Jurnal Mangrove dan Pesisir IX (1), Februari 2009: 18-28 ISSN: 1411-0679
PERAN EKONOMI POLITIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN SECARA TERPADU DALAM MENDORONG PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Tajerin Balai Besar Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta Jl. KS. Tubun, Petamburan VI, Slipi – Jakarta. Diterima 23 Juni 2008
Disetujui 25 Agustus 2008
ABSTRACT Recently, a through management the integration coastal and marine region resources is facing the much crucial problems, so that happen the conflict of interest dilemma and threatening the sustainability capacity in managing it. To facing this problem, political economic support to the resources management has very importance, especially caused its roles for effective and advocate for implementation the related policy, strategy and programs. Beside that, the old development paradigm must be reformed towards a new paradigm, better one which integration every dimension of development (ecology, socio-economic, socio-politic, and law and institution) and gives natural spaces for more increasing role and linkage of political economic of regulation and institution system, so they can really to able give supporting a sustainable development. Keywords: Coastal and marine resources, Political-Economic, Integration, Sustainability
PENDAHULUAN* Sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa Bangsa Indonesia memiliki kekayaan laut yang luar biasa. Secara fisik, Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, yakni 81.000 km. 2 Wilayah lautannya meliputi 5,8 juta km atau 70 persen dari luas teritorial Indonesia (Dahuri et al., 2001). Potensi sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia tersebut dapat menjadi penghela utama (prime mover) perekonomian bangsa, mulai dari sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable) sampai yang tidak dapat diperbaharui (non renewable). Jasa-jasa lingkungan lainnya dari ekosistem wilayah pesisir dan lautan juga sangat potensial untuk membangun kembali perekonomian Indonesia yang saat ini terpuruk. Potensi sektor ekonomi sumberdaya pesisir dan lautan tersebut terbukti handal menghadapi terpaan badai krisis ekonomi. Terbukti, ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi sepanjang tahun 1997-1998, yang ditandai dengan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, sektor perikanan justru menampilkann kinerja pertumbuhan yang
Telp: Email:
[email protected]
positif. Menurut catatan Damanhuri (2000), sepanjang tahun tersebut sektor perikanan mencatat perkembangan nilai ekspor sekitar US$ 2,5 milyar atau sekitar Rp. 22,5 triltyun. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu dari sekian potensi wilayah pesisir dan lautan memiliki dasar yang kuat dan mampu memiliki menjadi penghela utama (prime mover) perekonomian nasional, karena ditunjang oleh kekuatan yang bersumber dari potensi sumberdaya alam yang sangat besar. Namun ironisnya, dibalik peran strategis dan prospek cerah potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia tersebut, terdapat berbagai kendala dan kecenderungan yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity) wilayah pesisir dan lautan dalam menunjang keberhasilan pembangunan. Kendala utama tersebut adalah ketidak-mampuan pemerintah dan masyarakat dalam mengoptimalisasi potensi wilayah pesisir dan lautan di Indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara lain yang memiliki garis pantai lebih kecil dari Indonesia. Sebagai contoh, dengan garis panjang pantai sekitar 2.713 km, sektor kelautan Korea Selatan mampu menyumbangkan sekitar 37 persen terhadap Produk domestik Bruto (PDB) negaranya. Sektor kelautan Jepang menghasilkan 54 persen dengan
19 Peran Ekonomi Politik Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
garis panjang pantai sekitar 34.386 km. Indonesia, dengan garis panjang pantai terpanjang di dunia setelah Kanada, yakni mencapai 81.000 km memberikan kontribusi ekonomi terhadap PDB hanya mencapai sekitar 20,06 persen (Kusumastanto, 2002). Selain itu, disadari atau tidak, antara orientasi pembangunan “semata” dan pembangunan berkelanjutan mempunyai titik perhatian yang berbeda. Kebanyakan model pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi “semata” pada akhirnya menghasilkan dampak negatif yang tidak terduga. Hal ini karena biaya sosial atau biaya lingkungan (social and enviromental cost) yang ditimbulkan tidak diperhitungkan dengan cermat (Rachbini, 1996). Tarik menarik yang dilematis, antara peran strategis dan prospek cerah dari ekosistem wilayah pesisir dan lautan di Indonesia dengan kecenderungan pembangunan yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity). Kondisi demikian ditengarai akibat pendekatan dan kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan selama ini dilakukan secara terpilah-pilah dan sektoral (di samping tujuan pembangunan yang hanya mengejar “economic growth”). Padahal sifat (the nature) dari ekosistem wilayah pesisir dan lautan itu berciri integral (terpadu) oleh sebuah keterkaitan ekologis yang sangat dinamis serta kompleks, sehingga mengharuskan perencanaan dan pengelolaan pembangunan wilayah pesisir dan lautan sejatinya dilakukan atas dasar visi yang beorientasikan kepada aspek keterpaduan dan mendukung tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan terpadu (an integrated approach), sehingga kepentingan pembangunan dan pelestarian lingkungan bisa sinergis dan berjalan secara simultan menuju pembangunan berkelanjutan. Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui sejauhmana peranan ekonomi pilitik pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu dalam mendorong pembangunan berkelanjutan. Diharapkan hasil kajian ini dapat bermanfaat sebagai masukan bagi peningkatan efektifitas upaya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu sehingga dapat dimanfaatkan secara arif bagi keberhasilan pembangunan berkelanjutan. URGENSI PENERAPAN KONSEP PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TERPADU DAN BERKELANJUTAN Kebutuhan penerapan konsep pembangunan berkelanjutan cukup mendesak mengingat model pembangunan konvesnional tidak sepenuhnya dapat mengatasi masalah yang berkenaan dengan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan melalui peran serta para aktor pembangunan secara terintegrasi (terpadu). Hanya saja konsep pembangunan secara terpadu
