TANAH SEBAGAI FAKTA DALAM IRIGASI 1 Tejoyuwono Notohadiprawiro
Beberapa Latar Belakang Uraian Tanah disebut fakta dalam irigasi karena merupakan kenyataan yang terdapat dalam hakekat persoalannya. Irigasi diberikan karena persediaan lengas tanah tidak mencukupi bagi keperluan pertanaman (crop). Sumber pertama air adalah hujan. Tanaman tidak dapat menggunakan air hujan secara langsung. Untuk dapat digunakan oleh tanaman, air hujan harus dialih ragamkan terlebih dahulu menjadi lengas tanah (soil moisture) oleh tanah. Tidak semua air hujan yang jatuh di atas tanah dapat dialihragamkan menjadi lengas tanah, karena sebagian akan hilang berupa uap oleh proses evaporasi dan hilang berupa aliran limpas (run off) apabila jatuh di atas tanah yang berlereng. Air hujan yang tidak hilang akan meresap ke dalam tanah dengan proses infiltrasi. Air infiltrasi inilah yang dapat dialihragamkan menjadi lengas tanah. Pada tanah yang berdaya infiltasi lambat dan berpermukaan sangat datar atau cekung, air hujan yang tidak hilang akan menggenang dan ini mengakibatkan alih ragam menjadi lengas tanah tertunda. Air menggenang juga memperbesar kesempatan evaporasi sehingga lebih banyak air hujan yang hilang. Makin banyak air hujan yang hilang, makin kurang air hujan yang dapat mengisi lengas tanah. Makin lambat laju infiltrasi, makin lambat laju pengisian lengas tanah. Jumlah air hujan yang siap berinfiltrasi bersama dengan laju infiltrasi menjadi ukuran efektivitas hujan dalam kaitannya dengan pembentukan lengas tanah. Laju infiltrasi lambat dapat merupakan persoalan struktur tanah, atau merupakan persoalan tegangan lengas tanah. Struktur tanah mampat (compact) atau pada permukaan tanah terbentuk kerak (crust) melambatkan laju infiltrasi atau bahkan menghentikan infiltrasi. Laju infiltrasi mengalami perlambatan atau infiltrasi terhenti dapat juga disebabkan karena tegangan lengas tanah nihil, berarti tanah jenuh air. Tanah jenuh air karena pengisian berlebihan sebelumnya atau karena muka air tanah dangkal. Yang menjadi persoalan dalam irigasi ialah infiltrasi yang berkaitan dengan struktur tanah. Infiltrasi yang berkaitan dengan tegangan lengas tanah menjadi persoalan dalam pengatusan (drainage).
1
Pertemuan Pembahasan Kebutuhan air irigasi. Direktorat Jenderal Pengairan DPU dengan FTP UGM, Yogyakarta, 28-30 Januari 1986.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
1
Hujan efektif adalah hujan potensial bagi pembentukan lengas tanah. Jumlah ini masih harus dikurangi dengan jumlah yang melakukan perkolasi untuk memperoleh ukuran jumlah air hujan yang benar-benar dapat membentuk lengas tanah. Ini yang boleh disebut hujan aktual bagi pembentukan lengas tanah. Daya tambat air (water retention capacity) tubuh tanah dan laju perkolasi saling berinteraksi menurut imbangan kekuatan masingmasing. Laju perkolasi dapat dikekang oleh daya tambat air yang kuat atau oleh lapisan tanah yang berdaya lulus air kecil atau kedap air. Ini semuanya merupakan faktor hakiki tubuh tanah. Laju perkolasi dapat pula dikekang oleh faktor-faktor luar tubuh tanah berupa air tanah tinggi atau lapisan geologi yang berdaya lulus air kecil atau kedap air. Sebaliknya, daya tambat air dapat dilawan oleh laju perkolasi yang cepat, yang diimbas (induced) oleh air tanah rendah sekali dalam bahan geologi yang sarang. Dalam tubuh tanah daay tambat air dan laju perkolasi biasanya saling berlawanan. Daya tambat air kuat biasanya disertai oleh laju perkolasi lambat dan sebaliknya. Pengetahuan