TANAMAN LAMTORO SEBAGAI BANK PAKAN HIJAUAN YANG BERKUALITAS UNTUK KAMBING-DOM$A 1 Wayan Mathius
(Balai Penelitian Ternak, P .O . BOX 123, Bogor)
PENDAHULUAN Usaha pengembangan peternakan merupakan salah satu kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam usaha memenuhi kebutuhan protein yang berasal dari ternak, yang selama ini secara nasional masih berada di bawah ambang batas/ standar yang normal . Di samping itu usaha pengembangan ini dimaksudkan untuk mencari terobosan baru di luar negeri sebagai sumber devisa negara yang berasal dari komoditas non-migas. Banyak cara yang telah dan sedang ditempuh untuk mencapai sasaran tersebut . Misalnya dengan mendatangkan bibit unggul, memperbaiki potensi genetik ternak yang telah ada, perbaikan padang pengembalaan dengan penyediaan hijauan pakan yang cukup dan berkualitas serta perbaikan sistem pemeliharaan . Salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat produksi dan reproduksi ternak adalah faktor makanan . Diketahui bahwa sebagian besar (60-80%) biaya produksi ternak diserap oleh faktor makanan . Di sisi lain penambahan makanan tambahan berupa konsentrat akan meningkatkan biaya produksi, tetapi dalam beberapa hal kurang ekonomis . Oleh karena itu penekanan biaya produksi melalui peningkatan efisiensi penggunaan bahan makanan yang murah, mudah didapat, berkualitas dan tersedia secara berkelanjutan sangat membantu meningkatkan keuntungan . Juga diketahui bersama bahwa nilai bahan makanan yang lazim dipergunakan di daerah tropis umumnya dan Indonesia khususnya berkualitas rendah . Hal ini diketahui dari rendahnya kadar nutrisi bahan tersebut, yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai protein kasar dan tingginya kandungan serat kasar serta rendahnya nilai biologis bahan makanan tersebut . Oleh karena itu tidak heran apabila tingkat produksi yang dicapai tidak sesuai dengan potensi genetik yang dimiliki ternak yang mengkonsumsinya . Rendahnya tingkat pengetahuan peternak, jumlah pemilikan ternak yang kecil dan pengelolaan yang dilakukan secara tradisional dan bersifat sambilan menyebabkan pemberian pakan tambahan seperti dedak padi, butir-butiran dan sisa 24
hasil pertanian serta sisa industri (ampas tahu, ampas kecap dan sebagainya) belum dilakukan secara optimal . Untuk itu penggunaan bahan makanan hijauan lain yang berkualitas dan tersedia secara mudah, murah dan berkesinambung an agar dapat meningkatkan nilai makanan ternak tersebut perlu dilaksanakan . Misalnya dengan meningkatkan penggunaan hijauan dari tanaman pohon kacang-kacangan (lamtoro) yang sudah dikenal namun belum dimanfaatkan secara optimal. Sebagai makanan ternak, tanaman lamtoro telah diberikan untuk ternak ruminansia maupun nonruminansia . POTENSI DAN KUALITAS HIJAUAN LAMTORO Lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan tanaman serba guna yang termasuk tanaman kacang-kacangan, berbentuk pohon dan dapat tumbuh dengan tinggi pohon 8-15 m serta berumur tahunan (17-32 tahun) . Tanaman ini tersebar luas di seluruh pelosok pedesaan dan mudah tumbuh hampir di semua tempat yang mendapat curah hujan cukup . Perbanyakan tanaman tersebut dilakukan secara generatif (biji) . Penanaman dengan biji menyebabkan tanaman memiliki sistem perakaran yang kuat dan dalam sehingga dapat bertahan untuk jangka waktu yang cukup lama . Manfaat tanaman ini telah banyak dilaporkan, yakni sebagai tanaman pioner, pupuk hijau (penyubur tanah), bahan bangunan, tanaman pinggir jalan, sebagai tanaman pelindung (untuk tanaman cacao), pagar hidup, tanaman pendukung (untuk tanaman vanili dan merica), sebagai pembasmi tanaman herba lalang-alang), pencegah erosi, bahan baku pembuat kertas, bahan bakar dan sebagai sumber hijauan makanan ternak yang berprotein tinggi . Sebagai sumber hijauan makanan ternak, tanaman ini belum dimanfaatkan secara optimal . Demikian juga tanaman ini belum banyak dikomersialkan sebagai hijauan makanan ternak . Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi hijauan tanaman lamtoro dapat mencapai 20 ton bahan kering/ha/tahun dengan total produksi pro tein kasar sebesar 3 ton/ha/tahun (Jones, 1979).
