BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bulan Juli 2013, saya dan lima belas teman lainnya yang tergabung dalam sebuah tim KKN-PPM UGM berangkat menuju Kalimantan Barat. Lokasi kegiatan KKNPPM kami saat itu terpusat di Desa Melawi Makmur, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Tim kami dibagi ke dalam tiga unit (kelompok), sesuai dengan jumlah dusun di Desa Melawi Makmur. Saya bertugas di Dusun Landau, dan tinggal di sebuah rumah penduduk yang berada di hilir dusun. Setelah tinggal selama satu setengah bulan, banyak pengalaman baru yang saya peroleh, termasuk mengenal lebih dalam kehidupan sosial budaya orang Dayak Desa. Pengalaman pertama yang paling menarik adalah ketika Kepala Dusun Landau mengundang saya dan beberapa teman lainnya untuk datang ke sebuah acara ritual pengangkatan anak. Saat itu, Pak Sugimon (kepala dusun) akan diangkat sebagai anak oleh Nek Bening, seorang janda tua yang hidup sendirian. Acara pengangkatan anak di mulai pada malam hari sekitar pukul 18.00 WIB, di rumah Pak Sugimon. Setelah mandi dan berkumpul dengan teman KKN yang lain, kami berangkat, berjalan kaki ke rumah Pak Sugimon. Kami sepertinya akan terlambat, karena kami baru berangkat dari rumah jam 18.20. Benar dugaan kami, saat kami 1
datang, rumah kepala dusun sudah ramai dipenuhi orang. Saya melihat beberapa orang yang saya kenal ada di sana, termasuk kepala desa, ketua adat, para ketua RT dan penduduk Landau lainnya. Di sebuah ruangan yang cukup luas dan berlantai keramik, orang-orang duduk melingkar. Kepala dusun dan calon mamak angkatnya duduk bersebelahan. Di sebelahnya lagi ada kepala desa, ketua adat, dan keluarga dekat kepala dusun. Karena ini adalah acara kepala dusun, banyak penduduk yang datang. Ruangan yang penuh tidak menghalangi orang untuk tetap mengikuti ritual pengangkatan tersebut, meskipun harus duduk berjejer di teras depan rumah. Pak Peta yang hadir sebagai wakil adat, memimpin sesi ritual adat acara pengangkatan. Sementara Pak Afui (kepala desa) hadir sebagai perwakilan agama (gereja), bertugas memimpin sesi doa, via alkitab melalui tatacara Gereja Katholik. Di depan Pak Peta terdapat sebuah piring porselain putih berisi beras, sebilah parang besi, seekor ayam yang diikat kakinya, dan segelas air putih lengkap dengan daun kelor di atasnya. Barang-barang itu adalah syarat-syarat perlengkapan ritual. Secara umum, ritual ini tidak berlangsung begitu khidmat. Beberapa orang tetap tertawa bercanda di tengah acara, namun memang sedikit tenang saat sedang berdoa. Ritual diakhiri dengan prosesi makan (bubur) dan minum-minum arak bersama.1 Semua tamu yang datang ikut makan. Namun, saat acara minum arak 1
Menurut Ketua Adat Landau, bubur merupakan menu yang dulunya wajib disediakan dalam setiap ritual pengangkatan anak. Bubur yang terbuat dari beras, biasanya disajikan bersama berbagai macam olahan sayur dari hutan dan daging‐daging‐an yang dimasak berkuah. Sekarang, mulai banyak ritual yang tetap dilakukan tanpa penyajian menu bubur tersebut.