tentang dinamika air pada permukaan tanah dan di dalam tubuh tanah sangat diperlukan sebagai landasan pengaturan irigasi dan perancang bangunan-bangunan irigasi. Dengan menerapkan teknik irigasi yang didasarkan atas pengetahuan ini, efisiensi irigasi dapat ditingkatkan sehinggga memadai. Jumlah, waktu dan kekerapan pemberian air kepada pertanaman akan dapat diatur sebaik-baiknya manurut kebutuhan sebenarnya, dan kebocoran air dalam saluran penyalur dan pembagi dapat dibatasi sampai tingkat yang masih dapat ditenggang (tolerated) menurut ukuran efisiensi teknik. Kebutuhan pertanaman akan air yang harus dipasok (supplied) oleh irigasi ditentukan oleh: (1) Ketersediaan hujan aktual bagi pembentukan lengas tanah, dan (2) Macam dan unsur pertanaman serta sistem budidaya yang diterapkan. Sistem budidaya menyangkut berbagai gatra agronomi, seperti jarak tanam, pergiliran pertanaman, sistem penyiapan lahan, pengolahan tanah dan pemupukan. Macam pertanaman tidak saja menyangkut jenis tanaman yang diusahakan, akan tetapi juga menyangkut bagian tanaman yang dipanen (umbi, batang, daun, buah, biji atau bunga). Jadi, perencanaan dan pelaksanaan irigasi harus berwawasan tempat dan waktu, baik yang bertalian dengan lingkungan biofisik, biologi pertanaman, maupun dengan keadaan sosioekonomi. Keadaan sosioekonomi menjadi faktor sangat penting dalam menentukan tingkat produksi yang diinginkan. Dengan persepsi tentang irigasi semacam ini dapatlah dibuat suatu acuan pengicak (simulation model). Dengan acuan ini sistem irigasi yang sepadan dapat dipersiapkan
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
2
terlebih dahulu bagi tiap keadaan atau perubahan keadaan yang teramalkan. Disamping itu efisiensi tertinggi yang dapat dicapai dengan suatu sistem irigasi tertentu yang diterapkan pada suatu keadaan biofisik dan sosioekonomi tertentu dapat dihitung sebelum sistem irigasi itu diterapkan benar-benar. Dengan kata lain, acuan pengicak sangat berguna untuk menunjukkan berbagai alternatif yang tersediakan bagi pembangunan irigasi diberbagai tempat dan meramalkan akibat atas efisiensi irigasi kalau satu atau lebih faktor penentu berubah. Sesuai dengan judul maka makalah ini dibatasi pada faktor tanah sebagai suatu fakta hidrologi dari rangkaian kesatuan tanah-tanaman-atmosfir (soil-land-atmosphere continue, SPAC). Analisis Sistem Rangkaian kesatuan tanah-tanaman-atmosfir (RKTTA) dapat dibuat menjadi suatu submodul hidrologi dari keseluruhan acuan irigasi. Submodul yang lain ialah agronomi dan sosioekonomi usahatani. Dalam submodul hidrologi tanah dijadikan pusat kelakuan agrohidrologi karena tanah menjadi tali penghubung (link) antara sumber air alamiah (atmosfir) dan pengguna air yang sekaligus bertindak pula sebagai salah satu penggerak daur hidrologi (tanaman). Dalam hal irigasi variabel pengguna air bukan tanaman sebagai individu, akan tetapi masarakat tanaman berupa pertanaman (crop). Pertanaman merupakan suatu agroekosistem yang terdiri atas anasir-anasir tanaman, risosfir, iklim mikro, dan lingkungan hayati. Risosfir merupakan antarmuka (interface) tanaman dengan tanah. Iklim mikro merupakan antarmuka rumit anatar tanaman dengan atmosfir disatu pihak, antara tanah dan atmosfir dipihak yang lain, dan bergantung pada hasil kedua proses antar muka tersebut. Lingkungan hayati tersusun atas makhluk-makhluk pengganggu (hama, penyakit, parasit, gulma) dan makhluk-makhluk berguna (serangga penyerbuk, pohon peteduh, dsb. ). Jasad renik tanah pada lazimnya diangggap bagian dari tanah. Untuk pembahasan irigasi lingkungan hayati dapat diabaikan sepanjang tidak menyaingi tanaman pokok dalam menggunakan lengas tanah. Untuk membuat submodul hidrologi diperlukan sejumlah data, yaitu fakta yang dapat ditarik menjadi suatu kesimpulan. Data itu ialah: 1. Curah hujan sebagai variabel perolehan (gain)……………………………………..H 2. Laju evaporasi sebagai variabel kehilangan (loss)………………………………….E
