Sejujurnya aku iri… melihatmu pergi begitu saja
sambil tersenyum Kamu yang berteriak dan menangisi asmara… tapi kemudian terbahak Lihatlah dirimu…kau memang suka bertingkah aneh dan berbuat sesukamu.. Kupegang erat undangan berwarna turqua itu dengan perasaan tak menentu. Mengapa harus secepat ini. Bukankah baru kemarin, tercipta perasaan paling indah di antara bukit dan lembah yang dipayungi hangatnya matahari. Tak adakah kesempatan kedua untuk mengembalikan saatsaat tak terlupakan ketika bersamanya dahulu. Hanya dengan melihat warna kertasnya, perasaanku sudah tak karuan. Langsung menonjok ke ulu hati. Bagaimana tidak, ini adalah warna kesayangan kami. Mengapa dia tega memakainya sendiri tanpa seizinku. Padahal dulu, aku sendiri yang terobsesi dengan warna itu. Dia
hanya tercemari kegemaranku. Aku sangat menyukai warna turquoise sejak dulu. Warna itu terlalu absurd untuk dijelaskan dengan kalimat dan kata-kata. Seperti cakrawala di musim hangat yang membentang dari selatan ke utara. Warna paling sesuai untuk membingkai dunia di pagi hari. Dia memunculkan harap bagi penghuni mayapada. * Delapan September adalah hari jadianku dengan Magno. Ditandai dengan mekarnya bunga Bakung beraneka warna di halaman rumahnya. Beberapa warna bahkan menjadi perpaduan yang menakjubkan karena hasil pemuliaan. Meski ada banyak Bakung beraneka warna, Magno tetap setia dengan bunga Bakung putih berputik kuning. Yang masih original, belum tersentuh teknologi pemuliaan. Halaman rumah art nouvo-nya di kawasan
Setiabudi Regency Bandung, disesaki beragam bunga sederhana yang senang ber-dorman di musim kemarau itu. Bila musim hujan menyapa, mereka serempak berbunga. Suasana halaman rumahnya seperti hamparan padang bunga yang semerbak. “Dia mirip bunga tulip di Keukenhof.“ Begitu kata Magno, saat aku bertanya mengapa dia begitu menyukai bunga Bakung. “Tulip tropis…?“ Aku menggodanya. “Bisa dibilang begitu. Sayang sekali tak banyak orang pribumi yang menyadari keindahannya. Ahh… mereka terlalu freak dengan semua yang berbau asing.” “ Mungkin orang Bandung bakal melihatnya berbeda jika disandingkan dengan menara kincir angin seperti di Keukenhof.” “Mmhhhh.. ide yang bagus….” Lama-lama aku jadi tercemari hobi Magno. Diam-diam memperhatikan bunga itu dengan detail. Bentuknya memang sangat cantik. Mahkota bunganya lembut seperti terlapis lilin. Aku baru tahu di kemudian hari. Jika menjelang malam, bunga Bakung mengeluarkan harum yang semerbak. “Bunga Bakung merupakan lambang bintang, matahari, dan bunga yang mekar.“ Magno memuji bunga-bunga kesayangannya. Aku hanya mengangguk-angguk mendengar Magno menjelaskan panjang lebar tentang sejarah bunga Bakung. Masih menurutnya, konon bunga Bakung dipercaya oleh bangsa Cina, Mesir dan Arab sebagai tumbuhan yang memberikan perlindungan terhadap wabah penyakit kalau ditanam di halaman rumah. Terutama bunga Bakung warna putih ungu dan berdaun keunguan. Umbinya bisa dipergunakan sebagai pengusir roh jahat jika dipasang dipintu rumah. Bisa juga dipakai untuk penawar racun binatang berbisa dan pengobat luka. Atas dasar itulah Magno semakin menyayangi bunga-bunganya. * Kami mengalami masa-masa yang teramat indah. Melihat senyumnya, aku serasa memiliki dunia dan seisinya. Magno pun sepertinya merasakan hal yang sama. Perbedaan bagi kami terasa begitu indah. Dengan cinta, segalanya menjadi begitu mudah. Banyak hal yang tak bisa dilakukan di dunia, tapi hal yang
