1
TERJEMAHAN SASTRA DARI BAHASA-BAHASA EROPA KE DALAM BAHASA MELAYU SAMPAI TAHUN 1942 Doris Jedamski Leiden Diterjemahkan oleh Winarsih Partaningrat Arifin dan Caroline A. Supriyanto-Breur
Beberapa gagasan pendahuluan Penerjemahan mencakup pemindahan sebuah teks dari suatu bahasa A ke suatu bahasa lain B, akan tetapi bilamana memilih istilah untuk memerikan pemindahan ini setepatnya, segera terungkap kesulitan-kesulitan yang muncul apabila kita mencoba merumuskan penerjemahan dengan ketelitian yang lebih ketat. Apakah yang kita hadapi itu suatu tindak kreatif, suatu proses penuh konflik, ataukah sebenarnya hanyalah suatu penyusunan mekanis dari ungkapan-ungkapan yang sudah ditentukan sebelumnya saja? Apa kiranya fungsi-fungsi penerjemahan? Tujuan-tujuan apa dapat tercapai berkat dia? Sesetia apa penerjemah dapat atau harus mengikuti teks sumber ? Apakah gerangan teks itu dan siapakah ‘pemilik’nya? Pertanyaan-pertanyaan ini dan yang lain lagi yang pasti membayangi proyek buku ini, khususnya apabila teks sumber yang dibicarakan berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dari teks sasaran, apalagi bila menghadapi perbedaan budaya yang memisahkan kesusastraan barat dan non-barat. Kategori-kategori mana harus diterapkan agar pemikiran barat tidak dipaksakan pada terjemahan non-barat dari sebuah teks barat, dan sebaliknya kategori-kategori mana diterapkan oleh pihak non-barat waktu mendekati teks barat serta implikasiimplikasi budayanya? Apakah teks barat itu diterjemahkan dengan maksud hendak belajar tentang Pihak Lain itu, ataukah sumber itu tidak lain hanya salah satu dari sekian banyak sumber untuk dipanen secara sah, dalam mencari gagasan-gagasan dan alat-alat yang bermanfaat buat memperkaya cara-cara menggambarkan diri dan memperkaya komunikasi di antara bangsa penerjemah itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini melibatkan baik pembuat maupun penerima terjemahan. Bagaimanakah maksud, harapan, dan tanggapan yang berkaitan dengan terjemahan dapat dilacak? Semakin keras diusahakan untuk menentukan pembatasan dasar, agaknya semakin buramlah jadinya. Mengandalkan apa yang dinyatakan sebagai unsur-unsur universil tidak akan membantu ; setiap pengamat terjemahan dalam bahasa Melayu segera akan menyadari kemustahilan untuk mempertahankannya. Di mana harus ditarik batas antara terjemahan dan saduran, antara fiksi dan non-fiksi, atau antara berbagai ragam, yaitu konsep-konsep yang sangat pokok dalam pendekatan barat terhadap terjemahan? Ragam-ragam teks dan melintasnya teks dari satu ragam ke ragam lain melalui terjemahan — umpamanya dari buku ke pentas atau dari film ke buku — merupakan tantangan tambahan. Sekurang-kurangnya ada empat komponen utama dalam penerjemahan (teks sumber, penerjemah, perbuatan menerjemahkan, dan teks sasaran) yang harus diliputi dengan saksama dan dalam proporsi yang sama besar agar membentuk suatu gambaran menyeluruh mengenai penerjemahan Melayu dari sumber-sumber barat. Data yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu – bila masih ada – jauh dari lengkap. Tulisan ini harus menyesuaikan diri pada terbatasnya bahan yang tersedia. Kekurangan akan kelihatan terutama dalam hal keterangan biografis mengenai penerjemah dan dokumentasi mengenai proses penerjemahan yang sebenarnya. Ada rintangan lain dalam usaha
2
mengumpulkan informasi mengenai terjemahan dalam bahasa Melayu, yaitu kenyataan yang sederhana ini : karena tidak ada ‘mentalitas hak cipta’ ala barat maka terjemahan sering sekali tidak dinyatakan sebagaimana adanya. Dalam tradisi Melayu kebanyakan teks dianggap milik kolektif. Tidak dapat dikesampingkan kemungkinan bahwa beberapa di antara novel yang sampai sekarang terkenal sebagai karya Melayu modern yang ‘otentik’ sesungguhnya merupakan terjemahan bebas atau saduran dari karya-karya barat. Mengingat segala pertanyaan dan ketidakpastian yang diuraikan di atas, tulisan ini hanya dapat memberi tinjauan ringkas mengenai teks-teks sastra barat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu1 di Hindia Belanda. Dengan memusatkan perhatian pada periode antara kira-kira 1870 dan 1942, artikel ini bukannya mengutamakan pembentangan kronologis semata-mata, tetapi lebih banyak mengamati berbagai golongan yang terlibat dalam penerjemahan. Di Hindia Belanda, seperti di masyarakat kolonial lain manapun juga, golongan penduduk yang berbeda-beda ikut terlibat dalam penerjemahan seiring dengan periode yang berbeda-beda dan karena alasan yang berbeda-beda pula. Oleh karena terkumpul di dalam dunia kolonial mereka, maka mereka saling berhubungan dengan satu atau lain cara, dan begitu pula kegiatan mereka di bidang terjemahan. Akan tetapi dorongan dan rangsangan yang mewarnai pendekatan mereka masing-masing terhadap kebudayaan si penjajah memang berlainan. Mereka yang telah mendapat pendidikan barat atau malah pernah tinggal di Eropa sering kali ‘sungguh-sungguh’ berminat akan kebudayaan Yang Lain itu. Ada pula yang berpendapat bahwa kemampuan meniru kebudayaan barat dapat menjadi senjata dalam perjuangan untuk mendefinisikan kepribadian budaya mereka sendiri. Di lain pihak ada yang menjelajahi kebudayaan dan kesusastraan asing dengan rasa sangat ingin tahu – sebagaimana memang sudah terjadi lama sebelum masuknya Belanda sekalipun –, sambil mencari unsur-unsur yang menarik atau bermanfaat untuk diterjemahkan ke dalam kebudayaan mereka sendiri, tanpa ada cita-cita tinggi untuk mempelajari kebudayaan yang lain itu. Setiap kegiatan penerjemahan memerlukan dua prasyarat dasar : teks sumber harus tersedia, dan sekurang-kurangnya dua bahasa harus dikuasai. Maka dalam hierarki ketat dunia kolonial, pendidikan barat memegang peran kunci ; dan kalau teks hasil terjemahan itu juga mau diterbitkan, maka modal keuangan atau kemungkinan memakai sarana cetak merupakan peran kunci yang lain. Alhasil orang Belanda dan Indolah yang paling dahulu menerjemahkan teks barat ke dalam bahasa Melayu (dan bahasa-bahasa daerah) dengan cara yang agak sistematis. Waktu pendidikan yang berorientasi ke Barat meluas di antara penduduk pribumi, dan permintaan akan bahan bacaan dalam bahasa-bahasa pribumi bertambah besar, maka para penerjemah non-barat juga mulai naik daun. Mulai tahun 1880-an, penerbit-penerbit Tionghoa dan Melayu-Tionghoa yang sering mendapat pendidikan secara pribadi atau di luar negeri, melancarkan suatu produksi sastra Melayu yang sama sekali lepas dari agenda kolonial. Masih kira-kira empat dasawarsa lagi berlangsung dan sistem pendidikan berkembang lebih lanjut, sebelum terbentuk suatu generasi kaum intelektual pribumi2 1
Istilah Melayu mencakup sederetan panjang varian yang dipergunakan pada waktu itu. Tergantung golongan etnis dan kelas sosial yang bersangkutan, bahasa Melayu yang lingua franca itu mengembangkan berbagai bentuk. Meskipun begitu, tidak semua varian yang terjumpa dalam terjemahan dapat digolongkan dengan jelas. Rona setempat dan gaya bahasa penerjemah hendaknya diperhitungkan juga. Hanyalah suatu penelitian perbandingan linguistik secara besar-besaran dapat kiranya menghasilkan keterangan-keterangan yang dapat diandalkan. 2 Istilah Melayu ‘pribumi’ menunjukkan golongan penduduk kelahiran ‘asli’ Nusantara Melayu yang bukan
3
yang mampu menghasilkan pengarang dan penerjemahnya sendiri. Dari mereka banyak yang dengan satu atau lain cara tergabung dengan ‘Biro Sastra Rakyat’ Belanda (Kantoor voor de Volkslectuur atau Balai Poestaka) yang didirikan pada tahun 1908.3 Bahkan ada yang menerima seluruh pelatihan mereka sebagai pengarang dan penerjemah dari biro kolonial tersebut. Hanya sedikit saja orang pribumi yang menghasilkan dan menerbitkan terjemahan secara mandiri. Di antara yang belakangan ini para penerbit muslim Melayu di Sumatra menonjol. Mereka muncul sekitar tahun 1935 seiring dengan terjadinya politisasi yang kuat di satu pihak, dan sekularisasi Islam terus berlanjut di pihak lain. Di luar Balai Poestaka dan sebagai saingannya ada juga beberapa penerbit swasta Belanda yang giat dalam bidang penerjemahan. Yang paling berhasil di antara mereka kiranya Kolff(-Buning) dan Wolters, yang kedua ini memegang monopoli buku pelajaran. Apabila kita amati dengan lebih terperinci kegiatan penerjemahan dari berbagai golongan pada berbagai saat itu, maka akan muncul pengertian yang bermacam-macam mengenai konsep penerjemahan. Dan kalau kita menggeserkan perhatian dari para penerjemah ke bahan teks, maka dibutuhkan beberapa kata pengantar yang terakhir. Penelitian yang lebih lanjut sudah jelas diperlukan. Salah satu segi yang menggelitik dalam konteks ini adalah hasil terjemahan Melayu dari yang dinamakan Indische literatuur (sastra Hindia Belanda), yaitu prosa dengan latar kolonial yang ditulis dalam bahasa Belanda oleh orang Indo atau Belanda yang pernah tinggal di tanah jajahan. (Sebagian kecil tulisan ini akan membicarakan terjemahan dan saduran dari jenis sastra khusus ini.) Pertanyaan yang amat menarik ialah sejauh mana terjemahan Melayu tertentu bukan saduran saja (betapapun bebasnya), melainkan sesungguhnya tanggapan serta versi (atau visi) balasan terhadap pihak Belanda ataupun terhadap sumber barat lain manapun.4 Lagi pula teks-teks beserta ceritanya melintas dari medium atau genre yang satu ke medium atau genre lain, dan digunakan sebagai hiburan tetapi juga memperkaya wacana dekolonisasi di Hindia Belanda. Hubungan timbal balik dan tukar-menukar antara media modern saat itu (novel, teater, film, opera, dan radio) merupakan bidang lain lagi yang hampir tidak terjamah oleh penelitian ilmiah. Gejala ini akan dibicarakan secara ringkas pada akhir tulisan ini. Awal mulanya : penerjemah Belanda dan Indo Awal mula penerjemahan dari bahasa-bahasa Eropa ke bahasa-bahasa pribumi di Hindia Belanda sangat erat terjalin dengan kepentingan kolonial dasar dan misi Kristen. Pada tahap awal ini kepentingan atau keperluan kolonial belum didukung oleh suatu jaringan kelembagaan. Hal itu masih harus dikembangkan. Oleh karena itu, orang perseoranganlah – sering artinya seseorang yang sekaligus ilmuwan, pegawai sipil, penulis, jurnalis dan guru – yang memegang peran yang penting keturunan Tionghoa, Arab, Eropa atau India. Pribumi berlawanan dengan totok, ‘yang berdarah murni’, yang biasanya (tetapi tidak semata-mata) mengacu pada orang Eropa. Orang Indo-Eropa dinamakan Indo. Orang lain yang berketurunan campuran, terutama orang Melayu-Tionghoa, disebut peranakan, mereka terlahir di Nusantara akan tetapi sudah bercampur baur. 3 Sebuah artikel lain oleh penulis ini dalam buku ini pula membicarakan kegiatan pemerintah di bidang politik dan penerjemahan. 4 Lihat Jedamski (2002a). Dalam contoh kasus Hellwig yang dimuat dalam buku ini – pembandingan novel Indis ‘Warm Bloed’ dan versi Melayunya Tjerita Nona Diana – penulis itu menyatakan telah terjadi «terjemahan yang diselewengkan». ‘Penyelewengan-penyelewengan’ teks itu memang mendukung penafsiran bahwa ‘si penerjemah’ membantah atau membalas teks sumber Belanda.
4
sekali selama tahap awal ini (kira-kira antara 1850 dan 1870). Salah satu contoh yang menonjol adalah C.F. Winter5 : terjemahannya ke dalam bahasa Jawa (Serat cariyos sewu satunggil dalu) dari terjemahan Belanda dari versi Jerman Rendah One Thousand and One Nights (Seribu Satu Malam) diterbitkan oleh T. Roorda sedini 1847-1849. Winter juga menerjemahkan kisah Sindbad serta ceritacerita rakyat dari sumber Belanda dan Inggeris ke dalam bahasa Melayu dan Jawa, yang dicetak ulang berkali-kali. A.F. von de Wall, mungkin penerjemah yang paling terkenal dari generasi berikutnya, memilih judul-judul sejenis, bahkan kadang-kadang yang sama, untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, seperti umpamanya Sindbad (1876) atau De Lotgevallen vanDjahidin (Petualangan Djahidin, 1879) karya Uilkens. Sebuah bunga rampai cerita-cerita Belanda dalam bahasa Melayu diterbitkan tahun 1876. Seperti kebanyakan penerjemah zaman itu, Winter dan Von de Wall juga terlibat dalam penerjemahan non-fiksi, umpamanya buku sekolah tentang pengejaan dan ilmu hitung, bahan linguistik, serta keputusan pemerintah dan teks hukum. Semua terjemahan Melayu dan Jawa mereka acap kali dipakai sebagai teks sumber untuk diterjemahkan lebih lanjut ke dalam bahasabahasa daerah, meskipun bahasa Melayu dan Jawa tetap yang utama di bidang terjemahan. Dari korpus prosa hasil terjemahan Von de Wall terungkap kegemaran akan sastra perjalanan dan petualangan. Selain novel-novel yang sudah disebut di atas, ia menerjemahkan episode Robinson Crusoe di suatu pulau menjadi Hikajat Robinson Crusoe (1875). Selanjutnya ditambahkannya Kesah pelajaran nachoda Bontekoe6 serta dengan judul-judul Kesah pelajaran seorang perampoewan mengoelilingi boemi (1877) dan Kesah pelajaran ka Poelau Kelemantan (edisi ke-2, 1888) diterjemahkannya berbagai cuplikan dari laporan-laporan perjalanan Ida Pfeiffer ke dalam bahasa Melayu. Yang belakangan ini dimulainya dengan kata-kata : Bahwa sesoenggohnja adalah seorang orang perampoewan jang bernama IDA, anak ditanah Aeropah, maka terlaloe amat soeka perampoewan itoe pergi melihat-lihat negerinegeri, akan mengatahoewi ‘adat lembaganja, dan tabi’at masing-masing bangsa manoesija ; maka apa-apa jang dilihatnja atau didengarnja, sekalijannja disoeratkennjalah, sopaja akan dibatja oleh sekalijan orang, dengan maksoed, pertama akan menambah pengetahoewan marika itoe, kedoewa akan menghiboer-hiboerken hati marika itoe djoewa adanja. (1899 : [1])
Lalu Von de Wall meluncur dengan lancar ke dalam ceritera Pfeiffer itu sendiri (bentuk orang pertama). Maksud mendidik sekaligus menghibur, yang di sini dikatakan maksud Ida Pfeiffer,7 adalah maksud kebanyakan penerjemah waktu itu apabila menerjemahkan teks barat ke dalam bahasa Melayu dan menyebarluaskannya di antara penduduk pribumi. Meskipun masih diperlukan penelitian yang lebih terperinci, khususnya mengenai kegiatan penerjemahan pihak Indo, dapat dinyatakan dengan aman bahwa terutama merekalah yang pada mulanya berperan sebagai ‘juru-juru kunci kebudayaan’ dengan memilih teks-teks barat, khususnya novel, dan menerjemahkannya ke 5
Lihat tulisan Vincent Houben, “Menerjemahkan Jawa ke Eropa : Kiprah keluarga Winter”, serta tulisan Stuart Robson, “Catatan tentang karya-karya terjemahan C.F. Winter ke dalam bahasa jawa”, dalam buku ini. 6 Lihat tulisan Mikihiro Moriyama, “Lahirnya pembaca modern : Penerjemahan cerita-cerita Eropa ke dalam bahasa Sunda pada abad ke-19” dalam buku ini. 7 Ida Pfeiffer menerbitkan ceritera perjalanannya (yang disunting) terutama sekali untuk membantu mendanai perjalanan-perjalanan berikutnya.
5
dalam bahasa-bahasa pribumi. Mereka tidak hanya dapat memahami kedua kebudayaan, tetapi juga cenderung melihat dirinya sebagai perantara antara kebudayaan-kebudayaan itu, dan antara si penjajah dan yang dijajah. Mungkin mereka menganggap bahwa kedudukan sebagai perantara ini mengangkat posisi sosial mereka yang sebenarnya. Banyak terjemahan prosa Von de Wall dicetak ulang baik oleh percetakan pemerintah maupun oleh penerbit-penerbit swasta Belanda, umpamanya Ogilvie & Co atau Papyrus. Berbeda dengan kantor percetakan pemerintahan, para penerbit swasta Belanda harus mencari keuntungan agar dapat bertahan, dan terjemahanMelayu dari novel-novel petualangan barat merupakan salah satu sumber untuk itu, karena sukses penjualannya boleh dikatakan hampir terjamin. Sekitar tahun 1890 Gimberg Bersaudara & Co di Surabaya menerbitkan Boekoe tjerita-an hikajatnja Baron van Munchhausen. Buku ini, atau lebih tepat dikatakan buku kecil 86 halaman ini tidak mungkin lebih dari sebuah versi yang diringkaskan dari teks sumber yang boleh jadi adalah terjemahan Belanda yang populer oleh Gerard Keller dengan ilustrasi dari Gustave Doré, yang sekitar tahun 1880 telah tersedia edisinya yang keempat. Pada tahun 1895 G.C.T. van Dorp mengeluarkan seri kecil terjemahan Jules Verne di Semarang. Vingt mille lieues sous les mers (1869) “tertjaritaken di dalem bahasa Melaijoe renda” oleh W.N.J.G. Claasz. Katanya versinya, 20.000 mijl di dalem laoot, berdasarkan sebuah terbitan Perancis. Claasz juga menceriterakan kembali La Maison à vapeur (1879-80), tetapi rupa-rupanya yang ini berdasarkan sebuah terjemahan Belanda (Het Stoomhuis), seperti juga buku ketiga dalam seri ini, Poeloe rasia [L’Île mystérieuse (1875)].8 Keberhasilan para penerbit swasta Belanda dengan versi Melayu mereka dari sastra petualangan barat boleh jadi merupakan dorongan bagi para penerbit Tionghoa dan Melayu-Tionghoa yang baru muncul. Tahun 1896, Tjiong Eng Lok menerbitkan terjemahan karya Verne Michael Strogoff ke dalam bahasa Melayu Rendah oleh M.C. Dalam uraian ringkas ini, tidak boleh dilupakan Dari boedak sampe djadi radja terjemahan F. Wiggers yang dikeluarkan oleh Albrecht & Co pada tahun 1898 di Batavia. Mengherankan bahwa Wiggers menerjemahkan sebuah novel yang dinamakan Indische roman, karya seorang penulis perempuan, Melati van Java (yaitu Nicolina Maria Christine Sloot) ke dalam bahasa Melayu Rendah. Biasanya penulis perempuan abad ke-19 tidak banyak mendapat dorongan dan dukungan. Sloot khususnya hanya mendapat penghargaan yang agak dingin dari kritisi sezamannya. Menurut penilaian yang paling positif, novel-novelnya “manis dan murni, seperti bunga tropis harum yang namanya ditulisnya di sampul buku”9 Novel yang dipilih Wiggers untuk diterjemahkan ini tidak cocok dengan pola yang pada umumnya dihubungkan dengan karya Melati ini. Judulnya, Van slaaf tot vorst, historisch romantische schets uit de geschiedenis van Java (1887-88), sudah menandakan bahwa buku itu lebih dari sebuah “novel karya perempuan” tentang “kesederhanaan, kerendahan hati dan kelemah-lembutan” (ibid.). Dengan memakai sarana-sarana naratif gaya barat tetapi mengambil sudut pandang orang Jawa, novel ini menceriterakan kisah Surapati, raja Hindu-Jawa yang 8
Beberapa dasawarsa kemudian, kira-kira tahun 1938, penerbit Belanda swasta Graauws mengeluarkan seri lain sebanyak sekurang-kurangnya lima jilid dari novel-novel Jules Verne dalam bahasa Melayu. Penerjemahnya, F.B. Sanders, adalah mantan inspektur pendidikan pribumi. Perlu dicatat bahwa ia pun seperti Claasz sebelum dia, menerjemahkan jilid pertama Verne dari sumber Perancis, sedangkan jilid-jilid lainnya rupanya berdasarkan terjemahan Belanda. 9 «geurig en rein als de lieve tropische bloemen wier naam zij op het titelblad schreef» (Jan ten Brink, menurut Nieuwenhuijs 1978 : 230-231).