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
3
3. Laju aliran limpas (runoff) sebagai variabel kehilangan…………………………….L 4. Laju perkolasi sebagai variabel kehilangan………………………………………….P 5. Tingkat genangan air sebagai variabel simpanan sementara (simpanan tidak aktif)..G 6. Laju transpirasi sebagai variabel kehilangan dalam proses penggunaan…………….T 7. Daya tambat air dari tanah sebagai variabel simpanan aktif…………………………A 8. Laju infiltrasi sebagai variabel perolehan…………………………………………….I Dengan variabel-variabel di atas dapat ditetapkan kelakuan hidrologi suatu wilayah yang berkenaan dengan pemasokan (supply) lengas tanah sepanjang tahun. Dengan merinci data menurut waktu dapat diperoleh petunjuk tentang pola pemasukan lengas tanah sepanjang tahun. Pola ini akan memberitahukan kapan akan ada defisit lengas tanah dan berapa lama hal itu akan berlangsung, atau kapan akan ada surplus berlebihan dan berapa lama hal itu akan berlangsung. Defisit mengisyaratkan irigasi, atau mengubah pertanaman untuk menurunkan kebutuhan air, atau mengendalikan variabel kehilangan bersamaan dengan memperbesar variabel perolehan. Surplus berlebihan mengisyaratkan pengatusan (drainage), atau penggunaan pertanman yang memerlukan air lebih banyak, atau memeperbesar variabel simpanan sementara. Dengan formalisasi matematik submodul hidrologi itu dapat disajikan sebagai berikut: A = I – P………………………………………………………………………..(1) I = H – E – L pada lahan berlereng…………………………………………….(2a) I = H – E – G pada lahan datar atau cekung……………………………………(2b) maka: A = H – E – (L + G) – P………………………………………………………...(3) dan dengan pertanaman tertentu diperoleh persamaan: A’ = H – E – T- (L + G) – P…………………………………………………….(4)
yang A’ adalah besaran kapasitas pengisian lengas tanah dari agroekosistem tertentu dalam RKTTA. A’ di atas nol berarti surplus, A’ sama dengan nol berarti marginal, sedang A’ di bawah nol berarti defisit. Untuk menekan resiko karena penyimpangan cuaca, fasilitas irigasi sudah diperlukan dalam kawasan dengan A’ positif kecil. Batasan posotif kecil bergantung pada variabilitas cuaca yang teramalkan. Dengan usaha menurunkan E, misalnya dengan mulsa, dan/atau mengecilkan L, misalnya dengan teras, I dapat dinaikkan apabila keadaan struktur permukaan tanah tidak merupakan kendala bagi penaikan I
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
4
(persamaan 2a). dengan penaikan I maka A akan naik. Kenaikan A akan lebih banyak kalau bersamaan dengan penaikan I, P diturunkan (persamaan 1). Dari persamaan 3 dan 4 dapat diturunkan persamaan baru: A’ = A – P …………………………………………………………………..