2
dimulai, tamu perempuan dan anak-anak mulai berpamitan untuk kemudian pulang. Tinggallah para pemuda dan bapak-bapak, bergantian mengangkat cawan arak lalu menenggaknya. Pantun dan gurauan mulai saling dilemparkan. Suasana keakraban mulai terasa, saya tidak lagi merasa menjadi orang asing dalam acara minum-minum arak tersebut. Baru saja acara pengangkatan anak di rumah kepala dusun selesai, saya dan penduduk langsung berbondong-bondong menuju rumah lain di hilir dusun. Ternyata malam itu, keluarga Pak Kyong juga akan memulai acara pengangkatan anak. Pak Kyong akan diangkat sebagai anak oleh seseorang dari Dusun Suak Mansi, bernama Pak Sarno. Kami semua yang datang segera berkumpul dan lagilagi duduk melingkar. Saat itu, kepala kami sudah terasa sangat pusing karena pengaruh arak yang kami minum di rumah kepala dusun. Tata cara ritual hampir semuanya sama seperti yang sudah saya lihat di rumah kepala dusun, ada ketua adat dan kepala desa yang memimpin acara tersebut. Bukan hanya tatacara adat, syarat ritual, dan doa pengiringnya saja yang sama, bahkan prosesi penutupan acaranya pun sama. Kami makan bersama (menu utama sop daging), lalu menghabiskan malam sembari meminum arak. Itu adalah dua acara pengangkatan anak yang saya hadiri di minggu pertama kegiatan KKN-PPM di Dusun Landau. Saya sempat berpikir bahwa ritual pengangkatan anak yang dilakukan orang-orang Dayak Desa adalah ritual yang langka, atau sangat jarang dilakukan. Ternyata perkiraan saya salah, ritual pengangkatan anak terus menerus dilakukan di tiap akhir pekan selama saya ada di sana. Di akhir minggu kedua, saya diundang ke acara pengangkatan anak di 3
rumah Pak Koni. Anak Pak Koni yang terakhir, Lodia, diangkat sebagai anak oleh Pak Bagat. Acara pengangkatan anak selanjutnya yang saya hadiri adalah di rumah Mamak Emi. Kedua anak laki-laki tertua Mak Emi, Girin dan Alex, diangkat menjadi anak oleh Pak Alui. Selain itu, masih banyak acara pengangkatan anak lagi yang dilakukan di sana saat itu, termasuk teman-teman mahasiswa yang ikut diangkat menjadi anak oleh penduduk setempat. Ritual angkat anak merupakan salah satu tradisi yang umum ditemui dalam masyarakat Dayak di Kalimantan (lihat Alqadri, 1990; Lontaan, 1975; Selatto, 2002). Bukan hanya di Kalimantan, angkat anak juga biasanya hampir pasti bisa ditemukan di daerah manapun. Meskipun begitu, ritual angkat anak tentu saja memiliki tatacara dan keunikannya tersendiri, berbeda antara masyarakat satu dengan yang lainnya. Dalam bahasa Dayak Desa, ritual angkat anak biasa disebut dengan “mangkat onak” yang juga bisa diartikan sebagai kegiatan menjadikan seseorang yang awalnya bukan anak, menjadi anak. Bagi masyarakat Dayak Desa, hubungan sosial yang terbentuk dari ritual angkat mengangkat anak memiliki arti yang sangat penting, seperti halnya fungsi kekerabatan pada umumnya. Seperti apa yang disampaikan Pak Sugimon, “....orang-orang di Landau ini semuanya saudara, orang-orang saling mengangkat, jadi yang tidak ada hubungan darah pun jadinya saudara. Bapak saja sudah punya banyak anak angkat dan orangtua angkat....”