6
penghabisan, dan perang-perangnya melawan baik Islam maupun pihak Belanda. Menurut Nieuwenhuijs (1978 : 233), Melati van Java itu menaruh simpati yang aneh terhadap “pemberontak yang melawan sesama warga negara Melati sendiri itu” [opstandeling tegen haar landgenoten]. Bahwa Wiggers lebih menyukai teks ini daripada novel Belanda lain yang tersedia boleh dianggap sebuah pernyataan yang menempatkan Wiggers lebih dekat pada pihak orang Jawa daripada sesama orang Belanda di tanah jajahan itu. Apapun kedudukan yang menurut para penerjemah Belanda dan Indo mereka mainkan di panggung kekuasaan kebudayaan, nyatanya dengan menerjemahkan sastra barat ke dalam bahasa Melayu mereka telah membuka jalan bagi penduduk pribumi ke dunia pemikiran barat. Akan tetapi jalan ini belum merupakan jalan raya yang ramai. Memang dapat dipertanyakan apakah bagian penduduk pribumi yang menjelang akhir abad ke-19 telah diajari membaca bahasa Melayu dengan tulisan Latin betul-betul ingin belajar mengenai pemikiran barat. Para penerjemah Indo dan Belanda bertujuan dengan cara mendidik membantu orang Melayu sedikit demi sedikit “naik jenjang evolusi” dengan memperkenalkan nilai-nilai dan konsep-konsep barat. Tapi pihak penerima pribumi rupanya menguji semua terjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa Melayu itu terutama sekali untuk melihat kemungkinan untuk memilikinya – artinya apakah dapat diterjemahkan lebih lanjut dan benar-benar dipakai dalam konteks kebudayaan mereka sendiri. Tingkat sambutan terhadap teks-teks barat berbeda-beda dan tidak pernah teks-teks itu begitu saja diterima hanya karena berasal dari Barat. Terjemahan, saduran, dan ‘kepemilikan kata’10 dalam konteks Melayu Gagasan barat tentang penulis sebagai yang berwenang, sebagai pencipta dan pemilik sebuah teks mencakup juga terjemahan teks tersebut. Pengertian terjemahan dalam konteks barat berusaha merendahkan penerjemah menjadi unsur yang tak kelihatan dalam produksi teks, dan ingin menciptakan ilusi bahwa pembaca melihat semacam teks sumber yang dikloning, karya pengarang ‘asli’nya, hanya dalam bahasa yang lain. Dalam tradisi Melayu, perbedaan antara penulis dan penerjemah jauh kurang relevan, dan hanya akibat tuntutan-tuntutan berat proses westernisasi dan modernisasi perbedaan demikian muncul dengan lamban. Jajaran istilah yang dipakai untuk terjemahan yang terdapat sampai akhir tahun 1940-an mencerminkan keadaan konsep itu yang masih ambivalen. Yang paling banyak terpakai ialah tersalin, terkarang, mentjeritakan, terkoetip, ditoeroenkan, di(bahasa)melajoekan, dioesahakan.11 Terdorong oleh suatu tradisi panjang kebebasan berkisah, para penerjemah cenderung menyepelekan karya ‘asli’ itu dengan cara yang agak kreatif. Tujuan pertamanya bukanlah menerjemahkan suatu contoh kebudayaan asing sesaksama mungkin, akan tetapi membuat teks asing itu (atau sebagiannya) dapat terjangkau oleh kebudayaan mereka sendiri. Maka siapa pun menganggap suatu teks menhibur dan/atau bermanfaat, akan bergerak selanjutnya dengan mengambil alih teks itu dengan cara menyadurnya dan mengubah-ubahnya. Meskipun berlatar belakang sebuah tradisi panjang kisah-kisah yang dicetak, dan diwarisi 10
Untuk pembicaraan mengenai sangkut-paut yang berubah-ubah antara kata yang diucapkan dan yang ditulis dalam berbagai tahap masyarakat manusia, lihat Ong (1987). Zaman ini dengan merek-merek dagang dan Internet yang saling bersaingan, ungkapan ‘pemilik kata’ memperoleh dimensi lain lagi. 11 Berbagai ungkapan ini juga terdapat dalam terbitan-terbitan perusahaan penerbitan kolonial Belanda, Balai Poestaka, yang sering benar lalai menyebut hasil terjemahannya sebagaimana adanya. Istilah-istilah Melayu yang lebih tradisional untuk penulis dan penerjemah terdaftar dalam Salleh (2001).
7
pengertian yang lebih tegas mengenai penulis perseorangan, ada juga ‘penerjemah-penerjemah’ Tionghoa atau yang tanpa ragu-ragu menuruti pengertian yang relatif kreatif mengenai penerjemahan itu. Tahun 1886, keluarlah novel Tjhit Liap Seng (Bintang Toedjoeh). Judul di sampulnya mengemukakannya sebagai sebuah ceritera Tionghoa dari masa kerajaan Taj Tjheng Tiauw, yang ditulis dan diterbitkan oleh Lie Kim Hok. Tahun 1939 sebuah artikel dalam majalah MelayuTionghoa Sin Po (19) memuji Lie Kim Hok karena novel Belanda karya J. van Lennep telah disulapnya (‘soenglap’) menjadi teks indah Tjhit Liap Seng. Namun Salmon (1994) menemukan bahwa novel Hok bukan hanya suatu saduran saja dari sebuah novel Belanda. Diungkapkannya bahwa Hok sebenarnya telah memadu karya van Lennep Klaasje Zevenster (1866) dan karya Jules Verne Les tribulations d’un Chinois en Chine (1879), yang dilengkapinya dengan beberapa tokoh dan gagasan pribumi baru sehingga dikaitkannya dengan Jawa. Dengan cara yang meyakinkan Salmon menunjukkan bahwa Lie Kim Hok telah memilih teks-teks tersebut oleh karena menurut penglihatannya teks-teks itu menyediakan bahan yang sangat sesuai untuk menciptakan wahana, sebuah novel, yang kiranya dapat mengungkapkan pikiran dan gagasan baru bagi banyak pembacanya. Menurut pengertian Hok, waktu berdasarkan pertimbangan yang sungguh dia memilih memetik beberapa bagian dari teks sumber untuk diterjemahkan secara hampir harfiah, sedangkan bagian-bagian lain disadurnya dengan sangat bebas ataupun sama sekali diabaikannya, proses ini bukan tindak contekan melainkan tindak pencipta.12 Bertentangan dengan penerjemah keturunan Melayu, penerjemah peranakan rupanya tidak hanya lebih cenderung menyebut teks sumbernya, tetapi juga lebih dekat pada teks itu dalam tahap awal penerjemahannya. Dalam buku-buku Tionghoa dan Melayu-Tionghoa dasawarsa-dasawarsa awal abad ke-20 pulalah terdapat peringatan seperti “jangan dikutip” atau bahkan acuan langsung kepada hak cipta.13 Hak cipta barat di Hindia Belanda ditentukan oleh sebuah undang-undang yang diumumkan dalam Staatsblad 1912, No 600, akan tetapi hampir tak seorang pun mematuhinya. Beberapa penulis Melayu-Tionghoa berusaha melindungi terbitan mereka terhadap ‘penjiplakan’ dengan memasuki cap-cap dan tanda tangan pribadi. Kwee Tek Hoay, salah seorang penulis dan penerjemah Melayu-Tionghoa yang paling produktif, bahkan memperluas tuntutan hak ciptanya ke dramanya Allah jang palsoe (1919) kalau dipentaskan – yang juga dianggap sebagai saduran (konon saduran dari karya Oppenheim False God), Djikaloe saändenja […] ada salah satoe pakoempoelan opera jang merasa ini lelakon Allah jang palsoe ada harganja aken dipertoendjoekken, saja poen soeka sekali aken membri idjin, kaloe sadja saäntero oewang pendapetan dari itoe pertoendjoekkan ada boeat perkara derma atawa amal dan kaloe, paling sedikit satoe boelan dimoeka itoe pertoendjoekan diboeka, diberi taoe niatnja pada bestuur Tiong Hoa Hwe Koan Buitenzorg. (1919 : X)
12
Untuk pembicaraan terperinci yang menggelitik tentang kasus saduran pribumi yang sangat menarik ini, lihat Salmon (1994). 13 «Nadruk verboden ingevolge de Auteurswet 1912» [Dilarang mengutip sesuai dengan Undang-undang Pengarang tahun 1912] (Kwee Tek Hoaij 1919 : sampul). Tahun 1923 terbit sebuah dekret tambahan (Staatsblad [Lembaran Negara] 1923, No 540) untuk melindungi secara khusus semua terbitan Balai Poestaka. Perusahaan penerbitan kolonial itu jengkel karena pengarang-pengarang pribumi suka memakai hasil terbitannya sebagai teks sumber tanpa memberitahukannya – dan dengan demikian Balai Poestaka kehilangan publisitas tambahan, kalaupun bukan keuntungan.
8
Hampir dua dasawarsa kemudian timbul debat yang lebih luas di antara kaum intelektual pribumi yang juga mengenai penerjemahan dan penyaduran sumber-sumber barat. Salinan katanja ada tida begitoe berharga, sebab tjoema ada barang ‘duplicaat’ sadja, tapi biarpoen begitoe ia toch ambil kadoedoekan penting dalem literatuur. (Tzu You 1930 : 21)
Proses-proses modernisasi dan intelektualisasi telah membawa pengertian baru tentang individualitas dan ‘milik intelektual’, sekaligus telah mengembangkan sikap yang lebih kritis terhadap kebudayaan penjajah. Penerjemahan sumber-sumber barat, lepas dari apakah disebut demikian atau tidak, kini sering disamakan dengan meniru si penjajah dengan membuta, dan lebih besar kemungkinannya berkonotasi negatif. Tambahan lagi prosa berlatar belakang barat dikhawatirkan akan merongrong akhlak penduduk pribumi, terutama akhlak kaum remaja dan perempuan. Selama dasawarsa 1930-an kalangan intelektual pribumi bercita-cita memupuk pengarang-pengarang setaraf Goethe atau Shakespeare yang akan menciptakan sastra ‘otentik’ untuk mengungkapkan identitas yang modern tetapi bersifat ketimuran. Hal ini tidak mengesampingkan pengilhaman dari contoh-contoh barat, akan tetapi kini dikemukakan dengan blak-blakan bahwa ilham sebaiknya dicari dalam konteks budayanya sendiri. Pengertian tentang Ketimuran dan Kebaratan, tentang Sini dan Sana, tentang Diri Sendiri dan Yang Lain membentuk benang-benang baru dalam wacana pribumi, terutama di antara kaum nasionalis muslim Melayu : Kalau seorang Goethe mengambil inspiratie dari Timoer oentoek ‘Westöstlichen Diwan’nja, kalau seorang Dante mengambil inspiratie dari kissah mi’radj oentoek ‘Divina Comoedia’nja alangkah baik dan pantas, sekiranja Poedjangga Moeslimin kita mentjari poela soember2 jang lebih dekat, dan jang lebih sesoeai dengan falsafah kehidoepan kita orang Islam! (Natsir 1940 : 25 (digarisbawahi dalam teks asli).
Di bawah pengaruh kuat pembaratan dan modernisasi, tradisi Melayu berbentuk penyaduran kreatif boleh saja kehilangan sifat bebasnya namun hilang. Sebagai arus bawah atau sub-teks, pengaruhnya pada kegiatan penerjemahan pribumi tetap ada. Keseimbangan (atau ketidakseimbangan) yang rumit antara penerjemahan kreatif seperti itu dan gagasan-gagasan berorientasi barat mengenai kepemilikan kata digambarkan oleh suatu contoh awal yang dibahas di bawah ini. Perkara Robinson Crusoe dalam majalah Melayu Bintang Soerabaia Robinson Melayu mengalami perjalanan yang menggelitik melalui media cetak zaman itu. Riwayat terjemahan Von de Wall Robinson Crusoe yang telah disebut di atas merupakan gambaran hidup dari reaksi-reaksi kreatif dan reseptif yang ruwet, yang kadang kala tercetus oleh terjemahan teks barat di ranah Melayu. Sekaligus nampak kerapuhan kaitan antara terjemahan dan ‘kepemilikan kata’ – atau dalam istilah yang lebih modern : konsep hak cipta. Riwayat perjalanan dan perniagaan Robinson yang digambarkan dengan panjang lebar dalam karya Defoe The Life and Strange Surprising Adventures of Robinson Crusoe serta sambungannya tidak disampaikan kepada kalangan pembaca Indonesia. Untuk tulisannya Hikayat Robinson Crusoë, Adolf Friedrich von de Wall, seorang Indo, memilih episode di pulau sebagaimana ditemukannya dalam salah satu terjemahan Belanda yang beredar dalam jumlah besar di tanah jajahan.14 14
Lihat juga Proudfoot (1997 : 46) dan Jedamski (2002 : 225-30). Von de Wall agaknya memakai terjemahan Belanda oleh Gerard Keller sebagai teks sumber. Versi Keller diterbitkan tahun 1869 di Belanda dengan judul
9
Terjemahan Melayunya dicetak tahun 1875 oleh percetakan pemerintahan di Batavia untuk dipakai sebagai buku pelajaran sekolah dan cetakan ketujuhnya keluar tahun 1906 – untuk ukuran kolonial waktu itu suatu tanda bahwa distribusinya berhasil. Hal itu boleh jadi menerangkan kenyataan bahwa Robinson segera dapat memasuki dunia pers Melayu yang sedang tumbuh dengan pesatnya.15 Namun demikian suksesnya pada akhirnya tidak benar-benar melampaui dunia buku pelajaran sekolah yang dikuasai oleh Belanda. Tema lelaki terdampar yang menemukan Dirinya yang sesungguhnya dan yang percaya diri dalam keterpencilan sepenuhnya tidak menonjol dalam sastra Melayu atau Indonesia. Menjelang akhir abad ke-19 tidak tersedia jumlah besar redaktur atau wartawan setempat dalam majalah-majalah pribumi. Kekurangan tenaga ini memaksa kebanyakan majalah pribumi untuk mengandalkan bahan yang telah diterbitkan sebelumnya dalam sumber-sumber Melayu atau Belanda lain atau yang dikirim oleh para pembaca. Dengan demikian pembaca dapat memainkan peran penulis, kritikus, wartawan lokal, dan penerjemah. Pada bulan Mei 1888 harian Bintang Soerabaia mulai memuatkan sebuah kisah bersambung yang dikirim oleh seorang pembaca. Teks itu mulai sebagai berikut, Djikaloe tiada laranganpoen kiranja hendaklah aken mengletaken pada di halaman Bintang Soerabaia bahoewa karangkoe ini, ja ini : Bahoewa ini soewatoe hikajat maka adalah saorang orang di negeri Hangborg bernama Krusoe […]. (4 Mei 1888 : 1)
Selain ejaan nama yang tidak lazim, teks berikutnya merupakan cetakan kembali yang relatif harfiah dari Robinson oleh Von de Wall . Masing-masing episodenya keluar setiap bulan pada bulan Juli, Agustus dan Desember setiap dua minggu, di halaman muka, dalam satu atau kadang-kadang dua kolom. Setiap episode memuat nama samaran Tjahaja Bintang dan dimulai dengan “Slamet! Slamet!! Slanet!!! Batjalah di sini sobatkoe dari Robinson Krusoe”. Tidak ada pengacuan pada novel Defoe, juga tidak pada kenyataan bahwa versi Melayu dari Robinson ini adalah hasil tulisan Von de Wall. Malahan sebaliknya, teks itu dikemukakan sebagai “karanganku”. Dalam pada itu teks ‘jiplakan’ ini diberikan dua catatan kaki, yang pertama menyatakan penyesalan Tjahaja Bintang karena saudara laki-laki Robinson meninggal begitu cepat. Catatan kedua tampil dalam bagian berikutnya dan menonjolkan kebaikan hati kaptennya Robinson yang amat sangat. Pada tanggal 8 Februari 1889, sesudah tiga belas episode, diterbitkan reaksi pembaca yang pertama. Dalam suratnya, Poetoet Djoho Baliloe mengusulkan agar cerita bersambung Robinson dihentikan. Tidak ada gunanya, tegas Poetoet, karena semua orang sudah mengetahui cerita itu dari sekolah. Lagi pula buku itu masih dapat diperoleh di toko-toko. Oleh karena itu memuat teks itu di surat kabar sama sekali tidak perlu. Ia melanjutkan, Maka baiklah masoeken tjerita’an apa iang aneh jang beloen pernah terseboet dalem kitab kitab tjitakan melajoe, jang terbit daripada karanganmoe sendiri, sedeng jang demikian itoe
De geschiedenis van Robinson Crusoë dan versi itu sangat populer baik di Belanda maupun di Hindia Belanda. Dalam pada itu tidak boleh dikesampingkan bahwa dalam perpustakaan ayah Von de Wall, seorang Jerman, mungkin terdapat sebuah kopi dari versi Jerman oleh Campe. 15 Saya berterima kasih kepada Matthew Cohen yang telah menunjukkan kepada saya adanya dua teks Robinson Crusoe dalam Bintang Soerabaia yang akan dibicarakan di bawah ini.