WAF?TAZOA Vol . 3 No . 1, Pebruari 1993
Sebagai bahan hijauan makanan ternak, hijauan tersebut memiliki nilai makanan yang cukup baik bila dilihat dari kandungan nutrisinya (Tabel 1) . Secara umum jenis hijauan ini mengandung nilai nutrisi yang hampir sama dengan hijauan gliricidia . Perbedaan kandungan nutrisi hijauan lamtoro seperti yang dilaporkan para peneliti (Tabel 1), lebih banyak disebabkan oleh perbeclaan varietas, lokasi tanaman tersebut dipanen, umur panen, jenis tanah, iklim clan perbandingan bagian tanaman yang digunakan dalam pengamatan para peneliti tersebut . Keadaan ini menunjukkan bahwa hijauan lamtoro cukup berpotensi sebagai bahan makanan ternak yang bermutu. Kandungan mineral hijauan tersebut masih berada di atas ambang batas untuk dapat clipergunakan sebagai bahan makanan ternak. Sedangkan rendahnya kandungan beberapa mineral seperti sodium clan jodium dapat diatasi dengan pemberian mineral lengkap yang dicampurkan dengan garam dapur (Jones, 1979) . Yates (1982) melaporkan bahwa penambahan garam dapur clan mineral suplemen pada hijauan lamtoro untuk ternak domba dapat meningkatkan pertambahan berat baclan harian sebesar 100% . Tanaman ini dilaporkan juga memiliki komponen anti nutrisi. Tanaman lamtoro mengandung mimosin (asam amino bukan protein) (Bray dkk., 1984, Tangendjaja clan Lowry, 1984a) . Mimosin Tabel 1 .
terdapat dalam bentuk bebas pada seluruh bagian tanaman lamtoro. Konsentrasi tertinggi terdapat pada tunas baru (dapat mencapai 12% dari bahan kering), yang kemudian diikuti oleh bagian bunga, buah/polong. Biji lamtoro mengandung 4-5% mimosin (dari bahan kering) sementara ranting yang masih hijau mengandung mimosin dengan konsentrasi terendah, yakni 1-2% (Jones, 1979) . Asam amino mimosin ini berkurang tingkat beracunnya apabila telah dirombak menjadi 3-hydroxy-4 (1 H) pyriclone (DHP) . Perubahan tersebut dapat terjadi dengan bantuan enzym, misalnya asam pyruvic (Lowry, 1982) yang terdapat hampir pads semua bagian dari sel tanaman lamtoro. Dilaporkan juga adanya microorganisme dalam rumen ternak dapat menghidrolisa asam amino mimosin menjadi DHP (Brayan dkk ., 1984 ; Tangendjaja clan Lowry, 1984b) . DHP cliketahui menyebabkan pembesaran kelenjar thyroid, clan keadaan ini tidak dapat diatasi dengan penambahan jodium (Kewalramani dkk., 1987). Juga dilaporkan bahwa pemberian hijauan lamtoro mengurangi tingkat kandungan serum thyroxine (T4) clan triiodo-thyroxine (T3) dalam darah (Jones, 1979) . Namun demikian penclekatan praktis penggunaan hijauan lamtoro bukan merupakan problem utama, karena tingkat kandungan mimosin dapat dikurangi dengan jalan yang mudah clan murah, yakni
Komposisi kimia hijauan lamtoro Hijauan lamtoro
Uraian
1
Bahan kering Protein kasar Lemak Serat kasar NDF ADF Hemicellulose Cellulose Abu Lignin Ca P Fe (ppm) Co (PPM) Mn (ppm) Energi kj/g Sumber : 1 . 2. 3. 4.