dan berkelanjutan masih terus berkembang, baik dalam segi-segi teoritis maupun praktis operasionalnya. Elemen-elemen utama, struktur dan dinamikanya tengah dibahas banyak ahli agar ditemukan pola yang tepat sesuai dengan kebutuhan mendesak pada saat ini (Rachbini, 1996). Selama ini di Indonesia, konsep pembangunan secara terpadu dan berkelanjutan masih dihadapkan pada kendala utama berupa pemerintahan yang tidak memiliki unsur-unsur “transparency”, “public participation”, “accountability” dan “responsibility”, yang secara keseluruhan disebut sebagai tata pemerintahan yang baik (good governance). Padahal, salah satu syarat utama dari pelaksanaan konsep pembangunan secara terpadu dan berkelanjutan adalah pemerintah yang demokratis, di mana terdapat mekanisme peranserta masyarakat dan pengawasan setara. Faktor lain yang juga penting dalam menyokong pembangunan berkelanjutan adalah adanya kepastian hukum dan kelembagaan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Di samping itu, faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan berkelanjutan adalah penegakan hukum (law enforcment), khususnya hukum lingkungan. Bahkan, Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) sebagai dasar hukum kebijaksanaan lingkungan merupakan ujian terhadap keberhasilan pembangunan berkelanjutan di Indonesia (Rangkuti, 1999). Demikian pula dengan industrialisasi sebagai motor penggerak pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia ternyata mempunyai kecenderungan menimbulkan pencemaran lingkungan yang tinggi dibandingkan dengan upaya-upaya pengendaliannya. Sebagai contoh praktek perdagangan pasir laut secara ilegal di Kepulaun Riau, pencurian ikan atau penangkapan ikan ilegal (illegal fishing) di wilayah penangkapan perairan laut Indonesia Timur, banyak kasus konflik antar nelayan dalam pengkapan ikan, kasus pencemaran Teluk Buyat di Sulawesi Utara, dan baru saja terlepas pemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, berlanjut pada klaim pemilikan Pulau Ambalat oleh Negara Malaysia. Perisitiwa-peristiwa tersebut hanyalah segelintir fakta dari sederetan panjang masalah pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Mengapa hingga saat ini permasalahan tersebut tidak juga teratasi?. Jawaban atas permasalahan ini tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan selama ini cenderung parsial dan tidak terpadu sehingga sarat dengan praktik tumpang tindih dan perbenturan kepentingan sektoral yang terkait. Kementrian Lingkungan Hidup yang diharapkan mampu menjembatani kepentingan lintas sektoral terkesean serba canggung dalam
20 Jurnal Mangrove dan Pesisir, IX (1): 18-28
merumuskan kebijakan akibat tarik-menarik pengaruh pendekatan institutional-moral dan gagasan conceptual-rational. Padahal sebagaimana dikatakan Kant ..”institutions without concepts are blind, concept without institutions are empty” (Dogan and Pelassy, 1990). Mengedapankan aspek moral saja tanpa landas dan rasional yang memadai adalah fatamorgana. Sebaliknya memuja rasionalitas tanpa pijakan moral seringkali tak bermanfaat (atau bahkan merugikan) bagi sesama. Mestinya ada celah kompromi di antara kedua kutub pendekatan yangt (diharapkan) berujung pada sinergi. Dominasi pendekatan rasional yang antroposentris dalam praktiknya cenderung topdown dan mengabaikan kearifan lokal (tradisional). Rasionalitas yang sentralistik juga berpotensi membunuh realitas keragaman. Sedangkan pendekatan moral seperti partisipasi dan devolusi memang dapat efektif diterima di daerah yang masih berpegang erat pada kearifan lokal (tradisonal). Namun, Anderson (1993) mengatakan bahwa partisipasi dan devolusi berpotensi untuk pengelolaan sumberdaya alam secara baik, namun juga diingatkan bahwa konsep itu tidak menjamin bahwa masyarakat memperoleh lebih banyak manfaat atau serta-merta menerima secara lebih bertanggungjawab terhadap kelestarian sumberdaya alam karena seringkali hanya berlandaskan pada asumsi umum yang belum teruji kebenarannya, yakni (1) masyarakat lokal mempunyai kemauan dan kemampuan mengelola sumberdaya alam secara lestari, (2) masyarakat lokal homogen dan stabil, (3) pengetahuan lokal yang spesifik sesuai dengan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari. Dalam kenyataannya, asumsi-asumsi tersebut mungkin tepat untuk suatu tempat, tetapi tidak sesuai dengan kondisi tempat yang lain. Banarjee et al. (1993) mengatakan bahwa partisipasi tidak bisa diterapkan dalam berbagai kondisi, di antaranya pada daerah di mana terjadi konflik penguasaan atas sumberdaya alam atau di daerah yang struktur populasinya sangat tersebar luas. Pendekatan partisipatif jauh sulit diterapkan ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa tradisi semakin longgar dan semakin banyak anggota masyarakat yang tidak lagi merasa terkait dengan kepentingan kolektif. Berangkat dari kenyataan tersebut perlu dibangun suatu kesadaran baru bahwa pendekatan rasional dan pendekatan moral bukanlah saling bersubstitusi, tetapi berkomplemen. Kedua pendekatan tersebut bisa (dan seharusnya) dilakukan secara paralel. Rasionalitas memang bukan segala-galanya, tetapi pendekatan moral saja seringkali juga tidak efektif. Pendekatan apa pun yang dipakai, sumberdaya pesisir dan lautan akan terdegradasi hebat apabila dibiarkan menjadi open acces property sebagaimana dikemukakan Garret Hardin (1968) dalam thesanya yang monumental
Tajerin
The Tragedy of The Commons. Pendekatan moralitas saja tidak cukup, karena setiap komunitas atau bahkan setiap individu mempunyai kepentingan yang berbeda terhadap sumberdaya alam. Positivistic diperlukan untuk mengendalikan self interest yang saling berbenturan. Justru pendekatan rasional dan moral dapat bersinergi untuk mengerem nafsu serakah sebagaimana disinggung Hardin di bagian akhir tulisannya “What does freedom mean?”