(5) Berdasarkan persamaan 5 bertambah jelas bahwa A’ merupakan indeks neraca lengas dalam suatu agroekosistem. A’ menjadi pedomen pengoptimuman hubungan antara pemasokan dan permintaan air. A dimanipulasi dengan pengelolaan tanah dan T dimanipulasi dengan pengaturan sistem pertanaman (cropping system). Manipulasi A menghasilkan sederet harga A1 s.d. An dan manipulasi Tabel menghasilkan sederet harga T1 s.d. Tm. Maka: A’ = F (AITj)…………………………………………………………………(6) dan dengan formalitas matematik ini sebagai kriterium dapat dikerjakan pemetaan agrohidrologi. Untuk keperluan perencanaan makro, T dapat disederhanakan menjadi empat kelas, yaitu padi sawah, tanaman semusim lahan kering (palawija, padi gogo), tanaman rumput pakan (fodder grass), dan tanaman tahunan (pohon). Interval waktunya cukup dibuat tiga bulanan. Untuk A hanya diadakan sebuah kelas yaitu A aktual tanpa manipulasi teknologi. Klasifikasi dan pemetaan agrohidrologi makro seperti ini telah dikerjakan oleh Notohadiprawiro & Asmara (1985). Persamaan 6 juga dapat dipakai untuk meramalkan keadaan yang akan terjadi kalau AI dan/atau Tj berubah. Maka persamaan ini merupakan alat perumus kebijakan pemanfaatan sumberdaya air, termasuk kebijakan pembangunan irigasi. Persamaan 6 sebagai acuan pengicak akan sanggup menyajikan berbagai rupa alternatif, mulai dari yang menggunakan teknologi tradisional, konvensional sampai dengan yang menggunakan teknologi canggih yang bersifat inovatif. Pengefektifan dan Pengefisienan Irigasi Lewat Ilmu Tanah Menggunakan air hujan langsung untuk memenuhi kebutuhan pertanaman jauh lebih murah dan melewati jalan jauh lebih pendek daripada menunggu dulu sampai air hujan berganti menjadi mata air, sungai atau air tanah dan baru kemudian dengan teknik tang rumit mengambilnya, mengumpulkannya dan menyalurkannya ke petak pertanaman. Makin panjang jalan yang harus dilalui dari sumber dari tempat penggunaan, makin berkurang efisiensi pemanfaatannya. Setiap alihragam menyebabkan kehilangan tertentu karena tidak ada proses alihragam yang daparbekerja dengan efisiensi 100%. Barangkali
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
5
belum ada orang yang menghitung berapa tingkat efisiensi alihragam air hujan menjadi air tanah, kemudian air tanah menjadi mata air, lalu mata air menjadi sungai, sungai menjadi air waduk atau danau, dan akhirnya air waduk atau danau menjadi lengas tanah yang siap diserap tanaman. Penyaluran dan pembagian air waduk ke petak pertanaman jauh dari efisiensi yang diharapkan. Kehilangan air dalam penyaluran tersier sebanyak 30% bukan merupakan angka yang jarang ditemukan. Dilihat dari segi ini irigasi dengan air tanah jauh lebih efisien, dan juga lebih murah daripada dengan air waduk. Irigasi dengan air telaga lapangan lebih efisien lagi, karena air telaga lapangan tidak laindaripada simpanan sementara (G) yang diperoleh dengan teknik “water harvesting”. Air tanah sebetulnya juga merupakan simpanan sementara yang menampung air perkolasi (P), akan tetapi kedudukannya terhadap sumber air H lebih jauh. Air juga hilang karena penguapan. Dilihat dari sudut ini penyimpanansebagai air tanah jauh lebih menguntungkan daripada penyimpanan dalam telaga lapangan atau dalam waduk. Timbul pertanyaan mendasar, mengapa orang lebih senang mengadakan dan menggunakan air irigasi daripada memanfaatkan air hujan langsung? Jawaban yang biasanya segera diutarakan ialah bahwa irigasi merupakan bukti kemajuan dan kecanggihan teknologi pemanfaatan air dan karena itu menjadi jaminan kuat bagi kenerhasilan panen. Untuk bandingan orang mengajukan sistem pertanian tadah hujan yang berasal dari jaman prateknologi. Memang benar pertanian tadah hujan yang dijalankan oleh para petana subsisten merupakan warisan jaman prateknologi. Kita tidak boleh lupa bahwa teknologi yang diterapkan dalam pertanian tadah hujan juga telah mencapai tataran tinggi dalam bentuk teknik modifikasi struktur tanah, pengelolaan tanah, pengubahan