19,04 6,34 21,79 38,63 29,92 8,71 12,15 8,74
112,59 0,08 32,66
2 34,5 25,9 6,5 14,4 20,4 11,0 2,36 0,23
20,1
3
*1
4
28,3 26,9 -
29,1 34,57 2,23
35,67 27,98 2,77
38,3 22,6 -
38,6 34,38 4,22
52,68 42,93 9,55
4,85
4,93
0,47 0,79
1,10 0,55
6,8
20,7
19,38
18,9
Kewalramani, et al ., (1987) Jones (1979) . Van Eys, et al., (1986) Toruan-Mathius clan Suhendi (1991) *)daun mucla * *) daun tua
25
1- WA YAN MA THIUS: Tanaman lamtoro sebagai bank pakan
dengan pemanasan, pengeringan clan pelayuan hijauan tersebut (Partridge clan Ranacom, 1974). Komponen anti nutrisi yang juga terdapat dalam jenis hijauan lamtoro adalah adanya asam cyanida (HCN) (Jones, 1979). Terjadinya pembengkakan kelenjar thyroid ternak yang mendapat hijauan lamtoro kemungkinan disebabkan oleh asam cyanida tersebut . Kebenaran hal tersebut belum banyak dilaporkan, walaupun pemanfaatan hijauan tersebut secara tunggal atau sebagai hijauan tambahan telah banyak dilaporkan . PENGGUNAANNYA UNTUK TERNAK RUMINANSIA KECIL Adanya zat anti nutrisi clan tingginya kandungan serat kasar hijauan lamtoro untuk ternak ruminansia seperti sapi, kambing clan domba bukan merupakan hambatan . Ternak ruminansia mampu memanfaatkan mikroba rumen untuk merubah serat kasar menjadi bahan yang berguna bagi ternak bersangkutan . Tangendjaja clan Lowry (1984a) melaporkan bahwa ternak ruminansia memiliki mikro-organisme dalam rumen/perut besar yang dapat merubah asam mimosin menjadi suatu senyawa yang tingkat beracunnya lebih rendah daripada mimosin yang ada dalam daun lamtoro tersebut . Tabel 2 .
Uraian Lamtoro Gliricidia
Perkiraan produksi segar, bahan kering dan jumlah zat makanan yang dapat dihasilkan (kg/ha/thn) . Produksi* Segar 256 .000 116 .000
Jumlah zat makanan
Bahan kering Protein 80 .384 24 .592
19 .212 5 .853
Serat kasar 14 .549 4 .131
*) Jarak tanam (1 x 0,5 m) umur panen 3 bulan . Sumber : Semali dkk, (1983)
Sitorus (1987) melaporkan bahwa penambahan hijauan lamtoro segar sebanyak 0,5 kg pada ransum dasar (1,8 kg cacahan rumput gajah ditambah jerami padi secara bebas) menunjukkan adanya perbaikan nilai konsumsi bahan kering clan penampilan ternak domba clan kambing bila dibandingkan dengan ternak yang hanya mendapat ransum dasar . Demikian juga koefisien cerna semu zat makanan ransum meningkat dengan penambahan hijauan lamtoro . Nilai nutrisi hijauan lamtoro untuk ternak domba clan kambing telah banyak dilaporkan oleh para peneliti . Chee clan Devendra (1982) mendapatkan bahwa pemberian hijauan lamtoro sebanyak 75% dari total konsumsi pakan memberikan kenaikan bobot badan
26
Tabel 3 .
Koefisien cerna (%) hijauan lamtoro dan ransum yang mendapat tambahan hijauan lamtoro segar dengan jumlah yang berbeda pada ternak domba .
