TANGGUNG GUGAT NOTARIS TERHADAP KESALAHAN TERJEMAHAN ISI AKTA DARI BAHASA INDONESIA KE BAHASA ASING Ulfatul Hasanah Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Narotama, Surabaya e-mail:
[email protected] Abstrak: Perkembangan hubungan antara subjek hukum warga negara yang berbeda untuk membuat perjanjian dalam bahasa asing selalu digunakan antara pihak-pihak yang memiliki perbedaan karena perbedaan bahasa kewarganegaraan. Untuk mendapatkan kepastian hukum khususnya bagi dokumen atau akta yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna di mata hukum, masyarakat memilih untuk membuat akta di hadapan notaris. Namun, dalam pembuatan akta yang berbahasa asing tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadinya kesalahan dalam hal terjemahannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kekuatan hukum atas kesalahan terjemahan isi akta dari bahasa Indonesia ke bahasa asing; dan menganalisis tanggung gugat Notaris terhadap kesalahan terjemahan isi akta yang berbahasa asing. Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Hasil dari penelitian ini yakni bahwa kekuatan hukum pada akta notaris yang berbahasa asing yakni akta tersebut tidak bernilai sebagai akta otentik, karena pembuatan akta notaris yang berbahasa asing telah melanggar ketentuan dalam UUJN dan UU No. 24 Tahun 2009. Apabila akta itu dibuat tentang suatu perjanjian, maka akta notaris tersebut batal demi hukum alias tidak memiliki kekuatan dalam pelaksanaannya, karena keberadaan akta notaris yang isinya berbahasa asing tersebut telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Tanggung gugat Notaris terhadap kesalahan terjemahan isi akta yang berbahasa asing, yakni terdapat tuntutan ganti rugi dari pihak yang dirugikan. Namun demikian, notaris bukanlah pihak dalam akta tersebut sehingga tidak patut apabila notaris dibebani ganti rugi oleh para pihak. adapun apabila terjadi kesalahan terjemahan cukuplah dilakukan perbaikan yang disetujui para pihak. Kata Kunci: Tanggung Gugat Notaris, Kesalahan Terjemahan, dan Bahasa Asing.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Sebagai negara hukum (rechtstaat), Negara Republik Indonesia menjamin adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara. Untuk mewujudkan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi warga negara dibutuhkan suatu alat bukti yang dapat menunjukkan hak dan kewajiban seseorang secara jelas dalam suatu hubungan hukum yang terjadi di tengah masyarakat. Di bidang keperdataan, alat bukti tertulis merupakan salah satu alat MODELING: Jurnal Program Studi PGMI Volume 4, Nomor 1, Maret 2017 ISSN: 2442-3661 E-ISSN: 2477-667X
Tanggung Gugat Notaris
bukti yang sah untuk menentukan hak dan kewajiban seseorang dalam berbagai hubungan hukum, seperti hubungan bisnis, pertanahan, perbankan, perjanjian dan hubungan sosial lainnya. Pejabat yang berwenang untuk membuat akta, khususnya akta otentik yaitu, Notaris.1 Notaris dikontruksikan sebagai pejabat publik. Pejabat publik merupakan orang yang diberikan kewenangan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat pada umumnya.2 Notaris sebagai Pejabat Umum, diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk membuat akta otentik di bidang keperdataan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 UUJN yang berbunyi sebagai berikut: “Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Pada prinsipnya akta yang dibuat oleh dan/atau di hadapan Notaris harus dibuat secara sempurna dan tidak ada perubahan, baik penggantian, penambahan, pencoretan, penyisipan maupun bahasa akta harus sesuai dengan Bahasa Indonesia sesuasi ejaan yang diperbarui (EYD). Namun apabila di dalam akta terjadi perubahan, maka Notaris harus melakukan perubahan terhadap substansi akta. Perubahan akta tersebut dilakukan terhadap akta yang belum ditandatanagani oleh para pihak, saksi dan Notaris. Perubahan akta sebelum ditandatangani oleh para pihak, saksi dan Notaris lazim disebut dengan renvoi.3 Sementara itu minuta akta yang telah ditandatangani para pihak, saksi, dan Notaris dan didalamnya terdapat kesalahan penulisan dan pengetikan, maka harus dilakukan pembetulan. Pembetulan minuta akta lazim disebut dengan rectification the original notarial deed, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan rectificatie de originele daad.4 Dengan meningkatnya problematika bisnis dalam hubungan hukum yang berlangsung di tengah masyarakat, kebutuhan terhadap akta Notaris terus meningkat, termasuk permintaan agar isi akta dibuat dalam bahasa asing atau bahasa asing lainnya, sementara itu keberadaan akta Notaris sebagai alat bukti sempurna, diharapkan dapat mencegah terjadinya sengketa diantara pihak-pihak yang bersangkutan, atau dalam hal terjadi sengketa, setidaknya dapat memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat. Dengan perkembangan hubungan antara subjek hukum warga negara yang berbeda untuk membuat perjanjian dalam bahasa asing selalu digunakan antara pihak-pihak yang memiliki perbedaan karena perbedaan bahasa kewarganegaraan. Untuk mendapatkan kepastian hukum khususnya bagi dokumen atau akta yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna di mata hukum, masyarakat memilih untuk membuat akta di hadapan notaris. Namun, dalam pembuatan akta yang HS., Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoretis, Kewenangan Notaris, Bentuk dan Minuta Akta), Rajawali Pers, Jakarta, 2015, h. 2. 2Ibid. 3Ibid., h. 3 4Ibid. 1Salim
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
148
Ulfatul Hasanah
berbahasa asing tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadinya kesalahan dalam hal terjemahannya. Untuk itu, akan diuraikan sebab-sebab terjadinya degradasi akta Notaris menjadi akta di bawah tangan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta alasan yang dapat dijadikan dasar hukum untuk menuntut tanggung gugat kepada Notaris akibat terjadinya kesalahan terjemahan isi akta dari bahasa Indonesia ke bahasa asing. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, disusun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut: a. Bagaimana kekuatan Hukum pada akta notaris yang berbahasa asing? b. Bagaimana tanggung gugat Notaris terhadap kesalahan terjemahan isi akta yang berbahasa asing?