Apa yang disampaikan Pak Sugimon, secara nyata dapat saya lihat di Dusun Landau. Bagi orang Dayak Desa, hubungan kekerabatan sangat penting artinya. Saat saya sedang bersama seorang teman dari Dusun Landau dan bertemu 4
orang baru yang belum saya kenal sebelumnya, mereka biasanya akan memperkenalkan status hubungan kekerabatan mereka masing-masing sebelum berbincang lebih jauh. Hal itu tetap dilakukan meskipun hubungan kekerabatan mereka terhitung sangat jauh, atau bahkan karena hasil saling angkat mengangkat sekalipun. Itu menunjukkan betapa pentingnya orang untuk saling mengetahui relasi atau hubungan kerabat di antara mereka dengan orang lain. Secara teoritis, topik mengenai tradisi angkat anak di kalangan orang Dayak, khususnya Dayak Desa, sangat jarang diteliti atau ditelusuri sebelumnya. Banyak ahli atau antropolog yang cenderung lebih tertarik dengan pembahasan lain, seperti kajian perubahan ekologis, perubahan sistem ekonomi, atau konflik di Kalimantan (lihat Cleary, 1996; Dove, 1994, 1997; Potter, 2011; Klinken, 2007). Inilah yang membuat saya tertarik untuk melihat lebih dalam tradisi angkat anak tersebut. Apalagi, saat ini tradisi angkat mengangkat anak di sana cukup sering dilakukan dan tentu saja memiliki sejarah yang panjang. B. Tinjauan Pustaka Upacara pengangkatan anak yang sering dilakukan di Kalimantan berujung pada terciptanya sebuah hubungan sosial bertajuk “contractual fictive kinship” atau kekerabatan fiktif yang dimunculkan melalui sebuah upacara atau ritual tertentu. Konsep tersebut digunakan Carlos dan Sellers untuk menjelaskan hubungan sosial yang tercipta dari ritual pembaptisan dalam agama Katholik (Carlos & Sellers, 1972). Pembaptisan dan pengangkatan anak memunculkan hubungan sosial yang hampir sama di dalam masyarakat. Perbedaan paling mencolok di antara keduanya terletak pada dasar atau sumber pelaksanaan ritual. Angkat anak di kalangan 5
orang Dayak bersumber pada hukum adat, meskipun beberapa jenis pengangkatan kini harus merujuk pada penggunaan hukum sah negara. Sementara ritual pembaptisan hanya bersumber pada ajaran agama. Adanya konsekuensi sosial yang hampir mirip antara ritual angkat anak dan pembaptisan, membantu saya menemukan referensi lebih banyak dalam upaya penyusunan karya ini. Seperti yang kita tahu, ritual angkat anak kurang banyak dibahas secara utuh, dan lebih banyak hanya menjadi pelengkap dalam menjelaskan suatu masyarakat (contoh Lontaan, 1975; Selatto, 2002). Oleh karenanya, saya juga dapat melihat gambaran dan sudut pandang di berbagai tulisan terkait hubungan anak dan bapak baptis. Topik mengenai ritual angkat anak pernah dibahas oleh Erdmute Alber tahun 2004 melalui penelitiannya di Benin Utara. Alber terfokus pada perubahan pola relasi angkat mengangkat anak pada masyarakat Baatombu. Tradisi angkat anak di masyarakat Baatombu memainkan peranan penting dalam proses pembentukan pola hubungan antara tiga generasi dalam keluarga, yaitu kakeknenek, orangtua dan anak. Berdasarkan tradisi yang ada, anak-anak orang Baatombu biasanya akan diasuh dan diangkat oleh kakek nenek mereka, terutama dari pihak ibu. Kakek nenek bertanggungjawab atas semua kebutuhan si anak. Mereka menggantikan peran orangtua kandung secara utuh, membesarkan dan merawat
cucu.
Dari
situ,
kakek
nenek
akan
mendapatkan
jaminan
keberlangsungan hidup dan keamanan sosial dari cucu-cucu mereka di kemudian hari. Kakek nenek juga punya kekuatan menuntut hak atas bantuan materi dari orangtua kandung si anak.