Uraian Bahan kering Bahan organik Protein kasar Serat kasar Abu
100%
Jumlah lamtoro 0, 5 kg 1 kg 2kg
1
2
50,0 51,1 40,5 60,2 37,7
64,1 65,9 64,8 44,3 45,1
3 49 51 56 -
45 47 50 -
44 54 52 -
Sumber : 1 . Wong et al., (1982) . 2 . Cheva-Isarakul . (1982) 3 . Semali dan Mathius (1984) .
harian tertinggi untuk ternak kambing, yakni 55,8 g dengan efisiensi penggunaan ransum sebesar 11, 5. Semali clan Mathius (1984) melakukan penelitian pada ternak domba yang sedang tumbuh dengan tingkat pemberian 0; 0,5; 1 clan 2 kg berat segar mendapatkan bahwa penambahan hijauan lamtoro pada rumput gajah meningkatkan konsumsi bahan kering ransum . Koefisien cerna semu bahan kering clan protein kasar cenderung menurun dengan meningkatnya jumlah pemberian daun lamtoro (Tabel 3), namun pertambahan berat badan harian domba yang mendapat tambahan daun lamtoro meningkat sejalan dengan tingkat penambahannya dalam ransum . Penambahan daun lamtoro segar sebanyak 1 kg per hari memberikan pertambahan berat badan yang tertinggi, yakni 44,4 g per hari de ngan tingkat efisiensi penggunaan ransum sebesar 15,6 . Pemberian daun lamtoro sebanyak 2 kg per ekor per hari tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pads pertambahan berat badan harian . Ristianto dkk. (1984) melakukan penelitian selama 2 bukan pada ternak kambing yang diberi ransum dasar jerami jagung clan ditambah tepung daun lamtoro. Penambahan tepung daun lamtoro dilakukan dalam 4 tingkat, yakni 100, 175, 250 clan 325 g per ekor per hari ; sedangkan jerami jagung diberikan secara bebas. Hasil pengamatan. menuniukkan bahwa penambahan tepung daun
lamtoro meningkatkan konsumsi bahan kering ransum . Demikian juga dengan konsumsi energi clan protein tercerna . Dari hasil penammatannya disarankan agar berdampak positif terhadap penampilan ternak kambing, maka pemberian tepung daun lamtoro tidak melebihi 50% dari total konsumsi bahan kering . Pengamatan tingkat palatabilitas tepung daun lamtoro telah juga dilakukan oleh Rangkuti dan
WARTAZOA Vol . 3 No . 1, Pebruari 1993
Djajanegara (1983) . Tepung daun lamtoro diberikan kepada ternak domba dan kambing setelah ditambahkan melase dengan empat tingkat konsentrasi melase, yakni O, 20, 40 dan 60% . Ternak domba dan kambing tersebut mendapat ransum dasar cacahan rumput gajah . Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering ransum oleh ternak domba menurun dengan makin meningkatnya konsentrasi penambahan melase . Namun untuk ternak kambing, konsumsi bahan kering ransum meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi melase . Koefisien cerna semu bahan kering, bahan organik, protein kasar, serat kasar dan energi untuk ternak domba meningkat dengan meningkatnya konsentrasi melase dalam tepung daun lamtoro. Koefisien cerna semu komponen nutrisi pakan tersebut tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda untuk ternak kambing . Dari pengamatan ini disimpulkan bahwa daun lamtoro dalam bentuk kering tidak banyak memberikan arti bagi ternak domba dan kambing . Oleh karena itu daun lamtoro harus diberikan dalam bentuk segar. Pengamatan yang sama untuk ternak kambing juga dilakukan oleh Soedomo dkk. (1984) . Penambahan daun lamtoro pada ransum dasar limbah pertanian ternyata meningkatkan konsumsi bahan kering ransum jika dibandingkan dengan konsumsi bahan kering kambing yang hanya mendapatkan ransum campuran rumput gajah dan konsentrat . Kenaikan berat badan ternak yang mendapatkan daun lamtoro bersama-sama limbah pertanian, 48-83% lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan berat badan ternak yang mendapatkan campuran rumput dan konsentrat . Sitorus (1987) melakukan pengamatan pengaruh pemberian daun lamtoro untuk ternak kambing clan domba yang mendapat jerami padi clan rumput gajah sebagai