bentuk muka lahan (berbagai bentuk teras, surjan), pengendalian iklim mikro dan iklim tanah, pengendalian gulma yang menjadi tanaman pokok dalam menggunakan lengas tanah, dan berupa jenis-jenis tanaman unggul dalam hal produksi, ketahanan terhadap kekurangan air dan efisiensi penggunaan air menurut nisbah transpirasi (transpiration ratio, yaitu jumlah produksi bahan kering dari setiap satuan berat air yang digunakan). Maka pertanian tadah hujan (rainfed farming, dry land farming) jangan dibayangkan seperti yang dijalankan oleh para petani subsisten atau peladang. Bahkan tanpa teknologi pengelolaan lengas tanah seperti yang diterapkan pada sistem pertanian tadah hujan, irigasi tidak akan mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas yang memadai. Irigasi bersama dengan pengatusan (drainage) baru benar-benar menjadi teknik hidromeliorasi apabila dikendalikan dengan pengelolaan lengas tanah.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
6
Tegangan lengas tanah (moisture tension) dan pola perubahannya sepanjang waktu dan menurut tempat menjadi pemandu kapan, dimana, berapa banyak, dan berapa sering air irigasi diperlukan. Dengan berbagai teknik pengawetan lengas tanah, seperti modifikasi struktur tanah, pendalaman jeluk mempan tanah (soil effective depth), pemasukan bahan organik, penggunaan mulsa, dsb., laju peningkatan tegangan lengas tanah (laju pengeringan) dapat dilambatkan, pola perubahan tegangan lengas dapat dibuat lebih beraturan dan perbedaannya antar petak dapat ditekan. Dengan demikian irigasi dapat dibatasi, dapat dijadwalkan lebih baik dan dapat diatur lebih seragan dalam kawasan yang lebih luas. Jadi, irigasi yang baik memerlukan pengetahuan lengkap tentang hidrologi tanah, yang berintikan dinamika dan neraca lengas tanah. Mutu air irigasi tidak hanya ditentukan keadaan dan sifat airnya sendiri, akan tetapi sangat ditentukan oleh hasil interaksi antara air dan tanah. Misalnya, air payau harus bernilai bermutu buruk kalau akan dipakai mengirigasi tanah yang berkadar lempung rendah atau tanah lempung yang terdiri atas lempung beraktivitas rendah (berdaya sangga kecil). Akan tetapi air yang sama itu dapat diberikan kepada tanah berkadar lempung tinggi yang beraktivitas besar tanpa mengganggu pertumbuhan pertanaman. Air yang banyak mengandung Ca dan/atau Mg akan mengimbas (induce) kekahatan (deficiency) K jika diberikan pada tanah yang berkadar K marginal, akan tetapi tidak berpengaruh jika tanahnya cukup mengandung K. Maka irigasi pun memerlukan pengetahuan tentang kimia tanah. Irigasi harus menjadi bagian dari teknologi produksi inovatif. Ini berarti bahwa irigasi jangan selalu dikerjakan dengan teknik konvensional. Teknik irigasi harus lentur (fleksibel) sehingga menjadi sarana produksi pertanian yang benar-benar sepadan (appropriate) dengan kebutuhan setempat dan berwawasan lingkungan. Hanya dengan konsep inovatif irigasi dapat mencapai taraf keefektifan dan keefisienan yang tinggi. Konsep novatif hannya dapat diterapkan kalau kita memiliki daya pelengkap dan peramal keadaan yang kuat. Untuk memperkuat daya inilah dibuat acuan pengicak sebagaimana digambarkan di atas. Kebijakan dan teknik irigasi warisan jaman kolonial Belanda sudah usang dan harus dirombak, disesuaikan dengan hakekat pertanian sebagai suatu agroekosistem. Sehubungan dengan pertanyaan mendasar tersebut di atas barangkali ada suatu sikap tersembunyi, yaitu enggan atau malas berbuat lain daripada yang biasa dilakukan. Untuk dapat memapankan (establish) pertanian tadah hujan diperlukan kemahiran (pengetahuan +