10
membikin loewasnja nalar lagi menambah pengetahoean lagi pembatja, tiadakah?16
Poetoet rupanya tidak mempermasalahkan jiplakan atau ‘pencurian kata’, ia lebih menekankan unsur-unsur peniruan dan keaslian serta keuntungan dari segi pendidikan. Tidak ada jawaban dari redaktur, akan tetapi pada tanggal 12 Februari 1889 masih tampil satu episode dari Robinson Krusoe, ternyata yang penghabisan – sekalipun pada akhir episode itu seperti biasa tercetak ‘akan disambung’. Dalam bulan-bulan berikutnya bagian feuilleton itu menyuguh teks-teks asal Jawa, Melayu dan Arab sebagai gantinya, sementara Robinson Krusoe dihentikan tanpa banyak cincong.17 Tahun 1901, Robinson muncul untuk kedua kalinya, lagi-lagi di Bintang Soerabaia. Kali ini seorang pembaca dari Probolinggo menawarkan kepada para redaktur sebuah kisah berjudul Hikajat Anoewari, anaknja saorang miskin. Kisah itu diterima untuk diterbitkan dan tiga belas episode dimuat antara 25 Juni 1901 dan 13 Desember 1902. Semua episode itu tertanda “Maaflah dari saia P.T.B.S., M.C. Kertas Angin”. Tanggal 24 Oktober, sepucuk surat sampai pada redaktur dan mengeluh bahwa Kertas Angin sudah jelas mencoba “menghamboerken pasir di mata”, sebab kisah Anoewari itu sebenarnya kisah Robinson Crusoe saja. Pengirim surat itu, Moechatib No 42 dari Solo, menyatakan bahwa dalam kisah Anoewari itu hanyalah nama pelaku utama yang telah diubah, tetapi selain itu semuanya sama dengan terjemahan Melayunya Von de Wall sebagaimana sudah bertahun-tahun lamanya beredar di sekolah-sekolah pribumi. Moechatib menyatakan sangat berkeberatan kalau kisah Anoewari disambung lagi dan mengakhiri suratnya dengan tuntutan agar usaha yang memalukan ini dihentikan (24.10.1902 : 2). Dilihat dari sudut pandang barat, kejengkelan yang diungkapkan dalam surat tersebut tidak akan ditafsirkan lain daripada ketidakpuasan akan suatu usaha penjiplakan. Akan tetapi mungkin ada penafsiran yang sama sekali berlainan (dan dari segi pandangan Melayu lebih masuk akal). Yaitu ‘usaha yang memalukan’ itu mengacu pada sesuatu yang berbeda dari usaha canggung untuk ‘mencuri’ Robinsonnya Von deWall. Yang agaknya dinyatakan ialah kekecewaan pembaca mengenai suatu saduran yang diberitahukan tetapi tidak jadi diberikan. Harapan akan saduran demikian dikemukakan saat Kertas Angin mengubah nama tokoh barat menjadi nama pribumi. Sayangnya, ia berhenti di sana dan sama sekali tidak mencoba menyesuaikan kisah selanjutnya itu pada dunia pribumi.Oleh karena itu Moechatib boleh jadi merasa tertipu, atau merasa “matanya dihamburi pasir”. Pengartian ini sulit didukung dengan bukti mutlak akan tetapi besar dukungannya dalam praktek umum penyaduran sastra waktu itu. Kenyataan bahwa Moechatib melayangkan suratnya penuh kemarahan kepada redaktur itu baru sesudah sepuluh episode dan empat bulan memperkuat tafsiran ini.18 Sehari sesudah surat Moechatib dimuat, masih terbit satu episode Robinson alias Anoewari dalam Bintang Soerabaia (25.10.1902), akan tetapi nomor-nomor berikutnya memuat sebagai 16
Karanganmoe = karangan sang redaktur, DJ. Tahun 1888 kisah Arab Hikajat Bahtijar terjemahan Von de Wall ke dalam bahasa Melayu diterbitkan dalam Bintang Soerabaia. Juga ada sejumlah artikel mengenai bahasa Melayu karangan Von de Wall yang diterbitkan dalam surat kabar yang sama dan pada waktu cerita bersambung Kruso ditampilkan. Rupa-rupanya ia tidak menganggap perlu mencampuri debat mengenai Robinson Crusoe hasil terjemahannya – asal saja sudah tentu bukanlah dia sendiri si Tjahaja Bintang ataupun Poetoet Djoho Baliloe. 18 Selama empat bulan itu Moechatib mengirim beberapa sumbangan lain kepada Bintang Soerabaia, akan tetapi tidak ada yang mengacu pada certita bersambung itu. 17
11
gantinya versi Melayu sebuah teks oleh C. Spat – lengkap dengan segala rujukan. Dalam terbitan Bintang Soerabaia tanggal 12 November 1902, (edisi kedua : 1) dimuat jawaban dari Kertas Angin kepada Moechatib. Sekali lagi, bahasa surat itu tidak jelas maksudnya dan memungkinkan berbagai interpretasi. Kertas Angin berterima kasih kepada Moechatib karena komentar kritisnya, tetapi ia melanjutkan, Lain dari itoe djikaloe toewan Moechatib No. 42 soenggoe tahoe kaloe itoe hikajat petikan dari boekoe Robinson, saia harep soepaia di terangken dari pertama sampe di brentinja itoe hikajat.
Sambil sekali lagi berterima kasih kepada Moechatib, Kertas Angin menekankan bahwa ia hanyalah seorang anak desa yang bodoh yang tidak mampu menulis dengan lebih baik. Fasal yang sebenarnya dikritrik bahkan sama sekali tidak disinggung. Tanggal 19 November 1902, jadi seminggu kemudian, tampillah secara tak disangka sebuah episode baru dari Hikajat Anoewari dalam ruang sastra Bintang Soerabaia. Nyatanya Kertas Angin telah menangkap kritik yang menuntut dia menunjukkan daya kreatif yang lebih besar. Dalam episode ini, kehidupan Anoewari dengan tiba-tiba berubah haluan dan meninggalkan sesamanya Robinson. Anoewari dibebaskan dari keterpencilannya di pulau dan dilepaskan ke dalam ‘kehidupan pribumi’. Yang tetap menjadi pokok renungan ialah apakah perbuatan penyaduran yang terlambat ini (mengenai gaya dan kosakata jauh kurang lancar dari terjemahan Von de Wall) merupakan usaha nekat untuk menutupi percobaan penjiplakan. Saya cenderung mengira bahwa akhirnya Kertas Angin merasa perlu untuk memenuhi tuntutan agar menyesuaikan teks itu dari segi budaya. Apapun tujuannya, dia tidak betul-betul berhasil. Setelah kritik Moechatib yang terbuka, hanya terbit dua episode dari Hikajat Anoewari yang sudah dibetulkan itu ditambah sebuah akhir yang dibuat-buat. Kira-kira sebulan kemudian, Kertas Angin menawarkan teks lain untuk diterbitkan. Ia menekankan bahwa naskah yang ditawarkannya merupakan saduran Melayu dari sebuah buku Jawa. Redaktur menolak. Abad ke-19 akhir, tahap peralihan Mengenali teks sumber atau penerjemah dari berbagai terjemahan Melayu awal pada dasawarsa 1870-an dan 1880-an merupakan tugas yang berat. Sebagaimana telah dikemukakan tadi, hasil terjemahan jarang sekali ditandai sebagai terjemahan, apalagi diberi acuan tepat kepada teks sumber atau penerjemah. Salmon (1979) menyatakan umpamanya bahwa novel tanpa nama pengarang Lawalawa merah, ija itoe satoe tjarita dari negeri Tjina 19 bukanlah terjemahan Melayu dari kisah Tionghoa sebagaimana diisyaratkan oleh judul dan lingkungan Tionghoanya, melainkan saduran dari novel Perancis melalui terjemahan Belandanya, yakni L’araignée rouge karya Pont-Jest (1872). Menjelang abad ke-20, bahkan semakin sulit ditentukan apakah seorang penerjemah orang Indo atau Melayu-Tionghoa oleh karena orang Melayu-Tionghoa yang ikut menyumbang sastra waktu itu semakin banyak. Pemakaian bahasa dalam terjemahan menimbulkan berbagai perkiraan, namun ragam-ragam bahasa Melayu baik lisan maupun tulisan baru mulai berkembang membentuk ciri-ciri khas yang kemudian akan membeda-bedakannya dan menggolongkannya menjadi Melayu Indo,
19
Saduran itu diduga hasil F. Wiggers Senior. Begitu pula terjemahan Barang Rahasia dari Astana Konstantinopel yang keluar pada tahun 1884, juga tanpa nama penulis.
12
Melayu-Tionghoa, atau Melayu Rendah.20 Dalam hal Lucretia Borgia of Kinderliefde en Moedermoord (Lucretia Borgia atau Cinta Anak dan Pembantaian Ibu) – yang jelas dapat dikenali sebagai terjemahan karena tetap memakai judul Belanda – penerjemahnya bisa saja orang Indo atau Melayu-Tionghoa. Versi Melayu itu merupakan ringkasan dari sebuah novel Belanda yang rupanya ada pula saduran Melayunya berjudul Tjahaja Ambon. Versi yang diperpendek setebal 52 halaman ini yang dilengkapi sebuah pantun sebanyak 14 halaman lagi mengenai tema yang sama, dicetak di Menadosche Drukkerij (Percetakan Menado). Kalau menengok gayanya dan ragam bahasa Melayunya, maka penerjemahnya kemungkinan besar orang Indo, sedangkan pemilihan teksnya agaknya lebih khas seorang penerbit Melayu-Tionghoa. Lucretia Borgia (1480-1519), puteri haram Paus Alexander VI, menimbulkan banyak kehebohan selama hidupnya. Dinikahkan sewaktu masih kanak-kanak, ia pernah mempunyai beberapa suami dan kekasih yang meninggal dalam keadaan yang mencurigakan – sehingga dia sendirilah tersangka utama. Penerjemah atau penerbit yang berorientasi Belanda tak mungkin ada yang akan mengambilnya sebagai teladan – atau mungkin sebagai pencegah. Pembaca Melayu boleh jadi menganggap kisah kehidupan Lucretia itu sungguhsungguh mempesonakan, dan menjijikkan tetapi memikat perhatian.21 Selama kedua dasawarsa terakhir abad ke-19 orang Tionghoa dan Melayu-Tionghoa makin lama makin banyak memasuki wilayah pers dan sastra. Beberapa orang Tionghoa membuka bisnis sendiri dengan mengambil alih perusahaan cetak atau majalah dari orang Eropa yang sudah pailit karena telah jatuh korban krisis ekonomi tahun 1884 (Adam 1955 : 63-64). Sampai saat itu orang Tionghoa yang secara aktif terlibat dalam bisnis pers atau cetak hanya sedikit.22 Gimberg Bersaudara pun terpaksa menjual majalahnya Bintang Timoer yang tersohor. Majalah itu dilelang pada akhir tahun 1886 dan seorang Tionghoa peranakan, Tjoa Tjoan Lok menjadi pemiliknya yang baru. Ia segera memberinya nama baru : Bintang Soerabaia. Ketika media pers mulai berkembang dan dengan cepat menjadi berarti di kalangan Eropa maupun golongan Tionghoa dan peranakan, ada orang-orang Tionghoa, Eropa dan Indo yang bekerja sama. Penulis dan penerjemah kondang, Lie Kim Hok, baru saja membeli pers dari almarhum D.J. van der Linden, redaktur Bintang Djohar, waktu ia menerima tawaran Meulenhoff di Batavia sebagai mitra kerja (ibid : 64-65). Saat itulah didirikan perusahaan penerbitan Lie Kim Hok & Co, yang dalam tahun-tahun berikutnya bakal mengeluarkan sejumlah besar novel dan hasil terjemahan Melayu. Kerja sama antara dua golongan peranakan, yakni Melayu-Tionghoa dan yang dinamakan Indo, rupanya terjadi juga di bidang terjemahan ; contoh yang paling berhasil rupanya adalah terjemahan karya Dumas Le Comte de 20
Pada tingkat ini, baik orang Melayu-Tionghoa maupun orang Indo mengacu kepada ragamnya masingmasing sebagai Melajoe renda. Mengenai fasal ini lihat juga Salmon (1979 : 68 ; 115-122). 21 Tahun 1930 muncul terjemahan atau saduran lain dari Lucretia Borgia, mungkin sekali berdasarkan teks sumber Belanda yang berbeda. Teks ini pun dengan jelas ditandai sebagai hasil terjemahan, bahkan didahului oleh kata pengantar dari penerjemah yang lebih suka bersembunyi di belakang huruf-huruf inisial N.N.N. Mengingat minat yang sangat nyata dari para penulis Melayu-Tionghoa sekitar tahun 1930-an akan tokoh perempuan yang luar biasa, tragis atau yang keras kepala, maka timbul dugaan bahwa penerjemahnya seorang peranakan. 22 Untuk gambaran ringkas yang komprehensif mengenai sejarah pers berbahasa daerah di Hindia Belanda, lihat Adam (1995). Sejumlah majalah pribumi dilancarkan tetapi tak tahan lama. Majalah-majalah awal berlatar belakang Islam tidak memuat terjemahan sastra (barat), oleh karena sastra dalam arti barat dinyatakan rekaan yang sia-sia dan dusta.
13
Monte Cristo oleh F. Wiggers Jr. dan Lie Kim Hok.23 Generasi pertama penerjemahan pribumi Dengan munculnya majalah-majalah Melayu pertama yang tidak dikelola oleh orang Indo maupun Belanda, keadaan berubah secara menentukan. Para redaktur atau pemilik yang bukan Belanda menentukan patokan-patokan baru sesuai dengan keperluan dan kepentingan mereka sendiri. Sebagai hasil sistem pendidikan yang diperluas, semakin banyak penduduk pribumi pandai membaca dan menulis, maka merekalah yang menjadi kalangan pembaca yang pertama-tama dituju, ditambah lagi mereka juga merasa terdorong untuk menulis dan menerjemahkan, dan mengirim hasilnya untuk diterbitkan, oleh Bintang Soerabaia misalnya. Ada yang menyerahkan teks yang sudah pernah diterbitkan di tempat lain, seperti telah terjadi dalam hal Robinson karya Von de Wall yang sudah dibicarakan di atas.24 Ruang yang disediakan untuk teks sastra lebih banyak dari kapan pun sebelumnya. Surat-surat kabar membuka ruang sastra yang dinamakan feuilleton, dan mencetak, biasanya dalam bentuk cerita bersambung, apa pun yang diduga akan menarik pembaca. Penelitian yang mendalam mengenai sumber kaya berupa feuilleton surat kabar itu masih harus dilakukan, akan tetapi dengan aman dapat dikatakan bahwa teks fiksi pribumi banyak merupakan terjemahan dan saduran dari sumber barat (dan juga Arab dan Tionghoa).25 Kwee Kek Beng (1936 : 104) mencatat, Seksi-seksi sastra dalam majalah-majalah Melayu-Tionghoa kebanyakan mengandung cerita-cerita barat, akan tetapi akhir-akhir ini novel-novel Tionghoa yang diterjemahkan kelihatan muncul kembali.26
Salah satu hasil terjemahan bersambung yang terawal adalah Sherlock Holmes : Kekoeasaan Allah dikarang dalam basa Inggeris oleh A. Conan Doyle. Saduran Melayu ceritera tersohor Holmes A Study in Scarlet ini mengisi sejumlah besar ruang sastra Bintang Hindia pada tahun 1904.27 23
Meskipun nama penerjemah tidak disebut, Wiggers dan Hok umumnya dianggap telah melakukan terjemahan ini yang setebal kira-kira 2000 halaman ; mula-mula terbitnya sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah, sebelum disediakan dalam bentuk buku. 25 nomor terbit dalam jangka waktu lima tahun mulai tahun 1894. Karsseboom telah mencetak ke-11 nomor pertama, waktu Albrecht & Co mengambil alih perusahaan penerbitan itu. Yang belakangan ini melanjutkan cerita bersambung itu dan mencetak ke-14 nomor sisanya. Edisi ini mendorong Loa Moek En Mai untuk mencetak kembali sebuah versi ‘dengan catatan’ pada tahun 1922/1923. 24 Dengan melintasi batas-batas bahasa dan budaya, teks dapat berjalan dari majalah yang satu ke majalah lain dan dari buku ke majalah, suatu gejala yang bertahan sesudah tahun-tahun awal pers Melayu dan masih kelihatan pada tahun-tahun 1920-an dan 1930-an. Inlandsche Persoverzicht (Ikhtisar pers pribumi) (IPO21, 1920) umpamanya menyebut sebuah novel pendek Melayu berjudul Rasia Satoe Roemah Setan, terbitan Boekhandel (Toko Buku) Pek Pang Ing di Gresik, yang menceritakan isi versi Belanda sebuah novel Inggeris yang telah terbit dalam bentuk ceritera bersambung dalam majalah berbahasa Belanda De Locomotief. 25 Mulai tahun 1880-an dan selanjutnya, majalah-majalah Bintang Hindia, Bintang Barat, Hindia Olanda, dan Bintang Betawi juga mempunyai kolom-kolom feuilleton yang dengan teratur memuat terjemahan, di antaranya banyak dari teks barat. 26 «De feuilletons in de Chineesch-Maleische bladen waren zeer dikwijls vertaalde Westersche verhalen, doch [sic] in den laatsten tijd kan men een terugkeer tot vertaalde Chineesche romans waarnemen.» 27 Sebuah cerita Holmes yang lain yang diterjemahkan oleh Tan Tjin Koei dan hanya diberi judul Sherlock Holmes, terbit dalam majalah Melayu-Tionghoa Hoa Pit tahun 1910 [Salmon 1981 : 332].
14
Pada awalnya para penerjemah hampir tidak pernah orang profesional, melainkan pembaca yang bergairah dan ambisius, kebanyakan guru dan pegawai muda – jabatan mereka itulah barangkali sebabnya mereka sering kali tidak menandatangani sumbangan mereka. Kalaupun ditandatangani, biasanya yang dipakai hanyalah huruf-huruf awal atau nama samaran saja. Meskipun penerjemah Tionghoa dan Melayu-Tionghoa mestinya jelas lebih banyak dari yang lain, dapat diduga bahwa penerjemah dari latar belakang etnis lain juga bersembunyi di belakang nama samaran yang mentereng (seperti rupanya telah terjadi dalam hal Robinson Crusoe). Pasar sastra mulai terbuka bagi tenaga kreatif pribumi. Sangat mengherankan kiranya dalam konteks ini bahwa Raden MasTirto Adhi Soerjo [1880-1918]28, pelopor pers pribumi dan pengarang sejumlah teks prosa Melayu, ataupun salah seorang di antara pengikutnya tidak mengemuka dengan terjemahan sastra barat. Sebenarnya sebagai keturunan sebuah keluarga ningrat Jawa yang berkuasa dan berhubungan erat dengan pejabat-pejabat Belanda, Tirto lebih fasih berbahasa Belanda daripada bahasa Melayu, dan baru setelah dilancarkannya perjuangan politik melawan kesewenang-wenangan kolonial, ia mulai menulis dalam bahasa Melayu. Ia didukung oleh banyak teman dan pengikutnya, akan tetapi di antara mereka pun tidak ada yang menggeluti penerjemahan fiksi (barat). Tidak semua pengikut Tirto menguasai bahasa Belanda atau bahasa barat yang lain – bahkan ada yang pendidikan sekolahnya tidak memadai.29 Boleh jadi itulah yang menyebabkan kurangnya minat mereka akan penerjemahan. Namun ada penjelasan yang lebih layak, yakni kelompok itu begitu kuat memusatkan perhatian pada tujuan-tujuan politiknya dan keterlibatan sosialnya, termasuk memberi nasihat hukum dan mendukung tindakan-tindakan media, sehingga penerjemahan dan penyaduran – apalagi dari sumbersumber sastra barat – merupakan kemewahan yang dapat dikorbankan. Apakah alasannya terjemahan sastra pada umumnya tidak memperoleh tempat dalam perjuangan politik awal kelompok ini tetap hanya bisa ditebak-tebak. Berbeda dengan beberapa pengarang dan penerjemah Melayu-Tionghoa yang, melalui banyak saduran, mengemukakan konsep khayalan dari utopia sosial dan politik, para pengarang pribumi ini tidak mengaku kekuatan politik dari fiksi terjemahan atau saduran. Mungkin teks-teks barat dan penerjemahannya diabaikan karena kebaratannya semata, atau juga mungkin karena fiksi pada umumnya masih diduga kurang manjur untuk tujuan politik.30 Bahkan mungkin pula penghasilan novel masih dianggap bidang penerbit peranakan dan Tionghoa. Pada akhir abad ke-19, pihak Melayu-Tionghoa telah mantap sekali kedudukannya dalam dunia tulis-menulis dan cetak-mencetak.31 Itu pulalah saatnya terjemahan teks barat ke dalam bahasa Melayu-Tionghoa yang pertama berbentuk buku tampil di samping terjemahan dari bahasa 28
Untuk sebuah dokumentasi yang baik sekali mengenai kehidupan dan hasil karya Tirto Adhi Suryo, lihat Pramoedya (1985). 29 Mas Marco, murid Tirto, seorang politikus dan pengarang, adalah nama yang paling menonjol dalam konteks ini. 30 Di kemudian hari pengikut-pengikut muda Tirto memang menghasilkan fiksi. Semaun dan Mas Marco menulis novel dan cerita pendek, akan tetapi tidak ada – setahu orang – yang merupakan terjemahan atau saduran. 31 Dua puluh tahun lebih setelah terbitnya, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia oleh Salmon (1981), berisi daftar kepustakaan yang dilengkapi berbagai keterangan, tetap merupakan kumpulan data yang paling lengkap mengenai sastra dan hasil terjemahan Melayu-Tionghoa. Berkat karya yang mengesankan inilah sastra Melayu-Tionghoa tidak sama sekali terlupakan, dan orang menyadari adanya babak ini dalam hasil budaya Melayu serta peran penting yang dipegangnya pada awal ‘sastra Indonesia modern’.