ransum dasar . Penambahan daun lamtoro segar dilakukan dalam empat tingkat, yakni 0, 180, 360 clan 540 g segar per hari . Penambahan daun lamtoro segar tersebut meningkatkan konsumsi bahan kering ransum sejalan dengan tingkat penambahan daun lamtoro. Meningkatnya konsumsi bahan kering tersebut diikuti juga dengan makin meningkatnya koefisien cerna semu bahan kering, protein kasar, NDF dan ADF secara nyata . Konsekuensinya pertambahan berat badan harian meningkat, baik untuk domba maupun kambing. Sebagai hijauan padang pengembalaan penggunaan hijauan lamtoro bersama-sama dengan rumput alam adalah sangat baik . Hal ini disebab kan adanya kemampuan tanaman lamtoro meng-
ikat nitrogen bebas dad udara yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan nitrogen oleh tanaman di sekitarnya misalnya rerumputan . Pemanfaatan hijauan lamtoro sebagai padan.g pengembalaan untuk ternak kambing dan domba belum banyak dilakukan, terutama untuk daerah Indonesia . Namun rintisan ke arah tersebut perlu diupayakan, terutama dalam usaha meningkatkan sumber daya alam yang ada di wilayah Indonesia Bagian Timur . PENGADAAN HIJAUAN LAMTORO Seperti yang telah dikemukakan terdahulu, tanaman lamtoro telah lama dikenal clan secara alam telah berkembang biak . Musibah kerusakan tanaman lamtoro (L . leucocephala sp glauca clan glabrata/lamtoro biasa dan lamtoro gung) sebagai akibat serangan kutu loncat (Heteropsylla cubana, Crawford) sehingga menyebabkan tanaman tersebut praktis tidak dapat berproduksi dan bahkan sebagian tanaman tersebut punah/mati . Upaya untuk mengatasi serangan kutu loncat telah clan sedang diupayakan baik secara biologis maupun subsitusi dengan spesies lamtoro lain yang tahan kutu loncat (Toruan-Mathius dan Suhendi, 1991) . Pusat Penelitian Perkebunan Bogor berhasil mengidentifikasi enam kultivar lamtoro (Leucaena diversifolia), yaitu PG 62, PG 63, PG 64, PG 65, PG 66 dan PG 79 yang tahan terhadap kutu loncat (Suhendi, 1990) . Penemuan kultivar terseleksi lebih banyak diarahkan sebagai tanaman pelindung yang tahan kutu loncat dan dipergunakan dalam perkebunan yang membutuhkan naungan ataupun sebagai tanaman penunjang . Oleh karena itu besar kemungkinan bahwa varietas baru tersebut memiliki komposisi nutrisi yang berbeda . Namun demikian, terlepas dari keadaan yang terakhir tersebut, tanaman lamtoro merupakan sumber pakan hijauan yang berpotensi dan memiliki nilai biologis yang sama dan bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman leguminosa lainnya. Produksi hijauan lamtoro segar yang dapat dihasilkan per satuan luasan tanah dalam satu satuan waktu tertentu dapat dilihat pada Tabel 2. Dari tabel tersebut juga dapat diperkirakan produksi bahan kering, protein kasar dan serat kasar hijauan lamtoro yang dapat dihasilkan . Semali dkk. (1983) melakukan pengamatan produksi hijauan lamtoro dengan berbagai tingkat tinggi pemotongan dari permukaan tanah . Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 0,5 x 2 m . Pengukuran pertama tingkat produksi tersebut dilakukan pada saat tanaman tersebut telah mencapai umur 1,5
27
1-WAYAN MA THIUS: Tanaman lamtoro sebagai bank pakan
tahun dan untuk selanjutnya dilakukan setiap 60 hari dengan tinggi pemotongan dari 0 sampai 150 cm dari permukaan tanah. Produksi tertinggi diperoleh pada tanaman dengan tinggi pemotongan 150 cm, yakni sebanyak 47 kg/5 pohon atau setara dengan 12,9 kg bahan kering per 5 pohon . Selanjutnya juga dilaporkan bahwa tinggi pemotongan terhadap komposisi nutrisi hijauan lamtoro tidak menunjukkan perbedaan, yakni 27,11 % ; 4,87%; 2,87% ; 0,30% dan 8,29% untuk protein kasar, lemak, kalsium, phosporus dan abu secara berurutan . Dari hasil tersebut disarankan agar untuk mendapatkan hasil yang tinggi, tanaman lamtoro sebaiknya dipanen