi sebagai penyedia bahan baku kayu mengalami suatu perkembangan yang sangat tidak menggembirakan, karena terdapat permainan yang curang atau tidak jujur dari pengusaha yang bergerak di bidang pengelolaan hutan (HPH), khususnya yang mengelola hutan produksi. Hal
ini
sesuai
pendapat
yang
dikemukakan
oleh
Hariadi
Kartodihardjo 113 bahwa, data produksi log (kayu gelondongan/kayu bulat) oleh hak pengusahaan hutan yang dilaporkan Dephutbun selama tahun 1977-1998 ternyata hanya sekitar 51% dari perkiraan produksi log riilnya. Apabila jumlah produksi log nasional yang dilaporkan Dephutbun tersebut dibagi dengan luas hutan produktif yang diperhitungkan dalam setiap Rencana Kerja Tahunan, maka produktivitas hutan alam produksi sangat kecil, yaitu hanya sebesar antara 28 m3/ha sampai 11,3 m3/ha. Perkiraan produksi riil dapat diperhitungkan dari besarnya produktivitas hutan berdasarkan angka konservatif nasional, yaitu sebesar antara 45 m3/ha pada tahun 1977 dan berkurang menjadi 30 m3/ha pada tahun 1998 (FAO and GOI, 1990 dan Dephutbun 1999). Berdasarkan simulasi perhitungan produksi log riil tersebut, selama periode tahun 1977 sampai tahun 1998 jumlah log yang tidak dilaporkan diperkirakan sebesar 477,4 juta m3 atau rata-rata sebesar 12,8 juta m3 per tahun. Dari perkiraan angka-angka tersebut, dapat diperhitungkan bahwa kerugian ekonomi bagi negara sangat besar. 112
Hariadi Kartodihardjo, op.cit., him. 141-142. Hariadi Kartodihardjo, Masalah Struktural dalam Implemenlasi Kebijakan Baru Kehutanan, dalam Ida Ayu Pradnya Reksosudarmo, op.cit., 178 113
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Apabila rata-rata harga log diperhitungkan sebesar US$ 90 per m3 sebagai nilai saat ini, maka kerugian materiil selama periode 22 tahun tersebut sebesar US$ 25,3 miliar atau rata-rata US$ 1,3 miliar per tahun. Berdasarkan nilai ini pula, negara juga sudah kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar sekitar US$ 239 juta per tahun dan Dana Reboisasi (DR) sekitar US$ 11 juta per tahun. Bertitik tolak dari pandangan Hariadi Kartodihardjo tersebut, pada prinsipnya dana yang diambil dari pemanfaatan hasil hutan berupa proyisi sumber daya hutan (PSDH) maupun Dana Reboisasi (DR) merupakan suatu dana yang mampu menggerakkan pembangunan dalam rangka peningkatkan pendapatan masyarakat, khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar dan di dalam hutan. Namun demikian, penggunaan dana provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi ini penggunaannya tidak transparan, sehingga menimbulkan berbagai tanggapan, baik tanggapan dari masyarakat, lembaga swadaya masyarakat maupun kalangan anggota DPR itu sendiri. Malahan yang terjadi sampai pada persoalan apakah dana reboisasi masuk Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau bukan. Namun yang pasti dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNPB). Dengan demikian, polemik masuk tidaknya Dana Reboisasi (DR) dalam APBN, menimbulkan dua pendapat yang pro dan kontra. Hal ini sesuai pendapat yang dikemukakan oleh Dodik Ridho Nurrochmat, bahwa semua penerimaan negara (termasuk Dana Reboisasi) idealnya memang masuk APBN (dan sekarang sudah masuk APBN), sehingga penggunaan dana dapat dilihat cara transparan oleh rakyat melalui wakilnya di DPR. Namun demikian, bukan berarti apabila Dana Reboisasi dimasukkan dalam APBN lantas bermasalah, karena pertama, Dana Reboisasi sesungguhnya bukan merupakan pendapatan negara dan alokasi penggunaannya sudah ditentukan dengan jelas dalam peraturan perundang-undangan. Dana Reboisasi adalah dana dari pengusaha hutan untuk reboisasi. Jika Dana Reboisasi masuk APBN dan dimanfaatkan untuk kepentingan bujet (budget), hal ini sama dengan meminjam dari masyarakat, yang pemerintah menerapkan sistem defisit bujet. Kedua, yang
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
perlu menjadi bahan pertimbangan adalah masalah efisiensi penggunaan dana. Banyak pihak terutama dari kalangan rimbawan mengkhawatirkan apabila Dana Reboisasi dimasukkan dalam APBN, dana tidak dapat turun dengan cepat dan sangat berpotensi untuk dimanfaatkan bagi kepentingan nonreboisasi. Kekhawatiran seperti ini sangat beralasan karena APBN adalah anggaran milik "umum" dengan proses pengalokasian dana yang lebih panjang rantai birokrasinya. Adapun dengan dana yang "tinggal diambil" seperti sekarang saja, dirasakan masih terlalu lambat untuk mengimbangi laju pembalakan yang mau tidak mau, atas nama kepentingan ekonomi nasional, harus dilakukan. Apalagi kalau Dana Reboisasi harus melewati proses birokrasi yang lebih panjang, upaya mempercepat laju penanaman bisa jadi makin tersendat. Sebenarnya, tanpa masuk anggaran rendapatan dan belanja negara (APBN) pun, peraturan yang ada saat ini sudah cukup memadai untuk mengatur penggunaan Dana Reboisasi secara baik, asalkan mekanismenya dilakukan transparan. Sesuai dengan aturan yang ada, pengusahaan Dana Reboisasi dilaksanakan berdasarkan rencana kegiatan yang telah memperoleh persetujuan Presiden, yang mekanismenya diatur bersama oleh Menteri Kehutanan. Sekarang
masalahnya
tinggal
apakah
dimungkinkan
Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) memperoleh keterangan yang terperinci dan transparan dari Menteri Kehutanan (Menhut) dan Menteri Keuangan (Menkeu) tentang penggunaan Dana Reboisasi sebagaimana rencana kegiatan yang telah disusun. Apabila jawabannya mungkin, maka Dana Reboisasi masuk anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) ataupun tidak, menjadi tidak terlalu penting. 114 Sementara itu menurut Hariadi Kartodihardjo bahwa, apabila "sekadar" ada produksi yang tidak dilaporkan, tetapi jumlah produksi itu tetap berpegang pada kemampuan hutan, dan perlindungan hutan dilaksanakan dengan baik, maka kerusakan hutan tidak terjadi. Namun, berdasarkan data Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dephutbun) (1999) diungkapkan
114
Dodik Ridho Nurrochmat, Strategi Pengelolaan Hutan ..., op.cit., hlm. 90-91.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
bahwa dalam kawasan hutan alam produksi yang sedang diusahakan saat ini sampai akhir tahun 1998, telah mengalami kerusakan sekitar 16,6 juta ha. Hal ini menunjukkan bahwa di samping produksi yang tidak dilaporkan, dalam pengusahaan hutan juga terjadi penebangan melebihi jatah produksi dan berada di luar blok tebangan yang telah ditetapkan. Perkiraan nilai kerugian baru diperhitungkan terhadap apa yang terjadi dalam pengusahaan hutan alam, yang dilakukan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kerugian lainnya yang lebih sulit untuk prediksi nilainya adalah kerugian dari banyaknya pencurian kayu yang terkoordinasi, yang dilakukan baik di dalam kawasan hutan produksi maupun kawasan hutan lainnya. 115 c). Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk melestarikan hutan selalu mendorong kepada pengusaha yang menanam modalnya di sektor kehutanan agar melakukan penanaman kembali hutan yang telah ditebang atau hutan yang tidak produktif lagi. Untuk merealisasikan program tersebut pemerintah, memberikan kemudahan pendanaan dalam bentuk kredit perbankan dengan bunga yang rendah. Dalam Pasal 37 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d dapat dilakukan pada : (a) Hutan Tanaman Industri (HTT); (b) Hutan Tanaman Rakyat (HTR); atau (c) Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR). Sementara itu, pemanfaatar. hasil hutan tanaman industri kegiatan yang berkaitan dengan upaya sistem silvikultur, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 38 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (HTI) dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya ayat (2). Pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (HTI), 115
Ibid., him. 178-179.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif ayat (5). Tanaman yang dihasilkan dari izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (UPHHK) pada hutan tanaman industri (HTI) merupakan aset pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku ayat (4)). Tanaman yang dihasilkan dari izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan tanaman industri rakyat (HTIR) merupakan aset pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku ayat (5). Pemerintah, sesuai ketentuan peraturan rerundang-undangan, membentuk lembaga keuangan untuk mendukung hutan tanaman rakyat (HTR) (ayat (6). Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (HTR) dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (6) diatur dengan peraturan menteri ayat (7). Sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 38 di atas, pemanfaatan hutan produksi yang berasal dari hutan tanaman industri (HTI) perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya agar tujuan dan sasaran program hutan tanaman industri (HTI) mencapai hasil yang maksimal. Dalam Pasal 39 PP Nomor 6 tahun 2007 dinyatakan bahwa, pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (HTI) dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dapat berupa : (a) tanaman sejenis; dan (b) tanaman berbagai jenis ayat (1). Ketentuan lebih lanjut mengenai tanaman sejenis dan berbagai jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan remerintah ayat (2). Oleh karena itu, yang menentukan pengalokasian areal hutan tanaman adalah Menteri, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 40 PP Nomor 6 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, menteri, dalam hutan tanaman rada hutan produksi, mengalokasikan dan menetapkan areal tertentu untuk membangun hutan tanaman rakyat (HTR), berdasarkan usulan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) atau pejabat yang ditunjuk ayat (1). Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (HTR) dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf b dapat dilakukan dengan atau lebih sistem silvikultur sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya ayat (2).
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (HTR) dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran ayat (3). pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (HTR) dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri ayat (3). Menurut Hariadi Kartodihardjo, bahwa pertengahan tahun 1980 an, pemerintah dihadapkan pada kondisi yang saling kontradiktif. Pertama, banyak hak penguasaan hutan (HPH) yang hutannya rusak dan tidak diperpanjang serta pengelolaannya dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga pemerintah harus melaksanakan mekanisme baru dalam upaya 116
rehabilitasi hutan alam. Kedua, penerimaan devisa melalui ekspor kayu
olahan, khususnya kayu lapis, serta daya serap tenaga kerja oleh hak pengelolaan hutan (HPH) dan industri perkayuan harus dipertahankan. Menghadapi kenyataan demikian, pembangunan hutan tanaman industri (HTI) dianggap sebagai suatu solusi untuk meningkatkan produktivitas hutan produksi, sehingga insentif pembangunan hutan tanaman industri (HTI) diwujudkan, dan kenyataannya sangat menarik swasta, terutama adanya subsidi dari Dana Reboisasi. Namun demikian, karena pasokan kayu dari hutan alam terus melimpah karena juga dipasok dari kayu ilegal yang menyebabkan harga kayu hutan tanaman industri (HTI) sangat murah, maka perusahaan hutan tanaman industri (HTI) tidak pernah diperhitungkan layak secara finansial, jika ia mandiri. Kebijakan pemerintah tersebut telah dimanfaatkan oleh sejumlah investor nakal untuk mendapatkan fasilitas pembangunan hutan tanaman industri (HTI) yang tujuannya memperoleh kayu dari hutan alam yang dijadikan lokasi hutan tanaman industri (HTI) serta memperoleh subsidi dari dana reboisasi. Pelajaran yang dapat diambil dari adanya hambatan dalam rangka pembangunan hutan tanaman industri merupakan suatu masalah yang perlu
116
Hariadi Kartodihardjo,…..op. cit., hlm. 151.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
segera diatasi, jika pemerintah mempunyai keinginan untuk menjadikan hutan tanaman industri (HTI) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan kehutanan di Indonesia di masa yang akan datang. Sebab karena negara-negara lain pun telah melakukan pembangunan hutan tanaman industri (HTI) dalam rangka mengatasi kebutuhan baku kayu untuk industri mereka. Lebih jauh Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan bahwa, artinya, ketiadaan upaya-upaya yang nyata dalam menangani perambahan hutan dan kayu ilegal yang marak dewasa ini, sekitar sepuluh tahun mendatang sudah tidak ada yang dapat diharapkan dari hutan produksi untu pasok kayu bulat domestik. Dari sisi pemasaran ekspor, defisit kayu bula untuk permintaan ekspor juga cenderung semakin membesar hingga mencapai lebih dari 5 juta m3 pada tahun 2010. Defisit penawaran (ekses permintaan) kayu gergajian untuk kebutuhan domestik diperkirakan mencapai 768.000 m3 satu dekade mendatang. Ekses permintaan ekspor kayu gergajian diperkirakan juga terus defisit penawaran mencapai hampir 900.000 m3 per tahun. Satu dekade mendatang (tahun 2010), ekses permintaan domestik terhadap produk kayu lapis diperkirakan hampir mencapai setengah juta m3 per tahun. Demikian juga dengan pemasaran ekspor kayu lapis, semakin lama defisit supply akan semakin membesar dan gap penawaran-permintaan ekspor kayu lapis diperkirakan mencapai sekitar 6 juta m3 pada tahun 2010. Apabila masalah bahan baku tidak terpecahkan, maka sepuluh tahun yang akan datang defisit penawaran domestik untuk wood furniture diperkirakan mencapai lebih dari 200 m3 per tahun. Adapun defisit penawaran ekspor wood furniture akan mencapai lebih kurang 86 ribu m3 pada tahun 2010. Untuk produk pulp dan kertas, defisit penawaran pulp dan kertas domestik diperkirakan mencapai lebih 300 ribu m3 per tahun pada tahun 2010, sedangkan ekses permintaan ekspor pulp dan kertas Indonesia diperkirakan mencapai 765 ribu ton pada tahun 2010, dengan asumsi permintaan-penawaran pada tahun dasar dalam kondisi equilibrium. 117
117
Nurrochmat, Op. cit.,hlm. 133-134
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Sejalan dengan pemikiran yang dikemukakan oleh Dodik Ridho Nurrochmat di atas, memberikan suatu gambaran bahwa, salah satu usaha untuk mengembangkan
industri
perkayuan
dalam
negeri,
jalan
satu-satunya
memberikan peluang kepada pengusaha dalam negeri untuk mengambil peran secara aktif menanamkan modalnya di bidang pembangunan hutan tanaman industri yang diharapkan mampu menghasilkan pulp dan kertas. 2.2. Instrumen Perizinan Tindak Pidana Kehutanan Menurut penulis, salah satu upaya untuk mencegah terjadinya perusakan hutan adalah penggunaan instrumen perizinan. Dalam Pasal 50 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa, setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan 118. Untuk mengefektifkan mengenai pelaksanaan izin usaha yang berkaitan dengan pengelolaan atau pengusahaan hutan tersebut, maka diperlukan suatu pelarangan-pelarangan. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 juga secara tegas telah mengatur jenis-jenis sanksi pidana yang diterapkan bagi para pelaku tindak pidana kehutanan antara lain : 1.
Merusak Prasarana Dan Sarana Perlindungan Hutan Pasal 50 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan : “Setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan”. 119 Jika dihubungkan antara Pasal 50 ayat (1) dengan Pasal 78 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 maka Pasal 78 ayat (1) merupakan ancaman pidananya. Pasal 78 ayat (1) UU No. 41 118
Kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayati yang menyebabkan hutan tersebut atau tidak dapat berperan dengan fungsinya. 119 Penerapan tindak pidana dalam Pasal 50 ayat 1 haruslah memenuhi unsur-unsur : Barang siapa; Dengan sengaja; Merusak; Prasarana dan sarana perlindungan hutan. Yang dimaksud dengan : 1) barang siapa adalah sebagaimana disebutkan di dalam Penjelasan Pasal 50 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum maupun badan usaha; 2) dengan sengaja adalah ketentuan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh Undang-Undang; 3) Merusak adalah menjadikan sesuatu tidak sebagaimana bentuk semula. 4) Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda tangan dan alat angkut, sedangkan prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, menara pengawas dan jalan pemeriksaan.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Tahun 1999 berbunyi sebagai berikut : "Barang siapa dengan sengaja merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 5,000.000.000,- (lima milyar rupiah). Pasal 78 ayat (14) 00 No.41 Tahun 1999 menyebutkan, apabila tindak pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 50 ayat (1) UU Tahun 1999 tersebut dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dimana terhadap mereka dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. 2.
Melakukan Kegiatan Yang Menimbulkan Kerusakan Hutan Hal larangan melakukan tindakan yang menimbulkan kerusakan hutan diatur di dalam Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 yang menjelaskan : "Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Menurut penjelasan Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana yang melanggar Pasal 50 UU No. 41 tahun 1999 diancam dengan pidana penjara paling lana 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Demikian pula halnya, apabila tindak pidana dalam Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 ini dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya,
baik
sendiri-sendlri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
pidana masing-maasing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan, (Pasal 78 ayat 14 UU No. 41 tahun 1999). Sebagaimana tindak lanjut dari Pasal 50 ayat (2) di atas, menurut penulis diperlukan sebuah lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pengawasan atau tindakan represif kepada pelanggar ketentuan tersebut. Jika dilihat isi dari Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 ini tindak pidana tersebut dilakukan oleh para pengusaha yang bergerak di bidang kehutanan atau yang ada kaitan usahanya dengan hutan, seperti pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), jasa lingkungan, dan Iain-lain. 3.
Mengerjakan dan/atau Menggunakan dan/atau Menduduki Kawasan Hutan Secara Tidak Sah. Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a UU No. 41 Tahun 1999 yang menyebutkan : “Setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah". Dalam penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf a UU No. 41 Tahun 1999 tersebut yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang antara lain untuk perdadangan, untuk pertanian atau untuk usaha lainnya. 120 Apabila tindak pidana dalam Pasal 50 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 ini dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, maka tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dimana terhadap mereka dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan (Pasal 78 ayat (14) UU No. 41 Tahun 1999).