tak mungkin itu bisa dilakukan saat kami mengerjakannya bersama-sama. “Aku merasa sedang membuka kado yang indah saat ini, Ken.“ Magno menatap wajahku dengan mata berbinar-binar. Kami tengah menatap senja yang memerah di sebelah barat langit. Sore akhir pekan ini kami memutuskan untuk menghabiskan malam di The Peak. Sebuah resto di atas bukit, sebelah utara kota Bandung. Dari sini kami bisa memandang kota Bandung yang menghampar di bawah sana. Suasana senja semakin syahdu dengan alunan musik Sebastian Bach. Untuk menghabiskan malam, selera kami tak jauh berbeda. Menyukai ketenangan yang mendamaikan hati. Bukan sok romantis, atau mencari celah untuk mempraktekan keberanian berpacaran. Namun lebih karena sama-sama tidak suka keriuhan mall atau hingar-bingar dunia gemerlap. Sok tua..? bisa jadi. Di penghujung musim kemarau ini, suasana Bandung masih tetap sejuk. Angin semilir mulai nakal mempermainkan anak rambut yang tergerai di kening Magno. Bulan September sudah memasuki hari-hari terakhir. Beberapa kota di nusantara bahkan sudah diguyur hujan. “Maksudnya?“ Kutatap lekat bola mata Magno yang terlihat benderang mengalahkan gulita malam. “Setiap manusia terlahir dengan sekarung kado. Selama menjalani hidup, manusia harus membuka satu per satu kado yang dipunyainya. Isinya ada yang bagus, ada yang jelek. Ada yang manis, ada yang pahit, dan sebagainya. Manusia mendapat kado seperti itu dalam porsi yang sama banyak. “ Magno menghela napas. “Kamu pernah mendapat kado yang jelek?“ “Tentu! Rasanya ingin membuang dia begitu mendapatkannya. Melempar dan menendangnya jauh dari kehidupanku. Aku merasa menjadi gadis yang paling tak beruntung karena mendapat kado menyedihkan.“ “ Namun kamu tetap harus membukanya kan?“ “Ya! Meski menakutkan, aku tetap membukanya. Sambil berharap bahwa sebentar lagi akan mendapat kado yang menyenangkan. Terlalu menyedihkan apabila terus mendapat kado serupa. Memang ada juga yang mendapat kado
jelek berurutan. Tapi kuharap bukan aku orangnya.“ “Dan kamu mendapatkannya?” “Boleh dibilang, saat ini aku tengah mendapatkannya. Membuka kado dengan hadiah yang menyenangkan. Meski jauh di lubuk hati, perasaanku juga cemas. Takut kalau kado terindah yang sedang kunikmati saat ini cepat habis. Aku tak ingin kadoku, kembali tergantikan oleh kado yang jelek.“ “Sehebat itukah perasaanmu tentangku? “ Aku mencoba menyelami hati Magno dari binar bola matanya. Dia memang gadis yang mempesona luar dalam. Magno balik menatap, seraya mengedipkan matanya untuk menggodaku. Sejenak kemudian dia kembali berkata lirih. “Aku egois ya, Ken?” “Tidak! Kau malah sedang membuktikan, bahwa orang-orang sepertimu ada di dunia ini. Manusia memang harus egois mempertahankan apa yang dimilikinya. Meskipun pada akhirnya Tuhan akan memberikan apa yang dibutuhkan, bukan apa yang kamu inginkan. Menyedihkan? itulah kehidupan.“ “Saat pertama kali bertemu tiga bulan lalu, aku tak menyukaimu sama sekali. Bahkan membencimu. Setiap pagi terasa membosankan karena mesti bermanis-manis menyapamu. Sejujurnya, saat itu aku ingin hatiku tak akan pernah merasakan apa-apa.“