15
Tionghoa.32 Beberapa dasawarsa kemudian Tzu You (1939 : 21) menyatakan bahwa, Dibandingken dengen salinan dari literatuur Tionghoa salinan Melajoe dari literatuur Barat bahasa dan stijlnja ada lebih baek. Satoe hal jang bisa dimengarti, sebab penjalin-penjalin jang blakangan ada terdiri dari orang-orang jang telah dapet peladjaran Barat.
Namun agaknya pada peralihan abad selain bahasa Melayu dan Belanda, orang MelayuTionghoa yang terdidik sudah menguasai bahasa Inggeris pula.33 Tetapi terjemahan masih juga paling banyak bersumber pada teks-teks berbahasa Belanda, mungkin sekali oleh karena teks-teks itulah yang paling banyak dan paling mudah diperoleh. Perlu dicatat bahwa yang paling menarik perhatian para penerjemah dan penerbit peranakan – seringkali sama orangnya – adalah terjemahan Belanda dari sastra populer Perancis. Salah satu terjemahan peranakan yang paling awal adalah Hikajat Fileas Fogg atawa mengoelilingi boemi dalem 80 hari lamanja (Le tour du monde en quatre-vingt jours karya Jules Verne), yang diterbitkan di Semarang pada tahun 1890. Seperti kebanyakan penerjemah awal, yang ini juga hanya memakai huruf-huruf awalnya : L.TH.M. (Salmon 1981 : 31). Begitu pula M.C. yang menerjemahkan karya Verne Michel Strogoff pada tahun 1896 ; dan tahun 1898 E.T. (laki-laki atau perempuan?) memberi terjemahannya dari suatu karya barat yang sampai sekarang belum dikenali, dengan berjudul Orsino kepala penjamoen atawa Nona moeda di tepi Arno. Yang khususnya menarik bagi penerjemah dan pembaca ialah fiksi kejahatan. Suatu contoh awal adalah Tjerita dari satoe politie-agent jang bidjaksana di negeri Amerika atawa Doewa Orang jang sama roepanja. P.T. Ht. dari Sukabumi memberikan teksnya pada tahun 1904 lengkap dengan kata pengantar “Kepada Pembatja!”. Ia mulai dengan menyatakan bahwa ia bukan orang terdidik, meskipun begitu berusaha menulis sesuatu dalam bahasa Melayu dengan memakai tulisan Latin (‘hoeroef Holanda’), dengan harapan bukunya akan mengandung pelajaran bersama hiburan. Ia melanjutkan, Saorang jang tiada mempoenjain peladjaran, sabagimana kami telah seboetken di atas ini bagi dirikoe, soenggoelah amat brat adanja aken mengarang dan salin satoe tjarita bahasa Holanda ka-dalem bahasa Malajoe dengen sampoerna […] Dengen pendek kami mengakoe poelah : Dirikoe ini blon mempoenjain peladjaran jang tjoekoep. [P.T. Ht. 1904 : II ; huruf tebal dalam naskah aslinya].
Sesudah menghabiskan satu halaman lebih dengan permintaan maaf dan pernyataan terima 32
Belum diketahui dengan pasti buku manakah hasil terjemahan Melayu-Tionghoa yang pertama dari novel barat, akan tetapi agaknya terdapat di antara judul-judul yang dibicarakan di bawah ini. Terjemahan novel barat ke dalam bahasa Melayu yang terawal yang diketahui adalah Robinson Crusoe dan Lawa-lawa merah yang sudah dibicarakan di atas. Kedua-duanya keluar pada tahun 1875. Terbitnya tujuh tahun lebih dahulu dari terjemahan novel Tionghoa yang pertama dalam bahasa Melayu-Tionghoa (Salmon 1994 : 21 ; 126). 33 Pada tahun 1892 guru-guru Singapura yang berbahasa Inggeris mengajarkan segala macam pelajaran di sekolah Tionghoa-Inggeris di Batavia, termasuk karang-mengarang dan tata bahasa Inggeris (Adam 1995 : 63). Data biografi yang diberikan Salmon (1981) menunjukkan bahwa pengarang Melayu-Tionghoa cukup banyak yang telah menerima pendidikan (Inggeris) di luar negeri. Sekolah-sekolah yang didanai bangsa Tionghoa dan kemudian sekolah-sekolah Belanda Tionghoa tersedia bagi orang Tionghoa peranakan yang tidak mampu atau tidak mau mengirim anak-anak mereka ke luar negeri. Sudah tentu sekolah-sekolah Belanda menekankan pemakaian bahasa Belanda.
16
kasih, penerbit dan pemilik Soekaboemische-Snelpers-drukkerij, P.T. Ht., memberi peringatan jangan sampai pembaca keliru menganggap kisah ini sama dengan kisah lain berjudul sama yang sudah pernah terbit dalam surat kabar Bintang Betawi. Selanjutnya ia menjamin bahwa, tjarita jang kami karang ini blon pernah satoe kali ada laen orang jang karang dalem bahasa Melajoe, atawa di moewat dalem soerat-soerat kabar bahasa Malajoe atawa Holanda. (ibid. ; huruf tebal dalam naskah aslinya).
Pernyataan P.T. Ht. yang tegas ini menggarisbawahi semakin eratnya hubungan antara pencipta teks dan hasil karyanya, serta juga menampakkan persaingan semakin besar yang ditentukan suatu pasar yang tidak lagi menyukai teks-teks yang dipakai ulang, sesudah orang mulai terbiasa dengan produksi-produksi dari ‘tangan pertama’. Fiksi kejahatan macam apa pun tetap paling digemari para langganan. Maka tidaklah mengherankan bahwa Lie Kim Hok tampil dengan sebuah seri terjemahan yang menonjolkan tokoh penjahat yang mulia, Rocambole.34 Kelima bagian itu terbit antara tahun 1910 dan 1915 dan hanya bagian yang paling pendek (317 halaman) tidak dipenggal-penggal. Keempat bagian lainnya, masingmasing sampai hampir 600, bahkan hampir 1000 halaman tebalnya, dicetak berepisode, antara tujuh sampai dua belas setiap bagian (Salmon 1981 : 231). Seri Rocambole ini merupakan usaha awal untuk meninggalkan feuilleton surat kabar dan memasukkan cerita bersambung itu ke medium buku secara besar-besaran. Pada tahun 1914 terbit seri buku lain yang serupa ; lagi-lagi anggota dari keluarga fiksi kejahatan, keluarga yang besar dan populer, akan tetapi yang baru ini tidak setebal yang sebelumnya. Riwajat Sherlock Holmes terjemahan Phoa Tjoen Hoay, terdiri dari sekurangkurangnya tujuh jilid, mengandung terjemahan cerita-cerita detektif Conan Doyle yang termasyhur.35 Semua terjemahannya dekat pada teks sumber, kecuali beberapa keterangan pendek yang tersebar di sana sini dalam teks, dan yang sering ditulis antara kurung. Yang dijelaskan ialah hal-hal mengenai ‘kebudayaan Eropa’, atau nama-nama dan tempat-tempat yang tidak dikenal pembaca Melayu. Penerjemahnya memperlihatkan pengetahuan yang luar biasa mengenai konteks Inggerisnya ; terjemahan dan tafsirannya sangat jarang salah. Namun dalam The Red-Headed League ia rupanya terkecoh oleh terjemahan Belanda. Oleh karena ia tidak tahu bahwa ‘The Strand’ adalah salah suatu jalan yang paling terkenal di London, ia menerjemahkannya dengan ‘pantai’, karena nama jalan itu dikiranya sama dengan kata Belanda strand yang memang ‘pantai’ artinya.36 34
Seperti Captain Flamberge (1908) yang juga diterjemahkan oleh Lie Kim Hok, Rocambole pun berasal dari Perancis – seperti kebanyakan terjemahan dari sumber barat. Untuk pemerian terperinci mengenai historiografi Rocambole di dunia Melayu, lihat Roff (1974). 35 Phoa Tjoen Hoay (sama dengan T.H. Phoa Jr.?), Batavia : Tjiong Koen Bie & Co 1914. Beberapa bagian sampai 80 halaman tebalnya, yang lain rupanya hanya 12 atau 15 halaman. Jilid-jilid berikut ini diketahui masih tersimpan : 1. Sherlock Holmes tjari penganten hilang [= The Noble Bachelor] ; 2. Sherlock Holmes boeka rasia tjoetjoe prampoewan jang djahat [= The Beryl Coronet] ; 3. Sherlock Holmes membela kaädilan [= The Boscombe Valley Mystery] ; 4. Sherlock Holmes dengan pakoempoelan ‘Ramboet Mera’ [= The RedHeaded League] ; 5. Istri jang nakal [?] ; 6. Lelaki jang doerhaka [?] ; 7. Sherlock Holmes ketemoe dengan Watson [?]. 36 “I only wished to ask you how you would go from here to the Strand” [Aku hanya ingin bertanya bagaimana perginya dari sini ke Strand] diterjemahkan dengan “Akoe tjoemah maoe menanja di mana djalanan jang paling dekat aken pergi ka pinggir laoetan” (1914 : 22).
17
Seri-seri buku lain hasil terjemahan fiksi kejahatan barat segera menyusul, antara lain Lord Lister dan Fantomas38 yang meraih sukses yang istimewa. Beberapa novel kejahatan barat yang kurang terkenal, yang diterjemahkan oleh penerjemah-penerjemah pribumi yang kurang dikenal pula, bergabung pada himpunan terjemahan ini, seperti umpamanya Pendjahat dan Penoeloeng (1921). Kisah kejahatan tersebut “diceritakan kembali” oleh seorang bernama Fermantsah – sebuah nama yang segera hilang terlupakan – dengan banyak sekali menggali suatu sumber Inggeris. Awal tahun 1920-an terbitan Melayu-Tionghoa dalam bentuk apa pun telah sering terlihat di pasar sastra, di antaranya sejumlah besar terjemahan dan saduran dari karya-karya sastra barat populer.39 ‘Hati Wadja’ atawa pemboeroe jang gaga brani (kira-kira 1920) dan Radja inten : tjerita jang kadjadian di Londen (1923) baru dua contoh. Sementara yang kedua memberi keterangan yang samar bahwa buku itu “tersalin dari boekoe Europa”, buku pertama mengaku “disalin dari boekoe bahasa Olanda”.40 Bagaimana pun juga, dengan aman dapat ditarik kesimpulan bahwa semua terjemahan Melayu-Tionghoa ini memelopori sebuah jenis sastra populer baru di Indonesia. 37
Terjemahan Tionghoa dan Melayu-Tionghoa generasi kedua Menurut Salmon (1981 : 34) hasil terjemahan karya-karya barat selama periode 1911 sampai 1923 “dapat dikatakan dilakukan oleh kurang lebih 30 penerjemah, dua di antaranya perempuan”.41 Jumlah ini bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah majalah Melayu-Tionghoa. Mingguan Melayu-Tionghoa Liberty umpamanya secara teratur memuat cerita pendek dalam dasawarsa 1930an. Cerita itu banyak yang merupakan terjemahan, oleh orang-orang seperti Madonna dan Dewi Christina Ong (hanya yang belakangan ini yang betul-betul perempuan). Mereka rupanya mempergunakan teks-teks Inggeris sebagai sumber, termasuk majalah Inggeris. Dalam hal gambargambar yang menyertai beberapa terjemahan itu, redaktur Liberty jelas sama sekali tidak 37
Lord Lister alias Raffles, Batavia : Kwee Seng Kie, o.J. (kira-kira 1918). Sekurang-kurangnya kedua episode berikut ini masih tersimpan bukunya : Lord Lister ampir kena di tangkep lantaran ia poenja hati terlaloe temaha. (Meskipoen ia dengen menjaroe sebagi radja minjak Albert Kettle soeda broentoeng mendapet trima doewa millioen pond sterling ia poenja hati blon merasa poewas) dan Menipoe dengen goenaken pengaroenja dari kaeilokannja satoe Nona Komedie (Kedjadian jang heran jang satoe Grootvorst Bangsa Rus telah mengalamin). Dalam buku kedua ini diiklankan judul lain lagi, yakni Resianja Roemah Setan, dan episodeepisode lain lagi dijanjikan terbit setiap tiga bulan. Si penerjemah tidak disebut namanya. Seri Lord Lister, yang ‘asalnya’ diciptakan tahun 1914 oleh wartawan Belanda Felix Hageman, telah mencapai sukses besar di Belanda sebelum datang ke tanah jajahannya. Dalam periode selama enam belas tahun Hageman menghasilkan kira-kira 800 episode. Nama kedua untuk tokoh utama, Raffles, “dipinjam” dari F.W. Hornung, seorang ipar Conan Doyle. 38 Terjemahan ini mengherankan karena menurut ukuran Melayu rujukannya pada teks sumbernya sangat lengkap. Fantomas. Satoe pendjahat besar di kota Parijs, satroenja detectief Juve jang termashoer. Ditjeritaken oleh Pierre Souvestre dan Marcel Allain, disalin oleh Tan Kim Sen. Batavia : Probitas Ag. 1921. 39 Pada tingkat ini hanya sedikit saja judul terjemahan atau saduran yang tidak termasuk kategori sastra populer, umpamanya saduran Oliver Twist oleh Tio Ie Soei (1912). 40 Kita sudah melihat bahwa pada umumnya sulitlah ditentukan apakah suatu teks sumber tertulis dalam bahasa Belanda, Inggeris atau Perancis. Namun dalam hal Rocambole dan Fantomas mungkin sekali, dan dalam hal Lord Lister sudah pasti, penerjemahnya memakai teks sumber Belanda. 41 Kegiatan pengarang dan penerjemah perempuan di Hindia Belanda sayangnya hampir tak terdokumentasi, apalagi menjadi sasaran penelitian.
18
berkeberatan terhadap gambar-gambar picisan gaya barat. Begitu pula para redaktur dari majalah yang disebut roman majalah yang muncul pada pertengahan dasawarsa 1920-an. Majalah-majalah tersebut merupakan kelanjutan dari seri-seri buku Rocambole dan Sherlock Holmes yang telah dibicarakan di atas. Sesudah terjemahan Melayu yang sangat panjang atau yang dijadikan cerita bersambung dari novel-novel ‘klasik’ barat atau Tionghoa, format ini, yang lebih diarahkan kepada pembaca, menyediakan novel-novel yang (diper)pendek sepanjang kira-kira 80 halaman ditambah tajuk rencana, kadang-kadang foto satu dua, atau kisah tambahan, semuanya digabungkan dalam majalah abonemen bulanan. Dua roman majalah itu, Senang dan Tjerita Pilian, dengan tekun menerbitkan terjemahan atau, karena keterbatasan akibat formatnya, lebih mungkin saduran, kebanyakan dari novel-novel barat. Tjerita Pilian keluar pada tahun 1924 dan 1925 di Bandung dan mengandung novel-novel detektif. Redakturnya, Tio Ie Soei, menggambarkan bentuk dan tujuan majalahnya sebagai berikut, Dalem ini ‘Tjerita Pilian’, jang terbit saboelan paling sedikit satoe kali, nanti dimoeat tjerita-tjerita jang terpili, disalin dari karangannja pengarang-pengarang Europa, Amerika atawa Tionghoa jang termashoer atawa karangan-asal, sebisanja jang mengenaken dari halnja politie-resia, penoe dengen akal-akal aloes, kegagahan, kebranian, kedjahatan, kedjoedjoeran enz. Maksoed kita orang terbitken ini ‘Tjerita Pilian’ aken adaken lebi banjak boekoe-batja’an jang menarik hati dan moera. (Tjerita Pilian no.1, 1924 : 1 ; katakata tebal dari teks aslinya)
Buku pertama dalam seri ini 42, Advocaat-Detectief : Tjerita Politie Resia di Frankrijk (April dan Mei 1924), mungkin sekali diterjemahkan oleh redakturnya sendiri. Buku itu “ditjitak tjoema 5000 boekoe”, sebagaimana disebut sang redaktur dalam kata pengantarnya. Tidak banyak yang diketahui mengenai angka-angka peredaran yang tepat dari terbitan bukan pemerintah zaman itu. Para penerbit buku-buku yang luar biasa besar suksesnya seperti Count of Monte Cristo (tahun 1922) yang tersebut di atas – sekurang-kurangnya terjual 10.000 buah – kadang-kadang menyebut angka penjualan dalam iklan atau dalam buku itu sendiri. Namun 5000 sudah merupakan angka yang sangat baik, yang jarang dilampaui oleh terbitan perusahaan penerbitan kolonial Balai Poestaka sekalipun. 42
Selain Advocaat-Detectief, cerita-cerita berikut terbit dalam majalah ini : 2. Tjap Resia. Penoetoerannja Frank Burgoyne, satoe journalist Inggris, penerjemah Lim Tjhioe Kwie, (Mei 1924) ; 3. Ingenieur Lettman (tjerita politie resia di Zweden) (Juni 1924) ; 4. Kawa-Kawa Item (Parijs dan Londen). Penoetoerannja Dr. E. van Buuren, satoe tabib Olanda, penerjemah Kwee Kang Tik (Juli 1924) ; 5. Souw Lian Eng. Tjerita PolitieResia di Tiongkok, penerjemah Ch. P. Chen (Ag. 1924) ; 6. Sherlock Holmes. Tjatetan-Peringetan dari sobatnja, jaitoe H. John Watson […], penerjemah Tio Ie Soei (Sept. 1924) ; 7. Brilliant jang tertjoeri. Tjerita politie-resia di Nederland, penerjemah Lauw Giok Lan (Okt. 1924) ; 8. Graaf zu Bolck Wattke. Tjerita Politie Resia di Duitschland. Menoeroet penoetoerannja Dr Ph. C.J. Brensa, penerjemah Tio Ie Soei (Nov. 1924) ; 910. ‘Lie Eng Hwee’ dan Resia Kartoe. Nasibnja satoe anak kembar, penerjemah Njonja The Tiang Ek (Des. 1924 – Jan. 1925). Kecuali yang terakhir ini, semuanya hasil terjemahan novel-novel Eropa. The Tiang Ek seorang pengarang perempuan yang terkenal yang juga menerbitkan tulisan-tulisannya sendiri dengan nama samaran Mrs Leader. Jilid 8 mulai dengan terjemahan Melayu dari kata pengantar si penerjemah versi Belanda. Jilid 9 pernah diiklankan sebelumnya akan terbit bulan Februari 1925 dengan judul Resia Kartoe ; Pertjinta’an jang terganggoe. Tjerita Politie Resia di Zweden, diterjemahkan oleh Thio Boen Hoei, akan tetapi rupanya tidak terbit. Menurut Salmon (1981 : 202) judul yang tampil dalam terbitan Februari-Maret adalah Resia djoedi, terjemahan Kwee Kang Tik.