. Jawabnya, “Freedom is the recognition of necessity”. Para ahli dalam memandang pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan terbelah menjadi dua paham, yaitu antroposentrisme dan ekosentrisme. Paham antroposentrisme memandang pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan lebih kepada penggunaan pendekatan rasionalitas, sedangkan paham ekosentrisme dekat sekali dengan gagasan moralitas. Kedua paham tersebut sudah tentu akan berbeda dalam kedekatan kelompok preferensinya. Paham antroposentrieme menjadi acuan kelompok developmentalist yang cenderung melihat keberhasilan pembangunan dari indikator konvensional seperti pertumbuhan, sedangkan paham ekosentrisme sangat mewarnai gerakan kelompok deep green ekologi yang diwakili oleh lembaga swadaya msyarakat (LSM) lingkungan dan ecological scientists yang cenderung kepada gerakan penyelamatan lingkungan sehingga keberhasilan pembangunan diukur dari indikator fungsional termasuk adanya pelestarian lingkungan. Perbedaan kedua paham tersebut turut mewarnai perbedaan orientasi dalam pembangunan. Pembangunan berorientasi pertumbuhan ekonomi, lebih mengedapankan pendekatakan rasionalitas dan kurang memperhatikan pendekatan moral, sedangkan orientasi pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan keseimbangan pendekatan rasionalitas dan moral. Kebanyakan model pembangunan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan dampak negatif yang tidak terduga dilihat dari besaran biaya sosial atau biaya lingkungan yang ditimbulkan (Rachbini, 1996). Adanya kecenderungan pembangunan yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity) sumberdaya pesisir dan lautan merupakan akibat dari suatu pendekatan dan kebijakan pembangunan selama ini dilakukan secara terpilah-pilah (parsial) dan sektoral. Padahal sifat (the nature) dari ekosistem sumberdaya pesisir dan lautan itu berciri integral (terpadu) oleh sebuah keterkaitan ekologis yang sangat dinamis serta kompleks, sehingga mengharuskan perencanaan dan pengelolaan pembangunan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan terpadu (an integrated approach), sehingga kepentingan pembangunan dan pelestarian
21 Peran Ekonomi Politik Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
lingkungan sumberdaya pesisir dan lautan bisa sinergis dan berjalan secara simultan menuju pembangunan berkelanjutan. Menurut Rachbini (1996) pangkal dari distorsi alokasi sumber-sumber ekonomi tidak lain adalah situasi politik dan ekonomi politik yang dijalankan oleh Orde Baru selama ini. Meskipun pertumbuhan ekonomi berhasil dikembangkan, tetapi pola korporatisme ekonomi secara bersamaan muncul ke permukaan, dengan ciri: (a) sumber-sumber ekonomi dinikmati oleh hanya segelintir pelaku ekonomi yang dekat dengan kekuasaan, (b) kepentingan ekonomi dan kepentingan politik menyatu di dalam format kolusi ekonomi, (c) kekuasaan menjadi medium yang subur bagi redistribusi combine di antara segelintir orang, dan (d) perburuan rente semakin subur dalam situasi politik dan ekonomi yang tertutup. Kebijakan ekonomi yang diambil oleh para policy makers bangsa ini pernah sampai pada suatu kondisi yang oleh Robinson (1977) disebut sebagai kepitalisme birokrasi, yakni produk dari kekuasaan birokrasi patrimonial di mana demarkasi antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi sangat kabur. Secara sederhana, kebijakan ekonomi yang dipilih dalam pembangunan adalah konsep ekonomi konvensional. Dalam hal ini, konsep ekonomi konvensional memperlakukan barang modal buatan dan sumberdaya alam sebagai sesuatu yang sepenuhnya dapat saling menggantikan (fullly sustainable) (Constanza and Daly, 1992). Dengan konsep pembangunan konvensional ini, maka pembangunan hanya ditujukan untuk eksploitasi semata dan menghilangkan semangat konservasi sumberdaya alam, sepanjang hasil dari pemanfaatan sumberdaya alam dapat memperbesar barang modal dengan finansial lebih besar. Oleh karena itu, terkait dengan pembangunan sektor kelautan dan perikanan ke depan, tidak dapat dielakkan lagi bahwa konsep pembangunan yang mampu menyelaraskan antara aktivitas ekonomi dan ketersediaan sumberdaya alam (sinergi antara paham antroposentrisme yang rasionalitas dan develomentalist dan paham ekosentrieme yang penuh gagasan moral dan deep ecologist) pada saat ini adalah pembangunan secara terpadu dan berkelanjutan. EKONOMI POLITIK DALAM PEMBANGUNAN DAN GEJALA KOMPRADORISASI SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN Arah pembangunan yang selama ini dijalankan oleh pengelola wilayah pesisir dan lautan sangat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth). Menurut Rachbini (1996) pangkal dari distorsi alokasi sumbersumber ekonomi tudak lain adalah situasi politik dan ekonomi politik yang dijalankan oleh Orde Baru selama ini. Meskipun pertumbuhan ekonomi
berhasil dikembangkan, tetapi pola korporatisme ekonomi secara bersamaan muncul ke permukaan, dengan ciri: (a) sumber-sumber ekonomi dinikmati oleh hanya segelintir pelaku ekonomi yang dekat dengan kekuasaan, (b) kepentingan ekonomi dan kepentingan politik menyatu di dalam format kolusi ekonomi, (c) kekuasaan menjadi medium yang subur bagi redistribusi combine di antara segelintir orang, dan (d) perburuan rente semakin subur dalam situasi politik dan ekonomi yang tertutup. Kebijakan ekonomi yang diambil oleh para policy maker bangsa ini pernah sampai pada suatu kondisi yang oleh Robinson (1977) disebut sebagai kepitalisme birokrasi, yakni produk dari kekuasaan birokrasi patrimonial di mana demarkasi antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi sangat kabur. Dapat disederhanakan, kebijakan ekonomi yang dipilih dalam pembangunan adalah konsep ekonomi konvensional. Dalam hal ini, konsep ekonomi konvensional memperlakukan barang modal buatan dan sumberdaya alam sebagai sesuatu yang sepenuhnya dapat saling menggantikan (fullly sustainable) (Constanza and Daly, 1992). Dengan konsep pembangunan konvensional ini, maka pembangunan hanya ditujukan untuk eksploitasi semata dan menghilangkan semangat konservasi sumberdaya alam, sepanjang hasil dari pemanfaatan sumberdaya alam dapat memperbesar barang modal dengan finansial lebih besar. Sementara itu, pemanfaatan potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia begitu mendesak dan harus terus berlangsung, demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara proporsional. Pembangunan tidak harus berhenti, karena pembangunan bukanlah sesuatu yang harus dan mesti mendatangkan kerusakan dan problem bagi umat manusia. Artinya, pembangunan juga bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak. Tentunya tergantung dari pendekatan konsep atau model pembangunan yang digunakan dan para pengambil kebijakan serta pelaku di dalalmnya. Di antara banyak pendekatan konsep atau model pembangunan yang ada, pendekatan ekonomi politik (political economy) dapat menjadi salah satu pilihannya, karena pendekatan ini merupakan suatu cara pandang perubahan sosial dimana inti dinamika perkembangan ekonomi secara sistematis dikaitkan dengan perubahan sosial dan politik, dan semua itu dikembalikan pengaruhnya pada proses ekonomi (Rahardjo, 1997). Menurut Rachbini (1996) ekonomi politik biasanya diartikan sebagai analisis terhadap proses-proses politik yang berkaitan dengan bidang ekonomi politik. Batasan lainnya mengatakan bahwa ekonomi merupakan telaah sistematis terhadap hubungan antara proses ekonomi dan proses politik.