Tujuan Penelitian a. Menganalisis kekuatan hukum atas kesalahan terjemahan isi akta dari bahasa Indonesia ke bahasa asing. b. Menganalisis tanggung gugat Notaris terhadap kesalahan terjemahan isi akta yang berbahasa asing. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum kenotariatan, sehingga dapat memperkaya khazanah keilmuan ilmu hukum kenotariatan yang berkaitan dengan kekuatan akta yang berbahasa asing, dan mengenai tanggung gugat Notaris atas kesalahan terjemahan isi akta yang berbahasa asing. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada perkembangan hukum di bidang kenotariatan, disamping sebagai bahan hukum bagi peneliti berikutnya di bidang yang sama, khususnya mengenai dasar hukum kekuatan pembuktian akta Notaris dan tanggung gugat Notaris terhadap kesalahan terjemahan isi akta yang berbahasa asing; dan mengenai dasar hukum kekuatan pembuktian akta Notaris serta mengenai tanggung gugat Notaris terhadap kesalahan terjemahan isi akta yang berbahasa asing.
149 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
Tinjauan Pustaka Pengertian Tanggung Gugat Menurut M.A. Moegni Djojodirdjo, istilah tanggung gugat aansprakelijkheid mempunyai arti yang sama dengan pertanggunganjawab atau pertanggungangugat, 5 sedangkan L.E.H. Rutten membedakan pengertian pertanggunganjawab verantwoordelijkheid dan tanggung gugat aansprakelijkheid. Tanggung gugat aansprakelijkheid merupakan kewajiban hukum rechtsplicht untuk memberi ganti kerugian, akan tetapi pertanggunganjawab verantwoordelijkheid adalah merupakan syarat untuk tanggung gugat yang harus sudah ada sebelumnya. 6 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa untuk menetapkan seseorang bersalah yang menyebabkan timbulnya ganti rugi, disyaratkan bilamana perbuatan melawan hukum dari pelaku dapat dipertanggungjawabkan atau mampu bertanggungjawab, dengan kata lain tidak seorangpun yang berada diluar kesalahannya dapat dimintai tanggung gugat asalkan undang-undang menentukan hal ini. Seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain tidaklah diwajibkan membayar ganti rugi bilamana orang tersebut sakit jiwa, dimana setiap kemungkinan untuk mempermasalahkannya itu tidak ada. Pengertian Notaris sebagai Pejabat Umum Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Ambteneran yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan: “Eene authentieke acte is de zoodanige welke in de wettelijken vorn is verleden, door of ten overstaan van openbare ambtenaren die daartoe bevoegd zijn ter plaatse alwaar zuiks is geschied.” (Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat). Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris. Maka berdasarkan ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut, untuk dapat membuat suatu akta otentik seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Namun dalam Pasal 1868 itu tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai siapa yang dimaksud sebagai pejabat umum tersebut. Menurut kamus hukum salah satu arti dari Ambtenaren adalah Pejabat. Dengan demikian Openbare Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare Ambtenaren diartikan Moegni DJojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum Tanggung Gugat (Aanspraketijkheid) Untuk Kerugian yang Disebabkan Karena Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, h. 113. 6L.E.H. Rutten, dalam M.A. Moegi Djojodirjo, op.cit., h. 56. 5M.A.
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
150
Ulfatul Hasanah
sebagai Pejabat Publik. Khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris.7 Pengertian Notaris menurut Pasal 1 angka 1 UUJN disebutkan bahwa: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana maksud dalam undang-undang ini Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Pejabat umum adalah seseorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam halhal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan dari pemerintah. Dalam jabatannya tersimpul suatu sifat atau ciri khas yang membedakannya dan jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat. Sebagai pejabat umum, Notaris diangkat oleh Menteri untuk melaksanakan sebagian fungsi publik dari negara dan bekerja untuk pelayanan kepentingan umum khususnya dalam bidang hukum perdata, walaupun Notaris bukan merupakan pegawai negeri yang menerima gaji dari Negara. Pelayanan kepentingan umum tersebut adalah dalam arti bidang pelayanan pembuatan akta dan tugas-tugas lain yang dibebankan kepada Notaris, yang melekat pada predikat sebagai pejabat umum dalam ruang lingkup tugas dan kewenangan Notaris. Akta Notaris yang diterbitkan oleh notaris memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Menurut Nusyirwan, Notaris adalah orang semi swasta, karena ia tidak bisa bertindak bebas sebagaimana seorang swasta. Ia harus menjunjung tinggi martabatnya, oleh karena itu ia diperkenankan menerima uang jasa (honorarium) untuk setiap pelayanan yang diberikannya.8 “Honorarium” berasal dan kata latin Honor yang artinya kehormatan, kemuliaan, tanda hormat/ penghargaan semula mengandung pengertian balas jasa para nasabah atau klien kepada dokter, akuntan, pengacara, dan Notaris.9
Akta Otentik Sebagai Alat Pembuktian Dalam hukum Romawi, kata “akta” disebut sebagai gesta atau instrumenta faorensia, juga disebut sebagai publica monumenta atau acta publica. Akta-akta tersebut dibuat oleh seorang pejabat publik (publicae personae). Dari berbagai kata Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung 2009, h. 16. Membedah Profesi Notaris, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2000, h. 3-4 9Ensiklopedi Nasional Indonesia, Delta Pamungkas, Jakarta, 2004, hal 472, lihat juga Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, h. 387. 7Habib
8Nusyirwan,
151 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