19
Rupa-rupanya novel Advocaat-Detectief itu sangat laku, sebab “soeda didjoeal abis dalem sedikit tempo sadja”. Harus cetak 2500 eksemplar lagi, suatu keberhasilan yang mengesankan melihat persentase orang pribumi yang melek huruf masih rendah dan harganya f 0,50 belum termasuk ongkos kirim – jumlah uang yang banyak orang sama sekali tidak mampu belanjakan untuk bacaan jenis apa pun. Namun demikian kita tahu dari surat-surat kepada redaktur (Tjerita Pilian, 1924, no.2) bahwa cukup banyak orang menganggap harga itu layak sekali. Surat-surat itu juga membuktikan sambutan bergairah yang ditimbulkan oleh novel pertama seri itu. Yang menyolok ialah bahwa tidak jadi soal ceriteranya berasal dari sumber barat.43 Malah sebaliknya, keterangan mengenai pekerjaan polisi asing, di sini polisi Perancis, mengesankan para pembaca. Bahasa dan gaya ceritera dipuji, begitu pula kejelasan struktur dan susunannya. Tak sekata pun diucapkan mengenai ‘keasingan’ cerita itu, pun tidak diajukan permintaan agar menciptakan ceritera yang ‘asli’ dan ‘otentik’ alih-alih meniru kebudayaan barat. Tidak pula sifat populer teks itu dikritik, mungkin karena belum ditetapkan hierarki sastra sejenis hierarki yang dalam sastra barat membentuk lapisan-lapisan dan memandang bagian-bagian besar sastra sebagai lebih rendah dibandingkan segmen kecil ‘sastra tinggi’ yang ditentukan oleh sebuah lembaga sastra yang elitis. Namun Shakespeare, Tolstoi dan Goethe tersedia juga dalam terjemahan Melayu.44 Tzu You bahkan menyatakan bahwa dalam hal Shakespeare jumlah terjemahan terlalu banyak untuk didaftarkan. Sebagai contoh disebutnya “Comedy of Errors, Romeo and Juliet, Hamlet, The Merchant of Venice, Taiming of the Shrew, The Tempest” (1939 : 23). Akan tetapi, tambahnya, semua drama Shakespeare kecuali satu tidak lagi berbentuk sandiwara dan telah berubah menjadi “tjerita biasa”. Versi-versi prosa Melayu seperti itu pada umumnya berdasarkan karya Charles Lamb Tales from Shakespeare. Drama Romeo dan Juliet terkecuali dan tetap berbentuk asalnya sebagai drama, meskipun drama yang tercetak itu barangkali tidak dimaksudkan sebagai naskah untuk dipentaskan pada pergelaran sebenarnya. Buku itu lebih diharapkan dapat laku sebagai buku fiksi. Dengan tujuan itu si ‘penerjemah’ Pouw Kioe An memperpendek dan menyesuaikan drama itu secara radikal. Versi yang dipangkas itu keluar dalam majalah perkumpulan teater Liang You (ibid. : 23). Contoh-contoh lain dari pengarang sastra ‘tinggi’ barat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Thomas Hardy, Maxim Gorky, Anton Tchechov, Nicolai Gogol, dan François Voltaire. Menyangkut terjemahan prosa dan drama, suatu artikel di Sin Po (1939, II : 24) menambahkan karya-karya Tolstoi, Maupassant dan Wilde pada daftar ini. Selanjutnya masih disebut sebuah terjemahan Melayu (Tionghoa) dari Mayerling oleh Claude Anet, A Tale of Two Cities oleh Charles Dickens, dan All Quiet on the Western Front oleh E. M. Remarque, juga terjemahan Pouw Kioe dari Les Miserables karya Victor Hugo. The Good Earth karya pemenang hadiah Nobel Pearl S. Buck diterjemahkan dua kali, sekali oleh T.L. Liem berdasarkan karya ‘asli’nya, dan kedua kalinya 43
Minat pada ‘Barat’ dan penguasaan bahasa-bahasa barat tak pelak lagi bertambah besar, namun sama besarnya skeptisisme dan rasa khawatir. Namun dalam sebuah iklan untuk Tijdschriften Import ‘Universe’ (Liberty, Des. 1931, no. 57) ditawarkan abonemen sederetan majalah mingguan dan bulanan berbahasa Belanda, Inggeris, Perancis dan Jerman yang menakjubkan, dengan harga 2 dan 4 gulden per bulan per majalah. 44 Mengherankan bahwa terjemahan-terjemahan Melayu zaman ini yang bukan pemerintah dari Shakespeare atau Goethe jarang ditemukan di rak-rak buku perpustakaan. Anehnya gejala ini : yang masih tersimpan dan tersedia sampai sekarang ialah justru terjemahan-terjemahan sastra populer.
20
oleh Pouw Kioe An yang konon telah mempergunakan terjemahan Belandanya (ibid.). Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi Sin Po, menerjemahkan beberapa cerpen Voltaire untuk majalah MelayuTionghoa itu. Menurut Kwee Kek Beng (1936 : 105-106), sekali-sekali majalah-majalah MelayuTionghoa juga berusaha menerjemahkan puisi Belanda, Inggeris dan Perancis. Artikel di Sin Po yang tersebut tadi (mungkin juga ditulis oleh Kwee Kek Beng) memperkuat pandangan ini (1939 II : 21) dan menyoroti penyair-penyair berbahasa Inggeris seperti Dryden, Pope, Gray, Wordsworth, Scott, Byron, Thackeray dan Keats. Namun penulis artikel itu mengaku bahwa sering kali hanyalah penggalan-penggalan karya mereka yang dipilih untuk diterjemahkan. Majalah sastra MelayuTionghoa Moestika Romans juga mempunyai ruang tetap mengenai puisi Inggeris dan Amerika. Sesudah kata pengantar pendek tentang penyair dan karyanya, disuguhkan teks-teks pilihan baik dalam bahasa Inggeris maupun Melayu. Tahun 1939 dan 1940 majalah itu menampung pengarangpengarang seperti Eliza Cooks, Robert Burns, Henry Wadsworth Longfellow, Rudyard Kipling, dan Lord Byron. Moestika Romans menyimpang dari format khas roman madjalah karena menerbitkan artikel-artikel baik mengenai sejarah dan teori sastra maupun politik sezaman. Beberapa artikel seperti juga sejumlah cerpen diterjemahkan dari majalah-majalah berbahasa Inggeris, di antaranya Prediction. Ikon-ikon sastra barat dirasakan sebagai simbol-simbol suatu ‘budaya dunia’ dalam anganangan, dan orang Melayu dan Tionghoa peranakan yang terdidik ingin memberikan sumbangan kepadanya. Karya-karya klasik barat khususnya dinyatakan sebagai teladan sastra untuk memandu pengarang pribumi muda yang belum berpengalaman. Berkali-kali dikutip dalam majalah dan tajuk rencana ; banyak bab buku (terutama dalam novel Melayu-Tionghoa) dimulai dengan kutipan dari karya-karya tersohor seperti itu. Tetapi siapakah dapat menentukan apakah kiranya sebuah karya klasik barat yang canggih? Judul-judul mana patut dianggap termasuk Sastra Dunia? Setelah diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan setelah menjelajahi dunia sebelum sampai ke Hindia Belanda, banyak bukunya dapat saja menuntut hormat yang boleh diperdebatkan itu. Maka Conan Doyle, Dumas (baik yang tua maupun yang muda), Twain, Wallace (Edgar), Ivans, Malot dan Leblanc menonjol dalam daftar itu. Salmon mencatat bahwa dalam majalah Senang, umpamanya, Cerita-cerita detektif Conan Doyle diiringi pilihan yang sangat beragam dari karya-karya seperti Il Decameron oleh Boccaccio, Romeo and Juliet oleh Shakespeare, L’Homme qui rit oleh Victor Hugo, Mon Oncle Jules dan La Parure oleh Guy de Maupassant, The Kreutzer Sonata oleh Tolstoy, The Sorrows of Satan oleh Marie Corelli, Poste Restante oleh Ernest Daudet, The Good Earth oleh Pearl Buck, dlsb., maupun novel-novel Alexandre Dumas dan Edgar Rice Burroughs […] (1981 :74).
Meskipun tidak mungkin membuat daftar lengkap dari semua terjemahan dan saduran karyakarya barat, apalagi menelitinya, namun kalau hasil sastra zaman itu diperhatikan, ternyata ikon-ikon barat seperti Goethe dan Shakespeare memang disanjung, sangat dikagumi, dan sering dikutip. Dalam pada itu, yang benar-benar mengilhami pengarang dan penerjemah pribumi ialah karya-karya klasik dari sastra populer, khususnya pengarang ulung di bidang petualangan dan peristiwa penuh ketegangan. Resia atau rasia, itulah kata kunci yang gaib – yang sering tampil di sampul buku. Buku seri Rasianja Dr. Fu-Manchu (1925) hanya salah satu contoh dari sekian banyak yang lain. Seri yang lima jilid ini, masing-masing setebal 80 halaman, dikeluarkan di Surabaya oleh Ang Sioe Tjing. Patut diamati bahwa sampul buku itu memperlihatkan gambar yang dipakai dalam edisi Inggeris The Mystery of Dr. Fu-Manchu oleh Sax Rohmer (yaitu Arthur Sarsfield Ward). Terbitan pertamanya
21
tahun 1913 di London, dan berkali-kali dicetak ulang selama tahun 1920-an dan 1930-an. Terjemahan Belanda buku itu ada berbagai edisinya juga, tetapi tak satu pun kiranya mengambil gambar sampul Inggerisnya. Hal ini mendukung dugaan bahwa penerjemahnya, Tan Tjin Kang, menggunakan teks Inggeris.45 Akan tetapi bahasanya hampir tidak mengandung kata-kata berpengaruh Inggeris, melainkan penuh dengan ungkapan-ungkapan Belanda yang seperti biasa ditemukan dalam kebanyakan terjemahan fiksi populer sezaman, seperti antara lain telefoon, sigaret, politie, inspecteur, minuut (menit), officieel, verlof (perlop), conducteur, fantasie, zenuw (saraf), dan pistool. Kata-kata Belanda yang jauh lebih langka dalam bahasa Melayu zaman itu juga muncul dalam teks ini, umpamanya noodrem (rem darurat), zigeuner (jipsi), spons (sepon), letterslot (kunci huruf), etiket, atau chloorgas (gas klor). Penerjemahnya tak ayal lagi fasih berbahasa Belanda.46 Di sini pun ungkapan-ungkapan Belanda yang begitu saja diselingkan dalam teks Melayu-Tionghoa itu menimbulkan kesan bahwa teks sumbernya Belanda. Namun sebuah kutipan pendek dalam jilid pertama (hlm. 43) seri ini menimbulkan keraguan. Inti adegan itu ialah suatu salah paham yang tidak dapat dimengerti dalam bahasa Melayu (sebetulnya tidak pula dalam bahasa Belanda) karena khas bahasa Inggeris ; alih-alih “the red hand” seseorang mengucapkan “the red ant”. Ungkapan itu diberikan dalam terjemahan Melayunya bersama ungkapan Inggerisnya antara kurung. Selama teks sumber tidak dikenali, tak mungkin dikatakan apakah dalam hal ini si penerjemah mengikuti versi Belanda. Mungkin pula sebuah sumber Belanda-lah yang membiarkan kedua kata Inggeris lift (jil.3 : 197-9) dan bulldog (jil.4 : 258) seadanya dalam teks tanpa terjemahan Melayu, dengan dicetak miring. Apakah seorang penerjemah Belanda menganggap kedua kata itu terlalu khas Inggeris untuk diterjemahkan? Kiranya tidak karena kata lift sama dalam bahasa Belanda. Apakah penerjemah Melayu mengganggap kata itu mustahil diterjemahkan hingga ia tidak mau repot-repot melihat dalam kamus? Bagaimana pun juga, baik sarana lift maupun anjing bulldog tidak biasa terjumpa di Hindia Belanda waktu itu. Meskipun seluruh pembicaraan ini berputar sekitar bukti yang agak kebetulan dan tipis, toh membantu juga menggambarkan kesulitan umum untuk mengenali bahasa sumber serta teks sumber yang sebenarnya. Akan tetapi masalah bahasa itu tidak boleh mengalihkan perhatian kita dari pertanyaan utama, yaitu mengapa penerjemah dan penerbit memilih Fu-Manchu. Dengan tokoh Tionghoa yang berusaha menguasai dunia barat ini, Rohmer telah menciptakan suatu penjelmaan yang menantang dari “bahaya kuning”. Ganteng, kuat, kaya raya, sangat cerdas, terdidik dalam semua ilmu, namun seperti setan dan ahli dalam menyamar, Fu-Manchu mirip sebuah gambar eksotik ketimuran dari lawan Holmes, Profesor Moriarty. Dalam konteks kolonial dan dilihat dari sudut pandangan si terjajah, ciptaan ini dapat saja tampil sebagai pahlawan dekolonisasi, atau paling tidak sebagai tokoh yang mengabulkan khayalan penuh dendam.47 Pada umumnya, versi-versi Melayu dari sastra populer Perancis tetap terbukti yang paling laku di Hindia Belanda tahun-tahun 1920-an dan 1930-an. Tzu You (1939 : 21) mengemukakan suatu penjelasan yang masuk akal : 45
Menurut Salmon (1981 : 332) Tan Tjin Kang menerjemahkan, juga pada tahun 1925, The Sheik karya E.M. Hull. Dalam hal ini, judul Belanda yang dipinjam, De Sheik, menunjukkan bahwa teks sumber agaknya berbahasa Belanda, mungkin sekali oleh L. Neijenhoff-Lam (1924). 46 Tan Tjin Kang mengikuti pendidikan di sekolah Tionghoa-Belanda di Bandung (Salmon 1981 : 331). 47 Terjemahan-terjemahan Indonesia dari beberapa judul Fu Manchu lain merupakan keberhasilan sebagai buku saku, bahkan juga selama dasawarsa 1960-an, umpamanya Fu Manchu, Sardjana Iblis (tanpa tahun [1966]).
22
Bisa djadi ini disebabken oleh itoe hal jang dalem literatuur Fransch ada banjak tjeritatjerita tentang penghidoepan pendjahat, detective, avontuur, fantasie aneh d.l.l. Tjerita mana ada sanget rame dan menarik.
Teks-teks sumber karangan Jules Verne dan Alexandre Dumas Senior menjamin sukses komersial bagi para penerbit Melayu-Tionghoa, sebagaimana telah terjadi bagi para penerbit Belanda pada akhir abad ke-19. Bagaimanapun juga sukses komersial diperlukan untuk dapat bertahan dalam bisnis. Mungkin juga sebuah alasan pragmatis lain untuk memilih teks-teks sumber demikian boleh jadi kemungkinan memperolehnya dalam terjemahan Belanda. Melihat banyaknya terjemahan Belanda dari pengarang Perancis yang beredar di Belanda waktu itu, maka sastra (populer) Perancis dapat dianggap juga populer di kalangan pembaca Belanda di Hindia Belanda. Tidaklah mengherankan bahwa tokoh-tokoh utama Perancis yang paling populer dalam terjemahan Melayu adalah “penjahat-penjahat yang baik hati”, mereka yang tidak tunduk pada hukum, tapi sering ala Robin Hood memberandal dengan cerdas. Namun agen polisi Perancis Lecoque juga termasuk mereka. Ia diperkenalkan dengan kata-kata, “ada satoe antaranja politie resia jang terkenal, seperti djoega Sherlock Holmes” (1935 : 8). Holmes masih tetap merupakan salah seorang tokoh yang paling sering diterjemahkan dan dengan ajek melanjutkan kariernya sebagai salah seorang dari hanya beberapa tokoh populer yang tidak melawan hukum secara terbuka dan sengaja. Terjemahan dan saduran Melayu dari petualangan-petualangannya tetap populer selama puluhan tahun, dan terbit pula selama tahun 1920an dan 1930-an, umpamanya The Hound of the Baskervilles, A Scandal in Bohemia dan The Six Napoleons.48 Mulai pertengahan tahun 1920-an dan seterusnya, seperti disebut di atas, roman madjalah tumbuh seperti jamur di kota-kota besar Hindia Belanda. Ada yang hanya sebentar bertahan, ada yang dapat bersaing dengan baik, dan semuanya memuat terjemahan dan saduran dalam rutin penerbitannya, terutama fiksi populer. Sekitar 1937 Semangat’s Roman umpamanya menerbitkan Asalnja kedjahatan, priboedinja satu kepala bandiet, yang diterjemahkan oleh Injo Bian Hien. Pada bulan Mei 1935 Tjerita Roman49 mengiklankan bakal terbitnya novel Auto Setan jang menggemparkan seloeroe San Francisco oleh Adonis Sr. Ketika buku itu benar-benar keluar bulan berikutnya, di sampul buku disebut H. Moreland, penyelidik T.D.M., sebagai pengarang yang di“koetib” oleh Adonis Sr. Njoo Cheong Seng, salah seorang penulis esai dan novel, serta penerjemah Melayu-Tionghoa yang paling kreatif, produktif dan canggih, tidak terlalu mujur nasibnya dengan majalahnya Feuilleton, yang agaknya tidak bertahan lebih dari tahun pertamanya, tahun 1924 (Salmon 1981 : 107). Dalam bidang sastra Seng menggemari pertalian manusia yang sengsara dan menyedihkan, suatu dasar naratif yang mujur baginya apabila menggambarkan berbagai bentuk cinta dan perkawinan dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda. Perkawinan campuran dan paksa, hubungan asmara, terutama di luar perkawinan, merupakan pokok-pokok pembicaraan yang hangat dalam 48
Andjingnja koelawarga Baskerville terjemahan Nio Joe Lan terbit sebagai cerita bersambung dalam majalah Penghiboer mulai 31 Maret 1924 (Salmon 1981 : 258). Prampoean Tjerdik diterjemahkan oleh S.Y. Lee (Penghidoepan IV [Okt. 1928] : 46, Soerabaia : Tan’s Drukkerij). Anem kepala Napoleon (tjatatan dari Dr. H. John Watson, sobatnja Holmes) terbit juga dalam Penghidoepan (IX [15 Mei 1933] : 101). 49 Perlu dicatat bahwa roman madjalah Melayu-Tionghoa ini seperti juga majalah Liberty dicetak oleh perusahaan percetakan Belanda Hahn & Co di Surabaya.
23
lapisan-lapisan masyarakat pribumi. Akan tetapi kalau ditempatkan dalam konteks barat murni,50 masalah itu jauh kurang menarik dari sebuah cerita kejahatan yang menegangkan. Oleh karena itu saduran Njoo Cheong Seng dari karya Dumas La Dame aux Camélias dan berbagai karangannya atas tema Madame Butterfly dapat diharapkan lebih berhasil dalam kalangan pembaca Melayu, karena semuanya disesuaikan dengan batas-batas dunia kolonial.51 Novel lain bertema hubungan, perkawinan, kesetiaan dan perselingkuhan yang disesuaikan dengan lingkungan pribumi, ialah Setan dan amor : satoe fantazie tentang napsoe dan pertjinta’an sabelon dan sasoedanja pernikahan, berdasar atas Graaf Leo Tolstoi poenja toelisan ‘Kreutzer Sonate’ (Tjerita Roman, Oktober 1935). Chen Wen Zwan, yang juga menerjemahkan Nietzsche dan Anet, menyadur karanganTolstoi Kreutzer Sonate sambil memindahkan ceritanya ke dunia Tionghoa peranakan. Penerjemah yang berpendidikan sekolah Tionghoa Belanda di Sukabumi dan Sekolah Wilhelmina di Batavia ini sangat mengkhawatirkan pengaruh negatif pendidikan barat terhadap gadis dan perempuan Tionghoa (Salmon 1981 : 314). Dari terbitan-terbitannya kelihatan juga bahwa ia rupanya menemukan gejala yang menggelisahkan, yaitu kekuasaan uang yang bertambah besar dalam masyarakat dan pengaruhnya yang merusak pada manusia. Dalam konteks ini, terjemahannya dari salah satu tiruan ceritera Count of Monte Cristo yang sekian banyaknya – yang ini dengan suasana Italia – layak disebut. Ia menerbitkan Anem taon dalem noraka (1935) dalam majalah Penghidoepan dengan namanya yang sebenranya, Tan Boen Soan. Majalah Penghidoepan memang termasuk roman madjalah yang lebih berhasil dan dengan teratur memuat terjemahan dari sastra populer barat.52 Selain terjemahan-terjemahan Holmes yang sudah disebut tadi, judul-judul seperti Zalf Adjaib atawa Siapa itoe pemboenoeh? (1928)53 menandai tekanan yang kuat pada kejahatan dan penemuannya, meskipun percintaan tidak sama sekali disisihkan. Piso Blati Mera dan Tjinta dan Penghidoepan (1927), yakni versi pendek dari sebuah novel populer barat yang sampai sekarang belum dikenali dan yang berlangsung di London, banyak sekali memakai campuran unsur-unsur percintaan dan kejahatan, akan tetapi sekaligus mengandung sebuah komponen ideologis yang menonjol. Teks itu diperkenalkan sebagai sebuah 50
Pendjoesta jang Bener (Feuilleton, November 1924, no.2) oleh Cheong Seng agaknya merupakan terjemahan atau saduran dari sebuah teks Inggeris yang termasuk pola itu. Begitu pula Madame X oleh Cheong Seng pula, yang keluar dalam bentuk cerita bersambung di Liberty pada paroh kedua tahun 1932. Menurut Salmon (1981 : 265) Seng mendasarkan teks Melayu ini pada A Story of motherlove (1930) karya Alexandre Bisson, dan mempertahankan latar belakang Perancisnya. 51 Marguerite de fantassie keluar dalam Penghidoepan (15 Agustus 1925, no.8) dengan nama samaran Seng, Monsieur Amor. Dua terjemahan Melayu-Tionghoa dari novel Dumas terbit lebih dahulu, masing-masing pada tahun 1907 dan1918, yakni Marguerite Gauthier oleh Phoa Tjoen Hoay dan Marguerite Gautier atawa satoe pertjinta’an jang soetji dari satoe prampoean latjoer oleh Tjiong Koen Bie. Pouw Kioe An (1906-81) dikatakan telah membuat saduran dari ceritera itu pula untuk teater (Salmon 1981 : 529). Antara 1933 dan 1941 Njoo Cheong Seng juga menghasilkan empat karangan atas tema Madame Butterfly, dua di antaranya untuk panggung dan semuanya ditempatkan di Hindia Belanda (Jedamski 2002). 52 Edisi Penghidoepan bulan Oktober 1930 bahkan berisi dua terjemahan : Djalanan ka kabinasa’an dan De Schrik van Chicago [Yang membuat kota Chicago ketakutan], yang belakangan ini berlangsung di kota Chicago tahun 1920-an. Teks yang kedua itu berfungsi sebagai tambahan, karena kalau tidak begitu, edisi itu akan terlalu tipis. Ong Khing Han disebut sebagai penerjemah kedua teks tersebut. Oleh redaktur dikatakan dalam sebuah ketrangan bahwa cerita De Schrik van Chicago berdasarkan kejadian nyata. 53 W.S.Wun, Penghidoepan IV (15 Ag. 1928) : 44.