22 Jurnal Mangrove dan Pesisir, IX (1): 18-28
Pendekatan ekonomi politik dalam hal ini merupakan keniscayaan mengingat dalam masalah-masalah pembangunan atau perkembangan ekonomi akan selalu menyangkut peranan pemerintah, yaitu seberapa jauh dan dengan cara bagaimana pemerintah tersebut menjalankan model pembangunannya. Clark (1998) mengemukakan bahwa untuk memahami ekonomi politik, perlu dikemukakan perbedaan karakterisitik politik dan ekonomi dengan mengacu pada hal-hal berikut: Secara faktual, praktik ekonomi senantiasa diasosiasikan sebagai upaya-upaya untuk mencapai standar kehidupan material setinggi mungkin (kemakmuran) dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Untuk mencapai kemakmuran, ekonomi mempunyai tiga dimensi tujuan utama, yakni efisiensi, pertumbuhan dan stabilitas. Di sisi lain, politik senantiasa dikaitkan dengan upaya-upaya untuk menetapkan dan melindungi hak-hak warga negara, sehingga warga negara tersebut dapat menerima dan mempertahankan hak-haknya (keadilan). Seperti haknya eknomi, maka untuk mencapai keadilan, politik mempnuyai tiga dimensi tujuan, yaitu: kebebbasan individu, keadilan dalam distribusi manfaat dan beban dan ketertiban sosial. Namun demikian, Clark (1998) rupanya menyadari bahwa membuat perbedaan antara ekonomi dan politik dengan semata-mata mengacu pada tujuan-tujuannya, adalah tidak memuaskan karena kemakmuran dan keadilan mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan sama sekali. Hal tersebut diungkapkan dengan jelas oleh Clark sebagai berikut: “However, distinguishing between economics and politics solely by rferring to their respective goals is ultimately unsatisfactory becausa prosperity and justice are inextricably linked” Apa yang diungkapkan oleh Clark tersebut, tentu dapat diterima dengan mudah, apabila didasarkan atas suatu asumsi bahwa suatu masyarakat yang makmur sebenarnya secara otomatis merupakan masyarakat yang adil. Karena di dalam masyarakat yang makmur, tersedia cukup banyak alternatif pilihan-pilihan bagi masyarakat, sehingga dengan sendirinya tercipta ketertiban secara dinamis. Sebaliknya, suatu masyarakat yang adil dengan sendirinya akan memunculkan kemakmuran melalui penyediaan peluang-peluang, imbalan yang wajar dan jaminan keamanan untuk mendorong produksi dan akumulasi kesejahteraan. Dengan demikian, secara faktual kemakmuran dan keadilan adalah saling terkait dan saling menguatkan. Oleh karena itu, membedakan antara proses ekonomi dan politik dengan mengacu pada perbedaan-perbedaan tujuannya, tidaklah konklusif. Sebagaimana diketahui, baik ekonomi maupun politik keduanya terkait dengan upaya memajukan manusia dengan jalan mempertahankan kemakmuran dan keadilan.
Tajerin
Dalam konteks pembangunan Indonesia, tujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, pada hakikatnya merupakan refleksi dari keterkaitan yang sangat erat antara ekonomi dan politik, yang sekaligus merupakan proses dari ekonomi politik. Di samping itu, membedakan antara ekonomi dan politik dengan mengacu pada pekaku utama adalah bersifat problematik karena cairnya batas yang memisahkan antara iklim publik dan privat. Dalam masyarakat demokratis, pilihan kolektif masyarakat harus mencerminkan akumulasi pilihan individu. Banyak di antara tujuan publik justru dipilih individu misalnya lewat voting atau pengambilan suara. Selanjutnya pilihan publik seringkali mencerminkan pengaruh individu-individu secara pribadi dan kelompok yang digunakan melalui lobi, kontribusi kampanye dan kontrol terhadap calon untuk jabatan publik. Sebaliknya, kualitas kehidupan publik mempengaruhi tujuan-tujuan yang dipilih atau dapat diraih oleh individu-individu. Lingkungan sosial dan material membentuk bahasa, citra, keinginan-keinginan dan tujuan-tujuan orang yang hidup di dalamnya. Berdasarkan interaksi antara iklim privat dan publik, perbedaan antara individu dan masyarakat sebagai pelaku utama tidak sepenuhnya dapat dipertahankan. Apabila politik dan ekonomi tidak dapat dibedakan secara jelas, mungkin terminologi tersebut semata-mata merupakan dua nama untuk proses yang sama. Keduanya menyangkut pengorganisasian dan pengkoordinasian aktivitas manusia, dan pengaturan sumberdaya, pengelolaan konflik, pengalokasian beban dan manfaat, dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia. Pendekatan ekonomi politik sangatlah dibutuhkan untuk mengetahui gambaran pembangunan yang akan diterapkan di sebuah kawasan. Hal ini dikarenakan masalah pembangunan pasti melibatkan pemerintah dan para pengusaha. Perbedaannya hanya terletak pada seberapa jauh dan dengan cara bagaimana. Untuk masalah tersebut, paling tidak terdapat dua aliran utama, yaitu yang ingin mempertahankan sejauh mungkin keterbatasan peranan pemerintah dan menyerahkan perkembangan pada masyarakat sendiri, dan yang lain menghendaki peranan cukup aktif dari pemerintah dalam melakukan intervensi yang efektif guna mengatur perekonomian demi kepentingan umum. Dalam pandangan Rachbini (1996) analisis ekonomi politik lebih ditandai oleh dua kubu pemikiran, yakni: versi yang liberalis dengan penekanan terhadap bekerjanya mekanisme pasar karena alasan-alasan logika ekonomi yang rasional. Sementara itu, kelompok Marxis lebih menekankan pada telaah terhadap kekuasaan yang banyak mempengaruhi hasil-hasil proses politik yang berkaitan dengan ekonomi.