4.
Merambah Kawasan Hutan. 120
Ibid : Penerapan ketentuaa tersebut diyakini banyak menghadapi kendala, misalnya jika dikaitkan dengan kawasan yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai hak ulayat hukum adat, yang sampai saat ini memang belum terselesaikan, Departemen Kehutanan.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf b UU No. 41 Tahun 1999 dimana dijelaskan bahwa “Setiap orang dilarang merambah kawasan hutan". Ancaman pidana untuk tindak pidana merambah hutan menurut Pasal 78 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 adalah “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000,000.000,00 (lima milyar rupiah)". 5.
Melakukan Penebangan Pohon Dalam Kawasan Hutan Dengan Radius Atau Jarak Tertentu. Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf c UU No. 41 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa "Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan : a) b) c) d) e) f)
500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anaksungai; 2 (dua) kali kedalaman jurang tepi jurang; 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. Batasan jarak tersebut secara umum sudah cukup baik untuk
mengamankan kepentingan konservasi tanah dan air. Pengecualian dari ketentuan tersebut dapat diberikan oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana yang melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf a, b, dan c UU No. 41 Tahun 1999 tercantum dalam Pasal 78 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 yang berbunyi : "Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Jika diperhatikan isi Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b , dan huruf c tersebut , kiranya hanya perbuatan yang dilakukan dengan sengaja saja yang dapat
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
dikenakan ancaman hukuman Pasal 78 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999, sedangkan terhadap perbuatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaiant tidak dapat dikenakan ancaman Pasal 78 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tersebut. 6.
Membakar Hutan Larangan bagi setiap orang membakar hutan diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d UU No. 41 tahun 1999.69 Pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang namun pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan akan tetapi hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain untuk pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Pelaku tindak pidana yang melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf d UU No. 41 Tahun 1999 ini jika melakukan perbuatan dengan sengaja, maka dikenakan Pasal 78 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 dimana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000,000.000,- (lima milyar rupiah). Sedangkan apabila perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian, maka dikenakan Pasal 78 ayat (4) UU No. 41 Tahun 1999 dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,(satu milyar lima ratus juta rupiah). Dengan demikian pelanggaran terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf. d UU No. 41 tahun 1999 ini dapat terjadi karena perbuatan yang dilakukan karena kesengajaan maupun karena kelalaian.
7.
Menebang Pohon Atau Memanen Atau Memungut Hasil Hutan Tanpa Hak Atau Izin. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan tanpa memiliki izin dari pejabat yang berwenang diatur di dalam Pasal 50 ayat(3) huruf e UU No. 41 Tahun 1999 yang menyebutkan : “Setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang".
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Pejabat yang berwenang disini adalah pejabat pusat atau daerah yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk memberikan izin. Pelaku tindak pidana yang melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e UU No. 41 Tahun 1999 ini, sesuai dengan Pasal 78 ayat (5) UU. No. 41 Tahun 1999 dikenakan ancaman hukuman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000,000.000,- (lima milyar rupiah). 8.
Menerima, Membeli Atau Menjual, Menerima Tukar, Menerima Titipan, Menyimpan Atau
Memiliki
Hasil Hutan Yag Diketahui Atau Patut Diduga
Barasal Dari Kawasan Hutan Yang Diambil Atau Dipungut Secara Tidak Sah. Dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No. 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa : “Setiap orang dilarang menerima , membeli
atau
menjual,
menerima
tukar, menerima titipan, menyimpan atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah”. 121 Terhad ap pelaku yang melanggar ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No. 41 Tahun 1999 ini, ancaman hukumannya sama dengan pelaku yang melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e UU No. 41 Tahun 1999, yaitu dikenakan ancaman hukuman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.00 0.000,- (lima milyar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (5) UU No. 41 Tahun 1999. 9.
Melakukan Kegiatan Penyelidikan Umum Atau Ekaplorasi Atau Eksploitasi Bahan Tambang Di Dalam Kawasan Hutan Tanpa Izin. Larangan melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf g UU No. 41 Tahun 1999.
121
Untuk dapat raengetahui terjadinya suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h 00 So. 41 Tahun 1999, niaka pemguasaan wekanisme perdagangan hasil hutan sangat diperlakan. PPK5 Kehutanan mempunyai peranan panting dalam m«lakukan penyidtkan ini. Selain itu, diperlukan pula peran saksi ahli.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU No. 41 Tahun 1999 ini dikenakan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan deada paling banyak Rp. 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 78 ayat (6) OU No. 41 Tahun 1999. 10.
Mengangkut, Menguasai, Atau Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak Dilengkapi Bersama Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan. Pasal 50 ayat (3) huruf h UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan : "Setiap orang
dilarang mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilangkapi bersama-sama dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan". Selanjutnya Pasal 78 ayat (7) UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan : “
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh railyar rupiah). 11.
Menggembalakan Ternak Di Dalam Kawasan Hutan Yang Tidak Ditunjuk Secara Khusus. Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i UU No. 41 Tahun 1999 yang menyebutkan : "Setiap orang dilarang menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang". Pasal 78 ayat (8) UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan : “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000,000,- (sepuluh juta rupiah) . Dengan demikian tidak sembarang tempat dalam kawasan hutan dapat digunakan untuk menggembalakan ternak melainkan tampat-tempat yang khusus untuk kegiatan dimaksud ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
l2.
Membawa Alat-Alat Berat Dan Atau Alat-Alat Lainnya Yang Lazia Atau Patut Diduga Akan Dipergunakan Untuk Mangangkut Hasil Hutan Di Dalam Kawasan Hutan Tanpa Izin.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j UU No. 41 Tahun 1999 yang menyebutkan : "Setiap orang dilarang membawa alat-alat berat dan atau alatalat lainnya yang lasim atau patut diduga akan dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang". Jika Pasal 50 ayat (3) huruf j UU No. 41 Tahun 1999 dipadukan dengan Pasal 78 ayat (9) UU No. 41 Tahun 1999 dapat dirumuskan sebagai berikut : “Barang siapa dengan sengaja membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang, diancara dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)". Berdasarkan Pasal 18 ayat (13) UU NO. 41 tahun 1999 tindak pidana sebagaintana dimaksud pada Pasal 50 ayat (3) huruf j ini adalah pelanggaran. 13.
Membawa Alat-Alat Yang Lazim Digunakan Untuk Menebang, Memotong Atau Membelah Pohon Di Dalam Kawasan Hutan Tanpa Izin. Hal ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k UU No. 41 Tahun 1999 yang menyebutkan : "Setiap orang dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang". Ancaman hukuman bagi pelanggar ketentuan tersebut sebagaimana diatur di dalam Pasal 78 ayat (10) UU No. 41 Tahun 1999 yang menyebutkan : "Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000,000.000,- (satu milyar rupiah)", Dalam pengertian tersebut tidak termasuk masyarakat yang membawa alatalat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setenpat.
14.
Membuang Benda-Benda Yang Dapat Menyebabkan Kebakaran Dan Kerusakan Serta Membahayakan Keberadaan Atau Kelangsungan Fungsi Hutan Ke Dalam Kawasan Butan.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i UU No. 41 Tahun 1999 yang menyebutkan : "Setiap orang dilarang membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan". Pelanggaran terhadap ketentuan ini dikenakan ancaman hukuman pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) sebagaimana tercantum dalam Pasal 78 ayat (11) UU No. 41 Tahun 1999. 15.
Mengeluarkan, Membawa Dan Mengangkut Tumbuhan Dan Atau Satwa Yang Tidak Dilindungi Undang-Undang Yang Berasal Dari Kawasan Hutan Tanpa Izin. Ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf m UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan : “Setiap orang dilarang mengeluarkan, membawa dan mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang tidak dilindungi udang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang”. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal tersebut di atas diancam dalam Pasal 78 ayat (12) UU No. 41 Tahun 1999 yang menyebutkan : "Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Berdasarkan Pasal 78 ayat (13) UU No. 41 tahun 1999 tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 50 ayat (13) huruf m ini adalah pelanggaran. Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa dan mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi lebih lanjut diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dari ulasan instrument izin tindak pidana di bidang kehutanan di atas, bila dikaitkan dengan Peraturan Daerah Khusus Papua (Perdasus) Nomor : 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua, maka akan terjadinya tumpang tindih antara kedua aturan yang ada.
2.3. Sumber Hukum Kehutanan Di Indonesia Pada kesempatan ini, perlu diuraikan terlebih dahulu mengenai pengertian sumber hukum sebelum membahas sumber yang dijadikan dasar berlakun hukum kehutanan di
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Indonesia ini. Menurut Willem Zevenbergen, sumber hukum adalah tempat untuk menemukan atau menggali hukumnya. Sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, seperti dokumen, undang-undang lontara, dan batu tulis. 122 Sementara itu, C.S.T. Kansil mengemukakan bahwa sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturanaturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kala dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. 123 Di samping kedua pendapat tersebut, menurut Algra, sumber hukum ada dua, yaitu sumbe hukum materiil dan sumber hukum formal. 124 1.
Sumber Hukum Materiil Sumber hukum materiil memiliki kandungan atau isi dari sebuah peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya sumber hukum materiil memiliki kandungan atau cakupan yang sangat luas, bisa berasal dari pendekatan sosiologis dan sebagainya. Menurut L.J. Van Apeldoorn sebagaimana yang dikutip oleh Supriadi, membedakan sumber hukum dalam arti sejarah, dalam arti sosiologi (teleologis), dalam arti filosofis, dan dalam arti formal. 125 Sumber hukum dalam arti sejarah, yaitu tempat kita dapat menemukan hukum dalam sejarah atau dari aspek historis. Aspek sejarah sumber hukum dapat dilihat dari dua sumber, yaitu (1) tempat di mana kita menemukan hukum atau dikenal hukum secara historis, seperti dokumendokumen, lontara, dan lainnya, dan (2) sumber hukum yang merupakan tempat pembentuk undang-undang mengambil bahannya. Jadi, dari aspek sejarah merupakan sumber bahan hukum yang akan mempengaruhi hukum prespektif. Sementara itu, sumber hukum dalam arti sosiologis (teleologis) merupakan faktor yang menentukan isi hukum positif, seperti pandangan agamis, pandangan ekonomi, dan pandangan psikologis. Jadi, dari aspek sosiologis menyoroti lembaga-
122
Willem Zevenbergen, dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum : Suat Pengantar, Pen Liberty, (Yogyakarta : 1996), h 6, dalam Muh Jufri Dewa, ibid., hlm. 66. 123 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukuh dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1989, dalam Muh Jufri Dewa, ibid., hlm. 67. 124 Algra dikutip oleh Sudikno Martokusumo, hlm. 70, dalam Muh Jufri Dewa, ibid. 125 Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia,op. cit., hal. 7
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
lembaga sosial hingga dapat diketahui apa yang dirasakan sebagai hukum oleh lembaga-lembaga itu. 126 Sumber hukum dalam arti filosofis, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu (1) sumber isi hukum, mengenai hal ini ada tiga pandangan, seperti pandangan Theokratis, bahwa isi hukum berasal dari Tuhan; pandangan hukum kodrat, bahwa isi hukum berasal dari akal manusia; dan pandangan mazhab historis, bahwa isi hukum berasal dari kesadaran hukum, dan (2) sumber kekuatan mengikat hukum. Hal ini mempersoalkan mengapa hukum mempunyai kekuatan mengikat dan mengapa kita tunduk pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaidah hukum bukan semata-mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena kebanyakan orang didorong oleh alasan kesusilaan. 127 2.
Sumber Hukum Formal Sumber hukum dalam arti formal kenyataannya dapat didekati dari bentuk dan prosedur pembentukannya menjadi hukum positif oleh pengembangan kewenangan hukum yang berwenang. Sumber hukum dalam arti formal (hukum positif) Indonesia sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia. Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tersebut, sumber hukum positif Indonesia adalah UUD1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, sedangkan dalam praktik masih dikenal adanya Instruksi Menteri, Surat Keputusan Bersama Menteri, selain itu, dalam ilmu hukum dikenal juga perjanjian antarnegara, kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin sebagai sumber hukum formal. 128 Namun demikian, TAP MPRS NO. XX Tahun 1966 tersebut, tidak berlaku lagi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
126 127 128
Muh. Jufri Dewa, op.cit., hlm. 68.Sudikno Mertokusumo, dalam Muh. Jufri Dewa, ibid. Sudikno Mertokusumo, dalam Muh. Jufri Dewa, ibid. Ibid, hlm. 68-69.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
adalah : (a) Undang-Undangn Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (c) Peraturan Pemerintah; (d) Peraturan Presiden; (e) Peraturan Daerah. Berkaitan dengan uraian di atas, Muh. Jufri Dewa menyimpulkan bahwa, sumber hukum kehutanan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu sumber hukum materiil (isi) dan sumber hukum formal (bentuk). Sumber materiil hukum kehutanan, dilihat dari aspek sejarah, aspek sosiologis, dan aspek filosofis. Dari aspek sejarah, sumber hukum kehutanan berupa dokumen-dokumen yang pernah berlaku dan memuat ketentuan-ketentuan tentang pengelolaan hutan, seperti: Reglement Hutan 1865, Reglement 1874, Reglement Hutan 1879, Reglement Hutan 1913, dan Reglement Hutan 1927. Ketentuan-ketentuan hukum positif di bidang kehutanan. Aspek sosiologis, yaitu aturan hukum (tidak tertulis) yang mengatur hubungan masyarakat adat atau kelompok masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan dalam melakukan interaksinya sejak turun-temurun. Dari aspek filosofis, yaitu suatu aturan hukum untuk mengatur hal-hal yang sebelumnya belum diatur, dengan tujuan supaya ada tatanan hukum kehutanan, ada keteraturan dalam pengelolaan hutan, dan ada sesuatu yang dapat diharapkan berlaku adil dalam pemanfaatan hasil hutan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. 129 Selanjutnya pada uraian di bawah ini, akan membahas sumber formal hukum kehutanan berdasarkan hukum positif sebagaimana yang diungkap di atas, sebagai berikut : a). Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hukum Tata Negara, posisi Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber hierarki tertinggi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam artian Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber segala peraturan perundang-undangan, karena dari sanalah semua hukum positif merupakan penjabaran yang lebih rinci dari peraturan yang bersifat umum yang terdapat dalam UUD 1945. Keterkaitan antara UUD 1945 sebagai sumber hukum kehutanan dapat dilihat atau termaktub dalam Pasal 33 ayat (3) yang 129
Ibid,. hlm 70.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
dinyatakan bahwa, Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) ini dapat disimpulkan (1) memberikan "hak penguasaan" kepada negara atas seluruh sumber daya alam di Indonesia; (2) kewajiban kepada negara untuk mengelola sumber daya alam tersebut untuk kemakmuran sebesar-besarnya seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, secara konseptual ketentuan yang tercantum pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan landasan filosofi dan landasan ekonomi pembentukan peraturan hukum kehutanan, dan yang akan dijabarkan lebih lanjut dengan peraturan hukum positif dan peraturan pelaksanaan lainnya. b). Undang-Undang dan Peraturan Pengganti UU (Perpu) Keberadaan Undang-Undang dalam tata urutan peraturan perundangundangan di Indonesia berada di bawah UUD 1945 dan merupakan produk hukum yang sangat strategis karena kehadirannya disetujui oleh eksekutif (Presiden) dan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat). Selain itu, undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) merupakan peraturan perundang-undangan yang sifatnya implementatif, yakni peraturan yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga masyarakat, masalah yang berkaitan dengan masalah ketatanegaraan dan Iainlain. Dasar hukum keberadaan undang-undang sebagai hasil persetujuan antara Presiden dengan Dewan Pewakilan Rakyat diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undangundang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Sejalan dengan perjalanan waktu, di mana UUD 1945 tersebut perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian, sehingga sesuai dengan perkembangan zaman, pada tahun 1999 dilakukan perubahan pertama terhadap UUD 1945 dengan melakukan penambahan ketentuan Pasal-Pasal yang terdapat di dalamnya, termasuk Pasal 5 ayat (1) ditambah dengan kalimat Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (ayat (1)). Selain ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang merupakan dasar pijakan Presiden dan Dewan Perwakilan dalam membentuk
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
undang-undang, maka dalam Pasal 20 ayat (1) merupakan landasan kedua setelah Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) dinyatakan bahwa, tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Jika suatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu (ayat (2)). Mencermati ketentuan yang tertera dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) tersebut mengalami perubahan setelah dilakukan perubahan pada Tahun 1999 ketentuan selengkapnya dinyatakan: Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang (ayat (1)). Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan (ayat (2)). Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu (ayat (3)). Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang (ayat (4)). Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam zuaktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (ayat (5)). Berkaitan dengan ketentuan yang termuat Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (5) di atas yang merupakan rujukan dalam mengeluarkan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, baik peraturan perundang-undangan yang bersentuhan langsung dengan kehutanan maupun yang tidak berkaitan langsung. Adapun peraturan perundang-undangan yang bersentuhan langsung dengan hukum kehutanan, : (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Hayati (UUKH). Sementara itu, undang-undang yang berhubungan tidak langsung dengan hukum kehutanan, yaitu: (1) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan; (3) Undang-
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; (3) UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang telah diubah dengan UU Nomor 26 Tahun 2007; (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Keberadaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam perjalanannya mengalami perubahan dengan adanya protes dari beberapa perusahaan pertambangan yang telah mendapatkan izin pengelolaan dari pemerintah, khususnya perusahaan pertambangan yang mendapatkan konsesi di kawasan hutan, baik hutan produksi maupun hutan lindung.