6
Pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi yang terus meningkat, dan modernisasi, membuat orang-orang yang tinggal di kota tak lagi mau menyerahkan anak-anak mereka untuk diangkat oleh kakek nenek yang ada di desa. Alasannya cukup jelas, yaitu tidak ada jaminan yang pasti terkait kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan untuk si anak nantinya. Sementara anakanak yang masih tinggal di desa seringkali justru diangkat menjadi anak oleh kerabat yang tinggal di kota (atas permohohan orangtua kandung), terutama untuk alasan pendidikan. Oleh karena aturan atau pola pengangkatan anak yang sudah jelas diatur dalam adat, sangat sulit bagi orang-orang tua di desa untuk mengangkat orang lain selain cucu-cucu kandung mereka. Alhasil, kehidupan orang-orang tua di desa Baatombu serba kesulitan, tidak ada harapan kecuali bantuan dari beberapa kerabat dan sanak saudara yang masih terikat dengan desanya. Tradisi angkat anak juga dibahas oleh Caroline Bledsoe dalam studinya mengenai pola pengasuhan anak masyarakat Mende di Sierra Leone. Orang-orang Mende biasa meminta teman atau kerabat yang tinggal jauh dan berstatus lebih kaya untuk mengadopsi anak mereka, terutama anak laki-laki. Secara kultural, cara tersebut digunakan untuk membuat anak mandiri, dalam rangka mengenalkan warisan budaya yang tertuang dalam konsep “kerja keras untuk mendapat kesuksesan”. Dari segi yang lain, ternyata pengadopsian juga dilakukan untuk mensiasati tingginya angka kelahiran di desa yang berdampak pada meningkatnya jumlah pengeluaran rumahtangga untuk anak. Jadi pengadopsian di situ menguntungkan orangtua kandung karena tak perlu mengeluarkan biaya untuk membesarkan anak. Sementara itu, orang yang mengdopsi juga memperoleh 7
keuntungan melalui kerja keras si anak tersebut. Anak angkat biasanya mengerjakan pekerjaan rumahtangga, membantu berdagang, berbelanja, mengurus anak yang lebih muda, sampai diberi tanggungjawab atas pemeliharaan ternak. Tak jarang orangtua angkat menggunakan kekerasan dan cara-cara kasar dalam mendidik anak angkatnya, dan hal itu didukung orangtua kandung si anak. Bukan hanya angkat anak, hubungan anak dan bapak baptis yang termasuk ke dalam “conctractual fictive kinship” juga telah dibahas beberapa ahli. Dalam bukunya, Social Relations in a Philippine Market, William G. Davis mengungkap hubungan anak dan bapak baptis yang di Filipina dikenal dengan istilah compadrazgo. Topik yang memuat bahasan tentang compadrazgo tersebut digunakan Davis dalam upayanya menjelaskan konsep ekonomi personalisme di pasar tradisional Filipina. Compadrazgo, seperti ritual pembaptisan lainnya di seluruh dunia, juga didasarkan atas doktrin Gereja Katholik. Davis melihat gejala compadrazgo sebagai hubungan yang diciptakan/dimanfaatkan/dimanipulasi oleh pembeli dan penjual di pasar tradisional untuk mempertegas dan memperluas hubungan sosial ekonomi mereka, setelah sebelumnya sudah terjalin melalui ikatan langganan (suki) di antara keduanya. Hubungan berlangganan (suki), muncul sebagai siasat pedagang untuk mengamankan pembeli pasti dari stok dagangan mereka dan memperluas jaringan, melalui pembentukan ikatan sosial serta pemberian kredit yang terus menerus. Sementara bagi pembeli, menjadi langganan berarti mendapat pelayanan terbaik, potongan harga, kualitas barang terbaik, informasi barang-barang di pasar, dan tentu saja kredit. Compadrazgo juga menjadi pusat perhatian dalam buku tulisan Cora Govers yang berjudul, Performing The Community : Representation, Ritual, And 8
Reciprocity in the Totonac Highlands of Mexico. Menurut Cora Govers, dari perspektif jaringan masyarakat, compadrazgo sangat penting untuk menciptakan dan memelihara jaringan tersebut baik dalam lingkup lokal maupun regional. Compadrazgo juga memperkuat organisasi sosial yang sudah ada dalam masyarakat. Seperti halnya hubungan kekerabatan asli, compadrazgo juga memuat paham-paham tentang resiprositas yang didasari rasa solidaritas dan memberi tanpa memperhitungkan tanggungjawab untuk saling membalas. (Sahlins, 1974 via Cora Govers, 2006) C. Rumusan Masalah Seperti daerah lainnya di Kalimantan Barat, Desa Melawi Makmur saat ini juga tengah mengalami perubahan terutama di sektor perekonomian mereka. Perubahan tersebut ditandai dengan dimulainya introduksi tanaman komoditas seperti karet dan