23 Peran Ekonomi Politik Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Untuk kasus Indonesia, wajah Indonesia masa Orde Baru sangat ditentukan oleh Soeharto dan gaya pemerintahannya sebagai kepala negara. Mengingat pengaruhnya yang demikian besar menjadikan para pengagumnya menempatkan Soeharto di luar proporsinya, yaitu pada posisi kerangka teori tertentu. Sehingga ekonomi politik yang melingkupi era pembangunan di kawasan manapun di negeri ini, termasuk wilayah pesisir dan lautan, tidak terlepas dari pengaruh ekonomi politik yang diterapkan selama masa Orde Baru. Orde Baru memulai langkah ekonominya dengan memobilisasi intelektual yang berasal dari kalangan ekonom yang terkenal sebagai teknokrat (Damanhuri, 2000). Hal ini terutama dalam periode Rehabilitasi Ekonomi (1966-1969) dengan menetapkan Industrialisasi Substitusi Impor (ISI) untuk menggerakkan pembangunan di Indonesia. Keberhasilan pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru di Indonesia yang selalu ditandai dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan harapan “tetesan rejeki” (tricle down effect) ternyata tidak mampu mensejahterakan rakyat kebanyakan. Aktivitas pembangunan ekonomi yang dipilih oleh Orde baru, yakni liberalisasi ekonomi terbukti menghasilkan tingkat kesenjangan yang tinggi. Selain itu, cenderung menciptakan praktek-praktek penyimpangan ekonomi, seperti kolusi, korupsi dan nepotisma (KKN), “kompradorisasi”, kalangan penguasa parasit, dan sejenisnya. Aktivitas pembangunan ekonomi seperti ini terkategorikan sebagai model pembangunan konvensional (lawan dari model pembangunan fungsional). Dalam model pembangunan konvensional pada era Orde Baru, ekonomi rakyat akhirnya terpinggirkan secara terus menerus. Hal ini akhirnya berkonsekuensi menimbulkan berbagai masalah sosial, politik dan juga kerusakan lingkungan. Gambaran aktivitas pembangunan ekonomi semacam inilah yang harus direvisi demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik, yakni dengan mewujudkan aktivitas pembangunan ekonomi yang fungsional yakni dengan menerapkan pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan. Dalam konsep pembangunan konvensional dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan, seluruh ekosistem dianggap sebagai faktor penentu dalam pembangunan. Konsep pembangunan fungsional dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan menggunakan empat macam barang modal yang kesemuanya menentukan pembangunan ekonomi (kemajuan dan kemakmuran) suatu bangsa, yaitu: (a) barang modal buatan (manufactured capital), (b) sumberdaya alam (natural resources), (c) sumberdaya manusia (human resources), dan (d) modal social (social capital). Barang modal buatan (manufactured capital) mencakup benda-benda (barang) hasil rakitan (buatan manusia), seperti
kapal penangkap ikan, pabrik, irigasi tambak dan lainnya (Kusumastanto, 2002). Konsep pembangunan fungsional dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan menganggap sumberdaya alam bukan hanya lahan (land), tetapi sebagai suatu ekosistem yang terdiri atas sumberdaya alam (seperti lahan, air bersih, hutan, sumberdaya ikan, dan mineral) beserta segenap fungsi-fungsi lingkungan yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, konsep pembangunan fungsional yang menggunakan pendekatan berkelanjutan mensyaratkan agar keempat barang modal tersebut dimanfaatkan secara sinergis agar mampu dimanfaatkan secara maksimal tanpa mengurangi kelestarian ekosistem kawasan tersebut. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987). Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfeer untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemamnfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Menurut Sasono dan Arif (1984), dalam pandangan kaum Neo-Marxis, pelaksanaan kegiatan pembangunan melalui proses modernisasi yang terjadi biasanya berlangsung karena adanya jaringan kerjasama antara elite lokal dan elite luar, baik yang memiliki modal maupun kekuasaan. Dalam kerjasama inilah muncul suatu kelas yang disebut dengan “kelas komprador”, yakni sebuah jalinan kerjasama antara elite luar dengan elite lokal yang memiliki kekuasaan demi menjaga kelangsungan investasi para pemilik modal. Kompradorisasi atau upaya pelancaran dan perlindungan terhadap modal dari elite luar oleh elite yang berkuasa ini merupakan salah satu gejala yang muncul akibat terjadinya aktivitas pembangunan ekonomi yang tidak fungsional (disfunctional activity development) akibat pengaruh pembangunan ekonomi konvesnsional. Gejala lain yang juga muncul adalah konglomerasi, dan parktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam proses modernisasi yang menggunakan pendekatan ekonomi konvensional kelas komprador seringkali akibat budaya politik dan kultur birokrasi yang melindungi
24 Jurnal Mangrove dan Pesisir, IX (1): 18-28