Menyikapi
masalah
ini,
pemerintah
mengeluarkan
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4374). c). Peraturan Pemerintah (PP). Peraturan Pemerintah
merupakan peraturan
yang kewenangan
sepenuhnya dikeluarkan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan tertinggi dalam pengelolaan Negara Republik Indonesia. Keberadaan Peraturan Pemerintah diadakan sebagai peraturan pelaksanaan dari sebuah undangundang, sehingga keberadaannya bersifat implementatif dan masih perlu ditindaklanjuti oleh peraturan yang lebih rendah, misalnya Keputusan Presiden maupun Keputusan Menteri maupun Peraturan Daerah. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pengaturan kebijaksanaan di bidang hukum kehutanan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah dapat dilihat sebagai berikut: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi; (3) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; (4) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. d). Peraturan Presiden (Pepres). Dalam Peraturan Presiden pada kenyataannya atau praktiknya terdapat dua muatan, yakni Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden. Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden kalau muatannya berkaitan dengan pengangkatan seorang pejabat, misalnya pengangkatan menteri, gubernur, rektor, dan Iain-lain. Sementara itu, jika Presiden akan mengeluarkan Peraturan Presiden, maka muatannya berkaitan dengan peraturan yang lebih rinci yang menjelaskan suatu masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat dan pembangunan, misalnya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan. Oleh karena itu, pembahasan sumber hukum yang berhubungan dengan Peraturan Presiden akan dibahas dengan menggunakan dua muatan tersebut. Keputusan Presiden dan Peraturan Pemerintah merupakan peraturan yang kewenangan sepenuhnya di tangan Presiden. Antara Keputusan Presiden dan Peraturan Pemerintah walaupun kedua-duanya merupakan kewenangan Presiden, tetapi mengalami perbedaan. Peraturan Pemerintah dikeluarkan oleh Presiden untuk mengatur hal-hal yang bersifat umum, misalnya Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Hutan (bersifat umum), yang akan ditindaklanjuti oleh peraturan yang lebih rinci misalnya Peraturan Menteri, dan sebagainya. Sementara itu, Keputusan Presiden adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden untuk mengatur yang bersifat khusus atau tertentu, misalnya Keputusan Presiden untuk mengangkat Pejabat Negara. Berkaitan dengan pengaturan hukum kehutanan yang diatur dengan Keputusan Presiden, di antaranya: (1) Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; (2) Keppres Nomor 40 Tahun 1993 tentang Dana Reboisasi; (3) Keppres Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pe-ngenaan, Pemungutan, dan Pembagian Iuran Hasil Hutan; (4) Keppres Nomor 25 Tahun
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
1994 tentang Koordinasi Penyelenggaraan Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan; dan (5) Keppres Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan. Namun pada dasarnya kalau mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Keputusan Menteri tidak dikenal, tetapi Keputusan Menteri ini, dapat dikategorikan ke dalam peraturan pemerintahan, bukan dalam artian ajar dengan Pr, tetapi Keputusan Menteri ini merupakan peraturan pemerintah sebagai pelaksana teknis kebijakan di bidang pembangunan masing-masing sektor yang di bidangi oleh Menteri. e). Keputusan Menteri Kehutanan. Menteri sebagai pembantu Presiden dalam menjalankan tugasnya memiliki kewenangan untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya yang lazim disebut Keputusan Menteri. Dalam kait-annya dengan pengaturan bidang kehutanan yang diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan dapat dikemukakan, di antaranya: (1) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6884/KPTS-II/2002 tanggal 12 Juli 2002 tentang Kriteria dan Tata Cara Evaluasi terhadap Industri Primer Hasil Hutan Kayu; (2) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6885/Kpts-II/2002 tanggal 12 Juli 2002 tentang Tata Cara Persyaratan Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan; (3) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 178/Kpts-II/2003 tanggal 12 Juli 2003 tentang Cara Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman Unit Manajemen dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari; (4) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.279/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:126/ KPTSII/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan tanggal 2 Agustus 2004; (5) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: P.26/Menhut-II/2005 tanggal 16 Agustus 2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak; (6) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: P. 20/Menhut-II/2005 tanggal 25 Juli 2005 tentang Kerja Sama Operasi (KSO) pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman; (7) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: P. 03/MenhutII/2005 tanggal 18 Januari 2005 tentang Pedoman Verifikasi Izin Usaha
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan atau pada Hutan Tanaman yang Diterbitkan Oleh Gubernur atau Bupati/Walikota; dan (8) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: P. 18/Menhut-II/2005 tanggal 13 Juli 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 126/KPTS-II/2003 tentang Penataan Hasil Hutan.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
BAB 3 EKSISTENSI, IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN
Setelah sebelumnya membahas tentang pengelolaan hutan, perizinan kehutanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, serta sumber hukum kehutanan nasional, selanjutnya penulis akan mebahas mengenai keberadaan pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua berdasarkan Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 serta implementasi dari peraturan daerah tersebut. Peneliti juga akan membahas megenai upaya penmerinta Provinsi Papua dalam mewujudkan hak-hak masyarakat hukum adat Papua dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan yang mana, dalam 10 tahun terakhir ini, pertanyaan mengenai legalitas di Indonesia telah menjadi inti dari perdebatan pengelolaan hutan lestari dan penegakan hukum kehutanan. 3.1 Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Pasca Dikeluarkan Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Pengelolaan hutan di Provinsi Papua selama ini belum meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, khususnya masyarakat hukum adat Papua, dan belum memperkuat kemampuan fiskal pemerintah di Provinsi Papua. Hutan di Provinsi Papua adalah ciptaan dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, wajib dimanfaatkan secara bijaksana bagi kesejahteraan umat manusia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, negara dan rakyat Indonesia mengakui, menghormati dan menghargai hak-hak masyarakat hukum adat Papua atas sumber daya alam, termasuk di dalamnya sumber daya hutan. Pengelolaan hutan di Provinsi Papua dilakukan dengan keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat Papua guna mencapai kesejahteraan dan kemandirian di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengelolaan hutan di Provinsi Papua dilakukan melalui kerjasama kemitraan yang setara dan adil, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan, keadilan,
88
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
pemerataan dan hak-hak asasi manusia. Berdasarkan pertimbangan di atas dipandang perlu menetapkan Peraturan Daerah Khusus tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Di Provinsi Papua. 130 Kebijakan pembangunan kehutanan pada era desentralisasi diarahkan pada pencapaian tujuan pembangunan kehutanan sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, yaitu : 1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; 2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan dan ekosistem termasuk perairan yang meliputi fungsi produksi, fungsi lindung dan fungsi konservasi untuk mencapai fungsi sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang; 3. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS); 4. Mendorong peran serta masyarakat; dan 5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu arah dan kebijakan pembangunan yang lebih operasional dan dituangkan dalam suatu sistem perencanaan yang utuh, terpadu dan menyeluruh. Sesuai dengan sistem perencanaan kehutanan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan. Departemen Kehutanan telah menetapkan lima kebijakan prioritas yang menjadi acuan untuk mecapai target sukses pembangunan kehutanan nasional. Lima kebijakan prioritas yang merupakan target sukses Departemen Kehutanan yang dijadikan acuan, yaitu 1. Pemberantasan pencurian kayu dan perdagangan kayu illegal; 2. Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan; 3. Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan; 4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan; 5. Pemantapan kawasan hutan. Kelima kebijakan tersebut, selanjutnya disinkronisasikan dengan amanat Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dan komitmen 130
Penjelasan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 Tentang pengeloaan hutan berkelanjutan di provinsi papua, lembaran provinsi papua Tahun 2008 Nomor 21.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk menyelenggarakan Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat sebagaimana dirincikan berikut : 1. Mengakui, menghormati dan mengembangkan hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan; 2. Menyelesaikan konflik dengan menjamin akses masyarakat adat terhadap hutan; 3. Melarang pengiriman kayu dalam bentuk log ke luar Papua; 4. Mempercepat pembangunan industri sektor kehutanan skala rumah tangga dan program pengelolaan hutan berbasis masyarakat; 5. Mencabut izin perusahaan pemegang HPH/IUPHHK bermasalah; 6. Meningkatkan penegakan hukum sengketa kehutanan melalui pencukupan kebutuhan dan pemberdayaan polisi kehutanan; 7. Mengembangkan industri ramah lingkungan berbasis kehutanan secara hati-hati dan bijaksana bagi pemerataan kesejahteraan masyarakat; 8. Mengembangkan proyek uji coba untuk pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat paling sedikit seluas 500.000 ha; 9. Mengalokasikan areal hutan konversi sampai seluas 5 juta hektar untuk perdagangan karbon; 10. Mempercepat pembentukan Model Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Provinsi Papua dan Papua Barat. 131 Perdasus kehutanan Papua mengemban sebuah maksud yang luhur untuk perbaikan kondisi kehutanan di Papua. Perdasus ini menempatkan penghormatan terhadap hak masyarakat hukum adat sebagai suatu azas yang terkandung ke dalam perdasus, dengan tujuan untuk : a. Mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat hukum adat Papua pada khususnya dan rakyat Papua pada umumnya. b.
Mewujudkan peningkatan kapasitas ekonomi dan sosial budaya masyarakat hukum adat Papua.
c. Menciptakan lapangan kerja, memperluas kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan daerah. 131
Op.,cit
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
d. Mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi hutan. e. Menjamin kelestarian dan keseimbangan ekologi. f. Mempertahankan dan mengembangkan keanekaragaman hayati. g. Mengurangi emisi karbon dan mencegah perubahan iklim global. Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan itu, perdasus ini mengatur tentang : a. Keberpihakan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat. b. Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan. c. Batasan, prinsip,criteria dan indikator pengelolaan hutan lestari d. Perizinan. e. Perencanaan hutan f. Kelembagaan pengelolaan hutan. g. Peredaran dan pengelolaan hasil hutan h. Bagi hasil penerimaan kehutanan i. Pengawasan dan pengendalian j. Penyelesaian sengketa k. Sanksi. Perdasus Hutan Papua tidak seperti Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang memberikan pengertian hutan dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan biologis dan pendekatan politis. Perdasus Kehutanan Papua hanya memakai pengertian hutan secara biologis yaitu hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumberdaya alam hayati yang di dominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Pilihan pengertian hutan dalam pendekatan biologis tanpa menyinggung sedikitpun adanya kawasan hutan yang memiliki bobot politik penguasaan ini, secara normative telah menyelesaikan masalah klaim politik tanah-tanah masyarakat oleh kehutanan atas nama kawasan hutan di Papua. Kelihatannya dengan pilihan demikian, maka Papua telah memotong satu sumber masalah yang sering menghadapkan Masyarakat Hukum Adat dengan para penegak hukum dan begitupula instansi kehutanan. Pada akhirnya, jika instansi kehutanan Papua hanya mengatur tentang komoditas dan manajemen pengelolaan kehutanan, dan tidak lagi mengatur hak pemilikan dan penguasaan atas kawasan hutan, maka besar peluang Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Papua untuk
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
menerbitkan sertifikat-sertifikat hak atas tanah di hutan-hutan Papua dengan mengacu pada penguasaan tanah kawasan hutan, namun sayangnya peluang itu kemudian dimentahkan sendiri dengan pengaturan yang diatur dalam Perdasus No. 23 Tahun 2008 (Perdasus Masyarakat Hukum Adat Papua). Perdasus Kehutanan Papua menentukan bahwa hutan masyarakat adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat (MHA). Pengertian hutan masyarakat adat di Perdasus ini membuat perubahan substantive terhadap pengertian hutan adat yang dianut oleh UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Penegasan substantive itu memisahkan hutan adat dengan hutan Negara, bahkan lebih jauh, Perdasus kehutanan Papua ini tidak menegaskan adanya penguasaan kawasan hutan berbasiskan hak lain diluar hutan Masyarakat Hukum Adat. Kendali yang tetap dipegang pemerintah adalah pada penetapan siapa Masyarakat Hukum Adat yang berhak mengelola hutan, penetapan fungsi-fungsi hutan berupa konservasi, lindung dan produksi serta kendali perizinan pemanfaatan hasil hutan maupun kawasan tersebut. Perdasus Kehutanan Papua memberikan bab khusus untuk pengaturan mengenai Masyarakat Hukum Adat Papua dan hubungannya dengan kehutanan, yaitu bab III tentang Masyarakat Hukum Adat. Pengaturan ini dimulai dengan pernyataan normatif tentang hak Masyarakat Hukum Adat untuk memiliki hak atas hutan alam dengan batasbatas wilayah adatnya masing-masing dan untuk itu pemerintah daerah mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam. Pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat atas hutan ini memberikan penegasan bahwa hak hanya diakui atas hutan alam, sehingga kegiatan-kegiatan kehutanan Masyarakat Hukum Adat yang tidak berbasiskan pada pengelolaan hutan alam, misalnya berupa hutan tanaman, tidak termasuk pada ruang lingkup perlindungan yang dimaksudkan oleh Perdasus Kehutanan Papua. Meskipun berdasarkan Perdasus Masyarakat Hukum Adat Papua, memasukkan hutan termasuk kedalam ruang lingkup hak ulayat Masyarakat Hukum Adat Papua132, 132
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
tetapi untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat tetap harus mengikuti prosedur yang ditentukan dalam Perdasus Kehutanan yang intinya mengatur dua hal yaitu : 1. Siapa Masyarakat Hukum Adat yang dapat mengelola hutan adat Aktor Masyarakat Hukum Adat yang dapat mengelola hutan alam ini harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : a. Memiliki wilayah hukum adat yang jelas dengan bata-batas tertentu yang diakui oleh masyarakat hukum adat yang berbatasan dengan wilayah adatnya. b. Memiliki pranata hukum dan struktur kelembagaan adat. c. Memiliki hubungan religi dan historis dengan wilayah adatnya. Kriteria Masyarakat Hukum Adat yang berhak mengelola hutan alam baru bisa dilakukan jika telah ada identifikasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 Perdasus 21 tahun 2008. Pasal ini menyatakan hal-hal sebagai berikut : a. Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan identifikasi masyarakat hukum adat yang perlu disiapkan sebagai pengelola hutan dan pemanfaatan hasil hutan. b. Identifikasi Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kepemilikan, struktur sosial, dan bentuk ketergantungan pada sumberdaya hutan c. Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk dokumen yang disetujui bersama oleh pemerintah kabupaten dan masyarakat hukum adat. d. Kriteria dan tata cara identifikasi masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan Gubernur. Titik kunci dari operasionalisasi hak ulayat yang melingkupi hutan alam adalah dokumen hasil identifikasi yang disetujui bersama antara Masyarakat Hukum Adat dan pemerintah kabupaten. Disinilah posisi rawan yang akan menimbulkan konflik antara Masyarakat Hukum Adat dan pemerintah. Menurut penulis, Pada bagian bab penyelesaian sengketa, tidak dinyatakan bahwa perbedaan pendapat antara masyarakat hukum adat dan pemerintah sebagai bagian dari sengketa kehutanan yang dapat ditangani melalui jalur-jalur mekanisme penyelesaian sengketa alternatif.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Akibatnya, jalur yang tersedia bagi masyarakat hukum adat untuk menggugat masalah ini adalah jalur peradilan tata usaha Negara. Lokasi dan luas hutan adat yang dikongkritkan dalam bentuk Pemetaan hutanhutan alam yang akan dikelolah oleh Masyarakat Hukum Adat harus di dukung dan difasilitasi oleh pemerintah daerah, meskipun dibuka peluang sumber dana dari pihak ketiga. Pemetaan hutan dilakukan dengan mempertimbangkan 1) daya dukung lahan, 2) fungsi hutan, 3) administrasi pemerintahan, 4) rencana tata ruang wilayah, 5) penggunaan lahan saat ini. Posisi krusial terletak pada pengakuan peta hutan yang telah dihasilkan, Bupati/Walikota atau Gubernur sesuai kewenangannya, memiliki hak untuk menetapkan peta tersebut. Barulah peta ini menjadi operasional dan sah secara hukum. Peta tersebut memuat informasi mengenai : a. Batas-batas luar yang disepakati oleh masyarakat hukum adat dan masyarakat hukum adat disekitarnya. b. Lahan dan hutan yang dikelola dan dimanfaatkan masyarakat hukum adat. Gambar 3.1 Peta Suku Wilayah Adat Provinsi Papua dan Papua Barat
Sumber : Majelis Rakyat Papua
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Tabel 3.1 Perdasus Papua Mengatur Hak dan Kewajiban Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Hutan seperti terdapat pada tabel di bawah ini Hak Hutan Dikelola Masyarakat Hukum Adat 1.
2.
3.
4.
5.
Mengelola dan memanfaatkan hutan yang berada di dalam wilayah hukum adatnya; Menggunakan pengetahuan, teknologi dan kearifan lokal; Memperoleh pendampingan dan fasilitasi pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota; Berpatisipasi dalam perencanaan, pengawasan dan pengendalian; Bermitra dengan pihak lain.
Kewajiban Hutan Dikelola Pihak III
1.
2.
3.
4. 5.
Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan; Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pemanfaatan hutan; Memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan dan tanah miliknya akibat pemanfaatan kawasan. Memperoleh manfaat social dan ekonomi; Menikmati lingkungan yang berkualitas dari kawasan hutan.
1. 2. 3.
4. 5. 6.
7.
Mengelola hutan secara lestari; Memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya; Melakukan rehabilitasi dan reklamasi hutan sesuai peraturan perundangan; Melakukan perlindungan hutan dan konservasi alam; Membayar kewajiban kepada Negara; Mendistribusikan manfaat secara adil dan proposional di dalam kelompok masyarakat hukum adatnya; Menyisihkan sebagian pendapatannya untuk generasi akan dating.
