Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________
PENGARUH INTERVAL POTONG TERHADAP PRODUKSI HIJAUAN BEBERAPA KULTIVAR SORGHUM sp SEBAGAI TANAMAN PAKAN SAJIMIN, B.R. PRAWIRADIPUTRA , E. SUTEDI dan LUGIYO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT Effect of Cutting intervals on the Yield of some Cultivars Sorghum for Forage Production The study was conducted in order to investigate the effect of cutting intervals on fresh weight production and dry matter production of four cultivar Sorghum (cv. Nutrifeed, cv. Cooper, cv. Sugargaze and cv. Jumbo). Three treatments applied were 30, 40, and 50 days cutting intervals. The treatments were replicated four times. The colected data were analysed by Completely Randomized Design (CRD). The results indicated that the cutting interval affected (P < 0,05) on fresh weight production and dry matter production of Sorghum. It was concluded that the longer cutting interval the higher fresh weight and dry matter production of Sorghum. The higher production on the 50 day cutting interval, but crude protein content was lower than 40 or 30 day cutting interval. Key words: Forage production, Sorghum, cutting interval
PENDAHULUAN Pakan merupakan salah satu faktor yang penting dalam produksi ternak oleh karena itu penyediaannya sangat menentukan keberhasilan dalam usaha peternakan. Kebutuhan tanaman pakan ternak di masa mendatang akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan produk peternakan (KASRYNO, 1997). Namun dalam pembangunan peternakan di Indonesia hijauan pakan belum menjadi prioritas. Padahal pada musim kemarau hijauan pakan sulit diperoleh (PRAWIRADIPUTRA, 1986). Fluktuasi pakan hijauan ini baik kualitas maupun kuantitas sangat terasa setiap waktu, sehingga penurunan populasi ternak tidak dapat dihindari ketika keadaan hijauan terbatas. Guna memenuhi kebutuhan hijauan ternak, maka diperlukan jenis -jenis hijauan yang berproduksi tinggi (unggul) yang tidak dipengaruhi oleh musim. Usahausaha untuk memperoleh jenis -jenis unggul tersebut, baik melalui eksplorasi maupun melalui penelitian pernah dilakukan pada jenis rumput dan legum (IVORY dan YUHAENI, 1984; IVORY, 1986). Salah satu tanaman tersebut adalah jenis Sorghum sp mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan di Indonesia karena memiliki kelebihan yaitu lebih tahan terhadap kekeringan dibanding palawija lainnya. Sorghum dapat tumbuh baik didaerah dengan curah hujan kurang dari 600 mm (SUNARDJONO, 1996) dan merupakan tanaman yang sangat sesuai bagi daerah tropik kering dan setengah kering demikian juga batang dan daun tanaman seringkali digunakan sebagai pakan. Sebagai tanaman pakan unggul perlu dievaluasi agar dapat
dimanfaatkan secara maksimum bagi keperluan masyarakat (BERNAWIE, 1996) sehingga dapat diketahui terutama sifat daya hasil, mutu, ketahanan cekaman biotik dan abiotik. Sorgum yang memiliki sifat menguntungkan dan dapat digunakan sumber hijauan pakan pada daerah kering, tapi produksi dan pertumbuhannya dipengaruhi oleh manajemen yang tepat. Faktor manajemen hijauan pakan sangat mempengaruhi produktivitas baik kontinuitas maupun kualitas, disamping faktor tanah dan iklim. Manajemen tanaman pakan yang tepat akan terjamin kontinuitas produksi sepanjang tahun (W HITEMAN, 1974). Pemanenan tanaman pakan yang tepat merupakan faktor penting karena akan menentukan pertumbuhan vegetatif yang akan memberikan produksi lebih tinggi. Menurut A MINUDIN (1990), bahwa umur pemotongan tanaman pakan umumnya dilakukan pada periode akhir masa vegetatif atau menjelang berbunga untuk menjamin pertumbuhan kembali (regowth) yang optimal sehat dan kandungan gizinya tinggi. Untuk mengetahui sifat unggul jenis sorgum sebagai pakan ternak, maka pada makalah ini dilaporkan hasil pengamatan produksi dan kualitas hijauan dengan interval pemotongan yang berbeda serta ketahanan tanaman selama satu tahun. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan Balitnak di Kaum Pandak Bogor tahun 2001/2002 dengan ketinggian tempat 250 m dari muka laut dan
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
339
____________________________________________________________________________________________________________________
topogafi tanah datar. Jenis tanaman pakan (Sorghum cv Jumbo, Sorghum vc Sugargaze, Sorghum cv Nutrifeed, Sorghum cv Cooper) yang ditanam dari biji pada awal musim hujan dengan jarak tanam 1 x 1 m antara tanaman dengan ukuran petak 36 m2 . Pelaksanaan percobaan setelah tanaman hidup stabil (2 bulan) mulai perlakuan dengan pemotongan paksa (pemerataan), sesuai dengan perlakuan interval potong 30, 40 dan 50 hari tiap plot percobaan, data dikumpulkan pada musim hujan dan musim kering berdasarkan curah hujan. Setiap pemotongan ditimbang berat segar dan berat kering serta secara komposit tiap perlakuan diambil sampel 500 gam basah dan dikeringkan pada oven 700 C selama 48 jam untuk menghitung bahan kering hijauan. Rancangan percobaan acak kelompok tiga perlakuan dan empat ulangan. Parameter yang diamati meliputi ketahanan tanaman dengan interval potong yang berbeda, produksi hijauan dan kualitas hijauan berdasarkan interval potong.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisa tanah awal menunjukkan bahwa tanah percobaan di Kaum Pandak bertekstur pasir (61,5%), kejenuhan basa tergolong sedang (46,8%), Kandungan N dan K tergolong rendah, sedangkan P termasuk tinggi. Keadaan tanah demikian juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, hasil ini terlihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa dengan interval pemotongan semakin panjang produksi hijauan semakin tinggi untuk setiap jenisnya. Pengukuran produksi yang dilakukan dari pemotongan pertama, kedua dan ketiga hingga selama satu tahun. Untuk interval potong 30 hari sebanyak 12 kali, 40 hari 9 kali dan 50 hari 7 kali seperti pada Gambar 1, 2, 3. Dari pemotongan pertama ke pemotongan kedua meningkat mencapai 50% namun pemotongan berikutnya langsung menurun bahkan mencapai lebih dari 100%, keadaan demikian menunjukkan bahwa jenis sorghum daya tumbuh kembali (regowth) termasuk rendah.
Tabel 1. Tanggal pemotongan dan curah hujan (mm) dilokasi percobaan Pemotongan ke I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII
Umur 30 hari 9/11/01 9/12/01 8/1/02 7/2/02 9/3/02 8/04/02 8/05/02 7/06/02 7/07/02 6/08/02 5/09/02 5/10/02
Umur 40 hari
Umur 50 hari
Bulan
19/11/01 29/12/01 7/02/02 19/03/02 28/04/02 7/06/02 17/07/02 26/08/02 5/10/02
29/11/01 18/01/02 9/03/02 28/04/02 17/06/02 6/08/02 25/09/02
Nopember Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober
Curah hujan (mm) 416 385 629 475 414 578 247 345 313 128 118 298
Hari hujan 25 26 29 25 26 27 19 12 16 9 10 12
Tabel 2. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah percobaan di Kaum Pandak Bogor Jenis analisa Tekstur: Debu (%) Pasir (%) Liat (%) PH : H2O (1 : 5) KCl (1 : 5)
Bahan organik: C :N Nisbah : C/N
Hasil analisa 5,75 61,5 32,75 5,28 4,5