para pemilik modal demi sebuah pembangunan yang seringkali merugikan masyarakat domestik dan lingkungan hidup. Kehadiran kaum komprador ini tidak jauh berbeda dengan kehadiran konglomerat di masa Orde Baru dan sejenisnya. Kebijakan ekonomi Orde Baru dengan Pendekatan ekonomi konvensional secara sadar maupun tidak sadar telah memberikan peluang kepada hanya 200 orang pelaku konglomerat yang sebelum krisis menguasai sekitar 76 persen asset atau sekitar 62 persen omzet ekonomi nasional. Kondisi ini bias terjadi karena proses trade off, yakni terjadinya alokasi sebagian besar sumber-sumber daya nasional baik sumber finansial (anggaran pusat dan daerah, kredit perbankan, proyek-proyek PMA, dan dana yang berasal dari utang luar negeri) maupun lainnya (manajemen, teknologi, informasi, lahan, dan sumberdaya manusia) terhadap para pelaku big business dan bersifat mega proyek. Sementar itu para pelaku yang lain, yakni sekitar 99,8 persen mengalami misalokasi dan disalokasi sumberdaya nasional (Damanhuri, 2000). Pengusaan segelintir kalangan usaha terhadap asset perekonomian nasional bisa terjadi di mana salah satunya melalui proses kompradorisasi dimana terdapat praktek “kongkalikong” atau kolusi di antara para pejabat berwenang dengan para pengusaha “nakal” untuk mengeksploitasi sumberdaya alam secara illegal atau seolah-olah legal dengan memanfaatkan potensi local atau rakyat kecil. Praktek persekonomian semacam ini termasuk pada kategori aktivitas pembangunan yang disfungsional. Sebagaimana diungkapkan Robinson (1997) bahwa kelas kapitalis (“client”) sangat tergantung kepada penguasa (“patron”) karena penguasa itulah yang memberikan berbagai fasilitas seperti prteksi, subsidi, serta terciptanya struktur pasar yang monopolistik dan oligopolistik yang sangat menguntungkan pengusaha atau kelas kapitalis tersebut. Sementara itu, keuntungan yang dinikmati penguasa adalah berupa imbalan atau rente dari kelas kapitalis tersebut. Inilah yang oleh Budiman (1995) disebut dengan “negara otoriter birokratik rente”. Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan bahwa kapasitas negara untuk mengelola urusan bersama dan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat banyak, sesungguhnya telah dilucuti oleh kepentingan privat kelompokkelompok bisnis kuat tertentu, akibat iklim yang mendukungnya. Kondisi demikian mempersubur tumbuhnya gejala kompradorisasi, dimana para “pengusaha nakal” yang biasanya adalah pengusaha lokal bekerjasama atau menjadi “kaki tangan” para pemilik modal yang biasanya pengusaha luar. Hubungan tersebut dilindungi oleh para aparat dari berbagai instansi dan
Tajerin
tingkatan yang memudahkan setiap kegiatan ekonomi mereka meskipun sering melanggar aturan dan hukum yang berlaku, namun tetap lancar dan terlindungi. Gejala kompradorisasi demikian dapat ditunjukkan seperti terlihat pada Gambar 1. Tata pemerintahan yang buruk (bad governance) serta mental para pengambil keputusan (policy maker) yang buruk ikut memperlacar terjadinya proses kompradorisasi dan sejenisnya. Kondisi ini sudah pasti tidak memungkinkan terselenggaranya proses perumusan kebijakan lingkungan yang akomodatif dan partisipatif, sehingga berkonsekuensi pada peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Iklim birokrasi yang divemari budaya sungkan, KKN, dan by pass, makin mempersulit terciptanya struktur egaliter pengusaha dan masyarakat. Hal ini ditandai dengan tingginya tingkat korupsi di hamper seluruh jajaran birokrasi. Akhirnya, budaya korupsi dan suap ini menumbuhsuburkan praktek-praktek kompradorisasi yang hanya akan menghasilkan kaum komprador yang mengeruk kekayaan sumberdaya alam dan m,enyisakan kerusakan lingkungan dan kemiskinan kepada masyarakat sekitar (stakeholders). Kompradorisasi juga dipersubur dengan kultur ekonomi politik yang diwarnai oleh “politisasi birokrasi” yang berwujud pengkaplingan departemen-departemen oleh partai-partai politik yang berkuasa. Tentu saja politisai birokrasi semacam ini berakibat alngsung pada kinerja birokrasi. Profesionalisme birokrasi tidak dapat berjalan karena keseluruhan organnya sendiri sudah menjadi lembaga politik. Lebih kacau lagi, karena setiap departemen dikuasai partai politik tertentu dan mempunyai orietntasi politik berbedabeda. Akhirnya perekonomian akan berjalan sesuai dengan kepentingan-kepentingan para pemilikl modal dengan dukungan dan perlindungan para elite politik local yang berkuasa. Mental para pejabat birokrasi semacam ini akan mengakibatkan tidak berfungsinya kelembagaan hukum dan institusi lainnya dalam menghadapi supermasi bisnis yang bercorak konvensional. Konsekuensinya, pembangunan suatu kawasan hanya menjadi ajang eksplorasi dan eksploitasi para pemilik modal, konglomerat dan pejabat-pejabat bermental korup. Sementara eksistensi lingkungan hidup menjadi faktor kesekian untuk diperhitungkan. Apalagi untuk memikirkan pemerataan pendapatan kepada rakyat banyak. Akhirnya, sumberdaya alam dan lingkungan wilayah pesisir dan lautan yang seharusnya menjadi potensi luar biasa untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan bangsa Indonesia hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang saja. Rakyat kebanyakan hanya disisakan dampak negative akibat kerusakan lingkungan yang terjadi.