Sumber : Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008. Pada posisi pengelolaan hutan oleh pihak ketiga, Perdasus Kehutanan Papua memangkas satu tahapan penting yang menghubungkan antara pihak ketiga dengan masyarakat hukum adat, proses tersebut adalah proses negosiasi yang berisi setuju atau tidak setujunya masyarakat hukum adat atas pengelolaan hutan oleh pihak ketiga tersebut. Akan tetapi kalau dikaji lebih dalam, merupakan dampak langsung dari model perlindungan hak masyarakat adat yang diamandatkan oleh UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, khususnya pada Bab XI tentang perlindungan HakHak Masyarakat Adat, Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi Papua
wajib
mengakui,
menghormati,
melindungi,
memberdayakan
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
dan
mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. 3.1.1
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua. Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 dalam ketentuan umum, Pasal (1) angka (13) dinyatakan bahwa, “Hutan masyarakat hukum adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, Sedangkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dalam ketentuan umum Pasal (1) huruf (f) dinyatakan bahwa hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam dalam wilayah masyarakat hukum adat. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. 133 Menurut penulis jika melihat Pasal tersebut diatas maka menggambarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua mengakui hutan masyarakat hukum adat sebagai hutan hak. Kriteria Masyarakat adat berdasarkan Pasal (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan Kehutan, penjelasan Pasal 67 ayat (1) menyakan masyarakat hukum adat di akui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain : 1. 2. 3. 4.
Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; Ada wilayah hukum adat yang jelas; Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan 5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan 6. Kebutuhan hidup sehari-hari. 134 Kriteria keberadaan masyarakat hukum adat berdasarkan Pasal 7 dinyatakan, keberadaan masyarakat adat wajib memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
133
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua, Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, PERDA No. LN No. 21 tahun 2008, ps. 1 angka 13. 134 Indonesia, Undang-Undang Kehutanan, UU No. 41, LN No. 167, tahun 1999, ps. 1 huruf f.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
1. Memiliki wilayah hukum adat yang jelas dengan batas-batas tertentu yang diakui oleh masyarakat hukum adat yang berbatasan dengan wilayah adatnya. 2. Memiliki pranata hukum dan struktur kelembagaan adat. 3. Memiliki hubungan religi dan historis dengan wilayah adatnya. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, Penetapan KPH dalam Pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa, “Menteri menetapkan luas wilayah KPH dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu wilayah daerah aliran sungai (DAS) atau satu kesatuan wilayah ekosistem”. Sedangkan dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa
Pemerintah
dan/atau
pemerintah
provinsi
dan/atau
pemerintah
kabupaten/kota, sesuai kewenangannya, menetapkan organisasi KPH. Organisasi KPH yang ditetapkan oleh Pemerintah, meliputi organisasi : (a) KPHK; (b) atau KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas provinsi. Sedangkan Organisasi KPH yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi, meliputi organisasi KPHL dan KPHP lintas kabupaten/kota dan Organisasi KPH yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota,
meliputi
organisasi
KPHL
dan
KPHP
dalam
wilayah
kabupaten/kota. PERDASUS Papua dalam Pasal (19) ayat (2) perdasus ini menyatakan bahwa, “Pemerintah provinsi dan kabupaten/Kota menyususn Rancang Bangun KPH dalam wilayahnya. Sedangkan ketika KPH mencakup lebih lebih dari satu kabupaten/kota, penyusunan rancang bangunnya dilakukan bersama dibawah pemerintah provinsi”. Ayat (3) KPH ditetapkan dengan keputusan Gubernur dan disampaikan kepada Menteri untuk diketahui. Kelembagaan KPH PP No. 6 Tahun 2007 Jo to PP No. 3 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah ini menunjuk sebuah aturan setingkat aturan menteri dan peraturan pemerintah tersendiri untuk mengatur tugas dan fungsi KPH. Perdasus Papua, Pasal 20 mengatur secara lebih rinci mengenai kelembagaan KPH. Bentuk dan struktur organisasi KPH, ini akan diatur lebih lanjut oleh Gubernur dalam Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua, yang mengatur Gubernur juga berwenang memberikan izin pemanfaatan hutan dalam KPH. Izin Penggunaan Kawasan Hutan & Pemanfaatan Hasil Hutan.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Izin Penggunaan Kawasan Hutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan PP No. 6 Tahun 2007 tentang perubahan atas PP No. 3 Tahun 2008, diatur secara rinci pada bagian kelima, yang membagi kewenangan pemberian izin secara tegas antara Menteri, Gubernur dan Bupati. Perdasus Papua dalam Pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hasil hutan untuk tujuan komersial, penelitian dan pengembangan hasil hutan dan kegiatan sosial dilakukan setelah memperoleh izin Gubernur. Menurut Penulis ini merupakan contoh DISHARMONI dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.
Tabel 3.2 Prosedur Perizinan IUPHHK-MHA
PROSEDUR PERIZINAN IUPHHK MHA GUBERNUR
PERSYARATAN LOKASI Hutan Produksi (HP) HPK APL/ KBNK
KADISHUTPROV
PERTIMBANGAN TEKNIS
BATASAN IZIN
Sumber : Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 21 Tahun 2008
3.1.2. Izin Penggunaan Kawasan Hutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan dalam Peraturan Daerah Khusus Papua Pengaturan perizinan dalam Perdasus di atur dala Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3. Tata cara pemberian izin dan pelimpahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 diatur dengan Pergub No. 13 Tahun 2010, dalam Pasal 2 Peraturan Gubernur
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
dinyatakan, “Gubernur mencadangkan dan menunjuk areal hutan untuk kepentingan perizinan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Adat (IUPHHKMA) atas dasar usulan dari Bupati/Walikota. Tabel 3.3 Rangkuman Jenis Izin dan Bentuk Usaha pada Hutan Produksi
No. (1)
1.
2.
3.
Jenis Izin (2)
Bentuk Usaha (3)
Pemanfaatan Kawasan.
Usaha Budi Daya: a. Tanaman Obat; b. Tanaman Hias; c. Tanaman Pangan di bawah tegakan; d. Jamur; e. Perlebahan; f. Penangkapan Satwa; g. Satwa Burung Walet. Pemanfaatan Jasa Usaha : Lingkungan. a. Wisata Alam; b. Olah raga tantangan; c. Pemanfaatan air; d. Perdagangan karbon fcarboii trade); e. Penyelamatan hutan dan lingkungan. Pemanfaatan Usaha : Hasil Hutan. a.Pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam (meliputi kegiatan penebangan,pengangkutan, penanaman, Pemeliharaan pengamanan, dan pengolahan, serta pemasaran hasil).
Luas Maks. dan Jangka Waktu (4)
(5)
a. 50 hektar. b. 5 tahun.
Tidak mengganggu fungsi pokok kawasan.
a. hektar. b.10 tahun.
Tidak merusak bentang alam dan lingkungan.
a.Usaha peraanfaatan hutan alam kayu 55 tahun.
b.Usaha b.Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pemanfaatan pada hutan alam, berupa : Hutan Alam - Rotan, sagu,nipah, dan bambu. - Getah kulit kayu, daun, buah atau biji. bukan kayu 10 tahun. c. Pemanfaatan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu pada hutan tanaman (meliputi kegiatan penyiapan lahan pembibitan,penanaman,pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan hasil,pengolahan dan pemasaran).
Ketentuan
c.Usaha pemanfaatan Hutan kayu dan bukan kayu pada hutan tanaman 100 tahun.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Izin pemanfaatan hasil hutan kayu/bukan kayu pada hutan produksi tidak boleh Diberikan pada areal yang telah dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan dan bukan kayu/izin pemungutan hasil hutan kayu. Dipindah tangankan tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin. -Dijadikan jaminan atau di jaminkan kepada kepada pihak lain. Izin Pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu pada hutan Produksi
4
Pemungutan Hasil Hutan.
d.Pemanfaatan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu pada hutan anaman, dapat berupa : - Tanaman sejenis dan - Tanaman berbagai jenis. Usaha : a. 20 m3. a.Pemungutan hasil hutan kayu. b. 1 tahun.
a. 20 m³. b. Pengumutan hasil hutan bukan kayu, antara lain rotan, madu, getah, buah atau b. 1 tahun biji, daun, tumbuhan dibawahtangankan.
Sumber
Tidak merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan.
a.Berasal dari hasil langsung penebangan b.Hanya untuk memenuhi kebutuhan individu dan atau fasllitas umum penduduk sekitar hutan. c.Tidak untuk diperdagangkan. a.Dapat untuk diperdagangkan. b.Khusus untuk tumbuhan dan satwa liar diatur peruu-an yang berlaku.
: Pasal 28 UU No. 41 Tahun 1999 dan Pasal 32 sampai dengan Pasal 59 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007. Pemberian izin kepada pengelola kayu baik kepada perorangan/badan hukum dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang dahulu dikenal dengan istilah Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pada posisi pengelolaan hutan oleh pihak ketiga, Perdasus Kehutanan Papua memangkas satu tahapan penting yang menghubungkan antara pihak ketiga dengan masyarakat hukum adat, prose tersebut adalah proses negosiasi yang berisi setuju atau tidak setujunya masyarakat hukum adat atas pengelolaan hutan oleh pihak ketiga tersebut. Tetapi kalau dikaji lebih dalam, merupakan dampak langsung dari model perlindungan hak masyarakat adat yang diamandatkan oleh UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, khususnya pada Bab XI tentang perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 dalam ketentuan umum, Pasal (1) angka (13) dinyatakan bahwa : “Hutan masyarakat hukum adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, 135 sedangkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dalam ketentuan umum Pasal (1) huruf (f) dinyatakan hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Menurut penulis jika melihat Pasal tersebut di atas maka menggambarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua mengakui hutan masyarakat hukum adat sebagai hutan hak. Kriteria Masyarakat adat berdasarkan Pasal (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan Kehutan, penjelasan Pasal 67 ayat (1) menyakan masyarakat hukum adat di akui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain : 1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); 2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; 3. Ada wilayah hukum adat yang jelas; 4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. 136 Kriteria keberadaan masyarakat hukum adat berdasarkan Pasal 7 dinyatakan, “Keberadaan masyarakat adat wajib memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : a) memiliki wilayah hukum adat yang jelas dengan batas-batas tertentu yang diakui oleh masyarakat hukum adat yang berbatasan dengan wilayah adatnya. b) Memiliki pranata hukum dan struktur kelembagaan adat. c) Memiliki hubungan religi dan historis dengan wilayah adatnya. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, Penetapan KPH dalam Pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa, “Menteri menetapkan luas wilayah KPH dengan memperhatikan 135
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua, Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, PERDA No. LN No. 21 tahun 2008, ps. 1 angka 13. 136 Indonesia, Undang-Undang Kehutanan, UU No. 41, LN No. 167, tahun 1999, ps. 1 huruf f.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu wilayah daerah aliran sungai (DAS) atau satu kesatuan wilayah ekosistem”. Sedangkan dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa Pemerintah dan/atau pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota, sesuai kewenangannya, menetapkan organisasi KPH. Organisasi KPH yang ditetapkan oleh Pemerintah, meliputi organisasi : (a) KPHK; (b) atau KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas provinsi. Sedangkan Organisasi KPH yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi, meliputi organisasi KPHL dan KPHP lintas kabupaten/kota dan Organisasi KPH yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota, meliputi organisasi KPHL dan KPHP dalam wilayah kabupaten/kota. PERDASUS Papua dalam Pasal (19) ayat (2) dinyatakan bahwa, “Pemerintah provinsi dan kabupaten/Kota menyusun Rancang Bangun KPH dalam wilayahnya. Sedangkan ketika KPH mencakup lebih dari satu kabupaten/kota, penyusunan rancang bangunnya dilakukan bersama dibawah Pemerintah Provinsi”. Ayat (3) KPH ditetapkan dengan keputusan Gubernur dan disampaikan kepada Menteri untuk diketahui. Kelembagaan KPH PP No. 6 Tahun 2007 Jo to PP No. 3 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah ini menunjuk sebuah aturan setingkat aturan menteri dan peraturan pemerintah tersendiri untuk mengatur tugas dan fungsi KPH. Perdasus Papua, Pasal 20 mengatur secara lebih rinci mengenai kelembagaan KPH. Bentuk dan struktur organisasi KPH, ini akan diatur lebih lanjut oleh Gubernur dalam Peraturan Gubernur Papua Nomor 13 tahun 2010 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua. Gubernur juga berwenang memberikan izin pemanfaatan hutan dalam KPH. Izin Penggunaan Kawasan Hutan & Pemanfaatan Hasil Hutan. Izin Penggunaan Kawasan Hutan dan Pemanfaatan Hasil Hutan PP No. 6 Tahun 2007 tentang perubahan atas PP No. 3 Tahun 2008 diatur secara rinci pada Bagian Kelima, yang membagi kewenangan pemberian izin secara tegas antara Menteri, Gubernur dan Bupati. Perdasus Papua dalam Pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hasil hutan untuk tujuan komersial, penelitian dan pengembangan hasil hutan dan kegiatan sosial dilakukan
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
setelah memperoleh izin Gubernur. Menurut Penulis ini merupakan contoh disharmoni dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pengaturan perizinan dalam Perdasus di atur dalam Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3. Tata cara pemberian izin dan pelimpahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 diatur dengan Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2010, dalam Pasal 2 Peraturan Gubernur dinyatakan, “Gubernur mencadangkan dan menunjuk areal hutan untuk kepentingan perizinan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHKMHA) atas dasar usulan dari Bupati/Walikota. Dalam Peraturan Gubernur Pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa, “luas areal IUPHHK-MHA adalah 2.000 Ha samapai 5.000 Ha untuk setiap izin dan berada dalam wilayah yang kompak, selanjutnya Pasal
10 huruf (b)
Peraturan Gubernur No. 13 tahun 2010, menyatakan bahwa “melaksanakan kegiatan pengangkutan, pengolahan dan/atau pemasaran atas hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud pada huruf asesuai dengan ketentuan yang berlaku, sedangkan dalam UU No. 41 tahun 1999 Pasal 37 yang diatur dalam PP No. 6 tahun 2007 dalam Pasal 45 ayat (2) serta Peraturan Menteri Kehutanan Pasal 7 ayat (1) Nomor : P. 46/Menhut-II/2009, “pengumutan hasil hutan kayu pada hutan alam dalam hutan produksi sebagimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf (g) diberikan untuk memenuhi kebutuhan individu, dengan ketentuan paling banyak 20 (dua puluh) meter kubik untuk setiap keluarga dan tidak diperdagangkan”. Hal ini menurut penulis ada perbedaan pengaturan pengelolaan hutan antara UU 41 tahun 1999 dengan Perdasus 21 tahun 2008, dari kata tidak dapat diperdagangkan penulis mengartikan dengan tidak dapat diperjual belikan. Sebelum berlakunya Perdasus 21 Tahun 2008, pada tahun 2002 telah diberlakukan SK Gubernur Papua No. No. 522.2/3386/SET/2002 tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Adat (IPKMA) dan serta Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor KEP-522.1/2174 tentang Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IPKMA) kepada Masyarakat Adat Papua, Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 317/Kpts-II/1999 yang merupakan dasar pertimbangan dikeluarkannya IPKMA dan kemudian dicabut pada tanggal 29 Maret 2005 dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.07/Menhut.II/2005.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Dalam pelaksanaan peraturan Gubernur tersebut, Undang-undang Otonomi Khusus kemudian lebih jauh mendukung hak masyarakat adat Papua untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya alam di sekitar mereka. Pedoman pelaksanaan Undang-Undang tersebut dijelaskan secara lebih rinci dalam dua Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan mengenai hak-hak masyarakat akan sumberdaya hutan. Keputusan Menteri ini digunakan sebagai dasar hukum oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten di Papua untuk membuat kebijakan-kebijakan daerah yang bertujuan melindungi hak-hak masyarakat adat dengan mewajibkan pemegang konsesi untuk memberikan sejumlah kompensasi tertentu kepada masyarakat lokal karena telah memanfaatkan tanah masyarakat tersebut. Dengan demikian masyarakat memiliki landasan hukum yang jelas untuk mengelola dan memperoleh manfaat dari hutan ulayat mereka. Kebijakan-kebijakan di Papua tersebut bahkan juga mengatur mengenai hak-hak masyarakat lokal terhadap hutan adat yang berada di areal konsesi HPH besar, yang mana ijin operasionalnya telah terlebih dahulu diterbitkan oleh pemerintah pusat di Jakarta. Pemerintah Provinsi Papua merespon positif pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat yang ditawarkan oleh sistem desentralisasi ini dengan mengeluarkan SK Gubernur Provinsi Papua tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan Kayu oleh Masyarakat Adat, atau yang lebih dikenal dengan IPKMA (Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat) dan pedoman operasionalnya. Ketentuan ini mengatur pemberian ijin HPHH-MA/IPK-MA yang secara tegas menyebutkan bahwa untuk dapat memperoleh ijin pengelolaan hutan adat tersebut, kelompok masyarakat adat harus mendapatkan pengakuan formal dari pemerintahan lokal setempat dalam bentuk Lembaga Masyarakat Hukum Adat (LMHA), atau harus tergabung dalam suatu lembaga berbadan hukum seperti koperasi. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dibentuklah Koperasi Peran Serta Masyarakat (Kopermas), yaitu koperasi yang bergerak di sektor kehutanan. Melalui Kopermas ini, masyarakat adat dapat memperoleh ijin IPKMA yang memungkinkan mereka untuk mendapat manfaat langsung dari sumberdaya alam di sekitarnya. Tujuan dibentuknya Kopermas adalah agar masyarakat lokal dapat memperoleh hak-hak mereka dan mengelola manfaat yang diterimanya melalui suatu organisasi ekonomi yang independen, namun masih terkait erat dengan sistem kelembagaan tradisional mereka. Melalui Kopermas, masyarakat hukum adat dapat mengajukan
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