kelapa sawit oleh berbagai aktor (baca : pemodal asing / nonasing dan pemerintah). Perladangan yang menjadi basis ekonomi dan sistem sosial utama masyarakat mulai ditinggalkan, meskipun masih ada sedikit orang yang tetap mengerjakannya. Perubahan obyek-obyek material dalam masyarakat selalu diikuti pula oleh perubahan aspek mental-nya (Hefner, 1999). Masuknya sistem ekonomi baru yang terkait dengan perubahan mode produksi juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya masyarakatnya pula. Arus modernisasi yang muncul dibalik sistem ekonomi baru, mulai terlihat menyusup ke setiap elemen kehidupan masyarakat. Pola konsusmsi masyarakat juga mulai berubah karena akses pasar
9
semakin terbuka dan terjangkau. Oleh karenanya, pola pikir dan gaya hidup masyarakat pun mau tak mau juga ikut berubah. Meskipun modernisasi telah mengubah gaya hidup masyarakat Dayak, namun hal tersebut tidak serta merta menghilangkan semua tradisi yang mengakar pada budaya orang-orang Dayak. Salah satu dan yang paling sering dilakukan hingga saat ini adalah ritual pengangkatan anak. Ritual tersebut sudah dilakukan oleh orang Dayak, khususnya Dayak Desa, jauh sebelum sistem ekonomi baru diperkenalkan. Tradisi pengangkatan yang dilakukan di Dusun Landau saat ini juga memunculkan fakta dan data yang menarik. Hanya petani atau penduduk biasa saja yang terus menerus mengangkat anak, sementara sejumlah tokeh yang ada di sana tidak pernah melakukannya. Meskipun begitu, tokeh tidak bisa lepas dari jaringan kekerabatan angkat karena mereka juga diangkat menjadi anak oleh orang lain. Pada intinya, secara aktif tokeh tidak pernah berinisiatif mengangkat anak. Oleh karena itu, dalam studi ini saya merumuskan beberapa pertanyaan yang muncul dari rasa penasaran dan keingintahuan saya. Pertama, seperti apa ritual pengangkatan anak yang dilakukan orang-orang Dayak Desa di Dusun Landau? Selanjutnya, dalam konteks perubahan di Dusun Landau, mengapa tradisi pengangkatan masih terus saja dilakukan oleh penduduk biasa, sedangkan para tokeh memilih untuk tidak melakukannya?
10
D. Kerangka Pemikiran Ritual pengangkatan anak merupakan salah satu tradisi yang umum dilakukan oleh orang-orang Dayak Desa. Ritual tersebut mengandung banyak arti, terutama untuk mengikat tiap anggota masyarakat serta keluarga ke dalam jaringan kekerabatan fiktif yang luas dan kuat. Hal itu memungkinkan karena dalam prosesnya keluarga pihak yang mengangkat dan keluarga yang diangkat (dalam ritual angkat anak) akan menjadi kerabat satu sama lain. Ritual angkat anak juga tidak terbatas hanya dilakukan sesekali saja. Orang bebas untuk saling mengangkat kapanpun dia mau asalkan orang lain setuju. Akibatnya semua penduduk dalam satu kampung bisa saling terikat hubungan kekerabatan, sekalipun hanya berkerabat angkat. Jaringan kekerabatan sendiri merupakan elemen yang sangat penting bagi masyarakat Dayak pada umumnya (Province, 1972). Kekerabatan menjadi basis produksi yang vital bagi orang Dayak yang notabene adalah masyarakat peladang (lihat Dove, 1993). Tanpa usaha pemeliharaan jaringan kekerabatan yang kuat, pengusahaan kegiatan perladangan di kalangan orang Dayak akan sulit dijelaskan. Jadi bisa dikatakan, ritual angkat anak sangat cocok dengan moda produksi orangorang Dayak, khususnya Dayak Desa saat itu. Dalam karya klasiknya, Emile Dhurkeim (1965) pernah menjabarkan seberapa penting peran ritual di dalam masyarakat. Dia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa fungsi terpenting ritual adalah untuk menyatukan individu ke dalam kelompok, untuk kemudian memelihara serta memperkuat keteraturan kolektif dan solidaritas di dalam kelompok tersebut (dalam Furman, 1981). 11
Penjelasan yang disampaikan Dhurkeim tersebut bisa menjadi acuan penting untuk melihat bagaimana peran ritual angkat anak dalam masyarakat Dayak peladang. Selain itu, ritual anak angkat juga bisa dilihat sebagai acara seremonial yang oleh Gluckman disebut “factitive” (lihat Wyliie, 1968). “....Gluckman has termed “factitive,” that is, ritual “which increased the productivity or stength, or purified or protected, or in other ways increased the material well-being of a group” and which embodied in it “the performance of prescribed actions by members of the congregation in terms of their secular roles”.....” (Gluckman, 1962 via Wyllie, 1968).