“Memangnya kenapa. Ada yang salah dengan sikapku? “ “Entahlah, aku juga tak pernah bisa mengurai, kenapa aku bisa mempunyai perasaan itu terhadapmu. Kamu terlalu angkuh… “ “Oh ya? ” “Keangkuhan yang kamu perlihatkan setiap hari, membuat hatiku canggung. Membuat perasaanku membingungkan dan rumit “ “Hiperbola. Masa sejauh itu, aku mengubah perasaanmu, Nyo.” Aku terkekeh. “Itulah aku, Ken. Hal sekecil apa pun selalu kutanggapi dengan rumit. Terkadang aku benci dengan perasaanku yang selalu hiperbola. Dari dulu aku ingin mengatakannya. Tapi mungkin kau akan tertawa saat mendengarnya “ “Saat ini, aku juga ingin tertawa…hehe….” Aku menggodanya. Magno malah meninju bahuku. “Kau tak pernah tahu Nyo, perasaanku juga mengalami hal yang sama denganmu. Tatapan dan sikapmu membuat perasaanku canggung, membingungkan dan rumit. Hanya aku tak akan berterusterang. Bukan sikap seorang laki-laki sejati jika memiliki perasaan cengeng seperti yang kau perlihatkan. Aku munafik ya Nyo.. Tapi itulah aku.” * Dua tahun kemudian kami masih tetap bersama. Bahkan perasaanku dan perasaan Magno kian menemukan tempat yang pas untuk bersahabat. Seperti aliran dua mata air yang berbeda, kemudian menyatu di sebuah sungai yang tenang dan jernih. Kami tak menemukan kesulitan apapun untuk menyatukan perasaan masing-masing. Mungkin karena air yang kami bawa sama-sama jernih. Tak terkontaminasi apaapa. Jadi saat disatukan pun tetap jernih. Karier kami pun terus melaju di divisi masing-masing. Magno semakin terampil sebagai seorang marketing yang handal. Setiap klien yang ditanganinya selalu berhasil ia gaet. Dia mampu menaklukan klien yang paling rewel sekalipun. Tak salah kalau kantor kami menganugerahinya sebagai Marketing Of The Year. Aku kian tertantang untuk menggali beragam ide. Sebagai sokongan buat hasil kerja Magno yang mendatangkan banyak klien untuk perusahaan. Bagiku Magno adalah sumber
inspirasi yang tak pernah kering untuk di-ekplor. Impian-impian kami tentang masa depan, mampu menginspirasiku untuk membuat ratusan desain yang maha indah. “Itu kan desain untuk rumah kita di masa depan,” Magno memprotes dengan segudang argumen. “Tapi klien suka….” Aku berbisik ditelinganya sambil tersenyum. “Jadi kamu setuju.. ada orang lain yang merampok masa depan kita?“ “ Untukmu.. masih banyak desain lain yang lebih indah. Gambar ini tidak ada apaapanya. Kau berhak menghukumku kalau tak suka “ “Benarkah…?“ Bola mata Magno kembali berbinar. “Karena yang paling penting bukan rumahnya, namun keberadaanmu yang tak akan pernah tergantikan oleh apa pun.” Magno mencubitku dengan gemas. Dia memang tak suka apabila aku menghujaninya dengan gombalan saat jam kantor belum usai. * Tapi masa-masa indah itu segera berlalu. Benar apa kata Magno. Satu saat manusia harus mendapatkan kembali kado yang buruk. Setiap yang berusaha mendaki gunung, setelah sampai di puncak, bersenang-senang, lalu harus memutuskan untuk turun kembali. Kami pun merasakannya. Semua berawal dari desakan keluargaku dan keluarga Magno untuk segera menikah. Mereka merasa bahwa kami sudah saatnya memulai suatu hubungan yang serius. Hubungan yang mengarah