24
tjerita politie contra persekoetoean resia jang mendjalar seloeroe podjok doenia, jaitoe persekoetoean kaoem Nihilisten di Rusland. Katjerdikannja politie dan satoe journalist jang gaga, bikin goetji wasiatnja persekoetoean boesoek brantakan.54
Dengan cara yang pada umumnya tidak sejelas contoh ini, namun masih tampak di dalam teksnya, sejumlah besar terjemahan Melayu-Tionghoa, apalagi saduran, menyampaikan berbagai pernyataan sosial dan politik, yang biasanya rapi terjalin di antara unsur-unsur percintaan dan ketegangan. Terjemahan pribumi dari novel-novel Belanda dan Sastra Indis Melihat bahwa teks sumber Belanda yang ‘asli’ relatif banyak tersedia, maka teks-teks itu sebenarnya lebih banyak dapat diharapkan terdapat di antara terjemahan-terjemahan Melayu, atau lebih tepat di antara terbitan-terbitan yang lepas dari Balai Poestaka. Dari semua terjemahan sastra yang dihasilkan oleh orang Melayu dan Jawa yang bekerja untuk Balai Poestaka, sebuah persentase yang cukup tinggi terdiri atas terjemahan novel-novel Belanda, terutama bacaan untuk anak dan remaja. Dengan munculnya majalah sastra Poedjangga Baroe pada tahun 1933, tampillah sebuah kelompok baru cendekiawan pribumi yang terjemahan-terjemahannya mengandalkan sastra Belanda. Kelompok tersebut diam-diam didukung oleh Balai Poestaka, sedangkan anggota-anggota pendirinya sekaligus bekerja untuk biro pemerintahan itu, maka kalangan yang basisnya di Batavia ini, sangat kuat berkiblat pada konsep-konsep sastra barat. Di antara usahanya, pengarang-pengarang Poedjangga Baroe menjadi kondang karena menandingi karya-karya dari kelompok Belanda De Tachtigers55. Para penerjemah Melayu-Tionghoa rupanya lebih menyukai sumber Perancis dan Inggeris, seperti telah dikemukakan di atas. Beberapa terjemahan muncul dari novel-novel Jerman, akan tetapi hampir tidak ada prosa Belanda (Tzu You 1939 : 24). Sekalipun kebanyakan teks sumber memang berbahasa Belanda – artinya berwujud terjemahan Belanda –, novel Belanda maupun Indische romans (roman Hindia Belanda) tidak pernah menarik perhatian kaum Melayu-Tionghoa. Novel Klaasje Zevenster karya Van Lennep, yang sudah disebut di atas, yang bahkan disoroti dalam sebuah artikel majalah Melayu-Tionghoa Sin Po (1939 : 20), merupakan salah satu kekecualian yang jarang terjadi. Sebuah novel lain oleh Lie Kim Hok, Prempoean jang terdjoeal (1927), dikira berdasarkan novel Belanda abad ke-19 Dolores, de verkochte vrouw karya Hugo Hartmann (menurut Tio Ie Soei, dikutip oleh Salmon 1981 : 232). Indische literatuur (sastra Hindia Belanda) yang selalu bertempat di Hindia Belanda, agak lebih besar kemungkinannya muncul kembali dalam bahasa Melayu. Pengarangnya orang Belanda yang mempunyai rasa pertalian yang kuat sekali dengan Hindia Belanda, sering kali orang Indo atau orang Belanda yang lahir di tanah jajahan itu, tetapi juga mereka yang sudah pulang ke tanah airnya dan baru mulai menulis mengenai zaman mereka di tanah jajahan. Novel-novel mereka yang dinamakan Indische romans, sekali-sekali mengangkat masalah-masalah yang juga penting bagi masyarakat pribumi. Tema sebuah keluarga kolonial yang buyar akibat main judi dan terlalu banyak minum alkohol umpamanya tidak hanya menyentuh perasaan orang Belanda. Masyarakat Tionghoa 54
Tan Chieng Lian, Piso Blati Merah, Penghidoepan III (15 Febr. 1927) : 26. De Tachtigers itu sebuah kelompok termasyhur yang terdiri dari pengarang-pengarang Belanda tahun 1880an yang ciptaan sastranya menganut realisme. Poedjangga Baroe layak dicatat lebih besar perhatiannya pada puisi barat dari kelompok-kelompok sezaman lainnya. 55
25
dan Melayu-Tionghoa pun merasa terganggu dan cemas dalam menghadapi penyalahgunaan obat bius, perjudian, dan kecanduan-kecanduan lain yang sedang menjalar secara mengkhawatirkan. Dalam konteks inilah Go Swie Tjhiang memilih novel H. van Brakel, Ingenieur B.O.W. (1886) karya pengarang Indisch yang tersohor Maurits (yaitu P.A. Daum) untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Terbitnya tahun 1917 dengan judul Ingenieur Herman van Brakel. Satoe nasehat boewat orang jang bersobat pada kartoe main dan minoeman keras. Contoh lain yang menggelitik dari novel Indisch yang disadur ke dalam bahasa Melayu adalah Clara Wildenau karya Nji-Sri, yang dikeluarkan tahun 1892 oleh penerbit yang berpusat di Amsterdam, H.J.W. Brecht. Novel ini yang dalam versi Belandanya sepanjang hampir 300 halaman, berkisar sekitar seorang perempuan muda dan menawan bangsa Jerman, Clara Wildeman, yang meskipun berdarah biru, bekerja sebagai pengasuh anak dalam rumah tangga (Eropa) yang kaya di Jawa Barat. Di situ ia menghadapi bermacam-macam segi positif dan negatif dari kehidupan kolonial kelas tinggi abad ke-19. Clara digambarkan sebagai perempuan yang kuat dan percaya diri, suatu teladan bagi perempuan modern terdidik tahun 1920-an dan 1930-an. Citra perempuan pribumi yang modern dan terdidik (gaya barat) banyak disebarluaskan tetapi sekaligus ditakuti – di semua lapisan masyarakat kolonial. Komitmen sosial wanita gaya Kartini kini telah diterima, bahkan disambut baik ; akan tetapi pembebasan perempuan berkenaan dengan kemerdekaan ekonomis dan hak memilih tetap sangat dicurigai. Masih perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam apakah watak perempuan kuat itulah yang menyebabkan Gouw Peng Liang menerjemahkan novel ini ke dalam bahasa Melayu-Tionghoa pada tahun 1911. Pendidikannya di sebuah sekolah swasta Belanda dan kegemarannya akan teks sumber berbahasa Belanda mungkin juga mengarahkan pemilihan teks tersebut. Boekoe tjerita Nona Clara Wildenau (tepatnya tahun berapa versi Melayu itu diterbitkan tidak diketahui) tidak menyimpang jauh dari teks sumbernya akan tetapi tidak menyebutnya. Sampul buku itu menunjukkan bahwa buku itu “terkarang oleh” si penerjemah, akan tetapi tidak ada usaha lain untuk menyembunyikan asal teks dari Barat, bahkan gambar sampulnya bergaya barat. Sekali lagi baik penerbit maupun kalangan pembacanya dapat disangka tidak banyak mempedulikan asal usul teks – asal saja ceriteranya menarik sehingga banyak terjual dan enak terbaca. Jenis terjemahan yang ini pun akrab dengan fiksi detektif. Kalau diingat popularitas jenis detektif ini pada umumnya di tanah jajahan, maka agaknya hampir pastilah yang beredar bukan hanya terjemahan Melayu dari novel-novel detektif Belanda yang beberapa buah saja terdaftar di bawah ini. Menarik bahwa buku-buku itu kebanyakan dikeluarkan oleh penerbit-penerbit Belanda. Dalam hal ini Mahendradatta atawa Inten Keradja’an Modjopait jang tertjoeri (1930) merupakan kekecualian karena terbit dalam Goedang Tjerita, sebuah roman madjalah Melayu-Tionghoa lain yang cukup berhasil hingga bisnisnya bertahan beberapa tahun. Sampul buku menyatakan bahwa S.Y. Lee-lah yang “mentjeritakan” kisah itu. Namun struktur dan alur ceritanya, serta tokohtokohnya memberi kesan teks itu diambil dari satu novel Belanda yang ceritanya berlangsung di Belanda dan semua tokohnya orang Belanda, kecuali seorang Tionghoa. Seorang tokoh Indo dalam lingkungan kolonial adalah tokoh utama sebuah serial detektif Belanda yang diterbitkan pada pertengahan tahun 1920-an. Tjalie Robinson (1962 : 7) mengingat bahwa novel pertama dari seri itu, De schoonste triomf van de Indo-detective (Kejayaan yang paling indah dari detektif Indo, 1924) dilancarkan dengan agak ragu-ragu di pasaran buku kolonial : “Di tanah jajahan, apa yang dapat bersaing dengan impor Eropa?” (wat kon er in de koloniën opgewassen zijn tegen Europese import?). Terdorong oleh suksesnya yang luar biasa, maka pengarangnya, UCEE (yakni Ulrich Coldenhoff) segera mengeluarkan buku kedua, Het spookhuis van Tandjoeng Priok
26
(192?), yang lagi-lagi mengemumakan detektif Indonya. Tak satu pun dari kelima buku dalam seri detektif Indisch ini56 menyebut nama penerbit ; namun ternyata terjemahan Melayu dari buku kedua, Roemah Hantoe di Tandjoeng Priok (1924), diterbitkan oleh Kolff.57 Dalam seri ini, si pengarang, seorang Indo, memperkenalkan seorang detektif Indo yang cerdik, berani, tapi rendah hati dan ramah, Leo Brandhorst, dan kawan sekaligus pembantu Belandanya, Kees, yang mirip Watson. Daya khayal UCEE ‘membetulkan’ masyarakat kolonial ; tokoh-tokohnya ditempatkan dalam suatu dunia yang sepenuhnya menerima kaum Indo dan membiarkan mereka menjadi pahlawan yang kenamaan. Tokoh utamanya, sebagai imbalan, memperlihatkan rasa terima kasih dalam bentuk kesetiaan mutlak kepada pihak Belanda dan pemerintah kolonial. Maka tidaklah mengherankan kalau yang menerbitkan terjemahan Melayunya ialah penerbit swasta Belanda, Kolff, bukan penerbit pribumi. Sambil menyamarkan bahwa tokoh utama itu sangat dibikin-bikin dan diidealkan itu, buku itu diawali suatu catatan penerjemah (namanya tidak disebut) yang kalimat pertamanya sebagai berikut, Oleh kerna hal jang ditoetoerken dalem ini boekoe telah kadjadi di Batavia, maka boeat pertjakepan antara orang-orang ditiroe dengen betoel lagoe-swara jang orang biasa oetjapken. Bahasa Melajoe jang digoenaken dalem ini boekoe adalah jang oemoemnja sekarang dipake dalem soerat-soerat-kabar Melajoe.
Walaupun fiksi dan khayal sastra telah menjadi sangat biasa di antara kaum pembaca pribumi (termasuk orang Islam), si penerbit boleh jadi ingin main aman waktu dikatakannya cerita itu berunsur kenyataan yang kuat – meskipun dikarang saja. Dengan menyebut “bahasa surat kabar Malayu” tidak hanya ditekankannya segi kenyataan seperti itu yang umum dihubungkan dengan media pers, tetapi juga digambarkannya pertalian dengan kemodernan, kemajuan, dan suatu rasa bermasyarakat yang baru – dan di semua bidang ini baik orang Belanda maupun Indo sama-sama ingin memegang tampuk pimpinan. Kira-kira lima belas tahun kemudian keluarlah sebuah seri detektif Belanda yang lain di Hindia Belanda ; yang ini menampilkan tokoh utama bangsa Eropa. Sesuai dengan fokus mereka yang hampir boleh dikatakan tradisional terhadap fiksi populer barat, maka Graauw Bersaudara mengeluarkan delapan jilid yang semuanya berkisar pada detektif David Brown, ciptaan Jacques van Workum. Edisi Belandanya terbit baik di Amsterdam maupun di Surabaya pada akhir tahun 1930-an. Suatu terjemahan Melayu yang juga diterbitkan oleh Graauw di Amsterdam dan di Surabaya, langsung menyusul, bahkan mungkin telah dibuat bersamaan waktu.58 Tata letak dan gambar-gambar kedua edisi itu sama59 kecuali satu perbedaan yang menyolok di punggung buku : kepala detektif dalam edisi Belanda tampak gundul tetapi gagah, sedangkan dalam edisi Melayunya mirip Sherlock Holmes, lengkap dengan topi pemburu dan pipanya. Tak ayal lagi kepala gundul bukan lambang yang cocok bagi seseorang tokoh utama (surat-surat kabar Melayu sedang dibanjiri iklan obat rambut). Di atas semuanya itu si penerbit rupanya memanfaatkan popularitas Holmes dan sifat ikon 56
Selain kedua buku pertama yang baru disebut, kami mengetahui tiga novel lagi yang keluar dalam seri ini, yaitu De schrik der Don Juans (Momok para Don Juan, 1925) ; De moordende hand (Tangan yang membunuh ; tidak diketahui tahunnya), dan Gantang, de geesel van Batavia (Gantang, si penyiksa kota Batavia, 1933?). 57 Tidak diketahui apakah semua jilid seri Belanda itu diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. 58 Seorang bernama Mas Wirowajoeh membuat terjemahan Melayunya. 59 Agak aneh kelihatannya bahwa jumlah halaman dalam kedua edisi itu pun sama banyaknya, yaitu 1767.
27
dari pelengkap-pelengkapnya yang tersohor itu, yang sudah diubah menjadi penanda-penanda suatu genre. Kalau wilayah penelitian diperluas, maka beberapa teks sumber Belanda dan Indisch juga ditemukan di bidang teater. Salah satunya adalah Karina Adinda (1913) karangan Victor Ido (yaitu Hans von de Wall). Drama ini dikarang untuk kalangan penonton barat di teater-teater Eropa di Batavia. Tidak diketahui jalan apa persisnya ditempuh oleh drama ini sebelum akhirnya mewujud menjadi dua terjemahan Melayu, masing-masing oleh Lauw Giok Lan dan T.D. Tio Jr. Versi Tio ini, yaitu saduran berjudul R.A. Soemiati yang dibuat dalam tahun 1920-an, tampil baik sebagai buku maupun di pentas ; drama ini ternyata termasuk yang paling sukses dalam repertoar rombongan teater Miss Riboet’s Orion yang dipimpin oleh Tio sendiri. Adapun mengenai versi Lauw Giok Lan untuk panggung tidak banyak yang diketahui kecuali bahwa keluarnya tahun 1913, tahun yang sama seperti drama Ido. Lauw Giok Lan yang juga memperoleh pendidikan privat Belanda, menerjemahkan beberapa judul Belanda, di antaranya De Roos van Dekama (Bunga ros dari Dekama) karangan J. van Lennep. Dalam sebuah iklan, penerbit memberi keterangan bahwa, Ini tjerita asalnja dari boekoe bahasa Olanda jang soeda kesohor di antero Europa, serta soeda banjak kali ada di pertoendjoeken di roema-roema komedie besar, selaloe dapet banjak poedjian oleh antero publiek di Eurepa [sic]. Dari itoe, maka orang banjak minta kita perloeken salin ini boekoe ka dalem bahasa Melajoe, jang kita rasa pasti, barang siapa jang membatja ini boekoe misti djadi senang dan menarik hati. 60
Kecocokan buku itu untuk panggung menimbulkan dugaan bahwa versi Melayu De Roos van Dekama pernah dipertontonkan di panggung teater-teater pribumi. Islam dan nasionalisme : terjemahan Melayu di Sumatra Munculnya dengan agak lambat pengarang dan penerjemah muslim di bidang sastra modern mungkin dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa fantasi dan khayal sastra sudah lama dipandang rendah, khususnya oleh golongan-golongan muslim ortodoks. Akan tetapi tahun 1930-an tidak hanya menyaksikan semakin kuatnya pergerakan nasionalis, tetapi juga hasil dari sekularisasi Islam yang terus-menerus tumbuh di Hindia Belanda. Perluasan pendidikan barat memegang peran yang menentukan dalam proses ini. Masyarakat muslim mendapatkan dirinya terjebak antara dogma religius dan proses modernisasi yang mendesak, sehingga hanya tinggal tunggu saat kekuatankekuatan sekuler dan ortodoks berhadapan saling berlawanan.61 Tercetuslah perdebatan ramai yang meneliti dengan cermat peran yang hendaknya dimainkan oleh Islam dan media modern dalam membentuk kesusastraan dan kebudayaan nasional. Perselisihan ini tak urung pernah menyentuh penciptaan dan penerimaan sastra. Karena fiksi modern dalam bentuk apa pun dianggapnya hiburan yang sia-sia dan berbahaya, kaum muslim ortodoks melihatnya dengan rasa curiga yang mendalam. 60
Iklan itu dikeluarkan sekitar tahun 1918 dalam buku-buku berisi terjemahan Lord Lister yang sudah disebut di atas. Seri buku itu terdiri dari sebelas jilid, masing-masing dijual untuk f 0,80 tidak termasuk ongkos kirim. 61 Di Sumatra konflik ini berlarut-larut selama beberapa tahun sebelum mencapai klimaksnya pada tahun 1939. Konflik itu ditandai rasa curiga yang kuat antara pemimpin-pemimpin agama konservatif dan kaum muslim muda didikan barat yang sudah modern. Artikel-artikel yang diterbitkan dalam majalah Islam Pedoman Masjarakat selama masa itu mengandung dokumentasi yang sangat berguna mengenai perlawanan antara kaum ‘ulama’ dan kaum ‘intelektual’ yang begitu berarti buat sikap Muslim terhadap sastra barat.