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
7
keterampilan) mengelola sumberdaya lahan sehingga kemmapuan potensial semua anansir lahan (land components) termanfaatkan sebaik-baiknya. Memang lebih mudah dan lebih enak memasukkan air irigasi setiap kali diinginkan (diinginkan tidak harus sama dengan diperlukan, bahkan sering apa yang diinginkan itu sebenarnya tidak diperlukan) daripada memanfaatkan air hujan sebaik-baiknya terlebih dulu sebelum berfikir memasukkan air irigasi. Hal ini dapat digambarkan dengan seloka “mengapa perlu mencari makan sendiri kalau ada orang yang selalu siap menyuapkan kita”. Pendirian petani bahwa pemerintah wajib menyuapi mereka terus, atau mungkin pula pendirian pemerintah bahwa dia didirikan untuk selalu menyuapi petani, harus segera dibuang jauh-jauh. Mengapa petani sanggup berkebun karet, the, kopi,kelapa dsb.secara tadah hujan, dan sebaliknya pemerintah menganggap hal itu wajar. Kebun merupakan suatu agroekosistem yang secara hakiki memiliki mekanisme pemanfaatan kemampuan potensial semua anasir sumberdaya lahan, termasuk hujan. Kebun dengan sendirinya dapat mengurangi aliran limpas, dapat mengurangi infiltrasi, dapat memperbaiki daya tambat lengas tanah, dan dengan menciptakan iklim mikro tertentu dapat mengurangi penguapan sehingga cadangan lengas tanah lebih awet. Maka di wilayah–wilayah yang sulit untuk pertanian pangan, karena tanahnya miskin, berlereng terlalu curam dan/atau pola curah hujan sedemikian rupa sehingga musim kemarau terlalu panjang atau terlalu kering, atau hujan kurang beraturan, perkebunan dapat dikembangkan tanpa kesulitan yang berarti. Pertanaman semusim memang tidak memiliki mekanisme hakiki semacam itu. Untuk mengisi kekurangan pada hakekat ini pikiran pengelola biasanya pertama-tama melayang ke pupuk dan irigasi. Sebetulnya dengan kemahiran teknologi yang telah kita miliki kekurangan itu dapat diisi dengan jalan mengubah sistem pertanaman dengan menerapkan asas yang di Amerika Selatan dikenal dengan istilah “low-input technology”, yang oleh Fakultas Pertanian UGM dijabarkan menjadi “teknologi hemat energi”, atau yang di Amerika Serikat dikenal dengan istilah “organic farming”. Dengan demikian kalau menggunakan pupuk dan air irigasi karena bahan-bahan tadi memang diperlukan dan bukan karena sekadar diinginkan untuk mudahnya saja. Sistem usahatani pun harus dibangun kembali untuk dapat menampung sistem pertanaman yang lebih canggih itu. Irigasi dan tadah hujan bukan dua hal yang dapat dipertentangkan. Irigasi merupakan sarana pelengkap (komplementer) sistem pertanian tadah hujan. Demikian pula pupuk dan pestisida merupakan sarana pelengkap sistem pertanian berteknologi hemat
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
8
energi. Tadah hujan merupakan salah satu gatra (aspect) pokok sistem pertanian berteknologi hemat energi, sehingga irigasi menjadi sarana pelengkap sistem pertanian ini.
Acuan Notohadiprawiro, T., & Asmara, A.A. 1985. Agrohydrological zoning of Indonesia based on moisture regimes. 15 pp + 2 appendices + 5 maps. Alumni Fakultas Pertanian UGM. 1981 . Sistem pertanian hemat energi . Sumbangan konsepsi pembangunan pertanian. 10 h. Buletin No. 17 Fakultas Pertanian UGM. 1982 . 35 h . Presiding Diskusi Panel UGM – DPU . 1983 . Peningkatan efisiensi pemanfaatan air pada tingkat usaha tani . 105 h.
«»
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
9