dengan tinggi pemotongan 1-1,5 m dari permukaan tanah . Interval pemotongan yang baik menurut Semali (1983) adalah antara 10-12 minggu . Melihat pada kenyataan seperti diutarakan di atas, maka usaha pembudidayaan tanaman lamtoro perlu digalakkan . Fungsi tanaman lamtoro yang serba guna memudahkan bagi kita untuk lebih memanfaatkan daya guna tanaman tersebut . Tanaman ini dapat tumbuh pada hampir semua jenis tanah, terutama pada lahan yang tidak terpakai sebagai lahan tanaman pertanian. Misalnya pada daerah perbukitan yang sering mengalami erosi, pada lahan kritis, daerah pinggir jalan dan pada pagar daerah pekarangan/tegal/kebun . Usaha pembudidayaan tanaman ini sekaligus dapat mengatasi kekurangan hijauan makanan ternak yang sering . terjadi di musim kemarau . Kelebihan produksi yang sering terjadi di musim hujan dapat dijadikan silase bersama-sama dengan jenis hijauan makanan lainnya, atau dapat dirubah bentuknya yakni dalam bentuk tepung murni (tanaa campuran) . KESIMPULAN Lamtoro merupakan hijauan yang berpotensi, bernilai makanan dan bernilai biologi yang tinggi baik sebagai pakan tunggal maupun campuran . Tanaman ini mudah disebarluaskan, dapat tumbuh dengan mudah pada hampir segala jenis tanah dan tumbuh secara cepat serta mudah perawatannya . Tanaman ini berproduksi tinggi dan dapat dipanen setiap tiga bulan . Penggunaannya sebagai makanan ternak telah pula dibuktikan dengan berbagai penelitian dan hasilnya memberikan suatu harapan yang cukup cerah . Melihat pada kenyataan tersebut dan potensi tanaman lamtoro untuk menghasilkan hijauan pakan ternak serta kemampuan ternak ruminansia untuk memanfaatkan serat kasar, maka besar kemungkinan bahan hijauan lamtoro dapat dipakai sebagai bahan campuran konsentrat yang berkualitas . 28
DAFTAR PUSTAKA Bray, R.A ., R .J . Jones and M .E . Robert . 1984 . Shru b Legumes for forage in tropical Australia . Paper presented at the ACIAR Workshop on leucaena and other shrub legumes. Ciawi, Bogor. Chadhokar, P.A . 1982 . Gliricidia maculata : A promising legume fodder plant . World Anim Rev ., 44 : 36-43. Chee and C. Devendra . 1982 . Research on leucaena forage production in Malaysia . in Proc . Leucaena Research in the Asian-Pasific Region . IDRC 211-e . pp 55-60 Cheva-Isarakul, B. 1982 . The composition, intake and digestibility of legume tree leaves in North Thailand . in Doyle, P.T . (Ed) . The Uti lization of Fibrous Agricultural Residues as Animal Feeds. Parkville, Victoria . pp . 152-158 . Jones, R.J . 1979 . The value of Leucaena leucocephala as a feed for ruminants in the tropics . World Anim, Rev ., No . 31 . pp . 13-23. Jones, R .J . and R .A . Bray . 1982 . Agronomi c Research in the Development of Leucaena as a Pasture Legume in Australia . In Proc . Leucaena Research in the Asian-Pasific Region . IDRC 211-e. pp . 41-48. Kewalramani, N ., K.S . Ramchandra, V .S . Upadhyay and V .K . Gupta. 1987 . Proximate. composition, mimosine and mineral contents of leucaena sp and hybrids. Indian J . Anim . Sci ., 57(10) : 1117-1120. Lowry, J .B . 1982 . Detoxification of leucaena by enzymic or microbial processes. in Proc . Leucaena Research in The Asian-Pasific Region . IDRC . 211-e . pp . 49-54. Partridge, I.J . and E. Ranacom . 1974 . The effect of supplemental leucaena leucocephala browse on steer grazing Dichanthium caricosum in Fiji . Trop . Grasslands . 8 (2) : 107-112. Rangkuti, M . dan A. Djajanegara . 1983 . Palatabilitas tepung daun lamtoro pada kambing dan domba . Ilmu dan Peternakan . 1 (3) : 81-84. Ristianto U., M . Soeyono, Soemitro Pw . dan Subur P.S . Budhi . 1984 . Pengaruh pemberian tepung daun lamtoro terhadap pertambahan berat badan kambing yang diberi pakan jerami jagung . Proc . Domba dan Kambing di Indo. nesia. Puslitbangnak . pp . 16-19.