25 Peran Ekonomi Politik Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Masyarakat Sekitar (Stakeholders) Kerusakan lingkungan Turunnya pendapatan kesenjangan sosial
Proses Pembangunan
Elite Pemodal
Hasil Pembangunan
investasi
Profit (finansial)
Komprador surplus
komisi
Sumber: diadopsi dari Ginther et al. (1995)
Gambar 1: Gejala Kompradorisasi Pembangunan di Indonesia Buruknya kultur birokrasi dalam mengelola sumberdaya wilayah pesisi dan lautan juga ditandai dengan tidak adanya keterpaduan antar pelaku pembangunan sekaligus pengelola di kawasan tersebut, baik pemerintah, swasta dan masyarakat. Tidak adanya keterpaduan antar pelaku pengelola terlihat dalam berbagai kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan lautan yang dilakukan secara sektoral oleh masing-masing pihak, bahkan sering terjadi tumpang tindih antar pelaku pengelola. Lemahnya keterpaduan ini, diakibatkan belum adanya sistem atau lembaga yang mampu mengkordinasikan setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya kelautan dalam satu kewenangan. Akibatnya, potensi wilayah pesisir dan lautan tidak tumbuh dan berkembang secara optimal. Selain itu, akibat kebijakan sector perkonomian tidak berjalan secara sinergis dengan sector kelautan, maka sector perekonomian lain yang terkait juga tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara optimal. Peran Kelembagaan dalam Kaitannya dengan Pengelolaan Sumberdaya kelautan dan Perikanan Secara Terpadu. Harapan yang terkandung di dalam pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan terletak pada nilai dari pembangunan itu sendiri. Pengertian mengenai nilai di sini berarti menyangkut keyakinan kepada upaya dinamik pada pembangunan yang dilakukan. Sebagaimana dalam pembangunan selama Orde baru, perubahan empirik didasarkan pada tolok ukur
pertumbuhan ekonomi semata, sehingga bentuk kerja apapun dianggap memberikan sumbangan positif kepada pertumbuhan ekonomi, maka kerja tersebut dikatakan sebagai mempunyai nilai. Paradigma pembangunan seperti ini harus direformasi ke arah paradigma baru yang lebih baik, yaitu pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Bagaimana keterkaitan Ekonomi Politik, Regulasi dan Institusi dalam Kebijakan Pengelolan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu dalam Mendorong Pembangunan Berkelanjutan, secara sederhana dapat dilihat melalui Gambar 1. Kebutuhan akan kelembagaan wewenang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu saat ini harus disesuaikan dengan perubahan yang terjadi dalam manajemen pemerintahan dan pembangunan. Saat ini, pembangunan yang bersifat sentralistik dikoreksi dan akhirnya menghadirkan pendekatan pembangunan yang bersifat desentralistik. Berlakunya undang-undang otonomi daerah telah menggeser kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan dari pemerintah pusat ke daerah. Pergeseran ini tentu saja membawa berbagai koskuensi dalam kelembagaan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang efisien, adil dan berkelanjutan. Masalah krusial dalam kelembagaan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan adalah kerancuan dan tumpang tindihnya kelembagaan yang ada serta
26 Jurnal Mangrove dan Pesisir, IX (1): 18-28
lemahnya penegakan hukum lingkungan. Dengan demikian, harus ada keberanian untuk menerapkan konsep “terpadu” (integrated approach) pada pengelolaan lingkungan dan meninggalkan pola lama, yakni “koordinasi” (coordination). Karena pengertian “terpadu” berarti kewenangan berada pada satu tangan tanpa diembel-embeli kata “koorndinasi” yang artinya semua tetap berwenang, namun ada koordinasi (Rangkuti, 2000).
Tajerin
Akibatnya, pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) dengan sector-sektor perekonomian lainnya tidak tumbuh dan berkembang secara optimal. Selain itu, akibatnya kebijakan sektor-sektor perekonomian tersebut tidak berorientasi dan sinergi dengan sector kelautan, maka geliat perekonomian lain yang terkait juga tidak tumbuh dan berkembang secara optimal dan berkelanjutan.
Ekonomi Politik
Kebijakan Ekonomi, Kultur Biokrasi, Kompradorisasi
Regulasi dan Instisuti Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan
Sistem Sosial dan Ekologi Wilayah Pesisir dan Lautan
Output Pembangunan Berkelanjutan: 1. Pertumbuhan Ekonomi 2. Pemerataan Kesejahteraan 3. Kelestarian Lingkungan Gambar 2: Keterkaitan Ekonomi Politik dalam Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu dalam Mendorong Pembangunan Berkelanjutan Hal ini karena pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir dan lautan secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi, yaitu: sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis (Dahuri, et al., 2001). Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggungjawab antar sector atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai tingkat pusat (vertical integration). Keterpaduan sudut pandang keilmuan masyarakat bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan lautan hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches) yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum dan lainnya yang relevan. Hal ini dipandang wajar, karena wilayah pesisir dan lautan pada dasarnya terdiri atas sistem social dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis.
Sedangkan keterpaduan secara ekologis berkaitan dengan wilayah pesisir dan lautan yang pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula berbagai macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans). Kondisi empiris semacam ini mensyaratkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkages) tersebut, yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir dam lautan. Hanson (2000) mendefenisikan perencanaan sumberdaya secara terpadu sebagai suatu upaya secara bertahap dan terprogram untuk mencapai titik pemanfaatan sistem sumberdaya alam secara optimal dengan memperhatikan semua dampak lintas sektoral yang mungkin timbul. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pemanfaatan optimal adalah suatu cara pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomis secara berkesinambungan untuk kemakmuran masyarakat. Sementara itu, Lang (1986) menyarankan bahwa keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti pesisir dan
27 Peran Ekonomi Politik Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
lautan, hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level): teknis, konsultatif dan koordinatif. Pada tataran teknis, segenap pertimbangan teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan nhendaknya secara seimbang atau proporsional dimasukkan kedalam setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan. Pada tataran konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan pihak-pihak yang terlibat (stakeholders) atau yang terkena dampak pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan hendaknya diperhatikan sejaak tahap perencanaan sampai pelaksanaan. Sedangkan dalam tataran koordinatif mensayaratkan diperlukannnya kerjasama yang harmonis antarsemua pihak yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, baik itu pemerintah, swasta maupun masyarakat umum.