permohonan untuk memperoleh ijin IPK-MA dari pemerintah Provinsi Papua. Ijin tersebut memberikan hak untuk melakukan kegiatan penebangan di areal Hutan Produksi dengan luas antara 250 ha sampai 1000 ha (baik yang berada di dalam ataupun di luar areal konsesi HPH yang ada saat ini). Ijin IPK-MA yang diterbitkan dari provinsi ini hanya berlaku untuk satu tahun saja. Dalam kerangka desentralisasi, Menteri Kehutanan mengeluarkan dua keputusan yang mengatur mengenai hak-hak masyarakat setempat untuk memperoleh manfaat dari hasil hutan. Kedua Keputusan Menteri (Kepmen) ini menjadi dasar aturan pelaksanaan bagi pengelolaan hutan adat maupun hutan Negara di daerah. Berdasarkan kebijakan tersebut, kelompok-kelompok masyarakat yang telah memperoleh pengakuan resmi seperti koperasi masyarakat atau kelompok lainnya, dan/atau perusahaan swasta dapat memperoleh hak pengelolaan hutan skala kecil dalam bentuk HPHH (Hak Pemungutan Hasil Hutan) atau HPHH-MA (Hak Pemungutan Hasil Hutan untuk Masyarakat Adat). Kepmen pertama yang mengatur mengenai HPHH yang pada saat sekarang sudah tidak berlaku lagi, yang mana memberikan peluang pada masyarakat lokal untuk dapat memperoleh manfaat langsung dari hutan, melalui izin konsesi seluas 100 ha selama satu tahun. Sebagian besar pemerintah kabupaten di seluruh Indonesia menjadikan ketentuan ini sebagai acuan untuk menetapkan kebijakan mengenai pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat di daerahnya masing-masing. Sementara itu, Kepmen yang kedua mengenai (HPHH-MA) mengatur kegiatan-kegiatan yang bersifat non komersial. Aturan ini masih berlaku dan memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan baik di dalam maupun di luar hutan negara dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Selama masa desentralisasi, Provinsi Papua pada saat ini telah terbagi menjadi dua provinsi yaitu Irian Jaya Barat dan Papua yang telah menerapkan ketentuan pelaksanaan hak-hak pemungutan hasil hutan oleh masyarakat adat tersebut. Hal ini merupakan perbedaan yang nyata antara desentralisasi kebijakan kehutanan di Papua dan di provinsi lain. Kebijakan dari Pemerintah Pusat yang mengatur tentang hak-hak pemungutan hasil hutan oleh masyarakat adat cenderung kontradiktif satu sama lain. Contohnya adalah ketika SK Menteri mengenai HPHH-MA hanya merujuk pada kegiatankegiatan pemungutan non komersial, SK Dirjen sebagai landasan untuk aturan
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
pelaksanaannya malah cenderung merujuk pada kegiatan-kegiatan pemungutan hasil hutan untuk tujuan komersial. Padahal kebijakan menteri tersebut menjelaskan bahwa kegiatan pemungutan hasil hutan oleh masyarakat adat diperbolehkan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan dan mencakup daerah yang juga tidak disebutkan luasan maksimumnya. Ketentuan seperti ini tentunya dapat menimbulkan masalah jika diterapkan untuk tujuan komersial. Contoh lain dari ketidakkonsistenan kebijakan mengenai pengelolaan hutan adalah SK Menteri yang menetapkan bahwa Bupati diberi kewenangan untuk mengeluarkan Perijinan untuk pengelolaan hutan oleh masyarakat, sementara keputusan pelaksanaannya (SK Dirjen) membebankan tanggung jawab ini kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten, yang mensyaratkan adanya persetujuan dari Gubernur. Adanya kesimpangsiuran seperti ini telah menyebabkan perbedaan dalam pengalokasian areal konsesi dan jangka waktu untuk perijinan pengelolaan hutan yang dikeluarkan oleh provinsi dan kabupaten di Papua. Pada kenyataannya, pemerintah provinsi dan kabupaten cenderung memilih dan memilah sendiri kebijakan mana yang akan mereka ikuti atau yang lebih menguntungkan. Di Papua, pemerintah provinsi telah merancang kebijakan yang memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk mengeluarkan Perijinan pemungutan hasil hutan kayu berbasis masyarakat, sedangkan kebijakan yang dibuat oleh kabupaten malah memberikan kewenangan ini kepada Kepala Dinas Kehutanan. Hal yang menarik dengan diberlakukannya Peraturan Gubernur sebelum dikeluarkannya Perdasus 21 tahun 2008 adalah terjadinya penangkapan, penahanan dan diajukan ke depan meja hijau, bukan itu saja malahan sampai ke tingkat KASASI terhadap para pengusaha kayu yang melakukan pengelolaan hutan dengan menggunakan peraturan Gubernur Provinsi Papua. Dari beberapa para terdakwa hanya seseorang yang di jerat dengan UU 41 Tahun 1999, sedangkan lainnya dinyatakan bebas. 3.2
Hak dan Kewajiban Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat Sebelum diberlakukannya Perdasus 21 tahun 2008, terdapat tiga cara bagi masyarakat adat untuk memperoleh akses atas sumberdaya hutan. Pertama, mereka dapat
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
mengajukan permohonan atau bernegosiasi dengan pemilik konsesi HPH untuk memperoleh kompensasi finansial. Kedua, mereka dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah kabupaten untuk mendapatkan IHPHA (Izin Hak Pengelolaan Hutan Adat). Ketiga, mereka dapat mengajukan permohonan pada pemerintah provinsi untuk mendapatkan IPK-MA (Izin Pemanfaatan Kayu oleh Masyarakat Adat). Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, pemerintah provinsi dapat mengeluarkan IPK-MA kepada perorangan, perusahaan swasta yang bermitra dengan masyarakat adat, organisasi masyarakat adat seperti Lembaga Masyarakat Hukum Adat (LMHA) atau koperasi masyarakat (Kopermas). Namun dalam prakteknya, Pemerintah Provinsi Papua hanya mengeluarkan Perijinan tersebut kepada masyarakat yang secara resmi membentuk lembaga ekonomi masyarakat atau koperasi yang dikenal sebagai ‘Kopermas’. Analisis terhadap hasil temuan di lapangan mengenai kebijakan sektor kehutanan Papua dan kaitannya dengan akses masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan serta perolehan manfaat dari hasil hutan di era desentralisasi, menunjukkan halhal penting sebagai berikut : (1) Seiring berjalannya otonomi khusus di Papua, selain konsesi-konsesi HPH skala besar yang ada dan masih terus beroperasi, pemerintah pusat juga masih mengeluarkan Perijinan HPH baru di provinsi tersebut. Dengan kewenangan barunya, pemerintah provinsi menyikapi hal tersebut dengan mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan pemilik HPH untuk memberikan ganti rugi atas kayu yang mereka tebang kepada masyarakat pemilik hak ulayat. (2) Sejak tahun 2002, masyarakat lokal memiliki akses lebih besar terhadap sumberdaya hutan melalui pengajuan permohonan ijin IPK-MA kepada pemerintah provinsi. Ijin tersebut berlaku selama satu tahun untuk luasan areal 2501000 ha. (3) Pada bulan April 2004, Pemerintah Kabupaten Jayapura mengeluarkan kebijakan mengenai IHPHA yang memberikan kesempatan kepada Kopermas untuk mengelola hutan seluas 2000 ha, dalam kurun waktu dua puluh tahun. Proses dan dampak IPK-MA yang dikeluarkan pemerintah provinsi. Apabila sebuah Kopermas telah terbentuk dan diakui secara legal, IPKMA dapat dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi. Pada prakteknya, kebanyakan pemohon ijin baru mengajukan IPK-MA kepada Kepala Dinas Provinsi untuk luasan 1000 ha. Ijin perpanjangan IPK-MA dapat dikeluarkan oleh Bupati untuk luasan 250 ha. Tergantung kesepakatan yang dibuat sebelumnya antara Kopermas dan investor atau mitra bisnis, kebanyakan investor memilih untuk membayar
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) setelah kayu dikapalkan. Secara teoritis, pembentukan Kopermas seharusnya merupakan inisiatif dari pemilik ulayat. Demikian pula halnya dengan pengurusan ijin IPK-MA yang seharusnya dilakukan oleh Kopermas, sedangkan pelaksanaannya seharusnya melibatkan anggota ulayatnya secara aktif. dilibatkan dalam proses pembentukan Kopermas sampai dengan persetujuan kontrak kerja dengan pihak investor. Namun demikian, masih muncul berbagai permasalahan mengenai kebijakankebijakan baru setelah era reformasi ini yang perlu mendapat perhatian. Satu pertanyaan penting adalah seberapa jauh kebijakan ini telah mengakomodasi pandangan dan kebutuhan masyarakat lokal, dan bagaimana pemerintah provinsi dan kabupaten berencana untuk mengevaluasi kinerja kebijakan mereka. Selain itu masih perlu dilakukan pengkajian mendalam mengenai bagaimana pemerintah provinsi dan kabupaten berencana untuk mensosialisasikan kebijakan mereka agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat lokal akan hak-hak baru mereka. Bagaimana pula dengan upaya pemerintah daerah untuk melibatkan masyarakat dalam mengevaluasi dan mengadaptasikan kebijakan tersebut dengan kondisi lokal di masa mendatang. Selain untuk menjamin adanya keterlibatan yang demokratis, pemerintah kabupaten dan provinsi juga perlu mempertimbangkan dengan serius tentang siapa yang akan bertanggungjawab dalam mengimplementasikan peraturanperaturan baru tersebut dan bagaimana penegakan hukumnya. Misalnya, insentif apa yang diberikan kepada pemegang ijin yang mematuhi aturan dan sanksi apa yang akan diberikan kepada mereka yang melanggarnya?. Pada sebagian masyarakat adat di Papua, pola penguasaan lahan awalnya dilakukan berdasarkan siapa yang pertama kali membuka dan mengerjakan areal hutan yang belum dikuasai oleh orang lain. Pada sebagian yang lain, awal penguasaan wilayah oleh suatu marga didasarkan pada lokasi yang dijelajahinya pertama kali pada saat berburu binatang di areal hutan yang belum dikuasai marga lain. Begitu areal belum bertuan tersebut dikerjakan oleh suatu kelompok marga, maka secara ulayat lahan tersebut adalah milik marga yang bersangkutan (hak ulayat) dan penguasaan ini dapat diwariskan kepada keturunannya, terutama keturunan laki-laki (hak waris). Hak ulayat maupun hak waris pada dasarnya tidak dapat diperjualbelikan, hanya boleh dipinjampakaikan antara sesama warga yang masih dalam satu rumpun adat (suku).
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Berdasarkan sistem penguasaan lahan seperti ini, secara informal masyarakat Papua mengakui bahwa seluruh kawasan hutan yang ada di daerah tersebut merupakan hak ulayat kelompok-kelompok masyarakat hukum adat (marga) tertentu, dimana ketentuanketentuan penggunaannya di antara anggota marga diatur oleh norma hukum adat yang berlaku di masing-masing marga. Adapun penggunaannya oleh pihak luar (pemerintah, HPH maupun pemilik modal swasta lainnya) harus atas sepengetahuan ketua marga dan mendapat persetujuan dari pemilik ulayat. Ijin yang diberikan pada pihak luar terbatas pada penggunaan sumberdaya hasil hutannya saja, sedangkan untuk lahan hutan itu sendiri sepenuhnya masih menjadi hak pemilik ulayat. Kecuali untuk lahan yang diperuntukkan untuk pembangunan (gedung perkantoran, sarana umum, dll.), harus dilakukan upacara pelepasan hak ulayat dengan pembayaran sejumlah kompensasi bagi masyarakat adat sesuai kesepakatan. Kondisi seperti ini telah ada sejak lama di Papua, namun kembali berlaku secara kuat dan menyeluruh di Papua paska reformasi, setelah sebelumnya keberadaan masyarakat adat tidak mendapat tempat dalam sistem pengelolaan hutan sentralistik. Besarnya kompensasi yang harus dibayarkan pihak HPH kepada masyarakat hukum adat diatur berdasarkan SK Gubernur No. 13/2000 dan SK Gubernur No. 50/2001, dimana HPH diwajibkan memberi kompensasi produksi per meter kubiknya bervariasi tergantung pada hasil kesepakatan antara investor dengan masyarakat/Kopermas. Pada beberapa kasus tertentu, kompensasi yang dibayarkan tergantung pada volume kayu yang dipanen. Nilai kompensasi bervariasi antara Rp. 30.000/m³ - Rp. 100.000/m³ bahkan ada yang mencapai rata-rata Rp. 200.000/m³, jika mereka bermitra dengan investor non-HPH. Adapun jika Kopermas bermitra dengan HPH, besarnya kompensasi yang mampu dibayarkan maksimal Rp. 50.000/m³ (untuk jenis kayu komersial). Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika masyarakat adat lebih senang bermitra dengan perusahaan non-HPH karena mereka mendapatkan kompensasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan HPH. Desentralisasi pengelolaan hutan diharapkan dapat dikelola sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pemberdayaan pemerintah daerah dalam merancang dan menerapkan kebijakan serta model pengelolaan yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal. Dengan kata lain, desentralisasi dalam pengelolaan hutan merupakan upaya untuk lebih memberdayakan (meningkatkan
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
perikehidupan dan kesejahteraan) masyarakat lokal melalui pemanfaatan sumberdaya hutan yang dimilikinya dan mempertahankan kesinambungan usahanya tersebut dengan menjaga dan meningkatkan kualitas hutannya. Dalam prakteknya, peranan pemerintah daerah masih terbatas pada penerbitan peraturan namun implementasinya di lapangan belum terkontrol dengan baik. Hal ini terlihat pada peranan pemerintah dalam pelaksanaan IPKMA yang masih berorientasi pada penerbitan ijin dan penetapan besarnya kompensasi yang harus diterima oleh masyarakat pemilik hak ulayat. Belum ada mekanisme yang jelas dan transparan untuk memonitor dan mengevaluasi dampak dari kebijakan tersebut atau untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut dipatuhi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian kerjasama pengelolaan hutan ulayat. Hal ini disebabkan karena kurangnya sumberdaya dalam pemerintahan daerah dan ditunjang oleh garis akuntabilitas yang sangat tidak jelas. Saat ini, bergabung dalam Kopermas adalah satu-satunya jalan bagi masyarakat hukum adat di Jayapura untuk dapat memiliki hak formal atas manfaat dari sumberdaya hutan di wilayah mereka. Walaupun model Kopermas tersebut belum efektif seperti yang seharusnya, model Kopermas telah meningkatkan posisi tawar masyarakat hukum adat terhadap pihak luar (pemegang konsesi HPH atau investor swasta) di areal dimana mereka memiliki hak ulayat. Otonomi Khusus di Papua telah memberikan peluang-peluang positif bagi pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) serta masyarakat adat untuk lebih berperan serta dalam pembangunan kehutanan Papua. Peraturan perundang-undangan pusat yang mengatur pengusahaan hutan berbasis masyarakat semula bertujuan untuk mendorong terjadinya proses pemberdayaan masyarakat. Namun, pelaksanaan peraturan perundangundangan tersebut belum sepenuhnya berhasil karena tidak mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi dan ekologi di Papua, maupun juga karakteristik hukum adat yang ada di wilayah tersebut saat ini. Kebijakan dan peraturan pemerintah pusat yang mengatur mengenai pembangunan kehutanan berbasis masyarakat cenderung tidak jelas dan tidak konsisten, baik dalam susunannya maupun pedoman implementasinya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Pemerintah daerah di Papua, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, memiliki kesempatan untuk mencoba menyusun peraturan daerah yang mempertimbangkan unsur perpaduan antara hukum adat dan hukum formal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan hak ulayat. Sehingga kebijakan dan
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
peraturan yang diberlakukan dapat mengakomodir kepentingan stakeholder secara seimbang. Dibandingkan dengan IPK-MA, ketentuan-ketentuan dalam IHPHA relative berhasil mengakomodir unsur-unsur lokal dan mengatasi masalah-masalah pada sistem perijinan yang diterbitkan oleh provinsi. Akan tetapi masih perlu dikaji lebih lanjut efektivitas pelaksanaannya di lapangan. Melalui ijin-ijin konsesi kecil tersebut, masyarakat adat dapat terlibat langsung dalam kegiatan pengusahaan hutan. Walaupun demikian, masih diperlukan banyak upaya pemberdayaan lembaga maupun masyarakat adat untuk mampu menuju kemandirian dalam mengelola sumberdaya alam yang ada di wilayah ulayat Papua. Kopermas diharapkan dapat menjadi sarana legal untuk mengaktualisasikan aspirasi masyarakat dalam pengusahaan hutan ulayat mereka. Namun pada kenyataannya, Kopermas lebih banyak digunakan oleh mitra kerja (investor) baik HPH maupun non-HPH sebagai prasyarat legalitas untuk mengeksploitasi hasil hutan kayu di Papua. Faktor utama yang menyebabkan belum terwujudnya pemberdayaan masyarakat adat dalam mengelola hak ulayatnya adalah rendahnya pengetahuan, kemampuan dan fasilitas yang dimiliki masyarakat adat di dalam pengusahaan hutan. Faktor lain yang juga berpengaruh dalam menjamin adanya manfaat bagi masyarakat lokal dalam masa desentralisasi ini adalah pengakuan dan dukungan pemerintah atas sistem-sistem hak ulayat yang berlaku di Papua. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut di atas, pemerintah provinsi Papua mengeluarkan suatu kebijakan dalam pengelolaan hutan berkelanjutan dalam rangka mewujudkan serta meperdayakan masyarakat hukum adat selaku pemilik hak ulayat dengan mengeluarkan IUPHHK-MHA sebagai jawaban atas permasalahan tersebut. Hak dan kewajiban IUPHHK-MHA yang diatur oleh Perdasus Papua mempunyai hak (a) melaksanakan kegiatan penebangan kayu sesuai dengan izin yang diberikan; (b) melaksanakan kegiatan pengangkutan, pengolahan dan/atau pemasaran atas hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud pada huruf a sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (c) mendapatkan
pendampingan
dari
Pemerintah
Kabupaten/Kota;
(d)
mendapatkan
pembinaan penyuluhan; (e) melakukan kerjasama dengan pihak lain berdasarkan persetujuan Gubernur. Selain hak maka ada kewajiban yang harus dipatuhi diantaranya penatausahan hasil hutan sesuai dengan peratuan perundang-undangan yang berlaku. Pada prinsipnya Perdasus Papua menjamin kelestarian hutan dan perdagangan kayu dalam bentuk gergajian atau setengah jadi, bukan berupa kayu bulat serta para pemegang
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
IUHHK-MHA wajib membayar PSDR dan DR kepada Negara sesuai dengan PerundangUndangan yang berlaku. 3.3
Pengaturan Sanksi Dalam Perdasus 21 Tahun 2008 Tentang Pengeloaan Hutan Berkelanjutan Pelanggaran terhadap ketentuan yang di atur dalam Perdasus 21 tahun 2008 dan Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2010, maka dikenakan sanksi berupa pelanggaran dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan penjara dan denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah), sedangkan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku jika merusak, memindahkan tanda batas serta merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan, menggunakan peralatan berat, melakukan penebangan sebelum dikeluarkannya IUPHHK-MHA, memindahtangankan IUPHHKMHA kepada pihak lain, menyebabkan kebakaran hutan, serta melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak yang telah ditentukan. Selain itu untuk membatasi kerusakan hutan akibat kegiatan usaha pemanfaatan hutan, pemegang IUPHHK-MHA tidak dibenarkan menggunakan peralatan yang tidak sesuai dengan kondisi lahan dan lapangan atau melakukan perbuatan lain yang dapat menimbulkan kerusakan lahan dan tegakan. Sebelum dikeluarkannya Perdasus 21 Tahun 2008, Pengelolaan hutan di Provinsi Papua selama ini dilaksanakan dalam bentuk HPH dan sejak tahun 1999 Pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat khususnya masyarakat pemilik hak ulayat dalam pengelolaan hutan. Dalam rangka desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan di Papua, Pemerintah Daerah telah menempuh langkah awal dengan memberikan IHPHHMHA (Ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat) kepada Kopermas dengan luas 250 hektar, dimana masa berlaku dari ijin ini hanya 1(satu) tahun. Dasarnya adalah dengan diterbitkannya SK Menhut No. 317/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 tentang HPHHMHA pada Areal Hutan Produksi.