WARTAZOA Vol. 3 No . 1, Pebruari 1993
Semali, A ., I-W . Mathius. 1984 . Pengaruh penambahan daun lamtoro pada ransum domba terhadap konsumsi dan daya cerna ransum . Proc . Domba dan Kambing di Indonesia . Puslitbangnak . pp 8-11 .
Tangendjaja, B . and J .B . Lowry. 1984a . Leucaena in animal and human nutrition in Indonesia . Paper presented at the ACIAR Workshop on leucaena and other shrub legume . Ciawi, Bogor.
Semali, A . 1984 . Produksi hijauan lamtoro (Leocaena leucocephala) pada berbagai interval pemotongan . Ilmu dan Peternakan 1(5) : 197199 .
Tangendjaja, B . and J.B . Lowry . 1984b. Peranan enzym di dalam daun lamtoro pada pemecahan mimosin oleh ternak ruminansia . Proc . Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Puslitbangnak. Bogor . pp . 12-15 .
Semali,A ., Symsimar D . dan T. Manurung . 1983 Produksi hijauan lamtoro (L . leucocephala) pada berbagai tinggi pemotongan . Ilmu dan Peternakan . 1(3) : 85-87. Sitorus, S.S . 1987 . The effect of leucaena supplementation to napier grass and rice straw based diets for grooving goats and sheep . Ilmu dan Peternakan . 3(2) : 75-78 . Soedomo, H . Hartadi, J . Sutrisno, R. Utomo. 1984 . Penggunaan limbah pertanian dengan suplementasi daun legum lamtoro dalam ransum untuk pertumbuhan kambing . Proc . Domba dan Kambing di Indonesia. Puslitbangnak. pp 20-23 . Suhendi, D . 1990 . Resistensi lapang beberapa varietas lamtoro terhadap kutu loncat (Heteropsylla cubana). Menara Perkebunan . 58(4) : 110-114 .
Toruan-Mathius, N . dan D. Suhendi . 1991 . Potensi kultivar Leucaena diversifolia terseleksi sebagai pakan ternak . Menara Perkebunan . 59 (4) : 118-122 . Wong, C .C ., A . Izham and C . Devendra . 1982 . Agronomic performance and utilization of leucaena leucocephala cv Peru in Peninsular Malaysia . in Proc . Animal Production and Health in the Tropics . (Jainudaen, M . R . and A . R . Omar), Serdang, Selangor . pp . 369-374. Van Eys, J .E ., I-W. Mathius, P . Pongsapan and W. L . Johnson . 1986 . Foliag e of tree legumes gliricidia, leucaena and sesbania as supplement to napier grass diets for growing goats. J . Agric . Sci. Camb . 107: 227-233 . Yates, N .G . 1982 . Mineral supplements double growth rate of sheep fed leucaena . Research Report 1982 . Balitnak, Ciawi . p . 43 .