2,69 0,27 10,0
Jenis analisa P2O5- HCl 25 % (mg/100g) K2O – HCl 25 % (mg/100g)
Hasil analisa 99 8,75
Ca (mg/100g) Mg (mg/100g) K (mg/100g) Na (mg/100g) KTK (mg/100g)
7,01 1,39 0,15 0,36 19,0
Kejenuhan basa (%)
46,8
_____________________________________________________________________________________________ 340
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ Tabel 3. Rataan produksi berat kering Sorgum berdasarkan interval potong (g/rumpun/potong) Kultivar Sorgum cv Jumbo cv. Sugargaze cv. Nutrifeed cv. Cooper Rataan
Interval 30 hari 28,4b 30,1b 71,3a 25,8b 38,9
Interval 40 hari 33,1b 50,0b 97,6a 53,0b 58,4
Interval 50 hari 65,0c 132,1b 258,8a 114,3b 142,6
Rata-rata 42,2 70,7 142,6 64,4
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak beda nyata P<0,05
Jika dibandingkan antar cultivar maka Nutrifeed mempunyai pertumbuhan yang lebih baik, setelah dipangkas tiga kali tetap menghasilkan hijauan tertinggi kemudian diikuti Sugargaze, Jumb o dan Cooper. Selain itu jenis Nutrifeed lebih tahan pangkas dari hasil pengamatan dilapangan tidak ada yang mati, sedangkan jenis Cooper, Jumbo dan Sugargaze rata-rata kematian tanaman mencapai 75% per plot bahkan pada pemotongan ketujuh, kultivar jumbo sudah ada yang mati. Kematian tanaman ini disebabkan oleh batang yang bekas dipotong menjadi kering sehingga tunas tidak dapat tumbuh. Menurut W HYTE et al. (1968) bahwa tanaman dengan frekuensi pemotongan tinggi menuju berkurangnya cadangan zat makanan dan menyebabkan tanaman ‘exhausted’ (kehabisan) dan menyebabkan berkurangnya jumlah tunas (tillers) dengan karbohidrat yang terlalu sedikit. Hal demikian nampak terjadi pada jenis Sorghum kultivar jumbo, sugargaze dan cooper sedangkan nutrifed tidak demikian. Hasil di atas terlihat bahwa dengan interval pemotongan semakin tua produksi hijauan semakin tinggi untuk setiap jenisnya. Hal ini disebabkan tanaman terus mengalami pertumbuhan dan menghasilkan bahan kering setiap rumpun lebih besar pada interval potong 50 hari rata-rata 142,6 g/rumpun sedangkan umur 40 hari 58,4 g/rumpun dan 30 hari 38,9 g/rumpun. Tingginya bahan kering setelah tanaman umur 50 hari karena tanaman memasuki phase generatif
dan tanaman telah mulai berbunga. Menurut SIREGAR dan DJAJANEGARA (1972) bahwa untuk produksi hijauan makanan ternak terbaik dipotong pada phase pertumbuhan vegetatif (sebelum berbunga) karena setelah phase tersebut tidak terjadi pertambahan produksi hijauan karena pertumbuhannya sudah maksimal. Hasil tersebut juga terefleksi pada jumlah tunas dan tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata pada tiap perlakuan (Tabel 4). Pada Tabel 4 memperlihatkan pada interval potong 30 hari jumlah tunas per rumpun rata-rata 8,1 sedangkan yang dipotong pada interval 40 hari (5,2) dan 50 hari (5,7) tidak berbeda nyata (P<0,05). Lebih rendahnya jumlah tunas pada interval potong 40 maupun 50 hari dibandingkan dengan 30 hari, disebabkan ada tunas yang mati akibat kompetisi mendapatkan makanan yang kalah sehingga mengakibatkan berkurangnya jumlah tunas, namun pertumbuhan tanaman tidak tergganggu dan ini tercermin pada produksi hijauan. Jika dibandingkan antar kultivar maka Nutrifeed mempunyai rata-rata jumlah tunas paling banyak dan pertumbuhannya paling tinggi, hasil ini juga berkaitan dengan produksi hijauan yang tertinggi. Selain pengaruh interval pemotongan musim juga berperan terhadap produksi hijauan sorgum, dari pengamatan berdasarkan musim hujan, musim kering tertera pada Tabel 5.