28
Golongan-golongan didikan barat yang berfaham politik, lain argumentasinya. Media baru (novel, radio, teater dan film) mereka anggap sebagai wahana berpotensi kuat, yang dapat dan harus dikembangkan demi dakwah Islam dan nasionalisme. Generasi pertama pribumi yang berani memasuki dunia kata fiksi yang tercetak, seperti telah dikemukakan lebih dahulu, tidak mempunyai perhatian besar terhadap penerjemahan sastra barat, entah karena misi politik menjadi fokus mereka, ataupun karena kecakapan bahasa mereka terbatas. Dengan aman dapat disangka bahwa pengetahuan terbatas akan bahasa-bahasa barat serta kecakapan bahasa yang kurang dikembangkan, masih merupakan rintangan bagi kebanyakan pengarang muda Melayu Sumatra yang pada mulanya lebih mengemuka dengan cerita-cerita rekaannya sendiri, bukan terjemahan. Tidak lama kemudian mereka melancarkan majalah-majalah sastra mereka sendiri yang formatnya tanpa malu-malu mereka tiru dari roman madjalah Melayu-Tionghoa. Majalah-majalah novel Melayu-Sumatra menjadi terkenal sebagai roman picisan, dan memang mengandung terjemahan (sesungguhnya kebanyakan saduran), akan tetapi jauh lebih sedikit dari rekan-rekan mereka yang Melayu-Tionghoa. Namun di antara pengarang Melayu-Sumatra ada yang berbakat dan lebih ambisius, yang ‘melatih’ diri sendiri dan memperbaiki kepandaian mereka menulis dan menerjemahkan, umpamanya dengan menulis dan menerjemahkan untuk majalah-majalah MelayuTionghoa. Salah seorang pengarang muda itu adalah Joesoef Sou’yb yang menjadi pekerja bebas untuk Liberty pada pertengahan tahun 1930-an. Liberty mencetak antara lain terjemahannya dari ceritera Uitvinder [Penemu] karya Droville.62 Bagi pengarang Melayu Sumatra, di samping mendapat uang tambahan sedikit, terjemahan dapat diduga mulanya merupakan cara untuk mencapai satu tujuan : belajar mengarang dan menulis. Roman picisan mereka pun mulai berkembang. “Generasi ketiga” pengarang dan penerjemah pribumi ini jauh lebih besar ambisinya daripada hanya menjadi saingan yang berhasil dari para penerbit Melayu-Tionghoa. Mereka bertekad bulat hendak mengusir saingan yang tidak mereka senangi itu dan sama sekali tidak menyembunyikan ketidaksenangan mereka terhadap sesama penduduk Hindia Belanda itu ; mereka menegaskan dengan aktif menyumbang pada penciptaan identitas nasional Indonesia, antara lain dengan cara mengalahkan para penerbit Melayu-Tionghoa di medan pertempuran penciptaan sastra.63 Mereka tidak ragu-ragu meniru format buku Melayu-Tionghoa, tetapi menawarkan novel mereka dengan harga yang malahan lebih murah dari saingan mereka. Ada beberapa buku yang disediakan untuk f 0,45 bahkan lebih murah lagi (dibandingkan 50 sampai 80 sen untuk terbitan Melayu-Tionghoa).64 Medan segera menjadi pusat roman picisan dan para pengarang muslim merayakan kemenangan mereka atas pihak Melayu-Tionghoa : Satoe kemenangan jang telah diperdapat menoeroet keterangan toean Hasanoel Arifien didalam pertemoean pengarang itoe tempo hari, ialah pindahnja doenia kesoesasteraan daripada pengarang2 Tionghoa Melajoe ketangan pengarang2 kita. 20 tahoen jang laloe doenia roman Tionghoa telah bangoen, dia lebih dahoeloe dari kita, kata toean Riphat. 20 62
Patut diperhatikan bahwa tidak bukan saja Droville dicetak tebal mendahului nama penerjemah – dengan huruf yang jauh lebih kecil –, tetapi juga cerita itu dengan jelas dinyatakan sebagai saduran (“disalin dengen merdika”) (Juni 1936 : 22). 63 Dalam konfrontasi ini, pihak Melayu muslim memasalahkan bahasa dan berbagai ragam bahasa Melayu, dan tidak segan-segan menjelekkan ragam Melayu-Tionghoanya (Tamar Djaja 1939 : 1001). 64 Pada bulan April 1941 novel-novel Nona Bessy dan Lady Marion Curtis, kedua-duanya agaknya terjemahan atau saduran, diiklankan sebagai tawaran istimewa untuk 26 sen.
29
tahoen jang telah laloe karangan2 Alexander Dumas, karangan Victor Hugo dan lain2 telah diterdjemahkan kedalam bahasa Melajoe Tionghoa oleh pengarang Tionghoa sebagai Lie Kim Hok. Kemoedian itoe tampillah Balai Poestaka, dan achir2 ini timboel dalam kalangan pengarang2 moeda di seloeroeh Indonesia, teroetama di Medan! (Hamka 1940 : 67)
Roman picisan Melayu Sumatra yang pertama telah terbit sekitar 1934, namun yang akan tumbuh menjadi ancaman saingan bagi pihak Melayu-Tionghoa dan gangguan bagi pihak kolonial Belanda baru mulai terbit tahun 1938. Mereka pun lebih suka mengemukakan jenis fiksi populer yang memadu kejahatan, aksi, dan percintaan ; judul Bereboet oewang 1 milioen : Kelitjinan tjara Amerika65 hanyalah suatu contoh pola itu. Beberapa teks barat yang dipilih untuk diterjemahkan belum lama terbitnya dan ada yang mengandung acuan-acuan jelas pada peristiwa-peristiwa sejarah sezaman. Hasil terjemahan Sou’yb Mempereboetkan Peta Laoetan adalah cerita mata-mata yang berlangsung di New York pada awal Perang Dunia II. Leboernja kota Warsawa oleh pengarang yang sama bahkan lebih jelas mengacu pada perang (Loekisan Poedjangga II, 15 Febr.1940 : 6). Sebuah novel lain yang memakai perang sebagai latar belakang adalah Menentang Maoet di Boedapest, Spion Perang Doenia, diterjemahkan oleh Abwart Satyaputra (Loekisan Poedjangga, 15 Sept.1940 : 20). Betapa pun perbedaan mereka, para pengarang Melayu Sumatra dan Melayu-Tionghoa mempunyai pengertian yang sama mengenai terjemahan sehingga menangani teks sumber mana pun pertama-tama sebagai sumber pengilham – tanpa mengindahkan kepengarangan dan hak cipta. Kalaupun ada kalanya mereka menghadapi masalah hak cipta, mereka hanya melakukannya dengan cara yang tidak lazim. Karya Sou’yb Petir Rahsia 66 umpamanya, yang tak ayal lagi berasal dari Barat, menjamin bahwa “hak tetap pada pengarang”, padahal pengarang baratnya tidak disebut dan tidak ada acuan pada judul, tempat, tahun atau apa pun yang dapat membantu mengenali teks sumbernya. Mungkinkah Sou’yb sendiri, dalam suatu penyamaan penerjemah dengan pengarang, yang diacu sebagai pengarang? Novel yang disebut di atas, Menentang Maoet di Boedapest, juga tidak menyembunyikan kedudukannya sebagai hasil terjemahan. Nama penerjemah disebutkan dan seperti dalam contoh terdahulu, gambar sampulnya juga mengisyaratkan kepada pembaca asal barat teks itu. Akan tetapi hak cipta dalam hal ini tergeser : hak cipta pengarang tidak lagi menjadi pusat perhatian, akan tetapi “hak penjalin diperlindoeng”. Ketakacuhan terhadap konsep-konsep barat tentang hak milik yang sudah membudaya itu merupakan salah satu penjelasan mengapa tidak ada acuan. Penjelasan lain yang dapat dipikirkan terletak dalam bentuk media yang baru, yaitu film. Para pengarang dan wartawan Melayu Sumatra – wartawan bisa menonton dengan gratis – juga memperbaiki dan melatih kepandaiannya menulis dengan cara menjiplak alur cerita film. Joesoef Sou’yb biasa menonton pertunjukan siang atau senja di bioskop, lalu pulang, duduk, terilhami, kemudian pulang penuh inspirasi untuk lalu duduk di depan mejanya dan menuliskan cerita yang baru ditontonnya – atau apapun dari cerita tersebut yang
65
M. Kasim, Fort de Kock : Roman Pergaoelan I (1 Des. 1939) 10. Teks Melayunya atau berdasarkan novel B. Delannoy atau diambil dari sebuah serial dengan nama yang sama. Terbitan ini secara khusus mestinya telah menggusarkan Balai Poestaka, sebab si penerjemah termasuk suatu golongan intelektual muda Indonesia yang oleh Balai Poestaka dikira sudah mereka ‘gait’ (lihat juga artikel mengenai Politik kolonial dalam buku ini). 66 Teks sumber baratnya masih tetap belum dikenali. Roman Pergaoelan III, 25 April 1941 : 42, Fort de Kock : Penjiaran Ilmoe.
30
ingin diingatnya.67 Seperti Sou’yb, sejumlah pengarang lain pun ‘menerjemahkan’ cerita film menjadi cerita buku dan mengalihkan pandangan kamera menjadi alat naratif baru di atas kertas – meskipun ada yang ternyata lebih mahir dari yang lain. Sering kali perubahan bentuk itu tidak mudah dibuktikan. Demikian halnya Membalaskan dendam68 yang seluruhnya berlangsung di New Orleans dan diramaikan tokoh-tokoh barat, sudah jelas saduran dari satu cerita barat. Namun gaya cerita Melayu itu yang mirip gaya kamera biasa dan dialog-dialognya yang luar biasa terbatas mengisyaratkan bahwa si pengarang, Sahiboel’hikajat,69 membuat ceritanya itu berdasarkan sebuah film. Bukankah pengarang-pengarang seperti dia agaknya menganggap dirinya sebagai pengarang kreatif, bukan penerjemah? Apalagi apabila kepandaian mereka menulis memang bertambah baik sementara daya khayal sastra mereka dengan perlahan-lahan membebaskan diri dari teladan-teladan barat, entah buku entah film. Menerjemahkan film dan teater Cerita barat ada kalanya sampai di Hindia Belanda dalam lebih dari satu bentuk. Cerita-cerita Holmes yang diterbitkan mendahului film-filmnya, Monte Cristo tampil dalam bentuk buku dan sebagai film, begitu juga The Three Musketeers. Dalam beberapa hal seperti misalnya La Traviata dan Madame Butterfly, bentuk asal suatu cerita barat berkelana ke tanah jajahan (novel, drama panggung, film, opera, atau cerita lisan) belum diketahui. Bagaimanapun juga, yang perlu ialah melihat lebih jauh daripada penerjemahan biasa dari buku menjadi buku, dan memperluas pengertian tentang penerjemahan, membawanya lebih jauh sehingga mencakup media seperti pertunjukan sandiwara modern, film (bisu dan berbicara), siaran radio, bahkan piringan hitam. Semua media itu datang ke Hindia Belanda dalam jangka waktu kira-kira lima puluh tahun dan giat menjalin suatu hubungan timbal-balik yang masih bisa dilacak. Beberapa pencipta teks yang ulung dan produktif, umpamanya Njoo Cheong Seng yang unggul pada berbagai tingkat produksi media, kadang-kadang menghasilkan berbagai terjemahan dari satu cerita barat yang sama. Gerakan teks antara bentuk cetak dan lisan, antara halaman, panggung, dan layar masih memerlukan penelitian yang sungguh-sungguh. Fasal ini hanya dapat memberi gambaran sepintas dari perjalanan hidup dan kreatif cerita-cerita dari media yang satu ke media yang lain. Rombongan-rombongan teater Melayu Stamboel yang menyatukan anggota-anggota dari berbagai golongan etnis di bidang hiburan, mungkin sekali pelopor dalam hal mengambil ceritacerita barat, dari sumber cetak ataupun film. Cerita dongeng dan versi rusak dari drama-drama Shakespeare merupakan inti repertoar mereka pada mulanya. Tzu You (1939 : 13) menegaskan bahwa pertunjukan harus “rame” agar menjadi sukses. Adegan-adegan aksi, apalagi duel-duel dengan pedang, itulah yang paling banyak menarik publik. Oleh karena itulah, menurut Tzu You, rombongan-rombongan teater seperti juga kalangan penontonnya menyukai Hamlet dan Carmen, tetapi juga Zorro dan The Three Musketeers. Dengan pencerdasan teater pribumi yang makin mendalam, yang pertama-tama dirintis oleh wartawan-wartawan Melayu-Tionghoa pada pertengahan tahun 1920-an, pemilihan teks sumber berbeda dan menjadi lebih ‘canggih’. Kwee Tek Hoay 67
Wawancara dengan pengarang (November 1992). Doenia Pengalaman II, 30 Maret 1939 : 6. 69 Suatu rinci yang ironis adalah bahwa nama Sahiboel’hikajat itu dapat diterjemahkan sebagai ‘pemilik’ atau ‘penguasa ceritera’ (Salleh 2001 : 1). Sahiboel yang ini, yang membuat terjemahan dan saduran, adalah penguasa dari cerita-cerita ‘pinjaman’ saja. 68
31
menyadur karya Ibsen An Ennemy of the People (Korbannja Kong-Ek, toneelstuk dalem 4 bagian, 1926), Ghosts (Mait Idoep, 1931) dan Cato karya Addison (Cato, satoe tragedy di dalem 5 bagian, dari Joseph Addison, 1930) untuk panggung Melayu. Seperti telah disebut tadi, Lauw Giok Lan menyadur Karina Adinda dari drama Ido dengan judul yang sama. Njoo Cheong Seng menghasilkan dua saduran bebas untuk teater dengan tema Madame Butterfly, dan Andjar Asmara membawa Dr. Samsi, saduran dari film bisu Hollywood Madame X,70 ke atas panggung (1930). Rombonganrombongan teater mencari ilham dalam sumber apa pun yang tersedia, dan film pasti salah satu sumber itu. Seperti para pengarang novel, mereka menyadap sumber itu untuk mencari cerita serta sarana-sarana naratif. Pada tahun 1921, Inlandsche Persoverzicht (Ikhtisar Pers Pribumi ) memuat ringkasan sebuah artikel yang dimuat di Sinar Sumatra (IPO 1921, no.9 : 47). Artikel tersebut mengritik terlalu banyaknya “terjemahan dari ceritera bioskop” (vertalingen van bioscoop-verhalen) di perpustakaanperpustakaan, dan menyesali gejala itu karena tidak layak bagi anak-anak. Perlu dicatat bahwa artikel Melayu tersebut sebenarnya tidak memakai istilah ‘bioscoop-verhalen’. Akan tetapi yang memang dikritiknya ialah perpustakaan-perpustakaan pribumi yang menyediakan bagi anak-anak terjemahan dari buku-buku barat yang penuh dengan bandit dan bajingan, sedangkan anak tidak diperbolehkan menonton cerita-cerita sejenis di “komidi-komidi”.71 Membaca “cerita komidi” seperti itu, demikian diakhiri penulis, sekurang-kurangnya sama besar bahayanya bagi anak-anak seperti bila mereka melihatnya (Dawat merah 1921). Empat tahun kemudian sebuah resensi dalam IPO lagi-lagi mengaku media film sebagai sumber inspirasi vital bagi para penulis pribumi sezaman : Buku ini ditulis oleh pengarang wartawan Parada Harahap sebagai hasil suatu kunjungan ke bioskop. Di sana ia melihat film ‘Go and Get it’, sebuah film yang menggambarkan kehidupan dan pekerjaan wartawan-wartawan Amerika dengan cara romantis. Yang disampaikan adalah sebuah gambaran dari bagaimana perusahaan-perusahaan cetak Amerika yang besar berfungsi. Oleh penulis ditambahkan subjudul : ‘Dari wartawan sampai menjadi direktur kepala redaksi.72 (IPO 1925 ; no. 22 : 409)
Parada Harahap mengisahkan proses lahirnya bukunya Tjoba Dapatkan! ... (Dari Reporter sampai djadi Directeur Hoofdredacteur) dalam sebuah kata pengantar yang bermanfaat. Film itu dia tonton dua kali untuk memperdalam pengetahuannya tentang jurnalisme. Itu dilakukan pula, menurut Harahap, “oleh hampir semoea journalisten die Betawi, tentoe djoega journalisten die Medan, Soerabaja, Bandoeng etc.” Dalam kata pengantarnya si penulis juga menceritakan pertemuannya dengan Hauw Tek Kong, salah seorang rekan wartawan, di bioskop pada kedua malam itu. Harahap 70
Matthew Cohen dengan baik hati menyampaikan keterangan ini kepada saya (e-mail, 23 Februari 2000). Pemakaian kata komidi di sini tidak jelas dan bisa saja mengacu kepada teater maupun kepada pertunjukan film. IPO rupa-rupanya menafsirkan cerita komidi sebagai ‘cerita bioskop’. 72 «Dit is een boek, door den schrijver-journalist Parada Harahap geschreven als gevolg van een bezoek aan een bioscoop, waar hij de film ‘Go and Get it’ zag, een film, waarin in romantischen vorm het leven en werken der Amerikaansche journalisten wordt beschreven en een beeld wordt gegeven van het bedrijf op de groote Amerikaansche drukkerijen. Als bijtitel nam de schrijver : ‘Van Reporter tot Directeur-Hoofdredacteur’.» Film itu pertama kali dipertunjukkan pada tanggal 26 Desember 1924 di Cinema Palace-Krekot dan telah diiklankan dalam bahasa Belanda dengan judul Ziet ‘t te krijgen (Coba dapatkan). Buku Harahap memakai tata lingkungan Amerika dalam cerita itu. 71
32
mengaku kepadanya rencananya untuk membuat buku Melayu dari cerita film itu. Sayangnya, tak ada dokumentasi mengenai cara bukunya diterima setelah diterbitkan oleh Bintang Hindia pada tahun 1925. Sebagai penutup catatan samping tentang ranah film dan teater ini, layak disebut sekali lagi secara khusus penerbit swasta Belanda Kolff (waktu itu Kolff & Buning, pendeknya KABE). Selama beberapa dasawarsa, Kolff telah menanggapi dengan peka gerak-gerak di pasaran sastra pribumi dan segala kecenderungan dan tantangan umum. Pada akhir tahun 1930-an media film yang baru itu merupakan salah satu tantangan itu, dan KABE menanggapinya dengan melancarkan seri buku yang dijuluki ‘bioscoop romans’. Mengherankan juga bahwa kebanyaklan film yang menjadi sumber untuk novel bioskop itu rupanya hasil buatan pribumi. Namun pada awal tahun 1940-an KABE menerbitkan sebuah versi Melayu dari seri cergam Flash Gordon oleh Alex Raymond. Waktu itu Hollywood sudah dengan sukses meluncurkan tiga film Flash Gordon yang mungkin sekali diputar di Hindia Belanda segera setelah peluncurannya (1936, 1938 dan 1940). Meskipun dalam hal ini teks sumbernya sangat mungkin salah satu versi film itu, bukan cergamnya sendiri, memang dengan bantuan KABE itulah ‘terjemahan’ sastra bergambar barat muncul untuk pertama kalinya di Indonesia yang dijajah. Lone Ranger, campuran Zorro dan Robin Hood gaya koboi Amerika itu, mulai karirnya di Amerika tahun 1937 sebagai sebuah program radio. Suksesnya begitu mencengangkan hingga disusul sebuah cergam pada tahun 1938, dan sebuah seri film dimulai tahun itu juga. Sastra bergambar dalam bahasa apa pun adalah sebuah genre yang pasti memicukan perdebatan di antara orang Belanda. Meskipun begitu, yang ini menyelip masuk, mungkin sekali diiringi film-filmnya, dan mengilhami KABE untuk membuat Topeng Hitam, seorang boediman jang gagah berani, yang merupakan versi cergam Melayu dari Lone Ranger. 73 Munculnya sekitar tahun 1940 dalam dua jilid, masing-masing dijual dengan harga yang rendah sekali, hanya 15 sen. KABE memakai gambar-gambar barat yang ditempatkan dalam bingkai-bingkai biasa, dan menerjemahkan teks di bawahnya ke dalam bahasa Melayu (pada tingkat awal ini, cergam belum biasa memakai balon untuk teks). Perubahan dari Lone Ranger menjadi Black Mask (Topeng Hitam) boleh dianggap sebagai penghargaan terhadap tokoh-tokoh fiksi Melayu dan barat yang lain seperti Elang Emas, yang bukan main digemari dan terkenal memakai topeng hitam. Tokoh sahabat Indian yang setia, Tonto, tetap saja, tidak berubah, begitu pula yel yang sudah menjadi legendaris, “Hi-yo Silver” yang diteriakkan tokoh utamanya untuk memacu kudanya, “Hi-yo Perak! Ajohlah!” Tafsiran yang berbeda-beda Di antara teks-teks barat ada yang tidak hanya mempunyai satu terjemahan Melayu tetapi beberapa buah ; beberapa di antaranya bahkan bermunculan sebagai versi Melayu-Tionghoa, Melayu Sumatra dan Melayu Balai Poestaka. Sementara salah satu terjemahan bisa saja hampir tidak berselisih dengan teks sumbernya, yang lain boleh saja banyak menyimpang ; namun semuanya memberikan tafsiran yang berbeda-beda dari teks sumber yang sama. Ini bukan tempatnya untuk membuat perbandingan teks yang terperinci, akan tetapi artikel selayang pandang seperti ini akan kehilangan 73
KABE juga menerbitkan sebuah bioscoop roman berjudul Topeng Setan. Teks Melayunya disusun oleh Zoelkarnain, berdasarkan sebuah film Melayu oleh Shaw Brothers Ltd di Singapura. Yang tetap menjadi misteri ialah mengapa KABE menempatkan gambar Lone Ranger (Topeng Hitam) di sampul bukunya, meskipun baik cerita film maupun bukunya (keduanya benar-benar ceritera Melayu) tidak ada kemiripan apa pun dengan cerita koboi yang digemari itu – kecuali kata topeng dalam judulnya.