tersebut di atas kemudian muncul kata-kata publicare dan insinuari, actis inseri, yang artinya mendaftarkan secara publik.10 Akta merupakan salah satu alat bukti yang bersifat tertulis atau surat. Alat bukti tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Menurut Asser-Anema, alat bukti tertulis, surat atau tulisan (geschrift) adalah “dragers van verstaanbare leestekens dienende om een gedachteneenheid te vertolken”. (Pengemban tanda-tanda baca yang mengandung arti serta bermanfaat untuk menggambarkan suatu pikiran).11 Terdapat dua jenis surat sebagai alat bukti tertulis, yaitu surat yang berupa akta dan surat bukan akta, sedang akta itu sendiri dibagi menjadi akta di bawah tangan dan akta otentik.12 Akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar dari sesuatu hak, atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Agar dapat digolongkan dalam pengertian akta maka surat tersebut harus ditandatangani. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak-pihak yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Akta otentik tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan tentang apa yang dilakukannya atau dilihat di hadapannya. Dengan demikian undang-undang telah menegaskan bahwa suatu akta disebut sebagai akta otentik jika: (1) bentuknya ditentukan oleh undang-undang; (2) dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum; dan (3) dibuat di wilayah kewenangan dari pejabat yang membuat akta tersebut. Pembuatan akta otentik tersebut merupakan perbuatan hukum para pihak (klien) karena dikehendaki bersama atau atas perintah undang-undang, jadi bukan perbuatan hukum notaris. Notaris hanya mengkonstatir pernyataan dan keterangan para pihak untuk selanjutnya dituangkan dalam aktanya agar mempunyai nilai otentisitas. Jadi, fungsi utama notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik semua hubungan hukum dari para pihak yang meminta jasanya, baik atas kehendak para pihak atau ditentukan oleh undang-undang. Fungsi notaris adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat umum dalam bidang hukum perdata, bukan dalam bidang hukum publik.13 Adam, Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru, Bandung, 1985, h. 252. Thong Kie, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, Edisi Baru, Ichtiab Baru van Hoeve, Jakarta, 2000, h. 154. 12Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993, h. 120. 13Husni Thamrin, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2011, h. 76. 10Muhammad 11Tan
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
152
Ulfatul Hasanah
Metode Penelitian Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), sebagai berikut: Pendekatan perundang-undangan (statute approach) merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.14 Pendekatan perundang-undangan ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang sedang dikaji. Sedangkan pendekatan konseptual (statute approach) merupakan pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.15 Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin di dalam ilmu hukum, maka akan ditemukan gagasan-gagasan baru terkait pengertian-pengertian hukum maupun asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dikaji. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin para ahli tersebut menjadi sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu dalil hukum dalam memecahkan isu yang dikaji. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni begitu isu hukum ditetapkan peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi. Selanjutnya bahan tersebut dihubungkan secara deduktif dengan permasalahan yang diajukan, guna mendapatkan kesimpulan yang bersifat deskriptis melalui analisis secara kritis. Dengan demikian akan diperoleh suatu kesimpulan berupa dasar hukum tanggung gugat terhadap Notaris atas kesalahan terjemahan isi akta dari bahasa Indonesia ke bahasa asing. PEMBAHASAN Kekuatan Hukum Akta Notaris yang Berbahasa Inggris Kekuatan Hukum Akta Notaris Pentingnya peranan Notaris dalam membantu menciptakan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi masyarakat lebih bersifat preventif yaitu bersifat pencegahan terjadinya masalah hukum, dengan cara menerbitkan akta otentik yang dibuat dihadapannya terkait dengan status hukum, hak, dan kewajiban seseorang dalam hukum yang berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, h. 133. 15Ibid., h. 135. 14Peter
153 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
apabila terjadi sengketa atas hak dan kewajiban terkait. 16 Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat menjadi bukti otentik dalam memberikan perlindungan hukum kepada para pihak manapun yang berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa atau kepastian perbuatan hukum itu dilakukan. Berdasarkan definisi tersebut diketahui bahwa suatu akta dapat dikatakan sebagai akta otentik harus memenuhi syarat-syarat yaitu dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang, dibuat oleh seorang pejabat atau pegawai umum, dan pejabat atau pegawai umum tersebut harus berwenang untuk membuat akta tersebut ditempat di mana akta dibuat. Akta Otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh pemerintah menurut peraturan perundang-undangan. Akta Otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya atau atau orang-orang yang mendapatkan hak daripadanya. Dengan kata lain, isi akta otentik dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Menurut R. Subekti bahwa akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dapat dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan.17 Apabila ada akta yang batal sebagai akta otentik, maka akta tersebut masih berfungsi sebagai akta di bawah tangan, apabila akta tersebut akta tersebut ditandatangani oleh para pihak, sepanjang berubahnya status dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan tersebut tidak mendatangkan kerugian, maka Notaris tersebut tidak bisa dituntut, sekalipun Notaris tersebut akan kehilangan nama baiknya. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris terbagi menjadi 2 bentuk yaitu pertama akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten). Akta pejabat/akta relaas merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal dari orang/para pihak yang namanya diterangkan didalam akta tersebut. Ciri khas dalam akta ini adalah tidak adanya komparisi dan Notaris bertanggung jawab penuh atas pembuatan akta.18 Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta dibawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Akta yang dibuat di bawah tangan adalah suatu tulisan yang memang sengaja dijadikan alat bukti tentang peristiwa atau kejadian dan ditandatangani, maka di sini ada unsur yang penting yaitu kesengajaan dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, 2011, h. 7. 17R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta, 1999, h. 48. 18Sjaifurrachman dan Habib Adjie, op.cit., h. 109. 16Sjaifurrachman
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
154
Ulfatul Hasanah
untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan akta itu. Keharusan mengenai adanya tanda tangan adalah bertujuan untuk memberi cirri atau untuk menginvidualisir suatu akta. Sebagai alat bukti dalam proses persidangan di pengadilan, akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena kebenarannya terletak pada tanda tangan para pihak yang jika diakui, merupakan bukti sempurna seperti akta otentik. Menurut Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu: 1. Di dalam bentuk yang ditentukann oleh undang-undang; 2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum; 3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.19 Menurut Habib Adjie, Pasal 1868 B.W. merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut: a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstan) seorang Pejabat Umum. b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. c. Pejabat Umum oleh - atau di hadapan siap akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.20 Ada 2 (dua) macam pejabat pembuat akta otentik yang dimaksudkan, ialah: a) Pertama, Pembuat akta otentik yang disebut Pejabat Umum (Openbaar ambtenaar) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, atau Pasal 165 HIR atau Pasal 285 Rbg. Misalnya seorang Notaris sebagaimana dimaksud asal 1 PJN jo Pasal 1 UU No. 30/2004. Demikian juga seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). b) Kedua, Pembuat akta otentik yang tidak terrmasuk Pejabat Umum (Openbaar ambtenaar) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata tersebut, tetapi tugas pekerjaannya berhubungan dengan pembuatan akta otentik. Pejabat pembuat akta otentik inilah yang disebut dengan ambtenaren of personen, atau pejabat pembuat akta otentik lain yang ditunjuk UU membuat akta otentik. Pejabat ini misalnya: Pejabat Pencatat Nikah di KUA atau Pencatat Nikah di Kantor Catatan Sipil, Panitera Pengadilan, Jurusita, termasuk Penyidik yang membuat BAP Penyidikan. Kekuatan pembuktian akta Notaris dalam perkara pidana, merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang dan bernilai sempurna. Namun nilai kesempurnaanya tidak dapat berdiri sendiri, tetapi memerlukan dukungan alat bukti Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003, h. 148. Adjie, op.cit., h. 43.
19Irawan 20Habib
155 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
lain.21 Notaris tidak menjamin bahwa apa yang dinyatakan oleh penghadap tersebut adalah benar atau suatu kebenaran. Seorang Notaris dalam menjalankan jabatanya membuat akta otentik yang berkaitan dengan keperdataan memiliki kewenangan atributif yaitu kewenangan yang melekat pada jabatan itu dan diberikan oleh undang-undang. Apabila seorang Notaris melakukan penyimpangan atas sebuah akta yang dibuatnya sehingga menimbulkan suatu perkara Pidana maka harus mempertanggung-jawabkan secara pidana apa yang telah dilakukan. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijbaarheid) yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pelaku yang memenuhi persayaratan untuk dapat dikenakan pidana karena perbuatannya itu.22 Hal tersebut didasarkan pada asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” atau “actus non facit reum nisi mens sit rea”. Orang tidak mungkin dimintakan pertanggungjawaban dan dijatuhi pidana jika tidak melakukan kesalahan. Akan tetapi seseorang yang melakukan perbuatan pidana, belum tentu ia dapat dipidananya. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidanya apabila dia mempunyai kesalahan.23 Jadi, pertanggungjawaban pidana adalah berbicara kesalahan dalam hukum pidana. Unsur kesalahan dalam hukum pidana merupakan unsur paling penting, karena berdasarkan asas geen straf zonder schuld atau liability based on fault/guilt atau culpabilitas, maka adanya kesalahan menjadi yang pertama untuk dicari dalam setiap tindak pidana.24 Akta merupakan surat yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk dijadikan sebagai bukti, yang memuat suatu peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi supaya suatu surat dapat disebut sebagai akta adalah : surat itu harus ditandatangani, surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, dan surat itu diperuntukn sebagai alat bukti. Pasal 1867 KUH Perdata yang berbunyi “ pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan (akta) otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”. Dari bunyi pasal tersebut maka akta dapat dibedakan atas 2 (dua) bentuk yaitu, akta otentik dan akta dibawah tangan. Akta di bawah tangan lazim disebut dengan Onder-hands, sedangkan akta Otentik lazim disebut sebagai Authentic akta. Akta otentik tersebut adalah surat yang dibuat oleh dan atau dihadapan pejabat umum yang memiliki wewenang untuk itu dengan bentuk yang ditentukan oleh undang-undang serta digunakan sebagai bukti untuk peristiwa hukum. Akta otentik yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: akta 21Ibid.,
h. 311. Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, 2004, h. 30. 23Ibid., h. 56. 24Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 91. 22Dwidja
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
156
Ulfatul Hasanah
itu harus dibuat “oleh” (door) atau “di hadapan” (tenoverstaan) seorang pejabat umum, akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta. Menurut Pasal 1867 KUH Perdata, akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Akta otentik tidak hanya membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan sesuatu yang dituliskan, tetapi juga sesuatu yang diterangkan tadi adalah benar, Penafsiran yang demikian itu diambil dari Pasal 1871 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 165 RIB (Pasal 285 RDS), dimana disebutkan bahwa suatu akta otentik tidak hanya memberikan bukti yang sempurna tentang tentang sesuatu yang termuat didalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selainnya sekadar sesuatu yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta, dari pasal tersebut diambil mengenai segala sesuatu yang menjadi pokok isi akta itu, yaitu segala sesuatu yang tegas dinyatakan oleh para penandatanganan akta. Akta otentik tidak hanya mempunyai kukuatan pembuktian formal, yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan sesuatu yang ditulis dalam akta tersebut, tetapi juga mempunyai kekuatan pembuktian materiil, yaitu bahwa sesuatu yang diterangkan tadi adalah benar, inilah yang dinamakan kekuatan pembuktian mengikat, disimpulkan bahwa kekuatan pembuktian akta otentik, adalah sah sebagai berikut: a. Merupakan bukti sempurna/lengkap bagi para pihak, ahli waris dan orang-orang yang mendapatkan hak dari padanya, bukti sempurna/lengkap berarti bahwa kebenaran dari isi akta tersebut harus diakui, tanpa ditambah dengan pembktian yang lain, sampai dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain. b. Merupakan bukti bebas bagi pihak ketiga, bukti bebas artinya kebenaran dari isi akta diserahkan pada penilaian hakim, jika dibuktikan sebaliknya. 25 Dari kekuatan pembuktian di atas, dapat dijelaskan bahwa tiap-tiap akta Notaris mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu meliputi:
Kekuatan pembuktian yang luar (uitwendige bewijskracht), ialah syarat-syarat formal yang diperlukan agar supaya akta notaries dapat berlaku sebagai akta otentik.
1. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht), ialah kepastian bahwa suatu kejadian dan akta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangakan oleh pihak-pihak yang menghadap. 2. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht), ialah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihakHukum Acara Perdata (Pemeriksaan Acara Perdata), Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 1999, h. 59. 25Kussunaryatun,
157 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).26
Akta Notaris yang Berbahasa Asing Dalam membuat suatu perjanjian, seorang notaris juga terikat pada aturan khusus tentang syarat sah suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal yang tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Kesepakatan, kecakapan dan hal tertentu tidak cukup untuk membuat sahnya suatu perjanjian. Suatu sebab yang halal merupakan bagian penting untuk mensahkan suatu perjanjian selain kesepakatan, kecakapan dan hal tertentu tersebut. Dalam Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Suatu sebab yang halal adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Yang terlarang dalam hal ini adalah isi dari suatu perjanjian baik itu formil maupun materiel. Secara formil, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya disingkat UU No. 24 Tahun 2009), dimana dalam Pasal 31 ayat (1) dinyatakan bahwa, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warganegara Indonesia. Bahkan perjanjian yang melibatkan pihak asing pun diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia yang dituliskan juga dalam bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris. 27 Pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 secara tegas menyatakan bahwa bahasa Indonesia hukumnya wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian. Kewajiban memiliki sifat yang imperatif atau memaksa yang tidak boleh tidak untuk dilaksanakan. Perjanjian yang dibuat di hadapan notaris merupakan produk (akta) notaris. Asli akta yang dibuat notaris merupakan arsip negara yang wajib disimpan dan dipelihara oleh notaris. Hal ini tersurat dari pengertian tentang protokol notaris yang diartikan sebagai kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.28 Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Rajawali, Jakarta, 1982, h. 55. 27Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan 28Pasal 1 angka 8 dan angka 13 UUJN. 26R.
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
158
Ulfatul Hasanah
Arsip menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perjanjian sebagai arsip negara, diwajibkan untuk dibuat oleh notaris menggunakan bahasa Indonesia.29 Bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam suatu akta adalah bahasa Indonesia resmi yang tunduk pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baku. Bahasa Indonesia yang baku adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain harus mengikuti kaedah bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam rumusan ejaan yang disempurnakan, penulisan formil suatu akta juga mengacu pada UUJN. Tata cara penulisan suatu akta yang diatur dalam Pasal 42 UUJN adalah: 1. Dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus dan tidak menggunakan singkatan; 2. Semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam akta, penyebutan tanggal, bulan, dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus didahului dengan angka. Suatu akta yang secara formil tidak sesuai dengan UUJN antara lain dapat menurunkan peringkat pembuktiannya, dan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, apabila: 1) Tidak ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris (serta penerjemah resmi), kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya. 2) Tidak menegaskan tentang pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan pada akhir Akta. 3) Merubah isi akta dengan dihapus dan/atau ditulis tindih; 4) Tidak diberi tanda pengesahan lain pada sisi kiri akta atau pada akhir akta sebelum penutup akta dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembaran tambahan, dan/atau diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris atas penggantian, penambahan, pencoretan, dan penyisipan pada isi akta. 5) Melakukan Pembetulan terhadap kesalahan ketik atau tulis pada minuta yang telah ditandatangani, tidak dilakukan di hadapan penghadap, saksi, dan Notaris yang dituangkan dalam berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta berita acara pembetulan. 6) Tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 UUJN. 29Pasal
43 UUJN.
159 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
7) Tidak membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; 8) Tidak menyatakan bahwa tidak dilakukan pembacaan terhadap penghadap yang menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, pada penutup Akta serta melakukan pemarafan pada setiap halaman Minuta Akta oleh penghadap, saksi, dan Notaris. 9) Tidak melaksanakan ketentuan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4). Kesalahan substantif dari kata-kata dan kalimat-kalimat yang tidak dapat dalam suatu akta tidak akan memberikan sanksi apapun kepada notaris yang membuatnya. Terkait dengan perjanjian yang berbahasa asing yang dibuat oleh Notaris, bahwa salah satu asas dalam perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak, yang dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (a) Membuat atau tidak membuat perjanjian; (b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun; (c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; serta (d) Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan. Begitu pula dengan penggunaan bahasa asing dalam pembuatan perjanjian dengan akta otentik yang dibuat di hadapan notaris, yang mana disebutkan dalam Pasal 43 UUJN, sebagai berikut: 1) Akta dibuat dalam bahasa Indonesia. 2) Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. 3) Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi. 4) Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. 5) Dalam hal akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Ketentuan Pasal 43 UUJN tersebut sesuai juga dengan ketentuan dalam UU No. 24 Tahun 2009, sebagai berikut: 1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia.