ke jenjang pernikahan. Aku maupun Magno galau dan resah. Bagaimana mungkin kami menyatukan dua keyakinan yang berbeda. Kami sama-sama terlalu hipokrit pada keyakinan masing-masing. Takut dosa jika mengingkari keyakinan masing-masing. Selalu bergidik, jika membayangkan bagaimana jadinya anak-anak kami nanti. Mereka pasti kebingungan untuk memilih keyakinan ibunya atau keyakinan ayahnya. “Aku tak pernah menyangka bahwa angin yang semilir itu cepat sekali berubah menjadi badai ya, Ken.“ Magno berkata lirih, di suatu sore yang mendung. Bulan September baru saja usai. Awal oktober ini, hujan mulai menyapa
Bandung. “Dua tahun ternyata tidak cukup untuk benar-benar membawa hidup kita menjadi sebuah titik. Pengembaraan selama ini hanya membuat perasaan kita terus menjadi tanda koma.“ Aku menghela napas panjang. Terasa ada yang sesak di dalam sana. Suasana hatiku terasa kacau balau. “Selama ini semboyan bahwa perbedaan membuat hidup menjadi lebih indah, ternyata hanya omong kosong ya, Ken. Aku benar-benar tertipu. Mengapa harus terjadi sesuatu di antara kita. Hatiku resah. Mengapa kau malah tenang menghadapinya?“ “Karena kita harus tetap menerima kenyataan . “Se-sederhana itukah perasaanmu?“ “Manusia sendiri yang harus membuatnya menjadi sederhana “ “Sepertinya seluruh dunia menentangku saat semua yang telah kukerjakan tidak berjalan lancar sesuai harapan.“ Magno menatap sendu. Aku tak kuasa memandang matanya. Hatiku hancur lebur melihat kesedihannya. “Bukankah setiap manusia juga akan membuka kado yang pahit?” Aku mencoba menghiburnya dengan mengutip kata-kata Magno dulu. “Hahaha… Kau masih bisa bercanda dalam situasi seperti ini, Ken. Langit sebentar lagi akan hancur, mengapa kau masih bisa tersenyum dengan kenakalanmu! Kau memang lelaki hebat.“ “Tapi bener kan? “ Aku memaksakan diri untuk tersenyum. “Kau benar-benar nakal. Secepat itukah perasaanmu berubah?” Nada suara Magno terkesan cemburu. “Mungkin karena persediaan air mataku tidak melimpah seperti yang dipunyai bintang sinetron. Bukan kebiasaanku untuk menitikkan air mata karena sebuah kepedihan. Ahh.. aku memang jahat. Menurutmu aku harus bagaimana?” Aku kaget dengan reaksinya yang tak terduga. “Jangan mengabaikan perasaan orang lain, hanya karena perasaanmu sudah berubah.“ Suara Magno terdengar lirih dan getir. Aku terdiam. Kata-kata Magno barusan menohok perasaanku seketika. Selama ini kami tak pernah salah paham tentang apa
pun. Tapi kenapa saat ini semua menjadi berubah. Perasaan Magno menjadi begitu sensitif. Padahal tak ada niatan sedikit pun untuk menyinggung perasaannya. Aku hanya ingin mencandainya seperti dulu. Supaya perasaan kami menjadi lebih ringan. Karena bagaimana pun, hati kami sudah menemukan jawaban pasti tentang kelangsungan hubungan ini. Perasaan kami ditakdirkan untuk terhentikan. Secara paksa atau sukarela. Sebelum ada pihak yang tersakiti. Memang terlalu menyedihkan. Tapi itulah resiko yang mesti dilalui. Semua harus memilih dan memutuskan. Entah itu untuk kebaikan, atau malah sebaliknya. Rambu-rambu hidup yang digariskan Tuhan, tak pernah ada yang abu-abu. Segalanya jelas dan tegas. Hitam dan putih. Kalau ternyata keputusan yang diambil itu dianggap sebagai hal yang menyakitkan untuk manusia, maka tidak demikian bila dipandang dari sudut lain. Dunia harus dipandang dengan realistis. “Bagaimana kalau aku kesepian?