Seperti halnya masyarakat di daerah manapun, masyarakat Dayak Kalimantan pun terus berubah dari waktu ke waktu. Pada abad ke 20, aktifitas ekonomi masyarakat Kalimantan terus bergerak semakin jauh meninggalkan ekonomi perladangan subsisten menuju ekonomi budidaya tanaman tunggal yang berorientasi pasar (Semedi, 2011). Perubahan dimulai sejak diperkenalkannya tanaman karet di tahun 1920-an, kemudian diikuti dengan introduksi tanaman kelapa sawit di tahun 1980-an (Semedi, 2011). Tanaman karet yang mulai diusahakan oleh orang-orang Dayak Desa telah mengubah sistem ekonomi mereka, yaitu ekonomi natural menjadi ekonomi semisubsisten. Ekonomi semi-subsisten adalah sistem ekonomi yang basisnya merupakan ekonomi subsisten (perladangan) tetapi telah disisipi oleh tanaman komoditas (karet), dan masih berbasis desa (Riggs, 2001, via Rahmadian, 2013). Meskipun tanaman komoditas mulai banyak ditanam, tapi dalam sistem ekonomi ini keterkaitan antar personal masih mendominasi.
12
Sistem perekonomian yang diusahakan melalui pertanian ladang dan perkebunan karet (semi-subsisten) bertahan cukup lama, sebelum akhirnya kelapa sawit mulai ditanam beberapa orang. Penanaman kelapa sawit yang diawali perusahaan milik pemerintah dan swasta, telah meningkatkan diterapkannya model intensifikasi pertanian dan membuat mode produksi semakin terintegrasi dengan pasar global (Rigg & De Koninck, via Potter 2011). Menurut Bridget O’Laughin (1975), produksi merupakan sebuah proses kerja melalui spesifikasi mekanis dari setiap elemen produksi. Elemen produksi terdiri dari tenaga kerja dan means of production – objek produksi dan instrumen kerja (O’laughin 1975, via Rahmadian 2013). Artinya perubahan pada mode produksi merupakan akibat dari perubahan di dalam elemen produksi, termasuk pemenuhan tenaga kerja. Tenaga kerja yang tadinya berbasis kekeluargaan melalui asas resiprositas, kini menjadi tenaga kerja upahan. Banyak faktor yang membuat pola pemenuhan tenaga kerja berubah dari yang berbasis kekerabatan menjadi tenaga kerja upahan. Faktor yang terpenting adalah meningkatnya kebutuhan petani terhadap uang tunai.2 Kebutuhan terhadap uang tunai meningkat karena masyarakat Dayak Desa di Dusun Landau telah terhubung dengan pasar (dunia luar). Perkara itu juga muncul sebagai dampak dari kebijakan pembangunan negara (pendidikan dan kesehatan). Tak hanya itu, petani di Dusun Landau juga mulai mengenal konsep profesionalitas yang ditularkan 2
Kebutuhan petani Dayak akan uang tunai sebenarnya sudah muncul dari zaman perladangan, saat mereka mencari hasil hutan untuk dijual atau dipertukarkan (Sellato, 2001). Ketika uang tunai mulai beredar di dalam sebuah masyarakat, maka proses komodifikasi akan berlangsung dengan cepat setelahnya. Hal itu mengubah pola konsumsi dan hubungan‐hubungan produksi dalam masyarakat tersebut (Kopytoff, 1986 dalam Alexander & Alexander, 1995)
13
perusahaan. Dalam skema kerja perusahaan, tenaga kerja harus dibayar dengan uang, dan hitungannya juga harus sesuai. Semakin terintegrasinya mode produksi masyarakat dengan pasar global dan perubahan pola pemenuhan tenaga kerja telah membawa masyarakat Dayak Desa menjadi semakin modern. Tidak dapat dihindari, modernisasi yang terjadi juga turut mengubah elemen sosial dan budaya yang ada di dalam masyarakat. Seperti apa yang disampaikan Cora Govers, “......Antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya telah lama terfokus pada sebuah diskusi tentang hubungan antara modernitas dan masyarakat, yang mana modernitas tersebut selalu dilihat sebagai penyebab mulai luntur atau hilangnya nilai-nilai budaya dalam masyarakat terkait.....” (Cora Govers, 2006).