Tabel 4. Jumlah tunas (buah) dan tinggi (cm) tanaman Sorghum sp per rumpun dengan perbedaan umur potong Jenis tanaman Sorghum
cv. Jumbo cv. Sugargaze cv. Nutrifeed cv. Cooper Rataan
30 hari Tunas Tinggi (buah) (cm) 7,8 125,9 6,9 119,1 13,7 142,7 3,9 121,3 8,1 127,3
Interval pemotongan 40 hari 50 hari Tunas Tinggi Tunas Tinggi (buah) (cm) (buah) (cm) 6,0 124,6 8,2 143,7 3,6 130,2 4,2 188,3 7,4 171,9 7,9 253,2 3,6 130,1 2,6 169,0 5,2 139,2 5,7 188,6
Tunas (buah) 7,3 4,9 9,7 3,4
Rata-rata Tinggi (cm) 131,4 145,9 189,3 140,1
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
341
____________________________________________________________________________________________________________________
Tabel 5. Produksi bahan kering g/rumpun/musim Kultivar/interval potong Cooper 30 40 50 Nutrifed
Sugargaze
Jumbo
Musim hujan 17,1 24,6 47,2
Musim kering 4,7 9,7 5,3
30 40 50
29,1 46,7 115,2
30 40
% Produksi musim kering 21,6 28,3 10,1
Total 21,8 34,3 52,5
8,1 16,3 52,4
21,8 25,9 31,3
37,2 63,0 167,7
17,2 38,4
3,2 10,9
15,7 22,1
20,4 49,3
50
61,1
13,1
17,7
74,2
30 40 50
13,0 16,6 19,6
0,1 2,5 0
0,8 13,1 0
13,1 19,1 19,6
120
Produksi (g/rumpun/potong)
100
80
60
40
Cooper Nutrifeed Sugargraze
20
Jumbo
0 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
Pemotongan
Gambar 1. Produksi bahan kering dengan interval potong 30 hari
_____________________________________________________________________________________________ 342
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ 160
Produksi(g/rumpun/potong)
140 120 100 Cooper
80
Nutrifeed
60
Sugargraze 40
Jumbo
20 0 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
Pemotongan
Gambar 2. Produksi bahan kering pada interval potong 40 hari
300
Produksi(g/rumpun/potong)
250
200 Cooper 150
Nutrifeed Sugargraze
100
Jumbo
50
0 I
II
III
IV
V
VI
VII
Pemotongan
Gambar 3. Produksi bahan kering pada interval potong 50 hari
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
343
____________________________________________________________________________________________________________________
Tabel 6. Hasil analisa kandungan protein kasar dan pospor pada beberapa kultivar Sorghum sp dengan interval pemotongan berbeda Kultivar Sorghum cv. Jumbo cv. Sugargaze cv. Nutrifeed cv. Cooper Rata-rata
30 hari CP (%) P (%) 10,69 0,22 11,78 0,19 10,31 0,20 13,91 0,26 11,67 0,22
Interval pemotongan 40 hari 50 hari CP (%) P (%) CP (%) P (%) 9,19 0,21 11,5 0,28 11,41 0,26 9,75 0,20 11,28 0,22 7,16 0,18 10,75 0,22 7,56 0,36 10,66 0,23 8,99 0,26
Rata-rata Cp (%) P (%) 10,46 0,24 10,98 0,22 9,58 0,20 10,74 0,28
CP: protein kasar, P: fosfor
Pada Tabel 5 di atas terlihat bahwa persentase produksi musim kering tertinggi pada jenis Nutrifeed pada umur potong 50 hari (31,3%) dan terendah cv Jumbo. Jika dibandingkan berdasarkan umur potong maka pada pemotongan 40 hari untuk semua kultivar paling tinggi, hasil ini juga terlihat kualitas hijauannya dengan kandungan protein kasarnya lebih tinggi tidak banyak berbeda dengan umur 30 hari dan lebih tinggi dari 50 hari. Rataan produksi hijauan musim hujan dan musim kering, maka produksi pada musim kering ratarata 17,4%. Keadaan ini memperlihatkan bahwa selisihnya tidak terlalu besar sehingga memungkinkan untuk produksi hijauan pada musim kering. Seperti yang dikemukakan SUTORO dan A DIATMI (1998) perbedaan yang kecil produksi suatu tanaman sorghum yang mempunyai potensi cukup baik untuk dikembangkan di Indonesia karena lebih tahan kering.
memudahkan menyerap hara tanah untuk pertumbuhan. Menurut HERYANI et al. (1998) air memegang peranan penting dalam proses metabolisme tanaman dan penyerapan hara tanah. Pengaruh interval potong pada sorghum juga menentukan kualitas hijauannya dan hasil ini terlihat pada kandungan protein kasarnya. SIREGAR dan DJAJANEGARA (1972) melaporkan bahwa makin lama umur potong suatu rumput, maka kandungan proteinnya menurun tapi serat kasarnya meningkat, karena selnya semakin tebal. Kemudian SETYATI (1991) bertambahnya umur tanaman menyebabkan sel tanaman bertambah besar, dinding sel menebal dan terjadi perkembangan pembuluh kayu sehingga produksi bahan kering tanaman meningkat tapi kandungan gizinya menurun.