33
sebuah segi penting seandainya tidak disebutnya sekurang-kurangnya beberapa contoh dari pengambilalihan rangkap itu. Beberapa, kalau tidak semua pengarang Melayu Sumatra kenal baik dengan terbitan-terbitan Melayu-Tionghoa zaman itu.74 Terjemahan dan saduran Melayu Sumatra yang cukup banyak jumlahnya – dan sesungguhnya banyak juga terbitan Balai Poestaka yang Belanda kolonial – mempunyai pendahulu Melayu-Tionghoa. Salah satu contohnya ialah karya Williams Le Queux, Landru, cerita fiksi mengenai Henri Landru yang terkenal buruk namanya dan yang mati dipancung kepalanya pada bulan Februari 1922 karena telah membunuh sepuluh perempuan dan seorang anak laki-laki. Pada tahun 1922 penerbit Probitas di Batavia mencetak sebuah terjemahan MelayuTionghoa dari cerita itu, yakni Landru : Kedjadian di tahon 1922. Di sampul buku tercatat nama Le Queux sebagai pengarang dan NUMA sebagai penerjemah. Pada tahun 1939 pengarang Melayu Sumatra S. Djarens menerbitkan novelnya Taboet dalam Doenia Pengalaman, salah sebuah roman picisan populer di Medan. Novelnya mengambil ceritera Landru, tetapi diperpendeknya dan ditempatkannya dalam lingkungan Melayu dengan tokoh-tokoh pribumi. Akan tetapi versi Medannya terjebak dalam perdebatan antara pemimpin-pemimpin agama dan kaum intelektual sekuler sehingga menjadi sasaran kritik pedas dari segala penjuru. Taboet dihebohkan karena kekerasannya dan gaya sensasinya, dan diberikan sebagai contoh negatif dari bagaimana sastra Indonesia modern, artinya muslim, sebaiknya tidak berkembang di hari kelak. Kelihatannya tidak seorang pun menyadari bahwa novel Djaren itu merupakan pengolahan ketiga, yaitu novel Melayu yang berdasarkan novel populer barat yang berdasarkan peristiwa nyata. Terjemahan Melayu Sumatra dari cerita Sherlock Holmes The Speckled Band tidak menimbulkan heboh, tetapi juga mempunyai pendahulu Melayu-Tionghoa. Randjang Kematian oleh Moechtar Nasution, yang dalam konteks Melayu Sumatra luar biasa setia pada teks sumbernya, keluar pada tahun 1941 dalam roman picisan Loekisan Poedjangga di Medan. Hampir dua puluh tahun sebelum terjemahan Nasution, Ang Sioe Tjing, penerbit seri Fu-Manchu tersebut di atas, telah mengeluarkan terjemahan Melayu-Tionghoa dari cerita itu. Satoe kamar jang berbahaja pun (1922) merupakan terjemahan yang hampir harfiah. Sebuah cerita barat yang merangsang beragam terjemahan dan saduran Melayu-Tionghoa adalah La Dame aux Camélias. Sulit ditentukan apakah memang novel Alexandre Dumas Jr. itulah yang memperkenalkan cerita barat ini kepada tanah jajahan. Boleh jadi juga, meskipun lebih kecil kemungkinnya, drama panggung Dumas, atau saduran Prosper Mérimée, atau opera Verdi La Traviata, atau salah satu dari sekian banyak versi filmnya75 yang mengilhami Phoa Tjoen Hoay pada tahun 1907 untuk menerbitkan terjemahannya dari Marguerite Gauthier sebagai cerita bersambung dalam Li Po (Salmon 1981 : 529). Kira-kira sepuluh tahun kemudian Tjan Kiem Bie menerbitkan sebuah terjemahan empat jilid berjudul Marguerite Gauthier atawa satoe pertjinta’an jang soetji dari satoe prampoean latjoer (1918). Dengan judul Margaretta Gautier, pengarang dan pemimpin agama terkenal Hamka membuat sebuah terjemahan Melayu Sumatra dengan gaya bebas dari novel 74
Riphat S. (1940 : 47) menyatakan bahwa pengarang dan pemimpin agama Hamka sangat diilhami oleh tulisan Melayu-Tionghoa. Sou’yb (1984 : 1-3) memberi wawasan lebih lanjut mengenai pengetahuan yang dipunyai lingkungan pengarang Medan mengenai produksi sastra Melayu-Tionghoa. 75 Versi film yang pertama adalah sebuah film bisu tertanggal tahun 1907, akan tetapi banyak lagi yang menyusul, yang antara lain dibintangi pemain Greta Garbo. Mungkin satu versi Amerika dan satu versi Jerman dipertunjukkan di Hindia Belanda.
34
Dumas (semua acuan diberikan). Terjemahan Hamka berdasarkan terjemahan dalam bahasa Arab oleh Said Moestafa Loethfi Almanfaloeth. Tahun tepat keluarnya edisi pertamanya belum diketahui dengan pasti ; sebuah cetakan ulang keluar dalam tahun 1960-an. Pada tahun 1925 Monsieur Amor (yaitu Njoo Cheong Seng) adalah, sejauh diketahui, orang Melayu-Tionghoa terakhir dalam deretan yang memberi perhatiannya kepada tema ini.76 Pada sadurannya yang diakuinya bebas diberinya judul Marguerite de Fantassie. Tokoh utamanya, Annie, adalah “satoe nona Belanda (bapak Italian dan Iboe Olanda)”. Dalam kata pengantarnya si pengarang menguraikan bahwa teksnya ditoelis atas perkenannja sobat-2 dan satoe perempoean Italy di Soerabaia, orang-2 siapa ada memegang role dalem ini tjerita. (Penghidoepan, 15 Agustus 1925)
Selain persamaan-persamaan alur cerita dan tokoh yang jelas, sepanjang teks itu diberikan acuanacuan langsung kepada cerita Dumas. Dalam tahun-tahun 1930-an ada seorang tokoh perempuan barat lain – yang sama kondangnya dan sama banyaknya menjelajahi dunia buku, film, teater dan opera seperti Marguerite Gauthier – yang menarik perhatian Nyoo Cheong Seng, yakni Madame Butterfly. Pada bulan Mei 1933 diterbitkannya sebuah ringkasan empat halaman dari cerita itu dalam Liberty, sedangkan ia mungkin sudah menghasilkan saduran pertamanya dari tema itu untuk teater. Rombongan teater stamboel yang terkenal Dardanella Opera mempergelarkan sandiwara Raden Adjeng Moerhia sekitar akhir tahun 1933 atau awal tahun 1934. Pada bulan Maret 1934 Seng menerbitkan versi buku roman picisan setebal 87 halaman dalam Tjerita Roman dengan judul yang sama. Saduran Seng yang ketiga lagi-lagi untuk panggung. Drama Timoeriana dipertunjukkan suatu saat antara tahun 1937 dan 1939, tetapi baru tahun 1941 Njoo Cheong Seng maju dengan sebuah versi buku yang sudah direvisi dari saduran teaternya. Dapat dibayangkan bahwa sebuah ‘novel Medan’ telah mendorong Njoo Cheong Seng (yang memakai nama samarannya Monsieur d’amour) untuk mengeluarkan versi bukunya, yang juga dijudulkan Timoeriana. Ternyata bulan Agustus 1939 Doenia Pengalaman di Medan telah menerbitkan novel picisan Antara Doea Doenia. Tidak susah dilihat bahwa pengarang Melayu Sumatra Sahiboel’hikajat banyak sekali menimba dari saduran teater Njoo Cheong Seng Timoeriana. Kemiripan struktur alur cerita dan banyaknya kesamaan unsur cerita sangat menonjol, akan tetapi seakan-akan ingin membetulkan versi Melayu-Tionghoa yang dalam hal ini sesuai dengan teks sumber baratnya, maka Sahiboel’hikajat memilih adegan akhir yang lain, yaitu happy ending. Penerbit kolonial Belanda Balai Poestaka bahkan dengan pintar membetulkan program penerbitannya sebagai reaksi pada sukses terjemahan-terjemahan Melayu-Tionghoa. Sebuah terjemahan Melayu Balai Poestaka dari Monte Cristo, The Three Musketeers dan sejumlah cerita Sherlock Holmes merupakan buku-buku hasil kebijaksanaan ini. Dengan saduran oleh Merari Siregar dari karya Dickens Oliver Twist (melalui sebuah saduran Belanda abad ke-19, Jan Smees oleh Van Maurits) pada tahun 1918 Balai Poestaka berhasil meluncurkan sebuah versi teks yang berdasarkan pola pikiran kolonial. Si Djamin dan si Djohan berkali-kali mengalami cetak ulang dan mulai awal tahun 1950-an dikemukakan sebagai “karangan asli” Indonesia. Kini teks itu tetap menjadi bacaan wajib di sekolah. Pendahulu Melayu-Tionghoanya, karangan Tio Ie Soei Cerita Sie Po Giok ; atawa Peruntungannja Satu Anak Piatu sebaliknya tidak banyak menarik perhatian dan sejak keluarnya 76
Salmon (1981 : 529) menyebut sebuah drama oleh Pouw Kioe An berjudul Sedap Malam yang dikatakan berdasarkan karya Dumas La Dame aux Camélias.
35
pada tahun 1911 hanya dicetak ulang satu kali – memang mengherankan –, yaitu pada tahun 2000. Kedua hasil terjemahan bebas dari Oliver Twist itu ditujukan kepada kalangan-kalangan pembaca yang berbeda sekali. Yang pertama bersasaran kaum pembaca pribumi dengan tujuan menanamkan nilai-nilai barat. Yang kedua ditujukan kepada kalangan Tionghoa dan peranakan di perkotaan dan mengambil bagian dalam wacana mereka mengenai keadilan sosial dan peran pendidikan. Molière termasuk jumlah kecil pengarang bukan Belanda yang sampai diterjemahkan oleh Balai Poestaka, tetapi rupanya tidak oleh penerbit Melayu-Tionghoa. Pada tahun 1926 Balai Poestaka mengeluarkan drama Si Bachil, terjemahan Melayu dari drama Molière L’Avare. Kata pengantarnya memberi keterangan cermat mengenai asal teks sumbernya. Tahun 1863 Taco H. Beer telah menerjemahkan drama itu ke dalam bahasa Belanda, yang sering sekali dicetak ulang. Tahun 1878 teks itu disesuaikan pada kehidupan Belanda sezaman. Cetak ulang tahun 1898 dari saduran terakhir ini dipakai sebagai teks sumber untuk terjemahan Balai Poestaka ; ceriteranya dipindahkan ke rumah tangga Hadji Malik di Betawi pada awal abad ke-20. Barangkali lingkungan muslimnya dengan pemimpin agama sebagai tokohnya yang pelit itulah yang mengilhami pengarang Melayu Sumatra Tamar Djaja untuk memberi terjemahannya dari cerita Molière itu pada tahun 1941. Ia tetap mempertahankan judulnya Si Bachil, akan tetapi bukan bentuk teaternya ; ia menyusun teks itu sebagai novel.77 Meskipun Djaja tidak banyak mengubah peran tokoh pelit itu – dalam versinya pun dia seorang pemimpin agama, seorang hadji kaya, di Sumatra – kedua terjemahan itu sudah dengan sendirinya memberi bayangan yang sama sekali berbeda dari masyarakat muslim di tanah jajahan Indonesia Catatan-catatan akhir Dalam proses majunya kemodernan dan pembaratan tanah jajahan Indonesia, terjemahan dan saduran dari cerita-cerita barat segala jenis sangat menonjol dan menyokong berbagai tujuan, tergantung latar belakang etnis, politik, atau sosial si penerjemah dan si penerbit. Pemilihan teks, pemakaian bahasa, kalangan yang dituju, pengambilalihan teks, semua itu tergantung pada pengertian mereka yang khas tentang terjemahan. Kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa baik penerjemah Melayu-Tionghoa maupun yang Melayu muslim memilih teks-teks sumber mereka terutama menurut dua patokan : harapan akan sukses komersial serta kecocokan dengan dan keuntungan bagi wacana lokal. Teks-teks mereka – entah terjemahan, saduran atau hasil ciptaan sendiri – mencerminkan wacana-wacana yang sangat mirip satu sama lain, meskipun pihak Melayu-Tionghoa segera memilih jalan pencerdasan, sedangkan pihak Melayu muslim berkiblat sekitar wacana nasionalis mereka, dan tetap terpaku pada tantangan-tantangan agamanya. Meskipun demikian, kedua golongan itu rupa-rupanya mengembangkan masalah-masalah besar yang sama : keuntungan yang mungkin dapat dipungut dari kemodernan, kemajuan, dan pembaratan, dan bahaya-bahaya yang melekat padanya. Kedua golongan itu mengkhawatirkan tradisi dan nilai-nilai mereka, yang paling jelas terungkapkan dalam masalah hubungan antar kelamin. Keduanya memperingati akan berbahayanya suatu struktur masyarakat kapitalis yang hadir di mana-mana. Meskipun demikian, kedua golongan menginginkan menjadi bagian dari “komunitas global” yang dibayangkan mengenai dunia modern. Sementara Balai Poestaka sudah jelas mengejar cita-cita kolonial, pers Melayu-Tionghoa 77
Penulis artikel ini sedang merencanakan satu analisis teks yang terperinci dan perbandingan kedua saduran Molière yang dibicarakan itu.
36
berusaha memadu keperluan komersial dengan impian sosial dan politik, sedangkan ditujunya kalangan pembaca di luar batas rakyatnya sendiri. Kecenderungan terhadap sumber-sumber Inggeris dan Perancis hanyalah satu segi yang menunjukkan minat Melayu-Tionghoa akan kebudayaankebudayaan di luar kebudayaan penjajah dan kebudayaannya sendiri, serta keterbukaan terhadapnya. Sikap ini dapat dipertentangkan dengan kebelandaan yang agak sempit dari pihak Balai Poestaka dan Poedjangga Baroe yang berkiblat kepada Belanda, yang terungkap dalam pilihan mereka yang mementingkan kesusastraan Belanda (abad ke-19). Di lain pihak, para pengarang dan penerjemah muslim yang tersekularisasi, yang menghadapi keadaan yang sangat sulit, memadu tidak hanya kepercayaan mereka akan agama dan nasionalisme, tetapi juga menyesuaikannya pada kenyataan komersial. Mereka belajar dan menarik keuntungan dari keahlian orang lain, baik Belanda maupun Melayu-Tionghoa. Akan tetapi karena mereka mengharapkan identitas nasional kelak akan bersifat Melayu muslim, mereka mengesampingkan kaum Tionghoa dan Melayu-Tionghoa dari visi-visi mereka. Meskipun begitu, persetujuan atau “ikatan” yang tidak diutarakan antara pengarang dan penerjemah Melayu Sumatra, kelompok cendekiawan Poedjangga Baroe yang sangat berkiblat ke Barat, dan lembaga kolonial Balai Poestaka pun tidak berhasil membasmi pasaran sastra MelayuTionghoa yang kuat – atau sekurang-kurangnya tidak segera. Setelah kemerdekaan pasar itu masih akan bertahan selama sekurang-kurangnya satu dasawarsa. Kepustakaan Adam, Ahmat. 1995. The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1855-1913), Ithaca, N.Y.: SEAP, Cornell University [Ph.D thesis 1984]. Dawat Merah. 1921. “Harapankoe”, Sinar Sumatra, 19 January 1921, 40, Lembar pertama, hlm. 2. Jedamski, Doris. 2002a. “Madame Butterfly in a Robinson Reading: A Note of Discord in Colonial Indonesia”, IIAS Newsletter, 27 March 2002: 29. Jedamski, Doris. 2002b. “Popular Literature and Postcolonial Subjectivities: Robinson Crusoe, The Count of Monte Christo and Sherlock Holmes in Colonial Indonesia”, in Tony Day and Keith Foulcher (eds), Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesia Literature, Leiden: KITLV Press, 2002, hlm. 19-47. Kwee Kek Beng. 1936. “Westersche invloeden op het Maleisch”, Koloniale Studien: 89-109. Natsir, M. 1940. “Soerat2 dari hal Roman”, Pedoman Masjarakat, VI 2, 10 January 1940: 23-25. Nieuwenhuijs, Rob. 1978. Oost-Indische Spiegel. Wat Nederlandse schrijvers en dichters over Indonesië hebben geschreven, vanaf de eerste jaren der Compagnie tot op heden, Amsterdam: Querido [1st edition 1972]. Ong, Walter J. 1982. Orality and Literacy: The Technologizing of the Word, London/ New York: Methuen. Riphat S. 1940. “Memperkatakan roman”, Pedoman Masjarakat, VI 3, 17 January 1940: 47-48. Robinson, Tjalie. 1962. “Lezer!” Pengantar pada novel De schoonste triomf van de Indo-detective by UCEE. Reprint. Den Haag, San Francisco: Tong Tong, hlm.5-7. Roff, W. R. 1974. “The Mystery of the First Malay Novel (and who was Rocambul?)”, BKI, 130 (4): 450-464. Salleh, Mohammad Haji. 2001. “Renewing the Author: the Malay Author on Page and Stage”. Paper presented at the Third EUROSEAS Conference, London, September 2001. Salmon, Claudine. 1979. “Lawah-lawah merah ou ‘l’araignée rouge’: un roman sino-malais qui
37
s’avère être la traduction d’un roman français”, Archipel, 17: 63-69. Salmon, Claudine. 1981. Literature in Malay by the Chinese of Indonesia, a provisional annotated bibliography, Paris: Editions de la Maison des Sciences de l’Homme. Salmon, Claudine. 1994. “Aux origines du roman malais moderne: Tjhit Liap Seng ou ‘Les pléiades’ de Lie Kim Hok (1886-87)”, Archipel, 48: 125-156. Sin Po, “Journalisten sebagi pengarang.” Part 1. Sin Po, 935, 1939, hlm. 19-24. Sou’yb, Joesoef. 1984. “Sejarah perkembangan roman/novel bernafas keagamaan yang terbit di Medan sekitar tahun 1935-1950”, Paper presented at Temu Sastra Dialog Utara II. Medan, 25-27 October 1984. Stensil. Tamar Djaja. 1939. “Memperkatakan Roman”, Pedoman Masjarakat V 51, 20 December 1939: 1001-1002. Toer, Pramoedya Ananta. 1985. Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra. Tzu You. 1939. “Tooneel-Melajoe”, Sin Po, XVI 871, 9 December 1939: 13-17.