“ “Jangan begitu! Aku merasa jadi orang yang paling jahat karena melukai perasaanmu. Kau bukan satu-satunya pemilik hati yang tersakiti. Bagaimana dengan aku. Bagaimana dengan orang tua kita. Bukankah mereka yang paling tersakiti dengan keputusan kita?“ Aku tak berani menatap wajahnya. “Kamu memang manusia jahat, Ken. Mencampakkan perasaanku dengan mengatasnamakan logika. Keterlaluan!“ “Maafkan aku…” “Aku jadi teringat bunga Bakung dihalaman rumahku. Kemarin bapakku bilang, bahwa bunga Bakung adalah simbol kebangkitan karena umbinya di dalam tanah mengalami masa dorman saat musim kemarau. Tapi suatu saat dia akan tumbuh kembali dan memunculkan bunga yang indah. Akankah aku juga akan seperti itu Ken?“ “Aku tak tahu Nyo.. Yang pasti kita harus mulai bertanggungjawab pada perasaan masing-masing. Aku tak pernah bisa merelakanmu seutuhnya. Tapi kita tak dapat menyangkal keadaan. Anggaplah ini adalah suatu langkah kemenangan bagi masa depan kita. Suatu saat nanti, sejarah akan mencatat bahwa aku dan kamu telah melewati suatu kenangan yang paling
indah. Yang pernah diperjuangkan dengan cucuran darah dan air mata. Mungkin selama ini kita hanya berjuang untuk bisa bertahan saja.“ Kupalingkan muka. Berusaha sekuat mungkin agar tak ketahuan oleh Magno bahwa perasaanku juga terkoyak. Tak hanya perasaan Magno yang menderita. Aku benci melihat Magno menangis. Lebih benci lagi karena hatiku juga ikut-ikutan berurai air mata. Menyebalkan mengetahui bahwa hati kita memiliki unsur yang sama. Hanya seonggok daging yang dialiri darah. Sehingga mudah terluka. * Itulah Magno-ku. Kenangan terindah di bulan September, dua tahun yang lalu. Sebulan kemudian Magno memutuskan untuk pindah kerja. Dia tak ingin kami menjadi sama-sama canggung di kantor. Aku menghormati keputusannya. Hanya Bos yang meraung-raung murka. Dia kehilangan aset berharga perusahaan. Kalau saja aku tak punya cukup prestasi di kantor, mungkin dia memilih mendepakku dan membujuk Magno agar tetap tinggal dan kembali membawa klien yang berduyun-duyun. Sayang sekali posisiku juga cukup urgen di perusahaan. Hingga sang bos sangat bingung harus memilih yang mana. Dia seperti menggenggam buah simalakama di tangannya. Magno meninggalkan kenangan indah sekaligus menyedihkan. Membuat perasaanku sulit berpaling pada perempuan lain. Memaksa akal sehat untuk membandingkan semua wanita di dunia dengan sosoknya dengan Magno-ku, sang pemilik bola mata cokelat yang berbinar mengalahkan bintang saat malam. Membuat hatiku teramat sulit untuk melupakannya. Tepat empat bulan setelah perpisahan kami. Undangan berwarna turquoise ini pun muncul. Sampul depannya bergambar bunga Bakung putih yang cantik. Bunga Bakung kesayangan Magno. Di bawah gambar bunga Bakung itu tertulis, Lihatlah bunga bakung di padang yang tidak pernah memintal dan menuai… Tapi Tuhan mendandaninya dengan sangat indah… Terlebih kamu sebagai manusia…. *** Dorman : Seolah-olah mati di dalam tanah. Keukenhof : Taman bunga tulip seluas 80 ha yang terletak di kota Lisse, berjarak sekitar 30 menit dengan bis dari ibu-kota Amsterdam ( Belanda)