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
160
Ulfatul Hasanah
2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Keabsahan kontrak pasca lahirnya UU No. 24 Tahun 2009 yang diawali dengan prinsip-prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract), dilanjutkan dengan penggunaan bahasa Indonesia dalam kontrak. Menurut Yohanes Sogar Simamora, kata “wajib” yang terdapat dalam Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009 adalah bersifat memaksa, dengan kata lain tidak bisa dilanggar ataupun disimpangi. Namun tidak ada satu aturan atau ketentuanpun yang mengatur sanksi akibat penggunaan bahasa yang bukan bahasa Indonesia, termasuk sanksi terhadap kontrak ataupun akta yang tidak menggunakan bahasa Indonesia.30 Lebih lanjut Yohanes Sogar Simamora menyatakan bahwa penilaian terhadap suatu perjanjian harus didasarkan pada tiga hal, yakni adanya “makna” dari perjanjian, adanya keseuaian atau kesepakatan kehendak (meeting mind), dan tujuan yang “halal”. Sepanjang ketiga unsur tersebut terpenuhi maka penggunaan bahasa yang bukan bahasa Indonesia dalam sebuah perjanjian atau akta, tidak serta merta mengakibatkan batalnya perjanjian dan akta bersangkutan. Dengan kata lain, ketiga unsur tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penilaian terhadap pelanggaran maupun penyimpangan kata “wajib” dalam Pasal 31 UU No. 34 Tahun 2009.31 Terkait dengan penggunaan bahasa Inggris di dalam norma hukum dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009, khususnya frasa “wajib menggunakan bahasa Indonesia”, Tatiek Sri Djatmiati mengatakan bahwa menurut Surat Kementerian Hukum Dan HAM Nomor 14.HH.UM.01.01-35 yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2009, penandatanganan perjanjian (private commercial agreement) dalam bahasa Inggris tanpa disertai bahasa Indonesia tidak melanggar syarat formil yang ditentukan dalam UU No. 24 Tahun 2009.32 Habib Adjie memaparkan pembahasannya mengenai bahasa hukum kontrak dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 43 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam pembuatan akta.33 Lebih lanjut Habib Adjie menyatakan bahwa minuta akta dan salinan akta harus dibuat dalam bahasa Indonesia dengan tidak menutup kemungkinan membuat terjemahan dari keduanya ke dalam bahasa Inggris. 34 30http://www.indonesianotarycommunity.com.
diakses pada tanggal 18 April 2017. 31Ibid. 32Ibid. 33Ibid. 34Ibid.
Kedudukan Hukum Akta Tidak Berbahasa Indonesia,
161 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
Ketentuan Pasal 43 ayat 4 UUJN menghendaki suatu akta Notaris berbahasa Indonesia, tetapi apabila dikehendaki oleh para pihak dapat diterjemahkan dalam bahasa asing. Berarti kecakapan Notaris dalam berbahasa asing, setidaknya bahasa Inggris mutlak wajib dikuasai karena, apabila kliennya datang menghendaki akta yang dibuat oleh Notaris dibuat dalam bahasa asing, maka wajib dibuat dalam bahasa asing. Penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan akan menyebabkan akta pengikatan jual beli tanah yang dibuat dan ditandatangani di hadapannya menjadi batal, karena syarat sahnya perjanjian yang diatur oleh Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata tidak terpenuhi yaitu syarat obyektif, “suatu sebab (kausa) yang halal, suatu perjanjian yang berelemen asing tidak dibuat dalam bahasa Indonesia.
Tanggung Gugat Notaris Terhadap Kesalahan Terjemahan Isi Akta Yang Berbahasa Asing Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang di buatnya, yakni tanggung jawab hukum dan tanggung jawab moral. Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu responsibility dan liability. Menurut kamus hukum Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary pengertian tanggung jawab yakni, tanggung jawab bersifat umum disebut responsibility sedangkan tanggung jawab hukum disebut liability. Liability diartikan sebagai condition of being responsible for a possible or actual loss, penalty, evil, expense or burden, condition which creates a duty to performact immediately or in the future.35 Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum (konsekuensi hukum) yaitu tanggung jawab akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik atau kewajiban hukum.36 Pertanggungjawaban itu ditentukan oleh sifat pelanggaran dan akibat hukum yang ditimbulkannya. Secara umum pertanggungjawaban yang biasa dikenakan terhadap Notaris adalah pertanggungjawaban pertanggungjawaban administrasi dijatuhi sanksi pidana, administrasi dan perdata. Pertanggungjawaban secara pidana dijatuhi sanksi pidana, administrasi, dan pertanggungjawaban perdata dijatuhi sanksi perdata. Itu merupakan konsekuensi dari akibat pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan oleh Notaris dalam proses pembuatan akta otentik. 35Henry
Campbell Black, Black Law Dictionary, Minn-West Publishing co, St. Paul, 1990, h. 914. H.R., Hukum Adiministrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta, 2006, h. 335-337.