KESIMPULAN Hingga dewasa ini, konsep pembangunan secara terpadu dan berkelanjutan masih dihadapkan pada kendala utama berupa pemerintahan yang tidak memiliki unsur-unsur “transparency”, “public participation”, “accountability” dan “responsibility”, yang secara keseluruhan disebut sebagai tata pemerintahan yang baik (good governance). Padahal, salah satu syarat utama dari pelaksanaan konsep pembangunan secara terpadu dan berkelanjutan adalah pemerintah yang demokratis, di mana terdapat mekanisme peranserta masyarakat dan pengawasan yang setara. Oleh karena itu, dukungan ekonomi politik dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan menjadi sangat penting terutama karena perannya dalam mengefektifkan dan mengadvokasi implementasi kebijakan, strategi dan program pengelolaan sumberdaya tersebut sehingga tercapai tujuan pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan. Paradigma pembangunan lama yang melihat segala sesuatunya dari nilai pembangunan itu sendiri, dan menjadikan perubahan empirik dalam pembangunan lebih didasarkan pada tolok ukur pertumbuhan ekonomi semata harus direformasi ke arah paradigma baru yang lebih baik, yaitu pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Perubahan paradigma pembangunan tersebut dimungkinkan dapat lebih berhasil melalui upaya-upaya yang memberikan ruang bagi peningkatan peran dan keterkaitan ekonomi politik dari sistem regulasi dan kelembagaan yang ada dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu, sehingga mampu memberikan dorongan bagi pembangunan khususnya di sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan. Peningkatan peran dan keterkaitan ekonomi politik sangat mendesak karena terkait dengan masalah krusial dalam kelembagaan pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir dan lautan, yakni kerancuan dan tumpang tindihnya kelembagaan yang ada serta lemahnya penegakan hukum lingkungan.
IMPLIKASI KEBIJAKAN Dalam kaitannya dengan pembangunan sumberdaya laut, pemerintah dan bangsa Indonesia telah membuat suatu kebijakan yang strategis dan antisipatif, yaitu dengan dengan menjadikan matra laut sebagai sektor tersendiri dalam GBHN tahun 1993. Kebijakan ini diperlukan dengan penetapan kebijakan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan yang mantap dan berkesinambungan. Selanjutnya dalam mengefektifkan kinerja kebijakan tersebut perlu didorong melalui peran ekonomi politik dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Tentunya peran ekonomi politik tersebut haruslah mengacu kepada konsep pembangunan yang berkelanjutan khususnya dikaitkan dengan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Pembangunan berkelanjutan dalam konteks pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lingkungan dimaksudkan sebagai upaya mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam pembangunan berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, di mana aktivitasakrtivitas tersebut dimaksudkan dalam rangka mencapai tujuan yang dapat mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat dan pembangunan ekonomi yang dalam penerapannya menjangkau berbagai dimensi yang ada di masyarakat, seperti dimensi ekologis, dimensi sosial ekonomi, dimensi sosial politik, dan dimensi hukum dan kelembagaan. Dimensidimensi ini dipandang penting, karena memiliki berkaitan dengan peran ekonomi politik dalam mengefektifkan dan mengadvokasi kebijakan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu sehingga tercapai tujuan pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Anderson, T.L. and Randy, T.S. 1993. The Political Economy of Custom and Culture: Informal Solution to the Common Problem. Rowman & Lahman Publisher, Inc. Boston Way Lahman. 189 pp. Banarjee, A. and Newman, A. 1993. Occupational Choice and the Process of Development. Journal of Political Economy. Vol. 101. pp. 274-298. Budiman, A. 1991. Negara dan Pembangunan. Jakarta: Yayasan Padi dan Kapas Constanza, R. and Daly, H.E. 1992. Natural Capital and Sustainable Development. Conserv. Biol. 6, 37-46. Clark, J. 1998. Fairness in Public Good Provision: an Investigation of Preferences for Equity and Proportionality. Canadian Journal of Economics, 31, 3, 708-729. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
28 Jurnal Mangrove dan Pesisir, IX (1): 18-28 Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. 328 halaman. Damanhuri, D.S. 2000. Paradoks Pembangunan Ekonomi Indonesia dan Perspektif Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Sektor Pertanian dan Perikanan. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Ekonomi Pembangunan fakultas Perikanan dan Ilmun Kelautan Institut Pertanian Bogor. Myohdotcom Indonesia, Jakarta. Dogan, M. And Pelassy, D. 1990. How to Compare Nations: Strategies in Compataive Politics. Chatman House Publisher, Chatman, NJ. 216 pp. Garret Hardin. 1968. the Tragedy of Commons. Science, 162 (1968)” 1243-1248. Ginther, K, E. Denters and P.J.J.M. de Waart. 1995. Sustainabile Development and Good Governance. Martinus Nijhoff Publisher, 3300 AH Dordrecht, The Neteherlands. Hanson, G. D. 2000. Ideal types, interlinkages and risk in sustainable systems. Journal of the Community Development Society, 31(1):130-137 Kusumastanto, T. 2002. Reposisi "Ocean Policy" dalam pembangunan ekonomi Indonesia di era Otonomi
Tajerin daerah : Orasi ilmiah fakultas perikanan dan ilmu kelautan Institut Pertanian Bogor, 21 september 2002 Lang, R. 1986. Introduction in Integrated Approaches to Resources Planning and Management. The University of Calgary Press, Alberta, Canada. Rachbini, D.J. 1996. Ekonomi Politik: Paradigma, Teori dan Perspektif Baru. CIDES, Jakarta. Rahardjo, D. 1997. Mencari Pengertian tentang Pembangunan: Sudut Pandang Pancasila, BPFE, Yogyakarta. Rangkuti, S.S. 1999. Analisis UUPLH dari Aspek Hukum Lingkungan dan Teknis Yuridis dalam Tangka Revisi. Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya. Robinson, R. 1997. Captalism and The Military Bereucratic State in Indonesia, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca, New York. Sasono, A dan Sritua, A. 1984. Ketergantungan dan Keterbelakangan. Sinar Harapan, Jakarta. WCED. 1987. Our Common Future, World Commission on Enviroment and Development. Oxford University Press. Oxford