Terkait dengan penjelasan mengenai hubungan antara ritual dan modernisasi, Hebermas juga pernah mengungkapkan, “....with the emergence of modern societies mythical understandings of the world were undercut, due to the secularization of bourgeois culture. In modern culture the representations that were at one time fused in mythical thought are differentiated and systematized, and rituals lose their plausibility. Ritual, thus, is seen to be doomed by modernity, since it must inevitably be replaced by more rational practices...” (Hebermas, 1987, via Cheal 1992).
Meskipun begitu, fakta-fakta yang saya temukan di Dusun Landau sama sekali tidak sejalan dengan pernyataan yang pernah disampaikan Hebermas tersebut. Ritual pengangkatan anak masih saja terus-menerus dilakukan di Dusun landau meskipun masyarakat telah banyak berubah. Bahkan, beberapa orang mengatakan ritual tersebut justru makin sering dilakukan. Ternyata, ritual pengangkatan anak terus dilakukan penduduk Landau untuk mensiasati perubahan mode produksi dalam masyarakat, terutama dalam elemen pemenuhan tenaga kerjanya. Seperti yang sudah dijelaskan, tenaga kerja 14
kini bukan lagi hanya berbasis kekerabatan yang mengedepankan asas resiprositas, melainkan berorientasi pada upah. Mereka yang tidak punya cukup modal untuk mengakses tenaga kerja di dusun, kembali menguatkan jaringan kekerabatan melalui hubungan angkat anak. Sementara mereka yang punya cukup modal, memilih tidak melakukan ritual angkat anak karena berbagai alasan. David Cheal juga pernah menyampaikan bahwa ritual seringkali menjadi elemen yang sangat vital dalam masyarakat paling maju sekalipun. “(1) rituals hel to define alternative realities that lie outside the totalizing world views of modern elites and the institutions they control; (2) where a range of possibly irreconcilable interest exists, ritual maybe the most effective means for generating untity via feelings of identification taht are detached from critical reasoning; (3)..... ritual have evolved in response to changing conditions of social interaction.” (Cheal, 1992)
Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Cliiford Geertz (1973) dan Victor Turner (1989) lewat argumen mereka, “...ritual not only reflects the social order but can also serve as a powerful instrument in creating cultural values and thus in revitalizing, or even transforming, social structure it self. (lihat Pilgrim, 1978, via Furman, 1981)
Dari keseluruhan gagasan di atas, saya mencoba melihat ritual pengangkatan anak sebagai sebuah instrumen guna memperkuat basis ekonomi penduduk di tengah perubahan. Hal itu terkait dengan penguatan dan pemanfaatan kembali jaringan kekerabatan fiktif guna mengakses tenaga kerja, terutama di bidang pertanian. Meskipun masyarakat Dayak Desa terus berubah baik dalam sistem
perekonomian
maupun
kerangka
sosial
budaya
mereka,
ritual
pengangkatan tetap menjadi elemen budaya yang sangat kuat dalam masyarakat.