36Ridwan
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
162
Ulfatul Hasanah
Menentukan adanya suatu pertanggungjawaban secara perdata atau pidana yang dilakukan oleh seorang Notaris harus dipenuhi tiga syarat, yaitu harus ada perbuatan Notaris yang dapat dihukum yang unsur-unsurnya secara tegas dirumuskan oleh undang-undang. Perbuatan Notaris tersebut bertentangan dengan hukum, serta harus ada kesalahan dari Notaris tersebut. Kesalahan atau kelalaian dalam pengertian pidana meliputi unsur-unsur bertentangan dengan hukum dan harus ada perbuatan melawan hukum. Sehingga pada dasarnya setiap bentuk pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan Notaris selalu mengandung sifat melawan hukum dalam perbuatan itu. Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum dapat dijumpai baik dalam ranah Hukum Pidana (publik) maupun dalam ranah Hukum Perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah melawan Hukum Pidana begitupun melawan Hukum Perdata. Dalam konteks itu jika dibandingkan maka kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan perbedaan. 37 Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk dikatakan sifat melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan hukum yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua sifat melawan hukum tersebut pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum. Perbedaan pokok antara kedua sifat melawan hukum tersebut, apabila sifat melawan Hukum Pidana lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan. Sedangkan sifat melawan Hukum Perdata lebih memberikan perlindungan kepada private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies). Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum diperlukan syarat yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.38 Menurut Munir Fuady perbuatan melawan hukum dalam konteks Hukum Pidana dengan dalam konteks Hukum Perdata adalah lebih dititikberatkan pada perbedaan sifat Hukum Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang bersifat privat. Sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar (di samping mungkin juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum dalam sifat Hukum Perdata maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.39 Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003, h. 14. h. 17. 39Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 22. 37Rosa 38Ibid.,
163 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
Notaris tidak dapat dilepaskan dari perbuatan yang menyimpang atau perbuatan yang melawan hukum. Karena seorang Notaris tetap seorang manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Notaris harus siap untuk menghadapi jika sewaktu-waktu dijadikan pihak yang terlibat dalam perkara bidang Hukum Perdata maupun Hukum Pidana, yang diakibatkan dari produk hukum yang dibuatnya. Sehingga dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dipungkuri lagi, saat ini cukup banyak perkara-perkara pidana yang terjadi dikarenakan perilaku Notaris yang tidak professional dan memihak salah satu pihak pada akta-akta yang dibuatnya. Akibat dari semua ini ada beberapa Notaris yang telah ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa dan dipidana. Jika Seorang Notaris dalam pembuatan aktanya menimbulkan perkara pidana dan memenuhi unsur subyektif dan obyektif pemalsuan berupa akta otentik yang berkaitan dengan isi dan tandatangan maka harus mempertanggungjawabkan secara pidana berdasarkan Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHPidana. Akibat hukum akta yang mengandung pemalsuan (adanya perkara pidana) maka terhadap akta tersebut keotentikannya berubah menjadi batal demi hukum. Apabila akta tersebut berisikan perjanjian maka sesuai ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dapat batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat obektifnya yaitu kausa yang tidak halal atau dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat subyektif perjanjian. Penyelesaian hukum dapat dilakukan oleh seorang Notaris karena Lembaga Notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul dari kebutuhan dalam pergaulan masyarakat berkenaan dengan hubungan hukum keperdataan antara sesama individu yang menghendaki suatu alat bukti diantara mereka. 40 Seorang Notaris yang membuat suatu akte yang bisa dijadikan alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian. Mengenai faktor-faktor penyebab terdegradasinya akta Notaris sebagai alat bukti yang kuat dan terpenuh, serta batalnya akta Notaris, pada dasarnya dapat disebabkan oleh beberapa hal. Salah satu diantaranya diatur di dalam ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yang dirumuskan: “Akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat”. Pasal ini hanya merumuskan arti kata otentik dan tidak menyebutkan siapa pejabat umum itu, bagaimana bentuk aktanya dan kapan pejabat umum itu berwenang, secara implisit Pasal 1868 KUHPerdata menghendaki adanya undangundang yang mengatur tentang pejabat umum dan bentuk aktanya. UUJN merupakan satu-satunya undang-undang organik yang mengatur Notaris sebagai pejabat umum Said Selenggang, “Profesi Notaris sebagai Pejabat Umum di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Program Pengenalan Kampus untuk Mahasiswa/i Magister Kenotariatan Angkatan 2008, Depok, 2008. 40Chairunnisa
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
164
Ulfatul Hasanah