Sebagai tindak lanjut SK
Menhutbun tersebut, Gubernur Provinsi Papua menerbitkan surat Nomor : 522.2/ 3386/SET tanggal 22 Agustus 2002 tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat dalam bentuk IPKMA dengan petunjuk pelaksanaannya sesuai
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor : KEP-522.1/1648 tanggal 22 Agustus 2002. Secara lengkap, dasar pemberian IPKMA adalah 1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 37 dan 67; 2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Pasal 38 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1; 3. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 317/ Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan Produksi; 4. Surat
Keputusan
Direktur
Jenderal
Pengusahaan
Hutan
Produksi
Nomor
:
199/KPTS.IV/SET/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan HPHH-MHA pada Areal Hutan Produksi; 5. Surat Gubernur Provinsi Papua Nomor : 522.2/3386/SET tanggal 22 Agustus 2002 tentang Pengaturan Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat; 6. Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor : KEP-522.1/1648 tanggal 22 Agustus 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat/Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA); Alasan pemberian ijin kepada Kopermas dengan pertimbangan bahwa areal yang dimohon merupakan wilayah hak ulayat masyarakat setempat; selama ini hutan disekitar wilayah adat masyarakat hanya dinikmati oleh para pengusaha HPH dan IPK; untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan untuk meredam gejolak sosial akibat tuntutan masyarakat. Bagi kelompok-kelompok masyarakat adat (Papua) melalui wadah Koperasi (KOPERMAS), setelah mengantongi IHPHHMHA, dapat melaksanakan aktivitas mereka tetapi tetap di dalam kawasan hutan adatnya. Bila lokasi yang diajukan sebagai areal yang dikelola tersebut berada dalam areal HPH maka dalam ketentuannya Kopermas itu harus mengajukan permohonan kepada HPH yang bersangkutan untuk mendapatkan surat tidak berkeberatan dari HPH yang bersangkutan untuk mengelola areal tersebut. Hal ini dilakukan sebab secara hukum HPH ini yang mendapat ijin dari negara untuk mengelola hutan. Bila tidak, maka Kopermas tersebut tidak dapat melaksanakan aktivitas loggingnya di daerah tersebut. Hal ini menjadi kendala sebab akan terjadi konflik antara Kopermas
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
tersebut dengan HPH yang bersangkutan. Di satu sisi, HPH sudah mendapat ijin dari negara tetapi di sisi lain Masyarakat adat adalah pemilik sah atas hutan-hutan dan atau tanah adat dimana areal yang sedang di kelola oleh perusahaan HPH. Bila memperhatikan kebijakan ini, seharusnya yang menikmati keuntungan dari ijin tersebut adalah masyarakat adat karena masyarakat dapat langsung menjual kayunya sendiri kepada pembeli dan dapat menerima keuntungan dalam jumlah besar. Kondisi riil saat ini menunjukkan bahwa telah ada kebijakan yang memihak kepada masyarakat dan ini merupakan peluang bagi masyarakat untuk mengelola hutan-hutan adatnya. Akan tetapi yang menjadi kendala adalah bahwa masyarakat belum siap mengelola hutannya secara bijaksana dan lestari, masyarakat masih memerlukan pendampingan namun saat ini ijin masyarakat yang didapat oleh masyarakat dimanfaatkan oleh para cukong dari luar seperti dari Malaysia, Singapura atau dari Cina. Dari semua proses pengurusan ijin sampai dengan kegiatan logging, masyarakat adat hanya mendapkan “Fee” yang tidak sebanding dengan nilai hutan yang dirusak, dan masih banyak lagi hal-hal lain yang terjadi. Dengan memperhatikan kondisi di atas maka hendaknya dicari suatu pola pengelolaan hutan yang benar-benar dapat mendorong terjadinya kelestarian hutan dan kelestarian produksi pada hutan-hutan adat masyarakat yang dikelola secara baik. Bila meneropong ke masa yang akan datang, konsep pengelolaan hutan yang berkelanjutan menjadi sangat penting. Kegiatan kehutanan di setiap kawasan hutan menurut fungsi pokoknya tetap memperhatikan keberlangsungan kelestarian fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial secara proporsional. Pengelolaan hutan yang berkelanjutan merupakan serangkaian tujuan, kegiatan dan hasil yang bertumpu pada usaha mempertahankan atau meningkatkan integritas ekosistem hutan dan kesejahteraan rakyat baik sekarang maupun di masa yang akan datang. 3.4 Kendala Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Kehutan di Provinsi Papua Dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap tindak Pidana Kehutanan dalam sistem peradilan pidana, prakteknya tidak semudah apa yang dibayangkan. Hal ini karena terdapat masalah dalam instrumen hukum yang menjadi kendala dalam penegakan hukum tindak pidana kehutanan. Di bawah ini penulis menguraikan beberapa kendala dalam instrumen hukum yang menghambat penegakan hukum tindak pidana kehutanan. Adapun
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
yang menjadi uraian kendala-kendala di bawah ini adalah dari literatur dan hasil wawancara penulis dengan beberapa informan. 3.4.1
Tumpang Tindih Aturan Hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kita gunakan saat ini meskipun belum direvisi telah mengalami perkembangan yang dirumuskan dalam berbagai undang-undang tindak
pidana
di
luar
KUHP.
Sejalan
dengan
perkembangan undang-undang, peraturan-peraturan di daerah TK I dan II di berbagai
wilayah
Indonesia
mengalami
perkembangan.
Khusus
terhadap
perkembangan peraturan daerah yang berhubungan dengan pengelolaan hutan dan hasil hutan seperti Ijin pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA) oleh Bupati terdapat tumpang tindih dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 137. Perda tersebut dibuat umumnya lebih mengutamakan kepentingan daerah untuk peningkatan pendapatan daerah. Hasil pungutan hasil hutan yang didasari Perda setempat dimanfaatkan untuk mempercepat proses pembangunan di daerah. Dengan demikian Pemda lebih mengutamakan pelaksanaan Perda dari pada harus melaksanakan ketentuan UU No. 41 Tahun 1999. 138 Kewenangan daerah untuk menentukan perizinan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Izin Pemanfaatan Hutan (IPK) tersentralisasi di tangan bupati / walikota dapat dijadikan sumber legitimasi dalam mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD). Demi peningkatan PAD, permerintah daerah mengeluarkan izin pengelolaan hutan 137
Prasetyo H.M., “Problematika Penuntutan Perkara Penebangan Liar”, Makalah Seminar Pemberantasan Illegal Logging Melalui Penerapan Undang-Undang Tentang Tindak Pidanan Pencucian Uang” (Jakarta : 2005), hlm. 7 138 Tumpang tindihnya kewenangan disektor kehutanan Undang-undang Otonomi dan Undang-Undang kehutanan sendiri konflik satu sama lain dalam menentukan legal tidak legalnya sebuah operasi kehutanan, Menurut UU No. Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Bupati berhak mengeluarkan ijin-ijin IPK, IPHH, dan berbagai macam ijin sah lainnya di tingkat kabupaten yang dipakai untuk mengeluarkan kayu-kayu dari hutan, dimana di sisi lain pemerintah pusat meradang akibatnya dan mengklaim bahwa seluruh ijin resmi tersebut bertentangan dengan UU Kehutanan, Bahkan saat ini beberapa kabupaten telah mengeluarkan Peraturan Daerah yang berkaitan tentang Hutan dan Kehutanan yang memperbolehkan pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu oleh Bapati dengan luasan hingga 50.000 hektar serta adanya SK Bupati untuk pemanfaatan kayu dengan alas an pembukaan areal untuk perkebunan serta pemberian ijin konsesi skala kecil. Hal ini diperparah dengan begitu mudahnya dikeluarkannya Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) oleh Dinas Kehutanan, bahkan ada pihak yang mampu melakukan pemalsuan dokurmen demi tujuan pengekstraksian kayu dihutan lantas, untuk menentukan legal atau tidak legal sebuah kayu dari sebuah operasi kehutanan, misalnya, hukum mana yang andapakai? (http://timpakul.or.id/anak/node/28, "Tersentuh Hukum",Submitted by timpakul on Tue, 28/09/2004-17:57. alam nyata,diakses tanggal 08 Mey 2012.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
atau kayu kepada pemodal. Pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau Izin Pemanfaatan Hutan (IPK) secara besar-besaran ini dapat mengakibatkan kerusakan hutan. Dari hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Marthen Kayoi, menyangkut Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua No. 21 Tahun 2008, menyatakan, hubungannya dengan menyandingkan antara UU No. 41 Tahun 1999 dengan Otsus maka Pemerintah Provinsi Papua merujuk pada Pasal 38 ayat (2) UU 21 Tahun 2001, merupakan suatu pintu masuk untuk mengeluarkan Perdasus kehutanan, salah satu sumber daya alam adalah hutan maka perlu pemerintah Provinsi mengatur hak ulayat masyarakat Papua untuk mengola hutan tersebut. Di dalam Perdsus kehutanan Papua ada substansi inti yang berada di dalam Perdasus, masyarakat yang tadinya dalam UU Kehutanan tidak sebagai pelaku, didalam pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua, pemerintah memasukkan masyarakat adat sebagai pelaku utama, contohnya industri kayu rakyat, tanaman rakyat, bagaimana dapat melibatkan masyarakat adat Papua sebagai pelaku, namun kenyataannya dalam pengelolaan hutan HPH industriindustri ekonomi skala besar, dengan isu-isu penguatan tenurial masyarakat adat dalam penguasaan hutan maka pemerintah dengan dinas terkait dapat mengelolah kondisi hak tenurial masyarakat adat dengan kearifan lokal dapat mengakomodir dalam suatu manajemen pengelolaan hutan yang lebih baik dengan memberikan ruang kelola kepada masyarakat adat pengguna hak ulayat. Lebih lanjut Kadis, mengatakan soal sinkron atau tidak dengan UU No. 41 Tahun 1999, maka didalam perdasus kehutanan pemerintah upayakan seluruh mekanisme tata usaha kayu secara nasional di adopsi seratus persen didalam Perdasus kehutanan Papua, yang beda adalah spesifikasi lokal Papua dengan pertimbangan geografi dan lain-lain, sehingga ada penjabaran-penjabaran lebih lanjut, misalnya di daerah luar Papua kapal biasa sandar langsung ke dermaga sedangkan di Papua harus melewati sungai pindah ke tongkang besar-tongkang kecil untuk mengangkut kayu.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Kemudian kepala Dinas Kehutanan menyatakan asal usul kayu kalau di luar Papua jelas adanya, kalau di Papua aksesbilitas sudah tidak tersedia, tingkat adaptasi terhadap inovasi masyarakat tata pengelolaan hutan belum berkembang dengan baik, maka peraturan menteri kehutanan tentang asal usul kayu belum dapat diterapkan di Papua. Pemerintah Provinsi Papua sedang berusaha untuk membuat suatu sistim pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku melalui industri kayu rakyat. Dengan industri ini memberi ruang untuk pemerintah melakukan tata usaha kayu lokal, yang sesungguhnya bukan bertentangan tetapi tidak sejalan misalnya UU 41 Tahun1999, menyatakan tebang, angkut, bawa ke kapal dan seterusnya, di Papua tidak seperti begitu, tebang, tarik dan seterusnya. Lebih lanjut Kadis menyatakan bahwa pemerintah Papua mengupayakan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan antara perdasus kehutanan dan aturan-aturan dari Menteri Kehutanan, misalnya tentang Hutan Tanaman Rakyat. Menurut UU 41 Tahun 1999, HTR hanya boleh ada di hutan produksi, tetapi konteks Papua berada di semua fungsi hutan, oleh sebab itu harus disinkronisasi dengan peraturan yang di atur dalam UU No. 41 Tahun 1999. Dimana kita mengetahui bahwa sejarah pembuatan UU No. 41 Tahun 1999 dan peraturan menteri, nuansa pada waktu itu berbeda dengan nuansa hari ini. Oleh sebab itu harus pemerintah jembatani dengan sinkronisasi dan harmonisasi terhadap UU kehutanan dengan pola pikir hutan kita jaga dan masyarakat mendapat manfaat ekonomi dari pengelolaan hutan. Dalam Otsus mengamanatkan keberpihakan dan pemberdayaan. Pemberdayaan kepada siapa? Adalah kepada masyarakat Papua. Pepohonan yang tumbuh di atas tanah hak ulayatnya yang menurut pemerintah Papua untuk mengatur pengelolaannya. Beranjak dari pengalaman silam mengenai IPKMA, kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua saya juga pernah sebagai terdakwa, numun pada tingkat kasasi dinyatakan bebas dengan pertimbangan kebijakan pemerintah daerah dan surat yang diterbitkan oleh menteri kehutan bukan berdasarkan hukum, hanya berbentuk surat yang mengatakan IPKMA itu legal semenatara menteri kehutanan bukan lembaga hukum, dan yang harus menyatakan legal dan illegal adalah lembaga hukum. Perdasus Kehutanan saat ini saya jamin tidak akan seperti masa yang lalu, karna IPKMA tidak ada dasar hukum daerah yang menjamin, kalau
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
sekarang ini sudah ada UU Otsus, Perdasus, Peraturan Gubernur serta peraturan kepala dinas kehutanan, maka jamin legalitas dari pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua. Mengenai sumber daya manusia kami pemerintah Provinsi Papua akan melakukan pelatihan-pelatihan di bidang pengelolaan hutan dengan alokasi dana dari pemerintah Papua. Mengenai cara pemasaran hasil hutan rakyat tidak seperti IPKMA, pengelolaannya berupa kayu setengah jadi atau kayu gergajian yang di pasarkan baik untuk keperluan lokal, nasional regional maupun regional. Disini pemerintah harus intervensi dalam pengelolaan hutan dengan memberikan dana talangan kepada koperasi-koperasi yang sudah mempunyai manajemen baik. Sekali lagi Kepala Dinas Kehutan Provinsi Papua menyatakan bahwa tidak usah hawatir masalah perbedaan hukum, karna pemerintah sudah mempunyai aturan-aturan tentang pengelolaan hutan, yang mana kami pemerintah provinsi Papua sudah publikasikan kepada para penegak hukum di Provinsi Papua, sedangkan para pengusaha kayu yang masih munggunakan HPH selama masih berlaku tetap di akui oleh pemerintah Papua. Mengenai hutan Negara, jika berpegang dengan hutan Negara maka di Papua tidak akan ada titik temunya. Akhirnya harus kelola lingkungan dengan lestari dan rama lingkungan. Menurut Kadis alternative yang baik atau yang bisa pemerintah Papua laksanakan adalah hormonisasi dan sinkronisasi, dan sandingkan atara perdasus dengan peraturan menteri kehutanan. Kalau tidak apa artinya sebuah peraturan kehutanan kalau tidak mempunyai kemanfaatan nilai ekonomi, sedangkan rakyat Papua adalah bagian dari rakyat Indoneisa 139. Wawancara dengan Rico Purba selaku Kasat Serse Polresta Jayapura, Hutan kita yang luas pada umumnya di sekelilingnya terdapat kehidupan masyarakat adat Papua. Kehidupan masyarakat adat Papua yang tinggal di pinggiran hutan menggantungkan kehidupan dari memungut hasil hutan. Kebiasaan tersebut sudah turun temurun dari kehidupan nenek moyangnya, sehingga mereka sudah mengkapling wilayahwilayah tertentu sebagai hutan adat. Pada kenyataan tersebut apabila ada pihak-pihak 139
Marthen Kayoi, dalam wawancara dengan peneliti di Jayapura pada tanggal 10 April 2012, pukul
15.00 Wit.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