15
E. Metode penelitian Penelitian yang saya lakukan untuk menyusun tulisan ini secara tidak sengaja terbagi menjadi dua tahap dalam kurun waktu yang berbeda. (1) Bulan Juli Agustus 2013 saya berangkat ke Kalimantan Barat, tepatnya ke Desa Melawi Makmur, untuk melaksanakan program KKN-PPM UGM selama satu setengah bulan. Selain melaksanakan berbagai program KKN, saat itu saya juga menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan pengamatan dan wawancara terkait topik penelitian yang baru saja menarik minat saya waktu itu. Tujuannya, saya ingin mencari data-data awal yang bersifat umum terkait ritual angkat mengangkat anak, bagaimana sejarahnya, tatacara ritualnya, proses perubahannya, dan lain-lain. Hal tersebut memudahkan saya untuk menyusun kembali rencana penelitian yang kemudian saya lakukan beberapa bulan kemudian. (2) November Desember 2013, saya kembali ke Kalimantan Barat, khusus tinggal di Dusun Landau, Desa Melawi Makmur. Penelitian yang saya lakukan saat itu berlangsung selama satu bulan. Secara keseluruhan, saya menerapkan metode partisipasi observasi, wawancara mendalam dan wawancara bebas untuk mengumpulkan data-data primer. Partisipasi observasi mengharuskan saya untuk tinggal dan berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Mengamati dan melakukan interaksi langsung dalam aktivitas keseharian subyek penelitian bertujuan untuk mendapatkan data mengenai pola perilaku masyarakat yang dapat tertangkap panca indera. Hasilnya saya catat, untuk kemudian diperdalam melalui metode wawancara ataupun sebaliknya.
16
Selain partisipasi observasi yang tak henti saya lakukan, saya juga melakukan metode wawancara. Awalnya saya lebih sering melakukan wawancara bebas dengan banyak orang. Wawancara bebas lebih sering dilakukan dengan mengikuti alur pembicaraan yang banyak dilakukan warga, jadi fokus pertanyaan penelitian tidak maksimal di sini. Dari wawancara bebas, saya mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang siapa-siapa saja yang terlibat angkat mengangkat anak. Wawancara bebas juga saya lakukan untuk menemukan informan-informan yang tepat untuk kemudian saya wawancarai secara mendalam terkait fokus pertanyaan penelitian. Informan yang saya pilih untuk fokus penelitian ini adalah orang-orang tua, kepala dusun, ketua dan tumenggung adat, beberapa keluarga yang terlibat angkat-mengangkat anak, serta anak-anak muda di dusun. Orang-orang tua yang ada di dusun banyak memberikan informasi mengenai sejarah angkat anak yang memang sudah dilakukan oleh orang Dayak Desa sejak dulu. Ketua dan tumenggung adat tentu saja memberikan informasi tentang aturan dan hukumhukum adat yang berlaku secara umum di dusun, maupun prasyarat adat khusus dalam ritual angkat anak. Kepala Dusun saya anggap sebagai orang yang paling tahu banyak menganai seluk beluk kegiatan dan warga di dusunnya. Beliau memberikan banyak informasi terkait siapa-siapa saja yang terlibat saling angkat anak, berbagai alasan warga mengangkat anak, serta permasalahan yang ditimbulkannya. Keluarga-keluarga yang saling terlibat angkat mengangkat anak menjadi informan penting karena mereka akan sangat banyak memberikan informasi terkait latarbelakang dan konsekuensi angkat anak berdasarkan pengalaman 17
mereka. Dengan mewawancarai mereka secara mendalam secara tak langsung saya juga berusaha menemukan pola angkat mengangkat anak yang terjadi di dusun tersebut secara umum. Sementara anak-anak muda sangat membantu untuk memberi informasi penting lainnya terkait angkat anak. Mereka biasanya menjadi pihak yang paling banyak meminta atau diminta diangkat menjadi anak.
18