Kualitas hijauan beberapa kultivar Sorghum sp
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa produksi dan kualitas hijauan pada Sorghum dengan interval pemotongan 40 hari adalah yang terbaik (sebelum phase berbunga) dengan produksi tidak banyak berbeda dengan interval potong 50 hari. Tinggi rendahnya produksi juga dipengaruhi oleh jumlah tunas dan musim hujan dan musim kering. Dari keempat kultivar sorgum maka cv Nutrifeed memiliki ketahanan pangkas yang lebih baik dengan produksi tidak banyak berbeda dengan umur potong 50 hari.yang tertinggi. Kandungan protein kasar yang berkisar 9,58 – 10,98% dan fosfor 0,2 – 0,28% pada keempat jenis Sorghum tidak banyak berbeda. Sehingga jenis ini dapat digunakan sebagai alternatif tanaman pakan ternak dan cocok untuk daerah kering.
Hasil analisa bahan kering menujukkan bahwa kandungan protein kasar menurun dengan semakin panjangnya interval pemanenan yang tertera pada Tabel 6. Pada Tabel 6 diatas terlihat bahwa makin tua umur pemotongan maka rata-rata kandungan protein kasar makin menurun dari 11,67; 10,66; dan 8,99% pada umur pemotongan 30, 40 dan 50 hari, namun kandungan fospornya tidak banyak berbeda. Keadaan ini disebabkan makin tua tanaman maka kandungan serat kasarnya makin tinggi dan proteinnya menurun. Hasil ini juga sesuai dengan hasil penelitian SIREGAR et al. (1980) pada rumput benggala dimana kandungan protein pada umur yang lebih tua kandungan proteinnya juga lebih rendah. Rendahnya kandungan protein kasar disebabkan pengaruh oleh kesuburan tanah yang rendah (Tabel 2) dan umur pemanenan. Karena kandungan bahan organik dan pH tanah yang rendah sehingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan kandungan mineral tanah serta curah hujan. Pada musim hujan persediaan air yang lebih banyak sehingga
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA AMINUDIN, S. 1990. Beberapa jenis dan metode pengawetan hijauan pakan ternak tropika. Depdikbud Unsoed. Purwokerto.
_____________________________________________________________________________________________ 344
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ BERNAWIE. N. 1996. Meningkatkan pemanfaatan plasma nutfah. Pertemuan pemulia dalam pemanfaatan plasma nutfah. 20th. KNPN. Departemen Pertanian.
SIREGAR, M.E. dan A. DJAJANEGARA . 1972. Pengaruh berbagai frekuensi pemotongan terhadap produksi hijauan beberapa rumput pasture. Bulletin LPP. Bogor. No.6. P. 1-11.
IVORY , D.A. dan S. YUHAENI . 1984. Collection of native herbaceous and shrub legumes in Java and Sumatera. Forage Research Project. Annual Report 1984. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
SIREGAR, M.E. M. MARTAWIJAYA dan T. HERAWATI . 1980. Pengaruh tatalaksana interval panen terhadap kuantitas dan kualitas produksi rumput benggala (Panicum maximum cv. Guinea) Bulletin LPP. No. 26. Hal 41 – 49.
IVORY , D.A. 1986. Performance of germplasm in new environments. In: Forage in Southeast Asian and South Pacific Agiculture. Blair et al (eds) Proc. of an international workshop held at Cisarua Indonesia. ACIAR Proceeding Series No. 12.
SUNARDJONO, H. 1996. Plasma Nutfah tanaman buah. Pertemuan pemulia dalam pemanfaatan plasma nutfah. 20th. KNPN. Departemen Pertanian.
KASRYNO, F. 1997. Strategi dan kebijaksanaan penelitian dalam menunjang pembangunan peternakan. Dalam Kusnadi et al (eds). Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak Bogor. PRAWIRADIPUTRA , B. R., 1986. Pola penggunaan hijauan makanan ternak di DAS Jratunseluna dan Brantas. Seri Makalah Penelitian No. 1. P2LK2T. Badan Litbang Pertanian.
SUTORO dan HADIATMI. 1998. Pengelompokan plasma nutfah Sorgum berdasarkan ciri morfologi malai. Plasma nutfah Vol. III, KNPN. Deptan. p. 41 – 45. WHYTE , R.O., T.R.G. M OIR and J.P. COOPER. 1968. Gasses in Agiculture. F.A.O. Agicultural Studies No. 42. FAO. United Nations, Rome. WHITEMAN, P.C. 1974. The environment and pasture gowth. In: a course manual in tropical Pasture science. P.C. WHITMAN (ed). Watson ferguson and Co. Ltd. Brisbane. Sydney.
SETYATI , S.H.M. 1991. Pengantar Agonomi. Cetakan ke 10. Gamedia. Jakarta.
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
345