tertentu yang akan menguasai atau mangambil hasil hutan akan menimbulkan konflik, Pihak tertentu yang sudah berbekal surat ijin dari pemerintah pusat harus menghadapi berbagai tuntutan dari masyarakat adat. Hukum dan aturan nasional yang harus mengadopsi hukum adatpun dapat dilanggar. Dengan bermodalkan uang yang tebal, para cukong kayu akan mudah mempengaruhi masyarakat, akhirnya hutan adatpun dieksploitasi semaksimal mungkin untuk mencari keuntungan pribadi para cukong kayu 140. Hasil wawancara dengan Cahayo, Kepala Satuan Sumber Daya Lingkungan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Sampai sejauh ini aturan hukura tentang kehutanan antara produk kepentingan pusat dan daerah masih tetap berlaku dan terus diperdebatkan khususnya oleh para penegak hukum di lapangan dengan pejabat di daerah. Idealnya adalah seharusnya para penegak hukum tetap mengutamakan hukum nasional yang sering diklaim oleh daerah lebih mengutamakan kepentingan pusat. Dengan adanya kemudahan proses keluarnya kayu dari daerah karena dilindungi berbagai peraturan daerah maka tindak pidana kehutan tidak akan mudah dihentikan. Kondisi tersebut akan lebih diperparah lagi dengan permintaan kayu pasar dunia semakin besar dan hutan-hutan di berbagai negara sudah habis, seperti kawasan Asia yaitu cina, Jepang, dan negara-negara Eropa, hutan mereka sudah habis tetapi kebutuhan kayu meningkat. Supplay (penawaran) dan demand (permintaan) menjadi suatu kenyataan 141. Dari hasil wawancara dengan Jaksa Benony Adrian Kombado, yang pernah menangani kasus tindak pidana kehutan di Kabupaten Serui-Papua menyatakan, walaupun telah diberlakukannya Perdasus 21 Tahun 2008 di Papua, tidak dapat mengakomodir seluruh hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua. Pada prinsipnya dalam pengelolaan hutan masyarakat adat masih berpatokan kepada UU No. 41 Tahun 1999 khususnya dalam Pasal 67. 142
140
Rico Purba, selaku Kasat Serse Polresta Jayapura, dalam wawancara dengan peneliti di Jayapura pada tanggal 18 Mey 2012, pukul 10.00 Wit 141 Cahayo, Kepala Satuan Sumber Daya Lingkungan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, dalam wawancara dengan peneliti di Jakarta pada tanggal 21 Mey 2012, pukul 16.00 Wib. 142 Benony Adrian Kombado, dalam wawancara dengan peneliti di Jakarta pada tanggal 07 Maret 2012, pukul 21.00 Wib.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Diharapkan ke depan para pelaku tindak pidana kehutanan dapat diproses dengan tidak ada keraguan tentang interpretasi aturan dan diberikan hukuman yang berat jika melanggar ketentuan yang di atur di dalam UU Kehutan, bagaimana pertimbangan dengan daerah yang diberikan Otonomi yang seluas-luasnya, itu adalah tantangan dari para penegak hukum dalam memberantas tindak pidana kehutanan. Berkenaan dengan adanya tumpang tindih antara aturan hukum, maka berdasarkan teori sistem hukum yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, terdapat suatu kondisi dimana seluruh sistem bekerja di dalam ruang dan setting yang berada di dalam satu pekerjaan utama. Hal tersebut karena dipengaruhi oleh aspek substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Berkaitan dengan masalah instrumen hukum yang menjadi kendala dalam penegakan hukum tindak pidana kehutanan, maka hal ini menandakan tidak adanya sinkronisasi instrumen hukum atau sinkronisasi substansial. Dalam penegakan hukum perlu ada sinkronisasi substansial (substansial synchronisasi) yang mencakup sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Sistem Peradilan Pidana yaitu mengenai tugas dan wewenang aparat penegak hukum. Kendala dalam substansi hukum, adalah prosedur apa yang seharusnya diikuti oleh lembaga hukum yang ada yaitu kepolisian, Kejaksaan maupun PPNS Kehutanan dalam menjalankan perangkat hukum yang ada, dalam hal ini adalah UU No. 41 Tahun 1999 dan Peraturan Daerah tingkat I dan II serta daerah-daerah yang diberikan Otonomi Khusus. Hal ini sangat dilematis karena hukum tetap harus ditegakkan, tetapi di sisi lain hukum harus berhadapan dengan kebijakan pemerintah daerah yang diberikan Otonomi Khusus berwenang mengelola hutan secara lestari, sehingga peraturan perundang-undangan kurang berorientasi pada penyelarasan hubungan antara lembaga-lembaga penegak hukum. 3.4.2 Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Untuk menyelamatkan hutan, adalah dengan memberikan sanksi pidana yang seberat-beratnya kepada para pelaku tindak pidana di bidang kehutanan dengan dasar hukum yang saat ini telah dirasa cukup memadai. Sebagai dukungan moral agar para penegak hukum tidak ragu dalam menerapkan sanksi pidana, maka diperlukan pemahaman pengetahuan hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan kegiatan kehutanan. Kajian efektifitas penerapan sanksi pidana kehutanan
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
yang dimulai dengan telaah terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur sanksi pidana kehutanan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan sangat diperlukan. Penerapan sanksi pidana dalam UU No. 41 Tahun 1999 memang masih banyak kelemahan, namun dengan didukung oleh UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kekurangan dalam UU No. 41 Tahun 1999 akan dapat ditutupi. Sebagai contoh, apabila seseorang dituduh melakukan tindak pidana Pasal 50 ayat (3) UO No. 41 Tahun 1999, maka orang tersebut akan mengajukan bantahan-bantahan menyangkut status, kepemilikan dan penguasaan hutan serta siapa yang berwenang memberikan ijinnya dan sebagainya. Untuk menjawabnya, dapat diterapkan Pasal-Pasal yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2009 yang menekankan dampak kerusakan akibat pelanggaran ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999. Oleh karena itu diperlukan analisis yang kuat terhadap tuduhan yang didakwakan dan pemahaman terhadap ketentuan Pasal-Pasal yang menjadi kunci utama. Dakwaan jaksa sangat berpengaruh terhadap tuntutan yang akan diputuskan oleh hakim, sehingga seorang jaksa perlu memahami dakwaan yang dibuatnya. Dalam persidangan, jaksa harus menampilkan keahlian dan keyakinannya bahwa apa yang didakwakan adalah tepat dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Begitu pula analisa dakwaan telah diuraikan secara jelas mengenai unsur-unsur perbuatan pidana yang telah dilakukan terdakwa. Meskipun hakim mempunyai kemandirian dalam memutus suatu perkara pidana, namun hakim tidak bisa mengesampingkan hal-hal yang terjadi dalam persidangan dan fakta-fakta hukum yang ditampilkan para pihak. Ketentuan pidana dalam kasus tindak pidana kehutanan perlu diperberat lagi agar pelaku tindak pidana kehutanan jera. Walaupun dalam beberapa Undang-Undang sudah cukup diatur, tetapi implementasinya sering tidak membuat efek jera bagi pelakunya. Menurut penulis para penegak hukum dalam memproses pelaku tindak pidana kehutanan hanya masyarakat miskin selaku pekerja, sedangkan para aktor dibalik
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
pembalakkan liar tersebut tidak sama sekali disentuh oleh hukum, mengapa demikian, karna para penegak hukum terlibat langsung dalam jaringan illegal logging tersebut. Wakil Sekjen PBB Achim Steiner, menyatakan, “Illegal Logging menghancurkan kehidupan masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya hutan, sekaligus menguras kekayaan sumber daya alam Indonesia melalui praktekpraktek yang tidak berkelanjutan. Pembalakan hutanpada skala sebesasar ini tidak mungkin dilakukan oleh perorangan yang telah termiskinkan, melainkan oleh jaringan komersil terorganisir yang sangat sistematis dan licin”.143 Nampaknya tidak berlebihan jika pelaku illegal logging kelas kakap disebut sebagai “mafia hutan”, karena bentuk dan sifatnya sebagai jaringan komersil terorganisir yang sangat sistematis dan licin sebagaimana yang disampaikan oleh wakil sekretaris jendral PBB, Achim Steiner. Kejahatan Kehutanan di Indonesia melibatkan hubungan yang kompleks antara aktor, mulai dari cukong kayu, aparat militer dan polisi, pejabat pemerintah dan politisi yang korup, mafia peradilan, sampai sindikat penyelundupan internasional. 144 Rumusan sanksi pidana dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 yang memiliki sanksi pidana ternyata belum dapat memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana kehutanan. Ancaman hukuman penjara 15 tahun bagi yang membakar hutan dan paling berat 10 tahun bagi yang melakukan Illegal logging. Pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,(lima milyar rupiah). Rumusan sanksi dalam Undang-Undang ini tidak mengatur rumusan sanksi minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) diatur bahwa tindak pidana di bidang kehutanan merupakan salah satu dari tindak pidana asal yang menghasilkan harta kekayaan yang dapat dituntut dengan menggunakan UU TPPU. Pendekatan anti pencucian uang merupakan paradigma baru dalam upaya memberantas kejahatan. 143
Kejaksaa Republik Indonesia, Pemetaan Illegal Logging dari Prespektif Kejaksaan, (Kejaksaan Agung
R.I., 2007) 144
Ibid., hal 55
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Dengan menggunakan paradigma baru ini pemberantasan kejahatan lebih difokuskan pada pengejaran hasil kejahatan melalui metode deteksi dan penelusuran aliran dana (follow the money). Pendekatan ini di banyak negara diakui lebih menjanjikan keberhasilannya ketimbang mengejar pelaku kejahatan yang biasanya memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan 145. Berkaitan dengan teori hukum yang telah penulis uraikan di atas, maka sanksi pidana yang tidak memberikan pidana minimum sehingga tidak memberikan efek jera bagi pelakunya merupakan masalah instrumen hukum yang menjadi kendala dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan kayu ilegal. Instrumen hukum dalam sistem hukum berkaitan dengan substansi hukum yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan uraian di atas, telah dijelaskan tentang hukum positif yang mengatur tentang aturan-aturan hukum kehutanan dan penanganan tindak pidana melalui sistem peradilan pidana dalam menegakan hukum. Dalam pelaksanaannya, ketentuan-ketentuan hukum dalam UU No. 41 Tahun 1999 telah dilanggar khususnya adalah adanya tindak pidana Kehutanan. 3.5 Analisa Putusan Pengadilan Kasus Tindak Pidana Kehutanan di Provinsi Papua. Dalam penelitian ini, perkara tindak pidana kehutanan yang digunakan sebagai obyek penelitian telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Perkara yang akan peniliti analisa adalah perkara atas nama H. Romzan. H. Romzan pada hari Senin tanggal 15 November 2004, bertempat di Holtekamp di Jayapura telah mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan); yang mana H. Romza selaku Nakhoda Kapal MV. Fitria Perdana telah melakukan pemuatan kayu milik Ketua Kopermas Yasrabayan Andi Selle Paralangi di Pelabuhan Holtekamp Jayapura yang berdasarkan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan jumlah kayu adalah 860 (delapan ratus enam puluh) batang, sedangkan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan oleh Kasirah dibuat tanpa melakukan pengecekan fisik kayu 145
Yunus Husein, Strategi Memberantas Pembalakan Liar http://www.docstoc.com/docs/2959625/STRATEGI-MEMBERANTAS-PEMBALAK-LIAR-Dr-Yunus-Husein-SHLLM Dalam.diunduh 10 Februari 2012
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
terlebih dahulu, selanjutnya pada waktu pemuatan tidak melakukan pengecekan jumlah kayu, kemudian pada saat membawa kayu tersebut ke Surabaya kapal yang dinakhodai Terdakwa ditangkap oleh petugas POL AIRUD Polda Papua dan pada waktu dilakukan pembongkaran ternyata jumlah kayu tidak sesuai dengan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) yaitu sebanyak 896 (delapan ratus sembilan puluh enam) batang dengan jumlah volume 3.580,86 M³ ;
Penuntut Umum dalam perkara ini berdasarkan Surat Dakwaan, mendakwa H. Romzan dengan dakwaan yang disusun secara tunggal, melanggar Pasal 78 ayat (7) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Dalam pembuktian tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh H. Romzan tersebut, berdasarkan fakta-fakta dipersidangan selanjutnya surat tuntutan menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh H Romzan terbukti melanggar Pasal 78 ayat (7) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Dengan tuntutan sebagai berikut : Tuntutan Jaksa/Penuntut Umum tanggal 20 Juli 2005 yang isinya adalah sebagai berikut : 1. Menyatakan Terdakwa H. Romzan bersalah melakukan tindak pidana Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 78 ayat (7) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara ditambah dengan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 5 (lima) bulan kurungan dengan perintah segera ditahan; 3. Menyatakan barang bukti berupa : 1. Kapal MV. Fitria Perdana ; 2. Kayu log sebanyak 895 picis/batang jenis merbau ; 3. Dokumen Kapal MV. Fitria Perdana ; Dirampas untuk negara ;
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
4. SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) Nomor Seri DE 0198566 ; 5. DHH (Daftar Hasil Hutan) kayu bulat Nomor : 01/Kop-B/X/2004 ; 6. Surat Perjanjian Angkutan Laut antara PT. Fitria Antarnusa Samudera dengan PT. Rimba Kayu Jaya ; Tetap terlampir dalam berkas perkara ; 7. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) ; Putusan Pengadilan Negeri Jayapura No. 59/Pid.B/2005/ PN.JPR. tanggal 30 Agustus 2005 yang amar lengkapnya sebagai berikut : 1. Menyatakan Terdakwa H. Romzan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan)” ; 2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala dakwaan ; 3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya seperti sedia kala (rehabilitasi) ; 4. Menyatakan barang bukti berupa : a. 1 (satu) buah Kapal MV. Fitria Perdana ; b. Dokumen-dokumen Kapal MV. Fitria Perdana ; c. Surat Perjanjian Angkutan Laut antara PT. Fitria Antar Nusa Samudera dengan PT. Rimba Kayu Jaya ; Dikembalikan kepada Capt. H. Soehariyo ; d. Kayu log sebanyak 895 (delapan ratus sembilan puluh lima) picis/batang jenis merbau dan ; e. DHH kayu bulat No. 01/Kop-B/X/2004 tanggal 27 Oktober 2004 atas nama Kopermas Yasrabayan ; Dikembalikan kepada Terdakwa Andi Selle Paralangi ; f. 2 (dua) lembar asli SKSHH Nomor Seri DE. 0198566 tanggal 15 November 2004 atas nama Kopermas Yasrabayan ; Masing-masing dikembalikan kepada Dinas Kehutanan Kota Jayapura; 5. Membebankan biaya perkara kepada Negara Republik Indonesia ; Putusan Mahkamah Agung RI No. 246 K/Pid/2006 tanggal 17 Mei 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut : Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jayapura tersebut ; Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jayapura No. 59/Pid.B/2005/-PN.JPR. tanggal 30 Agustus 2005 ;
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Menyatakan Terdakwa H. ROMZAN tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana ”MENGANGKUT HASIL HUTAN TANPA DILENGKAPI DENGAN SURAT KETERANGAN SAHNYA HASIL HUTAN (SKSHH)” ; Menghukum oleh karena itu Terdakwa dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan dan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan keterangan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 5 (lima) bulan ; Menetapkan lamanya Terdakwa ditahan dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan ; Menetapkan barang bukti berupa : - Kapal MV. Fitria Perdana ; - Kayu log sebanyak 895 picis/batang jenis Merbau ; - Dokumen Kapal MV. Fitria Perdana ; - SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) Nomor Seri DE 0198566 ; - DHH (Daftar Hasil Hutan) kayu bulat Nomor : 01/Kop-B/X/2004 ; - Surat Perjanjian Angkutan Laut antara PT. Fitria Antarnusa Samuderadengan PT. Rimba Kayu Jaya ; Dirampas untuk negara ; Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali H. ROMZAN tersebut dan menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku. Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu tanggal 17 Maret 2010 oleh Djoko Sarwoko, SH.MH. Ketua Muda Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, I Made Tara, SH. dan Prof. DR. Komariah E. Sapardjaja, SH. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam siding terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut, dan dibantu oleh Rahayuningsih, SH.MH. Panitera Pengganti. 146 Dari kasus tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh H. Romzan dengan menggunakan izin IPKMA di Papua, tidak digunakan sebagaimana mestinya dengan kata lain dalam melakukan pengangkutan kayu melebihi kubikasi yang ditentukan oleh Instansi terkait dalam hal ini Dinas Kehutan Provinsi
Papua.