dan bentuk akta Notaris. Selanjutnya mengenai kewenangan Notaris selaku pejabat umum diatur di dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN yang berbunyi: Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam bentuk akta otentik menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Kutipan di atas menyiratkan bahwa, Notaris mempunyai kewajiban menciptakan stentisitas dari akta yang dibuat oleh atau dihadapannya dan otentisitas aktanya. Otentisitas akta ini hanya dapat tercipta apabila syarat-syarat formal atau syarat-syarat bentuk gebruik in de vorm yang ditentukan dalam undang-undang jabatan Notaris terpenuhi, dan otentisitas ini tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan lainnya. Bahwa bisa terjadi otentisitas akta Notaris tidak batal tetapi isi atau perbuatan hukumnya yang batal. Hal itu terjadi apabila akta tersebut tidak mengandung cacat yuridis dan yang membatalkannya hanya perbuatan hukum/peristiwa hukum yang disebutkan dalam akta tersebut. Akta otentik memiliki dua fungsi yaitu fungsi formal atau formalitas kausa artinya suatu perbuatan hukum baru sah jika dibuat dengan akta otentik tidak dapat dibuktikan dengan bukti lainnya dan fungsi sebagai alat artinya akta otentik tersebut untuk dipergunakan sebagai alat bukti dikemudian hari tentang perbuatan hukum yang disebut dalam akta.41 Hilangnya otentisitas atau batalnya suatu akta Notaris dapat menimbulkan akibat yang bervariasi kepada pihak yang berkepentingan didalamnya, yaitu: 1. Hilangnya otentisitas akta atau akta Notaris ikut batal, dan tindakan hukum yang tertuang didalamnya ikut batal, hal ini pada perbuatan hukum yang oleh undangundang diharuskan diiuangkan dalam suatu akta otentik misalnya akta pendirian perseroan terbatas. 2. Hilangnya otentisitas akta (akta Notaris tidak batal) atau tindakan hukum yang tertuang didalamnya tidak ikut batal. Hal ini terjadi pada perbuatan hukum yang tidak diwajibkan oleh undang-undang untuk dituangkan didalam suatu akta otentik, tetapi pihak-pihak menghendaki perbuatan hukum mereka dapat dibuktikan dengan suatu akta otentik, supaya dapat diperoleh suatu pembuktian yang kuat. 3. Akta tetap memiliki otentisitas (akta Notarisnya batal) atau tindakan hukum yang tertuang didalamnya batal Hal ini terjadi jika syarat-syarat perjanjian tidak Fachruddin, kedudukan Notaris dan akta-aktanya dalam sengketa Tata Usaha Negara, Varia Peradilan Nomor 122, 1994, h. 148. 41Irfan
165 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
dipenuhi atau tindakan terjadinya cacat dasar hak yang menjadi objek perjanjian Misalnya jual beli dilakukan atas bukti palsu.42 Dalam suatu hal perbuatan hukum oleh undang-undang tidak diharuskan dituangkan dalam suatu akta otentik, dan jika akta tersebut kehilangan otensitas karena tidak dipenuhinya syarat formal yang dimaksud dalam Pasal 1869 KUHPerdata maka akta tersebut tetap berfungsi sebagai akta yang dibuat dibawah tangan bila akta tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sepanjang berubahnya atau terjadinya degradasi dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan tidak menimbulkan kerugian, Notaris yang bersangkutan tidak dapat dimintakan tanggung gugat hukumnya melalui Pasal 1365 KUHPerdata. Berlakunya degradasi kekuatan bukti akta Notaris menjadi akta di bawah tangan pada umumnya sejak adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Kekuatan hukum pada akta notaris yang berbahasa asing yakni akta tersebut tidak bernilai sebagai akta otentik, karena pembuatan akta notaris yang berbahasa asing telah melanggar ketentuan dalam UUJN dan UU No. 24 Tahun 2009. Apabila akta itu dibuat tentang suatu perjanjian, maka akta notaris tersebut batal demi hukum alias tidak memiliki kekuatan dalam pelaksanaannya, karena keberadaan akta notaris yang isinya berbahasa asing tersebut telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku. b. Tanggung gugat Notaris terhadap kesalahan terjemahan isi akta yang berbahasa asing, yakni terdapat tuntutan ganti rugi dari pihak yang dirugikan. Namun demikian, notaris bukanlah pihak dalam akta tersebut sehingga tidak patut apabila notaris dibebani ganti rugi oleh para pihak. adapun apabila terjadi kesalahan terjemahan cukuplah dilakukan perbaikan yang disetujui para pihak. Saran Sebagaimana kesimpulan tersebut di atas dalam penelitian ini, maka dapat diajukan saran sebagai berikut: a. Hendaknya setiap Notaris membuat akta notaris dengan menggunakan bahasa Indonesia sesuai ketetapan dalam peraturan jabatan notaris. b. Hendaknya notaris lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sehingga tidak terjadi kesalahan yang menjadikan akta cacat hukum. 42Ibid.
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
166
Ulfatul Hasanah
DAFTAR BACAN Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Chairunnisa Said Selenggang, “Profesi Notaris sebagai Pejabat Umum di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Program Pengenalan Kampus untuk Mahasiswa/i Magister Kenotariatan Angkatan 2008, Depok, 2008. Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, 2004. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Delta Pamungkas, Jakarta, 2004. Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung 2009. http://www.indonesianotarycommunity.com. Kedudukan Hukum Akta Tidak Berbahasa Indonesia, diakses pada tanggal 18 April 2017. Husni Thamrin, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2011. Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003. Irfan Fachruddin, kedudukan Notaris dan akta-aktanya dalam sengketa Tata Usaha Negara, Varia Peradilan Nomor 122, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1994. Kussunaryatun, Hukum Acara Perdata (Pemeriksaan Acara Perdata), Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 1999. M.A. Moegni DJojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum Tanggung Gugat (Aanspraketijkheid) Untuk Kerugian yang Disebabkan Karena Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982. Muhammad Adam, Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru, Bandung, 1985. Muni Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Nusyirwan, Membedah Profesi Notaris, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2000. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Rajawali, Jakarta, 1982. R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta, 1999. Ridwan H.R., Hukum Adiministrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta, 2006. Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003. 167 MODELING: Jurnal Program Studi PGMI
Tanggung Gugat Notaris
Salim HS., Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoretis, Kewenangan Notaris, Bentuk dan Minuta Akta), Rajawali Pers, Jakarta, 2015. Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, 2011. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993. Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, Edisi Baru, Ichtiab Baru van Hoeve, Jakarta, 2000.
Volume 4, Nomor 1, Maret 2017
168