Penulis
berpendapat
bahwa Pemerintah
Provinsi
Papua tetap
mempertimbangan UU No. 41 Tahun 1999 dalam pengelolaan hutan di Provinsi Papua. Berbeda dengan tujuh perkara yang di putus bebas oleh Mahkamah Agung di bawah ini, dimana para pelaku melakukan pengangkutan kayu berdasarkan izin yang ditentukan oleh Pemerintah setempat, dengan pertimbangan-pertimbangan yang tertera di bawah ini. a. Putusan Mahkamah Agung RI No. 2815 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama Terdakwa Ir. Marthen Kayoi, MM. ; b. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1662 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama Terdakwa Rudi Wijaya ; c. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1664 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama Terdakwa Agustian ; d. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1663 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama Terdakwa Agustian, dkk ; e. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1048 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama Terdakwa Tan Eng Kwee, dkk ; f. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1661 K/Pid/2006 perkara kasasi pidana atas nama Terdakwa Aliyono ; g. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor perkara kasasi pidana atas nama Terdakwa Andi Selle Paralangi ; Dengan pertimbangan Perbuatan ketujuhTerdakwa/Pemohon Kasasi pidana tersebut hanya bertindak sebagai pengangkut hasil hutan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 317/Kpts-II/1999 yang merupakan dasar 146
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/b08432e7aad2fba247b6a9a317ad2d5/pdf
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
pertimbangan dikeluarkannya IPKMA dan kemudian dicabut pada tanggal 29 Maret 2005 dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.07/Menhut.II/2005. Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor : KEP-522.1/2174 tentang Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IPKMA) kepada Masyarakat Adat Papua tidak bertentang dengan ketentuan perundang-undangan dan/atau tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, bahwa Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Ir. Marthen Kayoi,MM., bertindak dalam kapasitas sebagai Pejabat Tata Usaha Negara yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Keputusan IPKMA kepada Kopermas-Kopermas masyarakat adat di Papua, di mana atribusi kewenangan tersebut bersumber ketentuan Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 39 Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Pasal 38 ayat (2) : "Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus)". Lebih lanjut Pasal 39 : "Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dilaksanakan di Provinsi Papua dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien, dan kompetitif". Penjelasan Pasal 39. Yang dimaksud dengan pengolahan lanjutan dalam undang-undang ini adalah pengolahan bahan baku yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya alam Papua misalnya : sektor migas, pertambangan umum, kehutanan, perikanan laut, serta hasil-hasil pertanian pada umumnya. Berdasarkan kedua Pasal tersebut di atas, maka telah jelas bahwa wewenang menerbitkan IPKMA termasuk wewenang terikat (gebonden bevoegheid), karena bersumber pada hukum tertulis, yaitu Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 39 UU Otsus. Bahwa dalam konsep ilmu hukum, bila terjadi pertentangan beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur materi muatan yang sama, maka harus dikembalikan pada asas-asas hukum umum (algemene rechtsbeginselen). Dalam kaitan ini, maka asas hukum yang terkait dengan kasus ini adalah asas yang menyatakan bahwa aturan-aturan yang bersifat khusus dapat mengesampingkan aturan-aturan yang bersifat umum (Lex Specialis Derogate Legi Generali). Dan Undang-Undang Otsus
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
merupakan pengaturan yang bersifat khusus, sedangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, merupakan pengaturan yang bersifat umum, oleh karena itu terhadap materi muatan yang mengatur tentang kewenangan menerbitkan IPKMA harus diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua sebagai ketentuan hukum yang bersifat khusus. Dengan demikian, penggunakan Undang-Undang Otsus sebagai dasar wewenang bagi Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua untuk menerbitkan IPKMA adalah tidak bertentangan dengan ketentuan hukum, dan karenanya tindakan hukum Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua menerbitkan IPKMA kepada Kopermas harus dinyatakan sah (rechtmatig). Untuk dapat mengatakan bahwa suatu ketentuan pidana itu sebenarnya merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, sebenarnya tidak terdapat suatu kriterium yang dapat dipergunakan sebagai pedoman. Dari permasalahan kasus tersebut di atas maka penulis dapat menyimpulkan, H. Romzan dalam mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu melebihi kubikasi yang telah ditentukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Papua, sehingga terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana kehutanan sebagaimana yang di atur dalam Pasal 78 ayat 7 jo Pasal 50 ayat 3 huruf h UU No. 41 Tahun 1999, sedangkan ke tujuh para terdakwa yang terdapat dalam putusan pengadilan ini dinyatakan tidak bersalah karena mengangkut, menguasai hasil hutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan kata lain bebas demi hukum. Oleh karena itu Pemerintah Pusat konsisten dalam mengimplementasikan UU Otsus 21 Tahun 2001 tehadap Provinsi Papua sebagaimana di atur dalam Pasal 38 dan 39. Di dalam doktrin terdapat dua cara memandang suatu ketentuan pidana, yaitu untuk dapat mengatakan apakah ketentuan pidana itu merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus ataupun bukan. Cara-cara tersebut adalah : 1.
Cara memandang secara logis ataupun yang juga disebut logische beschouwing
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
2.
Cara memandang secara yuridis atau secara sistematis ataupun yang juga disebut juridische- atau systematische beschouwing.
Menurut pandangan secara logis, suatu ketentuan pidana itu dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, apabilaketentuan pidana tersebut disamping memuat unsure-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Kekhususan suatu ketentuan pidana berdasarkan pandangan secara logis seperti itu, di dalam doktrin juga disebut sebagai suatu logische specialiteit atau sebagai suatu kekhususan yang logis. Menurut pandangan secara yuridis atau secara sistematis, suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat
diketahui,
bahwa
pembentuk
undang-undang
memang
bermaksud
untuk
memberlakukan ketentu pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus. Kekhususan suatu ketentuan pidana berdasarkan pandangan secara yuridis atau secara sistematis seperti itu, didalam doktrin juga disebut suatu juridische specialiteit atau suatu systematische specialiteit, yang berarti kekhususan secara yuridis atau secara sistematis. Menurut pendapat saya, untuk dapat disebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, suatu ketentuan pidana itu tidak selalu harus memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. 147 Lebih lanjut Jan Remmelink, menyatakan hakim dalam hal ini harus memperhatikan ratio logis (dasar atau alasan pembentukan aturan), sejarah dan sistem dalam mana aturan tersebut di fungsikan. Ia sekaligus harus memperhatikan logika,
147
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, cet. 3, (Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 1997), hlm. 714-715
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
sekalipun asas Lex Specialis Derogate Legi Generali tidak serta merta dapat diaplikasikan. 148 Lex Specialis Derogate Legi Generali merupakan asas penting bagi hukum pidana bahkan kata Utrecht, sangat penting untuk seluruh hukum. Van Hattum menyebutnya sebagai Logische Specialiteit atau bahasa indonesianya kekhususan yang logis (ada juga yang memakai spesialitas yang logis). 149 Selanjutnya berdasarkan perkara tindak pidana kehutan yang terjadi di Provinsi Papua dan didukung oleh wawancara, terjadi ketidak harmonisan di dalam sistem hukum Indonesia, dengan melandaskan pada pemikiran Lawrence M. Friedman tentang sistem hukum, terlihat adanya unsur-unsur dari sistem hukum yang tidak bekerja dengan baik, khususnya terkait dengan substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture). Penegak hukum, dalam hal ini Penuntut Umum, yang melakukan penuntutan dan hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara pidana sebagai bagian dari struktur hukum (legal structure), yang dalam melakukan penelitian berkas perkara, tidak memperhatikan atau mempertimbangkan aturan hukum yang ada di daerah tersebut (Legal Substance). Hal ini menunjukkan budaya hukum (Legal Culture) dari penegak hukum sehingga memicu suatu kondisi tidak berjalannya sistem hukum pidana dengan baik. Fakta yang demikian dengan mengutip pendapat dari Ahmad Ali, merupakan sesuatu yang menyedihkan, mengingat unsur-unsur sistem hukum di Indonesia, memang masih belum berjalan secara harmonis antara satu dengan yang lain. 150
148
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitan Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 576. 149 A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : PT. Yarsif Watampone, 2010), hlm. 539 150 Ahmad Ali, Menguak Realitas Hukum (Rampai Kolam & Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum), cet. 2., (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 11.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
BAB 4 PENUTUP
4.1
Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dijabarkan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut : 1) Penerapan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua sebagai implementasi Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008 telah diberlakukan di Papua. Hal ini membuat suatu pertanyaan apakah sah tetapi kata yang tepat adalah apakah sejalan dengan UU No. 41 Tahun 1999, hal ini merupkan implementasi dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus itu sendiri. Dalam penerapannya, fakta membenarkan bahwa adanya perdasus kehutan tersebut telah diterima oleh masyarakat Papua khususnya hampir sebagian besar masyarakat adat di Papua, namun penerapannya belum efektif karena bagi para aparat penegak hukum walaupun telah mengetahui keberlakuan perdasus kehutanan Papua tersebut lebih cenderung untuk menyelesaikan perkara kehutanan dengan tidak mempertimbangkan ketentuan peraturan daerah yang diberi kekhususan, sehingga penerapannya belum berjalan dengan baik sekalipun telah disosialisasikan dan diakui eksistensinya dalam kekhususan suatu perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 21 tahun 2001. 2) Terjadi disharmonisasi antara Peraturan Daerah Khusus Papua dengan Peraturan Pemerintah Pusat dalam hal pengelolaan hutan adat, yang memberikan izin kepada masyarakat hukum adat untuk memungut hasil hutan dibatasi dan tidak dapat diperdagangkan dengan kata lain tidak dapat diperjual belikan. Dalam kondisi masyarakat hukum adat yang diberikan kekhususan dihadapkan pada hukum dualistik (Perdasus dan hukum formal), diperlukan regulasi yang bisa membatasi dan memperjelas kedudukan kedua jenis hukum tersebut. Jika hukum adat masih diakui keberadaannya dan Otsus diberikan sepenuh hati, maka penting bagi negara untuk memberikan ruang bagi pemberlakuan di atas teritorial kekhususan dalam definisi yang lebih jelas.
133 Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
3) Jika pemerintah secara formal (melalui Perdasus) telah menetapkan masyarakat hukum adat, maka juga diperlukan legalitas yang mengatur batas-batas wilayah definitif pengelolaan hutan untuk menguatkan klaim penguasaan sumber daya alam oleh masyarakat hukum adat dan memberikan ruang bagi penegakan hukum-hukum adat. Dalam kaitannya dengan wacana untuk menciptakan Otsus di Provinsi Papua, negara perlu menyerasikan dan mengharmonisasikan antara aturan-aturan pemerintah pusat dan aturan-aturan pemerintah daerah sehingga tidak terjadi disharmonisasi. Dari hasil penelitian di daerah Papua terhadap para penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim), ternyata para penegak hukum tetap berfikir secara normative yaitu berpegang teguh pada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam menghadapi tindak Pidana kehutanan di Provinsi Papua, ditarik kesimpulan bahwa para penegak hukum tidak memahami kekhusuan yang diberikan oleh Provinsi Papua dengan menyamaratakan aturan kehutanan yang berlaku, baik untuk OTDA dan OTSUS, dengan kata lain lemahnya pengetahuan asas-asas hukum pidana dikalangan pera penegak hukum, yang tidak mempertimbangkan aturan-aturan yang berlaku serta tidak mempertimbangkan yurisprudensi dalam perkara sebelumnya. 4.2
Saran-Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka dalam menangani perkara tindak pidana kehutanan, para penegak hukum khususnya Jaksa dan Hakim memiliki kecenderungan menggunakan UU. No. 41 Tahun 1999 dalam menjerat tindak pidana kehutanan di Provinsi Papua, untuk itu dapat diajukan saran-saran sebagai berikut : 1. Untuk mewujudkan sinkronisasi baik secara substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan, maka saran penulis adalah perlu koordinasi antara penegak hukum secara terpadu dan menghilangkan sifat eksklusivisme dari masing-masing lembaga penegak hukum. Menghilangkan sifat eksklusivisme dapat dilakukan dengan cara melakukan pertemuan secara berkala untuk membicarakan jalan keluar dalam menangani tindak pidana Kehutanan khususnya di Provinsi Papua, sehingga tidak terbentur dengan apa yang diberikan kekhususan bagi Provinsi Papua.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
2. Benteng dari pembuat Perundang-undangan adalah Legislator, bagaimana masyarakat adat selaku pemilik hak ulayat melalui LSM, kelompok-kelompok lingkungan hidup, maupun kelompok-kelompok HAM dapat membawa perkara tindak pidana kehutanan samapai ke Mahkamah Agung untuk memutuskan perkara tersebut dengan ketentuan Mahkamah Agung memuat pendapat-pendapat hukumnya mengenai kewenangan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan berkelanjutan, sehingga ditetapkan sebagai suatu yurisprudensi. Hal ini yang dilakukan oleh negara-negara demokrat. 3. Jika terjadi pertentangan antara peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 maka yang berwenang menyelesaiakan adalah Mahkamah Angung.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
I.
BUKU Abidin A.Z., dan Andi Hamzah. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : PT. Yarsif Watampone, 2010. Agenda 21 Indonesia. Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta : Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1996. Agung, Nugraha. Menyongsong Perubahan Menuju Revilalisasi Sektor Kehutanan. Jakarta : Aksara, 2004. Ali, Ahmad. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002. Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP). Panduan Hukum Adat (Dewan Adat Suku Jouw Warry, Demta, Jayapura. Papua, 2008 Anto, Tabah. "Polri dan Penegakan Hukum di Indonesia". Dalam Kunarto (penyunting), Merenungi Kritik Terhadap Polri (buku 2), Jakarta : Cipta Manunggal, 2005. Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005. Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana. Bandung : Bina Cipta, 1986 ------. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Jakarta : Kencana, 2010. Gerner B.A, Black’s Law dictionary. Seventh Edition, Texas : West Group, Dallas, Hamzah, Andi. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta : Arikha Media Cipta, 1995 ------. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : Penerbit Yarsif Watampone Indonesia, 2010 Hardja Soemantri, Koesnadi. Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Cet. II Edisi I, Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Haeruman J.S., Herman. Hutan Sebagai Lingkungan. Jakarta : Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, 1980. Ida Aju Pradnya Resosudarmo dan Carol J. Piece Colter, Ke mana Harus Melangkah, Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003. J. Allen, Michael. Text book on Criminal Law, Fifth Edition, London : Blackstone, 1999. Kadish, Sanford. Encyclopedia of Crime and Justice. vol. 2, The Free Press, 1983. Kartodihardjo, Hariadi. Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan, Telaah Kritis Lanjut Analisis Kebijakan Usaha Kehutanan. Penerbit, Institute for Development Economics of Agriculture and Rural Areas (Ideals), Gedung Alumni IPB Lantai 2, Bogor, 2006.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Kartodihardjo, Hariadi. Masalah Struktural dalam Implemenlasi Kebijakan Baru Kehutanan. Yogyakarta : Willem Pen Liberty, 1996. Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukuh dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1989. Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. cet. 3, Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 1997. Lubis, Muctar. Menuju Kelestarian Hutan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1988. M. Friedman, Lawrence. American Law. (New York : W.W. Norton and Company), 1984 Marmosudjono, Sukarton. Menegakkan Hukum Di Negara Pancasila. Ceramah Jaksa Agung RI di Universitas Bengkulu, 1988. Marpaung, Leden. Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa. cet. I, Jakarta : Erlangga, 1995. Morris, Norval. “Intruduction”, dalam Criminal Justice in Asia. The Quest for An Integrated Approach, UNAFEI, 1982. Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. Muladi dan Nawawi Arief, Barda. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Jakarta : Penerbit P.T. Alumni, 2005. Nazir, M., Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indah,1999. Ohlin, Remington. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Jakarta : Kencana, 2010. Purbacaraka, Purnadi. Penegakan Hukum dalam Mensukseskan Pembanguan. Bandung : Alumni, 1977. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Jakarta : Citra Aditya Bakti, 1996. -------. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung : Sinar Baru. Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi MAnusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007. ------. “Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradila Pidana (Suatu Pemikiran Awal)” dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan, Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007. Remmelink, Jan. Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal terpenting dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003. Salim. Dasar-Dasar Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, 1997 Sarong Al Mar, Idris. dalam Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta : Sinar Grafika, 1997.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Setia Tunggal, Hadi. Himpunan Peraturan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, cet. 1, Harvarindo, Jakarta, 2011. Simarmata, Rikardo. Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia. Jakarta : Harvarindo, 2006. Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta : CV. Rajawali, 1986. -------. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 2008. Sukardi. Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum Pidana (Kasus Papua). Cet. I, Yogyakarta : Universitas Admajaya, 2005. Supriadi. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia. Cet. 1, Jakarta : Sinar Grafika, 2010. Susanto, I.S., Pemahaman Kritis Terhadap Realitas Sosial, Dalam masalah-masalah Hukum. Jakarta : Citra Aditya Bakti. Wrangham, Rachel. Diskursus Kebijakan yang Berubah dan Masyarakat Adat. Bandung : Bina Cipta, 1960-1999 II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undand Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyususnan Pengeloaan Hutan serta Pemanfaatan hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2005 Tentang Dana Reboisasi Peraturan Menteri Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Hutan Masyarakat adat. Peraturan Daerah Khusus Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaah Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua. Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua III. JURNAL/MAJALAH ILMIAH DAN PAPER Lokakarya Pemerintah Provinsi Papua, Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dan Peraturan Pelaksanaannya, (Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, (Provinsi Papua, 2011) Rancangan Paper Academic Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), Jayapura, 2005. Semiloka dan FGD, tanggal 22-23 Nopember 2005, antara : Polda-Uncen, Ermashita Jayapura.
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012
Suparman Marzuki, Hukum Modern dan Institusi Sosial. Artikel dalam jurnal hukum No. 7 Vol. 4, Citra Aditya Bakti, 1997 Varia Peradilan. Majalah Hukum Tahun Ke-XX No. 239 Agustus 2005, Jakarta : CV. Angkasa, 2005. Yulfita, Raharjo. Proseding Seminar Membangun Masyarakat Irian Jaya, Jakarta : PPTLIPI, 1995. IV. SITUS INTERNET Hak Masyarakat dalam pengelolaan dan Pemenfaatan Sumber Daya Hutan. www.wgtenure.org, diunduh tanggal 12 Desember 2011. http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/b08432e7aad2fba247b6a9a317a d2d5/pdf di unduh tanggal 8 Desember 2011. http://www.tabloidjubi.com/index.php/edisi-cetak/tong-pu-tanah/2406-perdasus kehutanandan-kph-di-papua--keberpihakan-setengah-hati. di unduh tangga 11 Desember 2011 Lokakarya Land Tenure dan Hutan Papua, http://mrpapua.wordpress.com/Blog Majelis Rakyat Papua. diunduh 08 Mei 2012. Politik Hukum Pengakuan Masyarakat Adat dalam Otonomi Khusus di Provinsi Papua http://www.docstoc.com/docs/33395264/Politik Hukum Pengakuan hak Masyarakat Adat dalam Otonomi-Khusus, diunduh 12 Desember 2011. Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum, http : / / www . legalitas .org /incl-php /buka.php ? d = art+4&f = penegakan%20hukum%20Oka .htm ), di unduh tanggal 09 Desember 2011
Penegakan hukum..., Nixon Nikolaus Nilla, FH UI, 2012